ArticlePDF Available

Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam Uu Sisdiknas dan Uu Bhp

Authors:
  • Universitas Katolik Darma Cendika, Indonesia, Surabaya

Abstract

Indonesia’s Constitution has mandated that the state has a goal to develop nation’s intellectual. In that framework, the state should have responsibility for the education of the whole people of Indonesia. But by globalization, through the WTO and GATS, Indonesia has been directed toward the liberalization of education. Liberalization is done through legislation that directs the autonomy of state-owned educational institutions, maximizing the role of communities in the state and minimize the role of the state, the format of “Badan Hukum Pendidikan” for all educational institutions, and opening the world of education for foreign educational institutions.
MENGEMBALIKAN TANGGUNG JAWAB NEGARA
DALAM PENDIDIKAN: KRITIK TERHADAP
LIBERALISASI PENDIDIKAN DALAM
UU SISDIKNAS DAN UU BHP
Victor Imanuel Williamson Nalle
Rush in Social Economics Study Group (Rustig)
Bukit Cemara Tidar E2/1, Karangbesuki, Sukun, Malang
e-mail: vicnalle@yahoo.com
Naskah diterima: 11/07/2011 revisi: 18/07/2011 disetujui: 25/7/2011
Abstrak
Konstitusi Indonesia telah mengamanatkan tanggung jawab
negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal
ini, negara bertanggung jawab atas pendidikan seluruh rakyat
Indonesia. Namun dalam konteks globalisasi, melalui WTO dan
GATS, Indonesia telah diarahkan menuju liberalisasi pendidikan.
Liberalisasi pendidikan terjadi melalui peraturan perundang-
undangan yang mengatur otonomi institusi pendidikan milik negara,
memaksimalkan peran serta masyarakat dan meminimalkan peran
negara, penyeragaman format Badan Hukum Pendidikan bagi
seluruh institusi pendidikan, dan membuka peluang masuknya
institusi pendidikan asing dalam dunia pendidikan Indonesia.
Kata Kunci: liberalisasi, otonomi, Badan Hukum, tanggung jawab
negara
Abstract
Indonesia’s Constitution has mandated that the state has a goal to
develop nation’s intellectual. In that framework, the state should have
responsibility for the education of the whole people of Indonesia. But
552
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
by globalization, through the WTO and GATS, Indonesia has been
directed toward the liberalization of education. Liberalization is done
through legislation that directs the autonomy of state-owned educational
institutions, maximizing the role of communities in the state and minimize
the role of the state, the format of “Badan Hukum Pendidikan” for all
educational institutions, and opening the world of education for foreign
educational institutions.
Key word: liberalization, autonomy, “Badan Hukum Pendidikan”, state’s
responsibility
A. PendAhuluAn
Founding parents bangsa ini punya cita-cita besar. Cita-cita besar
itu bukan melulu masalah pembangunan ekonomi. Cita-cita ini
sangat terkait erat dengan instrumen dari yang dimaksud salah
satu founding parents, Soekarno, sebagai nation and character building.
Cita-cita besar itu sebagaimana termaktub dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai cita mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Founding parents memiliki alasan yang kuat mengapa cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa sebegitu pentingnya hingga
menjadi salah satu tujuan negara ini sebagaimana termaktub dalam
Pembukaan UUD 1945. Mereka sadar bahwa bangsa ini tercipta
sebagai bangsa yang plural. Pluralitas ini berbahaya bagi keutuhan
bangsa bukan karena pluralitas itu sendiri, namun karena apa
yang dipikirkan oleh orang-orang tentang pluralitas tersebut.1 Jika
pluralitas dipikirkan sebagai ancaman, atau mereka yang berbeda
dianggap sebagai the others yang dialienasikan, maka keutuhan
bangsa ini terancam. Instrumen penting dalam membentuk mental
dan pikiran bangsa yang siap terhadap pluralitas tersebut adalah
pendidikan. Enam puluh enam tahun yang lalu cita-cita besar dan
visioner itu digantungkan. namun bagaimana nasib cita-cita itu
pada hari ini?
1 Daoed Joesoef, “Asal Usul Kecerdasan Manusia”, Kuliah Umum Freedom Institute, 17
Februari 2011, 9.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
553
Lebih dari setahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan
sebuah putusan penting yang membangkitkan kembali secercah
harapan bagi cita-cita pendidikan bangsa ini. Putusan tersebut,
yaitu Putusan Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 terkait
dengan permohonan uji materiil terhadap dua undang-undang
sekaligus yang telah banyak dikritik oleh banyak pihak, yaitu
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009
tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Dua undang-undang
tersebut selama ini dianggap menjadi pembawa roh liberalisasi
pendidikan yang berakibat pada lepasnya tanggung jawab negara
terhadap pendidikan dan makin mahalnya biaya pendidikan.
Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 6 ayat (2) sepanjang
frasa, “... bertanggung jawab” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat kecuali dimaknai, “... ikut bertanggung jawab”, Pasal 12
ayat (1) huruf c sepanjang frasa “...yang orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikannya” tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Selain itu Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU SISDIKNAS
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sedangkan
Pasal 53 ayat (1) sendiri dinyatakan konstitusional sepanjang
frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan
fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk
badan hukum tertentu. Sedangkan UU BHP dinyatakan oleh MK
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Dengan putusan tersebut sebenarnya negara ini telah diingatkan
bahwa sebenarnya pendidikan masih merupakan tanggung jawab
negara. Pendidikan bukanlah komoditas yang dapat dilepas
begitu saja ke dalam mekanisme pasar yang ganas. Negara
perlu memastikan bahwa setiap warga negara dapat mengakses
pendidikan secara mudah dan murah atau bahkan gratis.
Tulisan ini akan mengupas bagaimana seharusnya tanggung
jawab negara terhadap pendidikan jika mengacu pada konstitusi,
baik dalam Pembukaan dan Batang Tubuh. Dengan demikian
554
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
analisis terhadap putusan MK juga tidak dapat lepas dari tulisan
ini. Namun sebelumnya akan dibahas pula bagaimana rancangan
global terhadap pendidikan sehingga dapat berpengaruh terhadap
liberalisasi pendidikan dan mulai kaburnya tanggung jawab negara
terhadap pendidikan.
B. liBerAlisAsi PendidikAn dAlAm skemA GloBAlisAsi
Makna pendidikan dapat ditelusuri secara semantik dari akar
katanya. Education, padanan kata pendidikan dalam bahasa Inggris,
berasal dari dua kata dalam bahasa latin. Pertama, educere yang
berarti ‘melatih’ atau ‘membawa keluar dari’. Kedua, educare yang
berarti ‘melatih’ atau ‘memelihara’.2 Makna tersebut menunjukkan
bahwa pendidikan adalah proses mengubah manusia menjadi
lebih baik dari sebelumnya. Pendidikan membawa keluar manusia
dari status infantia (anak-anak) menjadi subjek yang memiliki
sikap, mampu bekerja, berkomunikasi, mencintai, dan menerima
perbedaan.3
Dalam sudut pandang yang lebih emansipatoris, pendidikan
dilihat bukan hanya sebagai upaya mengubah manusia, misalnya
dari yang tak berpengetahuan menjadi berpengetahuan. Pendidikan
juga dilihat sebagai upaya membebaskan manusia dari penindasan.
Melalui pendidikan, kaum tertindas dapat melihat bagaimana
dunia tersebut tertindas dan berkomitmen untuk melakukan
transformasi. Dari sanalah kemerdekaan secara permanen dapat
diraih.4 Berdasarkan sudut pandang ini, kita dapat melihat bahwa
cita mencerdaskan kehidupan bangsa dalam konstitusi juga
merupakan visi bagi pencapaian kemerdekaan yang permanen
dimana Indonesia yang sebelumnya tertindas dapat bertransformasi
menjadi Indonesia yang merdeka seratus persen.
2 Christopher Winch and John Gingell, Philosophy of Education: The Key Concepts, Second
Edition (New York: Routledge, 2008), 63.
3 John Tondowidjojo, Selecta Giornalista (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 2009), 32.
4 Siti Murtiningsih, Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire
(Yogyakarta: Resist Book, 2004), 62.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
555
Kesadaran akan betapa mulianya pendidikan tampaknya
menyadarkan founding parents bahwa negara tidak dapat lepas tangan
terhadap pendidikan. Namun enam dekade kemudian, perubahan
tatanan global membalikkan anggapan bahwa pendidikan adalah
tanggung jawab negara. Perubahan ini disebabkan dunia telah
menjadi sebuah entitas yang tunggal dimana negara-bangsa mulai
pudar. Negara bukan lagi menjadi penentu, melainkan pasarlah yang
justru mempengaruhi bagaimana kebijakan bergerak. Negara tidak
dapat lagi memproteksi dan mengintervensi setiap sector kehidupan.
Terbentuklah negara minimalis dimana organisasi perdagangan
dunia, WTO (World Trade Organization), menjadi pengarahnya.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, WTO telah menempatkan
pendidikan sebagai salah satu sektor yang harus bergerak bebas
tanpa kendali negara. WTO, melalui General Agreement on Trade in
Services (GATS), menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor
industri tersier yang perlu diliberalisasi. Sementara Indonesia sejak
1995 telah menjadi anggota WTO dengan diratikasinya semua
perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata-
perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights
(TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan
perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai obyek
pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa non-komersial
atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya”.5
Dengan ditempatkannya pendidikan sebagai sektor yang
diliberalisasi maka tatanan global telah menempatkan pendidikan
sebagai sektor jasa yang bersifat komersial. Penyokong
fundamentalisme pasar selalu berargumen, liberalisasi akan semakin
menguntungkan konsumen karena bekerja berdasarkan mekanisme
permintaan dan penawaran yang melahirkan keseimbangan pasar.
Keseimbangan dalam pasar tersebut merupakan titik optimal bagi
5 Soan Effendi, “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Seminar Nasional
Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan oleh Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Katolik Atma Jaya, 2 Mei 2005, 2.
556
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
konsumen untuk mengakses jasa/barang yang diinginkannya,
dalam hal ini harapannya adalah makin murahnya pendidikan
dan semakin mudah diakses. Konsumen pun bebas menentukan
jasa pendidikan mana yang ingin dinikmatinya.
Tatanan global abad 21, dengan pandangan neoliberalnya,
memang telah menggiring negara menjadi negara dengan peran
pemerintah seminimal mungkin. Semuanya diserahkan pada
fundamentalisme pasar dengan memberikan peran yang lebih
besar pada masyarakat madani yang otonom dan individualisme
ekonomi yang kuat.6 Dalam masyarakat yang diarahkan makin
mandiri dan menjadi masyarakat madani yang kuat, para penganut
neoliberalisme percaya bahwa liberalisasi pendidikan dapat
memberikan banyak pilihan bagi individu dan kebebasan untuk
menentukan pendidikan seperti apa yang ingin dienyamnya.
Padahal terdapat beberapa kekeliruan paradigmatis dalam
pandangan neoliberal terhadap pendidikan yang dapat menyebabkan
pendidikan menjadi sesat jalan jika semata-mata diserahkan pada
mekanisme pasar. Pertama, pendidikan dilihat semata-mata sebagai
cara untuk mengembangkan individu agar siap berkompetisi.
Konsekuensinya, pendidikan akan menjadi pencetak pelaku-
pelaku yang saling berkompetisi di pasar kerja. Kedua, pendidikan
diposisikan sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan di
pasar untuk uang atau status. Keahlian atau pengetahuan yang
ditawarkan oleh pendidikan, sebagai komoditas, pun menjadi
cerminan dari pasar itu sendiri. Misal, tingginya kebutuhan
pasar akan tenaga sektor teknologi informasi akan mendorong
tingginya penawaran akan pendidikan berbasis teknologi informasi.
Kekeliruan pandangan ini dilatarbelakangi kekeliruan melihat
pendidikan sebagai sektor jasa yang bersifat komersial. Ketiga,
pendidikan disediakan secara umum namun didistribusikan dan
diakses secara privat. Karena didistribusikan dan diakses secara
privat maka yang terjadi adalah persaingan. Baik persaingan antar
6 Anthony Giddens, Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), 9.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
557
para pemakai jasa (calon peserta didik) maupun antar penyedia
jasa (sekolah dan perguruan tinggi).7
Asumsi-asumsi neoliberal tersebut menunjukkan bagaimana
negara berusaha untuk dihilangkan peran krusialnya, salah satunya
di bidang pendidikan. Walaupun dalam kenyataannya, negara-
negara maju yang turut menyarankan sistem ini justru menunjukkan
hal yang sebaliknya.8 Oleh karena itu, liberalisasi pendidikan yang
telah menjadi skema global melalui paradigma neoliberalnya
seharusnya dilihat secara lebih kritis karena tidak mungkin sebuah
paradigma dibawa ke pendidikan semata-mata bebas nilai. Namun,
skema liberalisasi tersebut masuk ke negara ini melalui sebuah
proses yang legal, yaitu melalui legislasi nasional. Dalam titik inilah
pandangan neoliberal, globalisasi, dan fundamentalisme pasar telah
masuk hingga perguruan tinggi untuk melanggengkan kepentingan
globalisasi itu sendiri.
Dalam kondisi demikian, negara dalam kendalinya atas dunia
pendidikan menghadapi dua tekanan. Tekanan dari tuntutan
global yang menyuarakan liberalisasi, privatisasi, dan pengenalan
mekanisme pasar terhadap sektor publik. Semua itu demi esiensi,
persaingan, dan penyediaan layanan yang berorientasi pada
konsumen. Arus pemikiran ini mendasarkan asumsinya pada
proposisi bahwa adanya lebih banyak kompetisi di pasar akan
mengarahkan pelayanan pada kualitas yang lebih baik, responsivitas
yang tinggi, dan tentu saja itu semua untuk menggapai konsumen
dalam jumlah yang lebih besar. Semua asumsi dan pemikiran
tersebut dibawa dalam paradigma pendidikan sehingga pendidikan
benar-benar telah dikomodikasi sedemikian rupa sesuai selera
pasar. Sementara tuntutan yang lain adalah tuntutan dari dalam
negeri sendiri yang menghendaki dipertahankannya kendali negara
terhadap pendidikan dan tidak menyerahkannya pada mekanisme
pasar semata.
7 Mark Olssen, et al, Education Policy: Globalization, Citizenship and Democracy (London:
SAGE, 2004), 181.
8 Ibid, 249.
558
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
Ales Vlk dalam penelitiannya menemukan bahwa adanya
tuntutan liberalisasi pendidikan di Eropa melalui GATS telah
melemahkan kendali negara terhadap pendidikan. Tuntutan
meliberalisasi pendidikan melalui WTO, GATS, European Commission
(lembaga eksekutif dari Uni Eropa), serta lembaga-lembaga bisnis
industri telah memberikan pengaruh yang besar dalam membawa
tuntutan liberalisasi dan pengenalan mekanisme pasar dalam
pendidikan. Kendati demikian, tuntutan tersebut berbenturan
dengan tuntutan di level nasional yang menyuarakan sebaliknya.
Tatanan benturan kepentingan tersebut digambarkan Ales Vlk
dalam skema di bawah ini:
Gambar 1
Faktor dan Aktor yang Mempengaruhi Kendali Dunia Pendidikan9
Liberalization, trade, introduction of markets, efciency, risk,
competition, new providers, consumer oriented demand driven
Tradition, monopoly, public provision of HE, protectionism, networks, cooperation,
provider oriented, supply driven, quality, security
WTO/GATS
Business, Industry
Ministries of Economic Affairs, Ministries of Finance, etc
European Commission
Ministry of Education
Public StudentsAcademics Labor Unions
Steering capacity
9 Ales Vlk, Higher Education and GATS: Regulatory Consequences and Stakeholders’ Responses
(Enschede: CHEPS, 2006), 232.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
559
Bergesernya pendidikan ke ranah privat bukan hanya terjadi
di belahan Eropa. Asia pun mengalami hal yang sama dimana
tuntutan mengendurnya peran negara bahkan telah mempengaruhi
kebijakan pendidikan di Republik Rakyat Cina (RRC) yang komunis.
Namun, RRC tidak mengadaptasi sepenuhnya pengaruh liberalisasi
pendidikan ke dalam sistem pendidikannya, walaupun pengaruh
tersebut mulai terasa di era pasca-Mao. Menurut Ka Ho Mok
reformasi pendidikan, terutama pendidikan tinggi, yang makin
mengurangi campur tangan negara secara resmi dimulai sejak 1985.
Menurut Ka Ho Mok:
The promulgation of the Decision on Reform of Educational System (hereafter
1985 Decision) by the CCP Central Committee in 1985 marks the rst
comprehensive reform in Chinese higher education sector. The 1985 Decision
stated that the key to restructuring higher education lies in eliminating
excessive government control over schools and higher education institutions
and, under guidance of the state policies and plans in education, extending
the decision-making power of the colleges and universities and strengthening
their ties with production units, scientific research institutions, and
similar sectors, so that they will have the initiative and the ability to serve
economic and social development (CCPCC 1985). The Outline for Reform
and Development of Education in China issued by the Communist Party
of China in 1993 identied the reduction of centralization and government
control in general as the long-term goals of reform (CCPCC 1993). The
government began to play the role of “macro-management through legislation,
allocation of funding, planning, information service, policy guidance and
essential administration”.10
Walaupun mendesentralisasikan pendidikan, namun pemerintah
RRC tidak lepas tangan sepenuhnya dari pendidikan. Pemerintah
campur tangan dalam hal pengelolaan makro melalui legislasi,
alokasi dana, perencanaan, bimbingan layanan informasi, panduan
kebijakan, dan hal-hal administratif yang penting. Uniknya, negara
tidak hanya memberi kesempatan kepada institusi pendidikan
swasta (dikenal dengan istilah minban) untuk berperan dan
kemudian melepaskannya sendirian. Negara juga ikut berperan
10
Ka Ho Mok, Education Reform and Education Policy in East Asia (New York: Routledge,
2006), 103.
560
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
bersama sektor swasta melalui institusi pendidikan yang dijalankan
bersama antara negara dan swasta. Model ini diistilahkan sebagai
guoyou minban, sebagaimana dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2
Pengelolaan Pendidikan oleh Negara dan Swasta di RRC11
State-owned and
people-run
(guoyou minban) school
Public
education
Private
education
Minban
education
Model pengelolaan pendidikan di RRC menunjukkan kendati
ada pergeseran pemahaman yang cukup signikan mengenai peran
swasta, namun RRC tetap tidak menyerahkannya pada mekanisme
pasar. Alih-alih melepaskan swasta mengambil alih pendidikan, RRC
justru menciptakan varian model dimana negara dan sektor swasta
dapat bersama-sama menjalankan institusi pendidikan. Penelitian
Ka Ho Mok pun menunjukkan bahwa kendati arus liberalisasi
cukup besar di regional Asia Tenggara dan Asia Timur, namun
tidak seluruh negara melemahkan perannya terhadap pendidikan
dan membiarkan mekanisme pasar yang bekerja. Beberapa negara,
seperti Singapura, tetap mempertahankan peran negara sebagai
bagian terpenting dalam pendidikan sebagaimana dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
11 Ibid, 112.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
561
Tabel 1
Perbandingan Peranan Negara, Pasar, dan Masyarakat Sipil
dalam Penyediaan dan Pembiayaan Pendidikan
di Asia Tenggara dan Asia Timur12
Hong Kong Singapore Taiwan South Korea Japan China
State + + + + + + +– +–
Market + + + + + + + + + + + + + +
Civil society ↑ ↑ ↑↑ ↑↑ ↑↑ ↑↑
Notes
+++ very important role.
+ + important.
+ increasingly important.
+ reducing in importance.
emerging.
↑↑ growing in inuence.
Pada umumnya negara-negara di Asia Tenggara dan Asia Timur
tersebut adalah negara yang dikenal di Asia memiliki kualitas
pendidikan yang baik. Dalam hal ekonomi negara-negara tersebut
juga condong pada sistem pasar. RRC sekalipun, yang merupakan
negara komunis, tetapi menjadi salah satu anggota WTO. Jika melihat
bagaimana beberapa negara tetap memandang penting peranannya
dalam penyediaan dan pembiayaan pendidikan, sementara beberapa
negara lain mengurangi perannya serta memberikan peran yang
sangat penting bagi pasar, maka dapat diindikasikan bahwa
liberalisasi pendidikan tidak monolitik di Asia.
Tidak monolitiknya proses liberalisasi pendidikan, dimana
beberapa negara masih menggantungkan peran negara agar terlibat
cukup aktif dalam pendidikan, disebabkan pendidikan memiliki
peran yang amat vital dalam proses pembentukan kesadaran
manusia-manusia di negara tersebut. Dalam pandangan Althusser,
nilai-nilai, hasrat, dan preferensi ditanamkan melalui praktik ideologi.
Praktik ideologi terdiri dari bermacam-macam institusi, diistilahkan
sebagai Ideological State Apparatus, yang mencakup keluarga,
agama, media, dan yang lebih penting lagi, sistem pendidikan.
12
Ibid, 214.
562
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
Pengaruh sistem pendidikan sebagai praktik ideologi yang
membentuk kesadaran menjadikan sistem pendidikan memiliki
nilai urgensi dalam nation and character building. Negara yang sadar
benar bahwa globalisasi akan membawa kebudayaan menjadi
satu kebudayaan tunggal yang global dan bersifat berorientasi
pasar tentunya akan berusaha ikut campur tangan dalam sistem
pendidikan. Peran negara dan tanggung jawabnya semata-mata
bukan hanya menjadi beban agar biaya pendidikan tidak menjadi
lebih mahal. Itu semua mengandung misi penyelamatan proses
pembangunan karakter manusia yang berkebudayaan.
Oleh karena itu penting kiranya negara di era globalisasi tidak
serta merta menerima asumsi-asumsi globalisasi. Penyeragaman
dunia oleh globalisasi, melalui keanggotaan dalam wadah WTO
dan legislasi undang-undang yang mengadopsi nilai-nilai globalisasi
tentunya tidak dapat diterima begitu saja. Namun Indonesia di
bidang pendidikan demi menciptakan kondisi pendidikan yang
esien, kompetitif, dan berorientasi konsumen telah menjalankan
liberalisasi pendidikan sebagaimana yang diinginkan oleh GATS.
C. liBerAlisAsi PendidikAn di indonesiA: dAri Bhmn
hinGGA BhP
Amandemen UUD 1945 merupakan babak baru bagi dunia
ketatanegaraan dimana proses amandemen yang dilakukan sebanyak
empat kali tersebut telah membawa perubahan isi yang begitu
banyak pada UUD 1945. Terkait dengan pendidikan, amandemen
UUD 1945 juga membawa perubahan yang cukup signikan dan
memberikan kandungan paradigmatik yang menarik untuk dibahas.
UUD 1945 sebelum amandemen mengatur masalah pendidikan
dalam Pasal 31 yang berisi dua ayat yang cukup ringkas, yaitu:
(1) Tiap-tiap Warganegara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
563
Pasal 31 berada pada bab yang sama, Bab XIII, dengan Pasal
32 yang mengatur mengenai kebudayaan nasional.13 Bab XIII
diberi nama bab Pendidikan. Pengelompokan ini menunjukkan
bahwa the founding parents sudah sangat sadar bahwa pendidikan
dan kebudayaan merupakan sisi mata uang yang tidak mungkin
dipisahkan. Pendidikan merupakan cara menciptakan manusia
Indonesia yang berkebudayaan.14
Pasca amandemen Pasal 31 mengalami perubahan besar dimana
mendapatkan tiga tambahan ayat dan adanya perubahan pemakaian
istilah ‘pengajaran’ menjadi ‘pendidikan’. Adapun lengkapnya Pasal
31 UUD 1945 menjadi sebagai berikut:
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31 pun berada dalam satu bab, Bab XIII, dengan Pasal
32 yang mengatur tentang kebudayaan. Hal ini menunjukkan bahwa
perumus amandemen UUD 1945 tidak menggeser pandangannya
dari pandangan founding parents yang meyakini bahwa pendidikan
dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Bahwa pendidikan
13 Pasal 32 UUD 1945: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
14 Namun di tataran implementasinya, di era reformasi, bidang kebudayaan justru dijadikan
satu dengan pariwisata dalam Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Seolah-olah
kebudayaan bangsa ini hanyalah komoditas untuk dijual di pariwisata. Hal ini menunjukkan
sesat pikir pengambil kebijakan yang tidak melihat secara historis bahwa telah sejak
awal negara ini berdiri telah disadari bahwa kebudayaan dan pendidikan tak dapat
dipisahkan.
564
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
adalah instrumen dalam menciptakan manusia Indonesia yang
berkebudayaan merupakan suatu keniscayaan.
Prinsip penting yang dibawa melalui amandemen adalah negara
menegaskan posisinya sebagai aktor yang berperan aktif dalam
memajukan pendidikan. Penegasan hal tersebut dapat dilihat pada
ayat (2) yang mewajibkan warganeara mengikuti pendidikan dan
pemerintah wajib membiayai. Selain itu, di ayat (4) ditegaskan
bahwa politik anggaran dalam UUD 1945 memberikan porsi yang
cukup besar bagi pendidikan. Ayat (4) mengatur bahwa anggaran
pendidikan di negara ini proporsinya sekurang-kurangnya dua
puluh persen (20%) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Selain ayat (2) dan (4), ayat (1) dan (3) menunjukkan
hubungan yang jelas antara warganegara dan pemerintah dalam
suatu sistem pendidikan. Negara di ayat (1) menjamin bahwa
setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan. Artinya,
jangan sampai warganegara kesulitan mengakses pendidikan
apalagi haknya tidak dapat dipenuhi karena ia tidak mampu
membayar. Sedangkan di ayat (3) ditegaskan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari dua ayat
ini dapat disimpulkan bahwa untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa maka sistem pendidikan nasional yang diusahakan dan
diselenggarakan sebaiknya adalah sistem yang tidak menghalangi-
halangi warganegara untuk mendapatkan haknya.
Sistem pendidikan nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945
kemudian disusun melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS). Undang-
undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Walaupun UUD 1945 hasil
amandemen tidak banyak menggeser prinsip-prinsip dalam hal
pendidikan, namun di tataran undang-undang terjadi pergeseran
prinsip penyelenggaraan pendidikan. Pergeseran yang utama adalah
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
565
dalam hal otonomi institusi pendidikan, pemberdayaan masyarakat,
munculnya penyeragaman format institusi pendidikan, dan prinsip
“pintu terbuka” bagi pendidikan asing. Berikut ini akan dijelaskan
empat pergeseran tersebut.
Pertama, pergeseran dalam hal otonomi institusi pendidikan,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di bagian Penjelasan
menegaskan bahwa pembaharuan sistem pendidikan memerlukan
strategi tertentu. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 salah satunya meliputi
pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan. Hal ini jelas berbeda
jika dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang mengatur
secara terpusat (sentralisasi), walaupun penyelenggaraan satuan
dan kegiatan pendidikan didesentralisasikan.
Otonomi institusi pendidikan tersebut sudah dimulai sejak
munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang
Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum (PP
No.61/1999). Konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang
dilandasi oleh PP No. 61/1999 ini memberikan otonomi bagi
Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berubah menjadi BHMN.
Otonomi yang diberikan ternyata berujung pada mahalnya biaya
studi di PTN yang berlabel BHMN.15
Munculnya otonomi perguruan tinggi negeri berformat BHMN
yang berlandaskan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) di tahun
1999 merupakan hal yang patut dipertanyakan pula. Format BHMN
tersebut serupa dengan BHP yang kemudian undang-undangnya
dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi. Terminologi
Badan Hukum Pendidikan sendiri baru muncul di Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Artinya,
pintu masuk liberalisasi pendidikan melalui otonomi perguruan
tinggi negeri telah dibuka tahun 1999, sebelum adanya undang-
undang yang mengatur BHP. Fakta ini melahirkan sebuah proposisi
15 Pendidikan Tinggi Ikuti Mekanisme Pasar, Kompas, 12 Juli 2011.
566
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
bahwa ambruknya Orde Baru telah membuka babak baru bagi
liberalisasi pendidikan.
Kedua, terkait dengan pemberdayaan masyarakat Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 menempatkan masyarakat sebagai
pihak yang perlu diberdayakan peran sertanya secara aktif dalam
pendidikan. Dibandingkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989,
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengatur secara lebih rinci
mengenai apa dan bagaimana peran serta masyarakat tersebut.
Misalnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 berikut
ini:
Pasal 8
Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Pasal 9
Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Bukti bahwa pembuat undang-undang memiliki perhatian
khusus mengenai peran serta masyarakat dalam pendidikan nasional
dapat dilihat pada jangkauan yang sangat luas dari apa yang disebut
masyarakat. Jangkauan peran serta masyarakat dalam pendidikan
tersebut diatur dalam Pasal 54 sebagai berikut:
(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan.
(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan
pengguna hasil pendidikan.
(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Dibukanya peran serta masyarakat secara luas merupakan
contoh konkrit liberalisasi yang terjadi dimana negara mulai
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
567
diminimalkan sementara masyarakat sipil justru dikuatkan.16
Ketika liberalisasi masuk ke ranah pendidikan, maka peran serta
masyarakat dalam pendidikan ditumbuhkan dan perlahan-lahan
negara hanya menjadi regulator saja. Tanggung jawab terhadap
pendidikan pun akhirnya beralih dari negara ke masyarakat. Oleh
karena itu pendukung liberalisasi selalu menginginkan masyarakat
sipil yang kuat untuk menopang dirinya sendiri. Contoh konkrit
bagaimana liberalisasi pendidikan berimplikasi terhadap tanggung
jawab negara dalam bidang pendidikan, terutama dalam hal
pendanaan, adalah ketika anggaran pendidikan di India dalam
10 tahun terakhir menurun dari 4,4% menjadi 2,75%.17 Hal yang
sama pun dapat terjadi di Indonesia karena tren liberalisasi negara
kesejahteraan yang terjadi di dunia.18
Ketiga, munculnya penyeragaman format institusi pendidikan
yaitu dalam bentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP). Format BHP
merupakan kelanjutan dari format Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang sebelumnya digunakan oleh beberapa Perguruan
Tinggi Negeri (PTN). Namun format BHP dalam UU SISDIKNAS
bukan hanya untuk PTN saja. Format BHP juga ditujukan untuk
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan seluruh tingkat satuan
pendidikan. Sasaran tersebut dapat disimpulkan dari ketentuan
Pasal 53 berikut:
(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip
nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan
satuan pendidikan.
(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-
undang tersendiri.
16 Anthony Giddens, Op.cit.
17 Andrianto Soekarnen, “Dari Sapi Sampai Orang Asing”, http://www.majalahtrust.com/
liputan_ khusus/liputan_ khusus/367.php
18 Mengenai gejala terjadinya liberalisasi negara kesejahteraan lihat Jimly Asshiddiqie,
Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta: Sekretariat Jenderal Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006), 65.
568
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (UU BHP) yang khusus mengatur tentang BHP kembali
menegaskan bahwa format BHP berlaku di tiap satuan pendidikan,
baik satuan pendidikan milik negara maupun milik swasta. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 3, bahwa:
Badan hukum pendidikan bertujuan memajukan pendidikan nasional dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah dan otonomi perguruan tinggi pada jenjang pendidikan
tinggi.
Permasalahan yang timbul dengan adanya penyeragaman
format ini adalah tentang bagaimana nasib institusi pendidikan
swasta yang sudah berbentuk Yayasan, Perkumpulan ataupun
bentuk lainnya. UU BHP mengatur adanya masa peralihan bagi
institusi pendidikan tersebut. Yayasan, perkumpulan, atau badan
hukum lain yang menyelenggarakan pendidikan diberikan waktu
sebagai masa transisi selama 6 (enam) tahun untuk menjadi BHP.19
Walaupun UU BHP mengakui eksistensi institusi pendidikan
swasta dengan berbagai macam bentuknya, namun melalui UU
BHP pula terjadi penyeragaman bagi institusi pendidikan swasta
tersebut. Seluruh institusi pendidikan swasta justru “dipaksa”
untuk mengubah bentuknya menjadi BHP. Mahkamah Konstitusi
dalam uji materiil terhadap UU SISDIKNAS dan UU BHP memiliki
pendapat yang sama tentang pentingnya mempertahankan eksistensi
keanekaragaman penyelenggara pendidikan di Indonesia. Usaha
penyeragaman justru menjadi langkah mundur seperti halnya di
masa Orde Baru yang menekankan keseragaman. Terkait hal ini,
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan 11-14-21-126 dan 136/PUU-
VII/2009 berpendapat bahwa:
“…Mahkamah tidak menemukan alasan yang mendasar diperlukannya
penyeragaman penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat dalam bentuk badan hukum pendidikan sebagaimana diatur dalam
UU BHP. Keperluan praktis dalam pengawasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan tidak cukup menjadi alasan pembenar untuk mengurangi hak
19 Lihat Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
569
konstitusional warga negara. Asumsi pemerintah bahwa dirinya dapat secara
praktis mengawasi penyelenggara pendidikan tersebut untuk jangka waktu
yang lama justru dapat menguras energi karena kesibukan administratif yang
luar biasa, sehingga pemerintah akan kehabisan waktu untuk mengawasi
apakah penyelenggara pendidikan di seluruh pelosok Indonesia telah sesuai
dengan ketentuan UU BHP ataukah tidak. Pekerjaan ini dapat menyita
perhatian pemerintah yang justru seharusnya difokuskan untuk berusaha
membuka kesempatan agar warga negara dapat menikmati pendidikan
secara luas.”20
Selain itu Mahkamah Kontitusi juga berpendapat bahwa
prinsip nirlaba dalam BHP tidak serta merta menjauhkan institusi
pendidikan menjadi jauh dari komersialisasi. Suatu institusi
pendidikan mungkin saja bersifat nirlaba, tidak bermaksud
mendapatkan keuntungan, tetapi tidak kemudian membuat institusi
tersebut tidak bersifat komersial. Sifat komersial dalam institusi
pendidikan yang bersifat nirlaba dapat saja terjadi ketika institusi
pendidikan (terutama milik negara) yang otonom dalam mengelola
pendanaan pada akhirnya harus menaikkan biaya pendidikan demi
memenuhi kebutuhan pengeluaran institusi. Hal ini disebabkan
ketidakmampuan PTN menggali dana secara maksimal dari usaha
non pendidikan.21
Logika ekonomi dalam UU BHP dapat dilihat pula dalam aturan
tentang kepailitan. Berdasarkan Pasal 57 UU BHP, salah satu alasan
BHP dapat dibubarkan dengan putusan pengadillan berkekuatan
hukum tetap adalah dengan alasan dinyatakan pailit. Tidak ada
pengaturan dalam UU BHP tentang pihak/institusi apa yang dapat
mengajukan permohonan pernyataan pailit. Hal ini menunjukkan
20 Lihat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009”, http://www.
mahkamahkonstitusi. go.id%2Fputusan%2FPutusan%2520 Perkara%2520No.11-14-
21-126%2520-136PUU-VII-2009.pdf&rct=j&q=Putusan%2011-14-21-126%20dan%20136
%2FPUU-VII%2F2009&ei=BY8eTuD ZNJDSrQeKwrCiAg&usg=AFQjCNGTeUfRqT6dnqq
cZqJdNU69N-xGxg &sig2=AWJD7WhnrYNhlyzDdJWYgQ &cad=rja
21 Beberapa PTN menolak biaya masuk saat ini disebut mahal. Bagi beberapa PTN, biaya
unit per mahasiswa untuk satu tahunnya menghabiskan Rp. 20 juta. Biaya tersebut
dibutuhkan untuk pengembangan perguruan tinggi dalam hal laboratorium, perpustakaan,
penelitian, ruang kuliah, dan lain-lain. Di saat yang sama subsidi bagi beberapa PTN
tidak lagi besar karena otonomi yang diberikan dalam bentuk BHMN. Lihat Pendidikan
Tinggi Ikuti Mekanisme Pasar, Op,cit.
570
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
bahwa mekanisme pasar dibiarkan berjalan sendiri dalam dunia
pendidikan.22 Tidak ada perlindungan yang nyata terhadap BHP
dari ancaman kepailitan. Yang dibiarkan berlaku adalah logika
ekonomi pasar, laissez faire.
Mahkamah Konstitusi sendiri dalam Putusan 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa yang dimaksud ‘badan
hukum pendidikan’ dalam Pasal 53 UU Sisdiknas kontitusional
sepanjang dimaknai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan
belaka dan bukan merujuk pada bentuk badan hukum tertentu.
Sedangkan Penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU Sisdiknas yang mengatur
bahwa badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan
hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara
lain, berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dinyatakan
oleh Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan UU
BHP dinyatakan pula bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut
menunjukkan bahwa sebenarnya format BHP bukan hanya
merupakan bentuk pemaksaan keseragaman institusi pendidikan.
Keseragaman tersebut juga ditujukan untuk mengarahkan seluruh
institusi pendidikan yang semula beranekaragam untuk masuk
dalam logika dan mekanisme yang seragam, yaitu logika dan
mekanisme pasar.
Pergeseran keempat yang terjadi dan diatur dalam UU
SISDIKNAS adalah kebijakan ‘pintu terbuka’ bagi pendidikan asing.
Jika mengacu pada undang-undang sebelumnya, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam
Pasal 54 ayat (2), (3), dan (4) mengatur perihal pendidikan asing
dan peserta didik warga negara asing dengan ketentuan sebagai
berikut:
22 Mahkamah Kontitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009”, Op.cit.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
571
(1) Satuan pendidikan yang diselenggarakan di wilayah Republik Indonesia
oleh perwakilan negara asing khusus bagi peserta didik warga negara
asing tidak termasuk sistem pendidikan nasional.
(2) Peserta didik warga negara asing yang mengikuti pendidikan di satuan
pendidikan yang merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
wajib menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi dan dari satuan
pendidikan yang bersangkutan.
(3) Kegiatan pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka kerja sama
internasional atau yang diselenggarakan oleh pihak asing di wilayah
Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang
ini dan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tersebut
menunjukkan bahwa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 perihal pendidikan asing telah dipikirkan oleh
pembuat undang-undang. Dan kebijakan yang diterapkan pada
saat itu adalah dengan mengklasikasikan tiga lembaga pendidikan
asing. Jenis pertama yaitu lembaga pendidikan yang diselenggarakan
oleh perwakilan negara asing dan ditujukan bagi warga negara
yang bersangkutan. Jenis yang kedua bukanlah murni lembaga
pendidikan asing namun pendidikan yang diselenggarakan atas
kerjasama dengan pihak asing. Sedangkan yang ketiga adalah yang
diselenggarakan oleh pihak asing dan tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan nasional.
Agar tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, undang-
undang yang telah ada sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor
48/PRP/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran
Asing mengatur beberapa pembatasan dan kontrol terhadap
lembaga pendidikan asing. Tiga contoh kontrol dan pembatasan
tersebut adalah:
1. Sekolah asing tidak diperkenankan memberikan pendidikan lebih tinggi
dari pendidikan menengah, dengan pengecualian dapat menyelenggarakan
pendidikan kejuruan khusus dengan lama belajar satu tahun namun
tetap dengan persetujuan pemerintah (Pasal 5).
2. Sekolah asing hanya ditujukan bagi orang asing (Pasal 6).
572
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
3. Sekolah asing hanya dapat menyelenggarakan pendidikan di tempat
yang ditunjuk oleh menteri, dalam konteks saat itu adalah Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Pasal 13).
Dengan diberlakukannya UU Sisdiknas bukan hanya
menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 sehingga
undang-undang tersebut tidak berlaku lagi. UU SISDIKNAS juga
sekaligus menyatakan Undang-Undang Nomor 48/PRP/1960 tidak
berlaku. Perihal pendidikan asing dalam UU Sisdiknas diatur lebih
detil ketimbang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Pasal 65
mengatur perihal pendidikan asing sebagai berikut:
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di
negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah
wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta
didik warga negara Indonesia.
(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga
pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara
Indonesia.
(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara
lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 65 tersebut terdapat
beberapa pergeseran prinsip memandang pendidikan asing.
Beberapa di antaranya adalah:
1. Tidak ada lagi pembatasan tempat penyelenggaraan pendidikan.
2. Tidak ada lagi pembatasan tingkat satuan pendidikan yang dapat
diselenggarakan oleh pendidikan asing.
3. Kegiatan pendidikan asing bukan lagi ditujukan hanya untuk warga
negara asing, namun juga untuk warga negara Indonesia (ayat 2).
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
573
4. Kegiatan pendidikan asing dapat menggunakan sistem pendidikan asing
di negara Indonesia (ayat 4).
Dibukanya kesempatan yang luas bagi pendidikan asing
merupakan buah dari pemikiran liberalisasi pendidikan dan
perdagangan pendidikan non intervensionis yang dicetuskan
oleh WTO. WTO mengenal adanya 4 modus penyediaan layanan
pendidikan yaitu: (a) cross-border supply, yaitu penyediaan jasa
pendidikan secara distance learning yang melewati batas antar
negara; (b) consumption abroad, yaitu mengirimkan siswa atau
mahasiswa ke lembaga pendidikan di luar negeri; (c) commercial
presence, PT luar negeri membuka kampus di satu negara; dan (d)
presence of natural persons, tenaga pengajar asing mengajar pada
lembaga pendidikan lokal. Seperti yang dilakukan oleh berbagai
negara, menurut Soan Effendi, Indonesia condong kepada mode 3
yaitu commercial presence.23 Mode commercial presence pada akhirnya
menempatkan Indonesia hanya sebagai pasar bagi lembaga-lembaga
pendidikan guna meraih keuntungan sebesar-besarnya.
d. kesimPulAn
Liberalisasi pendidikan telah nyata di Indonesia melalui otonomi
intitusi pendidikan, minimalisasi negara dan maksimalisasi peran
masyarakat, format BHP, dan politik ‘pintu terbuka’ bagi pendidikan
asing. Liberalisasi pendidikan tersebut bermuara pada melemahnya
tanggung jawab negara terhadap pendidikan. Indonesia perlahan-
lahan mulai meninggalkan paradigma negara kesejahteraan menuju
negara pasar bebas, pasar bebas dalam hal apapun termasuk
pendidikan. Ketika pendidikan diserahkan pada mekanisme pasar
dan negara mengalihkan tanggung jawabnya pada masyarakat
maka pendidikan pun makin tak terbeli.
Otonomi institusi pendidikan ternyata membuat pendidikan
makin tak terjangkau karena institusi yang otonom tidak memiliki
23 Soan Effendi, “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, diskusi GATS: Neo-Imperialisme
Modern dalam Pendidikan oleh BEM-KM UGM, 22 September 2005, 5.
574
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
pilihan dalam membiayai dirinya selain melalui pemasukan dari
peserta didik. Diintrodusirnya peran masyarakat dalam pendidikan
sungguh merupakan hal yang demokratis dan mulia. Namun apalah
artinya jika masyarakat diperkuat untuk menanggung pendidikan
sementara negara melemahkan dirinya sendiri. Jika demikian ke
mana tanggung jawab negara yang diamanatkan dalam Pasal 31
UUD 1945?
Mahkamah Konstitusi telah menyelamatkan pendidikan dengan
memutus salah satu mata rantai liberalisasi pendidikan, yaitu UU
BHP. Mahkamah Konstitusi secara jeli telah melihat bahwa format
BHP yang menyeragamkan seluruh bentuk penyelenggaraan
pendidikan, baik negeri dan swasta, adalah bertentangan dengan
UUD 1945. Dan sebenarnya, penyeragaman format penyelenggara
pendidikan semata merupakan upaya untuk membawa institusi
pendidikan dalam logika yang seragam, yaitu logika pasar. Namun
perkembangan ini masih menyisakan pertanyaan atas status PTN
yang telah menjadi BHMN. Dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (1)
UU Sisdiknas, yang telah dinyatakan Mahkamah Kontitusi tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, jelas disebutkan bahwa
format BHP merupakan landasan hukum bagi penyelenggara
pendidikan dan salah satunya adalah BHMN. Dengan demikian
institusi pendidikan negeri yang otonom dan berformat BHMN
masih eksis hingga saat ini (dengan dasar hukum pembentukannya
berdasarkan PP No.61/1999) dan di saat yang sama institusi
pendidikan negeri berformat BHMN tersebut telah mengakibatkan
mahalnya biaya pendidikan, terutama bagi pendidikan tinggi.24
Indikasi liberalisasi pendidikan lainnya, yaitu masuknya
pendidikan asing di Indonesia, sebenarnya dapat menjadi produktif
bagi Indonesia dalam hal transfer knowledge. Namun mode commercial
presence yang dipakai mengakibatkan negara ini hanyalah menjadi
pasar bagi lembaga-lembaga pendidikan asing. Akhirnya yang terjadi
adalah komersialisasi pendidikan dengan merek luar negeri.
24 Lihat Biaya Masuk PTN Dikeluhkan, 94 Persen Mahasiswa dari Keluarga Mampu, Kompas, 11
Juli 2011.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
575
Kenyataan ini memunculkan pertanyaan besar: sesungguhnya
pendidikan di negara ini untuk siapa? Negara telah mulai
melepaskan tanggung jawabnya atas pendidikan melalui liberalisasi
pendidikan atas dasar imperatif pasar bebas dan globalisasi melalui
WTO dan GATS. Apakah mungkin amanat mencerdaskan kehidupan
bangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 diserahkan pada
mekanisme pasar? Oleh karena itu perlu perubahan paradigmatik
terkait tanggung jawab negara dalam pendidikan dan hal itu hanya
dapat dilakukan melalui perubahan yang juga paradigmatik dalam
peraturan perundang-undangan yang terkait.
576
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
dAFTAr PusTAkA
Buku:
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,
2006.
Giddens, Anthony. Third Way, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi
Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Mok, Ka Ho. Education Reform and Education Policy in East Asia.
New York: Routledge, 2006.
Murtiningsih, Siti. Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal
Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
Olssen, Mark, et al. Education Policy: Globalization, Citizenship and
Democracy. London: SAGE, 2004.
Tondowidjojo, John. Selecta Giornalista. Surabaya: Yayasan Sanggar
Bina Tama, 2009.
Vlk, Ales. Higher Education and GATS: Regulatory Consequences and
Stakeholders’ Responses. Enschede: CHEPS, 2006.
Winch, Christopher and John Gingell. Philosophy of Education: The
Key Concepts, Second Edition. New York: Routledge, 2008.
Makalah:
Effendi, Sofian. “Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan
Tinggi”, Jakarta, 2 Mei 2005, 2.
-------, “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Yogyakarta, 22
September 2005, 5.
Joesoef, Daoed, “Asal Usul Kecerdasan Manusia”, Jakarta, 17
Februari 2011, 9.
Mengembalikan Tanggung Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik Terhadap Liberalisasi
Pendidikan dalam UU SISDIKNAS dan UU BHP
577
Internet:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 11-14-21-126 dan 136/
PUU-VII/2009”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id
%2Fputusan% 2FPutusan%2520 Perkara%2520No.11-14-21-
126%2520-136PUU-VII-2009.pdf&rct= j&q=Putusan% 2011-14-21-
126%20dan%20136%2FPUU-VII%2F2009 &ei=BY8eTuDZ NJDSr
QeKwrCiAg&usg= AFQjCNGTeUfRqT6dnqqcZqJdNU69N-
xGxg&sig2=AW JD7WhnrYNhlyzDdJWYgQ&cad=rja (diakses
2 Juli 2011).
Soekarnen,Andrianto, “Dari Sapi Sampai Orang Asing”, http://
www.majalahtrust.com/liputan_ khusus/liputan_ khusus/367.
php (diakses 2 Juli 2011).
Surat Kabar:
Kompas, Biaya Masuk PTN Dikeluhkan, 94 Persen Mahasiswa dari
Keluarga Mampu, 11 Juli 2011.
Kompas, Pendidikan Tinggi Ikuti Mekanisme Pasar, 12 Juli 2011.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 48/Prp/1960 tentang Pengawasan
Pendidikan dan Pengajaran Asing.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional.
578
Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 4, Agustus 2011 ISSN 1829-7706
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi Negeri sebagai Badan Hukum.
... This plurality is dangerous for the integrity of the nation not because of the plurality itself, but because of what people think about this plurality. If plurality is thought of as a threat, or those who are different are seen as the others who are marginalized, then the integrity of this nation is threatened (Nalle, 2011). ...
Article
Full-text available
em> This study set out to address the question, "How is the future legal construction of the pattern of implementing inclusive, specialized, and equal Education for Persons with Disabilities in Indonesia?" The normative issue of how disabled people in Indonesia are often managed inspired this study. The Law on the Education System and the Law on Disabilities both include ambiguous principles on inclusive and special (segregated) education. The Statute Approach method was used to conduct this normative assessment of the law. The study's findings suggest that moving forward, Indonesia will revise legal norms in both laws and the integration of special schools and regular schools by establishing special units in regular schools to accommodate students with disabilities, all with the goal of achieving full inclusive education for people with disabilities. This may be done in increments, on a continuous basis, and using metrics based on the state of Indonesia's infrastructure right now </em
Article
Full-text available
The policy of state universities to increase the Single Tuition Fee (Uang Kuliah Tunggal, hereinafter UKT) has an impact on the community's ability to access higher education. This is because the higher the UKT, the more difficult it will be for the community to access education at the State Universities. This study establishes two problem formulations. First, how is the guarantee of the fulfillment of citizens' constitutional rights through the regulation of UKT financing? Second, how is the reconstruction of the legal policy for increasing UKT so that it provides a sense of justice for the community based on the concept of the state's constitutional responsibility? This study is normative with a conceptual approach and laws and regulations. The results of the study conclude two points. First, the high UKT imposed on the community is a form of neglect of the state's constitutional responsibility to fulfill citizens' constitutional rights to education. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia expressly regulated the allocation of a large budget for the fulfillment of accessible education, especially for the State Universities. Second, the government needs to reconstruct the legal policy so that UKT is in line with the mandate of the constitution by evaluating regulations and arranging the distribution and refocusing of the higher education budget. The short-term policy that needs to be carried out is to change Permendikbudristek No. 2 of 2024 which is the legal basis for the increase in UKT. Then, long-term policies need to evaluate the status of PTN-BH (the State Universities-Legal Entity) as stated in Law No. 12 of 2012 and Government Regulation No. 26 of 2015 in conjunction with Government Regulation No. 8 of 2020.Keywords: Right to Education, State Responsibility, Single Tuition Fee AbstrakKebijakan perguruan tinggi negeri yang menaikkan tarif uang kuliah tunggal (UKT) berdampak terhadap kemampuan masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi. Sebab, semakin tinggi UKT akan menyulitkan masyarakat dalam mengakses pendidikan di PTN. Penelitian ini menetapkan dua rumusan masalah. Pertama, bagaimana jaminan pemenuhan hak konstitusional warga negara melalui pengaturan pembiayaan UKT? Kedua, bagaimana rekonstruksi kebijakan hukum kenaikan UKT supaya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat berdasarkan konsep tanggung jawab konstitusional negara? Penelitian ini bertipe normatif dengan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan. Hasil penelitian menyimpulkan dua poin. Pertama, tingginya UKT yang dibebankan kepada masyarakat merupakan bentuk pengabaian tanggung jawab konstitusional negara untuk memenuhi hak konstitusional warga negara atas pendidikan. UUD NRI 1945 telah mengatur secara tegas adanya alokasi anggaran yang besar untuk pemenuhan pendidikan yang aksesibel, terutama untuk PTN. Kedua, pemerintah perlu melakukan rekonstruksi kebijakan hukum supaya UKT sejalan dengan amanat konstitusi dengan melakukan evaluasi regulasi serta menata distribusi dan refocusing anggaran pendidikan tinggi. Kebijakan jangka pendek yang perlu dilakukan adalah mengubah Permendikbudristek No. 2 Tahun 2024 yang menjadi dasar hukum kenaikan UKT. Kemudian, kebijakan jangka panjang perlu mengevaluasi status PTN-BH yang tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2012 dan PP No. 26 Tahun 2015 jo. PP No. 8 Tahun 2020.Kata Kunci: Hak Atas Pendidikan, Tanggung Jawab Negara, Uang Kuliah Tunggal
Book
Full-text available
Terima kasih kepada sahabat Nyarwi Ahmad dari FISIPOL UGM, yang terus menerus rumahnya yang kondusif dijadikan markas episteme, bersama Mas Junaidin dari LPMP Kalimantan Tengah, Mas Rohman-yang sekarang fokus menekuni studi terkait Mojokuto, dan Pak Slamet, serta kedamaian di ketinggian Kaliurang-dekat Merapi, buku ini hasil interaksi kami. Saya selalu merindukan suasana seperti ini, ritme kerja yang meledak-ledak, bahan pustaka tidak pernah kering, bersama-sama dengan diskusi kalian yang hangat: dari kelaparan di tengah-tengah malam (kemudian memesan melalui daring) dan pagi-pagi bercocok tanam sekitar rumah dengan bekal informasi dari berbagai kanal internet. Kami komunal di tengah globalisasi, masyarakat agraris dipinggiran peradaban kota. Buku ini saya persembahkan, untuk persahabatan hidup bersama-sama yang hangat dengan mereka.
Article
Full-text available
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis peran Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menentukan lima kebijakan pokok dalam negara kesejahteraan di Indonesia berdasarkan putusannya. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian mengungkapkan terdapat peran Mahkamah Konstitusi ketika memutus perkara uji konstitusional lima Undang-Undang terkait lima kebijakan pokok dalam negara kesejahteraan; yaitu: perkara uji konstitusional Undang-Undang: (i) Ketenagakerjaan, (ii) Sistem Pendidikan Nasional, (iii) Kesehatan, (iv) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan (v) Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Book
Full-text available
The dream of all proponents of world trade without barriers came much closer to its fulfillment when the World Trade Organization (WTO) was finally brought into existence in Marrakech, Morocco, as a result of the `Uruguay Round¿1 of multilateral trade negotiations between national governments, taking place from 1986 till 1994. The WTO agreement was signed on 15 April 1994 and entered into force on 1 January 1995. Together with the General Agreement on Trade and Tariffs (GATT), existing since 1947 and dealing with goods, two more agreements are now administered by the WTO: the General Agreement on Trade in Services (GATS) and the Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). As a result of the Uruguay Round a range of service sectors were selected for further liberalization including educational services. The main objective of GATS remains the same as it has been for GATT - progressive liberalization should be achieved through subsequent rounds of negotiations. During these negotiations the WTO member states are expected to take on various levels of obligations to reduce barriers in respective service sectors.
Book
‘Education policy is now a global matter and all the more complex for that. Mark Olssen, John Codd and Ann-Marie O’Neill do us an invaluable service in producing a carefully theorised guide to current issues and key concerns - this is an important, erudite and very practical book’ - Stephen J Ball, Education Policy Research Unit, University of London ‘Given the global reach of neoliberal policies, we need cogent books that enable us to better understand the major effects such tendencies have. Education Policy is such a book. It is insightful and well written--and should be read by all of us who care deeply about what is happening in education in international contexts’ - Michael W Apple, Author of ‘Educating the "Right" Way and John Bascom Professor of Education University of Wisconsin, Madison ‘I really am taken with the book, the range and depth of analysis are truly impressive. This book is a magnum opus and everyone in the area should read it’- Hugh Lauder, University of Bath ‘In their insightful and comprehensive book on education policy Mark Olssen, John Codd and Anne-Marie O’Neill wrestle with the big questions of citizenship and democracy in an age of globalization. They argue that ducation policy in the 21st century is the key to security, sustainability and survival. The book, anchored in the poststructuralist perspective of Michel Foucault, traverses the whole territory of education policy not only methods and approaches of policy analysis and the dominant political perspectives that influence policy-classical liberalism, social democracy and neo-liberalism--but also those policy areas that require the closest scrutiny: markets, trust, professionalism, choice, diversity, and finally, community, citizenship and democracy. This is the new policy bible for educationalists - it is at once systematic, provocative and instructive’ - Michael A Peters, Research Professor, University of Glasgow This book provides an international perspective on education policy, and of the role and function of education in the global economy. The authors present a Foucauldian perspective on the politics of liberal education, within a theoretical framework necessary for the critical analysis of education policy. The authors set out the analyses necessary for understanding the restructuring in education and social policy that has occurred in many countries affected by the resurgence of neo-liberal political theory. They examine education policy in relation to globalization, citizenship and democracy. The authors argue that globalization is an extension of neoliberalism and is destructive of the nation state, community and democracy. They show the importance of education in building strong democratic nation states and global communities based on cultural identity and inter-cultural awareness. This book is essential reading for students of education policy studies and social policy analysis.
Article
This book assesses the impact of globalization on the education systems of key East Asian countries, including China, Hong Kong, Japan, and the "tiger economies" of South Korea, Taiwan and Singapore, examining how the increasingly interdependent economic system has driven policy change and education reform. It discusses how policy makers have responded to changes required in educational outcomes in order to equip their societies for new global conditions and explores the impact of new approaches and ideologies related to globalization, such as marketization, privatization, governance changes, managerialism, economic rationalism and neo-liberalism, making comparisons across the region. Based upon in-depth research, fieldwork, literature analysis, policy document analysis and personal reflections of academics serving in the education sector, this volume recounts heated debates about the pros and cons of education restructuring in East Asia. The discussions on national responses and coping strategies in this volume offer highly relevant insights on how globalization has resulted in restructuring and draws lessons from comparative public policy analysis and comparative education studies.
Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book
  • Siti Murtiningsih
Murtiningsih, Siti. Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire. Yogyakarta: Resist Book, 2004.
Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi
  • Sofian Effendi
Effendi, Sofian. "Strategi Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi", Jakarta, 2 Mei 2005, 2.
Internet: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
  • Daoed Joesoef
Joesoef, Daoed, "Asal Usul Kecerdasan Manusia", Jakarta, 17 Februari 2011, 9. Internet: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, "Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 11-14-21-126 dan 136/ PUU-VII/2009", http://www.mahkamahkonstitusi.go.id %2Fputusan% 2FPutusan%2520 Perkara%2520No.11-14-21-126%2520-136PUU-VII-2009.pdf&rct= j&q=Putusan% 2011-14-21-126%20dan%20136%2FPUU-VII%2F2009 &ei=BY8eTuDZ NJDSr QeKwrCiAg&usg= AFQjCNGTeUfRqT6dnqqcZqJdNU69N-xGxg&sig2=AW JD7WhnrYNhlyzDdJWYgQ&cad=rja (diakses 2 Juli 2011).
94 Persen Mahasiswa dari Keluarga Mampu
  • Biaya Kompas
  • Ptn Masuk
  • Dikeluhkan
Kompas, Biaya Masuk PTN Dikeluhkan, 94 Persen Mahasiswa dari Keluarga Mampu, 11 Juli 2011.
Nomor 48/Prp/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing
  • Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 48/Prp/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing.