Di Indonesia, prevalensi secara nasional pada tahun 2013 adalah 37.2%, yang berarti terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Riskesdas, 2013). Anak-anak stunting berisiko untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Bahkan seorang Ibu stunting berisiko melahirkan anak stunting pula,
... [Show full abstract] sehingga stunting dan segala dampaknya pun akan diwarisi oleh anak. Oleh karena itu, anak stunting merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang (UNICEF, 2012). Dengan demikian, penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh dan dapat memprediksi kejadian stunting pada anak balita berdasarkan Data Riskesdas 2013. Disain penelitian ini mengikuti disain Riskesnas 2013, yaitu crosssectional. Sampel yang diambil yaitu seluruh anak balita (12-59 bulan) yang diwawancara pada penelitian Riskesnas 2013, dengan catatan memiliki data yang lengkap. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat empat variabel yang dapat memprediksi kejadian stunting pada anak balita, yaitu panjang bayi lahir (OR 0.96; CI 0.94-0.97), tinggi badan ibu (OR 0.96; CI 0.96-
0.97), pendidikan ayah (OR 1.21; CI 1.09-1.34), dan status ekonomi keluarga, dimana semakin rendah status ekonomi, semakin tinggi kejadian stunting anak balita pada keluarga tersebut.
Pada penelitian ini terbukti bahwa kejadian stunting lebih banyak terjadi pada ibu yang kurang tinggi pula (stunting). Panjang lahir, pendidikan ayah, dan status ekonomi keluarga pun turut berperan dalam memprediksi kejadian stunting. Oleh karena itu diperlukan program pemerintah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga kejadian stunting dapat dicegah di generasi selanjutnya.