Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232
Vol. 18, No 1, Juni 2022, p. 21-35 21
DOI: 10.23971/jsam.v18i1.4076 W : http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/jsam
E : Jsam.iainpky@gmail.com
ISLAMISASI BLITAR SELATAN PASCA DEKOMUNISME
1968-1975
Panji Setyo Nugroho1, Hendra Afiyanto2
Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah, Tulungagung 66221, Indonesia
1 Npanjisetyo@gmail.com ; 2 Hendra.iainta11@gmail.com
ARTICLE INFO
ABSTRACT
Article history:
Received : 2022-05-20
Revised : 2022-05-25
Accepted : 2022-06-29
The main purpose of this study is to describe and to reconstruct about
the process of Islamization in South Blitar after the event of
Communism in 1968-1975. When the Communist party was declared
a forbidden party after the coup they carried out, the rest of the
sympathizers are running away to the desolate places. They try to
rebuild their power by influencing the society using their various
propaganda, including in South Blitar. Their existence has ended
when the government conducted a military operation in the South
Blitar area in 1968. After this event, the government started the
Islamization’s program. The research method used in this study is the
historical research method with four stages. The four stages of
historical research method are heuristics, verification, interpretation,
and historiography. This study concludes that Islamization in South
Blitar showed positive results when the majority of the people in there
became Moslem. This success of the Islamization is the result of the
efforts of Islamic teachers and Santri (students from Islamic boarding
school). The Islamization cultural method used is also became the key
of the success of this Islamization. So, Until this time, Islam became
the majority religion in South Blitar.
ABSTRAK
Kajian ini dilatarbelakangi keinginan untuk menganalisis proses
Islamisasi Blitar Selatan seletah peristiwa Komunisme pada 1968-
1975. Tujuan dari penelitian ini ialah merekonstruksi peristiwa
Islamisasi di Blitar Selatan yang merupakan daerah eks-PKI. Ketika
partai komunis ditetapkan sebagai partai terlarang, sisa-sisa dari
simpatisan partai ini melarikan diri ke tempat-tempat terpencil.
Mereka mencoba membangun kembali kekuatan dengan cara
mempengaruhi masyarakat di daerah tersebut menggunakan berbagai
propaganda, termasuk di Blitar Selatan. Eksistensi mereka berakhir
setelah pemerintah melancarkan operasi militer di Blitar Selatan pada
tahun 1968. Setelah peristiwa tersebut, pemerintah kemudian memulai
program Islamisasi di Blitar Selatan. Metode penelitian yang
digunakan dalam studi ini adalah metode penelitian sejarah yang
terdiri dari empat tahap. Empat tahapan dalam metode penelitian
sejarah tersebut adalah heuristik, verifikasi sumber sejarah,
interpretasi, dan historiografi. Kajian penelitian ini menyimpulkan
bahwa Islamisasi di Blitar Selatan menunjukkan hasil positif ketika
mayoritas masyarakat disana menjadi pemeluk Islam. Keberhasilan
dari Islamisasi ini merupakan hasil dari upaya guru agama Islam dan
para santri dalam mendakwahkan Islam. Metode dakwah Islam secara
kultural juga menjadi kunci dari keberhasilan proses Islamisasi ini.
Alhasil, hingga sekarang Islam menjadi agama mayoritas di Blitar
Selatan.
Keywords:
Communist
Islamization
South Blitar
The Islamic Teacher
The Santri
Keywords:
Blitar Selatan
Guru Agama Islam
Islamisasi
PKI
Santri
22 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
I. Pendahuluan
Tragedi 1965 merupakan tragedi
nasional yang telah menorehkan noda hitam
dalam catatan sejarah negara Indonesia.
Tragedi yang telah mengakar di dalam ingatan
masyarakat ini menyisakan luka mendalam
bagi seluruh masyarakat negara Indonesia.
Tragedi ini bermula pada 30 September 1965
dengan diculiknya enam jenderal Angkatan
Darat dan satu perwira (Hadi, 2019). Gerakan
kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) terhadap pemerintah
Republik Indonesia berakhir dengan
kegagalan. Upaya Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) dibawah
komando Pangkostrad Mayor Jenderal
Soeharto dalam menggagalkan kudeta PKI
yaitu dengan menangkap para simpatisan
yang diduga terlibat dalam usaha kudeta
tersebut untuk diadili. Para simpatisan PKI
yang berhasil lolos dan keluar dari Jakarta
kemudian kembali membangun basis massa di
luar Jakarta. Setelah berupaya melacak
keberadaan sisa-sisa simpatisan PKI
ditemukanlah lokasi persembunyiannya yang
terletak di sepanjang selatan pulau Jawa dan
berpusat di Blitar Selatan, yaitu Kecamatan
Bakung (Sukamto, 2022). Upaya pemerintah
RI dalam menumpas sisa-sisa PKI yang ada di
Blitar Selatan menemui titik akhir pada 30 Juli
1968 dan berakhir di Desa Bakung Kecamatan
Bakung Kabupaten Blitar Jawa Timur.
Dipilihnya Kecamatan Bakung, Blitar
Selatan oleh sisa-sisa simpatisan PKI sebagai
tempat persembunyian dan membangun basis
massa tentu telah melalui berbagai
pertimbangan. Kondisi geografis yang berupa
perbukitan dan tandus dirasa sesuai untuk
digunakan sebagai tempat persembunyian.
Keadaan masyarakat yang jauh tertinggal
secara ekonomi membuat masyarakat Bakung
tidak terlalu menganggap beragama secara
ritual menjadi suatu prioritas (Sukamto,
2022). Istilah yang cukup popular dikalangan
akademisi dalam menggambarkan kondisi
keberagamaan seperti ini ialah kaum
Abangan. Dalam trikotomi Geertz, Abangan
yaitu orang-orang yang tidak terlalu
memperhatikan soal-soal agama (Amrozi,
2021). Rendahnya benteng agama ini menjadi
celah untuk para simpatisan PKI
mempengaruhi mereka secara tidak langsung
sehingga membuat masyarakat Bakung tanpa
disadari telah menjadi ‘tentara’ rakyat
komunis. Perbaikan ekonomi juga menjadi
nilai jual mereka untuk menarik simpati
masyarakat Bakung.
Untuk membersihkan sisa pengaruh
PKI pasca pemberantasan tahun 1968,
pemerintah Orde Baru mulai gencar
melakukan Islamisasi di daerah eks-PKI.
Blitar Selatan yang merupakan daerah bekas
pusat komando PKI berpotensi menjadi
embrio lahirnya kembali orang-orang
komunis. Untuk itu, Islamisasi di Blitar
Selatan perlu dilakukan guna mengcounter
munculnya kembali pengaruh-pengaruh
komunis. Islamisasi ini mendapat dukungan
oleh masyarakat terutama yang sebelumnya
telah mengenal Islam. Hal ini diutarakan oleh
H. Mustofa, menurutnya bagi orang-orang
yang sebelumnya telah mengenal Islam
mendukung upaya pemerintah dalam
melakukan Islamisasi. Islamisasi mulai
dilakukan pemerintah setempat pada tahun
1972. Berbagai upaya yang dilakukan
pemerintah pusat bersama pemerintah
setempat mendapatkan hasil yang positif.
Keberhasilan ini ditandai dengan mayoritas
penduduknya memeluk agama Islam, bahkan
presentase non-Islam tidak sampai 1%
(Mustofa, 2022). Berdasarkan informasi yang
didapat dari warga setempat, Islam telah ada
jauh sebelum para simpatisan PKI masuk dan
menetap di Bakung. Hidup menjadi komunis
bersama PKI atau mati dibunuh jika tidak ikut
adalah pilihannya. Pada akhirnya tidak sedikit
diantaranya yang dibunuh baik secara
tersembunyi maupun terang-terangan seperti
ditembak dan dibakar hidup-hidup pada saat
terlihat sedang melaksanakan ibadah (Koesni,
2022). Sukamto (2022) mengatakan bahwa
hal seperti ini menjadi fenomena memilukan
yang dialami dan dirasakan oleh masyarakat
Kecamatan Bakung sejak para simpatisan PKI
menginjakkan kakinya pada 1955.
II. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai proses Islamisasi
Blitar Selatan sebelumnya belum pernah ada.
Kajian pustaka yang pembahasannya hampir
sama yaitu berupa jurnal ilmiah berjudul
“Peranan Batalyon Infanteri 511/Dibyatara
Yudha Blitar dalam Operasi Trisula di Blitar
Selatan Tahun 1968” yang ditulis oleh
Supriaji Kuntoro dan Sumarno. Dalam karya
ilmiah berupa jurnal yang diterbitkan oleh
jurnal Avatara tahun 2014 tersebut peneliti
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 23
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
mendeskripsikan situasi dan kondisi Blitar
Selatan sebelum dan sesudah Operasi Trisula
secara komprehensif. Kajian serupa atau yang
mendekati tema pembahasan terdapat pada
karya ilmiah berupa skripsi berjudul
“Gerakan PKI tahun 1963-1968: Sebuah
Kajian Sosial-Ekonomi di Blitar Selatan”
yang ditulis oleh Andri Puji Setiyono. Dalam
karya ilmiah yang ditulis tahun 2003 tersebut
membahas tentang komunisme di Blitar
Selatan yang meliputi kondis geopolitik,
social-ekonomi, hingga strategi politik orang-
orang PKI dalam membangun basis massa.
Adapun karya ilmiah yang sedikit
menyangkut terkait tema pembahasan ada
pada karya ilmiah berjudul “Konversi
Keagamaan Pasca 1965: Mengurai Dampak
Sosial Budaya dan Hubungan Islam-Kristen
di Pedesaan Jawa”. Karya ilmiah yang
berupa jurnal tersebut ditulis oleh M. Alie
Humaedi dan diterbitkan oleh Jurnal
Multikultural & Multireligius tahun 2017.
Dalam karya ilmiah tersebut membahas
tentang konversi ke agama Kristen oleh orang
Islam yang sebelumnya berafiliasi pada PKI,
hingga sebab-akibat dari konversi tersebut
pada hubungan agama dan social budaya di
daerah pegunungan Dieng dan Slamet, Jawa
Tengah. Adapula penelitian mengenai
Islamisasi yang ditulis oleh Adif Fahrizal
berjudul “Islamisasi di Kota Surakarta dan
Sekitarnya Masa Orde Baru: Sebuah
Tinjauan Awal”. Karya ilmiah berupa jurnal
tersebut diterbitkan oleh jurnal Lembaran
Sejarah tahun 2020. Dalam jurnal ini
membahas mengenai Islamisasi secara massif
di wilayah Kota Surakarta dan sekitarnya pada
masa Orba.
Perbedaan signifikan antara penelitian
ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya
yang telah disebutkan di atas terletak pada
latar tempat dan objek penulisan. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Supriaji
Kuntoro dan Sumarno memfokuskan
objeknya pada Operasi Trisula. Penelitian
tersebut berusaha melakukan rekonstruksi
mengenai peranan Batalyon Infanteri 511
dalam upaya menumpas para simpatisan PKI
di Blitar Selatan. Penelitian yang dilakukan
oleh Andri Puji Setiyono fokus pada
bagaimana strategi yang digunakan oleh para
simpatisan PKI ini dalam membangun massa
di Blitar Selatan. Adapun penelitian yang
dilakukan oleh M. Alie Humaedi sama-sama
menyangkut konversi keagamaan namun
dalam tulisan tersebut mengarah pada
konversi dari Islam ke Kristen atau bisa
dikatakan Kristenisasi. Selanjutnya dalam
penelitian yang dilakukan oleh Adif Fahrizal
juga sama-sama tentang Islamisasi pasca
dekomunisme, hanya saja terdapat perbedaan
latar tempat. Kendati karya tulis mengenai
eksistensi PKI di Blitar Selatan telah ada,
rasanya akan lebih lengkap jika ada tulisan
mengenai pasca-komunisme, khususnya
mengenai Islamisasi. Dalam penelitian ini,
penulis lebih fokus pada persoalan Islamisasi
di Blitar Selatan. Untuk itu, penulis kira hal ini
cukup memberikan bukti konkrit bahwa
penelitian mengenai Islamisasi Blitar Selatan
benar-benar perlu untuk dilakukan.
III. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode penelitian sejarah
yang menurut Kuntowijoyo terdiri dari empat
tahap yaitu, heuristik, verifikasi, interpretasi,
dan historiografi (Kuntowijoyo, 2013). Pada
tahap heuristik merupakan tahap awal dalam
penulisan sejarah, penulis mengumpulkan
berbagai sumber yang dibutuhkan. Sumber
sejarah terbagi menjadi dua, yaitu sumber
primer dan sumber sekunder. Sumber sejarah
dapat dikategorikan sebagai sumber primer
apabila disampaikan oleh saksi mata
(Kuntowijoyo, 2013). Sumber primer penulis
dapatkan melalui metode wawancara kepada
masyarakat yang berstatus sebagai pelaku
sejarah dalam berbagai profesi, seperti
pemuka agama dan juru kunci. Penulis
melakukan wawancara kepada bapak
Sukamto selaku juru kunci museum
Monumen Trisula. Pada saat tragedi PKI,
beliau melihat secara langsung bagaimana
bapaknya dibunuh oleh para simpatisan PKI.
Lalu bapak H. Koesni yang juga saksi hidup
dan sebagai tokoh pemuka agama, serta bapak
H. Mustofa yang juga selaku saksi mata dan
juga merupakan tokoh pemuka agama.
Sebagai sumber penunjang penulisan, penulis
menggunakan kajian pustaka yang diperoleh
dari berbagai literatur-literatur berupa jurnal
ilmiah dan buku-buku penunjang lainnya yang
relevan dengan tema penulisan.
Selanjutnya, tahap kedua dari penulisan
sejarah setelah tahap heuristik atau
pengumpulan sumber yaitu melakukan
verifikasi atau kritik sumber. Tahap kedua ini
24 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
bertujuan untuk memverifikasi apakah
sumber-sumber yang telah terkumpul dapat
dan relevan untuk digunakan sebagai acuan
dalam penulisan. Pada tahap ini, kritik sumber
dibedakan menjadi dua macam, yaitu kritik
internal dan kritik eksternal. Kritik internal
ialah kritik yang dilakukan untuk mengetahui
kredibilitas dari sumber, sedangkan kritik
eksternal yaitu meneliti lebih dalam tentang
keaslian atau autentisitas dari sumber. Pada
proses ini, penulis menemukan kesamaan
pendapat antara sumber satu dengan sumber
lain tentang Islamisasi di Blitar Selatan dalam
kurun waktu 1968-1975 sehingga data yang
diperoleh memang valid adanya. Tahap
selanjutnya yaitu tahap interpretasi atau
penafsiran sumber. Dari semua temuan fakta
sejarah yang didapat dari tahap verifikasi atau
kritik sumber, penulis kemudian melakukan
penafsiran dengan cara merekonstruksi
peristiwa sejarah berdasarkan fakta yang ada
sehingga diharapkan dapat menjawab
persoalan yang dikajinya. Selanjutnya yaitu
historografi atau penulisan sejarah.
Historiografi merupakan tahap terakhir
dimana pada tahap ini sejarawan harus
mampu menuangkan semua fakta yang telah
diproses melalui berbagai tahap kedalam
bentuk karya tulis secara runtut dan jelas dari
awal hingga akhir.
Batasan spasial dalam penelitian ini,
penulis mengambil Kecamatan Bakung
sebagai fokus utama dalam proses Islamisasi.
Adapun batasan temporalnya penulis
menetapkan tahun 1968 sebagai batasan awal
dikarenakan pada tahun tersebut pemerintah
orde baru mulai melakukan berbagai upaya
dalam menumpas sisa-sisa pengaruh
komunisme, salah satunya melalui Islamisasi.
Terkait batasan akhir penulisan, penulis
menetapkan tahun 1975 dikarenakan pada
tahun tersebut Islam mulai berkembang
hingga saat ini.
Fokus permasalahan yang menjadi
kajian dalam penelitian ini yaitu, pertama,
mengenai awal mula Blitar Selatan dijadikan
basis massa oleh para simpatisan PKI? secara
umum para simpatisan PKI melihat kondisi
geografis Blitar Selatan yang berupa
perbukitan kapur dirasa cocok untuk dijadikan
basis. Kondisi masyarakat dan kurangnya
perhatian pemeritah atas wilayah tersebut
serta akses transportasi yang sulit dijangkau
juga membuat wilayah Blitar Selatan efektif
digunakan sebagai tempat persembunyian.
Kedua, mengenai metode apa saja yang
digunakan dalam upaya Islamisasi? Ada dua
metode atau pendekatan yang diterapkan,
yaitu pendidikan dan kebudayaan. Sumber
menyebutkan bahwa dalam fase awal
penguatan nilai-nilai keislaman dilakukan
melalui lembaga pendidikan seperti sekolah,
madrasah dan pondok pesantren. Para
pendidik yang merupakan guru agama
mengajarkan dasar-dasar ajaran Islam seperti
rukun Islam dan rukun Iman. Selanjutnya,
penguatan nilai-nilai keislaman dilakukan
dengan menggunakan metode pendekatan
kebudayaan seperti yang diterapkan
Walisongo. Ketiga, siapa saja yang turut
berperan dalam proses Islamisasi dan
bagaimana perkembangan Islam hingga saat
ini? Dalam proses penyebaran Islam di Blitar
Selatan, selain peran guru agama, santri juga
turut berperan. Para santri Nahdlatul Ulama
yang turut serta dalam perjuangan menumpas
sisa-sisa simpatisan PKI melalui GP Ansor
juga berperan dalam menyebarkan agama
Islam pasca 1968. Ajaran-ajaran Islam yang
didakwahkan oleh para santri Nahdlatul
Ulama dirasa sesuai dengan kultur masyarakat
setempat sehingga membuat Nahdlatul Ulama
menjadi organisasi keagamaan yang
mendominasi Kecamatan Bakung.
IV. Hasil dan Diskusi
a. Eksistensi Simpatisan PKI di Blitar
Selatan
Gagalnya upaya kudeta yang
dilakukan PKI untuk menggulingkan
pemerintahan RI membuat para tokoh
dan simpatisan-simpatisannya
tertangkap dan diadili. Mereka yang
berhasil keluar dari wilayah Jakarta
melarikan diri menuju ke wilayah
pelosok desa yang aksesnya sulit untuk
dijangkau (Hadi, 2019). Tujuan
pelarian mereka ialah menuju ke tempat
yang sebelumnya telah mereka gunakan
sebagai tempat persembunyian, salah
satunya di Kecamatan Bakung, Blitar
Selatan. Disini mereka mulai
membangun kembali basis massa
mereka.
Dalam sejarahnya, Partai
Komunis Indonesia (PKI) telah ada di
Blitar Selatan sejak tahun 1955. Tahun
1955 juga bertepatan dengan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 25
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
diselenggarakannya pemilu pertama di
Indonesia dan PKI tampil sebagai salah
satu dari empat partai besar disamping
PNI, Masyumi, serta NU dengan
presentase suara mencapai 16,04%
(Pamungkas, 2019). Besarnya kekuatan
politik PKI pada pemilu 1955 menandai
pengaruhnya yang besar dan tersebar
hingga ke pelosok Indonesia. Di Blitar
sendiri pasca pemilu 1955 telah
didominasi oleh dua partai besar yaitu
PKI dan NU. Dominasi partai NU
berada di daerah Dawuhan, sedangkan
PKI terdapat pada wilayah bagian
selatan, yaitu wilayah Suruhwadang,
Sumberjo, hingga Bakung (Setiyono,
2003).
Besarnya dominasi PKI di Blitar
Selatan merupakan tolak ukur
keberhasilannya dalam menyebarkan
pengaruh-pengaruhnya untuk menarik
simpati masyarakat, khususnya para
petani dan buruh miskin (Bari, 2008).
Bagi mereka, petani dan buruh miskin
merupakan kekuatan revolusioner
untuk mencapai tujuan revolusi, yaitu
mengganyang imperialism dan segala
bentuk penindasan yang dilakukan oleh
kaum feudal. Revolusi ini berujung
pada cita-cita terwujudnya masyarakat
sosialis dan komunis.
Melihat kondisi masyarakat
Blitar Selatan yang tengah dilanda
krisis pangan menjadi celah bagi para
simpatisan PKI untuk lebih gencar
dalam menyebarkan pengaruhnya.
Terjadinya krisis pangan disamping
karena faktor alam juga karena kurang
perhatiannya pemerintah terhadap
wilayah tersebut. Kurangnya perhatian
dari pemerintah berlangsung sampai
pada awal tahun 1960-an. Hal ini
ditandai dengan semakin gencarnya
kekacauan-kekacauan yang terjadi di
wilayah Blitar Selatan. Kekacauan-
kekacauan ini memang bukan hasil
provokasi dari para simpatisan PKI.
Sasaran dari kekacauan-kekacauan ini
ialah orang-orang kaya yang mereka
jadikan sebagai sandaran hidup, bukan
orang-orang seperti tuan tanah dan lain
sebagainya yang digembor-gemborkan
oleh para simpatisan PKI. Kekacauan
ini disebabkan kurang adanya bantuan
dari pemerintah dan aparatur negara
(Sukamto, 2022).
Gerakan para simpatisan PKI
bersama underbow-nya terbilang
sangat massif (Ridlo, 2020). Strategi
yang diterapkan oleh para simpatisan
PKI ini ialah strategi partai (Bari,
2008). Strategi partai tersebut yaitu
memprioritaskan kepentingan desa di
atas kepentingan kota. Dalam
penerapannya, para simpatisan PKI
gencar mempengaruhi masyarakat
bahwa yang menjadi musuh mereka
bersama ialah tujuh setan desa. Tujuh
setan desa yang dimaksud ialah: (1)
Tuan tanah jahat, yaitu tuan tanah yang
menolak ketentuan yang ada dalam
UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria) dan UUPBH (Undang-undang
Pokok Bagi Hasil); (2) Pejabat yang
membela tuan tanah; (3) Para pemeras
petani; (4) Para birokrat kapitalis yang
menyelewengkan kekuasaannya guna
memperkaya diri sendiri dengan cara
melakukan eksploitasi kepada kaum
petani; (5) Bandit desa yang menjadi
kaki tangan dan antek-antek tuan tanah;
(6) Para rentenir atau orang yang
menganakkan uang, dan; (7) Pengijon
atau penghisap darah rakyat yang
menjebak kaum tani untuk menjadi
penghutang seumur hidup. Aksi
ganyang tujuh setan desa pernah
disuarakan oleh D.N. Aidit pasca
kudeta PKI 1948 (Afifi & Zuharon,
2021). Ia mendapatkan mandat dari
Mao Tse Tung untuk menghabisi para
tuan tanah di Indonesia khususnya di
desa-desa demi keadilan dan
kesejahteraan rakyat (Ridlo, 2020).
Pemicu terjadinya konflik antara
antara para simpatisan PKI dengan
orang-orang yang tergolong dalam
tujuh setan desa umumnya ialah tuan
tanah. Para simpatisan PKI mempunyai
anggapan bahwa semua orang yang
mempunyai tanah luas dianggap
sebagai musuh. Ini juga yang menjadi
pemicu konflik antara para simpatisan
PKI dengan para pemuka agama dan
kiai di desa-desa, karena para pemuka
agama dan kiai umumnya memiliki
tanah yang luas untuk mengembangkan
pondok pesantrennya (Ridlo, 2020).
26 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
Sejarah mencatat, perseteruan antara
para simpatisan PKI dengan penganut
agama, dalam hal ini Nahdlatul Ulama,
bermula sejak pemilu tahun 1955.
Lebih jauh daripada itu ialah terjadi
sejak masa kolonial Belanda (Mustafa,
2020). Para simpatisan PKI juga anti
terhadap pemeluk agama karena
memang ajaran mereka adalah ajaran
yang tidak mengakui adanya Tuhan
sebagaimana diyakini oleh para
pemeluk agama (Setiyono, 2003).
Ajaran tidak bertuhan (atesime)
merupakan ajaran dasar dari Marxisme
yang dianut oleh para simpatisan PKI
(Hadi, 2019). Berbeda dengan orang-
orang beragama, dalam hal ini adalah
Islam yang memiliki kepercayaan
terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa
(Mun’im, 2013).
Hal yang menarik terlihat ketika
kaum pekerja, buruh miskin dan buruh
tani di Jawa Timur memperlihatkan
ketertarikan mereka kepada ajaran
komunisme daripada agama maupun
nasionalisme, meskipun kurang lebih
90% masyarakat Jawa Timur menganut
agama Islam (Bari, 2008). Nampaknya
hal ini merupakan hasil dari kepandaian
strategi yang mereka gunakan untuk
menarik simpati masyarakat. Terlihat
bahwa berbagai kelompok masyarakat
seperti kelompok abangan, buruh tani
dan buruh miskin cenderung mendekati
PKI.
Ketika para simpatisan PKI
menyebarkan ajaran komunisme,
segala sesuatu yang berhubungan
dengan ibadah ritual dilarang oleh
mereka. Begitu juga yang mereka
lakukan di Blitar Selatan. Tanpa rasa
belas kasih, mereka membunuh siapaun
yang terlihat sedang melakukan ibadah
ritual seperti solat. Selama kurun waktu
10 tahun para simpatisan PKI tinggal di
Blitar Selatan, tidak sedikit peristiwa
pembunuhan kiyai-kiyai atau pemuka
agama yang disaksikan langsung oleh
masyarakat setempat. Ada yang
ditembak, dibakar hidup-hidup, dan
disembelih. Akibatnya, orang-orang
beragama semakin tidak berani
menampakkan dirinya sedang
beribadah, mereka memilih untuk
beribadah secara sembunyi-sembunyi,
atau ikut gabung PKI menjadi pilihan
terakhirnya (Sukamto, 2022).
Semakin kurangnya perhatian
pemerintah, semakin leluasa para
simpatisan PKI dalam membangun
basis massa. Mereka dengan leluasa
menyebarkan ajaran-ajaran kiri, seperti
Marxisme, Leninisme, dan konsep
berpikir MDH (Materialisme,
Dialektika, Historis). Mereka juga
mempropagandakan kebencian mereka
terhadap kaum imperialis, khususnya
Amerika yang mana merupakan musuh
utama rakyat revolusioner di seluruh
penjuru dunia. Propaganda untuk
memusuhi selain tujuh setan desa ada
juga istilah tiga setan kota. Tiga setan
kota yang dimaksud adalah: pejabat
korup; para penggelap; dan juga para
birokrat kapitalis. Mereka tahu bahwa
yang mereka hadapi adalah orang-
orang awam yang mayoritas kurang
berpendidikan. Cara pengajaran yang
mereka lakukan bukan di rumah-rumah
atau gedung-gedung, melainkan di
ladang-ladang sambal bekerja, ngobrol
santai sampai bisa menarik hati warga.
Metode yang dipraktikkan oleh para
simpatisan PKI ini secara social-budaya
sangatlah halus, karena tanpa disadari
masyarakat telah terdoktrin oleh ajaran
para simpatisan PKI (Setiyono, 2003).
Tindakan para simpatisan PKI
yang dapat dikatakan cerdik ini sering
membuat masyarakat bersimpati,
namun juga terkadang meresahkan
masyarakat. Seperti sering terjadi
pemalakan yang dilakukan para
simpatisan PKI kepada warga dengan
meminta bahan pangan hasil panen dan
ternak, apabila mereka tidak
menyerahkan kepada para simpatisan
PKI maka pada malam harinya akan
dicuri bahkan tanpa belas kasih
membunuh pemiliknya. Pencurian ini
tidak hanya terjadi di wilayah
Kecamatan Bakung, bahkan diluar
wilayah tersebut. Ke-atheis-an para
simpatisan PKI juga menjadi keresahan
masyarakat. Sikap tidak percaya akan
adanya Tuhan ini sangat tidak sesuai
dengan kebudayaan dan tradisi
masyarakat setempat meskipun mereka
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 27
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
bukan penganut Islam yang taat namun
mereka tetap mempunyai kepercayaan
kepada Tuhan (Mustofa, 2022).
Selama kurun waktu 1959-1963,
doktrin-doktrin yang dilakukan oleh
para simpatisan PKI di daerah Blitar
Selatan semakin gencar (Sukamto,
2022). Berbagai cara indoktrinasi terus-
menerus dilakukan guna membangun
massa. Masyarakat mulai dari petani,
rakyat jelata, pegawai negeri sipil, guru,
hingga ormas-ormas kepemudaan
dengan mudah dihasut hanya karena
kelemahan mereka secara ekonomi dan
rendahnya kualitas sumber daya
manusianya. Bagi mereka,
mendekatkan diri pada rakyat kecil
merupakan strategi untuk menggalang
suara untuk PKI menjelang pemilu
(Bari, 2008). Ini menandakan bahwa
apa yang dilakukan oleh para
simpatisan PKI adalah suatu bentuk
pembodohan terhadap rakyat. Ini juga
menandakan bahwa pemerintah, baik
pusat maupun setempat kurang begitu
memperhatikan wilayah tersebut. Pada
tahun 1962-1963, koran Harian Rakyat
milik PKI mulai masuk di wilayah
Blitar Selatan. Dengan masuknya koran
ini menandakan telah membaiknya
jalur komunikasi masyarakat Blitar
Selatan. Koran Harian rakyat (HR)
pada waktu itu telah menguasai hampir
seluruh daerah di Blitar Selatan dan
sekitarnya, hal ini semakin membuat
propaganda para simpatisan PKI
semakin mudah dilakukan.
Dalam mempersiapkan
konfrontasi melawan ABRI, para
simpatisan PKI merekrut pemuda dan
orang-orang yang kurang
berpendidikan untuk dilatih dan diajari
teknik-teknik berperang. Diantara
teknik bela diri seperti pencak silat,
para pemuda ini juga dilatih teknik
melempar pisau. Teknik penggunaan
pisau sebagai senjata utama yang
mereka gunakan dalam berperang ini
dikarenakan penggunaannya yang
hampir tidak mengeluarkan suara dan
efektif untuk digunakan dalam
berperang dengan strategi gerilya. Hal
ini menandakan bahwa Blitar Selatan
pada saat sebelum terjadinya Gerakan
30 September memang telah disiapkan
sebagai tempat membangun kekuatan
untuk nantinya ditujukan kepada ABRI
yang notabene merupakan saingan
besar PKI ditaraf nasional (Setiyono,
2003) . Dari sini dapat disimpulkan
bahwa dalam kurun waktu 1959 sampai
1963, doktrin yang dilakukan oleh para
simpatisan PKI di Blitar Selatan telah
mengakar dalam ingatan masyarakat.
Keberhasilan mereka dalam
membangun jaringan-jaringan sebagai
anak partai (underbow) seperti Barisan
Tani Indonesia (BTI), Lembaga
Kesenian Rakyat (Lekra), Pemuda
Rakyat, dan sebagainya menandakan
keberhasilan mereka dalam menarik
simpati masyarakat Blitar Selatan dan
juga keberhasilan mereka dalam
membangun massa.
b. Islamisasi di Blitar Selatan
Masyarakat Blitar sebagian besar
adalah penganut agama Islam (Nafi’ah,
2020). Dalam praktiknya, ada
kelompok yang menjalankan ajaran
Islam sesuai denga ajarannya, ada pula
kelompok yang tidak sepenuhnya
menjalankan ajaran tersebut.
Masyarakat yang mejalankan ajaran
Islam sesuai dengan ajarannya biasanya
disebut santri. Adapun yang tidak
sepenuhnya menjalankan ajaran disebut
abangan. Dalam buku The Religion of
Java karya Clifford Geertz, terdapat
istilah santri, abangan dan priyayi untuk
menggambarkan kondisi sosial
keberagamaan masyarakat Jawa
(Subair, 2015). Istilah tersebut umum
dikenal sebagai Trikotomi Geertz.
Santri ialah istilah untuk
menggambarkan orang-orang yang taat
menjalankan agama Islam. Adapun
Abangan ialah mereka yang
mempunyai keyakinan pada roh dan
makhluk gaib (Anam, 2016). Dalam
pengertian lain, kelompok Islam yang
masuk dalam kategori Abangan ialah
mereka yang masih menjalankan adat
dan tradisi Jawa warisan nenek moyang
(Nafi’ah, 2020).
Menurut Suseno, kebudayaan
Jawa dibagi menjadi dua, yaitu
kebudayaan pedalaman dan
28 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
kebudayaan pesisir. Kebudayaan
pedalaman yang kental dengan unsur
kejawen dan kebudayaan pesisir yang
kental unsur Islamnya (Suseno, 1984).
Dalam menjalankan syariat Islam,
Kelompok pedalaman atau kelompok
abangan umumnya hanya
menjalankanya ketika ada peringatan
hari besar Islam, seperti Idul Fitri.
Selebihnya, status keislaman mereka
hanya sebatas Islam KTP . Melihat
kondisi tersebut, maka tidak salah jika
mengatakan kualitas keagamaan
kelompok pedalaman atau kelompok
abangan cenderung rendah bila
dibandingkan dengan kaum pesisir.
Penggunaan istilah Abangan
untuk menggambarkan kondisi
keagamaan masyarakat Blitar
khususnya di Blitar Selatan yang masih
awam soal agama agaknya relevan
(Hadi, 2019). Penggunaan istilah
abangan sendiri menimbulkan pro dan
kontra di kalangan intelektual.
Sebagian beranggapan bahwa istilah
tersebut terkesan merendahkan
martabat seseorang. Rendahnya
kualitas keagamaan kaum abangan di
Blitar membuat mereka rentan dicuci
otak (brainwash) oleh orang-orang
yang ingin memanfaatkannya, dalam
hal ini ialah para simpatisan PKI.
Pada perkembangannya, kaum
abangan pernah melebur dengan para
penganut ajaran marxisme (Anam,
2016). Marxisme merupakan ajaran
yang pandangannya bersumber pada
Karl Marx (Hadi, 2019). Ajaran
Marxisme sendiri mengajak
penganutnya untuk memisahkan urusan
agama dalam kehidupan individu.
Semakin seseorang taat dalam
beragama membuat orang itu semakin
tidak produktif dalam menjalani
kehidupannya (Farihah, 2015).
Peleburan ini menandakan
adanya kesesuaian antara kaum
abangan dengan para simpatisan PKI.
Kesesuaian antara kaum abangan
dengan penganut marxisme salah
satunya terletak pada ritual yang
dilakukan oleh kaum abangan. Kaum
abangan mencoba untuk memurnikan
ritual-ritualnya dari pengaruh agama
Islam. Begitu pula para simpatisan PKI
yang sedari awal telah anti terhadap
agama sesuai dengan ajaran Marxisme.
Adanya kesesuaian antara tujuan yang
hendak dicapai juga menjadi faktor lain
dari harmonisnya hubungan kaum
abangan dengan para simpatisan PKI.
Kaum abangan yang hendak menaikkan
taraf hidup sangat sesuai dengan salah
satu tujuan para simpatisan PKI yaitu
mensejahterakan rakyat kecil terutama
para petani.
Oleh karena mayoritas
masyarakat Blitar, khususnya Blitar
Selatan bermatapencaharian sebagai
petani membuat mereka tidak terlepas
dari pengaruh propaganda para
simpatisan PKI. Melalui berbagai
propaganda yang dilakukan, para
simpatisan PKI mampu meraih simpati
masyarakat Blitar Selatan yang
sebagian besar bekerja sebagai petani
dengan kondisi perekonomian
tergolong rendah. Keresahan terjadi
ketika masyarakat dipaksa oleh
keadaan untuk bergabung bersama
barisan para simpatisan PKI. Keresahan
ini berawal ketika para simpatisan PKI
mengambil paksa hasil pertanian dan
peternakan masyarakat yang tidak ingin
begabung bersama para simpatisan
PKI. Kondisi ini membuat masyarakat
yang sebelumnya memeluk agama
Islam melepaskan identitas keagamaan
mereka untuk bergabung dalam barisan
para simpatisan PKI daripada harus
dibunuh.
Kondisi yang dialami
masyarakat Blitar Selatan selama 10
tahun sejak awal kedatangan para
simpatisan PKI tentu membuat mereka
mengalami trauma. Maka untuk
memulihkan kondisi traumatis atas apa
yang telah mereka alami, pemerintah
merasa perlu melakukan Islamisasi
guna membangun pondasi akidah yang
kuat secara batiniah. Islamisasi disini
bermaksud menanamkan kembali nilai-
nilai keislaman. Nilai-nilai keislaman
yang sebelumnya sempat memudar
karena dominasi pengaruh komunisme
perlahan ditanamkan kembali oleh para
pemuka agama yang dikirim oleh
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 29
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
pemerintah. Upaya ini perlu dilakukan
agar masyarakat mampu memfilter
ideologi-ideologi yang bertentangan
dengan ajaran Islam, khususnya
komunisme. Upaya yang dilakukan
pemerintah ini merupakan kelanjutan
dari program P3A yang sebelumnya
telah dilakukan di Solo. Program
keagamaan ini dilakukan untuk
membina masyarakat di daerah-daerah
yang terindikasi sebagai basis massa
PKI agar terlepas dari pengaruh
komunisme (Fahrizal, 2020).
Ketika pemerintah mulai
melakukan Islamisasi guna
membersihkan wilayah Blitar Selatan
dari sisa-sisa komunisme, tantangan
terbesarnya justru bukan dari pengaruh
komunisme, melainkan dari
kepercayaan yang telah mereka anut
sebelumnya, seperti animism dan
dinamisme yang merupakan
kepercayaan, tradisi, ritual, adat, dan
budaya warisan nenek moyang. Sulit
untuk menghilangkan pengaruh dari
keyakinan-keyakinan sebelumnya
secara total. Dalam kesehariannya,
masih dapat dijumpai masyarakat yang
melakukan ritual-ritual kepercayaan
yang mereka anut, seperti membakar
kemeyan, membuat sesaji, dan lain
sebagainya.
Dalam praktiknya, Islamisasi
tidak selalu berjalan lancar dan
mendapatkan hasil positif. Selalu ada
penentang-penentang terutama yang
menolak untuk diajak memeluk Islam.
Mereka pada umumnya lebih memilih
mempertahankan keyakinan yang
sudah lama mereka anut seperti
animisme dan dinamisme. Animisme
merupakan kepercayaan bahwa segala
benda yang ada di dunia memiliki jiwa
yang harus dihormati agar roh yang ada
dalam benda-benda tersebut tidak
mengganggu manusia. Animisme
bertautan dengan dinamisme, yaitu
kepercayaan bahwa segala sesuatu
mempunyai kekuatan yang
mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan atas usaha manusia (Latif,
2014).
Kepercayaan animisme dan
dinamisme dari dulu telah mengakar
dan menjadi budaya asli Indonesia.
Itulah sebabnya cukup sulit untuk
dihilangkan pengaruhnya dari
masyakarat Jawa (Huda, 2016). Begitu
juga yang terjadi di Blitar ketika Islam
mulai masuk. Kelompok yang enggan
menerima dakwah Islam memilih untuk
menyingkir ke tempat-tempat yang sulit
dijangkau, seperti daerah Blitar Selatan
(Iriani, 2020). Di Blitar Selatan
sebelum didominasi oleh pengaruh
komunis, keyakinan masyarakat masih
kental dengan animisme dan
dinamisme. Kepercayaan animisme dan
dinamisme begitu kuat di masyarakat
Blitar Selatan disebabkan karena
kepercayaan-kepercayaan ini sudah
diwariskan secara turun-temurun oleh
nenek moyang mereka.
Ketika pemerintah Orde Baru
melalui ketetapan MPRS No. 25/1966
telah resmi menetapkan PKI sebagai
partai terlarang, semua yang
berhubungan dengan PKI mendapat
ancaman pembunuhan. Hal ini
membuat sebagian simpatisan PKI
berbondong-bondong meninggalkan
identitas mereka untuk melakukan
transisi identitas. Begitu juga yang
terjadi dengan para simpatisan PKI di
Blitar Selatan. Atas dasar ketakutan
dicap sebagai simpatisan PKI dan
mendapat ancaman dibunuh,
masyarakat di Blitar Selatan yang
sebelumnya menjadi simpatisan PKI
memilih untuk menerima Islam. Upaya
Islamisasi yang dilakukan pemerintah
menemui titik terang pada tahun 1972.
Upaya Islamisasi oleh
pemerintah melalui guru agama Islam
perlahan mulai membenahi kondisi
masyarakat. Islamisasi diawali dengan
memberikan pendidikan Islam yang
diajarkan oleh para guru agama Islam.
Pendidikan Islam menurut Amin dan
Afiyanto (2021) diawali dengan
memperkenalkan Islam secara
kasatmata kepada masyarakat. Dalam
pengajarannya, para guru agama
menggunakan pendekatan kesenian dan
kebudayaan sebagai metode dakwah
mereka. Pendekatan seperti ini sama
30 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
seperti yang dilakukan oleh Walisongo.
Penggunaan kesenian sebagai metode
dalam menyebarkan Islam sudah
dipraktikkan sejak zaman dulu oleh
Walisongo seperti Sunan Bonang,
Sunan Giri, dan Sunan Drajat (Pratiwi,
2020). Sunan Bonang misalnya,
menciptakan tembang Tombo Ati yang
didalamnya sarat akan nilai-nilai
keislaman. Adapun pendekatan
kebudayaan juga bersumber dari ajaran
para Wali. Para guru agama yang
mengajarkan ajaran Islam
menggunakan pendekatan kebudayaan
sama seperti yang dilakukan Sunan
Kalijaga. Salah satunya ialah
mengadopsi tradisi dan kebudayaan
lokal yang kemudian diisi dengan nilai-
nilai Islam (Suparjo, 2008). Hal ini
terlihat dari adanya tradisi slametan
yang masih lestari dan sering dijumpai
di daerah Blitar Selatan hingga kini.
Dakwah Islam yang diajarkan
para guru agama umumnya bertempat
di masjid atau langgar. Masyarakat
setempat pada umumnya menganggap
masjid sebagai pusat dari kegiatan
keagamaan. Di masjid, mereka saling
berinteraksi antara satu sama lain pada
saat mengikuti kegiatan keagamaan
seperti pengajian umum yang rutin
diselenggarakan oleh takmir masjid. Isi
pengajian atau ceramah yang
disampaikan biasanya seputar rukun
iman, rukun Islam, dan akhlak
(Mustofa, 2022). Lingkup kecilnya
dapat dijumpai di langgar.
Islamisasi bukan hanya
ditujukan untuk orang dewasa,
melainkan juga anak-anak dan remaja.
Beda usia tentu beda pula metode
Islamisasinya. Untuk anak-anak pada
umumnya disiapkan sebuah TPQ atau
madrasah berdekatan dengan masjid.
Hal-hal yang diajarkan di usia anak-
anak biasanya sebatas pengenalan
terhadap Islam. Untuk pengajaran
Islam lebih mendalam biasanya
diajarkan kepada para remaja. Adanya
organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama
turut memperlancar dalam mendidik
para remaja yang tergabung dalam
Gerakan Pemuda Ansor dan Fatayat
NU. Sebagian besar pemuda-pemudi di
Blitar Selatan tergabung dalam
organisasi tersebut. Untuk masyarakat
yang berusia lanjut, umumnya diadakan
pengajian rutin di masjid dan langgar
(Mustofa, 2022).
Untuk pembelajaran agama yang
lebih formal para orang tua biasanya
lebih memilih mengirim anaknya untuk
menempuh pendidikan di pondok
pesantren. Hal ini dikarenakan
pembelajaran di pondok pesantren
mengajarkan nilai-nilai keislaman
secara lebih khusus, terorganisir,
sistematis, dan teratur (Zawawi, 2013).
Orang-orang yang telah menempuh
pendidikan di pondok pesantren
umumnya akan terbentuk kepribadian
dengan kultur Islam yang humanis,
pluralis dan toleran (Sunarto, 2015).
Sebagai seorang pemuka agama, H.
Mustofa (2022) mempunyai harapan
pada para santri yang telah lulus dari
pondok pesantren agar mampu
mengabdi di lingkungan mereka
sebagai guru mengaji atau tokoh agama
ketika kembali ke desanya.
Pola dakwah dalam upaya
islamisasi yang dilakukan oleh
pemerintah melalui guru agama seperti
ini dirasa efektif dalam menyebarkan
ajaran Islam. Dengan memasukkan
nilai-nilai keislaman kedalam
kebudayaan yang ada dan tidak
merubah atau menghilangkan
kebudayaan tersebut yang sudah
melekat di masyarakat (Akulturasi)
membuat dakwah Islam mudah
diterima oleh masyarakat baik anak-
anak, para remaja, orang tua hingga
yang telah lanjut usia (Pratiwi, 2020).
Islamisasi yang berawal dari guru
agama hingga menghasilkan tokoh
agama seperti ustadz dan kyai sampai
Islam berkembang dan mendominasi.
Menurut H. Mustofa (2022)
melalui proses dakwah seperti yang
diterapkan oleh organisasi Nahdlatul
Ulama, Islam menjadi lebih mudah
dikenal dan diterima oleh masyarakat,
meskipun pada awalnya hanya sebatas
mengenal, belum melaksanakan secara
menyeluruh. Agar masyarakat mau
menjalankan ajaran agama secara
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 31
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
normatif, maka harus ada tuntunan dari
para guru agama untuk memberi
contoh. Berbagai respon positif dari
masyarakat secara perlahan membuat
Islam mendominasi daerah Blitar
Selatan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan semakin besarnya jumlah
langgar dan masjid yang ada di Blitar
Selatan (Koesni, 2022). Strategi yang
baik akan menghasilkan dampak yang
baik pula, karena kesalahan dalam
mengambil strategi atau pendekatan
dakwah dapat membuat suatu agama
akan ditinggalkan masyarakat (Toha,
2020).
c. Peran Santri Dalam Upaya
Islamisasi
Sesuai dengan Trikotomi Geertz,
makna santri disini menggambarkan
seseorang yang taat dalam beragama
Islam. Ketaatan tersebut diukur dari
bagaimana seseorang mengamalkan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-
harinya seperti sholat fardhu lima
waktu, berpuasa di bulan Ramadan,
berzakat, dan menunaikan ibadah haji
serta kewajiban-kewajiban lainnya.
Seiring berjalannya waktu, istilah santri
mengalami perkembangan.
Penggunaan istilah santri untuk
merepresentasikan masyarakat yang
taat beragama pada awalnya
menimbulkan pertentangan semantik.
Akan tetapi, penting untuk diketahui
bahwa Geertz sendiri sadar betul dalam
memaknai santri, abangan dan priyai
(Octavia, 2020). Pada
perkembangannya, istilah santri tidak
hanya digunakan untuk
menggambarkan orang yang Nyantren
atau menempuh pendidikan di pondok
pesantren, melainkan juga digunakan
untuk menggambarkan siapapun yang
mendalami dan mengamalkan ajaran
agama Islam.
Kita tentu tidak menafikan
bagaimana peran santri dalam sejarah
kemerdekaan Negara Indonesia. Dalam
catatan sejarah Indonesia, peristiwa 10
November 1945 merupakan salah satu
bukti peran santri dalam
keterlibatannya menjaga dan
membangun negeri. Terlebih di tahun
2014 dengan ditetapkannya 22 Oktober
sebagai Hari Santri Nasional yang
menandakan bahwa peran santri dalam
kemerdekaan Negara Indonesia
memang cukup signifikan. Mengenai
perannya dalam Islamisasi, peran santri
dalam Islamisasi Blitar Selatan
khusunya juga signifikan.
Keterlibatannya membantu
pemerintah dalam upaya menumpas
para simpatisan PKI pada 1968
merupakan awal bermulanya peran para
santri. Para santri yang turut berperan
dalam upaya penumpasan ini tergabung
dalam Gerakan Pemuda Ansor, sebuah
organisasi otonom milik Nahdlatul
Ulama. Pasca pemberontakan yang
dilakukan PKI pada 1965, Gerakan
Pemuda Ansor melakukan upaya
penyelamatan rakyat, agama dan juga
negara dengan terjun bersama militer
menumpas para simpatisan PKI (Hadi,
2019).
Pasca peristiwa penumpasan
para simpatisan PKI, para santri
kemudian membantu menyebarkan
Islam dengan berdakwah secara
kultural. Dalam mensyiarkan ajaran
Islam, para santri menggunakan metode
dakwah sebagaimana diajarkan di
pondok pesantren, yaitu berdakwah
dengan memberikan ceramah dan
melakukan dialog secara intensif pada
setiap individu. Mashadi (2013)
menganggap bahwa penyuluhan agama
Islam yang dilakukan para santri
melalui metode ini mampu menarik
simpati masyarakat yang mayoritas
mempunyai keyakinan yang
berseberangan dengan aqidah Islam.
Para santri juga menggunakan
pendekatan kesenian dan kebudayaan.
Hal ini tercermin ketika mereka
membentuk komunitas kesenian
tradisional. Komunitas ini dibentuk
juga sebagai media perlawanan dari
propaganda para simpatisan PKI
melalui LEKRA, komunitas kesenian
bentukan PKI.
Berawal dari rasa haus
masyarakat akan hiburan, para santri ini
membentuk suatu komunitas kesenian
tradisional yang menampilkan
32 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
kesenian-kesenian seperti Qasidahan
dan Hadrah. Para santri juga turut serta
mengajak para remaja untuk bergabung
dan berlatih kesenian tradisional dalam
komunitas ini. Adanya kegiatan seperti
ini bisa membuat suasana menjadi
tenteram dan efektif sebagai metode
penyebaran agama Islam. Strategi yang
digunakan para santri ini juga mampu
membuat masyarkat yang sebelumnya
tergabung dalam LEKRA, berbalik
mendukung para santri yang tergabung
dalam Gerakan Pemuda Ansor.
Seiring berjalannya waktu,
masyarakat mulai terlepas dan
meninggalkan pengaruh-pengaruh dari
keyakinan sebelumnya. Melalui metode
dakwah yang diterapkan oleh para guru
agama dan para santri, Islam mulai
berkembang cukup pesat. Masyarakat
yang pernah berafiliasi dengan para
simpatisan PKI dengan penuh
kesadaran mengikuti pengajian-
pengajian yang diadakan di langgar dan
masjid setempat. Mereka juga mulai
rutin menjalankan ibadah. Semakin
berkembangnya pemeluk Islam di
Blitar Selatan menandakan bahwa
Islam disebarkan dengan strategi yang
baik (Amin & Afiyanto, 2021).
Perkembangan Islam yang cukup pesat
ini ditandai dengan bermunculannya
majelis taklim di setiap desa (Syam,
2013).
Didirikannya Pondok Pesantren
Cabang Lirboyo di Desa Sidomulyo
Kecamatan Bakung pada tahun 2004
juga menjadi tolak ukur pesatnya
perkembangan Islam di daerah tersebut.
Sejak awal perkembangan Islam,
hadirnya pondok pesantren dinilai
strategis dalam membangun
masyarakat (Faisol, 2017). Sebagai
lembaga keislaman, kehadiran pondok
pesantren juga berpengaruh dalam
membentuk karakter masyarakat di
lingkungan sekitarnya. Para santri
biasanya diundang oleh masyarakat
atau pemerintah setempat untuk
memberikan ceramah keagamaan pada
acara pengajian. Pengajian yang rutin
diselenggarakan pada malam Ahad
Pahing ini bertempat di Masjid Jami’
Kecamatan Bakung.
Dalam memberikan ceramah,
para santri secara tidak langsung telah
berperan dalam melakukan pendidikan
karakter terhadap masyarakat.
Pendidikan karakter yang diberikan
oleh para santri merupakan penerapan
dari ajaran KH. Wahid Hasyim
(Baharun & Mahmudah, 2018).
Berdasar dari pemikiran KH. Wahid
Hasyim tentang pendidikan, nilai-nilai
dari pendidikan karakter tersebut
diantaranya ialah (1) Religius; (2)
Toleransi; (3) Mandiri; (4) Demokratis;
(5) Semangat Kebangsaan; (6) Cinta
Tanah Air; (7)
Bersahabat/Komunikatif, serta; (8)
Gemar Membaca (Sa’adillah, 2015).
Kedelapan nilai-nilai tersebut
merupakan poin pokok dari ajaran
pendidikan karakter KH. Wahid
Hasyim yang disebarkan oleh para
santri kepada masyarakat Kecamatan
Bakung dan Blitar Selatan secara
umum.
Dengan diberikannya pendidikan
karakter oleh para santri tentu terselip
harapan agar masyarakat Blitar Selatan
secara umum mampu mengembangkan
potensi dasarnya minimal supaya dapat
berperilaku baik. H. Koesni (2022)
mengatakan bahwa hadirnya pondok
pesantren di tengah masyarakat Bakung
menjadi suatu kebanggaan karena
dirasa mampu menjadi benteng akidah
bagi masyarakat Blitar Selatan,
khusunya Kecamatan Bakung.
Kehadiran pondok pesantren selain
sebagai benteng pertahanan dan
perjuangan melawan komunisme, juga
berperan sebagai tempat proses
berkembangnya masyarakat (Nurdin,
2016).
V. Kesimpulan
Sejarah kelam yang pernah terjadi tentu
saja diharapkan tidak terulang lagi. Tragedi
1965 yang menorehkan luka mendalam akan
terkenang abadi oleh seluruh masyarakat
Negara Indonesia. Tragedi yang telah
menorehkan luka hingga membuat trauma
terutama bagi masyarakat Blitar Selatan
terjadi hanya karena pertentangan ideologi.
Gagalnya kudeta yang terjadi di Jakarta
berdampak pada dibubarkannya PKI dan
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 33
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
larangan terhadap segala bentuk ajaran
komunisme, marxisme serta leninisme. Para
simpatisan PKI yang berhasil keluar dari
Jakarta berusaha bersembunyi dan melarikan
diri hingga ke berbagai pelosok negeri. Di
daerah Blitar Selatan, berbagai propaganda
yang dilakukan oleh para simpatisan PKI
untuk menarik simpati masyarakat mampu
membuat mereka kembali membangun
kekuatan massa.
Besarnya pengaruh para simpatisan
PKI ini menandakan kurangnya perhatian dari
pemerintah pusat maupun daerah sehingga
berbagai upaya dilakukan untuk menangkal
pengaruh para simpatisan PKI. Dominasi para
simpatisan PKI di Blitar Selatan berakhir pada
1968 melalui Operasi Trisula oleh militer
dengan bantuan sebagian rakyat Blitar
Selatan. Hilangnya dominasi para simpatisan
PKI tidak begitu saja menghilangkan
kenangan-kenangan buruk yang dialami
masyarakat Blitar Selatan selama para
simpatisan PKI berkuasa. Maka dalam upaya
menanggulangi hal ini, pemerintah berupaya
melakukan penyuluhan agama Islam melalui
proses Islamisasi. Upaya Islamisasi ini
berawal dengan diberikannya pendidikan
keislaman oleh para guru agama Islam di
madrasah, langgar ataupun masjid. Seiring
berjalannya waktu, Islamisasi mulai
mengalami perkembangan. Salah satu tolak
ukurnya adalah dengan didirikannya pondok
pesantren cabang Lirboyo di daerah
Sidomulyo, Kecamatan Bakung pada 2004.
Para santri dari pondok pesantren cabang
Lirboyo tersebut rutin melakukan penyuluhan
agama Islam dan memberikan pendidikan
karakter kepada masyarakat Kecamatan
Bakung khususnya dan Blitar Selatan pada
umumnya. Infiltrasi nilai-nilai keislaman atau
Islamisasi secara kultural melalui pondok
pesantren diharapkan dapat menguatkan
akidah masyarakat sehingga mampu
memfilter ideologi-ideologi yang
bertentangan dengan ajaran Islam dan juga
bertentangan dengan Pancasila.
Daftar Pustaka
Afifi, A., & Zuharon, T. (2021). Banjir
Darah Kisah Nyata Aksi PKI
Terhadap Kiai, Santri, Dan Kaum
Muslimin (VI). Jakarta Timur:
Istanbul.
Amin, M. R., & Afiyanto, H. (2021).
Dinamika Pendidikan Islam:
Madrasah Kabupaten Tulungagung
(1968-1984). Santhet: Jurnal
Sejarah, Pendidikan Dan
Humaniora, 5(1), 11.
Amrozi, S. R. (2021). Keberagamaan Orang
Jawa Dalam Pandangan Clifford
Geertz dan Mark R. Woodward.
Fenomena, 20(1), 61–76.
https://doi.org/10.35719/fenomena.v
20i1.46
Anam, A. K. (2016). Jejak Clifford Geertz Di
Indonesia: Mengoreksi Trikotomi
Santri, Abangan dan Priyayi.
Mozaic : Islam Nusantara, 2(2), 1–
14.
https://doi.org/10.47776/mozaic.v2i2
.80
Baharun, H., & Mahmudah. (2018).
Konstruksi Pendidikan Karakter Di
Madrasah Berbasis Pesantren. 8(1),
25.
Bari, A. F. (2008). Strategi Partai Komunis
Indonesia Terhadap Petani Dan
Pengaruhnya Di Jawa Timur (1953-
1965). Universitas Indonesia, Depok.
Fahrizal, A. (2020). Islamisasi di Kota
Surakarta dan Sekitarnya Masa Orde
Baru: Sebuah Tinjauan Awal.
Lembaran Sejarah, 16(1), 62.
https://doi.org/10.22146/lembaran-
sejarah.59913
Faisol, M. (2017). Peran Pondok Pesantren
Dalam Membina Keberagamaan
Santri. AL-TANZIM : JURNAL
MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM, 1(2), 37–51.
https://doi.org/10.33650/al-
tanzim.v1i2.112
Farihah, I. (2015). Filsafat Materialisme Karl
Marx (Epistimologi Dialectical and
Historical Materialism). 3(2), 28.
Hadi, A. (2019). M. Zainuddin Kayubi dan
Perjuangannya Dalam Melawan
Pemberontakan PKI di Blitar (1964-
34 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232
1968 M). UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta.
Huda, M. D. (2016). Peran Dukun Terhadap
Perkembangan Peradaban Budaya
Masyarakat Jawa. Jurnal
IKADBUDI, 4(10).
https://doi.org/10.21831/ikadbudi.v4i
10.12029
Iriani, I. (2020). Jejak-jejak Penyebaran
Islam Di Kota Blitar: Penelusuran
Sisa-sisa Laskar Diponegoro (1st
ed.). Blitar: Dinas Perpustakaan dan
Kearsipan Kota Blitar.
Koesni. (2022). Wawancara.
Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu
Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Latif, Y. (2014). Mata Air Keteladanan
Pancasila Dalam Perbuatan (1st
ed.). Bandung: Mizan Media Utama.
Mun’im, A. (2013). Benturan NU-PKI 1948-
1965. Jakarta: TIM PBNU.
Mustafa, H. R. (2020). Pergolakan Agraria
1965-1966 di Banyuwangi. Heritage:
Journal of Social Studies, 1(1), 12.
Mustofa. (2022). Wawancara.
Nafi’ah, D. (2020). Upacara Siraman Gong
Kyai Pradah Dan Pengaruhnya Bagi
Masyarakat Blitar. UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Nurdin, M. (2016). Peran Santri Dalam
Membumikan Islam Nusantara.
Retrieved from Nu Online website:
https://nu.or.id/opini/peran-santri-
dalam-membumikan-islam-
nusantara-pv4Tk
Octavia, A. T. (2020). Peran Pesantren
Dalam Islamisasi Di Kabupaten
Magelang Pada Masa Orde Baru
(Studi Kasus di Pondok Pesantren
Payaman dan Tegalrejo). IAIN
Salatiga, Salatiga.
Pamungkas, M. (2019). Jejak Demokrasi
Pemilu 1955. Jakarta Selatan: Arsip
Nasional Republik Indonesia.
Pratiwi, W. S. (2020). Kesenian Sebagai
Media Dakwah Sunan Kalijaga. UIN
Raden Intan, Lampung.
Ridlo, M. (2020). Kisah Kiai NU Melindungi
Simpatisan PKI Usai Tragedi 1965 di
Cilacap. Retrieved from Liputan6
website: https://www.liputan6.com/
Sa’adillah, R. (2015). Pendidikan Karakter
Menurut KH. Wahid Hasyim. Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 3(2), 277–
303.
Setiyono, A. P. (2003). Gerakan PKI Tahun
1963-1968: Sebuah Kajian Sosial-
Ekonomi Di Blitar Selatan.
Universitas Airlangga, Surabaya.
Subair. (2015). Abangan, Santri, Priyayi:
Islam Dan Politik Identitas
Kebudayaan Jawa. DIALEKTIKA,
9(2), 34–46.
Sukamto. (2022). Wawancara.
Sunarto. (2015). Peran Pondok Pesantren
Dalam Pengembangan Kultur Islam
Nusantara. Al-Tadzkiyyah: Jurnal
Pendidikan Islam, 6, 34–46.
Suparjo. (2008). Islam dan Budaya: Strategi
Kultural Walisongo dalam
Membangun Masyarakat Muslim
Indonesia. Komunika, 2(2), 178–193.
Suseno, F. M. (1984). Etika Jawa Sebuah
Analisis Falsafi Tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta:
PT Gramedia.
Syam, M. (2013). Berdakwah Dari Hati Ke
Hati Di Daerah Eks-PKI. 18.
Toha, A. (2020). Buat Apa Beragama?
Renungan Memaknai Religiusitas di
Tengah Kemodernan (1st ed.).
Bandung: PT Mizan Pustaka.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 35
Vol. 18, No. 1, Juni 2022, p. 21-35
ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Panji Setyo Nugroho (Islamisasi Blitar Selatan)
Zawawi, A. (2013). Peranan Pondok
Pesantren Dalam Menyiapkan
Generasi Muda Di Era Globalisasi.
Jurnal Ummul Qura, 3(2), 8.
Note:
1. Include the phone number in your article
Panji Setyo Nugroho : 082251862494
Hendra Afiyanto : 085935095599