Content uploaded by Alfin Fatwa M Afifudin
Author content
All content in this area was uploaded by Alfin Fatwa M Afifudin on Jun 04, 2022
Content may be subject to copyright.
87 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
DOI http://dx.doi.org/10.36722/sst.v7i2.1118
Respon Tanaman Daun Tombak (Sagittaria lancifolia)
Dalam Cekaman Logam Berat Tembaga (Cu)
Alfin Fatwa Mei Afifudin1, Eva Agustina1, Nirmala Fitria Firdhausi1, Rony Irawanto2
1 Program studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
Jl. Ahmad Yani No. 117, Surabaya 60237.
2 Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jalan.
Raya Surabaya- Malang, Km. 65, Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur 57751.
Penulis untuk Korespondensi/E-mail: eva_agustina@uinsby.ac.id
Abstract – One type of heavy metal that pollutes waters is heavy metal copper (Cu). Cu metal is basically
an essential metal for living things, but with high levels of Cu metal, it can interfere with the body's
metabolic processes. Therefore, there needs to be a solution to overcome Cu metal pollution in the waters.
One of them is phytoremediation, or the use of plants to absorb pollutants. Spear leaf plant (Sagittaria
lancifolia) is proven to be able to absorb heavy metal copper (Cu). However, the growth response is not
yet known in more detail. Therefore, this study aimed to determine the growth response of pike leaf
(Sagitaria lancifolia) under stress of heavy metal copper (Cu). This research is an experimental study
with a completely randomized design (CRD). The experiment was conducted with 8 treatments (4
treatments with 2 tests) and 3 replications. The 4 treatments were distinguished based on differences in
the concentration of Cu metal used, namely 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, and 3 mg/L. The results showed that
exposure to heavy metal copper (Cu) in each concentration variation and detention time variation did
not have a significant effect on the growth and morphological conditions of spear leaf (Sagittaria
lancifolia) plant, so this plant deserves to be used as an option in recovery efforts of water environment
contaminated with heavy metal copper (Cu).
Abstrak - Salah satu jenis logam berat yang banyak mencemari perairan ialah logam berat tembaga (Cu).
Logam Cu dasarnya merupakan logam esensial bagi mahkluk hidup, namun dengan kadar yang tinggi
logam Cu dapat mengganggu proses metabolisme tubuh. Oleh karena itu, perlu ada solusi untuk
mengatasi pencemaran logam Cu di perairan. Salah satunya ialah dengan fitoremediasi, atau
pemanfaatn tumbuhan untuk menyerap polutan. Tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) terbukti
mampu menyerap logam berat tembaga (Cu). Namun belum diketahui respon pertumbuhannya secara
lebih detail. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman
daun tombak (Sagitaria lancifolia) dalam cekaman logam berat tembaga (Cu). Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dilakukan dengan 8
perlakuan (4 perlakuan dengan 2 kali pengujian) dan 3 ulangan. Adapun 4 perlakuan dibedakan
berdasarkan perbedaan konsentrasi logam Cu yang digunakan, yakni 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, dan 3
mg/L. Hasil penelitian menunjukkan paparan logam berat tembaga (Cu) pada masing-masing variasi
konsentrasi dan variasi waktu detensi tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan dan
kondisi morfologi tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia), sehingga tanaman ini layak dijadikan
sebagai salah satu opsi dalam upaya pemulihan lingkungan perairan yang tercemar logam berat tembaga
(Cu).
Keywords – Response, Lanceleaf arrowhead, Sagittaria lancifolia, Heavy metals, Copper (Cu)
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 88
PENDAHULUAN
awasan perairan merupakan salah satu kawasan
yang rentan terjadi pencemaran [1]. Salah
satunya pencemaran yang kerap terjadi ialah
pencemaran oleh logam berat. Jenis-jenis logam
berat yang banyak dijumpai di perairan diantaranya
tembaga (Cu), timbal (Pb), cadmium (Cd), seng
(Zn), kromium (Cr), merkuri (Hg), dan nikel (Ni)
[2]. Diantara sekian jenis logam berat, logam berat
tembaga (Cu) merupakan logam dominan yang
mencemari perairan [3]. Selain di perairan darat,
logam Cu juga telah dilaporkan mencemari perairan
laut [4], [5]. Salah satu penyebab pencemaran Cu
ialah adanya industri elektroplating atau pelapisan
logam [6]. Jika logam Cu terakumulasi dalam kadar
yang tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan
terganggunya proses metabolisme tubuh [7]. Oleh
karena itu perlu adanya upaya dalam mengatasi
pencemaran logam berat tembaga (Cu) terutama di
kawasan perairan, karena hampir semua mahkluk
hidup membutuhkan air dalam kehidupannya [8].
Salah satu upaya dengan menggunakan tumbuhan
sebagai agen penyerap polutan, atau biasa disebut
teknik fitoremediasi. Kelebihan dari teknik
fitoremediasi ialah biayanya murah, resiko
kontaminasi rendah, tidak menghasilkan limbah
berbahaya, dan treatment yang mudah [9]. Banyak
tanaman yang telah diteliti kemampuannya dalam
upaya fitoremediasi logam berat tembaga (Cu),
diantaranya ialah jenis tanama akuatik seperti
Juncus effusus, Acorus calamus, Eichhornia
crassipes, Sagittaria sagittifolia, Arundina
graminifolia, Echinodorus major, Nymphaea
tetragoma, dan Pistia stratiotes [10]. Penggunaan
tanaman akuatik dalam fitoremediasi didasarkan
oleh prinsip bahwa semua jenis tanaman mampu
menyerap polutan dalam tubuhnya, namun setiap
tanaman memiliki kemampuan dan tingkat toleransi
yang berbeda-beda [11]
Pada penelitian fitoremediasi yang telah dilakukan
sebelumnya, beberapa tanaman menunjukkan
respon yang tidak baik. Contohnya pada tanaman
Pistia stratiotes yang mengalami klorosis, yakni
kondisi di mana warna daun pada tanaman berubah
menjadi kuning bahkan putih yang disebabkan
gagalnya pembentukan klorofil sehinga
pertumbuhan tanaman menjadi lambat. [12] Juga
menlaporkan terjadi gejala nekrosis atau kerusakan
dan kematian sel, yakni tanaman mengalami
perubahan warna pada daun sehingga berubah
menjadi coklat, kering, dan berbintik sehingga
menyebabkan rontoknya daun dan terjadi kematian
pada tanaman [13]. Tidak hanya itu, pada penelitian
yang dilakukan oleh [14], dengan menggunakan
tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) juga
menunjukkan reaksi klorosis dan nekrosis di akhir
pengamatannya.
Lebih lanjut, pengamatan oleh [15] dengan
menggunakan rumput dalam meremediasi tanah
yang tercemar minyak bumi juga menunjukkan
respon tanaman klorosis, daun mengkerut, dan pada
akar tanaman mengalami reduksi. Berdasarkan
beberapa kondisi kelainan fisiologis yang telah
dipaparkan, dirasa perlu adanya kajian fisiologi
berupa respon yang diberikan oleh tanaman setelah
terpapar logam berat, karena pada dasarnya
kemampuan tanaman dalam mengakumulasi dan
menyerap kontaminan bergantung pada jenis dan
karakteristik dari masing-masing tanaman [11].
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui respon pertumbuhan tanamn daun
tombak (Sagittaria lancifolia) dalam menghadapi
cekaman logam berat tembaga (Cu). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kemampuan tanaman
daun tombak apakah memiliki kemampuan lebih
dalam menghadapi cekaman polutan logam Cu.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Percobaan dilakukan dengan 8 perlakuan (4
perlakuan dengan 2 kali pengujian) dan 3 ulangan.
Adapun 4 perlakuan dibedakan berdasarkan
perbedaan konsentrasi logam Cu yang digunakan,
yakni 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, dan 3 mg/L. Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
reaktor berupa bak plastik ukuran 5 liter, gelas ukur,
botol kaca, corong, pipet ukur, bulb, timbangan
analitik, penggaris, gunting, oven, dan instrument
AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Sedangkan
bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya air, larutan CuSO2₄, aquades, kertas
saring, tumbuhan akuatik daun tombak (Sagittaria
lancifolia), larutan standart Cu, HClO2₄, dan HNO3₃
pekat.
Beberapa parameter yang diamati dalam penelitian
ini ialah: (a) jumlah daun, (b) biomassa tanaman, dan
(c) perubahan morfologi tanaman
Tahapan penelitian dalam penelitian ini yakni:
Aklimatisasi
Tanaman daun tombak dengan ukuran ±45 cm
diambil dari koleksi dalam keadaan segar.
K
89 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
Kemudian tanaman dibiarkan selama 1 bulan
didalam rumah kaca. Aklimatisasi bertujuan agar
tanaman beradaptasi dengan kondisi lingkungan
yang baru, sehingga akan memperkecil adanya bias
dalam penelitian.
Pembuatan larutan kerja
Pembuatan larutan kerja didasarkan variasi
konsentrasi Cu yang digunakan, yakni 0 mg/L,
1mg/L, 2mg/L, dan 3 mg/L. Larutan induk yang
dipakai ialah CuSO₄ dengan konsentrasi 1000 mg/L,
diencerkan dengan rumus:
M1 x V1 = M2 x V2 (1)
Keterangan:
M1: Konsentrasi larutan awal
M2: Konsentrasi larutan yang diinginkan
V1: Volume air awal
V2: Volume air setelah pengenceran
Pengamatan
Setelah dilakukan aklimatisasi selama 1 bulan,
masing-masing sampel bibit tanaman dimasukkan
pada masing-masing wadah reaktor yang telah berisi
logam Cu dengan konsentrasi berbeda dan media air
suling sebanyak 2 liter. Selanjutnya tanaman diamati
secara berkala pada setiap parameter yang telah
ditentukan.
Analisis data
Parameter perubahan morfologi tanaman dilakukan
secara deskriptif kualitatif dengan menghitung
ataupun mengamati secara langsung dan
menguraikan data serta fakta secara berurutan.
Adapun data-data dari parameter lain seperti
biomassa tanaman dan jumlah daun dianalisis
menggunakan uji parametrik sidik ragam atau
Analysis of Variance (ANOVA) dengan taraf
kesalahan 5%, uji ini bertujuan untuk mengetahui
adanya perbedaan pengaruh masing-masing
perlakuan terhadap parameter yang diamati
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan respon pertumbuhan tanaman sangatlah
penting untuk penelitian fitoremediasi. Hal ini
karena ketika tanaman terpapar stress seperti
cekaman logam berat dalam konsentrasi yang tinggi,
umumnya tanaman akan memberikan respon berupa
perubahan morfologi. Seperti halnya kebihan Cu
dapat mengganggu perkembangan normal dengan
mempengaruhi reaksi biokimia dan proses fisiologis
pada tanaman [16]. Adapun pengamatan respon
pertumbuhan dalam penelitian ini diantaranya ialah
pengukuran jumlah daun, biomassa tanaman berupa
berat basah dan berat kering tanaman, dan perubahan
morfologi tanaman Sagittaria lancifolia.
Jumlah Daun
Daun merupakan salah satu bagian tumbuhan yang
berfungsi sebagai tempat sintesis makanan untuk
metabolismenya. Semakin banyak jumlah daun,
semakin banyak pula tempat bagi tumbuhan untuk
memproduksi makanannya sehingga hasilnya juga
akan semakin banyak [17].
Tabel 1. Jumlah Daun
No
Variasi
konsentrasi
Waktu
kontak
Jumlah daun
Sebelum
Sesudah
1
Kontrol
2
minggu
2
5
2
1 mg/L
2
minggu
5
6
3
2 mg/L
2
minggu
6
8
4
3 mg/L
2
minggu
5
7
5
Kontrol
4
minggu
5
7
6
1 mg/L
4
minggu
3
4
7
2 mg/L
4
minggu
5
7
8
3 mg/L
4
minggu
6
7
Gambar 1. Grafik Jumlah Daun
Pada Gambar 1 telah terlihat rata-rata jumlah daun
saat sebelum treatment dan setelah treatment.
Kemudian, Jika dilihat dari Gambar 1, diketahui
bahwa pada masing-masing perlakuan rata-rata
jumlah daun mengalami penambahan pada sebelum
dan sesudah treatment. Rata-rata penambahan
jumlah daun ialah sebanyak dua lembar, namun pada
perlakuan kontrol dengan waktu kontak 2 minggu
menunjukkan penambahan paling banyak, yakni
sebanyak tiga daun. Adannya penambahan rata-rata
jumlah daun menunjukkan bahwa tidak ada
0
5
10
AA AA1 AA2 AA3 BB BB1 BB2 BB3
Jumlah Daun
Jumlah daun sebelum Jumlah daun sesudah
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 90
pengaruh antara paparan logam tembaga (Cu)
dengan jumlah daun Sagittaria lancifolia. Lebih
lanjut setelah dilakukan uji statistik antara jumlah
daun sebelum dan sesudah treatment, nilai sig yang
diperoleh ialah 0,000. Berdasarkan nilai tersebut,
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara
jumlah daun sebelum dan sesudah treatment. Hal ini
sesuai dengan Bagan 1 yang menunjukkan
penambahan jumlah daun pada semua perlakuan.
Biomassa Tanaman
Pengukuran biomassa tanaman dilakukan dengan
mengukur berat basah dan berat kering tanaman.
Menurut [18], bobot segar ialah bobot tanaman pada
saat dipanen dan sebelum layu serta kehilangan air.
Selain itu, Bobot segar menunjukkan hasil aktivitas
metabolism tanaman dan juga hasil fotosintesis
tanaman, karena hasil dari fotosintesis digunakan
untuk membentuk sel tanaman sehingga dapat
berpengaruh pada bobot segar tanaman [17].
Sementara itu, Berat kering tajuk mengungkapkan
total biomassa yang dapat diserap tanaman. Menurut
[19] berat kering suatu tanaman merupakan hasil
akumulasi bersih dari asimilasi CO₂ yang dilakukan
selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pertumbuhan tanaman itu sendiri dapat
memperhitungkan baik peningkatan berat basah
maupun akumulasi bahan kering. Oleh karena itu,
semakin baik tanaman tumbuh, semakin berat berat
keringnya.
Tabel 2. Biomassa Tanaman
No
Variasi
konsentrasi
Waktu kontak
Berat basah (g)
Berat kering (g)
Total (g)
Akar
Tajuk
1
Kontrol
2 minggu
70
0,77
5,11
5,88
2
1 mg/L
2 minggu
108
1,18
8,39
9,57
3
2 mg/L
2 minggu
103
0,82
9,1
9,92
4
3 mg/L
2 minggu
107
0,69
8,22
8,91
5
Kontrol
4 minggu
66
0,72
6,41
7,13
6
1 mg/L
4 minggu
65
0,63
4,9
5,53
7
2 mg/L
4 minggu
77
0,8
6,84
7,64
8
3 mg/L
4 minggu
109
1,2
10,2
11,4
Pada Tabel 2. merupakan hasil pengukuran dari
biomassa tanaman Sagittaria lancifolia. Pengukuran
berat basah dan berat kering dilakukan pada minggu
kedua dan keempat pada saat pemanenan. Perbedaan
berat kering tajuk tidak hanya dipengaruhi oleh berat
segar tajuk, tetapi juga oleh jumlah daun karena
daun merupakan tempat akumulasi hasil fotosintesis
tanaman. Seiring dengan meningkatnya proses
fotosintesis, maka hasil fotosintesis yang berupa
senyawa organik akan bermigrasi ke seluruh organ
tanaman dan mempengaruhi berat kering tanaman
[20] dalam [17]. Hasil bahan kering adalah
keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi.
Fotosintesis meningkatkan berat kering dengan
menyerap CO₂, dan respirasi mengurangi berat
kering dengan menghilangkan CO₂. Jika respirasi
lebih besar dari fotosintesis, berat kering berkurang
dan sebaliknya [17].
Selanjutnya dilanjutkan dengan uji statistika pada
kedua parameter tersebut. Hasil uji menunjukkan
nilai signifikansi pada berat basah sebesar 0,000 dan
pada berat kering sebesar 0,000. Oleh karena itu,
dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
rata-rata antara berat basah dan berat kering pada
masing-masing perlakuan. Perbedaan rata-rata pada
berat tajuk dapat dipengaruhi oleh ketersediaan
nutrisi dan zat hara pada tiap perlakuan [17].
Berbeda pada berat kering, perbedaan rata-rata pada
berat kering dapat disebabkan oleh proses
fotositensis pada masing-masing tanaman [20].
Perubahan Morfologi tanaman
Pengamatan perubahan morfologi tanaman
bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi
serta adaptasi tanaman Sagittaria lancifolia ketika
terpapar logam berat Cu. Adapun lebih lanjut
tentang perubahan morfologi tanaman setelah
terpapar logam Cu selama 2 minggu dapat dilihat
pada contoh:
91 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
Gambar 2. Morfologi tanaman setelah 2 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Terlihat pada Gambar 2. kondisi tanaman Sagittaria
lancifolia setelah terpapar logam Cu selama 2
minggu masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal
ini ditandai dengan warna batang dan daun yang
masih dalam kondisi segar. Selain itu, bentuk dan
strukturnya juga masih dalam kondisi kuat.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) cukup
kuat pada lingkungan yang tercemar logam Cu
selama 2 minggu, karena tidak terdapat gejala
klorosis maupun nekrosis pada daunnya. Klorosis
pada daun merupakan salah satu gejala awal umum
keracunan tembaga [21]. Gejala lainnya adalah
pertumbuhan akar terhambat, yang meliputi
perkembangan yang buruk, percabangan berkurang,
penebalan, dan warna gelap [22]. Gelaja-gejala
tersebut berbanding terbalik dengan kondisi akar
Sagittaria lancifolia yang baik dan masih dapat
bertumbuah, seperti terlihat pada Gambar 3 sebagai
berikut:
Gambar 3. Morfologi akar tanaman setelah 2 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Begitu pula pada tanaman yang terpapar logam Cu
selama 4 minggu. Kondisi morfologi tanaman
Sagittaria lancifolia terlihat masih dalam keadaan
baik seperti pada Gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4. Morfologi tanaman setelah 4 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Terlihat pada Gambar 4 kondisi morfologi
Sagittaria lancifolia setelah 4 minggu terpapar
logam Cu. Menurut [23] Kelebihan Cu dapat
mempengaruhi proses fisiologis penting pada
tanaman dan menyebabkan masalah dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di sisi
lain, kelebihan Cu ditandai dengan berkurangnya
biomassa tanaman, klorosis daun, pertumbuhan akar
terhambat, kecoklatan, dan nekrosis. Efek toksisitas
Cu sebagian besar akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar tanaman. Hal ini karena air dan
nutrisi masuk ke tanaman melalui akar, setiap cacat
atau malformasi akar menimbulkan masalah bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Sedangkan, terlihat pada Gambar 4 akar Sagittaria
lancifolia juga masih dalam kondisi yang baik,
ditandai dengan warnanya yang masih hijau dan
masih lebat. Kondisi tersebut jauh dari ciri-ciri
tanaman yang terpapar toksisitas Cu. Umumnya
tanaman yang terkena toksisitas Cu akan mengalami
klorosis yang biasanya ditandai dengan adanya
bercak atau lesi berwarna krem atau putih [24].
Peningkatan hasil toksisitas tembaga dalam
membentuk daerah nekrotik di ujung dan tepi daun
[23].
Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 4 terlihat
kondisi tanaman Sagittaria lancifolia pada paparan
2 minggu maupun 4 minggu terlihat cukup baik,
sehingga dapat diketahui bahwa pada lingkungan
yang tercemar logam Cu dengan konsentrasi 3 mg/L,
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) masih
bisa bertahan dengan cukup baik. Hal ini ditandai
dengan kondisi akarnya yang masih hijau dan lebat,
batangnya yang masih kokoh, serta daunnya yang
terlihat masih hijau dan kokoh, bahkan masih bisa
tumbuh tunas daun yang baru. Padahal umumnya
kelebihan tembaga menghambat ekspansi daun,
pemanjangan sel, dan pembelahan sel [25], [26].
Lebih lanjut, paparan yang lama terhadap cekaman
tembaga menyebabkan helaian daun terlipat,
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 92
peningkatan jumlah rambut pada permukaan bawah
helaian daun, peningkatan jumlah stomata dan
penurunan ukuran stomata, dan pengurangan
volume ruang antar sel mesofil [23].
KESIMPULAN
Adanya paparan logam berat tembaga (Cu) pada
masing-masing variasi konsentrasi dan variasi waktu
detensi tidak memberikan pengaruh yang berarti
terhadap pertumbuhan dan kondisi morfologi
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia),
sehingga tanaman ini layak dijadikan sebagai salah
satu opsi dalam upaya pemulihan lingkungan
perairan yang tercemar logam berat tembaga (Cu).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah membimbing serta
mengarahkan penulis dalam penyusunan artikel ini.
Selain itu, terima kasih kepada Kebun Raya
Purwodadi yang telah memfasilitasi dalam
melaksanakan penelitian ini.
REFERENSI
[1] A. F. Afifudin and R. Irawanto, “Estimating
The Ability of Lanceleaf Arrowhead
(Sagittaria lancifolia) in Phytoremediation of
Heavy Metal Copper (Cu),” Berk. SAINSTEK,
vol. 9, no. 3, pp. 125–130, Aug. 2021, doi:
10.19184/BST.V9I3.26667.
[2] S. A. Zubayr, “Analisis Status Pencemaran
Logam Berat di Wilayah Pesisir (Studi Kasus
Pembuangan Limbah Cair dan Tailing
Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa),”
IPB (Bogor Agricultural University), Bogor,
2009.
[3] R. A. A. I. . P. F. A. Filipus, “Bioakumulasi
Logam Berat Tembaga Cu Pada Kerang
Darah Di Perairan Muara Sungai Lumpur
Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera
Selatan,” Maspari J, vol. 10, no. 2, pp. 131–
140, 2018.
[4] A. Rukmi, “Analisis Kandungan Logam Berat
Tembaga (Cu) Pada Tiram Bakau
(Crassostrea Cucullata) Dan Air Di Pesisir
Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur,”
Universitas Brawijaya, Malang, 2019.
[5] D. Yunasfi and K. P. Singh, “The heavy metal
of cuprum (Cu) and lead(Pb) content in
Avicennia marina and Rhizophora mucranata
The heavy metal of cuprum (Cu) and lead(Pb)
content in Avicennia marina and Rhizophora
mucranata,” IOP Conf. Ser. Earth Environ.
Sci., vol. 374, no. 1, Nov.doi: 10.1088/1755-
1315/374/1/012064. 2019.
[6] N. Sekarwati, “Dampak Logam Berat Cu
(Tembaga) dan Ag (Perak) pada Limbah Cair
Industri Perak Terhadap Kualitas Air Sumur
dan Kesehatan Masyarakat serta Upaya
Pengendaliannya di Kota Gede Yogyakarta,”
UNS Sebelas Maret, Surakarta, 2014.
[7] M. Siotto and R. Squitti, “Copper imbalance
in alzheimer’s disease: Overview of the
exchangeable copper component in plasma
and the intriguing role albumin plays,” Coord.
Chem. Rev, vol. 37, no. 1, pp. 86–95, 2018.
[8] S. Fitria, “Potensi Tanaman Genjer
(Limnocharis Flava) Untuk Mengurangi
Kadar Logam Berat (Pb Dan Cu) Serta
Radionuklida Dengan Metode
Fitoremediasi,” Universitas Brawijaya,
Malang, 2014.
[9] K. H. D. Tang, S. H. Awa, and T. Hadibarata,
“Phytoremediation of Copper-Contaminated
Water with Pistia stratiotes in Surface and
Distilled Water,” Water. Air. Soil Pollut., vol.
231, no. 12, doi: 10.1007/s11270-020-04937-
9. 2020.
[10] D. Lu, Q. Huang, C. Deng, and Y. Zheng,
“Phytoremediation of Copper Pollution by
EightAquatic Plants,” Polish J. Environ.
Stud., vol. 27, no. 1, pp. 175–181, Jan. 2018,
doi: 10.15244/PJOES/73990. 2018.
[11] N. Hidayati, Tanaman Akumulator Merkuri
(Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) untuk
Fitoremediasi, no. Cd. 2020.
[12] A. Taufiqr, A. R. Asri, and Joko Purnomo,
“Penanggulangan Klorosis pada Kacang
Tanah di Alfisol Alkalis,” Bul. Brawijaya,
vol. 3, no. 1, pp. 1–16, 2008.
[13] M. Firmansyah and M. Alfarisi, “Uji
Patogenisitas Patogen Hawar Daun Pada
Tanaman Kayu Afrika (Maesopsis Eminii
Engl.) Di Persemaian Permanen BPDAS
Bogor,” J. Silvikultur Trop., vol. 7, no. 2, pp.
115–124, 2016.
[14] A. Fatoni, “Fitoremediasi Logam Berat (Zn)
Menggunakan Tanaman Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes,” UIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2020.
[15] S. Estuningsih, J. Juswardi, B. Yudono, and
R. Yulianti, “Potensi tanaman rumput sebagai
agen fitoremediasi tanah terkontaminasi
limbah minyak bumi,” 2013.
93 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
[16] S. Guzel and R. Terzi, “Exogenous hydrogen
peroxide increases dry matter production,
mineral content and level of osmotic solutes
in young maize leaves and alleviates
deleterious effects of copper stress,” Bot.
Stud., vol. 54, no. 1, Aug. doi: 10.1186/1999-
3110-54-26. 2013
[17] Ardiansyah, “Aplikasi Kombinasi Limbah
Cair Industri Tempe Dan Urea Pada
Pertumbuhan Dan Hasil Selada (Lactuca
Sativa),” FP UMY, Yogyakarta, 2016.
[18] C. Ross and F. S. Garden, Plant Physiology,
1947-1972. 1974.
[19] W. Larcher, Physiological plant ecology:
ecophysiology and stress physiology of
functional groups. 2003.
[20] B. nurdin. “Antipasi Perubahan Iklim untuk
Keberlanjutan Ketahanan Pangan,” J. Dialog
Kebijak. Publik, vol. 4, no. 1, 2011.
[21] A. Verma and S. Bhatia, “Analysis of some
physicochemical parameters and trace metal
concentration present in the soil around the
area of Pariccha thermal power station in
Jhansi, India,” Int. J. Innov. Sci. Eng., vol. 3,
pp. 10482–10488, 2014.
[22] P. M. G. Nair, I. M. Chung, “Study on the
correlation between copper oxide
nanoparticles induced growth suppression and
enhanced lignification in Indian mustard
(Brassica juncea L.),” Ecotoxicol. Environ.
Saf., vol. 113, pp. 302–313. doi:
10.1016/J.ECOENV.2014.12.013. 2015.
[23] A. Sağlam, F. Yetişsin, M. Demiralay, and R.
Terzi, “Copper Stress and Responses in
Plants,” Plant Met. Interact. Emerg.
Remediat. Tech., pp. 21–40, Jan. doi:
10.1016/B978-0-12-803158-2.00002-3.
2016.
[24] C. W. Lee, M. B. Jackson, M. E. Duysen, T.
P. Freeman, and J. R. Self, “Induced
Micronutrient Toxicity in ‘Touchdown’
Kentucky Bluegrass,” Crop Sci., vol. 36, no.
3, pp. 705–712. doi:
10.2135/CROPSCI1996.0011183X00360003
0031X. May 1996.
[25] W. Maksymiec, “Effect of copper on cellular
processes in higher plants,” Photosynth. 1997
343, vol. 34, no. 3, pp. 321–34. doi:
10.1023/A:1006818815528. Jan 1998.
[26] H. Panou-Filotheou and A. M. Bosabalidis,
“Root structural aspects associated with
copper toxicity in oregano (Origanum vulgare
subsp. hirtum),” Plant Sci., vol. 166, no. 6, pp.
1497–1504. doi:
10.1016/J.PLANTSCI.2004.01.026. Jun
2004.