ArticlePDF Available

Respon Tanaman Daun Tombak (Sagittaria lancifolia) Dalam Cekaman Logam Berat Tembaga (Cu)

Authors:

Abstract

p> One type of heavy metal that pollutes waters is heavy metal copper (Cu). Cu metal is basically an essential metal for living things, but with high levels of Cu metal, it can interfere with the body's metabolic processes. Therefore, there needs to be a solution to overcome Cu metal pollution in the waters. One of them is phytoremediation, or the use of plants to absorb pollutants. Spear leaf plant (Sagittaria lancifolia) is proven to be able to absorb heavy metal copper (Cu). However, the growth response is not yet known in more detail. Therefore, this study aimed to determine the growth response of pike leaf (Sagitaria lancifolia) under stress of heavy metal copper (Cu). This research is an experimental study with a completely randomized design (CRD). The experiment was conducted with 8 treatments (4 treatments with 2 tests) and 3 replications. The 4 treatments were distinguished based on differences in the concentration of Cu metal used, namely 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, and 3 mg/L. The results showed that exposure to heavy metal copper (Cu) in each concentration variation and detention time variation did not have a significant effect on the growth and morphological conditions of spear leaf (Sagittaria lancifolia) plant, so this plant deserves to be used as an option in recovery efforts of water environment contaminated with heavy metal copper (Cu). Keywords – Response, Lanceleaf arrowhead, Sagittaria lancifolia, Heavy metals, Copper (Cu) </p
87 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
DOI http://dx.doi.org/10.36722/sst.v7i2.1118
Respon Tanaman Daun Tombak (Sagittaria lancifolia)
Dalam Cekaman Logam Berat Tembaga (Cu)
Alfin Fatwa Mei Afifudin1, Eva Agustina1, Nirmala Fitria Firdhausi1, Rony Irawanto2
1 Program studi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
Jl. Ahmad Yani No. 117, Surabaya 60237.
2 Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jalan.
Raya Surabaya- Malang, Km. 65, Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur 57751.
Penulis untuk Korespondensi/E-mail: eva_agustina@uinsby.ac.id
Abstract One type of heavy metal that pollutes waters is heavy metal copper (Cu). Cu metal is basically
an essential metal for living things, but with high levels of Cu metal, it can interfere with the body's
metabolic processes. Therefore, there needs to be a solution to overcome Cu metal pollution in the waters.
One of them is phytoremediation, or the use of plants to absorb pollutants. Spear leaf plant (Sagittaria
lancifolia) is proven to be able to absorb heavy metal copper (Cu). However, the growth response is not
yet known in more detail. Therefore, this study aimed to determine the growth response of pike leaf
(Sagitaria lancifolia) under stress of heavy metal copper (Cu). This research is an experimental study
with a completely randomized design (CRD). The experiment was conducted with 8 treatments (4
treatments with 2 tests) and 3 replications. The 4 treatments were distinguished based on differences in
the concentration of Cu metal used, namely 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, and 3 mg/L. The results showed that
exposure to heavy metal copper (Cu) in each concentration variation and detention time variation did
not have a significant effect on the growth and morphological conditions of spear leaf (Sagittaria
lancifolia) plant, so this plant deserves to be used as an option in recovery efforts of water environment
contaminated with heavy metal copper (Cu).
Abstrak - Salah satu jenis logam berat yang banyak mencemari perairan ialah logam berat tembaga (Cu).
Logam Cu dasarnya merupakan logam esensial bagi mahkluk hidup, namun dengan kadar yang tinggi
logam Cu dapat mengganggu proses metabolisme tubuh. Oleh karena itu, perlu ada solusi untuk
mengatasi pencemaran logam Cu di perairan. Salah satunya ialah dengan fitoremediasi, atau
pemanfaatn tumbuhan untuk menyerap polutan. Tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) terbukti
mampu menyerap logam berat tembaga (Cu). Namun belum diketahui respon pertumbuhannya secara
lebih detail. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan tanaman
daun tombak (Sagitaria lancifolia) dalam cekaman logam berat tembaga (Cu). Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Percobaan dilakukan dengan 8
perlakuan (4 perlakuan dengan 2 kali pengujian) dan 3 ulangan. Adapun 4 perlakuan dibedakan
berdasarkan perbedaan konsentrasi logam Cu yang digunakan, yakni 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, dan 3
mg/L. Hasil penelitian menunjukkan paparan logam berat tembaga (Cu) pada masing-masing variasi
konsentrasi dan variasi waktu detensi tidak memiliki pengaruh yang berarti terhadap pertumbuhan dan
kondisi morfologi tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia), sehingga tanaman ini layak dijadikan
sebagai salah satu opsi dalam upaya pemulihan lingkungan perairan yang tercemar logam berat tembaga
(Cu).
Keywords Response, Lanceleaf arrowhead, Sagittaria lancifolia, Heavy metals, Copper (Cu)
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 88
PENDAHULUAN
awasan perairan merupakan salah satu kawasan
yang rentan terjadi pencemaran [1]. Salah
satunya pencemaran yang kerap terjadi ialah
pencemaran oleh logam berat. Jenis-jenis logam
berat yang banyak dijumpai di perairan diantaranya
tembaga (Cu), timbal (Pb), cadmium (Cd), seng
(Zn), kromium (Cr), merkuri (Hg), dan nikel (Ni)
[2]. Diantara sekian jenis logam berat, logam berat
tembaga (Cu) merupakan logam dominan yang
mencemari perairan [3]. Selain di perairan darat,
logam Cu juga telah dilaporkan mencemari perairan
laut [4], [5]. Salah satu penyebab pencemaran Cu
ialah adanya industri elektroplating atau pelapisan
logam [6]. Jika logam Cu terakumulasi dalam kadar
yang tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan
terganggunya proses metabolisme tubuh [7]. Oleh
karena itu perlu adanya upaya dalam mengatasi
pencemaran logam berat tembaga (Cu) terutama di
kawasan perairan, karena hampir semua mahkluk
hidup membutuhkan air dalam kehidupannya [8].
Salah satu upaya dengan menggunakan tumbuhan
sebagai agen penyerap polutan, atau biasa disebut
teknik fitoremediasi. Kelebihan dari teknik
fitoremediasi ialah biayanya murah, resiko
kontaminasi rendah, tidak menghasilkan limbah
berbahaya, dan treatment yang mudah [9]. Banyak
tanaman yang telah diteliti kemampuannya dalam
upaya fitoremediasi logam berat tembaga (Cu),
diantaranya ialah jenis tanama akuatik seperti
Juncus effusus, Acorus calamus, Eichhornia
crassipes, Sagittaria sagittifolia, Arundina
graminifolia, Echinodorus major, Nymphaea
tetragoma, dan Pistia stratiotes [10]. Penggunaan
tanaman akuatik dalam fitoremediasi didasarkan
oleh prinsip bahwa semua jenis tanaman mampu
menyerap polutan dalam tubuhnya, namun setiap
tanaman memiliki kemampuan dan tingkat toleransi
yang berbeda-beda [11]
Pada penelitian fitoremediasi yang telah dilakukan
sebelumnya, beberapa tanaman menunjukkan
respon yang tidak baik. Contohnya pada tanaman
Pistia stratiotes yang mengalami klorosis, yakni
kondisi di mana warna daun pada tanaman berubah
menjadi kuning bahkan putih yang disebabkan
gagalnya pembentukan klorofil sehinga
pertumbuhan tanaman menjadi lambat. [12] Juga
menlaporkan terjadi gejala nekrosis atau kerusakan
dan kematian sel, yakni tanaman mengalami
perubahan warna pada daun sehingga berubah
menjadi coklat, kering, dan berbintik sehingga
menyebabkan rontoknya daun dan terjadi kematian
pada tanaman [13]. Tidak hanya itu, pada penelitian
yang dilakukan oleh [14], dengan menggunakan
tanaman eceng gondok (Eichhornia crassipes) juga
menunjukkan reaksi klorosis dan nekrosis di akhir
pengamatannya.
Lebih lanjut, pengamatan oleh [15] dengan
menggunakan rumput dalam meremediasi tanah
yang tercemar minyak bumi juga menunjukkan
respon tanaman klorosis, daun mengkerut, dan pada
akar tanaman mengalami reduksi. Berdasarkan
beberapa kondisi kelainan fisiologis yang telah
dipaparkan, dirasa perlu adanya kajian fisiologi
berupa respon yang diberikan oleh tanaman setelah
terpapar logam berat, karena pada dasarnya
kemampuan tanaman dalam mengakumulasi dan
menyerap kontaminan bergantung pada jenis dan
karakteristik dari masing-masing tanaman [11].
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui respon pertumbuhan tanamn daun
tombak (Sagittaria lancifolia) dalam menghadapi
cekaman logam berat tembaga (Cu). Hal ini
dilakukan untuk mengetahui kemampuan tanaman
daun tombak apakah memiliki kemampuan lebih
dalam menghadapi cekaman polutan logam Cu.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental
dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Percobaan dilakukan dengan 8 perlakuan (4
perlakuan dengan 2 kali pengujian) dan 3 ulangan.
Adapun 4 perlakuan dibedakan berdasarkan
perbedaan konsentrasi logam Cu yang digunakan,
yakni 0 mg/L, 1mg/L, 2mg/L, dan 3 mg/L. Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya
reaktor berupa bak plastik ukuran 5 liter, gelas ukur,
botol kaca, corong, pipet ukur, bulb, timbangan
analitik, penggaris, gunting, oven, dan instrument
AAS (Atomic Absorption Spectroscopy). Sedangkan
bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini
diantaranya air, larutan CuSO2₄, aquades, kertas
saring, tumbuhan akuatik daun tombak (Sagittaria
lancifolia), larutan standart Cu, HClO2, dan HNO3
pekat.
Beberapa parameter yang diamati dalam penelitian
ini ialah: (a) jumlah daun, (b) biomassa tanaman, dan
(c) perubahan morfologi tanaman
Tahapan penelitian dalam penelitian ini yakni:
Aklimatisasi
Tanaman daun tombak dengan ukuran ±45 cm
diambil dari koleksi dalam keadaan segar.
K
89 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
Kemudian tanaman dibiarkan selama 1 bulan
didalam rumah kaca. Aklimatisasi bertujuan agar
tanaman beradaptasi dengan kondisi lingkungan
yang baru, sehingga akan memperkecil adanya bias
dalam penelitian.
Pembuatan larutan kerja
Pembuatan larutan kerja didasarkan variasi
konsentrasi Cu yang digunakan, yakni 0 mg/L,
1mg/L, 2mg/L, dan 3 mg/L. Larutan induk yang
dipakai ialah CuSO₄ dengan konsentrasi 1000 mg/L,
diencerkan dengan rumus:
M1 x V1 = M2 x V2 (1)
Keterangan:
M1: Konsentrasi larutan awal
M2: Konsentrasi larutan yang diinginkan
V1: Volume air awal
V2: Volume air setelah pengenceran
Pengamatan
Setelah dilakukan aklimatisasi selama 1 bulan,
masing-masing sampel bibit tanaman dimasukkan
pada masing-masing wadah reaktor yang telah berisi
logam Cu dengan konsentrasi berbeda dan media air
suling sebanyak 2 liter. Selanjutnya tanaman diamati
secara berkala pada setiap parameter yang telah
ditentukan.
Analisis data
Parameter perubahan morfologi tanaman dilakukan
secara deskriptif kualitatif dengan menghitung
ataupun mengamati secara langsung dan
menguraikan data serta fakta secara berurutan.
Adapun data-data dari parameter lain seperti
biomassa tanaman dan jumlah daun dianalisis
menggunakan uji parametrik sidik ragam atau
Analysis of Variance (ANOVA) dengan taraf
kesalahan 5%, uji ini bertujuan untuk mengetahui
adanya perbedaan pengaruh masing-masing
perlakuan terhadap parameter yang diamati
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan respon pertumbuhan tanaman sangatlah
penting untuk penelitian fitoremediasi. Hal ini
karena ketika tanaman terpapar stress seperti
cekaman logam berat dalam konsentrasi yang tinggi,
umumnya tanaman akan memberikan respon berupa
perubahan morfologi. Seperti halnya kebihan Cu
dapat mengganggu perkembangan normal dengan
mempengaruhi reaksi biokimia dan proses fisiologis
pada tanaman [16]. Adapun pengamatan respon
pertumbuhan dalam penelitian ini diantaranya ialah
pengukuran jumlah daun, biomassa tanaman berupa
berat basah dan berat kering tanaman, dan perubahan
morfologi tanaman Sagittaria lancifolia.
Jumlah Daun
Daun merupakan salah satu bagian tumbuhan yang
berfungsi sebagai tempat sintesis makanan untuk
metabolismenya. Semakin banyak jumlah daun,
semakin banyak pula tempat bagi tumbuhan untuk
memproduksi makanannya sehingga hasilnya juga
akan semakin banyak [17].
Tabel 1. Jumlah Daun
No
Variasi
konsentrasi
Waktu
kontak
Jumlah daun
Sebelum
1
Kontrol
2
minggu
2
2
1 mg/L
2
minggu
5
3
2 mg/L
2
minggu
6
4
3 mg/L
2
minggu
5
5
Kontrol
4
minggu
5
6
1 mg/L
4
minggu
3
7
2 mg/L
4
minggu
5
8
3 mg/L
4
minggu
6
Gambar 1. Grafik Jumlah Daun
Pada Gambar 1 telah terlihat rata-rata jumlah daun
saat sebelum treatment dan setelah treatment.
Kemudian, Jika dilihat dari Gambar 1, diketahui
bahwa pada masing-masing perlakuan rata-rata
jumlah daun mengalami penambahan pada sebelum
dan sesudah treatment. Rata-rata penambahan
jumlah daun ialah sebanyak dua lembar, namun pada
perlakuan kontrol dengan waktu kontak 2 minggu
menunjukkan penambahan paling banyak, yakni
sebanyak tiga daun. Adannya penambahan rata-rata
jumlah daun menunjukkan bahwa tidak ada
0
5
10
AA AA1 AA2 AA3 BB BB1 BB2 BB3
Jumlah Daun
Jumlah daun sebelum Jumlah daun sesudah
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 90
pengaruh antara paparan logam tembaga (Cu)
dengan jumlah daun Sagittaria lancifolia. Lebih
lanjut setelah dilakukan uji statistik antara jumlah
daun sebelum dan sesudah treatment, nilai sig yang
diperoleh ialah 0,000. Berdasarkan nilai tersebut,
dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara
jumlah daun sebelum dan sesudah treatment. Hal ini
sesuai dengan Bagan 1 yang menunjukkan
penambahan jumlah daun pada semua perlakuan.
Biomassa Tanaman
Pengukuran biomassa tanaman dilakukan dengan
mengukur berat basah dan berat kering tanaman.
Menurut [18], bobot segar ialah bobot tanaman pada
saat dipanen dan sebelum layu serta kehilangan air.
Selain itu, Bobot segar menunjukkan hasil aktivitas
metabolism tanaman dan juga hasil fotosintesis
tanaman, karena hasil dari fotosintesis digunakan
untuk membentuk sel tanaman sehingga dapat
berpengaruh pada bobot segar tanaman [17].
Sementara itu, Berat kering tajuk mengungkapkan
total biomassa yang dapat diserap tanaman. Menurut
[19] berat kering suatu tanaman merupakan hasil
akumulasi bersih dari asimilasi CO₂ yang dilakukan
selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pertumbuhan tanaman itu sendiri dapat
memperhitungkan baik peningkatan berat basah
maupun akumulasi bahan kering. Oleh karena itu,
semakin baik tanaman tumbuh, semakin berat berat
keringnya.
Tabel 2. Biomassa Tanaman
No
Variasi
konsentrasi
Waktu kontak
Berat basah (g)
Berat kering (g)
Total (g)
Akar
Tajuk
1
Kontrol
2 minggu
70
0,77
5,11
5,88
2
1 mg/L
2 minggu
108
1,18
8,39
9,57
3
2 mg/L
2 minggu
103
0,82
9,1
9,92
4
3 mg/L
2 minggu
107
0,69
8,22
8,91
5
Kontrol
4 minggu
66
0,72
6,41
7,13
6
1 mg/L
4 minggu
65
0,63
4,9
5,53
7
2 mg/L
4 minggu
77
0,8
6,84
7,64
8
3 mg/L
4 minggu
109
1,2
10,2
11,4
Pada Tabel 2. merupakan hasil pengukuran dari
biomassa tanaman Sagittaria lancifolia. Pengukuran
berat basah dan berat kering dilakukan pada minggu
kedua dan keempat pada saat pemanenan. Perbedaan
berat kering tajuk tidak hanya dipengaruhi oleh berat
segar tajuk, tetapi juga oleh jumlah daun karena
daun merupakan tempat akumulasi hasil fotosintesis
tanaman. Seiring dengan meningkatnya proses
fotosintesis, maka hasil fotosintesis yang berupa
senyawa organik akan bermigrasi ke seluruh organ
tanaman dan mempengaruhi berat kering tanaman
[20] dalam [17]. Hasil bahan kering adalah
keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi.
Fotosintesis meningkatkan berat kering dengan
menyerap CO₂, dan respirasi mengurangi berat
kering dengan menghilangkan CO₂. Jika respirasi
lebih besar dari fotosintesis, berat kering berkurang
dan sebaliknya [17].
Selanjutnya dilanjutkan dengan uji statistika pada
kedua parameter tersebut. Hasil uji menunjukkan
nilai signifikansi pada berat basah sebesar 0,000 dan
pada berat kering sebesar 0,000. Oleh karena itu,
dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan
rata-rata antara berat basah dan berat kering pada
masing-masing perlakuan. Perbedaan rata-rata pada
berat tajuk dapat dipengaruhi oleh ketersediaan
nutrisi dan zat hara pada tiap perlakuan [17].
Berbeda pada berat kering, perbedaan rata-rata pada
berat kering dapat disebabkan oleh proses
fotositensis pada masing-masing tanaman [20].
Perubahan Morfologi tanaman
Pengamatan perubahan morfologi tanaman
bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi
serta adaptasi tanaman Sagittaria lancifolia ketika
terpapar logam berat Cu. Adapun lebih lanjut
tentang perubahan morfologi tanaman setelah
terpapar logam Cu selama 2 minggu dapat dilihat
pada contoh:
91 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
Gambar 2. Morfologi tanaman setelah 2 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Terlihat pada Gambar 2. kondisi tanaman Sagittaria
lancifolia setelah terpapar logam Cu selama 2
minggu masih dalam kondisi yang cukup baik. Hal
ini ditandai dengan warna batang dan daun yang
masih dalam kondisi segar. Selain itu, bentuk dan
strukturnya juga masih dalam kondisi kuat.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat diketahui bahwa
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) cukup
kuat pada lingkungan yang tercemar logam Cu
selama 2 minggu, karena tidak terdapat gejala
klorosis maupun nekrosis pada daunnya. Klorosis
pada daun merupakan salah satu gejala awal umum
keracunan tembaga [21]. Gejala lainnya adalah
pertumbuhan akar terhambat, yang meliputi
perkembangan yang buruk, percabangan berkurang,
penebalan, dan warna gelap [22]. Gelaja-gejala
tersebut berbanding terbalik dengan kondisi akar
Sagittaria lancifolia yang baik dan masih dapat
bertumbuah, seperti terlihat pada Gambar 3 sebagai
berikut:
Gambar 3. Morfologi akar tanaman setelah 2 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Begitu pula pada tanaman yang terpapar logam Cu
selama 4 minggu. Kondisi morfologi tanaman
Sagittaria lancifolia terlihat masih dalam keadaan
baik seperti pada Gambar 4 sebagai berikut:
Gambar 4. Morfologi tanaman setelah 4 minggu
paparan.
Keterangan: (a) kontrol; (b) 1 mg/L; (c) 2 mg/L; (d) 3
mg/L.
Terlihat pada Gambar 4 kondisi morfologi
Sagittaria lancifolia setelah 4 minggu terpapar
logam Cu. Menurut [23] Kelebihan Cu dapat
mempengaruhi proses fisiologis penting pada
tanaman dan menyebabkan masalah dalam
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Di sisi
lain, kelebihan Cu ditandai dengan berkurangnya
biomassa tanaman, klorosis daun, pertumbuhan akar
terhambat, kecoklatan, dan nekrosis. Efek toksisitas
Cu sebagian besar akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan akar tanaman. Hal ini karena air dan
nutrisi masuk ke tanaman melalui akar, setiap cacat
atau malformasi akar menimbulkan masalah bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Sedangkan, terlihat pada Gambar 4 akar Sagittaria
lancifolia juga masih dalam kondisi yang baik,
ditandai dengan warnanya yang masih hijau dan
masih lebat. Kondisi tersebut jauh dari ciri-ciri
tanaman yang terpapar toksisitas Cu. Umumnya
tanaman yang terkena toksisitas Cu akan mengalami
klorosis yang biasanya ditandai dengan adanya
bercak atau lesi berwarna krem atau putih [24].
Peningkatan hasil toksisitas tembaga dalam
membentuk daerah nekrotik di ujung dan tepi daun
[23].
Berdasarkan Gambar 2 dan Gambar 4 terlihat
kondisi tanaman Sagittaria lancifolia pada paparan
2 minggu maupun 4 minggu terlihat cukup baik,
sehingga dapat diketahui bahwa pada lingkungan
yang tercemar logam Cu dengan konsentrasi 3 mg/L,
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia) masih
bisa bertahan dengan cukup baik. Hal ini ditandai
dengan kondisi akarnya yang masih hijau dan lebat,
batangnya yang masih kokoh, serta daunnya yang
terlihat masih hijau dan kokoh, bahkan masih bisa
tumbuh tunas daun yang baru. Padahal umumnya
kelebihan tembaga menghambat ekspansi daun,
pemanjangan sel, dan pembelahan sel [25], [26].
Lebih lanjut, paparan yang lama terhadap cekaman
tembaga menyebabkan helaian daun terlipat,
Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022 92
peningkatan jumlah rambut pada permukaan bawah
helaian daun, peningkatan jumlah stomata dan
penurunan ukuran stomata, dan pengurangan
volume ruang antar sel mesofil [23].
KESIMPULAN
Adanya paparan logam berat tembaga (Cu) pada
masing-masing variasi konsentrasi dan variasi waktu
detensi tidak memberikan pengaruh yang berarti
terhadap pertumbuhan dan kondisi morfologi
tanaman daun tombak (Sagittaria lancifolia),
sehingga tanaman ini layak dijadikan sebagai salah
satu opsi dalam upaya pemulihan lingkungan
perairan yang tercemar logam berat tembaga (Cu).
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah membimbing serta
mengarahkan penulis dalam penyusunan artikel ini.
Selain itu, terima kasih kepada Kebun Raya
Purwodadi yang telah memfasilitasi dalam
melaksanakan penelitian ini.
REFERENSI
[1] A. F. Afifudin and R. Irawanto, “Estimating
The Ability of Lanceleaf Arrowhead
(Sagittaria lancifolia) in Phytoremediation of
Heavy Metal Copper (Cu),” Berk. SAINSTEK,
vol. 9, no. 3, pp. 125130, Aug. 2021, doi:
10.19184/BST.V9I3.26667.
[2] S. A. Zubayr, “Analisis Status Pencemaran
Logam Berat di Wilayah Pesisir (Studi Kasus
Pembuangan Limbah Cair dan Tailing
Padat/Slag Pertambangan Nikel Pomalaa),”
IPB (Bogor Agricultural University), Bogor,
2009.
[3] R. A. A. I. . P. F. A. Filipus, “Bioakumulasi
Logam Berat Tembaga Cu Pada Kerang
Darah Di Perairan Muara Sungai Lumpur
Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera
Selatan,” Maspari J, vol. 10, no. 2, pp. 131
140, 2018.
[4] A. Rukmi, “Analisis Kandungan Logam Berat
Tembaga (Cu) Pada Tiram Bakau
(Crassostrea Cucullata) Dan Air Di Pesisir
Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur,”
Universitas Brawijaya, Malang, 2019.
[5] D. Yunasfi and K. P. Singh, “The heavy metal
of cuprum (Cu) and lead(Pb) content in
Avicennia marina and Rhizophora mucranata
The heavy metal of cuprum (Cu) and lead(Pb)
content in Avicennia marina and Rhizophora
mucranata,” IOP Conf. Ser. Earth Environ.
Sci., vol. 374, no. 1, Nov.doi: 10.1088/1755-
1315/374/1/012064. 2019.
[6] N. Sekarwati, “Dampak Logam Berat Cu
(Tembaga) dan Ag (Perak) pada Limbah Cair
Industri Perak Terhadap Kualitas Air Sumur
dan Kesehatan Masyarakat serta Upaya
Pengendaliannya di Kota Gede Yogyakarta,”
UNS Sebelas Maret, Surakarta, 2014.
[7] M. Siotto and R. Squitti, “Copper imbalance
in alzheimer’s disease: Overview of the
exchangeable copper component in plasma
and the intriguing role albumin plays,” Coord.
Chem. Rev, vol. 37, no. 1, pp. 8695, 2018.
[8] S. Fitria, “Potensi Tanaman Genjer
(Limnocharis Flava) Untuk Mengurangi
Kadar Logam Berat (Pb Dan Cu) Serta
Radionuklida Dengan Metode
Fitoremediasi,” Universitas Brawijaya,
Malang, 2014.
[9] K. H. D. Tang, S. H. Awa, and T. Hadibarata,
“Phytoremediation of Copper-Contaminated
Water with Pistia stratiotes in Surface and
Distilled Water,” Water. Air. Soil Pollut., vol.
231, no. 12, doi: 10.1007/s11270-020-04937-
9. 2020.
[10] D. Lu, Q. Huang, C. Deng, and Y. Zheng,
“Phytoremediation of Copper Pollution by
EightAquatic Plants,” Polish J. Environ.
Stud., vol. 27, no. 1, pp. 175181, Jan. 2018,
doi: 10.15244/PJOES/73990. 2018.
[11] N. Hidayati, Tanaman Akumulator Merkuri
(Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) untuk
Fitoremediasi, no. Cd. 2020.
[12] A. Taufiqr, A. R. Asri, and Joko Purnomo,
“Penanggulangan Klorosis pada Kacang
Tanah di Alfisol Alkalis,” Bul. Brawijaya,
vol. 3, no. 1, pp. 116, 2008.
[13] M. Firmansyah and M. Alfarisi, “Uji
Patogenisitas Patogen Hawar Daun Pada
Tanaman Kayu Afrika (Maesopsis Eminii
Engl.) Di Persemaian Permanen BPDAS
Bogor,” J. Silvikultur Trop., vol. 7, no. 2, pp.
115124, 2016.
[14] A. Fatoni, “Fitoremediasi Logam Berat (Zn)
Menggunakan Tanaman Eceng Gondok
(Eichhornia crassipes,” UIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2020.
[15] S. Estuningsih, J. Juswardi, B. Yudono, and
R. Yulianti, “Potensi tanaman rumput sebagai
agen fitoremediasi tanah terkontaminasi
limbah minyak bumi,” 2013.
93 Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI SAINS DAN TEKNOLOGI, Vol. 7, No. 2, Mei 2022
[16] S. Guzel and R. Terzi, “Exogenous hydrogen
peroxide increases dry matter production,
mineral content and level of osmotic solutes
in young maize leaves and alleviates
deleterious effects of copper stress,” Bot.
Stud., vol. 54, no. 1, Aug. doi: 10.1186/1999-
3110-54-26. 2013
[17] Ardiansyah, “Aplikasi Kombinasi Limbah
Cair Industri Tempe Dan Urea Pada
Pertumbuhan Dan Hasil Selada (Lactuca
Sativa),” FP UMY, Yogyakarta, 2016.
[18] C. Ross and F. S. Garden, Plant Physiology,
1947-1972. 1974.
[19] W. Larcher, Physiological plant ecology:
ecophysiology and stress physiology of
functional groups. 2003.
[20] B. nurdin. “Antipasi Perubahan Iklim untuk
Keberlanjutan Ketahanan Pangan,” J. Dialog
Kebijak. Publik, vol. 4, no. 1, 2011.
[21] A. Verma and S. Bhatia, “Analysis of some
physicochemical parameters and trace metal
concentration present in the soil around the
area of Pariccha thermal power station in
Jhansi, India,” Int. J. Innov. Sci. Eng., vol. 3,
pp. 1048210488, 2014.
[22] P. M. G. Nair, I. M. Chung, “Study on the
correlation between copper oxide
nanoparticles induced growth suppression and
enhanced lignification in Indian mustard
(Brassica juncea L.),” Ecotoxicol. Environ.
Saf., vol. 113, pp. 302313. doi:
10.1016/J.ECOENV.2014.12.013. 2015.
[23] A. Sağlam, F. Yetişsin, M. Demiralay, and R.
Terzi, “Copper Stress and Responses in
Plants,” Plant Met. Interact. Emerg.
Remediat. Tech., pp. 2140, Jan. doi:
10.1016/B978-0-12-803158-2.00002-3.
2016.
[24] C. W. Lee, M. B. Jackson, M. E. Duysen, T.
P. Freeman, and J. R. Self, “Induced
Micronutrient Toxicity in ‘Touchdown’
Kentucky Bluegrass,” Crop Sci., vol. 36, no.
3, pp. 705712. doi:
10.2135/CROPSCI1996.0011183X00360003
0031X. May 1996.
[25] W. Maksymiec, “Effect of copper on cellular
processes in higher plants,” Photosynth. 1997
343, vol. 34, no. 3, pp. 32134. doi:
10.1023/A:1006818815528. Jan 1998.
[26] H. Panou-Filotheou and A. M. Bosabalidis,
“Root structural aspects associated with
copper toxicity in oregano (Origanum vulgare
subsp. hirtum),” Plant Sci., vol. 166, no. 6, pp.
14971504. doi:
10.1016/J.PLANTSCI.2004.01.026. Jun
2004.
... Pencemaran lingkungan menjadi masalah global yang semakin mendesak untuk diatasi [1]. Salah satu metode yang menarik untuk membersihkan atau mengurangi polutan dalam lingkungan adalah fitoremediasi [2]. Fitoremediasi melibatkan penggunaan tanaman dan mikroorganisme yang terkait untuk mendegradasi, mengubah, atau menyerap polutan dari lingkungan [3]. ...
... Untuk mengetahui seberapa kuat tanaman dalam mengatasi cekaman polutan, dapat dilakukan dengan mengukur kadar klorofil pada tanaman [13]. Hal ini karena pada beberapa penelitian fitoremediasi yang telah dilakukan tanaman mengalami gangguan morfologi merupa klorosis dan nekrosis, yang mana gangguan tersebut berkaitan dengan klorofil pada daun [2]. Klorofil pada dasarnya adalah pigmen hijau yang terlibat dalam proses fotosintesis tanaman. ...
Article
Full-text available
Pencemaran lingkungan merupakan isu global yang mendesak untuk diselesaikan, terutama oleh detergen dan logam berat. Salah satu strategi yang efektif dalam membersihkan atau mengurangi polutan dalam lingkungan adalah melalui pemanfaatan tumbuhan atau fitoremediasi. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respons tanaman daun tombak ( Sagittaria lancifolia ) terhadap pencemaran Linear alkylbenzene sulfonate (LAS) dan tembaga (Cu) serta dampaknya terhadap kadar klorofil. Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan delapan perlakuan dan tiga pengulangan. Perlakuan terdiri dari kontrol (S0), LAS dengan konsentrasi 10 ppm (S1), 30 ppm (S2), dan 50 ppm (S3), tembaga dengan konsentrasi 3 ppm (S4), serta kombinasi LAS dan tembaga dengan konsentrasi yang sama (S5-S7). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian LAS dengan konsentrasi rendah (10 ppm) merangsang produksi klorofil pada tanaman daun tombak, sementara konsentrasi yang lebih tinggi (30 ppm dan 50 ppm) menghambatnya. Pemberian tembaga tunggal dengan konsentrasi 3 ppm meningkatkan produksi klorofil. Interaksi antara LAS dan tembaga pada beberapa kombinasi perlakuan menghasilkan efek yang berbeda pada kadar klorofil. Tanaman pada kontrol menunjukkan kadar klorofil yang stabil selama periode pengamatan.
... According to Muthukumaran (2022), aquatic plants such as water hyacinth, duckweed, water lettuce, reed, cattail, bulrush, water fern, and water pennywort have the ability to remediate detergent or LAS pollution in water. Furthermore, Sagittaria lancifolia also reported has an ability to remove heavy melats and detergent in the water (Afifudin et al., 2022;Fitrihidajati et al., 2020). The application of aquatic plants in phytoremediation is based on the principle that all plants are able to absorb pollutants in their bodies, but each plant has a different ability and tolerance level (Hidayati, 2020). ...
Article
One of pollutant that commonly found in aquatic environment is detergent. Detergent pollution can cause skin irritation and other health problems in humans and animals that use contaminated water sources. To address this issue, it is critical to implement effective policies and regulations to control detergent pollution and promote sustainable wastewater management practices in Indonesia. One of the approaches to overcome detergent pollution is to use plants as pollutant absorbing agents, or commonly called phytoremediation techniques. Therefore, this study aims to determine the growth response of spear plant (Sagittaria lancifolia) in response to the stress of Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) detergent. This research is an experimental research using a completely randomized design (CRD). There were four treatments tested with three replicates for each treatment. Treatment variations were based on the concentrations used in this study, namely 0 mg/L, 10 mg/L, 30 mg/L, and 50 mg/L. The research was conducted for four months, starting from July to October 2022, and was conducted in the greenhouse of Purwodadi Botanical Garden – BRIN. The result showed that although it experienced some morphological changes such as leaf drying, discoloration, and structural changes, Sagittaria lancifolia were able to survive and conduct metabolic activities properly during 28 days of Linear Alkylbenzene Sulfonates (LAS) pollutant stress. Thus, Sagittaria lancifolia are able to be used as one of the strategies in restoring the aquatic environment polluted by domestic waste, including LAS detergent.
... The toxicity of chromium to plants can cause several responses. Observation of changes in plant morphology aims to determine the response and adaptation of plants when exposed to heavy metals (Afifudin et al., 2022). As in Figure 2 (A. ...
Article
Full-text available
Aquatic plants are plants that have freshwater habitats that have the potential as phytoremediators or managers of pollutants or waste in the waters. One of the aquatic plant species with "emerging" habitat is Acanthus or with local name "jeruju". The genus Acanthus in Purwodadi Botanical Gardens has two species, there are A. ilicifolius and A. montanus. This research is a Range Finding Test (RFT) to know the limitations of Acanthus to absorb heavy metal chromium (Cr). This research is an experimental research, which was done on March 26 and April 7, 2021, in Purwodadi Botanic Garden's Greenhouse, with four concentration variations, there are 0 mg/L, 1 mg/L, 3 mg/L, and 5 mg/L. The results showed that Acanthus ilicifolius and Acanthus montanus have the potential to be used as phytoremediation plants for heavy metal chromium (Cr) with maximum concentration 5 mg/L
Conference Paper
Full-text available
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan beberapa jenis rumput dalam fitoremediasi limbah minyak bumi pada berbagai konsentrasi limbah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) berpola faktorial yang terdiri dari 2 faktor perlakuan yaitu konsentrasi limbah minyak bumi dan jenis rumput diperoleh 20 kombinasi perlakuan dengan 2 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumput F. acuminata,. Rumput F. acuminata dan C. kyllingia masih dapat tumbuh dengan baik pada konsentrasi limbah 2,5%; C. dactylon pada konsentrasi 5% dan E. indica pada konsentrasi 7,5%. Rumput E. indica pada konsentrasi 7,5% mempunyai berat basah tertinggi yaitu 125,1 g dengan penurunan nilai TPH 6,19%. Karakter morfologi rumput akibat penambahan limbah minyak bumi pada media adalah daun mengalami klorosis, tepi dan pucuk daun mengkerut dan terjadi reduksi panjang akar.
Article
Full-text available
One of Indonesia's strategies to improve the quality of its economy as a developing country is to boost industrial activity. However, the existence of industry has a detrimental consequence, one of which is heavy metal copper pollution (Cu). Phytoremediation is one of the ecologically acceptable pollutant treatment methods. Phytoremediation approaches using Sagittaria lancifolia plants are thought to be capable of overcoming heavy metal Cu contamination in the environment. This research is a preliminary study into the limitations of the Sagittaria lancifolia plant's capacity to absorb heavy metal Cu. This study employed an experimental technique, which was carried out between March 26 and April 7, 2021, in the Purwodadi Botanic Garden's Greenhouse, with four concentration variations, namely 0 mg/L, 1 mg/L, 3 mg/L, and 5 mg/L. According to the result of this research, the plant Sagittaria lancifolia may remediate heavy metal Cu at a maximum concentration of 5 mg/L. This is due to the fact that at this concentration, the Sagittaria lancifolia plant presents indications of death, particularly severe chlorosis and necrosis.
Article
Full-text available
Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak pernah lepas dari berbagai persoalan, baik persoalan ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan persoalan kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena pangan adalah kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan BPS tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan pangan yang cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan nasional. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pangan, pada level lapangan masih banyak hambatan dan kendala yang dijumpai. Dari sekian banyak hambatan dan kendala tersebut, ada yang dapat ditangani melalui introduksi teknologi dan upaya strategis lainnya, tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama yang berkaitan dengan fenomena alam.
Article
Full-text available
Copper contamination of industrial waste streams is increasingly common with copper used in an array of industrial processes. Phytoremediation of copper-contaminated water with Pistia stratiotes presents a cost-effective, efficient and uncomplicated alternative for copper removal from industrial wastewater. This study examines the ability of Pistia stratiotes to remove copper from distilled water representing a highly nutrient-deficient medium and natural surface water containing plant nutrients inherently. Control and experimental sets were set up with growth solutions of distilled water and natural surface water spiked with 5 g/ mL, 10 g/mL, 15 g/mL, 20 g/mL and 25 g/mL copper. The control sets were devoid of Pistia stratiotes while the experimental sets contained Pistia stratiotes. Copper concentration and pH of the solutions were tracked over 10 days. This study revealed the ability of Pistia stratiotes to remove copper in both types of growth solution with contamination level ranging from 5 to 25 mg/L and pointed to its ability to phytoremediate higher level of copper contamination. Pistia stratiotes also raised the pH of the growth solutions. Copper removal from both types of growth solution demonstrated a predominantly first-order elimination kinetics except for copper concentrations above 15 mg/L in distilled water where the zero-order elimination kinetics predominated. Copper removal efficiency decreased with increasing copper concentrations in both types of growth solution with removal efficiency in natural surface water growth solutions consistently higher. It highlights the ability of Pistia stratiotes to phytoremediate highly nutrient-deficient and natural surface water media.
Article
Full-text available
Abstract Background: The effects of exogenously applied H2O2 on growth, water status, the mineral ion content (Na+, K+,Ca2+, Mg2+ and Cu2+), proline, total sugars and soluble proteins were assessed in leaves of maize (Zea mays L.) cultivars, Akpinar and Pegaso exposed to excess copper (0.5 mM). Seedlings were grown in equal-sizes plastic pots and irrigated with Hoagland nutrient solution containing H2O2 or/and copper. Different treatments taken for pot experiments were named as the control (C), H2O2 treatment only (H2O2), excess Cu (Cu) and, Cu stress combined with H2O2 pretreatment (Cu + H2O2). Results: Treatment of H2O2 caused the increases in growth, water content, mineral concentration, proline, total sugar and soluble protein contents compared to the control groups in the leaves of both cultivars. Yet excess copper caused reductions in the growth, leaf water potential, Na+, K+, Ca+, Mg2+ concentrations and soluble protein levels but increases in proline, total soluble sugars and Cu2+ contents compared to the control group. Dry matter, leaf water potential and mineral content of Cu + H2O2 group revealed a lower decrease than Cu group ones. A higher increase was also observed in proline and total sugar contents of Cu + H2O2 group than Cu group ones in both cultivars. Conclusions: These data revealed that exogenous H2O2 might increase the dry matter production and the mineral ion distribution in maize seedlings. Moreover, osmotic regulation might be involved in alleviation of copper toxicity of maize leaves by pretreatment of H2O2. Keywords: Copper toxicity; H2O2 treatment; Maize; Mineral uptake; Osmotic solute
Article
Air dan sumber-sumbernya merupakan salah satu kekayaan alam yang mutlakdibutuhkan oleh makhluk hidup guna menopang kelangsungan hidupnya danberguna untuk memelihara kesehatannya. Saat ini, masalah utama yang dihadapioleh sumber daya air meliputi kualitas air untuk keperluan domestik yang semakinmenurun sehingga tidak dapat digunakan masyarakat sebagai air minum yang sehatkarena tidak memenuhi syarat dan kuantitas air. Hal ini dikarenakan adanya kegiatanindustri, domestik dan kegiatan lain mempunyai pengaruh negatif terhadap sumberdaya air. Kotagede merupakan salah satu sentra industri kecil kerajinan perak yangsedang berkembang. Salah satunya adalah limbah cair yang mengandung salah satulogam yaitu Tembaga (Cu), dan Perak (Ag). Logam berat apabila langsung dibuangke badan air akan merusak lingkungan.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak logam berat Cu (tembaga)dan Ag (Perak) pada limbah cair industri perak terhadap kualitas air sumur di KotaGede Yogyakarta.Jenis penelitian dilakukan dengan jenis deskriptif kualitatif dalam skalapemeriksaan laboratorium pada limbah cair dan air sumur.Hasil menunjukkan bahwa kadar Cu dalam limbah cair sebesar 84, 9350 mg/l danmelebihi baku mutu Pergub DIY No. 7 Tahun 2010. Hasil analisa laboratorium dari13 sampel air sumur didapatkan kadar Cu (tembaga) dan Ag (Perak) masih di bawahnilai batas baku mutu berdasarkan Kemenkes No. 492/Menkes/IV/2010.
Article
Essential metals are vital elements for human biology. Iron, copper, and zinc are all essential for life. Trace metal dyshomeostasis has been linked to cognitive deterioration and in particular to a disturbance in the regulation of copper (Cu), characterized by an increase in serum Cu not bound to ceruloplasmin (nCp-Cu also known as “free” copper). It is thought to play a role in the development of Alzheimer's disease (AD), the most common form of dementia. Copper homeostasis is finely regulated in our bodies and the expansion of exchangeable nCp-Cu is symptom of the breakdown of this homeostasis, which affects myriad biological pathways. If not structurally bound to enzymes or coordinated by proteins, copper generates free radicals via Haber-Weiss and Fenton reactions. Human Serum Albumin (HSA) is the most abundant serum protein and the main protein exchanging copper in the nCp-Cu pool. Copper coordinated by HSA is in equilibrium with copper coordinated by other small copper chelators circulating in the blood stream in a dynamic and exchangeable manner dependent on environmental osmolarity, oxidation state, pH and compounds’ functions. Albumin is susceptible to glycation starting from Maillard reaction, carbohydrates, in particular glucose, form advanced glycation end-products (AGEs). AGE-albumin is one of this products. Free radicals and free metals in circulation accelerate this cross-linking of protein with carbohydrates. Modified albumins are also significantly less effective than native forms in avoiding the aggregation of Aβ, the main component of the amyloid plaques in the AD brain. The current review aims to provide insight into the coordination chemistry of copper in plasma with a special glance toward the exchangeable copper coordinated by albumin, to explore how aberrant regulations of this interaction are linked to the aetiology of AD.
Article
This study investigated the uptake capacity and bioaccumulation of heavy metal (Cu) in water using eight different aquatic plant species: Juncus effusus, Acorus calamus, Eichhornia crassipes, Sagittaria sagittifolia, Arundina graminifolia, Echinodorus major, Nymphaea tetragona and Pistia stratiotes. The results showed that Eichhornia crassipes and Pistia stratiotes have the best ability for bioaccumulation, while Arundina graminifolia, Nymphaea tetragona, and Acorus calamus also showed good bioaccumulation. However, Juncus effusus, Sagittaria sagittifolia, and Echinodorus major displayed very weak bioaccumulation. The enrichment capacity for Cu²⁺ in roots and shoots differed among species. Most of the Cu²⁺ was located in the shoot tissues of Juncus effuses, while for Sagittaria sagittifolia and Acorus calamus it accumulates in their root tissues. However, in the case of Echinodorus major the accumulation of copper content in root and shoot tissues is the same. The adsorption rates of heavy metal Cu in different aquatic plants were different. The adsorption rates of Eichhornia crassipus, Pistia stratiotes, Echinodorus major, and Nymphaea tetragona were higher than for Juncus effusus, Sagittaria sagittifolia, and Acorus calamus. When different aquatic plants reached the adsorption equilibrium, pH values were different. The Cu enrichment amount in aquatic plants was related to the content of lignin in plants, and the higher the content of lignin, the greater the amount of copper.
Article
In this study, the morphological, physiological and molecular level effects of copper oxide nanoparticles (CuONPs) were studied in an economically important oil seed crop Brassica juncea L. The possible involvement of lignification on shoot-root growth retardation was also studied. The seedlings were exposed to 0, 20, 50, 100, 200, 400 and 500 mg/L of CuONPs in semi-solid half strength Murashige and Skoog medium under controlled growth chamber conditions for 14 days. Exposure to CuONPs resulted in suppression of shoot-growth, reduction in total chlorophyll and carotenoids contents as well modification of root system architecture such as shortening of primary and lateral roots. Significant increases in hydrogen peroxide formation, peroxidase enzyme activity and lignification of shoots and roots were observed. The lipid peroxidation levels increased significantly in shoots and roots of B. juncea seedlings. Phloroglucinol-HCl staining revealed enhanced lignification of shoot and roots. Gene expression studies revealed significant activation of CuZn superoxide dismutase (CuZnSOD) in roots at all concentrations of CuONPs exposure. In shoots significant up-regulation of CuZnSOD gene was observed upon exposure to 100, 200 and 400 mg/L of CuONPs exposure. However no change in the expression levels of MnSOD gene was observed in both stem and roots. The expression of catalase (CAT) and ascorbate peroxidase (APX) genes were also not changed in shoots. However, significant inhibition of CAT and APX genes were observed in roots of B. juncea plants under exposure to 100, 200, 400 and 500 mg/L of CuONPs exposure. The SOD enzyme activity significantly increased in roots under exposure to 50-500 mg/L of CuONPs and in shoots as a result of exposure to 100-500 mg/L of CuONPs. The APX activity significantly decreased in roots upon exposure to 50-500 mg/L of CuONPs. In shoots, the APX activity significantly decreased upon exposure to 200-500 mg/L of CuONPs.