Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
561
Vol. 06 No. 03 Desember 2021
e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Pembuktian Harta Bersama Dalam Perceraian
Perkawinan Campuran Tanpa Perjanjian Kawin di
Indonesia
I Made Arya Dwisana1, Made Gde Subha Karma Resen2
1Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: aryadwisana3@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: karma_resen@unud.ac.id
Info Artikel
Abstract
Masuk : 9 April 2021
Diterima : 21 November 2021
Terbit : 1 Desember 2021
Keywords :
Mixed Marriage, Divorce,
Collective Property
The purpose of this research is to to find out and examine the
position of Shared Property and the system of proof of joint
property in the divorce of mixed marriage without marriage
agreement This research uses normative legal methods and uses
the approach of Legislation (The Statue Approach) and the
approach of fact (The Fact Approach). The position of joint
property in mixed marriage based on the Law in Indonesia is
stipulated in Article 35 paragraph (1) of the Marriage Law
stipulated that "the property obtained during the marriage is to
be a joint property". The system of proof of joint property in a
mixed marriage divorce without a marriage agreement is the
person who sues the property together in case of divorce, he must
prove that the property is a joint property. although the law does
not govern the proof of joint property but the judge can decide the
case based on his conviction (The Rechtsvinding School).
Abstrak
Kata kunci:
Perkawinan Campuran,
Perceraian, Harta Bersama
Corresponding Author:
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i03.p8
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
Kedudukan Harta bersama serta sistem pembuktian harta
bersama dalam perceraian perkawinan campuran tanpa
perjanjian kawin Penelitian ini menggunakan metode hukum
normatif serta menggunakan pendekatan Perundang-Undangan
(The Statue Approach) dan pendekatan fakta (The Fact
Approach). Kedudukan Harta bersama dalam Perkawinan
campuran berdasarkan Hukum di Indonesia diatur dalam Pasal
35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa “harta benda
yang di peroleh selama perkawian adalah menjadi harta
bersama”. Sistem pembuktian harta bersama dalam perceraian
perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin yaitu orang yang
menggugat harta bersama apabila terjadi percerian maka ia harus
membuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta bersama.
meskipun undang-undang tidak mengatur mengenai pembuktian
harta bersama tetapi hakim dapat memutuskan perkara
berdasarkan keyakinannya (Aliran Rechtsvinding).
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
562
I. Pendahuluan
Perkawinan adalah hubungan yang dijalankan oleh pasangan suami istri untuk
membentuk keluarga dan merupakan hak setiap orang dan hak tersebut telah
diatur pada pasal 28 (b) ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) yang menentukan bahwa “setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah”. Ketentuan tersebut menjadi payung hukum bagi setiap
orang untuk menentukan pasangan hidupnya dan membentuk suatu keluarga
serta melanjutkan keturunan sesuai dengan kehendaknya serta tidak adanya
tekanan dari pihak manapun, karena dasar dari terjadinya perkawinan adalah
persetujuan. Dengan adanya persetujuan kedua belah pihak maka perkawinan
dapat dilangsungkan. Apabila dalam perkawinan terjadi tekanan maupun
intervensi dari pihak lain maka perkawinan tersebut tidak sesuai karena dasar
dari terjadinya perkawinan yaitu adanya suatu kesepakatan dari kedua belah
pihak.
Di Indonesia perkawinan diatur pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”), yang mengatur
tentang aturan perkawinan yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
perkawinan di Indonesia dan tidak mengesampingkan keberlakuan hukum
adat perkawinan yang berlaku dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat
tertentu. Dalam perkawinan setiap orang bebas untuk memilih pasangan
hidupnya untuk dijadikan suami atau istri untuk membentuk suatu hubungan
keluarga, baik perkawinan yang dilakukan antar kelompok atau golongan,
antar suku, antar wilayah serta perkawinan beda kewarganegaraan yang sering
disebut sebagai perkawinan campuran.
Dunia yang terus berkembang sangat mempengaruhi kehidupan manusia,
yang semakin mudahnya untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang jauh,
didalam maupun di luar negeri tanpa harus bertatap muka langsung dengan
melalui media online. Media online sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat saat ini misalnya mencari kenalan dari luar negaranya sehingga
tidak menutup kemungkinan akan menjadi teman dekat, yang jauh bisa terasa
dekat. Pada saat ini perkawinan yang trend di kalangan masyarakat adalah
perkawinan campuran. Perkawinan campuran dianggap sebagian orang
sebagai sarana untuk mendapatkan dan memperbaiki keturunan yang berbeda
atau yang sering disebut sebagai anak “Blasteran” yang diyakini memiliki
wajah yang rupawan dan lebih menarik dari pada anak lainnya yang di idam-
idamkan oleh banyak orang bukan hanya itu saja melakukan perkawinan
campuran dianggap dapat menaikan status sosial seseorang.
Pelaksanaan perkawinan campuran di Indonesia tunduk pada ketentuan UU
Perkawinan. Berdasarkan pasal 57 UU Perkawinan menentukan bahwa
“perkawinan campuran yaitu perkawinan antar dua orang yang di Indonesia
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
563
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaran Indonesia”. Merujuk pasal ini perkawinan
campuran yaitu pasangan suami dan istri yang sama-sama memiliki perbedaan
kewarganegaraan serta tunduk pada hukum yang berbeda.
1
Contoh
perkawinan campuran yaitu suami berkewarganegaraan Jepang dan tunduk
kepada hukum yang berlaku di Jepang lalu menikah dengan istri yang
berkewarganegaraan Indonesia yang tunduk pada hukum di Indonesia.
Sehingga inti dari perkawinan campuran yang dimaksud adalah perkawinan
yang menyangkut perbedaan kewarganegaraan. Dalam perkawinan campuran
tidak mengharuskan salah satu pihak untuk mengubah kewarganegaraannya
sesuai dengan kewarganegaraan pasangan, dikarenakan setiap orang bebas
menentukan kewarganegaraannya.
Ikatan perkawinan suami dan istri dalam berumah tangga menyerupai
perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban, apabila salah satunya tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan masalah didalam rumah tangga tersebut.
Hak dan kewajiban itu merupakan hukum dan mutlak dipenuhi oleh suami
istri. Hak dan kewajiban ini merupakan hukum tidak tertulis atau tidak dibuat
oleh yang berwenang tetapi hak dan kewajiban ini timbul secara alamiah dari
dampak terjadinya suatu perkawinan yang harus dilaksanakan. Dari segi
hukum tertulis, suami istri dapat membuat perjanjian kawin hal tersebut
ditentukan pada Pasal 29 UU Perkawinan yang menentukan bahwa “Perjanjian
kawin itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan”.
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 69/PUU-XIII/2015 juga
menentukan bahwa “Perjanjian kawin itu bisa juga dibuat setelah perkawinan
berlangsung oleh pasangan mempelai tersebut atas persetujuan bersama dan
perjanjian itu tidak bertentangan terhadap aturan yang ada”. Berdasarkan pasal
tersebut perjanjian kawin dibuat sebelum perkawinan serta setelah terjadinya
perkawinan oleh pasangan suami istri.
Isi perjanjian kawin itu biasanya berisi hak dan kewajiban serta bisa juga
mengenai pembagian harta bersama dan hak asuh anak apabila suami istri
bercerai. Dalam hal Perjanjian kawin tidak diwajibkan setiap pasangan suami
istri memilikinya. Tetapi dengan dengan dibuatnya perjanjian kawin dapat
mencegah sesuatu kemungkinan terburuk yang tidak diinginkan. Apabila
terjadi perceraian diantara keduanya dengan dibuatnya perjanjian kawin ini
perselisihan yang mungkin terjadi dapat dihindari karena sudah ada
kesepakatan diantara keduanya. Perkawinan sebagai proses bahtera hidup
tidak selamanya utuh untuk dapat di pertahankan. Apabila terjadi pelanggaran
hak dan kewajiban suami isteri dapat menimbulkan berbagai masalah dalam
1
Utami, P. D. Y. (2021). Implikasi Yuridis Perkawinan Campuran Terhadap Pewarisan Tanah
Bagi Anak, KERTHA WICAKSANA, 15(1), 80-89. h 82.
Doi :https://doi.org/10.22225/kw.15.1.1843.80-89
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
564
perkawinan serta terkadang memberikan pengaruh-pengaruh buruk
didalamnya, seperti misalnya perceraian.
Begitu juga menurut Abdul Ghofur Anshori yang menyatakan bahwa “dalam
kehidupan rumah tangga sering dijumpai pasangan suami istri mengeluh dan
mengadu kepada orang lain, ataupun kepada keluarganya, akibat tidak
terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban
dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya
suatu perselisihan diantara keduanya tersebut, tidak mustahil dari perselisihan
itu akan berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan”.
2
Suami istri dalam
menjalankan hak dan kewajiban dibutuhkan kerjasama yang baik masing-
masing pihak untuk mewujudkan tujuan suatu perkawinan.
3
Apabila hak dan
kewajiban dilanggar akan sangat berpengaruh dalam kehidupan berumah
tangga misalnya terjadinya kekerasan dalam berumahtangga sehingga
menyebabkan suami atau istri mengalami luka baik fisik yang dapat
mempengaruhi mental. Untuk menghindari kekerasan yang didapatkan
sehingga suami atau istri memilih perceraian sebagai jalan keluarnya. Bukan
hanya itu saja dilanggarnya hak dan kewajiban dalam berumah tangga dapat
memicu terjadinya perselingkuhan karena tidak ada rasa kepuasan suami atau
istri. Untuk memenuhi rasa kepuasannya tersebut suami atau istri seringkali
melakukan perselingkuhan dengan orang yang mampu memberikannya
sesuatu yang tidak didapatkan dari pasangannya sehingga menyebabkan
keretakan rumah tangganya.
Perceraian juga bisa terjadi pada perkawinan campuran. Dalam perkawinan
campuran pihak suami atau istri mempunyai perbedaan tersendiri seperti
budayanya dan kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari di negaranya, sehingga
akan sulit menyatukan perbedaan tersebut dalam waktu yang sangat singkat
seperti terjadinya perselisihan yang mengakibatkan pertengkaran sehingga
berdampak terhadap hubungan rumah tangganya yang tidak harmonis
sehingga perceraian adalah jalan terbaik. Perceraian merupakan putusnya
hubungan perkawinan karena suatu alasan yang dilakukan oleh pasangan
suami-istri dengan keputusan hakim atas tuntutan dari suami atau istri
maupun perceraian itu dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak dalam
perkawinan.
4
Putusnya ikatan perkawinan pasangan suami istri yang memiliki
perbedaan kewarganegaraan dapat menimbulkan perselisihan, terutama
mengenai harta benda yang timbul dalam perkawinan tersebut. Perselisihan
mungkin dapat dihindari jika pasangan perkawinan campuran tersebut
2
Anshori, A.G. (2011). Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif). Yogyakarta:
UII Press, h. 233.
3
Silvia, D. (2021). Vol 1, No 1 (2021): “Jurnal hukum Prolex Penyelesaian Sengketa Harta
Bersama Saat Terjadinya Perceraian(Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Sumbawa Besar No.
378/Pdt.g/2019/Pa.sub), Jurnal Prolex, 1(1)”. h. 45. Doi :
http://jurnal.iisbudsarea.ac.id/index.php/ProLex/article/view/5
4
Simanjuntak. (2015). Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Kencana, h. 47
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
565
membuat suatu perjanjian kawin yang mengatur tentang hak dan kewajiban
apabila terjadi perceraian. Perjanjian kawin ini bertujuan untuk meminimalisir
sengketa yang akan terjadi pada saat terjadinya perceraian. Perjanjian ka win
dapat memberikan suatu kepastian hukum. Seperti pada Putusan Pengadilan
Agama Kabupaten Malang Nomor: 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg dimana
pada putusan ini terjadi sengketa mengenai harta bersama yang yang di
peroleh pada saat perkawinan berlangsung.
Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan “bahwa harta benda yang di
peroleh selama perkawinan menjadi Harta bersama”. Sedangkan dalam
Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor:
3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg pada pertimbangan hukumnya menentukan
“bahwa harta benda menjadi harta bersama yang diperoleh selama perkawinan
tidak cukup hanya didasarkan pada waktu perolehan harta benda tersebut
melainkan harus di buktikan oleh penggugat. Penggugat harus dapat
membuktikan dengan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggung
jawabkan bahwa harta benda yang di peroleh selama perkawinan itu
merupakan harta bersama”. Mengenai pembuktian harta bersama belum ada
aturan yang mengatur sehingga dapat dikatakan sebagai norma kosong. Dalam
putusan percerian ini Apabila penggugat tidak dapat membutikan harta
bersama itu maka harta benda itu tidak dapat di bagi dan otomatis menjadi hak
tergugat.
Berdasarkan uraian diatas perlu solusi yang tepat apabila terjadi perceraian
perkawinan campuran untuk membantu memecahkan masalah-masalah
mengenai percerian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin terhadap
pembuktian harta bersama, maka dibuatlah suatu karya ilmiah yang berjudul
“Pembuktian harta bersama dalam perceraian Perkawinan Campuran Tanpa
Perjanjian kawin di Indonesia”. Adapun permasalahan yang dikaji dalam
tulisan karya ilmiah ini yaitu Pertama bagaimana Kedudukan Harta bersama
dalam Perkawinan campuran berdasarkan Hukum di Indonesia dan Kedua
bagaimana sistem pembuktian dalam perceraian perkawinan campuran tanpa
perjanjian kawin. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui dan memahami
kedudukan harta bersama dan sistem pembuktian harta bersama apabila
terjadinya perceraian perkawinan campuran, serta digunakan sebagai syarat
dalam meraih gelar Sarjana Magister Kenotariatan.
Dalam penulisan karya ilmiah ini ada beberapa kemiripan dengan karya ilmiah
lainnya seperti yang ditulis oleh Paima Situmeang yang berjudul “Implikasi
Perjanjian Kawin Terhadap Harta Dalam Perkawinan Campur sangat berbeda
dengan yang dibuat oleh penulis dalam karya ilmiah ini”. Pada tulisan Paima
Situmeang masalah yang diangkat mengenai “Perlindungan hukum terhadap
pasangan suami istri dalam perkawinan Campuran serta akibat hukum
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
566
perjanjian kawin terhadap harta dalam perkawinan campuran”.
5
Tulisan kedua
yang mirip adalah karya ilmiah yang ditulis oleh Hilda Yuwafi Nikmah dan
Pranoto, yang berjudul “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari
Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional. Masalah yang
diangkat atau diuraikan dalam jurnal mengenai Akibat hukum perceraian dari
perkawinan campuran antar warga negara terutama terkait pembagian harta
bersama.”
6
2. Metode Penelitian
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif
dengan mengkaji peraturan yang terkait kedudukan harta bersama serta
pembuktian harta bersama apabila terjadi percerian pada perkawinan
campuran. Pendekatan yang digunakan yaitu “pendekatan Perundang-
Undangan (The Statue Approach) dan pendekatan fakta (The Fact Approach)”.
Bahan hukum yang digunakan yaitu “bahan hukum sekunder, bahan hukum
primer dan bahan hukum tersier yang seluruhnya dikumpulkan dengan teknik
studi dokumen, dan selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan
analisis kualitatif melalui prosedur deskripsi dengan menguraikan,
menjelaskan, menjabarkan berdasarkan bahan hukum yang diperoleh”.
3. Hasil Dan Pembahasan
3.1. Kedudukan Harta Bersama dalam Perkawinan Campuran Berdasarkan
Hukum di Indonesia
Suami dan istri setelah mengikatkan diri pada hubungan perkawinan, sejak
saat itulah hak dan kewajibannya menjadi satu kesatuan yang utuh antara
suami dan istri tersebut.
7
Faktor penting dalam suatu ikatan perkawinan yang
dapat menggerakkan suatu kehidupan perkawinan adalah harta kekayaan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
8
Dalam suatu perkawinan tidak
terlepas mengenai adanya harta benda yang diperoleh dari hasil bekerja dari
pasangan suami dan istri yang sering disebut sebagai harta bersama dalam
perkawinan. Penetapan harta bersama sangat penting dalam perkawinan
sebagai penguasaan dan pembagiannya yakni “penguasaan terhadap harta
5
Situmeang, P. (2019). “Implikasi Perjanjian Kawin Terhadap Harta Dalam Perkawinan
Campur, Recital Review, 1(2), 117-131”. h. 120 Doi : https://online-
journal.unja.ac.id/RR/article/view/7457
6
Pranoto, P., & Nikmah, H. Y. (2014).Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian dari
Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional. Privat Law, 2(6), 26583”. h. 74.
7
Faizal, L. (2015). Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan Masyarakat
Islam, 8(2), 77-102. h. 77.Doi: https://doi.org/10.24042/ijpmi.v8i2.912
8
Pratama, A. (2018). “Implementasi Percampuran Harta Bersama Dan Harta Bawaan Dalam
Perkawinan(Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor:0189/Pdt.g/2017/Pa.
Smg),Jurnal Ius Constituendum,3(1),15-26”. h. 16. Doi : http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.861
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
567
bersama dalam hal perkawinan masih berlangsung serta pembagian harta
bersama dilakukan ketika terjadi putusnya perkawinan”.
9
Dalam arti kata harta
bersama mempunyai makna bahwa adanya harta benda yang kepemilikannya
lebih dari satu orang yaitu suami dan istrinya. Pada Pasal 35 ayat (1) UU
Perkawinan menentukan bahwa “harta benda yang di peroleh selama
perkawinan adalah menjadi harta bersama”. Berdasarkan pasal tersebut dapat
dipahami bahwa “Semua harta benda yang di peroleh selama perkawinan
menjadi harta bersama baik itu benda bergerak maupun tidak bergerak,
berwujud maupun tidak berwujud dari hasil kerja istri maupun suami selama
saat perkawinan sampai perkawinan itu putus baik karena kematian maupun
perceraian”.
Hal senada diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang
selanjutnya disebut KUHPer) mengenai harta bersama pada Pasal 119 yang
menentukan bahwa “Sejak saat dilangsungkan perkawinan maka menurut
hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara pihak suami istri sejauh
tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian
perkawinan, harta bersama itu selama perkawinan berjalan tidak boleh
ditiadakan atau dirubah dengan suatu persetujuan antara suami-istri”. Pasal
120 KUHPer yang menentukan bahwa “Berkenaan dengan soal keuntungan,
maka harta bersama itu meliputi barang-barang bergerak dan barang-
barang tak bergerak suami istri itu, baik yang sudah ada maupun yang
akan ada, juga barang-barang yang mereka peroleh secara cuma-cuma,
kecuali bila dalam hal terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan
menentukan kebalikannya dengan tegas”. Pasal 122 KUHPer yang
menentukan bahwa “Mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum
berlakukah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar
mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak ditiadakan ketentuan lain,
Peraturan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan
sesuatu persetujuan antara suami istri, Segala utang dan rugi sepanjang
perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan”. Hal senada
diatur juga dalam dalam Kompilasi Hukum Islam (yang selanjutnya disebut
KHI) Indonesia pengertian “harta bersama sejalan dengan pengertian harta
bersama dalam Pasal 35 UU Perkawinan yaitu harta benda yang diperoleh
suami istri selama berlangsungnya perkawinan pada pasal 85 KHI
menentukan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri, bahkan
dalam pasal 86 ayat (1) disebutkan bahwa pada dasarnya tidak ada
percampuran antara harta bersama dan istri karena perkawinan”.
Berdasarkan pasal ini berarti setelah terjadinya perkawinan tidak serta merta
9
Sugiswati, B. (2014). Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat, Perspektif, 19(3), 201-211. h.203. Doi :
http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v19i3.22
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
568
semua harta yang ada tidak menjadi harta bersama tetatapi tetap
memberhatikan harta bawaan masing-masing pihak.
Ahmad Rofiq berpendapat bahwa “Harta bersama harta merupakan kekayaan
yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya,
harta yang didapat atas usaha mereka, atau sendiri–sendiri selama masa ikatan
perkawinan”.
10
Harta penghasilan yang diperoleh semasa perkawinan menjadi
harta bersama jika istri dan suami tidak memiliki suatu ikatan perjanjian kawin
yang didalamnya memuat pemisahan harta benda yang didapat selama
perkawinan, artinya bahwa apabila suami istri bekerja dan penghasilan dari
pekerjaannya itu sepakat untuk disatukan sehingga harta yang dikumpulkan
semasa perkawinan tersebut menjadi harta bersama, sebagai contoh suami dan
istri bekerja sebagai pegawai serta hasil gaji bulannya disatukan untuk
kebutuhan sehari-hari keluarga, dan apabila ada sisa dari gaji bulannya maka
ditabung, sehingga terkumpul harta keluarga yang disebut sebagai harta
bersama. Suami istri sama-sama bekerja dan sepakat bahwa harta yang
diperoleh masing-masing untuk tidak disatukan maka itu bukan merupakan
harta bersama dan suami istri berhak dan menguasai sepenuh harta yang
didapatkan masing-masing tersebut tentu hal ini harus dibuat dengan
perjanjian pemisahan harta. Begitu halnya juga mengenai harta bawaan apabila
suami istri sepakat bahwa harta bawaan menjadi harta bersama maka harta
bawaan tersebut bukan berstatus lagi sebagai harta bawaan suami maupun istri
melainkan sebagai harta bersama. Pada pertimbangan hukum Putusan
Pengadilan Agama Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg yang
menentukan harus adanya pembuktian mengenai harta bersama yang tidak
cukup hanya didasari pada waktu perolehan harta benda itu. Penggugat harus
membuktikan dengan alat bukti yang secara hukum dapat dipertanggung
jawabkan misalnya denan menunjukan alat bukti surat. Meskipun hal tersebut
bertentangan dengan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan dan Pasal 119 KUHPer.
Pasal 36 ayat (2) UU Perkawinan menentukan bahwa “Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya”. Artinya, harta bawaan yang
dibawa oleh suami kedalam suatu perkawinan dalam melakukan perbuatan
hukum tidak memerlukan lagi persetujuan kepada pihak istri karena harta
bawaan itu adalah hak sepenuhnya suami, dan istri tidak dapat mengganggu
gugatnya. Begitu juga apabila harta bawaan yang dibawa oleh istri kedalam
suatu perkawinan dalam melakukan perbuatan hukum tidak perlu juga untuk
mendapatkan persetujuan dari suaminya. Dalam Pasal 36 ayat (1) UU
Perkawinan menentukan bahwa “mengenai harta bersama, suami atau istri
dapat bertindak atas persetujuan kedau belah pihak”. Artinya bahwa “Jika
suami melakukan perbutaan hukum tehadap harta bersama tersebut harus
mendapakan persetujuan dari istrinya, apabila suami tidak mendapatkan
10
Rofiq, A. (2015). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, h. 161
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
569
persetujuan dari istrinya tersebut maka suami tidak dapat melakukan
perbuatan hukum”. Begitu juga sebaliknya apabila istri melakukan perbutaan
hukum tehadap harta bersama tersebut harus mendapakan persetujuan dari
suaminya. Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas maka “segala bentuk
harta benda yang dihasilkan selama perkawinan secara hukum menjadi harta
bersama tanpa perlu lagi adanya pembuktian mengenai asal usul harta
tersebut”. Dalam pengurusan harta perkawinan berdasarkan pasal 124 KUHper
menentukan bahwa “hanya suami saja yang boleh mengurus harta bersama
itu”. Dengan demikian kekuasaan suami atas harta bersama sangatlah besar,
karena wewenang pengelolaan ini ditentukan oleh undang-undang maka tidak
menutup kemungkinan suami dapat menghabiskan harta tersebut maupun
menjualnya tanpa sepengetahuan dari istrinya.
Dalam melakukan perceraian tentu memiliki suatu akibat hukum yang harus
diterima oleh para pihak yang melakukan perceraian salah satunya mengenai
harta bersama yang didapatkan pada saat perkawinan. Akibat hukum ini
sangat sensitif akan timbulnya suatu sengketa, karena pihak suami maupun
istri merasa harta benda itu adalah hasil kerjanya sehingga pihak suami dan
istri merasa memiliki hak atas harta tersebut.
11
Apabila suami dan istri memiliki
perjanjian kawin jika terjadi perceraian maka harus sesuai dengan apa yang
telah di setujui dalam perjanjian tersebut, baik hak atas harta bersama suami
dan istri sama rata ataupun hak suami lebih besar mendapatkan bagian harta
bersama dari pada istrinya maupun sebaliknya hak istri lebih besar
mendapatkan bagian dari pada suaminya tergantung dari isi perjanjian
tersebut.
Berdasarkan Yurisprudensi MA tanggal 9 Desember 1959 Nomor
424K/Sip/1959 yang menentukan bahwa “Suami dan istri yang tidak memiliki
perjanjian kawin atas harta bersama apabila terjadi perceraian maka suami dan
istri berhak memperoleh setengah dari harta bersama”. Begitu juga yang diatur
dalam Pasal 97 KHI menentukan bahwa “apabila terjadi perceraian maka harta
bersama di bagi dua. Harta bersama itu tidak selalu dibagi dua”. Apabila harta
bersama itu lebih banyak diperoleh oleh istri dari pada suami atau suami
pengangguran maka harta bersama itu tidak adil jika dibagi dua dalam hal ini
maka istri harus lebih banyak mendapatkan bagian dari pada suaminya hal
tersebut ditentukan dalam Yuriprudensi MA Nomor 266K/AG/2010. Apabila
hanya suami yang bekerja maka harta bersama itu harus dibagi menjadi dua
bagian, karena kewajiban suami untuk bekerja atau memberikan nafkah
keluarga. Dalam Pasal 128 KUHPerdata juga mengaturnya apabila bubar harta
bersama suami Istri dibagi dua. Pembagian harta bersama dalam perkawinan
harus adil antara kedua belah pihak. Dalam hukum adat khususnya
masyarakat patrilineal jika terjadi perceraian pihak istri tidak berhak membawa
11
Sujana, I. N. (2017). Akibat-Akibat Hukum Perceraian Dalam Perkawinan Campuran. Jurnal
Notariil, 2(1), 154-58.h. 65.Doi : https://doi.org/10.22225/ah.1.3.1820.390-395
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
570
harta bawaannya kembali. Jika kerabat istri ingin meminta kembali harta
bawaanya yang dulu dibawa kedalam perkawinan maka istri harus
mengembalikan uang atau biaya perkawinan yang dikeluarkan oleh suami.
Untuk masyarakat Matrilineal harta bawaan atau waris terpisah dengan harta
bersama. Harta bawaan dikuasai langsung oleh suami dan istri, apabila terjadi
perceraian harta bersama atau harta percarian yang dibagi, sedangkan untuk
masyarakat parental mengenai harta perkawinan mendekati sesuai dengan
yang telah diatur dalam Undang-undang perkawinan.
12
Mengenai pembagian harta bersama yang berupa tanah, misalnya tanah itu
berada dalam wilayah Indonesia dan berdasarkan Pasal 21 ayat 1 Undang-
Undang Pokok Agraria di Republik Indonesia bahwa “hanya orang Indonesia
hak milik atas tanah sedangkan orang asing tidak boleh memliki hak milik atas
tanah di Indonesia hanya orang Indonesialah yang mempunyai hak milik atas
tanah itu, sehingga ini akan menimbulkan rasa ketidakadilan bagi warga
negara asing yang bersangkutan”. Maka solusinya adalah tanah tersebut harus
dijual dan hasil penjualan itu harus dibagi atau hak atas harta bersama itu,
warga negara asing tersebut dapat mengalihkan kepada pihak yang memenuhi
syarat.
13
Apabila harta bersama berupa tanah hak milik diberikan langsung
kepada orang asing tersebut tanpa dijual atau alihkan itu sama saja
memberikan kedaulatan negara asing kedalam kedaulatan negara republik
Indonesia. Orang asing tidak memiliki hak untuk memiliki tanah di Indonesia
meskipun itu merupakan harta bersama yang didapat selama perkawinannya
dengan warga negara Indonesia. Orang asing dapat memperoleh hak pakai dan
sewa atas suatu tanah. Hak pakai yang dimaksudkan adalah tanah yang
dimiliki oleh negara sedangkan hak sewa, orang asing menyewa tanah yang
dimiliki oleh orang Indonesia maupun tanah dimiliki oleh negara.
3.2. Sistem Pembuktian Harta Bersama dalam Perceraian Perkawinan
Campuran tanpa Perjanjian Kawin
Dalam perceraian perkawinan campuran mengenai sistem pembagian harta
benda yang merupakan harta bersama tentu muncul sedikit kesulitan. Pada
konvensi Den Haag mengenai Convention in the Law Applicable to Matrimonial
Property Regimes atau hukum harta benda perkawinan yang di tandatangani
pada tanggal 23 Oktober 1976 yang banyak diadopsi oleh banyak negara
termasuk Indonesia yang menentukan bahwa “Pertama-tama diberikan
kebebasan kepada suami-istri untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku
bagi harta benda perkawinan mereka”. Dalam Hukum Perdata Internasional
atau dikenal dengan istilah HPI terdapat dua asas yang sangat penting yaitu
Pertama, Asas Lex Fori merupakan “Sistem hukum yang berlaku dari tempat
12
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan di Indonesia menurut:Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama. Bandung: Cv. Mandar Maju, h. 116
13
Ibid, h. 9
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
571
dimana perkara itu diajukan”. Kedua Asas Lex Situs atau Asas Lex Rei Sitae
merupakan Hukum dari tempat benda berada.
14
Berdasarkan kedua asas itu
dapat dipahami bahwa apabila gugatan pembagian harta bersama gugatannya
dilakukan di Indonesia serta harta benda tersebut berada di Indonesia maka
system hukum yang berlaku yaitu hukum positif di Indonesia. Pasal 18 AB
(Algemene Bel Palingen Van Wet Geving) juga menentukan bahwa “segala bentuk
peristiwa hukum yang didalamnya terdapat unsur asing, maka hukum yang
berlaku yaitu hukum tempat peristiwa itu terjadi dan tetap memperhatikan
hukum nasional salah satu pihak. Hukum Indonesia yang dimaksud adalah
Undang-Undang Perkawinan”. Pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa
“bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing”.
15
Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami
bahwa “apabila terjadi perceraian perkawinan campuran maka harta bersama
dibagi berdasarkan hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Para pihak
dapat memilih sistem hukum yang akan digunakan baik hukum itu hukum
Islam, adat maupun hukum lainnya tergantung kesepakatan para pihak”.
Hukum Agama biasanya digunakan oleh pasangan perceraian perkawinan
campuran yang beragama Islam, maka sistem hukum yang digunakan adalah
hukum Islam yang sudah tertuang dalam peraturan KHI dan gugatanya
diajukan ke pengadilan agama didaerah tempat tinggalnya di Indonesia.
Pengadilan agama akan memutus sengketa pembagian harta bersama
menggunakan sistem hukum Islam. Dalam pengadilan agama gugatan
perceraian dan gugatan mengenai harta bersama dapat digabungkan atau
gugatan tidak terpisah. Untuk agama Non-muslim maka gugatan diajukan di
Pengadilan Negeri daerah tempat tinggalnya di Indonesia. Untuk di
Pengadilan Negeri gugatan percerain dan gugatan harta bersama tidak dapat
digabung dan diajukan secara terpisah. Jika pihak yang melakukan perceraian
perkawinan campuran memilih untuk menyelesaikan sengketa harta besama
dengan hukum adat salah satu pihak maka itu diperbolehkan tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Apabila pasangan perceraian perkawinan
sudah memiliki perjanjian kawin mengenai harta bersama bila terjadi
perceraian maka pengadilan akan memutus berdasarkan perjanjian yang telah
di buat oleh kedua belah pihak sehinga dapat menghemat waktu dan biaya
dalam persidangan dan apabila tidak ada perjanjian kawin maka Pengadilan
akan memutus sengketa pembagian harta bersama berdasarkan fakta-fakta
yang terungkap dalam persidangan.
Didalam persidangan yang berhak memutus suatu perkara adalah Hakim.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) menentukan bahwa
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
14
Pranoto, P., & Nikmah, H. Y. Op.cit, h. 76
15
Hadikusuma, H. Op.cit, h. 4
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
572
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut”. Hakim merupakan wakil tuhan yang
ada di bumi dalam hal menegakan keadilan bagi orang mencari keadilan.
Tugas hakim adalah “menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara perdata yang diajukan kepadanya dan hakim berkewajiban
membantu pencari keadilan untuk tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan”. UUD 1945 menegaskan bahwa “Indonesia adalah
Negara hukum”. Landasan penting Negara hukum adalah “adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”. Hakim dilarang melakukan menolak memeriksa
maupun mengadili perkara (Ius Curia Novit/Curia Novit Jus) hal tersebut telah
ditentukan pada Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman menentukan Bahwa
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (ayat 1) dan
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian”.
Dalam pasal 163 HIR/283 RBG menentukan bahwa “barangsiapa yang
mengaku mempunyai hak atau suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya
hak atau peristiwa itu”. Pembuktian merupakan “upaya untuk membuktikan
sesuatu hal dengan mengajukan segala sesuatu yang berhubungan dengan
suatu hal yang hendak di buktikan sehingga dapat meyakinkan orang lain atas
suatu hal tertentu”. Pembuktian juga diartikan sebagai proses, cara, perbuatan
membuktikan, usaha menunjukan benar salahnyasi terdakwa dalam sidang
peradilan.
16
Pembuktian hukum materiil memuat “tentang dapat atau tidak
diterimanya alat-alat bukti tertentu di persidangan serta mengatur tentang
kekuatan pembuktian suatu alat bukti”. Dan untuk pembuktian hukum formil
mengatur “tentang cara menerapkan alat bukti. Hal-hal yang harus dibuktikan
oleh pihak yang berperkara adalah peristiwanya atau kejadian-kejadian yang
menjadi pokok sengketa, bukan hukumnya, sebab yang menentukan
hukumnya adalah Hakim”. Peristiwa harus dibuktikan yaitu “kebenarannya,
kebenaran yang harus dicari dalam hukum acara perdata adalah kebenaran
formil, sedangkan dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiil”.
Berdasarkan vide-pasal 178 HIR/189 ayat (3) RBG yang menentukan bahwa
“Upaya mencari kebenaran formil, berarti hakim hanya mengabulkan apa yang
digugat serta dilarang mengabulkan lebih dari yang dimintakan dalam
petitum, Hakim hanya cukup membuktikan dengan memutus berdasarkan
bukti yang cukup”.
16
Amin, R, 2020, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata, Yogyakarta. Deepulish. h.13
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
573
Merujuk pada ketentuan Pasal 164 HIR/ 284 RBg yang mengatur tentang alat
bukti dalam perkara perdata, yaitu “alat bukti tertulis, pembuktian dengan
saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah”. Di luar itu,
berdasarkan Pasal 153 HIR/180 RBg. Dalam Pasal 154 HIR/181 RBg
menentukan bahwa “terdapat alat-alat bukti yang dapat digunakan dalam
memperoleh suatu kepastian mengenai kebenaran peristiwa yang menjadi
sengketa, yaitu pemeriksaan setempat (descente) dan keterangan ahli/saksi ahli
(expertise)”.
17
Pasal 163HIR/283 RBG mengatur bahwa “beban pembuktian
dibebankan kepada pihak yang berkepentingan, tidak hanya kepada penggugat
tetapi bisa juga kepada tergugat, yakni ketika tergugat menyangkal dalil
gugatan”. Pertimbangan lain dari hakim mengenai pembuktian adalah bahwa
“beban pembuktian yang terkait dengan siapa yang terlebih dahulu
membuktikan dan kapan beban pembuktian diberikan kepada penggugat dan
tergugat, alat-alat bukti apa saja yang sah menurut hukum, apakah alat bukti
tersebut telah mencapai batas minimal sehingga memiliki kekuatan
pembuktian”.
Berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang Nomor
3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg harta benda dikatakan sebagai harta bersama
dapat dibagi apabila salah satu pihak dapat membuktikan harta benda itu
sebagai harta bersama. Jika salah satu pihak tidak mampu membuktikan harta
benda itu merupakan harta bersama maka harta benda tersebut tidak dapat
dibagi dan hanya harta benda yang dapat dibuktikanlah yang dapat dibagi.
Alasan hakim mengharuskan penggugat melakukan pembuktian harta bersama
karena pihak tergugat beralasan bahwa ia membeli tanah dan satu unit mobil
yang dibeli pada saat berlangsungnya perkawinan dengan menggunakan uang
tabungan tergugat sebelum melangsungkan perkawinan. Penggugat telah
mengajukan surat fotocopy Pengikatan Jual Beli tetapi tidak menyampaikan
aslinya, dengan tidak ditunjukan surat Pengikatan Jual Beli yang asli di dalam
persidangan dan fotocopy yang diajukan tidak dilegalisir oleh pejabat yang
berwenang sehingga hakim berpendapat bahwa bukti-bukti surat tersebut
tidak memenuhi syarat pembuktian, sehingga dari-bukti yang diajukan oleh
penggugat mengenai harta bersama majelis hakim menilai penggugat tidak
dapat membuktikan dalil-dalil gugatanya didepan persidangan. Beda halnya
dengan tergugat dari bukti yang diajukan hakim mendapatkan petunjuk bahwa
tergugat sebelum menikah dengan penggugat mendapatkan sejumlah uang
santunan dari kematian suami sebelumnya, sehingga hakim menilai obyek-
okyek sengketa yang diperoleh dalam masa perkawinan namun pembeliannya
dari harta bawaan bukan merupakan sebagai harta bersama sehingga harta
yang diklaim sebagai harta bersama oleh penggugat tidak dapat dibagi.
17
Fakhriah, E. L. (2015). “Perkembangan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata di
pengadilan menuju pembaruan hukum acara perdata”. ADHAPER:Jurnal Hukum Acara
Perdata, 1(2), 135-153. h. 139. Doi: 10.36913/jhaper.v1i2.16.
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
574
Meskipun dalam Undang-Undang tidak ada pengaturan mengenai pembuktian
harta bersama sebelum dilakukan pembagian apabila terjadi perceraian, tetapi
jika dilihat dalam aliran hukum pada proses peradilan ada tiga aliran hukum
yaitu: Pertama, Aliran Legisme yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya harus
sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Kedua, Aliran Frei
Rechtsbewegung yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya bebas untuk
melakukan berdasarkan undang-undang atau tidak. Ketiga, Aliran Rechtsvinding
atau aliran tengah yaitu hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat dengan
undang-undang tetapi tidak seperti aliran legisme yang harus sesuai dengan
peraturan yang berlaku.
18
Berdasarkan ketiga aliran hukum tersebut pada
Putusan Pengadilan Agama Malang Nomor 3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg
hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam mengadili suatu perkara
menggunakan Aliran Rechtsvinding karena hakim memutuskan dalam
pertimbang hukum tidak hanya berdasarkan pada Pasal 35 UU Perkawinan
dan Pasal 119 KUHPer hakim memutuskan berdasarkan keyakinannya agar
para pihak yang bersangkutan tidak dirugikan. Hakim tidak hanya memutus
suatu perkara saja tetapi juga melakukan penciptaan hukum atau penemuan
hukum demi menimbulkan rasa keadilan berdasarkan keyakinannya, hal ini
dilakukan karena jika hakim hanya berpedoman pada suatu aturan tanpa
menggunakan hati nurani maka unsur keadilan akan terabaikan. Dengan
adanya putusan hakim maka kedudukan hukum menjadi jelas, adanya
kepastian untuk setiap orang melakukan suatu tindakan karena sudah ada
payung hukum yang melindunginya. Putusan yang mencerminkan rasa
keadilan merupakan sesuatu yang dicari bagi setiap orang yang mencari
keadilan. Jika dilihat pada Putusan pengadilan Agama Malang Nomor
3890/Pdt.G/2007/PA.Kab.Mlg harta benda dikatakan sebagai harta bersama
apabila salah satu pihak dapat membuktikan misalnya dengan menunjukan
Surat-suarat dan atau sertifakat maupun foto copy sertifikat yang telah
dilegalisir oleh petugas berwenang dan mencocokkan dengan tanggal
perkawinan yang telah tercantum pada buku nikah hal itu dilakukan untuk
melindungi hak penggugat maupun tergugat terhadap harta bawaan maupun
harta yang diperoleh bersama sehingga tidak ada kerugian diantara para pihak.
Pembuktian dilakukan untuk mengetahui asal usul harta yang disengketan
sehingga kedudukan harta tersebut menjadi jelas.
Perceraian perkawinan campuran akan menimbulkan sedikit masalah pada
pembagian harta bersama yang merupakan benda tidak bergerak itu berada
diluar wilayah Indonesia. Setiap benda tidak bergerak berlaku Asas Lex Situs
atau Asas Lex Rei Sitae yang artinya “hukum yang berlaku atas suatu benda
berdasarkan tempat benda tersebut berada, Sehingga pengadilan di Indonesia
tidak dapat mengadili harta benda tersebut, karena hukum di Indonesia hanya
berlaku di wilayah Republik Indonesai saja”. Maka solusinya adalah pemohon
bisa mengajukan gugatan kepada pengadilan diluar negeri tempat diamana
18
Dirdjosisworo, S. (2013), Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, h. 159-161
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
575
harta benda itu berada untuk melakukan pembagian harta bersama tersebut.
19
Hal ini dilakukan agar semua harta bersama dapat dibagi dan dipergunakan
sebagaimana mestinya oleh suami dan istri sehingga kelak tidak ada sengketa
yang ditimbulkan mengenai harta karena belum dibagi.
4. Kesimpulan
Kedudukan Harta bersama dalam Perkawinan campuran berdasarkan Hukum
di Indonesia berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan menentukan bahwa
“harta benda yang di peroleh selama perkawinan adalah menjadi harta
bersama”. Senada hal tersebut pada KUHPerdata mengenai harta bersama
diatur pada Pasal 119 bahwa “sejak saat dilangsungkan perkawinan menurut
hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri selama tidak
ditentukan lain dalam perjanjian kawin”. Sistem pembuktian harta bersama
dalam perceraian perkawinan campuran tanpa perjanjian kawin yaitu orang
yang menggugat harta bersama apabila terjadi percerian maka ia harus
membuktikan bahwa harta tersebut merupakan harta bersama. meskipun
undang-undang tidak mengatur mengenai pembuktian harta bersama tetapi
hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan keyakinannya (Aliran
Rechtsvinding) agar para pihak yang bersangkutan tidak dirugikan. Hakim tidak
hanya memutus suatu perkara saja tetapi juga melakukan penciptaan hukum
atau penemuan hukum demi menimbulkan rasa keadilan berdasarkan
keyakinannya.
Daftar Pustaka/Daftar Referensi
Buku
Amin, R, 2020, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana dan Perdata. Yogyakarta :
Deepulish.
Anshori, A.G. (2011). Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fikih dan Hukum Positif).
Yogyakarta: UII Press.
Dirdjosisworo, S. (2013). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Hadikusuma, H. (2007). Hukum Perkawinan di Indonesia menurut: Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, Bandung: Cv. Mandar Maju.
Rofiq, A. (2015). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak. (2015) Hukum Perdata Indonesia. Kencana: Jakarta.
Jurnal
19
Ibid. h. 6
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 03 Desember 2021, h. 561 – 577
576
Fakhriah, E. L. (2015). Perkembangan alat bukti dalam penyelesaian perkara perdata di
pengadilan menuju pembaruan hukum acara perdata. ADHAPER: Jurnal
Hukum Acara Perdata, 1(2), 135-153. Doi: 10.36913/jhaper.v1i2.16
Faizal, L. (2015). Harta bersama dalam Perkawinan. Ijtimaiyya: Jurnal Pengembangan
Masyarakat Islam, 8(2), 77-102. Doi: https://doi.org/10.24042/ijpmi.v8i2.912
Pranoto, P., & Nikmah, H. Y. (2014). “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian
dari Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kaidah Hukum Perdata Internasional”. Privat
Law, 2(6), 26583.Doi : RIS (Mendeley, Zotero, EndNote, RefWorks). BibTeX
(LaTeX)
Pratama, A. (2018). “Implementasi Percampuran Harta Bersama Dan Harta Bawaan
Dalam Perkawinan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Nomor: 0189/Pdt.
g/2017/Pa. Smg), Jurnal Ius Constituendum, 3(1), 15-26”. Doi :
http://dx.doi.org/10.26623/jic.v3i1.861
Rochaeti, E. (2015). “Analisis Yuridis Tentang Harta Bersama (Gono Gini) Dalam
Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal
Wawasan Yuridika, 28(1), 650-661”. Doi:
http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v28i1.61
Silvia, D. (2021). Vol 1, No 1 (2021):Jurnal hukum Prolex “Penyelesaian Sengketa Harta
Bersama Saat Terjadinya Perceraian (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama
Sumbawa Besar No. 378/Pdt. g/2019/Pa. sub)”.Jurnal Prolex,1(1). Doi :
http://jurnal.iisbudsarea.ac.id/index.php/ProLex/article/view/5
Sugiswati, B. (2014). “Konsepsi Harta Bersama Dari Perspektif Hukum Islam, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Adat. Perspektif, 19(3), 201-211”.
Doi : http://dx.doi.org/10.30742/perspektif.v19i3.22
Situmeang, P. (2019). “Implikasi Perjanjian Kawin Terhadap Harta Dalam Perkawinan
Campur,Recital Review,1(2), 117-131”.Doi : https://online-
journal.unja.ac.id/RR/article/view/7457
Sujana, I. N. (2017). “Akibat-Akibat Hukum Perceraian Dalam Perkawinan
Campuran”. Jurnal Notariil, 2(1), 154-58. Doi :
https://doi.org/10.22225/ah.1.3.1820.390-395
Utami, P. D. Y. (2021). “Implikasi Yuridis Perkawinan Campuran Terhadap Pewarisan
Tanah Bagi Anak, KERTHA WICAKSANA,15(1),80-89”. Doi : https://
doi.org/10.22225/kw.15.1.1843.80-89
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
Republik Indoesia Tahun 1974 Nomor 1.