Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
22
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan
Gerakannya
Achmad Muhibin Zuhri1, Winarto Eka Wahyudi2
1 Universitas Negeri Islam Sunan Ampel Surabaya, Indonesia
Email : amizuhri@uinsby.ac.id
2 Universitas Islam Lamongan, Indonesia
Email : ekawahyudi1926@unisla.ac.id
Keywords:
Abstract:
Articulation, Sunni,
history, movement,
Indonesia
Indonesia is the largest Muslim population in the world. As a country with diverse
traditions and ethnicities, Islam in this equatorial state has also managed to co-exist in
harmony with the local culture. This reality is allegedly the result of the Islamic
understanding embraced by most Muslims in Indonesia. It is ahlu sunnah wal jamaah,
or in the western tradition known as the Sunni. Throughout history, the Sunni sect was
supported by a majority of Muslims. He is recognized as the ideology of various
groups - both large and small - in multiple parts of the Islamic world. At present, there
are at least 53 countries where most Muslims are Sunni, including Indonesia. This
religious school claimed to have a theological understanding that is flexible and
contextual because of its moderate nature (tawasuth). This article will track how
Islam's identity and expression are a Muslim community in Indonesia that is Sunni. It
also needs to be stressed in this study. It will also discuss how the articulation of
Islamic understanding is displayed dynamically between traditional Islamic groups
and modernists who simultaneously claim to be Sunni groups. Each difference implies
that the Sunni theology, which they believe, succeeded in sublimating it with the
locality to be more contextual. Indonesian Muslims no longer see Sunnism as a set of
strict rules of faith. It is dynamic, flexible, and in a particular position to accommodate
the culture and development of Indonesian civilization.
Kata kunci:
Abstrak:
Artikulasi, Sunni,
Sejarah, Gerakan,
Indonesia
Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sebagai negara
yang memiliki tradisi dan etnis yang beragam, Islam di negara khatulistiwa ini juga
berhasil berdampingan secara harmonis dengan kebudayaan setempat. Realitas ini
disinyalir akibat dari paham keislaman yang dipeluk oleh mayoritas muslim di
Indonesia adalah ahlu sunnah wal jamaah, atau dalam tradisi barat dikenal dengan
istilah Sunni. Sepanjang sejarah, aliran Sunni didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia
diakui sebagai ideologi berbagai kelompok -baik besar maupun kecil- di berbagai
penjuru dunia Islam. Dewasa ini sedikitnya ada 53 negara yang mayoritas umat
Islamnya berpaham Sunni, termasuk Indonesia. Madhhab akidah ini, diklaim memilki
paham teologis yang fleksibel dan kontekstual karena sifatnya yang moderat
(tawasuth). Artikel ini akan melacak bagaimana identitas serta ekspresi keislaman
masyarakat muslim Indonesia yang berakidah Sunni. Perlu ditekankan pula dalam
kajian ini juga akan membahas bagaimana artikulasi paham keislaman yang
ditampakkan dengan dinamis antara kelompok Islam tradisional dan modernis yang
dalam waktu bersamaan mengklaim diri mereka sebagai kelompok Sunni. Perbedaan
masing-masing memberikan implikasi bahwa teologi Sunni yang mereka yakini,
berhasil menyublimasi dengan lokalitas sehingga lebih bersifat kontekstual. Sunnisme
tidak lagi dipandang oleh muslim Indonesia sebagai seperangkat aturan keimanan yang
kaku, ia bahwa bersifat dinamis, lentur dan pada posisi tertentu mampu mengakomodir
kebudayaan dan perkembangan peradaban bangsa Indonesia.
Received: December 29, 2021. Revised: January 9, 2022. Accepted: January 13, 2022
Journal of Islamic Civilization
Journal homepage: http://journal2.unusa.ac.id/index.php/JIC
123
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
1. Pendahuluan
Paham keagamaan (madzhab; school of thought) lahir disebabkan oleh cara manusia dalam
mendekati dan memahami ajaran agama. Pada gilirannya, muncul kelompok keagamaan (firqah) yang
bermuasal dari paham keagamaan tersebut. Bahkan, pada posisi tertentu, akibat dominasi dan gesekan
dengan kekuasaan, paham keagamaan bermetamorfosis menjadi partai politik (hizb) yang memiliki
basis teologi sebagai legitimasi gerakannya. Demikian halnya dalam sejarah umat Islam. Bahkan, pada
beberapa kasus firqah terdapat sekte-sekte yang variatif. Masing-masing memiliki corak yang khas
dalam mengadakan pendekatan (approach) terhadap agama Islam (Umar, 2016: 414).
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau yang dalam khazanah Barat disebut Sunni atau Sunnism
adalah salah satu bagian dari polarisasi tersebut. Ia merupakan paham keagamaan, aliran pemikiran
dan bahkan pada salah satu fase sejarah tertentu menjadi sebuah firqah. Kehadirannya merupakan
respons atas dinamika pemikiran dan gerakan keagamaan yang diwarnai berbagai kecenderungan
ekstremitas di kalangan umat Islam. Karena itu, terminologi Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah
mengandung gagasan awal berupa konsistensi untuk menjaga otentisitas dan validitas ajaran sesuai
yang dibawa oleh Nabi. Keyakinan seperti ini akhirnya memunculkan pula klaim kebenaran (truth
claim) yang menyempurnakan bangunan Sunnism sebagai sebuah firqah baru dalam wacana
keagamaan umat Islam (Huda, 2019: 51).
Sepanjang sejarah, Sunni didukung oleh mayoritas umat Islam. Ia diakui sebagai ideologi
berbagai kelompok --baik besar maupun kecil-- di berbagai penjuru dunia Islam. Dewasa ini
sedikitnya ada 53 negara yang mayoritas umat Islamnya berpaham Sunni, termasuk Indonesia. Perlu
ditambahkan, bahwa setiap periodisasi sejarah menampilkan Sunnism dengan dinamikanya yang khas.
Setiap kawasan dalam dunia Islam juga memiliki keunikan-keunikan khusus dalam implementasi
Sunnism. Bahkan, setiap kelompok umat menampilkan karakter keberagamaannya berbeda-beda
antara satu dengan yang lain, walaupun mereka tetap mengidentifikasi diri –atau diidentifikasi--
sebagai kelompok Sunni. Dengan kata lain, masing-masing komunitas Sunni memiliki karakter-
karakter khusus dalam mengapresiasi dan mengaktualisasikan faham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah.
Demikian halnya di Indonesia, mayoritas umat Islam di negeri ini adalah Sunni. Sebagian dari
mereka secara tegas mengidentifikasi diri atau kelompoknya sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-
Jama`ah. Akan tetapi, sebagian lainnya walaupun tidak secara eksplisit menyatakan sebagai pengikut
paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, mereka tetap keberatan bila diidentifikasi sebagai kelompok
Non-Sunni.
Kelompok pertama diwakili oleh kalangan pesantren atau yang dalam kajian sosiologis sering
disebut kelompok Islam Tradisionalis. Kelompok ini antara lain dipresentasikan oleh NU (Nahdlatul
Ulama), PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Jam’iyah al-Washliyah, dan lain-lain. Sedangkan yang
ke dua dipresentasikan oleh kelompok pendukung gerakan pembaruan Islam, atau yang dalam kajian
sosiologis sering disebut Islam modernis. Kelompok ini mengkonsolidasikan kegiatan mereka melalui
organisasi-organisasi Jam`iyat al-Khayr, al-Irsyad, Muhammadiyah, Persis (Persatuan Islam), dan
lain-lain.
Representasi kalangan Islam Tradisionalis di Indonesia antara lain bisa dilihat dari eksistensi
Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi sosial-keagamaan yang didirikan pada tahun 1926 oleh KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari (selanjutnya disebut Hasyim Asy’ari). Sejak awal organisasi ini secara
manifest menegaskan diri sebagai pendukung paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Ekspresi Ahl al-
Sunnah wa al-Jama`ah oleh NU menampilkan coraknya yang khas, berbeda dengan ekspresi paham ini
di negara Muslim lainnya, bahkan dengan komunitas lainnya di Indonesia (Darmawati, 2011).
Di pihak modernis, Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah juga diakui –baik secara implisit maupun
eksplisit— sebagai paham keagamaan yang dianut. Muhammadiyah, misalnya, secara implisit
mengaku berideologi Sunni. Hal ini dapat diketahui dari salah satu keputusan Majelis Tarjih
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
124
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
Muhammadiyah yang menyatakan bahwa keputusan-keputusan tentang iman merupakan aqidah Ahl
al-Haqq wa al-Sunnah. Sedangkan Ahl al-Haqq wa al-Sunnah adalah sebutan lain dari Ahl al-Sunnah
wa al-Jama`ah. Sementara itu, Persatuan Islam (Persis) menyatakan lebih berhak disebut Sunni karena
alasan tidak bermadhhab, dan oleh karenanya kelompok seperti NU --yang bermadhhab-- tidak layak
disebut Sunni (Kasdi, 2019: 252).
Walaupun sama-sama mengaku sebagai pendukung Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah, kedua
kelompok ini memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam mengartikulasikan pemahaman
keagamaannya. Bahkan, kedua kelompok ini tidak jarang terlibat pertentangan dalam soal visi
keagamaan, konsep kebudayaan-kemasyarakatan, maupun politik.
Uraian di atas, memberikan gambaran awal yang cukup jelas mengenai adanya dialektika
internal di kalangan penganut aliran Sunni. Dialektika tergambar dari dua kutub penafsiran, yakni
kelompok tradisionalis di satu sisi dan kelompok modernis di sisi yang lain. Dialektika ini tentu saja
tidak terjadi dalam ruang yang hampa (Hasan, 2014). Konteks di luar kelompok-kelompok itu
diasumsikan turut mempengaruhi variasi pemaknaan terhadap Sunnisme. Khususnya dinamika
internasional yang terjadi di semenanjung Arabia saat itu. Karena seperti di ketahui, masa dimana
organisasi-organiasi tersebut dirintis dan didirikan, berhimpitan dengan momentum-momentum
internasional seperti pemakzulan kekhalifahan Turki Utsmani, perebutan kekuasaan di Hijaz dan
ekspansi aliran Wahhabisme (Hilmy, 2013: 26).
Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan kajian akademis yang mendalam dan komprehensif
mengenai artikulasi Sunni lokal di Indonesia untuk memperoleh eksplanasi lebih jelas tentang
artikulasi pemikiran Sunni yang berkembang di negara ini, berikut distingsi, ekspresi dan gerakannya
yang menampilkan corak berbeda dengan Sunni di belahan negara lain.
2. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif non partisipan dengan mengadopsi pendekatan
kajian kepustakaan (library reseacrh). Selain itu, kajian ini juga melibatkan berbagai lintas keilmuan
sehingga bisa dikatakan bahwa penelitian ini berbasis multidisipliner. Hal ini mengingat kajian Sunni
di Indonesia tak hanya soal teologi semata, namun juga berkait erat dengan sejarah Nusantara dan
tradisi masyarakat di dalamnya (Strauss & Corbin, 1998).
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk dalam kategori analisis isi
(content analysis), yaitu teknik analisa riset untuk membuat inferensi yang menegaskan keshahihan
data dengan memperhatikan konteksnya, sehingga terhindar dari kesimpulan penelitian yang baru
(Bogdan & Biklen, 1982). Dengan istilah lain, pemahaman data dalam analisis isi tak sekedar
meletakan data sebagai fenomena fisis, namun juga mempertimbangan gejala simbolik dengan
memperhatikan konteks. Secara teoritis, content analysis dapat dikategorikan sebagai metodologi riset
mengenai makna dalam sebuah peristiwa historis. Dengan beragam fakta dan interelasi fenomena yang
bersifat khusus, maka kajian ini bermaksud untuk menguak pesan-pesan historis-kontekstual dalam
satu babakan sejarah, peristiwa dan pandangan masyarakat dalam memaknai realitas, yaitu ekspresi
tentang eksistensi sunnisme di Indonesia.
3. Hasil dan Pembahasan
a. Teologi Asy’ariyah: Identitas Teologi Sunni Indonesia
Salah satu pembahasan penting yang harus dihadirkan dalam artikel ini adalah mengenai
keberadaan mazhab Asy'arian. Bagian ini penting karena kelompok ini menempati posisi mayoritas
dalam organisasi-organisasi Muslim di seluruh Indonesia, bahkan dunia, yang sering dikaitkan dengan
mazhab al-Maturidi. Bahkan, secara tegas Nahdlatul Ulama sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini
125
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
dalam statutanya, mendaku dalam aspek keimanan kepada cara pandang teologi Abu al-Hasan al-Asy
'ari. Diklaim bahwa Imam al-Asy'ari berhasil merumuskan model atau metode untuk memahami
persoalan-persoalan keagamaan (teologis) "moderat". Ia berhasil mendayung antara dua kutub
pandangan keagamaan Hanabilah yang cenderung tekstualis dan mu'tazilah yang lebih menekankan
kebebasan akal. Cara pandang Asy’arian, juga berhasil menengahi antara supremasi akal dan wahyu
secara seimbang. Peran teologi Ahlussunnah wal Jama'ah (di Indonesia dikenal sebagai Aswaja)
memainkan peran penting dalam Islamisasi Nusantara, terutama dalam memodifikasi sistem alam
pemikiran masyarakat Melayu Nusantara dari sudut pandang pemahaman agama dan kehidupan.
Dalam hal ini, para cendekiawan dan sejarawan Muslim menulis bahwa peran utama teologi
Sunni tak lain dari mazhab Asy`ariy. Misalnya, Mohd Farid Mohd Shahran, seorang sarjana Malaysia,
dalam artikelnya berjudul “Kerangka Teologi Islam di Alam Melayu: Kekuatan dan Cabaran”
menyimpulkan:
“Madzhab teologi yang mendominasi Islamisasi di alam Melayu adalah Ahlussunnah wal
Jama’ah aliran Asya’irah. Aliran ini pada awalnya dipelopori oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan
kemudiannya telah diteruskan oleh tokoh-tokoh besar seperti Abu Bakar al-Baqillani, Abu al-Ma’ali
al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Fath al-Syahrastani, Abd Qahir al-
Baghdadi, Abu Ishaq al-Isfarayini dan Muhammad Yusuf al-Sanusi. Aliran ini dicirikan dengan
keutamaan dalil wahyu dalam penghujahan disamping memperkukuhnya dengan kehujahan akal dan
pengambilan jalan tengah antara pendekatan ultrarasional Mu’tazilah yang mengutamakan pandangan
akal dan juga pendekatan sempit sebahagian ahli Hadis yang terlalu menenkankan pendekatan
tekstual”
Melihat ajaran yang disebarkan dan dikembangkan oleh Wali Songo, hal itu juga mencerminkan
gagasan kepercayaan Sunni-Asy’ariah. KH. R. Abdullah bin Nuh misalnya, memiliki pandangan
bahwa ulama-ulama berakidah asy’ariyah dapat diketemukan dengan salah satu indikatornya
mempelajari naskah wejangan karya Sunan Bonang. Pustaka rujukan kitab wejangan seorang wali
yang dimakamkan di Tuban tersebut memuat antara lain kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-
Ghazali, Talkhis al-Minhaj karya imam Nawawi, Qutul Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tamhid fi
Bayani al-Tauhid karya Abu Syukur As-Salami, serta ajaran para ulama Asy’ariah lainnya seperti
Imam Muhyiddin ibn Arabi, Ibrahim al-Iraqi, Abdul Qadir al-Jailani dan lain-lain. Idrus Alwi
misalnya, mengatakan bahwa dalam babab Cirebon juga ditulis bahwa Sunan Gunung Jati adalah
seorang penganut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, dalam fikih mengikut Imam Syafi’I.
Pesatnya penyebaran dan perkembangan madzhab Asy’ari di Indonesia, banyak dipengaruhi
oleh dinamika politik-ideologi Timur Tengah, walaupun tentu saja juga dikembangkan oleh para
muballigh atau dai. Dinamika politik negeri padang pasir ini, terutama saat kepemimpinan Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi dan Raja-raja Mamalik di Mesir yang berhasil menggulingkan supremasi
kepemimpinan dinasti Fatimiyah yang berhaluan Syi’ah.
Sebagaimana diketahui, dinasti Ayyubiyah maupun kesultanan Mamalik merupakan penganut
gigih madzhab teologi Asyari sekaligus berhaluan fikih Syafi’i. Pasca kekuasaan Sultan Shalahuddin
al-Ayyubi, selain berhasil memukul mundur imperium Kristen dalam perang salib, juga mendirikan
tiga buah madrasah tinggi di Kairo dan Iskandariyah untuk menyebarkan faham Ahlu sunnah yang
bermadzhab Syafii. Termasuk melanjutkan Universitas Al-Azhar Kairo yang diubah ajarannya dengan
Aswaja. Keberhasilan dan kemenangan Shalahuddin al-Ayyubi ini, berimplikasi pada citra dirinya
sebagai seorang figur yang disegani seantero dunia pada saat itu. Hingga berita kemenangan umat
Islam dibawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi sampai ke bumi Nusantara. Sebagai idola umat
Islam, maka ajaran al-Ayyubi banyak dianut di nusantara.
Selain itu, para penyebar agama Islam pada saat kepemimpinan Mamalik dan Ayyubiyah di
Mesir, berdiapora ke berbagai belahan penjuru dunia, termasuk Indonesia seperti di daerah Pasai di
Aceh Utara, Perlak di Aceh Timur, Muar di Malaysia, Aru di Sumatra Timur, Kuntu di Riau, Ulakkan
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
126
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
di Pantai Barat Sumatera Barat dan Jepara di Jawa Timur. Adalah seorang ulama utusan Kerajaan
Mamalik bernama Syekh Ismail as-Shiddiq bertandang ke Kerajaan Pasai untuk mengajarkan teologi
Sunni dan fikih Syafi’iyyah.
Selain faktor-faktor di atas, ada faktor lain yang menjadikan teologi Asy'ari Sunni sebagai
identitas muslim nusantara, yaitu karakterisasi yang seimbang antara penggunaan teks normatif agama
(naql) dengan supremasi logika (aql). Perpaduan yang seimbang ini diharapkan dapat membuat
peradaban Islam lebih dapat diterima oleh masyarakat setempat. Meskipun watak mazhab Asy'ari
tidak semata-mata didasarkan pada tekstualitas, dengan alasan-alasan yang mendukung bukti, namun
memunculkan tradisi mantiq ilmu, filsafat, yang keduanya memajukan perkembangan ilmu
pengetahuan dan peradaban pada lokus keislaman di mana ia dikembangkan.
Posisi teologi al-Asy’ari yang mengakar kuat dalam jejak sejarah Islamisasi Nusantara ini,
selanjutnya dilestarikan melalui institusi/ lembaga pendidikan Islam. Semisal: pesantren, meunesa,
langgar, dayah dan semacamnya. Di bidang Akidah dengan mudah diemukan kitab-kitab yang
dipelajari di pesantren Indonesia antara lain: ‘Aqidatul ‘Awam, Jawharatut Tauhid atau karya Imam
al-Asy’ari sendiri, seperti Al-luma’ fi al-Raddi ‘ala Ahl al-Zaygi wa al Bida’ atau al- Ibanah ‘an Ushul
al-Diyanah, dan karya al-Maturidi, seperti Kitab al-Tauhid, Ta’wilat Ahlisunnah dan lain-lain.
b. Artikulasi Sosio-Kultural Teologi Sunni di Indonesia
Terdapat sebuah klaim, bahwa Islam di Nusantara dipandang sebagai “Islam Periferal”, Islam
pinggiran, sinkretis dan jauh dari bentuk kemurnian sebagaimana yang berkembang di Timur Tengah.
Anggapan ini banyak dilatarbelakangi oleh sebuah stigma bahwa tradisi atau ritus ibadah orang islam
Indonesia jamak dipengaruhi oleh tradisi-tradisi agama India (baca: Hindu-Budha), yang telah eksis
sebelum kedatangan Islam di Indonesia.
Namun anggapan yang mendiskreditkan Islam di Nusantara itu ditolak oleh para ahli
historiografi dan sejarah seperti Azyumardi Azra (Azra, 2006), Ahmad Mansur Surya Negara (Negara,
2010), Ahmad Baso (Baso, 2012), Martin Van Bruinessen (Bruinessen, 2012), Zainul Milal Bizawie
(Bizawie, 2014) dan lain-lain. Bahkan Azro, Zainul dan Baso melakukan penelitian mengenai
transmisi keilmuan para ulama Nusantara dengan ulama Haromain, Hijaz dan Mesir yang
membuktikan bahwa tradisi-tradisi keagamaan yang establish di Indonesia mempunyai landasan kuat
karena dibarengi dengan legitimasi keilmuan yang terjalin dengan ulama-ulama otoritatif. Kajian ini
justru membalik sekaligus meruntuhkan klaim yang berasumsi bahwa islam Indonesia merupakan
produk dari sinkretisasi keagamaan.
Pandangan para orientalis, para peneliti barat bahkan sarjanawan pribumi yang bernuansa
peyoratif terhadap keislaman di Indonesia, layak ditinggalkan. Justru dalam perjalanan sejarah, Islam
Nusantara teruji telah tahan banting dan sanggup mengemban Islam misi rahmatan lil alamin. Islam
Nusantara sudah selayaknya dijadikan model dan suatu cara pandang membangun dan mengkaji
berbagai persoalan di dunia.
Lebih jauh lagi, bahwa salah satu kekuatan Islam di Indonesia adalah aset budaya. Islam sebagai
sistem ajaran agama akan selalu berdialog dengan budaya lokal dimanapun Islam berada. Disinilah
letak kerahmatan islam, yang akan selalu compatible dengan fitrah manusia, yakni kebudayaan.
Meskipun akhirnya terdapat salah satu yang berpengaruh lebih dominan, baik agama atau budaya lokal
dalam kehidupan manusia. Namun besar kemungkinan keduanya dapat memainkan peran penting
dalam membentuk budaya dan peradaban baru, karena terjadi dialog antara tatanan nilai agama yang
menjadi idealisme suatu agama dengan tata nilai budaya lokal (Tim GF, 2018).
Dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat Islam, tidak dikesampingkan konstribusi
Walisongo. Pola dan metode dakwah yang mereka lakukan, merupakan manifestasi antara kecerdasan
sosial dan kedalaman pemahaman keislaman, sehingga sesuai dengan ajaran Islam yang toleran dan
127
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
kosekuensinya, mampu membaur dengan budaya lokal. Hal ini juga merupakan bentuk strategi
dakwah yang dikembangkan Walisongo dalam mengislamkan Pulau Jawa atas dominasi agama Hindu-
Budha pada abad 15 dan 16 M (Derani, 2020).
Apa yang terjadi adalah bukan suatu intervensi, tetapi lebih pada akulturasi dan hidup
berdampingan secara damai. Ini merupakan suatu ekspresi dari “budaya Islam” yaitu ulama sebagai
agent of change, dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara
subordinasi budaya tersebut terhadap nilai-nilai Islam (Weng, 2011).
Lebih lanjut, sebelum era Walisongo, yakni pada abad ke 13, sampai abad 15, teologi Sunni
diartikulasikan ke dalam spirit akademik sekaligus termanifestasikan di ruang publik melalui sistem
ketatanegaran yang dianut kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara: Samudera Pasai, Aceh Darussalam,
Demak, Mataram, Ternate, dan Bone banyak diilhami dan mengadopsi ajaran Islam. Naskah-naskah
akademik yang memuat corak teologis Sunnisme, bahkan diimprovisasikan ke dalam sistem sosial
politik Indonesia. Kitab Nashihatul Muluk karya Imam Ghozali misalnya, sangat berpengaruh dalam
kerajaan Islam sehingga mengilhami lahirnya kitab seperti Bustanus Salatin karya Syekh Nuruddin
Ar- Raniri. Di Jawa terdapat kitab yang sama, beraksara Jawa, yaitu serat Tajus Salatin, Adabus
Salatin, Ikhbarul Muluk yang menjadi rujukan hukum dan etika perundang-undangan di kalangan
kerajaan (Mutakin, 2018).
Semuanya itu menjadi rujukan para raja dalam menyusun undang-undang dan melaksanakan
kebijakan pemerintahan. Bahkan, Raja Surakarta Mangkunegara IV yang seangkatan dengan
Ronggowarsito yang hidup pada kisaran abad 19 mengarang Kitab Wedhatama (Ajaran Luhur) yang
kemudian dijadikan buku pedoman bagi para pangeran calon raja. Selain itu juga ditulis kitab yang
sama bernama Wulangreh.
Selain membahas ketatanegaraan, beberapa kitab di atas kemudian diterjemahkan secara teknis
menjadi rujukan hukum dan peraturan kerajaan. Dari sinilah muncul lembaga peradilan yang pada
akhirnya melahirkan istilah Qodli Qudlot (Hakim Agung) dalam kerajaan islam di Indonesia. Tidak
sampai di situ, pada akhir abad ke-19 Kesultanan Sambas, Kalimantan Barat misalnya, masih
menjalankan sistem hukum secara seksama terdiri dari sistem peradilan mulai dari paling rendah Balai
Bidai, kemudian Balai Raja, dan yang tertinggi Balai Kanun. Sistem politik yang kuat seperti itu pada
gilirannya membentuk apa yang oleh Kuntowijoyo (1997) disebut civic culture (budaya bernegara).
Dari sinilah tradisi Sunnisme menemukan lokalitasnya, ia mampu kompatibel dengan perbedaraan
kultural yang ada di Nusantara.
Penetrasi dan pelembagaan nilai-nilai Islam atas tradisi Sunni sebagaimana dipaparkan di atas,
jauh lebih rumit (complicated) seiring dengan proses Islamisasi di Nusantara hingga Indonesia
merdeka. Selain berpengaruh pada sistem hukum dan ketatanegaraan, nilai-nilai Islam juga
berpengaruh terhadap munculnya lembaga-lembaga sosial Islam (Islamic social institutions) seperti
wakaf, baitul mal, filantropisme, dan pendidikan Islam yang dimulai dari pesantren, tajug, atau langgar
(modifikasi dari sistem pendidikan Hindu-Budha sebelumnya: sanggar, padepokan atau pertapaan),
diniyah, surau, meunasah/ dayah, kemudian pada awal abad ke-20 muncul madrasah yang didirikan
berbagai organisasi Islam yang bergabung dalam pergerakan nasional.
c. Sunnisme dalam Tradisi Intelektual Ulama Indonesia
Pelembagaan kelompok teologi Sunni baik melalui institusi politik (baca: kerajaan/ kesultanan)
maupun institusi sosial (baca: ormas, pesantren/ dayah) pada akhirnya membentuk sistem pengetahuan
dan intelektual umat, adat istiadat dan sistem kepercayaan, budaya bangsa, sistem ekonomi, hingga
pada pembentukan prilaku Muslim di Indonesia. Singkatnya, nilai-nilai Islam telah bersenyawa
dengan local culture bangsa Indonesia.
Untuk itu, dapat dipahami bahwa sesungguhnya sistem pengetahuan dan intelektual umat Islam
Indonesia hari ini merupakan (little tradition), yang berakar kuat pada tradisi Islam besar (great
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
128
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
tradition). Pada aspek ini, gairah pemikiran ulama Nusantara akhirnya mendorong umat Islam
berkelana mempelajari Islam hingga ke pusat Islam, terutama Haramain (Makkah dan Madinah).
Penelusuran terhadap geneologi pemikiran para ulama sejak abad ke-16 hingga 19 menunjukkan
gairah intelektualisme itu (A‘la et al., 2018).
Sejumlah ulama Indonesia bahkan memiliki reputasi internasional, beberapa produk intelektual
yang bisa disebutkan sebagai bukti produktifitas insting akademik dengan bobot tinggi. Para sarjawan
Islam Indonesia par exellence seperti Nuruddin al-Raniri, Syekh Abdurrauf al-Sinkili, Syamsuddin Al-
Sumatrani, Muhammad Arsyad al- Banjari, Muhammad Nafis Al-Banjari, Abdusshamad Al-
Palimbani, Nawawi Al-Bantani, Mahfudh At-Tirmasi, Yasin Al-Padani, Raja Ali Haji, Kiai Ihsan
Jampes, Kiai Soleh Darat Al-Samarangi, hingga Kiai Mutamakkin dan Muhammad Hasyim Asy’ari
ada jajaran ulama asy’ariyah yang berhasil membentuk paham dan tradisi keislaman masyarakat
muslim di Indonesia (Nurhisam & Huda, 2016).
Penemuan artefak naskah (manuscript, makhthathat) di beberapa wilayah Indonesia, atau
umumnya Melayu-Nusantara, menunjukkan bahwa sebaran naskah Islam berjalan beriringan dengan
perkembangan komunitas Muslim yang menempati kawasan Indonesia atau Melayu-Nusantara.
Anggapan ini diperkuat dengan bukti tulisan manuskirp berbahasa lokal, baik Sunda, Melayu, Madura
dan Jawa atau Arab pegon yang ditemukan sebagai tinanda artefak akademik muslim nusantara kala
itu. Sejumlah kitab fikih, tasawuf, tafsir, dan hadits merupakan bidang keilmuan yang jamak ditulis
oleh sarjanawan islam dengan menggunakan bahasa lokal Nusantara pada saat itu (Baso, 2012).
Ribuan bahkan puluhan ribu manuskrip karya intelektual itu sebagian didesiminasi melalui
pewarisan dari generasi ke generasi terutama pengajaran di pesantren, dan sebagian lainnya masih
tersimpan dan tersebar di berbagai tempat di wilayah Indonesia. Salah satu sumber menyebutkan, di
Aceh saja diperkirakan terdapat 10.000 naskah Islam sebelum terjadinya tsunami. Karya-karya serupa
dapat ditemukan di berbagai wilayah Nusantara seperti Banten, Riau, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa
Timur, Banjarmasin, Palembang, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Makassar, Gowa, Bone, Ternate,
dan sebagainya (Bruinessen, 2012).
Keberadaan manuskrip tersebut, di satu sisi menunjukkan relasi intelektual Islam Indonesia
dengan centre of excellent Islam di Timur Tengah (baca: Hijaz, Mesir). Di sisi lain, kitab-kitab karya
ulama nusantara ini, membentuk sistem pengetahuan yang khas bagi komunitas Muslim nusantara dan
dilestarikan hingga hari ini. Bisa dibayangkan jika naskah-naskah itu tidak disalin dan diwariskan,
umat Islam Indonesia akan terputus dari memori ilmiah keislaman khas nusantara.
Naskah Islam Nusantara yang kaya menjadi peluang dan aset bagi umat Islam Indonesia.
Beberapa tradisi muslim di Indonesia merupakan visi egaliter (kesetaraan/kesetaraan) para ulama
dalam penyebaran Islam di Nusantara. Strategi budaya ini dimaksudkan untuk membangun
pemahaman bersama, sekaligus menegaskan bahwa meskipun Islam berasal dari luar nusantara, nilai
dan ajarannya sejalan dengan karakter masyarakat yang berkembang. Taktik ini juga untuk
menghindari monopoli ajaran Islam yang tidak mengajarkan hal-hal yang alergi terhadap kearifan
lokal. Perjuangan egalitarianisme inilah yang merupakan fenomena budaya, yaitu akulturasi.
Menurut Koentjaraningrat, akulturasi budaya tersebut di atas adalah proses sosial yang terjadi
ketika sekelompok orang dengan budaya tertentu dihadapkan pada unsur-unsur budaya asing sehingga
unsur-unsur tersebut secara bertahap diterima dan diubah menjadi budaya, tanpa menyebabkan
kepunahan. kepribadian budaya itu. Akulturasi terjadi ketika kelompok individu dari budaya yang
berbeda berinteraksi secara langsung dan kuat satu sama lain dan selanjutnya menyebabkan perubahan
besar dalam pola budaya dari satu atau kedua budaya. Di antara banyak variabel adalah tingkat
perbedaan budaya; keadaan, intensitas, frekuensi, dan semangat persaudaraan dalam suatu hubungan.
Siapa yang dominan dan siapa yang tunduk, dan apakah pengaruh itu timbal balik (Alam, 2014: 3).
129
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
Faktor terjadinya proses akulturasi antara lain disebabkan antara lain; 1) apabila diketemukn
unsur kebudayaan baru; 2) saling silang antar unsur budaya baru yang mengadopsi budaya lain; 3) jika
unsur kebudayaan kontradiktif dengan karakter lingkungan; 4) Apabila terdapat unsur kebudayaan
yang gagal melakukan transmisi tradisi dari generasi ke generasi berikutnya (Miharja et al., 2019).
Selanjutnya, dalam sejarah masyarakat, bahasa memungkinkan orang untuk membangun
hubungan spiritual. Anggota komunitas secara fisik terpisah satu sama lain tetapi terhubung secara
spiritual. Masyarakat tidak dapat terbentuk secara paripurna tanpa hubungan spiritual. Ada interaksi
antara dua orang, bahkan sekelompok orang, melalui bahasa. Melalui interaksi antara kelompok
masyarakat, kerjasama dan koeksistensi tercapai dan membutuk komunitas masyarakat. Sampai saat
ini, bahasa telah memainkan peran penting dalam masyarakat. Dalam konteks penyebaran Islam,
penggunaan bahasa sebagai simbol dan instrumen ideologisasi agama memegang peranan yang
signifikan.
Dalam konteks ini, bahasa yang digunakan sebagai koneksi dalam proses interaksi di Nusantara
tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Melayu
kemudian mengalami proses akulturasi, salah satunya yaitu dengan muculnya sistem keaksaraan
“baru” dengan menggunakan tulisan Arab namun berbahasa Jawa, tradisi keaksaraan ini belakangan
diistilahkan dengan pegon. Belum dapat disimpulkan secara meyakinkan dari sumber historis tentang
siapa yang pertama kali dan merancang prestasi literasi ini. Untuk itu, mengkaji Islam di Nusantara
dengan menafikan tradisi keaksaraan pegon merupakan kecelakaan akademik yang niscaya (Mutakin,
2018).
Kenapa demikian? karena sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik jika para
penyeru titah Tuhan memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang luas tentang kebudayaan dan segala
seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan
hidup, dan gambaran dunia yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar
Islam karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga kebudayaan
Jawa (Derani, 2020).
Meskipun masuk dalam kategori bangsa mayoritas muslim terbesar di dunia, pada faktanya
Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibanding negara-negara Muslim
besar lainnya. Selain itu, secara geografis Indonesia terletak sangat jauh dari tanah suci Makkah dan
Madinah, pusat kelahiran Islam. Meski demikian bukan berarti Islam Indonesia “tidak asli”. Sulit
dipungkiri bahwa ajaran dan nilai-nilai Islam telah menyumbang banyak pada pembentukan budaya
bangsa Indonesia. Pengaruh Islam makin terasa ketika bahasa Melayu dari provinsi Riau, Sumatera,
dijadikan sebagai bahasa nasional dan resmi Republik Indonesia.
Sebagai bahasa yang jauh lebih egaliter dan kosmopolit daripada bahasa Jawa, meskipun tidak
lebih kaya darinya, bahasa Melayu adalah bahasa kebudayaan Islam Asia Tenggara, yang pernah
menjadi icon intelektual dalam penyebaran dan transmisi keilmuan islam di masa silalm. Bahkan,
Martin pernah melakukan riset babhwa di Hijaz, bahasa Melayu menjadi bahasa kedua setelah bahasa
Arab yang popular di kalangan para ulama. Fakta sejarah ini disebabkan karena para scholar islam
Nusantara pernah mempunyai dominasi intelektual di tanah Haramain tersebut. Misalnya, pada abad
19 H seorang ulama asal Banten Syaikh Nawawi mendapat penghargaan akademik di bumi Rasul,
yakni dikenal sebagai Sayyid Ulama Hijaz (pemimpin ualama Hijaz), Imam Nawawi Tsani (Imam
Nawawi kedua), Al-Imam Al-Muhaqqiq wa al-Fahhamah Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qorn al-Ram
Asyr lil Hijrah dan Imam Ulama al-haramain (Harisudin, 2017).
Di sisi lain, bahasa Indonesia yang menjadi bagian dari rumpunbahasa Melayu memainkan
peran sangat besar dalam membawa masuk pengaruh Islam ke dalam budaya politik modern
Indonesia. Sebagai sebuah nomenklatur, tradisi politik Indonesia sangat terinspirasi dari istilah-istilah
serapan bahasa Arab yang jauh-jauh hari telah mengakar dan menyebar di Nusantara. Seperti misalnya
kata makmur (ma’mur), rakyat (ra’yah), majelis (majlis), daerah (dairah), dewan (diwan), resmi
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
130
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
(rasmi), mufakat (muwafaqah), wajib (wajib), bina (bina’), hukum (hukm), amal (‘amal), mahkamah
(mahkamah), tertib (tartib), wakil (wakil), wilayah (wilayah), dan seterusnya.
Kata serapan bahasa Arab jauh lebih banyak dalam mempengaruhi sistem kemasyarakatan dan
kenegaraan, bahkan dibandingkan dengan bahasa negara lain yang masuk ke Indonesia. Jika ditelusuri
pada perumusan nilai-nilai Pancasila saja, unsur-unsur Islam itu akan segera tampak dalam konsep-
konsep tentang adil, adab, rakyat, hikmat, musyawarah, dan wakil. Lebih dari itu, dapat disebutkan
bahwa rumusan sila keempat Pancasila, sangat mirip –untuk tidak mengatakan meniru- dengan
ungkapan Arab yang sering dijadikan dalil dan pegangan para ulama, ra’sul hikmah al-masyurah
(pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah).
Bahkan, jauh sebelum Indonesia merdeka, nilai-nilai Islam telah banyak menginspirasi
pemikiran politik atau ketatanegaraan seperti sebagaimana konsep ketatanegaraan dalam tradisi Sunni.
Fakta ini tercermin pada tiga nilai universal yang berlaku dalam tradisi kesultanan Islam, yakni: adil,
syara’, dan musyawarah. Konsep tentang Adil misalnya, tertulis dalam mata uang Aceh pada abad ke-
13. Pepatah “raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah” menunjukkan kuatnya konsepsi
tentang adil di tengah masyarakat kala itu. Adapun diskursus tentang syara’ bahkan samapai mampu
menggantikan kekuasaan absolute seorang raja. Ada suatu sistem yang disebut syara’ yang harus
ditaati bersama. Di Minangkabau ada ungkapan, “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah”
(Adat bersendi syariat, syariat bersendi Kitabullah)”. Tentu saja, idiom-idiom ini sangat identik
dengan corak teologi Sunni yang menekankan keseimbangan antara teks-teks normatif keislaman
dengan kebudayaan masyarakat yang berasal dari proses rasional.
Dari fakta sejarah ini kita bisa mencermati bahwa Islam di Nusantara memiliki ekspresinya
tersendiri, bahkan bisa mengartikulasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam berbagai aspek kehidupan
berbudaya, bersosial dan bernegara. Pola ini pada akhirnya mampu menjadi budaya subordinasi
sebagai kekuatan investasi kultural. Dalam arti, corak teologi Sunni mampu mengkonstruksi
paradigma berfikir masyarakat pribumi untuk melahirkan imaginasi mengenai hakikat dan karakter
berkebangsaan. Rekam historis di atas, setidaknya menunjukkan bahwa dalam perjalanannya, Islam
Nusantara mampu menampilkan dan melahirkan peradaban yang sangat kaya dengan beragam bukti
pencapaiannya yang lintas bidang kehidupan; sastra, politik, sosial, seni dan tradisi keagamaan.
d. Sunni dan Kenusantaraan: Menuju
Realitas bahwa Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia merupakan indikasi konkrit bahwa
Islam sebagai ajaran telah berhasil merasuk dalam bangunan peradaban bangsa Indonesia. Proses
islamisasi yang terbentuk semenjak kurun waktu abad ke-7 hingga ke-21 M, berhasil berdialektika
dengan pola hidup masyarakat Indonesia. Sebuah varian keislaman yang bertemu, selaras dan
mendasari pembangunan negara-bangsa, Gus Dur mengistilahkan fenomena ini sebagai pribumisasi
Islam. Dengan demikian, Islam Indonesia adalah Islam yang bertemu dengan karakter bangsa.
Bisa dipahami pula dalam konteks ini, bahwa Islamisasi di kepulauan Indonesia terjadi dalam
proses pemilihan, akulturasi, dan adaptasi praktik-praktik lokal secara damai ke dalam nilai-nilai
Islam. Dalam perubahan sosial semacam itu, Islam mengalir ke Indonesia bukan melalui perang,
imperialisme, tekanan ekonomi, atau indoktrinasi yang keras. Islam madhhab Sunni disajikan melalui
perdagangan, pernikahan, penyembuhan, dan kegiatan normal lainnya. Para muballigh selalu
mengizinkan, dan menghormati hak asasi manusia masyarakat lokal untuk menerima, menolak, atau
hanya menerima bagian-bagian tertentu dari Islam, hingga kesukaan dan kesiapan mereka masing-
masing.
Fenomena ini menunjukkan bahwa Islam Indonesia yang jamak mengadopsi tradisi Sunnisme,
merupakan produk intelektual para ulama yang lebih memprioritaskan pada pemahaman maa haula
an-Nass (around the text), dan bukan statis pada pemahaman maa fii al-Nass (in the text). Pola
131
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
keberagamaan ini, tercermin dari religious experience para ulama nusantara yang senantiasa
memahami teks-teks keilmuan islam (baca: al-Quran dan Hadits) lengkap dengan setting sosial,
politik, dan budaya yang melingkupinya. Sehingga tidak terjebak dalam verbalitas dan rigiditas teks
yang justru lebih banyak melahirkan pemahaman-pemahaman yang kaku dan tanpa kompromi
(Wahid, 2007: ix).
Melalui fondasi inilah, maka Islam di Indonesia melahirkan karakternya yang mampu
merangkul dan dirangkul dengan nilai-nilai keindonesiaan. Yakni sistem nilai yang dibentuk oleh
pertemuan agama-agama besar dengan tradisi keruhanian awal di Nusantara. Maka, Islam Sunni di
Indonesia kemudian mengarah pada pertemuan antara Islam dan tradisi kultural.
Pada titik ini, eksistensi Walisongo yang diteruskan oleh ulama-ulama pesantren yang mayoritas
mengikuti madhhab asy’ariyah menjadi eksistensi paling konstributif dalam pembentukan kultur Islam
khas Indonesia, khususnya di Jawa dan Sumatera. Para pembawa tradisi Sunni ini, merupakan manusia
par excellence mempunyai modalitas tak hanya keilmuan dalam bidang syariah (yurisprudensi islam),
namun juga dibekali dengan kepiawaiannya dalam bidang tasawuf, ekonomi, sosial, politik dan
kebudayaan. Kenyataan inilah yang pada akhirnya menjadikan islam nusantara berkembang bersifat
gerakan sosio-cultural, bukan gerakan politik. Sifat kultural ini bisa terbentuk, karena penekanan atas
substansi Islam yang akhirnya bisa membumi ke dalam bentuk budaya keagamaan lokal pra-Islam.
Strategi yang dilakukan oleh para wali dan penyebar Islam di kepulauan Nusantara ini,
merupakan jawaban cerdas para ulama dalam menghadapi tantangan fenomena sosial yang terus
berubah (al-waqi’i ghair al-mutanahiyah) yang dibenturkan dengan teks-teks yang pada faktanya
bersifat terbatas (al-Nusus al-Mutanahiyah) sebagaimana menjadi adigium Ibn Rusyd dalam
preamblue kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihaya al-Mustafid-nya.
Perwujudan kultural bentukan Walisongo ini kemudian mencapai titik paripurna di dalam
pesantren. Hal ini tidak lepas dari jasa para kibar al-ulama Nusantara, seperti Kiai Hasyim Asyari, Kiai
Khalil Bangkalan, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, dll yang telah mendirikan pesantren
sepulang belajar dari Mekkah. Pembentukan pesantren ini kemudian menyempurnakan pesantren awal
yang telah dibangun oleh para wali semisal Sunan Giri dan Sunan Ampel. Pembaruan yang dilakukan
“jaringan ulama Jawi” adalah pembentukan sistem pendidikan Islam berbasis pendalaman dan
penguasaan ilmu-ilmu Islam Sunni melalui tradisi bermadhhab, baik dibidang teologi maupun fiqh.
Sehingga, jika dalam gelombang pribumisasi Islam Walisongo, tasawuf menjadi “trademark
pengetahuan” Islam, maka pada gelombang berikutnya yang dilakukan oleh pesantren abad ke-19,
bergeser dengan prioritas keilmuan fiqh dan ilmu-ilmu syariah yang menjadi “karakter pengetahuan”
Islam. Menariknya, proses ini justru tidak menggambarkan diskontinuitas, melainkan sebaliknya:
kontinuitas yang paripurna. Hal ini terjadi karena pendalaman keilmuan Sunni di dalam pesantren
dilakukan melalui pendalaman praktik spiritual melalui fiqh sufistik. Artinya, artikulasi keislaman
sangat apresiatif terhadap laku tarekat, namun tidak mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan
fiqh. Fenomea ini, kemudian membentuk corak keislaman pesantren yang oleh KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) disebut sebagai fiqh-sufistik. Yakni keislaman yang merujuk pada ketaatan fiqhiyah
dalam kerangka syariah yang diimbangi oleh kedalaman pemahaman tasawuf.
Dalam proses transformasi Islam ke dalam ruang sosial-akademik ini, nilai-nilai dan ajaran
Islam secara alami yang bersifat dinamis diserap dalam berbagai porsi dan kecepatan antar wilayah.
Akibatnya, Islam dimanifestasikan dalam berbagai warna di Indonesia. Sehingga kita dengan mudah
menemukan difersitas karakter keislaman yang ada di daerah pesisir kering, dan Islam di bukit subur,
hujan, dan dingin, atau antara etno-budaya Islam Jawa.
Disebabkan Islam datang melalui proses akulturasi, maka sampai batas tertentu, membuka
kemungkinan kemungkinan kombinasi kreatif antara sumber-sumber literal asli Islam dan elemen-
elemen tertentu dari budaya, pengetahuan, dan kepercayaan lokal. Tradisi lokal, seperti perayaan
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
132
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
Muludan di Jawa, tradisi tarian Zapin di Sumatera dan prosesi ritual unik Ritual Posasiq Mandar di
Sulawesi Tenggara.
Sejak kedatangan pertamanya di Indonesia, Islam tumbuh di tengah berbagai kodrat kesukuan,
budaya lokal, dan lanskap sosiologis lainnya. Hasil interaksi dan dialektika dengan berbagai
lingkungan kemudian menghasilkan Islam yang penuh warna, berbagai pemikiran tentang ulama
setempat, tradisi keagamaan yang unik, konsep-konsep praktis Islam yang lebih toleran, dan damai.
Moderatisme dan inklusivisme yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam corak keislaman di
Indonesia yang banyak mengadopsi tradisi Sunni, meminjam istilahnya Robert Schreiter dalam
bukunya Constructing Local Theology, dalam rangka upaya membangun teologi lokal-kontekstual.
Schreiter berpandangan bahwa terdapat sedikitnya tiga komponen, yang berjalan secara dinamis-
dialektis dalam membentuk satu corak teologi yang bernuansa sosial. Mereplikasi kategori yang
dikemukakan oleh Schreiter, dalam konteks Sunni lokal, komponen utamanya adalah teks-teks
keislaman (al-Quran-Hadith), pesantren dan kebudayaan (An, 2020).
Jika teks keagamaan dijadikan sebagai sumber nilai dan pondasi teologis, maka elemen
pesantren menjadi komponen yang berfungsi melakukan konservasi epistimologis pengetahuan-
pengetahuan dalam tradisi Sunnisme, sedangkan kebudayaan menjadi infrastruktur artikulatif dalam
memanifestasikan ajaran Islam sesuai dengan lokalitas Indonesia. Dapat ditekankan disini, bahwa
teologi lokal-kontekstual Sunni bukan isu masa kini belaka, melainkan isu sepanjang jaman, sebab
semua teologi pada awalnya adalah teologi “lokal” termasuk Sunni yang berasal dari negara Arab,
yaitu teologi yang dibangun untuk menjawab kebutuhan dan tantangan lokal-kontekstual di zaman itu.
Tidak ada teologi yang muncul dan dibangun tanpa konteks setempat (lokal).
Oleh sebab itu, teologi Islam yang berpondasi pada corak Sunni di Indonesia yang kini telah
menjadi tradisi Nusantara, juga berawal dari teologi lokal yang bermuasal dari kawasan Arab dengan
segala setting sosialnya. Jadi bisa dipahami bahwa teologi lokal atau teologi kontekstual yang
diperankan oleh Ahlu Sunnah wal Jamaah bukan isu modern melainkan isu sepanjang jaman,
sepanjang sejarah, tidak hanya dalam konteks sejarah gereja saja, melainkan seluruh sejarah
keselamatan itu sendiri.
Penyebaran dan perkengembangan Sunni lokal tidak bisa dilepaskan dari dua aspek yang
berjalan secara dialektis, yaitu aktifitas membuka kultur (opening the culture) dan aktifitas membuka
tradisi masjid (opening the mosque tradition). Pada aktifitas yang pertama, tidak bisa dikesampingkan
bahwa perkembangan sebuah teologi tidak berjalan pada ruang hampa. Pada setiap kawasan, sudah
ada satu bentuk ideologi yang sudah ada. Tradisi Sunni yang dikenal memiliki cara pandang moderat,
sangat cocok untuk melahirkan dialog kultural dengan tradisi lain, yang pada saat bersamaan melalui
para ulama, melakukan adaptasi, evaluasi dan akulturasi sebagai bentuk penyesuaian-penyesuaian
antara yang bisa diakomodir dan yang dieleminir (Awaliah & Masduki, 2019).
Pada posisi tertentu, pasti muncul sebuah pertanyaan tentang bagaimana kita bisa melihat tradisi
sebagai serangkaian perangkat teologi (baca: Sunni)? Kedua, apa atau mana nilai relatif-normatif
antara lokalitas dan teologi Sunni? Pertanyaan tersebut bisa dijawab dengan memakai sosiologi
pengetahuan untuk membedah tradisi sehingga menghasilkan kesadaran bahwa teologi bisa dilihat
sebagai variasi komentar atau tafsir atas kitab suci, atau sebagai hikmat, pengetahuan yang pasti dan
juga sebagai praksis keberagamaan (Najib, 2020: 173).
Eksplanasi ini mengindikasikan bahwa teologi Sunni memiliki dua sifat yang melekat, relevansi
dan identitas. Artinya, artikulasi teologis Sunni bersifat flesibel, mampu menyublimasi dan menjadi
problem solver dimana teologi itu dilaksanakan, pada tahapan berikutnya, fleksibelitas teologis ini
berimplikasi pada lahirnya corak yang khas yang menjadi identitas. Melalui proses dialektik inilah
teologi Sunni bisa diterima oleh mayoritas muslim Indonesia dan pada posisi yang lain, menunjukkan
kredibelitas dan otensitasnya (Kleden, 2018).
133
Journal of Islamic Civilization. Volume 3, No. 2, October 2021, Hal. 122-134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
Melalui eksplorasi ini, sebenarnya penulis ingin menegaskan bahwa Sunni lokal adalah seuatu
prosesn interkultural. Yaitu perpaduan antara inkulturasi dan kontekstualisasi, sebuah konsep yang
lebih cocok untuk menunjuk aktivitas antar budaya dan agama. Sementara itu, sisi nalar lokalitas
dalam teologi Sunni menunjukkan bahwa peran penafsiran ulama dalam ruang budaya dan konteks
tradisi tertentu, mengakui bahwa beragama bukan satu aktivitas yang kontraproduktif dengan
berbudaya. Justru Sunni di Indonesia menunjukkan sifat Islam yang dinamis dan kontekstual karena
berhasil berinteraksi dengan unsur-unsur di luar agama. Dengan demikian, nalar teologi Sunni di
Indonesia menemukan ekspresi baru yang pada akhirnya melahirkan tradisi keislaman yang
indigenous (Miftahuddin, 2010). Identitas agama dan budaya sama pentingnya bagi setiap generasi
seperti halnya bagi yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu dalam mengembangkan teologi
Sunni di Indonesia. Jelas, identitas agama dan budaya tidak tetap atau statis tetapi terus-menerus
berevolusi, menciptakan kembali, dan mentransformasikan diri melalui interaksi yang berkelanjutan.
4. Kesimpulan
Sunni di Nusantara dalam dalam kajian ini berhasil menunjukkan bahwa sifat kontekstual
agama melahirkan implikasi terhadap lahirnya ekspresi keislaman yang khas. Indonesia yang menjadi
negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tak bisa dilepaskan dari fenomena teologis ini, bahwa
diakui atau tidak, paham keislaman Indonesia yang relatif moderat, toleran dan akomodatif merupakan
konsekuensi dari nalar teologi Sunnisme yang menjadi mainstraim dalam dinamika kelompok
keagamaan di Indonesia. Hampir bisa dipastikan bahwa semua organisasi Islam di Indonesia, baik
yang disebut dengan kelompok Islam tradisional dan modernis mendaku pada basis teologi sunni yang
dikenal moderat ini. Dengan menunjukkan artikulasinya yang variatif, baik ekspresi keagamaan dan
gerakan sosialnya, menunjukkan bahwa Sunni lokal merupakan satu keniscayaan agar Islam menjadi
ajaran Islam yang kontekstual dan kompatibel terhadap dinamika kawasan. Logika lokalitas dalam
konteks ini perlu ditekankan bukan untuk mereduksi atau mendekonstruksi basis ajaran Islam, bahkan
justru eksistensi Sunni lokal menunjukkan bahwa Islam benar-benar ajaran Islam yang memiliki
relevansi terhadap karakter situasi dan kondisi lokal yang ada. Paradigma semacam ini, secara
bersamaan juga menjadikan ajaran Islam tidak kaku dan kedap terhadap kebudayaan yang justru
berpotensi destruktif terhadap tantangan zaman.
Daftar Pustaka
A‘La, A., Zamzami, M., Udin, N. H. W., & Aniq, A. F. (2018). Islamism in Madura from religious
symbolism to authoritarianism. Journal of Indonesian Islam, 12(2), 159–194.
https://doi.org/10.15642/JIIS.2018.12.2.159-194
Alam, B. (2014). Globalisasi dan Perubahan Budaya: Perspektif Teori Kebudayaan. Antropologi
Indonesia, 0(54), 1–11. https://doi.org/10.7454/ai.v0i54.3325
An, K.-S. (2020). Contextual Theology. An Ethiopian Reading of the Bible, 9–46.
https://doi.org/10.2307/j.ctv1131hg4.9
Awaliah, S., & Masduki, M. (2019). Kontestasi Dan Adaptasi Otoritas Keagamaan Tradisional:
Mencermati Visi Dakwah Pesantren Darul Falah Bangsri Jepara. Jurnal Dakwah Risalah, 30(1),
109. https://doi.org/10.24014/jdr.v30i1.7453
Azra, A. (2006). Indonesian Islam, Mainstream Muslims and Politics. 2.
Baso, A. (2012). Pesantren Studies 2a Buku 2: Kosmopolitanisme Peradaban Kaum Santri di Masa
Kolonial. Pustaka Afid.
Bizawie, Z. M. (2014). Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad. Pustaka Compass.
Bogdan, R., & Biklen, S. (1982). Qualitative research for education: An introduction to theory and
practice. In Alien and Bacon, Inc, New York. (5th ed.). Pearson Education, Inc.
Achmad Muhibin Zuhri, Winarto Eka Wahyudi
Artikulasi Teologi Sunni di Indonesia: Sejarah, Ekspresi dan Gerakannya
134
Doi:10.33086/jic.v3i2.2593. Nomor P-ISSN: 2657-1021, Nomor E-ISSN: 2657-1013
Bruinessen, M. Van. (2012). Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Gading Publishing.
Derani, S. (2020). Syekh Siti Jenar : Pemikiran dan Ajarannya. Buletin Al-Turas, 20(2), 325–348.
https://doi.org/10.15408/bat.v20i2.3764
H, D. (2011). Manhaj Bahsul Masail Menurut Nahdatul Ulama (NU). Sulesana: Jurnal Wawasan
Keislaman, 6(2), 98–112. https://doi.org/10.24252/.V6I2.1406
Harisudin, M. N. (2017). Islām wa fiqh Nusantara: al-Tanāfus ‘alá al-huwīyah wa ‘alāqat al-sulṭah wa
al-ramz al-dīnī li jam‘īyah Nahdlatul Ulama. Studia Islamika, 24(3), 503–554.
https://doi.org/10.15408/sdi.v24i3.4324
Hasan, N. (2014). Dinamika Kehidupan Beragama Kaum Nahdiyin-Salafi di Pamekasan Madura.
ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman, 8(1), 84. https://doi.org/10.15642/islamica.2013.8.1.84-
102
Hilmy, M. (2013). WHITHER INDONESIA’S ISLAMIC MODERATISM? A Reexamination on the
Moderate Vision of Muhammadiyah and NU. JOURNAL OF INDONESIAN ISLAM, 7(1), 24.
https://doi.org/10.15642/JIIS.2013.7.1.24-48
Huda, M. (2019). Toward a new theology for a religiously restless region the accommodation of local
traditions into Islamic law in Lombok. Journal of Indonesian Islam, 13(1), 50–72.
https://doi.org/10.15642/JIIS.2019.13.1.50-72
Kasdi, A. (2019). Reconstruction of fiqh Nusantara: Developing the Ijtihad methodology in
formulating fiqh from Indonesian perspective. Qudus International Journal of Islamic Studies,
7(2), 239–266. https://doi.org/10.21043/qijis.v7i2.4797
Kleden, I. (2018). Ilmu-ilmu Sosial Dan Teologi Kontekstual. Jurnal Ledalero, 17 No. 2, 177.
Miftahuddin. (2010). Islam Moderat Konteks Indonesia dalam Pespektif Historis. Mozaik, V(1), 41–
54.
Miharja, D., Mulyana, M., & Izzan, A. (2019). Islam, Ethnicity and Cultural Politics of Identity: The
religiousity of Betawi Muslim in Jakarta. Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
4(2), 132–143. https://doi.org/10.15575/jw.v4i2.4718
Mutakin, A. (2018). Kitab Kuning dan Tradisi Intelektual Nahdlatul Ulama dalam Penentuan Hukum
Islam (Menelisik Tradisi Riset Kitab Kuning). Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran, 18(2),
192. https://doi.org/10.18592/sy.v18i2.2270
Najib, A. M. (2020). Reestablishing Indonesian Madhhab ’Urf and the Contribution of Intellectualism.
Al-Jami’ah, 58(1), 171–208. https://doi.org/10.14421/ajis.2020.581.171-208
Negara, A. M. S. (2010). Api Sejarah 1 & 2. Salamadani.
Nurhisam, L., & Huda, M. (2016). Islam Nusantara: A Middle Way? QIJIS (Qudus International
Journal of Islamic Studies), 4(2), 152. https://doi.org/10.21043/qijis.v4i2.1763
Strauss, A. L. ;, & Corbin, J. M. (1998). Basics of Qualitative Research : Techniques and Procedures
for Developing Grounded Theory Strauss, (2nd ed.). Sage Publications, Inc.
Tim GF (Ed.). (2018). Otoritas keagamaan, politik dan budaya masyarakat muslim. PPS UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Umar, A. R. M. (2016). A Genealogy of Moderate Islam: Governmentality and Discourses of Islam in
Indonesia’s Foreign Policy. Studia Islamika, 23(3), 399–433.
https://doi.org/10.15408/sdi.v23i3.3157
Wahid, A. (2007). Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. The
Wahid Institute.
Weng, H. W. (2011). Negotiating ethnicity and religiosity: Chinese Muslim identities in post- new
order Indonesia (Issue 2). Australian National University.