ArticlePDF Available

INTERAKSI SOSIAL IBU RUMAH TANGGA PENDERITA HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DALAM MEMUTUSKAN DAN MENDUKUNG TERAPI ANTIRETROVIRAL: STUDI KASUS DI KOTA BEKASI

Authors:

Abstract

Social interaction changes will appear to persons stated positive HIV especially with relatives. ARV program is a part of HIV-Aids treatment that aims to inhibit HIV transmission and opportunistic infections, quality of life improvement, and decrease viral load in blood. ARV generally involve person with HIV. This study aims to identify social interaction of People Living with HIV (PLHIV) in order to deciding and supporting ARV program. Methodology: qualitative method with cross sectional interview and structured observational. Three mothers with PLHIV status involved in this study, and 2 role model peoples were observed. Result: suggestion delivered by families or relatives to motivate PLHIV accessing ARV. Imitation relate to action to copycat person who released in HIV treatment and as key factor to ARV decision. Identification related to family supporting and formed after imitation process. Sympathy related to health motivation for herself and others, and occurred after imitation and identification process.
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 1
INTERAKSI SOSIAL IBU RUMAH TANGGA PENDERITA HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS DALAM MEMUTUSKAN DAN
MENDUKUNG TERAPI ANTIRETROVIRAL: STUDI KASUS DI KOTA
BEKASI
Ade Heryana1, Hubaybah2, Mutiara Evelina Putri3
1,3 Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul
2 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas
Jambi
heryana@esaunggul.ac.id
Abstract
Social interaction changes will appear to persons stated positive HIV especially with relatives. ARV program
is a part of HIV-Aids treatment that aims to inhibit HIV transmission and opportunistic infections, quality of
life improvement, and decrease viral load in blood. ARV generally involve person with HIV. This study aims
to identify social interaction of People Living with HIV (PLHIV) in order to deciding and supporting ARV
program. Methodology: qualitative method with cross sectional interview and structured observational.
Three mothers with PLHIV status involved in this study, and 2 role model peoples were observed. Result:
suggestion delivered by families or relatives to motivate PLHIV accessing ARV. Imitation relate to action to
copycat person who released in HIV treatment and as key factor to ARV decision. Identification related to
family supporting and formed after imitation process. S ympathy related to health motivation for herself and
others, and occurred after imitation and identification process.
Keywords: social interaction, HIV prevention, Antiretroviral program
Abstrak
Seseorang yang dinyatakan positif tertular
Human Immunodeficiency Virus
(HIV) akan mengalami
perubahan interaksi sosial terutama dengan keluarga dan orang-orang terdekat. Terapi Antiretroviral (ARV)
merupakan bagian dari pengobatan HIV-Aids untuk menghambat penularan, menghambat infeksi oportunis,
meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan jumlah virus. Program ARV umumnya melibatkan orang yang
dinyatakan positif HIV. Peneltian ini bertujuan mengetahui interaksi sosial penderita HIV dalam memutuskan
dan mendukung program ARV. Metodologi: penelitian kualitatif dengan desain cross sectional menggunakan
metode wawancara mendalam dan obervasi. Wawancara mendalam melibatkan 3 ibu rumah tangga dengan
positif HIV, observasi terhadap perilaku tokoh panutan yaitu 1 ketua program ARV, dan 1 aktivis sosial.
Hasil: S ugesti dilakukan keluarga dan orang-orang terdekat untuk mendorong ODHA menjalankan terapi
ARV. Imitasi berkaitan erat dengan meneladani orang yang sembuh HIV dan sebagai penentu keputusan
melakukan terapi ARV. Identifikasi berkaitan dengan dukungan dari keluarga dan terbentuk setelah
meneladani tokoh panutan. Simpati berkaitan dengan motivasi untuk sehat bagi dirinya dan orang lain dan
timbul melalui proses imitasi dan identifikasi.
Kata kunci: Interaksi sosial, Pencegahan HIV, Program antiretroviral
Pendahuluan
Orang yang pertama kali mengetahui
dirinya tertular HIV akan mengalami
pengalaman-pengalaman seperti stress,
berduka, strategi coping, kebutuhan akan
dukungan lingkungan sekitar, dan kebutuhan
dukungan pelayanan kesehatan (Vitriawan et
al., 2007), beban fisik (pusing, suli konsentrasi,
gangguan pencernaan, pernafasan, efek
samping obat), dan beban psikologis (takut
ditolak keluarga, stigma dan diskriminasi)
(Indriani & Fauziah, 2017). Studi kualitatif
terhadap ODHA perempuan
single parent
ditemukan ada lima hal yang dihadapi yaitu
stigma internal, stigma eksternal dan
diskriminasi, membutuhkan anak sebagai
motivator, mengalami kelelahan fisik berlebih,
dan canggung dalam memulai interaksi dengan
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 2
calon pasangan hidup (Damayanti & Dewi,
2017). Studi terhadap pasangan suami istri
menunjukkan adanya dampak psikologi,
ekonomi, sosial, kesehatan dan pola asuh.
Dukungan sosial dibutuhkan dari pasangan,
anak, teman dan dukungan sebaya dalam
bentuk informasi, emosi dan instrumen
(Swastika & Masykur, 2017). Kondisi ini
seharusnya dapat mendorong keinginan ODHA
untuk melakukan terapi Antiretroviral (ARV).
Namun tidak semua ODHA langsung
memutuskan apalagi mendukung ARV.
Untuk memutuskan dan mendukung
terapi ARV dibutuhkan interaksi sosial dengan
lingkungan sekitar. Tidak semuanya interaksi
sosial yang akan dialami ODHA berjalan baik.
Studi tentang interaksi sosial pada penderita
HIV-Aids di Indonesia sudah banyak dijalankan
dan umumnya menggambarkan pada bentuk
asosiatif dan disosiatif. Studi pada ODHA di
beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan
36% responden mengalami interaksi sosial
yang buruk yaitu dalam bentuk perlakuan
diskriminatif oleh keluarga, seperti dikucilkan
(Aulia et al., 2014), penolakan keluarga dan
linkungan serta pemisahan alat makan
(Sarkusuma et al., 2012). Padahal keluarga dan
komunitas merupakan salah satu kekuatan bagi
ODHA untuk melangsungkan kehidupan
sosialnya (Listiana, 2013).
Interaksi sosial yang dialami ODHA
mengalami pasang surut sesuai dengan kondisi
emosional yang dihadapi. Studi terhadap ibu
rumah tangga ODHA yang ditularkan oleh
suami memperlihatkan adanya proses
kesedihan (penolakan, kemarahan, tawar
menawar, depresi) dan akhirnya penerimaan
baik positif maupun negatif. Penerimaan positif
berlanjut menjadi penerimaan diri hingga
membentuk rasa iba dan keterbukaan terhadap
diri sendiri (Yunita & Lestari, 2018). Sementara
dalam studi terhadap komunitas gay diketahui
ada dua fase sejak dinyatakan positif HIV. Fase
sebelum menjalani terapi ARV meliputi
penolakan terhadap status, kekecewaan dan
penyesalan, dan akhirnya menerima status.
Lalu fase setelah menjalani terapi ARV meliputi
penurunan kondisi akibat efek samping obat,
penerimaan kembali status HIV, pengalaman
menolak, memperkankan perasaan emosional,
dan akhirnya bersahabat dengan status HIV
(Pemayun & Lestari, 2018).
Interaksi sosial buruk yang dialami
ODHA memberi dampak pada konsep diri yang
negatif. Dalam studi (Sarkusuma et al., 2012)
menunjukkan konsep diri negatif karena label
negatif yang diterima dari lingkungan seperti
mayat hidup, pembawa penyakit menular,
penyakit kutukan, dan aib bagi lingkungan.
Lebih lanjut hal ini bisa menyebabkan
pemikiran negatif, putus asa, depresi, tertekan
dan keinginan bunuh diri. Kondisi ini dapat
mempengaruhi motivasi ODHA dalam terapi
ARV.
Studi terhadap faktor sugesti dalam
pengobatan pasien sudah dilakukan antara lain
dalam pengobatan tradisional (T riratnawati et
al., 2014), peningkatan kualitas tidur pasien
rawta inap (Hidayat & Mumpuningtias, 2018),
kemoterapi (Laely, 2017), dan pengobatan
diabetes tipe-2 (Nurhayati et al., 2016). Studi
tersebut berupaya memahami bagaimana
sugesti dapat mempengaruhi keputusan
seseorang untuk bertindak terutama dalam hal
kesehatan.
Studi imitasi banyak dilakukan pada
masalah-masalah psikologis. T ujuan imitasi
adalah menghasilkan perilaku baru secara lebih
mudah dalam waktu yang singkat. Semakin
bertambah usia, semakin luas tokoh panutan
yang diteladani. Pada anak imitasi berasal dari
keluarga (Barida, 2016), pada remaja umumnya
meniru tokoh idola seperti artis korea (Sella,
2013), para orang dewasa imitasi diperoleh dari
lingkungan sosial (Oktoriana & Suharyani,
2018).
Faktor identifikasi berkaitan dengan
konsep diri atau menempatkan dirinya dalam
kehidupan sosial. Konsep diri ODHA terbentuk
melalui interaksi sosial dengan pasangan hidup,
keluarg, teman dan orang lain. Jika lingkungan
memberikan respon tidak menyenangkan
(misalnya stigma dan diskriminasi) maka timbul
konsep diri negatif. Studi pada pasangan suami
istri menunjukkan konsep diri negatif akibat
label negatif dan diskriminasi yaitu merasa tidak
berharga, tidak berguna, tidak berdaya, tidak
ada motivasi untuk hidup, dan menarik diri dari
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 3
lingkungan (Sarkusuma et al., 2012). Dalam
survey konsep diri OHDA diketahui sebagian
responden memiliki konsep diri yang kurang
hingga kurang sekali. Konsep diri terhadap
etika dan moral, personal dan sosial adalah
yang paling kurang (Wahyu et al., 2012).
Faktor simpati terbentuk ketika
seseorang sudah melakukan identifikasi diri
secara positif. Rasa peduli atau simpati
merupakan modal sosial yang dimiliki seseorang
yang berkecimpung dalam melayani
masyarakat (Sutisna et al., 2016).
Interaksi sosial ditentukan oleh empat
proses yaitu sugesti, imitasi, identifikasi, dan
simpati (Soekanto, 2013). Proses ini
membentuk interaksi sosial yang mengarahkan
seseorang pada tindakan tertentu. Memutuskan
dan mendukung terapi ARV merupakan salah
satu bentuk interaksi sosial yang dialami ibu
penderita HIV. Penelitian ini bertujuan
mengetahui faktor interaksi sosial yang
mendorong ibu dengan HIV positif dalam
memutuskan dan memberikan dukungan terapi
ARV dilihat dari faktor imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di LSM Rumah
Sebaya kota Bekasi pada periode September-
Desember 2018 dengan menggunakan metode
kualitatif. Peneliti terlibat dalam berbagai
kegiatan yang dilakukan LSM Rumah Sebaya.
Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara dan observasi terstruktur.
Informan wawancara mendalam dipilih
dengan metode
purposive sampling
, yang
terdiri dari 3 orang ibu dengan HIV positif.
Observasi dilakukan terhadap tokoh panutan
yaitu dua aktivis sosial bidang HIV/AIDS untuk
mengkonfirmasi faktor sugesti dan imitasi.
Validitas data dilakukan dengan
melakukan triangulasi sumber dan triangulasi
metode. Data diolah dalam bentuk matriks
wawancara untuk mendapatkan tema-tema
yang berkaitan dengan faktor imitasi, sugesti,
identifikasi dan simpati. Tema-tema kemudian
disintesis dan disimpulkan sebagai hasil
penelitian.
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi Informan
Informan terdiri dari lima orang yaitu:
a. Informan utama kesatu, S, perempuan 37
tahun, pendidikan SMA, adalah ibu rumah
tangga dengan HIV positif sejak 3 tahun lalu
dan telah menggunakan terapi ARV lebih
dari setahun. S tertular virus HIV dari
mendiang suami. S memiliki seorang anak
laki-laki dan megatif HIV. SM tidak bekerja,
aktif sebagai kader posyandu dank der HIV
di LSM Rumah Sebaya. Sehari-hari S
membantu mendampingi orang-orang
dengan HIV positif dalam terapi ARV.
Keluarga S telah mengetahui status positif
HIV, dan selalu mengingatkan meminum
obat ARV.
b. Informan utama kedua, DS, perempuan 35
tahun, pendidikan SMA didiagnosa HIV
positif sejak 3 tahun yang lalu dan telah
menggunakan terapi ARV lebih dari setahun.
Beliau tertular dari suami yang positif HIV
melalui jarum suntik. Ibu DS memiliki
seorang anak perempuan yang negatif HIV,
pernah bekerja di sebuah butik lalu keluar,
dan sekarang beliau aktif di LSM Rumah
Sebaya. Keluarga suami ibu DS teah
mengehaui status HIV dia, namun tidak
dengan keluarga kandung sendiri.
c. Informan utama ketiga, L, perempuan 28
tahun, pendidikan SMP, didiagnosa HIV
positif sejak 2014 dan telah menggunakan
terapi ARV sejak 3 bulan, tertular HIV positif
dari suami. Mengetahui status dirinya
setelah bayinya didiagnosa positif HIV oleh
dokter di salah satu rumah sakit di Bandung.
Setelah di diagnosa HIV positif, ibu L tidak
langsung menggunakan terapi ARV selama 4
tahun karena merasa bahwa dirinya sehat
dan tidak membutuhkannya. Pernah kerja
diberbagai tempat seperti apotik,
perusahaan dan garmen hingga akhirnya
memutuskan untuk berhenti dan aktif di LSM
Rumah Sebaya. Keluarga ibu L tidak ada
yang mengetahui bahwa dirinya HIV positif.
Faktor Sugesti
Keputusan untuk bertindak dalam hidup
seseorang ditentukan oleh faktor sugesti. Pada
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 4
penelitian ini, faktor sugesti pada informan
diperoleh dari teman dekat. Informan S setelah
dinyatakan positif HIV mendapat sugesti untuk
terapi ARV dari temannya yang bekerja di
puskesmas. Namun saat itu M belum bersedia
karena masih dalam kondisi sedih. Begitu pula
informan L mendapat sugesti dari perawat dan
tidak langsung dijalankan. Teman dari kedua
informan ini memberikan sugesti dalam bentuk
dukungan mental dan mengingatkan masa
depan anak jika dirinya menyerah. Sementara
informan DS mendapat sugesti dari suaminya
yang positif HIV. Suami memberikan sugesti
dalam bentuk dorongan agar tetap sehat serta
komitmennya untuk berjuang bersama-sama
untuk mengobati HIV. Faktor anak juga ikut
berperan sehingga informan bersedia
menjalankan terapi ARV.
Dalam penelitian ini diketahui seluruh
informan melakukan terapi ARV di rumah sakit.
Menurut tokoh panutan, umumnya ODHA
memang mendapat sugesti dari orang-orang
terdekat dan langsung mengkonsumsi ARV
ketika dinyatakan positif HIV. Namun ada juga
yang menunda dengan alasan merasa sehat.
Studi tentang faktor sugesti pada
pengobatan pasien telah dilakukan. Sugesti
merupakan kunci kepercayaan masyarakat jawa
ke pengobatan tradisional yang muncul dari
penderita dan penyembuh. Kemampuan
penyembuh mendengarkan curatan hati pasien
menjadi faktor daya tarik (Triratnawati et al.,
2014). Sugesti (dalam bentuk hipnoterapi) dan
dzikir juga dapat meningkatkan kualitas tidur
pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
mempengaruhi kondisi alam bawah sadar
sehingga pasien lebih relaks (Hidayat &
Mumpuningtias, 2018), serta mengurangi
kecemasan dan rasa nyeri pada pasien
kemoterapi (Laely, 2017), dan rasa nyeri pada
pasien diabetes mellitus tipe-2 dengan
komplikasi (Nurhayati et al., 2016).
Pada penelitian ini ada kemungkinan
teman dan suami merupakan orang yang tepat
dalam memberikan sugesti karena
memungkinkan ODHA untuk menyampaikan
curahan hati. Curahan hati ini membuat ODHA
lebih relaks dalam menerima status dirinya dan
membangkitkan alam bawah sadarnya bahwa
dirinya sembuh.
Faktor Imitasi
Alasan seseorang untuk bertindak juga
ditentukan oleh keinginannya untuk meniru
atau meneladani orang lain. Pada penelitian ini,
alasan informan bersedia melakukan terapi ARV
adalah meneladani teman dan orang dekat
(suami).
Menurut informan S dan L, teman lebih
banyak dijadikan teladan karena alasan
kepedulian, selalu memberikan motivasi untuk
sembuh. T eman dijadikan panutan karena
kegigihan untuk sembuh dari HIV. Dari hasil ini
dapat disimpulkan informan memutuskan ikut
terapi ARV bukan saat dinyatakan positif, tetapi
saat melakukan interaksi sosial dengan teman-
temannya.
Pada kasus lain yaitu informan DS,
faktor imitasi diperoleh secara kuat dari suami
yang positif HIV. Hal ini lebih disebabkan ikatan
emosional yang terbangun di antara keduanya
yaitu saling menyayangi dan rasa tanggung
jawab suami terhadap keluarga. Informan DS
menilai suami merupakan sosok yang dianggap
dapat melindungi dan telah dikenalnya sejak
lama.
Observasi terhadap tokoh panutan yang
merupakan teladan dari informan S dan L
memperlihatkan bahwa:
a. Tokoh panutan 1, D, laki-laki 45 tahun,
pendidikan SMA adalah ketua yayasan
sekaligus pendiri dari LSM rumah sebaya,
didiagnosa HIV stadium-3 sejak tahun 2005
dan langsung menggunakan terapi ARV.
Beban fisik yang dialami antara lain infeksi
tuberkulosis, mulut berjamur, diare sampai
adanya penurunan berat badan drastis.
Beliau mendirikan Rumah Sebaya dengan
alasan tidak ada wadah atau tempat
berlindung bagi mantan pecandu dan
mantan warga binaan lapas yang terinfeksi
HIV. Rumah Sebaya didirikan oleh lima
komunitas yaitu HIV/AIDS, Wanita Pekerja
Seksual (WPS), WPS Lokalisasi, Lelaki Suka
Lelaki (LSL) dan pecandu narkoba.
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 5
b. T okoh panutan 2, N, perempuan 23 tahun,
pendidikan SMP, seorang kader HIV sejak
tahun 2013 mantan anak jalanan yang
bergabung di LSM rumah sebaya dan
menjadi salah satu aktifis yang berperan
penting sampai sekarang. N banyak
membantu mengembangkan LSM rumah
sebaya dan membantu melakukan
pendampingan utnuk kasus HIV baru.
Mengapa ODHA tidak langsung
memutuskan terapi ARV setelah dinyatakan
positif HIV? Studi epidemiologi menunjukkan
keputusan individu untuk melakukan vaksinasi
tergantung perilaku imitasi yaitu melihat
kesuksesan tetangga dalam menjalankan
imunisasi dan persepsinya terhadap manfaat
vaksin (Ndeffo Mbah et al., 2012). Aturan dasar
dalam proses imitasi menurut teori T ardian
adalah adanya penyesuaian tindakan atau sikap
yang terjadi melalui proses adaptasi, modifikasi,
dan integrasi gagasan yang telah membudaya
(Abrutyn & Mueller, 2014). Pada kasus ODHA
terlihat bahwa imitasi terhadap perilaku tokoh
panutan tidak serta merta muncul sat
dinyatakan positif HIV, tetapi melalui adaptasi
yang panjang. Hasil penelitian menunjukkan
seluruh informan menjalankan terapi ARV lebih
dari 2 tahun setelah dinyatakan positif HIV.
Hasil penelitian ini juga menimbulkan
pertanyaan mengapa dalam mengambil
keputusan ARV lebih memilih teman dibanding
keluarga? Mengutip studi pengambilan
keputusan pada konsumen, imitasi/meniru
merupakan cara memutuskan tindakan yang
melengkapi cara rasional (Pingle, 1995).
Seharusnya secara rasional ODHA memutuskan
terapi ARV berdasarkan masukan tenaga
kesehatan dan keluarga terdekat, namun pada
kenyataannya meneladani orang lain.
Faktor Identifikasi
Kelanjutan dari proses sugesti dan
imitasi menimbulkan faktor identifikasi yaitu
bagaimana seseorang memberikan label
terhadap dirinya. Faktor identifikasi diperkuat
dengan dukungan keluarga dan orang terdekat.
Pada informan S dan L, dukungan tersebut
antara lain dalam bentuk mengingatkan minum
obat baik oleh orangtua maupun anak ketika
timbul rasa jenuh dan bosan. Sementara
informan DS dari suaminya dan keluarga dari
suami.
Tidak semua informan membuka
identitas dirinya sebagai ODHA. Masih ada
informan yang menutup statusnya terhadap
keluarga. Pada informan DS dengan suami
positif HIV, status ODHA hanya diketahui
keluarga suami. Salah satunya penyebabnya
adalah kekhawatiran mendapat stigma dan
diskriminasi. Seluruh informan sependapat
bahwa stigma dan diskrimisasi merupakan hal
yang pasti dialami ODHA yang membuka
status. Diskriminasi bisa diperoleh dari teman,
keluarga, bahkan oleh tenaga kesehatan.
Perlakuan diskriminatif oleh petugas
kesehatan yang dialami informan misalnya tidak
langsung memberikan pelayanan dan bersikap
defensif atau mengingatkan teman seprofesi
untuk hati-hati. Perlakukan diskriminatif oleh
teman dalam bentuk sikap negatif yang akan
meninggalkan informan jika mengetahui dirinya
positif HIV. Tindakan yang dilakukan seluruh
informan jika mendapat diskriminasi adalah
mengupayakan edukasi kepada masyarakat.
Menurut (Olds, 2006) identifikasi
merupakan proses modifikasi diri sendiri yang
menyerupai orang lain. Dengan demikian
identifikasi merupakan kelanjutan dari imitasi.
Pada indentifikasi, seseorang meniru bukan
hanya karakteristik tokoh panutan namun juga
pada aspek menyeluruh. Dalam penelitian ini,
seluruh informan menerima status dirinya
sebagai ODHA setelah meneladani perilaku
tokoh panutan melalui proses yang panjang.
Faktor Simpati
Faktor simpati berkaitan dengan
keinginan seseorang untuk membantu sesama.
Menurut (Soekanto, 2013) simpati terbentuk
akibat sugesti, imitasi dan identifikasi positif
yang dialami seseorang.
Dalam penelitian ini, keinginan untuk
melakukan terapi ARV ternyata menumbuhkan
rasa simpati ODHA terhadap yang lainnya.
Dalam dukungan terapi ARV seluruh responden
memiliki keinginan yang sama untuk membantu
penderita HIV agar sembuh dari penyakitnya.
Pertolongan yang diberikan dengan
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 6
memberikan dukungan, edukasi, bantuan
pendampingan, dan saling peduli. Dalam
bantuan pendampingan, informan merasakan
bahwa orang yang pertama kali dinyatakan
positif HIV akan mengalami tekanan mental.
Dalam (Abrutyn & Mueller, 2014)
dinyatakan simpati merupakan bentuk dari
proses imitasi yang dialami seseorang. Rasa
simpati ODHA merupakan hasil dari meneladani
atau meniru orang-orang yang dianggap
panutan. Simpati yang dimiliki informan S dan L
karena meniru tokoh yang berhasil dalam
pengobatan ARV.
Kesimpulan dan Saran
Sugesti dilakukan keluarga dan orang-
orang terdekat untuk mendorong ODHA
menjalankan terapi ARV. Imitasi berkaitan erat
dengan meneladani orang yang sembuh HIV
dan sebagai penentu keputusan melakukan
terapi ARV. Identifikasi berkaitan dengan
dukungan dari keluarga dan terbentuk setelah
meneladani tokoh panutan. Simpati berkaitan
dengan motivasi untuk sehat bagi dirinya dan
orang lain dan timbul melalui proses imitasi dan
identifikasi.
Dukungan keluarga dan orang terdekat
dalam interaksi sosial ODHA agar ditingkatkan
karena sangat menentukan keberhasilan
pengobatan dengan ARV. Keterlibatan keluarga
pada awal ODHA dinyatakan positif HIV akan
menentukan kecepatan dalam memutuskan ikut
terapi ARV atau tidak.
Daftar Pustaka
Abrutyn, S., & Mueller, A. S. (2014).
Reconsidering Durkheim’s Assessment of
Tarde: Formalizing a T ardian Theory of
Imitation, Contagion, and Suicide
Suggestion.
Sociology Forum
,
29
(3),
698719.
Aulia, Y ., Erwina, I., & Alfitri, A. (2014).
Hubungan Antara Harga Diri dengan
Interaksi Sosial pada Orang dengan HIV
AIDS di Yayasan Lantera Minangkabau
Support.
NERS Jurnal Keperawatan
,
10
(1), 3240.
https://doi.org/10.25077/njk.10.1.37-
45.2014
Barida, M. (2016). Pengembangan Perilaku
Anak Melalui Imitasi.
Jurnal CARE Edisi
Khusus Temu Ilmiah
.
Damayanti, D., & Dewi, R. (2017). Stigma pada
Perempuan Single Parent dengan HIV
Positif (Studi Kualitatif).
Jurnal
Kesehatan Metro Sai Wawai
,
10
(2), 55
66.
Hidayat, S., & Mumpuningtias, E. D. (2018).
Terapi Kombinasi Sugesti Dan Dzikir
Dalam Peningkatan Kualitas T idur
Pasien.
Care : Jurnal Ilmiah Ilmu
Kesehatan
,
6
(3), 219230.
https://doi.org/10.33366/cr.v6i3.953
Indriani, S. D., & Fauziah, N. (2017). Karena
Hidup Harus Terus Berjalan (Sebuah
Studi Fenomenologi Kehidupan Orang
dengan HIV/AIDS).
Jurnal Empati
,
6
(1),
385395.
Laely, A. (2017). Pengaruh Hipnotherapi
Terhadap Penurunan Tingkat Nyeri dan
Kecemasan Pada Pasien Kemoterapi di
RS Dr. Kariadi.
Medica Hospitalia :
Journal of Clinical Medicine
.
https://doi.org/10.36408/mhjcm.v4i1.24
7
Listiana, L. (2013). Kehidupan Sosial dan
Interaksi Orang dengan HIV di
Yogyakarta.
Jurnal Sosiologi Reflektif
,
8
(1), 301324.
Ndeffo Mbah, M. L., Liu, J., Bauch, C. T., Tekel,
Y. I., Medlock, J., Meyers, L. A., &
Galvani, A. P. (2012). The impact of
imitation on vaccination behavior in
social contact networks.
PLoS
Computational Biology
,
8
(4), 111.
https://doi.org/10.1371/journal.pcbi.100
2469
Nurhayati, I., Puguh, S., & Purnomo, E. (2016).
Efektivitas hipnoterapi dan relaksasi
autogenik terhadap peneurunan tingkat
kecemasan pasien diabetes melitus tipe
2 dengan komplikasi.
Jurnal Ilmu
Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK)
,
5
,
112.
Oktoriana, S., & Suharyani, A. (2018). Faktor
Imitasi Dalam Proses Pengambilan
Keputusan Manajerial Oleh Wanita Tani
Pada Usahatani Hortikultura Di Lahan
JCA Health Science Volume 1 No 1, 2021 7
Gambut.
Jurnal Social Economic of
Agriculture
,
7
(1), 8391.
https://doi.org/10.26418/j.sea.v7i1.3075
6
Olds, D. D. (2006). Identification:
Psychoanalytic and Biological
Perspectives.
Journal of American
Psychoanalytic Association
,
54
(1).
Pemayun, C. I. D. A., & Lestari, M. D. (2018).
Proses Penerimaan Diri pada Gay yang
Berstatus HIV Positif.
Jurnal Psikologi
Udayana Edisi Khusus Psikologi Positif
,
100113.
Pingle, M. (1995). Imitation vs Rationality: An
Experimental Perspective on Decision
Making.
Journal of Socio-Economics
,
24
(2), 281315.
Sarkusuma, H., Hasanah, N., & Herani, I.
(2012). Konsep Diri Orang dengan HIV
dan AIDS (ODHA) yang Menerima Label
Negatif dan Diskriminasi dari
Lingkungan Sosial.
Psikologia-Online
,
7
(1), 2940.
Sella, Y. P. (2013). Analisa Perilaku Imitasi di
Kalangan Remaja setelah Menonton
Tayangan Drama Seri Korea di Indosiar
(Studi Kasus Perumahan Pondok Karya
Lestari Sei Kapih Samarinda).
EJurnal
Ilmu Komunikasi
,
1
(3).
Soekanto, S. (2013).
Sosiologi: Suatu
Pengantar
. Rajawali Press.
Sutisna, E., Reviono, R., & Setyowati, A.
(2016). Modal Sosial Kader Kesehatan
dan Kepemimpinan Tokoh Masyarakat
dalam Penemuan Penderita
Tuberkulosis.
Yarsi Medical Journal
,
24
(1), 2441.
Swastika, Y. A. A., & Masykur, A. M. (2017).
“Tabah Sampai Akir” Sebuah Studi
Kasus pada Keluarga Penderita
HIV/AIDS.
Jurnal Empati
,
6
(4), 424
432.
Triratnawati, A., Wulandari, A., & Marthias, T.
(2014). The Power of Sugesti in
Traditional Javanese Healing Treatment.
Jurnal Komunitas
,
6
(2), 280293.
Vitriawan, W., Sitorus, R., & Afiyanti, Y . (2007).
Pengalaman Pertama Kali Terdiagnosis
HIV/AIDS: Studi Fenomenologi dalam
Perspektif Keperawatan.
Jurnal
Keperawatan Indonesia
,
11
(1), 612.
Wahyu, S., Taufik, T ., & Ilyas, A. (2012).
Konsep Diri dan Masalah yang Dialami
Orang T erinfeksi HIV/Aids.
Konselor
,
1
(1), 112.
https://doi.org/10.24036/0201212695-
0-00
Yunita, A., & Lestari, M. D. (2018). Proses
Grieving Dan Penerimaan Diri Pada Ibu
Rumah Tangga Berstatus HIV Positif
Yang Tertular Melalui Suaminya.
Jurnal
Psikologi Udayana
,
4
(2), 223238.
https://doi.org/10.24843/jpu.2017.v04.i
02.p01
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang banyak ditemui di masyarakat. Data mengenai kasus HIV dan AIDS semakin bertambah setiap hari. Selain menjadi permasalahan medis, HIV/AIDS juga menjadi problematikabidang sosial, terkait stigma dan diskriminasi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang pengalaman hidup Orang dengan HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yang akan dianalisis menggunakan teknik eksplikasi data. Subjek penelitian berjumlah tiga orang dari teknik snowball dengan pola penularan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukan bahwa setiap subjek memiliki dinamika psikologis yang berbeda. Ketiga subjek memiliki respon yang berbeda dalam menghadapi diagnosa HIV dan permasalahan yang dihadapi. Ketiga subjek memilih strategi coping yang berbeda. AG dan R menggunakan strategi coping yang berfokus pada emosi, sedangkan A menggunakan strategi coping yang berfokus pada penyelesaian masalah.
Article
Full-text available
br /> Living as a single parent woman with HIV poses a variety of stigmas in the community. Purpose: This study aims to obtain a picture of stigma in single parent women with HIV positive. Methods: This research is a descriptive qualitative research with content analysis approach. Data collection techniques were carried out with in-depth interviews conducted on 13 participants. The sampling technique used was purposive sampling. Data were analyzed with conventional content analysis techniques. Results: The results of the study formed 5 themes, namely: experiencing internal stigma, experiencing external stigma and discrimination, having children as the highest life motivator, experiencing excessive physical fatigue, and having problems in starting interactions with potential life partners new. Conclusion: Single parent women experience double stigma with status as single parent and HIV positive. Single parent women with HIV need more support, compared to other HIV women, because of the double stigma felt by participants. The family is the biggest support system for single parent women, the support and assistance of the family in all things feels very beneficial for participants. </div
Article
Full-text available
The purpose of this research is to describe the factor of imitation behavior of women farmers on the decission making process for their farm management. This research was conducted with descriptive method to describe the relation between social environment and the farming decissions making for women farmers who cultivated horticulture on the peatland area at Limbung Village, Kubu Raya District. The result of the research showed that on the imitation behavior factor related to the decission making process by women farmers based on the social environment. Eventhough not all the decission was based on the behavior of other farmers, but the women farmers still considered other farmers decission. Therefore social enviroment became the important factor on the forming of women farmers behavior in running theiru farming, that reflected on the decissions they made. Keywords: imitation factor, farm management, women farmers, peatland farming
Article
Full-text available
This paper aims to explore the beliefs in society toward traditional healing regardless of the more accessible, affordable and improved modern health services. This ethnographic study was conducted in Yogyakarta in 2013-2014. Phenomenological approach was used to analyze the data using the theory of health seeking behavior as the guiding principle of this research. The main factor influencing Javanese community’s belief in traditional healing was the power of placebo effect. Placebo can arise from both the patient and the healer. Additionally, other factors such as compatibility between the patients and the healer, patient’s aversion to doctor’s therapy, and the fact that traditional treatment is cheaper, easier, and more effective than modern medicine were the main considerations for patients in choosing traditional treatment. The benefit of psychotherapy provided through traditional medicine is in the form of life advices or counseling. In addition, healers’ attentiveness in listening to patients’ complaints was also the main appeal of the traditional health care service.Tulisan ini mengupas kepercayaan masyarakat pada penyembuhan medis tradisional meski pelayanan kesehatan modern semakin mudah diakses, murah/gratis pembiayaannya serta ditingkatkan pelayanannya. Studi etnografis ini dilakukan di DIY tahun 2013-2014. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk menganalisis data disertai teori health seeking behavior. Kunci kepercayaan masyarakat Jawa berobat ke penyembuh tradisional adalah pengaruh sugesti. Sugesti muncul baik dari penderita maupun penyembuh. Selain itu faktor cocok, takut dengan terapi dokter serta murah, mudah dan manjur juga menjadi pertimbangan pasien ke pengobatan tradisional. Manfaat psikoterapi berupa nasihat, wejangan maupun saran serta kemampuan penyembuh tradisional mendengar curahan hati pasien menjadi daya tarik lain pasien merasa cocok ke pengobatan non medis.
Article
Full-text available
Previous game-theoretic studies of vaccination behavior typically have often assumed that populations are homogeneously mixed and that individuals are fully rational. In reality, there is heterogeneity in the number of contacts per individual, and individuals tend to imitate others who appear to have adopted successful strategies. Here, we use network-based mathematical models to study the effects of both imitation behavior and contact heterogeneity on vaccination coverage and disease dynamics. We integrate contact network epidemiological models with a framework for decision-making, within which individuals make their decisions either based purely on payoff maximization or by imitating the vaccination behavior of a social contact. Simulations suggest that when the cost of vaccination is high imitation behavior may decrease vaccination coverage. However, when the cost of vaccination is small relative to that of infection, imitation behavior increases vaccination coverage, but, surprisingly, also increases the magnitude of epidemics through the clustering of non-vaccinators within the network. Thus, imitation behavior may impede the eradication of infectious diseases. Calculations that ignore behavioral clustering caused by imitation may significantly underestimate the levels of vaccination coverage required to attain herd immunity.
Article
Full-text available
In recent attempts to bring psychoanalysis into greater contact with other sciences, a number of works have explicated neural science concepts and phenomena--affect, memory, consciousness--for the psychoanalyst. These efforts have helped analysts build a more scientific foundation for their theory and practice. A related task remains--namely, to take psychoanalytic concepts and see how they relate to other sciences. The concept of identification has a long history in psychoanalytic theory. It is seen in parent-child interactions, in teaching and mentoring relationships, and in psychoanalysis and psychotherapy. Neuropsychology and evolutionary biology have explored the phylogenetic precursors of identification, while genetics and infant observation provide insights into individual processes of identification. Finally, neuroscience, particularly recent studies of mirror neurons, offers information about the biological mechanisms of imitation and the relationship of imitation to identification. Findings from these sciences are presented in an effort to further the psychoanalytic understanding of identification, especially its biological underpinnings.
Article
Salah satu permasalahan kesehatan yang menjadi perbincangan di dunia adalah HIV-AIDS. Hingga tahun 2013 terdapat 35 juta orang dengan HIV di seluruh dunia (UNAIDS, 2014). Populasi yang berisiko tinggi dalam penularan HIV-AIDS di Indonesia yakni, pengguna narkoba suntik, wanita pekerja seks, dan laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (UNAIDS, 2009). Memasuki tahun 2010, terjadi peningkatan jumlah infeksi HIV-AIDS pada kelompok ibu rumah tangga (Kemenkes RI, 2013). Menurut Dalimoenthe (2011) ibu rumah tangga terjangkit HIV dari suami yang melakukan penyimpangan sosial, baik karena seringnya berganti-ganti pasangan seks atau penggunaan narkoba suntik. Tertular HIV dapat menyebabkan timbulnya berbagai kesulitan yang berhubungan dengan harga diri, isolasi sosial, dan kurangnya kesejahteraan psikologis (Asante, 2012). Peters (2013) menemukan kondisi grivieng wajar terjadi pada individu dengan HIV. Maciejewski, Zhang, Block, dan Prigerson (2007) menemukan bahwa penerimaan diri dapat meningkat apabila kondisi grieving menurun. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin mengetahui proses grieving dan penerimaan diri pada ibu rumah tangga berstatus HIV positif yang tertular melalui suaminya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, menggunakan responden sebanyak 5 orang ibu rumah tangga yang berstatus HIV positif yang tertular dari suaminya. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, FGD, dan observasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses grieving yang dilalui meliputi tahapan penolakan, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Terdapat dua bentuk penerimaan, yakni penerimaan negatif dan penerimaan positif. Ketika ibu rumah tangga mengembangkan bentuk penerimaan secara positif, akan berlanjut menuju proses penerimaan diri yang pada akhirnya membentuk self-compassion dan self-disclosure. Kata kunci : grieving, penerimaan diri, ibu rumah tangga, HIV
Article
Latar belakang : Salah satu standar pelayanan yang disebutkan dalam akreditasi rumah sakit adalah bahwa rumah sakit harus mampu memberikan pelayanan dalam pengelolaan rasa nyeri secara efektif terhadap pasien. Pengelolaan rasa nyeri pasien merupakan tanggung jawab tim yang memberikan perawatan terhadap pasien, termasuk di dalamnya adalah perawat. Kanker merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan rasa nyeri dan kecemasan pasien. Berdasarkan studi awal pasien kanker yang menjalani kemoterapi akan mengeluhkan rasa nyeri dan juga timbul gangguan psikologis berupa kecemasan. Hipnoterapi merupakan metode terapi non farmakologis untuk mengurangi nyeri dan kecemasan pasien yang sedang menjalani kemoterapi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hipnoterapi terhadap penurunan tingkat nyeri dan kecemasan pada pasien kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian trial dengan pre-test and post-test design. Pada penelitian ini trial atau intervensi hipnoterapi hanya dilakukan satu kali terhadap subyek. Sampel yang digunakan sejumlah 30 responden yang sedang menjalani kemoterapi. Sampel diambil secara purposive sampling. Instrumen untuk mengukur tingkat nyeri adalah VAS (Visual Analog Scale) dan hypnosis dilakukan dengan memberikan music untuk relaksasi dan pemberian sugesti pada pasien. Hasil : menunjukkan tingkat nyeri dan kecemasan pasien yang sedang menjalani kemoterapi lebih cenderung pada tingkat sedang dan berat. Terjadi penurunan yang signifikan terhadap tingkat nyeri dan kecemasan pasien kemoterapi setelah dilakukannya hipnoterapi. Skala rata-rata tingkat nyeri sebelum diberikan hipnoterapi yaitu 5,1 dengan skala nyeri terbesar pada angka 9, sesudah dilakukan hypnoterapi skala nyeri rata-rata menjadi 3,5 dengan skala terendah pada angka 1. Skala rata-rata tingkat kecemasan pasien kemoterapi sebelum diberikan hipnoterapi yaitu 61,67 dengan skala terbesar pada angka 90, sesudah dilakukan hypnoterapi skala tingkat kecemasan rata-rata 36,33 dengan skala penurunan sampai dengan angka 20. Berdasarkan hasil uji Wilcoxon sign rank test menunjukkan ada pengaruh yang signifikan hypnoterapi terhadap penurunan tingkat nyeri (p value = 0.00) dan tingkat kecemasan (p value = 0.00). Simpulan : Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan rumah sakit dapat menjadikan metode hipnoterapi sebagai salah satu panduan pelayanan untuk pengelolaan nyeri dan kecemasan pada pasien dan juga metode ini dapat dikembangkan sebagai salah satu standar operasional asuhan keperawatan paliatif care, sehingga bisa meningkatkan kualitas pelayanan.
Article
AbstrakSuatu studi fenomenologi telah dilakukan untuk mengeksplorasi berbagai pengalaman pasien pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS termasuk pengalaman menerima pelayanan kesehatan dari para praktisi kesehatan. Data studi ini diperoleh dari 6 partisipan, dikumpulkan melalui wawancara formal tidak berstruktur yang mendalam sebanyak dua kali di ruang rawat khusus HIV/AIDS RS X di Jakarta. Wawancara direkam kemudian dibuat dalam bentuk transkrip wawancara. Hasil penelitian mengungkapkan variasi berbagai pengalaman pasien pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS. Setiap pasien dalam studi ini saat pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS mengalami stress. Pasien juga mengalami proses berduka. Berbagai mekanisme koping dan adaptasi telah dilakukan pasien. Selain itu setiap pasien pertama kali terdiagnosis HIV/AIDS membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya terutama dari keluarga, pasangan, teman terdekat, dan petugas kesehatan. Pasien juga membutuhkan pelayanan keperawatan termasuk membutuhan perawat yang bersikap baik dan komunikatif. Hasil studi ini diharapkan perawat medikal bedah akan lebih memahami harapan pasien HIV/AIDS untuk dapat meningkatkan kualitas hidup. AbstractThis a phenomenology study which aims to understand the diverse of patients’ first time experiences when they were diagnosed with HIV/AIDS included experience accepted of health care. The data collection from six participants with deep interviewed in the X Hospital in Jakarta. Interview recorded thus transcripted. The findings showed that the patients’ first time experiences when diagnosed with HIV/AIDS were depicted emotionally and filled with thematic expressions. It was concluded from this study that the physical, psychological and social stress were considered as the first time experiences of patients when diagnosed with HIV/AIDS. Whilst the first grieving process experienced by the patients. The coping mechanisms identified as the first time experiences were the openness to others, self motivated, and struggled to adapt to the any circumstances. The research findings suggested that the first time experiences of every patient when diagnosed with HIV/AIDS required supports primarily from relatives, spouse, significant friends and health care providers. The needs to the nursing care and good behaviors and communication of nurses were also included as the first needs and expectations of the patients to the nurses. Furthermore, the study also made suggestions that supports, recognition and improvement of the nursing service provided for the first time experience of patients being diagnosed with HIV/AIDS, in turn, would lead to the better patients’ live and reassure the quality of nursing care
Article
We report on a two-stage experiment in which (i) we first elicit the social network within a section of undergraduate students and (ii) we then measure their altruistic attitudes by means of a standard Dictator game. We observe that more socially integrated subjects are also more altruistic, as betweenness centrality and reciprocal degree are positively correlated with the level of giving, even after controlling for framing and social distance, which have been shown to significantly affect giving in previous studies. Our findings suggest that social distance and social integration are complementary determinants of altruistic behavior.