ArticlePDF Available

Kembali ke "Halaman Rumah": Tawaran Perspektif untuk Seni Urban

Authors:
  • Makassar Biennale

Abstract and Figures

Kajian ini fokus pada Studi yang mengkaji masalah budaya Urban dalam bidang seni rupa. Hal yang dikaji yaitu fungsi halaman rumah, sebagai ruang terdekat bagi masyarakat urban, sekaligus ranah yang sejak lama diabaikan dan dapat didayagunakan. Salah satu komunitas yang memiliki kesadaran dalam mengangkat fenomena tersebut adalah komunitas Tanahindie, yang berada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Komunitas ini memiliki beberapa program potensial antara lain dalam bidang penelitian maupun agenda seni seperti Makassar Biennale. Cara ini untuk menyiasati keterbatasan ruang dan menguatkan ikatan dan hubungan sosial di perkotaan, perihal yang menjadi salah satu fondasi utama untuk melakukan perubahan sosial. Metode penelitian menggunakan deskripstif kualitatif dengan pendekatan teknik snowball, yakni perluasan dari responden satu ke responden lainnya untuk mengumpulkan data lewat wawancara mendalam. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan sehingga memudahkan analisis. Hasil kajian menunjukan bahwa peran komunitas sangat besar dalam upaya memajukan seni rupa urban berbasis komunitas, dengan pemanfatan halaman rumah sebagai media ekspresi dan komunikasi. This study focuses on studies that examine urban cultural issues in the field of art. What is studied is the function of the home page, as the closest space for urban communities, as well as a domain that has long been neglected and can be utilized. One community that has awareness in raising this phenomenon is the Tanahindie community, which is located in Makassar City, South Sulawesi. This community has several potential programs, including in the field of research and the arts agenda, such as the Makassar Biennale. This method is to get around the limitations of space and strengthen social bonds and relationships in urban areas, which is one of the main foundations for carrying out social change. The research method uses a qualitative descriptive approach with a snowball technique, which is an extension from one respondent to another to collect data through in-depth interviews. The collected data is then grouped to facilitate analysis. The results of the study show that the role of the community is very large in efforts to advance community-based urban art, by utilizing the home page as a medium of expression and communication.
Content may be subject to copyright.
NATAR (Jurnal Prodi Seni Murni)
Vol. 1 No.1 Maret 2022. Page 25 40
DOI :
Kembali Ke “Halaman Rumah”
Tawaran Perspektif Untuk Seni Urban
Anwar Jimpe Rachman
thejimpe@gmail.com
Komunitas Tanahindie
ABSTRAK
Kajian ini fokus pada Studi yang mengkaji masalah budaya Urban dalam bidang seni rupa. Hal yang dikaji yaitu
fungsi halaman rumah, sebagai ruang terdekat bagi masyarakat urban, sekaligus ranah yang sejak lama
diabaikan dan dapat didayagunakan. Salah satu komunitas yang memiliki kesadaran dalam mengangkat
fenomena tersebut adalah komunitas Tanahindie, yang berada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Komunitas ini
memiliki beberapa program potensial antara lain dalam bidang penelitian maupun agenda seni seperti Makassar
Biennale. Cara ini untuk menyiasati keterbatasan ruang dan menguatkan ikatan dan hubungan sosial di
perkotaan, perihal yang menjadi salah satu fondasi utama untuk melakukan perubahan sosial. Metode penelitian
menggunakan deskripstif kualitatif dengan pendekatan teknik snowball, yakni perluasan dari responden satu ke
responden lainnya untuk mengumpulkan data lewat wawancara mendalam. Data yang terkumpul kemudian
dikelompokkan sehingga memudahkan analisis. Hasil kajian menunjukan bahwa peran komunitas sangat besar
dalam upaya memajukan seni rupa urban berbasis komunitas, dengan pemanfatan halaman rumah sebagai media
ekspresi dan komunikasi.
Keywords: halaman rumah, seni urban, perubahan sosial, Makassar Biennale
Abstract
This study focuses on studies that examine urban cultural issues in the field of art. What is studied is the
function of the home page, as the closest space for urban communities, as well as a domain that has long been
neglected and can be utilized. One community that has awareness in raising this phenomenon is the Tanahindie
community, which is located in Makassar City, South Sulawesi. This community has several potential programs,
including in the field of research and the arts agenda, such as the Makassar Biennale. This method is to get
around the limitations of space and strengthen social bonds and relationships in urban areas, which is one of
the main foundations for carrying out social change. The research method uses a qualitative descriptive
approach with a snowball technique, which is an extension from one respondent to another to collect data
through in-depth interviews. The collected data is then grouped to facilitate analysis. The results of the study
show that the role of the community is very large in efforts to advance community-based urban art, by utilizing
the home page as a medium of expression and communication.
Keywords: yard, urban art, social change, Makassar Biennale
26
Pendahuluan
Pembangunan (fisik) Kota Makassar baru menampak setelah Reformasi 1998. Dasawarsa
2000 merupakan kurun waktu arus modal besar masuk ke Makassar. Bappeda Kota Makassar
menyebut, pertumbuhan ekonominya dalam satu dasawarsa mengalami tren yang begitu
positif (lihat Gambar 1).
1
Kecenderungan ini berlanjut pada 2015-2019 dengan catatan
pertumbuhan mencapai rerata 8,09 persen.
2
Pertumbuhan inilah yang paling menampak
setelah momentum perkembangan setelah Walikota H.M Daeng Patompo menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 yang mendorong wilayah Kota Makassar
bertambah dari 2.140 Ha menjadi 17.570 Ha.
3
Gambar 1
Pertumbuhan Ekonomi Makassar 2004-2013
(Sumber: Bappeda Kota Makassar)
Banyak atau sedikit, pertumbuhan ekonomi itu memberi penghidupan yang lapang bagi
1,6 juta penghuninya. Namun pola konsumsi pun berubah pesat. Mobilitas manusia kian
melesat. Pada tahun 2012, jumlah kendaraan yang beroperasi di Makassar mencapai 2 juta
1
Tanahindie British Council, Laporan Riset Pemetaan Ekonomi Kreatif Kota Makassar 2015.
2
Moh. Ramdhan Pomanto, Makassar Recover: Inovasi Penanggulangan Pandemi Covid-19 Kota Makassar,
Pemerintah Kota Makassar, Maret 2021, hal. 30.
3
Syafaat Rahman Musyaqqat, “Permukiman Selatan Kota Makassar: Perumahan BTN Minasa Upa 1980-2015”
dalam Pangadereng (Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora), November 2019, hal. 137-53.
27
unit—1,3 juta di antaranya roda empat. Angka ini menandakan kenaikan tiga kali lipat
dibanding tahun 2004 yang berjumlah 527.040 unit.
4
Namun kecenderungan tahun-tahun setelah Reformasi bukan cuma pertumbuhan
ekonomi yang menanjak, tapi jumlah kelompok berisi anak-anak muda yang menunjukkan
pertumbuhan, ditandai dengan berdirinya Tanahindie (1999) dan Ininnawa (2000) di
Makassar. Di Indonesia, kelahiran ruang dan inisiatif baru semacam ini menjadi sebentuk
perayaan atas kebebasan berekspresi serta pencarian identitas.
5
Para pegiat komunitas semacam ini lantas banyak mendiskusikan kenyataan-kenyataan
yang terjadi demikian cepat di depan mata mereka. Perihal ini pula kemudian menjadi
sebagai topik yang masuk dalam eksplorasi dalam bentuk program komunitas. Proyeksi-
proyeksi kerja mereka dibangun atas kenyataan bahwa kota-kota di Jawa telah ‘berlari
meninggalkan dirinya sendiri’, menjelma sebagai semata tumpangan atau penampungan.
Data BPS menyebut pada tahun 2020, penduduk Indonesia yang terkonsentrasi di Jawa
sebesar 151,6 juta jiwa atau 56,1 persen.
6
Sumber daya menjadi terbatas karena ledakan
penduduk menjadikan pulau tersebut karena menjadi titik konsentrasi utama permukiman di
Indonesia. Ini diperparah juga kebijakan pemerintah yang mengutamakan pulau ini sejak
lama, terutama membangun sekisar 57 persen industri,
7
mengharuskan para penghuninya
bergantung pada kerja-kerja padat karya atau memburuh.
Garis besar kenyataan itu menjadi perbandingan kelompok-kelompok anak muda itu,
sekaligus kesempatan bagi warga Makassar untuk melihat dirinya. Ada juga baiknya
pembangunan fisik di kota ini (dan Indonesia Timur) diabai sejak lama oleh Pemerintah
Pusat. Merumuskan diri dengan menyamaratakan dengan kota seperti Jakarta tentu tindakan
bunuh diri. Desakan modal jelas terasa. Ruang-ruang manusia kian menyusut. Lalu lintas
4
Anwar Jimpe Rachman, “Kemarin Plat Hitam, Sekarang Plat Kuning”, dalam Makassar Nol Kilometer
(DotCom): Jurnalisme Plat Kuning, Tanahindie, 2014, hal. 40.
5
Baca lebih lanjut terkait pertumbuhan komunitas anak muda di Indonesia dalam Ibrahim Soetomo, Buku
Direktori: Peta Kolektif Indonesia 2010-2020, Jakarta: Whiteboard Journal & British Council, 2020.
6
Vincent Fabias Thomas, "Kepadatan Penduduk Pulau Jawa Sentuh 8 Kali Rata-Rata Nasional",
https://tirto.id/kepadatan-penduduk-pulau-jawa-sentuh-8-kali-rata-rata-nasional-f9tP, diakses pada 9 Oktober
2021, 02.06 Wita
7
Taufik Fajar, “112 Kawasan Industri Sudah Beroperasi, Mayoritas di Pulau Jawa”,
https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171473/112-kawasan-industri-sudah-beroperasi-
mayoritas-di-pulau-jawa, diakses pada 9 Oktober 2021, 03.19 Wita.
28
sebagai salah satu potongan wajah akibat serbuan kapital itu membuat Makassar semerawut.
Pada dekade pertama tahun 2000, karena melihat kacau dan rumitnya lalu lintas Makassar,
seorang kawan berkata, “Makassar mengingatkan saya pada Jakarta tahun 1990-an.”
Metode Penelitian
Metode yang didayagunakan dalam menyusun tulisan ini adalah sepenuhnya kualitatif
dengan mendekati aktor menggunakan teknik snowball, yakni perluasan dari responden satu
ke responden lainnya untuk mengumpulkan data lewat wawancara mendalam. Data yang
terkumpul kemudian dikelompokkan sehingga memudahkan analisis.
Metode kualitatif dalam tulisan ini juga ditopang oleh data-data yang diperoleh
menggunakan pendekatan observasi partisipatif, metode yang menekankan keterlibatan
peneliti yang mengambil bagian dalam kegiatan sehari-hari, ritual, interaksi, dan peristiwa
kelompok masyarakat tertentu sebagai sarana mempelajari segi yang eksplisit maupun hal
tersirat dari rutinitas kehidupan dan budaya bersangkutan. Pengamatan terlibat ini dipandang
sebagai metode utama dan menentukan bagi penelitian etnografi dan dasar dalam antropologi
kebudayaan, kendati ini juga memiliki akar awal dalam sosiologi dan dimasukkan ke
penelitian kualitatif di sejumlah disiplin sejak paruh kedua abad ke-20.
8
Pembahasan
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulawesi Selatan, halaman rumah merupakan
basis material hunian sekaligus produksi. Saya tumbuh dan besar dalam lingkungan
masyarakat desa Bugis, di pertetanggaan yang hampir seluruhnya berwujud rumah panggung.
Saya jadi saksi bagaimana kolong rumah panggung, bagian rumah yang paling sejuk, menjadi
tempat bermain anak-anak sepanjang hari (apalagi bila hari terik), tempat para perempuan
muda bercengkerama dan kaum ibu mengasuh serta menidurkan anak, atau sebagai ruang
kerja kaum pria dewasa. Sedang kalangan anak muda laki-laki membangun kampus, istilah
untuk bilik berdinding gedek/papan (dan bagian dalamnya berlapis kertas semen) yang
berfungsi sebagai kamar tidur sekaligus tempat nongkrong dengan sebaya.
8
Kathleen Musante, “Participant Observation” dalam H. Russel Bernard & Clerence C. Gravies, Handbook of
Methods in Cultural Anthropology (edisi kedua), Maryland: Rowman & Littlefield, 2015, hal. 251-292.
29
Komunitas anak muda sejenis itu, yang awalnya bersembunyi di kampus perguruan
tinggi yang cenderung bebas gravitasi militer, memberanikan keluar tak lama usai Reformasi
bergulir dan menghuni rumah-rumah keluarga yang kosong. Proses obrolan perkembangan
kota dan kerja-kerja rangkaiannya berlangsung di halaman rumah, segelintir ruang yang
tersisa di wilayah urban dan bisa diakses tanpa-bayar. Persentuhan dengan halaman rumah
dalam waktu yang lama, seraya memeriksa perbandingan Makassar dengan kota seperti
Jakarta itulah yang menjelma sebagai deretan poin rangkuman penting bagi Tanahindie
tatkala merancang agenda-agenda yang berkaitan dengan dunia literasi dan seni dalam
bingkai kebudayaan perkotaan.
Halaman rumah merupakan orientasi arsitektural orang-orang Indonesia. Oesrifoel
Oesman, arsitek yang mendalami arsitektural situs-situs kuno, menyebut, fungsi rumah hanya
untuk tidur.
9
Namun kemudian ruang yang awalnya privat itu memiliki fungsi ganda—
sekaligus sebagai ‘ruang publik’, ranah yang oleh Jürgen Habermas sebut elemen fungsional
di wilayah politik yang memikul status normatif sebuah organ yang menjadi media
pengartikulasian kebutuhan-kebutuhan masyarakat sipil di dalam otoritas negara.
10
Pertimbangan-pertimbangan ini pula mendorong Tanahindie lantas menitikberatkan
kuratorial dan kerja-kerja kebudayaannya dalam ruang (space) dan ranah (sphere) halaman
rumah.
11
Ini berpadanan dengan deskripsi Henri Lefebvre perihal relasi dialektis antara ruang
(spasial dan sosial) yang hidup, ruang yang dipersepsikan, dan ruang yang dikonsepsikan (a
conceptual triad of social space production).
12
Konsep ini lantas dikembangkan Tanahindie sejak 2014 kemudian menjadi proyek
penelitian dan kerja bingkai seni berbasis komunitas. Metode ini berupaya mengembalikan
warga sebagai subjek, dengan pengembangannya yang ditopang oleh fondasi pengetahuan
vernakular. Melalui ajakan terbuka dalam berbagai bentuk dan ekspresi demi pengembangan
isu halaman rumah, setiap orang diharapkan bisa berkontribusi untuk kehidupan yang lebih
bermutu, terutama di wilayah urban. Bagaimanapun pertumbuhan kota menjadi sesuatu yang
9
Disari dari Mahandis Y. Thamrin, “Metropolitan yang Hilang”, dalam National Geographic Indonesia (edisi
September 2012, hal. 42.
10
Jürgen Habermas, Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis (cet. IV), Kreasi
Wacana, Mei 2012, hal. 106.
11
Baca lebih lanjut, baca Anwar Jimpe Rachman (ed.), Halaman Rumah / Yard, Makassar: Tanahindie, 2017.
12
Arie Setyaningrum Pamungkas, “Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut Henri Lefebvre
(https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/), diakses
pada 12 Oktober 2021, 14:36 Wita.
30
tak terhindarkan. Akan tetapi, upaya ini dipelajari dan diterapkan untuk memperlambatnya di
lingkup yang terkecil, terutama keluarga dan lingkungan terkarib.
Sebagaimana lazimnya kehidupan di wilayah urban, lantaran urbanisasi,
kesemerawutan pun terjadi di lini hidup penduduknya. Hunian yang tumpang tindih dan
menurunkan kualitas lingkungan sekitar, diperparah oleh gedung-gedung tinggi yang
merangsek dan mempersempit ruang-ruang hidup manusia. Kebudayaan permukiman di Asia
yang cenderung horizontal harus berhadap-hadapan dengan “the block attack”, gempuran dan
pertumbuhan bangunan-bangunan vertikal di banyak tempat di Asia sejak dasawarsa 1930.
Bentuk-bentuk arsitektural menjulang itu dibangun oleh insinyur Eropa yang tidak mengerti
konteks budaya lokal, yang meski dengan akomodatif menampung pertambahan penduduk
masif di Benua Kuning, tetapi mengeliminasi karakter Asia yang kaya keberagaman dan
kebersamaan.
13
Lantaran itulah halaman rumah menekankan perlunya kesadaran akan tindakan-
tindakan individu warga yang diharapkan bisa berkontribusi pada ekosistem, baik lingkungan
hidup maupun bagi segi hubungan manusia. Dalam ranah lingkungan hidup, perbaikan
ekosistem melalui pengelolaan sampah, pemanfaatan dan penanaman di halaman rumah dan
sekitarnya. Sementara di ruang hidup sesama manusia, halaman rumah direvitalisasi
sebagaimana fungsinya di pedesaan, sebagai bentangan yang memberi peluang tumbuh
irisan-irisan sosial, budaya, politis, sampai ekonomi.
Namun konsep halaman rumah tidak berupaya ‘frontal’ dan berorientasi ke ranah
internal. Ia lebih memberi tekanan pada kesadaran tindakan ketimbang kehendak untuk vis a
vis dengan negara. Dalam era kehidupan politik mengharuskan warga berhadapan dengan
warga (ormas dan sebangsanya, ditambah perkembangan ranah media sosial yang melahirkan
kaum pendengung [buzzer]),
14
membuat siapa ‘lawan politik’ kian mengabur.
Bila membandingkan pergerakan pada masa Orde Baru yang amat tegas memberi garis
demarkasi antara negara dan warga, inisiatif ini terasa lebih bersesuai gerak perkembangan
zaman. Halaman rumah di wilayah urban bisa menjadi salah satu alternatif untuk mengenal
13
Disari dari Winy Maas (ed.), The Vertical Village: Individual, Informal, Intense, Rotterdam: NAI Publishers,
2012.
14
Pendengung ini berasal dari kalangan profesional yang dipakai untuk mempromosikan atau mengampanyekan
sesuatu. Kezia Prasetya Christividya, “Pengertian Buzzer dan Cara Kerjanya di Media Sosial”,
https://www.fimela.com/lifestyle/read/4513410/pengertian-buzzer-dan-cara-kerjanya-di-media-sosial diakses
pada 9 Oktober 2021, 12.55 Wita, menyebut istilah ini mulai dikenal di Indonesia kala Pemilu 2019 tatkala
mengampanyekan tokoh dan kelompok politik demi memenangkan kompetisi, bahkan bisa dijadikan sebagai
jasa untuk menjatuhkan kredibilitas lawan politik.
31
siapa ‘tetangga’ kita. Ia mengajukan definisi pertetanggaan sebagai sebentuk hubungan yang
bukan lagi terkait garis koordinatnya ‘siapa yang paling dekat dari rumah’ (geografis)
melainkan bertaut dan mengumpar karena kesamaan pandangan (psikologis dan politik).
15
Perkembangan fisik kota lantas mengurangi durasi interaksi tatap-muka, kian
diperparah oleh pertumbuhan fasilitas internet yang pelan-pelan mereduksi pertemuan
manusia dan perjumpaan gagasan. Kenyataan ini jelas menggerus peluang terjadinya
perubahan sosial. Sayangnya, pengorganisasian yang menjadi syaratnya, menurut Roem
Topatimasang, hanya bisa dilakukan lewat dunia nyata. “Mereka harus bertemu, bertatap
muka, menyusun program bersama, melakukan evaluasi. Dan itu tidak mungkin dilakukan di
dunia maya. Itu hanya bisa dilakukan di dunia nyata.”
16
Apalagi, aktivisme berbasis media
sosial dibangun oleh ikatan yang longgar karena kebanyakan orang-orang itu tidak pernah
bersua sebelumnya, kata Malcolm Gladwell, dan bisa menggiring ke aktivisme berisiko
tinggi.
17
Catatan sejarah seni rupa di Makassar bermula dasawarsa 1950-1960. Ali Walangadi,
seniman Makassar yang merupakan salah seorang angkatan pertama yang mengenyam
pendirikan di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta pada pertengahan 1950,
menceritakan bahwa Affandi pernah berpameran di Makassar. Pada era yang kurang lebih
sama, JE Tatengkeng, sastrawan Angkatan 45 pernah bermukim di Makassar bersama
sejumlah figur seniman. Menurut mendiang Ali Walangadi yang juga pencipta logo provinsi
Sulawesi Selatan ini, pameran zaman itu menjadi pembicaraan bukan saja lantaran peristiwa
kesenian langka, tapi lebih dari itu sebuah pameran senirupa berusaha untuk mencari “jiwa
Indonesia” dan menancapkan apa yang disebut peran, fungsi serta posisi seni rupa di dalam
kehidupan kebudayaan di dalam tumbuhnya bayi republik yang sedang merangkak.
18
Pada awal dasawarsa 1970, pemerintah Indonesia secara aktif mempromosikan tujuan
wisata di Indonesia, termasuk Tana Toraja, dan berhasil menarik kunjungan lebih banyak ke
dataran tinggi bagian utara Sulawesi Selatan itu. Nama Tana Toraja pun semerbak dalam
kesadaran pariwisata tingkat nasional (dan internasional) pada 1984 tatkala Joop Ave, Dirjen
Pariwisata Indonesia, mendeklarasikan Tana Toraja sebagai “tujuan wisata primadona
15
Anwar Jimpe Rachman, “Di Kota Kita Meraya, Di Halaman Kita Berjaya”, dalam Halaman Rumah, hal. 2.
16
Puthut EA, Oposisi Maya, Yogyakarta: Insist Press & The Asia Foundation, hal. 129-30.
17
Malcolm Gladwell, “Small Revolution” dalam The New Yorker (edisi Oktober 2010)
18
Halim HD, “Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah” (https://mantagisme.blogspot.com/2007/04/seni-rupa-
di-makassar-labirin-masalah.html), diakses pada 12 Oktober 2021, 18.50 Wita.
32
Sulawesi Selatan” dan Makassar menjadi “Pintu gerbang ke Tana Toraja”.
19
Keadaan itu jelas
sebentuk harapan bagi perupa Sulawesi Selatan kala itu. Dunia seni rupa wilayah ini, yang
tak memiliki kolektor partikelir, hanya mengandalkan pesanan dari kolektor kalangan pejabat
pemerintahan, militer, dan kantor-kantor BUMN/swasta, ikut mendulang kesempatan dalam
pertumbuhan pariwisata lewat peluang pengoleksian dari kalangan turis.
20
Namun tentu
kenyataan tentang ‘lukisan pesanan’ menjadi sebuah kenyataan hidup yang tidak boleh
dilupakan manakala orang ingin mengetahui lebih mendalam tentang segi-segi yang
mempengaruhi perkembangan seni di suatu daerah.
21
Dengan demikian, lapisan konsumen-
konsumen inilah yang menjadi salah satu penentu proses dan citra yang muncul di permukaan
kanvas para seniman kawasan ini.
Seni rupa di Makassar mulai menyita perhatian luas warga dengan beberapa bentuk
performance dan happening arts yang digagas oleh Firman Djamil pada pertengahan
dasawarsa 1990. Dengan metode yang demonstratif dan melibatkan banyak orang, serta
menarik perhatian (utamanya bagi media massa), corak seni publik di ruang kota ini
menampakkan gagasannya sebagai sebentuk pernyataan sikap. Bisa jadi karena dunia seni
rupa pada masa-masa penghujung sampai berakhirnya pemerintahan Soeharto itu merupakan
salah satu jalan “aman” untuk menyalurkan suara dan kritik terhadap kekuasaan Orde Baru
dan isu lainnya seperti lingkungan hidup.
Contoh terlihat jelas dalam karya Firman Djamil berjudul Tujuh Manusia I La Galigo
yang dipentaskan tahun 1998 di ruas-ruas jalan penting Makassar menuju halaman kantor
Gubernur Sulawesi Selatan atau News on the Road (1999) yang melibatkan ratusan seniman,
pengemis, anak jalanan, sampai warga biasa yang berarakan jalan kaki sampai berkendara
roda dua dan empat. Meski terjadi dua puluhan tahun lalu, tapi cerita tentang karya ini terus
ada dan teringat baik oleh beberapa orang, serta, tentu saja, karena adanya pengarsipan oleh
peliputan dari media massa setempat dan peneliti.
22
19
Kathleen M Adams, Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia,
Honolulu: University of Hawai’i Press, 2006, hal. 14.
20
Wawancara Ahmad Anzul (29 Desember 2018) dan Mike Turusy (31 Desember 2018).
21
Sofyan Salam, “Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan”, Katalog Pameran Bentara 2003, t.h.
22
Cek dokumentasi News Paper on the Road di tautan: https://www.youtube.com/watch?v=lth0dc7I6cs.
Cukup sulit untuk mencari arsip agenda pameran di Makassar pada tahun-tahun lampau. Ini masih memerlukan
pelacakan lebih jauh. Beberapa institusi seperti Perpustakaan Wilayah Sulawesi Selatan dan Kantor Harian Fajar
yang pernah saya datangi kurun 2015-2017 belum menyediakan ruang arsip yang memadai.
33
Beda era jelas berbeda energi dan arah pencapaiannya. Keadaannya akan jelas
berlainan bila membandingkan dengan inisiatif seni di wilayah urban lainnya seperti yang
dilakukan Quiqui, komunitas perajut yang didominasi perempuan. Meski juga melibatkan
warga, tapi skalanya lebih kecil dan di wilayah tertentu saja. Intensi proyek Bom Benang
(Yarn Bombing) 2012-2017 yang dikerjakan Quiqui adalah demi penguatan dan
pemberdayaan anggota komunitas dan lingkungan terdekat, yakni ruang publik (2012-2013),
halaman rumah (2014), lingkungan hidup (2015), isu kekerasan domestik (2016), dan sungai
dan pemanfaatan sampah (2017).
Menampak kemudian perbedaan ciri antara gerakan seni urban dalam dua waktu itu,
antara lain:
Ciri
Firman Djamil
Quiqui
Masa
Sebelum 1998
Setelah 1998
Orientasi
Eksternal
Internal
Karakter
Protes Sosial
Penguatan Komunitas
Tempat
Kota
Wilayah (Kota) Tertentu
Pelaksanaan
Event
/Program
Sekali
Sinambung
Pelibatan Warga
Terbuka
Terbatas
Arsip
Terbatas
Banyak
Komunitas Quiqui lahir pada 2011 dilatari oleh halaman rumah, meski baru
menyatakan secara eksplisit halaman rumah dalam proyek “Benang di Halaman (Yarn on
Yard)” pada tahun 2014. Para anggotanya bersepakat untuk bertemu di Kampung Buku,
perpustakaan komunitas yang berada di Panakkukang, wilayah tengah Makassar, yang
memungkinkan pertemuan dengan banyak kalangan dari jarak relatif sama untuk menggodok
rencana dan gagasan individu maupun komunitas.
Itu didukung pula oleh Makassar, kota yang masih memungkinkan warganya berpindah
ke beberapa tempat dalam satu hari sebab kemacetan dan kendaraan tidak separah di Jakarta
misalnya. Masih tersedia ruang dan waktu yang lebar untuk berbincang tatap-muka. Peluang
seperti ini jelas sebuah kemewahan. Pertemuan-pertemuan macam itu membuahkan sejumlah
gagasan dan masukan dari kalangan komunitas dan jejaringnya untuk memperkuat kerjanya,
sebagaimana juga dalam pengalaman Tanahindie selama ini. Metode bekerja bersama itulah
34
lalu membentuk dorongan bagi Tanahindie untuk menjadi pelaksana Makassar Biennale
(MB) pada 2017, sekaligus sebagai upaya berkontribusi bagi perkembangan seni rupa di
Makassar dan wilayah-wilayah sekitarnya.
Pada tahun 2017, Makassar Biennale menetapkan “Maritim” sebagai tema abadi. Ini
diangkat dilatari bahwa sejarah Makassar dan wilayah sekitarnya dibangun oleh budaya
bahari. Makassar, kota yang tumbuh oleh arus kapal dan manusia yang berlayar sepanjang
masa-masa perdagangan rempah-rempah pada abad ke-16 dan ke-17. Makassar kala itu
dipandang sebagai pelabuhan terpenting sebab jadi wilayah tambatan paling teduh yang
memudahkan kapal-kapal mengambil pasokan kebutuhan, terutama beras (penanda wilayah
ini sejak dulu dikenal sebagai lumbung pangan), sebelum mengangkat sauh menuju
Kepulauan Maluku, tempat asal cengkeh dan pala. Kendati dua komoditas itu kemudian
meredup, kota ini masih menjadi poros penting seiring semaraknya perdagangan teripang
selama dua abad sampai kurun redupnya awal abad ke-20.
Spirit maritim ini diperkuat oleh letak Makassar yang berada di Garis Wallace, yang
disebut Lawrence Blair, menandai pemisahan antara dua jenis akal budi yang amat berbeda:
‘benuawi’ dan ‘samudrawi’. Masyarakat samudrawi yang terpisah dari bagian-bagian dunia
lain oleh lautan berkarakter holistik, politeistik, dan demokratik; sedang komunitas benuawi
lebih logis, monoteistik, dan otokratik.
23
Kendati tema abadi itu ditetapkan dengan meninjau akar sejarah, akan tetapi
Tanahindie melihatnya sebagai definisi yang luas. Ia tidak terbatas pada laut saja, melainkan
mencakup sebentang ekosistem (dari hulu sampai hilir), perihal yang memberi penegasan
tentang betapa fundamentalnya elemen lingkungan hidup, isu lokal, dan kehidupan yang
berkelanjutan dalam agenda Makassar Biennale. Pengertian ini juga semacam upaya
mempertebal garis-garis jejaring kebudayaan yang sudah terbentuk sebelumnya melalui
aktivitas-aktivitas dunia literasi, dengan menggunakan lokomotif seni rupa sebagai penggerak
gerbong gagasan dan wacana terkait hal-hal tersebut.
Pembacaan Hilmar Farid terhadap platform ini dalam Simposium Makassar Biennale
2019 menguatkan itu, sebagai berikut:
23
Lawrence Blair & Lorne Blair, Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api, Jakarta: Ufuk Press, 2012, hal.
50-51.
35
Saya berpikir (Makassar) Biennale sesungguhnya bukan tujuan. Kegiatannya sendiri bukan
tujuan, tapi Biennale jadi metode... Biennale di sini jadi kemungkinan baru untuk membentuk
pengetahuan... Ada semacam keinginan untuk mencari nalar maritim di dalam masyarakat
kita, dan nalar maritim ini yang dianggap, diduga, menjadi semacam bingkai untuk banyak
ekspresi yang bermunculan... Dengan begitu, Makassar Biennale ini mengajak kita keluar dari
kategori-kategori, konseptualisasi, dan juga kotak-kotak pengertian kita tentang seni... Jadi
kesenian bukan semata-mata wujud ekspresi, atau cerminan, tafsir terhadap realitas, tapi alat
kita untuk menginterogasi realitas itu sendiri... Dengan kesenian sebagai metode, kita bisa
masuk memperhatikan produksi pemikiran, konstruksi pengetahuan di tingkat lokal yang
selama ini tidak terdeteksi... Apa yang hidup dalam masyarakat lokal seringkali sampai kepada
kita sudah dalam bentuk yang tersanitasi.
24
Pemaknaan Hilmar Farid tadi menegaskan bahwa MB menyebarkan ajakan urunan
gagasan seluruh dimensi yang berkait dengan seni rupa dengan mendasarinya dengan isu-isu
yang dialami oleh warga. Batas-batas teritorial negara, provinsi, kabupaten, dan satuan
sejenisnya direduksi bahkan dihilangkan dalam agenda-agendanya. Kita tahu, isu dalam
konstalasi hubungan internasional seperti krisis pangan, lingkungan hidup, energi, air, dan
seterusnya melanda manusia tanpa mengenal batas-batas teritorial. Persoalan sampah di
wilayah pesisir Samudera Hindia sama dengan yang menimpa masyarakat yang mendiami
pantai-pantai yang dijilati air dari Samudera Pasifik.
Kendati berbicara jauh tentang panggung politik antar-bangsa, hal ini tetap dalam
koridor elaborasi lanjutan konsep halaman rumah dan tesis Lawrence Blair soal spirit
masyarakat samudrawi, sebagaimana yang tampak dalam penggambaran di bawah ini:
Bagan 1
24
Hilmar Farid et.al, Simposium Makassar Biennale 2019: “Maritim: Migrasi, Sungai, Kuliner”, Makassar:
Yayasan Makassar Biennale, November 2019, hal. 4-5.
36
Bagan 2
Dua tahun berikutnya, pada 2019, konsep MB berkembang dengan menggelar MB di
tiga kota lain selain Makassar, yakni Bulukumba dan Parepare (Sulawesi Selatan), dan
Polewali Mandar (Sulawesi Barat). Latar pikirnya adalah Makassar, seperti ibu kota provinsi
lainnya di Indonesia yang ‘dibebani’ fungsi ibu kota politik-pemerintahan, memiliki
‘tanggung jawab’ sebagai ibu kota kebudayaan. Sebab itu kemudian seperti menjadi
keharusan bahwa sebagai ibu kota kebudayaan, Makassar mesti menjadi titik moderasi atau
gelanggang yang melahirkan seniman atau pelaku dunia seni. Sayangnya, pada
kenyataaannya, pameran sebagai salah satu arena untuk itu jarang berlangsung di kota yang
berjudul Kota Daeng ini. MB berinisiatif untuk memecah beban tersebut dengan
melangsungkan MB di kota-kota lain (siasat yang juga bisa dibaca sebagai upaya ‘mendekati
khalayak’—tidak menjadi program yang didatangi penonton), dengan menggunakan jejaring
literasi yang sejak lama terjalin.
Tim tiap kota yang terlibat MB sejatinya kelompok kerja yang otonom. Meski
berkoordinasi dengan tim kerja MB di Makassar, tapi proses perancangan model, agenda, dan
kegiatan seputar MB di tiap kota berbeda-beda dengan menyesuaikan pertimbangan lokasi
setempat, termasuk kebebasan setiap kota untuk membiayai pameran dari sumber-sumber
lokal—tanpa perlu berkoordinasi dengan Makassar.
Metode ini mengharuskan adanya penelitian singkat atau lama terkait pelaku dan
praktik yang berbingkai seni secara umum. Dari sinilah menampak keuntungan cara ini,
yakni sejumlah pelaku, baik nama baru atau nama lama, yang ‘tertimbun’ karena tidak
terpindai oleh agen-agen seni dari ibu kota (provinsi maupun negara), bisa terdeteksi,
dimunculkan dan dihubungkan ke khalayak, serta diarsipkan. Demikian pula kemudian
keterlibatan sejumlah praktisi dan akademisi dalam memperkaya setiap penyelenggaraannya.
37
Pada tahun 2021, konsep MB dikembangkan lebih jauh, dengan melibatkan enam kota:
Makassar, Parepare, Pangkep, dan Bulukumba (Sulawesi Selatan), Labuan Bajo (NTT), dan
Nabire (Papua). Persiapan keenam kota ini diawali dengan pra-event “Menghambur Menyigi
Sekapur Sirih”, berlangsung pada September-Desember 2020, program penelitian dan
penulisan yang melibatkan 40 peneliti muda dari enam kota tersebut dengan metode daring
dan luring. Proyek ini menghasilkan buku Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan
Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cendrawasih (Makassar Biennale –
Tanahindie, Desember 2020).
Agenda ini merupakan cara Tanahindie dan jejaringnya menyikapi pandemi.
Berdasarkan pengamatan lewat media sosial, ketika pagebluk terjadi pada triwulan pertama
2020, saya menyaksikan langsung bagaimana warga tetap optimistik mengarungi hidup
dalam situasi serba yang tidak pasti. Ini berlainan keadaannya di tataran domestik dan
internasional; terjadi kebuntuan karena berbasis pada pengobatan modern yang
mengharuskan adanya validasi dan intervensi dari peneliti dan tenaga medis yang butuh
waktu lama untuk penelitian dan uji laboratorium obat penangkalnya. Mereka membuka
kembali memori dan kekayaan-kekayaan berupa warisan pengetahuan dari sesepuh mereka.
Benda-benda yang gambarnya mereka sebar itu memang beragam jenis dan cara pakainya.
Ada yang diminum, lainnya diiris dan diremuk agar menguarkan bau yang disebut-sebut bisa
menangkal virus, atau dicampur dalam sajian makanan. Bila melihat semua bahan-bahan
tersebut, sesungguhnya asalnya sangatlah dekat. Seluruhnya diambil dari alam. Elemen
resep-resep itu mudah mereka peroleh di dapur, ditanam dan tumbuh di halaman rumah
mereka, atau paling jauh dipetik dari hutan di belakang rumah.
Selain menjadi bahan mengemukakan kembali metode pengobatan lama yang terkubur,
hasil-hasil penelitiannya memberi ‘pemanasan’ bagi tim kerja masing-masing kota dalam
berkegiatan dan merancang program untuk MB 2021, sekaligus bahan-bahan bagi siapa pun
yang akan berkarya visual. Kendati dalam prosesnya tidak menggunakan temuan-temuan
tersebut, agenda-agenda yang berlangsung atau siapapun yang terlibat menggunakan metode
yang telah dipelajari dalam kegiatan tersebut.
38
Simpulan
Halaman rumah, sebagai ruang eksplorasi agenda komunitas dan laboratorium untuk
percobaan ekspresi seni di wilayah urban sekaligus lokus penelitian, menampakkan dan
menyediakan dirinya sebagai ruang yang masih perlu dieksplorasi terus menerus. Ini
bersesuai dengan orientasi hidup masyarakat Asia yang cenderung komunal (dengan ikatan
sosial yang kuat) ketimbang tegakan (vertikal) masih perlu dikembangkan lebih lanjut atau
dikaji ulang.
Lanskap berbentangan luas dan ikatan sosial ini kemudian menjadi kekuatan besar di
tengah masa pandemi yang entah berakhir kapan dan dengan ekstrem mengurangi pertemuan-
pertemuan maha penting yang berbasis tatap-muka. Meski banyak komunitas yang juga harus
menghentikan kegiatan dan program mereka selama pagebluk, tapi dengan pokok-pokok
pikiran inilah kemudian agenda MB 2021 menjelma obat yang dipakai bersama, sekaligus
membangun imunitas-bersama (ko-imunitas).
25
Ketika harapan sekaitan dengan penangkal
virus Corona belum ada, cara yang paling mungkin dilakukan adalah bersibuk dan bekerja
yang bisa menyehatkan mental dengan ikatan dan jejaring sosial yang kian melebar, sekaligus
melatih individu bergulat dengan kerja komunitas bagi kalangan muda yang baru
membangun inisiatif di kota masing-masing.
Demikianlah yang terjadi, kian mendaraskan kota, begitu Orhan Pamuk dalam
memoarnya:
“Kita akan kembali ke titik permulaan, apa pun yang kami katakan tentang esensi kota, lebih
banyak mengungkapkan kehidupan kami dan keadaan pikiran kami. Kota ini tidak memiliki
pusat selain diri kami sendiri.
Hanya pusat-pusat itulah yang layak merayakan halaman rumah, ruang dan ranah yang
tersisa dari laju perkembangan kota-kota.[]
Sumber Referensi
Adams, Kathleen M. 2006. Art as Politics: Re-crafting Identities, Tourism, and Power in
Tana Toraja, Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press
25
Rachman (2020) dalam Hazel Meghan B. Hamile, “Our Community is our Immunity”: The BIMP-EAGA
Artists in the Time of COVID-19 Pandemic Impact, Resilience, and the Road to Recovery, 2020.
39
Blair, Lawrence & Lorne Blair. 2012. Ring of Fire: Indonesia Dalam Lingkaran Api, Jakarta:
Ufuk Press
EA, Puthut (ed), 2010. Oposisi Maya, Yogyakarta: Insist Press & The Asia Foundation
Farid, Hilmar et.al. 2019. Simposium Makassar Biennale 2019: “Maritim: Migrasi, Sungai,
Kuliner”, Makassar: Yayasan Makassar Biennale
Gladwell, Malcolm. 2010. “Small Revolution” dalam The New Yorker (edisi Oktober 2010)
Habermas, Jürgen. 2012. Ruang Publik: Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Borjuis
(cet. IV), Yogyakarta: Kreasi Wacana
Hamile, Hazel Meghan B. 2020. “Our Community is our Immunity”: The BIMP-EAGA
Artists in the Time of COVID-19 Pandemic –Impact, Resilience, and the Road to
Recovery
Maas, Winy (ed.). 2012. The Vertical Village: Individual, Informal, Intense, Rotterdam: NAI
Publishers
Musante, Kathleen. 2015. “Participant Observation” dalam H. Russel Bernard & Clerence C.
Gravies, Handbook of Methods in Cultural Anthropology (edisi kedua), Maryland:
Rowman & Littlefield, hal. 251-292.
Pamuk, Orhan. 2009. Istanbul: Kenangan Sebuah Kota, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta
Pomanto, Moh. Ramdhan. 2021. Makassar Recover: Inovasi Penanggulangan Pandemi
Covid-19 Kota Makassar, Makassar: Pemerintah Kota Makassar
Rachman, Anwar Jimpe. 2020. Dalam Hazel Meghan B. Hamile, “Our Community is our
Immunity”: The BIMP-EAGA Artists in the Time of COVID-19 Pandemic –Impact,
Resilience, and the Road to Recovery, 2020.
Rachman, Anwar Jimpe (ed.). 2017. Halaman Rumah / Yard, Makassar: Tanahindie
Rachman, Anwar Jimpe. 2017. “Di Kota Kita Meraya, Di Halaman Kita Berjaya”, dalam
Halaman Rumah / Yard, Makassar: Tanahindie.
Rachman, Anwar Jimpe. 2014. “Kemarin Plat Hitam, Sekarang Plat Kuning”, dalam
Makassar Nol Kilometer (DotCom): Jurnalisme Plat Kuning, Makassar: Tanahindie
Salam, Sofyan. 2003. “Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan”, dalam Katalog
Pameran Bentara 2003
Soetomo, Ibrahim. 2020. Buku Direktori: Peta Kolektif Indonesia 2010-2020, Jakarta:
Whiteboard Journal & British Council.
Tanahindie & British Council, 2015. Laporan Riset Pemetaan Ekonomi Kreatif Kota
Makassar
Thamrin, Mahandis Y. 2012. “Metropolitan yang Hilang”, dalam National Geographic
Indonesia (edisi September 2012).
Tapak Maya
Christividya, Kezia Prasetya. 2021. “Pengertian Buzzer dan Cara Kerjanya di Media Sosial”,
dalam https://www.fimela.com/lifestyle/read/4513410/pengertian-buzzer-dan-cara-
kerjanya-di-media-sosial, diakses pada 9 Oktober 2021, 12.55 Wita
40
Fajar, Taufik. “112 Kawasan Industri Sudah Beroperasi, Mayoritas di Pulau Jawa”,
https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171473/112-kawasan-industri-
sudah-beroperasi-mayoritas-di-pulau-jawa, diakses pada 9 Oktober 2021, 03.19
Wita.
HD, Halim. 2007. “Seni Rupa di Makassar: Labirin Masalah”
(https://mantagisme.blogspot.com/2007/04/seni-rupa-di-makassar-labirin-
masalah.html), diakses pada 12 Oktober 2021, 18.50 Wita.
Pamungkas, Arie Setyaningrum. 2016. “Produksi Ruang dan Revolusi Kaum Urban Menurut
Henri Lefebvre (https://indoprogress.com/2016/01/produksi-ruang-dan-revolusi-
kaum-urban-menurut-henri-lefebvre/), diakses pada 12 Oktober 2021, 14:36 Wita.
Staab, Roy. 2009. News Paper on the Road, https://www.youtube.com/watch?v=lth0dc7I6cs,
diakses pada 9 Oktober 2021, 13.29 Wita.
Thomas, Vincent Fabias. "Kepadatan Penduduk Pulau Jawa Sentuh 8 Kali Rata-Rata
Nasional", https://tirto.id/kepadatan-penduduk-pulau-jawa-sentuh-8-kali-rata-rata-
nasional-f9tP, diakses pada 9 Oktober 2021, 02.06 Wita
Wawancara
Ahmad Anzul, 29 Desember 2018
Mike Turusy, 31 Desember 2018
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Simposium Makassar Biennale
  • Hilmar Farid
Farid, Hilmar et.al. 2019. Simposium Makassar Biennale 2019: "Maritim: Migrasi, Sungai, Kuliner", Makassar: Yayasan Makassar Biennale
Small Revolution" dalam The New Yorker
  • Malcolm Gladwell
Gladwell, Malcolm. 2010. "Small Revolution" dalam The New Yorker (edisi Oktober 2010)
Our Community is our Immunity": The BIMP-EAGA Artists in the Time of COVID-19 Pandemic -Impact, Resilience, and the Road to Recovery
  • Hazel Hamile
  • B Meghan
Hamile, Hazel Meghan B. 2020. "Our Community is our Immunity": The BIMP-EAGA Artists in the Time of COVID-19 Pandemic -Impact, Resilience, and the Road to Recovery
Our Community is our Immunity": The BIMP-EAGA Artists in the Time of COVID-19 Pandemic -Impact, Resilience, and the Road to Recovery
  • Anwar Rachman
  • Jimpe
Rachman, Anwar Jimpe. 2020. Dalam Hazel Meghan B. Hamile, "Our Community is our Immunity": The BIMP-EAGA Artists in the Time of COVID-19 Pandemic -Impact, Resilience, and the Road to Recovery, 2020.
Kemarin Plat Hitam, Sekarang Plat Kuning
  • Anwar Rachman
  • Jimpe
Rachman, Anwar Jimpe. 2014. "Kemarin Plat Hitam, Sekarang Plat Kuning", dalam Makassar Nol Kilometer (DotCom): Jurnalisme Plat Kuning, Makassar: Tanahindie
Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan
  • Sofyan Salam
Salam, Sofyan. 2003. "Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan", dalam Katalog Pameran Bentara 2003
Buku Direktori: Peta Kolektif Indonesia
  • Ibrahim Soetomo
Soetomo, Ibrahim. 2020. Buku Direktori: Peta Kolektif Indonesia 2010-2020, Jakarta: Whiteboard Journal & British Council.
Metropolitan yang Hilang
  • Mahandis Y Thamrin
Thamrin, Mahandis Y. 2012. "Metropolitan yang Hilang", dalam National Geographic Indonesia (edisi September 2012).
Pengertian Buzzer dan Cara Kerjanya di Media Sosial
  • Kezia Christividya
  • Prasetya
Christividya, Kezia Prasetya. 2021. "Pengertian Buzzer dan Cara Kerjanya di Media Sosial", dalam https://www.fimela.com/lifestyle/read/4513410/pengertian-buzzer-dan-carakerjanya-di-media-sosial, diakses pada 9 Oktober 2021, 12.55 Wita
112 Kawasan Industri Sudah Beroperasi
  • Taufik Fajar
Fajar, Taufik. "112 Kawasan Industri Sudah Beroperasi, Mayoritas di Pulau Jawa", https://economy.okezone.com/read/2020/02/20/320/2171473/112-kawasan-industrisudah-beroperasi-mayoritas-di-pulau-jawa, diakses pada 9 Oktober 2021, 03.19 Wita.