Content uploaded by Andri Fransiskus Gultom
Author content
All content in this area was uploaded by Andri Fransiskus Gultom on Apr 11, 2022
Content may be subject to copyright.
1
Bias Universum pada Filsafat
Andri Fransiskus Gultom
(Pengajar Filsafat Ilmu dan Logika dan Pendiri Institute Filsafat Pancasila)
da yang paradoks dalam pemikiran Fadh Ahmad Arifan dalam
tulisannya di Macapat (28-02-2022). Paradoks, karena di satu sisi,
Arifan menegaskan ia bukan menggurui sekaligus bukan lulusan
program studi filsafat. Di sisi berikutnya, dia mengafirmasi bahwa filsafat
termasuk ilmu yang berat, tidak bisa dipelajari secara otodidak, tanpa
bimbingan dosen. Lalu, ia pernah mengajar mata kuliah "Pengantar Filsafat".
Premis-premis logis yang dibangun Arifan tidak tersusun secara koheren. Ini
yang menjadikan tulisannya kian melebar dalam mendefinisikan filsafat.
Implikasi logis dari pemikiran melebar ini memunculkan judul "Bukan Hanya
Yunani yang Merintis Ilmu Filsafat". Lebih jauh lagi, dari pemahaman tentang
genealogi filsafat tidak dijernihkan dengan referensi yang kuat dari Arifan
untuk melakukan kejernihan berpikir terutama dalam menyeleksi secara ketat
filsafat, an sich. Situasi berpikir "melebar kian kemari" itu boleh disebut "bias
universum" (Barrow, 1991; Mall, 1991). Bias universum mengandaikan adanya
suatu pemikiran yang memandang obyek dalam keseluruhan, tanpa melihat
detail-detail secara akurat. Akibatnya, jejak-jejak historis atau yang saya sebut
sebagai genealogi, terabaikan secara sembrono. Di sini situasi sulit yang
dialami Arifan dalam mendeskripsikan filsafat, in strictu sensu.
A
2
Deskripsi peristilahan yang digunakan Arifan beriktunya, tatkala berangkat
dari premis bahwa filsafat justru sudah ada sebelum peradaban Yunani
merintis dan mempersoalkan alam semesta. Kata kunci yang diabaikan Arifan,
persis pada kata "mempersoalkan alam semesta". Upaya mempersoalkan atau
memproblematisir itu tidak dijumpai dalam tradisi Timur, dalam hal ini yang
dijadikan sampel oleh Arifan adalah Cina dan India. Pada sisi tertentu,
peradaban yang ada di Cina dan India, atau kalau mau lebih kuno lagi terletak
di Babilonia, Mesopotamia, dan boleh secara teologis merujuk pada awal mula
peradaban di mana Adam dan Hawa masih hidup, di situ ada filsafat.
Filsafat bila merujuk pada peradaban yang lebih tua (archaik) dalam arti yang
luas, bisa dimengerti adalah bentuk penerimaan (given) dari Sang Pencipta
dan ada upaya untuk mengkultivasi serta mengkultuskan dimensi-dimensi
natural. Poinnya, bentuk logisnya dari peradaban tersebut yaitu upaya untuk
menerima yang given, yang datang dari luar diri manusia karena diyakini ada
kuasa yang lebih besar baik itu roh, alam, atau kekuatan dari langit.
Sedangkan, filsafat yang ada di Yunani, mempertanyakan (dan bukan
menerima) dan memproblematisir kekuatan-kekuatan dari luar diri, dengan
meyakini bahwa ada dialektika yang dilahirkan dari kekuatan pikiran. Di sini,
letak distingsi yang secara ketat, membelah filsafat di Cina, India (serta
peradaban kuno) dengan filsafat di Yunani. Pertanyaan kritisnya, apa
pemikiran diantara kedua peradaban tersebut bisa disebut filsafat?
Dalam arti luas (in sensu lato), ya. Keduanya merupakan filsafat. Tetapi
jawaban yang lebih ketat (in sensu stricto), tidak. Karena, filsafat yang lebih
detail dimengerti sebagai dialektika, suatu upaya untuk mempertanyakan
yang given, yang sudah ada dan berupaya mengkonfrontirnya secara ketat,
dan tidak puas hanya mendapatkan jawaban. Dalam dialektika ini, jawaban
bukan hasil yang final, tetapi suatu hipotesis saja. Karena. aporia pun menjadi
jawaban. Ringkasnya, ada postulat dalam tradisi pemikiran Yunani bahwa
"tidak ada jawaban, merupakan suatu jawaban". Apa postulat ini juga ada
dalam pemikiran Cina, India, dan Ke-Islam-an?
Bila ada, maka postulat itu bukanlah suatu postulat, tetapi ada dalam bentuk
harmoni dan wahyu. Harmoni mensyaratkan ketetapan-ketetapan yang
menyeleraskan segala hal yang berkonfrontasi, yang berseberangan, yang
berkonflik, dan yang berdialektika untuk "dipaksa" tiba pada keselarasan atau
perdamaian. Walaupun keselarasan dan perdamaian itu belum tiba pada
klimaksnya, karena masih ada yang mengganjal baik itu dalam intuisi-
perasaan, dan pikiran. Tetapi, demi menjaga alam, yang dipahami adalah
bentuk harmoni, maka segala bentuk konflik ditarik dalam bentuk
perdamaian (Nishida, & Dilworth, 1970).
Pemahaman bahwa situasi khaotik adalah peristiwa yang secara de facto tidak
terelakkan dalam relasi baik itu manusia dengan manusia lain, atau manusia
dengan alam, manusia dengan hewan, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Akan tetapi, khaos itu membuat manusia berpikir, dan merasakan bahwa
pertengkaran, konflik, perang, dosa, bukanlah menjadi solusi, untuk itu
mereka berpikir untuk menemukan jalan keluar (Liu, & Allinson, 1988). Jadi
alur logisnya, khaos mendahului harmoni (Bell, 2020).
3
Arifan melanjutkan kekeliruannya dengan merujuk pada etimologi dari kata
filsafat (dalam arti luas) menjadi falsafat yang juga terdapat dalam bahasa
Arab. Al-Quran juga memuat ayat-ayat yang diakhiri dengan kata-kata afala
ta'qilun (apakah kamu tidak berakal), afala tatafakkarun (apakah kamu tidak
berpikir) atau afala yatadabbarun (apakah mereka tidak merenung). Apa
kutipan-kutipan tersebut merupakan filsafat atau falsafat? Ya, filsafat dalam
arti luas. Pemahaman ini yang saya sebut di atas sebagai bias universum.
Upaya memahami sesuatu dengan paradigma yang amat luas, tapi
mengabaikan jejak-jejak detail dari pemikiran khas filsafat di Yunani.
Sokrates, menjadi contoh yang mempertanyakan alam semesta, secara dengan
menegasi pernyataan-pernyataan taken for granted secara natural. Dia
mempertanyakan perihal pujian Oracle Delphi yang mengatakan, "Sokrates
adalah manusia paling bijaksana di Athena". Amatan penuh curiga dari
Sokrates itulah menjadi formula dari filsafat yang justru mencurigai dan
mempertanyakan pujian. Ia melakukan negasi (dengan proses dialektis)
penyataan Oracle dengan serangkaian upaya pembuktian, benarkah ia adalah
manusia yang paling bijaksana? Untuk itu, menurut Edward G. Ballard dalam
tulisannya berjudul "Socrates' Moral Problem", Sokrates melakukan
perlawanan pada pernyataan Oracle dan menunjukkan bahwa Oracle keliru
(Ballard, 1965). Ia melakukan eksperimen dialektis dengan mempersoalkan
hal ihwal keberanian (Lakhes), persahabatan (Lysis), alam semesta (Timaeus
dan Critias), dan lain sebagainya.
Bila merujuk pada filsuf seperti Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq al-Kindi, adalah
benar ia seorang filsuf. Namun, bila Arifan serius membaca teks-teks yang
ditulis al-Kindi, maka penemuan pada jejak-jejak yang detail bahwa pengaruh
Yunani amat kuat dalam pemikirannnya (Gaudah, & Rida, 2007). Al-Kindi
menguasai bahasa Yunani dan ia menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan
Plotinus. Al-Kindi, dengan demikian memahami filsafat dalam arti yang amat
ketat, dengan rasionalitas. Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan
tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia.
Poin terakhir yang penting, filsafat secara ketat, dimengerti menjadi suatu
ketidaksepakatan (disensus) dan bukan kesepatakan (konsensus). Untuk itu,
filsafat penting untuk diajarkan pula secara rigid, tetapi dengan tepat melalui
kemampuan membaca dan memahami secara mendetail, agar para
pembelajar filsafat yang disebut philosophant tidak mengalami dissonant
cognitive dan ahistorical philosophy.
Referensi
Ballard, Edward G. (1965). Socratic Ignorance, Socrates’ Moral Problem. ,
10.1007/978-94-011-9432-7(Chapter 2), 15–47. doi:10.1007/978-94-
011-9432-7_2
Barrow, J. D. (1991). Theories of Everything: The Quest For Ultimate
Explanation.
Bell, J. A. (2020). Philosophy at the Edge of Chaos. University of Toronto
Press.
Gaudah, M. G., & Rida, H. M. M. (2007). 147 Ilmuwan Terkemuka dalam
Sejarah Islam. Pustaka Al-Kautsar.
4
Liu, S., & Allinson, R. E. (Eds.). (1988). Harmony and Strife: Contemporary
Perspectives, East & West (Vol. 7). Chinese University Press.
Mall, R. A. (1991). The God of Phenomenology In Comparative Contrast to
That of Philosophy and Theology. Husserl Studies, 8(1), 1-15.
Nishida, K., & Dilworth, D. A. (1970). Towards a Philosophy of Religion with
the Concept of Pre-established Harmony as Guide. The Eastern
Buddhist, 3(1), 19-46.