Content uploaded by Maulana Akbar
Author content
All content in this area was uploaded by Maulana Akbar on Mar 25, 2022
Content may be subject to copyright.
GENDER
DALAM ILMU
PENGET
AHUAN
DAN TEKNOLOGI
Perkembangan, Kebijakan,
Tantangannya di Indonesia
&
GENDER
DALAM ILMU
PENGET
AHUAN
DAN TEKNOLOGI
Editor: Wati Hermawati
Dilarang mereproduksi atau memperbanyak seluruh atau sebagian
dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit.
© Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang No. 28 Tahun 2014
All Rights Reserved
LIPI Press
GENDER
DALAM ILMU
PENGET
AHUAN
DAN TEKNOLOGI
Perkembangan, Kebijakan,
Tantangannya di Indonesia
&
GENDER
DALAM ILMU
PENGET
AHUAN
DAN TEKNOLOGI
Editor: Wati Hermawati
© 2018 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Pusat Penelitian Perkembangan Iptek
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangan-
nya di Indonesia/Wati Hermawati (ed)– Jakarta: LIPI Press, 2018.
xxv hlm. + 385 hlm.; 14,8 × 21 cm
ISBN 978-979-799-956-8 (cetak)
978-979-799-959-9 (e-book)
1. Gender 2. Iptek
305.3
Copyeditor : M. Sidiq dan Noviastuti Putri Indrasari
Proofreader : Sonny Heru Kusuma dan Fadly Suhendra
Penata isi : Astuti Krisnawati dan Rahma Hilma Taslima
Desainer sampul : Rusli Fazi
Cetakan pertama : Maret 2018
Diterbitkan oleh:
LIPI Press, anggota Ikapi
Jln. R.P. Soeroso No. 39, Menteng, Jakarta 10350
Telp: (021) 314 0228, 314 6942. Faks.: (021) 314 4591
E-mail: press@mail.lipi.go.id
Website: lipipress.lipi.go.id
LIPI Press
@lipi_press
v
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xv
PENGANTAR PENERBIT ........................................................................ xvii
KATA PENGANTAR ................................................................................ xix
PRAKATA ..................................................................................................... xxiii
BAB I
Perkembangan, Kebijakan, dan Tantangan Gender dalam
Iptek di Indonesia
Wati Hermawati ...................................................................................... 1
BAB II
Perspektif Gender dalam Iptek di Tingkat Internasional
Sjamsiah Achmad .................................................................................... 11
BAB III
Dimensi Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Wati Hermawati ...................................................................................... 45
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
vi
BAB IV
Gender dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi
.......................................................................................... 71
BAB V
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur
........................................... 97
BAB VI
Perspektif Gender dalam Implementasi Proyek Oven Surya
.................................................................................... 117
BAB VII
Relevansi Gender dalam Penerapan Bio-Toilet di Masyarakat
....................... 133
BAB VIII
Kesetaraan Gender dalam Pelayanan Kesehatan Maternal Migran
di Kota Surabaya
................................................................. 161
BAB IX
Perspektif Gender dalam Budaya Iptek Peneliti
............................................ 187
BAB X
Pandangan Laki-Laki dan Perempuan terhadap Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi
................................................ 223
BAB XI
Mengawal Pengembangan dan Pemasyarakatan Teknologi
Tepat Guna dengan Kepekaan Gender
Pengalaman Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI
.................................................................................................. 245
vii
BAB XII
Peran Perempuan dalam Pengarusutamaan Gender: Kasus Inovasi
Akar Rumput (
Grassroots Innovation
)
..................................................... 267
BAB XIII
Disruptive Technology
: Pengambil Keputusan pada Masa Depan
Bersifat
Gender-Agnostic
.................................................. 285
BAB XIV
Perempuan di Bidang Sains, Teknologi, dan Inovasi
.................................................................................... 309
BAB XV
CEDAW, Gender, dan Iptek
......................................................................... 327
BAB XVI
Gender dalam Iptek: Tantangan Kedepan
................................... 353
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................... 359
INDEKS ........................................................................................... 363
BIOGRAFI PENULIS ........................................................................ 369
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 97
A. GAMBARAN UMUM TENAGA KERJA PEREMPUAN
Dunia yang semakin terintegrasi ditandai dengan proses globalisasi,
kompetisi yang semakin ketat, dan pesatnya perubahan teknologi.
Keadaan tersebut telah mengubah lingkungan manusia dengan me-
numbuhkan tantangan dan kesempatan baru untuk meningkatkan
taraf hidup melalui pekerjaan di sektor publik. Pasar tenaga kerja
Indonesia pun berkembang karena terjadi peningkatan jumlah pe-
kerjaan dan penurunan angka pengangguran terbuka. Data tahun
2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebesar 253
juta jiwa dengan 122 juta di antaranya adalah angkatan kerja. Pada
tahun yang sama, jumlah pekerjaan juga meningkat sebesar 1,7%,
demikian pula jumlah angkatan kerja naik sebesar 1,4% (ILO, 2015).
Keadaan tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan angka
pengangguran terbuka dalam persentase penduduk angkatan kerja.
Dalam masyarakat yang berubah, keyakinan bahwa hal tersebut
juga memengaruhi kedudukan dan peran perempuan semakin besar.
Saat ini, perempuan dapat memilih untuk menjadi ibu rumah tangga,
BAB V
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
98
bekerja di sektor domestik, atau menjalankan peran ganda, baik
sebagai ibu rumah tangga, maupun perempuan pekerja. Gambaran
yang memperlihatkan perubahan peran dan kedudukan perempuan,
antara lain, ditunjukkan dalam kecenderungan Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) perempuan yang semakin meningkat. Jika
pada awal 2009 TPAK perempuan adalah 45% dibandingkan laki-
laki, tahun 2015 adalah 47,50% (BPS, 2016). Hal ini didukung oleh
angka partisipasi perempuan di dalam pendidikan. Angka partisipasi
perempuan dalam pendidikan melebihi laki-laki. Pada pendidikan
dasar, angka partisipasi perempuan lebih tinggi sedikit (96,42%)
dibandingkan anak laki-laki (96%), demikian pula pada pendidikan
menengah pertama, selisih angka partisipasi perempuan dan laki-laki
3,5% lebih tinggi perempuan (BPS, 2016).
Sering kali perubahan peran dan kedudukan perempuan tersebut
diartikan sebagai wujud dari pemberdayaan perempuan. Perempuan
telah mampu memasuki semua sektor publik. Namun, kemampuan
perempuan memasuki sektor publik tidak serta-merta menghapus-
kan permasalahan-permasalahan perempuan yang bekerja di sektor
publik. Pada tahun 2015, rasio laki-laki dan perempuan bekerja
pada usia 25 tahun ke atas adalah 89,5% untuk laki-laki dan 32,6%
untuk perempuan (ILO, 2015). Padahal, bila banyak perempuan yang
ber kontribusi di sektor ekonomi, kesenjangan akan mengecil dan
menambah pendapatan per kapita Indonesia.
Pada dasarnya, tingkat pendidikan yang tinggi turut mendorong
perempuan bekerja di sektor publik. Hal tersebut membuka wawasan
untuk menerapkan dan mengembangkan kemampuan yang dimi-
likinya (Ihromi, 1990). Salah satu mandat dalam agenda Sustainable
Development Goals (SDGs) sampai tahun 2030 adalah penguasaan
perempuan terhadap sains, teknologi dan inovasi (STI). Hal ini
disebabkan pembangunan ekonomi, lingkungan, dan politik sangat
bergantung pada penguasaan STI, misalnya bagaimana membangun
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 99
pembangkit listrik mikrohidro atau biogas untuk rumah tangga.
Namun, jumlah perempuan yang terlibat dalam bidang ilmu science,
technology, engineering and mathematics (STEM) mengalami penu-
runan berkelanjutan, mulai dari sekolah menengah sampai pendidikan
tinggi. Tidak hanya itu, pekerjaan laboratorium, pengajaran, dan
pengambil kebijakan riset dan teknologi juga terus menurun secara
signikan (UN Women Annual Report, 2015).
Dalam dunia global, perempuan yang menggeluti bidang ilmu
STEM hanya 30%. Di Asia, 18% perempuan, sedangkan di ASEAN,
kurang dari 23% perempuan masuk jurusan teknik (UNESCO, 2015).
Data tersebut menunjukkan bahwa sangat sedikit perempuan dalam
bidang STEM. Laporan UNESCO (2015) menyebutkan perempuan
yang masuk bidang STEM hanya sedikit karena adanya bias dalam
materi, kurikulum, dan kuatnya stereotip dalam masyarakat bahwa
anak perempuan tidak cocok dengan STEM (UNESCO, 2015). Selain
itu, kurangnya role models dan tokoh perempuan dalam STEM banyak
membuat anak perempuan enggan menekuninya. Selain itu, UNESCO
(2015) juga melaporkan bahwa kurang dari 19% kontrak kerja bidang
STEM dilakukan oleh perempuan. Sementara itu, lebih dari 81%
dikuasai oleh laki-laki. Kenyataan tersebut membuat kebijakan sains
dan teknologi kurang berpihak pada perempuan yang pada akhirnya
disparitas gender menjadi semakin besar (UNESCO, 2015).
Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan di Indonesia. Gam-
bar 5.1 merupakan ilustrasi partisipasi perempuan yang bekerja di
Indonesia, terutama di bidang STEM. Gambar 5.1 menunjukkan
jumlah partisipasi tenaga kerja perempuan terhadap angkatan kerja
cenderung naik, tetapi sempat turun pada tahun 2004 dan 2010, lalu
pada akhirnya kembali meningkat hingga tahun 2012.
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
100
Gambar 5.2 menunjukkan perbandingan antara perempuan dan
laki-laki yang bekerja di bidang STEM. Jelas terlihat bahwa kontribusi
tenaga kerja STEM masih didominasi oleh laki-laki, di mana secara
konstan partisipasi laki-laki sebanyak 60% selama periode tersebut.
Sumber: Akbar, Berliana, Asmara, dan Achelia (2016)
Gambar 5.1 Parsipasi Tenaga Kerja Perempuan terhadap Angkatan Kerja Indonesia
Sumber: Akbar dkk. (2016)
Gambar 5.2 Proporsi Tenaga Kerja STEM Laki-Laki dan Perempuan Indonesia
45,000,000
40,000,000
35,000,000
30,000,000
25,000,000
20,000,000
2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Laki-laki Perempuan
100%
80%
60%
40%
20%
0%
2000 2001 2002 20132003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 101
Walaupun angkatan kerja perempuan meningkat setiap tahun,
sampai saat ini masih terdapat kesenjangan pekerjaan berdasarkan
gender. Blau F. D. dalam Rahamah (2009) menyatakan bahwa terdapat
dua karakter dalam kesenjangan pekerjaan, yaitu kesenjangan hori-
zontal merujuk pada lapangan usaha, sedangkan kesenjangan vertikal
adalah pada jabatan. Tabel 5.1 menggambarkan tentang kesenjangan
gender pada dua karakter, yaitu horizontal maupun vertikal di Indo-
nesia. Nilai positif pada Tabel 5.1 menunjukkan proporsi laki-laki yang
lebih besar dibandingkan perempuan, sedangkan nilai negatif berarti
proporsi perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal lain
yang dapat ditunjukkan dalam Tabel 5.1 adalah semakin mendekati
nilai nol, semakin kecil kesenjangan proporsi antargender.
Tabel 5.1 Kesenjangan Gender pada Lapangan usaha dan Jabatan di Indonesia,
2012–2013
Lapangan Usaha
Legislator,
Pejabat
Senior, dan
Manajer
Tenaga
Profesional
Teknisi dan
Tenaga
Profesional
Perusahaan
Tenaga
Rendah
Keahlian
2012 2013 2012 2013 2012 2013 2012 2013
1. Pertanian, Perkebunan,
Kehutanan, Perburuan, dan
Perikanan
0,91 0,84 0,80 0,81 0,45 0,44 0,26 0,28
2. Pertambangan dan Penggalian
0,90 0,97 0,87 0,93 0,69 0,65 0,83 0,86
3. Industri
0,63 0,73 0,81 0,68 0,28 0,23 0,15 0,17
4. Listrik, Gas, dan Air Minum
0,96 0,88 0,99 0,55 0,62 0,53 0,93 0,88
5. Konstruksi
0,70 0,61 0,91 0,89 0,52 0,39 0,97 0,96
6. Perdagangan, Rumah Makan,
Jasa, Akomodasi
0,40 0,42 0,45 0,25 -0,04 -0,04 -0,01 -0,02
7. Transportasi, Pergudangan,
dan Komunikasi
0,58 0,64 0,77 0,70 0,45 0,39 0,95 0,94
8. Lembaga Keuangan, Real
Estate, Usaha
9. Persewaan dan Jasa Perusahaan
0,34 0,37 0,56 0,66 0,19 0,20 0,64 0,69
10. Jasa Kemasyarakatan, Sosial,
dan Perorangan
-0,14 -0,12 0,62 0,65 0,22 0,24 0,10 0,10
Sumber: Akbar dkk. (2016)
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
102
Data pada Tabel 5.1 jelas memperlihatkan bahwa terdapat kesen-
jangan gender yang besar hampir di seluruh jabatan dan lapangan
usaha. Kesenjangan yang kecil hanyalah pada lapangan usaha jasa, yaitu
jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan serta jasa perdagangan,
rumah makan, dan akomodasi. Pada lapangan usaha tersebut, jumlah
perempuan yang menjabat sebagai legislator, pejabat senior, manajer,
dan tenaga profesional atau teknisi serta profesional perusahaan sedikit
lebih banyak dibandingkan laki-laki. Keadaan tersebut menunjukkan
bahwa sampai pada tahun 2013, lapangan usaha tempat perempuan
berkarier adalah yang secara tradisi didominasi oleh perempuan,
seperti merawat dan mengajar (jasa kemasyarakatan), serta memasak
(perdagangan rumah makan). Namun, Tabel 5.1 menunjukkan hal
yang menarik, yaitu pada lapangan usaha industri. Dibandingkan
pekerja dan lapangan usaha lain (selain jasa), kesenjangan antara
teknisi dan pekerja profesional perempuan dan laki-laki cukup rendah,
yaitu 0,28 pada tahun 2012 dan 0,23 pada 2013. Jumlah perempuan
yang berkarier di lapangan usaha tersebut hampir menyamai jumlah
laki-laki. Pekerja profesional yang dimaksud pada data tersebut adalah
tenaga profesional yang menurut International Standard Classication
of Occupations (ISCO) (Colecchia & Papaconstantinou, 1998) terdiri
atas peneliti iptek, pengajar profesional, tenaga medis profesional,
tenaga keuangan profesional, dan tenaga profesional lain. Bila meng-
acu pada konsep segregasi pekerjaan yang dinyatakan oleh Burnell
dalam Peterson & Lewis (1999), yaitu adanya ketidaksetaraan dalam
distribusi laki-laki dan perempuan di seluruh kategori pekerjaan
yang berbeda, berdasarkan Tabel 5.1, kondisi tersebut tidak terlihat
di lapangan usaha industri dengan jabatan sebagai tenaga professional
di Indonesia.
Perempuan berkarier sebagai tenaga profesional pada lapangan
usaha industri menarik untuk dikaji. Kajian meliputi seberapa banyak
jumlah mereka, latar belakang pendidikan, dan bidang ilmu yang
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 103
dimiliki. Hal tersebut untuk mengetahui peran dan sumbangsih
pe rempuan dibandingkan laki-laki. Dengan menggunakan data
ha sil survei litbang dan inovasi di sektor industri manufaktur yang
dilakukan oleh Pusat Data dan Informasi Kementerian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi, tulisan ini menguraikan perempuan yang ber-
profesi sebagai peneliti. Mengapa peneliti? Karena, peneliti merupakan
profesi penting di perusahaan manufaktur. Peneliti adalah agen ino-
vatif bagi perusahaan. Peningkatan nilai tambah produk inovatif yang
bermuara pada penambahan prot, keuntungan atau laba merupakan
hasil kegiatan seorang atau tim peneliti. Selain membutuhkan tingkat
pendidikan yang tinggi, perempuan peneliti harus lebih berjuang
untuk memperoleh posisi yang diinginkan karena bidang pekerjaan ini
adalah bidang pekerjaan maskulin (didominasi oleh pekerja laki-laki)
dan memiliki prospek kemajuan karier dan upah yang baik.
Berdasarkan hal di atas, tulisan ini membahas tentang perempuan
peneliti di sektor industri manufaktur, aturan serta kesetaraan gender
yang dialami oleh perempuan.
B. PEREMPUAN PEKERJA DAN KESETARAAN GENDER
Perempuan bekerja di sektor publik merupakan pemandangan yang
umum saat ini. Cotter, Hersmen, dan Venneman (2001) menyatakan
bahwa sebagian perempuan bekerja disebabkan tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Sebagian lagi yaitu
perempuan kalangan menengah ke atas menganggap pekerjaan di sektor
publik merupakan sarana untuk mengekspresikan diri dan menjalin
komunikasi dengan dunia luar. Selain itu, semakin tinggi tingkat pen-
didikan, semakin besar pula keinginan perempuan untuk bekerja.
Cotter dkk. (2001) juga menyatakan bahwa perempuan pekerja
berbeda dengan laki-laki pekerja karena terdapat perlakuan-perlakuan
yang berbeda di antara perempuan dan laki-laki, dan perlakuan
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
104
tersebut merugikan perempuan. Perempuan yang meniti karier sering
tidak dipandang sebagai perempuan yang eksis. Perempuan, sekalipun
memiliki karier secara normal, terdapat hal yang selalu membebani.
Hal tersebut adalah sinisme publik yang memandang sebagai “ambi-
sius”. Kedua, ketidakyakinan dirinya untuk mampu mencapai puncak
kariernya. Kemudian, hal tersebut terejawantahkan dalam upah yang
berbeda, pemisahan bidang pekerjaan, dan kesempatan dalam meraih
jenjang karier yang lebih tinggi. Webb (1991) menyatakan bahwa
pekerjaan di sektor publik juga dipengaruhi aturan gender yang pada
akhirnya memunculkan pembagian/pemisahaan bidang pekerjaan.
Evetts (1994) mendenisikan pemisahan pekerjaan menjadi dua
bagian, yaitu pemisahaan pekerjaan secara horizontal dan vertikal.
Pemisahan pekerjaan secara horizontal merupakan pemisahan
bidang pekerjaan bagi perempuan dan laki-laki sesuai dengan tuntutan
masyarakat. Contohnya, pekerjaan perawat sangat sesuai dengan
perempuan karena peran perempuan sebagai pengasuh, perawat, dan
pembimbing, sedangkan tentara pantas bagi laki-laki karena peran
laki-laki sebagai pemimpin dan penggagas (Evetts, 1994). Pemisahan
pekerjaan secara vertikal merupakan pemisahaan pekerjaan pada
jabatan-jabatan puncak dan pekerjaan yang dapat meningkatkan karier
seseorang. Berbeda dengan pemisahan pekerjaan secara horizontal
yang semakin lama semakin tidak terpisahkan, pemisahan pekerjaan
secara vertikal masih akan terus dirasakan perempuan.
Kedua bentuk pemisahan pekerjaan tersebut mempersulit perem-
puan untuk memilih profesi yang akan ditekuninya dan berkarier di
bidang tersebut. Pemisahan pekerjaan secara horizontal menyebabkan
perempuan mengalami kesulitan untuk memasuki sektor publik yang
maskulin. Berbeda dengan laki-laki yang dengan mudah bekerja di
sektor publik yang feminis, bahkan dapat dengan cepat meningkat-
kan kariernya (Webb, 1991). Pemisahan pekerjaan secara vertikal
yang berdampak pada karier perempuan sangat ditentukan oleh
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 105
kebijakan-kebijakan yang memengaruhi struktur dan sistem dalam
suatu organisasi.
Kesetaraan gender (gender equality) antara perempuan dan laki-
laki merupakan konsep yang menyatakan bahwa semua manusia bebas
untuk mengembangkan kemampuan pribadi mereka dan membuat
pilihan tanpa batasan stereotip, peran gender yang kaku, dan pra-
sangka. Kesetaraan gender berarti bahwa perbedaan perilaku, aspirasi,
dan kebutuhan perempuan dan laki-laki dianggap, dihargai, dan diakui
secara sama. Ini tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki harus
menjadi sama, tetapi hak, tanggung jawab, dan kesempatan mereka
tidak akan bergantung pada apakah mereka lahir sebagai laki-laki atau
perempuan (ILO, 2015). Kesetaraan gender berarti perlakuan yang
adil bagi perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhan masing-
masing. Kesetaraan gender juga berarti kesamaan kondisi dan posisi
bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh hak-haknya sebagai
manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pen-
didikan, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
nasional, dan kesamaan dalam menikmati pembangunan tersebut.
C. PEREMPUAN PENELITI DI SEKTOR INDUSTRI SEBAGAI
SUATU PROFESI
Kemajuan teknologi mengubah dunia pada era pascaindustri, diawali
dengan penciptaan teknologi senjata, kemudian mesin-mesin yang
rumit. Setelah Perang Dunia II, perempuan mulai bekerja di pabrik-
pabrik sebagai buruh dengan upah yang rendah (Caraway, 2007).
Pada dekade ‘60 dan ‘70-an, perusahaan-perusahaan multinasional
mempertahankan tenaga kerja perempuan karena upah murah se-
hingga eksploitasi terhadap perempuan buruh meningkat. Selanjutnya,
pada awal abad ke-21, memasuki masa teknologi yang memunculkan
inovasi mikro-elektronika dan telekomunikasi, buruh terbantukan
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
106
dengan pekerjaan-pekerjaan mesin atau robot. Kemudian, inovasi
teknologi mengalihkan kegiatan sumber daya manusia perusahaan.
Pekerjaan sik mulai berkurang, kemudian dialihkan pada kegiatan
managerial, bahkan pada kegiatan yang memiliki keahlian khusus
yang kemudian perempuan terlibat di dalamnya (Caraway, 2007).
Agar dapat bertahan, perusahaan berusaha untuk tetap menjadi
pemenang dalam persaingan, baik di tingkat lokal maupun global. Pen-
ciptaan produk-produk inovatif, bahkan menjadi pelopor di bidang nya
merupakan hal penting untuk menempatkan perusahaan di level ter-
tinggi. Oleh karena itu, kegiatan riset yang menjadi faktor pendorong
penciptaan produk inovatif merupakan kebutuhan perusahaan yang
berdaya saing. Kegiatan riset ini didukung oleh tim yang solid dan
andal, infrastruktur yang memadai dan anggaran yang mencukupi.
Untuk memperoleh gambaran perempuan peneliti yang bekerja di
sektor industri manufaktur, tulisan ini mengolah data hasil survei
litbang di industri manufaktur yang dilakukan oleh Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) tahun 2016. Salah
satu tujuan dari survei tersebut adalah untuk memperoleh data dan
informasi tentang kegiatan dan sumber daya riset termasuk SDM riset
yang terdiri atas peneliti, teknisi, dan tenaga pendukung di industri
manufaktur skala menengah dan besar. Jumlah perusahaan yang
menjadi sampel adalah 865 perusahaan manufaktur di 22 provinsi.
Kemudian, survei tersebut menjaring sebanyak 210 perusahaan pelaku
riset. Tenaga kerja riset perusahaan terdiri atas peneliti, teknisi, dan
staf pendukung. Total tenaga kerja riset di 210 perusahaan pelaku riset
tersebut adalah 4.771 pegawai.
Perempuan yang bekerja sebagai tenaga kerja riset terlihat dalam
Gambar 5.3. Pada gambar tersebut, jumlah perempuan sebagai
peneliti dan teknisi jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Jumlah
perempuan yang berkarier sebagai tenaga pendukung, yaitu tenaga
administrasi, adalah yang terbanyak. Hal ini berbeda dengan laki-laki.
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 107
Pola yang tergambar adalah berlawanan, yaitu proporsi terbanyak
adalah sebagai peneliti, kemudian menurun sebagai teknisi dan ke-
mudian tenaga pendukung atau administrasi. Gambaran ini mengin-
formasikan bahwa peneliti dan teknisi adalah pekerjaan maskulin
yang banyak diminati oleh laki-laki ketimbang perempuan. Pekerjaan
pengadministrasian merupakan pekerjaan tradisional perempuan
(pekerjaan feminin) dengan stereotipnya perempuan, yaitu kerapian
dan ketelitian.1 Kegiatan administrasi yang merupakan kegiatan rutin,
tidak terlalu dinamis dan upah yang lebih rendah juga merupakan
stereotip bagi karier perempuan.
Gambar 5.4 menunjukkan tenaga peneliti, teknisi, dan adminis-
trasi berdasarkan jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Untuk tenaga
peneliti, baik perempuan maupun laki-laki, terbanyak berpendidikan
S1, selanjutnya untuk laki-laki peneliti adalah berpendidikan S2,
sedangkan perempuan adalah D3. Untuk tenaga teknisi, baik teknisi
1 Pekerjaan maskulin dan feminin adalah pekerjaan yang dibentuk oleh pe-
ngetahuan dan praktik-praktik sosial. Berdasarkan konstruksi sosial, memberi
penan daan (stereotip) kepada perempuan dan laki-laki (Arivia, 2013).
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.3 Sebaran SDM Riset Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan Jenis
Kelamin Tahun 2015
PerempuanLaki-laki
Perempuan;
Peneli; 748
Laki-laki;
Peneli; 1654
Laki-laki;
Teknisi; 981
Laki-laki;
Tenaga Administrasi; 279
Perempuan;
Teknisi; 236 Perempuan;
Tenaga Administrasi; 873
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
108
perempuan maupun teknisi laki-laki terbanyak berpendidikan SMK
dan D3. Selanjutnya, tenaga administrasi perempuan terbanyak me-
miliki tingkat pendidikan S1, sedangkan laki-laki adalah SMK–D3.
Banyaknya perempuan dengan tingkat pendidikan S1 bekerja di
bidang pekerjaan administrasi atau sebagai tenaga pendukung dalam
suatu tim penelitian menimbulkan dugaan bahwa pilihan karier
mayoritas perempuan Indonesia masih pada karier berupah lebih
rendah. Gambaran yang berbeda terjadi pada laki-laki. Pada laki-laki,
walaupun memiliki tingkat pendidikan S1, diduga dapat memilih
bidang pekerjaan yang memiliki prospek karier yang lebih baik.
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.4 Sebaran SDM Iptek Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan Gender
dan Tingkat Pendidikan 2015
Gambar 5.5 mempertegas pernyataan tentang dugaan pilihan
karier perempuan dalam kegiatan penelitian di industri manufaktur.
Tenaga peneliti dan administrasi perempuan dengan pendidikan S1
terbanyak adalah sama, yaitu berlatar belakang bidang ilmu sains
(matematika dan ilmu pengetahuan alam) dan bukan sosial (adminis-
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 109
trasi atau ekonomi). Seperti diuraikan pada subbab sebelumnya bahwa
segregasi pekerjaan terlihat pada dunia industri untuk profesi tertentu.
Dunia perempuan sebagai tenaga administrasi didukung pada kon-
struksi sosial yang menandai perempuan sebagai pekerja yang lebih
rapi dan teliti dibandingkan laki-laki dalam mengadministrasikan
surat.
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.5 Sebaran SDM Iptek Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan Gender,
Bidang Ilmu dan Tingkat Pendidikan Tahun 2015
Persentase peneliti berdasarkan gender menunjukkan bahwa
jumlah perempuan peneliti hanya kurang dari separuh jumlah laki-
laki (Gambar 5.6). Proporsi perempuan dan laki-laki peneliti adalah
31% dan 69%. Menjadi suatu kajian tersendiri dan lebih mendalam
untuk mengetahui ketertarikan perempuan berkarier sebagai peneliti
di industri manufaktur dan kendala-kendala yang dihadapi.
110 Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
Gambar 5.7 memperlihatkan sebaran peneliti, baik perempuan
maupun laki-laki, berdasarkan tingkat pendidikan. Terdapat pola
yang sama antara perempuan dan laki-laki peneliti terhadap tingkat
pendidikan. Peneliti, baik perempuan dan laki-laki, terbanyak memi-
liki tingkat pendidikan S1, kemudian menyusul tingkat pendidikan
SMK sampai D3 dan yang paling sedikit adalah yang berpendidikan
S3. Pola ini bergeser dari survei yang dilakukan tahun 2011. Saat itu,
jumlah peneliti terbanyak berpendidikan SMK sampai D3, kemudian
menyusul yang berpendidikan S1 (Pappiptek, 2011).
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.6 Proporsi Perempuan dan Laki-Laki Peneli Sektor Industri Manufaktur
Tahun 2015
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.7 Proporsi Perempuan dan Laki-Laki Peneli Sektor Industri Manufaktur
Berdasarkan Tingkat Pendidikan 2015
Peneli; Perempuan;
748; 31%
Peneli; Laki-laki;
1654; 69%
Laki-laki peneli Perempuan peneli
S3
S2
S1
SMK-D3
0 500 1000 1500
15
349
376
892
88
163
506
7
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 111
Bila dilihat berdasarkan bidang ilmu, jumlah perempuan peneliti
yang memiliki bidang keilmuan sains, seperti kimia, farmasi, biologi,
matematika, dan sika lebih banyak daripada laki-laki peneliti. Se-
mentara itu, bidang ilmu rekayasa didominasi oleh laki-laki peneliti.
Persentase perempuan peneliti dengan bidang ilmu rekayasa hanya
10% dari total peneliti di bidang tersebut (Gambar 5.8.)
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.8 Proporsi Perempuan dan Laki-Laki Peneli Sektor Industri Manufaktur
Berdasarkan Bidang Ilmu 2015
Gambar 5.9 menunjukkan proporsi perempuan dan laki-laki
peneliti berdasarkan bidang ilmu dan tingkat pendidikan. Telah di-
uraikan sebelumnya bahwa perempuan peneliti terbanyak memiliki
bidang ilmu sains. Hal menarik yang terlihat dalam Gambar 5.7 adalah
sebaran tingkat pendidikan perempuan pada bidang sains tidak hanya
SMK–D3, tetapi juga sampai pada tingkat pendidikan S2. Keadaan ini
menunjukkan bahwa perempuan yang berlatar belakang pendidikan
ilmu sains dan dengan tingkat pendidikan mulai SMK sampai S3
memiliki ketertarikan untuk menjadi peneliti di perusahaan.
Hal yang berbeda terlihat dari gambaran peneliti dengan latar
belakang rekayasa. Perempuan peneliti pada bidang ilmu ini sangat
sedikit dibandingkan laki-laki peneliti, walaupun tingkat pendidikan
Laki-laki peneli Perempuan peneli
Perempuan peneli;
Science; 605
Perempuan peneli;
Rekayasa; 108
Perempuan peneli;
Sosial; 35
Laki-laki peneli;
Science; 558
Laki-laki peneli;
Rekayasa; 1037
Laki-laki peneli;
Sosial; 59
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
112
yang dimiliki mulai dari SMK sampai S3. Ketertarikan perempuan
untuk berkarier sebagai peneliti di bidang rekayasa menjadi menarik
untuk dikaji lebih lanjut, mengingat bidang rekayasa adalah bidang
maskulin atau bidang yang banyak dimasuki oleh laki-laki.
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.9 Proporsi Perempuan dan Laki-Laki Peneli Sektor Industri Manufaktur
Berdasarkan Bidang Ilmu dan Tingkat Pendidikan Tahun 2015
Laki-laki peneli Perempuan peneli
0
3 3
28
28
296
237
70
362
111
15
502
17
15
15
17
56
413
131
0 100 200 300 400 500 600 700 800
5
76
2 0
S3
S2
S1
SMK-D5
S3
S2
S1
SMK-D4
S3
S2
S1
SMK-D3
Science Teknik Sosial
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 113
Sumber: Kemristekdik (2016)
Gambar 5.10 Proporsi Perempuan dan Laki-Laki Peneli Sektor Industri Manufaktur
Berdasarkan Kelompok Industri Tahun 2015
Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
Logam Dasar
Barang Logam
Barang Galian Bukan Logam
Teksl
Peralatan Listrik
Bahan Kimia
Makanan
Kendaraan Bermotor
Alat Angkutan Lainnya
Farmasi, Produk Obat
Komputer, Barang Elektronik, Opk
Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi
Pakaian Jadi
Karet, Barang dari Karet dan Plask
Pengolahan Lainnya
Kertas dan Barang dari Kertas
Kayu dan Sejenisnya
Furnitur
Jasa Reparasi dan Pemasangan
Mesin dan Perlengkapan ytdl
Pengolahan Tembakau
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Laki-Laki
Perempuan
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
114
Setelah diketahui bahwa perempuan peneliti terbanyak memiliki
bidang ilmu sains, pertanyaan selanjutnya tentang perusahaan yang
menjadi tempat mereka bekerja serta produk yang dihasilkan. Gambar
5.10 memperlihatkan bahwa jumlah perempuan peneliti terbanyak
(bahkan melebihi laki-laki) terdapat pada industri farmasi, kulit, dan
barang galian. Sementara itu, laki-laki banyak bekerja di industri
komputer, peralatan listrik, kendaraan bermotor, alat angkutan, tekstil,
dan makanan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karier
perempuan peneliti sudah sesuai dengan bidang ilmu yang dimiliki.
D. KESIMPULAN
Hal yang dapat disimpulkan dalam tulisan di atas adalah bahwa sampai
saat ini masih terdapat kesenjangan gender pada hampir seluruh la-
pangan usaha dan jabatan pekerjaan. Di industri, pekerjaan penelitian
merupakan pekerjaan maskulin karena didominasi oleh laki-laki. Pada
sektor ini, perempuan menempatkan dirinya di bidang-bidang yang
sesuai penandaan atau stereotipnya, yaitu sebagai tenaga administrasi.
Penandaan juga terjadi pada karier perempuan sebagai peneliti.
Perempuan peneliti yang bekerja di sektor industri terbanyak memiliki
bidang ilmu sains. Oleh karena itu, mereka bekerja pada industri
farmasi, kulit, dan barang galian. Sementara itu, laki-laki lebih banyak
menguasai bidang rekayasa dan bekerja di sektor industri elektronik,
komputer, alat angkut, dan kendaraan bermotor.
Kajian lanjutan tentang peran dan kontribusi perempuan sebagai
peneliti di sektor industri perlu dilakukan sehingga diketahui faktor-
faktor yang memengaruhi perempuan berkontribusi dan mening-
katkan karier di sektor tersebut. Dengan demikian, akan diketahui
kebijakan-kebijakan yang tepat yang dapat mendukung kontribusi
perempuan peneliti di sektor industri manufaktur.
Perempuan Peneliti di Industri Manufaktur 115
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M., Berliana, N. G., Asmana, I. J., & Achelia, E. (2016). Gender gap
dan partisipasi pekerja sains, teknologi, enjinering, dan matematika
(STEM) wanita dalam angkatan kerja Indonesia. Dalam Prosiding
Forum Iptekin 2016. Jakarta: Pappiptek LIPI.
Arivia, G. (2013). Politik seksualitas ilmu pengetahuan dan kultur teknologi
yang maskulin. Jurnal Perempuan, 18(3), 43–57.
BPS. (2016). Angka Partisipasi Murni (APM) menurut tipe daerah, jenis
kelamin dan jenjang pendidikan, 2009–2015. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Caraway, T. (2007). Assembling women: e feminization of global
manufacturing. Itcha: Cornell University Press
Cotter. D. A, Hersmen, J. M., & Venneman, R. (2001). Women’s work and
working women: e demand for female labor. Gender & Society,
15(3), June, 429–452
Colecchia & Papaconstantinou. (1998). OECD data on skills: Employment
by industry and occupation. STI Working Papers. 1998/4. Economic
Analysis and Statistics Division
Evetts. (1994). Women and career: emes and issues in advanced industrial
societies. New York: Longman
Ihromi, T. O. (1990). Para ibu yang berperan tunggal dan berperan ganda.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
ILO. (2015). Tren ketenagakerjaan dan sosial di Indonesia 2014–2015:
Memperkuat daya saing dan produktivitas melalui pekerjaan layak.
International Labor Oce Jakarta: ILO, 2015. xii, 76.
Kemenristekdikti. (2016). Hasil survei litbang sektor industri manufaktur,
2016. Laporan tidak diterbitkan. Jakarta: Kemenristekdikti.
Pappiptek. (2011). Indikator iptek Indonesia. Survei litbang sektor industri
manufaktur. Jakarta: Pappiptek LIPI.
Peterson, J., & Lewis, M. (Ed.). (1999). Occupational segregation. Dalam
e Elgar companion to feminist economics. Inggris: Edward Elgar
Publishing Ltd., hlm. 578–585.
Gender dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi: ...
116
Rahamah, N. (2009). Faktor-faktor yang memengaruhi segregasi pekerjaan
mengikut gender di Malaysia: Satu ilustrasi mikro dari Seremban,
Negeri Sembilan. Malaysian Journal of Society and Space 5(2). 45–54.
UN Women Annual Report. (2015). Fast forwarding to the future we want.
United Nation.
UNESCO. (2015). A complex formula: Girls and women in science,
technology, engineering and mathematics in Asia. Bangkok: UNESCO.
Webb, J. (1991). e gender relation of assessment. Dalam Firth, J., & West,
M. A. (Eds.). Women at Work. Philadelphia: Open University Press.