ArticlePDF Available

PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM KRITIS DALAM KAJIAN HUKUM TATA RUANG INDONESIA: SEBUAH WACANA FILSAFAT HUKUM DAN INTERDISIPLIN

Authors:
  • Universitas Katolik Darma Cendika, Indonesia, Surabaya

Abstract

Perkembangan penelitian hukum menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner dalam menelaah isu hukum. Selain itu, isu hukum juga perlu ditelaah lebih kritis dan tidak melihatnya sebagai produk dari ruang vakum tanpa pengaruh faktor non-hukum. Tulisan ini menjelaskan perkembangan wacana geografi hukum kritis serta teori produksi ruang sosial dan keadilan spasial yang terkait dengan wacana tersebut. Pendekatan interdisipliner dengan berbagai teori kritis tersebut telah dikembangkan dalam kajian hukum tata ruang dengan kerangka geografi hukum kritis. Namun kajian hukum tata ruang di Indonesia belum banyak mengembangkan wacana tersebut dalam menelaah persoalan perkotaan. Hanya sedikit penelitian hukum tata ruang di Indonesia yang menggunakan perspektif geografi hukum kritis berdasarkan penelusuran yang diuraikan di tulisan ini. Padahal sebenarnya persoalan perkotaan di Indonesia serupa dengan fenomena yang menjadi latar belakang dari munculnya wacana geografi hukum kritis. Oleh karena itu, kajian hukum tata ruang di Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih filosofis dan kritis. Berbagai pendekatan baru yang berkembang dalam filsafat hukum, salah satunya adalah studi hukum kritis, dapat menjadi metode analisis untuk menganalisis pengaruh ekonomi dan kekuasaan terhadap tata ruang di Indonesia.
61
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM KRITIS
DALAM KAJIAN HUKUM TATA RUANG INDONESIA:
SEBUAH WACANA FILSAFAT HUKUM DAN INTERDISIPLIN
Victor Imanuel W. Nalle
Fakultas Hukum Universitas Katolik Darma Cendika
Jl. Dr. Ir. H. Soekarno 201 Surabaya
E-mail: victor@ukdc.ac.id
Abstract
e development of legal research shows the importance of an interdisciplinary approach
in examining legal issues. Apart from that, legal issues also need to be examined more
critically and not to see them as a product of a vacuum without the inuence of non-legal
factors. is paper explains the development of critical legal geography discourse as well
as the theory of social space production and spatial justice associated with this discourse.
e study of spatial law has developed an interdisciplinary approach with these critical
theories with a critical legal geography framework. However, studies of spatial law in
Indonesia have not developed much of this discourse in examining urban problems. Only a
few researches on spatial law in Indonesia uses a critical legal geography perspective based
on the tracing described in this paper. In fact, urban problems in Indonesia are similar
to the phenomena that underlie the emergence of discourse on critical legal geography.
erefore, the study of spatial law in Indonesia requires a more philosophical and critical
approach. Various new approaches developed in legal philosophy, one of which is critical
legal studies, can be an analytical method for analyzing the inuence of economy and
power on spatial planning in Indonesia.
Keywords: Critical Legal Geography; Production of Social Space; Spatial Justice; Spatial
Law.
Intisari
Perkembangan penelitian hukum menunjukkan pentingnya pendekatan interdisipliner
dalam menelaah isu hukum. Selain itu, isu hukum juga perlu ditelaah lebih kritis
dan tidak melihatnya sebagai produk dari ruang vakum tanpa pengaruh faktor non-
hukum. Tulisan ini menjelaskan perkembangan wacana geogra hukum kritis serta
teori produksi ruang sosial dan keadilan spasial yang terkait dengan wacana tersebut.
Pendekatan interdisipliner dengan berbagai teori kritis tersebut telah dikembangkan
dalam kajian hukum tata ruang dengan kerangka geogra hukum kritis. Namun
kajian hukum tata ruang di Indonesia belum banyak mengembangkan wacana
tersebut dalam menelaah persoalan perkotaan. Hanya sedikit penelitian hukum tata
ruang di Indonesia yang menggunakan perspektif geogra hukum kritis berdasarkan
penelusuran yang diuraikan di tulisan ini. Padahal sebenarnya persoalan perkotaan
di Indonesia serupa dengan fenomena yang menjadi latar belakang dari munculnya
wacana geogra hukum kritis. Oleh karena itu, kajian hukum tata ruang di Indonesia
membutuhkan pendekatan yang lebih losos dan kritis. Berbagai pendekatan baru
yang berkembang dalam lsafat hukum, salah satunya adalah studi hukum kritis,
62
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
dapat menjadi metode analisis untuk menganalisis pengaruh ekonomi dan kekuasaan
terhadap tata ruang di Indonesia.
Kata kunci: Geogra Hukum Kritis; Hukum Tata Ruang; Keadilan Spasial; Produksi
Ruang Sosial.
A. Pendahuluan
Tulisan ini akan menelusuri
perkembangan wacana geogra hukum
kritis sebagai sebuah pendekatan dalam
menelaah isu hukum tata ruang dan
relevansinya untuk perkembangan ilmu
hukum di Indonesia. Sampai saat ini,
penelitian tentang hukum tata ruang
di Indonesia masih belum familiar
dengan pendekatan ini dan cenderung
menempatkan entitas pemerintah
sebagai variabel yang menentukan
dalam pemanfaatan ruang. Studi hukum
tata ruang cenderung didominasi oleh
perspektif yang sempit dan legalistik.
Ruang dimaknai secara sempit dan
legalistik dimaknai sebagai wilayah
yurisdiksi.1
Pendekatan dalam meneliti
persoalan ruang telah melahirkan
berbagai pendekatan dengan metode
interdisipliner – disebut sebagai
geogra hukum – yang melihat ruang
sebagai suatu proses dinamis dan selalu
berubah. Geografi hukum kemudian
mengidentikasi bagaimana bekerjanya
hukum dan spasial di tempat dan waktu
tertentu. Geogra hukum menempatkan
tempat dan waktu dalam posisi yang
setara sehingga kajian hukum tidak lagi
terjebak pada aspek wilayah yurisdiksi
1 Mark Blacksell, Charles Watkins, dan Kim
Economides, “Human Geography and Law: A
Case of Separate Development in Social Science”,
Progress in Human Geography, Vol. 10, No. 3,
1986, hlm. 371-396.
(tempat) tetapi juga bagaimana tempat
tersebut berkembang dari waktu ke
waktu.2 Lebih lanjut, kajian ini
menempatkan ruang terkait dengan
isu ketidakadilan sosial yang kemudian
melahirkan konsep keadilan spasial.3
Pendekatan lain melihat hubungan
antara ruang dengan pluralisme hukum.
Schenk, misalnya, mengkaji geografi
hukum di Indonesia dengan melihat
hubungan antara wilayah – yang
memiliki pengaruh hukum Islam atau
hukum adat – dengan perkembangan
pengadilan agama dan politik hukum
Islam.4 Berbagai pendekatan dalam
geogra hukum tersebut bertujuan untuk
menghasilkan pengetahuan holistik
tentang tempat dan fungsi hukum dalam
masyarakat kontemporer (dan historis).5
Saat ini geogra hukum berkembang
lebih lanjut dengan perspektif geogra
hukum kritis (critical legal geography)
yang menempatkan dinamika
2 Luke Bennett dan Antonia Layard, “Legal
Geography: Becoming Spatial Detectives,”
Geography Compass, Vol. 9, No. 7, 2015, hlm.
415.
3 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, “Law’s
Spaal Turn: Geography, Jusce and a Certain
Fear of Space”, Law, Culture and the Humanies,
Vol. 7, No. 2, 2011, hlm. 187-202.
4 Christine G. Schenk, “Islamic Leaders and
the Legal Geography of Family Law in Aceh,
Indonesia”, Geographical Journal, Vol. 184, No.
1, 2018, hlm. 8-18.
5 Reecia Orzeck dan Laam Hae, “Restructuring
Legal Geography”, Progress in Human Geography,
Vol. 44, No. 5, 2020, hlm. 832-851.
63
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
hukum dalam ruang dan waktu yang
tidak lepas dari relasi ekonomi dan
kekuasaan.6 Perkembangan perspektif
ini dipengaruhi oleh perkembangan
studi hukum kritis (critical legal studies)
yang muncul di sekolah-sekolah hukum
di Amerika Serikat selama akhir
1970an yang menawarkan kritik tajam
terhadap legalisme liberal. Ahli geogra
hukum menerapkan wawasan studi
hukum kritis ini untuk menunjukkan
bahwa struktur hukum merupakan
struktur berpengaruh dalam menata
dan memberikan legitimasi terhadap
kebijakan spasial.7 Perkembangan
pendekatan ini mendorong banyak ahli
geogra terlibat dalam gerakan ini dan
mengidentifikasi diri mereka sebagai
ahli geogra sosial, Marxis, atau kritis.
Di sisi lain juga muncul pandangan
bahwa studi geogra hukum kritis ini
berada di bawah payung studi hukum
kritis. Walaupun berbeda dalam melihat
posisinya, tetapi kedua pandangan
tersebut berbagi kepedulian yang sama
terhadap isu ketidaksetaraan sosial,
ekonomi, dan politik serta berusaha
untuk menunjukkan bagaimana lembaga
hukum dan praktiknya memperkuat
hierarki relasi sosial.8
6
Irus Braverman et al., “The Expanding Spaces of
Law: A Timely Legal Geography [Introducon]”,
dalam Braverman, Irus et al. (eds.), 2014,
The Expanding Spaces of Law: A Timely Legal
Geography, Stanford University Press, Stanford,
hlm. 13.
7 Alexandre S Kedar, “On the Legal Geography
of Ethnocrac Seler States: Notes Towards a
Research Agenda” dalam Carolyn Harrison dan
Jane Holder (eds), 2012, Law and Geography,
Oxford University Press, Oxford, hlm. 401-439.
8 Benjamin Forest, “Placing the Law in Geography,”
Historical Geography, Vol. 28, 2000, hlm. 5-12.
Perkembangan geografi hukum
kritis di luar Indonesia kemudian
memunculkan dua permasalahan
yang menjadi kajian dalam tul isan
ini. Pertama adalah terkait dengan
perkembangan wacana geogra hukum
kritis dalam kajian hukum tata ruang
di Indonesia. Kedua adalah relevansi
wacana geogra hukum kritis tersebut
dalam konteks kajian hukum Indonesia
yang cenderung masih terpaku pada
pendekatan doktrinal.
Tulisan ini bertujuan untuk
menjawab kedua pertanyaan tersebut
dalam 3 (tiga) bagian pembahasan.
Bagian pertama artikel ini mengulas awal
perkembangan geografi hukum kritis
sebagai wacana dan penggunaannya
dalam riset-riset kontemporer tentang
hukum tata ruang di negara-negara
lain. Bagian kedua dan ketiga artikel ini
fokus pada pembahasan dua teori dalam
kerangka geografi hukum kritis yang
banyak digunakan untuk mengkritik
persoalan tata ruang. Teori pertama
adalah produksi ruang sosial sebagai
kritik terhadap wacana ruang dalam
dunia akademis yang umumnya dipahami
sebagai kajian teknokrat. Teori kedua
adalah keadilan spasial untuk mengkritik
distribusi sumber daya. Teori ini melihat
pemerataan pola ruang publik-privat
dengan mempertimbangkan dialektika
hubungan sosial dan ruang.
Dua bagian pembahasan tersebut
juga menunjukkan bahwa hanya sedikit
di antara penelitian hukum tata ruang
di Indonesia yang telah menggunakan
pendekatan geografi hukum kritis,
khususnya dengan kerangka analisis
64
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
ruang sosial dan keadilan spasial.
Selain itu, bagian kedua dan ketiga
di pembahasan juga menunjukkan
relevansi pendekatan yang losos dalam
menganalisis persoalan hukum tata ruang
secara kritis dengan mempertimbangkan
faktor ekonomi dan kekuasaan.
B. Pembahasan
1. Awal Perkembangan Geografi
Hukum Kritis
Ilmu sosial dalam beberapa tahun
terakhir memberi perhatian pada analisis
ruang untuk menjelaskan dimensi sosial
dan pengaruh ruang terhadap kehidupan
sosial dan menggunakan analisis ruang
dalam melihat interaksi sosial, ekonomi,
dan kekuasaan.9 Pendekatan ruang
tersebut kemudian juga berkembang
dalam studi hukum dengan pendekatan
interdisipliner untuk menganalisis
peran hukum dalam masalah perkotaan,
khususnya dalam pengaturan tata
ruang. Pendekatan interdisipliner ini
kemudian dikenal sebagai geografi
hukum (legal geography). Istilah ‘geogra
hukum’ sebenarnya sudah muncul pada
tahun 1920-an dalam karya para ahli
hukum Jerman. Merk menggunakan
istilah Rechtsgeographie, sedangkan
Langhans-Ratzeburg menggunakan
istilah Geojurisprudenz.10
Wacana geogra hukum kritis yang
lebih elaboratif awalnya diperkenalkan
oleh Blomley & Bakan. Keduanya
9 Lihat contohnya Ash Amin dan Nigel Thri, 2002,
Cities: Reimagining the Urban., Polity Press,
Cambridge, hlm. 76-77.
10 Bernhard Grossfeld, “Geography and Law,”
Michigan Law Review, Vol. 82, No. 5/6, 1984,
hlm. 1510.
menganalisis interkoneksi antara ruang,
hukum, dan kekuasaan dalam kerangka
hukum dan geografi. Ruang, menurut
Blomley & Bakan, bukanlah sebuah latar
belakang untuk aksi politik dan sosial,
melainkan sebagai produk dari tindakan
tersebut. Peran hukum menjadi sentral
dalam analisis ruang dan juga membantu
mengkonstruksi makna sosial ruang.11
Seperti pendapat Blomley & Bakan,
Chouinard juga memperkenalkan geogra
hukum kritis dengan menempatkan ruang
sebagai jaringan hubungan sosial yang
hidup (berdasarkan kelas, jenis kelamin,
seksualitas, usia dan kemampuan) dalam
proses dialektis yang akhirnya dapat
menempatkan manusia dalam situasi
dan tempat yang memberdayakan atau
sebaliknya: menempati lokasi yang
terpinggirkan. Situasi tersebut muncul
dari konik dalam atau terkati dengan
hukum yang umumnya menunjukkan
bahwa penguasa yang kuat berhasil
merebut kendali atas ruang.12
Sebagai sebuah pendekatan, geogra
hukum kritis sebenarnya tidak hanya
terkait dengan kebijakan tata ruang.
Geografi hukum kritis juga dapat
menjadi pisau analisis dalam kajian
tentang ras, feminisme, atau hak asasi
manusia.13 Perkembangan pendekatan
11 Nicholas K Blomley dan Joel C Bakan, “Spacing
Out: Towards a Critical Geography of Law”,
Osgoode Hall Law Journal, Vol. 30, No. 3, 1992,
hlm. 661.
12 Vera Chouinard, “Geography, Law and Legal
Struggles: Which ways ahead?”, Progress in
Human Geography, Vol. 18, No. 4, 1994, hlm.
415-440.
13 Jean Connolly Carmalt, “Crical Geographies
of Human Rights and the Spaal Dimensions of
Internaonal Law Violaons in Rakhine State,
Myanmar,” Annals of the American Associaon
of Geographers, Vol. 109, No. 6, 2019, hlm. 1831.
65
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
geografi hukum kritis kemudian
menunjukkan bahwa banyak penelitian
telah menggunakan pendekatan ini
untuk mengkritisi kebijakan tata ruang
atau kebijakan sektoral yang berimplikasi
pada isu tata ruang. Penelitian sosio legal
di periode 1980an telah menggunakan
pendekatan geogra hukum kritis untuk
mengkritisi persoalan tata ruang. Stewart
dan Burridge memberikan penjelasan
deskriptif tentang dampak geogras yang
tidak merata dari penerapan strategi
neoliberal oleh pemerintah Inggris
di sektor perumahan. Kebijakan yang
berdasarkan mekanisme pasar dan
pengurangan anggaran negara di sektor
perumahan kemudian mempolarisasi
pengguna perumahan berdasarkan
pendapatan. Penelitian tersebut mengacu
pada teori sosiologi perkotaan dan teori-
teori geogra tentang sifat intrinsik dari
perkembangan spasial yang tidak merata
dalam membentuk hubungan sosial
akibat kebijakan yang kapitalistik.14
Blomley, Flynn, dan Sylvestre
kemudian mengelaborasi pendekatan
geografi hukum kritis dalam melihat
akses terhadap ruang dalam bidang
properti. Hukum properti adalah salah
satu cara penting untuk mengatur akses
terhadap tanah dan penggunaan tanah
untuk tempat tinggal dengan berdasarkan
pada hukum. Hukum kemudian
mengatur hubungan peserta properti,
interaksi mereka, alternatif mereka untuk
bertransaksi, dan makna properti itu
14 Ann Stewart dan Roger Burridge, “Housing Tales
of Law and Space”, Journal of Law and Society,
Vol. 16, No. 1, 1988, hlm. 65.
sendiri.15 Geogra hukum kritis dalam
riset lainnya tentang hukum properti
juga menunjukkan bahwa hukum tata
ruang diperebutkan, diberlakukan,
dan terkait erat dengan hubungan
kekuasaan.16 Analisis persoalan akses
ini juga menjadi fokus dalam penelitian
Totry-Jubran tentang segregasi dan
distribusi tanah yang tidak setara di
Israel. Penelitian tersebut terkait dengan
konteks sejarah, geogras, dan hukum
yang membangun hubungan kekuasaan
antar kelompok dan dianalisis dengan
pendekatan geogra hukum kritis.17
Pendekatan geografi hukum kritis
juga digunakan untuk menganalisis
konik sumber daya alam yang berkaitan
dengan bidang hukum. Studi yang
dilakukan oleh Feng dan Li, misalnya,
menggambarkan pentingnya geografi
hukum kritis dalam studi ekologi politik,
khususnya dalam isu air panas bumi di
Tiongkok. Studi dengan pendekatan
geogra hukum kritis tersebut kemudian
menyarankan untuk memperhatikan
praktik hukum yang kontradiktif dalam
tata kelola dan komodikasi alam.18
15 Nicholas Blomley, Alexandra Flynn, dan Marie
Eve Sylvestre, “Governing the Belongings
of the Precariously Housed: A Critical Legal
Geography”, Annual Review of Law and Social
Science, Vol. 16, 2020, hlm. 165-181.
16 Jessica Place, 2014, Law, Property and Power:
a Crical Legal Geography of Matrimonial Real
Property on Reserve, Disertasi, Simon Fraser
University, hlm. 158-163.
17 Manal Totry-Jubran, “Beyond Walls and Fences:
Exploring the Legal Geography of Gated
Communies in Mixed Spaces,” Journal of Law
and Policy 26, No. 1, 2018, hlm. 123-163.
18 Dan Feng dan Peng Li, “Claiming Geothermal
Water: Crical Legal Geography and the Scalar
Polics of Hot Spring Development in China”,
Geographical Journal, Vol. 185, No. 2, 2019, hlm.
209.
66
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Seperti Feng dan Li, analisis geogra
hukum kritis juga digunakan oleh
Cantor dalam isu sumber daya air di
California, Amerika Serikat. Cantor
membahas persoalan ekosistem non-
equilibrium, ekosistem alami dan buatan,
serta penggunaan air yang boros. Studi
terhadap isu sumber daya air tersebut
menunjukkan bahwa proses dan lembaga
hukum bukan hanya dapat digunakan
untuk melindungi kepentingan publik
dalam sumber daya alam. Narasi tertentu
terkait isu lingkungan juga dapat
diperkuat melalui lembaga-lembaga ini.19
Pendekatan ini juga dikembangkan
oleh Carmalt dalam konteks hak asasi
manusia dengan berlandaskan pada
gagasan bahwa hukum, masyarakat,
geogra, dan ketidakadilan adalah satu
kesatuan yang konstitutif. Carmalt
mengusulkan satu kerangka teoritis
yang mungkin untuk menganalisis
geografi kritis hak asasi manusia –
yang diambil dari pemikiran dalam
geografi kritis, studi sosiolegal, dan
hukum internasional publik – dalam
konteks populasi Rohingya di Myanmar.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa
pendekatan geografi hukum kritis
dapat digunakan dalam menganalisis
hubungan antara hukum, geogra, dan
ketidakadilan.20 Seperti Carmalt, White
juga menunjukkan bahwa perspektif dari
geogra hukum kritis dapat memberikan
wawasan tentang hak asasi manusia,
khususnya terkait hukum suaka dan
imigrasi di Inggris pada akhir 1990-an.
19 Alida Cantor, “The Public Trust Doctrine and
Crical Legal Geographies of Water in California”,
Geoforum, Vol. 72, 2016, hlm. 49.
20 Jean Connolly Carmalt, Op.Cit., hlm. 1829-1844.
Penelitian White menunjukkan bahwa
hukum digunakan oleh komunitas lokal
untuk mendenisikan diri mereka dan
hubungannya dengan tempat tinggal.
Analisis tentang hubungan yang saling
konstitutif antara hukum dan tempat
tinggal menjadi penting karena membantu
dalam memahami kompleksitas geogras
dalam kaitannya dengan akses kelompok
yang terpinggirkan seperti pencari
suaka.21
Berbagai penelitian tersebut
menunjukkan bahwa pendekatan
interdisipliner dalam geografi hukum
kritis dapat menganalisis berbagai isu
yang beririsan dengan aspek hukum –
mulai dari perumahan, segregasi dan
distribusi tanah, akses terhadap keadilan,
sumber daya alam, hingga hak asasi
manusia. Pendekatan interdisipliner
dalam geogra hukum kritis kemudian
memberi peluang penggunaan teori-teori
sosial dalam analisis relasi antara ruang,
hukum dan kekuasaan.
Dua teori dalam kerangka geogra
hukum kritis yang akan ditelaah lebih
lanjut dalam tulisan ini adalah produksi
ruang sosial yang dikemukakan oleh
Henri Lefebvre dan keadilan spasial yang
telah dielaborasi oleh beberapa pemikir
hukum maupun tata ruang. Penjelasan
tentang produksi ruang sosial dalam
bagian selanjutnya akan menunjukkan
relevansinya guna mengkritik kebijakan
tata ruang yang cenderung teknokratis.
Walaupun analisis Lefebvre berangkat
dari konteks Perancis pasca-perang,
21 Allen White, “Geographies of Asylum, Legal
Knowledge and Legal Practices,Political
Geography, Vol. 21, No. 8, 2002, hlm. 1055-1073.
67
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
tetapi juga dapat menjadi kontekstual bagi
persoalan tata ruang Indonesia karena
analisis Lefebvre tentang kompromi
neoliberalisme dan manajerialisme22
yang kemudian berpengaruh pada
persoalan tata ruang merupakan
persoalan universal yang relevan bagi
negara-negara Selatan saat ini. Bagian
berikutnya akan menjelaskan teori
produksi ruang sosial dan bagaimana
teori tersebut telah digunakan dalam
penelitian-penelitian di bidang hukum,
dan sedikit di antaranya telah digunakan
untuk kajian dalam konteks hukum tata
ruang di Indonesia.
2. Konsep Triadik dalam Kerangka
Produksi Ruang Sosial dari Lefebvre
Lefebvre memulai analisis masyarakat
dari manusia sebagai makhluk sosial yang
menghasilkan kehidupan mereka sendiri,
kesadaran mereka sendiri, dunia mereka
sendiri.23 Dalam produksi, manusia
akan memobilisasi elemen spasial,
termasuk sumber daya dan alat secara
rasional dan mengatur urutan tindakan
yang berorientasi pada tujuan tertentu,
yaitu objek yang akan diproduksi.24
Gagasan utama Lefebvre adalah bahwa
manusia tidak hanya menghasilkan
hubungan sosial dan nilai guna, tetapi
juga menghasilkan ruang sosial. Menurut
Lefebvre, setiap makhluk hidup adalah
ruang dan memiliki ruangnya. Ia
22 Maria Ceci Misoczky dan Clarice Misoczky de
Oliveira, “The City and the Urban as Spaces
of Capital and Social Struggle: Notes on Henri
Lefebvre’s Enduring Contribuons”, Revista de
Administracao Publica, Vol. 52, No. 6, 2018, hlm.
1015-1031.
23 Henri Lefebvre, 1991, The Producon of Space,
Blackwell, Oxford, hlm. 68-168.
24 Ibid.
menghasilkan dirinya sendiri dalam
ruang dan juga menghasilkan ruang
itu. Dalam masyarakat, manusia
menghasilkan ruang sosial dan ada
dialektika hubungan sosial dan ruang.25
Ironisnya, wacana ruang dalam dunia
akademis justru diposisikan sebagai
kajian teknokrat. Padahal ruang dalam
realitas juga menjadi hasil dari interaksi
dan pemaknaan masyarakat dalam
konteks sosial. Artinya, perencanaan
ruang kemudian menjadi irisan
dari imajinasi masyarakat terhadap
wilayahnya, praktik mereka dalam
menggunakan ruang, dan juga model/
desain hasil analisis dari para perencana.
Sederhananya, ruang harus didenisikan
sebagai bagian bersama dalam praktik
sosial yang mencerminkan kesetaraan.26
Lefebvre kemudian mengajukan
konsep triadik dalam kerangka produksi
ruang sosial.27 Konsep pertama adalah
praktik spasial (spatial practices), yang
mengacu pada interaksi dan komunikasi
yang muncul dan selanjutnya membentuk
ruang. Praktik spasial adalah produksi
dan reproduksi hubungan spasial antara
objek dan produk. Praktik-praktik ini
menjamin kelangsungan produksi ruang
sosial dan kekompakannya. Praktik
spasial dapat dan memang dipengaruhi
dimensi gender, ras, dan birokrasi-
administratif. Namun praktik spasial
dalam kendali kapitalisme kemudian
terkait dengan sirkulasi kapital,
25 Ibid.
26 Chrisan Fuchs, “Henri Lefebvre’s Theory of the
Producon of Space and the Crical Theory of
Communicaon”, Communicaon Theory, Vol.
29, No. 2, 2019, hlm. 129-150.
27 Henri Lefebvre, Loc.Cit.
68
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
reproduksi tenaga kerja, dan kebutuhan
untuk mengontrol tenaga kerja.28
Dalam konsep praktik spasial, ruang
sosial mencakup keterlibatan setiap
anggota masyarakat yang memiliki
hubungan atau relasi tertentu dengan
kepemilikan ruang tersebut. Dengan
demikian, kohesi sosial atas suatu ruang
ditentukan oleh derajat kompetensi dan
tingkat penggunaan ruang (fisik atau
material).29
Konsep kedua adalah representasi
ruang (representations of space)
yang mengacu pada wacana yang
menggambarkan ruang yang telah
dibentuk dan dapat ditemukan dalam
bentuk peta, gambar, notasi, dan lain-
lain. Representasi ruang terkait dengan
rasionalitas teknokratis sains positivis
dan mewujudkan kecenderungan ke arah
abstraksi, pemodelan matematis, dan
kuantikasi fenomena sosial. Lefebvre
dalam bentuk-bentuk pengetahuan
ini melihat adanya pendekatan
ideologis dominan terhadap ruang
dalam masyarakat yang membawa serta
sekumpulan kode dan tanda intelektual.
Dalam konteks ini, ruang merupakan
produksi yang muncul dari konsepsi
seseorang dan/atau beberapa orang.30
Konsep ketiga adalah ruang
representasional (representational space)
yang mengacu pada dimensi simbolik
ruang yang digunakan oleh orang-orang
yang berinteraksi dalam ruang dan
bersifat ideologis. Ruang representasional
28 David Harvey, 2012, Spaces of Capital: Towards
a Crical Geography, Edinburgh University Press,
Edinburgh, hlm. 237-266.
29 Henri Lefebvre, Op.Cit, hlm. 33.
30 Ibid.
mencakup bagaimana penghuni ruang
atau orang yang menggunakannya
berinteraksi satu sama lain melalui
praktik dan bentuk visualisasi dalam
suatu ruang. Konsepsi ruang ini muncul
berdasarkan berbagai pengalaman
nyata yang dialami setiap orang sebagai
sebab akibat dari hubungan dialektis
antara praktik spasial dan representasi
ruang. Ruang menjadi sesuatu yang
secara khusus dipersepsi oleh individu,
kelompok, atau masyarakat sehingga
menjadi ruang yang dirasakan.31
Triadik konsep produksi ruang
tersebut nantinya akan mewujud dalam
tiga pengalaman (lihat ilustrasinya di
Gambar 1), yaitu: 32
a. pengalaman terhadap ruang yang
ditangkap oleh panca indera
(perceived space) melalui praktik
kehidupan sehari-hari (spatial
practices);
b. pemahaman terhadap ruang yang
dibentuk oleh akal budi manusia
(conceived space) dalam bentuk
ruang yang terkonseptualisasi
(representations of space);
c. pengalaman hidup dalam ruang
(lived space) melalui interaksi
sosial antara penghuni ruang satu
sama lain (representational space).
31 Ibid.
32 Ibid.
69
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
Gambar 1.
Triadik Ruang Lefebvre
33 Virpi Kaisto, “City Twinning from a Grassroots Perspective: Introducing a Spatial Framework
to the Study of Twin Cities,” Journal of Borderlands Studies Vol. 32, No. 4, 2017, hlm. 459-475.
34Jay D. Gatrell dan Jeff Worsham, “Policy spaces: Applying Lefebvrian politics in neo-
institutional spaces”, Space and Polity, Vol. 6, No. 3, 2002, hlm. 327-342.
Sumber: Journal of Borderlands
Studies.33
Masing-masing dari ketiga dimensi
ini beroperasi setiap saat dan menjadi
titik awal untuk deskripsi ruang sosial
Lefebvre. Di sisi lain, dialektika tiga
pengalaman ruang tersebut juga
menunjukkan tegangan khususnya
antara ruang yang dibentuk dan praktik
ruang sehari-hari. Ruang yang dibentuk –
dalam rupa teori atau kebijakan – seperti
tarik menarik dengan ruang dalam
praktik sehari-hari dengan membawa
kepentingannya masing-masing.34
Oleh karena itu, Lefebvre tidak hanya
melihat ruang sosial sebagai objek.
Sebaliknya, dia menggambarkannya
sebagai kelompok hubungan dan
jaringan sosial yang memungkinkan
33 Virpi Kaisto, “City Twinning from a Grassroots
Perspecve: Introducing a Spaal Framework to
the Study of Twin Cies,Journal of Borderlands
Studies Vol. 32, No. 4, 2017, hlm. 459-475.
34 Jay D. Gatrell dan Je Worsham, “Policy spaces:
Applying Lefebvrian polics in neo-instuonal
spaces”, Space and Polity, Vol. 6, No. 3, 2002,
hlm. 327-342.
tindakan sosial. Ruang sosial adalah
bagian dari proses produktif, mekanisme
pemerintahan negara, dan tempat
perjuangan politik. Bagi Lefebvre, ruang
sosial secara bersamaan juga menjadi:35
a. bagian dari alat dan kekuatan
produksi yang secara bertahap
menggantikan dan menggantikan
peran alam;
b. produk yang dikonsumsi sebagai
komoditas dan sebagai sumber
daya produktif;
c. instrumen politik yang
memfasilitasi kontrol sosial;
d. dasar reproduksi hubungan
properti melalui sistem hukum
dan perencanaan yang mengatur
ruang secara hierarkis;
e. susunan superstruktur ideologis
dan simbolik;
f. potensi manusia untuk mengambil
kembali ruang tanding melalui
ekspresi artistik dan perlawanan
sosial.
Menurut Lefebvre, kapitalisme
kemudian didasarkan pada antagonisme
antara ruang yang direncanakan
(conceived space) yang disusun sebagai
ruang abstrak, dan ruang hidup
sehari-hari (lived space). Akibat dari
pertentangan ini adalah pengalaman
hidup yang dihancurkan oleh
kapitalisme.36 Kontradiksi selanjutnya
menjadikan ruang sosial secara simultan
sebagai dasar reproduksi hubungan
kepemilikan properti melalui hukum dan
perencanaan yang menata ruang secara
hierarkis.37
35 Henri Lefebvre, Op.Cit, hlm. 349.
36 Ibid, hlm. 51.
37 Ibid, hlm. 292-351.
70
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Reproduksi ruang abstrak dalam
kapitalisme kemudian menuntut
penggunaan kekuasaan negara dalam
bentuk yang koersif, teknologi tata kelola
pemerintahan dan formalisme hukum.
Proses produksi spasial kemudian
bergantung pada bentuk-bentuk koersif
dari hukum melalui regulasi yang dibuat
oleh negara yang kemudian berperan
dalam memobilisasi ruang sebagai
kekuatan produktif, khususnya selama
periode urbanisasi industri.38
Triadik ruang yang diajukan Lefebvre
tersebut beroperasi secara simultan,
dan memberikan dasar bagi deskripsi
Lefebvre tentang aspek multi-dimensi dari
ruang sosial. Lefebvre mengemukakan
penolakannya terhadap konsepsi absolut
tentang ruang yang menempatkan ruang
sebagai objek belaka atau wadah. Lefebvre
menggambarkan ruang sebagai matriks
sosial yang beroperasi sebagai produk
hubungan sosial dari kapitalisme.39
Di sisi lain, regulasi tata ruang dalam
perspektif Lefebvre cenderung
ditempatkan sebagai manifestasi dari
rasionalitas habitat yang didasarkan pada
fungsionalisme teknologi, formalisme
yang divisualisasikan, dan otoritas pakar.
Ruang, dalam perencanaan, kemudian
menjadi subordinat dari industri dan
digambarkan sebagai roda penggerak
dalam mengatur produksi.40
38 Neil Brenner, The Urban Queson as a Scale
Queson: Reecons on Henri Lefebvre, Urban
Theory and the Polics of Scale”, Internaonal
Journal of Urban and Regional Research, Vol. 24,
No. 2, 2000, hlm. 361-378.
39 Chris Butler, “Critical Legal Studies and the
Polics of Space”, Social and Legal Studies, Vol.
18, No. 3, 2009, hlm. 323.
40 Henri Lefebvre, 1996, Writings on Cities,
Blackwell, Oxford, hlm. 89.
Pada perkembangan pemikirannya,
Lefebvre juga melihat bahwa dialektika
produksi ruang sosial tidak bisa
lepas dari pengaruh neokapitalisme
ketika ruang diperjualbelikan secara
masif. Ruang sosial diproduksi untuk
kepentingan jual beli tersebut. Ruang
menjadi tempat untuk penciptaan,
realisasi, dan distribusi nilai lebih.41 Pada
akhirnya ruang kemudian dikonsumsi
sebagai komoditas.
Untuk menghadapi komodifikasi
ruang tersebut maka Lefebvre
mengajukan konsep hak atas kota. Hak
ini bukanlah hak individual melainkan
hak kolektif untuk merebut kembali kota
sebagai ruang yang diciptakan bersama.
Hak atas kota menekankan pentingnya
merestrukturisasi relasi kuasa dalam
produksi ruang kota.42
Perspektif Lefebvre dalam
menganalisis tata ruang tidak lepas dari
kritik. Analisis Lefebvre dalam melihat
perkembangan ruang dikritik cenderung
Eropasentris sehingga bertendensi
mereduksi sejarah peradaban yang
berbeda dalam pembentukan ruang.43
Pendekatan kritis dari Lefebvre dalam
melihat perkembangan ruang memang
akan berbeda konteksnya jika digunakan
untuk menganalisis perkembangan ruang
dalam kerangka dinamika kapitalisme
dan hukum tata ruang di Indonesia.
41 Henri Lefebvre, 2003, The Urban Revolution,
University of Minnesota Press, Minneapolis, hlm.
159.
42 Mark Purcell, “Excavang Lefebvre: The Right to
the City and Its Urban Polics of the Inhabitant”,
GeoJournal, Vol. 58, No. 2-3, 2002, hlm. 99-108.
43 Chris Butler, 2012, Henri Lefebvre: Spatial
Polics, Everyday Life and the Right to the City,
Henri Lefebvre: Spaal Polics, Everyday Life and
the Right to the City, Routledge, UK, hlm. 46.
71
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
Namun dampak hegemoni kapitalisme
modern saat ini sebenarnya berlangsung
secara global dan dalam konteks spasial
melahirkan pola yang serupa di wilayah
yang berbeda. Konteks lokal bisa saja
mempengaruhi konsep atas ruang yang
dihasilkan dari hegemoni kapitalisme
tersebut tetapi dampak yang serupa
dapat kita temukan, termasuk juga dalam
konteks Indonesia.
Pengaruh kapitalisme modern yang
serupa secara global terhadap ruang
dan dapat dijumpai dalam konteks
Indonesia berupa gentrifikasi, yaitu
masuknya kelas menengah dan kapital
ke dalam area kelas bawah di perkotaan
karena produksi ruang yang timpang
dalam kerangka triadik ruang dari
Lefebvre. Gentrifikasi tersebut dapat
dijumpai dalam bentuk pembersihan
kawasan kumuh untuk kepentingan
kelompok kelas menengah dan kelas atas.
Gentrifikasi akhirnya mengakibatkan
kelas bawah harus tersingkir ke pinggiran
dan berpengaruh pada akses mereka di
berbagai bidang.44
Oleh karena itu, walaupun
dikritik Eropasentris, pendekatan
triadik ruang dari Lefebvre relevan
untuk mengkritik ruang pada masa
kapitalisme lanjut di Indonesia dan dapat
digabungkan dengan pendekatan lain
agar sesuai dengan konteks Indonesia.
Pendekatan produksi ruang sosial
Lefebvre, misalnya, telah digunakan
dalam analisis terhadap tata ruang dan
44 Pinurba Parama Prayudha, “Gentrikasi dan
Akar-Akar Masalah Sosial: Menakar Idenkasi,
Diagnosis, Dan Treatment Proses Gentrikasi
Sebagai Masalah Sosial,Reka Ruang, Vol. 2,
No. 1, 2019, hlm. 27-38.
sosiologi untuk konteks perumahan dan
ruang publik pada beberapa daerah di
Indonesia,45 analisis marjinalitas akibat
dialektika pembangunan perkotaan
di Surabaya,46 dan transformasi ruang
untuk kepentingan investor pariwisata
di Jawa Timur.47 Penelitian sosio-legal
untuk konteks Indonesia masih sangat
minim. Beberapa di antara penelitian
tersebut yang menggunakan perspektif
produksi ruang sosial adalah penelitian
Wardana yang mengkaji produksi ruang
dan kepentingan yang dilayani oleh
kondisi pluralisme hukum di Bali48 dan
penelitian Hexagraha tentang hukum tata
ruang di Indonesia yang menggunakan
pendekatan di atas untuk mengeksplorasi
pluralitas para pelaku produksi ruang
di Indonesia.49 Secara umum, berbagai
45 Beberapa contoh pendekatan Lefebvre dalam
analisis tata ruang dan sosiologi di Indonesia
antara lain: Kamil Alfi Arifin, “Perumahan
Muslim dan Polik Ruang di Yogyakarta”, Jurnal
Pemikiran Sosiologi, Vol. 4, No. 1, 2017, hlm.
42-56; Ghoustanjiwani Adi Putra dan Daim
Triwahyono, “Privasasi Dalam Ruang Publik”,
Pawon: Jurnal Arsitektur, Vol. 3, No. 01, 2019,
hlm. 69-78; Ali Minanto, “Kota, Ruang, dan
Polik Keseharian: Produksi dan Konsumsi Ruang
Bersenang-senang dalam Geliat Yogyakarta”,
Jurnal Komunikasi, Vol. 13, No. 1, 2018, hlm.
41-56.
46 Rully Damayan, “Kampung Kota as Third Space
in an Urban Seng: The Case Study of Surabaya,
Indonesia”, dalam Zaman, Quazi Mahtab dan
Igea Troiani (eds.), 2018, Transdisciplinary
Urbanism and Culture: From Pedagogy to Praxis,
Springer, Cham, hlm. 127-139.
47 Iwan Nurhadi, Lutfi Amiruddin, dan Genta
Mahardika Rozalinna, “Produksi Ruang Dan
Perubahan Pengetahuan Pada Masyarakat
Sekitar Objek Wisata Waterland,” Jurnal Kajian
Ruang Sosial-Budaya, Vol. 3, No. 1, 2019, hlm.
46-64.
48 Agung Wardana, “Alliances and Contestaons in
the Legal Producon of Space: The Case of Bali”,
Asian Journal of Comparave Law, Vol. 9, No. 1,
2014, hlm. 145-171.
49 Shara Anindia Alif Hexagraha, “Trajektori Ko-
Produksi Kota di Indonesia: Telaah Geografi
Kris”, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.
5, No. 1, 2019, hlm. 88.
72
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
ruang harus didenisikan sebagai bagian
bersama dalam praktik sosial yang
mencerminkan kesetaraan.50 Ini juga
menunjukkan bahwa produksi ruang
sosial telah digunakan dalam konteks
pemanfaatan ruang untuk kepentingan
subjek hukum yang hidup dalam konteks
Indonesia walaupun belum masuk dalam
banyak isu tata ruang dalam relasinya
dengan hukum tata ruang.
Di sisi lain, pemikiran Lefebvre
tentang produksi ruang sosial dapat
digunakan dalam menyoroti krisis
ruang di kota besar akibat kebijakan
di tingkat nasional yang berpengaruh
terhadap kerangka hukum nasional
dan lokal. Kebijakan tata ruang yang
kemudian berdampak pada kerangka
hukum nasional dan lokal dalam
penyediaan dan pemanfaatan ruang
kemudian dapat dikritik dalam kerangka
sistem perundang-undangan Indonesia
yang hierarkis dari pusat hingga lokal.
Perumusan agenda (agenda setting) dalam
siklus kebijakan direpresentasikan dalam
keputusan-keputusan politik di parlemen
dan eksekutif dari level undang-undang
di tingkat nasional yang kemudian
diikuti, sebagai bentuk sinkronisasi
regulasi, hingga tingkat lokal dalam
bentuk peraturan daerah.51 Analisis
terhadap perkembangan peraturan
perundang-undangan tersebut dapat
dilakukan dengan kritik menggunakan
50 Chrisan Fuchs, Loc.Cit.
51 Emma Blomkamp, et al., “Understanding
Policymaking in Indonesia: In Search of a Policy
Cycle, https://www.ksi-indonesia.org/en/
news/detail/understanding-policy-making-in-
indonesia-in-search-of-a-policy-cycle, diakses
tanggal 20 Desember 2020.
konsep triadik ruang dari Lefebvre untuk
melihat perubahan terhadap pemaknaan
ruang dalam dialektika produksi ruang
sosial dan menguraikan dampaknya
terhadap komodifikasi ruang karena
dominasi kapital terhadap ruang.
Teori produksi ruang sosial ini
sebenarnya menjadi menarik sebagai
landasan teori dalam konteks kajian
hukum tata ruang di Indonesia. Faktor
pluralisme hukum dan beragamnya
aktor yang terlibat dalam produksi
ruang di perkotaan Indonesia membuat
teori ini membantu untuk memahami
dialektika relasi sosial ekonomi yang
membentuk realitas produksi ruang
maupun perebutan ruang tersebut.
Selain produksi ruang sosial,
wacana geografi hukum kritis juga
mengembangkan pemikiran untuk
memahami pengaruh kapitalisme
terhadap kebijakan spasial dan
dampaknya terhadap ketidakadilan
sosial. Bagian berikutnya dalam tulisan
ini akan memaparkan teori keadilan
spasial yang dapat membantu penstudi
hukum tata ruang dalam memahami
hubungan dan dampak tersebut.
3. Keadilan Spasial
Bagian sebelumnya telah
menunjukkan bagaimana teori produksi
ruang sosial bermanfaat untuk melihat
dialektika relasi sosial ekonomi dan ruang
serta menempatkan ruang sebagai hasil
dari interaksi dan pemaknaan masyarakat
dalam konteks sosial. Perspektif tersebut
dapat dipakai untuk memahami
pengaruh kapitalisme terhadap ruang
dan dampaknya terhadap ketimpangan
73
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
yang terjadi dalam pemanfaatan ruang.
Namun pemahaman tersebut tentunya
akan menghasilkan reeksi lebih lanjut:
bagaimana seharusnya mengorientasikan
hukum tata ruang dalam melihat
dampak ketimpangan? Untuk menjawab
pertanyaan tersebut maka keadilan
spasial menjadi relevan sebagai tujuan
dari hukum tata ruang dalam merespon
ketimpangan. Pemaknaan terhadap
keadilan spasial dapat didekati dari
5 (lima) aspek, yaitu: teoretis atau
konseptual, tata kelola pemerintahan,
kebijakan, mekanisme praktik keadilan
spasial, dan melihat realitas keadilan
spasial.52 Bagian ini akan mengulas
pemaknaan terhadap keadilan spasial
dari aspek teoretis atau konseptual.
Keadilan spasial menawarkan
proposisi tentang distribusi ruang yang
adil dan bernilai khususnya bagi mereka
yang lama terpinggirkan. Seperti studi
hukum kritis, keadilan spasial tidak hanya
berkembang sebagai pemikiran tetapi
juga sebagai gerakan. Teori keadilan
spasial memunculkan kesadaran akan
perjuangan yang mencakup berbagai
bentuk aktivisme dan mendorong para
pemangku kepentingan untuk bersatu
dalam jenis koalisi yang lebih besar dan
lebih beragam.53
Konsep keadilan spasial telah
muncul dalam studi perkotaan melalui
52 Sarah Bisse Sco, “Spaal Jusce: Measuring
Justice Outcomes from Regeneration
Programmes”, dalam Rocco, Roberto dan Daniele
Villa (eds.), 2015, Internaonal Conference: New
Urban Languages: Tales and Images of Spaal
Jusce. TU Del, Del, hlm. 180-185.
53 Edward W. Soja, “The City and Spaal Jusce
(La Ville et La Jusce Spaale),” Jusce Spaale
Spaal Jusce, Vol. 1, 2009, hlm. 56-72.
Alain Reynaud. Tulisan Lefebvre
tentang konsep hak atas kota juga turut
berpengaruh dalam mengembangkan
konsep ini. Gervais-Lambony juga
membuat jurnal yang spesik untuk isu
keadilan spasial dengan nama dwibahasa:
Justice Spatiale/Spatial Justice. G.H.
Pirie pada tahun 1983 juga menuliskan
artikelnya tentang keadilan spasial
untuk menunjukkan berbagai bentuk
ketidakadilan terwujud dalam proses
spasialisasi dan peningkatan kesadaran
akan hubungan dialektis antara keadilan
dan spasial dapat menjadikan ruang
sebagai ajang politik dalam memerangi
ketidakadilan.54 Namun dari berbagai
pemikir berpengaruh, teori keadilan
spasial dalam berbagai literatur banyak
merujuk pada pemikiran ahli geogra
atau perencanaan kota seperti: David
Harvey dan Edward Soja. Sedangkan ahli
hukum yang secara khusus mewacanakan
keadilan spasial adalah Peter Marcuse dan
Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos.
Paragraf-paragraf selanjutnya akan
mengulas keadilan spasial menurut
Soja, Marcuse, dan Philippopoulos-
Mihalopoulos.
David Harvey adalah salah satu
pemikir yang mengembangkan
konsep hak atas kota yang sebelumnya
dicetuskan oleh Lefebvre yang juga
mengembangkannya lebih lanjut dalam
teori keadilan spasial. Menurut Harvey,
persoalan ruang – termasuk di dalamnya
ketidakadilan – adalah persoalan hak
atas kota. Hak ini bukan sekedar hak
untuk mengakses sumber daya yang
54 G. H. Pirie, “On Spaal Jusce.,Environment &
Planning A, Vol. 15, No. 4, 1983, hlm. 465-473.
74
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
ada di dalam ruang perkotaan. Hak atas
kota adalah hak untuk mengubah diri
sendiri (dalam makna kolektif) dengan
mengubah ruang kota, untuk kemudian
melakukan perubahan dalam isu-isu
ketidakadilan spasial.55
Munculnya ketidakadilan spasial
dalam perspektif Harvey tidak dapat
lepas dari surplus kapital dan tenaga
kerja. Surplus kapital dan tenaga kerja
secara alamiah dapat menimbulkan
devaluasi – sesuatu yang tentunya tidak
diinginkan dalam ekosistem kapitalisme.
Oleh karena itu yang harus dilakukan
adalah memindahkan kapital dan
tenaga kerja tersebut ke tempat lain.
Berpindahnya tenaga kerja ke tempat
lain kemudian berkaitan dengan isu
urbanisasi. Bukan hanya tenaga kerja,
kapital juga ikut berpindah ke tempat
lain untuk menghindari devaluasi.
Di sinilah kapitalisme menemukan
konteks ruang yang ketika terjadi secara
berkelanjutan akan melahirkan isu-isu
ketidakadilan spasial seperti segregasi
spasial atau pengambilan ruang untuk
kepentingan bisnis.56
Edward Soja kemudian
mengembangkan teori keadilan
spasialnya dengan mempertimbangkan
aspek distribusi ruang. Keadilan spasial
menurut Soja adalah distribusi yang
adil dan merata dalam sumber daya
ruang yang bernilai sosial dan peluang
untuk menggunakannya. Keadilan
spasial bukan merupakan pengganti
55 David Harvey, 2009, Social Jusce and the City
(Revised Edition), The University of Georgia
Press, Athens and London, hlm. 315-331.
56 David Harvey, “The Right to City,” New Left
Review, No. 53, 2008, hlm. 23–40.
atau alternatif dari keadilan sosial,
ekonomi, atau bentuk keadilan lainnya,
melainkan cara memandang keadilan
dari perspektif spasial yang kritis. Soja
mengembangkan teori ini berdasarkan 3
(tiga) prinsip pemikiran spasial kritis dan
menunjukkan pemikiran tentang ruang
yang berlawanan dengan arus pemikiran
ruang sebagai produk teknokrasi.57
Pertama, prinsip spasialitas ontologis.
Prinsip ini didasarkan pada premis
bahwa kita semua adalah makhluk
spasial sekaligus sosial dan temporal.
Padahal, menurut Soja, sebagian besar
pengetahuan selama beberapa abad
lebih didasarkan pada dinamika dan
dialektika dimensi sosial dan historis dari
perkembangan individu dan masyarakat.
Sementara dimensi spasialitas dalam
perkembangan sosio-historis relatif
terabaikan.58
Prinsip kedua adalah produksi sosial
dari spasial. Artinya, ruang diproduksi
secara sosial dan oleh karena itu
dapat diubah secara sosial. Prinsip
ini tampaknya mendapat pengaruh
yang besar dari teori produksi ruang
sosial Lefebvre. Kapitalisme memiliki
pengaruh yang besar dalam produksi
ruang dan itu dilakukan oleh kapitalisme
agar terus bertumbuh: menempati
ruang dan menghasilkan ruang. Soja,
yang mendapatkan pengaruh yang
besar dari Lefebvre, melihat perjuangan
atas ruang urban antara mereka yang
mencari keuntungan berkelanjutan dan
perjuangan dari yang kurang beruntung.
57 Edward W. Soja, Loc.Cit.
58 Edward W. Soja, 2010, Seeking Spaal Jusce,
University of Minnesota Press, Minneapolis and
London, hlm. 13-20.
75
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
Masing-masing ingin mengambil kendali
lebih besar produksi ruang sosial untuk
memenuhi kebutuhan dasar mereka.59
Ketiga, prinsip dialektika sosio-
spasial yang berarti spasial membentuk
proses sosial dan begitu pula sebaliknya:
proses sosial membentuk spasial.
Dialektika sosio-spasial kemudian dapat
menghasilkan konsekuensi-konsekuensi
yang kontradiktif, termasuk di dalamnya
adalah ketidakadilan spasial. Konsekuensi
berupa ketidakadilan spasial tersebut
dapat diubah melalui tindakan politik.60
Artinya, intervensi negara melalui
hukum tata ruang menjadi penting
untuk mencegah atau membongkar
ketidakadilan spasial.
Ketidakadilan spasial dapat dilihat
sebagai hasil dan proses dari pola
distribusi yang tidak adil. Relatif mudah
untuk menemukan contoh ketidakadilan
spasial secara deskriptif, tetapi jauh
lebih sulit untuk mengidentikasi dan
memahami proses yang menjadi latar
belakang dari distribusi ruang yang tidak
adil. Bentuk umum dari ketidakadilan
spasial adalah diskriminasi lokasi akibat
bias terhadap populasi tertentu dan
variabel-variabel yang berpengaruh
terhadap lokasi geogras mereka: kelas,
ras, dan gender.61
Berbeda dengan Soja yang melihat
keadilan spasial dalam kaitannya
dengan produksi ruang, maka
Marcuse memahami keadilan spasial
dengan melihat kontradiksinya, yaitu
ketidakadilan spasial. Oleh karena
59 Ibid.
60 Ibid.
61 Ibid.
itu Marcuse menawarkan 5 (lima)
proposisi. Pertama, keadilan spasial
dapat dipahami dengan melihat bentuk
ketidakadilan spasial. Ada 2 (dua) bentuk
utama ketidakadilan spasial, yaitu:
pengurungan kelompok tertentu ke ruang
yang terbatas (segregasi, ghetoisasi) dan
alokasi sumber daya ruang secara tidak
merata. Kedua, ketidakadilan spasial
adalah turunan dari ketidakadilan sosial
yang lebih luas. Ketiga, ketidakadilan
sosial selalu memiliki aspek spasial,
dan ketidakadilan sosial tidak dapat
diatasi tanpa memperhatikan aspek
spasial. Keempat, perbaikan tata ruang
diperlukan tetapi tidak cukup untuk
memperbaiki ketidakadilan spasial –
apalagi ketidakadilan sosial. Kelima,
ketidakadilan spasial tergantung pada
perubahan kondisi sosial, politik, dan
ekonomi.62
Isu ketidakadilan spasial menjadi
sorotan Marcuse untuk melihat
pengelompokan spasial yang tak
terelakkan dalam kehidupan perkotaan.
Marcuse membedakan antara
pengelompokan spasial yang diterima
secara sosial dengan pengelompokan
spasial yang tidak diinginkan.
Pengelompokan spasial berupa segregasi
adalah proses ketika sekelompok
penduduk “dipaksa” untuk mengelompok
di sebuah wilayah spasial. Menurut
Marcuse, segregasi berdasarkan status –
yang mencerminkan dan memperkuat
hubungan hierarki kekuasaan, dominasi,
62 Peter Marcuse, “Spaal Jusce: Derivave but
Causal of Social Jusce”, dalam Bret, Bernard
et al. (eds.), 2010, Jusce et Injusces Spaales,
Presses Universitaires de Paris Ouest, Nanterre,
hlm. 1-6.
76
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
dan eksploitasi – tidak dapat diterima
dari sudut pandang kebijakan publik.63
Marcuse mencontohkan Harlem
di New York untuk menunjukkan
ketidakadilan sosial yang memiliki
aspek spasial. Marcuse mencatat bahwa
ghetoisasi spasial orang Afrika-Amerika
terkait dengan proses diskriminasi
yang lebih luas terhadap orang Afrika-
Amerika. Diskriminasi tersebut berawal
dari perbudakan dan bertambah parah
selama berabad-abad karena terjadi
secara sistemik.64
Situasi ini menurut Marcuse
dipengaruhi oleh pengaruh kekuasaan
terhadap perencanaan ruang. Marcuse
dalam konteks ini membedakan antara
terminologi otoritas dan kekuasaan
dan ketidakadilan spasial, menurut
Marcuse, tidak lepas dari dominasi
kekuasaan dalam perencanaan. Otoritas
merupakan kemampuan untuk meminta
orang lain melakukan sesuatu bukan
untuk keuntungan pemegang otoritas
tetapi untuk kepentingan kolektif,
dan diberlakukan oleh aturan yang
disepakati bersama. Otoritas dalam
perencanaan ruang diharapkan untuk
meningkatkan kesehatan, keselamatan
dan kesejahteraan secara umum.
Sementara kekuasaan adalah kemampuan
untuk membuat orang lain melakukan
perintah seseorang, bertentangan
dengan kepentingan mereka sendiri
dan untuk kepentingan pemegang
63 Peter Marcuse, “Enclaves Yes, Ghettos No:
Segregaon and the State”, dalam Varady, David
P. (ed.), 2005, Desegregang The City: Gheos,
Enclaves, and Inequality, State University of New
York Press, Albany, hlm. 15-30.
64 Peter Marcuse, Op.Cit, hlm. 4-6.
kekuasaan. Kekuasaan yang relevan
dengan perencanaan diciptakan secara
sosial dan dihasilkan dari struktur sosial,
ekonomi, dan politik masyarakat tertentu
pada titik tertentu dalam sejarahnya.
Perbedaan krusial antara otoritas dan
kekuasaan dalam perencanaan adalah
bahwa kekuasaan didasarkan pada
ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi
di antara masyarakat, ketimpangan yang
diciptakan secara sosial dan tertanam
secara struktural.65
Dalam situasi tidak adil, tidak hanya
ada yang kalah tetapi juga ada pemenang
yang mendapatkan keuntungan dari
kerugian yang kalah. Oleh karena itu,
langkah-langkah yang menguntungkan
orang miskin akan merugikan orang
kaya dan konsensus bukanlah solusi
untuk masalah ketidakadilan seperti itu
karena situasi menang-menang memang
jarang terjadi. Walaupun kekuasaan
dalam praktik perencanaan sebenarnya
banyak melahirkan ketidakadilan spasial,
tetapi banyak teori perencanaan seolah-
olah menganggap tidak ada hubungan
antara kekuasaan dan ruang.66
Andreas Philippopoulos-
Mihalopoulos, guru besar bidang teori
hukum Universitas Westminster, juga
menyoroti persoalan keadilan spasial
dalam kaitannya dengan perebutan
ruang. Menurut Mihalopoulos, keadilan
spasial muncul dari kenyataan bahwa
hanya satu tubuh yang dapat menempati
65 Peter Marcuse, “From Justice Planning to
Commons Planning”, dalam Marcuse, Peter et al.
(eds.), 2009, Searching for the Just City: Debates
in Urban Theory and Pracce, Routledge, London
& New York, hlm. 94.
66 Ibid.
77
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
ruang tertentu pada waktu tertentu.
Artinya, keadilan spasial terkait dengan
pergulatan antar “tubuh” untuk berada
di ruang tertentu pada waktu tertentu.
“Tubuh” yang dimaksud Mihalopoulos
bukanlah tubuh manusia secara individu
seperti yang dipahami secara umum.
“Tubuh” dalam konteks tersebut
dapat dimaknai sebagai kolektivitas,
sekawanan, atau komunitas.67
Hukum kemudian memungkinkan
pemahaman yang lebih mendalam
tentang kekuatan struktural yang muncul
dalam pergulatan antar “tubuh” di ruang
tertentu. Kajian hukum selama ini
membawa persoalan struktural tentang
kekerasan, penindasan sosial, hingga
rasisme dan kajian kritis terhadapnya
telah mempertanyakan netralitas hukum
dalam persoalan-persoalan tersebut.
Ketika dibawa ke dalam persoalan
tata ruang – dan hukum tidak bisa
lepas dalam melegitimasi kebijakan
tata ruang – maka pertanyaan tentang
netralitas hukum juga dipersoalkan
dalam keterhubungan “tubuh” dalam
ruang.68
Terkait dengan keterhubungan
“tubuh” dalam ruang, Mihalopoulos
menggunakan istilah lawscape, yaitu
hubungan timbal balik antara hukum
dan ruang kota. Hukum kemudian
berperan untuk mencapai keadilan
spasial. Hukum mengatur jalan menuju
keadilan dan juga menarik keadilan ke
67 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, 2014,
Spaal Jusce: Body, Lawscape, Atmosphere,
Routledge, London & New York, hlm. 45-46.
68 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, “And For
Law: Why Space Cannot be Understood without
Law”, Law, Culture and the Humanies, Vol.1,
No. 20, 2018, hlm. 1-20.
hadapan hukum. Oleh karena itu, hukum
adalah prasyarat yang diperlukan untuk
keadilan spasial. Keadilan spasial dapat
terwujud bergantung pada bagaimana
hukum merespon kekerasan ruang yang
dipenuhi dengan “tubuh” yang kuat
dan persaingan tidak seimbang untuk
mendapatkan penempatan ruang yang
sama, sumber daya yang sama, hak
istimewa yang sama, dunia waktu yang
sama.69
Walaupun berbagai penstudi hukum
telah menjabarkan isu keadilan spasial
sebagai variabel penting dalam kajian
hukum tata ruang, tetapi belum banyak
penelitian dalam konteks Indonesia
yang mengkritisi persoalan krisis ruang
dengan teori keadilan spasial seperti yang
disoroti Soja, Marcuse, dan Mihalopoulos.
Hanya sedikit dari beberapa penelitian
hukum tata ruang di Indonesia yang
menggunakan teori tersebut dan salah
satunya dapat dilihat dalam penelitian
Hexagraha dan Setyorini tentang hukum
tata ruang. Keduanya menggunakan
perspektif keadilan spasial dalam konteks
Jakarta untuk menganalisis partisipasi
masyarakat dalam pembuatan kebijakan
tata ruang, khususnya bagi kelompok
marjinal, dalam program normalisasi
Kali Ciliwung.70 Di luar penelitian
hukum, penelitian oleh Padawangi juga
menunjukkan perspektif keadilan spasial
untuk menunjukkan bahwa marjinalisasi
69 Andreas Philippopoulos-Mihalopoulos, Op.Cit,
hlm. 65-79.
70 Shara Anindia Alif Hexagraha dan Savitri Nur
Setyorini, Tinjauan Terhadap Konsep Keadilan
Spasial dan Partisipasi Masyarakat dalam
Perencanaan dan Pengendalian Pemanfaatan
Ruang pada Program Normalisasi Ciliwung
di Provinsi DKI Jakarta”, Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 49, No. 2, 2019, hlm. 349.
78
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
masyarakat miskin perkotaan ke
daerah rawan banjir mencerminkan
ketidakadilan spasial yang menghasilkan
dampak berbeda pada kelompok sosial
yang berbeda.71
Berbagai pemikiran tentang keadilan
spasial tersebut menunjukkan bahwa
kebijakan spasial dengan dominasi
teknokrasi dapat berimplikasi pada
lahirnya ketidakadilan sosial. Selain
penelitian-penelitian tersebut,
pendekatan geografi hukum kritis
dapat menelaah penataan ruang di
Indonesia, terutama di kota-kota besar,
dengan perspektif yang sebelumnya
belum pernah menonjol dalam kajian
hukum. Misalnya kesenjangan yang
sangat terlihat antara perumahan atau
apartemen mewah, yang hanya mungkin
terjangkau oleh kelas elit, bertetangga
dengan wilayah perkampungan kumuh
dengan fasilitas sanitasi yang buruk.
Diskriminasi berdasarkan aspek spasial
misalnya juga dapat dilihat dalam label
yang diberikan terhadap penduduk
wilayah tertentu dalam kejahatan jalanan.
Misalnya ketika Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Yasonna Laoly, menyebut
Tanjung Priok banyak melahirkan tindak
kriminal karena tingkat perekonomian
masyarakatnya yang miskin.72
71 Rita Padawangi, 2011, “The Right to Flood-Free
Homes: Urban Floods, Spaal Jusce and Social
Movements in Jakarta, Indonesia”, The 5th
Internaonal Conference of the Internaonal
Forum on Urbanism (IFoU), Naonal University
of Singapore, Singapore, hlm. 1-18.
72
Pernyataan tersebut kemudian mendapat protes
keras dari warga Priok. Lihat Ardito Ramadhan,
“Diprotes Warga Tanjung Priok, Menkumham
Yasonna Laoly Minta Maaf,”, hps://nasional.
kompas.com/read/2020/01/22/18582821/
diprotes-warga-tanjung-priok-menkumham-
yasonna-laoly-minta-maaf?page=all, diakses
tanggal 20 Desember 2020.
Contoh persoalan lain yang dapat
menjadi objek analisis geogra hukum
kritis adalah kebijakan penataan ruang
yang mendorong pengembangan
perumahan di kawasan suburban.
Studi geografi menunjukkan bahwa
munculnya perumahan modern di
kawasan suburban telah melahirkan
ketimpangan antara kawasan perumahan
modern dengan perumahan tradisional
atau kampung.73 Analisis terhadap
situasi ini dengan pendekatan geogra
hukum kritis sebenarnya dapat
menunjukkan perebutan ruang dan
persaingan yang tidak seimbang di
dalamnya serta kebijakan tata ruang yang
menjadi dasarnya. Analisis yang lebih
komprehensif juga dapat menunjukkan
implikasi dari situasi tersebut terhadap
sektor lain, misalnya transportasi publik
dan lingkungan, dan bagaimana hukum
dalam relasinya dengan ekonomi dan
kekuasaan mempengaruhi implikasi
tersebut. Munculnya perumahan
modern di kawasan suburban juga dapat
mendorong tingginya mobilitas ke pusat
perdagangan dan jasa di perkotaan yang
dalam konteks Indonesia umumnya tidak
terlayani dengan transportasi publik yang
baik. Dampak lanjutannya adalah kualitas
lingkungan yang memburuk karena
kebutuhan penggunaan kendaraan
pribadi yang makin meningkat.
Berbagai kemungkinan telaah
geografi hukum kritis untuk isu-isu
tata ruang tersebut kemudian dapat
terhubung dengan kebijakan penataan
73 Pitri Yandri, “Residential Area and Income
Inequality in Suburban Indonesia,” Indonesian
Journal of Geography Vol. 45, No. 1, 2014, hlm.
69-77.
79
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
ruang di Indonesia, khususnya ketika
dikaitkan dengan ketidakadilan sosial.
Ini dapat mendorong riset-riset kritis
terhadap kebijakan publik untuk lebih
memahami ketidakadilan sosial di
Indonesia sebagai dampak dari
kebijakan penataan ruang. Munculnya
ketidakadilan sosial tidak lagi dipahami
karena implementasi kebijakan penataan
ruang yang serampangan, tetapi juga bisa
lahir justru karena substansi kebijakan
penataan ruang tersebut menguntungkan
satu kelompok dan meminggirkan
kelompok yang lain. Analisis seperti ini
membutuhkan pendekatan yang losos,
kritis, dan interdisipliner.
Untuk konteks Indonesia, persoalan
ketidakadilan sosial sebagai dampak dari
kebijakan spasial sebenarnya menjadi
krusial jika merujuk pada Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang (UU No. 26 Tahun 2007).
Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 lebih
menonjolkan tujuan penataan ruang
untuk menyeimbangkan kepentingan
lingkungan alam dan lingkungan buatan
dalam kaitannya dengan produktivitas
yang berkelanjutan. Sementara terma
aman” dan “nyaman” yang diharapkan
dalam penataan ruang adalah situasi
aktivitas kehidupan yang terlindungi dari
berbagai ancaman serta adanya artikulasi
nilai sosial budaya dan fungsinya dalam
suasana yang tenang dan damai.
Ini menunjukkan bahwa paradigma
harmoni lebih menonjol dalam hukum
tata ruang dan cenderung mengabaikan
realitas konik yang niscaya lahir dari
kebijakan tata ruang. Sebagai contoh,
realitas konflik tentang ruang di
perkotaan seperti pembebasan lahan
untuk normalisasi Kali Ciliwung
banyak disorot dalam perspektif media
sebagai persoalan ketidakpatuhan dan
pelanggaran hukum oleh masyarakat
dalam bentuk okupansi lahan milik
pemerintah. Padahal penelitian
Hexagraha dan Setyorini menunjukkan
pentingnya partisipasi masyarakat
dalam pembuatan kebijakan tata ruang.
Perspektif berbeda tersebut menunjukkan
bahwa persoalan permukiman kumuh
tidak hanya dilihat dari sisi pelanggaran
hukum, tetapi bahwa tidak semua subjek
dilibatkan dalam merumuskan kebijakan
tata ruang yang kemudian berdampak
pada konik lebih lanjut.
C. Penutup
Bagian pembahasan dalam tulisan
ini telah menunjukkan bahwa geogra
hukum kritis sebagai sebuah pendekatan
dalam kajian hukum tata ruang telah
banyak digunakan untuk mengkritisi
persoalan hukum tata ruang di banyak
negara. Berbagai penelitian tersebut
juga menunjukkan bahwa isu hukum
tata ruang perlu dilihat dengan metode
interdisipliner dan perspektif yang kritis.
Oleh karena itu hukum tata ruang bukan
hanya persoalan hukum dan planologi,
tetapi juga ada kepentingan sosial,
budaya, dan ekonomi yang tarik menarik
untuk saling mempengaruhi.
Penjelasan tentang produksi
ruang sosial dan keadilan spasial juga
menunjukkan bahwa fenomena yang
menjadi latar belakang dari kritik di
balik kedua teori tersebut sangat dekat
dengan realitas di Indonesia. Persoalan
80
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
komodifikasi ruang, segregasi spasial,
dan dominasi ruang oleh pemodal telah
menjadi isu perkotaan di Indonesia
yang dalam beberapa tahun mendatang
berpotensi melahirkan krisis ruang
dan mungkin pula melahirkan konik.
Namun belum banyak penelitian hukum
tata ruang yang mengkritik persoalan-
persoalan tersebut, dan secara spesik
melihatnya dari perspektif geografi
hukum kritis. Persoalan-persoalan
tersebut kalaupun dikaji dalam konteks
hukum tata ruang sebatas melihatnya
pada persoalan pelanggaran hukum oleh
subjek hukum. Kajian-kajian tersebut
tidak melihatnya secara mendalam dan
kritis bahwa ada relasi ekonomi dan
kekuasaan yang secara sistemik kemudian
membentuk hukum sedemikian rupa
untuk menguntungkan kepentingan
tertentu.
Daar Pustaka
Buku
Amin, Ash dan Nigel ri, 2002, Cities:
Reimagining the Urban., Polity Press,
Cambridge.
Braverman, Irus, et al., “e Expanding
Spaces of Law: A Timely Legal
Geography [Introduction]”, dalam
Braverman, Irus et al. (eds.), 2014,
The Expanding Spaces of Law: A
Timely Legal Geography, Stanford
University Press, Stanford.
Butler, Chris, 2012, Henri Lefebvre:
Spatial Politics, Everyday Life and
the Right to the City, Routledge, UK.
Harvey, David, 2009, Social Justice
and the City (Revised Edition), e
University of Georgia Press, Athens
dan London.
, 2012, Spaces of Capital:
Towards a Critical Geography,
Edinburgh University Press,
Edinburgh.
Kedar, Alexandre S, “On the Legal
Geography of Ethnocratic Settler
States: Notes Towards a Research
Agenda” dalam Carolyn Harrison
dan Jane Holder (eds), 2012, Law
and Geography, Oxford University
Press, Oxford.
Lefebvre, Henri, 1991, e Production of
Space, Blackwell, Oxford.
, 1996, Writings on Cities,
Blackwell, Oxford.
, 2003, e Urban Revolution,
University of Minnesota Press,
Minneapolis.
Marcuse, Peter, “Enclaves Yes, Ghettos
No: Segregation and the State,
dalam Varady, David P. (ed.), 2005,
Desegregating The City: Ghettos,
Enclaves, and Inequality, State
University of New York Press,
Albany.
, “From Justice Planning
to Commons Planning, dalam
Marcuse, Peter et al. (eds.), 2009,
Searching for the Just City: Debates
in Urban Theory and Practice,
Routledge, London & New York.
, “Spatial Justice: Derivative
but Causal of Social Justice, dalam
Bret, Bernard et al. (eds.), 2010,
Justice et Injustices Spatiales, Presses
Universitaires de Paris Ouest,
Nanterre.
81
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
Philippopoulos-Mihalopoulos, Andreas,
2014, Spatial Justice: Body, Lawscape,
Atmosphere, Routledge, London &
New York.
Soja, Edward W, 2010, Seeking Spatial
Justice, University of Minnesota
Press, Minneapolis and London.
Jurnal
Arin, Kamil Al, “Perumahan Muslim
dan Politik Ruang di Yogyakarta,
Jurnal Pemikiran Sosiologi, Vol. 4,
No. 1, 2017.
Bennett, Luke dan Antonia Layard,
“Legal Geography: Becoming Spatial
Detectives, Geography Compass,
Vol. 9, No. 7, 2015.
Blacksell, Mark, Charles Watkins,
dan Kim Economides, “Human
Geography and Law: A Case of
Separate Development in Social
Science”, Progress in Human
Geography, Vol. 10, No. 3, 1986.
Blomley, Nicholas K dan Joel C Bakan,
“Spacing Out: Towards a Critical
Geography of Law”, Osgoode Hall
Law Journal, Vol. 30, No. 3, 1992.
, Alexandra Flynn, dan
Marie Eve Sylvestre, “Governing
the Belongings of the Precariously
Housed: A Critical Legal Geography”,
Annual Review of Law and Social
Science, Vol. 16, 2020.
Brenner, Neil, “e Urban Question as
a Scale Question: Reflections on
Henri Lefebvre, Urban eory and
the Politics of Scale, International
Journal of Urban and Regional
Research, Vol. 24, No. 2, 2000.
Butler, Chris, “Critical Legal Studies and
the Politics of Space”, Social and
Legal Studies, Vol. 18, No. 3, 2009.
Cantor, Alida, “e Public Trust Doctrine
and Critical Legal Geographies of
Water in California, Geoforum, Vol .
72, 2016.
Carmalt, Jean Connolly, “Critical
Geographies of Human Rights
and the Spatial Dimensions of
International Law Violations in
Rakhine State, Myanmar,Annals
of the American Association of
Geographers, Vol. 109, No. 6, 2019.
Chouinard, Vera, “Geography, Law and
Legal Struggles: Which ways ahead?”,
Progress in Human Geography, Vol.
18, No. 4, 1994.
Feng, Dan dan Peng Li, “Claiming
Geothermal Water: Critical Legal
Geography and the Scalar Politics of
Hot Spring Development in China,
Geographical Journal, Vol. 185, No.
2, 2019.
Forest, Benjamin, “Placing the Law in
Geography,Historical Geography,
Vol. 28, 2000.
Fuchs, Christian, “Henri Lefebvres
Theory of the Production of
Space and the Critical Theory of
Communication, Communication
eory, Vol. 29, No. 2, 2019.
Gatrell, Jay D. dan Je Worsham, “Policy
Spaces: Applying Lefebvrian politics
in neo-institutional spaces, Space
and Polity, Vol. 6, No. 3, 2002.
Grossfeld, Bernhard, “Geography and
L a w,” Michigan Law Review, Vol. 82,
No. 5/6, 1984.
82
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Harvey, David, “e Right to City,New
Le Review, No. 53, 2008.
Hexagraha, Shafira Anindia Alif,
“Trajektori Ko-Produksi Kota di
Indonesia: Telaah Geogra Kritis”,
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia,
Vol. 5, No. 1, 2019.
Hexagraha, Shafira Anindia Alif dan
Savitri Nur Setyorini, “Tinjauan
Terhadap Konsep Keadilan Spasial
dan Partisipasi Masyarakat dalam
Perencanaan dan Pengendalian
Pemanfaatan Ruang pada Program
Normalisasi Ciliwung di Provinsi
DKI Jakarta. Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 49, No. 2, 2019.
Kaisto, Virpi. “City Twinning from a
Grassroots Perspective: Introducing
a Spatial Framework to the Study of
Twin Cities”. Journal of Borderlands
Studies, Vol. 32, No. 4, 2017.
Minanto, Ali, “Kota, Ruang, dan
Politik Keseharian: Produksi dan
Konsumsi Ruang Bersenang-senang
dalam Geliat Yogyakarta, Jurnal
Komunikasi, Vol. 13, No. 1, 2018.
Misoczky, Maria Ceci dan Clarice
Misoczky de Oliveira, “The City
and the Urban as Spaces of Capital
and Social Struggle: Notes on Henri
Lefebvre’s Enduring Contributions,
Revista de Administracao Publica,
Vol. 52, No. 6, 2018.
Nurhadi, Iwan, Lutfi Amiruddin, dan
Genta Mahardika Rozalinna,
“Produksi Ruang Dan Perubahan
Pengetahuan Pada Masyarakat
Sekitar Objek Wisata Waterland,
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya,
Vol. 3, No. 1, 2019.
Orzeck, Reecia dan Laam Hae,
“Restructuring Legal Geography”,
Progress in Human Geography, Vol.
44, No. 5, 2020.
Philippopoulos-Mihalopoulos, Andreas,
“Law’s Spatial Turn: Geography,
Justice and a Certain Fear of Space,
Law, Culture and the Humanities,
Vol. 7, No. 2, 2011.
, “And For Law: Why Space
Cannot be Understood without Law”,
Law, Culture and the Humanities,
Vol.1, No. 20, 2018.
Pirie, G. H., “On Spatial Justice.,
Environment & Planning A, Vol. 15,
No. 4, 1983.
Pratiyudha, Pinurba Parama, “Gentrikasi
dan Akar-Akar Masalah Sosial:
Menakar Identifikasi, Diagnosis,
dan Treatment Proses Gentrikasi
Sebagai Masalah Sosial,Reka
Ruang, Vol. 2, No. 1, 2019.
Purcell, Mark Purcell, “Excavating
Lefebvre: e Right to the City and
Its Urban Politics of the Inhabitant”,
GeoJournal, Vol. 58, 2002.
Putra, Ghoustanjiwani Adi dan Daim
Triwahyono, “Privatisasi Dalam
Ruang Publik, Pawon: Jurnal
Arsitektur, Vol. 3, No. 01, 2019.
Schenk, Christine G., “Islamic Leaders
and the Legal Geography of
Family Law in Aceh, Indonesia,
Geographical Journal, Vol. 184, No.
1, 2018.
Soja, Edward W., “e City and Spatial
Justice (La Ville et La Justice
Spatiale), Justice Spatiale Spatial
Justice, Vol. 1, 2009.
83
Volume 37, Nomor 1
Juni 2021
Victor Imanuel W. Nalle
PENDEKATAN GEOGRAFI HUKUM...
Stewart, Ann dan Roger Burridge,
“Housing Tales of Law and Space”,
Journal of Law and Society, Vol. 16,
No. 1, 1988.
Totry-Jubran, Manal, “Beyond Walls
and Fences: Exploring the Legal
Geography of Gated Communities
in Mixed Spaces,Journal of Law and
Policy Vol. 26, No. 1, 2018.
Wardana, Agung, “Alliances and
Contestations in the Legal
Production of Space: The Case of
Bali”, Asian Journal of Comparative
Law, Vol. 9, No. 1, 2014.
White, Allen, “Geographies of Asylum,
Legal Knowledge and Legal
Practices,Political Geography, Vol.
21, No. 8, 2002.
Yandri, Pitri, “Residential Area and
Income Inequality in Suburban
Indonesia, Indonesian Journal of
Geography, Vol. 45, No. 1, 2014.
Hasil Penelitian/ Makalah/ Disertasi
Padawangi, Rita, 2011, “The Right to
Flood-Free Homes: Urban Floods,
Spatial Justice and Social Movements
in Jakarta, Indonesia, The 5th
International Conference of the
International Forum on Urbanism
(IFoU), National University of
Singapore, Singapore.
Place, Jessica, 2014, Law, Property and
Power: a Critical Legal Geography
of Matrimonial Real Property on
Reserve, Disertasi, Simon Fraser
University.
Scott, Sarah Bissett, “Spatial Justice:
Measuring Justice Outcomes
from Regeneration Programmes,
dalam Rocco, Roberto dan Daniele
Villa (eds.), 2015, International
Conference: New Urban Languages:
Tales and Images of Spatial Justice.
TU Del, Del
Internet
Blomkamp, Emma, et al., “Understanding
Policymaking in Indonesia: In Search
of a Policy Cycle,” https://www.
ksi-indonesia.org/en/news/detail/
understanding-policy-making-in-
indonesia-in-search-of-a-policy-
cycle, diakses tanggal 20 Desember
2020.
Ramadhan, Ardito, “Diprotes Warga
Tanjung Priok, Menkumham
Yasonna Laoly Minta Maaf,,
https://nasional.kompas.com/
read/2020/01/22/18582821/
diprotes-warga-tanjung-priok-
menkumham-yasonna-laoly-minta-
maaf?page=all, diakses tanggal 20
Desember 2020.
... We performed data analysis using the Legal Geography (LG) framework, which integrates legal, geographical, sociological, and environmental perspectives to explore the complexities of law and space [14][15] [16]. The LG framework enables the study to examine how legal structures and policies shape and legitimize spatial practices and relationships [11]. ...
Chapter
Full-text available
Following Jakarta’s transition from the capital to a special region, it confronts numerous challenges affecting the Greater Jakarta region. Despite a mandated 30% allocation for green open space, Jakarta’s current provision only reaches 7.56%, according to the 2022 Detailed Spatial Planning Plan. With its new special region status, Jakarta can potentially address this shortfall through collaborative joint claims with surrounding regions. Policy guidelines (Minister of Public Works Number 05/Prt/M/2008) and new law No. 2 of 2024 facilitate such claims, encouraging cooperative preservation and sustainable protection of green spaces. This study, employing the Critical Legal Geography framework, scrutinizes the regulatory framework for Jakarta’s post-capital identity and its efficacy in implementing joint claims for green spaces. This research employed a multifaceted methodology, including literature reviews, webinar and podcast observations, and focus group discussions. Insights from these sources highlight the importance of collaboration among central government, local governments, and stakeholders to maintain ecological equilibrium, safeguard the environment, and foster sustainable development. This collaboration is critical for preserving and establishing green spaces in the Jabodetabekjur region, as well as developing the Green Belt. Implementing joint claims among neighboring cities can satisfy Jakarta’s needs while strengthening the metropolitan green belt and the governance of the Greater Jakarta Region. However, regulatory frameworks alone are insufficient; a shared commitment and understanding are essential to ensuring the sustainability of Greater Jakarta
... Tahapan analisis data secara garis besar adalah 1) Melakukan Analisis Penggunaan Lahan guna melihat potensi bangkita/tarikan lalu lintas 2) Melakukan Analisis Kinerja Jalan. Secara ringkas analisis data berdasarakan tujuan, jenis, sumber data dari penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 1. (Baja, 2012;Nalle, 2021). Pada dasarnya, tata guna ruang bisa terbentuk tanpa campur tangan manusia, terjadi secara alami melalui interaksi antara unsur-unsur alam yang membentuk ekosistem (Husain, 2019;Sitorus, 2019). ...
Article
Full-text available
Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar potensi kemacetan yang terjadi di Kota Administrasi Jakarta Pusat dengan melihat potensi pembangkitan/daya tarik lalu lintas yang dihasilkan dari penggunaan lahan yang ada dan performa lalu lintas yang terjadi di jalan- jalan di wilayah penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peta administrasi kota Jakarta Pusat, peta pola ruang kota administrasi Jakarta Pusat, serta data lalu lintas jalan-jalan di wilayah penelitian. Tujuan penelitian ini adalah 1) Menganalisis Penggunaan Lahan di Kota Administratif Jakarta Pusat; 2) Menganalisis Potensi Daerah Kemacetan Tinggi Berdasarkan Kinerja Jalan dan Tingkat Pelayanan di Kota Administrasi Jakarta Pusat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 50% ketidaksejajaran lahan terjadi di wilayah penelitian dan menghasilkan daya tarik lalu lintas sebesar 236.513 pcu/jam. Kemudian, berdasarkan kondisi lapangan yang ada dilihat dari beberapa jalan di wilayah studi, kinerja lalu lintas di jalan-jalan di wilayah studi memiliki Tingkat Pelayanan Jalan. /Level of Service (LOS) pada rata-rata jalan D dan E, ini berarti tingkat kemacetan lalu lintas di jalan-jalan di wilayah studi sangat tinggi baik pada jam sibuk maupun non-jam sibuk.
Chapter
Full-text available
Konflik atas ruang maritim merupakan satu isu kritis dalam pembangunan saat ini. Tipe dan frekuensi konflik sangat mungkin meningkat di masa depan bersamaan dengan ekspansi aktivitas ekonomi dari daratan ke zona maritim. Salah satu tipe konflik atas ruang maritim dipicu oleh kompetisi atas wilayah pesisir. Paper ini berupaya menjawab pertanyaan bagaimana demokratisasi formulasi tata kelola ruang pesisir dapat mengurangi konflik di masa depan? Jawaban atas pertanyaan ini dikembangkan dengan menggunakan gagasan Lefebvre tentang produksi ruang dan konsep soft space. Argumen yang dibangun adalah bahwa konflik atas ruang pesisir terjadi karena representasi ruang yang diproduksi oleh tata ruang, sering berbenturan dengan spatial practice ruang aktual lokal yang menyejarah dan lived space, yakni ruang dihayati oleh komunitas-komunitas dimana pemetaan dan zonasi dilakukan. Praktik spasial lokal sudah ada jauh sebelum ada conceived space yang dibentuk oleh tata ruang yang diproduksi negara. Agar ruang tak menjadi raung (baca: konflik), proses produksi ruang demi kepentingan ekonomi harus dinegosiasikan secara demokratis. Penggunaan pendekatan soft space berbasis lived space memungkinkan produksi ruang pesisir yang tidak dihegemoni. Dengan cara ini, konflik atas ruang pesisir di masa depan bisa diredam. Kata Kunci: Ruang Pesisir, Representasi Ruang, Praktik Spasial, Soft Space
Article
Full-text available
Land is not only defined as an object of ownership by certain community groups, especially indigenous communities. Land has intrinsic value inherent in the way of life and culture, thus affecting the quality of life. This article examines the potential implications of the land acquisiton process in the prospected Nusantara Capital in regards to the fulfillment of the right to an adequate standard of living. It is reviewed by engaging multi- spatial justice within the context of city development and urban transformation with learning lessons from Brasilia and Jakarta. Utilizing a qualitative socio-legal approach, the research employs systematic and structural interpretation of various legal instruments. It incorporates the concept of multi-spatial justice as part of a critical legal geography and urban sociology theory to understand the potential of segregation and gentrification in the Nusantara Capital. The results highlight three key aspects. Firstly, the concept of multi-spatial justice underscores the need to consider diverse spatial entities and their equitable treatment. Secondly, analyzing the State Capital Law reveals both promising and concerning aspects of spatial justice. While it aims to balance development and inclusivity, inconsistencies within the law's provisions raise concerns about potential injustices. Lastly, the study anticipates future inequities between local and urban spatials due to unequal land compensation. These findings emphasize the importance of addressing procedural and substantive fairness in land acquisition, fostering inclusive urban development, and aligning legal instruments with principles of multi-spatial justice.
Article
Full-text available
This article discusses the anomaly of democratic political configuration relation that produces conservative zakat law product in Law Number 23 Year 2011 on Zakat Management. Zakat law has experienced the positivation of Islamic law through what is called the legislative process in the House of Representatives. Through its stipulation, it actually led to rejection from Muslim civil society groups. This rejection is an indication that the law is not responsive to civil society. This research is normative juridical with a political approach to law that places legislation as a political product. Edward W. Soja’s spatial justice theory is used to analyze this issue. The findings of this research are, first, the anomaly of political configuration relations towards zakat law products occurs because of the still entrenched character of executive dominance in making zakat law in the DPR. Second, to produce a responsive law, it must provide space for spatial justice through the participation of Islamic civil society in making zakat law.
Article
Environmental protection regulated in the law on Environmental Protection and Management is a problem related to the overlap between regulations that occur as a public policy and other factors in the field, causing many environmental problems. This article aims to examine environmental protection in positive law in Indonesia in critical legal studies. This critical legal study is then revealed through a hermeneutic approach and a public policy approach, where this study will see which parts cause ineffective enforcement of environmental protection in Indonesia. The study of this article uses a normative juridical research method and is examined with a statutory approach through Indonesian positive law and a conceptual approach. The results of this study explain the problem of overlapping regulatory policies with the facts in the field, making policies in the law regarding environmental protection need to be revised so that implementation in the field with regulations is balanced. Abstrak Perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi persoalan terkait tumpang tindihnya antara regulasi sebagai kebijakan publik dengan faktor lain yang terjadi dilapangan, sehingga menyebabkan banyak persoalan lingkungan hidup. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlindungan lingkungan hidup dalam hukum positif di Indonesia dalam kajian hukum kritis. Kajian hukum kritis ini kemudian diungkapkan melalui pendekatan hermenutika dan pendekatan kebijakan publik, dimana kajian ini akan melihat bagian mana yang menyebabkan tidak efektifnya penegakan dalam perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Pengkajian penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif serta dikaji dengan pendekatan perundang-undangan melalui hukum positif Indonesia dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menjelaskan adanya persoalan tumpang tindih kebijakan regulasi dengan fakta dilapangan membuat kebijakan didalam undang-undang mengenai perlindungan lingkungan hidup ini perlu direvisi agar pelaksanaan dilapangan dengan regulasinya seimbang.
Article
Full-text available
Perumusan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy making) menjanjikan kebijakan publik yang lebih andal dengan landasan empiris dan ilmu pengetahuan yang kuat. Namun begitu, sebagai suatu proses politik, perumusan kebijakan publik berbasis bukti tidak akan lepas dari pengaruh kekuasaan yang melingkupinya. Demikian pula halnya yang terjadi dalam produksi kota di Indonesia, terus terbentuk melalui berbagai produksi ruang yang diantaranya melalui proses determinan yaitu perencanaan tata ruang. Lewat lensa ko-produksi pengetahuan dan telaah kekuasaan dalam geografi kritis, tulisan ini mengeksaminasi ketelitian tindakan komunikatif dalam perencanaan tata kota di bawah peraturan perundang-undangan mengenai penataan ruang di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga menjelaskan beberapa kemungkinan dalam trajektori perumusan kebijakan perencanaan tata kota, terutama jika ilmu pengetahuan hendak lebih dalam dilembagakan ke dalam perencanaan yang berbasis bukti dan menguji kecenderungan peran ilmu pengetahuan dalam pluralitas aktor produksi kota sebagai kopula bebas nilai, narasi yang terkonsolidasi kekuasaan atau kemungkinan refleksif lainnya.
Article
Full-text available
This article demonstrates two purposes; first, is to identify the practice of social space, as consequence of the process of land use change, from agricultural land to Waterland tourism area in a village in East Java, Indonesia. Second, is to analyze the contestation between the main discourse and counter-discourse as impact of the process above. We used the concept of Henry Lefebvre on the production of space to analyze the contestation. Using qualitative case study method, we indicated that there is a transformation from the production of absolute space as part of people's daily life, which was not rely on leisure industry, into an abstract space that is legitimized through discourse for the benefit of tourism investors. Furthermore, the contestation between discourse and counter-discourse occurred in the process of land use change. It happened through a process of domination of the discourse by the village elite, while counter-discourse was only rise at lower political level. The transformation of land use, consequence to the potential of ecological damage, especially on water, as result of excessive use of water to support Waterland. There is also the potential for conflict since seizing scarce water resource. This research shows that public has not readily accepted the tourism industry.
Article
Full-text available
The term critical geographies of human rights refers to the idea that law, society, geography, and injustice are mutually constitutive. This article proposes one possible theoretical framework for analyzing critical geographies of human rights, drawing from scholarship in critical human geography, sociolegal studies, and public international law. The article uses a case study regarding the Rohingya population of Myanmar to analyze how this theoretical approach works in practice, asking how narratives about the term Rohingya are built into, and reinforced by, legal definitions of belonging, exclusion, and citizenship. It argues that the situation of the Rohingya illustrates the international legal dimensions of material injustice while showing how human rights discourse is part of ongoing geopolitical dynamics. Examining the situation of the Rohingya thus provides a way to understand how critical geographies of human rights can be used to analyze the relationship between law, geography, and injustice. Key Words: citizenship, human rights, legal geography, Myanmar, sociolegal studies.
Article
Full-text available
This article contributes to the ongoing scrutiny of conflicts over nature with respect to the legal realm. We argue that legal geographies have been central to the boom in geothermal water extraction in China and its environmental and social effects. We examine the contesting of the legal definition of geothermal water and how it is embedded in the creation and production of China's hot spring landscape. Specifically, we focus on the biophysics of this particular natural resource to examine the scalar politics of how local governments grab natural resources, and the ways in which they produce socio‐economic consequences. The analysis illustrates the significance of critical legal geography in current political ecology studies, and suggests paying close attention to the contradictory and slippery legal practices involved in the governance and commodifying of nature. This article examines the contesting of the legal definition of geothermal water and how it is embedded in the creation and production of China's hot spring landscape. Specifically, we focus on the biophysics of this specific natural resource to examine the scalar politics of how local governments grab natural resources and the ways in which they produce socio‐economic consequences.
Article
Full-text available
The argument of this essay is that Lefebvre’s writings contain relevant contributions to understand the contemporary phenomenon of neoliberal urbanism and, at the same time, his politics of the possible can contribute to explain the restless urban struggles and spatial practices of social movements. We value the author’s contribution from a comprehensive perspective, avoiding the usual fragmented way it has been used in the fields of public administration, organization and urban studies. Our reading follows Gadamer’s notion of “the horizon of the question”, which indicates that “we can understand a text only when we have understood the question to which it is an answer”. Accordingly, the question posed asks for the contribution of Lefebvre’s oeuvre to understand contemporary urban processes and to make visible possible futures objectively implied in processes of social struggles.
Article
Dalam beberapa tahun terakhir hingga kini, telah banyak berdiri perumahan Muslim di Yogyakarta. Beberapa area yang meliputi wilayah di beberapa kabupaten seperti Sleman, Bantul, Gunungkidul dan Kulon Progo telah menjadi target para developer. Pembangunan perumahan Muslim bukan semata-mata merupakan proyek berorientasi bisnis, melainkan juga didorong dan dipengaruhi oleh nilai-nilai ideologis dan agama. Kajian ini ditujukan untuk menganalisis produksi ruang yang berlangsung dalam pembangunan perumahan Muslim dan hubungan ekonomi-politik yang dapat dijumpai melalui kepentingan antara pihak developer dan elit kelompok-kelompok Islam yang terlibat dalam proses produksi spasial untuk perumahan Muslim tersebut. Lebih lanjut, kajian ini menunjukkan adanya suatu konspirasi yang juga melatarbelakangi proyek yang dikelola oleh pihak developer dan elit kelompok-kelompok Islam tertentu.
Article
Precariously housed people face serious challenges in securing their personal possessions from the actions of both private and public actors. This is despite evidence of widespread destruction, seizure, and theft; associated violations of equality and dignity rights; the significance of the belongings to their owners; and the heightened vulnerability that the loss of their belongings may place people in. Law seems to provide minimal recognition and protection of precariously housed people's possessions. There is a significant lack of scholarly and policy attention given to the issue. We lay out some preliminary concepts for the analysis of this important topic, focusing on critical legal geography, evaluation, governance, and personhood, before introducing our own research project. Expected final online publication date for the Annual Review of Law and Social Science, Volume 16 is October 13, 2020. Please see http://www.annualreviews.org/page/journal/pubdates for revised estimates.
Article
This article asks how Henri Lefebvre’s humanist Marxism can contribute to the foundations of a critical theory of communication. It does so by reflecting on the role of communication in Lefebvre’s books The Production of Space and The Critique of Everyday Life. Lefebvre’s humanist Marxist stress on the role of human production in society is the aspect of his theory that can be most fruitfully integrated into a critical theory of communication. There are also striking parallels between Lefebvre and Raymond Williams’ cultural materialism. Lefebvre also anticipated discussions of the commodification of the communicative commons.
Article
This article formulates a conceptual framework to analyze city twinning from the perspective of local inhabitants and applies it to the twin city of Imatra and Svetogorsk on the Finnish–Russian border. This “spatial framework” is inspired by Henri Lefebvre’s spatial triad, which distinguishes between “perceived space,” “conceived space,” and “lived space.” These concepts are utilized to scrutinize the relationship between the concept of a twin city and the everyday life of the inhabitants. Thirty-seven inhabitants from Imatra and Svetogorsk participated in one of six focus groups discussing their life in the cities and the concept of a twin city. The present study indicates that individuals are likely to identify with the twin city if their spatial perceptions of and lived experiences in the twin city correspond with the associations they have of the concept. The article argues that paying more attention to how local citizens understand twin cities as concepts and as spaces for everyday lives contributes to unpacking the phenomenon of city twinning. This research approach—the spatial framework—is not limited to the study of city twinning but can be applied to cross-border region building in general.