Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
|303 |
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
JURNAL CAKRAWALA HUKUM
Journal homepage: http://jurnal.unmer.ac.id/index.php/jch/
Journal email: jurnalcakrawalahukum@unmer.ac.id
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima
objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju
1
, Rachmad Budiono
2
1 Natalia Maria Liju; Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya; Jl. NT.
Haryono 169; Malang; Jawa Timur; Indonesia.
2 Rachmad Budiono; Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya; Jl. NT.
Haryono 169; Malang; Jawa Timur; Indonesia.
A R T I C L E I N F O
Article hist ory :
Received 2021-10-18
Received in revised form
2021-11-12
Accepted 2021-12-01
Kata kunc i:
Perkembangan; Peran Pecalang;
Adat.
Key wor d s:
Development; Role of Pecalang;
Custom.
DOI: https://doi.org/10.26905/
idjch.v12i3.7095.
How to cite item:
Liju, NM & Budiono, R. (2021).
Perlindungan hukum terhadap
pembeli lelang yang tidak
menerima objek lelang dalam masa
penyerahan. Jurnal Cakrawala
Hukum, 12(3). 303-313.
doi:10.26905/idjch.v12i3.7095.
Ab str a k
Penelitian ini membahas mengenai bagaimana jika ternyata objek lelang
tersebut Ketika telah dilunasi kewajibannya oleh pembeli kemudian tidak
sesuai? Jika terdapat kekosongan hukum, maka apakah yang dapat
dilakukan untuk melindungi hak pembeli? Penelitian ini dibuat agar dapat
menjawab pertanyaan seperti ini, dan kemudian untuk dapat memberikan
kepastian hukum dan juga perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait
dalam lelang. Metode penelitian ini ialah yuridis normatif. Pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Aprroach)
dan pendekatan konsep (Conceptual Approach). Lelang merupakan
penjualan umum secara langsung yang telah lama dikenal di Indonesia.
Akan tetapi, sampai saat in peraturan perundang-undangan tentang lelang
sangatlah minim. Lelang dii Indonesia sampai sekarang masih menggunakan
Vendu Reglement Nomor Tahun 1908 Nomor 189, dan kemudian langsung
di atur dengan menggunakan Peraturan Menteri Keuangan seperti Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 27 Tahun 2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang. Hal ini mengakibatkan adanya kekosongan hukum di beberapa hal
tentang lelang. Salah satunya adalah jika objek lelang yang diserahkan pada
masa penyerahan yang kemudian tidak sesuai. Karena hal ini tidak diatur
dalam peraturan perund ang-undang an yang ada m eng akib atkan
ketidakpastian hukum bagi pembeli lelang.
Ab str a k
This study discusses what if it turns out that the object of the auction, when its
obligations have been paid off by the buyer, is not appropriate? If there is a
legal vacuum, then what can be done to protect buyer rights? This research
Corresponding Author:
* Natalia Maria Liju.
E-mail address natalialiju23@gmail.com
|304 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 3 Desember 2021
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
was made in order to answer questions like this, and then to be able to
provide legal certainty and also legal protection for the parties involved in
the auction. This research method is normative juridical. The approach used
is a statutory approach (Statute Approach) and a concept approach (Con-
ceptual Approach). Auction is a direct public sale that has long been known
in Indonesia. However, until now the legislation regarding auctions is very
minimal. Auctions in Indonesia are still using the Vendu Regulation Num -
ber 1908 Number 189, and then directly regulated using the Regulation of
the Minister of Finance such as Regulation of the Minister of Finance Num -
ber 27 of 2016 concerning Instructions for Auction Implementation. This has
resulted in a legal vacuum in some matters regarding auctions. One of them
is if the object of the auction submitted during the later delivery is not appro-
priate. Because this is not regulated in the existing laws and regulations, it
results in legal uncertainty for the auction buyer.
1. Pendahuluan
Pelaksanaan lelang pada dasarnya merupa-
kan suatu perbuatan jual beli, namun jual beli yang
dilakukan dengan sistem lelang berbeda dengan
jual beli secara konvensional. Jual beli secara kon-
vensional dilakukan dengan harga objek yang telah
ditentukan sebelumnya, dengan asumsi bahwa
pembeli akan menawar harga menjadi lebih murah
dan penjual ingin mempertahankan harga setinggi-
tingginya. Namun ada juga jual beli konvensional
dimana pembeli tidak dapat menawar harga yang
telah ditentukan seperti halnya jual beli di super-
market. Sedangkan lelang merupakan sebuah
penjualan dengan cara penawaran harga oleh para
peminat atau peserta lelang dengan kelipatan
harga secara naik atau turun yang dipimpin oleh
pejabat lelang atau sering disebut sebagai Vende-
meester.
Dengan adanya perkembangan dari peratur-
an perundang-undangan itu sendiri, maka Balai
Lelang Swasta dapat mengadakan lelang meski
hanya terbatas pada lelang non eksekusi sukarela.
Selain itu terdapat Pejabat Lelang Kelas II yang
berasal dari luar lingkungan KPKNL memungkin-
kan bagi kreditur untuk mengadakan lelang non-
eksekusi sukarela. Dengan kata lain, kreditur tidak
wajib harus menunggu keputusan dari pengadilan
negeri.
Dengan adanya produk hukum seperti
UUHT, UU PPh dan UU Perbendaharaan, maka
pemerintah telah memfasilitasi kegiatan lelang,
meskipun UU yang mengatur khusus terkait lelang
itu sendiri belumlah ada. Peraturan yang telah ada
memungkinkan agar lelang itu sendiri memiliki
beberapa opsi untuk dapat dilaksanakan. Secara
garis besar lelang dapat dibedakan menjadi dua:
lelang eksekusi; dan lelang non-eksekusi sukarela.
Pilihan yang ada terkait penyelenggaraan lelang
itu sendiri membuktikan partisipasi masyarakat
dan pemerintah yang semakin besar terhadap pe-
ranan lelang. Maka dapat dilihat bahwa peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia telah
berkembang dan memperbaharui system lelang
yang telah ada sejak jaman Belanda dan diatur me-
lalui VR.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekaya-
an Negara, yang selanjutnya disebut Kantor
Wilayah, adalah instansi vertikal Direktorat Jen-
deral Kekayaan Negara yang berada dibawah dan
bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jen-
deral Kekayaan Negara. Kantor Pelayanan Keka-
yaan Negara dan Lelang, yang selanjutnya disebut
KPKNL, merupakan sebuah instansi yang
bertanggung jawab terhadap lelang, khususnya le-
lang eksekusi. KPKNL berada pada naungan
|305 |
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju, Rachmad Budiono
Direktorat Jenderal Keuangan Negara di bawah
Kementerian Keuangan dan bertanggung jawab
secara vertical. Di dalam KPKNL melaksanakan
tugas pada lelang eksekusi dibantu oleh Pejabat
Lelang Kelas I (PL I). Aturan mengenai penjabaran
Pejabat Lelang berdasarkan Pasal 1 106 tahun 2013,
dimana Pejabat Lelang dibagi menjadi 2 (dua)
tingkat yaitu PL I yang merupakan pegawai
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. PL I me-
miliki wewenang dalam berbagai macam lelang,
baik lelang eksekusi maupun non-eksekusi su-
karela. Pejabat Lelang Kelas II atau PL II meru-
pakan Pejabat Lelang swasta yang memiliki we-
wenang yang terbatas, yakni hanya pada lelang
non-eksekusi sukarela.
Ada pun yang menjadi objek dalam pele-
langan adalah barang bergerak dan tidak bergerak.
Khusus untuk tanah dan bangunan pada lelang
eksekusi, biasanya telah ada wanprestasi terhadap
hak tanggungan. Zaki (2018) menulis bahwa, “pele-
langan suatu objek yang diikat dengan hak tang-
gungan tersebut erat kaitannya dengan debitor
yang melakukan wanprestasi yang dilakukan oleh
debitor terhadap kreditor”. Akan tetapi, bagai-
mana jika ternyata objek lelang tersebut Ketika te-
lah dilunasi kewajibannya oleh pembeli kemudian
tidak sesuai? Jika terdapat kekosongan hukum,
maka apakah yang dapat dilakukan untuk melin-
dungi hak pembeli? Penelitian ini dibuat agar dapat
menjawab pertanyaan seperti ini, dan kemudian
untuk dapat memberikan kepastian hukum dan
juga perlindungan hukum bagi para pihak yang
terkait dalam lelang.
2. Metode
Penelitian yang digunakan merupakan pene-
litian yuridis normatif yang merupakan penelitian
yang mengkaji dan menganalisis aturan hukum
yang bersifat formal yakni undang-undang. Pen-
dekatan yang digunakan dalam analisa penelitian
ini adalah pendekatan perundang-undangan (Stat-
ute Aprroach) dan pendekatan konsep (Concep-
tual Approach). Pendekatan ini dilakukan dengan
mengkaji semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang penulis
hadapi dalam penulisan penelitian ini dan juga
terkait kekosongan hukum terhadap objek barang
yang diserahkan tidak sesuai untuk kemudian
menganalisis terkait perlindungan hukum bagi
pembeli dalam lelang.
3. Pembahasan
3.1. Kekosongan hukum terhadap pembeli
lelang yang menerima objek lelang tidak
sesuai pasca lelang
Pembeli yang beritikad baik haruslah dilin-
dungi haknya sebagai pembeli lelang. Akan tetapi,
peraturan perundang-undangan yang ada tidak
ada yang mengatur terkait pembeli mendapat ba-
rang yang tidak sesuai dengan apa yang disaksikan
dan ditawar secara langsung dalam lelang.
Kekosongan hukum akibat tidak adanya aturan da-
lam peraturan perundang-undangan yang spesifik
mengatur tentang hak pembeli dalam mendapatkan
objek lelang sebagaimana yang dilihat dan/atau
tertulis dalam risalah lelang mengakibatkan adanya
interpretasi hukum dalam melindungi hak pembeli
lelang. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4
Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan
(selanjutnya dalam penelitian ini disebut “SEMA
4/2016”).
Rumusan hukum kamar perdata tertulis
mengenai pengertian pembeli beritikad baik sebagai-
mana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata
tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempur-
nakan sebagai berikut: Kriteria pembeli yang ber-
itikad baik yang perlu dilindungi oleh berdasar-
kan pasal 1338 ayat (3) BW antara lain sebagai
berikut: Melakukan jual beli atas objek tanah ter-
sebut dengan prosedur dan dokumen yang sah
sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-
|306 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 3 Desember 2021
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
undangan yaitu sebagai berikut: 1) Pembelian tanah
melalui pelelangan umum atau; 2) Pembelian tanah
dihadapan PPAT (sesuai dengan ketentuan PP No.
24 tahun 1997).
SEMA 4/2016 tersebut juga di atas juga meng-
akui asas itikad baik untuk melindungi pembeli
lelang. Yang dimaksud dengan itikad baik adalah
suatu keadaan pikiran yang terdiri dari (1) keju-
juran dalam keyakinan atau tujuan. (2) kesetiaan
kepada tugas atau kewajiban seseorang, (3) ketaat-
an standar komersial wajar yang adil berurusan
dalam perdagangan atau bisnis tertentu, atau (4)
tidak adanya niat untuk menipu atau mencari ke-
untungan yang tidak masuk akal. Menurut ke-
tentuan pasal 1338 BW, perjanjian yang yang telah
disepakati dan memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pasal 1320 BW maka perjanjian tersebut
menjadi sebuah undang-undang bagi pembuatnya,
dan perjanjian tersebut tidak dapat dibatalkan
ataupun ditarik kembali tanpa adanya persetujuan
dari kedua belah pihak atau karena alasan- alasan
yang cukup menurut undang- undang, dan perjan-
jian tersebut harus dijalankan dengan itikad baik.
Hal ini dikarenakan Perjanjian berlaku se-
bagai undang-undang bagi pihak-pihak artinya
perjanjian tersebut demi memberikan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuatnya maka
perjanjian tersebut mengikat dan memaksa para
pihak untuk mematuhinya. Pihak-pihak diwajibkan
mengikuti ketentuan perjanjian itu sama seperti
mengikuti ketentuan dalam undang-undang. Pelang-
garan terhadap apa yang telah tertuang dalam per-
janjian berakibat sebagai pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
akan mengakibatkan sanksi hukum.
Sebuah perjanjian berdasarkan apa yang telah
disetujui oleh para pihak. Jika sebuah perjanjian
akan dibatalkan atau ditarik kembali, maka sesuai
dengan ketentuan yang ada maka harus ada per-
setujuan dari para pihak. Adapun undang-undang
memfasilitasi alasan untuk pembatalan perjanjian
sebagai berikut: Pertama, jika perjanjian tersebut
dibuat secara terus menerus tanpa ada jangka
waktu. Sebagai contoh, Pasal 1571 BW terkait sewa
menyewa jika dibuat secara lisan, maka pemilik
objek sewa dapat sewaktu-waktu menghentikan
sewa menyewa tersebut dengan sebuah pemberita-
huan tertulis. Kedua, dalam contoh perjanjian sewa
rumah sebagaimana dimaksud Pasal 1587 BW. Jika
waktu sewa menyewa telah selesai, penyewa tetap
menguasai rumah dengan adanya pembiaran dari
pemilik Gedung. Maka penyewa dianggap tetap
menguasai objek sewa tersebut, pemilik Gedung
atau pemilik objek sewa yang ingin mengeluarkan
penyewa dari Gedung miliknya harus memberikan
pemberitahuan tertulis baik sebelum maupun
setelah masa sewa berakhir.
Selanjutnya Ketiga, Perjanjian pemberian
kuasa (lastgeving), Pasal 1814 BW. Pemberi kuasa
dapat menarik kembali kuasanya apabila ia
menghendakinya. Keempat, Perjanjian pemberian
kuasa (lastgeving) Pasal 1817 BW, penerima kuasa
jika ingin melepaskan diri dari kuasa yang dite-
rimakan kepadanya maka penerima kuasa harus
memberitahukan secara tertulis kepada pemberi
kuasa.
Pasal 1338 BW juga terdapat asas itikad baik
yang menghendaki bahwa perjanjian tersebut
harus dilaksanakan sesuai dengan norma-norma
khususnya kepatutan dan kesusilaan yang ada di
masyarakat. Selain adanya Sema 4/2106 yang
melindungi kepentingan dari pembeli dalam
lelang, Dalam pelaksanaan lelang, dikenal pula asas
“as is”, sebagaimana ditulis oleh National Auc-
tioneers Association, “selling a property without
warranties as to the condition and/or the fitness
of the property for a particular use. Buyers are
solely responsible for examining and judging a
property for their own protection. Otherwise
known as as-is, where is and in its present condi-
tion.” Dengan kata lain, dalam lelang menjual pro-
perti tanpa jaminan mengenai kondisi dan/ atau
kesesuaian properti untuk penggunaan tertentu.
Pembeli sepenuhnya bertanggung jawab untuk
|307 |
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju, Rachmad Budiono
memeriksa dan menilai properti untuk perlindung-
an mereka sendiri. Atau dikenal sebagai apa ada-
nya, di mana dan dalam kondisinya saat ini.
Maka dapat dianalisis secara gramatikal bah-
wa apa yang dimaksud dalam asas As is ini adalah
terkait pembeli lelang yang memastikan sendiri
barang pada saat dilelang dan barang yang dile-
lang juga merupakan barang yang sudah sesuai de-
ngan persyaratan lelang. Apa yang dibeli oleh pem-
beli lelang adalah barang yang pada saat lelang
tersebut diadakan. Tanggung jawab penjual adalah
sebatas memenuhi syarat subjek dan objek lelang.
Hal ini sebagaimana tertulis dalam Pasal 17 PMK
27/2016: Penjual bertanggung jawab terhadap: a)
keabsahan kepemilikan barang; b) keabsahan do-
kumen persyaratan lelang; c) penyerahan barang
bergerak dan/atau barang tidak bergerak; d)
penyerahan dokumen kepemilikan kepada Pem-
beli; dan e) penetapan Nilai Limit.
Dengan dipenuhinya kewajiban penjual,
maka objek lelang kemudian menjadi tanggung
jawab dari pejabat lelang dan/atau balai lelang
Ketika diserahkan untuk dilakukan lelang. Maka
Ketika pembeli lelang yang memenangkan satu atau
lebih barang lelang berdasarkan Pasal 3 PMK 27/
2016 akan segera dicatatkan oleh Pejabat Lelang
untuk kemudian dibuatkan Risalah Lelang. Maka
adalah menjadi hak dari pembeli untuk menda-
patkan apa yang telah dibelinya dalam lelang. Jika
pembeli mengetahui bahwa ada perbedaan dalam
objek lelang yang diminatinya maka pembeli dapat
mengkonfirmasi terhadap objek lelang tersebut
sebelum lelang dimulai. Ketika lelang dimulai,
pembeli dianggap telah tahu dan pasti mengetahui
terkait objek lelang termasuk jika objek tersebut
mempunyai kekurangan atau ketidaksesuaian.
Maka inilah yang dimaksud dengan asas As is
yakni pembeli membeli objek lelang sesuai dengan
apa pembeli lihat dan saksikan sendiri dalam pro-
ses lelang. Jika pembeli lelang menerima objek le-
lang yang tidak sesuai maka hal itu merupakan
resiko dari pembeli.
Selain itu, dengan adanya Putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia Reg. Nomor 821K/Sip/
1974, yang menyatakan bahwa pembeli yang mem-
beli suatu barang melalui pelelangan umum oleh
Kantor Lelang Negara adalah sebagai pembeli yang
beritikad baik dan harus dilindungi oleh undang-
undang. Yurisprudensi tersebut membenarkan
bahwa pembeli lelang yang beritikad baik harus
dilindungi untuk memberikan kepastian hukum
sekaligus keadilan bagi pembeli lelang.
Permasalahan kemudian muncul ketika pem-
beli tidak mendapatkan objek yang sesuai dalam
lelang. Semisalkan objek lelang adalah emas seberat
10 (sepuluh) gram, dan pada masa penyerahan
setelah pembeli melunasi kewajibannya kemudian
emas yang diterimanya hanya seberat 8 (delapan)
gram. Adalah merupakan hak dari Pembeli untuk
mendapatkan apa yang telah dimenangkannya
dalam lelang. Akan tetapi, Pasal 79-81 PMK 27/
2016 tidak mengatur tentang apa yang terjadi jika
pembeli tidak mendapat haknya sesuai dengan apa
yang telah dibayarnya dalam pelelangan.
Kekosongan hukum akibat tidak diaturnya
terkait barang yang diterima oleh pembeli lelang
dapat mengakibatkan hasil dari lelang tersebut
mengarah ke pengadilan sebagai salah satu
penyelesaian perkara. Hal ini dikarenakan hak
pembeli lelang yang tidak mendapat apa yang
menjadi seutuhnya haknya adalah termasuk dalam
kategori perbuatan melawan hukum. Menurut
Pasal 1365 BW, maka yang dimaksud dengan per-
buatan melanggar hukum adalah perbuatan yang
melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang
yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian
bagi orang lain.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori
dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai: 1)
Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan;
2) Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan
(tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian); 3)
Perbuatan melawan hukum karena kesalahan. Jika
dilihat dari model pengaturan BW Indonesia ten-
|308 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 3 Desember 2021
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
tang perbuatan melawan hukum lainnya, sebagai-
mana juga dengan BW di negara-negara lain dalam
sistem hukum Eropa Kontinental, maka model
tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut: a).
Tanggung jawab dengan unsur kesalahan
(kesengajaan dan kelalaian), sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1365 BW; b) Tanggung jawab dengan
unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian, seba-
gaimana terdapat dalam Pasal 1366 BW; c) Tang-
gung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti
yang sangat terbatas ditemukan dalam Pasal 1367
BW.
Menjadi bahan analisis bahwa sejak tahun
1919 tersebut, di negeri Belanda, dan demikian
juga di Indonesia, perbuatan melawan hukum telah
diartikan secara luas, yang mencakup salah satu
dari perbuatan sebagai berikut: 1) Perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain; 2) Perbuatan
yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri; 3) Perbuatan yang bertentangan dengan
kesusilaan; 4) Perbuatan yang bertentangan de-
ngan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan
masyarakat yang baik.
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1365
BW, maka suatu perbuatan melawan hukum harus-
lah mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1)
Adanya suatu perbuatan; 2) Perbuatan tersebut
melawan hukum; 3) Adanya kesalahan dari pihak
pelaku; 4) Adanya kerugian bagi korban; 5) Ada-
nya hubungan kausal antara perbuatan dengan
kerugian. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365
BW mensyaratkan adanya unsur kesalahan (schuld)
terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Dan
sudah merupakan tafsiran umum dalam ilmu
hukum bahwa unsur kesalahan tersebut dianggap
ada jika memenuhi salah satu di antara 3 (tiga)
syarat sebagai berikut: 1) Ada unsur kesengajaan,
atau 2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa),
dan 3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pe-
maaf (rechtvaardigingsgrond) seperti keadaan
overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-
lain.
Dengan melihat pada syarat-syarat di atas
maka dapat dianalisis bahwa jika sebuah objek
lelang tidak dapat diserahkan sebagaimana mesti-
nya (as is) kepada pembeli lelang maka telah meme-
nuhi baik salah satu atau semua syarat di atas.
Ketentuan dalam Pasal 84 PMK 27/2016 telah
mengatur terkait penyerahan barang
/
dokumen
dari penjual kepada pembeli yakni terkait penjual
harus menyerahkan asli dari dokumen ke PL,
kemudian pembeli menyerahkan dokumen yang
diperlukan seperti bukti pelunasan barang dan
pelunasan pajak.
Perlu dicermati bahwa dalam hal lelang ter-
sebut diselenggarakan oleh Balai Lelang, maka
Balai lelang dapat saja menjadi subjek dari per-
buatan melawan hukum tersebut. Hal ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 36 huruf j PMK 113/2019
tentang Balai Lelang, bahwa salah satu kewajiban
dari Balai Lelang adalah “menyerahkan barang
dan dokumen kepemilikan objek lelang kepada
Pembeli setelah Pembeli memenuhi kewajiban.”
Jadi terkait penanganan (safe keeping) terhadap
objek lelang, merupakan tanggung jawab dari
Penjual, dan juga Balai Lelang.
Pejabat lelang khususnya Pejabat Lelang
Kelas II tidak bertanggung jawab terhadap objek
lelang yang ketika diserahkan ternyata tidak sesuai
dengan yang perlihatkan dalam pelaksanaan lelang
atau dokumen lelang. Pejabat lelang Kelas I tidak
bertanggung jawab terhadap permasalahan hukum
dan administrasi yang terkait dengan hak dan
kewajiban penjual dan/ atau pembeli termasuk
namun tidak terbatas pada salah satunya kesesuai-
an barang dengan objek lelang. Hal ini berarti,
Pejabat Lelang Kelas I hanya dapat bertanggung
jawab terkait ketidaksesuaian barang yang di-
terima oleh pembeli lelang hanya jika terdapat ke-
tidak sesuaian antara dokumen dan barang objek
lelang. Sedangkan Pejabat Lelang Kelas II sebagai-
mana diatur dalam PMK 189/2017, tidak mem-
punyai kewajiban sama sekali baik dalam penyim-
panan objek lelang. Pejabat Lelang Kelas II mem-
|309 |
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju, Rachmad Budiono
punyai kewajiban yang jelas terkait pembuatan
Risalah Lelang dan memastikan syarat-syarat for-
mil dari sebuah acara lelang terpenuhi dan sehingga
pembeli lelang mendapatkan haknya. Sepanjang
tidak diatur lebih lanjut, maka pejabat lelang kelas
II tidak ikut bertanggung jawab apabila objek
lelang yang diserahkan selama masa penyerahan
ternyata tidak sesuai.
Dengan kata lain, Pejabat Lelang Kelas II
dapat digugat oleh pembeli lelang hanya jika
pejabat lelang tersebut juga menyimpan objek
lelang selama dalam masa penyerahan. Jika kemu-
dian barang tersebut hilang atau mengalami penu-
runan dan/atau perubahan nilai secara signifikan
maka pejabat lelang kelas II dapat digugat ke peng-
adilan. Dengan adanya gugatan ke pengadilan
dapat mengakibatkan keseluruhan proses lelang
yang telah dilakukan menjadi batal demi hukum.
Hal ini karena pejabat lelang kelas II dianggap telah
melanggar ketentuan-ketentuan yang dikategori-
kan sebagai perbuatan melawan hukum. Kelalaian
pejabat lelang kelas II ini juga melanggar beberapa
asas lelang seperti asas konsesualitas, yakni kese-
pakatan antara pejabat lelang kelas II dengan pen-
jual dalam menyimpan objek lelang.
Sampai saat ini yang menjadi dasar hukum
utama pelaksanaan lelang di Indonesia adalah VR
dan kemudian adanya PMK 27/2016 yang secara
khusus mengatur terkait teknis lelang. Menurut
Sari (2017), dalam PMK 27/2016 telah berisi tentang
tata cara lelang secara utuh, dimulai dengan 4 tahap
pokok dalam pelaksanaan lelang, yaitu: Pertama,
Persiapan Lelang; Kedua, Pelaksanaan Lelang;
Ketiga, Risalah Lelang; dan keempat, Pembukuan
dan laporan lelang. Dalam keseluruhan isi dari
PMK 27/2016 tidak ada yang mengatur secara spe-
sifik terkait objek lelang yang tidak sesuai yang
diterima dalam masa penyerahan lelang.
PMK 27/2016 merupakan peraturan Menteri
tentu tidak dapat dibandingkan dengan Undang-
Undang. Di dalam hirarki peraturan perundang-
undangan sebagaimana disebut dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peratuan Perundang-undangan
sebagaimana dimuat dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82 (selanjut-
nya dalam tesis ini disebut UU 12/2011), disebut-
kan bahwa: 1) Jenis dan hierarki Peraturan Per-
undang-undangan terdiri atas: a) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b)
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c)
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e)
Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi;
dan g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 2)
Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan
sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Melihat pada ketentuan tersebut di atas,
maka perlu dianalisis terlebih dahulu terkait kedu-
dukan sebuah Peraturan Menteri yang mengatur
tentang lelang dalam peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Lebih lanjut dalam Pasal
8 UU 12/2011 ditulis bahwa: 1) Jenis Peraturan Per-
undang-undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-
Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-
Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pro-
vinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala
Desa atau yang setingkat. 2) Peraturan Perundang-
undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Melihat pada ketentuan Pasal 8 tersebut di
atas, maka Peraturan Menteri merupakan bagian
|310 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 3 Desember 2021
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
dari hirarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia, sepanjang mengikuti ketentuan yakni
dibentuk berdasarkan kewenangan atau diperin-
tahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. Setelah PMK 27/2016 di atasnya ter-
dapat VR dan BW.
BW sendiri mengatur lelang dalam luang
lingkup yang terbatas pada sebuah perikatan yang
terjadi dalam jual beli. Pasal 1457 BW yang meru-
pakan dasar jual beli dalam lelang merumuskan
“jual-beli” sebagai suatu persetujuan, dengan mana
pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerah-
kan suatu kebendaan dan pihak lain untuk
membayar harga yang dijanjikan. Adapun Lelang
memiliki ciri atau pun unsur yang memenuhi syarat
sebuah jual beli yakni: a) adanya subjek hukum
(adanya penjual dan pembeli; b) adanya kesepakat-
an antara penjual dan pembeli tentang barang; c)
harga; d) hak dan kewajiban yang timbul antara
pihak penjual dan pembeli.
Maka dapat dilihat bahwa dalam lelang ter-
dapat hak dan kewajiban yang timbul di antara
penjual terhadap pembeli yang beritikad baik
untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap
barang yang telah dibeli oleh pembeli tersebut.
Akan tetapi semua yang tertulis menyatakan
terkait hak pembeli untuk menerima barang yang
dibelinya. Sedangkan pada lelang, jual beli dalam
lelang berlaku secara khusus karena secara spesifik
telah diatur dalam PMK 27/2016. Bahwa dalam
proses lelang, objek lelang tersebut hanya dapat
diperoleh oleh pembeli lelang Ketika pelunasan
kewajiban pembayaran telah dilakukan oleh pem-
beli lelang. Dan di dalam PMK 27/2016 tidak meng-
atur terkait penyerahan objek yang telah meng-
alami penurunan nilai pada saat masa penyerahan.
Sema 4/2016 kemudian memberikan infor-
masi lebih terkait pembeli beritikad baik. Meskipun
hanya bersifat sebagai Surat Edaran, Sema 4/2016
cukup memberi patokan terkait apa yang dimaksud
dengan pembeli yang beritikad baik. Sema 4/2016
pada rumusan hukum kamar perdata tertulis
mengenai pengertian pembeli beritikad baik sebagai-
mana tercantum dalam kesepakatan kamar perdata
tanggal 9 Oktober 2014 pada huruf a disempur-
nakan sebagai berikut: Kriteria pembeli yang ber-
itikad baik yang perlu dilindungi oleh berdasar-
kan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata antara lain
sebagai berikut : a) Melakukan jual beli atas objek
tanah tersebut dengan prosedur dan dokumen
yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan
perundang-undangan yaitu sebagai berikut: 1)
Pembelian tanah melalui pelelangan umum atau;
2) Pembelian tanah dihadapan PPAT (sesuai de-
ngan ketentuan PP No. 24 tahun 1997) atau;
Di dalam SEMA 4/2016 tersebut juga di atas
juga mengakui asas itikad baik untuk melindungi
pembeli lelang. Dalam Black s Law Dictionary yang
dimaksud itikad baik atau good faith adalah: “A
state of mind consisting in (1) honesty in belief or
purposes. (2) faithfulness to one s duty or obliga -
tion, (3) observance of reasonable commercial stan-
dards of fair dealing in a given trade or business,
or (4) absence of intent to defraud or to seek un-
conscionable advantage.” Dengan kata lain, itikad
baik adalah suatu keadaan pikiran yang terdiri dari
(1) kejujuran dalam keyakinan atau tujuan; (2)
kesetiaan kepada tugas atau kewajiban seseorang;
(3) ketaatan standar komersial wajar yang adil
berurusan dalam perdagangan atau bisnis tertentu;
atau (4) tidak adanya niat untuk menipu atau
mencari keuntungan yang tidak masuk akal.
Sehingga oleh karena itu, pembeli dari peme-
nang lelang dapat dikatakan beritikad baik apabila
jual-beli yang dilakukan antaranya dengan peme-
nang lelang seusai dengan kaedah-kaedah yang
ada dalam peraturan perundang-undangan menge-
nai jual-beli secara umum dengan mengindahkan
pasal 1320 dan 1338 BW. Akan tetapi Surat Edaran
itu sendiri bukanlah bagian daripada hirarki per-
aturan perundang-undangan yang ada di Indone-
sia sehingga tidak dapat memberikan kepastian
hukum terkait kekosongan hukum yang muncul
|311 |
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju, Rachmad Budiono
dalam penelitian ini. Menurut Anggono (2018) da-
lam jurnalnya menulis terkait hal ini Peraturan
negara (staatsregelings) atau keputusan dalam arti
luas (besluiten) dapat dibagi dalam 3 (tiga)
kelompok yakni wettelijk regeling (peraturan per-
undang-undangan), beleidsregels (peraturan
kebijaksanaan), dan beschikking (penetapan). Ter-
masuk dalam wettelijk regeling (peraturan per-
undang-undangan), seperti UUD, Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah, Peraturan Desa, dan lain-lain.
Termasuk beleidsregels (peraturan kebijaksanaan),
seperti instruksi, surat edaran, pengumuman dan
lain-lain. Sementara termasuk beschikking (pene-
tapan), seperti surat keputusan dan lain-lain. Maka
dapat dilihat dari apa yang ditulis oleh Bayu Dwi
Anggono diatas, maka SEMA 4/2016 merupakan
bagian dari peraturan kebijaksanaan (beleidsregels)
tidak dapat dijadikan acuan sebagai dasar hukum
dalam menyelesaikan perkara terkait pembeli
lelang yang menerima objek lelang tidak sesuai ter-
sebut. Hal ini dikarenakan peraturan kebijaksanaan
tersebut hanyalah merupakan sebuah diskresi atau
kebijakan dari kepala instansi dalam menetapkan
kebijkakan terhadap pelaksanaan undang-undang
di instansi tersebut.
Syahrizal (2013) menulis unsur-unsur dalam
peraturan kebijakan sebagai berikut 1) Dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara sebagai
perwujudan freies ermessen (discretionary power)
dalam bentuk tertulis, yang setelah itu diberlaku-
kan keluar guna diberlakukan kepada warga; 2)
Isi peraturan kebijakan dimaksud, pada dasarnya
telah menjadi kebijakan umum (generale rule) ter-
sendiri. Jadi tidak sekadar sebagai petunjuk pelak-
sanaan operasional sebagaimana tujuan semula dari
kebijakan atau beleidsregels itu. Badan atau pejabat
tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan
kebijakan tersebut sama sekali tidak mempunyai
kewenangan untuk membuat peraturan umum
(generale rule), namun tetap dipandang legiti-
mated mengingat beleidsregels merupakan per-
wujudan freies ermessen dalam bentuk tertulis.
Maka dapat dianalisis terkait SEMA 4/2016
ini hanya dapat berlaku dalam kalangan Mahkamah
Agung saja. Dengan kata lain, SEMA 4/2016 ter-
sebut hanya dapat melindungi hak pembeli lelang
Ketika terjadi gugatan di hadapan pengadilan.
SEMA 4/2016 bukanlah bagian daripada peraturan
perundang-undangan di Indonesia, tetapi hanyalah
‘perundangan semu’ yang berlaku di lingkungan
pengadilan agar hakim memiliki acuan dalam
pertimbangan hakim dan dalam membuat sebuah
konstruksi hukum dalam pengambilan keputusan.
SEMA 4/2016 juga bukanlah solusi terkait keko-
songan hukum dalam memberikan perlindungan
hukum terhadap pembeli lelang yang tidak mene-
rima objek lelang yang sesuai pada pasca lelang.
Salah satu cara yang ditempuh terkait ada-
nya kekosongan hukum adalah dengan cara kons-
truksi hukum oleh hakim. Hal yang sama juga di-
tulis oleh Nasir (2017) Pekerjaan pembuatan
undang-undang mempunyai dua aspek, yaitu per-
tama pembuat undang-undang hanya menetapkan
peraturan-peraturan umum, pertimbangan-pertim-
bangan tentang hal hal konkret diserahkan kepada
hakim dan kedua adalah pembuat undang-undang
selalu ketinggalan dengan kejadian kejadian sosial
yang timbul kemudian di dalam masyarakat, maka
hakim sering menambah undang-undang itu. Jika
hakim menambah peraturan perundan-undangan,
berarti bahwa hakim mengisi kekosongan (leemten)
dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang
berlaku.
Jika terjadi kekosongan hukum, maka hakim
berpegang pada asas “Ius Curia Novit” yang
berarti bahwa hakim tidak dapat menolak perkara
dan wajib untuk melakukan penemuan hukum de-
ngan menggali nilai-nilai yang ada dalam masya-
rakat (Titik Triwulan, 2016). Di dalam PMK 27/
2016 memang tidak mengatur terkait objek lelang
yang tidak sesuai pada masa penyerahan. Terkait
hal ini, dalam PMK 27/2016 tertulis dalam Pasal
84: 1) Dalam hal Penjual menyerahkan asli do-
|312 |
Jurnal Cakrawala Hukum, Volume 12 No. 3 Desember 2021
ISSN PRINT 2356-4962 ISSN ONLINE 2598-6538
kumen kepemilikan kepada Pejabat Lelang sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), Pejabat
Lelang harus menyerahkan asli dokumen kepemi-
likan dan/ atau barang yang dilelang kepada
Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
Pembeli menunjukkan kuitansi atau tanda bukti
pelunasan pembayaran, dan menyerahkan bukti
setor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) jika barang yang dilelang berupa tanah
dan atau bangunan.
2) Dalam hal Penjual tidak menyerahkan asli
dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (4) kepada Pejabat Lelang,
Penjual harus menyerahkan asli dokumen kepe-
milikan dan/ atau barang yang dilelang kepada
Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah
Pembeli menunjukkan kuitansi atau tanda bukti
pelunasan pembayaran, dan menyerahkan bukti
setor BPHTB jika barang yang dilelang berupa
tanah dan atau bangunan.
Dengan melihat pada Pasal 84 di atas maka
pasal tersebut mengatur objek lelang harus di-
serahkan setelah pembeli melunasi kewajibannya
dan menunjukkan kwitansinya. Objek lelang yang
diterima pembeli haruslah sesuai dengan apa yang
ada dalam lelang, khususnya apa yang telah
dimuat dalam tahap-tahap lelang seperti peng-
umuman lelang. Dengan adanya tahapan peng-
umuman lelang maka dapat dilihat pada tahapan
ini asas As Is telah ada dalam lelang. Asas As Is
yang memiliki nilai bahwa pada pelaksanaan lelang
tersebut, objek lelang yang dilelang adalah apa
adanya. Apa adanya sebagamana yang ada dalam
pengumuman lelang, dan juga sebagaimana pada
hari pelaksanaan lelang Ketika objek lelang berupa
benda bergerak diperlihatkan.
Menurut penulis asas As Is ini memberikan
perlindungan baik kepada pembeli, hal ini
dikarenakan pembeli harus menerima apa yang
muncul dalam lelang sebagai haknya. Objek lelang
tersebut yang telah dibeli harus sesuai baik mulai
dari tahapan pengumuman sampai pada saat
penyerahan barang pasca lelang. Asas As Is muncul
secara lebih mengikat pada lelang eksekusi.
Meskipun Pasal 5 PMK 27/2016 telah membedakan
lelang menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu Lelang eksekusi
adalah lelang dalam rangka menjalankan putusan
atau penetapan dari pengadilan, dokumen-doku-
men lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau
melaksanakan ketentuan dalam peraturan per-
undang-undangan; Lelang non eksekusi wajib ada-
lah lelang untuk melaksanakan penjualan barang
yang oleh peraturan perundang-undangan di-
haruskan dijual secara lelang; dan lelang non ekse-
kusi sukarela adalah Lelang atas Barang milik swasta,
perorangan atau badan hukum/badan usaha
yang dilelang secara sukarela.
Lelang eksekusi, yang merupakan penjualan
umum untuk melaksanakan atau mengeksekusi
putusan atau penetapan pengadilan atau dokumen
yang dipersamakan dengan putusan pengadilan,
seperti Hipotek, Hak Tanggungan, atau Jaminan
Fidusia. Lelang eksekusi merupakan apa yang
dimaksud Pasal 200 ayat (1) Herzien Inlandsch
Reglement (“HIR”) /Pasal 215 RGB karena
merupakan penjualan di muka umum barang milik
tergugat (tereksekusi) yang disita Pengadilan Negeri;
dan penjualan dilakukan Pengadilan Negeri melalui
perantaraan Kantor Lelang.
Khusus lelang barang sitaan berdasarkan
putusan pengadilan, disebut dengan “lelang ekse-
kusi”. Termasuk juga ke dalamnya dokumen yang
disamakan dengan putusan pengadilan yang ber-
kekuatan hukum tetap, seperti Sertifikat Hak Tang-
gungan dan Jaminan Fidusia. Pada dasarnya setiap
penjualan umum yang dilakukan oleh Pengadilan
Negeri, disebut lelang eksekusi. Syarat pokok
yang melekat pada lelang eksekusi berdasarkan
Pasal 200 ayat (1) HIR/RBG, eksekusi didahului
dengan sita eksekusi (executoriale beslag, execu-
tory seizure). Dengan demikian, penjualan itu
dilakukan terhadap barang tergugat yang telah
diletakkan di bawah penyitaan. Sedangkan pada
lelang non-eksekusi merupakan penjualan umum
|313 |
Perlindungan hukum terhadap pembeli lelang yang tidak menerima objek lelang dalam masa penyerahan
Natalia Maria Liju, Rachmad Budiono
di luar pelaksanaan putusan atau penetapan peng-
adilan yang terdiri dari lelang barang milik/di-
kuasi negara danLelang sukarela atas barang milik
swasta (Titik Triwulan, 2016).
Maka dapat dilihat bahwa asas As is pada
Lelang eksekusi lebih mengikat daripada lelang
non eksekusi. Hal ini dikarenakan pada lelang ekse-
kusi merupakan sebuah penjualan umum untuk
melaksanakan atau mengeksekusi putusan atau
penetapan pengadilan atau dokumen yang diper-
samakan dengan putusan pengadilan. Objek lelang
pada lelang eksekusi sepenuhnya dikuasai oleh
negara melalui pengadilan dan juga KPNL maka
dipastikan bahwa pembeli lelang akan mendapat-
kan haknya sesuai dengan apa yang telah dibelinya
dalam lelang eksekusi. Sedangkan pada lelang non
eksekusi, khususnya lelang non eksekusi sukarela,
objek lelang masih dapat berada di tangan penjual
atau pun balai lelang, sehingga masih terdapat
resiko jika objek lelang tersebut diserahkan tidak
sesuai pada masa penyerahan.
4. Simpulan
Kekosongan hukum yang ada sebagai akibat
tidak adanya Undang-Undang terbaru yang
khusus mengatur tentang lelang mengakibatkan
adanya celah dalam pelaksanaan lelang itu sendiri.
Dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang
secara spesifik mengatur tentang lelang tentu saja
tidaklah cukup. Masyarakat Indonesia membutuh-
kan Undang-undang lelang yang baru bukan saja
demi keadilan saja, tetapi juga untuk kepastian
hukum dan perlindungan hukum. Dengan tidak
diaturnya secara spesifik objek lelang yang diserah-
kan tidak sesuai dalam masa penyerahan, meng-
akibatkan asas As Is mengambil peranan penting
dalam memberikan nilai dalam kekosongan hukum
itu sendiri. Hanya saja, asas As Is ini lebih mengikat
pada lelang eksekusi. Hal ini dikarenakan lelang
eksekusi dilaksanakan berdasarkan penetapan atau
putusan pengadilan, sehingga kepastian hukum
yang didapat bukan saja dari Undang-undang tetapi
juga dari Putusan Hakim.
Daftar pustaka
Anggono, Bayu Dwi. 2018. Tertib Jenis, Hierarki dan
Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan:
Permasalahan dan Solusinya. Masalah –
Masalah Hukum 47(1):2.
Garner, Bryan A. 2009. Black’s Law Dictionary. edisi.
Ke-9. USA: Thompson Reuters.
Harahap, Yahya. 2014. Ruang Lingkup Permasalahan
Eksekusi Bidang Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Syahrizal, Darda. 2013. Hukum Administrasi Negara
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta:
Medpress Digital.
Tutik, Titik Triwulan dan Widodo, Ismu Gunadi. 2016.
Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.
Jakarta: Kencana.
Nasir, Gamal Abdul. 2017. Kekosongan Hukum dan
Percepatan Perkembangan Masyarakat. Jurnal
Hukum Republik 5(2):176.
Zaki, Begiyama Fahmi. 2018. Kepastian Hukum Dalam
Pelelangan Objek Hak Tanggungan Secara
Online. Fiat Justisia Journal of Law 10(2):373.