ResearchPDF Available

Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada Era Reformasi Potret Perjuangan untuk Survive di Tengah Kompetisi Berbagai Kekuatan

Authors:
GERAKAN AHMADIYAH DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI:
Potret Perjuangan untuk Survive di Tengah Kompetisi Berbagai Kekuatan
LAPORAN PENELITIAN BERKELANJUTAN
Dibiayai oleh DIPA IAIN Surakarta Tahun 2013
Nama Peneliti:
Aris Widodo, M. A
M. Usman, S. Ag, M. Ag
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
TAHUN 2013
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dasawarsa terakhir abad ke-19 menandai munculnya salah satu gerakan yang
sangat kontroversial dalam Islam, yaitu Ahmadiyah. Titik kontroversial gerakan ini
terletak pada klaim pendirinya yang mengaku sebagai al-Mahdi, al-Masih, bahkan
sebagai nabi.
1
Didirikan tahun 1889 oleh Mirza Ghulam Ahmad (1837-1908), gerakan
Ahmadiyah mulai menyebar ke berbagai negara, melintasi negara asalnya, India.
Menyikapi tersebar-luasnya gerakan Ahmadiyah yang sangat kontroversial
tersebut, Rabithah ‘Alam Islami mengadakan konferensi di Mekkah tahun 1974.
Konferensi ini mengeluarkan beberapa point krusial, di antaranya: Ahmadiyah
merupakan gerakan subversif terhadap Islam dan dunia Islam karena gerakan itu
membenarkan klaim pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi. Oleh karena
itu, berdasarkan point ini, konferensi merekomendasikan negara-negara Muslim untuk
melarang gerakan itu di negara-negara mereka.
2
Mengikuti rekomendasi di atas, banyak negara Muslim, seperti Afghanistan,
Turki, Mesir, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, dan Pakistan mendeklarasikan bahwa
Ahmadiyah merupakan gerakan di luar Islam dan para pengikutnya divonis sebagai
non-Muslim.
3
Indonesia, sebuah negara Mayoritas Muslim, mengambil arah yang
sama.
1
Klaim Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terjadi tahun 1884, sedangkan klaimnya sebagai al-Mahdi,
dan al-Masih terjadi tahun 1890. Muhammad Ali, The Ahmadiyya Movement: the Founder, Lahore:
Coloured Printing Press, 1918, hlm. 11-13.
2
Suhaib Hasan dan Thufail Muhammad, Ahmadiyah, Minoritas non-Muslim, Jakarta: Ishlah ul-
Ummah, 1986, Appendix I, hlm. 66-68.
3
Mahmood A. Ghazi, Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad: Islamic Book
Foundation, 1991, hlm. 61.
2
Enam tahun sesudah konferensi tersebut, yaitu tahun 1980 (dan dikuatkan
kembali 25 tahun kemudian, yaitu tahun 2005), Majlis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan sebuah gerakan
yang berada di luar Islam.
4
Empat tahun sesudahnya, yaitu tahun 1984 (dan
ditegaskan kembali 21 tahun kemudian, yaitu tahun 2005 oleh Maftuh Basyuni),
Kementerian Agama mengeluarkan sebuah surat edaran yang dikirimkan ke seluruh
cabangnya di Indonesia, yang isinya mendukung fatwa tersebut.
5
Dampak dari keluarnya fatwa dan surat edaran tersebut sangatlah besar.
Gelombang penentangan beberapa kelompok Muslim terhadap Ahmadiyah, yang
sebetulnya telah muncul sejak awal-mula keberadaan Ahmadiyah di Indonesia,
semakin membesar. Situasi ini ditambah lagi dengan munculnya era baru dalam
pemerintahan di Indonesia, yaitu era reformasi, setelah rezim Soeharto dengan Orde
Baru-nya ambruk pada tanggal 21 Mei 1998.
Munculnya era baru tersebut menawarkan kesempatan bagi berbagai entitas,
termasuk kelompok-kelompok radikal, hadir di permukaan. Oleh karena itu,
gelombang oposisi terhadap gerakan Ahmadiyah tersebut kemudian tidak hanya
mewujud di ranah teoretis, tapi juga dalam perilaku radikal. Serangkaian penyerangan
terhadap gerakan Ahmadiyah terjadi pada tahun 2002, 2004, 2005, 2006, dan 2008.
Serangan itu seringkali begitu membahayakan sehingga tahun 2006 beberapa anggota
Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencari suaka ke Australia dan
Kanada.
6
Karena seringnya terjadi tindakan anarkis ini, pemerintah kemudian
mengambil keputusan, yaitu dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB)
4
www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=131, diakses tanggal 15 Juni 2011.
5
Roy Tupai, “The Right to Faith No More,” dalam www.parasindonesia.com (2 Augustus 2005),
diakses tanggal 17 Juni 2011.
6
Isu tentang pencarian suaka ini pernah diekspos Metro TV di pertengahan Juli 2006 dalam rubrik
“Suara Anda.
3
Tiga Menteri (Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri) pada tanggal
9 Juni 2008, yang isinya, antara lain, mempersempit ruang-gerak Ahmadiyah.
Di sisi lain, meskipun MUI dan Kementerian Agama menunjukkan keberatan
mereka atas keberadaan Ahmadiyah di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh
beberapa kelompok yang menentang Ahmadiyah di Indonesia, tidak semua elemen di
Indonesia mengikuti garis kecenderungan yang sama. Hal ini terlihat dari adanya
indikasi berikut. Dua tahun setelah munculnya era reformasi, yaitu tahun 2000 (masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid), Mirza Tahir Ahmad, khalifah ke-4 Ahmadiyah,
diizinkan untuk mengunjungi Indonesia, dan disambut hangat oleh beberapa tokoh
Muslim di Indonesia.
7
B. Rumusan Masalah
Pemaparan di atas mengilustrasikan bagaimana Ahmadiyah, sebagai sebuah
gerakan yang sangat kontroversial dalam Islam, telah memicu munculnya dua kutub
yang berseberangan, yaitu kelompok-kelompok yang mendukung dan kelompok-
kelompok yang menolak keberadaannya di Indonesia. Hal ini mendorong penulis
untuk meneliti lebih jauh lima persoalan berikut:
1) Bagaimana gerakan Ahmadiyah, dalam perjuangannya untuk bisa terus
survive di Indonesia, memanfaatkan dukungan dari kelompok-kelompok
yang pro terhadapnya?
2) Kelompok mana saja yang mendukung dan yang menolak keberadaan
gerakan Ahmadiyah di Indonesia?
7
Roy Tupai, “The Right to Faith No More,” in www.parasindonesia.com (2 Augustus 2005), diakses
tanggal 17 Juni 2011.
4
3) Bagaimana kelompok-kelompok yang mendukung dan yang menolak
keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia tersebut berkompetisi
memenangkan pengaruh di pemerintahan?
4) Bagaimana ending
8
dari kompetisi antara kelompok-kelompok yang
mendukung dan yang menolak keberadaan gerakan Ahmadiyah di
Indonesia tersebut, sebagaimana tersirat dari SKB Tiga Menteri yang
dikeluarkan pemerintah?
5) Apa makna SKB Tiga Menteri yang dikeluarkan pemerintah itu bagi
perjuangan gerakan Ahmadiyah dalam upayanya untuk terus survive di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1) Menelisik bagaimana gerakan Ahmadiyah, dalam perjuangannya untuk
bisa terus survive di Indonesia, memanfaatkan dukungan dari kelompok-
kelompok yang pro terhadapnya;
2) Mengidentifikasi kelompok mana saja yang mendukung dan yang
menolak keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia?
3) Menjelaskan bagaimana kelompok-kelompok yang mendukung dan yang
menolak keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia tersebut
berkompetisi memenangkan pengaruh di pemerintahan?
8
Kata ending di sini diberi tanda kutip dengan maksud untuk memberi batasan-semu saja, karena SKB
Tiga Menteri itu pun selanjutnya masih terus menimbulkan pro dan kontra.
5
4) Mengetahui bagaimana endingdari kompetisi antara kelompok-
kelompok yang mendukung dan yang menolak keberadaan gerakan
Ahmadiyah di Indonesia tersebut, sebagaimana tersirat dari SKB Tiga
Menteri yang dikeluarkan pemerintah;
5) Menjelaskan apa makna SKB Tiga Menteri yang dikeluarkan pemerintah
itu bagi perjuangan gerakan Ahmadiyah dalam upayanya untuk terus
survive di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk mereka, baik khalayak umum maupun
akademisi, yang tertarik untuk mengetahui satu dasawarsa sejarah perjuangan gerakan
Ahmadiyah untuk bisa terus survive di Indonesia, dikaitkan dengan sejarah dinamika
pertarungan antara kelompok yang pro dan kontra terhadap keberadaan gerakan
tersebut. Dalam ranah akademis, membaca dinamika sejarah pertarungan berbagai
kekuatan yang mendukung dan yang menolak perjuangan gerakan Ahmadiyah untuk
bisa terus survive di Indonesia ini memiliki signifikansi untuk, secara tidak langsung,
menjawab sebuah pertanyaan yang diajukan H.A.R. Gibb sekitar delapan dekade
silam: ke manakah arah Islam (Whither Islam?).
9
Mengkaji respon, baik negatif
maupun positif, terhadap keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia akan membuka
kenyataan apakah pendulum Islam di Indonesia lebih mengarah kepada
fundamentalisme ataukah liberalisme.
9
H.A.R. Gibb (ed.), Whither Islam? A Survey of Modern Movements in the Moslem World, London:
Victor Gollancz Ltd., 1932.
6
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
Pada masa kolonial, seorang sarjana Belanda, C.C. Berg menengarai bahwa
terdapat empat kekuatan yang mungkin berpengaruh terhadap Islam di Indonesia,
yaitu (1) Islam itu sendiri, (2) gerakan nasionalis, (3) para alumni barat, dan (4) misi
kristen.
10
Penelitian yang mengkaji sejarah perjuangan gerakan Ahmadiyah ini akan
meminjam kerangka teori Berg di atas, yaitu bahwa ada kekuatan-kekuatan yang,
sebagaimana berpengaruh terhadap Islam di Indonesia, mungkin juga berpengaruh
terhadap keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia.
Beberapa unsur yang disebutkannya mungkin masih relevan, tetapi unsur
yang lain agaknya perlu diberi beberapa keterangan tambahan. Mengenai “misi
kristen” misalnya, seperti disebutkan di bagian akhir “Latar Belakang Masalah” di
atas, menarik untuk dicatat bahwa beberapa figur yang memberikan respon terhadap
keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia bukan hanya dari kalangan intelektual
Muslim saja, tetapi juga dari para wakil Kristen. Sedangkan mengenai unsur “Islam
itu sendiri,” Islam sendiri terklassifikasi ke beberapa tipe lagi. Di sinilah perlu diberi
detail-detail lebih jauh. Sedangkan kekuatan-kekuatan lainnya, seperti gerakan
nasionalis, dan pengaruh alumni Barat, perlu ditelaah lebih lanjut.
10
C.C. Berg, “Indonesia,” dalam H.A.R. Gibb (ed.), Whither Islam? A Survey of Modern Movements in
the Moslem World, London: Victor Gollancz Ltd., 1932, hlm. 311.
7
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Kajian tentang gerakan Ahmadiyah telah dilakukan oleh banyak sarjana.
Mengenai gerakan Ahmadiyah secara umum H. A. Walter, misalnya, menulis The
Ahmadiyah Movement,
11
sementara M.E. Burney menerbitkan Qadiani Movement,
12
dan Spencer Lavan menghasilkan buku The Ahmadiyah Movement: A History and
Perspective.
13
Sedangkan untuk kajian tentang gerakan Ahmadiyah di Indonesia, ada
beberapa artikel dan buku. Iskandar Zulkarnain, dalam bukunya, Gerakan Ahmadiyah
di Indonesia,
14
mengkaji gerakan Ahmadiyah di Indonesia sampai tahun 1942. Kajian
lainnya, Herman L. Beck, “The Rupture between the Muhammadiyah and the
Ahmadiyya,”
15
menyoroti hubungan dinamisyang dimulai dengan hubungan hangat
sampai keretakan hubunganantara Muhammadiyah dan gerakan Ahmadiyah,
khususnya cabang Lahore. Sedangkan Alfitri, dalam artikelnya, “Religious Liberty in
Indonesia and the Rights of ‘Deviant’ Sects,
16
mengkaji eksistensi gerakan
Ahmadiyah di Indonesia, khususnya cabang Qadiani, dalam hubungannya dengan
kebebasan beragama. Terakhir, Ahmad Subakir (dkk.) dalam artikel “Respon Tokoh
Islam atas Fatwa MUI tentang Gerakan Ahmadiyah Indonesia,”
17
menyoroti
pandangan beberapa ulama di Kediri, Jawa Timur terhadap fatwa MUI tentang
Ahmadiyah.
Sejauh pengetahuan penulis, belum ada riset tentang perjuangan gerakan
Ahmadiyah untuk bisa terus survive di Indonesia dikaitkan dengan berbagai kekuatan
11
H. A. Walter, The Ahmadiyah Movement, Calcutta: Association Press, 1918.
12
M.E. Burney, Qadiani Movement, Durban: Makki Publications, 1955.
13
Spencer Lavan, The Ahmadiyah Movement: A History and Perspective, Delhi: Manohar Book
Service, 1974.
14
Iskandar Zulkarnain, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2005.
15
Herman L. Beck, “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyya,” dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 161-2/3 (2005): 210-246.
16
Alfitri, “Religious Liberty in Indonesia and the Rights of ‘Deviant’ Sects,dalam Asian Journal of
Comparative Law, vol. 3, No. 1, 2008.
17
Ahmad Subakir (dkk.), “Respon Tokoh Islam atas Fatwa MUI tentang Gerakan Ahmadiyah
Indonesia,” dalam www.bagais.go.id/jurnaldikti (2005).
8
yang kemungkinan besar mendukung dan menentang perjuangan tersebut. Oleh
karena itu, persoalan inilah yang akan menjadi concern dari penelitian ini.
C. Kerangka Berpikir
Untuk menelisik bagaimana upaya gerakan Ahmadiyah untuk bisa terus
survive di Indonesia di tengah gelombang penentangan dan dukungan terhadapnya,
penelitian ini menggunakan kerangka berpikir teori konflik yang dikembangkan oleh
Randal Collins, dan Ralf Dahrendorf. Menurut teori Randal Collins, konflik yang
terjadi di tengah masyarakat merupakan konflik tentang, salah satunya, kekuasaan.
Kekuasaan, dalam kacamata Collins, merupakan “kemampuan individu/kelompok
untuk menginstruksikan sesuatu pada pihak lain.
18
Konflik terjadi karena masing-
masing menginginkan kekuasaan dalam arti umum ini. Terkadang, untuk
mendapatkan kekuasaan ini, dipakai uang, paksaan, maupun solidaritas sosial.
19
Dalam melihat “konflik kekuasaan” ini, Collins melihat terjadinya beberapa hal, di
antaranya: 1) siapa yang memiliki social resources akan menjadi pemenang dalam
ajang konflik tersebut; 2) meskipun demikian, akan selalu ada perlawanan, meski
secara tersembunyi atau secara halus, dari pihak yang kalah; dan 3) pihak pemenang
belum tentu mendapatkan apa yang mereka inginkan, karena terdapat mekanisme
kompromi.
20
Sedangkan menurut Ralf Dahrendorf, konflik terjadi di masyarakat, salah
satunya, juga karena konflik kekuasaan. Namun Dahrendorf menambahkan,
kekuasaan di sini bisa bersifat umum saja, yang bisa dinikmati oleh sembarang
18
Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak Sosiologi Modern,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 291.
19
Ibid., hlm. 291-2.
20
Ibid, hlm. 292.
9
individu maupun kelompok, tetapi juga bisa melibatkan wewenang. Yang pertama
tidak berkaitan dengan otoritas dan posisi dalam masyarakat, sedangkan yang disebut
terakhir melibatkan keduanya: otoritas dan posisi. Yang pertama bisa saja terjadi
secara non-legal, sedangkan yang kedua bersifat legal dan memiliki konsekwensi
hukum.
21
21
Ibid., hlm. 322-3.
10
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan sebagai penelitian kualitatif yang sifatnya tidak
hanya deskriptif (descriptive/taxonomic research), yaitu “mendeskripsikan sejumlah
variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti,” tetapi juga bersifat
eksplanatif (explanatory research), yaitu akan menjelaskan hubungan antar variabel-
variabel tersebut.
22
Pada level deskriptif/taksonomis, penelitian ini akan mengidentifikasi
kelompok mana saja yang mendukung keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia,
dan kelompok mana saja yang menolak. Pada level eksplanatif, penelitian ini akan
memberikan penjelasan mengenai (1) hubungan antara gerakan Ahmadiyah dengan
kelompok-kelompok yang mendukung keberadaannya di Indonesia; (2) hubungan
antara pertarungan kelompok pro-kontra Ahmadiyah dengan SKB Tiga Menteri; dan
(3) hubungan antara SKB Tiga Menteri dengan perjuangan gerakan Ahmadiyah untuk
bisa terus survive di Indonesia. Ketiga hubungan itu tergambar dalam bagan berikut:
22
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 20-1.
11
Bagan 1. Hubungan gerakan Ahmadiyah dengan Entitas Lain
Keterangan Tanda Panah pada Bagan:
Karena sifat kajiannya yang demikian, maka penelitian ini berarti akan
memakai dua pendekatan sekaligus, yaitu sosiologis, karena menyoroti interaksi
horisontal antar kelompok-kelompok masyarakat, dan politikologis, karena menyoroti
interaksi vertikal antara kelompok-kelompok masyarakat dengan pemerintah selaku
pengambil kebijakan (policy maker).
23
2. Jenis Data
Dalam penelitian ini, jenis data yang akan digunakan dalam penelitian
kualitatif adalah dokumen (document). Berkaitan dengan jenis data ini, yaitu
dokumen, dokumen memiliki banyak ragamnya. Dokumen yang dirujuk dalam
23
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1992, hlm. 4.
= hubungan eksplisit-langsung
= hubungan implisit-tak langsung
12
penelitian ini adalah surat kabar, artikel dalam surat kabar atau jurnal, pernyataan
pers, dan dokumen kebijakan.
24
B. Subjek Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan pada sejarah perjuangan gerakan Ahmadiyah
untuk bisa terus survive di Indonesia dalam satu dekade, yaitu sejak tahun 1998
sampai 2008. Tahun 1998 merupakan titik-awal dari era reformasi, sedangkan tahun
2008 merupakan tahun krusial bagi gerakan Ahmadiyah di Indonesia, karena pada
tahun ini pemerintah mengeluarkan SKB Tiga Menteri yang isinya, di antaranya,
berkaitan dengan gerakan tersebut. Selain itu, masa ini dijadikan sebagai fokus
penelitian karena pada era reformasi kran kebebasan dibuka secara lebih luas,
sehingga kelompok-kelompok yang awalnya hanya bersifat latent kemudian berubah
menjadi manifest. Dengan demikian, bagaimana sikap sebenarnya dari berbagai
kelompok yang bermunculan tersebut terhadap gerakan Ahmadiyah di Indonesia
menjadi lebih jelas. Meskipun demikian, sorotan terhadap masa-masa sebelum tahun
1998 dan sesudah tahun 2008 tetap dilakukan sebagai setting dan supplement, yang
dalam konteks sejarah visioner, bisa juga digunakan sebagai titik-pijak (vantage
point) untuk menatap masa depan gerakan Ahmadiyah di Indonesia: apakah bisa terus
survive atau tidak.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data, penelitian ini akan mengumpulkan informasi
dari surat kabar, artikel dalam surat kabar atau jurnal, pernyataan pers, dan dokumen
24
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, hlm.
66.
13
kebijakan mengenai gerakan Ahmadiyah pada masa reformasi, dengan segenap
responnya dari berbagai kelompok, baik positif maupun negatif, terhadap gerakan ini.
D. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul selanjutnya akan dianalisis. Dalam tahap analisis data
ini, dokumen yang terkumpul akan “dibaca” dan direview
25
sesuai dengan tujuan
penelitian. Tujuan dari analisis data adalah “untuk mendeteksi tema-tema dan pola-
pola yang muncul,”
26
misalnya tentang mengapa kelompok-kelompok tertentu
menolak keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia, sementara kelompok-
kelompok lainnya justru mendukungnya. Untuk mendeteksi tema-tema dan pola-pola
yang muncul, dokumen dari surat kabar, artikel dalam surat kabar atau jurnal,
pernyataan pers, dan dokumen kebijakan akan sangat membantu.
25
Ibid. , hlm. 17.
26
Ibid.
14
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Gerakan Ahmadiyyah
Gerakan Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1837-1908) di
Qadian, India, tahun 1889. Lahirnya gerakan ini dilatarbelakangi, setidaknya, oleh
dua aspek, yaitu aspek politik, dan aspek religius. Dalam aspek politik, kehadiran
gerakan Ahmadiyah bersinggungan dengan situasi di India yang waktu itu masih
dijajah Inggris. Pada tahun 1857, perjuangan India untuk mendapatkan kemerdekaan
dari penjajah Inggris mengalami kegagalan. Bahkan, sejak tahun 1840-an pemerintah
Inggris semakin kuat menancapkan kekuasaannya di India.
27
Respons umat Islam
India terhadap situasi demikian terbelah menjadi dua kelompok: pertama, kelompok
yang lebih memilih sikap kooperatif terhadap pemerintah Inggris; kedua, kelompok
yang terus melanjutkan perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Kelompok pertama
dipelopori oleh Sir Sayyid Ahmad Khan, sementara kelompok kedua dikomandani
oleh Sir Sayyid Ahmad Syahid. Di satu sisi, Ahmad Khan berpandangan bahwa lebih
baik mengambil sikap kooperatif, karena kenyataannya pemerintah Inggris telah
memberikan kontribusi positif terhadap kehidupan umat Islam India. Di sisi lain,
Ahmad Syahid berpendapat bahwa adalah lebih terhormat apabila umat Islam India
terus melanjutkan jihad untuk memperoleh kemerdekaan dari pemerintah non-
Muslim.
28
Dalam situasi politik seperti itulah ketika Mirza Ghulam Ahmad muncul
pada tahun 1889 dengan gerakan Ahmadiyyah-nya.
27
Spencer Lavan, The Ahmadiyya Movement: A History and Perspective, Delhi: Manohar Book
Service, 1974, hlm. 1 dan 5.
28
Ibid., hlm. 5, 6, dan 9.
15
Aspek kedua yang menyelimuti kemunculan gerakan Ahmadiyyah adalah
aspek religius, yaitu populernya debat keagamaan antar berbagai komunitas di India.
Polemik yang sering muncul terjadi adalah antara komunitas Hindu, Kristen, dan
Muslim.
29
Menghadapi situasi demikian, Mirza Ghulam Ahmad berpendapat bahwa
mengambil sikap kooperatif terhadap pemerintah Inggris merupakan pilihan tepat,
karena hal itu akan menciptakan kondisi yang kondusif bagi tersebarnya Islam ke
berbagai komunitas secara damai.
30
Kalau Sayyid Ahmad Khan meragukan relevansi
jihad pada waktu itu, maka Mirza Ghulam Ahmad melangkah lebih jauh lagi dengan
menyatakan bahwa kewajiban berjihad pada masanya telah terhapus. Mengikuti jejak
Sayyid Ahmad Khan, Mirza Ghulam Ahmad menyerukan perlunya ijtihad, yaitu
upaya untuk menyebarkan interpretasi yang benar mengenai ajaran Islam.
31
Dengan
idealisme seperti itulah Mirza Ghulam Ahmad mulai melancarkan ajaran-ajarannya
mengenai Islam, dan, di waktu yang sama, sambil mendebat kebenaran agama selain
Islam.
Upaya Mirza Ghulam Ahmad dalam mendebat para misionaris dari agama lain
pada waktu itu mendapat simpati dari komunitas Muslim. Ini terjadi utamanya setelah
ia menerbitkan karyanya, Barahin-i-Ahmadiyyah. Karya yang secara keseluruhan
terdiri dari lima volume tersebut memperoleh sambutan hangat dari masyarakat
Muslim.
32
Meskipun demikian, antusiasme masyarakat Muslim ini tidak berlangsung
lama ketika Mirza Ghulam Ahmad mulai mengeluarkan klaim-klaim yang ekstrim.
Komunitas Muslim masih bisa memahami ketika Mirza Ghulam Ahmad menyatakan
diri sebagai mujaddid untuk masa itu. Namun, ketika ia mengklaim diri sebagai
Mesias yang dijanjikan (al-Masih al-Mau’ud), sebagai al-Mahdi, atau bahkan sebagai
29
Abul Hasan Ali Nadwi, Qadianism: A Critical Study, Lucknow: Academy of Islamic Research and
Publications, 1974, hlm. 4.
30
Lavan, The Ahmadiyya Movement, hlm. 8.
31
Nadvi, Qadianism, hlm. 25.
32
Ibid., hlm. 25 dan 29.
16
nabi,
33
mayoritas masyarakat Muslim tidak bisa lagi memberikan toleransi, karena
klaim tersebut bertentangan dengan keyakinan dasar mereka. Mayoritas umat Islam
percaya bahwa al-Mahdi akan muncul menjelang akhir zaman, dengan didampingi
oleh Nabi Isa (al-Masih al-Mau’ud) yang akan turun dari langit, dan bahwa kenabian
itu sudah tertutup, sehingga tidak ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad saw.
Maka sejak saat itu, mulailah berkembang polemik di seputar Mirza Ghulam
Ahmad. Polemik ini bahkan terjadi di kalangan pengikutnya sendiri. Pada tahun
1914, sekitar 6 tahun sesudah kematian Mirza Ghulam Ahmad, pengikutnya terpecah
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang dipimpin Mirza Bashiruddin Mahmud,
disebut kelompok Qadiani, merujuk ke Qadian, India yang menjadi markasnya yang
pertama
34
; dan kelompok yang dipimpin Muhammad Ali, disebut kelompok Lahori,
yang bermarkas di Lahore, Pakistan.
35
Kelompok yang pertama percaya bahwa Mirza
Ghulam Ahmad adalah, selain sebagai Mesias dan Mahdi, juga merupakan nabi dalam
arti yang sebenarnya. Kelompok kedua memiliki kepercayaan yang sama dengan
kelompok pertama kecuali dalam hal status kenabian Mirza Ghulam Ahmad.
Kelompok ini memandang Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dalam arti metaforis,
bukan makna sebenarnya.
36
Dalam konteks Indonesia, kelompok yang pertama
menamakan diri dengan “Jemaat Ahmadiyah Indonesia” (JAI), sedangkan kelompok
yang kedua menyebut diri mereka “Gerakan Ahmadiyah Indonesia” (GAI). Dalam
penelitian ini, fokus perhatian akan lebih diarahkan kepada kelompok yang pertama,
yaitu JAI, karena kelompok inilah yang lebih memunculkan pro-kontra dibanding
33
Lihat catatan kaki no 1.
34
Qadian menjadi markas kelompok ini sampai tahun 1947, kemudian pindah ke Rabwah, Pakistan.
Sejak tahun 1984 sampai sekarang, pindah ke Inggris. Lihat, Press and Publication Desk of
Ahmadiyya Muslim Association, Plight of Ahmadi Muslims in Pakistan, 1989-1999, United Kingdom:
Islam International Publication, 2000, hlm. 3.
35
Mahmood A. Ghazi, Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad: Islamic Book
Foundation, 1991, hlm. 67.
36
Pandangan Qadiani mengenai kenabian Mirza Ghulam Ahmad bisa dirujuk pada buku Bashiruddin
Mahmud Ahmad, Invitation to Ahmadiyyat, London: Routledge & Kegan, 1980, hlm. 38-45; sedangkan
untuk pandangan Lahori, buku Muhammad Ali, The Ahmadiyya, hlm. 25, 46,48.
17
kelompok yang kedua (GAI). JAI juga secara eksplisit disebut-sebut dalam SKB Tiga
Menteri.
2. Era Reformasi dan Munculnya Berbagai Gerakan
Era reformasi dimulai sejak rezim Orde Baru jatuh, ketika Soeharto lengser
dari kursi kepresidenan, yaitu tanggal 21 Mei 1998. Pada masa reformasi, kursi
kepresidenan dijabat, secara berurut, oleh B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati Soekarno Putri, dan Soesilo Bambang Yudhoyono. Pada masa reformasi
ini, banyak kelompok-kelompok Islam bermunculan. Oleh Zuly Qodir, kelompok-
kelompok tersebut diklassifikasikan menjadi tiga, yaitu kelompok Islam radikal-
fundamentalis, kelompok Islam moderat, dan kelompok Islam politik. Kelompok
pertama diwakili, misalnya, oleh Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam
(KISDI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Front
Pembela Islam (FPI), dan Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah, yang lebih
dikenal dengan Laskar Jihad. Kelompok kedua diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, yang memang telah ada jauh sejak sebelum era reformasi.
Kelompok ketiga diwakili, misalnya, oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sosial (PKS).
37
Sementara itu, Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF memberikan
tipologi yang sedikit berbeda. Kelompok pertama mereka sebut sebagai gerakan pro-
syari’at, kelompok kedua—sama seperti tipologi di atasmereka sebut Islam
moderat, sedangkan kelompok ketiga mereka membuat klassifikasi tersendiri, yaitu
37
Zuly Qodir, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, hlm. 138.
18
gerakan dakwah sufistik, yang diwakili oleh, misalnya, Abdullah Gymnastiar (Aa’
Gym) dan Arifin Ilham.
38
Sebagian kelompok itulah yang, di antaranya, meramaikan wacana
bagaimana harus mensikapi keberadaan gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Namun,
agaknya, bukan hanya kelompok-kelompok Islam saja yang merespon keberadaan
gerakan Ahmadiyah di Indonesia, tetapi juga kelompok-kelompok non-Islam.
3. SKB Tiga Menteri
SKB Tiga Menteri adalah Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani
oleh tiga menteri, yaitu Menteri Agama (saat itu Maftuh Basyuni), Jaksa Agung
(Hendarman Supanji), dan Menteri Dalam Negeri (Mardiyanto). SKB ini dikeluarkan
pada tanggal 9 Juni 2008. Isi selengkapnya dari SKB tersebut adalah sebagai berikut:
1. Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum,
melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau
melakukan kegiatan agama yang menyerupai kegiatan keagamaan dari
agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama.
2. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut anggota dan
anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk
menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang
dari pokok ajaran agama Islam yaitu penyebaran paham yang mengakui
adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad.
38
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia,”
dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds.), Islam, Negara, & Civil Society: Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 488-9.
19
3. Penganut anggota dan anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan
peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum ke-1 dan 2
dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan termasuk organisasi dan badan hukumnya.
4. Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat
untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta
ketentraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak
melakukan perbuatan atau tindakan melawan hukum terhadap penganut
anggota dan anggota pengurus JAI.
5. Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada diktum ke-1 dan 4 dapat dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk
organisasi dan badan hukumnya.
6. Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah untuk
melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka penanganan dan
pengawasan pelaksanaan keputusan bersama ini.
39
B. Analisis Data
1. Perjuangan Gerakan Ahmadiyyah untuk Survive di Tengah Kompetisi
Berbagai Kekuatan
Meskipun banyak gelombang penentangan dan respon negatif dari
kelompok Muslim lainnya terhadap gerakan Ahmadiyyah, gerakan kontroversial ini
39
www.kompas.com (9 Juni 2008), diakses 17 Juni 2011.
20
masih mampu untuk menyebarluaskan misinya ke berbagai negara di luar negara
asalnya, India.
40
Gerakan ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1925, yang berarti
sekitar 20 tahun sebelum terbentuknya negara Indonesia. Setelah perjuangan panjang
sekitar 28 tahun sejak masuknya ke Indonesia tahun 1925 itu, gerakan Ahmadiyyah
berhasil mendapatkan status legalnya di Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri
Kehakiman tahun 1953.
41
Meskipun telah mendapatkan status legalnya untuk eksis di Indonesia, hal itu
tidak berarti keberadaannya di negara ini tanpa ada gangguan dan rintangan.
Penentangan dan respon negatif yang ditunjukan oleh umat Islam di berbagai negara
juga ber-resonansi di Indonesia, khususnya setelah dikeluarkannya fatwa MUI tahun
1980, dan dikuatkan dengan surat edaran dari Kementerian Agama tahun 1984,
seperti telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, ketika ada kesempatan untuk
memperkuat posisinya berhadapan dengan kelompok-kelompok penentangnya di
Indonesia, gerakan Ahmadiyyah segera melakukannya. Hal ini terlihat saat datangnya
era reformasi. Pada tahun 2000 (di saat pemerintahan Abdurrahman Wahid), yang
berarti 2 tahun setelah munculnya era reformasi, gerakan Ahmadiyyah mengundang
pucuk pimpinan internasionalnya, Mirza Tahir Ahmad, khalifah ke-4 dari Mirza
Ghulam Ahmad, untuk berkunjung ke Indonesia.
42
Mirza Tahir Ahmad kemudian berkunjung ke Indonesia, bulan Juni tahun
2000. Kedatangan pucuk pimpinan gerakan Ahmadiyyah ke Indonesia ini tentu saja
segera menyulut gelombang kontroversi selanjutnya. Pada posisi yang mendukung,
kehadiran Mirza Tahir Ahmad disambut hangat oleh Abdurrahman Wahid (yang saat
40
Shadid dan Koningsveld, Religious Freedom and the Position of Islam in Western Europe:
Opportunities and Obstacles in the Acquisition of Equal Rights, the Netherlands: Kok Pharos
Publishing House, 1995, hlm. 50.
41
www.ahmadiyya.or.id.
42
Roy Tupai, “The Right to Faith No More,” dalam www.parasindonesia.com (2 Augustus 2005),
diakses tanggal 17 Juni 2011.
21
itu menjabat sebagai Presiden RI), Amien Rais (ketua MPR), dan Dawam Rahardjo
(dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, ICMI). Bahkan Dawam Rahardjo
menggelar Dialog Pakar Islam, pada tanggal 29 Juni 2000 di Regent Hotel. Acara
tersebut, selain mengundang Mirza Tahir Ahmad, juga menghadirkan beberapa
intelektual Muslim Indonesia, seperti Amien Rais, Bahtiar Efendi, Moeslim
Abdurrahman, Nurcholish Madjid, M.M. Billah, Azyumardi Azra, dan Masdar Farid
Mas’udi.
43
Pada posisi yang menentang, Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII),
diwakili Wahid Alwi, dan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), diwakili
Umar Abduh, Hartono Ahmad Jaiz, Jajat Sudrajat, Farid Ahmad Okbah
menyelenggarakan konferensi pers tanggal 4 Juli 2000. Konferensi pers ini
mengumumkan beberapa poin krusial berkaitan dengan penyimpangan Gerakan
Ahmadiyyah, misalnya bahwa gerakan ini mempercayai klaim kenabian pendirinya,
Mirza Ghulam Ahmad; bahwa gerakan ini memiliki tempat tujuan haji tersendiri,
yaitu Qadian, India, dan bukannya Mekah; dan bahwa gerakan ini memiliki kitab suci
tersendiri, yaitu Tadzkirah.
44
Tidak lama setelah kunjungan Mirza Tahir Ahmad di tahun 2000 itu, terjadi
kekerasan terhadap anggota Gerakan Ahmadiyyah. Kekerasan ini, menurut pengakuan
LPPI, dipicu oleh pernyataan sang khalifah yang sesumbar bahwa Indonesia akan
menjadi sebuah negara dengan Ahmadiyyah sebagai mayoritas.
45
Kekerasan itu
kemudian diikuti oleh aksi penyerangan ke kelompok Ahmadiyyah di Manislor,
Kuningan, Jawa Barat, dan Pancor, Lombok Timur, serta di kampus Mubarak,
43
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2002, hlm.
59.
44
Ibid.
45
Hartono Ahmad Jaiz dan Ahmad Tede, “Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan Musuh Islam,” dalam
http://infolppi.blogspot.com/2011/03/rekayasa-ahmadiyah-cari-dukungan-musuh.html (diakses 25
Februari 2011).
22
Parung, Bogor, Jawa Barat pada tahun 2002. Menurut Dawam Raharjo, aksi-aksi
penyerangan itu terjadi setelah MUI menggelar seminar satu hari pada tanggal 11
Agustus 2002, yang dalam seminar itu diundang beberapa pembicara yang menentang
Gerakan Ahmadiyyah, semisal dari FPI dan LPPI, dan yang merekomendasikan agar
Gerakan Ahmadiyyah dilarang di Indonesia.
46
Merespon sikap negatif dan aksi kekerasan terhadap Gerakan Ahmadiyyah
tersebut, beberapa intelektual muda Muslim berhaluan moderat, seperti Ahmad Rais,
putera Amien Rais, mewakili Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ulil Abshar
Abdalla, mewakili Jaringan Islam Liberal (JIL), dan Siti Musdah Mulia, mewakili
International Conference on Religion and Peace (ICRP) berkumpul di kantor
Muhammadiyah Jakarta pada tanggal 17 Juli 2005. Bersama beberapa tokoh lain,
semisal Weinata Sairin dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), dan Romo
Beny dari Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), mereka memberikan dukungan
atas eksistensi Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia.
47
Pada titik inilah Gerakan Ahmadiyyah menjadi pusat pertarungan antara
kelompok-kelompok yang mendukung gerakan itu, dan kelompok-kelompok yang
menentangnya. Dalam pertarungan ini, seringkali Gerakan Ahmadiyyah menjadi
target aksi kekerasan dari kelompok-kelompok yang menentangnya. Menurut data
dari Setara Institute, seperti dikutip Jaiz dan Tede, serangkaian aksi kekerasan terjadi
hampir setiap tahun, dan di tahun 2008 paling banyak insiden terjadi, yaitu 238 kali.
48
Menyikapi berbagai aksi kekerasan terhadap Gerakan Ahmadiyyah tersebut,
pemerintah Indonesia menginstruksikan Badan Koordinasi Pengawas Aliran
46
M. Dawam Rahardjo, ”Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,“ dalam
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850 (18 Juli 2005).
47
www.kapanlagi.com, 19 Juli 2005.
48
Hartono Ahmad Jaiz dan Ahmad Tede, “Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan Musuh Islam,” dalam
http://infolppi.blogspot.com/2011/03/rekayasa-ahmadiyah-cari-dukungan-musuh.html (diakses 25
Februari 2011).
23
Kepercayaan Masyarakat (BAKORPAKEM) untuk menginvestigasi Gerakan
Ahmadiyyah. Setelah investigasi selama 3 (tiga) bulan, (15 Januari 15 April 2008),
maka pada tanggal 16 April 2008 BAKORPAKEM merekomendasikan pemerintah
Indonesia untuk menghentikan berbagai aktivitas Gerakan Ahmadiyyah dalam
menyebarkan ajaran-ajarannya, karena ajaran-ajaran tersebut menyimpang dari ajaran
dasar Islam; dan jika Gerakan Ahmadiyyah bersikeras untuk menyebarkan ajaran-
ajarannya, maka BAKORPAKEM merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia
agar melarang gerakan tersebut, karena aktivitas penyebaran ajaran dari Gerakan
Ahmadiyyah telah menyebabkan keresahan di masyarakat Indonesia.
49
Rekomendasi BAKORPAKEM tersebut memicu kontroversi lanjutan di
masyarakat. Di pihak yang sepakat dengan rekomendasi ini, Forum Umat Islam
(FUI), yang terdiri dari beberapa organisasi Islam seperti FPI, MMI, DDII, LPPI, dan
HTI, melaksanakan Apel Siaga yang melibatkan 100.000 orang di depan Istana
Negara pada tanggal 20 April 2008, mendesak pemerintah agar mengeluarkan Surat
Keputusan yang berisi larangan terhadap Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia.
50
Selain
itu, MUI juga meminta agar pemerintah segera mengeluarkan Surat Keputusan itu
dengan segera, sehingga posisi Gerakan Ahmadiyyah menjadi jelas. Di pihak yang
tidak sepakat dengan rekomendasi di atas, Masdar Farid Mas’udi dari NU
mengingatkan pemerintah untuk merujuk UUD 1945 yang menjamin kebebasan
berkeyakinan. Mas’udi juga mengingatkan anggota NU untuk bersikap toleran
(tasamuh) kepada keyakinan lain, karena sikap ini merupakan dasar dari organisasi
NU (khittah jam’iyyah).
51
49
www.kompas.com, 17 April 2008.
50
www.kompas.com, 20 April 2008.
51
www.kompas.com, 18 April 2008.
24
Sementara itu, Gerakan Ahmadiyyah, bersama dengan Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)sebuah aliansi yang
terdiri dari berbagai LSM, termasuk beberapa organisasi Islam moderat semisal
Wahid Instituted, Jaringan Islam Kampus (JARIK), Jaringan Islam Liberal (JIL),
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSaF), dan Fatayat NU
52
mendatangi Dewan
Pertimbangan Presiden (WANTIMPRES) pada tanggal 22 April 2008, untuk
mencegah pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan yang isinya melarang
keberadaan Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia. Kemudian WANTIMPRES, diwakili
Adnan Buyung Nasution, berjanji untuk berupaya keras agar Surat Keputusan berisi
pelarangan Gerakan Ahmadiyyah, yang rencananya akan dikeluarkan tanggal 23 April
2008, tidak jadi dikeluarkan.
53
2. SKB Tiga Menteri: “Kartu Kuning” bagi Gerakan Ahmadiyyah dan
“Berakhirnya” Pertarungan
Upaya WANTIMPRES untuk mencegah keluarnya Surat Keputusan berisi
larangan terhadap Gerakan Ahmadiyyah sukses untuk sementara waktu: Surat
Keputusan yang berisi pelarangan Gerakan Ahmadiyyah itu tidak dikeluarkan pada
waktu yang telah ditentukan, yaitu 23 April 2008. Akan tetapi, pada tanggal 9 Juni
2008, setelah sekitar 2 bulan negosiasi dan resistensi, akhirnya pemerintah
mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yang ditandatangani
Menteri Agama (Maftuh Basyuni), Jaksa Agung (Hendarman Supanji), dan Menteri
Dalam Negeri (Mardiyanto). SKB Tiga Menteri itu berisi 6 poin: satu poin merujuk
ke klausul yang sifatnya umum, yaitu memberi peringatan kepada warga negara
Indonesia untuk tidak menyebarkan penafsiran yang menyimpang dari ajaran-ajaran
52
www.akkbb.wordpress.com.
53
www.republika.co.id, 22 April 2008.
25
agama resmi di Indonesia; 2 poin menunjuk ke klausul yang bersifat khusus, yaitu
memberi peringatan kepada warga Jema’at Ahmadiyah Indonesia (JAI) untuk tidak
menyebarkan klaim kenabian dari pendirinya, dan sanksi jika mereka melanggar
peringatan tersebut; 2 poin lagi merujuk kepada warga negara Indonesia untuk tidak
membuat aksi kekerasan terhadap anggota JAI, dan sanksi jika mereka melanggar
aturan ini; dan satu poin terakhir menunjuk kepada aparat pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan aturan-aturan di atas.
54
Meskipun banyak kritik dialamatkan kepada materi SKB tersebut,SKB ini
tidak diubah atau dihapus sampai sekarang. Dengan demikian, SKB Tiga Menteri bisa
dikatakan sebagai akhir sementara dari kompetisi berbagai kekuatan, yang pro dan
kontra terhadap Gerakan Ahmadiyyah. Dikeluarkannya SKB Tiga Menteri memberi
sinyal setidaknya tiga makna penting. Pertama, hal ini mengindikasikan gagalnya
Gerakan Ahmadiyyah dalam melobi pemerintah Indonesia sebagai decision maker.
Hal ini mengimplikasikan bahwa perjuangan Gerakan Ahmadiyyah, sampai titik ini,
untuk survive berakhir sia-sia, apalagi untuk memperkuat eksistensinya di negara
Indonesia. SKB Tiga Menteri telah memberi, memakai bahasa sepakbola, “kartu
kuning” bagi Gerakan Ahmadiyyah, karena gerakan ini tidak lagi diijinkan untuk
menyebarkan ajaran-ajarannya, dan jika gerakan ini bersikeras untuk tetap
menyebarkan ajaran-ajarannya, maka Gerakan Ahmadiyyah akan mendapat “kartu
merah”, yaitu dilarang di Indonesia.
Kegagalan Gerakan Ahmadiyyah juga menunjuk kepada makna kedua,
bahwa para pendukung gerakan ini, dalam hal ini Islam moderat Indonesia, kalah
bertarung melawan para penentang Gerakan Ahmadiyyah, yaitu gerakan Islam radikal
54
www.kompas.com, 9 Juni 2008.
26
Indonesia. Hal ini bisa jadi karena, seperti disinyalir oleh Martin van Bruinessen,
55
makna ketiga, yaitu bahwa “logika kekuatan” (logic of power) lebih keras suaranya
dibanding “kekuatan logika” (power of logic): mereka yang memiliki jumlah yang
lebih banyak dalam mobilisasi massa akan memenangkan pertarungan. Hal ini juga
bisa berarti bahwa mobilisasi massa memiliki pengaruh lebih besar pada keputusan
pemerintah: jumlah Islam moderat di Indonesia bisa jadi lebih besar dari jumlah Islam
radikal, namun karena yang pertama lebih merupakan silent majority, maka tidak
dapat mengalahkan yang kedua, yang aktif memobilisasi massanya dalam pertarungan
tersebut.
Dawam Rahardjo pernah memprediksi bahwa Islam moderat di Indonesia
akan mengalahkan Islam radikal, karena menurutnya Islam moderat di Indonesia
berkembang pesat melalui berbagai perguruan tinggi Islam,
56
seperti dikonfirmasi,
misalnya, oleh Zuly Qodir yang menyebutkan bahwa terdapat jaringan Islam moderat
di dua universitas Islam negeri melalui beberapa tokoh semisal Amin Abdullah,
Abdul Munir Mulkhan, Machasin, Hamim Ilyas, Syamsul Anwar (UIN Yogyakarta);
dan Quraish Shihab, Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Kautsar Azhari Noer,
Nasaruddin Umar (UIN Jakarta).
57
Namun, besarnya jumlah bukan jaminan bisa memenangkan pertarungan
dalam kasus tertentu. Dalam kasus Gerakan Ahmadiyyah, faktor yang lebih
menentukan dalam memenangkan pertarungan adalah keaktivan memobilisasi massa,
daripada jumlah massa itu sendiri. Islam radikal memenangkan pertarunganditandai
55
Dalam wawancaranya dengan Radio Nederland Wereldomroep, tanggal 6 February 2006, Martin van
Bruinessen mensinyalir bahwa Islam garis keras memperoleh pengaruh yang lebih kuat terhadap
pemerintah Indonesia melalui mobilisasi massa. Transkrip dari wawancara ini diakses melalui
http://www.geocities.com/lokkie2005/rn070206.htm pada tanggal 17 June 2011.
56
Dikutip oleh Amy Chew, Attacks on Muslim Minorities by Radicals on the Rise in Indonesia,”
dalam The New Straits Time (www.nst.com, 1 Januari 2008).
57
Qodir, Zuly, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana dan Aksi Islam Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,, 2006, hlm. 2.
27
oleh dikeluarkannya SKB Tiga Menteri yang mempersempit ruang gerak Gerakan
Ahmadiyyahkarena mereka secara aktif memobilisasi massa, misalnya dalam Apel
Siaga yang melibatkan 100.000 orang, seperti disebutkan di atas. Dalam hal ini,
seperti dinyatakan Martin van Bruinessen, pemerintah sebagai decision maker
agaknya lebih mendengar kelompok-kelompok yang memobilisasi massa, karena hal
ini, ditilik dari conflict theory, merupakan semacam “katup pengaman” (safety valve)
bagi munculnya kekerasan.
Dengan demikian, Islam moderat bisa dikatakan menang pada dimensi
sosiologis, karena jumlahnya lebih banyak dibanding Islam radikal, namun pada
dimensi politis Islam radikal bisa mengalahkan Islam moderat, ditandai dengan
dikeluarkannya SKB Tiga Menteri yang memutus perkembangan Gerakan
Ahmadiyyah di Indonesia.
28
BAB V. KESIMPULAN
Dari pemaparan bab-bab terdahulu, bisa diambil beberapa kesimpulan
berikut. Terdapat dua kutub yang berseberangan berkaitan dengan persoalan
bagaimana menyikapi Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia, yaitu kelompok-kelompok
yang mendukung, dan kelompok-kelompok yang menolak gerakan tersebut.
Kelompok-kelompok yang menentang Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia di
antaranya adalah Forum Umat Islam (FUI), yang terdiri dari beberapa organisasi
Islam seperti FPI, MMI, DDII, LPPI, dan HTI. Sedangkan kelompok-kelompok yang
mendukung Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia di antaranya adalah Aliansi
Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), sebuah aliansi
yang terdiri dari berbagai LSM, termasuk beberapa organisasi Islam moderat semisal
Wahid Instituted, Jaringan Islam Kampus (JARIK), Jaringan Islam Liberal (JIL),
Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSaF), dan Fatayat NU. Kelompok-kelompok
lainnya yang mendukung Gerakan Ahmadiyyah tersebut adalah Ikatan Remaja
Muhammadiyah (IRM), Jaringan Islam Liberal (JIL), dan International Conference
on Religion and Peace (ICRP). Kelompok non-Muslim yang juga mendukung
keberadaan Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia adalah Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia (PGI), dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI).
Kelompok-kelompok yang berpeda pandangan tersebut berebut pengaruh
untuk mendekati pemerintah sebagai decision maker agar pemerintah mengeluarkan
keputusan yang sesuai dengan harapan mereka. Di satu sisi, kelompok yang
menentang Gerakan Ahmadiyyah melakukan mobilisasi massa dan berdemonstrasi di
depan istana negara dengan menyerukan agar pemerintah segera mengeluarkan Surat
Keputusan yang berisi pelarangan Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia; di sisi lain,
29
Ahmadiyyah berupaya menggandeng kelompok-kelompok yang mendukungnya,
misalnya, AKKBB untuk melobi Dewan Pertimbangan Presiden (WANTIMPRES)
agar mendesak pemerintah untuk tidak mengeluarkan Surat Keputusan tersebut.
Meskipun sempat tertunda, Surat Keputusan yang membatasi ruang gerak
Gerakan Ahmadiyyah pun dikeluarkan. Pada titik ini, pertarungan antara kelompok
pendukung dan penentang Gerakan Ahmadiyyah di Indonesia dimenangkan oleh
kelompok yang kedua, karena agaknya pemerintah lebih mengikuti “logika kekuatan”
daripada “kekuatan logika.” Dikeluarkannya Surat Keputusan tersebut juga berarti
Gerakan Ahmadiyyah gagal untuk memantapkan posisinya untuk terus survive di
Indonesia.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Artikel dan Buku
Ahmad, Bashiruddin Mahmud, Invitation to Ahmadiyyat, London: Routledge &
Kegan, 1980.
Alfitri, “Religious Liberty in Indonesia and the Rights of ‘Deviant’ Sects,dalam
Asian Journal of Comparative Law, vol. 3, No. 1, 2008.
Ali, Muhammad, The Ahmadiyya Movement: the Founder, Lahore: Coloured Printing
Press, 1918.
Beck, Herman L., “The Rupture between the Muhammadiyah and the Ahmadiyya,”
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 161-2/3 (2005): 210-
246.
Berg, C.C., Indonesia,” dalam H.A.R. Gibb (ed.), Whither Islam? A Survey of
Modern Movements in the Moslem World, London: Victor Gollancz Ltd.,
1932.
Burney, M.E., Qadiani Movement, Durban: Makki Publications, 1955.
Chew, Amy, Attacks on Muslim Minorities by Radicals on the Rise in Indonesia,”
dalam The New Straits Time (January 1, 2008).
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010.
Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2001.
Ghazi, Mahmood A., Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad:
Islamic Book Foundation, 1991
Ghazi, Mahmood A., Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad:
Islamic Book Foundation, 1991.
Gibb, H.A.R. (ed.), Whither Islam? A Survey of Modern Movements in the Moslem
World, London: Victor Gollancz Ltd., 1932.
Hasan, Suhaib dan Thufail Muhammad, Ahmadiyah, Minoritas non-Muslim, Jakarta:
Ishlah ul-Ummah, 1986.
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, “Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di
Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds.), Islam,
Negara, & Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer,
Jakarta: Paramadina, 2005.
Jaiz, Hartono Ahmad dan Ahmad Tede, “Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan
Musuh Islam,” dalam http://infolppi.blogspot.com/2011/03/rekayasa-
ahmadiyah-cari-dukungan-musuh.html
Jaiz, Hartono Ahmad, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2002.
31
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Lavan, Spencer, The Ahmadiyah Movement: A History and Perspective, Delhi:
Manohar Book Service, 1974.
Lavan, Spencer, The Ahmadiyya Movement: A History and Perspective, Delhi:
Manohar Book Service, 1974.
Nadwi, Abul Hasan Ali, Qadianism: A Critical Study, Lucknow: Academy of Islamic
Research and Publications, 1974.
Press and Publication Desk of Ahmadiyya Muslim Association, Plight of Ahmadi
Muslims in Pakistan, 1989-1999, United Kingdom: Islam International
Publication, 2000.
Qodir, Zuly, Islam Liberal: Paradigma Baru Wacana dan Aksi Islam Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Qodir, Zuly, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana dan Aksi Islam Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Rahardjo, M. Dawam, ”Teror atas Ahmadiyah dan Problem Kebebasan Beragama,“
dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=850 (18 Juli 2005).
Shadid dan Koningsveld, Religious Freedom and the Position of Islam in Western
Europe: Opportunities and Obstacles in the Acquisition of Equal Rights, the
Netherlands: Kok Pharos Publishing House, 1995.
Subakir, Ahmad (dkk.), “Respon Tokoh Islam atas Fatwa MUI tentang Gerakan
Ahmadiyah Indonesia,” dalam www.bagais.go.id/jurnaldikti (2005).
Susilo, Rachmad K. Dwi, 20 Tokoh Sosiologi Modern: Biografi para Peletak
Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.
Tupai, Roy, “The Right to Faith No More,” dalam www.parasindonesia.com (2
Augustus 2005).
Walter, H. A., The Ahmadiyah Movement, Calcutta: Association Press, 1918.
Zulkarnain, Iskandar, Gerakan Ahmadiyah di Indonesia, Yogyakarta: LkiS, 2005.
2. Website:
www.ahmadiyya.or.id
www.akkbb.wordpress.com
www.al-islam.org
www.kapanlagi.com
www.kompas.com
www.mui.or.id
www.nst.com
www.republika.co.id
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
The Muhammadiyah is often mistakenly associated by outsiders with the Ahmadiyya1 according to the writers of the Muhammadiyah sebagai gerakan Islam (Kamal, Yusuf and Sholeh 1994:130-1). In this book, they want to explain to students attending the upper secondary schools of the Muhammadiyah, and also to ordinary members of the organization, what kind of organization the Muhammadiyah is and what it stands for. To define the character of the Muhammadiyah, they deal with, for example, the position of the organization in relation to other Islamic religious groups (Ar.: firqa) and the Islamic law schools (Ar.: madhhab) (Kamal, Yusuf and Sholeh 1994:126-36). The authors regard the differences between the Islamic religious groups as resulting from differences of opinion regarding essential elements of the Islamic creed (Ar.: ‘aqîda). However, in their view, the differences between the various Islamic law schools are connected with divergences of opinion not affecting the basic tenets of Islamic doctrine (Ar.: khilâfiyya). The the authors of Muhammadiyah sebagai gerakan Islam mention the Ahmadiyya while discussing some other Islamic religious groups.
Religious Liberty in Indonesia and the Rights of 'Deviant' Sects
Alfitri, "Religious Liberty in Indonesia and the Rights of 'Deviant' Sects," dalam Asian Journal of Comparative Law, vol. 3, No. 1, 2008.
The Ahmadiyya Movement: the Founder
  • Muhammad Ali
Ali, Muhammad, The Ahmadiyya Movement: the Founder, Lahore: Coloured Printing Press, 1918.
Attacks on Muslim Minorities by Radicals on the Rise in Indonesia
  • Amy Chew
Chew, Amy, "Attacks on Muslim Minorities by Radicals on the Rise in Indonesia," dalam The New Straits Time (January 1, 2008).
Format-format Penelitian Sosial
  • Sanapiah Faisal
Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001.
Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad: Islamic Book Foundation
  • Mahmood A Ghazi
Ghazi, Mahmood A., Qadiani Problem and Position of Lahori Group, Islamabad: Islamic Book Foundation, 1991.
  • Suhaib Hasan
  • Dan Thufail
  • Ahmadiyah Muhammad
  • Minoritas Non-Muslim
Hasan, Suhaib dan Thufail Muhammad, Ahmadiyah, Minoritas non-Muslim, Jakarta: Ishlah ul-Ummah, 1986.
Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia
  • Komaruddin Hidayat
  • Ahmad Dan
  • A F Gaus
Hidayat, Komaruddin dan Ahmad Gaus AF, "Tipologi Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia," dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (eds.), Islam, Negara, & Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005.
Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan Musuh Islam
  • Hartono Jaiz
  • Ahmad Ahmad Dan
  • Tede
Jaiz, Hartono Ahmad dan Ahmad Tede, "Rekayasa Ahmadiyah Cari Dukungan Musuh Islam," dalam http://infolppi.blogspot.com/2011/03/rekayasaahmadiyah-cari-dukungan-musuh.html