Content uploaded by Andi Dody May Putra Agustang
Author content
All content in this area was uploaded by Andi Dody May Putra Agustang on Jan 28, 2022
Content may be subject to copyright.
1
DINAMIKA PUTUS SEKOLAH DI KALANGAN PEKERJA
ANAK DI KOTA MAKASSAR
Oleh : Sofyan, Andi Agustang, Andi Dodi M Putra A
Abstrak
Penelitian ini menelaah tentang pekerja anak
informal yang putus sekolah di Kota Makassar. Secara
umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran
tentang fenomena putus sekolah di kalangan pekerja anak.
Masalah pokok dalam penelitian ini adalah faktor-faktor non
ekonomi (aspirasi, akses, dan layanan pendidikan) yang turut
mendorong terjadinya putus sekolah di kalangan pekerja
anak. Faktor ekonomi dengan alasan biaya pendidikan yang
sangat mahal menjadi kurang polpuler dengan adanya
berbagai program pemerintah yang meringankan bahkan
membebaskan biaya pendidikan dasar. Setelah sekian lama
program tersebut diimplementasikan, ternyata angka putus
sekolah masih tetap signifikan. Patut diduga bahwa faktor
perspektif individual (aspirasi) dan perpektif persekolahan
(akses dan layanan pendidikan) turut memberi andil yang
cukup besar terhadap keputusan pekerja anak meninggalkan
sekolah.
Kata Kunci: Aspirasi, akses, layanan, pekerja anak, putus
sekolah.
A. Pendahuluan
Pandangan filosofis bahwa pendidikan
merupakan hak asasi manusia merupakan dasar bagi
penyelenggaraan program wajib belajar yang harus
diikuti oleh semua warga negara Indonesia. UUD
1945 dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas menetapkan setiap warga negara Indonesia
wajib menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun dan
biayanya ditanggung oleh pemerintah. Wajar dikdas 9
tahun adalah prasyarat yang harus dipenuhi agar semua
manusia Indonesia bisa menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Target Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Sembilan Tahun di Indonesia , yaitu meningkatkan partisipasi
pendidikan dasar dengan indikator kinerja pencapaian APK
jenjang SLTP/MTs mencapai 90 persen paling lambat pada
2008, dan meningkatkan mutu pendidikan dasar yang pada
saat ini masih di bawah standar nasional.
Kebijakan pelaksanaan program wajib belajar
minimal untuk tingkat pendidikan dasar, selain untuk
memenuhi tuntutan konstitusi, juga untuk memenuhi
komitmen global, Millennium Development Goals (MDGs)
yang menargetkan pada tahun 2015 semua negara telah
mencapai Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan dasar
100%. Target MDGs menjamin semua anak di manapun,
baik laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan
pendidikan dasar pada 2015. Sementara sasaran
peningkatan kualitas pendidikan tahun 2010 – 2015 adalah
meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan,
dengan indikator angka partsipasi kasar (APK) SD 100%,
SMP 98,09%, SMA 69,34% dan PT 18%; angka partisipasi
sekolah (APS) usia 7-12 tahun 99,57%, 13-15 tahun 96,64%;
dan angka melanjutkan sekolah dari SD ke SMP 94% dan
dari jenjang SMP ke SMA 90%
Namun demikian, Indonesia termasuk salah satu
negara berkembang yang sarat dengan persoalan putus
sekolah di samping problem pendidikan yang lainnya. Dilihat
secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah
dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3
persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil
tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah
anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah
600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah
mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP sekitar
150.000 sampai 200.000 orang.(A. Y. A. Agustang et al.,
2021).
Data menunjukkan bahwa jumlah anak putus sekolah
di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun
2006 jumlahnya masih sekitar 10.8 juta anak. Namun,
setahun kemudian sudah bertambah sekitar 20 % menjadi
11,7 juta jiwa. Lebih dari 1,1 juta anak memilih berhenti
belajar di sekolah selama tahun 2007. Artinya, setiap menit
ada 4 anak putus sekolah di Indonesia. Salah satu faktor
yang mempengaruhi tingginya angka putus sekolah itu
adalah dorongan orangtua dari keluarga tidak mampu. Anak
kemudian dikondisikan untuk mencari uang dan menambah
penghasilan keluarga. (Rasyid et al., 2020). Sedikitnya
497.275 anak usia 13 - 15 tahun di Indonesia belum
mendapat layanan pendidikan SMP/MTS karena faktor
kemiskinan, geografi, budaya kawin muda, dan tidak sekolah
(Agustang; Andi et al., 2020).
Berdasarkan data BPS Angka partisipasi sekolah
(APS) di Indonesia untuk anak usia 13 – 15 tahun 2009
sekitar 85.45 %. Sementara itu angka partisipasi kasar
(APK) PAUD pada tahun 2008 baru mencapai 50,62
persen dan APM SD/MI/sederajat/Paket A baru
mencapai 95,14 persen. Sementara itu, APK
SMP/MTs/sederajat/Paket B adalah sebesar 96,18 persen
dan APK SMA/sederajat baru mencapai 64,28 persen. Di
Sulawesi Selatan Berdasarkan sensus penduduk tahun
2010, untuk tahun 2009 APS Sulawesi Selatan untuk umur 7
– 12 tahun adalah 96,53 dan 80,96 untuk anak umur 13 – 15
tahun. APK pendidikan di Sulawesi Selatan pada jenjang
SD/MI pada tahun 2008 adalah sekitar 109,25 %
sedangkan Angka Partisipasi Murni (APM) adalah sekitar
92,15%. Pada jenjang SMP/MTs/sederajat pada tahun yang
sama APK adalah sekitar 72,43% sedangkan APM adalah
sekitar 60,62%. Sedangkan Pada jenjang Sekolah
Menengah APK adalah sekitar 52,47% dan APM adalah
sekitar 41,47%. Data tersebut di atas menunjukkan
banyaknya siswa yang berusia di bawah usia (underage) dan
di atas usia (overage) seharusnya pada jenjang sekolah
masing-masing.
APS di Kota Makassar untuk penduduk usia 7 - 12
tahun pada tahun 2009 sebesar 96,90 persen, usia
13 - 15 tahun sebesar 85,60 persen, dan 16 - 18
tahun sebesar 55,60 persen. Hal ini menunjukkan
bahwa di Kota Makassar masih terdapat sekitar 3,10
persen penduduk usia 7 – 12 tahun, sekitar 14,40 persen
penduduk usia 13 - 15 tahun dan sekitar 44,40 persen
penduduk usia 16 - 18 tahun yang belum pernah
sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Sedangkan APS pada tahun 2008 untuk
anak umur 7 – 12 tahun adalah 97 %, anak umur 13 – 15
tahun adalah sebesar 86.4 %, dan anak umur 16 – 18 tahun
sebanyak 65.7 % (Sensus Penduduk, 2010). Data tersebut
menunjukan adanya kecenderungan semakin tinggi jenjang
pendidikan semakin tinggi pula angka putus sekolah dan
semakin rendah APS. Hasil pengamatan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Kibar, sejak Januari-April 2011, dari 12
ribu anak yang putus sekolah, terbesar di Kota Makassar.
Jumlahnya mencapai 7.000 anak atau 60 persen dari total
jumlah anak tak sekolah. Empat puluh persen sisanya
2
tersebar di seluruh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan
(Agustang. A, 2017)
Tingginya angka putus sekolah mengakibatkan
rentangnya mereka terseret ke dalam dunia kerja. Menurut
Fangidae (1993) bahwa banyak anak yang bekerja untuk
membantu ekonomi rumah tangganya tidak lagi bersekolah
alasan utamanya adalah faktor ekonomi khususnya masalah
keuangan keluarga, hal ini tidak terdata, tapi dengan masih
adanya anak-anak putus sekolah, ke mana lagi perginya
kalau bukan bekerja membantu mencari nafkah untuk
keluarga. (Nur et al., 2020)
Pekerja anak merupakan salah satu fenomena yang
memang menjadi fokus perhatian dunia dalam beberapa
tahun belakangan ini. Survei Pekerja Anak (SPA) dari BPS
bekerjasama dengan ILO menemukan dari 58,8 juta anak
Indonesia pada 2009, 1,7 juta jiwa diantaranya menjadi
pekerja anak. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak,
di 33 provinsi, jumlah pekerja anak terus meningkat. Tahun
2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta dan menjadi 4,8 juta pada
2007. Tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3 juta. Perkiraan
ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya. Sekitar 20-30
persen anak putus sekolah masuk ke sektor kerja dan
menjadi pekerja, terutama yang putus sekolah di level SMP
(Syaharuddin et al., 2021).
Di Sulawesi Selatan, (Sakernas 2009) terdapat sekitar
106,5 ribu anak usia 10-17 sebagai pekerja anak yang terdiri
dari 65,8 persen pekerja anak laki-laki dan 34,2 persen anak
perempuan. Sebanyak 19,9 persen pekerja anak tinggal di
perkotaan dan 80,9 persen tinggal di pedesaan. Sementara
itu menurut kelompok umur 24,4 persen anak berusia 10-12
tahun, 46,8 persen berusia 13-14 tahun dan 38,8 persen
berusia 15-17 tahun. Berdasarkan hasil survei tersebut
pekerja anak yang bekerja dan bersekolah mencapai 53,4
persen dan sisanya sekitar 46,6 persen putus sekolah atau
tidak sekolah.
Salah satu persoalan dalam upaya penanggulangan
pekerja anak adalah bahwa sampai saat ini belum tersedia
data yang akurat dan aktual tentang jumlah pekerja anak di
Makassar. Hasil survey Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
di sejumlah titik di Kota Makassar tentang jumlah pekerja
anak mencatat sekitar 700 orang pekerja anak (Andi
Agustang & Oruh, 2021). Pada survey yang lain LPA Sulsel
pada awal tahun 2010 mendapatkan bahwa sekitar 300 anak
menjadi korban Eksploitasi Seks Komersial Anak (ESKA).
Anak-anak tersebut dijebak atau terjebak menjadi Pekerja
Seks Komersial (PSK) (Fajar, 6 Januari 2010). Sementara itu
Dinas Sosial Kota Makassar memperkirakan terdapat sekitar
5.000 anak berprofesi sebagai pemulung, pengemis jalanan,
kuli bangunan, dan penjual koran. Mereka rata-rata hidup
menggelandang tanpa tempat tinggal.(SHERMINA ORUH &
ANDI AGUSTANG, 2015)
Penuntasan wajib belajar 9 tahun tidak akan dapat
dilakukan tanpa memperhatikan persoalan pekerja anak.
Anak-anak yang bekerja sambil sekolah rawan mengalami
putus sekolah. Sebaliknya anak yang putus sekolah
cenderung terdorong untuk menjadi pekerja anak. Pekerja
anak merupakan anak usia sekolah yang termasuk dalam
kategori Wajib Belajar 9 Tahun. Sehingga perlu upaya
menyeluruh dalam penanggulangan kedua permasalahan
tersebut. Menurut Suyanto dan Mashud (2002) bahwa
partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal dengan
status pekerjaan anak. Anak yang gagal dalam pendidikan
(drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya anak
yang bekerja sambil sekolah cenderung menurun
prestasinya, atau mudah mengalami drop out (dalam Darwin,
2009).
Namun demikian, ketika di perhadapkan pada pilihan
anak harus sekolah atau bekerja, sebagian orang tua lebih
mengarahkan anaknya untuk bekerja karena dapat
menghasilkan sesuatu, sementara sekolah yang ditempuh
dengan berbagai kesulitan serta biaya mahal, begitu tamat
tidak menjamin anak-anak memperoleh pekerjaan yang
layak. Faktanya jutaan anak-anak kini dipaksa atau pun
terpaksa kehilangan masa kecil dan masa bermain mereka.
Dengan alasan ekonomi, sebagian besar dari mereka
terpaksa menjadi pekerja di bawah umur yang sarat akan
resiko yang sangat membahayakan.
Menurut Maria Fransiska Subagyo (1986) dalam
Suyanto, kemelaratan diakui merupakan salah satu
penyebab timbulnya kasus pelajar putus sekolah. Namun
demikian, di luar itu faktor yang harus diperhatikan adalah
cara keluarga mendidik anak, hubungan orang tua dengan
anak, dan sikap atau aspirasi orang tua terhadap pendidikan.
Di samping itu, tingkat pendidikan orang tua si anak itu
sendiri juga tidak dapat dilupakan. Hansen,1972 (dalam
Mifflen. 1986:230) mengatakan bahwa “pencapaian
pendidikan dapat dikemukakan dalam bentuk sederhana
sebagai efek dari tiga variable yakni : kesanggupan, aspirasi,
dan kesempatan”. Ketiga variabel tersebut di atas pada
dasarnya memang menjadi faktor yang berpengaruh dalam
keterlibatan masyarakat pada pendidikan. Hal yang sama di
kemukakan A lolo (2008) dalam study baseline di beberapa
tempat termasuk Makassar bahwa putus sekolah (dropout)
adalah fenomena multidimensional karena tidak ada faktor
tunggal yang mempengaruhi keberadaannya. Kondisi
ekonomi tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya alasan
meskipun dipandang sebagai faktor dominan. Berat beban
kurikulum, metode pengajaran tidak menarik, perilaku guru
terhadap siswa, kurangnya pemahaman orang tua mengenai
peran pendidikan, budaya tradisional dan kepercayaan, dan
pesimisme terhadap manfaat belajar bagi masa depan anak-
anak dan lain-lain mempengaruhi potensi dropout siswa sulit
dihilangkan atau diberantas.
Pada tahun 2008 Direktorat Pengawasan Tenaga
Kerja Perempuan dan Anak, Kemnakertrans, meluncurkan
program pengurangan pekerja anak melalui pendidikan
sekolah gratis, namun banyak anak tetap tidak mau
bersekolah. Dari sejumlah 4.850 anak yang pada tahun 2008
telah ditarik dari tempat kerjanya, sebanyak 790 anak bisa
kembali sekolah di pendidikan formal, sedangkan anak yang
ditarik ke pendidikan keterampilan sebanyak 824 orang, dan
sisanya ditarik ke paket A, B, C atau pendidikan layanan
khusus. Meskipun demikian, program tersebut masih jauh
dari harapan, karena yang benar-benar berhasil kembali ke
pendidikan hanya 500-an anak dari sebanyak 4.850 orang
anak. (BP-PNFI Makassar)
A. Lolo (2008) pada study baseline di beberapa
kabupaten/kota di Sulawesi Selatan termasuk Makassar
bahwa harapan akan masa depan anak setelah menempuh
pendidikan turut mempengaruhi partisipasi pendidikan
masyarakat. Hal yang sama dinyatakan Martina dan Agustian
(1999) bahwa salah satu masalah yang terkait dengan anak
jalanan adalah pola pikir yang pendek dan simple akibat
rendahnya pendidikan. ILO dan Unicef, melaporkan hal
senada bahwa banyak orang tua yang miskin pendidikan
tidak mengetahui nilai pendidikan jangka panjang, manfaat
ekonomi jangka panjang, dibandingkan manfaat ekonomi
jangka pendek dengan mempekerjakan anak. (Usman, 2004)
Persoalan putus sekolah yang banyak dialami pekerja
anak juga disinyalir bersumber dari struktur pendidikan itu
sendiri, yakni ketimpangan jumlah lembaga pendidikan atau
sekolah yang kecenderungannya semakin tinggi jenjang
3
pendidikan semakin kurang daya tampungnya. Daya
tampung sekolah yang tidak seimbang antar jenjang
mengakibatkan sebagian anak tidak terserap pada jenjang
pendidikan selanjutnya. Di Makassar pada tahun 2010, untuk
SD dari jumlah siswa yang mengikuti UAS-BN sebanyak
27.283 orang (Tribun News.Com). Sementara, untuk
tingkatan SMP/ MTS dari 42 sekolah negeri dengan
ketersediaan ruang kelas 935, telah disiapkan daya tampung
siswa sebanyak 11.528 orang (Makassar Terkini, 2010).
Sebagian besar tamatan SD (sekitar 15.000) harus bersaing
di sekolah-sekolah swasta yang belum tentu mampu
menampung semuanya. Sementara itu untuk tahun 2011
kapasitas SMP Negeri di Makassar adalah 12.000 sementara
peminat berjumlah sekitar 31.000 orang. Persaingan untuk
masuk ke sekolah negeri sangat ketat. (Tribun Timur, 30 Mei
2011)
Hal tersebut menjadi semakin rumit karena adanya
ekslusi dalam sistem persekolahan di Indonesia, yakni
ketidakikutsertaan anak dalam proses pendidikan dan
berbagai aspek kehidupan lainnya. Bourguignon; Loury
1999, (dalam Thomas 2000) mengemukakan bahwa “ekslusi
sosial mengurangi insentif individu untuk bersekolah dan
bekerja”. Kebijakan tentang sekolah unggulan seperti
Sekolah Berstandar Iinternasional (SBI), Sekolah Standar
Nasional (SSN), sekolah unggulan, kelas khusus, dan lain-
lain patut diduga sebagai salah satu faktor membatasi akses
pendidikan masyarakat, khususnya kalangan bawah karena
adanya persyaratan yang sangat ketat dalam sistem
penerimaaan siswa baru. Bukan hanya aspek IQ-nya tapi
juga aspek ekonomi yang akan membuat mereka tersingkir
dari persaingan yang ketat. Ekslusi sekolah-sekolah tertentu
justru membuat jarak antara siswa dengan sekolah mereka
menjadi jauh, karena tidak semua anak yang tinggal di
sekitar sekolah ekslusif tersebut dapat mengaksesnya.
Fasilitas layanan pendidikan juga masih belum
merata, khususnya pada jenjang pendidikan
menengah dan tinggi. Di samping faktor ekonomi,
masih belum meratanya penyediaan layanan
pendidikan juga berpengaruh terhadap kondisi
rendahnya partisipasi pendidikan pada jenjang
menengah dan tinggi. Selain itu, baik di jenjang
pendidikan formal maupun nonformal masih terdapat
masalah pada penyediaan layanan pendidikan khusus
terutama untuk anak-anak yang memerlukan
perhatian khusus (children with special needs), di antaranya
mereka yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat
istimewa. (Renstra Depdiknas, 2010 – 2014)
Dinamika dunia kerja telah menyeret anak-anak untuk
beraktivitas secara tidak wajar sesuai dengan apa yang
diharapkan masyarakat. Permasalahan pekerja anak
merupakan salah satu dimensi penelantaran hak anak untuk
tumbuh dan berkembang secara wajar. Interpretasinya,
bukan berarti bahwa anak tidak boleh bekerja sama sekali.
Dalam rangka proses adaptasi dan transformasi
pengetahuan dan keterampilan kerja serta melatih anak
untuk mandiri, sudah menjadi tradisi bagi masyarakat kita
untuk melibatkan anak membantu orangtua bekerja di
samping tugas sebagai pelajar. Namun ketika terjadi
pergeseran pola perlakuan dari proses transformasi dan
sosialisasi kerja kepada anak menjadi mempekerjakan anak
dan mengabaikan hak anak untuk sekolah, tentu saja sangat
bertentangan dengan hukum dan hak anak. Kecenderungan
ini cukup mengkhawatirkan, karena hal tersebut akan
melanggengkan mata rantai kemiskinan.
Berdasarkan uraian di atas tidak dapat dipungkiri
bahwa faktor ekonomi memang dominan dalam menentukan
partisipasi pendidikan/sekolah anak. Akan tetapi, ekonomi
bukanlah satu-satunya yang berpengaruh, ada banyak faktor
lain yang ikut menentukan partisipasi pandidikan anak.
Hadirnya program pemerintah dalam bentuk pendidikan
gratis dan bantuan langsung sekolah berupa dana Bantuan
Operasioal Sekolah (BOS) berimplikasi pada berkurangnya
beban biaya sekolah masyarakat. Namun demikian
implementasi program ini ternyata masih menyisakan angka
putus sekolah yang cukup signifikan. Berarti, ada faktor-
faktor lain, baik faktor sosial, budaya, kebijakan, struktur,
demografi, psikososial atau faktor lainnya yang ikut
mempengaruhi putus sekolah dan terjunnya anak-anak ke
dunia kerja. Kondisi inilah yang menarik perhatian peneliti
untuk menelusuri lebih jauh tentang fenomena putus sekolah
khususnya pada pekerja anak non formal di Makassar.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan dugaan di atas, maka rumusan masalah
(problem statement) dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Aspirasi pendidikan keluarga pekerja anak di Makassar
rendah sehingga partisipasi pendidikan mereka juga
rendah.
2. Akses pekerja anak terhadap lembaga pendidikan
(sekolah) di Makassar terbatas sehingga partisipasi
mereka rendah.
3. Layanan pendidikan bagi pekerja anak di Makassar
kurang adaptif sehingga mendorong mereka untuk
putus sekolah (drop out).
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan
menganalisis secara komprehensif tentang partisipasi
pendidikan pekerja anak. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk menggali, menghimpun, dan menganalisis
berbagai informasi empirik serta faktor-faktor yang terkait
dengan pekerja anak putus sekolah. Secara rinci penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Aspirasi pendidikan pekerja anak dalam kaitannya
dengan partisipasi pendidikan mereka di Makassar.
2. Perspektif pekerja anak terhadap akses pendidikan
dalam kaitannya dengan partisipasi pendidikan mereka
di Makassar.
3. Perspektif pekerja anak terhadap layanan pendidikan
dan faktor pendorong untuk putus sekolah (drop out) di
Makassar.
D. Kerangka Teori
1. Konsep dan Determinan Pekerja Anak
Menurut Supeno (2008) dalam masyarakat kita banyak
variasi dalam memandang anak atau nilai anak. Pertama,
adalah anak sebagai amanah. Kedua, nilai anak sebagai
historis. Ketiga, nilai anak sebagai barang komoditas
(ekonomi). Keempat, pandangan bahwa anak merupakan
asset keluarga, masyarakat dan bangsa. Pandangan
masyarakat tentang nilai anak akan mempengaruhi orang tua
di dalam menerapkan pola asuh. Pandangan anak sebagai
sebagai barang komoditas menjadi dasar bagi orang tua
untuk mengeksploitasinya. Hal inilah yang mendorong para
orang tua untuk mempekerjakan anak-anak mereka. Anak
dipandang sebagai komoditas yang dapat menghasilkan
uang untuk membantu perekonomian keluarga, sehingga
mengabaikan hak tumbuh kembang anak-anak secara wajar.
(Oruh, 2018)
4
Pada keluarga miskin, anak merupakan jaminan hidup
keluarga karena tenaganya memberikan sumbangan
penghasilan keluarga. Penelitian oleh LeVine menunjukkan
bahwa tujuan mempunyai anak pada masyarakat miskin
lebih bersifat kuantitatif, artinya semakin banyak anak akan
semakin kuat jaminan sosial-ekonomi keluarga (LeVine dkk,
1988, dalam Darwin, 2009).
Secara umum pekerja atau buruh anak adalah anak-
anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang
tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang
membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan atau tidak (Suyanto, 2003:3 dalam Darwin, 2009).
Dalam Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimun Untuk
Diperbolehkan Bekerja ditegaskan bahwa usia minimun
untuk boleh bekerja adalah tidak boleh kurang dari usia
tamat sekolah wajib dan paling tidak tidak boleh kurang dari
15 tahun.
Ada dua kelompok keterlibatan anak dalam pekerjaan.
Kelompok pertama adalah kelompok anak yang melakukan
pekerjaan tanpa memperoleh upah dalam rangka membantu
orang tua, melatih keterampilan, belajar bertanggung jawab
atau dalam rangka hal lainnya. Dengan pekerjaan tersebut
anak masih dapat menikmati hak-haknya secara baik dan
tidak terganggu proses tumbuh kembangnya. Sedangkan
kelompok kedua adalah kelompok anak yang melakukan
pekerjaan di bawah perintah orang lain dengan mendapat
upah. Dalam melakukan pekerjaan ini anak tereksploitasi,
baik secara fisik, mental, sosial maupun intelektualnya.
Dengan pekerjaan tersebut anak tidak dapat menikmati hak-
haknya secara baik dan terganggu proses tumbuh
kembangnya. Kelompok kedua ini disebut sebagai pekerja
anak dan banyak terlibat dalam berbagai bentuk pekerjaan
terburuk anak.(Supeno,2008)
Hernando de Soto dalam bukunya Masih Ada Jalan
Lain (1991) menyebutkan bahwa sektor informal merupakan
altematif paling memungkinkan bagi kelompok miskin untuk
meraih kesejahteraan yang diinginkan. Dalam kondisi seperti
itulah keluarga miskin yang membawa serta anak-anak usia
sekolah ke dalam kegiatan ekonomi tidak jarang memperoleh
perlakuan sosial yang salah dari pihak-pihak ekstemal. Dari
sinilah kemiskinan kota menyimpan sejumlah masalah sosial
yang semakin rumit.
Pada keluarga miskin, keputusan untuk bekerja
sebagian datang dari anak sendiri, tetapi sebagian lain
karena keinginan orang tua. Penelitian oleh Suyanto dan
Mashud (2000:33 dalam Darwin, 2009) menemukan bahwa
lebih dari separuh orang tua menghendaki anaknya
membantu pekerjaan orang tua dengan maksud-maksud
sosial edukatif meski pada kenyataannya hal ini tetap
mengakibatkan banyak anak lebih tertarik menekuni
pekerjaan daripada sekolahnya. Sebagian kecil lainnya
memaksa anak-anaknya bekerjabaik dalam lingkungan
keluarga maupun kepada orang lainuntuk tujuan ekonomi.
Sekalipun kemiskinan merupakan pendorong utama
anak-anak terjun ke dunia kerja, tetapi kenyataan
menunjukkan bahwa tidak semua orang miskin membiarkan
anak-anaknya terjun ke dunia kerja. Berarti ada faktor-faktor
lain, baik faktor sosial, budaya, demografi, atau psikososial
yang ikut mempengaruhi anak-anak terjun ke dunia kerja.
Putranto (1995) dengan menyebutkan bahwa masalah
kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab
timbulnya masalah pekerja anak. Dengan demikian, ada
anggapan bahwa permasalahan pekerja anak akan hilang
dengan sendirinya apabila permasalahan kemiskinan dapat
diatasi, merupakan pandangan yang keliru.
Hasil baseline study yang dilakukan oleh Agustang,
A. (1999) tentang pekerja anak di beberapa kabupaten/kota
Sulawesi Selatan menemukan bahwa selain faktor
kemiskinan, munculnya pekerja anak juga disebabkan
karena faktor lain yakni sosial, budaya, tradisi, melanjutkan
bisnis keluarga dan lain-lain. Kerja di usia dini juga
merupakan kebanggaan dan dianggap oleh orang tua
sebagai anak-anak sebagai pelatihan bagi anak-anak untuk
menjadi mandiri di masa depan. Semangat perdagangan
yang dimiliki oleh orang-orang dari Bugis dan Makassar telah
mempengaruhi orang tua untuk memotivasi anak-anak
mereka untuk belajar bagaimana mencari uang dari awal
sebelum meraka menjadi orang dewasa.
2. Determinan Putus Sekolah
Problem putus sekolah merupakan fenomena yang
terjadi di negara-negara miskin ataupun di negara-negara
berkembang. Fenomena ini terjadi pada seluruh jenjang
pendidikan formal, mulai dari sekolah dasar sampai dengan
pendidikan tinggi. Putus sekolah adalah proses berhentinya
siswa secara terpaksa dari suatu lembaga pendidikan tempat
dia belajar. Anak Putus sekolah yang dimaksud disini
adalah terlantarnya anak dari sebuah lembaga
pendidikan formal, yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi anak
untuk bersekolah, yaitu faktor internal (dalam diri) dan
faktor eksternal (luar diri) siswa. Aspek internal meliputi
kemampuan, minat, motivasi, nilai-nilai dan sikap, ekspektasi
(harapan), dan persepsi siswa tentang sekolah. Pada aspek
eksternal meliputi latar belakang ekonomi orangtua,
persepsi orangtua tentang pendidikan, jarak sekolah
dari rumah, hubungan guru-murid, usaha yang
dilakukan pemerintah (meliputi pemberian bantuan dan
pengadaan sarana dan prasarana). Banyaknya siswa-siswa
yang tidak berhasil dalam belajar, termasuk banyaknya
anak-anak putus sekolah bisa dilihat dari kedua aspek
tersebut (Hasanuddin, 2000). Faktor budaya juga ikut
berperan seperti kawin muda bagi anak perempuan dan
bisnis keluarga yang menyebabkan anak usia sekolah
meninggalkan sekolah. Fenomena kontemporer juga
menunjukkan bahwa DO atau putus sekolah juga didapati di
kalangan anak dari keluarga kaya atau mampu secara
ekonomi.
a. Perspektif individual
Secara individual ada dua faktor yang berpengaruh
adalah faktor status sosial dan faktor resiko. Menurut kajian
Sukmadinata (1994), faktor utama penyebab anak putus
sekolah adalah kesulitan ekonomi atau karena orang tua
tidak mampu menyediakan biaya bagi sekolah anak-anaknya
(status sosial). Di samping itu, tidak jarang terjadi orang tua
meminta anaknya berhenti sekolah karena mereka
membutuhkan tenaga anaknya untuk membantu ekonomi
orang tua.
Periset membagi konstruknya menjadi dua kategori:
resiko sosial dan resiko akademik. Resiko sosial meliputi
faktor-faktor demografis terkait dengan kemungkinan yang
lebih besar untuk mendapati berbagai kesulitan di seputar
masalah sekolah, ras atau etnisitas, usia, status minoritas,
bahasa, gender, pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,
dan struktur keluarga. Siswa dari keluarga dengan
pendapatan rendah biasanya mengalami DO pada tingkat
yang lebih tinggi daripada yang dialami oleh kelompok siswa
yang berasal dari keluarga dengan pendapatan tinggi,
demikian pula. Resiko akademik yang merujuk pada perilaku
dan kinerja sekolah mencerminkan manifestasi sebenarnya
5
dari berbagai permasalahan terkait sekolah (Caterall, 1988).
Perilaku seperti ini memberi ciri pada proses DO. Misalnya,
siswa yang pada akhirnya mengalami DO seringkali memiliki
sejarah kemangkiran dan tinggal kelas (Lee & Burkam,
1992), kesulitan akademik (Bryk & Thum, 1989), dan
ketidakterkaitan lebih umum dari kehidupan sekolah
(Entwistle dkk., 1997, dalam Mutrofin 2009)
Meninggalkan sekolah (DO) dapat benar-benar
mewakili upaya akhir siswa untuk memecahkan
permasalahan seperti itu (Croninger & Lee, 2001). Bahkan
anak-anak remaja pun dapat terkena risiko akademik yang
berakhir dengan DO apabila pada awal masa sekolahnya
sudah menunjukkan perilaku sekolah seperti rendahnya nilai,
harapan pada pendidikan yang juga rendah, ditempatkan
pada pendidikan khusus, tinggal kelas dini (early grade
retention), dan berbagai permasalahan disiplin.
Sebagaimana risiko sosial, risiko akademik pun bersifat
kumulatif (Mutrofin 2009).
b. Perspektif persekolahan
Sistem persekolahan merupakan salah satu faktor
yang memberi sumbangan pada kondisi yang mendorong
anak untuk putus sekolah, disamping faktor individual.
Berbagai unsur sekolah yang terkait dengan siswa secara
langsung atau tidak langsung mempunyai peluang untuk
berkontribusi dalam keputusan anak untuk putus sekolah.
Beberapa kajian kualitatif atau interaktif mempertimbangkan
bagaimana sekolah itu sendiri terlibat dalam praktik atau
menciptakan kondisi yang mendorong siswa dengan tipe
tertentu agar keluar (tidak melanjutkan pelajaran) sekolah,
khususnya mereka yang memperlihatkan faktor resiko sosial
dan akademik sebagaimana di bahas di atas.
Ada tiga hal yang menjadi faktor pendorong putus
sekolah dalam perspektif persekolahan yakni struktur
sekolah, organisasi akademik sekolah dan organisasi sosial
sekolah. Struktur sekolah yang dimaksud dalam hal ini
adalah unsur-unsur yang terlibat pada suatu sekolah yang
membentuk suatu sistem. Nasution, 2009 mengemukakan
bahwa struktur sekolah terdiri dari (1) meterialnya (jumlah
orang, pria, wanita, dewasa, anak, guru, murid dan
sebagainya), (2) hubungan antara bagiannya (apa yang
diharapkan guru dari murid dan sekolahnya, dan sebagainya,
(3) hakikat masyarakat itu sebagai keseluruhan yakni cara
bagian-bagiannya menjadi kesatuan yang bulat agar dapat
menjalankan fungsinya.
c. Perspektif organisasi sosial
Baik kajian kualitatif maupun kajian kuantitatif
menegaskan bahwa siswa yang meninggalkan sekolah
sebelum lulus sering dipandang sebagai siswa yang kurang
mendapat dukungan sosial sebagai akibat dari tindakannya.
Siswa yang tidak puas dengan laporan sekolah menjadi
putus hubungan dengan guru, bahkan setelah berupaya
keras mendapatkan bantuan dari personalia sekolah. Siswa
yang tidak merasa dilibatkan mengklaim bahwa guru tidak
peduli pada mereka, kurang tertarik dengan apa yang
mereka kerjakan disekolah, dan tidak hendak membantu
dalam menagatasi permasalahan mereka (Valenzuela, 1999
dalam Mutrofin 2009).
Hasil wawancara dangan pelaku DO pada saat
mereka telah meninggalkan sekolah mengungkapkan bahwa
separuh di antaranya menyatakan mereka keluar sebenarnya
karena alasan sosial, karena ketidakcocokan mereka dengan
guru dan siswa lain. Kajian-kajian kualitatif juga menunjukkan
bahwa hubungan-hubungan sosial positif dapat menciptakan
insentif besar bagi siswa untuk kembali ke sekolah; bahkan
bagi siswa yang melaporkan bahwa tugas sekolah berat, dan
ekspektasi tidak mudah dipenuhi (Fine, 1991, dalam
Mutrofin, 2009). Modal sosial yang diukur dengan berbagai
hubungan di antara siswa dengan tenaga guru dan
berdasarkan laporan oleh guru mengenai pembicaraanya
dengan siswa di luar kelas berhubungan sangat erat dengan
DO, bahkan setelah faktor risiko sosial dan akademik siswa
turut diperhitungkan (Crononger & Lee, 2001 dalam Mutrofin,
2009)
E. Perspektif Teori Pilihan Rasional dan Tindakan
Voluntaristik.
Teori pilihan rasional bertolak dari asumsi
maksimalisasi kegunaan (utility maximazation). Tiang
penyangga masyarakat adalah individu; pelaku rasional yang
selalu bertindak untuk kepentingannya sendiri. Teori ini
memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai
manusia yang mempunyai tujuan atau mempunyai maksud.
Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya tertuju pada
upaya untuk mencapai tujuan itu.Aktor pun dipandang
mempunyai pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan
rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau
apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang penting adalah
kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan
yang sesuai dengan tingkatan pilihan aktor. (Ritzer,2004;
357)
Meski teori pilihan rasional berawal dari tujuan atau
maksud aktor, namun teori ini memperhatikan sekurang-
kurangnya dua pemaksa utama tindakan. Pertama adalah
keterbatasan sumber. Aktor mempunyai sumber yang
berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber daya
yang lain. Bagi aktor yang mempunyai sumber daya yang
besar, pencapaian tujuan mungkin relatif mudah. Tetapi bagi
aktor yang mempunyai sumber daya sedikit, pencapaian
tujuan mungkin sukar atau mustahil sama sekali.
(Ritzer,2004)
Berkaitan dengan keterbatasan sumber daya ini
adalah pemikiran tentang kesempatan (opportuny cost) atau
“biaya yang berkaitan dengan rentetan tindakan berikutnya
yang sangat menarik namun tak jadi dilakukan” (Friedman
dan Hechter, 1988:22, dalam Ritzer, 2004). Dalam mengejar
tujuan tertentu, aktor tentu memperhatikan biaya tindakan
berikutnya yang sangat menarik yang tak jadi dilakukan itu.
Seorang aktor mungkin memilih untuk tidak mengejar tujuan
yang bernilai sangat tinggi bila sumber dayanya tak
memadai, bila peluang untuk mencapai tujuan itu
mengancam peluangnya untuk mencapai tujuan berikutnya
yang sangat bernilai. Aktor dipandang berupaya mencapai
keuntungan maksimal, dan tujuan mungkin meliputi penilaian
gabungan antara peluang untuk mencapai tujuan utama dan
apa yang telah dicapai pada peluang yang tersedia untuk
mencapai tujuan kedua yang paling bernilai.(Ritzer,2004).
Sumber pemaksa kedua atas tindakan aktor individual
adalah lembaga sosial. Seperti dinyatakan Friedman dan
Hechter, aktor individual biasanya akan merasakan
tindakannya diawasi sejak lahirnya hingga mati oleh aturan
keluarga dan sekolah; hukum dan peraturan; kebijakan
tegas; gereja; sinagoge dan mesjid; rumah sakit dan
pekuburan. Dengan membatasi rentetan tindakan yang boleh
dilakukan oleh individu, dengan dilaksanakannya aturan
permainan meliputi norma, hukum, agenda, dan aturan
pemungutan suara secara sistematis memengaruhi akibat
sosial (dalam Ritzer, 2004:358). Hambatan kelembagaan ini
menyediakan baik sanksi positif maupun sanksi negatif yang
6
membantu mendorong aktor untuk melakukan tindakan
tertentu dan menghindarkan tindakan yang lain.
Salah satu tipe tindakan sosial menurut Weber adalah
tindakan rasional instrumental (zweckrational). Merupakan
tindakan rasional yang paling tinggi yang meliputi
pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan
dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macam-
macam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar
suatu kriterium menentukan suatu pilihan di antara tujuan-
tujuan yang saling bersaingan ini. Individu itu lalu menilai alat
yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan
yang dipilih tadi. Hal ini mungkin mencakup pengumpulan
informasi, mencatat kemungkinan-kemungkinan serta
hambatan-hambatan yang terdapat dalam lingkungan, dan
mencoba untuk meramalkan konsekuensi-konsekuensi yang
mungkin dari beberapa alternative tindakan itu. Akhirnya
suatu pilihan dibuat atas alat yang dipergunakan yang
kiranya mencerminkan pertimbangan individu atas efisiensi
dan efektivitasnya. Sesudah tindakan itu dilaksanakan, orang
itu dapat menentukan secara objektif sesuatu yang
berhubungan dengan orang lain.
Sebaliknya tipe tindakan tradisional merupakan
tindakan yang bersifat non rasional. Kalau individu
memperlihatkan perilaku karena kebiasaan, tanpa refleksi
yang sadar atau perencanaan, perilaku seperti ini
digolongkan sebagai tindakan tradisional. Individu itu akan
membenarkan atau menjelaskan tindakan itu, kalau diminta,
dengan hanya mengatakan bahwa dia selalu bertindak
dengan cara seperti itu atau perilaku seperti itu merupakan
kebiasaan baginya. Apabila kelompok-kelompok atau seluruh
masyarakat didominasi oleh orientasi ini, maka kebiasaan
dan institusi mereka diabsahkan atau didukung oleh
kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai
kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa
persoalan. Satu-satunya pembenaran yang perlu adalah
bahwa, “inilah cara yang sudah dilaksanakan oleh nenek
moyang kami, dan dengan demikian pula nenek moyang
mereka sebelumnya; ini adalah cara yang sudah begini dan
akan selalu begini terus” Weber melihat bahwa tipe tindakan
ini sedang lenyap karena meningkatnya rasionalitas
instrumental. (Johnson, 1986:220-221)
b. Teori tindakan voluntaristik (voluntaristic action)
Dalam The Structure of Social Action(1937), Parsons
menunjukkan teori aksi (action theory) di mana ini menuju
titik sentral konsep perilaku voluntaristik. Konsep ini
mengandung pengertian kemampuan individu menentukan
cara dan alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam
rangka mencapai tujuan.
Gambar 2. Model perilaku voluntaristik Parsons
Sumber :Jonathan Turner, The Structure of Sociological Theory
(dalam Susilo 2008:114).
Individu yang memiliki tujuan disebut sebagai
aktor.Tidak ada individu yang bertindak tanpa memiliki tujuan
tertentu. Tujuan merupakan keseluruhan keadaan konkret di
masa depan yang diharapkan, sejauh relevan dengan
kerangka acuan tindakan. Bisa dikatakan bahwa aktor terlibat
dalam pengejaran, realisasi, atau pencapaian tujuan itu.
Karenanya, ia merupakan proses dalam waktu. Oleh karena
itu, demi memfasilitasi ini, ia memerlukan seperangkat alat.
Alat bias dipilih secara acak, juga bias bergantung pada
kondisi tindakan. Alat tersebut bias muncul satu persatu, bias
juga muncul secara berbarengan. (Susilo 2008:114)
Parsons membuat konsep “voluntaristic” sebagai
sebuah proses pengambilan keputusan subyektif dari para
pelaku individual (aktor) , tetapi ia melihat keputusan seperti
itu sebagai hasil akhir dari pertimbangan parsial terhadap
jenis hambatan tertentu, baik hambatan normatif maupun
hambatan situasional. Tindakan “voluntaristik” menurut
Parsons mencakup elemen-elemen dasar sebagai berikut :
(1) adanya pelaku yang di dalam konsepsi Parsons
merupakan pelaku individual (pelaku perorangan) ; (2) yang
diasumsikan sebagai orang yang sedang mengejar tujuan
(goal) ; dan (3) pelaku juga dianggap memiliki beberapa
alternatif cara atau alat untuk mencapai tujuan itu; (4) pelaku
dihadapkan pada berbagai macam kondisi dan situasional,
seperti pembentukan biologisnya, keturunannya, dan juga
berbagai hambatan ekologi eksternal, yang dapat
mempengaruhi pemilihan alat untuk mencapai tujuannya itu ;
(5) pelaku juga diatur oleh seperangkat nilai, norma dan ide-
ide lainnya dimana ide-ide ini mempengaruhi apa yang
dianggap sebagai tujuan dan alat, atau cara apa yang dipilih
untuk meraih tujuan tersebut; sehingga, (6) tindakan
“voluntaristik” dengan demikian mencakup pembuatan
keputusan subyektif tentang alat atau cara, yang digunakan
untuk meraih tujuan; dimana semuanya itu dipengaruhi oleh
value, norms, other idea , kondisi dan situasional tertentu.
Hampir semua tindakan manusia adalah sukarela
(voluntary). Tindakan itu adalah produk dari suatu keputusan
untuk bertindak, sebagai hasil dari pikiran. Hampir semua
yang kita lakukan adalah hasil dari memilih tindakan dengan
suatu cara tertentu bukan cara lain. Lebih lanjut, ini adalah
pilihan purposif, atau berorientasi pada tujuan. Kita memilih
di antara banyak pilihan karena, sebagai manusia, kita
mampu mengarah kepada tujuan atau hasil dan mengambil
tindakan untuk mencapainya. Oleh karena itu, hampir semua
tindakan manusia adalah tindakan yang disengaja: kita
mewujudkan tindakan tertentu dalam rangka mencapai
tujuan yang dikehendaki.(Jones, 2009: 25)
Sosiologi pilihan rasional menurut Heckarthorn
memandang bahwa, memilih itu sebagai tindakan yang
bersifat rasional. Jadi artinya, Teori Pilihan Rasional sangat
menekankan pada prinsip “ëfisiensi” di dalam mencapai
tujuan suatu tindakan. Sementara , Teori Tindakan Sosial
(Talcott Parsons) sangat deterministik dan hanya
menekankan pada proses pemilihan ”means” (cara) di dalam
mencapai tujuan suatu tindakan. Dalam kerangka semacam
inilah maka dipandang penting untuk mengintegrasikan
Rational Choice Theory dengan Voluntaristic Theory of
Action Talcott Parsons, agar teori Voluntaristik memiliki
“frame work” yang jelas dan menjadi lebih tajam untuk
digunakan menganalisis “proses pengambilan keputusan
tingkat individu untuk meninggalkan sekolah dan menjadi
pekerja anak”.
Orientasi Normatif
Norma, Nilai dan
Ide-Ide
Tujuan
Aktor
Kondisi
Situasional
Alat (Sarana) 1
Alat (Sarana) 2
Alat (Sarana) 3
Alat (Sarana) 4
7
D. Dinamika Putus Sekolah di Kalangan Pekerja Anak Di
Kota Makassar
Partisipasi sekolah mempunyai hubungan resiprokal
dengan status pekerjaan anak. Anak yang gagal dalam
pendidikan (drop out) lebih terdorong untuk bekerja, dan
sebaliknya anak yang bekerja sambil sekolah cenderung
menurun prestasinya, atau mudah mengalami drop out
(Suyanto dan Mashud, 2000: 22, dalam Darwin, 2009).
Menurut Pitirim A. Sorokin, di dalam mobilitas sosial
secara vertikal dapat dilakukan lewat beberapa saluran
terpenting antara lain melalui lembaga-lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan dinilai merupakan saluran paling
konkret dari mobilitas sosial vertikal, bahkan lembaga
pendidikan formal dianggap sebagai social elevator yang
bergerak dari kedudukan yang paling rendah ke kedudukan
paling tinggi. (dalam Suyanto, 2004:190)
Kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat
merupakan salah satu kegiatan yang dapat meningkatkan
human capital. Menurut Bellante, 1983 (dalam Muhardi 2006)
human capital adalah dana atau pengeluaran individu yang di
investasikan dalam stok tenaga penghasilannya atau disebut
dengan earning power. Oleh karena itu, terdapat tiga kategori
biaya dalam human capital menurut Ehrenberg, 2003 (dalam
Muhardi 2006), yaitu:
1. Pengeluaran yang langsung yang dialokasikan untuk
keperluan sekolah, seperti buku, komputer, dan
peralatan sekolah lainnya;
2. Pendapatan yang hilang (forgone earning), yaitu
kesempatan untuk memperoleh uang dari suatu
pekerjaan karena waktunya dialokasikan untuk sekolah;
dan
3. Kehilangan fisik karena belajar sering mengalami
kesulitan dan membosankan.
Ketiga kategori biaya tersebut diringkas oleh Perkins,
2001(dalam Muhardi 2006) kedalam biaya eksplisit dan biaya
implisit.Point 1 yang dikemukakan Ehrenberg termasuk ke
dalam biaya eksplisit (actual outlay of cash), sedangkan point
2 dan 3 termasuk ke dalam biaya implisit.
Baik Bellante (1983), Ehrenberg (2003) maupun
Perkins (2001) menyatakan bahwa keputusan individu untuk
melanjutkan sekolah ditentukan oleh perbandingan biaya dan
manfaat yang di diskonto ke periode waktu sekarang dengan
asumsi individu tersebut berperilaku rasional dan
sempurnanya informasi tentang biaya pendidikan dan
penghasilan di pasar kerja. Menurut Perkins (2001) dengan
menggunakan asumsi sebelumnya, keputusan individu untuk
melanjutkan sekolah atau bekerja tergantung pada tingkat
pengembalian internal (internal rate of return)
Sementara Hansen,1972 (dalam Mifflen. 1986:230)
mengatakan bahwa “pencapaian pendidikan dapat
dikemukakan dalam bentuk sederhana sebagai efek dari tiga
variable yakni : kesanggupan, aspirasi, dan kesempatan”.
Ketiga variabel tersebut di atas pada dasarnya memang
menjadi faktor yang berpengaruh dalam keterlibatan
masyarakat pada pendidikan.
1. Aspirasi pendidikan keluarga pekerja anak putus
sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspirasi
pendidikan pada umumnya memiliki pandangan yang cukup
positif terhadap pendidikan, namun demikian hal ini tidak
berbanding lurus dengan sikap mereka terhadap pendidikan
anak-anaknya. Mereka kurang memiliki motivasi untuk
mendukung secara penuh anaknya untuk menekuni
sekolahnya. Mereka cenderung pasrah dengan kondisi yang
dialami anaknya sekarang. Hal tersebut sesuai dengan
konsep yang dikemukaan oleh Schneider, (1986), bahwa
posisi anak kelas pekerja (kelas bawah) berbeda dari posisi
anak di kelas lainnya. Anak kelas bawah jarang didorong
untuk “berhasil” atau hidup sesuai dengan apa yang
dianggap norma-norma kepantasan pada kelas yang lebih
tinggi. Ini bukan berarti bahwa si anak tidak diharapkan untuk
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tertentu, tetapi nilai-nilai
tersebut adalah nilai-nilai kelasnya.
Pada umumnya juga mereka pesimis dengan harapan
akan tujuan pendidikan anak-anaknya. Masa depan anak
melalui pendidikan mereka ragukan. Mereka tidak yakin
kalau anak-anaknya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih
baik jika mereka terus bersekolah. Prediksi kemampuan
mereka menyekolahkan anak yang rata-rata hanya sampai
jenjang SMA. Karena berdasarkan pengalaman mereka
anak-anak di sekitar lingkungannya yang berijazah SMA juga
sulit mendapatkan pekerjaan. Beberapa informan mengaku
tidak pernah membayangkan kalau seandainya dia sekolah
akan sampai kuliah/sarjana.
Berdasarkan temuan tersebut di atas, maka jika
ditinjau dari segi teori termasuk dalam kategori budaya
kemiskinan yang dikemukakan oleh Lewis (1988), di mana
mereka memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai
bentuk adaptasi realistik. Menurut Oscar Lewis (1988),
karakteristik kebudayaan kemiskinan antara lain adalah tidak
berminat pada pendidikan formal yang berdimensi masa
depan. Ada kecenderungan mereka memilih caranya sendiri
berdasarkan kondisi dan situasi yang berlaku di kalangan
mereka. Dengan melibatkan anak bekerja lebih cepat,
mereka yakin akan mampu menbuat ia mandiri di masa yang
akan datang, meskipun dengan pendidikan yang sangat
minim. Kondisi dan situasi mereka mempengaruhi keputusan
mereka untuk meninggalkan sekolah dan menjadi pekerja
anak untuk menjamin kelangsungan hidupnya di masa
depan.
Bekerja merupakan pilihan bagi pekerja anak untuk
bertahan hidup demi masa depan mereka. Di mana melalui
cara ini mereka disosialisasikan budaya kerja untuk belajar
mandiri sejak kecil. Pilihan ini dianggap lebih efektif dan lebih
menjamin kepastian mereka untuk menyonsong masa depan
mereka. Karena melalui pendidikan formal mereka merasa
pesimis untuk jaminan masa depan anaknya. Dimana resiko
gagal dalam pendidikan selalu mengancam dengan berbagai
resiko sosial dan resiko akademik
Tekanan “kemiskinan dan struktur” mengakibatkan
menguatnya budaya kemiskinan dikalangan pekerja anak
dan keluarganya. Mereka cenderung pasrah (fatalism) dan
kurang berminat pada pendidikan karena perasaan akan
selalu gagal. Aspirasi pendidikan aktor dan keluarganya
relatif rendah, dan muncul sikap pesimis akan masa depan
dengan pendidikan. Sikap dan komitmen mereka terhadap
pendidikan juga menjadi rendah, sehingga kurang atau
bahkan tidak berminat/memiliki motivasi untuk lanjut sekolah.
2. Akses Pendidikan Pekerja Anak
Akses aktor terhadap informasi program pendidikan
secara umum sangat minim. Informasi-informasi umum
tentang program pemerintah belum mampu mereka akses
dengan baik, demikian juga dengan informasi-informasi yang
terkait dengan pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan
bahwa sosialisasi program pendidikan selama ini kurang
menyentuh masyarakat secara keseluruhan, terutama sekali
kelompok masyarakat miskin. Beberapa informan mengaku
bahwa informasi tentang Program Wajib Belajar 9 Tahun
kurang mereka pahami maksud dan tujuannya. Demikian
juga dengan pendidikan gratis, pada umumnya informan
sering mendengar tentang program pendidikan gratis, tapi
8
mereka tidak tahu tentang item-item yang digratiskan dan
sampai jenjang sekolah mana anak-anak gratis.
Akses mereka terhadap program bantuan pemerintah
dalam bentuk beasiswa juga sulit. Bantuan pendidikan bagi
kelompok keluarga miskin sulit diakses salah satunya karena
persyaratan administratif yang cukup rumit. Beberapa
informan mengakui akan sulitnya mengakses sekolah negeri,
karena terbatasnya kuota yang tersedia, sementara jumlah
pendaftar sangat banyak. Apalagi sekolah-sekolah yang
favorit, seperti sekolah SSN, RSBI ataupun sekolah unggulan
lainya, karena sekolah jenis ini mempersyaratkan standar
nilai di atas rata-rata. Hal ini tentu bertentangan dengan
konsep pemerataan dan perluasan akses yang dicanangkan
oleh pemerintah. Kondisi ini juga tidak selaras dengan
semangat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 1 yang menyebutkan
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Data Dinas Pendidikan Makassar menunjukkan, untuk
tingkat SMP pada tahun 2011, daya tampung dari 42 SMP
negeri yang ada hanya 11.608 siswa, sedangkan jumlah
pendaftar mencapai 24.000 pendaftar. Artinya, jumlah
lulusan SD yang bisa diterima di SMP negeri kurang dari
50% jumlah pendaftar. (A. Agustang & Oruh, 2017) . Dengan
demikian, maka memang akan terjadi persaingan yang
sangat ketat untuk mengakses sekolah negeri. Sementara
pada sekolah swasta, masyarakat akan terbebani dengan
pembayaran yang masih diberlakukan pihak sekolah. Di
Makassar, angka partisipasi sekolah untuk tingkat SD sudah
tinggi dan bahkan angka partisipasi murni sudah mendekati
Universal Primary Education yang dipatok pada angka 100%
pada tahun 2015. Meskipun demikian untuk tingkat SMP,
angka partisipasi sekolah masih relatif rendah dan ini
terutama terjadi pada kelompok masyarakat miskin. Upaya
untuk meningkatkan transisi dari SD ke SMP merupakan
salah satu hal pokok yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan angka partisipasi pendidikan dasar yang
masih relatif rendah. (Laporan MDGs Kota Makassar, 2010)
Temuan tersebut di atas menunjukkan adanya
keterbatasan sumber daya yang tersedia, sementara peminat
sangat banyak. Kondisi ini menurut teori pilihan rasional
mengakibatkan sulitnya akses aktor tententu terhadap
sumber daya tersebut. Hal ini mendorong, mereka untuk
menentukan pilihan lain untuk mencapai tujuannya. Informan
mungkin memilih untuk tidak mengejar tujuan yang bernilai
sangat tinggi bila sumber dayanya tak memadai, bila peluang
untuk mencapai tujuan itu mengancam peluangnya untuk
mencapai tujuan berikutnya yang sangat bernilai. Hal ini
menurut teori pilihan rasional bahwa terdapat sekurang-
kurangnya dua pemaksa utama tindakan. Salah satunya
adalah keterbatasan sumber. Aktor mempunyai sumber yang
berbeda maupun akses yang berbeda terhadap sumber daya
yang lain. Bagi aktor yang mempunyai sumber daya yang
besar, pencapaian tujuan mungkin relatif mudah. Tetapi bagi
aktor yang mempunyai sumber daya sedikit, pencapaian
tujuan mungkin sukar atau mustahil sama sekali. (Ritzer,
2004). Sementara Weber menyebutnya sebagai salah satu
bentuk tindakan rasionalitas praktis yang oleh Kalberg
didefenisikan sebagai “setiap jalan yang memandang dan
menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan
kepentingan individu yang murni pragmatis dan egoistis”.
Orang yang mempraktikkan rasional praktis menerima
realitas yang ada dan sekadar mengkalkulasikan cara
termudah untuk mengatasi kesulitan yang mereka hadapi.
(Oruh et al., 2019)
Akses keluarga informan terhadap pendidikan juga
masih relatif rendah. Program pendidikan yang dicanangkan
oleh pemerintah tidak tersosialisasikan dengan baik kepada
mereka, sehingga pemahaman dan kesadaran mereka akan
pendidikan sangat minim. Ketimpangan fasilitas dan ekslusi
sekolah juga membatasi akses mereka terhadap pendidikan.
Demikian juga dengan struktur pendidikan dasar dengan
manajemen terpisah yang menyulitkan dan memberi peluang
bagi mereka untuk putus sekolah.
C. Layanan pendidikan di sekolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa layan pendidikan
yang diterima oleh para informan semasa sekolah belum
adaptir dengan kebutuhan dan kondisi mereka. Beban
belajar yang diperuntukkan bagi siswa yang normal tentu
akan terasa berat bagi mereka, karena kesulitan untuk
membagi waktu belajar atau mengerjakan tugas-tugasnya.
Pada kasus di atas, beberapa informan merasa berat akan
beban belajar yang harus mereka selesaikan, bukan hanya
jumlah mata pelajaran, akan tetapi juga tugas-tugas per mata
pelajaran yang kadang bertumpuk antara satu dengan yang
lain. Sehingga perlu adanya koordinasi antara para guru
dalam pemberian tugas agar tidak terlalu membebani siswa.
Kajian-kajian kualitatif juga menunjukkan bahwa hubungan-
hubungan sosial positif dapat menciptakan insentif besar
bagi siswa untuk kembali ke sekolah; bahkan bagi siswa
yang melaporkan bahwa tugas sekolah berat, dan ekspektasi
tidak mudah dipenuhi (Andi Agustang, 2010) dan (Fine,
1991, dalam Mutrofin, 2009). Modal sosial yang diukur
dengan berbagai hubungan di antara siswa dengan tenaga
guru dan berdasarkan laporan oleh guru mengenai
pembicaraanya dengan siswa di luar kelas berhubungan
sangat erat dengan DO, bahkan setelah faktor risiko sosial
dan akademik siswa turut diperhitungkan (Crononger & Lee,
2001 dalam Mutrofin, 2009) (Andi Agustang & Oruh, 2021)
Hal ini tersebut diakui oleh salah seorang guru yang
mengajar di SMP Terbuka di sekolahnya yakni MD, bahwa
kemampuan siswa yang sekolah sambil bekerja berbeda
dengan siswa murni lainnya. Berdasarkan pengalamannya
mengajar di kelas SMP terbuka yang siswanya rata-rata
pekerja anak, ia mendapatkan bahwa ketika memberikan
tugas yang agak berat maka siswa tidak mampu untuk
menyelesaikan. Bahkan banyak yang tidak masuk sekolah
ketika tiba waktunya tagihan tugas itu wajib disetorkan.
Sebaliknya, jika tugas yang diberikan termasuk dalam
kategori ringan maka mereka akan tetap masuk sekolah.
Oleh karena itu, setiap guru harus memahami kemampuan
siswa tersebut, untuk menyesuaikan dengan beban belajar
yang diberikan.
Layanan bimbingan konseling juga belum mampu
membantu informan untuk mengatasi berbagai adaptasi
khususnya kesulitan belajar. Layanan yang mereka terima
bersifat umum dan tidak ada layanan khusus bagi siswa yang
mempunyai masalah. Kondisi ini tentu kurang membantu
bagi siswa yang mempunyai problem khusus terkait dengan
kelangsungan proses pembelajarannya atau bahkan
kelangsungan sekolahnya. Sekolah juga kurang peduli
dengan adanya siswa mereka yang berhenti, kurang memiliki
kepedulian untuk membimbing siswa-siswa yang memiliki
masalah agar tidak berlarut-larut dan akhirnya berhenti
sekolah. Demikian juga dengan kegiatan ekstra-kurikuler
yang belum mampu memfasilitasi kebutuhan informan sesuai
dengan kebutuhan minat dan bakatnya.
Organisasi sosial di sekolah informan yakni hubungan
antara siswa dan guru serta dengan siswa lainnya. Respon
guru terhadap kesalahan informan dengan hukuman dan
9
bahkan kekerasan membuat informan antipati pada guru-
guru tertentu. Pemberian hukuman tidak disertai dengan
pemahaman terhadap siswa akan hasil yang diharapkan oleh
guru yang bersangkutan. Demikian juga hubungan dengan
sesama siswa yang menjadi buruk karena masih terjadinya
konflik antar siswa di sekolah (Yudhar et al., 2021).
Baik kajian kualitatif maupun kajian kuantitatif
menegaskan bahwa siswa yang meninggalkan sekolah
sebelum lulus sering dipandang sebagai siswa yang kurang
mendapat dukungan sosial sebagai akibat dari tindakannya.
Siswa yang tidak puas dengan laporan sekolah menjadi
putus hubungan dengan guru, bahkan setelah berupaya
keras mendapatkan bantuan dari personalia sekolah (Andi
Agustang, 2021). Siswa yang tidak merasa dilibatkan
mengklaim bahwa guru tidak peduli pada mereka, kurang
tertarik dengan apa yang mereka kerjakan disekolah, dan
tidak hendak membantu dalam menagatasi permasalahan
mereka (Valenzuela, 1999 dalam Mutrofin 2009) (Ufie et al.,
2021). Hasil wawancara dangan pelaku DO pada saat
mereka telah meninggalkan sekolah mengungkapkan bahwa
separuh di antaranya menyatakan mereka keluar sebenarnya
karena alasan sosial, karena ketidakcocokan mereka dengan
guru dan siswa lain (Caterall, 1998, dalam Mutrofin 2009)
dan (Andi Agustang et al., 2021)
Layanan fasilitas yang disediakan sekolah juga
dirasakan informan belum maksimal. Penyediaan buku paket
masih terbatas, sementara layanan perpustakaan tidak
menyediakan semua jenis buku yang dibutuhkan siswa.
Fasilitas umum sekolah seperti toilet sebenarnya cukup
tersedia, tetapi kurang terawat sehingga tidak nyaman untuk
digunakan. Demikian juga dengan meja dan kursi yang
menurut beberapa informan sudah ada yang rusak tapi
masih digunakan. Menurut informan, jumlah siswa yang
terlalu banyak dalam satu kelas juga cukup mengganggu dan
membuat anak-anak tidak nyaman dalam belajar. Selain
karena terlalu rapat, juga karena sulitnya guru mengontrol
semua siswa pada saat pembelajaran. Sehingga terkadang
banyak siswa yang usil dengan mengganggu temannya yang
sedang serius mengikuti pembelajaran (Andi Agustang,
2005).
Layanan pendidikan yang diterima oleh aktor
sewaktu sekolah belum adaptif dengan kondisi dan
kebutuhannya. Sekolah belum mampu memberikan layanan
yang adaptif dengan kebutuhan dan karakteristik aktor.
Interaksi edukatif yang berlangsung belum mampu
membantu aktor untuk beradaptasi dengan situasi
pembelajaran (Oruh et al., 2017).
F. Penutup
Berdasakan pada hasil penelitian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa tekanan “kemiskinan dan struktur”
mengakibatkan menguatnya budaya kemiskinan dikalangan
pekerja anak dan keluarganya. Mereka cenderung pasrah
(fatalism) dan kurang berminat pada pendidikan karena
perasaan akan selalu gagal. Aspirasi pendidikan aktor dan
keluarganya relatif rendah, dan muncul sikap pesimis akan
masa depan dengan pendidikan. Sikap dan komitmen
mereka terhadap pendidikan juga menjadi rendah, sehingga
kurang atau bahkan tidak berminat/memiliki motivasi untuk
lanjut sekolah. Akses keluarga informan terhadap pendidikan
juga masih relatif rendah. Program pendidikan yang
dicanangkan oleh pemerintah tidak tersosialisasikan dengan
baik kepada mereka, sehingga pemahaman dan kesadaran
mereka akan pendidikan sangat minim. Ketimpangan fasilitas
dan ekslusi sekolah juga membatasi akses mereka terhadap
pendidikan. Demikian juga dengan struktur pendidikan dasar
dengan manajemen terpisah yang menyulitkan dan memberi
peluang bagi mereka untuk putus sekolah. Layanan
pendidikan yang diterima oleh aktor sewaktu sekolah belum
adaptif dengan kondisi dan kebutuhannya. Sekolah belum
mampu memberikan layanan yang adaptif dengan kebutuhan
dan karakteristik aktor. Interaksi edukatif yang berlangsung
belum mampu membantu aktor untuk beradaptasi dengan
situasi pembelajaran (A. Agustang & Oruh, 2017).
Akumulasi dari berbagai tekanan struktur di atas,
memberi peluang dan mendorong pekerja anak untuk
meninggalkan sekolah. Mereka lebih berpikir pragmatis dan
sekedar mencari solusi terbaik untuk menghadapi tekanan-
tekanan tersebut. Orientasi masa depan dengan sekolah
menjadi pudar karena resiko kegagalan (sosial dan
akademik) selalu mengancam eksistensi mereka di sekolah
(Masni et al., 2021).
B. Saran
Berdasakan pada kesimpulan hasil penelitian di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa saran sebagai berikut :
1. Upaya penanggulangan pekerja anak yang putus
sekolah harus dilakukan dengan pendekatan holistik.
Permasalahan tersebut tidak akan selesai hanya
dengan program pendidikan gratis atau membebaskan
mereka dari pembayaran. Harus ada “intervensi
komunitas” untuk mensosialisasikan program
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesadaran
masyarakat, khususnya kelompok miskin agar memiliki
motivasi dan komitmen yang tinggi atas kelangsungan
pendidikan anak.
2. Perluasan dan pemerataan akses pendidikan harus
diimplementasikan secara intensif, dengan memberi
kepastian kepada masyarakat akan akses terhadap
pendidikan yang bermutu. Pentingnya mengkaji sistem
manajemen satu atap antara SD dan SMP agar dapat
memberi jaminan kepada peserta didik alumni SD akan
keberlanjutan pendidikannya ke jenjang SMP. Konsep
ini penting untuk mendukung Program Wajib Belajar 9
Tahun.
3. Layanan pendidikan bagi pekerja anak harus adaptif
dengan kebutuhan dan kondisinya. Struktur
akademik/kurikulum dan pemberian tugas-tugas harus
disesuaikan dengan kamampuan dan waktu mereka
untuk menuntaskannya. Oleh karena itu, perlu
diupayakan untuk mengkaji suatu kurikulum khusus
yang beban belajarnya adaptif dengan situasi dan
kondisi pekerja anak.
Referensi:
Agustang; Andi, Suardi, Mutiara; Ainun, & Ramlan;
Herdianty. (2020). SOCIAL PRENEUR
DALAM PENANGGULANGAN
KEMISKINAN DI KECAMATAN BISSAPPU
KABUPATEN BANTAENG. Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 3(3), 331–342.
https://doi.org/10.31604/jpm.v3i2.331-342
Agustang. A. (2017). Sufisme dan Kemiskinan
Kultural Pada Komunitas Nelayan Dipesisir
Teluk Bone Kecamatan Sibulue. Jurnal
Pemikiran Islam., 14(3), 342–364.
Agustang, A., & Oruh, S. (2017). Factors affecting of
heropnam of mental disorders in Dadi Regional
Hospital in South Sulawesi Province. Man in
10
India, 97(11), 233–244.
Agustang, A. Y. A., Herman, H., Said, M., &
Agustang, A. (2021). Upaya Guru IPS Dalam
Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Pada
Masa Covid 19 Di SMP. Phinisi Integration
Review, 4(1), 144–149.
Agustang, Andi. (2005). DEFLEKSI SOSIO –
KULTURAL MASYARAKAT MARITIM KE
ARAH KEPENTINGAN PEMBANGUNAN
(Studi Kasus Pada Komunitas Nelayan di
Kabupaten Selayar Propinsi Sulawesi Selatan).
Universitas Padjadjaran.
Agustang, Andi. (2010). SUFISME DAN
KEMISKINAN KULTURAL PADA
KOMUNITAS NELAYAN DI PESISIR
TELUK BONE KECAMATAN SIBULUE. AL-
FIKR, 14, 342–364. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/2327
Agustang, Andi. (2021). Filosofi Research Dalam
Upaya Pengembangan Ilmu. OSF Preprints.
Agustang, Andi, & Oruh, S. (2021).
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (studi Pada
Dewasa Madya Yang Belum Menikah Di Kota
Makassar).
Agustang, Andi, Suardi, S., Putra, A. D. M., & Oruh, S.
(2021). Pemberdayaan Guru Mata Pelajaran
Sosiologi Melalui Literasi Digital Berbasis
Quick Response Code di Kecamatan Bissappu
Kabupaten Bantaeng. Abdi: Jurnal Pengabdian
Dan Pemberdayaan Masyarakat, 3(2), 175–188.
https://doi.org/10.24036/abdi.v3i2.120
Masni, M., Oruh, S., & Agustang, A. (2021). Tinjauan
Sosiologis Penanganan Kasus Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Menurut UU PKDRT Oleh
Pengadilan Negeri Pangkep. Jurnal Sosialisasi:
Jurnal Hasil Pemikiran, Penelitian Dan
Pengembangan Keilmuan Sosiologi Pendidikan,
8, 108–117.
Nur, S., Andi Agustang, & Arlin Adam. (2020).
Uninhabitable Home: Portraits of Poverty in
Cities. Indonesian Journal of Social and
Environmental Issues (IJSEI), 1(3 SE-), 234–
238. https://doi.org/10.47540/ijsei.v1i3.81
Oruh, S. (2018). KAU MAU KEMANA? ( Refleksi
Sosiologis terhadap Integritas Upaya Kesehatan
Jiwa ). 1–3.
Oruh, S., Agustang, A., & Alim, A. (2017). Kejadian
Heropnam Gangguan Jiwa Dan Faktor Yang
Mempengaruhi Pada Rumah Sakit Khusus
Daerah Dadi Provinsi Sulawesi Selatan. July.
Oruh, S., Theresia, M., & Agustang, A. (2019).
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS.
Researchgate.Net.
Rasyid, R., Agustang, A., Agustang, A. T. P., Bastiana,
B., & Najamuddin, N. (2020). Analisis Faktor
Yang Mempengaruhi Status Kemiskinan Rumah
Tangga Pada Wilayah Central Bussiness District
(CBD) di Kota Makassar. Majalah Geografi
Indonesia, 34(1), 43–52.
SHERMINA ORUH, & ANDI AGUSTANG. (2015).
PENGARUH PENGETAHUAN KELUARGA,
STIGMA MASYARAKAT DAN
KEPATUHAN MINUM OBAT TERHADAP
KEKAMBUHAN PENYAKIT GANGGUAN
JIWA DI KOTA MAKASSAR. In Dk (Vol. 53,
Issue 9, pp. 1689–1699).
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.00
4
Syaharuddin, S., Agustang, A., Idkhan, A. M., &
Rifdan, R. (2021). STRATEGI DINAS SOSIAL
DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN
DI KOTA MAKASSAR. JISIP (Jurnal Ilmu
Sosial Dan Pendidikan), 5(4).
Ufie, A., Oruh, S., & Agustang, A. (2021). Maintaining
Social Harmony Through Historical Learning
Based on Local Wisdom of Indigenous Peoples
in Maluku. Historia: Jurnal Pendidik Dan
Peneliti Sejarah, 5(1), 31–40.
Yudhar, A. N., Agustang, A., & Sahabuddin, J. (2021).
Habituation of character values in junior high
school students. Cypriot Journal of Educational
Sciences, 16(2), 659–668.
https://doi.org/10.18844/CJES.V16I2.5642