Content uploaded by Denis Guritno Sri Sasongko
Author content
All content in this area was uploaded by Denis Guritno Sri Sasongko on Dec 06, 2021
Content may be subject to copyright.
1
PENGERTIAN PENDIDIKAN
Makalah Ilmiah
Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan
Oleh
DENIS GURITNO SRI SASONGKO
NPM. 20177379144
Fakultas Pascasarjana
Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI JAKARTA
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu tugas yang diemban oleh guru adalah menjadi pendidik karakter.
Namun, para guru mengalami situasi yang sangat sulit seperti sekarang ini.
Perkembangan yang terjadi dalam masyarakat membuat guru berhadapan langsung
dengan perubahan tata nilai dalam masyarakat. Guru dituntut untuk menjaga
identitasnya sebagai pendidik karakter.
Dalam masyarakat, guru mengemban fungsi strategis sebagai pendidik nilai.
Melalui kerja professional dan pembaktian hidupnya dalam pendidikan, mereka
berperan dalam membentuk karakter peserta didik menjadi manusia yang utuh dan
dewasa. Guru adalah individu yang berperan dalam mempersiapkan generasi muda
agar siap menghadapi tantangan dan laju perubahan dalam masyarakat.
Pergeseran tata nilai dalam masyarakat pun berakibat pada pergeseran
kejernihan visi sebagai pendidik karakter. Persoalan mulai timbul karena terjadi
pergeseran tata nilai. Pergeseran ini tidak hanya berkaitan dengan nilai-nilai
individual dan sosial yang menjadi keyakinan guru selama ini, tetapi sekaligus
tatanan nilai-nilai moral. Sebelumnya, peserta didik dan guru menghargai nilai-nilai
kejujuran. Sekarang, nilai-nilai kejujuran tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya
dan diganti dengan nilai-nilai yang lebih praktis dan efisien. Para peserta didik tidak
perlu bekerja keras untuk mendapatkan nilai yang baik, sebab dengan mencontek
mereka dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
Makalah ilmiah ini ditulis untuk mendalami empat pengertian pendidikan;
pengertian pendidikan secara filosofis, pengertian pendidikan secara psikologis,
pengertian pendidikan secara sosial-budaya, dan pengertian pendidikan menurut UU
Negara Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. Keempatnya diulas dengan melihat
konsekuensi logis masing-masing pengertian. Dan, penulis menegaskan pokok-
pokok pikiran dalam Bab II pada Bab III, Penutup.
2
BAB II
UNSUR-UNSUR PENGERTIAN PENDIDIKAN
Pendidikan memuat banyak aspek dan sifat yang kompleks. Dengan
orientasi, konsep dasar, tekanan, dan dasar filosofi yang berbeda-beda, beberapa
ahli pendidikan mencoba merumuskan pengertian pendidikan. Namun, definisi
pendidikan yang telah dirumuskan tidak cukup memadai untuk menjelaskan arti
pendidikan secara lengkap.
Pada Bab ini, penulis menjelaskan empat unsur pengertian pendidikan secara
filosofis, psikologis, sosial, dan budaya. Untuk uraian filosofis, penulis mengacu
pada pemikiran Prof. Dr. Nicholaus Driyarkara. Sementara, uraian psikologis, sosial,
dan budaya, penulis mendeskripsikan secara rinci dari pemikiran beberapa ahli
pendidikan. Harapannya, dapat diperoleh gambaran yang utuh tentang pendidikan.
A.
UNSUR FILOSOFIS
1.
Pengertian Pendidikan
Driyarkara merumuskan pengertian pendidikan sebagai upaya
pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf
insani. Perwujudan upaya ini adalah tindakan mendidik dan dididik. Bagi Driyarkara,
kedua tindakan tersebut adalah perbuatan yang fundamental. Artinya, pendidikan
adalah perbuatan yang mengubah dan menentukan hidup manusia, baik bagi
pendidik maupun peserta didik. Bagi peserta didik, pendidikan menjadi sarana yang
memungkinkannya tumbuh sebagai manusia. Sementara bagi pendidik, mendidik
berarti menentukan suatu sikap dan bentuk hidup yang diyakini dapat mewujudkan
prinsip-prinsip serta nilai-nilai insani yang membangun seluruh hidupnya. (Sudiarja,
2006)
Definisi Driyarkara tersebut menegaskan bahwa isi perbuatan fundamental
yang disebut mendidik adalah pemanusiaan manusia muda, dan ini berarti
hominisasi dan humanisasi. Kata hominisasi berasal dari kata homo (manusia, Latin)
yang berasal dari kata humus (tanah). Kata ini berarti proses penjadian manusia.
Driyarkara menjelaskan bahwa setelah berupa bayi, manusia baru itu, meskipun
sungguh-sungguh manusia, namun belum dapat bertindak sebagai manusia. Ia
tumbuh, berproses, dan hanya dengan lambat laun, ia sampai ke kemanusiaannya.
Dengan demikian, manusia bukan lagi makhluk biologis, melainkan seorang pribadi,
3
seorang person, seorang subjek, artinya: mengerti diri, menempatkan diri dalam
situasinya, mengambil sikap dan menentikan dirinya; nasibnya ada di tangannya
sendiri. Inilah puncak dari proses hominisasi.
Kata hominisasi tidak dapat lepas dari humanisasi. Driyarkara menjelaskan
bahwa istilah humanisasi menunjuk pada perkembangan yang lebih tinggi. Secara
etimologis, kata ini berdekatan dengan kata human yang berarti sesuai dengan
kodrat manusia, jadi sama dengan insani atau manusiawi. Dengan demikian,
humanisasi berarti proses perkembangan kehidupan manusia dan masyarakat yang
sempurna karena cocok dengan tuntutan dan cita-cita manusia. Artinya, humanisasi
selalu berarti perkembangan yang lebih tinggi, di atas tingkat minimal. Tingkat yang
minimal inilah yang disebut hominisasi, sedang tingkat yang lebih sempurna inilah
yang disebut humanisasi.
Hominisasi dan humanisasi berarti pengangkatan manusia muda sampai
sedemikian tingginya sehingga dia dapat menjalankan hidupnya sebagai manusia
dan membudayakan diri. Artinya, perwujudan yang primer dan fundamental itu
termuat dalam kesatuan hidup bapak-ibu-anak. Dengan demikian, mendidik
merupakan pemanusiaan manusia muda oleh mereka yang melahirkannya. Untuk
itulah pendidikan tampak sebagai suatu bentuk hidup bersama, pemasukan manusia
muda ke dalam alam nilai-nilai dan kesatuan antarpribadi yang mempribadikan.
(Sudiarja, 2006)
2.
Pendidikan Sebagai Aktivitas Fundamental
Menurut Driyarakara, perbuatan fundamental terkait dengan perbuatan yang
menyentuh akar kehidupan sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia.
Perbuatan fundamental itu keluar dari sikap fundamental, seperti sikap moral, sosial,
atau religi. Sikap fundamental mengubah, menentukan, membangun hidup manusia,
baik hidupnya sendiri maupun hidup sesama. Sikap ini berdasarkan kodrat manusia
sendiri sehingga manusia dalam hal ini saling mengangkat; menyebabkan kita saling
terhubung dan membuat berbagai macam kesatuan dalam hidup kita. Oleh karena
itu, Driyarkara menegaskan bahwa perbuatan mendidik merupakan perbuatan
fundamental yang mengubah dan menentukan hidup manusia.
Jika perwujudan primer dan fundamental dari pendidikan atau kegiatan
mendidik termuat dalam kesatuan hidup bapak-ibu-anak, mendidik dapat diartikan
pula sebagai pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang
4
bertanggungjawab kepada anak supaya anak tersebut menjadi dewasa. Dengan
kata lain, pendidikan berisi tindakan mendidik dan dididik. Artinya, pendidikan berarti
pula pemanusiaan, baik dari pihak pendidik maupun dari pihak peserta didik. Bagi
pendidik, pendidikan memanusiakan. Jadi, aktivitasnya dapat disebut pemanusiaan.
Sementara bagi peserta didik, pendidikan mendorong peserta didik untuk
memanusia. Jadi, terjadi pula pemanusiaan. Pendidik memanusiakan dan peserta
didik memanusiakan diri. Keduanya mengadakan pemanusiaan.
Driyarkara menegaskan bahwa perwujudan primer ini memuat tiga peristiwa
penting pendidikan, yaitu: (1) pemanusiaan anak. Anak berproses untuk akhirnya
memanusiakan pribadinya sendiri sebagai manusia purnawan; (2) pembudayaan
anak. Anak masuk ke dalam alam budaya atau juga masuknya alam budaya ke
dalam diri anak. Anak berproses untuk akhirnya dapat membudaya sendiri sebagai
manusia purnawan; serta (3) pelaksanaan nilai-nilai. Anak berproses untuk
akhirnya dapat melaksanakan sendiri nilai-nilai sebagai manusia purnawan. Menurut
Driyarkara, pendidikan memperoleh maknanya dalam kehidupan bersama. Dalam
relasi ini, pendidikan menjadi sarana untuk memanusiakan anak. Ia berproses
hingga akhirnya memanusiakan pribadinya.
3.
Pendidikan Sebagai Hominisasi dan Humanisasi
Menurut Driyarkara, konsep pendidikan ditempatkan dalam relasi
kebersamaan. Untuk hidup bersama, manusia harus mengangkat dirinya ke taraf
manusia. Artinya, perbuatan mendidik tersebut keluar dari suatu sikap fundamental
tertentu, yaitu cinta murni. Tujuannya bukanlah kepentingan diri sendiri, melainkan
kepentingan yang dicintai. Di sini cinta, yang juga melahirkan kesatuan hidup,
berusaha menyejejajarkan diri dengan subjek, karena mereka belum sejajar. Lalu
cinta turun ke bawah, tetapi tidak tinggal di bawah, melainkan turun, mengambil
(menerima dan memasukkan yang dicintai ke dalam dirinya), dan mengangkat
(menyebabkan subjek-yang-sedang-menjadi tumbuh menjadi subjek paripurna).
Isi perbuatan fundamental mendidik adalah pemanusiaan dalam arti
hominisasi dan humanisasi. Hominisasi adalah proses manusia menyadari dirinya
sebagai seorang pribadi atau subjek, yaitu ‘mengerti diri, menempatkan diri dalam
situasinya, mengambil sikap dan menentukan dirinya’. Sementara berdasarkan
budinya, humanisasi adalah proses manusia mengangkat alam menjadi alam
manusiawi atau menjadi kebudayaan. Dengan kata lain, pemanusiaan adalah
5
pengangkatan manusia muda sampai sedemikian tingginya sehingga dia bisa
menjalankan hidupnya sebagai manusia dan membudayakan diri.
Menurut Driyarkara, hominisasi merupakan proses pemanusiaan secara
umum, yakni memasukkan manusia dalam lingkup hidup manusiawi secara minimal.
Berbeda dengan binatang, manusia tidak dengan sendirinya bersifat manusia
sesudah kelahirannya. Di situlah peran pendidikan. Sesudah masuk dalam lingkup
manusiawi dengan memenuhi kodratnya, pendidikan selanjutnya memanusiakan
manusia secara khusus dalam proses humanisasi. Humanisasi adalah
perkembangan kebudayaan yang lebih tinggi, seperti tampak dalam kemajuan-
kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan. Manusia turun tangan dalam mengangkat
alam menjadi alam manusiawi. Tidak ada batas antara hominisasi dan humanisasi.
Tidak akan ada hominisasi tanpa humanisasi.
4.
Bapak, Ibu, dan Anak Sebagai Bhinneka-Tunggal
Bagi Driyarkara, pendidikan adalah suatu realitas. Realitas harus dipandang
sebagai dinamika, sebagai aktivitas. Untuk itu, pendidikan adalah suatu
pengembangan dan perkembangan yang aktif. Perwujudan pendidikan didapati
dalam pelaksanaan yang konkret, relasi keluarga. Dalam relasi ini, kebapakan
berupa relasi (hubungan), sikap dan pelaksanaan sikap. Jika pria menerima
kebapakannya, belum tentu ia berhasil menjadi bapak, tergantung watak,
pandangan, dan sikap hidup. Dalam hal ini, pria memandang anak sebagai
pelaksanaan impian-impiannya. Dia merasa lahir dan hidup kembali dalam diri
anaknya. Bapak mengidentifikasikan dirinya dengan si anak, juga
mengidentifikasikan anak dengan dirinya, dengan cita-citanya. Semuanya dialami
dalam kesatuannya dengan si anak. Sebelum ada anak, suami tidak sendiri karena
sudah se-Aku dengan istri. Sesudah ada anak, maka termuatlah dia. Bapak
mengakui dan menerima anak itu dalam kesatuan dengan istri. Bapak telah
menunjukkan cinta kasih; ingin memanusiakan anak. Misalnya dengan pemberian
nama anak. Bapak memasukkan anak ke dalam kehidupan, baik jasmani maupun
rohani. Dengan demikian, pribadi anak tersebut lambat laun menjadi manusia
paripurna. Proses inilah yang disebut pendidikan. (Sudiarja, 2006)
Berbeda dengan Bapak, Driyarkara menjelaskan bahwa ibu tidak perlu
mengakui dan menerima. Sejak awal anak sudah dirasakan sebagai buah dirinya.
Saat lahir, kelemahan anak tampak jelas oleh ibunya. Hidup anak masih terus
6
diselenggarakan oleh ibunya. Ibu selalu mengalami anak dalam perspektif atau
pandangan ke depan. Semua perbuatannya didasarkan atas pandangan itu. Dalam
pandangan inilah, ibu ingin membesarkan anak. Yang termuat dalam kesatuan ibu-
anak adalah kehendak untuk memanusiakan anaknya. Kehendak itu menjelma
menjadi berbagai macam perbuatan yang jelas tujuannya yakni, memanusiakan.
Menurut Driyarkara, perwujudan primer pendidikan dalam kesatuan hidup dari
sudut anak tampak dalam partisipasi. Partisipasi berarti mengambil bagian,
mempunyai bagian, atau lebih tepatnya ikut serta. Orang tua mengikutsertakan anak
dalam kehidupan; anak diperlakukan sebagai manusia. Hal ini tampak ketika anak
belajar bahasa, juga dengan berpartisipasi. Dalam hal ini, orang tua memandang
dan mengalami anak sebagai manusia yang sedang dalam proses penjadian.
Dengan menerima anak sebagai kesatuan mereka, hal tersebut berarti bahwa orang
tua mengikutsertakan anak dalam hidup mereka.
Secara perlahan, anak menjalankan kehidupan manusia. Anak akan terbuka
dan bertemu dengan ibunya: dari hati ke hati; seperti dua manusia yang berada
dalam cinta kasih. Cinta tersebut suci, sejati, dan luhur. Karena cintalah, manusia
tidak diobjekkan; manusia bertemu dengan manusia; pribadi dengan pribadi. Di
sinilah, terwujud dua pribadi yang bersatu, tapi tidak kehilangan diri sendiri.
Sebaliknya, justru dalam kesatuan tersebut, masing-masing individu semakin
mempribadi. Dalam kebersamaan yang penuh cinta itu, anak mengalami bahwa
dunia manusia itu spasial; terbentang, ada di sini, ada di sana, sekaligus temporal;
ada sekarang dan ada nanti. (Sudiarja, 2006)
B.
UNSUR PSIKOLOGIS
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan dipahami sebagai proses pembentukan pribadi. Kata proses
menunjuk pada pendidikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik
yang terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Artinya, pendidikan
merupakan proses yang berkesinambungan karena berlangsung dalam segala
situasi, baik di lingkungan rumah atau sekolah, maupun di lingkungan masyarakat.
Hal ini diungkapkan dengan baik oleh John Dewey. Bagi Dewey, pendidikan
adalah suatu proses pengalaman. Karena kehidupan merupakan pertumbuhan,
pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin manusia tanpa dibatasi oleh usia.
7
Proses pertumbuhan adalah proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah
kecakapan dalam perkembangan seseorang melalui pendidikan.
Bagi Dewey, pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup, melainkan hidup
itu sendiri. Pendidikan merupakan pengembangan dari semua kapasitas dalam
individu yang akan memungkinkan dia untuk mengendalikan lingkungannya dan
memenuhi kemungkinan-kemungkinannya. Dengan demikian, Dewey menegaskan
bahwa pendidikan adalah proses hidup melalui rekonstruksi pengalaman yang
berkesinambungan. (Martin, 2002)
2.
Pengalaman dan Pendidikan Anak
Dua konsekuensi logis dari definisi yang dirumuskan Dewey adalah pertama,
pentingnya pendidikan anak. Dewey berpendapat bahwa anak adalah salah satu
pihak yang rentan terhadap pengekangan, bahkan dalam pendidikan (Dewey,
1966). Oleh karena itu, Dewey menyebutkan bahwa pendidikan sungguh-sungguh
harus memberi perhatian yang lebih besar kepada anak, terutama dalam proses
realisasi diri anak tersebut. Meskipun demikian, Dewey menyadari bahwa di satu
sisi, anak adalah individu yang belum dewasa dan belum berkembang. Di pihak
lain, makna, nilai dan tujuan yang dihayati masyarakat berinkarnasi dalam diri orang
dewasa. Oleh karena itu, proses pendidikan berada di dalam interaksi dua pihak ini.
Konsekuensi logis kedua adalah sasaran proses pembentukan pribadi
yang meliputi pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka
yang sudah dewasa, dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
Keduanya bersifat alamiah. Dan, proses ini pun harus dialami oleh setiap orang.
Artinya, jika seorang bayi terlahir ke dunia, ia baru merupakan individu, belum suatu
pribadi. Kepribadiannya belum terbentuk dan belum memiliki ciri khas
kepribadiannya sendiri. Agar pribadinya terbentuk, ia perlu memperoleh
pendampingan, bimbingan, latihan, dan pengalaman berinteraksi dengan orang-
orang di sekitarnya, khususnya dengan lingkungan pendidikan. (Tirtarahardja,
2016)
Lingkungan pendidikan yang dialami oleh anak adalah di dalam keluarga.
Dewey berpendapat bahwa di dalam keluargalah, anak-anak belajar apa yang
dibutuhkan masyarakat. Kita memahami bahwa keluarga adalah pranata sosial
dalam lingkup terkecil. Untuk itulah, Dewey menegaskan bahwa masyarakat secara
tidak langsung mengajarkannya melalui orang tua. Dengan demikian, pengalaman
8
anak di dalam keluarga menandakan apa yang terjadi dan menjadi kecenderungan
yang berkembang dalam masyarakat.
Perkembangan zaman yang terjadi dalam masyarakat ditandai dengan
runtuhnya batas-batas ruang dan waktu. Hal ini didukung dengan pesatnya
perkembangan teknologi yang memungkinkan semua orang berkomunikasi satu
sama lain tanpa batas-batas tersebut. Pola relasi pun menjadi semakin dinamis.
Dengan demikian, proses perkembangan ini mendorong para orang tua harus
bekerja lebih giat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin
berkembang. Akibatnya, pendidikan anak diserahkan kepada mereka yang
bertugas untuk mendidik.
Pada tahap ini, pendidikan formal, sekolah, sebuah lingkungan khusus mulai
mendapat tempat agar pengalaman keseharian yang sudah diperoleh anak dapat
membuat mereka mampu tumbuh dan berkembang dalam situasi masyarakat.
Tentu saja tujuan ini tidak mudah untuk dicapai. Perkembangan masyarakat
semakin kompleks. Tidaklah mengherankan, terjadi pula penyimpangan yang dapat
dirasakan secara langsung. Anak tidak lagi menjadi pusat dan tujuan dari
pendidikan. Pusat pendidikan digantikan oleh padatnya kurikulum dengan
pelajaran-pelajaran yang diberikan di kelas. Menurut Dewey, hal ini sangat
berbahaya karena pelajaran-pelajaran yang diberikan didasarkan pada satu prinsip
pengetahuan yang dirumuskan dan diinterpretasikan, terlepas dari pengalaman
anak.
Dalam pendidikan, Dewey menegaskan bahwa pemahaman anak
berkembang sesuai dengan apa yang dijalani dalam hidupnya sehari-hari. Anak
belajar dan berkomunikasi dari apa yang menjadi pengalamannya. Anak
berkembang dari apa yang dipelajarinya tersebut. Oleh karena itu, jika mengajarkan
sesuatu yang tidak pernah dialami anak dalam keseharianya, pendidikan tidak lagi
bermakna. Hal ini berakibat pada pribadi anak yang akan mengalami kesulitan
untuk hidup dengan lebih baik dalam masyarakat.
Pengertian pendidikan yang dirumuskan oleh Dewey menunjukkan
pentingnya psikologi anak dalam pendidikan. Bagi Dewey, dunia anak adalah dunia
yang utuh, tidak terbagi dan integral. Artinya, pendidikan anak tidak dapat dipisah-
pisahkan. Pendidikan adalah proses yang bertujuan baik bagi anak dan sekaligus
bagi kehidupan sosial. Untuk itu, sekolah dan kurikulum harus mengajarkan hal-hal
yang berguna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah, anak didampingi
9
untuk merealisasikan dirinya, mewujudkan bakat-bakatnya, menginternalisasikan
nilai dan sikap untuk hidup dalam masyarakat.
Dewey berpendapat bahwa dalam proses pendidikan inilah terjadi interaksi
antar peserta didik serta interaksi guru sebagai pendidik dan peserta didik. Relasi
tersebut bukanlah relasi menguasai atau relasi subjek-objek. Peserta didik tidak
diperlakukan sebagai pihak yang harus menerima tanpa bertanya. Dengan
demikian, relasi ini bersifat sosiologis. Artinya, peserta didik dan pendidik ikut ambil
bagian dalam proses internalisasi nilai, tujuan, sikap, dan makna proses
pendidikan. Harapannya, peserta didik mampu menciptakan masyarakat yang lebih
baik.
Menurut Dewey, pendidik pun ikut ambil bagian dalam pengembangan diri
tersebut. Tujuannya adalah agar kualitas kepribadiannya meningkat bersamaan
dengan meningkatnya tantangan perkembangan zaman. Istilah yang dipakai untuk
menunjukkan proses yang dialami pendidik adalah pendidikan sepanjang hidup.
Pembentukan pribadi dengan pendidikan sepanjang hidup ini juga mencakup
pembentukan cipta, rasa, dan karsa (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
C.
UNSUR SOSIAL-BUDAYA
1.
Pengertian Pendidikan
Pendidikan berperan penting dalam proses transformasi budaya. Di
dalamnya, terdapat kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang
lain (Tirtarahardja, 2016). Proses transformasi ini mencakup pewarisan kebiasaan-
kebiasaan tertentu, larangan-larangan dan ajuran, serta ajakan tertentu seperti yang
dikehendaki oleh masyarakat.
M.J. Langeveld, seorang ahli pendidikan berkebangsaan Belanda,
menjelaskan bahwa pendidikan adalah upaya dalam membimbing manusia
yang belum dewasa ke arah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu usaha dalam
menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan
bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk
mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.
Definisi tersebut memuat konsekuensi logis. Nilai-nilai kebudayaan tersebut
mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk
transformasi, yaitu pertama, nilai-nilai yang masih cocok diteruskan. Misalnya, nilai-
nilai kejujuran dan rasa tanggungjawab. Kedua, nilai-nilai yang kurang cocok
10
diperbaiki. Misalnya, tata cara pesta perkawinan. Dan, ketiga, nilai-nilai yang tidak
cocok diganti. Misalnya, pendidikan seksualitas yang dahulu ditabukan diganti
dengan pendidikan seksualitas melalui pendidikan formal. (Tirtarahardja, 2016)
2.
Proses Pewarisan Budaya
Proses pewarisan budaya tidak hanya melestarikan budaya, tetapi
menyiapkan masa depan peserta didik. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan
dalam Garis Besar Haluan Negara sebagaimana yang dikutip oleh Tirtarahardja
(2016):
a.
Kebudayaan nasional merupakan perwujudan cipta, rasa, dan karsa bangsa
Indonesia. Landasannya adalah Pancasila.
b.
Kebudayaan nasional yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus terus
dipelihara, dibina, dan dikembangkan sehingga mampu menjadi penggerak
bagi perwujudan cita-cita bangsa di masa depan.
c.
Perlu ditumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengangkat nilai-nilai
sosial budaya daerah yang luhur serta menyerap nilai-nilai dari luar yang
positif dan yang diperlukan bagi pembaruan dalam proses pembangunan.
d.
Perlu diciptakan suasana yang mendorong bertumbuhnya disiplin nasional
serta sikap budaya yang mampu menjawab tantangan pembangunan dengan
dikembangkan pranata sosial yang dapat mendukung proses pemantapan
budaya bangsa.
e.
Usaha pembaruan bangsa perlu dilanjutkan di segala bidang kehidupan:
ekonomi dan sosial budaya.
D.
UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2003
Pengertian pendidikan dirumuskan dengan baik dalam UU Negara Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Definisi tersebut memuat tiga pokok pikiran, yaitu: (1) usaha sadar dan
terencana; (2) mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
11
didik aktif mengembangkan potensi dirinya; dan (3) memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
1.
Usaha sadar dan terencana.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan adalah sebuah proses yang disengaja dan dipikirkan secara matang.
Dengan kata lain, pendidikan memuat proses kerja intelektual. Pokok pikiran ini
menegaskan bahwa kegiatan pendidikan harus disadari dan direncanakan, baik
dalam tataran nasional, regional/provinsi, kabupaten kota, institusional/sekolah, dan
operasional.
Proses pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana ini diwujudkan dalam
proses pembelajaran oleh guru. Perencanaan proses pembelajaran meliputi
penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat
identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD),
indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu,
metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber
belajar.
2.
Mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik aktif mengembangkan potensi dirinya
Pokok pikiran kedua yang termuat dalam definisi ini menunjukkan bahwa
pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan yang bercorak humanis, yaitu
berusaha mengembangkan segenap potensi didik, bukan bercorak pembentukan
karakter dengan pendekatan behavioristik. Hal ini diwujudkan dalam dua kegiatan,
antara lain:
a.
Mewujudkan suasana belajar
Mewujudkan suasana belajar tidak dapat dilepaskan dengan usaha untuk
menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang nyaman bagi semua orang yang
terlibat dalam pendidikan, antara lain: pertama, menciptakan lingkungan fisik,
seperti: bangunan sekolah, ruang kelas, ruang perpustakaan, ruang kepala
sekolah, ruang guru, ruang BK, dan taman sekolah; kedua, lingkungan sosio-
psikologis (iklim dan budaya belajar/akademik), seperti: komitmen, kerja sama,
12
ekspektasi prestasi, kreativitas, toleransi, kenyamanan, kebahagiaan; dan ketiga
aspek-aspek sosio–emosional yang memungkinkan peserta didik untuk belajar
dengan baik.
Ketiga hal tersebut diciptakan supaya peserta didik dapat secara aktif
mengembangkan segenap potensinya. Untuk itulah, keterampilan guru untuk
mengelola kelas menjadi sangat penting. Guru berperan sebagai fasilitator yang
mendukung peserta didik untuk belajar dan mengembangkan potensinya masing-
masing.
b.
Mewujudkan proses pembelajaran
Definisi tersebut pun menegaskan bahwa proses pembelajaran terwujud
dengan menciptakan kondisi dan prakondisi untuk mencapai tujuan-tujuan
pembelajaran atau kompetensi siswa. Dalam kegiatan belajar mengajar, pendidik
dituntut untuk mengelola pembelajaran (learning management) dengan baik.
Pengelolaan ini mencakup perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembelajaran.
Dengan kata lain, guru berperan sebagai agen pembelajaran, yang sekaligus
berperan sebagai planner, organizer dan evaluator pembelajaran.
Hal ini mendorong proses pembelajaran didesain dengan matang agar
peserta didik dapat secara aktif mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah mengefektifkan pembelajaran yang
berpusat pada peserta didik (student-centered) dan pembelajaran aktif (active
learning). Dengan dua pendekatan tersebut, pendidik mendukung proses
pembelajaran sebagai fasilitator pembelajaran.
3.
Memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pokok pikiran yang ketiga dalam definisi ini pun memuat tujuan yang
berdimensi religius, personal, dan sosial. Definisi ini menegaskan bahwa
pendidikan adalah proses yang seimbang yang memuat ketiga dimensi tersebut.
Pendidikan karakter termuat secara implisit yang kemudian dijabarkan secara
operasional melalui tujuan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian, pencapaian tujuan pembelajaran pada
13
tataran operasional memiliki arti yang strategis bagi pencapaian tujuan pendidikan
nasional.
Definisi pendidikan mendeskripsikan dengan jelas siapa yang disebut
sebagai pendidik itu, siapa yang disebut sebagai peserta didik, bagaimana
seharusnya kegiatan mendidik, dan apa yang ingin dicapai dalam pendidikan.
14
BAB III
PENUTUP
Keempat unsur pendidikan yang dsebutkan pada Bab II menegaskan bahwa
proses pendidikan melibatkan banyak hal, antara lain: subyek yang dibimbing
(peserta didik), orang yang membimbing (pendidik), interaksi antara peserta didik
dengan pendidik (interaksi edukatif), tujuan yang akan dicapai dalam proses
pendampingan peserta didik (tujuan pendidikan), pengaruh yang diberikan dalam
proses pendampingan peserta didik (materi pendidikan), cara yang digunakan dalam
bimbingan (alat dan metode), dan tempat di mana peristiwa bimbingan berlangsung
(lingkungan pendidikan). (Tirtarahardja, 2016)
Secara filosofis, Driyarkara menunjukkan bahwa pendidikan merupakan
kegiatan sadar yang fundamental. Hal ini merupakan suatu antisipasi yang efektif
untuk meredam kecenderungan industrialisasi pendidikan. Pada masa ini,
pendidikan formal rentan terhadap kecenderungan pragmatis. Orientasinya adalah
nilai pasar. Orang akan dihargai jika ia cakap untuk bekerja dan mendapatkan uang.
Dengan demikian, gambaran manusia yang sebenarnya ditutupi dengan gambaran
manusia yang tidak fundamental.
Perkembangan yang terjadi dewasa ini mendorong pendidikan hanya
didasarkan pada aspek ekonomi, sesuai dengan hukum permintaan-penawaran.
Pendidikan menjadi komoditi ekonomi. Akhirnya, pendidikan tidak lebih adalah toko-
serba-ada yang menyediakan barang bagi masyarakat pada umumnya.
Driyarkara merumuskan suatu pendidikan yang humanis. Menurutnya,
pendidikan sekali lagi harus diarahkan pada kodrat rohani manusia. Jadi,
pembentukan manusia yang berkeahlian saja tidak cukup, melainkan pendidikan
harus mengarah pada pemanusiaan manusia secara utuh. Di sinilah, definisi Dewey,
Langeveld, dan UU Negara Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 ditegaskan
sekali lagi.
Pendidikan tidak boleh bersifat individualistis dengan menuruti semua
kehendak dan memanjakan anak, tidak boleh bersifat stato-sentris dengan
menempatkan anak di bawah kekuasaan negara atau masyarakat sampai
memusnahkan kepribadiannya, melainkan harus bersifat personalistis dalam arti
ditujukan pada perkembangan manusia sebagai pribadi. Dengan demikian, mendidik
adalah hak dan kewajiban orang tua. Kewajiban negara adalah mengakui,
15
melindungi, dan membantu pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua tersebut,
khususnya dengan memperkembangkan pengajaran.
Dua aspek pengajaran adalah pertama, bertujuan untuk mempersiapkan
peserta didik agar menjadi pribadi yang sempurna dan susila. Tugas ini diemban
oleh orang tua. Kedua, bertujuan untuk mempersiapkan peserta didik agar menjadi
tenaga yang cakap. Tugas ini diemban oleh negara. Dengan demikian, konstruksi
pengajaran harus didasarkan pada pandangan yang inkulturatif-progresif.
Pandangan inkulturatif-progresif tentang pendidikan memandang kegiatan mendidik
dan mengajar sebagai upaya memasukkan manusia muda ke dalam kebudayaan.
Akhirnya, pendidikan terarah kepada pembentukan manusia sebagai pribadi yang
religious, otonom, berintegritas, bertanggungjawab, cerdas, berakhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
16
DAFTAR PUSTAKA
Dewey, J. (1966). The Child and the Curriculum: The School and Society. Chicago:
The University of Chicago Press.
_. (1997). Experience and Education. New York: Touchstone.
Hidayat, S. (2013). Teori dan Prinsip Pendidikan. Tangerang: Pustaka Mandiri.
Koesoema, A.D. (2009). Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan
Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter. Jakarta:
Penerbit Grasindo.
Martin, J. (2002). The Education of John Dewey: A Biography. New York: Columbia
University Press.
Sudiarja, A., dkk. (2006). Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang
terlibat penuh dalam Perjuangan Bangsanya. Jakarta: Gramedia.
Tirtarajardja, U. (2016). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.