ArticlePDF Available

AKIBAT HUKUM IDENTITAS PALSU DALAM AKTA PERJANJIAN KREDIT YANG MELIBATKAN PIHAK KETIGA PEMBERI JAMINAN

Authors:

Abstract

p> Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum identitas palsu debitur dalam akta notaris mengenai perjanjian kredit terhadap pihak ketiga pemberi jaminan serta upaya hukum yang dapat ditempuh untuk membatalkan akta notaris tersebut. Notaris seyogyanya teliti dan berhati-hati dalam membuat akta autentik, terlebih mengenai perjanjian kredit yang melibatkan pihak ketiga pemberi jaminan. Sebab, pihak ketiga pemberi jaminan memiliki kepentingan yang berbeda dengan debitur atau kreditur. Jika debitur secara beritikad buruk memberikan identitas palsu dalam suatu perjanjian, maka akibat hukum adanya identitas palsu tersebut perlu dianalisis dari perspektif Pasal 1320 KUHPerdata. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar terkait perlindungan serta kepastian hukum bagi pihak ketiga pemberi jaminan. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan penelusuran literatur. Penelitian ini memiliki kebaharuan perspektif karena menganalisis akibat hukum identitas palsu dalam akta notaris terhadap pihak selain debitur dan kreditur, yakni pihak ketiga pemberi jaminan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa akibat hukum yang timbul terhadap suatu akta dengan identitas palsu adalah dapat dibatalkan karena terdapat penipuan di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Penipuan mengakibatkan perjanjian dalam akta tersebut tidak memenuhi syarat subjektif berupa kesepakatan yang bebas berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, untuk membatalkan akta notaris tersebut, penipuan harus terbukti dan tidak dapat dipersangkakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperoleh putusan pidana berkekuatan hukum tetap yang membuktikan adanya penipuan agar gugatan pembatalan akta memiliki dasar yang kuat. Sebaliknya, akta tersebut tidak dapat dibatalkan jika unsur penipuannya tidak terbukti sehingga masih menjadi akta autentik dan tetap mengikat.</p
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
535
AKIBAT HUKUM IDENTITAS PALSU DALAM AKTA
PERJANJIAN KREDIT YANG MELIBATKAN
PIHAK KETIGA PEMBERI JAMINAN
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok
puspa.pasaribu@ui.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum identitas palsu debitur dalam akta notaris mengenai
perjanjian kredit terhadap pihak ketiga pemberi jaminan serta upaya hukum yang dapat ditempuh untuk
membatalkan akta notaris tersebut. Notaris seyogyanya teliti dan berhati-hati dalam membuat akta autentik,
terlebih mengenai perjanjian kredit yang melibatkan pihak ketiga pemberi jaminan. Sebab, pihak ketiga pemberi
jaminan memiliki kepentingan yang berbeda dengan debitur atau kreditur. Jika debitur secara beritikad buruk
memberikan identitas palsu dalam suatu perjanjian, maka akibat hukum adanya identitas palsu tersebut perlu
dianalisis dari perspektif Pasal 1320 KUHPerdata. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar
terkait perlindungan serta kepastian hukum bagi pihak ketiga pemberi jaminan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan penelusuran
literatur. Penelitian ini memiliki kebaharuan perspektif karena menganalisis akibat hukum identitas palsu dalam
akta notaris terhadap pihak selain debitur dan kreditur, yakni pihak ketiga pemberi jaminan. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa akibat hukum yang timbul terhadap suatu akta dengan identitas palsu adalah dapat
dibatalkan karena terdapat penipuan di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Penipuan
mengakibatkan perjanjian dalam akta tersebut tidak memenuhi syarat subjektif berupa kesepakatan yang bebas
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, untuk membatalkan akta notaris tersebut, penipuan harus terbukti
dan tidak dapat dipersangkakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperoleh putusan pidana berkekuatan
hukum tetap yang membuktikan adanya penipuan agar gugatan pembatalan akta memiliki dasar yang kuat.
Sebaliknya, akta tersebut tidak dapat dibatalkan jika unsur penipuannya tidak terbukti sehingga masih menjadi
akta autentik dan tetap mengikat.
Kata kunci: Autentik; Kredit; Notaris
LEGAL CONSEQUENCES OF FALSE IDENTITY IN A CREDIT
AGREEMENT DEED INVOLVING THIRD PARTY SECURITY
Abstract
This study aims to analyze the legal consequences of an authentic deed regarding credit agreement that contains
false identity of the debtor towards the third party security and the pursuable legal efforts to cancel that deed.
Notaries bear the responsibility of being thorough and careful in drafting authentic deeds, especially regarding
credit agreement that involves a third party security. This is because third party securities have different interests
from those of the debtor or creditor. If a debtor purposely gives false identity in an agreement in bad faith, the
legal consequences will need to be analyzed pursuant to Article 1320 of the Indonesian Civil Code (ICC). The
study utilizes juridical-normative methods, using secondary data through literature study. This study hopes to
offer a solution regarding the legal protection and legal certainty of the third party security. This study offers a
new perspective by analyzing the legal consequences of false identity towards third party security, instead of
towards the debtor or creditor. This study concludes that an authentic deed containing false identity is voidable
due to fraud, pursuant to Article 1321 of the ICC. The presence of fraud in an agreement renders it voidable for
not conforming to Article 1320 of the ICC. However, that fraud must be proven by a criminal court decision.
Acquiring a criminal verdict that proves the presence of fraud in an agreement is essential in cancelling the
authentic deed of that agreement. Otherwise, the authentic deed will remain valid and binding if fraud is not
proven.
Keywords: Authentic; Credit; Notary
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
536
A. PENDAHULUAN
Notaris senantiasa harus teliti dan berhati-hati dalam menjalankan profesinya,
terutama dalam membuat suatu akta autentik. Sebagai pejabat umum yang telah
mendapatkan jabatan kepercayaan dari masyarakat, notaris diwajibkan melaksanakan
profesinya dengan sebaik-baiknya dan senantiasa menjunjung tinggi etika hukum.
Sebab, akibat hukum yang ditimbulkan oleh akta autentik mengikat para pihak yang
tercantum dalam akta tersebut. Ditambah lagi, dalam hal terjadinya sengketa antara para
pihak, akta autentik merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna
dalam proses persidangan. Kekuatan pembuktian yang sempurna artinya adalah akta
autentik merupakan alat bukti yang terpenuh dan terkuat
serta melingkupi nilai kekuatan
pembuktian materiil, formal, dan lahiriah.
Selain itu, akta autentik juga penting dalam
menjaga kepastian hukum dalam suatu perjanjian. Dalam dunia hukum, salah satu aspek
paling esensial adalah kepastian hukum, yakni hukum bertujuan untuk menjamin
kepastian dalam hubungan antarsubjek di masyarakat.
Memandang perkembangan
hukum di masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan akta autentik untuk menjamin kepastian
hukum tersebut kian meningkat. Masyarakat semakin sadar akan akibat hukum dalam
membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan subjek hukum lain. Akta autentik
menjadi salah satu pilihan dalam merumuskan hak dan kewajiban para pihak dengan jelas
sehingga menjamin kepastian hukum. Selain itu, akta autentik juga berperan sebagai alat
untuk memperjuangkan keadilan bagi para pihak yang membuatnya.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”), notaris adalah
pejabat umum yang telah diberikan kewenangan membuat akta autentik. Kewenangan
notaris tersebut tercantum pula dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”) yang menyatakan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau
di hadapan pejabat umum yang berwenang. Lebih khusus lagi, Pasal 15 ayat (1) UUJN
menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta autentik mengenai sebuah
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan.
Oleh karena itu, sudah seharusnya notaris berhati-hati dalam menuangkan semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan ke dalam akta autentik.
Dalam bukunya, G.H.S. Lumban Tobing menguraikan kewenangan notaris sebagai
berikut:
Edwar Edwar, Faisal A Rani, and Dahlan Ali, “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari
Konsep Equality Before the Law,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 1 (2019): 187201,
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1916.
Maimunah Nurlete, Winanto Wiryomartani, and Widodo Suryandono, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap
Akta Palsu Berdasarkan Pelanggaran Norma Dan Sanksinya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 244/Pid. B/PN.TJK),” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 378401.
Komang Ayuk Septianingsih, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, “Kekuatan
Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata,” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 3 (November 20, 2020),
https://doi.org/10.22225/ah.2.3.2584.336-340.
Theresia Ngutra, “Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum,” Jurnal Supremasi 11, no. 2 (2016): 193211.
“Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris,” Pub. L. No. 2 (2014).
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
537
“Hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya para
pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya menyebabkan adanya kewajiban
bagi penguasa untuk menunjuk dan mengangkat pejabat sedemikian. Wewenang notaris
ini meliputi 4 hal yaitu:
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang yang orang untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat;
d. Notaris harus Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.”
Selain kewajiban yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, sebagai salah satu
profesi hukum, notaris juga secara implisit wajib mencegah terjadinya sengketa.
Akta
autentik memberikan suatu kontribusi nyata terhadap pencegahan atau penyelesaian suatu
sengketa, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Atas dasar ini, dalam membuat akta
autentik, prinsip kehati-hatian dan ketelitian harus diindahkan oleh notaris agar tercapai
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan,
sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Penerapan prinsip kehati-
hatian oleh notaris dapat memperkecil risiko suatu akta autentik dipermasalahkan atau
disengketakan secara hukum, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Akan tetapi, dalam praktiknya, ada kalanya perjanjian yang tertuang dalam akta
autentik tersebut ternyata mengandung suatu kekhilafan, kekeliruan, bahkan penipuan.
Salah satu contohnya adalah kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016. Dalam perkara ini,
terdapat dugaan kejahatan berupa penipuan identitas yang dilakukan oleh debitur
terhadap pihak ketiga yang bertindak sebagai pemberi jaminan. Sebelum membahas
kasus tersebut lebih dalam, penelitian ini akan menguraikan beberapa penelitian
sebelumnya yang terkait dengan pokok permasalahan penelitian ini.
Penelitian yang pertama berjudul “Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam Membuat
Akta Autentik” oleh Manuaba, dkk. (2018). Penelitian ini mengangkat suatu
permasalahan mengenai akibat hukum dari akta notaris yang dibuat berdasarkan adanya
surat palsu juga keterangan palsu. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa akibat hukum
perjanjian dalam isi akta notaris yang telah dibuat berdasarkan surat palsu serta
keterangan palsu tersebut sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal
1335 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu
adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid). Sehingga, akta tersebut terdegradasi kekuatan
pembuktiannya dari suatu akta autentik menjadi akta di bawah tangan. Akan tetapi,
kebenaran formal yang terdapat dalam akta tersebut tetaplah mengikat para pihak yang
Armansyah, “Beneficial Ownership Dan Kewajiban Pelaporan Atas Transaksi Keuangan Mencurigakan,”
Jurnal Hukum 9, no. 2 (2018): 118.
Septiana Zahira, “Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr),” Indonesian Notary 3, no. 1 (2021).
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
538
membuatnya.
Penelitian tersebut meneliti mengenai akibat hukum suatu akta notaris
dalam hal tidak terpenuhinya suatu syarat objektif perjanjian. Sedangkan, penelitian ini
menganalisis tentang akibat hukum akta notaris dalam hal tidak terpenuhinya syarat
subjektif dan juga melibatkan pihak ketiga sebagai pemberi jaminan.
Penelitian selanjutnya berjudul “Pertanggungjawaban Notaris Akibat Adanya
Pemalsuan Identitas Diri Debitur dalam Akta Perjanjian Kredit pada Bank” oleh Aina
(2016). Salah satu permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut terkait dengan
kedudukan akta perjanjian kredit pada suatu bank akibat adanya pemalsuan identitas diri
pihak debitur. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa suatu akta
perjanjian kredit memiliki kedudukan sebagai undang-undang bagi mereka yang telah
membuatnya. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, apabila ada suatu syarat perjanjian
yang tidak terpenuhi, baik itu terkait dengan syarat subjektif maupun syarat objektif,
maka telah terjadi cacat hukum yang menyebabkan adanya penurunan derajat akta
tersebut. Sehingga, akta tersebut dapat dimintakan batal oleh para pihak yang
berkepentingan atau dibatalkan oleh hakim melalui proses pengadilan.
Perbedaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kasus yang dianalisis dalam penelitian ini
tidak hanya melibatkan debitur dan kreditur, namun juga pihak ketiga sebagai pemberi
jaminan.
Penelitian yang terakhir adalah penelitian dengan judul “Pembatalan oleh Hakim
terhadap Akta Jual Beli yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog)” oleh Isnandya,
dkk. (2020). Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah penipuan
sebagai alasan pembatalan akta jual beli serta akibat dari pembatalan oleh hakim terhadap
akta jual beli yang dibuat berdasarkan penipuan tersebut. Kesimpulan penelitian tersebut
menyatakan bahwa akibat hukum yang ditimbulkan yaitu semua keadaan hukum tersebut
haruslah dikembalikan seperti keadaan semula, sebagaimana saat belum terjadi suatu
perbuatan hukum yang telah disebutkan dalam akta tersebut.
Perbedaan penelitian
tersebut dengan penelitian ini adalah penelitian ini menganalisis mengenai syarat
subjektif yang dipalsukan terkait dengan akta kredit modal kerja. Selain itu, para pihak
yang terlibat dalam pembuatan akta kredit modal kerja tersebut bukan hanya debitur dan
kreditur, namun juga pihak ketiga sebagai pemberi jaminan.
Dari uraian singkat atas penelitian terdahulu (literature review) tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara garis besar, keterbatasan penelitian-penelitian sebelumnya
adalah perjanjian kredit yang diteliti hanya melibatkan dua pihak: debitur dan kreditur.
Sedangkan, penelitian ini meneliti perjanjian kredit yang tidak hanya melibatkan debitur
dan kreditur, namun juga melibatkan pihak ketiga atau pihak lain yang bertindak sebagai
pemberi jaminan sehingga kepentingan pemberi jaminan dalam hal ini berbeda dengan
kepentingan debitur maupun kreditur. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk
Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, I Wayan Parsa, and I Gusti Ketut Ariawan, “Prinsip Kehati-Hatian Notaris
Dalam Membuat Akta Autentik,” Acta Comitas 3, no. 1 (2018): 5974, https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.
Nurul Aina, “Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor Dalam Akta
Perjanjian Kredit Pada Bank,” Premise Law Jurnal 11 (2016): 114.
Eva Riska Isnandya, Rosa Agustina, and Arsin Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli
Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog),” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 20931.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
539
memecahkan keterbatasan tersebut (state of the art). Permasalahan inti dari penelitian ini
adalah debitur ternyata memiliki identitas palsu, sementara akta perjanjian modal kerja
telah dibuat dan dilaksanakan, bahkan dananya telah dicairkan kepada debitur. Debitur
tersebut melarikan diri dari kewajibannya dan keberadaannya tidak diketahui, sementara
pihak yang memberikan jaminan menjadi korban atas identitas palsu debitur. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum akta notaris yang memuat
identitas palsu tersebut terhadap pihak ketiga pemberi jaminan, serta upaya hukum yang
dapat ditempuh pihak ketiga tersebut dalam membatalkan akta notaris tersebut.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana akibat hukum akta notaris yang memuat identitas palsu ditinjau dari
syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata?
2. Bagaimana upaya hukum pihak ketiga sebagai pemberi jaminan dalam
membatalkan akta notaris yang memuat identitas palsu debitur?
C. METODE PENELITIAN/LANDASAN TEORITIS
Metodologi pada hakikatnya merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di
dalam suatu penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan uraian
rumusan masalah yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
bertujuan untuk melakukan penelitian yang pada dasarnya menganalisis asas-asas hukum,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan, dan sejarah hukum.
Mengingat bahwa penelitian ini bertujuan menganalisis akibat hukum identitas palsu
debitur dalam suatu akta kredit yang melibatkan pihak ketiga sebagai penjamin, maka
bentuk penelitian yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penelitian yuridis
normatif.
Pada penelitian yuridis normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dapat
digolongkan sebagai data sekunder. Guna mencapai tujuan penelitian ini, pengumpulan
data dilakukan dengan cara studi dokumen atau penelusuran kepustakaan. Penelitian
dilakukan dengan cara menganalisis isi (content analysis) untuk menemukan pesan dan
maksud yang terkandung di dalam dokumen tersebut. Pengumpulan data-data dilakukan
melalui penelusuran bahan kepustakaan, maka data-data yang dipergunakan di dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Penelusuran kepustakaan tersebut dilakukan terhadap
buku-buku teks dan peraturan perundang-undangan terkait dengan jabatan notaris, serta
karya-karya ilmiah seperti jurnal, tesis, dan artikel ilmiah. Bahan-bahan kepustakaan
tersebut diperoleh dari koleksi perpustakaan dan juga pusat-pusat dokumentasi daring.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari literatur dan dokumen-dokumen
untuk membantu menelaah norma-norma hukum terkait dengan jabatan notaris. Literatur
yang dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagian besar merupakan literatur dalam
negeri.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
540
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Akibat Hukum Akta Notaris yang Memuat Identitas Palsu
Perjanjian menjadi instrumen bagi para pihak yang memiliki kepentingan untuk
mengikatkan diri antara pihak yang satu dengan yang lainnya agar terpenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, hukum perjanjian pun juga mengatur asas
kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa para pihak dapat
menentukan sendiri kepentingan-kepentingan mereka dalam perjanjian yang telah dibuat
tersebut.
Selain itu, perjanjian juga merupakan salah satu sumber lahirnya suatu
perikatan. Mengenai sumber-sumber perikatan, Subekti menjelaskan bahwa perikatan
dapat timbul ataupun lahir dari suatu perjanjian ataupun dari ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Keabsahan suatu perjanjian di Indonesia mengacu pada beberapa syarat yang
diatur dalam KUHPerdata. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
syarat sahnya suatu perjanjian meliputi 4 hal, antara lain:
1. Kesepakatan dari para pihak yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan para pihak tersebut untuk membuat perjanjian/melakukan perbuatan
hukum tertentu;
3. Perjanjian berkenaan dengan suatu hal tertentu;
4. Perjanjian didasarkan pada sebuah sebab yang halal/tidak melanggar undang-
undang;
Butir 1 dan 2 merupakan syarat yang berkaitan dengan para pihak yang membuat
perjanjian, yakni kesepakatan di antara para pihak tersebut serta kecakapan para pihak
untuk melakukan perbuatan hukum. Syarat mengenai pihak ini dikenal juga dengan
syarat subjektif. Sementara itu, butir 3 dan 4 mengatur mengenai objek perjanjian yang
harus spesifik dan sebab dilakukannya perjanjian yang harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat ini disebut juga dengan syarat objektif.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan (voidable). Perjanjian yang tidak memenuhi salah satu syarat
subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah sehingga dapat diminta
dibatalkan (canceling) oleh salah satu pihak.
Artinya, pihak yang merasa dirugikan
dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut kepada hakim melalui proses
pengadilan.
Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka
Togi Pangaribuan, “Permasalahan Penerapan Klausula Pembatasan Pertanggungjawaban Dalam Perjanjian
Terkait Hak Menuntut Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 2 (July 5, 2019):
44354, https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2012.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003).
Rizky Amalia, Musakkir Musakkir, and Syamsuddin Muchtar, “Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Isi
Akta Autentik Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta,” Al-Ishlah 24, no. 1 (2021): 188206.
Tesalonika Marta Ayuning Tyas and Adi Sulistiyono Pranoto, “Pembatalan Akta Perjanjian Kredit Karena
Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg),” Jurnal
Repertorium 4, no. 2 (2017): 1039.
Tyas and Pranoto.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
541
perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) dan dianggap tidak pernah ada,
tanpa perlu adanya permintaan pembatalan ke pengadilan.
Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016, debitur
sebagai salah satu pihak dalam perjanjian kredit modal kerja diduga mencantumkan
identitas palsu dalam akta notaris perjanjian tersebut. Setelah dana pinjaman dari
kreditur dicairkan kepada debitur, faktanya debitur sama sekali tidak membayar
kewajiban cicilannya kepada kreditur. Bahkan, keberadaan debitur sama sekali tidak
diketahui. Setelah ditelusuri, ternyata terdapat dugaan kuat bahwa identitas, alamat
tinggal, serta alamat usaha debitur yang tercantum dalam akta perjanjian kredit adalah
palsu.
Pencantuman identitas palsu dalam suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai
penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Akibatnya, penipuan
tersebut melanggar syarat subjektif Pasal 1320 KUHPerdata butir 1 mengenai
kesepakatan para pihak. Subekti mendefinisikan kata kesepakatan sebagai suatu
kehendak yang bebas dalam membuat perjanjian. Kesepakatan yang berdasarkan atas
kehendak bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak
terpenuhi apabila kesepakatan tersebut timbul atas dasar suatu paksaan (dwang),
kekhilafan (dwaling), atau penipuan.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kesepakatan dianggap tidak sah apabila
kesepakatan tersebut diberikan atau diperoleh karena kekhilafan, paksaan, atau
penipuan.
Penipuan didefinisikan telah terjadi apabila salah satu pihak telah secara sengaja
memberikan keterangan tidak benar yang disertai dengan kelicikan sehingga pihak lain
dalam perjanjian tersebut terbujuk dan kemudian memberikan kesepakatannya.
Pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan jika kesepakatan yang bebas dalam
perjanjian tidak terpenuhi, baik karena adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari
salah satu pihak ketika perjanjian tersebut telah dibuat.
Dalam kasus ini, identitas,
alamat tinggal, serta alamat usaha yang diduga palsu menjadi salah satu bukti itikad
tidak baik dari debitur. Ditambah lagi, jejak debitur seketika hilang dan tidak pernah
diketahui lagi keberadaannya oleh penggugat sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.
Itikad buruk debitur tersebut dapat disimpulkan mengarah pada dugaan keras tindak
pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Tindak pidana penipuan tersebut telah memengaruhi kebebasan
kesepakatan para pihak dalam membuat perjanjian tersebut.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek] (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009).
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.
Isnandya, Agustina, and Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat
Berdasarkan Penipuan (Bedrog).”
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
542
Walaupun demikian, keabsahan akta notaris berbeda dengan perjanjian biasa.
Akta notaris merupakan sebuah akta autentik yang dapat didefinisikan sebagai suatu
akta yang berbentuk sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
depan kehadiran pejabat umum yang berwenang, serta di wilayah di mana akta tersebut
dibuat.
Jika suatu akta autentik memenuhi seluruh persyaratan dalam Pasal 1868
KUHPerdata, maka akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
dalam acara pengadilan perkara perdata. Artinya, jika akta autentik dipergunakan
sebagai alat bukti di muka pengadilan, maka pembuktian akta tersebut cukup dengan
akta itu sendiri dan dianggap benar, kecuali ada bukti lainnya yang dapat membuktikan
sebaliknya. Bahkan, suatu akta autentik umumnya memang dengan sengaja dibuat dari
awal perjanjian untuk kepentingan pembuktian jika timbul suatu sengketa dalam
perjanjian tersebut.
Suatu akta autentik dapat mengalami kebatalan dalam dua bentuk, yakni
degradasi (kehilangan kekuatan pembuktian sempurna) atau batal demi hukum/dapat
dibatalkan. Degradasi terjadi ketika suatu akta memiliki cacat dalam bentuknya atau
dibuat oleh notaris yang tidak berwenang atau tidak cakap. Pasal 1869 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu akta tidak dapat dianggap sebagai akta autentik jika pejabat
yang membuat akta tersebut tidak berkuasa atau tidak cakap, atau jika terdapat suatu
cacat dalam bentuknya, namun akta tersebut tetap berkekuatan sebagai akta di bawah
tangan jika ditandatangani oleh para pihak.
Sedangkan, akta autentik batal demi
hukum/dapat dibatalkan jika perjanjian yang mendasarinya tidak memenuhi syarat-
syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, baik syarat
objektif (batal demi hukum) maupun syarat subjektif (dapat dibatalkan).
Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016, akta
notaris yang diperkarakan diduga memuat identitas palsu dari pihak debitur.
Sementara, notaris hanya mencatat segala hal yang disampaikan oleh para pihak
sehingga segala keterangan palsu yang disampaikan oleh salah satu pihak tersebut
bukanlah tanggung jawab notaris, melainkan murni menjadi tanggung jawab pihak
pemberi keterangan tersebut.
Oleh karena itu, identitas palsu ini bukan merupakan
cacat akta dalam bentuknya (cacat formil) dari sisi notaris sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 1869 KUHPerdata. Melainkan, pencantuman identitas palsu tersebut
menyebabkan suatu akta notaris memiliki cacat kehendak dari perjanjian yang
mendasarinya; bersumber dari adanya syarat sah perjanjian yang tidak dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, akta notaris tersebut dapat dimintakan untuk dibatalkan dan
pihak ketiga sebagai pemberi jaminan dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk membatalkan akta tersebut.
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
Subekti and Tjitrosudibio.
I Wayan Erik Pratama Putra, Luh Putu Sudini, and I Nyoman Alit Puspadma, “Notary Responsibilities on
the Making of Deed with Double Number,” Jurnal Notariil 5, no. 1 (May 2020): 3948.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
543
II. Upaya Hukum Membatalkan Akta Notaris yang Memuat Identitas Palsu
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu perjanjian kredit bisa saja tidak
hanya melibatkan pihak debitur dan kreditur, namun juga melibatkan pihak lain atau
pihak ketiga sebagai pemberi jaminan. Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016,
penggugat berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan yang menjaminkan
utang debitur dengan jaminan Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan milik
penggugat. Pada faktanya, penggugat tidak mengenal baik debitur, namun penggugat
tetap bersedia memberikan jaminan Hak Tanggungan tersebut melalui suatu Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Setelah adanya SKMHT, dibuat
suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan sesuai dengan tenggang waktu yang tidak
melebihi 3 (tiga) bulan. Hak Tanggungan tersebut kemudian didaftarkan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) ke kantor pertanahan. Sebagai bukti telah dilekatkannya
Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Sebagaimana diketahui, sebuah Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah
“Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga memiliki titel eksekutorial yang sama
dengan suatu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya,
kreditur berhak untuk mengeksekusi langsung objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri (parate executie). Dengan demikian, jika debitur tidak mampu membayar
utangnya kepada kreditur, maka kreditur berhak secara langsung mengeksekusi tanah
dan bangunan yang menjadi objek jaminan tersebut tanpa putusan pengadilan.
Mengingat debitur tidak pernah membayar kewajibannya kepada kreditur dan bahkan
menghilang tanpa jejak, penggugat sebagai pihak ketiga pemberi jaminan tentu
menginginkan akta notaris perjanjian kredit tersebut batal untuk mencegah eksekusi
tanah dan bangunan miliknya.
Walaupun demikian, perjanjian yang terjadi karena penipuan tidak bisa serta
merta dibatalkan sepihak ataupun dianggap batal demi hukum. Pasal 1449
KUHPerdata mengatakan bahwa perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan,
kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dari
rumusan pasal tersebut, dapat diperhatikan pula bahwa suatu perikatan yang dilakukan
berdasarkan penipuan tidak otomatis batal demi hukum (null and void), namun hanya
menimbulkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. R. Subekti juga menyatakan
bahwa jika kesepakatan telah diberikan tidak secara bebas, maka perjanjian tersebut
cacat sehingga dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah
memberikan sepakatnya tidak secara bebas. Lebih lanjut lagi, Pasal 1328 ayat (2)
KUHPerdata mendalilkan bahwa suatu penipuan yang mendasari suatu perjanjian tidak
boleh dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Selain itu, penipuan tersebut juga
harus sedemikian rupa sehingga jelas dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan
membuat perjanjian tersebut jika penipuan tersebut tidak dilakukan. Kesepakatan para
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
544
pihak merupakan syarat subjektif perjanjian, maka tidak dipenuhinya syarat tersebut
tidak otomatis membuat perjanjiannya batal demi hukum, namun dapat diminta
dibatalkan (voidable) oleh salah satu pihak. Perjanjian tersebut tetap mengikat para
pihak selama tidak dimintakan batal kepada hakim oleh salah satu pihak.
Dalam konteks pembatalan akta autentik, sebagaimana telah diuraikan dalam
bagian pertama, suatu akta autentik dapat mengalami kebatalan dalam dua bentuk,
yakni degradasi atau batal demi hukum/dapat dibatalkan. Baik degradasi maupun batal
demi hukum/dapat dibatalkannya suatu akta autentik tidak terjadi secara otomatis,
melainkan harus didasarkan pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Jika akta yang tidak memenuhi syarat subjektif tersebut tidak diminta
pembatalan oleh salah satu pihak, maka akta tersebut akan tetap mengikat dan menjadi
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sesuai dengan ketentuan Pasal
1338 KUHPerdata.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembatalan suatu akta
autentik yang didasarkan identitas palsu tidak dapat dilakukan begitu saja, namun
harus digugat melalui pengadilan negeri. Identitas palsu tersebut pun harus dibuktikan
secara sah dan meyakinkan sebagai suatu tindak pidana penipuan, tidak boleh
dipersangkakan sebagaimana ketentuan Pasal 1328 ayat (2) KUHPerdata. Hal ini
sejalan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim in casu yang pada pokoknya
menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh
debitur terkait dengan identitas palsu, harus terlebih dahulu diperiksa dan diadili
melalui perkara pidana hingga memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Putusan No. 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.
tertanggal 16 Maret 2016 pada halaman 70 menyatakan bahwa penggugat harus
membuktikan terlebih dahulu mengenai adanya suatu penipuan, dan bukti tersebut
adalah adanya suatu putusan pidana tentang penipuan dari pengadilan negeri.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut bertujuan untuk menjaga kepastian
hukum dan mencegah timbulnya kerugian yang lain pada pihak lain. Selain itu, unsur-
unsur akta autentik yang dipermasalahkan dalam kasus ini pun telah terpenuhi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata sebagai berikut:
1. akta autentik tersebut harus dibuat oleh atau di depan kehadiran pejabat umum;
2. akta autentik tersebut harus dibuat dalam bentuk sedemikian rupa sebagaimana
telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
3. pejabat umum yang dimaksud harus memiliki wewenang untuk membuat akta
autentik tersebut.
Dalam kasus ini, untuk mengupayakan pembatalan akta autentik tersebut,
penggugat sebaiknya mengajukan tuntutan secara pidana terlebih dahulu terhadap
dugaan tindak pidana penipuan yang dilakukan debitur, sebagaimana yang menjadi
pertimbangan hukum Majelis Hakim pada tingkat pertama yang kemudian diperkuat
Isnandya, Agustina, and Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat
Berdasarkan Penipuan (Bedrog).”
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
545
pada tingkat banding. Sebelum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap
terkait dengan penipuan yang dilakukan oleh debitur, maka akta notaris tersebut tidak
dapat dibatalkan secara sepihak tanpa ada dasar hukum yang kuat dan mengikat.
Namun, apabila debitur telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana penipuan, maka penggugat kemudian dapat mengajukan gugatan pembatalan
akta notaris tersebut dengan alasan tindak pidana penipuan dalam perjanjian sehingga
syarat subjektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi. Namun, jika tindak pidana penipuan
tersebut ternyata tidak terbukti, maka akta tersebut masih menjadi akta autentik dan
tetap mengikat para pihak yang membuatnya.
E. PENUTUP
Pencantuman identitas palsu dalam suatu akta notaris dapat dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana penipuan. Berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, penipuan in casu
identitas palsu menyebabkan kesepakatan antara para pihak tidak sah dalam perjanjian
tersebut sehingga tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum yang timbul dari tidak terpenuhinya syarat
subjektif ini adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Upaya hukum untuk
membatalkan akta notaris yang memuat identitas palsu tersebut adalah dengan menempuh
gugatan perdata ke pengadilan. Walaupun demikian, penipuan tersebut tidak boleh
dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu. Pembuktian penipuan
dalam kasus ini dapat ditempuh melalui jalur pidana. Sebagai salah satu profesi hukum,
notaris juga secara implisit wajib mencegah terjadinya sengketa agar bisa mengantisipasi
terjadinya pembuatan akta yang memuat identitas palsu. Selain itu, notaris hendaknya
secara saksama dan aktif memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak atas akta
yang akan dibuat terkait kondisi-kondisi tertentu dalam suatu transaksi yang risiko
hukumnya tidak berimbang di antara para pihak. Konsekuensi yang dialami pihak ketiga
pemberi jaminan dalam kasus ini menjadi berat karena pembatalan akta autentik
membutuhkan proses yang lebih rumit. Apalagi, debitur yang gagal memenuhi
kewajibannya menyebabkan jaminan hak tanggungan yang merupakan hak milik pihak
ketiga pemberi jaminan tersebut dapat langsung dieksekusi oleh kreditur tanpa putusan
pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Aina, Nurul. “Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri
Debitor Dalam Akta Perjanjian Kredit Pada Bank.” Premise Law Jurnal 11 (2016):
114.
Amalia, Rizky, Musakkir Musakkir, and Syamsuddin Muchtar. “Pertanggungjawaban
Notaris Terhadap Isi Akta Autentik Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta.” Al-Ishlah
24, no. 1 (2021): 188206.
Armansyah. “Beneficial Ownership Dan Kewajiban Pelaporan Atas Transaksi Keuangan
Mencurigakan.” Jurnal Hukum 9, no. 2 (2018): 118.
Edwar, Edwar, Faisal A Rani, and Dahlan Ali. “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
546
Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before the Law.” Jurnal Hukum &
Pembangunan 49, no. 1 (2019): 187201.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1916.
Isnandya, Eva Riska, Rosa Agustina, and Arsin Lukman. “Pembatalan Oleh Hakim
Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog).” Indonesian
Notary 2, no. 3 (2020): 20931.
Manuaba, Ida Bagus Paramaningrat, I Wayan Parsa, and I Gusti Ketut Ariawan. “Prinsip
Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik.” Acta Comitas 3, no. 1
(2018): 5974. https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.
Ngutra, Theresia. “Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum.” Jurnal Supremasi 11, no. 2
(2016): 193211.
Nurlete, Maimunah, Winanto Wiryomartani, and Widodo Suryandono. “Tanggung Jawab
Notaris Terhadap Akta Palsu Berdasarkan Pelanggaran Norma Dan Sanksinya
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 244/Pid.
B/PN.TJK).” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 378401.
Pangaribuan, Togi. “Permasalahan Penerapan Klausula Pembatasan Pertanggungjawaban
Dalam Perjanjian Terkait Hak Menuntut Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi.”
Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 2 (July 5, 2019): 44354.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2012.
Putra, I Wayan Erik Pratama, Luh Putu Sudini, and I Nyoman Alit Puspadma. “Notary
Responsibilities on the Making of Deed with Double Number.” Jurnal Notariil 5,
no. 1 (May 2020): 3948.
Septianingsih, Komang Ayuk, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung
Laksmi Dewi. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara
Perdata.” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 3 (November 20, 2020).
https://doi.org/10.22225/ah.2.3.2584.336-340.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Subekti, and Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Tyas, Tesalonika Marta Ayuning, and Adi Sulistiyono Pranoto. “Pembatalan Akta
Perjanjian Kredit Karena Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg).” Jurnal Repertorium 4, no. 2
(2017): 1039.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pub. L. No. 2 (2014).
Zahira, Septiana. “Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr).” Indonesian Notary 3, no. 1 (2021).
... Masyarakat kini semakin sadar akan pentingnya konsekuensi hukum dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian antar pihak. Akta autentik menjadi pilihan utama dalam aturan hak dan kewajiban pihak-pihak secara jelas, sehingga dapat menjamin kepastian hokum (Pasaribu & Zulfa, 2021). ...
... Misalnya, jika akta tersebut dibatalkan karena kesalahan materiil, maka akta tersebut kehilangan kekuatan pembuktian yang kuat. Namun, jika akta tersebut dibatalkan karena pelanggaran hukum, maka akta tersebut dianggap tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hokum (Pasaribu & Zulfa, 2021). ...
Article
Full-text available
Seorang notaris diangkat sebagai pejabat umum oleh negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan alat bukti tertulis. Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris telah disebutkan bahwa akta Notaris merupakan akta otentik yang tentunya memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, namun dalam kenyataanya akta Notaris dapat juga dibatalkan di pengadilan. Permasalahan yang menjadi bahasan adalah bagaimana akibat yang ditimbulkan dari keterlibatan notaris dalam pembuatan akta yang diajukan oleh para pihak, dan bagaimana pertanggungjawaban perdata oleh notaris dalam pembuatan akta berdasarkan studi kasus Putusan Nomor 782/Pdt. G/2020/PN JKT SEL. Penelitian ini dilakukan dengan penelitian normatif. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach). Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa akibat yang ditimbulkan dari keterlibatan notaris dalam pembuatan akta yang diajukan oleh para pihak yaitu menjadikan akta otentik batal demi hukum akibatnya, perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut dengan suatu putusan pengadilan. Pertanggungjawaban perdata oleh notaris dalam pembuatan akta berdasarkan studi kasus putusan Nomor 782/Pdt. G/2020/PN JKT SEL yaitu secara hukum Perdata notaris wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh notaris.
... Pada dasarnya, perjanjian pinjam nama tidak dilakukan secara terbuka atau sengaja disembunyikan dan hanya diketahui oleh para pihak. telah melanggar unsur itikad baik dalam perjanjian sehingga perjanjian pinjam nama tersebut seharusnya null and void atau batal demi hukum(Pasaribu et al, 2021). Selain itu, isi dan tujuan atau obyek yang dijadikan prestasi harus berupa kausa yang halal sehingga perjanjian itu dapat ...
Article
Full-text available
Technological developments have given rise to various new innovations to make it easier to fulfill human needs, one of which is online lending and borrowing services. Shopee Pinjam or SPinjam is an example of an online loan service that includes standard clauses in the contract agreed by the debtor. The problem that often occurs due to easy access to borrowing and lending through SPinjam is misuse of data for other people's needs or what is known as name lending. The purpose of writing this research is to find out how legal accountability is given to the parties. The research method used is a normative research method, with deduction analysis techniques. The results of this research indicate that the name borrowing agreement made between the name borrower and the name giver is an oral agreement that has weak legal force. This agreement is only binding on the party making it without any intervention from SPinjam. Legal responsibility regarding the repayment of SPinjam is an absolute responsibility that must be fulfilled by the debtor who agrees. The name borrower cannot be burdened with legal responsibility because the name borrowing agreement has not been specifically regulated in positive law in Indonesia so that the solution to the problem that can be done is by deliberation between the name borrower and the name giver.
Article
A sale and buy agreement is an agreement between two or more parties that is founded on the idea of contract freedom, as long as it does not violate any existing laws. This study aims to determine and analyze based on the legal principles of the relevant legal provisions and legal theories regarding the cancellation of the Sale and Purchase Agreement (PPJB) due to default by one of the parties, the legal considerations of the district court in decision no. 191/Pdt.G/2019/Pn Cbi which won the seller (landowner) where the land area in the PJB is not the same as the land area that can be certified has complied with the provisions of the law, and the decision of the high court in decision no. 206/Pdt/2020/PT. Bdg which refused to cancel the PJB has complied with the provisions of the law.
Article
Full-text available
This study aims to explore the urgency and relevance of the ratification of the Singapore Mediation Convention (SMC) in the context of international arbitration settlement in Indonesia. Using the juridical-normative method, this study analyzes various primary, secondary, and tertiary legal documents. Data collection was conducted through literature studies, which were then analyzed using descriptive methods and content analysis. This study highlights the substantial similarities between the SMC and the 1958 New York Convention, especially regarding the procedural aspects in international settlement settlements. However, this study found that the SMC focuses more on mediation as a non-adjudicative settlement method. The urgency of this study lies in the question of whether Indonesia needs to ratify the SMC considering the existing legal infrastructure, including the New York Convention. The results of the study state that Indonesia does not need to ratify the SMC, because the provisions in the SMC do not make a significant contribution to the dispute settlement system in Indonesia which has been accommodated by the New York Convention. This study provides a new perspective by underlining that the administrative application of the SMC is not relevant to the practical needs of dispute resolution in Indonesia. In conclusion, ratification of the KMS will not provide significant additional benefits for Indonesia, given its similarities with the New York Convention and the KMS’s more limited focus on mediation. This study provides a new contribution to understanding the role of the KMS and its relevance to the Indonesian legal system, and emphasizes the importance of considering specific needs before ratifying a new international convention. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi urgensi dan relevansi ratifikasi Konvensi Mediasi Singapura (KMS) dalam konteks penyelesaian sengketa arbitrase internasional di Indonesia. Dengan menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini menganalisis berbagai dokumen hukum primer, sekunder, dan tersier. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yang kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif dan analisis isi. Penelitian ini menyoroti adanya persamaan substansial antara KMS dan Konvensi New York 1958, terutama terkait aspek prosedural dalam penyelesaian sengketa internasional. Namun, penelitian ini menemukan bahwa KMS lebih berfokus pada mediasi sebagai metode penyelesaian sengketa non-ajudikatif. Urgensi penelitian ini terletak pada pertanyaan apakah Indonesia perlu meratifikasi KMS mengingat infrastruktur hukum yang sudah ada, termasuk Konvensi New York. Hasil penelitian menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu meratifikasi KMS, karena ketentuan dalam KMS tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap sistem penyelesaian sengketa di Indonesia yang sudah diakomodasi oleh Konvensi New York. Penelitian ini memberikan perspektif baru dengan menggarisbawahi bahwa implikasi administratif KMS tidak relevan dengan kebutuhan praktis penyelesaian sengketa di Indonesia. Kesimpulannya, ratifikasi KMS tidak akan memberikan manfaat tambahan yang substansial bagi Indonesia, mengingat adanya kesamaan dengan Konvensi New York serta fokus KMS yang lebih terbatas pada mediasi. Penelitian ini memberikan kontribusi baru dalam memahami peran KMS dan relevansinya bagi sistem hukum Indonesia, serta menekankan pentingnya mempertimbangkan kebutuhan khusus sebelum meratifikasi konvensi internasional baru.
Article
This study aims to examine and analyze the form of responsibility for the notarys deed made related to the falsification of the debtors identity in the Akad Murabahah; and analyzing forms of legal protection for notaries regarding falsification of debtor identityes in Akad Murabahah. This research is a normative research using a statutory approach and a cese approach. The results show that legal protection for notaries for false information or identities has not been regulated in the UUJN, legal protection from the notaris honorary council MKN only approves or refuses when a notary summoned by investcth. The notarys responsibility regarding false identity or false information in making an authentic deed in akad murabahahcannot beaccounted for by a notary as long as the notary does’t violate UUJN, does’t violate the technique of making the deed, or the applicable laws. Keywords: Akad Murabahah, False identity, Notary.
Article
Full-text available
p> The aim of this research is to compare the development of the establishment of Limited Liability Companies in Indonesia and the Netherlands along with the development of society. Regulations regarding Limited Liability Companies in Indonesia have undergone several changes, which are currently regulated in Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies and Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation which introduces a new form of Company, namely Individual Companies, changes to the law -The law intends to be more in line with current legal developments so that it can accommodate the needs of the community. This writing has an urgency, namely that along with developments over time, of course regulations will also change along with the needs of society. This research compares the consistency of the development and application of regulations in Indonesia and the Netherlands with the aim of learning and developing in the legal field. This research method uses normative juridical research methods. This research has a novelty, namely a discussion related to the comparison regarding the establishment of limited liability companies in Indonesia and in the Netherlands and comparing the consistency regarding changes that are still in accordance with legal principles. The results of this research are that in the Netherlands there are differences with Indonesia, namely related to the status of individual companies, in which case Indonesia has the status of a legal entity, whereas in the Netherlands individual companies are not legal entities. Another difference between the Netherlands and Indonesia that can be seen is the same regarding approval from the government to establish a company, in the Netherlands starting in 2011, the provisions for government approval have been removed and replaced with a system of strict supervision by the ministry. Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan mengenai perkembangan pendirian perseroan terbatas di Indonesia dengan Belanda seiring perkembangan masyarakat. Pengaturan mengenai perseroan terbatas di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan yang mana saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengenalkan suatu bentuk perseroan baru yakni perseroan perseorangan, perubahan undang-undang tersebut bermaksud agar lebih sesuai dengan perkembangan hukum saat ini sehingga dapat mengakomodir kebutuhan dari masyarakat. Penelitian ini memiliki urgensi yaitu seiring dengan perkembangan zaman, tentunya peraturan juga akan berubah seiring dengan kebutuhan masyarakat, penelitian ini membandingkan bagaimana konsistensi dari perkembangan dan penerapan peraturan di Indonesia dengan Belanda dengan tujuan sebagai pembelajaran dan pengembangan dalam bidang hukum. metode penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Penelitian ini mempunyai kebaruan yaitu pembahasan terkait perbandingan mengenai pendirian perseroan terbatas di Indonesia dan Belanda dan membandingkan bagaimana konsistensi terkait perubahan yang masih sesuai dengan prinsip-prinsip hukum. Hasil dari penelitian ini yaitu di Belanda memiliki perbedaan dengan Indonesia, yaitu terkait dengan status perusahaan perseorangan yang mana dalam hal ini Indonesia memiliki status sebagai badan hukum, sementara di Belanda perusahaan perseorangan bukanlah badan hukum. Perbedaan lain antara Belanda dan Indonesia yang dapat dilihat dalam halnya terkait persetujuan dari pemerintah untuk mendirikan perseroan, di Belanda mulai pada tahun 2011 telah menghapus ketentuan persetujuan pemerintah dan menggantikannya dengan sistem pengawasan yang ketat oleh kementerian. <</script
Article
Full-text available
p> The purpose of this research is to analyze how the impact of the placement of Indonesian migrant workers who work not in accordance with the work contract, as well as how the handling strategy of Indonesian migrant workers who work not in accordance with the work contract. This research is important to do, because in practice there are still many cases of Indonesian migrant workers who still do not fulfill their rights and obligations when they are placed in their destination country. The novelty in this research is to examine the impact of the placement of Indonesian migrant workers who work not in accordance with the employment contract, as well as the handling strategy of Indonesian migrant workers who work not in accordance with the employment contract which have been agreed upon, accompanied by case examples as a study for this research. The method used in this research is normative juridical which is carried out by examining library materials or secondary data. The results of this research show that Indonesian migrant workers who work not in accordance with their work contracts have an impact on migrant workers' rights not being fulfilled. The PMI Law regulates dispute resolution strategies for handling PMI cases as contained in Article 77. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana dampak penempatan pekerja migran Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja, serta bagaimana strategi penanganan pekerja migran Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja. Penelitian ini penting dilakukan, karena dalam praktiknya masih banyak terjadi kasus pekerja migran Indonesia yang masih tidak dipenuhi hak dan kewajibannya saat ditempatkan di negara tujuan mereka. Adapun kebaharuan dalam penelitian ini yakni meneliti mengenai dampak penempatan pekerja migran Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja, serta strategi penanganan pekerja migran Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja yang sudah disepakati, disertai dengan contoh kasus sebagai studi penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja migran Indonesia yang bekerja tidak sesuai dengan kontrak kerja berdampak pada tidak terpenuhinya hak dari pekerja migran. Pada UU PMI diatur mengenai strategi penyelesaian perselisihan untuk penanganan kasus PMI yang terdapat pada Pasal 77. </p
Article
Full-text available
p> The purpose of this study is to inform the management of what actions can be carried out and what legal consequences arise after the management determines their attitude towards the difference in the value of claims submitted by creditors and debtors at the stage of matching PKPU receivables in the case of PKPU PT. NET Satu Indonesia (In PKPU). This study also aims to complement previous writings, so that this paper will explain more specifically about the verification stages in the PKPU process and the role of the management in these stages and the legal consequences that arise afterwards by making the PT NET Satu Indonesia PKPU case (In PKPU ) as the study material. By using empirical juridical research methods and taking a case approach with primary data sources, from this research it is known that the actions that can be taken by the management include an overall rebuttal, being admitted in its entirety, and refuting half the claims submitted by creditors. And the legal consequences that arise after the management determines their attitude, namely for creditors whose claims are completely denied means that the bills will be included in the list of denied claims and the consequence is that the creditors will not receive any payment for the bills that have been submitted, and vice versa for creditors whose claims are recognized. Tujuan penelitian ini yaitu menginformasikan tindakan apa saja yang bisa dijalankan pengurus dan akibat hukum apa yang timbul setelah pengurus menentukan sikapnya terhadap perbedaan nilai tagihan yang diajukan oleh kreditur dan debitur pada tahap pencocokan piutang PKPU dalam kasus PKPU PT. NET Satu Indonesia (Dalam PKPU). Penelitian ini juga bertujuan untuk melengkapi penulisan-penulisan terdahulu, sehingga pada penulisan ini akan menjelaskan dengan lebih spesifik mengenai tahapan verifikasi dalam proses PKPU beserta peranan pengurus di dalam tahapan tersebut beserta akibat hukum yang timbul setelahnya dengan menjadikan kasus PKPU PT NET Satu Indonesia (Dalam PKPU) sebagai bahan studinya. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris dan melakukan pendekatan kasus dengan sumber data yang bersifat primer, maka dari penelitian ini diketahui bahwa tindakan yang dapat dilakukan oleh pengurus diantaranya dapat berupa bantahan secara keseluruhan, diakui secara keseluruhan, dan membantah setengah tagihan yang diajukan oleh kreditur. Dan akibat hukum yang timbul setelah pengurus menentukan sikapnya yaitu bagi kreditur yang tagihannya dibantah seluruhnya berarti tagihannya tersebut akan dimasukan kedalam daftar tagihan yang dibantah dan konsekuensinya adalah kreditur tidak akan mendapat pembayaran apapun atas tagihan yang telah diajukan, begitu pula sebaliknya bagi kreditur yang tagihannya diakui. </p
Article
Full-text available
p>The purpose of this study is to determine the role of the Notary in the legal certainty of the power of attorney to sell the object in bankruptcy and to be able to find out the legal consequences and legal liability. Decision on Declaration of Bankruptcy The debtor by law loses his right to control and manage the assets he owns. All debtor assets, both existing and future, are subject to general confiscation. This method of writing is qualitatively analytical and uses normative juridical research methods that are oriented to data sourced from literature and literature studies. The research method resulted in the conclusion that bankruptcy will end if you file a re-suit or other lawsuit to the commercial court on the object of the object can be transferred if another lawsuit is made to the court for the bankruptcy case. Deed of transfer of assets, binding of deed on material security, and making a notarial deed of sale under the hands of defecated goods in the process of settling bankrupt assets. In this case, the notary can be subject to criminal action if it is proven that the legal action he has done causes losses to creditors. The novelty of previous research, there are already studies that discuss this research, however, each study has its own characteristics. This study emphasizes the role of a notary and the legal certainty of the power of attorney to sell the object in bankruptcy and legal responsibility. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peran Notaris dalam terkait kepastian hukum akta kuasa menjual terhadap objek yang di pailitkan dan untuk dapat mengetahui akibat hukum serta pertanggung jawaban hukum. Putusan pernyataan pailit debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang ia miliki. Seluruh Aset debitur, baik yang ada maupun yang akan ada dikenakan sita umum. Metode penulisan ini bersifat kualitatif analitif dan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang berorientasi pada data yang bersumber dar literatur maupun studi kepustakaan. Metode penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan kepailitan akan berakhir apabila mengajukan gugatan ulang atau lain ke pengadilan niaga atas objek benda tersebut dapat beralih bila dilakukan gugatan gugatan lain kepada pengadilan atas boedel pailit tersebut.hasil penelitian yang didapatkan dari penelitian ini bahwa peran Notaris dalam proses kepailitan ialah membuat akta terhadap pengalihan aset, membuat pengikatan akta terhadap jaminan kebendaan dan membuat akta notarial penjualan di bawah tangan dalam proses pemberesan harta pailit. Notaris dalam hal ini dapat dikenakan tidakan pidana apabila terbukti terhadap perbuatan hukum yang dilakukkannya menimbulkan kerugian bagi para kreditur. Kebaharuan penelitian sebelumnya sudah ada penelitian yang membahas penelitian ini namun, setiap penelitian memiliki karaketristik masing-masing. Penelitian ini lebih menekankan peran Notaris serta kepastian hukum akta kuasa menjual terhadap objek yang di pailitkan dan serta tanggung jawab hukum. </p
Article
Full-text available
p>Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan hukum wanprestasi atas perbuatan debitur dan kekuatan eksekutorial terhadapan permohonan lelang eksekusi hak tanggungan oleh kreditur. Lelang eksekusi hak tanggungan lahir karena debitur melakukan wanprestasi terhadap suatu perjanjian dan dalam hal ini pihak kreditur berhak melakukan lelang eksekusi sebagai pemegang jaminan untuk mendapatkan kembali haknya. Lelang merupakan cara penyelesaian hak tanggungan dan merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh kreditur, apabila cara-cara penyelesaian lainnya yang telah ditawarkan tidak ditanggapi oleh debitur. Sebelum melakukan lelang eksekusi, kreditur juga perlu melakukan negosiasi terlebih dahulu dengan debitur untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara yang terbaik untuk kedua belah pihak. Apabila masih belum menemuikan kesepakatan baru dilakukan lelang eksekusi hak tanggungan milik debitur. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Perbedaan dengan penelitian terdahulu dengan penelitian ini ialah pada artikel ini membahas terkait kedudukan hukum wanprestasi dalam UUHT dan kekuatan eksekutorial terhadap permohonan lelang eksekusi hak tanggungan oleh kreditur atas debitur wanprestasi. This paper aims to analyze the legal position of default on the actions of the debtor and the executive power of the application for the auction of mortgage execution by the creditor. A mortgage execution auction was born because the debtor defaulted on an agreement and in this case the creditor has the right to conduct an execution auction as a guarantee holder to get his rights back. Auction is a method of settlement of mortgage rights and is the last method carried out by the creditor if the other settlement methods that have been offered are not responded to by the debtor. Before conducting an execution auction, creditors also need to negotiate with the debtor to resolve the problem in the best way for both parties. If a new agreement is not found, an execution auction of the debtor's mortgage will be held. This research used normative juridical research methods. The difference between previous research with this research is that the following this article discusses the legal position of default in the UUHT and the executive power of the auction application for the execution of mortgage rights by the creditor on the defaulting debtor.
Article
Full-text available
The objective of this research to reveal (1) the responsibility of a notary for the drafting of a double number and (2) the legal consequences if a double number occurs in a notarial deed. The types of this research is normative legal research. The research results indicated that (1) The notary's responsibility for making a notarial deed with a double number must be accounted for administratively. The existence of a double number on the notary deed indicates that the notary has been inadvertently applied in making an authentic deed. In every legal action that implies the use of authority, it implies an obligation of accountability. Thus, a notary who makes a notarial deed with a double number requires the notary to be administratively responsible, remembering that the negligence made by a notary is an administrative error; and (2) The legal consequences in the event of a double number in a notary deed do not cause any consequences if no party feels disadvantaged by the existence of this double number. All that is left is for the notary to publish the minutes of changing the deed number and notify parties such as the parties, the Ministry of Law and Human Rights and the local Land Office if the double-numbered deed is related to land rights. However, if the double numbered deed brings harm to another party, then the party who feels disadvantaged can sue the notary.
Article
Abstrak—Akta otentik ialah suatu akta yang dilterbitkan yang bentuknya telah diatur dalam undang-undang, diterbitkan oleh atau didepan pejabat umum yang berkompeten di bidang itu ditempat atau dimana dibuatnya akta, dan adapun pejabat umum yang berkompeten menerbitkan akta otentik yaitu seorang Notaris maupun PPAT. Pokok permasalahannya yaitu bagaimana kekuatan akta otentik dalam pembuktian pada perkara perdata dan bagaimana tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang batal demi hukum. Metode penelitian yang digunakan ialah tipe penelitian hukum normatif. Sedangkan pendekatan masalah yang adalah pendekatan masalah pendekatan konseptual, dilakukan dengan meneliti pandangan yang terjadi di dalam perkembangan ilmu hukum serta pendekatan perundang-undangan, dilakukan dengan mengkaji dari aspek hukum yang mempunyai hubungan dengan isu hukum yang ditelaah. Nilai kekuatan pembuktian lahiriah, nilai kekuatan pembuktian formal dan nilai kekuatan pembuktian materiil ialah yang di cakup pada akta otentik. Bertanggung jawab apabila terjadi kelalaian dan kesalahan terhadap isi akta yang dibuat dihadapannya merupakan tanggung jawab notaris. Dalam dunia kenotariatan dikenal 2 jenis sanksi, yakni sanksi perdata dan sanksi administratif. Sanksi tersebut dijatuhkan kepada notaris apabila akta itu dibuatnya terdapat kesalahan atau perbuatan melanggar hukum, selain itu pula mampu menjadikan akta itu menjadi batal demi hukum.
Article
Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sangat penting untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik, mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuat notaris karena terdapat pihak-pihak yang melakukan kejahatan seperti memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat notaris. Sehingga untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat menjerumuskan notaris terlibat dalam permasalahan hukum, perlu diatur kembali dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tentang pedoman dan tuntunan notaris untuk bertindak lebih cermat, teliti dan hati-hati dalam proses pembuatan akta autentik. Ada dua isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, yakni (1) bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik dan (2) akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya kekaburan norma dalam pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris yang belum jelas mengatur tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang seharusnya dilakukan notaris dalam proses pembuatan akta yaitu, melakukan pengenalan terhadap identitas penghadap, memverifikasi secara cermat data subyek dan obyek penghadap, memberi tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pengerjaan akta, memenuhi segala teknik syarat pembuatan akta dan melaporkan apabila terjadi indikasi pencucian uang (money laundering) dalam transaksi di notaris, bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian seperti ini sudah seharusnya wajib dilaksanakan notaris agar nantinya notaris dapat mencegah timbulnya permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya dikemudian hari. Akibat hukum perjanjian dalam isi akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu sesuai Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1335 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid) dan akta yang dibuat kekuatan pembuktiannya terdegradasi dari akta autentik menjadi akta dibawah tangan, akan tetapi tentang kebenaran formal yang terdapat dalam kepala dan penutup akta tersebut tetap mengikat para pihak yang membuatnya. Kata kunci : Prinsip Kehati-hatian Notaris, Akibat Hukum, Surat Palsu.
Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before the Law
Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before the Law." Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 1 (2019): 187-201.
Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog)
  • Eva Isnandya
  • Rosa Riska
  • Arsin Agustina
  • Lukman
Isnandya, Eva Riska, Rosa Agustina, and Arsin Lukman. "Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog)." Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 209-31.
Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum
  • Theresia Ngutra
Ngutra, Theresia. "Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum." Jurnal Supremasi 11, no. 2 (2016): 193-211.
Pembatalan Akta Perjanjian Kredit Karena Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg)
  • Tesalonika Marta Tyas
  • Adi Sulistiyono Ayuning
  • Pranoto
Tyas, Tesalonika Marta Ayuning, and Adi Sulistiyono Pranoto. "Pembatalan Akta Perjanjian Kredit Karena Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg)." Jurnal Repertorium 4, no. 2 (2017): 103-9.
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
  • Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pub. L. No. 2 (2014).
Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr)
  • Septiana Zahira
Zahira, Septiana. "Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli (Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr)." Indonesian Notary 3, no. 1 (2021).