Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
535
AKIBAT HUKUM IDENTITAS PALSU DALAM AKTA
PERJANJIAN KREDIT YANG MELIBATKAN
PIHAK KETIGA PEMBERI JAMINAN
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok
puspa.pasaribu@ui.ac.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum identitas palsu debitur dalam akta notaris mengenai
perjanjian kredit terhadap pihak ketiga pemberi jaminan serta upaya hukum yang dapat ditempuh untuk
membatalkan akta notaris tersebut. Notaris seyogyanya teliti dan berhati-hati dalam membuat akta autentik,
terlebih mengenai perjanjian kredit yang melibatkan pihak ketiga pemberi jaminan. Sebab, pihak ketiga pemberi
jaminan memiliki kepentingan yang berbeda dengan debitur atau kreditur. Jika debitur secara beritikad buruk
memberikan identitas palsu dalam suatu perjanjian, maka akibat hukum adanya identitas palsu tersebut perlu
dianalisis dari perspektif Pasal 1320 KUHPerdata. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jalan keluar
terkait perlindungan serta kepastian hukum bagi pihak ketiga pemberi jaminan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder melalui studi dokumen dan penelusuran
literatur. Penelitian ini memiliki kebaharuan perspektif karena menganalisis akibat hukum identitas palsu dalam
akta notaris terhadap pihak selain debitur dan kreditur, yakni pihak ketiga pemberi jaminan. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa akibat hukum yang timbul terhadap suatu akta dengan identitas palsu adalah dapat
dibatalkan karena terdapat penipuan di dalamnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Penipuan
mengakibatkan perjanjian dalam akta tersebut tidak memenuhi syarat subjektif berupa kesepakatan yang bebas
berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, untuk membatalkan akta notaris tersebut, penipuan harus terbukti
dan tidak dapat dipersangkakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memperoleh putusan pidana berkekuatan
hukum tetap yang membuktikan adanya penipuan agar gugatan pembatalan akta memiliki dasar yang kuat.
Sebaliknya, akta tersebut tidak dapat dibatalkan jika unsur penipuannya tidak terbukti sehingga masih menjadi
akta autentik dan tetap mengikat.
Kata kunci: Autentik; Kredit; Notaris
LEGAL CONSEQUENCES OF FALSE IDENTITY IN A CREDIT
AGREEMENT DEED INVOLVING THIRD PARTY SECURITY
Abstract
This study aims to analyze the legal consequences of an authentic deed regarding credit agreement that contains
false identity of the debtor towards the third party security and the pursuable legal efforts to cancel that deed.
Notaries bear the responsibility of being thorough and careful in drafting authentic deeds, especially regarding
credit agreement that involves a third party security. This is because third party securities have different interests
from those of the debtor or creditor. If a debtor purposely gives false identity in an agreement in bad faith, the
legal consequences will need to be analyzed pursuant to Article 1320 of the Indonesian Civil Code (ICC). The
study utilizes juridical-normative methods, using secondary data through literature study. This study hopes to
offer a solution regarding the legal protection and legal certainty of the third party security. This study offers a
new perspective by analyzing the legal consequences of false identity towards third party security, instead of
towards the debtor or creditor. This study concludes that an authentic deed containing false identity is voidable
due to fraud, pursuant to Article 1321 of the ICC. The presence of fraud in an agreement renders it voidable for
not conforming to Article 1320 of the ICC. However, that fraud must be proven by a criminal court decision.
Acquiring a criminal verdict that proves the presence of fraud in an agreement is essential in cancelling the
authentic deed of that agreement. Otherwise, the authentic deed will remain valid and binding if fraud is not
proven.
Keywords: Authentic; Credit; Notary
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
536
A. PENDAHULUAN
Notaris senantiasa harus teliti dan berhati-hati dalam menjalankan profesinya,
terutama dalam membuat suatu akta autentik. Sebagai pejabat umum yang telah
mendapatkan jabatan kepercayaan dari masyarakat, notaris diwajibkan melaksanakan
profesinya dengan sebaik-baiknya dan senantiasa menjunjung tinggi etika hukum.
1
Sebab, akibat hukum yang ditimbulkan oleh akta autentik mengikat para pihak yang
tercantum dalam akta tersebut. Ditambah lagi, dalam hal terjadinya sengketa antara para
pihak, akta autentik merupakan alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna
dalam proses persidangan. Kekuatan pembuktian yang sempurna artinya adalah akta
autentik merupakan alat bukti yang terpenuh dan terkuat
2
serta melingkupi nilai kekuatan
pembuktian materiil, formal, dan lahiriah.
3
Selain itu, akta autentik juga penting dalam
menjaga kepastian hukum dalam suatu perjanjian. Dalam dunia hukum, salah satu aspek
paling esensial adalah kepastian hukum, yakni hukum bertujuan untuk menjamin
kepastian dalam hubungan antarsubjek di masyarakat.
4
Memandang perkembangan
hukum di masyarakat dewasa ini, kebutuhan akan akta autentik untuk menjamin kepastian
hukum tersebut kian meningkat. Masyarakat semakin sadar akan akibat hukum dalam
membuat dan melaksanakan suatu perjanjian dengan subjek hukum lain. Akta autentik
menjadi salah satu pilihan dalam merumuskan hak dan kewajiban para pihak dengan jelas
sehingga menjamin kepastian hukum. Selain itu, akta autentik juga berperan sebagai alat
untuk memperjuangkan keadilan bagi para pihak yang membuatnya.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 juncto
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”), notaris adalah
pejabat umum yang telah diberikan kewenangan membuat akta autentik. Kewenangan
notaris tersebut tercantum pula dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”) yang menyatakan bahwa akta autentik adalah akta yang dibuat oleh atau
di hadapan pejabat umum yang berwenang. Lebih khusus lagi, Pasal 15 ayat (1) UUJN
menyatakan bahwa notaris berwenang membuat akta autentik mengenai sebuah
perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan.
5
Oleh karena itu, sudah seharusnya notaris berhati-hati dalam menuangkan semua
perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan ke dalam akta autentik.
Dalam bukunya, G.H.S. Lumban Tobing menguraikan kewenangan notaris sebagai
berikut:
1
Edwar Edwar, Faisal A Rani, and Dahlan Ali, “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum Ditinjau Dari
Konsep Equality Before the Law,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 1 (2019): 187–201,
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1916.
2
Maimunah Nurlete, Winanto Wiryomartani, and Widodo Suryandono, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap
Akta Palsu Berdasarkan Pelanggaran Norma Dan Sanksinya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 244/Pid. B/PN.TJK),” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 378–401.
3
Komang Ayuk Septianingsih, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, “Kekuatan
Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara Perdata,” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 3 (November 20, 2020),
https://doi.org/10.22225/ah.2.3.2584.336-340.
4
Theresia Ngutra, “Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum,” Jurnal Supremasi 11, no. 2 (2016): 193–211.
5
“Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris,” Pub. L. No. 2 (2014).
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
537
“Hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya para
pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya menyebabkan adanya kewajiban
bagi penguasa untuk menunjuk dan mengangkat pejabat sedemikian. Wewenang notaris
ini meliputi 4 hal yaitu:
a. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;
b. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang yang orang untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
c. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat;
d. Notaris harus Berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.”
6
Selain kewajiban yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, sebagai salah satu
profesi hukum, notaris juga secara implisit wajib mencegah terjadinya sengketa.
7
Akta
autentik memberikan suatu kontribusi nyata terhadap pencegahan atau penyelesaian suatu
sengketa, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Atas dasar ini, dalam membuat akta
autentik, prinsip kehati-hatian dan ketelitian harus diindahkan oleh notaris agar tercapai
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi para pihak yang berkepentingan,
sebagaimana diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Penerapan prinsip kehati-
hatian oleh notaris dapat memperkecil risiko suatu akta autentik dipermasalahkan atau
disengketakan secara hukum, baik sekarang maupun di masa yang akan datang.
Akan tetapi, dalam praktiknya, ada kalanya perjanjian yang tertuang dalam akta
autentik tersebut ternyata mengandung suatu kekhilafan, kekeliruan, bahkan penipuan.
Salah satu contohnya adalah kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016. Dalam perkara ini,
terdapat dugaan kejahatan berupa penipuan identitas yang dilakukan oleh debitur
terhadap pihak ketiga yang bertindak sebagai pemberi jaminan. Sebelum membahas
kasus tersebut lebih dalam, penelitian ini akan menguraikan beberapa penelitian
sebelumnya yang terkait dengan pokok permasalahan penelitian ini.
Penelitian yang pertama berjudul “Prinsip Kehati-hatian Notaris dalam Membuat
Akta Autentik” oleh Manuaba, dkk. (2018). Penelitian ini mengangkat suatu
permasalahan mengenai akibat hukum dari akta notaris yang dibuat berdasarkan adanya
surat palsu juga keterangan palsu. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa akibat hukum
perjanjian dalam isi akta notaris yang telah dibuat berdasarkan surat palsu serta
keterangan palsu tersebut sesuai sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal
1335 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu
adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid). Sehingga, akta tersebut terdegradasi kekuatan
pembuktiannya dari suatu akta autentik menjadi akta di bawah tangan. Akan tetapi,
kebenaran formal yang terdapat dalam akta tersebut tetaplah mengikat para pihak yang
6
Armansyah, “Beneficial Ownership Dan Kewajiban Pelaporan Atas Transaksi Keuangan Mencurigakan,”
Jurnal Hukum 9, no. 2 (2018): 1–18.
7
Septiana Zahira, “Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli (Studi Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr),” Indonesian Notary 3, no. 1 (2021).
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
538
membuatnya.
8
Penelitian tersebut meneliti mengenai akibat hukum suatu akta notaris
dalam hal tidak terpenuhinya suatu syarat objektif perjanjian. Sedangkan, penelitian ini
menganalisis tentang akibat hukum akta notaris dalam hal tidak terpenuhinya syarat
subjektif dan juga melibatkan pihak ketiga sebagai pemberi jaminan.
Penelitian selanjutnya berjudul “Pertanggungjawaban Notaris Akibat Adanya
Pemalsuan Identitas Diri Debitur dalam Akta Perjanjian Kredit pada Bank” oleh Aina
(2016). Salah satu permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut terkait dengan
kedudukan akta perjanjian kredit pada suatu bank akibat adanya pemalsuan identitas diri
pihak debitur. Kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa suatu akta
perjanjian kredit memiliki kedudukan sebagai undang-undang bagi mereka yang telah
membuatnya. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, apabila ada suatu syarat perjanjian
yang tidak terpenuhi, baik itu terkait dengan syarat subjektif maupun syarat objektif,
maka telah terjadi cacat hukum yang menyebabkan adanya penurunan derajat akta
tersebut. Sehingga, akta tersebut dapat dimintakan batal oleh para pihak yang
berkepentingan atau dibatalkan oleh hakim melalui proses pengadilan.
9
Perbedaan
penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kasus yang dianalisis dalam penelitian ini
tidak hanya melibatkan debitur dan kreditur, namun juga pihak ketiga sebagai pemberi
jaminan.
Penelitian yang terakhir adalah penelitian dengan judul “Pembatalan oleh Hakim
terhadap Akta Jual Beli yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog)” oleh Isnandya,
dkk. (2020). Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah penipuan
sebagai alasan pembatalan akta jual beli serta akibat dari pembatalan oleh hakim terhadap
akta jual beli yang dibuat berdasarkan penipuan tersebut. Kesimpulan penelitian tersebut
menyatakan bahwa akibat hukum yang ditimbulkan yaitu semua keadaan hukum tersebut
haruslah dikembalikan seperti keadaan semula, sebagaimana saat belum terjadi suatu
perbuatan hukum yang telah disebutkan dalam akta tersebut.
10
Perbedaan penelitian
tersebut dengan penelitian ini adalah penelitian ini menganalisis mengenai syarat
subjektif yang dipalsukan terkait dengan akta kredit modal kerja. Selain itu, para pihak
yang terlibat dalam pembuatan akta kredit modal kerja tersebut bukan hanya debitur dan
kreditur, namun juga pihak ketiga sebagai pemberi jaminan.
Dari uraian singkat atas penelitian terdahulu (literature review) tersebut, dapat
disimpulkan bahwa secara garis besar, keterbatasan penelitian-penelitian sebelumnya
adalah perjanjian kredit yang diteliti hanya melibatkan dua pihak: debitur dan kreditur.
Sedangkan, penelitian ini meneliti perjanjian kredit yang tidak hanya melibatkan debitur
dan kreditur, namun juga melibatkan pihak ketiga atau pihak lain yang bertindak sebagai
pemberi jaminan sehingga kepentingan pemberi jaminan dalam hal ini berbeda dengan
kepentingan debitur maupun kreditur. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk
8
Ida Bagus Paramaningrat Manuaba, I Wayan Parsa, and I Gusti Ketut Ariawan, “Prinsip Kehati-Hatian Notaris
Dalam Membuat Akta Autentik,” Acta Comitas 3, no. 1 (2018): 59–74, https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.
9
Nurul Aina, “Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri Debitor Dalam Akta
Perjanjian Kredit Pada Bank,” Premise Law Jurnal 11 (2016): 1–14.
10
Eva Riska Isnandya, Rosa Agustina, and Arsin Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli
Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog),” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 209–31.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
539
memecahkan keterbatasan tersebut (state of the art). Permasalahan inti dari penelitian ini
adalah debitur ternyata memiliki identitas palsu, sementara akta perjanjian modal kerja
telah dibuat dan dilaksanakan, bahkan dananya telah dicairkan kepada debitur. Debitur
tersebut melarikan diri dari kewajibannya dan keberadaannya tidak diketahui, sementara
pihak yang memberikan jaminan menjadi korban atas identitas palsu debitur. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum akta notaris yang memuat
identitas palsu tersebut terhadap pihak ketiga pemberi jaminan, serta upaya hukum yang
dapat ditempuh pihak ketiga tersebut dalam membatalkan akta notaris tersebut.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana akibat hukum akta notaris yang memuat identitas palsu ditinjau dari
syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata?
2. Bagaimana upaya hukum pihak ketiga sebagai pemberi jaminan dalam
membatalkan akta notaris yang memuat identitas palsu debitur?
C. METODE PENELITIAN/LANDASAN TEORITIS
Metodologi pada hakikatnya merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di
dalam suatu penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Berdasarkan uraian
rumusan masalah yang dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini merupakan
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum yang
bertujuan untuk melakukan penelitian yang pada dasarnya menganalisis asas-asas hukum,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan, dan sejarah hukum.
Mengingat bahwa penelitian ini bertujuan menganalisis akibat hukum identitas palsu
debitur dalam suatu akta kredit yang melibatkan pihak ketiga sebagai penjamin, maka
bentuk penelitian yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah penelitian yuridis
normatif.
Pada penelitian yuridis normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dapat
digolongkan sebagai data sekunder. Guna mencapai tujuan penelitian ini, pengumpulan
data dilakukan dengan cara studi dokumen atau penelusuran kepustakaan. Penelitian
dilakukan dengan cara menganalisis isi (content analysis) untuk menemukan pesan dan
maksud yang terkandung di dalam dokumen tersebut. Pengumpulan data-data dilakukan
melalui penelusuran bahan kepustakaan, maka data-data yang dipergunakan di dalam
penelitian ini adalah data sekunder. Penelusuran kepustakaan tersebut dilakukan terhadap
buku-buku teks dan peraturan perundang-undangan terkait dengan jabatan notaris, serta
karya-karya ilmiah seperti jurnal, tesis, dan artikel ilmiah. Bahan-bahan kepustakaan
tersebut diperoleh dari koleksi perpustakaan dan juga pusat-pusat dokumentasi daring.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari literatur dan dokumen-dokumen
untuk membantu menelaah norma-norma hukum terkait dengan jabatan notaris. Literatur
yang dijadikan referensi dalam penelitian ini sebagian besar merupakan literatur dalam
negeri.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
540
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
I. Akibat Hukum Akta Notaris yang Memuat Identitas Palsu
Perjanjian menjadi instrumen bagi para pihak yang memiliki kepentingan untuk
mengikatkan diri antara pihak yang satu dengan yang lainnya agar terpenuhi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, hukum perjanjian pun juga mengatur asas
kebebasan berkontrak, yakni suatu asas yang menyatakan bahwa para pihak dapat
menentukan sendiri kepentingan-kepentingan mereka dalam perjanjian yang telah dibuat
tersebut.
11
Selain itu, perjanjian juga merupakan salah satu sumber lahirnya suatu
perikatan. Mengenai sumber-sumber perikatan, Subekti menjelaskan bahwa perikatan
dapat timbul ataupun lahir dari suatu perjanjian ataupun dari ketentuan peraturan
perundang-undangan.
12
Keabsahan suatu perjanjian di Indonesia mengacu pada beberapa syarat yang
diatur dalam KUHPerdata. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
syarat sahnya suatu perjanjian meliputi 4 hal, antara lain:
1. Kesepakatan dari para pihak yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan para pihak tersebut untuk membuat perjanjian/melakukan perbuatan
hukum tertentu;
3. Perjanjian berkenaan dengan suatu hal tertentu;
4. Perjanjian didasarkan pada sebuah sebab yang halal/tidak melanggar undang-
undang;
13
Butir 1 dan 2 merupakan syarat yang berkaitan dengan para pihak yang membuat
perjanjian, yakni kesepakatan di antara para pihak tersebut serta kecakapan para pihak
untuk melakukan perbuatan hukum. Syarat mengenai pihak ini dikenal juga dengan
syarat subjektif. Sementara itu, butir 3 dan 4 mengatur mengenai objek perjanjian yang
harus spesifik dan sebab dilakukannya perjanjian yang harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Syarat ini disebut juga dengan syarat objektif.
Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut
dapat dibatalkan (voidable). Perjanjian yang tidak memenuhi salah satu syarat
subyektif akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah sehingga dapat diminta
dibatalkan (canceling) oleh salah satu pihak.
14
Artinya, pihak yang merasa dirugikan
dapat meminta pembatalan perjanjian tersebut kepada hakim melalui proses
pengadilan.
15
Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka
11
Togi Pangaribuan, “Permasalahan Penerapan Klausula Pembatasan Pertanggungjawaban Dalam Perjanjian
Terkait Hak Menuntut Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi,” Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 2 (July 5, 2019):
443–54, https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2012.
12
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003).
13
Rizky Amalia, Musakkir Musakkir, and Syamsuddin Muchtar, “Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Isi
Akta Autentik Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta,” Al-Ishlah 24, no. 1 (2021): 188–206.
14
Tesalonika Marta Ayuning Tyas and Adi Sulistiyono Pranoto, “Pembatalan Akta Perjanjian Kredit Karena
Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg),” Jurnal
Repertorium 4, no. 2 (2017): 103–9.
15
Tyas and Pranoto.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
541
perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) dan dianggap tidak pernah ada,
tanpa perlu adanya permintaan pembatalan ke pengadilan.
Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016, debitur
sebagai salah satu pihak dalam perjanjian kredit modal kerja diduga mencantumkan
identitas palsu dalam akta notaris perjanjian tersebut. Setelah dana pinjaman dari
kreditur dicairkan kepada debitur, faktanya debitur sama sekali tidak membayar
kewajiban cicilannya kepada kreditur. Bahkan, keberadaan debitur sama sekali tidak
diketahui. Setelah ditelusuri, ternyata terdapat dugaan kuat bahwa identitas, alamat
tinggal, serta alamat usaha debitur yang tercantum dalam akta perjanjian kredit adalah
palsu.
Pencantuman identitas palsu dalam suatu perjanjian dapat dikategorikan sebagai
penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Akibatnya, penipuan
tersebut melanggar syarat subjektif Pasal 1320 KUHPerdata butir 1 mengenai
kesepakatan para pihak. Subekti mendefinisikan kata kesepakatan sebagai suatu
kehendak yang bebas dalam membuat perjanjian. Kesepakatan yang berdasarkan atas
kehendak bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah dianggap tidak
terpenuhi apabila kesepakatan tersebut timbul atas dasar suatu paksaan (dwang),
kekhilafan (dwaling), atau penipuan.
16
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal
1321 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kesepakatan dianggap tidak sah apabila
kesepakatan tersebut diberikan atau diperoleh karena kekhilafan, paksaan, atau
penipuan.
17
Penipuan didefinisikan telah terjadi apabila salah satu pihak telah secara sengaja
memberikan keterangan tidak benar yang disertai dengan kelicikan sehingga pihak lain
dalam perjanjian tersebut terbujuk dan kemudian memberikan kesepakatannya.
18
Pembatalan atas suatu perjanjian dapat dimintakan jika kesepakatan yang bebas dalam
perjanjian tidak terpenuhi, baik karena adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan dari
salah satu pihak ketika perjanjian tersebut telah dibuat.
19
Dalam kasus ini, identitas,
alamat tinggal, serta alamat usaha yang diduga palsu menjadi salah satu bukti itikad
tidak baik dari debitur. Ditambah lagi, jejak debitur seketika hilang dan tidak pernah
diketahui lagi keberadaannya oleh penggugat sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.
Itikad buruk debitur tersebut dapat disimpulkan mengarah pada dugaan keras tindak
pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Tindak pidana penipuan tersebut telah memengaruhi kebebasan
kesepakatan para pihak dalam membuat perjanjian tersebut.
16
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.
17
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek] (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009).
18
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata.
19
Isnandya, Agustina, and Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat
Berdasarkan Penipuan (Bedrog).”
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
542
Walaupun demikian, keabsahan akta notaris berbeda dengan perjanjian biasa.
Akta notaris merupakan sebuah akta autentik yang dapat didefinisikan sebagai suatu
akta yang berbentuk sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di
depan kehadiran pejabat umum yang berwenang, serta di wilayah di mana akta tersebut
dibuat.
20
Jika suatu akta autentik memenuhi seluruh persyaratan dalam Pasal 1868
KUHPerdata, maka akta autentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
dalam acara pengadilan perkara perdata. Artinya, jika akta autentik dipergunakan
sebagai alat bukti di muka pengadilan, maka pembuktian akta tersebut cukup dengan
akta itu sendiri dan dianggap benar, kecuali ada bukti lainnya yang dapat membuktikan
sebaliknya. Bahkan, suatu akta autentik umumnya memang dengan sengaja dibuat dari
awal perjanjian untuk kepentingan pembuktian jika timbul suatu sengketa dalam
perjanjian tersebut.
Suatu akta autentik dapat mengalami kebatalan dalam dua bentuk, yakni
degradasi (kehilangan kekuatan pembuktian sempurna) atau batal demi hukum/dapat
dibatalkan. Degradasi terjadi ketika suatu akta memiliki cacat dalam bentuknya atau
dibuat oleh notaris yang tidak berwenang atau tidak cakap. Pasal 1869 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu akta tidak dapat dianggap sebagai akta autentik jika pejabat
yang membuat akta tersebut tidak berkuasa atau tidak cakap, atau jika terdapat suatu
cacat dalam bentuknya, namun akta tersebut tetap berkekuatan sebagai akta di bawah
tangan jika ditandatangani oleh para pihak.
21
Sedangkan, akta autentik batal demi
hukum/dapat dibatalkan jika perjanjian yang mendasarinya tidak memenuhi syarat-
syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, baik syarat
objektif (batal demi hukum) maupun syarat subjektif (dapat dibatalkan).
Dalam kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor
140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016, akta
notaris yang diperkarakan diduga memuat identitas palsu dari pihak debitur.
Sementara, notaris hanya mencatat segala hal yang disampaikan oleh para pihak
sehingga segala keterangan palsu yang disampaikan oleh salah satu pihak tersebut
bukanlah tanggung jawab notaris, melainkan murni menjadi tanggung jawab pihak
pemberi keterangan tersebut.
22
Oleh karena itu, identitas palsu ini bukan merupakan
cacat akta dalam bentuknya (cacat formil) dari sisi notaris sebagaimana dimaksudkan
dalam Pasal 1869 KUHPerdata. Melainkan, pencantuman identitas palsu tersebut
menyebabkan suatu akta notaris memiliki cacat kehendak dari perjanjian yang
mendasarinya; bersumber dari adanya syarat sah perjanjian yang tidak dipenuhi.
Berdasarkan uraian di atas, akta notaris tersebut dapat dimintakan untuk dibatalkan dan
pihak ketiga sebagai pemberi jaminan dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan untuk membatalkan akta tersebut.
20
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
21
Subekti and Tjitrosudibio.
22
I Wayan Erik Pratama Putra, Luh Putu Sudini, and I Nyoman Alit Puspadma, “Notary Responsibilities on
the Making of Deed with Double Number,” Jurnal Notariil 5, no. 1 (May 2020): 39–48.
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
543
II. Upaya Hukum Membatalkan Akta Notaris yang Memuat Identitas Palsu
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu perjanjian kredit bisa saja tidak
hanya melibatkan pihak debitur dan kreditur, namun juga melibatkan pihak lain atau
pihak ketiga sebagai pemberi jaminan. Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
Nomor 140/PDT/2020/PT.DKI tertanggal 20 April 2020 jo. Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Utara Nomor 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr. tertanggal 16 Maret 2016,
penggugat berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan yang menjaminkan
utang debitur dengan jaminan Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan milik
penggugat. Pada faktanya, penggugat tidak mengenal baik debitur, namun penggugat
tetap bersedia memberikan jaminan Hak Tanggungan tersebut melalui suatu Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Setelah adanya SKMHT, dibuat
suatu Akta Pembebanan Hak Tanggungan sesuai dengan tenggang waktu yang tidak
melebihi 3 (tiga) bulan. Hak Tanggungan tersebut kemudian didaftarkan oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) ke kantor pertanahan. Sebagai bukti telah dilekatkannya
Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan.
Sebagaimana diketahui, sebuah Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah
“Demi Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga memiliki titel eksekutorial yang sama
dengan suatu putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya,
kreditur berhak untuk mengeksekusi langsung objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri (parate executie). Dengan demikian, jika debitur tidak mampu membayar
utangnya kepada kreditur, maka kreditur berhak secara langsung mengeksekusi tanah
dan bangunan yang menjadi objek jaminan tersebut tanpa putusan pengadilan.
Mengingat debitur tidak pernah membayar kewajibannya kepada kreditur dan bahkan
menghilang tanpa jejak, penggugat sebagai pihak ketiga pemberi jaminan tentu
menginginkan akta notaris perjanjian kredit tersebut batal untuk mencegah eksekusi
tanah dan bangunan miliknya.
Walaupun demikian, perjanjian yang terjadi karena penipuan tidak bisa serta
merta dibatalkan sepihak ataupun dianggap batal demi hukum. Pasal 1449
KUHPerdata mengatakan bahwa perikatan-perikatan yang dibuat dengan paksaan,
kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. Dari
rumusan pasal tersebut, dapat diperhatikan pula bahwa suatu perikatan yang dilakukan
berdasarkan penipuan tidak otomatis batal demi hukum (null and void), namun hanya
menimbulkan suatu tuntutan untuk membatalkannya. R. Subekti juga menyatakan
bahwa jika kesepakatan telah diberikan tidak secara bebas, maka perjanjian tersebut
cacat sehingga dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah
memberikan sepakatnya tidak secara bebas. Lebih lanjut lagi, Pasal 1328 ayat (2)
KUHPerdata mendalilkan bahwa suatu penipuan yang mendasari suatu perjanjian tidak
boleh dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Selain itu, penipuan tersebut juga
harus sedemikian rupa sehingga jelas dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan
membuat perjanjian tersebut jika penipuan tersebut tidak dilakukan. Kesepakatan para
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
544
pihak merupakan syarat subjektif perjanjian, maka tidak dipenuhinya syarat tersebut
tidak otomatis membuat perjanjiannya batal demi hukum, namun dapat diminta
dibatalkan (voidable) oleh salah satu pihak. Perjanjian tersebut tetap mengikat para
pihak selama tidak dimintakan batal kepada hakim oleh salah satu pihak.
Dalam konteks pembatalan akta autentik, sebagaimana telah diuraikan dalam
bagian pertama, suatu akta autentik dapat mengalami kebatalan dalam dua bentuk,
yakni degradasi atau batal demi hukum/dapat dibatalkan. Baik degradasi maupun batal
demi hukum/dapat dibatalkannya suatu akta autentik tidak terjadi secara otomatis,
melainkan harus didasarkan pada suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Jika akta yang tidak memenuhi syarat subjektif tersebut tidak diminta
pembatalan oleh salah satu pihak, maka akta tersebut akan tetap mengikat dan menjadi
undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sesuai dengan ketentuan Pasal
1338 KUHPerdata.
23
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembatalan suatu akta
autentik yang didasarkan identitas palsu tidak dapat dilakukan begitu saja, namun
harus digugat melalui pengadilan negeri. Identitas palsu tersebut pun harus dibuktikan
secara sah dan meyakinkan sebagai suatu tindak pidana penipuan, tidak boleh
dipersangkakan sebagaimana ketentuan Pasal 1328 ayat (2) KUHPerdata. Hal ini
sejalan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim in casu yang pada pokoknya
menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya unsur penipuan yang dilakukan oleh
debitur terkait dengan identitas palsu, harus terlebih dahulu diperiksa dan diadili
melalui perkara pidana hingga memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim Putusan No. 101/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.
tertanggal 16 Maret 2016 pada halaman 70 menyatakan bahwa penggugat harus
membuktikan terlebih dahulu mengenai adanya suatu penipuan, dan bukti tersebut
adalah adanya suatu putusan pidana tentang penipuan dari pengadilan negeri.
Pertimbangan hukum Majelis Hakim tersebut bertujuan untuk menjaga kepastian
hukum dan mencegah timbulnya kerugian yang lain pada pihak lain. Selain itu, unsur-
unsur akta autentik yang dipermasalahkan dalam kasus ini pun telah terpenuhi
sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata sebagai berikut:
1. akta autentik tersebut harus dibuat oleh atau di depan kehadiran pejabat umum;
2. akta autentik tersebut harus dibuat dalam bentuk sedemikian rupa sebagaimana
telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
3. pejabat umum yang dimaksud harus memiliki wewenang untuk membuat akta
autentik tersebut.
24
Dalam kasus ini, untuk mengupayakan pembatalan akta autentik tersebut,
penggugat sebaiknya mengajukan tuntutan secara pidana terlebih dahulu terhadap
dugaan tindak pidana penipuan yang dilakukan debitur, sebagaimana yang menjadi
pertimbangan hukum Majelis Hakim pada tingkat pertama yang kemudian diperkuat
23
Isnandya, Agustina, and Lukman, “Pembatalan Oleh Hakim Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat
Berdasarkan Penipuan (Bedrog).”
24
Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
545
pada tingkat banding. Sebelum ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap
terkait dengan penipuan yang dilakukan oleh debitur, maka akta notaris tersebut tidak
dapat dibatalkan secara sepihak tanpa ada dasar hukum yang kuat dan mengikat.
Namun, apabila debitur telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
pidana penipuan, maka penggugat kemudian dapat mengajukan gugatan pembatalan
akta notaris tersebut dengan alasan tindak pidana penipuan dalam perjanjian sehingga
syarat subjektif sahnya perjanjian tidak terpenuhi. Namun, jika tindak pidana penipuan
tersebut ternyata tidak terbukti, maka akta tersebut masih menjadi akta autentik dan
tetap mengikat para pihak yang membuatnya.
E. PENUTUP
Pencantuman identitas palsu dalam suatu akta notaris dapat dikategorikan sebagai
suatu tindak pidana penipuan. Berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata, penipuan in casu
identitas palsu menyebabkan kesepakatan antara para pihak tidak sah dalam perjanjian
tersebut sehingga tidak memenuhi syarat subjektif perjanjian sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukum yang timbul dari tidak terpenuhinya syarat
subjektif ini adalah perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Upaya hukum untuk
membatalkan akta notaris yang memuat identitas palsu tersebut adalah dengan menempuh
gugatan perdata ke pengadilan. Walaupun demikian, penipuan tersebut tidak boleh
dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu. Pembuktian penipuan
dalam kasus ini dapat ditempuh melalui jalur pidana. Sebagai salah satu profesi hukum,
notaris juga secara implisit wajib mencegah terjadinya sengketa agar bisa mengantisipasi
terjadinya pembuatan akta yang memuat identitas palsu. Selain itu, notaris hendaknya
secara saksama dan aktif memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak atas akta
yang akan dibuat terkait kondisi-kondisi tertentu dalam suatu transaksi yang risiko
hukumnya tidak berimbang di antara para pihak. Konsekuensi yang dialami pihak ketiga
pemberi jaminan dalam kasus ini menjadi berat karena pembatalan akta autentik
membutuhkan proses yang lebih rumit. Apalagi, debitur yang gagal memenuhi
kewajibannya menyebabkan jaminan hak tanggungan yang merupakan hak milik pihak
ketiga pemberi jaminan tersebut dapat langsung dieksekusi oleh kreditur tanpa putusan
pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Aina, Nurul. “Pertanggung Jawaban Notaris Akibat Adanya Pemalsuan Identitas Diri
Debitor Dalam Akta Perjanjian Kredit Pada Bank.” Premise Law Jurnal 11 (2016):
1–14.
Amalia, Rizky, Musakkir Musakkir, and Syamsuddin Muchtar. “Pertanggungjawaban
Notaris Terhadap Isi Akta Autentik Yang Tidak Sesuai Dengan Fakta.” Al-Ishlah
24, no. 1 (2021): 188–206.
Armansyah. “Beneficial Ownership Dan Kewajiban Pelaporan Atas Transaksi Keuangan
Mencurigakan.” Jurnal Hukum 9, no. 2 (2018): 1–18.
Edwar, Edwar, Faisal A Rani, and Dahlan Ali. “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat
Akibat Hukum Identitas Palsu Dalam Akta Perjanjian Kredit
Yang Melibatkan Pihak Ketiga Pemberi Jaminan
Puspa Pasaribu, Eva Achjani Zulfa
e-ISSN : 2621-4105
Jurnal USM Law Review Vol 4 No 2 Tahun 2021
546
Umum Ditinjau Dari Konsep Equality Before the Law.” Jurnal Hukum &
Pembangunan 49, no. 1 (2019): 187–201.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no1.1916.
Isnandya, Eva Riska, Rosa Agustina, and Arsin Lukman. “Pembatalan Oleh Hakim
Terhadap Akta Jual Beli Yang Dibuat Berdasarkan Penipuan (Bedrog).” Indonesian
Notary 2, no. 3 (2020): 209–31.
Manuaba, Ida Bagus Paramaningrat, I Wayan Parsa, and I Gusti Ketut Ariawan. “Prinsip
Kehati-Hatian Notaris Dalam Membuat Akta Autentik.” Acta Comitas 3, no. 1
(2018): 59–74. https://doi.org/10.24843/AC.2018.v03.i01.p05.
Ngutra, Theresia. “Hukum Dan Sumber-Sumber Hukum.” Jurnal Supremasi 11, no. 2
(2016): 193–211.
Nurlete, Maimunah, Winanto Wiryomartani, and Widodo Suryandono. “Tanggung Jawab
Notaris Terhadap Akta Palsu Berdasarkan Pelanggaran Norma Dan Sanksinya
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 244/Pid.
B/PN.TJK).” Indonesian Notary 2, no. 3 (2020): 378–401.
Pangaribuan, Togi. “Permasalahan Penerapan Klausula Pembatasan Pertanggungjawaban
Dalam Perjanjian Terkait Hak Menuntut Ganti Kerugian Akibat Wanprestasi.”
Jurnal Hukum & Pembangunan 49, no. 2 (July 5, 2019): 443–54.
https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2012.
Putra, I Wayan Erik Pratama, Luh Putu Sudini, and I Nyoman Alit Puspadma. “Notary
Responsibilities on the Making of Deed with Double Number.” Jurnal Notariil 5,
no. 1 (May 2020): 39–48.
Septianingsih, Komang Ayuk, I Nyoman Putu Budiartha, and Anak Agung Sagung
Laksmi Dewi. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik Dalam Pembuktian Perkara
Perdata.” Jurnal Analogi Hukum 2, no. 3 (November 20, 2020).
https://doi.org/10.22225/ah.2.3.2584.336-340.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003.
Subekti, and Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].
Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Tyas, Tesalonika Marta Ayuning, and Adi Sulistiyono Pranoto. “Pembatalan Akta
Perjanjian Kredit Karena Objek Jaminan Tidak Sah (Analisis Putusan Pengadilan
Negeri Bandung Nomor 496/Pdt.G/2014/PN Bdg).” Jurnal Repertorium 4, no. 2
(2017): 103–9.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pub. L. No. 2 (2014).
Zahira, Septiana. “Akibat Hukum Atas Adanya Pihak Fiktif Di Dalam Akta Jual Beli
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
845/Pid.Sus/2018/Pn.Jkt.Utr).” Indonesian Notary 3, no. 1 (2021).