Content uploaded by Harjoni Desky
Author content
All content in this area was uploaded by Harjoni Desky on Nov 11, 2021
Content may be subject to copyright.
BUKU CHAPTER
KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI
ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 1
Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif
setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan pidana
Pasal 113
(1) Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.100.000.000 (seratus juta
rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap oran g yan g memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam
bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)
BUKU CHAPTER
KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI
ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU CIPTA
KERJA
Para Penulis:
Harjoni (Febi IAIN Lhokseumawe), Mukhtasar (Febi IAIN
Lhokseumawe),Angga Syahputra (Febi IAIN Lhokseumawe),
Yulia (Febi IAIN Pontianak), Nur Asiah (UIN Raden
Intan Lampung), Malahayatie (Febi IAIN Lhokseumawe),
Rahmawati(Febi IAIN Lhokseumawe), Reni Ria Armayani
Hasibuan (UIN Sumetera Utara, Medan), Abdul Mugni (IAIN
Lhokseumawe)
Penyelenggara Penulisan Buku Chapter
Gugus Mutu FEBI IAIN Lhokseumawe bekerjasama dengan
Amara Books Yogyakarta
BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
BU K U CHAPTE R
KA J IAN K RI TIS IS U -ISU EKONO MI ISLAM ,
PEND ID IK AN, DAN UU CIP TA KERJ A
© Penerbit Amara Books
Penulis :
Harjoni dkk.
Desain Sampul :
Winengku Nugroho
Desain Isi :
Emanuel Edo M
Cetakan Pertama, 2020
Diterbitkan oleh Penerbit Amara Books
Puri Arsita A-6, Jl. Kalimantan, Ringroad Utara, Yogyakarta
Telp/faks : 0274-884500
Hp : 081 227 10912
email : amara_books@yahoo.com
Anggota IKAPI
ISBN : 978-623-7042-48-8
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi
buku, tanpa izin tertulis dari penulis dan penerbit.
Percetakan Amara Books
Isi diluar tanggung jawab percetakan
iv |
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
dengan berkat Rahman dan Rahim-Nya kami dapat menyelesaikan
seluruh penulisan buku Chapter ini. Selawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membawa cahaya indahnya Islam ke dalam sanubari kita, Amin.
Masih kurangnya kumpulan pemikiran para dosen Indonesia
terkait isu-isu terkini terkait dengan persoalan bangsa ini,
melatarbelakangi Gugus Mutu FEBI IAIN Lhokseumawe untuk
memprakarsai dan mengumpulkan tulisan dari sebagian kecil
pemikiran para dosen hebat Indonesia, salah satunya buku yang
berjudul “Kajian Kritis Isu-Isu Ekonomi Islam, Pendidikan, dan UU
Cipta Kerja”.
Buku ini ditulis oleh para dosen hebat dari IAIN Lhokseumawe,
IAIN Pontianak, UIN Raden Intan Lampung, dan UIN Medan, dan
buku chapter ini merupakan pengembangan dan pengayaan lebih
lanjut atas buku-buku terkait tema ekonomi Islam, pendidikan dan
isu terkini (UU Cipta Kerja). Pengerjaan buku ini tidak akan selesai
tanpa bantuan dari segenap pihak, baik bantuan langsung maupun
tidak langsung. Panitia penyelenggara mengucapkan terima kasih
banyak kepada seluruh pihak yang telah membantu terwujudnya
buku ini. Buku ini didedikasikan kepada seluruh penggiat ekonomi
Islam, pendidikan khususnya di Indonesia.
Berbagai kekurangan mungkin akan ditemukan dalam buku ini
karena tidak ada kesempurnaan yang hakiki kecuali milik Allah
SWT. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan bagi
penyempurnaan buku ini di masa yang akan datang.
v
vi
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Mudah-mudahan buku ini dapat bermanfaat bagi pengembangan
perbankan syariah di Indonesia, terutama dalam memberikann
pemahaman dasar mengenai pengelolaan risiko di Industri
Perbankan Syarah.
Yogyakarta, April 2020
Penyelenggara Penulisan Buku Chapter
Gugus Mutu FEBI IAIN Lhokseumawe
PENGANTAR PENERBIT
Salam Semangat...
Tiada kata yang dapat mewakili kegembiraan Kami saat
menerbitkan cetakan pertama buku chapter ini. Cetakan pertama
ini merupakan hasil tulisan para peneliti atau dosen dari beberapa
lembaga pendidikan ternama di Aceh, Medan, Pontianak, dan
Lampung yaitu: IAIN Lhokseumawe, IAIN Pontianak, UIN Raden
Intan Lampung, dan UIN Medan. Para penulis ini dengan penuh
semangat menyampaikan tema seputar Kajian Kritis Isu-Isu Ekonomi
Islam, Pendidikan, dan UU Cipta Kerja”. Tema besar ini dibagi dalam
berbagai sub tema disampaikan dalam buku ini, sehingga dapat
membawa pembaca untuk lebih dekat dengan isu-isu terkini
tersebut. Kami tentunya menyadari bahwa cetakan pertama ini
masih sangat banyak kekurangan, karena itu kami mohon maaf atas
kekurangan yang ada. Upaya perbaikan akan kami lakukan terus
menerus untuk memperbaiki kualitas buku ini. Akhir kata selamat
membaca, tetap semangat berkarya untuk kita semua.
Penerbit
Amara Books
vii
vii
i
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................
v
PE NGAN T AR PEN E RB IT ........................................................
vii
DAF TAR ISI ..................................................................................
ix
BA B SATU
MANAJEMEN DAN EKONOM I SY ARIAH ....................
1
Upaya Memahaminya Lebih Dekat Manajemen Syari’ah ....
1
I. Pendahuluan.....................................................................
1
II. Manajemen Syari’ah .......................................................
3
III. Karakteristik Manajemen Syari’ah ................................
7
IV. Manajemen Syari’ah dan Upaya Mewujudkan
Hayyatun Thaibah ..............................................................
9
V.
Daftar
Pustaka ..................................................................
16
Kegagalan Ekonomi Konvensional dan Kekuatan Lain dari
Ekonomi Islam ...............................................................................
19
I. Pendahuluan.....................................................................
19
II. Kegagalan Ekonomi Konvensional ...............................
20
III. Nilai-Nilai Islam...............................................................
22
IV.
Daftar
Pustaka ..................................................................
33
Urgensi Memproteksi Diri dengan Asuransi Syariah ............
35
I. Pendahuluan.....................................................................
35
II. Asuransi Syariah ..............................................................
36
ix
x
| BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
III.
Dasar Hukum ................................................................... 36
IV. Pentingnya Berasuransi Syariah .................................... 38
V. Kenapa Harus Asuransi Syariah? ................................. 42
VI. Daftar Pustaka .................................................................. 47
BA B DUA
SYARIAT ISLAM, K EUANGAN, DAN INVESTASI
SY ARIAH ......................................................................................... 51
Menelusuri Benang Merah Syari’at Islam dan Investasi ...... 51
I. Pendahuluan..................................................................... 51
II. Konsep Investasi Syariah................................................ 53
III. Peran Modal Dalam Investasi Syariah ......................... 58
IV. Tujuan dan Eksistensi Syari’at Islam ............................ 62
V.
Daftar Pustaka .................................................................. 68
Sistem Partnership pada Pebiayaan PT. Sarana Kalbar
Ventura ............................................................................................. 71
I. Pendahuluan..................................................................... 71
II. Analisis Terhadap Perjanjian Awal dalam Sistem
Partnership ......................................................................... 73
III. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Bagi Hasil PT.
Sarana Kalbar Ventura .................................................... 80
IV. Kerugian dalam Partnership PT. Sarana Kalbar
Ventura ............................................................................. 96
V. Penerapan Jaminan pada Sistem Parnership PT.
Sarana Kalbar Ventura .................................................... 98
VI. Penutup ............................................................................. 102
VII Daftar Pustaka .................................................................. 104
Daftar Isi | xi
Analisis Prosedur dan Tantangan Konversi Bank Konvensional
Menjadi Bank Syariah di Aceh Berdasarkan Qanun Lembaga
Keuangan Syariah No 11 Tahun 2018 (Studi Kasus Pada
Perbankan di Aceh) ....................................................................... 106
I. Pendahuluan..................................................................... 106
II. Metode Penelitian ............................................................ 108
III. Hasil Analisis dan Pembahasan .................................... 109
IV. Kesimpulan ...................................................................... 114
V. Daftar Pustaka .................................................................. 115
BA B TIG A
PEND ID IK AN, PRODUKSI , DAN UU CIP TA KER J A 117
Urgensi Pembentukan Sikap Keberagamaan Peserta Didik 117
I. Pendahuluan..................................................................... 117
II. Sikap Keberagaman Peserta Didik................................ 120
III. Perkembangan Sikap Keberagamaan Peserta Didik.. 123
IV. Pentingnya Pembentukan Sikap Keberagamaan
Peserta Didik .................................................................... 127
V. Karakteristik Sikap Keberagamaan Peserta Didik ..... 129
VI. Daftar Pustaka .................................................................. 132
Aktivitas Produksi Masyarakat pada Saat Wabah Covid-19
di Indonesia .................................................................................... 136
I. Pendahuluan..................................................................... 136
II. Tinjauan Pustaka.............................................................. 138
III. Pembahasan ...................................................................... 141
IV.
Daftar
Pustaka ..................................................................
152
Dampak UU Cipta Kerja secara Sosiologis.............................. 154
I. Pendahuluan..................................................................... 154
BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
II. Undang-undang Cipta Kerja Pendekatan Kuasa
Wacana............................................................................... 156
III. Pemikiran Foucault.......................................................... 160
IV. Penutup ............................................................................. 164
V. Referensi ........................................................................... 165
xii |
BAB SATU
MANAJEMEN DAN EKONOMI SYARIAH
Upaya Memahaminya Lebih Dekat Manajemen Syari’ah
Dr. Harjoni, S.Sos.I., M.Si.
FEBI IAIN Lhokseumawe
I. Pendahuluan
Islam memiliki pandangan khusus dan istimewa terhadap
manajemen, baik manajemen dalam artian sebagai sebuah ilmu
maupun prinsip-prinsip yang dijalankan. Ada beberapa ayat dalam
Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini, salah satu di antaranya,
misalnya dalam surat As-Shaff ayat 4.
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang
di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka
seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Rasulullah SAW juga bersabda: “Sesungguhnya Allah cinta jika
salah seorang di antaramu melakukan suatu amalan,ia benar-benar itqan
(tepat, terarah, jelas, dan teratur)” (HR. Thabrani). Itqan di sini
maksudnya arah/tujuan pekerjaan itu jelas, landasannya mantap,
dan cara mendapatkannya transparan. Ini merupakan amal
perbuatan yang dicintai Allah SWT. Kemudian dalam hadist Nabi
1
2
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Muhammad SAW yang lain disebutkan pula; “Allah mewajibkan
kepada kita untuk berlaku ihsan dalam segala seseuatu” (HR. Muslim)
Ihsan di sini melakukan sesuatu pekerjaan secara maksimal dan
optimal sehingga hasilnya juga maksimal dan optimal.
Memperhatikan ayat Al-Qur’an dan Hadist tersebut di atas jelaslah
manajemen dalam arti mengatur sesuatu agar dilakukan dengan
baik, tepat, dan terarah merupakan sesuatu yang disyariatkan
dalam ajaran Islam.
Apapun bentuk organisasi itu ia memerlukan manajemen.
Suatu kelembagaan seperti institusi pemerintah atau perusahaan
bahkan rumah tangga sekalipun akan berjalan dengan baik jika
dikelola dengan baik (teratur, rapi, benar, tertib, dan sistematis).
Sebaliknya apabila suatu organisasi/lembaga/perusahaan yang
tidak diorganisir dengan baik/tidak dimanaj dengan baik akan
dapat dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisir dengan baik
(ungkapan Ali bin Abi Thalib r.a). (Didin Hafidhuddin-Henri
Tanjung, 2004). Dominasi kemungkaran sering terjadi bukan
karena kuatnya kemungkaran itu, akan tetapi karena tidak rapinya
kekuatan yang hak.
Banyak contoh yang bisa kita lihat dengan kebenaran ungkapan
Ali bin Abi Thalib r.a ini. Misalnya tentang eksploitasi pengelolaan
sumber daya alam (pertambangan). Kita punya Undang-Undang
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Undang-Undang tentang
Lingkungan Hidup, namun karena manusia-manusia yang
berwenang memberi izin pengelolaannya dan yang bekewajiban
mengawasi pelaksanaannya lebih mendahulukan keuntungan
ekonomi sehingga ketentuan dalam undang-undang tersebut tidak
dijalankan sebagaimana mestinya. Bekas galian tambang tersebut
dibiarkan menganga puluhan tahun, padahal ada kewajiban
mereklamasi (menutup kembali dengan tanah) supaya bisa
ditanami dengan tanaman-tanaman yang menghasilkan. Menurut
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
3
teorinya lubang-lubang bekas galian tambang itu direklamasi
setahun setelah itu kalau belum rata ditambah lagi sampai rata,
kemudian ditanami tanamantanaman yang hasilnya laku di pasar
internasional seperti karet, kopi, kemiri, dan lain-lain.
Tujuh tahun setelah itu karet bisa disadap, lima tahun setelah itu
kopi sudah bisa dipanen, lima tahun setelah itu kemiri sudah bisa
dipanen. Dana reklamasinya juga tidak jelas kemana mengalirnya.
Ujungnya lingkungan hidup jadi rusak dan negara dirugikan,
karena dilubang-lubang bekas galian itu hanya digenangi air, tidak
bisa lagi mendatangkan hasil. Kalau saja perintah kembali kepada
konsep dasar bahwa Sumber Daya Alam adalah amanah yang perlu
dijaga untuk diberikan kepada generasi penerus tentu saja
pengelolaan yang semena-mena tidak akan terjadi.
II. Manajemen Syari’ah
Istilah manajemen sebetulnya sudah tidak asing lagi karena
manajemen secara praktis berarti adalah mengatur segala sesuatu
dengan baik, tepat dan tuntas. Dengan demikian, Islam sebagai
agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan
Tuhan saja melainkan hubungan antar sesama manusia juga, maka
dalil-dalil baik tekstual atau kontekstual kaitannya dengan
pengertian manajemen secara aplikatif akan dengan mudah banyak
ditemukan. Bahkan, saat ini istilah manajemen syariah sedang
booming didiskusikan. Sejatinya, pemahaman manajemen syari̕ah
tersebut berbeda dengan konsep manajeman konvensional.
Manajemen syari̕ah secara sederhana dapat dimaknai sebagai
manajemen yang tidak bebas nilai sebab orientasi manajemen
syari̕ah bukan hanya pada kehidupan duniawi saja namun juga
implikasi ukhrawi-nya. Hanya saja, tema manajemen syari̕ah masih
menjadi perdebatan sebagaimana halnya akuntasi
4
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
syari̕ah, bank syari̕ah, ekonomi syari̕ah dan lain sebagainya.
Perdebatan ini bertumpu pada dua hal yakni sejarah lahirnya
terminologi-terminologi tersebut dan substansinya. Ada sebagian
orang berpendapat bahwa istilah-istilah ini sebenarnya adalah
setali tiga uang dengan istilah-istilah manajemen, akuntasi, bank,
ekonomi yang lahir dari produk kapitalisme. Adapun “labelisasi
syari̕ah” pada istilah-istilah tersebut muncul pada era kiwari sekitar
beberapa dasawarsa yang lalu. Tulisan ini mencoba untuk
mengurai dan mengungkap konsep dan paradigma manajemen
syari̕ah dalam agama Islam.
Manajemen Syari’ah terdiri dari dua suku kata yakni manajemen
dan syari’ah. Adapun pengertian manajemen secara teoritis para
ahli memberikan pandangan berbeda tentang batasan manajemen
sehingga tidak mudah memberi arti universal yang dapat diterima
semua orang. Robbins Stephen menegaskan bahwa manajemen
belum memiliki definisi yang mapan dan diterima secara universal.
Mary Parker Follet mendefinisikan manajemen sebagai seni
menyelesaikan perkerjaan melalui orang lain (Robbins Stephen and
Mary Coultar, 2007). Hal ini berrati bahwa seorang manajer
bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai
tujuan organisasi.
Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai proses
perencanaan, pengorganisasian, pengoordinasian, dan pengontrol
sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan
efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan
perencanaan. Efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan
secara benar, terorganisasi, dan sesuai dengan jadwal (Ruadiana,
dan A.G, 2014). Sementara itu, Maman Sutarman, bahwa
manajemen adalah proses kerja sama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
5
penggerakan, dan pengontrolan sehingga tujuan yang diinginkan
dapat tercapai (Maman Sutarman, 2016).
Berbagai pengertian tentang manajemen tersebut,
mengindikasikan bahwa manajemen bisa dilihat dalam aspek
berikut ini. Pertama, manajemen berkaitan dengan proses, hal ini
berarti bahwa manajemen bukan tindakan yang bersifat tunggal,
namun serangkaian tindakan yang tertata dalam alur proses
tertentu yang telah direncanakan sebelumhya. Kedua, manajemen
melibatkan aspek sumber daya manusia dan materi. Ini
mengindikasikan bahwa dalam manajemen melibatkan orang lain,
bukan merupakan tindakan yang dilakukan oleh satu orang saja,
namun tindakan yang dilakukan oleh beberapa orang. Ketiga,
manajemen diarahkan untuk mencapai tujuan bersama dari
organisasi. Ini berarti bahwa dalam manajemen, selalu ada
perencanaan yang dilakukan sebelum pelaksanaan dilakukan.
Ketika pelaksanaan sudah dilakukan, kontrol pengawasan atas
pelaksanaan dilakukan dengan maksud agar arah untuk mencapai
tujuan bersama dapat tercapai. Terakhir, manajemen berkaitan
dengan fungsi-fungsi manajemen. Fungsi manajemen ini
menyangkut perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan
pengawasan (Fajar Junaedi, 2014).
Sementara, definisi syari̕ah, sebagaimana pendapat Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, secara etimologi adalah jalan ke tempat
pengairan atau jalan yang harus diikuti, atau tempat lalu air sungai,
atau lekuk-liku lembah, atau ambang pintu dan tangga (Amir
Syarifuddin, 1997). Kata syari̕ah muncul dalam beberapa ayat al-
Qur̕an seperti pada surat al-Maidah: 48; al-Syura: 13; dan al-
Hasiyah: 18 yang mengandung arti “jalan yang jelas yang
membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama yang
ditetapkan Allah untuk manusia disebut syari̕ah, dalam artian
lughawi, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupannya
6
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
di dunia. Kesamaan syari̕ah Islam dengan jalan air adalah dari
segi bahwa siapa yang mengikuti syari̕ah ia akan mengalir dan
bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan
tumbuh-tumbuhahn dan hewan sebagaimana Dia menjadikan
syari̕ah sebagai penyebab kehidupan jiwa insani (Sya̕ban
Muhammad Isma̕il, 1985; Kamil Musa, 1987; Amir Syarifuddin,
1997).
Terminologi syari̕ah dibedakan menjadi dua, yaitu syari’ah
secara luas dan syari’ah secara khusus. Di dalam al-Mausuah al-
Arbiyah al-Muyassarah, disebutkan syari’ah dahulu secara mutlak
diartikan “ajaran-ajaran Islam yang terdiri dari akidah dan hukum
amaliah”, kini makna syari̕ah telah dikhususkan (dibatasi) dengan
istilah “sejumlah hukum syar’i yang amaliah (praktis) yang
diistinbathkan dari al-Kitab dan al-Sunnah atau ra’yu dan ijma’.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan syari’ah adalah peraturan
yang telah ditetapkan (diwahyukan) oleh Allah kepada Nabi
Muhammad SAW untuk manusia yang mencakup tiga bidang,
yaitu bidang keyakinan, perbuatan, dan akhlak. Dengan kata lain,
menurut Wilfred Cantwell Smith, syari’ah adalah esensi hukum
dalam Islam sebagai elaborasi perintah-perintah Tuhan (Dedi
Supriyadi, 2007).
Pengertian manajemen syari̕ah menurut Khoiril Arief adalah
suatu pengelolaan untuk memperoleh hasil optimal yang bemuara
pada pencarian keridhaan Allah. Oleh sebab itu maka segala
sesuatu langkah yang diambil dalam menjalankan manjemen
tersebut harus berdasarkan aturan-aturan Allah. Aturan-aturan itu
tertuang dalam Al-Qur̕an, hadist, dan beberapa contoh yang
dilakukan oleh para sahabat. Sehubungan dengan itu maka isi dari
manajemen syariah adalah segala sesuatu yang berhubungan
dengan ilmu manajemen konvensional yang diwarnai dengan
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
7
aturan al-Quran, al-Hadith dan beberapa contoh yang dilakukan
oleh para sahabat (Khoril Arief, 2017).
III. Karakteristik Manajemen Syari’ah
Karakteristik yang membedakan teori manajemen syari̕ah
dengan teori lain adalah fokus dan konsen teori Islam terhadap
segala variabel yang berpengaruh (influnce) terhadap aktifitas
manajemen. Manajemen syari̕ah memiliki karakteristik sebagai
berikut: a). Teori manajemen syari̕ah merupakan teori yang konsen
dan terkait dengan falsafah sosial masyarakat Muslim, dan
berhubungan dengan akhlak atau nilai-nilai etika sosial yang
dipegang teguh oleh masyarakat muslim (variabel etika sosial);
b). Manajemen syari̕ah konsen terhadap variabel ekonomi dan motif
materi, dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan fisiologis individu
(vartiavel ekonomi-materi); c). Memperhatikan nilai- nilai
kemanusiaan dan spiritual serta memuliakan manusia untuk
berpartisipasi dalam aktivitas manajemen-memuliakan segala
potensi intelektual, kompetensi dan dimensi spiritual (variabel
kemanusiaan); d). Konsen terhadap sistem dan menentukan
tanggung jawab dan wewenang, menghormati kekuasaan dan
organisasi resmi, menghormati struktur organisasi, dan menuntut
ketaatan (Ahmad Ibrahim Abu Sinn, 2006).
Ada empat landasan, menurut Zainarti, untuk mengembangkan
manajemen menurut pandangan Islam, yaitu: kebenaran, kejujuran,
keterbukaan, keahlian. Seorang manajer harus memiliki empat sifat
utama itu agar manajemen yang dijalankannya mendapatkan hasil
yang maksimal. Yang paling penting dalam manajemen
berdasarkan pandangan Islam adalah harus ada jiwa
kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Islam merupakan faktor
utama dalam konsep manajemen. Manajemen menurut
8
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
pandangan Islam merupakan manajemen yang adil. Batasan adil
adalah pemimpin tidak menganiaya bawahan dan bawahan tidak
merugikan pemimpin maupun perusahaan yang ditempati. Bentuk
penganiayaan yang dimaksudkan adalah mengurangi atau tidak
memberikan hak bawahan dan memaksa bawahan untuk bekerja
melebihi ketentuan. Seyogyanya kesepakatan kerja dibuat untuk
kepentingan bersama antara pimpinan dan bawahan. Jika seorang
manajer mengharuskan bawahannya bekerja melampaui waktu
kerja yang ditentukan, maka sebenarnya manajer itu telah
mendzalimi bawahannya. Dan ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam (Zainarti,, 2003).
Prinsip-prinsip manajemen syariah, menurut Ahmad
Djalaluddin, Lc., MA., berlandaskan pada: legalitas dan obyektifitas
perencanaan, realistis dalam mengambil keputusan,
memprtimbangkan potensi sumber daya manusia yang dimiliki,
syura untuk mengoptimalkan pengambilan keputusan, ditribusi
tugas, efektifitas taudhif (pengangkatan pegawai), itqan (optimal)
dalam kerja dan ihsan dalam prestasi, motivasi dan dorongan untuk
berprestasi (Ahmad Djalaluddin, 2007). Karakteristkik manajemen
islami, mengutip pendapat Zaniarti, yang membedakannya dengan
manajemen ala Barat adalah seorang pemimpin dalam manajemen
Islami harus bersikap lemah lembut terhadap bawahan.
Contoh kecil seorang manajer yang menerapkan kelembutan
dalam hubungan kerja adalah selalu memberikan senyum ketika
berpapasan dengan karyawan karena senyum salah satu bentuk
ibadaha dalam Islam dan mengucapkan terima kasih ketika
pekerjaannya sudah selesai. Namun kelembutan tersebut tidak
lantas menghilangkan ketegasan dan disiplin. Jika karyawan
tersebut melakukan kesalahan, tegakkan aturan. Penegakan
peraturan harus konsisten dan tidak pilih kasih (Ahmad
Djalaluddin, 2007).
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
9
Manajemen syari’ah dari sisi teologis merupakan “amanah”
Tuhan kepada makhluknya (manusia) karena manusia adalah
“wakilnya” di bumi (khalifah fi al-ardh) yang dituntut untuk
senantiasa beramal saleh sesuai dengan prinsip-prinsip kerjasama
dan konsultasi (syura). Lebih-lebih dalam menjalankan roda
perekonomian dengan prinsip pemerataan dan keadilan ekonomi
apalagi perkembangan mutakhir adalah berkembangnya bisnis
Islam dalam bingkai ekonomi syariah, maka penerapan manajemen
berbasis syari’ah merupakan keniscayaan yang dinamis dalam
tataran praktik dan konsep. Konsep manajemen syari̕ah bersifat
universal dan komprehensif.
Karakteristik manajemen syari’ah memiliki relasi yang kuat
dengan sistim sosial karena berlandaskan etika dan akhlak. Maka
dari itu, paradigma yang terbangun dalam teori manajemen
syari’ah adalah kegiatan berpikir, merencanakan, memimpin dan
mengendalikan suatu organisasi untuk mencapai tujuan maqashid
syari’ah yakni merealisasikan kemaslahatan bagi segenap umat
manusia. Aplikasi manajemen syari’ah bukanlah relasi “kekuasaan”
antara pimpinan dengan karyawan, karena perbedaan jabatan
pimpinan dengan karyawan semata-mata dalam koridor wewenang
dan tanggung jawab. Intiya, ada ruang syura dimana pimpinan
dapat memberikan nasihat kepada bawahannya atau mungkin
sebaliknya karyawan dapat memberikan kritik konstruktif kepada
atasannya.
IV. Manajemen Syari’ah dan Upaya Mewujudkan Hayyatun
Thaibah
Sejarah pemerintahan Islam telah mencatat keberhasilan
pelaksanaan sistem manajemen khususnya manajemen syariah
yang diterapkan, di antaranya pada zaman khalifah Umarbin
10
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Abdul Aziz. Sistem yang berlaku pada zaman khalifah Umar bin
Abdul Aziz ini dapat dijadikan contoh sistem yang baik, seperti
misalnya: (1) sistem penggajian yang rapi sesuai dengan tingkatan
wewenang dan tanggung jawab. (2) Sistem pengawasan, sehingga
di zaman khalifah Umar bin Abdul Aziz ini sudah terwujud apa
yang disebut cleangovernment. (3) Sistem yang berorentasi kepada
kepentingan masyarakat, bukan sistem yang hanyamenggemukkan
pejabat-pejabatnya.
Timbul pertanyaan apa yang melatarbelakangi manajemen
yang diterapkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz berhasil? Atau
dalam bahasa nilai-nilai manajemen syari’ah apa saya yang
menonjol dalam penerapan oleh Umar bin Abdul Aziz. Maka
jawabannya adalah tiga landasan nilai dari manajemen syari̕ah
inilah yang diterapkan, yakni (Ma̕ruf Abdullah, 2012):
1. Teologi Manajemen Syariah
Pemikiran Islam sebenarnya bukan merupakan buah dari
intelektual manusia, namun pemikiran itu merupakan pemikiran
ilahi yang bersumber dari Allah SWT, dzat yang maha benar dan
maha sempurna, Artinya: “Sesungguhnya telah datang kepadamu
cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang- orang
itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-
Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (Q.S. al- Maidah: 15-
16)
Dengan demikian maka tidak etis rasanya kalo kita
membangga-banggakan teori-teori yang diikuti itu sebagai karya
manusia, seperti misalnya teori manajemen (scentific management).
Sebetulnya manusia mendapat pentunjuk dan bimbingan untuk
menggali mutiara pikiran itu dari khazanah kekayaan ilmu Allah
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
11
SWT. Allah Maha Mengatur dan Menyiapkan segala sesuatunya
yang diperlukan manusia untuk melaksanakan tugasnya sebagai
khalifah fil ardhi (Q.S Hud : 61). Bumi tempat tinggal ini telah
disiapkan oleh Allah SWT dengan isi selengkap-lengkapnya: ada
air, ada tanah, ada tumbuh-tumbuhan, ada hewan, ada tambang,
ada mineral, dan sebagainya. Manusia tinggal mengelolanya sesuai
dengan misi yang diembannya sebagai khalifah fil ardhi.
Mengelola kehidupan di muka bumi dengan sebaik- baiknya
dapat dilakukan dengan melaksanakan sumber daya yang
disediakan oleh Allah SWT secara bertanggung jawab, diperlukan
pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan sikap kerja yang
profesional yang dalam istilah modern, sekarang disebut dengan
“Manajemen”. Manajemen dalam pandangan ajaran Islam
mengandung pengertian segala sesuatu harus dilakukan secara
rapi, benar, tertib, dan teratur. prosesnya harus diikuti dengan baik.
segala sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. hal ini
sesuai dengan sabda Rasulallah SAW : “sesungguhnya Allah SWT
sangat mencintai orang yang jika melakukan sesuatu pekerjaan, dilakukan
secara itqan (tetap, teratur, jelas dan tuntas)” (HR. Thabarani).
2. Budaya Manajemen Syariah
Sebagai konsekuensi logis dari pentingnya manajemen dalam
melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang
maka perlu dibangun budaya manajemen syari̕ah agar seorang
pemimpin dalam menjalankan tugas manajemen pekerjaan yang
menjadi tanggung jawabnya betul-betul kredibel dan kapabel.
Budaya manajemen syari̕ah yang dimaksud adalah:
a. Mengutamakan Akhlak
Salah satu faktor yang menetukan keberhasilan Rasulullah SAW
dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dalam kapasitasnya
12
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
sebagai pemimpin agama, kepala keluarga, pemerintahan maupun
entrepeneur adalah mengutamakan akhlak. Akhlak merupakan
faktor utama (payung) dari semua aktivitas yang dilakukan oleh
Rasulallah SAW. Hal tersebut tidak hanya diakui oleh kawan
(sahabatnya), tetapi juga oleh lawannya, seperti kaisar Romawi
Heracleus dan lain-lain.
Dalam konteks kekinian yang disebut akhlak itu ialah Emotional
Quotient (EQ) atau kecerdasan emosional. Dalam melaksanakan
tugas-tugas kepemimpinan, EQ menjadi sumber utama
terbangunnya kredibilitas dan kapabilitas. Banyak orang yang
menduduki jabatan pemimpin yang gagal dalam melaksanakan
kepemimpinannya dan setelah ditelusuri kegagalannya tersebut
ternyata umunya mereka itu memiliki EQ yang rendah sehingga
menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Untuk semua
bidang kehidupan termasuk menjadi pemimpin, Rasulallah SAW
menyatakan dalam hadistnya: “Tidak ada semata yang lebih berat
dalam timbangan dari pada akhlak yang baik “. (HR. Ahmad dan Abu
Daud). Dan dalam hadits yang lainnya: “Sesungguhnya orang yang
paling aku cintai dan paling dekat denganku pada hari kiamat adalah orang
yang paling baik akhlaknya”.
Sebenarnya setiap orang dibekali potensi akhlak (EQ) oleh
Allah SWT. Dan Akhlak itu dapat dikembangkan oleh manusia
untuk meraih sukses dalam kehidupan didunia dan diakhirat
kelak. Dan tanda-tanda orang yang berakhlak baik itu antara lain:
banyak malu, banyak berbuat baik, sedikit bicara, tidak mengagung-
agungkan diri sendiri, menyambung tali persaudaraan, sabar,
ikhlas, dan lain sebagainya. Bandingkan dengan pendapat Hendri
Tanjung dalam bukunya Manajemen Syariah dalam Praktik 9 Nabi
dan Rasul yang menyatakan bahwa dalam diri Rasulullah SAW
yang harus diteladani adalah:
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
13
1). Ikhlas, dimana keihklasan Rasulullah SAW tidak ada
tandingannya. Oleh Allah SWT melalui Jibril sejak beliau masih
anak-anak sudah pernah dibedah dadanya, dan hatinya diisi
dengan sifat ikhlas. Sejak itu beliau menjadi orang yang paling
ikhlas. Peristiwa paling ikhlas yang menjadi catatan sejarah adalah
ketika beliau hijrah dan berdakwah di kota Tahif. Dimana beliau
berdakwah di sana, tetapi beliau diusir dan dilempari dengan batu
oleh masyarakat tahif. Ketika diusir, beliau berjalan meninggalkan
kota Tahif dengan badan yang sangat lelah dan banyak luka-luka,
beliau beristirahat di bawah sebatang pohon. Itulah dahsyatnya
sifat ikhlas beliau dalam sejarah. Beliau sudah dihina, dicaci maki,
dilempari dengan batu dan segala macam kotoran, tetapi tetap
sabar dan ikhlas. Bahkan mendoakan mereka yang menyakitinya;
2). Jihad, artinya Rasulullah SAW tidak pernah bergadang di
malam hari, sebagaimana kebiasaan anak muda pada umumnya.
Beliau selalu bersungguh-sungguh (Jihadan) dalam hidupnya, ia
tidak akan mau bergadang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat.
Rasulullah SAW luar biasa jihad-nya. Ketika berperang beliau selalu
di barisan paling depan.tidak pernah beliau ada di barisan paling
belakang dan perang yang paling hebat ketika itu adalah perang
Uhud, sehingga gigi beliau terkena panah pihak musuh;
3). Sabar, menjadi buah bibir dalam sejarah kehidupan
Rasulullah SAW, dimana sifat sabar beliau salah satunya tercermin
sebagaimana dalam kisah Badui yang kencing di dalam masjid
Nabawi, sehingga para sahabat yang melihatnya spontanitas marah
terhadap Badui tersebut. Namun, kemudian Rasulullah SAW
menasehati Badui tersebut: wahai Fulan, ini Masjid, tempat orang
sholat, berdzikir, maka tidaklah wajar kalau kamu kencing dalam masjid.
Lalu beliau memerintahkan sahabat untuk menimbun bekas
tempat kencing badui itu dengan pasir. Badui itu pun diam
sejenak lalu berkata: Ya Rasulullah, semoga Allah memaafkan
14
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
aku dan engkau, tetapi tidak kepada sahabat-sahabatmu. Suatu contoh
kecil betapa luasnya kesabaran beliau dan masih banyak lagi
kejadian-kejadian yang menunjukkan betapa kesabaran beliau
yang sedemikian tinggi;
4). Kasih Sayang, sebagaimana dinyatakan dalam QS:9/128
“sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-
orang mukmin”. Sebagai contohnya, belaiu tidak pernah berkata
“tidak” kepada orang yang meminta. Apa pun yang ada pada
beliau, bila diminta orang, selalu diberikan. Suatu ketika beliau
sedang duduk bersama dengan para sahabat di masjid. Tiba-tiba
ada orang (salah seorang sahabat) yang meminta baju (gamis).
Padahal Rasulullah SAW tidak punya baju banyak. Tetapi
diberikanlah baju kepada orang yang meminta itu. Ketika keluat
masjid seorang sahabat mendatangi orang yang meminta baju
kepada Rasulullah SAW dan memarahinya: “wahai Fulan, kenapa
kamu meminta baju kepada Rasulullah SAW padahal beliau itu tidak
punya banyak?”. Orang tersebut menjawab: ”aku tahu, beliau tidak
punya banyak baju, tetapi aku ingin agar kelak ketika aku mati, biarlah aku
dikafani dengan baju yang pernah beliau pakai”. Demikianlah samudera
kasih sayang Rasulullah SAW yang harus diteladani (Hendri
Tanjung, 2014).
b. Mengutamakan Pembelajaran
Rasulullah SAW dalam semua bidang kehiduapan yang
digeluti beliau mengajarkan pentingnya pembelajaran. Sebagai
contoh misalnya, kepemimpinan Rasulullah SAW dalam bisnis
sejak menjalani magang (internship) dengan pamannya Abu Thalib
hingga mandiri dan sampai puncak karirnya di usia
35 tahun (menjelang mejadi rasul), dijalaninya dalam empat
metode. 1) meniru (copy paste); 2) coba dan coba lagi (trial and
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
15
error); 3) pengondisian (conditioning); dan 4) berfikir (thinking).
Mengutamakan pembelajaran bagi seorang pemimpin tidak dapat
dinafikan, karena problema kehidupan dalam satu organisasi
seperti organisasi bisnis memerlukan solusi yang sesuai dengan
perkembangan zaman. hal itu diakui oleh para CEO perusahaan
besar dan terkemuka yang menjadikan perusahaannya sebagai
organisasi pembelajaran (learning organization).
c. Mengutamakan Pelayanan
Dalam menjalankan tugas kepemimpinan di bidang bisnis
Rasulullah SAW memberi contoh perlu mengutamakan pelayanan
(costumer service) yang menjadi naluri akhlaknya. Kebiasaan
Muhammad mengutamakan pelayanan dalam kegiatan bisnis
berlanjut dalam kegiatannya setelah menjadi rasul (pemimpin
umat). Dalam mengutamakan pelayanan terhadap umatnya
muhammad SAW menjalankan pola-pola pelayanan berikut: 1)
Murah senyum; 2) Ramah; 3) Menepati Janji; 4) Senang memberikan
hadiah; dan 5) Adil.
d. Mengutamakan Silaturrahmi-Kemitraan (networking)
Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas manajemennya
selalu mengutamakan silaturrahmi-kemitraan (networking)
terhadap staf (pelanggan internal) maupun terhadap stakeholders
(pelanggan eksternal). Dengan gaya silaturrahmi kemitraan
(networking) ini maka hubungan kerja akan terbangun lebih hangat
dan masing-masing pihak akan lebih merasa bertanggung jawab,
karena ada rasa turut memiliki terhadap hubungan kerja tersebut.
Nabi Muhammad SAW dalam praktek kepemimpinannya di
berbagai bidang kehidupan selalu mengajarkan dan memberi
contoh tentang perlu mengutamakan silaturrahmi-kemitraan
(networking) ini, sehingga terbangun kredibilitas dan kapabilitas
kepemimpinanya.
16
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Di antara sifat-sifat yang dianjurkan beliau untuk membangun
silaturrahmi-kemitraan (networking) di antara lain; rendah hati
(tawadhu̕), dermawan, tidak mau bergunjing. Selain menjaga
silaturrahmi-kemitraan (networking), Nabi Muhammad SAW juga
mengajarkan sifat-sifat yang harus di hindari, karena dapat
membahayakan /merusak hubungan baik, seperti: 1) Menjelek-
jelekan (black campaign); 2) Membeda-bedakan pelayanan (Q.S.Ali
Imran:159); 3) Berburuk sangka (Q.S.Al-Hujarat:12); 4) Curang dan
manipulasi (Q.S.An-Nisa:29); dan 5) Membudidayakan sogok atau
riswah (Q.S.Al-Baqarah:188).
e. Internalisasi Agama dalam Kehidupan Pemimpin
Internalisasi berarti proses penghayatan atau pemberian makna
bagi motivasi, pola fikir, pola sikap, atau pola tindakan. Dalam
konteks agama, internalisasi dapat dipahami sebagai proses
pemahaman agama dalam kehidupan seseorang, dalam hal ini
seorang pemimpin, seperti misalnya bagaimana ia menempatkan
agana dalam segala motivasi, pola pikir dan pola tindak dalam
kaitanya dengan kehidupan pribadi, interaksi dengan orang-orang
yang dipimpinnya dan dengan Allah AWT. Pentingnya internalisasi
ini diingatkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an: Artinya: “Hai orang-
orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan
bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.
V. Daftar Pustaka
Abdullah, Prof. Dr. H. Ma̕ruf, SH., MM., Manajemen Berbasis
Syari’ah, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012).
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
17
Arief, Khoril dalam https://manajemenislam.wordpress.com/2013/03/03/
manajemen-syariah/. Diakses 12 Maret 2017 jam 10:21 WIB.
Daft, Richard L., Management-Manajemen, Edisi 6-Buku 1, (Jakarta:
Salemba empat, 2007).
Decenzo, D.A. and S.P. Robbins, Human Resources Management,
(New York: John Wiley and Sons, inc, 1999).
Djalaluddin, Ahmad, Manajemen Qur’ani , (Malang: UIN-Malang
Press, 2007).
Hafidhuddin, Dr. KH. Didin, M.Sc. dan Hendri Tanjung, S.Si.,
M.M., Manajemen Syri’ah dalm Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003).
Isma̕il, Sya̕ban Muhammad, al-Tasyri’ al-Islami: Mashadiruh wa
Athwaruh, (Mesir: Maktabah al-Nahdah al-Mishriyyah,
1985).
Junaedi, Fajar, Manajemen Media Massa; Teori, Aplikasi dan Riset),
(Yogyakarta: Buku Litera, 2014).
Musa, Kamil, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: al-Risalah,
1989).
Ruadiana, dan A.G, Asas-asas Manajemen: Berwawasan Global,
(Bandung: Pustaka Setia, 2014).
Sinn, Dr. Ahamad Ibrahim Abu, Manajemen Syari’ah: Sebuah Kajian
Historis dan Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006).
Stephen, Robbins and Mary Coultar, Manajemen Jilid 1,
diterjemahkan oleh Bob Sabran, Wibi Herdani, (Jakarta:
Erlangga, 2007).
Sunyoto, Drs. Danang, S.H., S.E., M.M., dan Burhanuddin, S.E.,
M.Si., Reori Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: CAPS (Center
Of Academic Publishing Service), 2015).
18
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Supriyadi, Dedi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung: Bandung Pustaka
Setia, 2007).
Sutarman, Dr. H. Maman, M.M.Pd. dan Asih, S.Pd., M.M.Pd.
Manajemen Pendidikan Usia Dini, (Bandung: Pustaka Setia,
2016).
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997.
Tanjung, Hendri, Manajemen Syariah dalam Praktik 9 Nabi dan Rasul,
(Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014).
Taufiq, Ali Murtadho, Praktik Manajemen Berbasis al-Qur’an, (Jakarta:
Gema Insani, 2004).
Zainarti, Manajemen Islami Perspektif al-Qur’an, Jurnal Iqra̕, Vol.08.,
No. 01., Mei 2014.
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
19
Kegagalan Ekonomi Konvensional dan Kekuatan Lain
dari Ekonomi Islam
Dr. Mukhtasar, S. Ag., M.A
IAIN Lhokseumawe
I. Pendahuluan
Manusia mempunyai banyak kebutuhan. Zaman dahulu,
ketika rumah tangga masih bersifat tertutup, kebutuhan manusia
masih bersifat terbatas dan sederhana sehingga setiap keluarga
menghasilkan sendiri produk-produk yang dibutuhkannya. Tetapi
dengan semakin majunya tingkat peradaban, makin banyak dan
bervariasi pula kebutuhan manusia. Usaha untuk memenuhi
kebutuhan tersebut tidak lagi merupakan sesuatu yang sederhana.
Akibatnya terjadilah ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
keinginan yang selalu meningkat dengan kemampuan manusia
menyediakan alat pemuas bagi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Pandangan ekonomi konvensional menjelaskan bahwa
kebutuhan manusia tidak terbatas sementara alat untuk pemuasnya
terbatas sehingga muncullah masalah ekonomi yang disebut
dengan scarcity (kelangkaan). Sedangkan dalam pandangan
ekononi Islam (sebagian pakar) potensi sumber daya untuk itu
cukup tersedia tetapi kemampuan manusia untuk mengolahnya
terbatas sehingga timbullah masalah kelangkaan tersebut. Jadi,
dalam pandangan ekonomi konvensional yang terbatas adalah
sumber daya sementara dalam ekonomi Islam yang terbatas
adalah kemampuan manusia untuk mengolahnya. Untuk itu,
agar kemakmuran masyarakat dan individu tetap tercapai, maka
muncullah beberapa sistem ekonomi (Ramlan Surbakti, 1992).
20
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Abad XIX dan XX terdapat dua sistem ekonomi yang dominan
yang menjadi kiblat bagi negara-negara di dunia yaitu sistem
ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme. Sistem
kapitalisme murni secara relatif sudah tidak ada lagi dan hanya
berlangsung selama 50 tahun pertama abad XIX. Sejak bagian
kedua abad tersebut dan terlebih dalam abad XX, sistem
kapitalisme murni telah kehilangan wajahnya dan mengalami
banyak perubahan sehingga timbullah apa yang dikategorikan
dengan “kapitalisme historis” yang bentuk dan jenisnya
disesuaikan dengan situasi, kondisi, waktu, tempat serta negara,
dan masyarakat yang melaksanakannya.
II. Kegagalan Ekonomi Konvensional
Menurut Frans Seda, ada tiga faktor yang menyebabkan dan
mempengaruhi mengapa kapitalisme tidak dapat dilaksanakan
secara murni di berbagai negara yang menerima atau menyetujui
prinsip-prinsipnya, yaitu: timbulnya permasalahan sosial,
timbulnya konsentrasi kekuasaan di pasar bebas, dan
diperlukannya intervensi negara (Kompas, 15 September 1992). Hal
itu menyebabkan di Amerika Serikat, yang menganggap dirinya
sebagai negara kapitalis yang paling murni dan paling besar
menunjukkan adanya deviasi-deviasi dari sistem ekonomi
kapitalisme murni itu. Contoh deviasi tersebut di antaranya adalah
adanya peraturan dan pengaturan yang tidak lagi rnemberikan
kebebasan penuh kepada pemilikan perseorangan dan juga karena
keterbatasannya sehingga kepemilikan pribadi tersebut semakin
terdesak oleh kepemilikan oleh negara dan korporasi. Begitu juga
motif profit yang mereka jadikan sebagai dasar pijakan dalam
berusaha, terusik oleh adanya sistem perpajakan yang semakin
rumit dan progresif dan adanya pembatasan-pembatasan dalam
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
21
persaingan seperti adanya Undang-undang anti-Trust, dan lain-
lain.
Begitu juga di Jerman, menurut Didik J. Rachbini, negara
tersebut menerapkan sosialis market ekonomi, yaitu suatu upaya
pelunakan terhadap sistem ekonomi pasar sehingga mempunyai
wajah lebih manusiawi. Sebuah inisiatif tidak dikekang agar
dinamika masyarakat tumbuh secara optimal tetapi dipihak lain
dituntut tanggung jawab sosial untuk meminimalkan bias yang
negatif (Kompas, 20 Januari 1993). Demikian pula halnya di negara-
negara yang terkenal dengan sistem ekonomi sosialisme dan
komunisme, di negara-negara tersebut terjadi proses transformasi
dengan diserapnya sistem mekanisme pasar ke dalam sistem
ekonomi mereka seperti terlihat di negara-negara Eropa Timur dan
di Cina (Didik J. Rachbini, 2002).
Tetapi meskipun demikian kata Umar Chapra, negara-negara
ini (tetap) gagal pada berbagai tingkat untuk merealisasikan tujuan-
tujuan yang hendak mereka capai. Banyak di antaranya yang
menghadapi ketidakseimbangan makro ekonomi secara serius.
Bahkan problem-problem yang harus mereka hadapi kian
bertambah. Kekacauan sosial dan kejahatan juga meningkat, secara
umum mereka menghadapi suatu situasi krisis (M. Umer Chapra,
1999). Mengapa hal itu masih terjadi? Chapra melihat hal ini sebagai
sebuah konsekuensi alamiah dan dapat diperkirakan secara baik
atas suatu cacat struktural yang inheren dalam sistem- sistem itu
sendiri. Cacat-cacat itu timbul dari konflik dalam tujuan-tujuannya
yang berakar pada moral dan agama pada masa lalunya dan pada
pandangan dunia dan strateginya sebagai suatu basil dari
sekulerisme dan cerminan sebuah pertentangan dengan tradisi-
tradisi agamanya (M. Umer Chapra, 1999).
Menurut Chapra diperlukan pemikiran kembali sebuah fisafat
yang benar tentang manusia. Hal ini juga dirasakan oleh para
22
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
pemikir ekonomi kontemporer lainnya yang menyadari betapa
pentingnya kajian ekonomi yang berkarakter religius, bermoral,
dan humanis. Gunnar Myrdal misalnya dalam bukunya yang
berjudul Asian Drama (1968), menyusun kembali ilmu ekonomi yang
berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan, baik perorangan,
masyarakat maupun bangsa. Hal yang sama juga dirasakan dan
dilakukan oleh Eugene Lovell dalam bukunya, Humanomics, dan
Schumacher dalam bukunya, Small Is Beautiful, Economics as if People
Matered, dan terakhir oleh Joseph E. Stiglits, mantan anggota Dewan
Penasihat Ekonomi Presiden Bill Clinton yang menulis buku,
Globalization and its Discontents.
Para ekonomi ini menyadari bahwa meniadakan hubungan
kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis adalah suatu
kekeliruan besar dan mencerminkan sikap tidak bertanggung
jawab dalam menjaga keselamatan manusia dan alam semesta.
Untuk itu, di sinilah letak arti pentingnya mengkaji sistem ekonomi
Islam yang oleh Taqiy al-Dîn al-Nabhânî dilihat sebagai sebuah
sistem ekonomi alternatif. Paradigma dan nilai-nilai yang terdapat
dalam sistem ekonomi ini berakar dan dikembangkan dari ajaran
Islam yang bersumber kepada Alquran dan Sunah.
III. Nilai-Nilai Islam
Orientasi dasar dari ilmu ekonomi yang dapat berlainan antara
satu agama dengan agama lain, atau aliran dengan aliran lain
karena kerangka referensi yang berbeda. Misalnya, orang-orang
yang menganut filsafat kapitalisme masih percaya akan adanya
Tuhan tetapi dalam keyakinannya, Tuhan setelah menciptakan alam
dan meletakkan hukum-hukumnya tidak lagi ikut campur dengan
urusan alam, termasuk dalam urusan ekonomi manusia. Semua
persolan terserah kepada masing-masing individu. Oleh karena
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
23
itu, manusia dalam pandangan filsafat ini memainkan peranan yang
sangat sentral sehingga aliran ini bersifat antropocentrisme-
individualisme.
Paham antropocentrisme ini juga diyakini oleh faham marxisme-
sosialisme tetapi bedanya mereka tidak percaya akan adanya
Tuhan yang telah menciptakan alam dan tidak menekankan
pentingnya individu, tetapi lebih mengutamakan kebersamaan
atau kolektivitas. Bagi mereka semuanya adalah materi dan mereka
tidak mengakui adanya sesuatu yang bersifat nonmateri. Oleh
karena itu, paham mereka juga disebut dengan faham materialisme-
sosialisme. Ini jelas berbeda dengan filsafat dan keyakinan yang
terdapat dalam ajaran Islam. Islam meyakini bahwa alam semesta
ini berikut dengan isinya termasuk manusia adalah diciptakan oleh
Allah Swt. (Q.s. al-Fâtihah [1]: 2), Tuhan Yang Maha Pencipta dan
Mahakuasa tersebut telah menunjuk manusia sebagai khalifah-
Nya di muka bumi (Q.s. al-Baqarah [2]: 30). Ini artinya manusia
telah ditunjuk menjadi ‚wakil dan manajer Tuhan di muka Bumi‛.
Manusia berkewajiban untuk berbuat, termasuk di dalam
mengelola alam ini dan atau melakukan tindakan ekonomi, sesuai
dengan keinginan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang
diwakilinya dan melaporkan serta mempertanggungjawabkan
segala perbuatannya tersebut kepada Komisaris Besar tersebut
(Allah Swt.) di hari kemudian (Q.s. al-Baqarah [2]: 202). Untuk
itu, sebagai khalifah manusia harus tahu garis-garis besar dan
pedoman yang telah dibuat dan ditetapkan-Nya yang terdapat
dalam Kitab Suci dan Sunah Rasul-Nya (Q.s. al-Baqarah [2]: 2).
Implikasi dari filsafat dan keyakinan di atas tentu akan
melahirkan sejumlah nilai dasar yang akan mempengaruhi bentuk
dan substansi dari organisasi pemilikan dan tingkah laku dari para
pelaku ekonomi itu sendiri. Ada beberapa nilai dasar yang dapat
diturunkan dari keyakinan dan pandangan filosofis
24
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
di atas. Pertama, nilai dasar kepemilikan. Konsep kepemilikan
dalam Islam tidak sama dengan konsep kepemilikan dalam faham
liberalisme seperti yang dikemukakan John Lock. Bagi John Lock,
setiap manusia adalah tuan serta penguasa penuh atas
kepribadiannya, atas tubuhnya, dan atas tenaga kerja yang berasal
dari tubuhnya. Ini berarti kepemilikan yang ada pada seseorang
adalah bersifat absolut. Oleh karena itu, untuk apa dan bagaimana
dia menggunakan hartanya sepenuhnya adalah tergantung kepada
dirinya. Ini tidak disetujui oleh Karl Marx. Pandangan tersebut,
menurut dia, sangat berbahaya karena akan membawa kepada
kehidupan yang eksploitatif dan penuh konflik.
Karl Marx memandang agar tercipta suatu kehidupan yang baik
(tidak ada konflik antar kelas) kata Marx, kepemilikan individual
terutama kepemilikan terhadap alat-alat produksi harus dihapus
karena inilah yang menjadi biang dan membuat kaum proletar atau
buruh menderita selama ini. Paham komunisme memiliki konsep
bahwa kepemilikan individual benar-benar dihapus sama sekali
dan diganti dengan kepemilikan oleh negara. Kalau dalam
sosialisme, individu masih boleh memiliki kekayaan selain alat- alat
produksi penting. Berbeda dengan dua pandangan di atas, Islam
mengakui kepemilikan individual. Bahkan di samping itu, Islam
juga mengakui akan adanya kepemilikan oleh masyarakat dan oleh
negara.
Tetapi kepemilikan tersebut sifatnya tidaklah absolut, tetapi
relatif. Apa artinya? Kepemilikan yang ada pada seseorang atau
masyarakat atau negara tersebut bukanlah sepenuhnya milik dan
hasil usaha mereka, tetapi itu adalah amanat dan kepercayaan dari
Tuhan kepada mereka (Q.s. al-Ra’d [13]: 28, al-Fajr [89]: 16) yang
harus dijaga, dipelihara, dan dipergunakan dengan sebaik- baiknya
(Q.s. al-Mâ’idah [5]: 7). Oleh karena itu, seseorang tidak boleh
menghambur-hamburkan hartanya (Q.s. al-Isrâ’ [17]: 26-27)
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
25
dan atau mendiamkan hartanya (Q.s. Muhammad [47]: 38). Karena
hal itu akan kehilangan fungsi sosialnya dan akan kehilangan
multiplier effect dan maslahat dari kehadiran hartanya tersebut.
Kedua, nilai dasar kebebasan. Dalam ekonomi kapitalisme,
individu diberi kebebasan yang seluas-luasnya untuk
memanfaatkan atau tidak memanfaalkan harta yang dimilikinya.
Juga untuk masuk atau tidak masuk ke dalam pasar baik sebagai
produsen, distributor atau konsumen. Dalam bahasa yang lebih
ekstrem tidak ada yang bisa membatasi kebebasan seorang individu
kecuali dirinya sendiri. Hal ini tidak dapat diterima oleh faham
sosialisme-komunisme. Mereka melihat kebebasan yang seperti itu
akan membawa kepada anarkisme. Oleh karena itu, kebebasan
tersebut harus ditundukkan untuk kepentingan bersama. Di dalam
Islam kebebasan manusia sangat dihormati. Namun, kebebasan
tersebut bukanlah tidak ada batasnya. Hal-hal tersebut direstriksi
oleh ahkâm al- Syarî‘ah atau hukum-hukum dan ketentuan-
ketentuan agama (Adnân Khâlid al-Turkmânî, thh). Jika hal itu
dilanggar maka menjadi kewajiban bagi negara untuk ikut campur.
Ketiga, nilai dasar keadilan. Keadilan yaitu memberikan setiap
hak kepada para pemiliknya masing-masing tanpa melebihkan dan
mengurangi (Yusut Qardhawi, 1995). Persoalannya sekarang,
siapakah yang berkompeten untuk menentukan hal tersebut?
Dalam sistem sosialisme dan komunisme, hal itu menjadi otoritas
negara, dalam sistem kapitalisme menjadi otoritas individu.
Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, hal itu menjadi otoritas
dan kewenangan Tuhan (Qs. 42; 17). Konsekuensi konsep ini dalam
kehidupan tentu akan menimbulkan perbedaan. Misalnya dalam
sistem sosialisme-komunisme yang menjadikan kebersamaan dan
kesamarataan sebagai nilai utama, maka kebutuhan dijadikan dasar
untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak. mereka
26
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
berpendapat bahwa suatu masyarakat akan dikatakan adil jika
kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan
sandang, pangan, (dan) papan (K. Bertens, 2010).
Jika hal itu tidak terjadi maka berarti telah terjadi praktik
kezaliman. Dalam kapitalisme liberal, konsep keadilan tidaklah
didasarkan kepada kebutuhan tetapi kepada kebebasan itu sendiri.
Menurut konsep ini, adilnya suatu perolehan itu haruslah dibagi
menurut usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan.
Yang tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk
memperoleh sesuatu. Oleh karena itu, di dalam teori keadilan
liberalis ini, membantu orang yang miskin atau dalam kesulitan
sebagai sesuatu yang sangat tidak etis karena mereka mendapatkan
sesuatu tanpa mengeluarkan air keringat sendiri (K. Bertens, 2010).
Sementara dalam Islam keadilan dilihat dari sisi kesesuaian dan
ketidaksesuaiannya dengan ajaran agama seperti yang telah
digariskan di dalam Alquranan dan Sunah. Oleh karena itu,
kepedulian kepada orang yang miskin dan tertindas dalam Islam
akan dilihat sebagai sebuah praktik keadilan karena hal demikian
diperintahkan oleh agama (Q.s. al-Tawbah [9]: 61).
Sementara mengabaikan hal itu merupakan sebuah praktik
kezaliman (Q.s. al-Mâ‘ûn [107]:1-3). Keempat, nilai dasar
keseimbangan. Sistem ekonomi kapitalisme lebih mementingkan
individu dari masyarakat sehingga orang merasakan harga diri dan
eksistensinya. Orang diberi kesempatan untuk mengembangkan
segala potensi dan kepribadiannya, akan tetapi pada umumnya,
individu tersebut terkenal penyakit egoistis, materialistis, pragmatis,
dan rakus untuk memiliki segala sesuatu (Yusuf Qardhawi, 1997).
Hal itu didorong oleh pandangan dan pola hidupnya yang
individualistis dan berorientasi kepada profit motive. Sementara
sistem sosialis lebih mementingkan masyarakat dari individu. Roh
sistem ini sangat berprasangka buruk terhadap individu.
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
27
Oleh karena itu, pemasungan terhadap naluri ingin memiliki dan
menjadi kaya harus dilakukan. Akibat dari kedua sistem ini
terjadilah ketegangan, disharmoni, dan ketidakseimbangan antara
kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
Dalam Islam, masalah keseimbangan ini sangat mendapat
tekanan dan perhatian. Tidak hanya keseimbangan antara
kepentingan orang perorang dengan kepentingan bersama, antara
kepentingan dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, akal dan rohani,
idealisme dan fakta, tetapi juga keseimbangan dalam modal dan
aktivitas, produksi dan konsumsi serta sirkulasi kekayaan. Oleh
karena itu, Islam melarang dan mencegah terjadinya akumulasi dan
sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang, seperti terkandung
dalam makna surah al-Hasyr [59]: 7) yang artinya supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orangorang kaya saja di antara
kamu. Bila terjadi kesenjangan kepemilikan yang tajam antar
individu kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan- kebutuhannya,
maka berarti telah terjadi praktik kezaliman.
Praktik kezaliman harus dihapuskan dan negara harus turun
melakukan intervensi agar keseimbangan ekenomi di tengah-
tengah masyarakat dapat terwujud kembali. Begitu juga dalam hal
pembelanjaan dan pengeluaran, Islam mendorong umat kepada
berperilaku moderat, yaitu tidak isyrâf (boros) tetapi juga tidak
bakhîl (pelit), dalam orientasi pembangunan, kebijakan yang diambil
tidak boleh hanya menekankan kepada pertumbuhan (growth)
tetapi juga kepada pemerataan (equity) agar tercipta keamanan dan
ketentraman di tengah-tengah masyarakat (stability). Kelima, nilai
dasar persaudaraan dan kebersamaan. Dalam paham sosialisme-
komunisme, persaudaraan dan kebersamaan merupakan nilai
yang utama dan pertama.
Nilai-nilai tersebut tidak rusak dan tidak terganggu maka
kepemilikan individual yang menjadi penyebab terjadinya
28
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
perselisihan dan persengketaan harus dihapuskan dan digantikan
oleh negara. Negara yang mengatur produksi, distribusi, dan
konsumsi masyarakat sehinga dengan demikian secara teoretis
tidak akan ada kesenjangan sosial ekonomi dan permusuhan. Di
dalam paham kapitalisme liberalisme hal ini tidak terlalu menjadi
perhatian. Bagi mereka persaudaraan akan dapat terjadi seolah-
olah secara otomatis di luar maksud para pelaku ekonomi itu
sendiri, karena perekat dari persaudaraan itu bagi mereka adalah
kepentingan. Hal ini berbeda dengan ajaran Islam. Kebersamaan
dalam Islam merupakan indikator dari keberimanan seseorang
(Q.s. al-Hujurât [49]: 10).
Nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan ini merupakan
konsekuensi logis dari penunjukan manusia sebagai khalifah
karena penunjukan tersebut bukan hanya untuk orang-orang
tertentu saja tetapi adalah untuk semua orang (Q.s.al-Baqarah [2]:
30). Dengan demikian, seluruh manusia secara potensial di mata
Allah dan memiliki status, kedudukan, dan martabat yang sama.
Oleh karena itu, perbedaan ras, etnik, dan bahasa bukanlah menjadi
variabel pembeda di mata Tuhan. Yang menjadi pembeda bagi
Allah adalah keimanan dan ketakwaannya (Q.s. al-Hujurât [49]: 13).
Islam melarang adanya praktik kezaliman dan ketidakadilan
terhadap sesama dan adanya praktik-praktik eksploitasi sumber
daya alam tertentu oleh seseorang atau kelompok tertentu. Hal
tersebut akan merusak nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan
yang digariskan Islam. Namun, kebersamaan yang dimaksud di
sini juga harus dibingkai dengan kebersamaan etis yaitu suatu
kebersamaan dalam kebaikan dan ketaqwaan, tidak dalam
melanggar ketentuan-ketentuan agama (Qs. al-Mâ’idah [5]: 3). Hal
ini secara ekonomis tentu mempunyai makna dan pengaruh yang
positif terutama di dalam membangun hubungan
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
29
kepercayaan (trust) dan kesetiaan (loyality) dalam bermuamalah
dan akan menghindarkan rasa iri atau persaingan tidak sehat serta
permusuhan antara sesama yang akhirnya akan merugikan semua
pihak.
Nilai-nilai Instrumental Ekonomi Islam Nilai-nilai dasar sebuah
sistem ekonomi baru bisa dioperasionalkan hanya bila terdapat
basis kebijakan (nilai instrumental) yang mendukung. Yang
dimaksud dengan nilai instrumental ialah segala sesuatu yang akan
menjadi persyaratan bagi pelaksanaan dan terlaksananya sistem
tersebut. Dalam sistem ekonomi kapitalis, nilai instrumental
tersebut terletak pada nilai persaingan sempurna dan kebebasan
keluar masuk pasar tanpa restriksi, informasi, dan bentuk pasar
atomistik dari tiap unit ekonomi, pasar yang monopolisitik untuk
mencegah perang harga dan pada waktu yang sama menjamin
produsen dengan kemampuan untuk menetapkan harga lebih
tinggi dari pada biaya marginal.
Sedangkan dalam sistem Marxisme, semua perencanaan
ekonomi dilaksanakan secara sentral melalui proses yang
mekanistik, pemilikan kaum proletar terhadap faktor-faktor
produksi diatur secara kolektif; proses iterasi dan kolektivitas ini
adalah beberapa nilai instrumental yang pokok dari Marxisme
(Ahmad M. Saefudin, 1984). Dalam sistem ekonomi Islam ada
beberapa nilai instrumental yang strategis yang mempengaruhi
tingkah laku ekonomi seseorang, masyarakat, dan pembangunan
ekonomi pada umumnya. Pertama, zakat. Zakat merupakan bagian
dari harta yang harus dikeluarkan oleh seorang Muslim bila harta
mereka telah mencapai nisab dan sudah memenuhi ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh syariah (Q.s. al-Baqarah [2]: 2, 176),
yang ukuran dan peruntukannya juga sudah ada ketetapannya dari
Tuhan sendiri (Q.s. al-Tawbah [9 ]: 60).
30
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Pada masa awal Islam zakat dihimpun oleh negara dan
merupakan sumber pendapatan utama negara. Zakat pada waktu
itu benar-benar merupakan sarana utama untuk menciptakan
keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Aktivitas ini benar-benar
berfungsi menciptakan persaudaraan dan kebersamaan di kalangan
umat, karena dana zakat merupakan salah satu pilar penting dari
sumber dana jaminan sosial.
Adanya instrumen ini secara ekonomi tentu memiliki beberapa
makna, yakni: (1) zakat mendorong terjadinya pendistribusian
pendapatan dan kekayaan dari orang yang berpunya kepada orang
yang miskin atau yang memerlukannya, sehingga kebutuhan
pokok masyarakat terpenuhi dan kesenjangan ekonomi bisa
dikurangi; (2) zakat secara langsung atau tidak tentu akan
mempunyai pengaruh nyata terhadap tingkah laku konsumsi umat
dan penciptaan lapangan kerja apalagi bila zakat tersebut dikelola
melalui usahausaha produktif sehingga secara sosial, zakat dapat
memberikan dampak bagi terciptanya keamanan masyarakat dan
menghilangkan pertentangan kelas yang diakibatkan oleh
perbedaan pendapatan yang tajam; (3) zakat dapat meningkatkan
produktivitas dan daya beli masyarakat dan serta membendung
inflasi.
Kedua, pelarangan riba. Nilai instrumental ini sangat terkait
erat dengan pemberantasan praktik kezaliman dan ketidakadilan
(Q.s. al-Baqarah [2]: 278-279). Secara sempit penghapusan riba
berarti penghapusan eksploitasi yang terjadi dalam utang-piutang
maupun jual-beli (tetapi), secara luas penghapusan riba dimaknai
sebagai penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang
menimbulkan kezaliman atau ketidakadilan (MB. Hendri Anto,
2003). Secara ekonomi, praktik riba jelas tampak tidak berpihak
kepada full employment (terciptanya tenaga kerja penuh) karena
sistem riba atau bunga jelas tidak memberi peluang kepada nasabah
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
31
untuk masuk ke sektor-sektor usaha yang tingkat profitnya sama
atau di bawah dari suku bunga yang ada.
Akibatnya, peluang lapangan kerja menjadi tertutup dan
rekruitmen terhadap tenaga kerja menjadi tidak bisa dilakukan.
Praktik ini diperparah oleh perbankan konvensional yang tidak
mau mengambil risiko rugi sehingga mereka meminta jaminan
kepada para nasabahnya. Kebijakan ini dapat diterapkan kepada
kaum yang berpunya karena merekalah yang memiliki jaminan.
Sementara itu, orang yang miskin meskipun secara teknis mereka
lebih layak untuk mendapatkan kredit karena keahlian dan
kemampuan yang dimilikinya. Namun, karena mereka tidak
memiliki apa-apa untuk dijaminkan, maka mereka tidak bisa
mendapatkannya. Hal ini akan berdampak kepada produktivitas
dan efisiensi.
Di samping itu sistem riba ini secara makro akan meningkatkan
inflasi, karena tingkat suku bunga yang dikenakan kepada
nasabah jelas akan meningkatkan biaya produksi sehingga secara
keseluruhan harga akan naik (inflasi). Bila harga-harga secara
umum meningkat, maka pasti ada kelompok masyarakat yang
terpukul dan akan terkena dampak negatif dari inflasi tersebut
yaitu orang yang berpendapatan rendah sehingga tidak mustahil
mereka yang semula sebagai muzaki akan jatuh miskin. Hal ini
disebabkan terjadinya kenaikan harga-harga yang menyebabkan
mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Ketiga, kerjasama ekonomi. Kalau dalam ekonomi kapitalis
sangat ditonjolkan masalah kompetisi bebas, sehingga mereka
melihat orang lain sebagai kompetitor atau pesaing yang harus
ditundukkan. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis terjadi
sebaliknya. Sistem ini tidak mengenal persaingan karena segala-
galanya sudah diatur oleh negara baik di tingkat produksi,
distribusi maupun konsumsi. Tetapi berbeda dengan kedua sistem
32
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
ekonomi di atas, sistem ekonomi Islam sangat dianjurkan adanya
kerjasama dalam semua tingkat kegiatan ekonomi baik pada sektor
produksi maupun distribusi dan konsumsi.
Kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk syirkah,
mudhârabah, dan/atau koperasi yang fungsinya, menurut Daud Ali
(Mohammad Daud Ali, 1998), akan dapat menciptakan kerja
produktif sehari-hari dari masyarakat (Q.s. al-Baqarah [2]: 190),
meningkatkan kesejahteraan, mencegah kesengsaraan sosial (Q.s.
Âli ‘Imrân [3]: 103, al-Mâidah [5]: 3, al-Tawbah [9]: 71, 105 ),
mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak
merata (Q.s. al-Isrâ’ [17]: 16, al-Hâqqah [69]: 25-37, 89 : 17- 20,107 :1-
7), dan melindungi kepentingan ekonomi lemah (Q.s. al-Nisâ’ [4]: 5-
10, al-Fajr [89]: 17-26 ). Dengan adanya kerjasama ini maka prinsip
yang kuat membantu yang lemah (Q.s. al-Zukhruf [43]: 32) dan
adanya pembagian kerja dan spesialisasi tentu bisa ditegakkan
sehingga kebersamaan, keadilan, dan pertumbuhan serta
pemerataan akan dapat diwujudkan.
Keempat, jaminan sosial. Islam memberikan jaminan terhadap
tingkat dan kualitas hidup yang minimum (basic needs) bagi seluruh
lapisan masyarakat (Q.s. al-Tawbah [9]: 6). Pentingnya jaminan
sosial tersebut terkandung dalam ajaran-ajaran yang mengatakan
bahwa: (1) manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati
oleh semua makhluk Allah (Q.s. al-An’âm [6]: 38, al-Rahmân [55]:
10); (2) Kehidupan fakir miskin harus diperhatikan oleh masyarakat
terutama oleh mereka yang punya (Q.s. al-Dzâriyât [51]:19, al-
Ma‘ârij [70]: 24); (3) Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya
berputar di antara orang-orang kaya saja. (4)
Berbuat kebaikanlah kepada masyarakat sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu (Q.s. al-Qashash [28]: 77), antara lain
dengan menyediakan sumber-sumber alam itu; (5) Seorang Muslim
yang tidak mempunyai kekayaan harus mau dan mampu
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
33
menyumbangkan tenaganya untuk tujuantujuan sosial (Q.s. al-
Tawbah [9]: 79); (6) Seseorang janganlah menyumbang untuk
kepentingan sosial dan juga untuk keperluan pribadi serta keluarga
sebagai unit kecil masyarakat agar dipuji oleh orang lain (Q.s. al-
Tawbah [9]: 262); (7) Jaminan sosial itu harus diberikan sekurang-
kurangnya kepada mereka tersebut (Q.s. al-Baqarah [2]: 273, al-
Tawbah [9]: 60 ), dan lain-lain (Mohammad Daud Ali, 2010).
Dengan melaksanakan ajaran tentang jaminan sosial di atas berarti
manusia di samping telah berusaha mendekatkan dirinya kepada
Allah, membersihkan hartanya, dan membuang sifat riba dan
tamak serta egoismenya, dan telah memberlakukan hartanya sesuai
dengan ketentuan agama. Hal ini akan menciptakan kehidupan
yang berkeadilan dan berkeseimbangan yang penuh dengan
semangat persaudaraan dan kebersamaan.
IV. Daftar Pustaka
Anto, MB. Hendri, Pengantar Ekonomi Mikro Islami, Yogyakarta:
Penerbit Ekonomi, 2003.
Turkmânî, al-, ‘Adnân Khâlid, al-Madzhab al-Iqtishâdî al-Islâmî,
Riyâdh: Maktabah al-Sawâdî, Jâmi‘ah al-Imâm Muhammad
ibn Su‘ûd al-Islâmiyyah, t.th..
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf,
Jakarta: UI Press, 1998.
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2000.
Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi
Kontemporer, diterjemahkan Nur Hadi Ihsan dan Rifki
Amar, Surabaya: Risalah Gusti, 1999.
34
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Islahi, A.A., Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, diterjemahkan oleh
Anshari Thayib, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.
Qaradhawi, Yusut, Peran dan Nilai Moral dalam Perekonomian,
Jakarta: Robbani Press, 1995.
Rachbini, Didik J., Ekonomi Politik, Paradigma, dan Teori Pilihan
Publik, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Saefudin, Ahmad M., Studi Nilai-nilai Sistem Ekonom Islam, Jakarta:
Media Dakwah, 1984.
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islâm, Wazhîfah al-Hukûmah al-
Islâmiyyah, Bayrût: Dâr al-Fikr al-Lubnân, 1992.
Media Massa:
Kompas, 15 September 1992
Kompas, 20 Januari 1993
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
35
Urgensi Memproteksi Diri dengan Asuransi Syariah
Angga Syahputra, S.E.I., M.E.I.
IAIN Lhokseumawe
I. Pendahuluan
Risiko adalah hal yang melekat dalam perjalanan hidup
manusia. Menghindar dari risiko adalah hal yang tidak mungkin
bagi manusia, namun dampaknya dapat diminimalisir jika dikelola
dengan baik. Dalam kehidupan, ada berbagai risiko yang mengintai
manusia, mulai dari hal yang kecil hingga yang besar. 14 abad
yang lalu, Allah Swt. telah mengingatkan manusia agar
mempersiapkan hari esok (QS. Al-Hasyr: 18), karena kita tidak
mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya (QS. Luqman: 34),
untuk itulah manusia penting memanajemen kehidupannya guna
meminimalisir dampak dari risiko kehidupan.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan manusia dalam
memproteksi diri maupun keluarganya adalah dengan berasuransi.
Saat ini asuransi mutlak diperlukan manusia guna meminimalisir
risiko yang ada pada diri. Mulai dari masalah kesehatan,
kerusakan/kehilangan harta benda, pendidikan anak, hingga
kematian. Disrupsi ekonomi saat ini menuntut manusia bekerja
ekstra, hingga terkadang abai terhadap diri sendiri, keluarga,
maupun harta benda yang dimiliki. Untuk itu perlu persiapan
sebagaimana perintah Alquran untuk berjaga-jaga menghadapi
hari esok yang tidak dapat diketahui secara pasti dengan cara meng-
cover diri dengan asuransi syariah.
36
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
II. Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang
dalam hukum Belanda disebut verzekering yang artinya
pertanggungan. Dari istilah assurantie kemudian timbul istilah
assuradeur yang berarti penanggung dan greassureerde yang berarti
tertanggung. Dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta’min,
penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut
mu’amman lahu atau musta’min. Menta’min-kan sesuatu, artinya
adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan agar ia atau
ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang
telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya
yang hilang (Sula, 2004, pp. 30-31).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pasal 246
asuransi disebutkan sebagai berikut (Solahudin, 2006, p. 127):
“Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan
mana seorang menanggung mengikat diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan
dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Istilah lain yang sering digunakan untuk asuransi Islam adalah
takaful yang berasal dari kata kafala yang berarti menanggung,
menjamin; yakfulu, kuflan. (Huda & Heykal, 2010, pp. 153-154).
III. Dasar Hukum
A. Surah Al-Maidah: 2
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
37
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat
siksaan-Nya” (QS. Al-Maidah: 2).
B. Surah Al-Baqarah: 185
“… Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah: 185)
C. Surah Yusuf: 46-49
46. ”Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terangkanlah kepada
kami (takwil mimpi) tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk yang
dimakan oleh tujuh (ekor sapi betina) yang kurus, tujuh tangkai
(gandum) yang hijau dan (tujuh tangkai) lainnya yang kering agar
aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahui.”
47. “Dia (Yusuf) berkata, “Agar kamu bercocok tanam tujuh tahun
(berturut-turut) sebagaimana biasa; kemudian apa yang kamu tuai
hendaklah kamu biarkan di tangkainya kecuali sedikit untuk kamu
makan.”
48. “Kemudian setelah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat
sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya
(tahun sulit), kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu
simpan.”
49. “Setelah itu akan datang tahun, di mana manusia diberi hujan
(dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur)” (QS.
Yusuf: 46-49)
38
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
D. Surah Luqman: 34
“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia
yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.
Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Mengenal” (QS. Luqman: 34).
E. Surah Al-Hasyr: 18
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya
untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh,
Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hasyr:
18).
IV. Pentingnya Berasuransi Syariah
Kehidupan di dunia penuh dengan ketidakpastian dan risiko,
mulai dari sakit, kecelakaan, bahkan berujung pada kematian.
Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, untuk mengatasi
permasalahan hidup tersebut manusia dituntut untuk
merencanakan masa depan secara komprehensif. Secara umum
untuk menikmati masa depan yang lebih baik dan berkecukupan
dari sisi materi diperlukan tabungan yang mampu meminimalkan
risiko tersebut yang pada umumnya disebut dengan tabungan
asuransi.
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
39
Kajian asuransi dalam hukum Islam merupakan hal yang baru,
dan belum pernah ditemukan dalam literatur fiqh klasik.
Pembahasan asuransi dalam wilayah kajian ilmu-ilmu ke- Islaman
baru muncul pada fase lahirnya ulama kontemporer. Bisnis
asuransi adalah sesuatu yang baru dalam dunia Islam dan termasuk
kategori masalah kontemporer yang baru terangkat ke permukaan
pada paruh akhir abad XVIII yaitu tepatnya setelah Ibn Abidin
(1784-1836 M), seorang ahli hukum yang menganut madzhab
Hanafi, mengomentari tentang praktek asuransi dalam sebuah
kitabnya Radd al-Mukhtar(Billah, 2001)
Sebenarnya, cikal bakal asuransi dalam Islam dimulai sebelum
masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw., yakni dimulai pada
awal abad ke-2 Hijriah, yang dikenal dengan istilah aqilah(Pasha,
2011). Aqilah merupakan kebiasaan suku Arab sejak zaman dahulu,
dimana jika ada salah satu suku yang terbunuh oleh anggota dari
suku lain, pewaris korban akan menerima bayaran sejumlah uang
darah (diyat) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari
pembunuh. Saudara terdekat pembunuh tersebutlah yang
dinamakan dengan aqilah, dimana ia harus membayar uang darah
atas nama pembunuh. Menurut tradisi Arab, seluruh anggota suku
ikut memikul tanggung jawab terhadap pembayaran ganti rugi
kepada suku atau keluarga yang terbunuh. Kerjasama yang dipikul
oleh seluruh anggota sebagai beban yang dipikul bersama untuk
meringankan beban bagi anggotanya sebagai wujud semangat
asuransi (Sadeghi, 2010).
Khozin menjelaskan bahwa pembicaraan pertama tentang
asuransi dalam kitab klasik dibahas oleh Ibnu Abidin (1784–1836)
(Khozin, 2008). Beliau dianggap orang pertama dikalangan fukaha
yang mendiskusikan masalah asuransi. Ibnu Abidin adalah seorang
ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali membahas asuransi
dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab Jihad,
40
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Fashl Isti’man Al-Kafir. Dalam tulisannya ia mengungkapkan bahwa
telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari
seorang harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga
membayar sejumlah uang untuk seorang harby yang berada di
negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah (premi
asuransi) dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal
yang disewanya itu, apabila musnah karena kebakaran, tenggelam,
dibajak atau sebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu
menjadi penanggung sebagai imbalan uang yang diambil dari
pedagang itu. Apabila barang-barang mereka terkena masalah yang
disebutkan di atas, maka wakillah yang membayar kepada para
pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar jumlah uang yang
pernah diterimanya. Bahkan sebelum pemerintahan Nabi
Muhammad Saw. pedagang-pedagang dari Mekkah telah
membentuk yayasan yang bertujuan utama untuk membantu
korban-korban atau orang yang selamat dari bencana alam atau
malapetaka selama perjalanan dagang ke Syiria, Irak dan negara-
negara lainnya (Rahman, 1996).
Secara umum, konsep asuransi merupakan persiapan yang
dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing akan
dihadapkan pada kerugian kecil sebagai sesuatu yang tidak dapat
diduga. Apabila kerugian itu menimpa salah seorang dari mereka
yang menjadi anggota perkumpulan itu, maka kerugian itu akan
ditanggung bersama oleh mereka.
Asuransi syariah merupakan suatu usaha penanggulangan
risiko yang akan terjadi di masa mendatang yang menerapkan
konsep Islam di dalam operasionalnya. Sehingga akan terbebas dari
unsur-unsur riba, gharar (tidak jelas), maitsir (perjudian), maupun
unsur-unsur yang dilarang oleh syariat Islam. Ketidakpastian
dalam literatur keuangan dan investasi merupakan sesuatu hal
yang identik dengan risiko. Risiko dapat dimaknai sebagai potensi
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
41
terjadinya suatu peristiwa (evenis) yang dapat menimbulkan
kerugian. Suatu kemungkinan yang akan terjadi, tidak diinginkan,
serta dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi dan
dikelola sebagaimana semestinya (Usman, 2012). Ketidakpastian
cukup erat kaitannya dengan hasil masa depan dari setiap investasi
atau bisnis, dimana sangat dibutuhkan keputusan-keputusan yang
sangat proyektif dari setiap investasi maupun pelaku usaha
(Puspitasari, Manajemen Asuransi Syariah, 2015).
Pada prinsipnya, asuransi syariah adalah transaksi keuangan
berdasarkan prinsip-prinsip kerjasama, tanggung jawab, jaminan,
perlindungan dan bantuan antara kelompok peserta, yang
mewakili bentuk asuransi mutual. Kontribusi/sumbangan yang
diperoleh dari peserta diakumulasi kedalam dana umum yang
disebut dana tabarru‘ atau dana risiko, dimana kompensasi atau
ganti rugi tersebut nantinya akan diberikan kepada peserta yang
menderita kerugian. Ini adalah kebijakan saling kerjasama,
solidaritas, dan persaudaraan terhadap risiko yang tidak terduga
atau bencana, dimana pihak yang terlibat, diharapkan dapat
memberikan kontribusi yang benar (Hamid, 2013, p. 22).
Unit ekonomi ketika dihadapkan dengan ketidakpastian
(risiko) berusaha melakukan spekulasi, memprediksi, atau
memahami masa depan dengan informasi yang tersedia dan alat
pemproses informasi tersebut. Salah satu unit ekonomi yang
mampu meminimalisir dampak di masa mendatang adalah
asuransi. Asuransi bertujuan sebagai lembaga intermediasi dalam
penangungan risiko yang akan terjadi di masa depan, baik terhadap
diri pribadi maupun aset (harta benda) yang dimiliki. Melalui
asuransi seseorang dapat mempersiapkan dirinya maupun aset
yang dimilikinya untuk menghadapi risiko yang mungkin saja
terjadi di masa mendatang (Agusti, 2017).
42
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Asuransi dapat memberikan manfaat bagi pihak tertanggung,
antara lain dapat memberikan rasa aman dan perlindungan, sebagai
pendistribusian biaya dan manfaat yang lebih adil, polis asuransi
dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh kredit, sebagai
tabungan dan sumber pendapatan, sebagai alat penyebaran risiko,
serta dapat membantu meningkatkan kegiatan usaha (Tho’in &
Anik, 2015, p. 15).
V. Kenapa Harus Asuransi Syariah?
Secara umum, asuransi merupakan perjanjian antara
penanggung (dalam hal ini perusahaan asuransi atau reasuransi)
dengan tertanggung (peserta asuransi) di mana penanggung
menerima pembayaran premi dari tertanggung. Penanggung
berjanji membayarkan sejumlah uang atau dana pertanggungan
manakala tertanggung mengalami kerugian, kerusakan, atau
hilangnya suatu barang atau kepentingan yang dipertanggungkan
karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau berdasarkan hidup
atau hilangnya nyawa seseorang. Sebagai suatu bentuk perjanjian
yang tak luput dari suatu kontrak antara dua pihak yang
mengikatkan diri, asuransi bisa diterima apabila melibatkan lima
kondisi pokok, yakni (Rahman, 1996):
a. Ada pihak-pihak yang mengadakan kontrak yaitu penanggung
dan tertanggung;
b. Peristiwa atau musibah yang dialami harus mengandung unsur
ketidaksengajaan;
c. Adanya kesepakatan mengenai jumlah besarnya uang atau
harta si tertanggung yang dijamin apabila mengalami musibah;
d. Besarnya uang pertanggungan telah ditentukan bagi
penanggung asuransi sebagai pengembalian pembayaran
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
43
premi yang dilakukan oleh orang yang mengasuransikan diri
(tertanggung); dan
e. Ketentuan jenis risikonya harus menyangkut kepentingan pihak
yang diasuransikan.
Asuransi konvensional dapat dikatakan tidak dibenarkan
dalam Islam, hal ini dikarenakan:
a. Asuransi konvensional terdapat jahalah (ketidaktahuan) dan
gharar (ketidakpastian), dimana dalam hal ini tidak diketahui
siapa yang mendapat keuntungan atau kerugian pada saat
berakhirnya periode asuransi.
b. Terdapat riba atau minimal subhat riba. Hal ini akan terlihat
lebih jelas dalam asuransi jiwa, dimana seseorang yang membeli
polis asuransi membayar sejumlah kecil dana/premi dengan
harapan mendapatkan uang yang lebih besar di masa
mendatang. Akan tetapi bisa saja ia tidak mendapatkannya. Jadi
pada hakikatnya transaksi ini adalah tukar-menukar uang, dan
dengan adanya tambahan uang yang dibayarkan, jelas ini
mengandung unsur riba.
c. Jenis asuransi konvensional termasuk perjudian (gambling), hal
ini dikarenakan salah satu pihak membayar lebih sedikit harta
untuk mendapatkan harta lebih banyak dengan cara untung-
untungan atau tanpa pekerjaan. Contoh pada asuransi
kecelakaan, jika terjadi kecelakaan, maka korban berhak
mendapat harta/santunan yang dijanjikan, tetapi jika tidak
maka ia tidak akan mendapatkan apapun (Effendi, 2016)
(Qardhawi, 2000).
Bertolak dari asumsi penolakan terhadap asuransi berbasis
konvensional di atas, dalam Fatwa DSN-MUI No. 21/ DSN-
MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, asuransi
syariah merupakan usaha saling melindungi dan tolong-menolong
44
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai
dengan syariah. Di dalamnya terdapat prinsip ta’awun (tolong-
menolong) dan melindungi agar tidak merugikan salah satu pihak
dalam menghadapi tantangan di masa mendatang.
Di sisi lain, praktek aqilah memiliki kemiripan konsep dengan
praktek asuransi Islam yang pertama kali dibentuk. Praktek
asuransi Islami berawal pada pendapat Dewan Yurisprudensi
Islam Liga Dunia Muslim, Mekkah, Arab Saudi, yang menyetujui
adanya Asuransi Koperatif. Organisasi asuransi atas dasar
koperatif dimotivasi oleh sebab yang sama dan pada hakikatnya
mengikuti perkembangan yang sama baik di zaman modern,
maupun di zaman kuno. Negara Islam seharusnya menganjurkan
pembentukan suatu industri asuransi yang dimotivasi oleh jiwa
koperatif karena gagasan koperatif diakui dalam Islam (Puspitasari,
Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam Serta Perbedaannya
dengan Asuransi Konvensional, 2011). Selanjutnya dalam sistem
asuransi koperatif, para penyumbang dana asuransi adalah para
dermawan, dan sumbangan mereka adalah donasi, dengan tujuan
menanggung kerugian yang menimpa siapa saja dari para
penyumbang itu secara bersama-sama. Kompensasi yang diberikan
bertalian dengan kerugian yang diderita dan bukan suatu jumlah
tertentu yang disetujui antara pengasuransi dan yang
diasuransikan pada waktu perjanjian dibuat.
Transfer of risk yang terjadi pada perusahaan asuransi
konvensional seperti di atas dalam pandangan ulama tidak
diperbolehkan. Hal ini karena adanya pemindahan risiko dari
tertanggung ke penanggung setelah tertanggung membayarkan
sejumlah premi kepada perusahaan. Premi menjadi syarat yang
harus dibayarkan sebagai adanya perjanjian asuransi. Sekali premi
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
45
dibayarkan, maka risiko diambil alih oleh perusahaan, dan tidak
ada pengembalian setelahnya. Perusahaan juga dapat dikatakan
melakukan hal yang bersifat untung-untungan, karena jika tidak
terjadi risiko pada seseorang yang ditanggung yang menyebabkan
perusahaan tidak berkewajiban untuk membayarkan klaim pada
diri tertanggung, maka perusahaan dapat dibilang beruntung.
Sementara, perusahaan akan merugi jika terjadi risiko besar pada
diri ataupun aset tertanggung yang menyebabkan perusahaan
mengharuskan menanggung risiko yang terjadi tersebut. Hal ini
mengandung unsur-unsur perjudian, spekulasi dan riba, sehingga
dalam pelaksanaannya asuransi berbasis konvensional tidak
dibenarkan dalam Islam. Menurut Spence dan Zeckhauser dalam
Husain dan Pasha, asuransi konvensional merupakan kontrak yang
terjadi antara dua pihak, pihak pertama (peserta asuransi) setuju
untuk melakukan pelimpahan risiko ke pihak lain (asuransi) dengan
imbalan premi, dan pihak lain (asuransi) berjanji untuk membayar
sejumlah uang santunan ke pihak pertama apabila terjadinya
kejadian yang tidak menentu dalam waktu tertentu.
Dalam rangka meminimalisasir risiko kerugian yang muncul,
berbagai perusahaan asuransi menawarkan rasa aman dari berbagai
ketakutan dan kekhawatiran, baik menggunakan prinsip syariah
maupun konvensional. Dalam operasional kegiatan usahanya
asuransi syariah mengenal konsep sharing of risk. Sharing of risk
terdiri dari dua kata sharing (saling berbagi) dan risk (risiko),
dimana memiliki pengertian saling menanggung risiko atau saling
berbagi risiko. Selanjutnya Muhammad Syakir Sula menjelaskan
bahwa apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi
syariah saling menanggung risiko tersebut. Dengan demikian tidak
terjadi transfer risiko (transfer of risk) dari peserta ke perusahaan,
karena dalam pelaksanaannya, kontribusi (pada asuransi
konvensional dikenal dengan istilah premi) yang
46
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
dibayarkan oleh peserta asuransi syariah tidak terjadi pada apa
yang disebut transfer of fund, status kepemilikan dana tersebut
masih tetap melekat pada peserta sebagai shahibul mal (pemilik
dana). Peserta asuransi syariah diikat oleh akad untuk saling
membantu (ta’awun), melalui instrumen syariah yang disebut
dengan dana tabarru’ (dana kebajikan). Dimana masing-masing
pihak mengeluarkan kontribusi yang besarannya meminjam tabel
kematian (mortality tables) untuk asuransi jiwa, dan untuk asuransi
kerugian dapat dihitung berdasarkan pada statistik kerugian (loss
statistics).
Dalam pengelolaan dananya, para peserta asuransi syariah
(pemegang polis) mempercayakan dana-nya untuk dikelola oleh
perusahaan. Pengelolaan dimaksud meliputi pengelolaan risiko dan
investasi. Pengelolaan ini sesuai akad yang disepakati dan sesuai
dengan kaidah syariah yang berlandaskan syariat Islam (Alquran,
Hadis dan Fatwa Ulama) serta peraturan perundang- undanganan
terkait syariah yang berlaku (Undang-undang, Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan).
Kontribusi/premi yang berasal dari peserta asuransi syariah bukan
hak perusahaan asuransi, melainkan hak bersama para peserta
asuransi syariah, dan sebaliknya risiko/klaim yang timbul juga
bukan tanggungan perusahaan asuransi syariah namun ditanggung
bersama oleh para peserta asuransi syariah. Maka sebagai
pemegang kepercayaan dari para peserta, perusahaan asuransi
syariah akan senantiasa mengelola secara transparan. Atas jasanya
dalam mengelola dana dan risiko yang diberikan oleh peserta,
perusahaan asuransi syariah mendapatkan fee (ujrah) atas
bantuannya dalam pengelolaan tersebut. Perusahaan asuransi
syariah tidak berhak sedikit pun untuk mengambil dana tabarru’
selain dari ujrah yang disepakati bersama antara peserta asuransi
syariah dengan perusahaan asuransi syariah.
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
47
Begitu pula dalam hal bagi hasil, keuntungan yang diperoleh
oleh investor dan diberikan kepada perusahaan asuransi syariah
harus diperjanjikan diawal persentase yang diterima oleh pemilik
modal dalam hal ini adalah peserta asuransi syariah dan pengelola
modal yakni perusahaan asuransi syariah itu sendiri. Apabila
terjadi musibah terhadap salah seorang peserta, maka perusahaan
asuransi syariah bertindak sebagai pengelola klaim yang mewakili
para peserta lain untuk memberikan manfaat (klaim). Dana
manfaat (klaim) yang disalurkan ke peserta asuransi syariah,
sesungguhnya berasal dari para peserta itu sendiri, sehingga tidak
terjadi exchange (transaksi) antara peserta dan perusahaan asuransi
syariah seperti pada transaksi di asuransi konvensional. Sharing of
risk yang diberlakukan pada sistem asuransi syariah ini
merupakan implementasi dari Hadis riwayat Muslim bahwa Nabi
Saw. bersabda: “Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu
bangunan yang memperkuat antara satu sama lain”, dan “Orang-
orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti
satu badan. Apabila salah satu anggota badan menderita sakit,
maka seluruh badan merasakannya”. Maka, begitu pula dalam
asuransi syariah, jika salah seorang peserta mengalami musibah,
sudah sewajarnyalah anggota yang lain merasakan musibah
tersebut dan ikut membantu peserta yang mengalami musibah.
VI. Daftar Pustaka
Agusti, N. (2017). Sharing Of Risk Pada Asuransi Syariah (Takaful):
Pemahaman Konsep Dan Mekanisme Kerja. Jurnal MD, 3(2),
183.
Billah, M. M. (2001). Principles and Practices of Takaful and Insurance
Compared. Malaysia: IIUM Press.
48
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Effendi, A. (2016). Asuransi Syariah di Indonesia (Studi Tentang
Peluang ke Depan Industri Asuransi Syariah). Wahana
Akademika, 3(2).
Hamid, M. A. (2013). The Ownership of Islamic Insurance (Takaful)
in Malaysia. International Journal of Advances in Management
and Economics, 2(6), 22.
Huda, N., & Heykal, M. (2010). Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan
Teoritis Dan Praktis. Jakarta: Prenada Media Group.
Khozin, M. (2008). Prinsip Pemikiran Asuransi Islam. Al-Fikra:
Jurnal Ilmiah Keislaman, 7(1).
Pasha, M. M. (2011). Conceptual and Operational Differences
Between General Takaful and Conventional Insurance.
Australian Journal of Business and Management Research, 1(8).
Puspitasari, N. (2011). Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam
Serta Perbedaannya dengan Asuransi Konvensional. Jurnal
Ekonomi Akuntasi dan Manajemen, 10(1).
Puspitasari, N. (2015). Manajemen Asuransi Syariah. Yogyakarta: UII
Press.
Qardhawi, Y. (2000). Halal dan Haram dalam Islam.Jakarta: Robbani
Press.
Rahman, A. (1996). Doktrin Ekonomi Islam (Vol. 4). Yogyakarta: Dana
Bhakti Wakaf.
Sadeghi, M. (2010). The Evolution of Islamic Insurance–Takaful: a
Literature Survey. Insurance Markets and Companies: Analyses
and Actuarial Computations, 1(2).
Solahudin, M. (2006). Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Sula, M. S. (2004). Asuransi Syariah (life and general).Jakarta: Gema
Insani Press.
Manajemen dan Ekonomi Syariah
|
49
Tho’in, M., & Anik. (2015). Aspek-Aspek Syariah Dalam Asuransi
Syariah. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 1(1), 15.
Usman, R. (2012). Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia.
Jakarta: Sinar Grafika.
50
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
BAB DUA
SYARIAT ISLAM, KEUANGAN, DAN
INVESTASI SYARIAH
Menelusuri Benang Merah Syari’at Islam dan Investasi
Dr. Malahayatie, S.HI, MA
IAIN Lhokseumawe
I. Pendahuluan
Syari’at Islam adalah segala peraturan yang telah diisyaratkan
Allah, atau Allah telah mensyariatkan dasar-dasarnya, agar
manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri dalam
berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan
sesama manusia dengan alam semesta dan berkomunikasi dengan
kehidupan (Hasby ash Shiddieqy, 1974). Pengertian syariat Islam
menurut Mahmud Syaltut adalah;
“Syariat menurut bahasa ialah : tempat yang didatangi atau dituju
oleh manusia dan hewan guna meminum air. Menurut istilah
ialah : hukum-hukum dan aturan yang Allah syariatkan
51
52
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama
manusia. Di sini kami maksudkan makna secara yang istilah
yaitu syari’at tertuju kepada hukum yang didatangkan al-qur’an
dan rasulnya, kemudian yang disepakati para sahabat dari
hukum hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu
nash dari al-qur’an atau as-sunnah. Kemudian hukum yang
diistimbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad
menetapkan hukum dengan perantaraan qiyas, karinah, tanda-
tanda dan dalil-dalil”.
Sedangkan Syariat menurut Salam Madkur adalah: “Tasyri
ialah lafadl yang diambil dari kata syari’at yang di antara maknanya
dalam pandangan orang Arab ialah; jalan yang lurus dan yang
dipergunakan oleh ahli fikih islam untuk nama bagi hukum-
hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya dan dituangkan
dengan perantaraan rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan
penuh keimanan baik hukum-hukum itu berkaitan dengan
perbuatan ataupun dengan aqidah maupun dengan akhlak budi
pekerti. dan dinamakan dengan makna ini dipetik kalimat tasyri
yang berarti menciptakan undang-undang dan membuat qaidah-
qaidah Nya, maka tasyri menurut pengertian ini ialah membuat
undang-undang baik undang-undang itu datang dari agama dan
dinamakan tasyri samawi atau pun dari perbuatan manusia dan
pikiran mereka dinamakan tasyri wadl’i.” (Madkur, 1963).
Syari’at Islam dalam definisi yang lain syari’at Islam adalah
hukum Allah yang membuat seseorang menjadi muslim, sebab
sistem hukum tersebut mencakup segala aspek kehidupan sehari-
hari. Meliputi hukum perdata Islam, hukum dagang Islam dalam
aspek transaksi bisnis dan perdagangan (fikih muamalah), hukum
pidana (fikih jinayah), dalam hal memilih pemimpin atau kepala
daerah, menerapkan hukum fikih syiasah, hukum yang mencakup
tata krama dalam keluarga, peradilan dan sebagainya yang jika
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
531
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan memperoleh jaminan
hidup harmonis dalam kehidupan dunia dan mencapai tingkat
kesejahteraan hidup di akhirat (Kurniawan Zein dan Saifuddin HA,
2001).
Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa yang dimaksud Syari’at
Islam adalah apa yang disyari’atkan Allah berupa hukum-hukum
yang ditetapkan dengan dalil ijma’ dan qiyas serta dalil-dalil
lainnya (Yusuf Qardhawi, 1996). Adapun Mahmud Syaltut
mengemukakan tentang pengertian syari’at adalah sebutan bagi
berbagai penuturan dan hukum yang telah disyari’atkan Allah atau
disyari’atkan prinsip-prinsipnya lalu diwajibkan kepada kaum
muslimin agar berpegang teguh pada syari’at tersebut dalam
melakukan hubungan dengan Allah dan antar manusia. Dari
beberapa definisi tentang syari’at, sebagaimana tersebut di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada intinya syari’at adalah
ketentuan Allah yang berkaitan dengan perbuatan subjek hukum,
berupa melakukan suatu perbuatan, memilih, atau menentukan
sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang. Dan bila syari’at
dikaitkan dengan investasi, maka artinya, perbuatan subjek hukum
dalam hal melakukan suatu investasi harus sesuai dengan
ketentuan syari’at (Abdul Aziz, 2010).
II. Konsep Investasi Syariah
a. Investasi dalam Islam
Investasi dalam Islam disebut Berasal dari kata .
Tsamar dalam Mujam Maqayis al-Lughah menurut bahasa adalah
sesuatu yang dilahirkan dari sesuatu secara kolektif.
artinya ia bagus dalam mengelola hartanya. artinya
mudah-mudahan Allah menumbuhkan dan mengembangkan
hartanya (Ahmad bin Faris al-razi, 1979). Dalam kamus al-
54
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Munawwir (berbuah), (kaya, hartawan) ,
(mengembangkan, mengusahakan harta agar
bertambah, menanamkan modal) (Munawwir, 2002).
Menurut al-Qalyubi, investasi itu pada dasarnya adalah
dianjurkan sedangkan menurut Asyraf Muhammad Dawwabah
Islam mewajibkan pentingnya menginvestasikan harta dan
melarang untuk menyia-nyiakannya, demi untuk memelihara dan
mengembangkannya, sehingga harta tidak akan habis ketika harus
dikeluarkan untuk sedekah. Islam memposisikan harta sebagai
salah satu maqasid syari’ah (Asyraf Muhammad Dawwabah, 2008).
Salah satu diantara maqasid syari’ah adalah hifdzul mal (menjaga
harta).
Memiliki kekayaan tetapi membiarkan tidak dimanfaatkan
akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan
produktivitas perekonomian. Orang seperti ini dianggap bakhil dan
akan mendapatkan dosa, karena Allah Swt menganugrahkan
kekayaan sebagai kenikmatan yang layak untuk dinikmati dan pada
gilirannya akan memebri manfaat pada orang lain. Dalam kasus
pemilikan tanah (pertanian), misalnya Rasulullah saw. melarang
seseorang memiliki tanah, tetapi dibiarkan terlantar tanpa
dimanfaatkan sedikitpun. Secara ekonomi, tindakan ini akan
menyebabkan penurunan produktivitas pertanian dan menutup
kesempatan bagi siapa sajah yang mampu memanfaatkan tanah
tersebut (M. Ismail Yusanto dan M. Arif Yunus, 2009).
Islam juga melarang menimbun uang (kanz al-mal), yaitu
mengumpulkan uang sekedar untuk mengumpulkan, bukan untuk
motif mencukupi transaksi pada masa datang (idzkhar atau
saving). Seseorang yang menyimpan uang hakikatnya telah
menarik uang itu dari pasar. Jika itu terjadi terus menerus dan
makin lama makin banyak, tak ubahnya seperti mengurangi darah
dari sirkulasi di dalam tubuh Q.S. At- Taubah: 34) Artinya:
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
551
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari
orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan
harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia)
dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan
tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada
mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS. At-
Taubah, 9: 34)
Kebijakan yang mengarah pada pemanfaatan dan pengeloaan
harta kekayaan dengan sebaik-baiknya akan mendorong
optimalisasi sumber daya. Lahan pertanian yang ditelantarkan,
uang yang disimpan tanpa keperluan dan harta kekayaan lainnya
yang sengaja ditimbun tanpa ada maksud untuk dimanfaatkan akan
menimbulkan sistem penguasaan tanah yang buruk dan
penimbunan modal. Tindakan ini, disamping akan membuat
kekayaan yang ada tidak optimal dimanfaatkan. Juga akan
merugikan masyarakat secara keseluruhan (M. Ismail Yusanto dan
M. Arif Yunus, 2009).
Sedangkan secara istilah investasi merupakan suatu kegiatan
penempatan dana pada aset produktif dengan harapan
mendapatkan pertumbuhan modal dalam jangka waktu tertentu.
Pada dasarnya investasi secara konvensional dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan bisnis yang pasif karena tanpa melibatkan
lansung penanam modal. Berinvestasi adalah salah satu langkah
strategis yang bisa dilakukan setiap orang untuk menghasilkan
keuntungan lebih.
Namun menurut Jack Clark Francis investasi adalah
penanaman modal yang diharapkan dapat menghasilkan tambahan
dana pada masa yang akan datang. Berdasarkan definisi investasi,
dapat disimpulkan bahwa investasi merupakan suatu bentuk
pengorbanan kekayaan di masa sekarang untuk mendapatkan
56
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
keuntungan di masa depan dengan tingkat risiko tertentu (Francis,
Jack C, 1991).
Investasi adalah suatu ikhtiar dan pengorbanan untuk
menghasilkan kemanfaatan yang Iebih besar sebagai imbalan dari
ikhtiar dan pengorbanan tersebut. Menurut ekonomi makro,
sumber dana investasi berasal dari kelebihan pendapatan nasional/
daerah atau sering disebut sebagai tabungan nasional/daerah
sedangkan menurut ekonomi mikro investasi merupakan langkah
pembelanjaan sumber daya/dana untuk membangun fasilitas
produksi baru maupun tambahan dari yang telah ada dalam rangka
memperoleh ataupun memperbesar perolehan laba.
Investasi dalam teori ekonomi berarti penambahan terhadap
stok modal fisik, apakah itu melalui pembangunan rumah-rumah,
pembuatan mesin, pembangunan pabrik/kantor ataupun tambahan
terhadap persediaan barang. Selain investasi dalam artian fisik ini
ia juga dapat diartikan dengan investasi dalam modal manusia
(human capital). Inilah ciri khas investasi konvensional. Ia hanya
melihat bahwa pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada
tenaga kerja dan jumlah (stock) kapital. Investasi akan menambah
jumlah (stock) daripada kapital. Tanpa investasi maka tidak akan
ada pabrik/mesin baru dan dengan demikian tidak ada ekspansi.
Teori tentang investasi pada umumnya hendak menjelaskan faktor-
faktor (variabel) yang mempengaruhi investasi. Beberapa faktor
yang diduga kuat pengaruhnya terhadap investasi ini antara lain
tingkat bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan, serta
perkiraan (expection) tentang penjualan serta kebijaksanaan
ekonomi (Abdul Aziz, 2010).
b. Prinsip Dasar Berinvestasi
Islam menganjurkan untuk menjaga harta benda serta
mencegahnya dari kehilangan. Sebagaimana Allah berfirman
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
571
dalam Al-Quran: Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada
dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik. (QS. An-Nisa, 4: 5) (Depag, 2008).
Kalau kita lihat ayat di atas Allah menegaskan dengan kata
, bukan. Menurut Imam Ar-Razi ayat di
atas menggunakan kalimat supaya kita tidak menjadikan harta
mereka sebagai rezeki, akan tetapi menjadikannya sarana untuk
mendapatkan rezeki dengan cara mengembangkannya untuk
mendapatkan keuntungan. Umar bin Khatab Ra berkata: dagangkan
harta anak yatim dan jangan makan zakat dari penghasilannya.
Namun sesuai prinsipil, bahwa aktivitas perdagangan dan usaha
yang sesuai dengan syariah adalah kegiatan usaha yang tidak
berkaitan dengan produk atau jasa yang haram seperti makanan
haram. Selain itu juga menghindari cara perdagangan dan usaha
yang dilarang, termasuk yang tergolong praktik riba, gharar, dan
maysir.
Secara lebih spesifik, Metwally mengembangkan suatu fungsi
investasi dalam perekonomian Islam akan sangat berbeda dari
perekonomian yang non-Islami (konvensional). Model yang
dikembangkan mengasumsikan tingkat suku bunga nol, adapun
asumsi lain yang digunakan adalah: 1) Terdapat denda untuk
penimbunan aset-aset yang tidak termanfaatkan; 2) Dilarangnya
segala bentuk spekulasi dan tindakan perjudian; 3) Tingkat suku
bunga pada semua jenis dana pinjaman adalah nol.
Jadi, para investor dapat memilih di antara tiga alternatif untuk
memanfaatkan dananya (a) memegang dananya dalam bentuk
tunai (b) memegang dananya dalam bentuk aset-aset yang tidak
menghasilkan pendapatan (contoh: deposito bank, pinjaman,
properti) atau (c) menginvestasikan dananya (menjadi
58
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
investor dalam proyek yang dapat menambah persedian modal
negara). Menurut beberapa pandangan kontemporer, seorang
Muslim yang menginvestasikan dana atau tabungannya tidak akan
dikenakan pajak pada jumlah yang telah diinvestasikannya, tetapi
dikenakan pajak pada keuntungan yang dihasilkan dari
investasinya, karena dalam perekonomian Islami semua aset-aset
yang tidak termanfaatkan dikenakan pajak, jadi investor Muslim
akan lebih baik memanfaatkan dananya untuk investasi daripada
mempertahankan dananya dalam bentuk yang tidak termanfaatkan
(Mohammad Amien Rais, 2008).
III. Peran Modal Dalam Investasi Syariah
a. Pengertian Modal
Modal dalam Islam disebut juga dengan (ras al-mal).
Allah SWT, berfirman:Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul- Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya. (QS. Al-Baqarah,2: 279). Ras al-mal menurut bahasa adalah
pokok harta tanpa laba maupun tambahan.Dalam hadits
diistilahkan juga dengan sulb al-mal . Sebagaimana dalam hadits
riwayat Imam Nasai.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan tidak
ada padanya air segar selain sumur Rumah, kemudian beliau bersabda:
“Barangsiapa membeli sumur Rumah kemudian meletakkan padanya
embernya bersama dengan ember orang-orang muslim dengan kebaikan
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
591
darinya, maka ia akan berada dalam Surga.” Lalu aku membelinya dari
hartaku secara murni. Sedangkan menurut Afzalurrahman, modal
adalah kekayaan yang membantu menghasilkan kekayaan
selanjutnya (Muhammad Afzalurrahman, 2010).
b. Urgensi Modal
Afzalurrahman mengatakan, Rasulullah saw. menekankan
pentingnya modal dalam ucapan ini: “Tidak akan ada
kecemburuan kecuali dalam dua hal: orang yang diberi oleh Allah
kekayaan (atau modal) dan kekuasaan untuk membelanjakannya
dalm menegakkan kebenaran, dan orang yang dijamin oleh Allah
dengan ilmu pengetahuan yang banyak untuk menilai dan
mengajarkannya pada orang lain. (Bukhari).
Petumbuhan modal dianggap penting dan setiap Muslim
diharapkan untuk menginvestasikan uangnya ke dalam bisnis.
Sehubungan dengan ini, hadist berikut berarti: “Tuhan tidak
memberkahi harga tanah tanah dan rumah yang tidak
diinvestasikan lagi pada sebuah tanah”, (Ibn Majah dan Kitab al-
Karaj li Yahya). Hadist lain yang menekankan pentingnya modal,
mengungkapkan: “Barangsiapa yang menjual sebuah rumah atau
tanah yang mendatangkan keuntungan, lalu tidak
menginvestasikan kembali uang itu ke dalam sesuatu yang sejenis
itu, ia tidak akan diberkati.
c. Macam-Macam Modal
Secara fisik terdapat dua jenis modal yaitu fixed capital (modal
tetap), dan circulacing capital (modal yang bersirkulasi). Fixed
capital contohnya gedung-gedung, mesin-mesin, mobil dan lainnya
yaitu, benda-benda yang ketika manfaatnya dinikmati, eksistensi
subtansinya tidak berkurang. Adapun circulat capital itu seperti
bahan baku, uang dan lainnya yaitu benda-benda yang
60
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
ketika manfaatnya dinikmati, substansinya juga hilang (Mustafa
Edwin Nasution, 2007).
Perbedaan keduanya dalam syari’ah dapat kita lihat sebagai
berikut.Modal tetap pada umumnya dapat disewakan tetapi tidak
dapat dipinjamkan (qarhd). Sedangkan modal sirkulasi yang
bersifat konsumtif bisa dipinjamkan (qardh), tetapi tidak dapat
disewakan. Hal itu disebabkan karena ijarah (sewa menyewa, pen)
dilakukan kepada benda-benda yang memiliki karakteristik
substansinya dapat dinikmati secara terpisah atau secara sekaligus.
Ketika sebuah barang disewakan, ia dinikmati oleh penyewa
namun status kepemilikannya tetap pada siempunya. Uang tidak
memiliki sipat seperti itu.
Modal yang masuk pada kategori tetap seperti kendaraan akan
mendapatkan return on capital dalam bentuk upah dari penyewaan
jika transaksi yang digunakan ijarah. Juga mendapatkan return on
capital dalam bentuk bagian dari laba jika yang digunakan adalah
musyarakah. Circulating capital (dalam hal ini uang) tidak akan
return on capital dalam bentuk ijarah. Uang dalam Islam bukan
sebagai komoditas yang bisa disewakan atau diperjualbelikan. Ia
dibutuhkan sebagai alat tukar saja. Ia memiliki return on capital
bila dikembangkan dalam bentuk akad mudharabah. Ia juga dapat
dipinjamkan tetapi tidak diperbolehkan pengembaliaannya
melebihi pokok. Kelebihan dmikian termasuk riba.
Hal senada juga dikatakan oleh Hulwati dia mengatakan,
perbedaan uang dengan modal adalah modal akan tetap kalau
disewakan, ketika modal dalam bentuk barang disewakan, maka
pemilik dapat keuntungan dari sewa. Ketika masa sewa berakhir
barang dikembalikan pada pemilik, tetapi tidak dapat dipinjamkan.
Sementara modal dalam uang dapat dipinjamkan tetapi ia tidak
dapat disewakan. Ketika seseorang meminjam uang, maka
peminjam mesti mengembalikan dalam jumlah yang sama.
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
611
Kelebihan dalam nilai pokok adalah riba. Karena uang dalam Islam
bukan komoditi yang dapat disewa beli dengan kelebihan, maka
uang hanya sebagai alat tukar saja, akan tetapi ia dapat memberikan
keuntungan kalau dikembangkan dalam bentuk mudharabah.
Uang bukanlah komoditi yang mempunyai harga sehingga
dapat diperjual belikan.Fungsi uang hanya sebagai medium of
change dan unit of account. Dalam kaidah dikatakan:
“Setiap yang dimanfaatkan dan barangnya tetap ada bisa
disewakan dan apa yang tidak maka tidak bisa disewakan”.
Oleh karena itu dalam Islam uang, air, susu, buah-buahan,
bahan bangunan, barang yang ditimbang dan ditakar dan lain
sebagainya tidak bisa disewakan karena ketika digunakan dan
dimanfaatkan ain/dzatnya akan hilang.
d. Ketentuan Islam Mengenai Modal
Beberapa ketentuan hukum Islam mengenai modal
dikemukakan A. Muhsin Sulaiman, sebagaimana yang dikutip
oleh
Rustam Effendi (Rustam Effendi
,
2003), adalah sebagai berikut:
1. Islam mengharamkan penimbunan modal
2. Modal tidak boleh dipinjam dan meminjamkan dengan
cara riba
3. Modal harus dengan cara yang sama dengan mendapatkan
hak milik (dengan cara yang halal misalnya)
4. Modal yang mencapai nisab, zakatnya wajib dikeluarkan
(85 gram emas)
5. Modal tidak boleh digunakan untuk memproduksi dengan
cara boros
62
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
a) Pembayaran gaji buruh/pekerja harus sesuai dengan
ketentuan gajih dalam Islam.
IV. Tujuan dan Eksistensi Syari’at Islam
a. Tujuan Syari’at Islam
Menurut al-Ghazali tujuan syari’ah bagi manusia adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh manusia yang terbagi atas
lima faktor, yaitu: 1) menjaga agama mereka (hifdzu al-diin); 2)
menjaga nyawa (kehidupan) mereka (hifdzu al-nafs); 3) menjaga akal
(pikiran) mereka (hifdzu al-’aql); 4) menjaga keturunan (generasi)
mereka (hifdzu al-nasl); dan 5) menjaga harta benda mereka (hifdzu
al-mal). Perlindungan terhadap kelima faktor tersebut, bukan hanya
kepentingan individu, tetapi juga merupakan penjaminan terhadap
kepentingan publik. Pemerintah (penguasa) merupakan pihak yang
dibebani Allah SWT untuk mengontrol dan melindungi kepentingan
publik dengan otoritas dan beragam sarana yang dimilikinya.
Jadi, tujuan utama syari’ah adalah mendidik setiap manusia,
memantapkan keadilan dan merealisasikan keuntungan bagi setiap
manusia di dunia maupun di akhirat. Syari’at mengatur setiap
aspek kehidupan umat Muslim, baik politik, ekonomi dan sosial
dengan menjaga keyakinan, kehidupan akal, dan kekayaan mereka.
Tujuan Allah SWT merumuskan syari’at Islam adalah untuk
kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif. Taklif itu baru dapat
dilaksanakan bila memahami sumber hukum Islam, kemudian
tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang
dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam
arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang
menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum Islam adalah
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
631
untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-Anbiya ayat 107
yang berbunyi: “dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan
memeliharanya dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut
tingkat prioritas kebutuhan, yaitu kebutuhan daruriyat, kebutuhan
hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud dan
terpelihara. Memelihara kebutuhan daruriyat dimaksudkan
perwujudan dan perlindungan terhadap lima pokok yang telah
diuraikan dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya.
Memelihara kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan
perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan dalam kelestarian
lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan
daruriyat. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan
membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi
membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha
mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya; sedangkan
kepicikan dan kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu
disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan
melestarikan tiga kategori kebutuhan tersebut, Allah SWT
menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu,
maka kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf
akan terwujud dan terpelihara, yang merupakan kebahagiaan bagi
umat manusia atau yang biasa disebut keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia (Abdul Aziz, 2010).
b. Eksistensi Syari’at Islam
Syariah Islam compatible bagi segala kebutuhan dan tuntutan
kehidupan manusia. Teks-teks Syariah (nusûs al-syarî’ah) dapat
mewujudkan-bagi manusia-maslahah pada setiap ketentuan
hukumnya. Tidak ada satu pun masalah hukum yang muncul
64
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
kecuali sudah ada-di dalam Kitab Allah-petunjuk jalan solusi
atasnya (Husain Hâmid Hisân, 1971). Syariah Islam merupakan
syariah yang selaras dengan fitrah kemanusiaan (syarî’at al-fitrah),
yang memperhatikan segenap sisi kehidupan manusia, dan yang
menawarkan tuntunan hidup yang berkeadilan. Syariah Islam juga
merupakan syariah yang selaras dengan moralitas kemanusiaan
yang luhur, yang membebaskan manusia dari cengkeraman kuasa
hawa nafsu yang destruktif. Syariah Islam merupakan syariah yang
bervisi dan bermisi mulia (Mannâ‘ al-Qattân, 1982).
Syariah Islam senantiasa memperhatikan realisasi maslahah bagi
segenap hamba-Nya. Karena itulah, konsep maslahah memberi
saham besar bagi terwujudnya panduan yang layak diperhatikan
sang mujtahid guna mengetahui hukum Allah atas perkara yang
tidak ditegaskan oleh nass Syara’ (Sa’îd Ramadân al-Bûti, 2000).
Jelaslah bahwa maslahah menjadi elan vital bagi Syariah Islam
sehingga ia senantiasa memiliki relevansi dengan konteks
zamannya; dan ini pada gilirannya menjadikan Syariah Islam tetap
up to date menyapa segenap persoalan kehidupan manusia dengan
cahaya ajarannya yang mencerahkan.
Fondasi bangunan Syariah Islam itu direpresentasikan oleh
maslahah yang ditujukan bagi kepentingan hidup manusia sebagai
hamba Allah, baik menyangkut kehidupan duniawinya maupun
kehidupan ukhrawi-nya. Syariah Islam itu menjunjung tinggi
prinsip-prinsip keadilan (‘adâlah), kasih sayang (rahmah), dan
maslahah,. Setiap aturan hukum yang menyimpang dari
prinsipprinsip tersebut pada hakikatnya bukanlah bagian dari
Syariah Islam, meskipun dicari rasionalisasi (ta’wîl) untuk
menjadikannya sebagai bagian dari Syariah Islam (Husain Hâmid
Hisân, 2002). Keagungan dan keluhuran Syariah Islam
termanifestasikan pada kompatibilitas hukum-hukum Syariah
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
651
dengan perkembangan kehidupan manusia lantaran ruh maslahah
yang menggerakkannya.
Mewujudkan maslahah merupakan peran vital Syariah Islam.
Dalam setiap aturan hukumnya, al-Syâri’ mentransmisikan maslahah
sehingga lahir kebaikan/kemanfaatan dan terhindar keburukan/
kerusakan, yang pada gilirannya terealisasinya kemakmuran dan
kesejahteraan di muka bumi dan kemurnian pengabdian kepada
Allah. Sebab, maslahah itu sesungguhnya adalah memelihara dan
memperhatikan tujuan-tujuan Syara’ berupa kebaikan dan
kemanfaatan yang dikehendaki oleh Syara’, bukan oleh hawa nafsu
manusia (Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân, 1993).
c. Maqashid Syari’ah
Maqashid syari’ah secara harfiah berarti tujuan hukum.
Maqashid, dari kata qashada yang berarti tujuan. Tujuan atau hasilnya
yang diharapkan dari perundang-undangan undang-undang
(Kamil Iskandar, 2000). Maqasid al-Syari’ah telah secara langsung
disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah atau disimpulkan dari
ini oleh sejumlah ilmuwan. Semua hal ini mengatakan urgensi
pemenuhan maslahah (jalb al-masalih) dari semua manusia dan
untuk menyelamatkan mereka dari bahaya (daf’’u al-mafasid / dar’u
al-mafasid).
Secara terminologi, maqashid berarti makna-makna dan
hikmah-hikmah dan sejenisnya yang dikehendaki Tuhan dalam
tiap syariat baik umum maupun khusus, guna memastikan maslahat
hamba-Nya. Maksud dari ‘makna’ di sini adalah sebab, maksud
dan sifat. ‘Hikmah’ berarti sifat, sifat syariat Islam yaitu
mendapatkan mashlahah. Kemaslahatan dunia dikategorikan
menjadi dua, baik yang pencapaiannya dengan cara menarik
kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudharatan, yaitu:
a) Kemaslahatan dharuriyyat (inti/pokok): Kemaslahatan maqashid
66
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
syariah yang berada di dalam urutan paling atas; b) Kemaslahatan
ghairu dharuriyyat (bukan pokok): Kemaslahatan pelengkap
tergolong penting dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut as-Syatibi maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian,
yaitu maqshud asy-syari’ dan maqshud al-mukallaf. Lebih lanjut as-
Syatibi menjelaskan bahwa maqshud asy-syari’ terdiri dari empat
bagian: 1) qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah; 2) qashdu al-syari’ fi
wadh’i al-syari’ah li al-ifham; 3) qashdu al-syari’ fi wadh’i al-syari’ah li al-
taklif bi muqtadhaha; 4) qashdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta
ahkami al-syari’ah. Sedangkan bagian qashdu al-mukallaf, Syatibi tidak
menyebutkan macam-macamnya (Abu Ishaq al-Syatibi, 2004).
Syatibi kemudian membagi maqashid dalam tiga gradasi
tingkatan, yaitu: dharuriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat. Dharuriyyat
yaitu memelihara kebutuhan yang bersifat essensial bagi kebutuhan
manusia. Jika seseorang tidak terpenuhi maslahahdharuriyyah- nya,
maka akan terjadi kerusakan di dunia dan akhirat. Kadar kerusakan
sesuai dengan maslahahdharuriyyah yang hilang (Ahmad Raysuni,
1995). Maslahahdharuriyyat ini dikenal dengan istilah al- kulliyyat al-
khams atau adh-dharurat al-khams (lima hal inti), yang dianggap
sebagai dasar-dasar tujuan umum syariat yang harus dijaga.
Adapun lima hal pokok itu adalah:
1. Hifzu al-din (pemeliharaan agama/keimanan)
2. Hifzu al-Nafs (pemeliharaan jiwa)
3. Hifzu al-’Aql (pemeliharaan akal)
4. Hifzu al-Nasl (pemeliharaan keturunan)
5. Hifzu al-Maal (pemeliharaan harta)
Hajjiyyat yaitu kebutuhan yang tidak bersifat esensial
melainkan kebutuhan yang dapat menghindarkan manusia dari
kesulitan hidupnya. Tidak terpeliharanya kebutuhan ini tidak
mengancam lima kebutuhan pokok atau kebutuhan manusia,
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
671
tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Maslahahhajjiyyah
merupakan mashlahah yang bersifat memudahkan, menghindarkan
manusia dari kesulitan dan kesusahan. Namun, ketiadaan
maslahahhajjiyyah tidak menyebabkan kerusakan di dunia maupun
akhirat (Ahmad Raysuni, 2001). Tahsiniyyat yaitu kebutuhan yang
menunjang peningkatan martabat manusia dalam masyarakat dan
di hadapan Tuhannya sesuai dengan kepatuhan (Mardani, 2013).
Maslahahtahsiniyyah ialah pelengkap atau penyempurna dari dua
maqashid sebelumnya, meliputi adat kebiasaan dan akhlak mulia
(Ahmad Raysuni, 2001).
d. Maqashid Ekonomi Syari’ah
Menurut Muhammad Thahir Ibn Asyur, sebagaimana dikutip
al-Raisuni, maqashid muamalat dapat dibagi menjadi lima tujuan,
yaitu: rawaj (perputaran ekonomi via jual-beli), wudhuh (kejelasan-
well defined), hifz (dapat disimpan), tsabat (stabil), adl (keadilan).
Rawaj berarti bahwa harta benda ditujukan untuk diperjualbelikan
agar kekayaan tersebut menjadi berkembang. Wudhuh berarti harta
ditujukan agar dikelola secara transparan dan akuntabel serta jelas
kepemilikannya. Hifz berarti harta sebagai barang titipan Allah
ditujukan agar dipelihara dan dibelanjakan secara syar’i. Tsabat
berarti harta benda ditujukan untuk validitas kepemilikan sehingga
membangkitkan etos kerja yang tinggi dalam mengelolanya dan
mengembangkannya dengan cara-cara yang sah dan halal. Adl
berarti harta harus dikelola secara berkeadilan tanpa menzalimi
orang lain (Ahmad al-Raisuni, 1978).
Riyadh Mansur al-Khulaifi membagi dua sisi dalam melihat
maqashid muamalat: sisi al-adam (pelarangan) dan sisi al-wujud
(perintah). Pada aspek ini, al-Khulaifi menjelaskan enam hal, yaitu:
larangan menyerang orang lain untuk mendapatkan harta; larangan
membuang-buang harta dan ishraf dalam membelanjakannya;
68
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
perintah disyariatkan pelaksanaan hudud dan ta’zir bagi pelaku
kriminal; kewajiban memberikan jaminan harta yang diambil
secara diam-diam (dhaman al-maghsub); mempertahankan diri untuk
menjaga hartanya; adanya dokumentasi hutang, saksi, dan
mengambil jaminan (Riyath Mansur al-Khulaifi, 2000).
V. Daftar Pustaka
Abbas, Syahrizal, Syari’at Islam di Aceh Rancangan Metodelogis dan
Penerapannya, Banda Aceh: Dinas Syari’at islam Provinsi
Aceh, 2009.
Abdul Baqi, Muhammad Fu’ad, Al-Lu’lu’ wal Marjan, Jilid II, Terj.
H. Salim Bahreisy, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003. Abdullah,
Thamrin, Manajemen Pemasaran, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2012.
Afzalurrahman, Muhammad as A Trader, Terj. Dewi Nurjulianti, dkk.
Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Yayasan
Swarna Bhumy, 2010.
Aziz, Abdul, Manajemen Investasi Syariah, Bandung: Alfabeta, 2010.
Al-Bûti, Sa’îd Ramadân,Dawâbit al-Maslahah fi al-Syarî’ah al-
Islâmiyyah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah wa al-Dâr al-
Muttahidah, 1421 H/2000.
David, Fred R., Manajemen Strategis, Terj. Ichsan Setiyo Budi, Edisi
Sepuluh, Jakarta: Salemba Empat, 2006.
Dawwabah, Asyraf Muhammad, Meneladani Keunggulan Bisnis
Rasulullah, Semarang: Pustaka Nun, 2008.
Departemen Agama RI, Quran dan Terjemahnya, Cet. Ke 13, Jakarta
Timur: CV Darus Sunnah, 2013.
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
691
Djazuli, A. dan Yadi Yanwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat
(Sebuah Pengenalan), Jakarta: RajaGrafindio Persada, 2002.
Effendi, Rustam, Dasar-dasar Manajemen Modern, Malang: Jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, tt.
Effendi, Rustam, Produksi Dalam Islam, Yogyakarta: Magistra
Insania Press, 2003.
Fauzi, A.,Valuasi Ekonomi dan Penilaian Kerusakan Sumber Daya Alam
dan Lingkungan, Bogor: IPB Press, 2014.
Fauzi, Akhmad., Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Teori
dan Aplikasi), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Francis, Jack C., Investment: Analysis and Management, 5th edition,
McGraw-Hill Inc., Singapore, 1991.
Halim, Abdul, Analisis Investasi. Edisi Pertama, Jakarta: Penerbit
Salemba Empat, 2003.
Hanim, Anifatul dan Ragiman, Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Minat Investasi di Daerah Kabupaten Jember, Jawa
Timur, Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, vol. 14. No. 3
tahun 2010.
Al-Jauziyyah, Ibn al-Qayyim, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-
‘Âlamîn, Juz ke-3, Kairo: Dâr al-Hadîts, 1425 H/2004.
Jeddawi, Murtir, Memacu Investasi Era Otonomi Daerah, Yogyakarta:
UII Press 2005.
Al-Kuwait, Wizarah al-Auqaf, Al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaitiyyah, Jil. III, Kuwait: Dar al-Salasil, 1404H.
Mankiw, N. Gregory, Macro Economics, New York: Worth Publisher
Inc, 2007.
Mankiw, N. Gregory, Pengantar Ekonomi Makro, Edisi Ketiga,
Jakarta: Salemba Empat, 2003.
Mardani, Ushul Fiqh, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.
70
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Mufid, Moh., Maqashid Ekonomi Syariah: Tujuan dan Aplikasi, Malang:
Empatdua Media (Kelompok Penerbit Intrans), 2018.
Munawwir, A.W., Kamus al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 2002.
Nasution, Mustafa Edwin, et.all, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2007.
Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1985.
Qal’azi, Muhammad dan Hamid Shadiq, Mujam Lughat al-Fuqaha,
Beirut: Dar Nafais, 1988.
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Syari’at Islam, Pentj.
Nabhani Idris, Jakarta: Islamuna Press, 1996M/1416H.
Al-Qattân, Mannâ‘, Raf‘ al-Haraj fi al-Syarî‘at al-Islâmiyyah, Riyad:
al-Dâr al-Su‘ûdiyyah, 1402 H/1982.
Syaltut, Mahmud, Islam Akidah dan Syari’ah, edisi revisi, pentj.
Abdurrahman Zein, Jakarta: Pustaka Amani, 1998M/1418H.
Syaltut, Mahmud dalam Hasby ash Shiddieqy, Falsafah Hukum
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
Al-Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syariah, Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2004.
Ulwan, Abdullah Nashih, Islam Syari’at Abadi, Terj. Jamaluddin
Saiz, Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Umar, Husein, Strategis Management in Action, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Usman, Abdul Halim, Manajemen Strategis Syariah, Teori, Konsep &
Aplikasi, Jakarta: Zikrul Hakim, 2015.
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
711
Sistem Partnership pada Pebiayaan PT. Sarana Kalbar
Ventura
Yulia, S.EI., M.Ag.
IAIN Pontianak
I. Pendahuluan
Berdasarkan adanya larangan riba di dalam Islam, para penulis
ekonomi Islam modern sepakat bahwa lembaga keuangan, baik
lembaga keuangan bank maupun lembaga keuangan non- bank
harus dilakukan dengan berdasarkan pada sistem bagi hasil (profit
sharing), sebagai alternatif untuk menghindari bunga yang
dianggap sebagai bentuk riba. Kerinduan umat Islam yang ingin
melepaskan diri dari persoalan riba telah dijawab pemerintah
Indonesia dengan peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992,
direvisi dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 dalam sebuah
bank yang beroperasinya dengan menggunakan sistem bagi hasil.
Kemudian diikuti dengan lembaga-lembaga keuangan lainnya
seperti asuransi, leasing, reksa dana, pegadaian, DPLK, koperasi
BMT, Perusahaan Modal Ventura dan lainnya. (Arifin, 2000: 2)
Lembaga keuangan pada dasarnya mempunyai peranan
sebagai perantara antara masyarakat yang kelebihan dana dan
masyarakat yang kekurangan dana atau disebut juga denganfinancial
intermediary. Lembaga keuangan ini dapat dibedakan menjadi dua
jenis: pertama, Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan kedua, Lembaga
Keuangan Non Bank (LKNB). (Siamat, 1999: 19)
Perbedaan antara lembaga keuangan bukan bank dan lembaga
keuangan bank hanyalah pada pola operasional, yakni lembaga
keuangan bukan bank tidak boleh menarik dana masyarakat
melalui giro, deposito, maupun tabungan seperti yang dilakukan
72
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
oleh lembaga keuangan bank, demikian pula dengan operasional
penyaluran dana hanya diperbolehkan untuk diberikan sebagai
kredit investasi jangka panjang. (Muhamad, 2002: 2).
Lembaga keuangan yang termasuk dalam sistem perbankan
adalah lembaga keuangan yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat dalam bentuk-bentuk bagi hasil dan bentuk-
bentuk lainnya, seperti kegiatan memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Karena lembaga ini dapat menerima dana dari
masyarakat maka disebut dengan depository financial institutions, di
mana lembaga ini terdiri dari bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat. Dalam prakteknya bank ini dalam Islam di Indonesia
dikenal dengan nama “bank Syari’ah”. Lembaga keuangan non-
bank adalah lembaga keuangan selain bank atau non-depository
financial institutions seperti perusahaan pembiayaan, perusahaan
modal ventura, perusahaan asuransi, perusahaan efek, pegadaian
dan dana pensiun.
Perusahaan Modal Ventura merupakan lembaga keuangan non-
bank yang memberikan pembiayaan kepada pengusaha kecil dan
memberikan bantuan manajemen kepada Perusahaan Pasangan
Usaha (PPU) yang mengalami kesulitan dalam pengelolaan usaha
mereka. Sistem yang diterapkan adalah sistem kemitraan atau
partnership antara perusahaan modal ventura dan masyarakat yang
menjadi mitranya (PPU). (Fariany, 2011).
Perusahaan Modal Ventura ini telah berkembang di berbagai
provinsi di Indonesia, tidak terkecuali provinsi Kalimantan Barat.
Di Kalimantan Barat Lembaga ini bernama PT. Sarana Kalbar
Ventura, yang mulai beroperasi tahun 1995 dengan diresmikan
oleh menteri keuangan Drs. Mar’ie Muhammad pada tanggal 26
Agustus 1995 di kota Pontianak. Sebagai salah satu lembaga
pembiayaan, PT. Sarana Kalbar Ventura (SKV) mengemban
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
731
misi untuk membantu pemerintah dalam upaya membangun
perekonomian daerah khususnya, perkembangan ekonomi
Indonesia pada umumnya, melalui pembinaan dan pengembangan
usaha kecil dan menengah.
Dasar hukum yang menjadi landasan PT. Sarana Kalbar Ventura
adalah, pertama, surat keputusan menteri keuangan Indonesia No.
316/KMK.06/1994 tertanggal 27 Juni 1994 tentang pembinaan usaha
kecil dan koperasi melalui pemanfaatan dana BUMN, di mana
pemerintah menunjuk salah satu bentuk penyaluran laba BUMN
tersebut adalah melalui perusahaan Modal Ventura. Kedua, Surat
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 407/
KMK/.017/1995 tertanggal 25 Agustus 1995 tentang pemberian izin
usaha pembiayaan PT. Sarana Kalbar Ventura (SKV). Ketiga, Akte
Notaris No. 105 tanggal 21 Juni 1995 melalui kantor Notaris Tommy
Tjo Keng Liet, S.H., Pontianak tentang pendirian usaha PT. Sarana
Kalbar Ventura (SKV) sebagai Perseroan Terbatas (PT) yang
bergerak di bidang keuangan. (Sunarti, 2016).
Bentuk partisipasi PT. Sarana Kalbar Ventura (SKV) dalam
pembangunan ekonomi yang berbasis kerakyatan adalah melalui
penyertaan modal langsung (equity participation) kepada Perusahaan
Modal Ventura (PMV) tidak mengutamakan agunan. Sehingga
perusahaan modal ventura harus benar-benar mengetahui dan
memahami kesehatan perusahaan (industri kecil) yang akan
menjadi mitra (partner) kerjanya sebelum memulai kerjasama
(partnership) dalam segi pembiayaan usaha. (Rusli, 2014).
II. Analisis Terhadap Perjanjian Awal dalam Sistem
Partnership
Perjanjian (akad) adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
74
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
kehendak syari’at yang berpengaruh terhadap obyek perikatan.
Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syari’at”
maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan kedua
belah pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara’, misalnya kesepakatan untuk melakukan transaksi
riba, menipu orang lain dan sebagainya. Sedangkan pencantuman
kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan
ijab) kepada pihak yang lain (yang menyatakan qabul). (Dahlan,
1996).
Ijab qabul diadakan dengan maksud untuk menunjukkan
adanya suka rela timbal balik terhadap perikatan yang dilakukan
dua belah pihak yang bersangkutan. Dari pengertian tersebut akad
terjadi antara dua pihak dengan suka rela dan menimbulkan
kewajiban atas masing-masing pihak secara timbal balik.
Agar suatu akad dapat dipandang terjadi harus diperhatikan
rukun dan syarat-syaratnya. Rukun adalah unsur yang mutlak
harus ada dalam suatu hal, peristiwa atau tindakan. Terdapat
beberapa perbedaan pendapat ulama fiqh dalam menentukan
rukun akad. Jumhur ulama menyatakan bahwa rukun akad terdiri
dari:
a. Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad)
b. Pihak-pihak yang berakad (al-‘aqidain)
c. Obyek akad (barang atau jasa).
Ulama mashab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad itu
hanya satu, yaitu sighat al-aqad, sedangkan pihak-pihak yang
berakad dan obyek akad, tetapi termasuk syarat akad karena
menurut mereka yang dikatakan rukun adalah suatu esensi yang
berada dalam akad itu sendiri, sedangkan pihak-pihak yang
berakad dan obyek akad sudah berada di luar esensi akad. Ijab dan
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
751
qabul dapat berbentuk perkataan, tulisan, perbuatan dan syarat-
syarat. (Basyir, 2000: 64).
Syarat-syarat akad ada dua macam yaitu syarat-syarat yang
bersifat umum dan syarat-syarat yang bersifat khusus. Syarat-
syarat yang bersifat umum adalah syarat-syarat yang harus ada
dalam segala bentuk akad. Sedangkan syarat-syarat yang bersift
khusus adalah syarat-syarat yang diisyaratkan wujudnya dalam
sebagian akad.
Syarat-syarat umum terjadinya akad adalah:
a. Kedua belah pihak yang cakap berbuat.
b. Obyek akad dapat menerima hukum akad.
c. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang
mempunyai hak untuk melaksanakannya, walaupun ia bukan
si akid sendiri.
d. Akad itu bermanfaat.
e. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya qabul.
f. Bertemu di majelis akad (disyaratkan oleh mazhab Syafi’iyah).
(As-Sidiqi, 1997: 33-34)
Syarat-syarat ijab qabul adalah sebagai berikut:
a. Ijab dan qabul harus jelas maksudnya, sehingga dapat dipahami
oleh pihak-pihak yang melangsungkan akad.
b. Antara ijab dan qabul terdapat kesesuaian.
c. Pernyataan ijab dan qabul itu mengacu pada suatu kehendak
masing-masing.
d. Sadangkan syarat-syarat obyek akad yaitu:
e. Telah ada pada waktu akad dilakukan.
f. Dapat ditentukan dan diketahui oleh kedua belah pihak.
g. Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi.
Syarat-syarat sahnya Perjanjian menurut hukum positif terdiri
syaratsubyektif dan syarat-syarat obyektif. Syarat-syarat subyektif
76
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
yaitu sepakat untuk mengikatkan diri dan kecakapan bertindak
dari pada pihak. Sedangkan syarat obyektif yaitu suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal. (KUH Perdata Pasal 1230)
Adapun syarat-syarat orang yang melakukan akad adalah harus
cakap bertindak hukum (mukallaf). Fiqh Islam menggunakan istilah
ahlilyah untuk menunjukkan arti kecakapan atau kemampuan.
Kecakapan mempunyai dan menanggung hak disebut ahliyatul
wujub sedangkan kecakapan kerja (muamalah), yaitu apabila
seseorang telah pantas untuk menerima haknya sendiri dan
melahirkan hak atas orang lain karena perbuatannya. Disebut
ahliyatul ada. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi kemanusiaan, yang
dasar keberadaannya karena ia seorang manusia. Perbuatan-
perbuatan hukum dalam bidang muamalah sangat tergantung
adanya kecakapan ini. (Basyir, 2000: 27-28)
Kecakapan bertindak hukum ada yang sempurna ada pula yang
tidak sempurna. Manusia dipandang mempunyai kecakapan
hukum apabila telah mencapai masa-masa tamyiz, yaitu telah
mampu menggunakan pikirannya untuk membedakan hal-hal
yang baik dan buruk, yang berguna dan tidak berguna, terutama
dapat membedakan jenisnya laki-laki atau perempuan. Perbedaan
kekuatan akal dalam tahapan hidup manusia menentukan
sempurna dan tidak sempurnanya kecakapan itu. Kecakapan
sempurna ditekankan pada pertimbangan akal yang sempurna,
bukan dari bilangan umur. Sebab ada kemungkinan dalam
lingkungan tertentu banyak orang yang telah mencapai umur
baligh, tetapi belum cukup sempurna pertimbangan akalnya.
Namun jika menentukan batasan umur untuk menentukan orang
yang dipandang cakap melakukan perbuatan hukum, tidak
bertentangan dengan syari’at Islam. Berbeda halnya dengan
melaksanakan ibadah kepada Allah. Dalam hal ini kita berpegang
kepada hadis Nabi yang mengajarkan bahwa tanggung jawab
Syariat Islam, Keuangan, dan Investasi Syariah
|
771
tidak akan dikenakan pada anak-anak hingga ia bermimpi (balig),
orang yang tidur hingga ia bangun, dan orang yang berubah akal
hingga ia sembuh.
Perjanjian kemitraan antara PT. Sarana Kalbar Ventura dengan
PPU (Perusahaan Pasangan Usaha) mengacu pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang akibat
suatu Perjanjian. (Subekti dan Tjitrosudibio, 1996: 342). Perjanjian
kerjasama antara PT. Sarana Kalbar Ventura dengan PPU
dituangkan dalam bentuk surat Perjanjian kerjasama. Perjanjian
kerjasama dianggap sah jika masing-masing pihak telah
menyertakan tanda tangan dalam surat Perjanjian tersebut. Tanda
tangan tersebut dianggap sebagai bukti bahwa para pihak telah
setuju dan menyepakati Perjanjian tersebut. Dengan demikian para
pihak harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Mengenai pernyataan ijab dan qabul melalui tulisan adalah agar
jika terjadi perselisihan antara pihak PT. Sarana Kalbar Ventura dan
PPU, dapat diselesaikan dengan bukti tertulis yang telah disepakati.
Hal ini juga dapat diartikan sebagai realisasi dari ayat al-Qur’an
surah al-Baqarah (2) ayat 282.
Sedangkan mengenai syarat-syarat ijab qabul, bahwasanya
tujuan pernyataan dari Perjanjian sudah jelas di mana pihak
PPU dengan keinginannya sendiri untuk mengikatkan diri
dalam Perjanjian tersebut. Pelaksanaan kesepakatan Perjanjian
dilakukan dengan memperhatikan dan meneliti isi Perjanjian
yang telah disepakati dan baru kemudian secara bersama-sama
menandatangani kesepakatan tersebut sebagai bukti kesepakatan
dengan memenuhi aturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Jika dilihat dari obyeknya, telah jelas berupa uang tunai dari
pihak PT. Sarana Kalbar Ventura dan obyek tersebut diketahui
oleh kedua belah pihak. Jadi secara formal berarti telah terpenuhi
syarat obyek akad.
78
|BUKU CHAPTER KAJIAN KRITIS ISU-ISU EKONOMI ISLAM, PENDIDIKAN, DAN UU
CIPTA KERJA
Adapun model pembiayaan (penyaluran dana) PT. Sarana
Kalbar Ventura untuk penyertaan modal kerja, mencakup aspek
akad dan ketentuan waktu pembiayaan adalah termasuk dalam
penyaluran dana equity financing pola pembiayaan musyarakah. Hal
ini tercermin dari pihak-pihak PT. Sarana Kalbar Ventura dan PPU
sebagai pengusaha saling memberikan modal. Dalam kontrak
musyarakah sebagaimana Nejatullah Siddiqi berpendapat,
disyaratkan keikutsertaan dua orang atau lebih dalam suatu usaha
tertentu dengan sejumlah modal yang telah ditetapkan berdasarkan
Perjanjian untuk bersama-sama menjalankan suatu usaha.
Konsep kerjasama atau musyarakah di dalam praktek
pembiayaan PT. Sarana Kalbar Ventura kepada PPU terjelma dalam
pola-pola yang dilakukan Perusahaan Modal Ventura (PMV),
seperti:
Pertama, di dalam hal menentukan komposisi bagi hasil
misalnya dengan melihat asset terakhir dari Perusahaan Pasang
Usaha dengan besarnya penyertaan dana dari PT. Sarana Kalbar
Ventura kepada PPU dengan kata lain keuntungan yang akan
diperoleh seimbang dengan pemasukan yang dilakukan PT. Sarana
Kalbar Ventura ke dalam usaha PPU.
Kedua, partisipasi PT. Sarana Kalbar Ventura dalam
pembenahan manajemen, pembukuan, dan lain sebagainya yang
pada hakikatnya menggambarkan suatu hubungan Persekutuan.
Pengertian persekutuan atau partnership