Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
438
10.22219//kembara.v7i2.17984 http://ejournal.umm.ac.id/index.php/kembara kembara@umm.ac.id
Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
(The motives of "Jaka Tarub" and the objectivity of women in the folklores of the archipelago)
Ichda Nabilatin Nisa1, Eggy Fajar Andalas2*
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Malang,
Jalan Raya Tlogomas 246 Malang, Indonesia
1ichda.nabila05@gmail.com, eggy@umm.ac.id2
*Corresponding author: eggy@umm.ac.id
Sejarah Artikel
Diterima: 2 Agustus 2021
Direvisi: 12 Oktober 2021
Tersedia Daring: 28 Oktober 2021
ABSTRAK
Cerita Jaka Tarub merupakan salah satu cerita rakyat yang hingga saat ini masih lestari dan dikenal banyak masyarakat Nusantara.
Sebagai salah satu cerita yang sangat populer, ditemukan beberapa cerita rakyat yang memiliki kesamaan motif dengan cerita Jaka Tarub
di beberapa wilayah Nusantara. Adanya kesamaan motif yang muncul di beberapa wilayah Nusantara, yang secara geografis terpaut
cukup jauh, menandakan adanya suatu pandangan dunia yang sama dalam kehidupan kultural masyarakat pemilik cerita. Hal ini
berkaitan dengan cara pandang dalam melihat posisi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial-budaya. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan kesamaan motif Jaka Tarub yang ada dalam cerita rakyat nusantara dan melakukan kritik sastra feminis atas gambaran
objektivitasi perempuan yang ada dalam cerita rakyat Nusantara bermotif Jaka Tarub. Untuk melakukan hal tersebut digunakan metode
perbandingan teks dengan perspektif Kritik Sastra Feminis (KSF). Sumber data penelitian adalah kumpulan cerita rakyat hasil
dokumentasi Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu Yogyakarta. Data penelitian ini berupa kutipan, kata, kalimat, dan
tindakan tokoh yang memperlihatkan kesamaan motif Jaka Tarub dan objektivikasi tokoh perempuan. Teknik pengumpulan data
menggunakan simak-catat dan teknik analisis data menggunakan penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua belas cerita yang memiliki kesamaan motif cerita dengan Jaka Tarub. Kesamaan motif
berada pada unsur alur, tokoh, dan larangan/pantangan. Meskipun begitu, pada unsur lain, seperti nama tokoh, latar waktu,
latar sosial, dan latar budaya pada masing-masing cerita berbeda sesuai dengan tempat cerita berasal. Penelitian ini
berpendapat bahwa munculnya cerita di wilayah nusantara bermotif Jaka Tarub ditengarai karena dua hal, yaitu popularitas
cerita di masa lalu dan migrasi cerita sebagai akibat kontak budaya antarmasyarakat di masa lalu. Di sisi lain, meskipun cerita
telah menyebar dan beradaptasi dengan kebudayaan lokal, tetapi gambaran terhadap objektivikasi perempuan masih
ditemukan pada seluruh cerita. Hal ini memperlihatkan kesamaan prespektif masyarakat mengenai fantasi laki-laki terhadap
tubuh perempuan meskipun berbeda daerah.
Kata Kunci
Cerita rakyat nusantara, Motif Jaka Tarub, Obejktivikasi perempuan
ABSTRACT
The story of Jaka Tarub is one of the folk tales that is still sustainable and known to many people of the archipelago. As
one of the most popular stories, several folk tales have been found that have similar motifs to the story of Jaka Tarub in
several regions of the archipelago. The similarity of motifs that appear in several regions of the archipelago, which are
geographically quite far apart, indicates the existence of a common worldview in the cultural life of the people who own the
stories. This is related to the perspective of seeing the position of men and women in socio-cultural life. This study aims to
describe the similarity of Jaka Tarub's motives in Nusantara folklores and carry out feminist literary criticism of the
objectivity of women in the Jaka Tarub-patterned Nusantara folklore. To do this, a text comparison method with the
perspective of Feminist Literary Criticism (KSF) is used. The research data source is a collection of folk tales documented
by the Yogyakarta Malay Cultural Studies and Development Center. The data of this research are in the form of quotes,
words, sentences, and characters' actions that show the similarity of Jaka Tarub's motives and the objectification of female
characters. Data collection techniques using note-taking and data analysis techniques using data presentation, data reduction
and drawing conclusions. The results of this study indicate that twelve stories have the same motif of the story as Jaka Tarub.
The similarity of motifs is in the elements of plot, character, and prohibitions/taboos. However, other elements, such as the
character's name, time setting, social setting, and cultural setting in each story are different according to where the story
originates. This study argues that the emergence of stories in the archipelago with the Jaka Tarub motif is suspected for two
reasons: the popularity of stories in the past and the migration of stories due to cultural contact between communities in the
past. On the other hand, although the story has spread and adapted to the local culture, the image of the objectification of
women is still found throughout the story. This shows the similarity of people's perspectives regarding men's fantasies of
women's bodies even though they are in different regions.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
439
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
Copyright@2021, Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas
This is an open access article under the CC–BY-3.0 license
Keywords
Archipelago folklore, Jaka Tarub's Motif, Women's objectification
How to Cite
Nisa, I. N., & Andalas, E. F. (2021). Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat
nusantara.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan, Bahasa, Sastra dan Pengajarannya (e-Journal), 7
(2), 438-462.
https://doi.org/10.22219/kembara.v7i2.17984
PENDAHULUAN
Keragaman budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke melahirkan tradisi dan cerita rakyat
daerah yang beragam. Keberagaman ini dimanifestasikan oleh para penulis dalam bentuk karya sastra yang
sering ditemui, seperti cerpen dari berbagai wilayah Nusantara. Cerita di setiap daerah berawal dari lisan
orang tua zaman dahulu yang diturunkan ke anak cucu mereka. Pelbagai cerita rakyat yang ada dianggap
sebagai cerminan masyarakat yang menggambar kebiasaan sehari-hari masyarakat setiap daerah (Movahedi
& Moshtagh, 2019; Pratiwi et al., 2018). Cerita rakyat dianggap sebagai cara yang efektif untuk
memperkenalkan anak terhadap berbagai daerah di nusantara (Andalas, 2018; Hapsarani, 2017;
Sulistyorini & Andalas, 2017). Memperkenalkan cerita rakyat tidak hanya sekadar cerita daerah saja,
melainkan memperkenalkan tradisi dan kepercayaan budaya yang berbeda-beda setiap daerah (Rice,
2000).
Cerita rakyat nusantara tidak hanya dianggap sebuah bacaan untuk hiburan semata, namun dalam
sebuah cerita rakyat ataupun karya sastra dapat mengandung sebuah nilai, gagasan, pandangan mengenai
kehidupan masyarakat (Andalas, 2015, 2016; Aristama et al., 2020; Larasati & Andalas, 2021). Cerita
rakyat memiliki nilai autentik yang dapat diambil sebagai bahan pembelajaran bagi dunia pendidikan dari
segala lintas jurusan (Sayono & Nafi’ah, 2017; Wahyuni, 2019). Nilai-nilai kehidupan keluarga dan
masyarakat, penilaian perempuan dalam setiap penjuru daerah, mitos-mitos, tradisi dan lain halnya dapat
ditemukan dalam cerita rakyat.
Hal yang menarik dari cerita rakyat di nusantara adalah munculnya keberulangan motif, salah
satunya yaitu motif cerita Jaka Tarub. Motif dalam suatu cerita menjadi tolak ukur jalannya cerita yang
dapat menonjolkan konflik ataupun memiliki sifat yang khusus (Hasan, 2017). Motif cerita dianggap
sebagai unsur yang penting dalam sebuah cerita. Motif cerita Jaka Tarub rupanya tidak hanya ditemukan
di Jawa Tengah saja, melainkan ada beberapa daerah di nusantara yang memiliki cerita dengan motif yang
sama dengan nama-nama tokoh dan latar cerita yang berbeda. Keberulangan motif cerita Jaka Tarub di
beberapa daerah memperlihatkan adanya kesamaan persepsi dalam melihat sosok perempuan di beberapa
wilayah nusantara. Jika mendengar atau membaca mengenai salah satu cerita pemuda mencuri selendang
maka langsung tercetus bahwa itu adalah cerita Jaka Tarub yang berasal dari daerah Jawa Tengah.
Cerita ini mengisahkan seorang pemuda tampan bernama Jaka Tarub yang tinggal bersama
dengan
Mbok Rondho.
Jaka Tarub menganggapnya sebagai ibu kandung. Beliau meminta Jaka Tarub
untuk meminang seorang gadis agar bisa menimang cucu dan mengurus Jaka Tarub. Pada suatu malam,
Jaka Tarub masuk ke hutan dan bertemu dengan beberapa perempuan cantik yang sedang bermain air di
telaga. Ia terkagum-kagum melihat kecantikan mereka dan mengambil salah satu selendang lalu
disembunyikan. Hingga akhirnya mereka menikah dan timbul konflik yang membuat mereka berpisah.
Beragamnya cerita rakyat nusantara ditemukan dua belas cerita yang sama motifnya dengan cerita
rakyat Jaka Tarub, seperti cerita Sidang Belawan dari Lampung, Asal-Usul Nama Girilawungan dari Jawa
Barat, Putri Mambang Linau dan Mahligai Keloyang (Asal Mula Nama Kelayang) dari Riau, Meraksama
dari Papua, Empat Sultan di Maluku Utara dari Maluku, Legenda Ile Marauja dari NTT, Asal Mula
Danau Limboto dan Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Gorontalo, Asal Mula Tari Patuddu dari
Sulawesu Barat, Oheo dari Sulawesi Tenggara, dan cerita Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai dari
Kalimantan Selatan. Kedua belas cerita di atas tersebut merupakan cerita rakyat nusantara yang memiliki
kesamaan motif penceritaan, yaitu “motif Jaka Tarub. Melalui keduabelas cerita tersebut, penelitian ini
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
440
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
berusaha memahami perbandingan keberulangan motif dan objektifikasi yang dialami oleh tokoh
perempuan.
Beberapa cerita tersebut memiliki kesamaan motif dengan cerita Jaka Tarub. Kesamaan cerita
dapat dilihat dari penggambaran objek perempuan sebagai bidadari yang diambil selendang atau
pakaiannya lalu disimpan oleh tokoh lelaki, sehingga membuat perempuan itu tidak dapat kembali ke
asalnya. Kesamaan lainnya yakni ketika tokoh laki-laki menjadikan perempuan sebagai objek seksualitas
yang digambarkan saat mereka mengintip perempuan sedang bermain air di sebuah telaga dan perempuan
digambarkan sebagai sosok yang cantik jelita. Hal disebut dengan objektivikasi perempuan. Menurut
Objectification Theory
dari Fredickson dan Roberts dikemukakan bahwa laki-laki menjadi subjek yang
memegang kendali dan hasrat terhadap perempuan, sedangkan perempuan menjadi objek laki-laki
khususnya sebagai bahan fantasi yang diperlihatkan bagian tubuhnya (Nayahi, 2015). Situasi ini
digambarkan di dalam dua belas cerita rakyat dan cerita Jaka Tarub.
Munculnya kesamaan motif cerita patut diduga bukanlah sebuah kebetulan. Hal ini mengingat
adanya perbedaan konteks budaya dan wilayah yang melatarbelakangi penciptaan cerita tersebut. Di sisi
lain, motif cerita Jaka Tarub muncul secara ajeg dan adanya perbedaan hanya didasari atas perbedaan
penamaan tokoh maupun setting tempat. Kedua hal tersebut memunculkan dua permasalahan sekaligus,
yaitu pada tataran struktur penceritaan berupa adaptasi motif alur penceritaan dan pada tataran tekstual
berupa gambaran imajinasi hubungan laki-laki dan perempuan di setiap kebudayaan masyarakat pemilik
cerita. Sepanjang penelusuran penulis, permasalahan mengenai adanya kesamaan motif “Jaka Tarub”
dalam cerita rakyat nusantara belum pernah diperhatikan oleh peneliti, baik dari disiplin ilmu sastra
ataupun ilmu lainnya. Padahal, kemunculan kesamaan motif “Jaka Tarub” dalam cerita rakyat yang
tersebar di berbagai provinsi memunculkan pertanyaan yang penting untuk dijawab. Meskipun begitu,
penelitian terhadap objektivikasi perempuan telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, dari
penelitian yang membahas tubuh perempuan dalam cerita rakyat Jaka Tarub dan Ande-Ande Lumut
(Iswara, 2019), objektivikasi perempuan dalam tiga dongeng klasik Indonesia (Hapsarani, 2017), dan
resistensi dari objektifikasi perempuan (Budiarti, 2014) serta permasalahan yang berkaitan dengan Jaka
Tarub juga ditemukan, seperti nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Jaka Tarub (Saputri, 2016).
Namun, dari beberapa penelitian di atas hanya berfokus pada objektivikasi perempuan pada lima cerita
Rakyat Nusantara dan cenderung berfokus pada cerita Jaka Tarub saja. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan mendeskripsikan karakteristik dan kesamaan motif “Jaka Tarub” yang ada dalam cerita
rakyat nusantara dan melakukan kritik sastra feminis atas gambaran objektivitasi perempuan yang ada dalam cerita
rakyat nusantara bermotif “Jaka Tarub”.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena sejumlah alasan. Pertama, belum banyak penelitian dalam
bidang sastra Indonesia, khususnya, yang berusaha memahami karakteristik dan kesamaan motif terhadap cerita
rakyat nusantara di berbagai wilayah yang memiliki kesamaan motif “Jaka Tarub”. Kedua, penelitian terhadap
gambaran objektivitasi perempuan terhadap cerita Jaka Tarub telah dilakukan, tetapi masih bersifat parsial karena
dilakukan terhadap cerita Jaka Tarub saja. Sifat parsial yang dimaksud dikarenakan beberapa sumber yang
ditemukan masih berhubungan dengan cerita Jaka Tarub namun dengan konsep perbandingan dengan cerita
lainnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh (Wahyuningtyas & Pramudiyanto, 2021) yang membandingkan
antara cerita Jaka Tarub dan Nawang Wulan dengan cerita Niúláng Zhinü. Realitasnya, cerita-cerita bermotif
“Jaka Tarub” juga ditemukan di beberapa wilayah Nusantara lainnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa untuk
memperoleh pemahaman atas pandangan dunia masyarakat mengenai hubungan gender yang tergambarkan
dalam cerita rakyat juga harus dilakukan terhadap cerita lain yang memiliki motif serupa dengan tetap
memperhatikan latar belakang sosial-budaya masyarakat pemilik cerita (Andalas, 2018; Sugiarti et al., 2019).
Penelitian ini berkontribusi dalam membangun kesadaran kritis atas objektivikasi perempuan
yang mengakar kuat dalam kebudayaan masyarakat nusantara. Hal ini terlihat dari adanya motif Jaka
Tarub yang tersebar dalam produk kultural masyarakat yang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga
memberikan gambaran mengenai fenomena migrasi dan akulturasi dengan nila-nilai lokal masyarakat
tempat cerita berada, namun nilai-nilai cerita masih dipertahankan. Utamanya dalam penelitian ini adalah
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
441
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
nilai budaya patriarki melalui cerita Jaka Tarub yang ditemukan dalam cerita yang ada di wilayah
Nusantara. Penelitian ini diharapkan dapat mengubah pandangan mengenai perempuan yang sejak zaman
dahulu dianggap sebagai kaum subordinasi.
METODE
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Untuk menjawab tujuan penelitian pertama digunakan
metode sastra bandingan. Sastra bandingan dalam penelitian ini tidak digunakan sebagai sebuah
pendekatan, tetapi sebagai metode. Penelitian ini memanfaatkan metode sastra bandingan untuk
menemukan kesamaan dan perbedaan pada kedua belas cerita rakyat nusantara yang diduga memiliki
motif penceritaan yang sama, yaitu motif Jaka Tarub. Perbandingan dilakukan pada alur, tokoh, dan
larangan atau pantangan dalam pengisahan cerita. Di sisi lain, untuk menjawab tujuan penelitian kedua
digunakan pendekatan Kritik Sastra Feminis (KSF). Sumber data penelitian ini adalah dua belas cerita
rakyat dari beberapa wilayah Nusantara yang diperoleh dari web http://ceritarakyatnusantara.com yang
merupakan laman web berisikan kumpulan cerita rakyat di nusantara. Kedua belas cerita tersebut, yaitu
Cerita Sidang Belawan dari Lampung; Asal-Usul Nama Girilawungan dari Jawa Barat; Putri Mambang
Linau dan Mahligai Keloyang (Asal Mula Nama Kelayang) dari Riau; Meraksama dari Papua; Empat
Sultan di Maluku Utara dari Maluku; Legenda Ile Marauja dari NTT; Asal Mula Danau Limboto dan
Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Gorontalo; Asal Mula Tari Patuddu dari Sulawesu Barat; Oheo
dari Sulawesi Tenggara; dan cerita Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai dari Kalimantan Selatan. Portal
ini dikelola oleh Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM). Data dari penelitian ini
berupa kutipan, kata, kalimat, dan tindakan tokoh yang memperlihatkan kesamaan motif Jaka Tarub dan
yang memperlihatkan mengenai objektivikasi perempuan dalam cerita. Teknik pengumpulan data
menggunakan simak-catat. Teknik simak dilakukan dengan pembacaan dekat (
close reading
) terhadap
sumber data penelitian. Melalui pembacaan ini kemudian berbagai hal yang berkaitan dengan tujuan
penelitian dicatat sebagai data penelitian. Teknik analisis data menggunakan model kualitatif-interaktif
berupa penyajian data, reduksi data, interpretasi, dan penarikan kesimpulan (Andalas, 2017; Miles &
Huberman, 1992; Sugiarti et al., 2020).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini ditemukan kesamaan motif cerita dan ditemukan juga beberapa perbedaan
yang menjadi indikator pembeda cerita lainnya dengan cerita Jaka Tarub atau memiliki ciri khas yang
berbeda sesuai dengan kultur budaya. Keberadaan dongeng atau cerita rakyat ini memiliki ciri khas
masing-masing. Ciri khas yang dimiliki oleh dongeng atau cerita rakyat ini dapat dibedakan berdasarkan
daerahnya masing-masing (Iswara, 2019). Perbedaan ciri khas ini juga terdapat dalam cerita Jaka Tarub.
Jika mendengar cerita mengenai selendang perempuan cantik dan disembunyikan oleh laki-laki,
maka masyarakat awam akan menjawab dengan cerita Jaka Tarub dari Jawa Tengah. Namun, beberapa
cerita dari beberapa wilayah nusantara adapula yang memiliki motif cerita yang sama. Kesamaan
keberadaan cerita Jaka Tarub di beberapa wilayah nusantara disebabkan karena adanya migrasi cerita yang
terjadi. Meskipun cerita Jaka Tarub memiliki kesamaan motif dalam ceritanya, akan tetapi cerita Jaka
Tarub memiliki perbedaan nama-nama tokoh di setiap daerah seperti halnya “Legenda Putri Mambang
Linau” yang berasal dari Riau. Tokoh laki-laki yang terdapat dalam cerita “Legenda Putri Mambang
Linau” bernama Bujang Enok dan tokoh perempuannya bernama Mambang Linau.
Tidak hanya pada cerita “Legenda Putri Mambang Linau”, dongeng atau cerita rakyat yang
memiliki kesamaan motif cerita dengan Jaka Tarub juga terdapat di beberapa daerah lainnya seperti pada
cerita “Sidang Belawan” yang berasal dari Lampung. Cerita “Sidang Belawan” mengisahkan tentang
seorang putra raja yang bernama Sidang Belawan sedang mengamati tujuh bidadari. Tujuh bidadari
tersebut tengah asyik mandi di sungai. Sidang Belawan mengambil salah satu selendang milik salah satu
bidadari tersebut. Selain cerita “Sidang Belawan”, ada beberapa cerita lainnya yang memiliki motif cerita
seperti cerita Jaka Tarub.
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
442
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
Penelitian ini juga menemukan objektivikasi perempuan dalam kedua belas cerita yang disebutkan
di atas dan dalam cerita Jaka Tarub. Masing-masing cerita memperlihatkan penggambaran perempuan
yang dijadikan sebagai objek fantasi laki-laki yang digambarkan sedang mandi di sebuah danau.
Penjabaran kesamaan motif, perbedaan dan objektivikasi perempuan akan dijabarkan sebagai beriku.
Kesamaan Motif Cerita Jaka Tarub
Berdasarkan telaah terhadap cerita-cerita rakyat nusantara, ditemukan adanya kesamaan motif cerita
“Jaka Tarub” di beberapa wilayah Indonesia. Motif cerita “Jaka Tarub” ditemukan pada cerita Legenda Putri
Mambang Linau (Riau), Mahligai Keloyang, Asal Mula, Nama Kelayang (Riau), Sidang Belawan
(Lampung), Asal-usul Nama Girilawungan (Jawa Barat), Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai
(Kalimantan Selatan), Oheo (Sulawesi Tenggara), Asal Mula Tari Patuddu (Sulawesi Barat), Asal Mula
Danau Limboto (Gorontalo), Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote (Gorontalo), Legenda Ile Mauraja
(Nusa Tenggara Timur), Empat Sultan di Maluku Utara (Maluku), dan Meraksama (Papua). Kedua
belas cerita memiliki motif yang sama dengan cerita Jaka Tarub, meskipun pada beberapa hal memiliki
beberapa perbedaan, misalnya tokoh ataupun latar tempat yang digunakan. Gambaran mengenai kedua
belas cerita dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Cerita Rakyat yang Memiliki Kesamaan Motif Cerita dengan Jaka Tarub
No
Judul Cerita Rakyat
Tokoh
Alur Cerita
Asal Cerita
1
Legenda Putri Mambang
Linau
- Bujang Enok
- Tujuh Gadis berselendang
berwarna pelangi
- Mambang Linau
- Raja
Pengenalan:
Di tanah Bengkalis, Riau hidup
seorang pemuda bernama
Bujang Enok. Ia hidup sebatang
kara dan menyambung
hidupnya dengan menjual kayu
bakar dari hutan.
Riau
Konflik:
Bujang Enok mengintip 7
wanita dari khayangan yang
sedang mandi di sungai lalu
mengambil satu selendang putri
tercantik.
Penyelesaian:
Bujang Enok bersedia
mengembalikan selendang salah
satu wanita khayangan bernama
Putri Mambang Linau dengan
syarat menikah dengannya. Lalu
Putri Mambang Linau bersedia
asalkan tidak disuruh menari
karena ia akan bercerai untuk
kembali ke khayangan. Saat
pesta di kerajaan di desa Bujang
Enok, Raja memerintahkan
pesta tersebut dimeriahkan oleh
dayang dan istri pembesar
istana. Karena Bujang Enok
telah diangkat menjadi
pembesar istana ia sangat
menghormati raja dan
merelakan istrinya menari. Sejak
saat itu istrinya kembali ke
khayangan.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
443
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
2
Mahligai Keloyang, Asal
Mula, Nama Kelayang
- Datuk Sakti
- Istri Datuk Sakti (salah
satu bidadari)
- Para Bidadari
- Anak laki-laki
- Anak perempuan
Pengenalan:
Di kerajaan Indragiri, negerinya
dipimpin oleh Datuk-datuk
yang arif dan bijaksana salah
satunya bernama Datuk Sakti.
Saat itu, Datuk Sakti menghiliri
sungai Indragiri untuk melihat
kehidupan rakyatnya. Ia
beristirahat di bawah pohon
besar di tepi kolam seperti
loyang. Tiba-tiba saja ia melihat
para bidadari turun dan mandi
di kolam tersebut. Datuk
memutuskan mengambil salah
satu selendang untuk
memperistri bidadari. Bidadari
pun bersedia diperistri dengan
syarat tidak boleh menceritakan
asal-usulnya.
Riau
Konflik:
Setelah menikahi satu bidadari,
Datuk hidup bahagia dengan
memiliki anak laki-laki dan
perempuan yang tampan dan
cantik. Para warga juga sangat
mengagumi kecantikan
Bidadari, hingga Datuk
akhirnya melanggar janjinya.
Tanpa ia sadari ia bercerita
pada penduduk bahwa istrinya
adalah seorang bidadari yang
dulunya mandi di kolam bak
loyang.
Penyelesaian:
Bidadari yang mengetahui
Datuk melanggar janjinya ia
sangat sedih dan marah.
Seketika ia mengambil
selendang dan kembali ke
khayangan.
3
Sidang Belawan
- Raja
- Tujuh istri raja
- Sidang Belawan (putra
raja)
- Tujuh bidadari
- Bidadari bungsu
- Anak laki-laki
Pengenalan:
Diawali dengan turunnya
ketujuh bidadari ke bumi untuk
mandi di hilir sungai tak lama
Sidang Belawan tak sengaja
melihatnya dan mencuri salah
satu selendang milik bidadari
tersebut. Bidadari bungsu tak
bisa pulang ke Khayangan dan
setuju untuk diajak menikah
dengan Sidang Belawan. Suatu
hari Bidadari bungsu memberi
larangan kepada Sidang
Belawan untuk tidak membuka
tudung saji tetapi Sidang
Belawan tetap membuka dan
mengingkari janji
Lampung
Konflik:
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
444
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
Ketika salah satu bidadari
kehilangan selendang dicuri
dengan Sidang Belawan dan
akhirnya menikah dengan
Sidang Belawan mempunyai
anak.
Penyelesaian:
Ketika bidadari bungsu (istri)
memberikan janji kepada
Sidang Belawan namun Sidang
Belawan melanggarnya dan Istri
pergi membawa anaknya ke
Khayangan dengan selendang
ungunya.
4
Asal-usul Nama
Girilawungan
- Pangeran Giri Layang
- Putri Giri Larang
- Patih
- Raja
Pengenalan:
Pangeran Giri Layang yang
merupakan Raja Pajajaran
memiliki seorang adik bernama
Putri Giri Larang. Adiknya
menginginkan untuk pergi
menambah ilmu
Jawa Barat
Konflik:
Putri dipersunting oleh Raja
dari sebuah kerajaan di Jawa.
Putri menerima lamaran karena
ia kehilangan kesaktiannya. Ia
menerima dengan syarat Raja
tidak boleh mencampuri urusan
perempuan. Namun, raja
melanggar perjanjian tersebut
Penyelesaian:
Putri kembali ke kerajaan
Pajajaran dan melahirkan
seorang anak. Sang kakak
membantu untuk bersembunyi
dari pasukan kerajaan suami
sang Putri. Tentara suampi
putri tidak ada yang pulang dan
menetap di suatu tempat
5
Datu Pulut: Asal Mula
Burung Punai
- Andin/Datu Pulut
- Tujuh Putri dari
Kahyangan
Pengenalan:
Ada seorang pengembara
bernama Andin yang hidup
sebatang kara dan hidup secara
berpindah-pindah. Ia
mengembara dari satu desa ke
desa lainnya sembari
menjelajahi hutan belantara dan
melewati berbagau negeri
seorang diri
Kalimantan
Selatan
Konflik:
Bidadari yang tercantik telah
kehilangan selendangnya yang
bewarna ungu. Saudara-
saudaranya pun turut
membantunya, tetapi selendang
tersebut tidak ditemukan.
Akhirnya keenam saudaranya
pun harus meninggalkan
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
445
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
bidadari yang malang itu ke
Kahyangan karena hari semakin
senja.
Penyelesaian:
Bidadari menemukan selendang
kahyangannya yang telah lama
disembuyikan oleh suaminya
dan menyadari jika selama ini
suaminya telah berbohong
kepadanya. Ia pun segera
memakai selendang tersebut dan
segera meninggalkan anak serta
suaminya ke Kahyangan. Datu
Pulut menyesal telah
mengingkari janjinya dengan
Bidadari. Ia mendekat dan
menyentuh bidadari yang
sedang menyusui anaknya. Hal
itu mengakibatkan Bidadari dan
ketujuh saudaranya berubah
menjadi tujuh burung punai.
6
Oheo
- Oheo
- Tujuh bidadari
- Putri bungsu
- Anak laki-laki
- Tumbuhan Ue-Wai
- Para putri raja
- Raja
- Kunang-kunang
Pengenalan:
Di daerah Kendari, hidup
seorang pemuda tampan
bernama Oheo yang tinggal
sendirian di sebuah gubuk di
tengah hutan.
Sulawesi
Tenggara
Konflik:
- Oheo mencuri salah satu
selendang milik sang
bidadari. Rupanya selendang
itu adalah milik bidadari
bungsu bernama
Anawangguluri. Akibat hal
itu, bidadari tidak dapat
terbang ke Kahyangan
bersama saudara-saudaranya.
- Oheo tidak mau lagi
membersihkan kotoran
anaknya. Ia melanggar janji
yang telah diucapkan kepada
istrinya sebelum menikah.
Hal ini membuat putri
Anawai kecewa dan pergi
meninggalkan suami dan
anaknya ke Kahyangan.
Oheo pun menyesali
perbuatannya dan
kebingungan karena tidak
mampu merawat anaknya
seorang diri.
- Pada akhirnya Oheo
berusaha menemui istrinya
ke Kahyangan dengan
bantuan tanaman Ue-Wai.
Sesampainya di Kahyangan,
Oheo mendapatkan ujian
dari sang Raja karena telah
melakukan kesalahan kepada
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
446
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
putrinya. Dengan tekad yang
besar, ia menyelesaikan
semua ujian tersebut agar
segera menemui istrinya
Penyelesaian:
Oheo menerima semua ujian
yang diberikan oleh Raja negeri
Kahyangan. Ia mampu
menyelesaikan semua ujian
tersebut berkat bantuan
sekawanan burung, tikus, dan
kunang-kunang. Akhirnya sang
Raja memperbolehkan Oheo
menemui putri bungsunya dan
mengajak sang putri kembali ke
bumi bersama anaknya. Mereka
pun dapat hidup bahagia dan
sejahtera
7
Asal Mula Tari Patuddu
- Anak Raja
- Tujuh ekor merpati/tujuh
bidadari
- Bidadari bungsu/Kencana
- Anak laki-laki
Pengenalan:
Anak raja mencari pencuri buah
dan bunga di tamannya
Sulawesi Barat
Konflik:
Anak raja mencuri salah satu
selendang bidadari kahyangan.
Salah satu Bidadari yang
kehilangan harus tinggal di
Bumi dan menikah dengan anak
raja
Penyelesaian:
Bidadari menikah dengan anak
raja, punya putri, menemukan
selendang yang dicuri dan
meninggalkan anak raja dan
anaknya ke kahyangan
8
Asal Mula Danau Limboto
- Tujuh bidadari
- Julimoto
- Mbu’i Bungale/bidadari
tertua
- Empat pelancong
Pengenalan:
Tujuh Bidadari Mandi di Bumi
Gorontalo
Konflik:
Seorang pemuda mencuri sayap
salah satu bidadari sehingga
tidak bisa kembali ke
kahyangan dan dinikahinya.
Terjadi perebutan pusaka
dengan pelancong
Penyelesaian:
Jilumoto dan Mbui Bungale
berhasil mengalahkan pelancong
yang ingin memiliki pusaka
9
Asal Mula Botu Liodu Lei
Lahilote
- Pillu Le Lahilote
- Tujuh Putri
Kahyangan/Bidadari/Putri
lo Owabu
- Bidadari bungsu/Boilode
Hulawa
Pengenalan:
Tujuh Bidadari Mandi di Bumi
Gorontalo
Konflik:
Seorang pemuda mencuri sayap
salah satu bidadari sehingga
tidak bisa kembali ke
kahyangan dan dinikahinya.
Saya ditemukan bidadari
kembali ke kahyangan. Suami
menyusul tinggal di kahyangan
ingin kembali ke Bumi
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
447
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
Penyelesaian:
Dibantu rambut bidadari
kembali ke bumi tetapi tertimpa
bencana dan tubuhnya tercerai
berai.
10
Legenda Ile Mauraja
- Raja (bocah laki-laki)
- Ibu
- Kakek
- Tujuh gadis cantik
Pengenalan:
seorang anak laki-laki yang
merasa berasalah terhadap
ibunya karena kesalahannya
NTT
Konflik:
Untuk menebus dosa ia
bertemu kakek dalam mimpi
yang membimbingnya. Ia
bertemu gadis-gadis yang mandi
di gua, membantu, dan ternyata
putri kakek. Ia menikahi gadis
yang merupakan jelmaan ular
Penyelesaian:
Warga menemukan raja hidup
dengan ular dan membakarnya
bersama rumah
peristirahatannya
11
Empat Sultan di Maluku
Utara
- Jafar sidik
- Tujuh bidadari
- Putri Boki
Nurfaesyah/putri bungsu
Pengenalan:
seorang pemuda melihat 7
bidadari mandi di bumi
Maluku
Konflik:
ia mengambil selendang milik si
bungsu. Si bungsu tidak bisa
kembali ke kahyangan dan
menikahi pemuda
Penyelesaian:
Bungsu menemukan selendang
dan kembali ke kahyangan
meninggalkan anak dan
suaminya di Bumi
12
Meraksama
- Meraksama (pemuda)
- Siraiman (saudara)
- Sepuluh bidadari
- Perempuan tua
- Mandinuma
- Raja Koranobini
Pengenalan:
Di sebuah kampung pedalaman
Papuan, hiduplah dua pemuda
yang bernama Meraksamana
dan Siraiman yang bekerja
mencari kayu berburu, dan
mencari ikan di rawa atau
sungai. Suatu malam,
Meraksama Meraksama
bermimpi melihat puluhan
bidadari sedang mandi di telaga
dan menjadi kenyataan.
Papua
Konflik:
Meraksama dan bidadari hidup
bersama. Namun, suatu hari
bidadari bungsu diculik oleh
seorang raja bengis
Penyelesaian:
Bidadari dapat selamat tetapi ia
ingin kembali ke kahyangan dan
Meraksama melepaskan istrinya
kembali dan tidak pernah
kembali ke bumi
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
448
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
Berdasarkan Tabel I ditemukan beberapa kesamaan motif di beberapa daerah nusantara, yang terbagi menjadi
beberapa motif. Menurut Stith Thompson (dalam Atisah, 2015) terdapat sembilan motif utama dalam konsep cerita
bidadari, antara lain; bidadari turun mandi pencurian selendang/baju/sayap, manusia menikah dengan bidadari, larangan
suami tidak boleh melihat pekerjaan dapur, benda sakti yang diterima dari bidadari, ketika melanggar janji, terdapat sebuah
sebutir padi tidak bisa menjadi padi sebelum dimasak, asal-usul menanak nasi, bidadari meninggalkan suami ketika larangan
dilanggar, dan larangan harus ditaati jika mengunjungi kahyangan. Berdasarkan sembilan motif tersebut telah ditemukan
beberapa pada kedua belas cerita yang ada di tabel dan akan dijabarkan sebagai berikut.
1. Kesamaan Motif Berdasarkan Alur
Kesamaan ini dapat dilihat dari alur cerita yang sama, yaitu pada tahap pengenalan yang dari kedua belas cerita di atas,
digambarkan seorang laki-laki yang sedang mengawasi seorang atau beberapa wanita cantik/bidadari yang sedang
mandi atau bermain air disebuah telaga. Pada tahap konflik diceritakan laki-laki mengambil salah satu selendang atau
benda yang digunakan para bidadari untuk kembali ke kahyangan, sehingga salah satu bidadari tidak bisa kembali ke
kahyangan. Pada saat salah satu bidadari tidak bisa kembali, tokoh laki-laki bertindak untuk menolong dan
menjadikannya istri. Pada tahap penyelesaian, diakhiri dengan kesalahan tokoh laki-laki yang mendapatkan
konsekuensi dari perjanjian yang dilanggar hingga mereka berpisah.
2. Kesamaan Motif Bersarkan Tokoh
Kesamaan ini dapat dilihat dari tokoh perempuan yang digambarkan sebagai seorang wanita cantik, tujuh bidadari,
dan sepuluh bidadari. Pada tokoh laki-laki digambarkan sebagai seorang pemuda yang sedang berada dalam fase yang
sulit dan adapula yang digambarkan sebagai seorang laki-laki memiliki kedudukan tingi (raja).
3. Kesamaan Motif Berdasarkan Larangan/Pantangan
Kesamaan ini dapat dilihat pada bagian konflik menuju akhir cerita. Setelah tokoh bidadari tidak bisa kembali ke
asalnya, ia menerima pinangan dari laki-laki karena ia merasa tidak akan bisa hidup tanpa bantuan. Setelah menikah
terdapat beberapa larangan atau aturan yang diajukan oleh sang istri, seperti tidak boleh mencampuri urusan
perempuan, urusan dapur, dan beberapa larangan lainnya. Setelah larangan dilanggar oleh tokoh laki-laki maka tokoh
perempuan akan kembali ke kahyangan atau ke tempat asalnya.
Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa cerita Jaka Tarub memiliki kesamaan motif cerita di beberapa
daerah. Ada 12 cerita yang motif penceritaannya mengisahkan tentang seorang pemuda yang bertemu dengan
bidadari cantik dan mencuri selendang dari salah satu bidadari tersebut ketika sedang mandi di sungai. Ke-12
cerita tersebut dibedakan dari segi lakonnya yang berganti nama, latar cerita yang berbeda, dan alur yang berbeda.
Ditemukan beberapa kesamaan dari ke-12 cerita di atas. Pada cerita Jaka Tarub, tokoh perempuan
diperankan oleh sosok bidadari cantik dari Kahyangan seperti yang dijelaskan pada kutipan di bawah ini.
Jaka Tarub
“Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain air.” “Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari
sudah sore. Kita harus kembali ke Kayangan,” kata bidadari tertua.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/114-Jaka-Tarub)
Terlihat dari kutipan di atas, kesamaan cerita dapat dilihat dari tokoh perempuan yang diperankan oleh
7 sosok bidadari dan bidadari yang ditinggal merupakan bidadari bungsu. Kesamaan ini dapat dilihat pada semua
cerita yang terdapat dalam tabel di atas, kecuali cerita Asal-usul Nama Girilawungan dan Legenda Ile Mauraja
karena kedua cerita ini menggunakan tokoh bidadari tetapi digambarkan sebagai seorang wanita cantik. Selain
pemeran tokoh perempuan, kesamaan dari ke-12 cerita di atas adalah motif cerita yang sama, seperti yang tertera
dalam tabel yakni tokoh laki-laki yang mengintip para tokoh perempuan yang sedang bermain air hingga timbul
keinginan untuk memiliki salah satu dari para perempuan dengan cara mengambil selendang atau pakaian.
Ditemukan pula perbedaan dari ke-12 cerita, yaitu nama para tokoh yang berbeda dari setiap cerita dan latar
tempat terjadinya cerita yang berbeda karena berasal dari wilayah yang berbeda. Selain itu, alur yang digunakan
juga hampir berbeda pada setiap cerita. Namun, ditemukan kesamaan bahwa konflik dari beberapa cerita di atas
adalah tokoh laki-laki yang melanggar janji pada tokoh perempuan yang berhubungan dengan peran perempuan
dalam keluarga.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
449
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
Munculnya kesamaan motif “Jaka Tarub” pada kedua belas cerita rakyat dari berbagai wilayah Indonesia
memunculkan pertanyaan yang menarik, yaitu bagaimana bisa kedua belas cerita yang secara kultural dan geografis
terpaut cukup jauh dapat memunculkan cerita yang memiliki motif sama? Secara kultural dan geografis, motif
cerita “Jaka Tarub” menyebar dari wilayah Barat hingga wilayah Timur Indonesia. Dalam sudut pandang peneliti,
terdapat dua alasan terjadi penyebaran cerita ini, yaitu kepopuleran cerita dan migrasi cerita. Keduanya saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Pertama, ditemukannya motif-motif cerita “Jaka Tarub” yang sama di
beberapa wilayah nusantara memperlihatkan bahwa sejak di masa lalu, pada masa tradisi lisan, cerita Jaka Tarub
telah dikenal oleh masyarakat nusantara. Dalam sejarah perkembangan sastra klasik di Indonesia, proses
penyebaran cerita sebagai dampak dari kepopuleran cerita di masa lalu sudah sering terjadi. Bahkan, pada beberapa
kasus sebuah cerita yang sangat populer di masa lalu dapat diadaptasi bahkan digubah kembali ke dalam versi
lainnya yang memiliki kesamaan motif. Sebagai contoh, kepopuleran cerita Panji dari Jawa yang dikenal hingga
ke wilayah Asia Tenggara Daratan (Andalas, 2016; Poerbatjaraka, 1968; Saputra, 2014). Di berbagai wilayah
tersebut juga ditemui cerita-cerita Panji dengan berbagai versi lokal sesuai dengan tempat cerita tersebut tumbuh
(Andalas & Iswatiningsih, 2020). Contoh lainnya adalah kepopuleran cerita Mahabarata di masa lalu yang
kemudian diadaptasi dan digubah ulang ke dalam cerita-cerita lakon pewayangan Jawa dengan berbagai penamaan
lakon, seting tempat ataupun waktu yang berbeda (Koesoemadinata, 2013). Kondisi ini juga yang patut diduga
terjadi pada adanya kesamaan motif cerita pada cerita-cerita yang bermotif “Jaka Tarub”. Pada masa lalu, motif
cerita ini rupanya diminati oleh masyarakat, sehingga adanya cerita-cerita serupa yang memiliki motif yang sama
meskipun dengan penokohan ataupun latar waktu ataupun tempat yang berbeda sesuai dengan kondisi yang ada
di wilayah cerita tersebut tumbuh.
Melalui beberapa contoh cerita yang juga populer di masa lalu di atas, hal yang terjadi pada penyebaran
cerita bermotif “Jaka Tarub” memperlihatkan bahwa kesamaan motif cerita dalam kutlur dan wilayah geografis
yang berbeda sangat dimungkinkan. Hal ini juga sangat berkaitan dengan alasan yang kedua, yaitu migrasi cerita.
Migrasi cerita berarti perpindahan suatu cerita dari suatu lingkungan budaya tertentu ke wilayah budaya lainnya.
Migrasi cerita dapat disebabkan karena adanya kontak budaya yang intens terjadi di antara dua kebudayaan atau
lebih (Selvaraj, 2020). Melalui interaksi budaya inilah terjadi saling proses mempengaruhi dan berakibat pada
penyebaran cerita ke berbagai wilayah budaya. Hal ini didukung oleh sejarah nusantara yang memperihatinkan
bahwa sejak masa lalu perdagangan di wilayah nusantara melalui jalur laut sangatlah intens (Gischa, 2020).
Perdagangan dan kontak budaya yang terjadi tidak hanya memberikan pengaruh terhadap penyebaran ajaran
keagamaan dan perekonomian, tetapi juga penyebaran kebudayaan. Dalam konteks ini adalah cerita rakyat
bermotif Jaka Tarub. Meskipun begitu, munculnya motif cerita Jaka Tarub di beberapa wilayah Nusantara tidak
berarti bahwa cerita Jaka Tarub yang berasal dari Jawa Tengah merupakan teks hipogram dari cerita-cerita lainnya.
Belum dapat dipastikan bahwa cerita mana yang lebih dahulu muncul dibandingkan cerita lainnya. Akan tetapi,
hal yang tampak adalah cerita dengan motif ini sangat diminati oleh masyarakat pada masa lalu.
Salah satu hal yang membuat beberapa cerita ini memiliki motif yang sama dikarenakan konteks
budaya yang sama di nusantara. Kesamaan atas beberapa cerita rakyat memperlihatkan adanya migrasi
cerita yang dapat melihat keterhubungan ataupun interaksi budaya di masa lalu dapat diketahui (Huda,
2017:1081). Migrasi cerita bekerja dengan cara lisan atau memalui tafsiran-tafsiran masyarakat dari
daerah satu dengan daerah lainnya, sehingga di beberapa daerah memiliki kesamaan persepsi yang sama
mengenai objektivitasi perempuan seperti motif cerita Jaka Tarub meskipun dengan jalan cerita dan kultur
budaya yang berbeda.
Adanya cerita rakyat yang memiliki kesamaan motif cerita khususnya cerita Jaka Tarub dan dua belas
cerita lainnya, menandakan bahwa adanya norma atau perilaku sosial budaya yang sama akan pandangan mengenai
ketimpangan gender di beberapa wilayah nusantara. Kesamaan motif cerita terjadi karena adanya evolusi
kebudayaan yang terjadi. Lantas, dengan adanya perkembangan zaman melahirkan sebuah perubahan yang
signifikan pada budaya setiap daerah (Wahyuni, 2019). Argumentasi di atas, didukung oleh pendapat
Danandjaya (1997), bahwa secara teoretis terjadinya kesamaan motif dapat terjadi, baik secara monogenesis atau
penyebaran motif cerita satu tempat ke tempat lain dan poligenesis atau penemuan sendiri atau sejajar. Dapat
dikatakan bahwa kesamaan motif cerita Jaka Tarub melahirkan variasi cerita yang beragam sesuai dengan corak
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
450
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
budaya lahirnya dua belas cerita lainnya. Di sisi lain, kontak budaya sebagai akibat migrasi merupakan faktor lain
yang dapat mendukung adanya migrasi cerita dari satu wilayah ke wilayah yang lainnya (Purnomo, 2009).
Objektivikasi Perempuan dalam Cerita-Cerita Bermotif “Jaka Tarub”
Perempuan dalam cerita rakyat sering digambarkan sebagai objek bagi tokoh laki-laki (Andalas &
Qur’ani, 2019). Keberadaan perempuan sering dijadikan sebagai “objek kenikmatan” oleh kaum laki-laki seperti
pada cerita Jaka Tarub. Pada cerita Jaka Tarub, sosok perempuan dijadikan sebagai objek seksualitas pandangan
laki-laki (
male gaze
) (Iswara, 2019). Hal ini dapat dilihat dari perjuangan Jaka Tarub dalam mendapatkan
selendang dari salah satu bidadari yang sedang mandi di sungai. Alasan Jaka Tarub mencuri selendang dari salah
satu bidadari tersebut karena Jaka Tarub merasa tertarik dengan kecantikan dari sang bidadari dan Jaka Tarub
ingin bidadari tersebut tidak kembali ke asalnya agar dirinya dapat menjadikannya sebagai objek pemuas.
Perlakuan Jaka Tarub kepada para bidadari dinamakan objektivikasi.
Objektivikasi perempuan cenderung berasal dari perspektif seseorang terutama kaum laki-laki terhadap
sosok perempuan. Objektivikasi terhadap perempuan terjadi akibat cara pandang laki-laki terhadap perempuan
yang tidak netral dan berhubungan dengan seksualitas (Hapsarani, 2017). Selain dalam cerita Jaka Tarub, cara
pandang tersebut juga terdapat dalam 12 cerita rakyat nusantara lainnya yang memiliki kesamaan motif cerita
dengan cerita Jaka Tarub seperti yang dijabarkan berikut.
Legenda Putri Mambang Linau
“Waw, cantik sekali gadis yang berselendang jingga itu." gumam Bujang Enok sambil mengawasi gadis
itu hingga hilang dari pandangannya.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/9-Legenda-Putri-Mambang-Linau)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Bujang Enok menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Bujang Enok. Ia sangat terkesima dengan paras cantik
yang terpancar dari salah satu bidadari tersebut.
“Di balik semak-semak itu, Bujang Enok dapat melihat ketujuh gadis itu tengah berganti pakaian yang
akan mandi.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/9-Legenda-Putri-Mambang-Linau)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan tersebut menggambarkan sebuah kondisi di mana perempuan
dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat dari kacamata
seorang pemuda yang bernama Bujang Enok. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari salah
satu bidadari tersebut ketika akan mandi di sungai.
“Sementara itu, Bujang Enok tercengang-cengang menyaksikan peristiwa itu dari balik semak-semak.
Bujang Enok terus memandangi keenam gadis itu tanpa berkedip sedikitpun.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/9-Legenda-Putri-Mambang-Linau)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan tersebut menggambarkan sebuah kondisi di mana perempuan
dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari kacamata
seorang pemuda yang bernama Bujang Enok. Ia sangat terpana melihat kecantikan para bidadari yang hendak
kembali ke asalnya.
“Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang berwarna jingga, hamba mohon kembalikanlah selendang
itu,” pinta gadis itu sambil menyembah. Bujang Enok menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berkata:
“Saya bersedia mengembalikan selendang jingga milik Tuan Putri, tetapi dengan syarat. Tuan Putri
bersedia menikah dengan saya,” kata Bujang Enok. “Ya, saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan,
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
451
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
asalkan Tuan sanggup berjanji pula apabila saya terpaksa harus menari, berarti kita akan bercerai kasih,”
kata gadis jelita itu dengan tulus.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/9-Legenda-Putri-Mambang-Linau)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Bujang Enok menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Bujang Enok. Ia melakukan penawaran kepada
Mambang Linau agar bersedia menikah dengannya dengan tujuan selendang milik Mambang Linau dapat
dikembalikan.
Mahligai Keloyang, Asal Mula Nama Kelayang
“Ketika Datuk Sakti sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh
sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa. Datuk Sakti terperanjat bukan alang
kepalang.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/19-Mahligai-Keloyang-Asal-Mula-Nama-Kelayang)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan tersebut menggambarkan sebuah kondisi di mana perempuan
dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat dari kacamata
seorang pemuda yang bernama Datuk Sakti. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari
sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa.
“Amboi, elok sangat gadis-gadis itu. Apakah saya ini mimpi? gumam Datuk Sakti sambil mengusap-usap
matanya. "Ah, ini bukan mimpi,” ia gumam lagi untuk meyakinkan dirinya kalau yang dilihatnya itu
benar-benar nyata. Ternyata benar, apa yang dilihatnya sungguhlah nyata.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/19-Mahligai-Keloyang-Asal-Mula-Nama-Kelayang)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Datuk Sakti menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datuk Sakti. Ia bertanya-tanya ketika melihat
sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa. Ia merasa sedang berada di alam mimpi ketika melihat
sekumpulan wanita cantik tersebut. Namun ternyata, sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa
tersebut benar-benar dapat dilihat dengan mata kepala Datuk Sakti.
“Dari balik pohon, Datuk Sakti menyaksikan para bidadari itu melepas pakaian mereka yang indah dan
meletakkannya di pinggir kolam. “Aduhai, sungguh mempesona tubuh para bidadari itu,” ucap Datuk
Sakti kagum.
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/19-Mahligai-Keloyang-Asal-Mula-Nama-Kelayang)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Datuk Sakti menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datuk Sakti. Ia sangat terkesima dengan tubuh dari
para bidadari yang tengah mandi di kolam.
“Datuk Sakti keluar dari persembunyiannya dan mendekati bidadari malang tersebut. “Wahai bidadari
cantik, ada apa gerangan kamu menangis?” sapa Datuk Sakti. “Tuan, apabila Tuan mengetahui selendang
saya, hamba mohon kembalikanlah selendang itu, “pinta bidadari itu.
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/19-Mahligai-Keloyang-Asal-Mula-Nama-Kelayang)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Datuk Sakti menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
452
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datuk Sakti. Ia terlihat sedang menggoda seorang
bidadari yang selendangnya telah dicuri dan disembunyikan olehnya.
“Datuk Sakti mengeluarkan selendang itu dari balik punggungnya, lalu berkata, “Aku akan
mengembalikan selendang kamu tetapi dengan syarat, kamu bersedia menjadi istriku.” Dengan senyum
yang tulus, sang bidadari menjawab, “Ya, saya berjanji bersedia menikah dengan Tuan, asalkan Tuan
sanggup berjanji pula untuk tidak menceritakan asal-usulku dan peristiwa ini kepada orang lain. Jika
Tuan melanggar janji, berarti kita akan bercerai.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/19-Mahligai-Keloyang-Asal-Mula-Nama-Kelayang)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Datuk Sakti menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datuk Sakti. Ia melakukan penawaran kepada sang
bidadari tersebut agar bersedia menikah dengannya dengan tujuan selendang milik bidadari tersebut dapat
dikembalikan.
Sidang Belawan
“Dahulu, di daerah Lampung ada seorang raja yang memiliki tujuh orang istri. Dari ketujuh istri tersebut,
hanya istri yang terakhir memiliki anak.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/258-Sidang-Belawan)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan tersebut menggambarkan sebuah kondisi di mana perempuan
dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat dari kacamata ayah
Sidang Belawan. Ayah dari Sidang Belawan ini menikahi tujuh wanita hanya untuk memuaskan hasratnya sebagai
laki-laki.
“...tiba-tiba pandangan Sidang Belawan tertuju pada 7 bidadari yang sedang asyik mandi di lubuk itu.
Sebelum para bidadari itu melihat, Sidang Belawan cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Dari balik batu itu, ia mengamati gerak-gerik para bidadari tersebut.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/258-Sidang-Belawan)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan tersebut menggambarkan sebuah kondisi di mana perempuan
dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat dari kacamata
seorang pemuda yang bernama Sidang Belawan. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari para
bidadari ketika mereka sedang mandi di lubuk.
“Hai, bidadari cantik. Kenapa kamu menangis?” tanya Sidang Belawan yang berpura-pura tidak tahu
keadaan yang sebenarnya. “Selendangku hilang, Tuan. Sementara kakak-kakakku telah pergi
meninggalkanku seorang diri di sini,” jawab bidadari bungsu dengan hati sedih, “Aku tidak bisa lagi
kembali ke negeriku di Kahyangan.” “Sudahlah, Putri. Barangkali sudah menjadi nasibmu berjodoh
denganku," kata Sidang Belawan.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/258-Sidang-Belawan)
Berdasarkan kutipan di atas, percakapan yang dilontarkan oleh Sidang Belawan menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Sidang Belawan. Ia terlihat sedang menggoda seorang
bidadari yang selendangnya telah dicuri dan disembunyikan olehnya.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
453
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
“Kebetulan aku masih bujangan. Jika Putri berkenan, aku ingin Putri menjadi pendamping hidupku,”
bujuk Sidang Belawan. Bidadari bungsu menghela napas panjang lalu termenung sejenak. Setelah berpikir
bahwa dirinya tidak mungkin lagi kembali ke kahyangan tanpa selendangnya, ia pun menerima bujukan
Sidang Belawan.” (http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/258-Sidang-Belawan)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Sidang Belawan menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Sidang Belawan. Ia melakukan penawaran kepada sang
bidadari tersebut agar bersedia menikah dengannya mengingat kondisi sang bidadari tersebut tidak dapat kembali
ke kahyangan tanpa selendangnya.
Asal-Usul Nama Girilawungan
“Patih itu terkejut begitu melihat seorang putri cantik sedang mandi di kolam. Cepat-cepatlah ia
bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi putri itu. “Cantik sekali putri itu, bagaikan
bidadari dari kahyangan,” kagum patih itu, “Tapi, siapa putri itu dan dari mana asalnya?”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/296-Asal-Usul-Nama-Girilawungan)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh patih menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata sang patih. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari putri Giri Larang ketika
sedang asyik berendam di kolam.
“Jantung sang Raja langsung berdetak kencang saat melihat kecantikan Putri Giri Larang. Raja
tersenyum lalu menyapa sang putri dengan kata-kata lembut. "Maafkan kami atas perlakuan patihku,
putri cantik," ucap sang Raja.
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/296-Asal-Usul-Nama-Girilawungan)
Berdasarkan kutipan di atas, percakapan yang dilontarkan oleh raja menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang raja. Ia terlihat sedang menggoda putri Giri Larang yang pakaiannya telah dicuri dan dibawa
kabur ke istana oleh patihnya.
""Begini. Sebenarnya aku memang sedang mencari istri untuk kujadikan permaisuri. Kebetulan sekali aku
telah bertemu dengan Putri yang selama ini kudambakan. Bersediakah Putri menjadi permaisuriku?"
pinang sang Raja."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/296-Asal-Usul-Nama-Girilawungan)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh raja menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang raja. Ia melakukan penawaran kepada sang putri tersebut agar bersedia menikah dengannya.
Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai
"Namun, saat akan beranjak dari tempatnya tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang
bergembira. Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat bersembunyi di balik pohon seraya mengintip."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/26-Datu-Pulut-Asal-Mula-Burung-Punai)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Datu Pulut menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datu Pulut. Ia sangat terkesima dengan paras cantik
yang terpancar dari para bidadari. Datu Pulut pun mengintip dari balik pohon untuk melihat para bidadari yang
sedang mandi di telaga.
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
454
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
“Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat tujuh bidadari melayang-layang turun dari langit menuju telaga.
Ketujuh bidadari tersebut mengenakan selendang berwarna pelangi. Datu Pulut sangat terpesona
melihatnya. "Aduhai, cantik sekali bidadari yang berselendang jingga itu," gumam Datu Pulut takjub.”
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/26-Datu-Pulut-Asal-Mula-Burung-Punai)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Datu Pulut menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datu Pulut. Ia sangat terkesima dengan paras cantik
yang terpancar dari para bidadari ketika mereka sedang mandi di telaga.
"Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu
menghampirinya, "Apa yang telah terjadi,
Ading
ku? Mengapa berada di tepi telaga seorang diri?" sapa
Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang bidadari."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/26-Datu-Pulut-Asal-Mula-Burung-Punai)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Datu Pulut menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datu Pulut. Ia terlihat sedang menggoda seorang
bidadari yang selendangnya telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
"...Datu Pulut bercerita kepada sang bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk
memperistrinya. "Wahai,
Ading
ku! Bersediakah kamu menjadi istriku?" tanya Datu Pulut kepada
bidadari. Mendengar pertanyaan itu, sang bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut karena ia
tidak mungkin kembali ke kahyangan tanpa selendangnya."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/26-Datu-Pulut-Asal-Mula-Burung-Punai)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Datu Pulut menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Datu Pulut. Ia melakukan penawaran kepada sang
bidadari tersebut agar bersedia menikah dengannya mengingat kondisi sang bidadari tersebut tidak dapat kembali
ke kahyangan tanpa selendangnya.
Oheo
"Tidak jauh dari tempat ia berdiri, ada tujuh bidadari cantik yang sedang terbang-berputar-putar di aras
sungai. Melihat hal itu, ia segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu ia terus
memerhatikan gelagat ketujuh bidadari tersebut. "Aduhai... cantiknya bidadari-bidadari itu!" ucap Oheo
dengan penuh takjub."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/78-Oheo)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Oheo menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Oheo. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari
para bidadari ketika mereka turun dari langit menuju sungai.
"Tidak lama kemudian, Oheo keluar dari tempat persembunyiannya, lalu menghampiri Putri
Anawangguluri. "Hai putri cantik! Aku Oheo. Aku tinggal di sekitar daerah ini," sapa Oheo
memperkenalkan diri. "O iya, kamu siapa?" tanya Oheo."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/78-Oheo)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Oheo menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
455
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Oheo. Ia terlihat sedang menggoda seorang bidadari yang
selendangnya telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
""Maukah kamu menolongku, Oheo?" tanya putri Anawai mengiba kepada Oheo. "Apakah itu, putri?
Katakanlah!" seru Oheo. "Bolehkah aku tinggal di rumahmu untuk sementara waktu? Jika aku sudah
menemukan selendangku, aku akan kembali lagi ke kahyangan," pinta sang putri. "Baiklah, aku akan
menolongmu. Tapi dengan syarat kamu mau menikah denganku," jawab Oheo."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/78-Oheo)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Oheo menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Oheo. Ia melakukan negosiasi dengan putri Anawai ketika putri
memohon izin untuk tinggal di rumah Oheo. Oheo pun tidak menyetujuinya begitu saja. Oheo memberikan
syarat dengan menikah dengannya baru mengizinkan sang putri untuk tinggal bersamanya.
Asal-Mula Tari Patuddu
"Tanpa diduganya, tiba-tiba tujuh ekor merpati itu menjelma menjadi tujuh bidadari cantik. Rupanya
mereka hendak mandi-mandi di kolam anak raja. Sebelum masuk ke dalam kolam, mereka bermain-
main sambil memetik bunga dan buah sesuka hatinya. Anak Raja terpesona melihat kecantikan ketujuh
bidadari itu. "Ya Tuhan! Mimpikah aku ini? Cantik sekali gadis-gadis itu," gumam anak raja dengan
kagum."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/43-Asal-Mula-Tari-Patuddu)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh anak raja menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang anak raja. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari para bidadari ketika
mereka berubah wujud dari burung merpati.
"Melihat bidadari bungsu tinggal sendirian, anak raja pun keluar dari persembunyiannya lalu
menghampirinya. "Hai, gadis cantik! Kamu siapa? Mengapa kamu menangis?" tanya anak raja pura-pura
tidak tahu."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/43-Asal-Mula-Tari-Patuddu)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh anak raja menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang anak raja. Ia terlihat sedang menggoda seorang bidadari yang selendangnya telah dicuri dan
disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
""Kalau begitu, tinggallah bersamaku. Aku belum berkeluarga," kata anak raja seraya bertanya, "Maukah
kamu menjadi istriku?" Sebenarnya Kencana sangat ingin kembali ke kahyangan, namun selendangnya
tidak ia temukan dan pelangi pun telah hilang. Sesuai dengan janjinya, ia pun bersedia menikah dengan
anak raja ..."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/43-Asal-Mula-Tari-Patuddu)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh anak raja menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang anak raja. Ia melakukan penawaran kepada sang bidadari tersebut agar
bersedia menikah dengannya mengingat kondisi sang bidadari tersebut tidak dapat kembali ke kahyangan tanpa
selendangnya.
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
456
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
Asal Mula Danau Limboto
"Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak
berkedip sedikitpun. "Aduhai... cantiknya bidadari-bidadari itu!" gumam Jilumoto dengan takjub."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/178-Asal-Mula-Danau-Limboto)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Jilumoto menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jilumoto. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar
dari para bidadari ketika sedang asyik mandi di sekitar mata air Tupalo.
"... Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu’i Bungale. "Hai,
bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?" tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui
keadaan sebenarnya."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/178-Asal-Mula-Danau-Limboto)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Jilumoto menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jilumoto. Ia terlihat sedang menggoda Mbu’i Bungale yang
sayapnya hilang karena telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
"... Jilumoto segera mengajak Mbu’i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu punbersedia
menikah dengan Jilumoto."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/178-Asal-Mula-Danau-Limboto)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Jilumoto menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jilumoto. Ia mengajak Mbu’i Bungale untuk menikah
dan hidup bersama dengannya di bumi tanpa memperdulikan Mbu’i Bungale yang sedang bersedih karena
sayapnya hilang.
Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote
"Ia tersentak kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di telaga itu. Ia
mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikitpun."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/184-Asal-Mula-Botu-Liodu-Lei-Lahilote)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Lahilote menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Lahilote. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar
dari para bidadari ketika sedang asyik mandi di telaga.
"Sementara itu, Lahilote yang melihat si bungsu bersedih segera keluar dari persembunyiannya lalu
menghampirinya. "Hai, gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?" tanya
Lahilote seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu. Gadis cantik itu tidak
menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti menangis setelah Lahilote membujuk dan
merayunya berkali-kali."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/184-Asal-Mula-Botu-Liodu-Lei-Lahilote)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Lahilote menggambarkan sebuah kondisi
di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata seorang pemuda yang bernama Lahilote. Ia terlihat sedang menggoda Boilode yang sayapnya hilang
karena telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
457
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
"Selang beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk menikahi putri
kahyangan itu. "Dinda! Maukah Dinda menikah dengan Kanda?" bujuk Lahilote."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/184-Asal-Mula-Botu-Liodu-Lei-Lahilote)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Lahilote menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Lahilote. Ia mengajak Boilode untuk menikah dan
hidup bersama dengannya di bumi tanpa memperdulikan Boilode yang sedang bersedih karena sayapnya hilang.
Legenda Ile Mauraja
"Raja penasaran. Ia pun memberanikan diri masuk ke dalam gua itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat
tujuh gadis cantik sedang mandi di sungai di dalam gua itu. "Aduhai... cantiknya gadis-gadis itu!" gumam
raja dengan perasaan kagum."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/277-Legenda-Ile-Mauraja)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh raja menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata sang raja. Ia sangat terkesima dengan paras cantik yang terpancar dari para bidadari ketika mereka
sedang mandi di sungai dalam gua.
"Melihat keadaan itu, raja pun keluar dari persembunyiannya lalu menghampiri gadis-gadis tersebut.
"Hai, apa yang sedang terjadi dengan gadis cantik ini?" tanya raja dengan berpura-pura tidak mengetahui
permasalahan."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/277-Legenda-Ile-Mauraja)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh raja menggambarkan sebuah kondisi di
mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini dapat dilihat
dari kacamata sang raja. Ia terlihat sedang menggoda seorang bidadari yang pakaiannya telah dicuri dan
disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
Empat Sultan di Maluku Utara
"Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat
kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling
cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu. "Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,"
gumam Jafar Sidik dengan kagum."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/153-Empat-Sultan-di-Maluku-Utara)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Jafar Sidik menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jafar Sidik. Ia sangat terkesima dengan paras cantik
yang terpancar dari para bidadari ketika mereka turun dari balik pelangi menuju telaga Air Sentosa.
"Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya. "Hai, bidadari
cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menagis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?" tanya Jafar
Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/153-Empat-Sultan-di-Maluku-Utara)
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Jafar Sidik menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernamaJafar Sidik. Ia terlihat sedang menggoda putri Boki
yang kehilangan pakaian karena telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
458
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
"Sejak tinggal bersama putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin
kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada putri Boki Nurfaesyah. "Wahai, putri Boki!
Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini. Maukah engkau menjadi
pendamping hidupku?" ungkap Jafar Sidik."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/153-Empat-Sultan-di-Maluku-Utara)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Jafar Sidik menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jafar Sidik. Ia mengajak putri Boki untuk menikah
dan hidup bersama dengannya setelah sekian lama tinggal bersama.
""Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat," jawab putri
Boki Nurfaesyah. "Apakah syaratmu itu, putri Boki?" tanya Jafar Sidik penasaran. "Tuan harus berjanji
tidak akan mencegah hamba pulang ke kahyangan jika hamba menemuka kembali selendang hamba,"
jawab putri Boki Nurfaesyah. Jafar Sidik pun menerima syarat itu..."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/153-Empat-Sultan-di-Maluku-Utara)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Jafar Sidik menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Jafar Sidik. Ia melakukan negosiasi terkait persyaratan
untuk menikahi putri Boki.
Meraksamana
"Alangkah terkejutnya ia saat tiba di tempat itu, ia melihat sepuluh bidadari dari kahyangan sedang
mandi sambil bersenda-gurau di tengah-tengah telaga. Ia pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon
besar dan mengawasi gerak-gerik para bidadari tersebut dari balik pohon. "Ternyata, mimpiku benar-
benar menjadi kenyataan," kata Meraksamana, "Bidadari-bidadari itu sungguh cantik dan
mempesona.""
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/254-Meraksamana)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang dilontarkan oleh Meraksamana menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Meraksamana. Ia sangat terkesima dengan paras cantik
yang terpancar dari para bidadari setelah ia melihat secara langsung wujud bidadari yang berada dalam mimpinya.
""Hai, anak muda! Sedang apa kamu di sini?" tanya nenek itu. "Sa.. sa.. saya sedang mengawasi bidadari-
bidadari itu, Nek," jawab Meraksamana dengan gugup. Nenek itu tersenyum, lalu berpesan kepada
Meraksamana. "Jika ingin memperistri mereka, sebaiknya kamu ambil pakaian mereka yang diletakkan
di atas batu besar sana!" ujar nenek itu sambil menunjuk ke tempat di mana pakaian para bidadari itu
diletakkan, "Mereka pasti tidak akan bisa terbang kembali ke negerinya." "Baik, Nek," jawab
Meraksamana."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/254-Meraksamana)
Berdasarkan kutipan di atas, Meraksamana menyetujui pesan yang disampaikan oleh seorang perempuan
tua itu. Meraksamana pun mencuri dan menyembunyikan selendang milik salah satu bidadari agar dirinya dapat
menikahi bidadari tersebut. Hal ini dilakukan oleh Meraksamana untuk memenuhi hasratnya sebagai laki-laki.
"Melihat bidadari bungsu itu bersedih, Meraksamana segera menghampiri dan menghiburnya. "Hai,
gadis cantik. Kamu siapa dan kenapa menangis?" tanya Meraksamana pura-pura tidak tahu."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/254-Meraksamana)
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
459
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
Berdasarkan kutipan di atas, pertanyaan yang dilontarkan oleh Meraksamana menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Meraksamana. Ia terlihat sedang menggoda sang
bidadari yang kehilangan pakaian karena telah dicuri dan disembunyikan olehnya dengan berpura-pura bertanya.
"Selang beberapa waktu kemudian, pemuda itu mengajaknya menikah. Si bungsu pun tidak bisa menolak
ajakan itu. Selain karena ia tidak bisa lagi kembali ke negerinya, hidupnya bergantung pada Maraksamana
yang telah menolongnya."
(http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/254-Meraksamana)
Berdasarkan kutipan di atas, pernyataan yang diungkapkan oleh Meraksamana menggambarkan sebuah
kondisi di mana perempuan dijadikan sebagai objek yang dipandang dan dinikmati oleh kaum adam. Hal ini
dapat dilihat dari kacamata seorang pemuda yang bernama Meraksamana. Ia mengajak sang bidadari untuk
menikah dan hidup bersama dengannya di bumi. Sang bidadari tidak dapat menolak karena dirinya tidak dapat
kembali ke negerinya serta hidupnya telah bergantung pada Meraksamana selama tinggal di bumi.
Dari kedua belas cerita di atas, memperlihatkan bahwa perempuan menjadi fantasi seksual laki-laki dari
berbagai umur dan kasta sosial yang umumnya dijadikan sebuah keuntungan oleh laki-laki dengan dalih menolong
dan dijadikannya menjadi istri. Dapat dilihat bahwa tokoh perempuan banyak menyetujui ide tersebut karena
tidak ada yang bisa mereka lakukan selain bergantung pada laki-laki. Jiwa inferior perempuan ini dimanfaatkan
oleh para kaum superior yang dengan senang hati menjadi pemimpin di sektor keluarga (Movahedi & Moshtagh,
2019; Takovski, 2019).
Perempuan dalam sektor keluarga hanya bergelut dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki dapat
berkegiatan dalam sektor industri (Andestend, 2020; Buana, 2009). Terlihat dalam dua belas cerita di atas,
perempuan hanya bergelut di dapur saja setelah para tokoh laki-laki berhasil membujuk tokoh perempuan untuk
menikah. Setelah para tokoh perempuan mengalami objektivikasi, perempuan, mereka juga mengalami
deskriminisi gender.
Objektivikasi perempuan dari cerita Jaka Tarub dan kedua belas cerita lainnya, dibuktikan dari pendapat
Langton (dalam Hapsarani, 2017) yang mengatakan bahwa terdapat tanda terjadinya objektivikasi terhadap
perempuan, salah satunya adalah seseorang diidentifikasi berdasarkan dengan tubuh atau bagian tubuh dan
seseorang diperlakukan berdasarkan penampilan. Perempuan dieksploitasi tubuhnya bagi kepentingan fantasi
seksual laki-laki (Andalas & Prihatini, 2018; Lahdji, 2015; Yulianto & Yuliastuti, 2019). Tampak bahwa cerita
rakyat menjadi medium bagi pelembagaan pemosisian perempuan dalam suatu kultur masyarakat pada kedua
belas cerita yang telah dipaparkan dalam tabel di atas. Dalam konteks ini adalah melembagakan cara pandang
laki-laki dalam melihat perempuan yang tergambarkan di dalam cerita. Maka dari itu, terlihat bahwa setiap tokoh
perempuan di atas selalu digambarkan keelokan parasnya dan menjadikan para tokoh laki-laki ingin memiliki
mereka dengan cara apapun.
SIMPULAN
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kesamaan motif Jaka Tarub yang ada dalam cerita rakyat
Nusantara dan melakukan kritik sastra feminis atas gambaran objektifikasi perempuan yang ada di dalam
cerita. Penelitian ini menemukan terdapat dua belas cerita rakyat yang memiliki kesamaan motif cerita
dengan cerita Jaka Tarub dari Jawa tengah, yaitu cerita Sidang Belawan dari Lampung, Asal-Usul Nama
Girilawungan dari Jawa Barat, Putri Mambang Linau dan Mahligai Keloyang (Asal Mula Nama Kelayang)
dari Riau, Meraksama dari Papua, Empat Sultan di Maluku Utara dari Maluku, Legenda Ile Marauja dari
NTT, Asal Mula Danau Limboto dan Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Gorontalo, Asal Mula
Tari Patuddu dari Sulawesu Barat, Oheo dari Sulawesi Tenggara, dan cerita Datu Pulut: Asal Mula Burung
Punai dari Kalimantan Selatan. Kesamaan motif berada pada unsur alur, tokoh, dan larangan/pantangan.
Meskipun begitu, pada unsur lain, seperti nama tokoh, latar waktu, latar sosial, dan latar budaya pada
masing-masing cerita berbeda sesuai dengan tempat cerita berasal. Penelitian ini berpendapat bahwa
munculnya cerita di wilayah Nusantara bermotif Jaka Tarub ditengarai karena dua hal, yaitu popularitas
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
460
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
cerita di masa lalu dan migrasi cerita sebagai akibat kontak budaya antarmasyarakat di masa lalu. Di sisi
lain, meskipun cerita telah menyebar dan beradaptasi dengan kebudayaan lokal, tetapi gambaran terhadap
objektivikasi perempuan masih ditemukan pada seluruh cerita. Hal ini memperlihatkan kesamaan
prespektif masyarakat mengenai fantasi laki-laki terhadap tubuh perempuan meskipun berbeda daerah.
Melalui penelitian ini tampak bahwa objektivikasi terhadap perempuan muncul dalam cerita
rakyat di beberapa wilayah Indonesia melalui motif cerita Jaka Tarub. Hal ini tampak dari popularitas
cerita bermotif Jaka Tarub yang ditemukan dalam berbagai wilayah nusantara. Hal ini sekaligus
menegaskan bagaimana perempuan dipandang dalam kultur masyarakat Nusantara di masa lalu. Adapun
saran yang dapat diberikan kepada peneliti lain adalah penelitian ini merupakan penelitian awal yang
terbatas pada analisis tekstual. Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan
data-data etnografi yang kaya untuk memperkuat interpretasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kelancaran dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ketua
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP-UMM, yang telah memberikan dukungan sehingga
penelitian ini dapat diselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Andalas, E. F. (2015). Mitos-mitos Kabupaten Malang: Cara orang Jawa dalam menjelaskan dunianya.
Puitika
,
11
(2), 150–162. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/323113958_Mitos-
Mitos_Kabupaten_Malang_Cara_Orang_Jawa_dalam_Menjelaskan_Dunianya
Andalas, E. F. (2016).
Sastra lisan lakon lahire Panji dalam pertunjukan wayang topeng malangan
padepokan mangun dharma: Kajian sastra lisan Ruth H Finnegan
. Suarabaya: Universitas
Airlangga.
Andalas, E. F. (2017). Eskapisme realitas dalam dualisme dunia Alice telaah psikologi-sastra film Alice
in Wonderland (2010).
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya (e-
Journal)
,
3
(2), 185–195. https://doi.org/10.22219/kembara.v3i2.5136
Andalas, E. F. (2018). Cerita rakyat dan tradisi masyarakat agraris nusantara: Mitos Dewi Sri (Jawa) dan
Legenda Putri Mandalika (Sasak). In P. Karyanto (Ed.),
Kisah-Kisah Perempuan dan Cerita
Rakyat Nusantara
(pp. 1–12). Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga.
Andalas, E. F., & Iswatiningsih, D. (2020).
Cerita Panji: Mengenal tokoh Panji dalam Beragam Media
.
Malang: Pelangi Sastra.
Andalas, E. F., & Prihatini, A. (2018). Representasi perempuan dalam tulisan dan gambar bak truk:
Analisis wacana kritis multimodal terhadap bahasa seksis.
Satwika
,
2
(1), 1–19.
https://doi.org/10.22219/satwika.v2i1.7018
Andalas, E. F., & Qur’ani, H. B. (2019). Masculine domination: gender construction in Indonesian folk
literature.
Proceedings of the 1st Seminar and Workshop on Research Design, for Education,
Social Science, Arts, and Humanities, SEWORD FRESSH 2019
, 1–7.
https://doi.org/10.4108/eai.27-4-2019.2286838
Andestend, A. (2020). Feminisme sosialis di dalam novel Mencari Perempuan yang Hilang karya Imad
Zaki.
Jurnal Ilmiah Korpus
,
4
(2), 138–147.
https://doi.org/https://doi.org/10.33369/jik.v4i2.8022
Aristama, M. F., Andalas, E. F., & Sugiarti, S. (2020). Dampak dan fungsi mite semar bagi kehidupan
masyarakat Lereng Gunung Arjuan.
Poetika
,
8
(1), 1–12. https://doi.org/10.22146
/poetika.55300
Atisah. (2015). “Lalan Belek” cerita bidadari dari rejang, Bengkulu: Kajian motif.
Metasastra
,
8
(2), 239–
248. Retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/230547594.pdf
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
Vol. 7, No. 2, Oktober 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
461
Ichda Nabilatin Nisa, Eggy Fajar Andalas, Motif “Jaka Tarub” dan objektivitas perempuan dalam cerita rakyat nusantara
Buana, C. (2009). Sejarah, teori, dan aplikasi kritik sastra feminis.
Buletin Al-Turas
,
15
(3), 257–278.
https://doi.org/10.15408/bat.v15i3.4270
Budiarti, Y. O. (2014).
Resistensi dari objektifikasi terhadap perempuan dalam novel The Sinden Karya
Halimah Munawir
. Semarang: Universitas Diponegoro.
Danandjaja, J. (1997).
Folklore Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain
. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Gischa, S. (2020). Terbentuknya jaringan nusantara melalui jalur perdagangan.
Kompas.Com
.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/12/200000369/terbentuknya-jaringan-
nusantara-melalui-jalur-perdagangan?page=all
Hapsarani, D. (2017). Objektivitas perempuan dalam tiga dongeng klasik dari sanggar tumpal:
Sangkuriang, Jaka Tarub, dan Si Leungli.
Paradigma: Jurnal Kajian Budaya
,
7
(2), 124–137.
https://doi.org/10.17510/paradigma.v7i2.168
Hasan, N. H. (2017). Motif dan tipe dalam cerita rakyat Kepulauan Aru.
Totobuang
,
5
(1), 137—148.
Huda, M. (2017). Legenda Candi Prambanan dan Gunung Kunci: Kajian sastra maskulin.
Flurecol
Proceeding: UAD Yogyakarta
, 1080–1085. Retrieved from http://lpp.uad.ac.id/wp-
content/uploads/2017/05/188-Miftakhul-1080-1085.pdf
Iswara, T. W. (2019). Tubuh perempuan pada cerita rakyat Jawa Timuran: Jaka Tarub dan Ande-Ande
Lumut.
PARAFRASE: Jurnal Kajian Kebahasaan & Kesastraan
,
19
(1), 7–16.
https://doi.org/10.30996/parafrase.v19i1.1966
Koesoemadinata, M. I. P. (2013). Wayang kulit Cirebon: Warisan diplomasi seni budaya nusantara.
Journal of Visual Art and Design
,
4
(2), 142–154. Retrieved from
http://journals.itb.ac.id/index.php/jvad/article/view/761
Lahdji, R. F. (2015). Objektifikasi Perempuan dan Tubuh: Wacana Tubuh Perempuan dalam Lirik Lagu
Dangdut Populer Tahun 2000-2013.
Lakon: Jurnal Kajian Sastra dan Budaya
,
4
(1), 103-130.
http://dx.doi.org/10.20473/lakon.v4i1.1938
Larasati, H., & Andalas, E. F. (2021). Fungsi legenda “Asal-Usul Telaga Ngebel” bagi Masyarakat Desa
Ngebel, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Undas: Jurnal Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra
,
17
(1), 63–74. https://doi.org/10.26499/und.v17i1.3411
Miles, B. M., & Huberman, M. (1992).
Analisis Data kualitatif buku sumber tentang metode-metode
baru
. California: SAGE Publications.
Movahedi, S., & Moshtagh, N. (2019). Persian tales on the couch: Notes on folktales as the mirror of
the contemporary cultural struggles with gender and sexuality.
International Forum of
Psychoanalysis
,
28
(2), 115–124. https://doi.org/10.1080/0803706X.2017.1422604
Nayahi, M. (2015). Objektifikasi perempuan oleh media: Pembakuan identitas perempuan dan dominasi
kekuasaan laki-laki.
Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan
. Retrieved from
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/objektifikasi-perempuan-oleh-media-
pembakuan-identitas-perempuan-dan-dominasi-kekuasaan-laki-laki
Poerbatjaraka, R. M. (1968).
Tjerita Pandji dalam perbandingan
. Jakarta: Gunung Agung.
Pratiwi, Y., Andalas, E. F., & Dermawan, T. (2018).
Penelitian sastra kontekstual
. Jakarta: Kota Tua.
Purnomo, D. (2009). Fenomena migrasi tenaga kerja dan perannya bagi pembangunan daerah asal: Studi
empiris di Kabupaten Wonogiri.
Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Masalah Ekonomi dan
Pembangunan
,
10
(1), 84-93. https://doi.org/10.23917/jep.v10i1.810
Rice, P. S. (2000). Gendered readings of a traditional “feminist” folktale by sixth-grade boys and girls.
Journal of Literacy Research
,
32
(2), 211–236.
https://doi.org/10.1080/10862960009548074
Saputra, K. H. (2014). Cerita Panji: Genre, pertumbuhan, dan persebarannya. In D. Isyanti (Ed.),
Prosiding Seminar Naskah Kuna. Nusantara: Cerita Panji sebagai Warisan Dunia2
(pp. 23–38).
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Saputri, R. A. (2016). Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” di daerah Jawa
Vol. 7, No. 2, Oktober, 2021, Halaman: 438-462
ISSN : 2442-7632 print | 2442-9287
online
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa,
Sastra, dan Pengajarannya
462
KEMBARA: Jurnal Keilmuan Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Volume 7, Nomor 2, Oktober 2021, halaman 438-462
Tengah.
Bastra
,
1
(1), 1–15. https://doi.org/10.36709/jb.v1i01.1056
Sayono, J., & Nafi’ah, U. (2017). Nilai-nilai pendidikan karakter dalam dongeng Gagak Rimang.
Sejarah
dan Budaya: Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya
,
9
(2), 236-256.
http://dx.doi.org/10.17977/um020v9i22015p236-256
Selvaraj, C. J. (2020). Migration accounts in oral tradition: from the folk ballads of Southern Tamil
Nadu.
The International Journal of Analytical and Experimental Modal Analysis
,
12
(7), 14–20.
https://doi.org/18.0002.IJAEMA.2020.V12I7.200001.015685111791
Sugiarti, Andalas, E. F., Saraswati, E., & Kusniarti, T. (2019).
Ekologi budaya: Studi Ekologi dalam
bingkai kajian sastra interdisipliner
. Malang: UMM Press.
Sugiarti, Andalas, E. F., & Setiawan, A. (2020).
Desain penelitian kualitatif sastra
. Malang: UMM Press.
Sulistyorini, D., & Andalas, E. F. (2017).
Sastra lisan: Kajian teori dan penerapannya dalam penelitian
.
Malang: Madani.
Takovski, A. (2019). Representing sexuality through folklore: Erotic folktales and online jokes as
‘mirrors’ of gender hierarchies.
Folklore (Estonia)
,
75
, 149–172.
https://doi.org/10.7592/FEJF2019.75.takovski
Wahyuni, L. (2019). Motif cerita rakyat sebagai sarana penjaga integritas sosial masyarakat ASEAN.
Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter
,
3
(1), 49–60.
https://doi.org/10.21776/ub.waskita.2019.003.01.5
Wahyuningtyas, K., & Pramudiyanto, A. (2021). Perbandingan motif cerita Jaka Tarub dan Nawang
Wulan dengan cerita Niúláng Zhinü.
Diwangkara
,
1
(1), 16–25. Retrieved from
https://jurnal.lppmstkipponorogo.ac.id/index.php/DIWANGKARA/article/view/105
Yulianto, N., & Yuliastuti, N. (2019). Dinamika citra tubuh prempuan dalam lukisan karya Luna Dian
Setya.
Imajinasi: Jurnal Seni
,
13
(1), 27–34. https://doi.org/10.15294/imajinasi.v13i1.21922