Content uploaded by Shidarta Shidarta
Author content
All content in this area was uploaded by Shidarta Shidarta on Sep 20, 2021
Content may be subject to copyright.
BINA NUSANTARA BINUS UNIVERSITY Business Law
People Innovation Excellence
Home Rubric of Faculty Members BULAN BAHASA, SUMPAH PEMUDA, DAN BA...
BULAN BAHASA, SUMPAH PEMUDA, DAN BAHASA
HUKUM
Oleh SHIDARTA (September 2015)
Dalam beberapa hari ke depan, kita akan memasuki bulan Oktober yang dikenal juga sebagai
Bulan Bahasa. Konon predikat Bulan Bahasa diberikan karena pada tanggal 28 Oktober 1928
terjadi peristiwa Sumpah Pemuda yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebaga bahasa
persatuan.
Peristiwa ‘Sumpah Pemuda’ terbilang unik karena momentum tersebut mendahului kelahiran
negara Indonesia17 tahun kemudian. Saat Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta,
mereka melakukannya atas nama bangsa Indonesia. Artinya, kebangsaan Indonesia mendahului
kenegaraan Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk kebahasaan Indonesia, yang mengambil akar
pada bahasa Melayu ‘pasar’ mengingat sejak lama ia sudah menempati posisi sebagaibahasa
penghubung (lingua franca) bagi suku-suku yang ada di Nusantara.
Dari ketiga sumpah yang diucapkan, taki (ikrar) ketiga terbilang menarik untuk disimak. Para
pemuda Indonesia ketika itu berjanji untuk menjunjung bahasa persatuan, yaitu bahasa
Indonesia. Dengan ragambahasa daerah lebih dari 400 jenis, tekad ini merupakan terobosan
penting yang di kemudian hari terbukti sukses. Bahasa Indonesia benar-benar tampil menjadi
bahasa persatuan. Bahasa Indonesia menyelinap masuk jauh ke pelosok-pelosok Indonesia,
digunakan secara meluas, diposisikan baik sebagai bahasa pertama maupun kedua setelah
bahasa daerah setempat.Tatkala penulis menghadiri sebuah seminar tentang Papua belum lama
berselang di Jakarta, teman-teman dari Papua dengan bangga mengatakanbahwa di Tanah Papua
yang notabene merupakan daerah terjauh dari Tanah Melayu (Sumatera Timur) sebagai tempat
asal muasal bahasa Indonesia, ternyatabahasa Indonesia sejak lama sudah digunakan sebagai
mediumkomunikasi anak-anak suku di Papuasecara sangatefektif. Ada yang berani mengatakan
bahwa kualitas bahasa Indonesia mereka bahkan jauh lebih baik (dalam arti lebih baku)
dibandingkan dengan kebanyakan penutur bahasa Indonesia di kota-kota di Sumatera dan Jawa.
Fenomena ini tentu menggembirakan di tengah isu-isu disintegrasi terkait ketanah-airan (sumpah
pertama) dan kebangsaan (sumpah kedua). Prestasi Indonesia dalam menjaga identitas
kebahasaannya merupakan keberhasilan yang terbukti tidak semua bangsa dapat mencapainya.
Lalu, bagaimana kaitannya dengan hukum dan bahasa hukum? Seorang ahli hukum adat
Indonesia asal Belanda, Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) pernah meragukan kemungkinan
ada yang disebut bahasa Indonesia. Figur yang kerap disebut ‘Bapak Hukum Adat Indonesia’ ini
mengatakan sangat mungkin untuk membentuk satu hukum nasional Indonesia, tetapi tidak
untuk bahasa nasional Indonesia. Dugaan Vollenhoven terbukti kebalikannya. Setelah Indonesia
memasuki dasawarsa ketujuh kemerdekaannya, desain besar sistem hukum nasional kita belum
benar-benar berhasil diwujudkan. Ketiadaan desain ini menguras banyak energi kita di tengah
perdebatan tentang perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum (versus pluralisme hukum), atau
perlu tidaknya pembentukan kodifikasi hukum (versus modifikasi hukum). Produk hukum kolonial
Belanda yang berbentuk wet, ordonantie, dan reglement, masih tersebar dan dipakai di sana-sini.
Ketidakseriusan kita dalam merancang desain hukum nasional tercermin dari pembentukan
terminologi hukum kita yang terbilang tidak taat asas seturut kaidah bahasa Indonesia. Kita masih
bingung untuk memakai istilah ‘hukum formal’ atau ‘hukum formil’. Demikian juga: ‘hukum
materiil’, ‘hukum materiel’, atau ‘hukum material’? Lalu apakah: ‘sistem presidensiil’ atau ‘sistem
presidensial’?
Para pembentuk hukum kita perlu serius untuk menyikapi hal ini karena begitu sebuah terma
diperkenalkan di dalam undang-undang, maka pada detik itu juga ia akan menjadi kosakata resmi
dan masuk dalam perbendaharaan bahasa hukum Indonesia. Sebagai contoh, dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, pembentuk undang-undang ternyata memakai kata ‘praktek
monopoli’ dan bukan ‘praktik monopoli’ sebagaimana seharusnya menurut kaidah pembentukan
istilah dalam bahasa Indonesia. Kebingungan ini juga ikut menimpa nama institusi hukum kita,
misalnya singkatan Ditjen HAKI yang sejak awal sebenarnya sudah disadari keliru sebagai
kependekan untuk nama sebuah direktorat jenderal di bidang hak [atas] kekayaan intelektual,
pernah diubah menjadi Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, dan sekarang menjadi Ditjen Kekayaan
Intelektual.
Dalam menyambut Bulan Bahasa tahun ini, tampaknya kita perlu disadarkan bahwa urusan
berbahasa bukan perkara sepele. Penggunaan kata dan kalimat yang keliru dapat sangat
menyesatkan apabila kata dan kalimat itu diperkenalkan di hadapan publik apalagi kemudian
mengikat menjadi bahasa hukum. Lembaga-lembaga resmi negara seperti DPR dan pemerintah
perlu sangat berhati-hati dalam memilih kata tatkala mereka menerbitkanperaturan perundang-
undangan, peraturan kebijakan, dan keputusan. Juga instansi-instansi yang produknya
bersentuhan dengan publik, terlepas apakah mereka institusi pemerintahan atau swasta, seperti
media massa dan perusahaan periklanan, tidak boleh lagi sembarangan menelurkan
peringatan/informasi dengan bahasa Indonesia yang keliru. Dalam pengamatan penulis, PT Jasa
Marga yang menjadi pengelola jalan tol tergolong paling sembrono dalam berbahasa Indonesia
(misalnya, masih saja keliru dalam menulis kata ‘menaikkan’ menjadi ‘menaikan’; atau ‘di jalan’
menjadi ‘dijalan’).
Terlepas dari kekeliruan berbahasa yang terjadi karena kesembronoan, tentu ada ruang bagi
pengguna bahasa Indonesia untuk juga terus beradaptasi dengan kebutuhan-kebutuhan praktis.
Bahasa adalah medium yang paling demokratis karena preferensi berbahasa tidak dapat
dipaksakan oleh otoritas manapun. Von Savigny pernah menganologikan hukum dengan bahasa
karena dalam pandangannya keduanya tumbuh bagaikan organisme yang hidup.
Dalam perjalanan bahasa Indonesia, tidak bisa dihindari bahwa interaksi para pengguna bahasa
Indonesia dengan penggunaan bahasa asing menyebabkan banyak kompromi harus dilakukan.
Hal ini merupakan tantangan yang tidak kecil.Pengguna bahasa Indonesia terkadang harus
melakukan adaptasikarena alasan-alasan praktis dan pragmatis. Selama bangsa kita belum
tampil sebagai bangsa pencipta (creator) dan lebih memilih sebagai bangsa pengguna (user), maka
dapat dipastikan infiltrasi bahasa asing (khususnya Inggris) akan terus masuk ke dalam bahasa
Indonesia. Terbukti, tatkala kita memperkenalkan istilah titikus untuk menggantikan mouse
sebagai alat bantu penggerak krusor di layar monitor komputer, tetap saja nomenklatur yang
terakhir ini lebih populer dan tidak tergantikan.
Kebutuhan praktis dan pragmatis itu sangat kentara terjadi demikepentingan pemasaran.
Pendekatan ini membuat namasuatupermukiman, misalnya, harus dialihkan dari bahasa
Indonesia menjadi bahasa asing. Apartment dianggap lebih bernilai jual dibandingkan rumah
susun. Agus R. Sardjono dalam bukunya ‘Bahasa dan Bonafiditas Hantu’ (2001: 59-60) mengatakan
bahawa bahasa ternyata bukan sekadar komunikasi, melainkan terkait pada upaya-upaya
mengelola dunia, citra, dan makna-makna. Dengan demikian,tidak ada yang bisa mencegah
orang memberikan nama asing untuk produk-produk lokal agar terkesan aksi sekaligus rendah
diri. Sama halnya tidak ada yang bisa mencegah orang memberi nama Indonesia untuk produk-
produk asing agar terkesan nasionalis dan mempribumi.
Kecenderunganyang sama terjadi pula pada dunia pendidikan. Istilah komunikasi pemasaran
tergolong kurang seksi dibandingkan dengan marketing communication. Demikian juga business
law dan hukum bisnis.Dalam situs ini saja, misalnya, kosakata bahasa Indonesia, tidak bisa
dihindari, tercampur di sana-sini dengan bahasa asing. Boleh jadi ada tendensi rendah diri dalam
konteks ini, namun seni menjual memiliki dalil-dalilnya sendiri.
Di beberapa perguruan tinggi, penggunaan istilah asing mulaigencar diperkenalkan dengan
kesadaran bahwa perguruan tinggi Indonesia juga harus berkompetisi secara global. Sedikit demi
sedikit mata kuliah mulai dibawakan dalam bahasa pengantar asing. Bagi pengajar hukum,
pergeseran ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri, mengingat tidak semua istilah hukum
Indonesia dapat dipertukarkan dengan istilah asing dengan makna persis sama. Salah satunya
karena latar belakang keluarga sistem hukum yang berbeda.
Catatan kecil ini mengindikasikan perlunya kita semua merawat bahasa nasional kita, namun
tidak dengan jalan memaksakan atau menutup diri terhadap kebutuhan-kebutuhan praktis dan
pragmatis dalam berbahasa. Sepanjang penutur bahasa Indonesia ingin terus belajar memahami
kaidah-kaidah dasar bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka selama ini pula kita masih
boleh berbangga memiliki aset nasional kita: bahasa Indonesia. Dan, khusus bagi kalangan
pencinta dan peminat hukum Indonesia, kita perlu meyakini bahwa bahasa hukumpuntetap
harus tunduk pada hukum bahasa…! Selamat menyambut Bulan Bahasa! (***)
Published at : 26 September 2015
RELATED CONTENT
PAJAK DAN PAJAK PENGHASILAN
'OSTENSIBLE AGENCY' DALAM KONTEKS HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
HAL IHWAL KEADILAN
SHARE THIS
LEAVE YOUR FOOTPRINT
MESSAGE*
NAME*
EMAIL*
SUBMIT
GET CONNECTED WITH
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Huhu rindu banget momen-momen ini
🥺
semoga kita semua bisa segera bertemu yaaa ☺
https://t.co/wWNzU6
1 day · reply · retweet · favorite
More From
BINUS EDUCATION
Say Hi ! or..
SEND YOUR QUESTION
BINUS UNIVERSITY | Business Law
Kijang Campus
Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah
Jakarta 11480, Indonesia
Phone +62-21 532 7630, +62-21 534 5830 ext. 2451
Fax +62-21 533 2985
Select Program
Copyright © BINUS UNIVERSITY. All rights reserved.