ArticlePDF Available

Mekanisme Penuaan Kulit sebagai Dasar Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua: Mechanism of Skin Aging

Authors:

Abstract

Seiring dengan meningkatnya populasi geriatri di Indonesia, masalah penuaan kulit juga turut meningkat. Pada populasi tersebut terjadi berbagai perubahan kulit sehingga kelainan yang ditimbulkan juga berbeda. Stres oksidatif merupakan mekanisme yang diduga kuat sebagai penyebab utama penuaan kulit. Penuaan kulit merupakan proses kompleks yang melibatkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang berperan adalah genetik, metabolisme sel, dan perubahan hormonal. Selain itu, terdapat faktor ekstrinsik seperti radiasi ultraviolet, inframerah, dan karsinogen lingkungan yang turut berperan pada penuaan kulit. Kedua faktor tersebut menyebabkan perubahan di seluruh lapisan kulit. Untuk mengatasi penuaan kulit, kini telah tersedia berbagai modalitas terapi, namun untuk menentukan terapi yang paling sesuai perlu diketahui fisiologi kulit menua, mekanisme penuaan kulit, dan manifestasi kelainan klinis kulit menua. Secara fisiologi terjadi perubahan permeabilitas, biokimia, vaskularisasi, termoregulasi, respons terhadap iritan, respons imunitas, kapasitas regenerasi, respons terhadap cedera, persepsi neurosensori dan pada tingkat genom. Jumlah sel epidermal dan laju pergantian epidermal menurun sedangkan di adneksa terjadi penurunan jumlah kelenjar sebasea yang mengakibatkan kulit kering dan mudah pecah. Penurunan jumlah melanosit menyebabkan warna rambut menjadi abu-abu keputihan dan muncul pigmentasi atipik di kulit. Folikel rambut kurang aktif sehingga meningkatkan kerontokan dan kebotakan. Di lapisan basal ukuran sel berkurang dan rerata ukuran sel bertambah. Sel keratinosit menjadi lebih pendek dan besar di kulit yang menua. Kata kunci: geriatri, mekanisme penuaan kulit, patofisiologi. Skin Aging Mechanism as A Basic Prevention and Treatment of Skin Aging Abstract Growing geriatric population generates a rise of aging issues. Process of aging develops multiple skin changes that further emerge other related skin problems. Oxidative stress is believed playing vital role related to aging. The aging process in the skin is complex and influenced by intrinsic and extrinsic factors. Intrinsic factors can be in the form of genetics, cell metabolism, and hormonal changes. Meanwhile, for extrinsic factors, such as exposure to ultraviolet, infrared, and carcinogenic agent also have crucial part in aging process. These factors contribute to all layers of the skin. Nowadays, many treatment modalities available to reverse skin aging, however, better understanding on skin aging mechanism, the pathophysiology, and clinical manifestations of aging skin is important to choose the appropriate treatment for patients. In aging, there are physiological changes in permeability, biochemical structures, vascularisation, thermoregulation, irritative response, immunity response, regenerative capability, inflammatory response, neurosensory perception and in genom level. The number of epidermal cells and epidermal overturn rate decline while there is also reduction of sebaseous glands at adnexa which both are accounted for skin xerosis. Decreasing melanocytes can caused gray hair and atypical pigmentation. Hair follicles also show less activity resulting in hair loss. Basal layer cells are downsizing and rise of average cells size are occured. Keratinocyte becomes shorter and bigger in aging skin. Keywords: geriatric, mechanism, skin aging, pathophysiology.
Shannaz N. Yusharyahya
150
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
Tinjauan Pustaka
Mekanisme Penuaan Kulit sebagai Dasar Pencegahan
dan Pengobatan Kulit Menua
Shannaz N. Yusharyahya
Departemen Dermatovenereologi
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo – Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Penulis korespondensi: nadiayusharyahya@yahoo.com
Diterima 28 November 2020; Disetujui 19 Juli 2021
https://doi.org/10.23886/ejki.9.49.150
Abstrak
SeiringdenganmeningkatnyapopulasigeriatridiIndonesia,masalahpenuaankulitjugaturutmeningkat.
Padapopulasi tersebutterjadi berbagaiperubahan kulitsehingga kelainanyang ditimbulkanjuga berbeda.
Stresoksidatif merupakanmekanismeyangdidugakuatsebagaipenyebab utamapenuaankulit.Penuaan
kulit merupakan proses kompleks yang melibatkan faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yang
berperan adalah genetik, metabolisme sel, dan perubahan hormonal. Selain itu, terdapat faktor ekstrinsik
sepertiradiasiultraviolet, inframerah, dankarsinogenlingkungan yang turutberperan pada penuaankulit.
Keduafaktortersebutmenyebabkanperubahandiseluruhlapisankulit.Untukmengatasipenuaankulit,kini
telahtersediaberbagaimodalitasterapi,namununtukmenentukanterapiyangpalingsesuaiperludiketahui
siologikulitmenua,mekanismepenuaankulit,danmanifestasikelainankliniskulitmenua.Secarasiologi
terjadi perubahan permeabilitas, biokimia, vaskularisasi, termoregulasi, respons terhadap iritan, respons
imunitas,kapasitasregenerasi, responsterhadapcedera, persepsineurosensori dan padatingkat genom.
Jumlah sel epidermal dan laju pergantian epidermal menurun sedangkan di adneksa terjadi penurunan
jumlahkelenjarsebaseayangmengakibatkan kulitkeringdanmudahpecah. Penurunanjumlahmelanosit
menyebabkanwarnarambutmenjadiabu-abukeputihandanmunculpigmentasiatipikdikulit.Folikelrambut
kurangaktifsehinggameningkatkankerontokandan kebotakan.Dilapisanbasalukuranselberkurangdan
rerataukuranselbertambah.Selkeratinositmenjadilebihpendekdanbesardikulityangmenua.
Kata kunci:geriatri,mekanismepenuaankulit,patosiologi.
Skin Aging Mechanism as A Basic Prevention and Treatment of Skin Aging
Abstract
Growing geriatric population generates a rise of aging issues. Process of aging develops multiple skin
changesthatfurtheremergeotherrelatedskinproblems.Oxidativestressisbelievedplaying vitalrolerelated
toaging.The aging process intheskin is complex andinuencedby intrinsic andextrinsicfactors.Intrinsic
factorscanbeintheformofgenetics,cellmetabolism,andhormonalchanges.Meanwhile,forextrinsicfactors,
suchasexposuretoultraviolet,infrared,andcarcinogenicagentalsohavecrucialpartinagingprocess.These
factorscontributetoalllayersoftheskin.Nowadays,manytreatmentmodalitiesavailabletoreverseskinaging,
however, better understanding on skin aging mechanism, the pathophysiology, and clinical manifestations
of aging skin is important to choose the appropriate treatment for patients. In aging, there are physiological
changesinpermeability,biochemicalstructures,vascularisation,thermoregulation,irritativeresponse,immunity
response,regenerativecapability,inammatoryresponse, neurosensoryperceptionand in genomlevel.The
numberofepidermalcellsandepidermaloverturnratedeclinewhilethereisalsoreductionofsebaseousglands
atadnexawhichbothareaccountedforskinxerosis.Decreasingmelanocytescancausedgrayhairandatypical
pigmentation.Hairfolliclesalsoshowlessactivityresultinginhairloss.Basallayercellsaredownsizingandrise
ofaveragecellssizeareoccured.Keratinocytebecomesshorterandbiggerinagingskin.
Keywords:geriatric,mechanism,skinaging,pathophysiology.
Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua
151
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
Pendahuluan
Kulit adalah organ terluar pada manusia, oleh
karena itu perubahan pada kulit dapat dengan mudah
diamati. Masalah penuaan kulit meningkat seiring
dengan meningkatnya populasi geriatri di dunia.
Berbagai perubahan pada kulit terjadi pada populasi
ini. Penuaan kulit merupakan proses menurunnya
fungsi dan kapasitas kulit secara progresif. Terdapat
dua faktor yang berperan pada terjadinya penuaan
kulit, yaitu faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik antara lain genetik, metabolisme sel,
dan hormonal sedangkan yang termasuk faktor
ekstrinsik antara lain radiasi ultraviolet, inframerah,
dan karsinogen lingkungan seperti polusi udara.
Secara kumulatif faktor tersebut mengubah struktur
dan fungsi setiap lapisan kulit secara progresif yang
akhirnya mengubah tampilan kulit. Penuaan intrinsik
merupakan proses yang tidak terelakan dan pada
proses ini kulit mengalami perubahan morfologi dan
siologi seperti kering, keriput, kendur, dan proses
penyembuhan luka menjadi lebih lambat. Pada
penuaan ekstrinsik, kulit mengalami kerut dalam,
kehilangan elastisitas, dan permukaan kulit menjadi
kasar. Berbagai tumor jinak hingga lesi prekanker kulit
juga dapat terjadi akibat penuaan ekstrinsik.1 Pada
makalah ini dibahas proses penuaan kulit secara
intrinsik dan ekstrinsik, perubahan struktur kulit pada
penuaan, serta berbagai teori penuaan kulit.
Penuaan Intrinsik
Pada penuaan kulit secara instrinsik, lapisan
epidermis menipis sehingga daerah kontak
permukaan dermis dan epidermis menipis dan
pertukaran nutrisi ke epidermis berkurang.
Akibatnya kulit mudah lecet dan robek setelah
trauma ringan. Kemampuan proliferasi sel basal
semakin menurun. Di lapisan dermis, jumlah sel
mast dan broblas lebih sedikit dibandingkan di
kulit muda dan hal tersebut juga terjadi pada serat
kolagen serta serat elastin.1
Produksi prokolagen tipe 1 di kulit menua
berkurang karena penurunan sinyal TGF-β/Smad
dan penurunan faktor pertumbuhan jaringan ikat.
Terjadi degenerasi di komponen matriks ekstraseluler
(elastin, kolagen, brilin) dan di oligosakarida yang
memengaruhi kemampuan kulit menahan air.2 Pada
penuaan intrinsik terjadi penipisan kulit, kerutan
halus, kulit kering, kulit kendur, dan tumor jinak kulit:
keratosis seboroik, cherryangioma.1
Penuaan Ekstrinsik
Pajanan radiasi ultraviolet dari matahari
merupakan faktor utama penuaan ekstrinsik
sehingga disebut photo aging yang mengacu
pada efek pajanan sinar ultraviolet dalam waktu
lama.3 Pada penuaan ekstrinsik lapisan epidermis
menebal, sedangkan pada penuaan intrinsik,
lapisan epidermis menipis. Stratum korneum
menebal karena kegagalan degradasi korneosit dari
desmosom. Diferensiasi keratinosit dari epidermis
juga terganggu oleh sinar ultraviolet. Ekspresi
kolagen tipe VII dalam keratinosit menurun di area
terpajan ultraviolet. Kolagen tersebut merupakan
penahan bril di persimpangan dermis dan
epidermis. Berkurangnya produksi kolagen tipe
VII berkontribusi terhadap pembentukan keriput
karena hubungan dermis dan epidermis melemah.2
Pada penuaan ekstrinsik terdapat kerut dalam, kulit
longgar, kulit kasar, tipe kulit Fitzpatrick I, II: kerut
halus, lesi kulit prakanker (aktinik keratosis) dan
kanker kulit, sedangkan pada tipe kulit Fitzpatrick
III, IV: kulit hipertro, kerut dalam, lentigo.4
Elastosis adalah karakteristik penuaan kulit
berupa penumpukan jaringan elastin abnormal
di lapisan dermis. Sinar ultraviolet meningkatkan
ekspresi elastin empat kali lipat sehingga menimbulkan
elastosis. Penurunan angiogenesis, penyimpangan
ekspresi molekul adhesi, dan kerusakan fungsi
vasodilatasi menyebabkan disfungsi edotel sehingga
fungsi mikrovaskular menurun.2
Merokok merupakan faktor ekstrinsik yang
berperan pada penuaan kulit. Studi in vitro
menunjukkan bahwa rokok menginduksi MMP-1
dan MMP-3 pada mRNA di broblas kulit. Terdapat
hubungan jumlah rokok dengan perubahan
pigmentasi dan keparahan kerutan. Selain itu
perempuan merokok tampak lebih tua dibandingkan
nonperokok. Pada pemeriksaan histopatologi
terdapat penebalan dan fragmentasi elastin. Terjadi
penebalan dan fragmentasi serabut elastin di
papila dermis sampai ke retikular dermis. Rokok
menyebabkan kulit kering, atro, hidrasi stratum
korneum menurun, dan percepatan hidroksilasi
estradiol sehingga kadar estrogen di kulit menurun.5,6
Mekanisme Photodamage di Kulit
Untuk memahami pencegahan kerusakan
kulit akibat pajanan sinar ultraviolet (UV), perlu
diketahui mekanisme yang mendasarinya.8 Radiasi
sinar ultraviolet terdiri atas tiga tipe yaitu:
1. Ultraviolet C (100-290 nm) yang sebagian
besar dihambat oleh lapisan ozon, sehingga
efek di kulit cukup kecil
2. Ultraviolet B (290-320 nm) yang dapat
menembus sampai lapisan epidermis dan
bertanggung jawab atas terjadinya eritema
Shannaz N. Yusharyahya
152
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
akibat terbakar sinar matahari dan mutasi di
keratinosit.
3. Ultraviolet A (320-400 nm), merupakan tipe
yang menembus lebih dalam lagi sampai
ke dermis dan menyebabkan penuaan kulit
serta pigmentasi yang berkepanjangan.5
Mekanisme molekular yang mendasari penuaan
kulit adalah radiasi sinar UV. Pada saat pajanan, sinar
UV berinteraksi dengan kromofor yang sesuai; dapat
berupa agen eksogen atau endogen seperti porrin,
avin, basa DNA, asam amino, dan turunannya
seperti asam urokanat. Hasil interaksi berupa
kerusakan kromofor secara langsung atau sebagai
photosensitizer pembentukan reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan konsentrasi ROS akan
menginisiasi jalur sinyal transduksi melalui aktivasi
reseptor permukaan sel termasuk reseptor untuk
faktor pertumbuhan epidermal (EGF), interleukin-1
(IL-1), insulin, faktor pertumbuhan keratinosit (KGF),
dan faktor tumor nekrosis-α (TNF-α). Aktivasi reseptor
permukaan sel dapat menstimulasi kinase intraselular
(p38, c-jun) yang meningkatkan regulasi serta aktivasi
faktor transkripsi nuklir dan AP-1. Aktivasi AP-1
menghambat efek transformasi faktor pertumbuhan-β
(TGF-β) yang menghasilkan gen kolagen.5
Teori Penuaan Kulit
Terdapat berbagai teori mekanisme penuaan
kulit, yaitu penuaan seluler, pemendekan telomer,
stres oksidatif, DNA mitokondria (mtDNA),
hormonal, genetik dll. Stres oksidatif adalah
mekanisme yang diduga kuat sebagai penyebab
utama penuaan kulit.9
Penuaan Seluler
Teori penuaan seluler menggambarkan
hilangnya potensi proliferasi setelah pembelahan
sel secara terbatas. Tiap sel memiliki “jam biologis”
yang akan memberi sinyal pada akhir replikasi.
Konsekuensinya, sel tidak dapat distimulasi untuk
memasuki fase S1 oleh mitogen dan berhenti
pada fase G1 karena represi pada gen pengatur
pertumbuhan. Pada kultur sel kulit pasien yang
mengalami penuaan dini menunjukkan penurunan
kemampuan proliferasi sehingga terdapat
penumpukan sel yang menua. Hal ini mendukung
teori penuaan seluler.7
Pemendekan Telomer
Telomer adalah struktur nukleoprotein tanpa
kode di ujung kromosom yang berfungsi sebagai
penutup untuk menjaga stabilitas kromosom
dengan melindungi kromosom dari degradasi,
rekombinasi, dan fusi. Pemendekan telomer
berperan pada penuaan sel dan merupakan
komponen pada jam mitosis (mitotic clocks).
Mekanisme jam (clockmechanism) terjadi karena
ketidakmampuan DNA polimerase menyelesaikan
replikasi di ujung kromosom linier. Hal tersebut
menyebabkan hilangnya sebagian dari ulangan
telomer di kromosom (TTAGGG). Telomer
memendek secara bertahap pada pembelahan sel
saat penuaan sehingga kromosom tidak stabil yang
menyebabkan penuaan seluler dan berkurangnya
jumlah sel yang membelah. Selain itu, kapasitas
proliferasi sel punca epidermal di telomer yang
pendek akan terhambat. Pajanan sinar ultraviolet
menimbulkan ROS berlebihan sehingga telomer
memendek yang mengakibatkan penuaan dan
kematian sel.2
Pemendekan telomer progresif disebabkan
oleh proliferasi seluler. Kapasitas sel selama
penuaan dikendalikan oleh telomer dan
pemendekan telomer di setiap pembelahan sel
berbanding terbalik dengan usia siologis individu.
Struktur seluler dapat menua dan kehilangan fungsi
siologis karena telomer telah mencapai ambang
batas panjang setelah beberapa proses proliferasi.
Pemendekan telomer sebanyak 19,8 base pairs
(bp) per tahun, namun Luze et al10 melaporkan
pemendekan telomer epidermis terjadi 36 bp per
tahun.
Stres Oksidatif
Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan
antara ROS yang terbentuk dengan mekanisme
pertahanan antioksidan. ROS merupakan senyawa
oksigen reaktif dan produk sekunder metabolisme
aerobik. Ketidakseimbangan ROS disebabkan oleh
produksi ROS yang meningkat dan berkurangnya
produksi antioksidan atau keduanya. Stres
oksidatif menimbulkan kerusakan oksidatif di
berbagai komponen seluler, mengganggu proses
komunikasi antar sel, merangsang apoptosis, dan
terlibat pada berbagai penyakit yang berhubungan
dengan penuaan.2,9
Hampir 90% oksigen dipakai mitokondria
untuk menghasilkan energi di tubuh manusia. Pada
proses tersebut terbentuk ROS karena pengolahan
O2 yang tidak sempurna. ROS adalah radikal
bebas yang tidak stabil karena memiliki elektron
tidak berpasangan di orbit terluar. Senyawa
tersebut menarik elektron dari molekul sekitarnya
untuk melengkapi elektron di orbit terluar dan
menghasilkan reaksi berantai radikal bebas yang
Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua
153
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
sangat berbahaya. Contoh radikal bebas adalah
anion superoksida (O2
), radikal hidroksil (-OH),
dan peroksinitrat (ONOO-). Hidrogen peroksida
(H2O2) dan nitrit oksida (NO) bukan radikal bebas,
namun tergolong ROS, karena mencetuskan reaksi
reduksi oksidasi dan membentuk radikal bebas.9
ROS berperan penting dalam homeostasis,
respons selular, dan komunikasi antar sel. Efek
negatif ROS dicegah dengan antioksidan secara
non-enzimatik atau enzimatik, namun kecepatan
produksi antioksidan tidak sebanding kecepatan
produksi ROS sehingga terjadi penumpukan
ROS yang bersifat toksik dan merusak sel. ROS
berperan sebagai penyebab penuaan kulit melalui
proses oksidasi selular, aktivasi nuklear faktor
kappa B, aktivasi mitogen-activated pathway
(MAP) kinase, dan stimulasi sitokin proinamasi.
Peningkatan ROS akan merusak protein, lipid, dan
DNA sel yang mengakibatkan penuaan kulit.9
Penuaan instrinsik menurunkan TGF-β dan
akumulasi ROS sedangkan penuaan ekstrinsik
yang disebabkan pajanan sinar ultraviolet
meningkatkan ROS di lapisan dermis. ROS memicu
reaksi molekuler berantai sehingga meningkatkan
pembentukan AP-1 yang menstimulasi proses
transkripsi enzim matrixmetalloproteinase (MMP)
yang berperan pada degradasi kolagen.9
DNA Mitokondria
Organ utama penghasil ROS dan target utama
ROS adalah mitokondria. Lokasi mtDNA yang
dekat dengan pembentukan O2 adalah di membran
dalam mitokondria yang menyebabkan mtDNA
rentan terhadap kerusakan akibat ROS. mtDNA
dapat mengalami mutasi yang akan mengganggu
proses respirasi dan meningkatkan pembentukan
ROS. Setelah itu terdapat kebocoran ROS dari
electron transport chain (ETC) yang merusak
berbagai komponen sel dan menginduksi mutasi
mtDNA sehingga berakibat buruk terhadap sel.9
Akumulasi mutasi mtDNA terjadi seiring
bertambahnya usia. Kejadian mutasi meningkat
di area pengatur replikasi di mtDNA broblas
geriatri. Peningkatan yang paling bermakna adalah
transversi T414G pada individu berusia lebih
dari 65 tahun. ROS dapat merusak DNA secara
langsung dengan menyerang komponen basa
purin (adenin, guanin), basa pirimidin (sitosin,
timin), atau gula deoksiribosa. Kerusakan DNA
berupa putusnya rantai dan atau modikasi kimiawi
pada susunan basa atau gula deoksiribosa yang
mengakibatkan siklus sel terhenti. Selain itu terjadi
apoptosis yang ditandai dengan berkurangnya
sel keratinosit, sel langerhans, sel mast, dan sel
broblas pada penuaan kulit. ROS merusak DNA
inti, namun kerusakannya lebih rendah daripada
mtDNA karena lokasinya lebih dekat dengan
tempat produksi ROS. Kemampuan perbaikan
mtDNA lebih rendah dibandingkan DNA inti.9
Kerusakan DNA
Pajanan sinar ultraviolet yang terus menerus
menyebabkan kerusakan dan mutasi DNA sehingga
menimbulkan penuaan kulit atau karsinogenesis.
Saat DNA menyerap foton dari UV-B, terjadi
penyusunan ulang nukleotida yang merusak DNA.
DNA diperbaiki dengan eksisi nukleotida, namun
pada desiensi protein, tetap terjadi kerusakan
DNA dan penuaan dini.2
Gangguan DNA Repair
Perbaikan DNA/DNArepair broblas di dermis
mengalami gangguan pada lansia. Perbaikan DNA
dalam sel mampu menghilangkan segmen yang
rusak untuk mencegah sel mengalami apoptosis
dan melindunginya dari potensi transformasi kanker
melalui jalur nucleotideexcisionrepair (NER) atau
base excision repair (BER) pathway selama fase
G1 dan G2. Respons perbaikan DNA pada orang
tua lebih rendah terhadap stres oksidatif akut
dibandingkan usia muda. Perbaikan DNA pada
subjek lebih tua lebih rendah dibandingkan subjek
lebih muda sehingga menyebabkan ketidakstabilan
kromosom, perkembangan sel terhenti, apoptosis
dan dermatitis kronik yang disebabkan stres
oksidatif.10,11
Gen dan Mutasi
Mutasi gen tunggal berkontribusi terhadap
inisiasi penuaan dan menginduksi penuaan dini,
namun tidak ada gen spesik yang dapat merusak
dan berhubungan dengan penuaan. Penuaan
biasanya disebabkan oleh kegagalan pemeliharaan
dan mekanisme perbaikan.7,12
Penurunan Hormon
Seiring berjalannya waktu, hormon yang
bersirkulasi menurun karena berkurangnya sekresi
kelenjar pituitari, adrenal, dan kelenjar di gonad,
atau penyakit yang diderita. Faktor pertumbuhan
(hormon pertumbuhan dan insulin-like growth
factor (IGF-I) serta hormon seks (androgen dan
estrogen) menurun signikan.9 Pada penelitian
in vitro, sel-sel kulit manusia yang dikultur pada
saat hormon disubtitusi menunjukkan perubahan
pada sintesis dan metabolisme lipid. Terdapat
Shannaz N. Yusharyahya
154
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
perubahan pada ekspresi gen yang terlibat pada
proses biologis seperti perbaikan stabilitas DNA,
fungsi mitokondria, stres oksidatif, siklus sel
dan apoptosis, serta regulasi transkripsi yang
mengindikasikan proses tersebut bergantung pada
hormon.7,13
Hormon IGF-I adalah jalur sinyal penting
yang berhubungan dengan penuaan. Kadar IGF-I
meningkat dari lahir hingga pubertas, namun
menurun secara lambat pada fase dewasa.
Penurunan kadar hormon IGF-I berhubungan
dengan penurunan progresif hormon pertumbuhan
sesuai dengan pertambahan usia. Penurunan
kadar IGF-I berhubungan dengan menurunnya
tebal epidermis dan kurangnya respons
perlindungan terhadap UVB. Hal tersebut
menunjukkan penurunan ekspresi IGF-I penting
dalam perkembangan kanker kulit non-melanoma
yang berhubungan dengan penuaan.7
Penurunan hormon pertumbuhan, pituitari
multipel dan IGF-I menunjukan tanda-tanda
penuaan dini seperti kulit kering, tipis, kerut,
obesitas, hiperglikemi, penurunan masa lemak
tubuh, osteopenia, penurunan akses vena,
hiperkolesterolemia, penyakit kardiovaskular, dan
mortalitas dini. Pemberian hormon pertumbuhan
pada laki-laki lanjut usia membalik tanda-tanda
penuaan, namun terdapat hubungan pemberian
faktor pertumbuhan dan peningkatan risiko kanker
prostat, paru, usus, dan payudara. Dengan
demikian diperlukan penelitian untuk menilai
keamanan dan ekasi hormon pertumbuhan pada
usia lanjut.14,15
Immunosenescence
Immunosenescence adalah disregulasi
imunitas yang berkontribusi terhadap peningkatan
kerentanan penyakit pada usia lanjut. Kondisi
tersebut merusak kemampuan individu
mengembangkan respons imun protektif sehingga
mudah menjadi infeksi, kegagalan vaksinasi,
keganasan, dan proses autoimun.16,17
Pada immunosenescence terjadi perubahan
sel-sel penyusun imunitas alamiah dan adaptif
yaitu peningkatan berlebihan, penurunan, dan
disregulasi respons imun sehingga lebih mudah
terinfeksi bakteri atau virus dan respons terhadap
vaksin menurun.18 Perubahan siologis sistem imun
terjadi akibat perubahan intrinsik yaitu penurunan
perbaikan DNA dan perubahan ekstrinsik terutama
pajanan sinar ultraviolet. Kulit yang terpajan sinar
matahari secara kronik mengalami perubahan
imunologis.19
Teori Fenomena Immunosenescence18
Teori Autoimun
Penyakit autoimun disebabkan oleh perbedaan
rerata akumulasi sel senescentdi sistem imun dan
jaringan target disertai akumulasi sel senescent
yang heterogen di jaringan/organ. Kedua
proses tersebut secara bersama atau terpisah
menyebabkan penyakit autoimun. CD5+limfosit B
yang memproduksi autoantibodi meningkat pada
usia lanjut sehingga terjadi ketidakseimbangan
mekanisme kontrol sistem imun terhadap antigen
diri sendiri.
Teori imunodesiensi
Kemampuan meningkatkan respons imun
terhadap antigen baru menurun secara bermakna
seiring bertambahnya usia akibat menurunnya
sel T naif. Involusi massa timus dan menurunnya
cadangan sel T naif CD8+ memudahkan infeksi
dan non-infeksi.
Teori deregulasi
Menurunnya regulasi tolllikereceptors (TLRs)
dan NOD-likereceptors (NLRs) berkontribusi pada
berkurangnya pengenalan terhadap patogen atau
ora komensal secara efektif.
Karakteristik immunosenescence adalah:
involusi massa timus sehingga menurunkan sel
T naif, stimulasi antigen terus menerus sehingga
perkembangan sel T terganggu dan sel T tua
yang teridentikasi tanpa CD28 sebagai reseptor
ko-stimulan, dan inamasi kronik level rendah
inammaging” yang dibuktikan oleh peningkatan
kadar sitokin inamasi yaitu TNF-α, IL-6 dan protein
fase akut. Perubahan tersebut mengubah komposisi
seluler dan fungsi seluler dalam membentuk
proses pro inamasi.26 Immunosenescence pada
usia lanjut mengganggu imunitas alamiah di
kulit, mukosa, sel dendritik, sel naturalkiller (NK),
neutrol, makrofag, sel mikroglia serta imunitas
adaptif yaitu limfosit B dan limfosit T.18
Perubahan Struktur Kulit pada Penuaan
Ketebalan Kulit
Ketebalan kulit meningkat selama 20 tahun
pertama kehidupan dengan jumlah sel yang stabil
di tiap lapisan. Dengan bertambahnya usia, kulit
dewasa menipis secara progresif. Epidermis yang
tidak terpajan matahari menipis sampai 50% pada
usia 30-80 tahun. Penipisan epidermis lebih terlihat
di area yang terpajan sinar matahari, seperti wajah,
leher, bagian atas dada, dan permukaan ekstensor
tangan dan kaki. Ketebalan lapisan epidermis
Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua
155
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
berkurang 6,4% per dekade dan menipisnya
epidermis perempuan lebih cepat dibandingkan
laki-laki.20
Di lapisan dermis, ketebalan, vaskularisasi,
dan selularitas juga berkurang dengan faktor
yang paling berperan adalah hilangnya kolagen
dan elastin. Kecepatan berkurangnya ketebalan
lapisan dermis sama pada perempuan dan laki-
laki, sedangkan di lapisan hipodermis, bantalan
lemak di lapisan berkurang seiring bertambahnya
usia.20
Epidermis
Jumlah sel epidermal dan laju pergantian
epidermal menurun dengan bertambah usia dan
terdapat perubahan karakteristik pada tipe sel di
epidermis. Di lapisan basal ukuran sel berkurang
dan rerata ukuran sel bertambah. Sel keratinosit
menjadi lebih pendek dan besar di kulit yang menua.
Korneosit lebih besar karena menurunnya pergantian
epidermal dan melanosit yang aktif berkurang 8-20%
per dekade sehingga pigmentasi kulit tidak merata di
kulit menua. Fungsi dan morfologi sel langherhans
seragam, namun jumlahnya berkurang sehingga
mengganggu imunitas kulit. Sel langherhans
memiliki dendrit lebih sedikit sehingga kemampuan
menangkap antigen terganggu. Produksi minyak
berkurang, walaupun kelenjar minyak di epidermis
tidak berubah.20
Stratum korneum merupakan sawar utama
terhadap lingkungan dan berperan penting dalam
menjaga hidrasi kulit. Strukturnya digambarkan
dengan model bricks and mortar, korneosit sebagai
batu bata yang tertanam dalam matriks (mortar); terdiri
atas seramid, kolesterol, dan asam lemak. Komposisi
lipid di kulit tua tidak berubah secara signikan, namun
jumlah kandungan lipid menurun 65% sehingga
mengurangi “mortar” yang mengikat korneosit dan
lebih rentan terhadap pertahanan kulit.21,22
Di kulit menua, kandungan air terutama di
stratum korneum lebih sedikit dibandingkan usia
muda. Terjadi perubahan komposisi asam amino
dan berkurangnyanaturalmoisturizingfactor (NMF)
sehingga kapasitas mengikat air di kulit berkurang.
Kandungan air di stratum korneum semakin menurun
di bawah kadar yang diperlukan untuk deskuamasi
efektif. Ketidakmampuan deskuamasi menyebabkan
korneosit menumpuk di permukaan kulit sehingga
kulit menjadi kasar, terkelupas, dan kering.20
Integritas pembatas stratum korneum
bergantung pada susunan lemak yang teratur;
kandungan lemak di kulit yang menua berkurang
65%. Kadar seramid berkurang di kulit yang
menua, terutama seramid 1 linoleat dan seramid
3; trigliserida juga berkurang. Kemampuan stratum
korneum berregenerasi setelah luka menurun
dua kali lebih lambat dan perbaikan barier kulit
menurun.20
Perbaikan fungsi sawar setelah 24 jam pada
usia di atas 80 tahun hanya 15%, sedangkan
pada usia muda 50%. Hal tersebut disebabkan
pergantian lipid yang menurunkan kadar lipid
di badan lamelar yang baru terbentuk. Sintesis
lipid dan aktivitas enzim untuk membentuk lipid
stratum korneum menurun karena penyimpangan
pengatur transkripsi enzim, sinyal autokrin/
parakrin abnormal atau peningkatan pH stratum
korneum yang menghambat aktivitas enzim.24
Turnover sel kulit menjadi lebih lambat dan jumlah
sel langerhans berkurang. Penurunan jumlah sel
Langerhans menurunkan fungsi fagosit makrofag
sehingga respons imun di kulit menurun.23
Trans epidermalwaterloss (TEWL) berfungsi
menjaga kelembapan kulit, kadarnya rendah pada
usia tua dibandingkan pasien usia muda karena
berkurangnya kandungan air di kulit menua.
Perbaikan TEWL setelah oklusi juga terganggu di
kulit menua.22 Perubahan struktur di kulit menua
yang paling terlihat adalah taut dermo-epidermal
yang lebih mendatar karena berkurangnya jumlah
dan ukuran papilla dermal. Dengan mendatarnya
taut dermo-epidermal maka kulit lebih rentan
terhadap gesekan dan gangguan lain. Pendataran
taut dermo-epidermal menyebabkan permukaan di
antara dermis dan epidermis lebih sempit. Akibatnya
komunikasi kedua lapisan berkurang, persediaan
nutrisi dan oksigen ke epidermis menghilang, serta
terbatasnya proliferasi sel basal; kondisi tersebut
memengaruhi penyerapan perkutan. Taut dermo-
epidermal yang mendatar juga berkontribusi dalam
pembentukan kerutan dengan memisahkan dermis
dan epidermis.20
Dermis
Kolagen, elastin, dan asam hialuronat adalah
komponen matriks ekstraselular yang berperan
di dermis. Kadar kolagen berkurang 2% tiap
tahun karena produksi matriks metalloproteinase
mendegradasi kolagen seiring bertambahnya
usia sehingga merusak integritas struktur dermis.
Untuk memelihara keseimbangan sintesis kolagen
dan degradasi kolagen oleh enzim, diperlukan
ketegangan mekanik dan tekanan di broblas
dermis yang dihasilkan matriks kolagen sehat. Di
kulit menua, broblas akan kolaps karena akumulasi
serat kolagen yang terdegradasi sehingga
Shannaz N. Yusharyahya
156
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
menghambat pembentukan matriks kolagen sehat,
akibatnya rasio sintesis dan degradasi kolagen
menjadi tidak seimbang.20
Elemen utama kulit yang memberikan kekuatan
adalah kolagen. Kulit mengandung 40% total
kolagen tubuh. Di dermis 97,5% protein berserat
adalah kolagen. Kolagen kulit terdiri atas dua rantai
alfa dasar yaitu alfa-1 dan alfa-2, masing-masing
terdiri atas >1000 residu asam amino. Rantai alfa
membentuk triple helix sehingga kolagen sangat
kuat. Sekitar 25% asam amino di kolagen berupa
prolin dan hidroksiprolin.24
Di organ manusia terdapat 12 jenis molekul
kolagen; yang paling banyak dan penyokong utama
kulit adalah collagentypeIalpha1 (COL1A1) dan
collagentypeIIIalpha1 (COL3A1). COL1A1 juga
terdapat di tulang, tendon, dan jaringan parut,
sedangkan COL3A1 di uterus, otot, paru, hati dan
arteri besar. Kolagen tipe II, IX, X, XI membentuk
tulang rawan sedangkan kolagen tipe IV terdapat
di basal lamina sebagai ltration membrane
kapiler. Kolagen tipe VII adalah penyokong brin
di membran basalis DEJ, mukosa oral, dan serviks
sedangkan kolagen tipe VII penyokong pembuluh
darah. Kolagen tipe V, VI, dan XII pendukung fungsi
mekanis kulit bersama kolagen tipe I dan III.20
COL3A1 lebih banyak di kulit usia muda (anak-
anak) dan berfungsi menjaga kelembutan dan
elastisitas kulit. COL1A1 merupakan tipe kolagen
predominan di kulit manusia dewasa, kadarnya 80–
85%, dengan puncak produksi pada usia sekitar
30 tahun. COL1A1 bertanggung jawab terhadap
kekuatan jaringan. Rasio kolagen tipe I dan tipe
III di kulit usia muda adalah 6:1. Rasio menurun
dengan bertambahnya usia karena kolagen tipe 1
hilang secara selektif.25
Biosintesis kolagen bermula dari sel broblast,
diawali dengan sintesis pre-pro-collagenα (pre-
pro-α) di ribosom RER dengan vitamin C sebagai
kofaktor, kemudian dilepaskan oleh ribosom
sebagai prokolagen ke sisterna. Tiga rantai pre-
pro-α menjadi rantai pro-α yang lebih pendek dan
menjadi satu triple helix membentuk prokolagen
yang dikemas di kompleks golgi, lalu dilepaskan ke
permukaan sel oleh vesikel sekretorik prokolagen.
Setelah prokolagen disekresi, terbentuk molekul
tropokolagen yang lebih pendek dan larut. Molekul
tropokolagen secara bertahap mengelompokkan
diri dan membentuk kaitan silang antar molekul
menjadi serat kolagen tidak larut.25
Kolagen didegradasi oleh matrixmetalloprotease
(MMP). Jumlah MMP semakin banyak dengan
bertambahnya usia dan jika sering terpajan radiasi
UV. Kadar prokolagen 1 di kulit tua menurun 68%
dibandingkan kulit muda dan produksi prokolagen
1 dari broblas kulit tua lebih sedikit dibandingkan
kulit muda. Pemeriksaan histologi dengan
pewarnaan hematoxylin eosin (HE) dan toluidine
blue menunjukkan, kulit muda memiliki berbundles
tebal dengan sedikit rongga antar serat kolagen,
sedangkan di kulit tua rongga serta serat tidak
beraturan dan tipis.28
Di lapisan dermis yang menua, serat kolagen
menjadi lebih tebal dan serabut kolagen lebih
tidak teratur dibandingkan kulit lebih muda; elastin
juga berkurang. Glikosaminoglikan (GAGs) yang
merupakan kontributor penting di struktur dan
kapasitas menahan air di dermis, berkurang
jumlahnya. Selain GAGs, jumlah asam hialuronat
dan zat dasar interbrilar (komponen sehat matriks
dermal) juga berkurang.20
Hilangnya integritas struktur di dermis
menyebabkan hilangnya elastisitas dermis yang
lebih cepat terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki. Perubahan akibat penuaan paling banyak
di dermis, yaitu menjadi tipis dan ketebalan
berkurang hingga 20%.25 Respons inamasi
menurun akibat penurunan sintesis dan sekresi
sitokin dari keratinosit dan mediator inamasi, serta
penurunan respons endotel.22
Kulit manusia kaya serat elastin dengan
tingkat kepadatan bervariasi bergantung lokasi.
Sebagian besar serat elastin pada usia >70 tahun
adalah serat elastin abnormal yang mengganggu
elastisitas dan ketahanan kulit.24 Pada kulit menua,
konsentrasi asam hialuronat (AH) di dermis
berkurang karena kemampuan ekskresi dan
sekresi menurun. Koneksi yang dibentuk AH antara
kolagen dan elastin serta kemampuan retensi air
oleh AH juga berkurang, sehingga menimbulkan
kerut, elastisitas kulit dan ketebalan kulit berkurang,
serta melemahnya fungsi kulit sebagai jaringan
penunjang. Serabut elastin di dermis mengalami
perubahan struktur dan fungsi, sehingga deposisi
GAG di dermis mencegah retensi air yang optimal.23
Karakteristik penting penuaan kulit adalah
menurunnya aliran darah. Diameter venula
berkurang 35% terutama di dermis papilaris
dan loop kapiler vertikal berkurang. Hal itu
menyebabkan aliran darah berkurang, pertukaran
nutrisi minimal, termoregulasi terhambat, suhu
permukaan kulit menurun, dan warna kulit pucat.
Heat stroke atau hipotermia lebih sering terjadi
karena menurunnya aktivitas vasokonstriksi arteriol
dermis dan hilangnya lemak subkutan.23
Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua
157
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
Hipodermis
Walaupun proporsi lemak subkutan bertambah
sampai usia 70 tahun, volume lemak subkutan secara
keseluruhan berkurang dengan bertambahnya usia.
Distribusi lemak berkurang di wajah, tangan, dan kaki,
namun meningkat di area paha, pinggang dan perut.20
Perubahan di Adneksa
Kulit kering dan mudah pecah terjadi karena
penurunan jumlah kelenjar sebasea. Penurunan
produksi keringat meningkatkan heat stroke
pada orang tua. Penurunan jumlah melanosit
menyebabkan warna rambut menjadi abu-abu
keputihan dan muncul pigmentasi atipik di kulit.
Folikel rambut kurang aktif sehingga meningkatkan
kerontokan dan kebotakan.27
Perubahan Fisiologi pada Kulit Menua
Perubahan siologi pada penuaan kulit meliputi
perubahan permeabilitas, biokimia, vaskularisasi,
termoregulasi, respons terhadap iritan, respons
imunitas, kapasitas regenerasi, respons terhadap
cedera, persepsi neurosensori, dan pada tingkat
genom.20
Permeabilitas
Penetrasi dan transit suatu zat melalui kulit
melibatkan beberapa tahap absorbsi ke stratum
korneum, difusi melalui stratum korneum,
epidermis, papila dermis, dan pemindahan
oleh mikrosirkulasi. Tahap pertama dan kedua
bergantung pada integritas dan hidrasi stratum
korneum, sedangkan tahap ketiga bergantung
pada integritas mikrosirkulasi. Pemberian obat
secara transdermal mulai diperhatikan karena
efek sampingnya minimal dan kepatuhan obat
lebih baik. Pada lansia, penyerapan obat topikal
lebih lambat dibandingkan individu yang lebih
muda. Pada penelitian invitro didapatkan tingginya
permeabilitas kulit menua pada pemakaian
testosteron, namun pada penelitian invivo absorbsi
hidrokortison dan asam benzoat lebih sedikit di kulit
menua dibandingkan di kulit usia muda.20,28
Penetrasi epidermal suatu zat bergantung pada
hidrofobisitas yang berhubungan dengan lemak
di kulit sehingga senyawa hidrofobik lebih mudah
menembus area tubuh yang memiliki persentase
lipid kulit yang tinggi. Di area wajah, kadar lipid
kulit 12-15%, senyawa hidrofobik lebih mudah
berpenetrasi dibandingkan senyawa hidrolik. Di
telapak kaki, persentase lipid kulit adalah 1-2%,
senyawa hidrolik lebih mudah berpenetrasi
dibandingkan senyawa hidrofobik.20
Biokimia
Sintesis vitamin D melambat karena kurangnya
senyawa prekursor 7-dehidrokolesterol di lapisan
dermis dan epidermis sehingga membatasi
pembentukan vitamin D.20 Di permukaan kulit
normal orang dewasa rerata pH adalah 5.5.
Keasaman di kulit menghambat kolonisasi bakteri
dan berkontribusi di sawar kelembapan kulit karena
asam amino, garam, dan senyawa lain di mantel
asam menyerap air. pH di kulit relatif konstan sejak
usia dini hingga umur 70, namun saat usia >70,
pH meningkat signikan terutama di ekstremitas
bawah karena sirkulasi terganggu.20
Vaskularisasi dan Termoregulasi
Pola aliran darah melalui kapiler tidak berubah
pada satu individu, namun aliran darah maksimum
menghilang karena hilangnya pleksus kapiler di kulit
menua. Pada penelitian potong lintang, didapatkan
bahwa penuaan kulit akibat sinar ultraviolet
menunjukkan 35% penurunan vaskularisasi di
dermis. Selain itu, didapatkan penurunan aliran
darah, hilangnya pertukaran nutrisi, disfungsi
termoregulasi, penurunan temperatur permukaan
kulit, dan kulit semakin pucat. Pada pasien geriatri
temperatur kulit lebih rendah dan pasien lebih
rentan terhadap hipotermia serta heatstroke karena
kerusakan kelenjar keringat ekrin, kurangnya
vasodilatasi atauvasokonstriksi arteriol dermis,
dan hilangnya lemak subkutan yang menghambat
termoregulasi.20
Respons terhadap Iritan
Respons inamasi terhadap agen eksogen
menurun pada usia >70 tahun yaitu menjadi lebih
lambat, lebih tidak intens, dan beberapa tanda klinis
kerusakan kulit tidak muncul. Diagnosis penyakit
kulit pada pasien geriatri menjadi lebih sulit karena
manifestasi iritasi di kulit kurang jelas. Pajanan
terhadap bahan kimia seperti sabun mandi, minyak
tanah, dimetil sulda, asam nikotinat, kloroform-
metanol, dan asam laktat pada saat patchtesting
menunjukkan eritema dan sedikit vesikel pustul.
Pada perubahan TEWL setelah pajanan sodium
lauryl sulfate (SLS) di kulit, reaksi iritasi lebih
lambat dan jarang pada individu menopause. Iritan
kimia menghasilkan efek berbeda di kulit menua
karena tiap iritan mempunyai mekanisme berbeda.
SLS dan asam nonanoat menganggu metabolisme
dan diferensiasi keratinosit sedangkan ditranol
menginduksi inamasi di keratinosit lapisan
epidermis. 20
Shannaz N. Yusharyahya
158
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
Kemampuan Regenerasi dan Respons terhadap Cedera
Setiap hari terjadi deskuamasi di satu lapisan
korneosit di kulit sehat agar seluruh stratum korneum
terganti setiap dua minggu. Namun, di stratum
korneum kulit menua pergantian stratum korneum
dua kali lebih lambat dibandingkan kulit muda.
Proses penyembuhan luka lebih lambat dengan
bertambahnya usia. Di luka yang berukuran 40
cm2 proses penyembuhan luka pada usia 20 tahun
berlangsung 40 hari, sedangkan pada usia >80
tahun memerlukan waktu dua kali lipat (76 hari).
Risiko pembukaan luka pasca-operasi meningkat
600% pada usia pertengahan 80 tahun dibandingkan
usia pertengahan 30 tahun. Proses perbaikan
seperti collagen remodelling, proliferasi seluler, dan
metabolisme luka akan tertunda pada usia lanjut.20
Pergantian stratum korneum menjadi lebih
lama, yang biasanya 20 hari pada di kulit menua
menjadi 30 hari. Re-epitelisasi di stratum korneum
setelah kulit melepuh juga berkurang. Produksi
mRNA dan protein IL-1 juga berkurang sehingga
proses penyembuhan lambat.20
Persepsi Neurosensori
Pasien usia lanjut sering mengeluh gatal
di kulit, namun persepsi nyeri menurun seiring
bertambahnya usia. Oleh karena itu, risiko cedera
jaringan yang biasanya bermanifestasi nyeri,
eritema, dan edema, muncul lebih lambat.20
Perubahan pada Tingkat Genom
Penuaan membawa perubahan pada fenotipe
tanpa mengubah urutan genetik yang sudah
dikodekan pada tiap DNA individu. Kerusakan
kulit umumnya berasal dari perubahan DNA yang
tidak memengaruhi urutan genetic yang disebut
perubahan epigenetik. Perubahan terdiri atas
modikasi DNA dan translasi menjadi protein
dengan modikasi kolagen terhadap histon dan
metilasi residu sitosin di DNA yang mengubah
fenotipe. DNA pada penuaan menunjukkan
hipermetilasi spesik di jaringan dan menyebabkan
perubahan fenotipe.20
Perubahan di Lapisan Kulit
Di lapisan kulit perubahan berupa penurunan
jumlah melanosit dan sel langerhans epidermis
serta perubahan di taut dermo-epidermal sehingga
menurunkan pertukaran nutrisi, hilangnya volume
dermis, berkurangnya suplai darah, serta penurunan
aktivitas tirosinase.6 Di lapisan dermis, kolagen,
elastin, dan asam hialuronat mengalami perubahan
struktural dan fungsional. Kerusakan komponen
tersebut terakumulasi seiring berjalannya waktu
dan terjadi penurunan fungsi. Penuaan kulit
intrinsik ditandai dengan atro dermis, kurangnya
serat kolagen, elastin, dan asam hialuronat yang
mengakibatkan pembentukan kerut dan garis-garis
yang diperberat gaya gravitasi, serta hilangnya
lemak subkutan.6 Penuaan ekstrinsik ditandai
dengan degradasi, perubahan serat kolagen dan
akumulasi elastin yang berantakan (elastosis).
Metaloproteinase dapat diinduksi oleh UVA dan
UVB dengan aktivitas proteolitik yang menghasilkan
degradasi serat kolagen dan elastin. Manifestasi
klinik penuaan kulit ekstrinsik adalah peningkatan
pembentukan keriput, kulit rapuh, perubahan
pigmentasi kulit, dan permukaan kasar.6
Penutup
Penuaan kulit merupakan proses yang
kompleks; terdiri atas faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik yang saling berhubungan. Perubahan di
kulit bermanifestasi sebagai kelainan yang dapat
diamati dan berbagai teori serta sudut pandang
berbeda dalam mekanisme penuaan kulit. Oleh
karena itu perlu dipahami patosiologi penuaan
kulit untuk menentukan tata laksana yang tepat
dalam mencegah dan mengobati penuaan kulit.
Daftar Pustaka
1. Kerns ML, Chien AL, Kang S. Skin aging. Dalam:
Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, et al, editor. Fitzpatrick’s dermatology.
Edisi ke-9. New York: McGraw Hill; 2019. h.1779-91.
2. Zhang S, Duan E. Fighting against skin aging:
the way from bench to bedside. Cell Transplant.
2018;27:729-38. doi: 10.1177/0963689717725755
3. Chen S, He Z, Xu J. Application of adipose-derived
stem cells in photoaging: basic science and
literature revies. Stem Cell Res Ther. 2020;11:491.
doi: 10.1186/s13287-020-01994-z
4. Kim M, Park HJ. Molecular mechanisms of skin
aging and rejuvenation. IntechOpen; 2016.
5. Damayanti. Penuaan kulit dan perawatan kulit dasar
pada usia lanjut. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin. 2017;29:73-80.
6. Ramos-e-Silva M, da Silva CSC. Elderly skin and
its rejuvenation: products and procedures for the
aging skin. J Cosmet Dermatol. 2007;6:40-50. doi:
10.1111/j.1473-2165.2007.00289.x
7. Makrantonaki E, Zouboulis CC. Pathomechanisms
of endogenously aged skin. Textbook of aging skin.
Edisi ke-2. Berlin: Springer; 2017.h.111-8.
8. Luze H, Nischwitz SP, Zalaudek I, Mullegger R,
Kamolz LP. DNA repair enzymes in sunscreens and
their impact on photoageing - a systematic review.
Photodermatol Photoimmunol Photomed. 2020;36:
424-32. doi: 10.1111/phpp.12597
Pencegahan dan Pengobatan Kulit Menua
159
eJKI Vol. 9, No. 2, Agustus 2021
9. Djuanda SRS, Novianto E, Boediardja SA, Jusman
SWA. Peran stres oksidatif pada penuaan kulit
secata intrinsik. MDVI. 2012;39:127-33.
10. Wagner KH, Cameron-Smith D, Wessner B, Franzke
B. Biomarkers of aging: from function to molecular
biology. Nutrients. 2016;8:338. doi: 10.3390/
nu8060338
11. Yarosh DB, Rosenthal A, Moy R. Six critical questions
for DNA repair enzymes in skincare products: a
review in dialog. Clin Cosmet Investig Dermatol.
2019;12:617–24. doi: 10.2147/CCID.S220741
12. Iliadi KG, Knight D, Boulianne GL. Healthy aging -
insights from Drosophila. Front Physiol. 2012;3:106.
doi: 10.3389/fphys.2012.00106
13. Mukherjee S, Mitra R, Maitra A, Gupta S, Kumaran
S, Chakrabortty A, et al. Sebum and hydration levels
in specic regions of human face signicantly predict
the nature and diversity of facial skin microbiome.
Sci Rep. 2016;6:36062. doi: 10.1038/srep36062
14. van der Spoel E, Jansen SW, Akintola AA, Ballieux
BE, Cobbaert CM, Slagboom PE, et al. Growth
hormone secretion is diminished and tightly controlled
in humans enriched for familial longevity. Aging Cell.
2016;15:1126-31. doi: 10.1111/acel.12519
15. He X, Barkan AL. Growth hormone therapy in
adults with growth hormone deciency: a critical
assessment of the literature. Pituitary. 2020;23:294-
306. doi: 10.1007/s11102-020-01031-5
16. Whaley MM, Lane J, Carruthers C, Walker L, Barber
DL. The aging process. Occupational therapy with
elders. Edisi ke-4. Missouri: Elsevier; 2017.h.30-40.
17. Dewan SK, Zheng SB, Xia SJ, Bill K. Senescent
remodeling of the immune system and its contribution
to the predisposition of the elderly to infections. Chin
Med J. 2012 ;125:3325-31.
18. Fuentes E, Fuentes M, Alarcón M, Palomo I.
Immune system dysfunction in the elderly. An Acad
Bras Cienc. 2017;89:285-99. doi: 10.1590/0001-
3765201720160487
19. Jaerany M, Huynh TV, Silverman MA, Zaidi
Z. Geriatric dermatoses: a clinical review of
skin diseases in an aging population. Int J
Dermatol. 2012;51:509-22. doi: 10.1111/j.1365-
4632.2011.05311.x
20. Farage MA, Miller KW, Maibach HI. Degenerative
changes in aging skin. Textbook of aging skin. Edisi
ke-2. Berlin: Springer; 2017.h.16-27.
21. Tobin DJ. Introduction to skin aging. J Tissue Viability.
2017;26:37-46. doi: 10.1016/j.jtv.2016.03.002
22. Farage MA, Miller KW, Elsner P, Maibach HI.
Characteristics of the aging skin. Advances
in wound care. 2013;2(1).5-10. doi: 10.1089/
wound.2011.0356
23. Kohl E, Steinbauer J, Landthaler M, Szeimies
RM. Skin ageing. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2011;25:873-84. doi: 10.1111/j.1468-
3083.2010.03963.x
24. Soerensen M. Genetic variation and human
longevity. Dan Med J. 2012;59:B4454.
25. Cheng W, Yan-hua R, Fang-gang N, Guo-an Z.
The content and ratio of type I and III collagen in
skin dier with age and injury. Afr J of Biotechnol.
2011;10:2524-9.
26. Li Y, Lei D, Swindell WR, Xia W, Weng S, Fu J, et al.
Age-associated increase in skin broblast-derived
prostaglandin e2 contributes to reduced collagen
levels in elderly human skin. J Invest Dermatol.
2015;135:2181-8. doi: 10.1038/jid.2015.157
27. Morrow A, Lechler T. Studying cell biology in the
skin. Mol Biol Cell. 2015;26:4183-6. doi: 10.1091/
mbc.E15-04-0246
28. Russell-Goldman E, Murphy GF. The pathobiology
of skin aging: new insights into an old dilemma.
Am J Pathol. 2020;190:1356-69. doi: 10.1016/j.
ajpath.2020.03.007
... A. PENDAHULUAN Fenomena penuaan populasi global telah menjadi perhatian utama dalam bidang kesehatan masyarakat, dengan peningkatan signifikan jumlah penduduk lanjut usia (lansia) yang memerlukan perhatian khusus dalam aspek kesehatan dan kesejahteraan. Proses penuaan merupakan fenomena biologis yang tidak terhindarkan, ditandai dengan perubahan kompleks pada tingkat molekuler, seluler, dan fungsional organ tubuh (Yusharyahya, 2021). Dalam konteks demografis global, World Health Organization (WHO) memproyeksikan bahwa populasi lansia akan mencapai 2,1 miliar pada tahun 2050, dengan pertumbuhan tercepat terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. ...
Article
Full-text available
Abstrak: Program senam hipertensi untuk lansia dilaksanakan sebagai intervensi non-farmakologis dalam pengendalian hipertensi di wilayah Jalan Beringin Raya RW 005 Kutabaru, Pasar Kemis, Tangerang. Program ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman lansia tentang manajemen hipertensi dan mengimplementasikan senam hipertensi sebagai aktivitas fisik terstruktur. Metode pelaksanaan meliputi edukasi kesehatan, demonstrasi, dan praktik langsung senam hipertensi. Peserta program berjumlah 20 orang dengan rentang usia 50-66 tahun. Hasil evaluasi menunjukkan penurunan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 15.3 mmHg dan diastolik 8.7 mmHg setelah intervensi. Sebanyak 75% peserta mendemonstrasikan kemampuan mengulang gerakan senam dengan teknik yang tepat, mengindikasikan tingkat penyerapan informasi yang baik. Program ini berhasil membangun fondasi untuk keberlanjutan praktik senam hipertensi secara mandiri di lingkungan komunitas. Tantangan utama meliputi keterbatasan waktu monitoring jangka panjang dan variasi kemampuan fisik peserta. Implementasi program berkelanjutan dan pengembangan kapasitas kader kesehatan lokal direkomendasikan untuk optimalisasi manfaat program.Abstract: The hypertension exercise program for the elderly was implemented as a non-pharmacological intervention in hypertension control in the Beringin Raya RW 005 Kutabaru, Pasar Kemis, Tangerang area. This program aimed to improve elderly understanding of hypertension management and implement hypertension exercises as structured physical activity. The implementation method included health education, demonstration, and direct practice of hypertension exercises. Program participants numbered 20 people with an age range of 50-66 years. Evaluation results showed an average decrease in systolic blood pressure of 15.3 mmHg and diastolic 8.7 mmHg after intervention. About 75% of participants demonstrated the ability to repeat exercise movements with proper technique, indicating a good level of information absorption. This program successfully built a foundation for the sustainability of independent hypertension exercise practices in the community. The main challenges include limited long-term monitoring time and variations in participants' physical abilities. Sustainable program implementation and local health cadre capacity development are recommended for program benefit optimization.
... Dengan kata lain Trans epidermal water loss (TEWL) berfungsi menjaga kelembapan kulit, kadarnya rendah pada usia tua dibandingkan pasien usia muda karena berkurangnya kandungan air di kulit menua. (Yusharyahya, 2021) Penelitian Rojvutthikun meneliti mengenai kondisi kulit xerosis yang dipengaruhi oleh faktor penuaan dan faktor lainnya, dengan subjek 163 orang berusia di atas 45 tahun di Thailand. Rojvutthikun menyatakan bahwa prevalensi xerosis tinggi pada kelompok usia paruh baya dan lanjut usia di Thailand. ...
Article
Full-text available
Penyakit kulit akibat kerja menyumbang sekitar 50% dari seluruh penyakit yang diderita pekerja. Aktivitas mencuci dengan sabun yang iritatif menyebabkan kulit menjadi kering dan gatal yang bila kronis menimbulkan penurunan kualitas hidup. Penelitian terdahulu menilai gangguan kulit akibat penggunaan sabun yang dikaitkan dengan dermatitis kontak, tidak spesifik mengenai kulit kering. Penelitian ini bertujuan menilai hubungan penggunaan detergen bubuk dan keparahan kulit kering pada perempuan usia dewasa. Penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional, subjek 116 perempuan dewasa yang mencuci pakaian dengan detergen bubuk di Puskesmas Kecamatan Cariu Bogor, dipilih secara consecutive non random sampling. Karakteristik sosiodemografi berupa usia, pekerjaan, pendidikan, riwayat penyakit kulit, frekuensi dan durasi mencuci pakaian. Penilaian kulit menggunakan Visual Assesment Of Skin Dryness. Analisis statistik menggunakan uji Chi-Square dengan nilai kemaknaan p<0.05. Subjek perempuan berusia 25-43 tahun, berprofesi sebagai ibu rumah tangga sebanyak 66.4%, pendidikan terakhir SMP sebanyak 37.1%. Frekuensi mencuci 1x sebanyak 88,8%, total durasi mencuci ≥30menit sebanyak 85,3%. Responden dengan frekuensi mencuci 1x perhari dan kulit tidak kering sebesar 47,4% sedangkan yang mencuci 2x perhari dengan kondisi kulit kering 4,3%. Responden dengan total durasi mencuci <30 menit dan kulit tidak kering sebesar 10,3 % sedangkan durasi mencuci ≥30 menit dengan kondisi kulit kering sebesar 41,4 %. Hasil uji Chi-square didapatkan p=0,579 dan p=0,145. Penggunaan detergen bubuk tidak berhubungan dengan keparahan kulit kering pada perempuan usia dewasa.
... Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu paparan sinar matahari, polusi, dan asap rokok. Adanya garis-garis secara halus, kerutan, serta produksi pigmen melanin secara berlebihan, hilangnya kelembapan, adanya penipisan dalam kulit merupakan berbagai fenomena penuaan yang ditandai secara klinis (Yusharyahya, 2021). Produksi pigmen melanin yang terjadi secara berlebihan idealnya berkolerasi secara positif dalam terhadap pembentukan enzim tirosinase . ...
Article
Signs of premature aging, indicated by hyperpigmentation on the skin, are the highest chance of occurring in some of the younger generation due to an unhealthy lifestyle. Signs of aging include fine lines, wrinkles, and exposure to free radicals such as air pollution, cigarette smoke, and foods that cause cancer. The solution to overcome these problems in this research is to utilize natural ingredients from agricultural technology to be developed as pharmaceutical preparations (facial soap). The facial soap preparation used in this research was carried out to inhibit aging through a series of in vitro studies, namely by inhibiting the tyrosinase enzyme. White swallowtail bird's nest contains Epidermal Growth Factor (EGF) which functions in the cell division process so that apart from being able to be used as a functional food in this research, it is sufficient to produce the latest scientific information as a pharmaceutical preparation. Scoby kombucha extract contains bioactive compounds as a source of antioxidants. This study aims to test the inhibitory power of the tyrosinase enzyme, both extracts and facial soap preparations in vitro. The results of this study have proven that Scoby Kombucha Extract has a higher antioxidant value (9,446 ± 82.7) when compared to white swallowtail bird's nest extract (4,621 ± 25.7). The three formulations of facial soap with the active ingredients white swallowtail bird's nest extract and scoby kombucha have the most optimal aging inhibitory power with an average IC50 value of 1.046 ± 12.9. The conclusion in this research is that natural ingredient preparations produced from post-harvest technology for agricultural products have the potential to be developed as environmentally friendly pharmaceutical preparations (cosmetics/facial soap) in preventing premature aging.
... Skin aging is a gradual decline of skin function and regenerative capacity, influenced by intrinsic and extrinsic factors. Intrinsic factors include hormonal changes, cellular metabolism, and genetic predispositions, while extrinsic factors involve environmental exposures such as air pollution, infrared radiation, and ultraviolet radiation (Yusharyahya, 2021). The progression of skin aging can be mitigated or delayed by applying antioxidants. ...
Article
Full-text available
Bauhinia purpurea L. is an ornamental plant that is not widely known or explored by the public, despite its significant antioxidant properties. Phenolic compounds and flavonoids, known for their antioxidant activity, can be extracted from the leaves through maceration with 70% ethanol and 96% ethanol. The difference in solvent polarity between these two ethanol concentrations affects the solubility of bioactive compounds. This study aimed to evaluate the effect of 70% and 96% ethanol concentrations Bauhinia purpurea L on the total phenolic and flavonoid levels in. An experimental method was employed, using Bauhinia purpurea L powder macerated with 70% and 96% ethanol, followed by evaporation at 40°C-50°C to obtain thick extracts. The extracts were subjected to organoleptic tests, phytochemical screening, Thin Layer Chromatography (TLC), and UV-Vis spectrophotometry. Total phenolic content was determined using gallic acid standards (mg GAE/g extract), while total flavonoid content was measured using quercetin standards (mg QE/g extract). The organoleptic test revealed that both the 70% and 96% ethanol extracts of Bauhinia purpurea L had a blackish-green color, thick consistency, distinctive odor, and bland taste. Phytochemical screening indicated the presence of phenolics, flavonoids, and saponins. The total phenolic content for the 70% ethanol extract was 14.644 ± 0.222 mg GAE/g, and the total flavonoid content was 25.519 ± 0.921 mg QE/g. The total phenolic content for the 96% ethanol extract was 7.176 ± 0.347 mg GAE/g, and the total flavonoid content was 11.208 ± 0.412 mg QE/g. These results indicate a significant difference between the use of 70% and 96% ethanol in extracting total phenolic and flavonoid content from Bauhinia purpurea L, with the 70% ethanol extract showing higher levels of both compounds.
... External factors such as free radicals and sunlight can damage the skin. Therefore, to prevent and treat the damage caused by these two factors, it is necessary to use products that contain antioxidant compounds (Yusharyahya, 2021). ...
Article
Telang flower (Clitoria ternatea L.) contains anthocyanins that are efficacious as natural antioxidants. Face mist with synthetic materials, such as tertiary-butyl hydroquinone (TBHQ), has side effects that are carcinogenic and can cause tumors if used for a long time. Currently, many studies haveeinvestigated the conventional biotechnology product kombucha,, which is a drink made from tea fermented by bacteria and yeast (Scoby/Symbiotic Colony (Culture) Bacteria &Yeast,), as the initial culture of the tea produces an aroma or sour taste. Kombucha has various anti-inflammatory, antibacterial, and antioxidant activities of certain strains, which are expected to provide good antioxidant activity when combined with the natural ingredients of Telang flowers. In this study, telang flower simplicia was fermented for 6 days until telang flower kombucha tea was obtained, and face mist preparations in three concentrations (5%, 7,5%, and 10%) were prepared to determine the antioxidant activity using the DPPH method measured by UV-Vis spectrophotometry by looking at the % inhibition and IC50 values. Based on the results of the evaluation with the parameters of organoleptic testing, pH, homogeneity, spray dispersion, specific weight, viscosity, and drying time met the requirements. The result of the antioxidant activity test of vitamin C of 4,36 ppm, kombucha of telang flower of 14,19 ppm, and face mist of kombucha of telang flower with concentrations of 5%, 7,5% and 10% produced IC50 values of 21,19 ppm, 19,62 ppm, and 17,52 ppm and were included in the very strong category. Keywords: Antioxidant, Telang flower, Face mist, DPPH, Kombucha
Article
Full-text available
Indonesian women saw premature aging as a serious problem; 60% of female respondents felt less confident due to the symptoms of premature aging they experienced. Fig leaves (Ficus carica L.) are a natural ingredient containing flavonoid compounds that have the potential to act as antioxidants and bio-reduction in the biosynthesis of gold nanoparticles that have anti-aging properties. This research aims to determine the antiaging activity of fig leaf serum in inhibiting collagenase enzymes and fibroblast cell proliferation. The research design used a true experimental method by macerating fig leaves. Formulation of 90 μL fig leaf extract gold nanoparticles was carried out in serum preparations varying in the concentration of 5, 10, and 15%. The characteristics of the serum preparation were tested for organoleptic, homogeneity, pH, and viscosity. Antioxidant activity was compared using the DPPH method with Vitamin C. The test for inhibiting skin-degrading enzymes is carried out by inhibiting the collagenase enzyme. Test the cell viability of fig leaf gold nanoparticles against HDFa cells using the MTT assay method. The 15% serum results obtained strong antioxidant activity with an IC50 of 21.63 μg/ml, showed good collagenase enzyme inhibition of 88.1%, and could increase cell viability after exposure to H2O2 by 93.22%. It can be concluded that gold nanoparticle serum from fig leaf had the potential for antiaging activity and the stability of the new "fig leaf extract-gold nanoparticle serum" formulation for further improvement as a new antiaging cosmetic.
Article
Full-text available
Daun rambusa (Passiflora foetida L) dikenal memiliki berbagai khasiat herbal yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan aktif dalam sediaan gel. Sediaan gel dipilih karena memiliki penetrasi obat ke dalam kulit lebih baik serta waktu kontak lebih lama dibandingkan sediaan topikal lainnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi Na-CMC terhadap uji stabilitas dan hedonik sediaan gel ekstrak daun rambusa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi formulasi sediaan gel dengan tiga variasi konsentrasi Na-CMC (2%, 2,5%, dan 3%), pengujian stabilitas dengan cycling test selama 6 siklus pada suhu 4⁰C dan 40⁰C, serta uji hedonik. Uji stabilitas mencakup pengamatan perubahan organoleptik, homogenitas, nilai pH, daya sebar, daya lekat, dan viskositas. Sedangkan uji hedonik melibatkan penilaian responden terhadap warna, aroma, dan tekstur gel. Analisis data dilakukan dengan One Way ANOVA untuk melihat perbedaan antara formula dan T-Test Dependent untuk mengetahui stabilitas sediaan gel ekstrak daun rambusa. Hasil penelitian menunjukkan variasi konsentrasi Na-CMC pada ketiga formula sesuai dengan standar terhadap uji organoleptik, homogenitas, pH, daya sebar, daya lekat, dan viskositas. Hasil statistik menunjukkan nilai <0,05 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada uji stabilitas dan hedonik terhadap variasi konsentrasi Na-CMC. Gel ekstrak daun rambusa menunjukkan sifat yang stabil, kecuali FI yang kurang stabil pada viskositas. FIII mendapatkan penilaian tertinggi terhadap parameter warna dan aroma, sedangkan pada tekstur lebih disukai FI.
Article
Full-text available
Latar belakang: Penuaan kulit adalah proses biologis yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sinar ultraviolet (UV), yang dapat merusak kulit. Kulit memerlukan antioksidan untuk melindungi dari kerusakan akibat radikal bebas. Penggunaan kosmetik berbahan kimia sering menimbulkan efek samping, sehingga diperlukan alternatif berbahan herbal dengan sifat antioksidan. Daun kopi arabika mengandung senyawa fenol dan flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan dan memiliki potensi aktivitas anti-aging. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasikan krim dari ekstrak etanol daun kopi arabika dalam beberapa konsentrasi dan mengevaluasi efektivitasnya terhadap kondisi kulit. Dengan demikian, penelitian ini berfokus pada potensi ekstrak daun kopi arabika sebagai bahan aktif dalam krim anti-aging yang aman dan efektif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sediaan krim ekstrak etanol daun kopi arabika dengan konsentrasi berbeda (3%, 5%, dan 7%), dan menilai efektivitas krim sebagai agen anti-aging melalui pengukuran kadar air kulit, ukuran pori, dan keriput Hasil: Sediaan krim yang dihasilkan homogen dan stabil, dengan pH 4,6-6,0. ⁠Krim dengan konsentrasi 7% menunjukkan peningkatan kadar air kulit (10%), pengecilan pori (11,41%), dan pengurangan keriput (18,94%) setelah 4 minggu perawatan Kesimpulan: Ekstrak etanol daun kopi arabika dapat diformulasikan menjadi krim anti-aging yang efektif. Krim dengan konsentrasi 7% memberikan efek anti-aging terbaik dibandingkan dengan konsentrasi lainnya, meningkatkan kondisi kulit secara signifikan.
Article
Full-text available
Skin aging is characterized by a decrease in the skin's ability to regenerate and maintain its structure, which is influenced by endogenous factors (genetic mutations, hormonal factors) and exogenous factors (UV exposure, pollution). UV radiation accelerates skin aging by generating reactive oxygen species (ROS) that can activate hyaluronidase and induce inflammation, leading to cell apoptosis. Natural antioxidants such as melatonin play an important role in skin protection, but melatonin levels decrease with UV exposure. The temulawak plant contains compounds that can be utilized as antioxidants. This study aims to determine the potential of Curcuma xanthorrhiza (temulawak) natural extract to reduce UV-induced skin aging by increasing melatonin levels and reducing hyaluronidase activity. Extraction was performed using maceration method with 70% ethanol solvent. Aging model cells were prepared from human skin fibroblast cell cultures that were exposed to UV light 300J/cm2 for 75 minutes. The treatment given to the aging model cells, namely temulawak extract in 3 different concentrations 12.50; 6,25; 3.13 μg/mL. The results showed that temulawak extract significantly increased melatonin level in fibroblasts exposed to UV light, with an optimal concentration of 12.25 µg/mL (147.71 pg/mL metionin). In addition, temulawak extract also significantly reduced hyaluronidase levels with the same optimal concentration (95.78 ng/mL). Curcuma longa extract may serve as an effective natural agent for anti-aging skin care products by increasing melatonin levels and reducing hyaluronidase activity, thus potentially improving skin health and reducing the effects of aging caused by UV exposure.
Article
Full-text available
Photoaging is mainly induced by continuous exposure to sun light, causing multiple unwanted skin characters and accelerating skin aging. Adipose-derived stem cells(ADSCs) are promising in supporting skin repair because of their significant antioxidant capacity and strong proliferation, differentiation, and migration ability, as well as their enriched secretome containing various growth factors and cytokines. The identification of the mechanisms by which ADSCs perform these functions for photoaging has great potential to explore therapeutic applications and combat skin aging. We also review the basic mechanisms of UV-induced skin aging and recent improvement in pre-clinical applications of ADSCs associated with photoaging. Results showed that ADSCs are potential to address photoaging problem and might treat skin cancer. Compared with ADSCs alone, the secretome-based approaches and different preconditionings of ADSCs are more promising to overcome the current limitations and enhance the anti-photoaging capacity.
Article
Full-text available
Background DNA damage is one of the main factors responsible for photoageing and is predominantly attributed to ultraviolet‐irradiation (UV‐R). Photoprotection by conventional sunscreens is exclusively prophylactic, and of no value, once DNA damage has occurred. As a result, the demand for DNA repair mechanisms inhibiting, reversing or delaying the pathologic events in UV‐exposed skin has sparked research on anti‐photoageing and strategies to improve the effect of conventional sunscreens. This review provides an overview of recent developments in DNA repair enzymes used in sunscreens and their impact on photoageing. Methods A systematic review of the literature, up to March 2019, was conducted using the electronic databases, PubMed and Web of Science. Quality assessment was carried out using the Newcastle‐Ottawa scale (NOS) to ensure inclusion of adequate quality studies only (NOS > 5). Results Out of the 352 publications, 52 were considered relevant to the key question and included in the present review. Two major enzymes were found to play a major role in DNA damage repair in sunscreens: photolyase and T4 endonuclease V. These enzymes are capable of identifying and removing UV‐R‐induced dimeric photoproducts. Clinical studies revealed that sunscreens with liposome‐encapsulated types of photolyase and/or T4 endonuclease V can enhance these repair mechanisms. Conclusion There is a lack of randomized controlled trials demonstrating the efficacy of DNA repair enzymes on photoageing, or a superiority of sunscreens with DNA repair enzymes compared to conventional sunscreens. Further studies are mandatory to further reveal pathogenic factors of photoageing and possible therapeutic strategies against it.
Article
Full-text available
Purpose Growth hormone (GH) therapy has been studied as treatment for clinical manifestations of adult-onset growth hormone deficiency (AO-GHD), including cardiovascular risk, bone health, and quality of life. Patients with AO-GHD typically also have significant history of pituitary pathology and hypopituitarism, which raises the question of what proportion of their clinical presentation can be attributed to GHD alone. Currently, much of the existing data for GH therapy in AO-GHD come from uncontrolled retrospective studies and observational protocols. These considerations require careful reassessment of the role of GH as a therapeutic agent in adult patients with hypopituitarism. Methods We contrast results from placebo-controlled trials with those from uncontrolled and retrospective studies for GH replacement in patients with hypopituitarism. We also examine the evidence for the manifestations of AO-GHD being attributed to GHD alone, as well as the data on adults with congenital, life-long untreated isolated GHD. Results The evidence for increased morbidity and mortality in hypopituitary patients with GHD, and for the benefits of GH therapy, are conflicting. There remains the possibility that the described clinical manifestations of AO-GHD may not be due to GHD alone, but may also be related to underlying pituitary pathology, treatment history and suboptimal hormone replacement. Conclusions In the setting of inconsistent data on the benefits of GH therapy, treatment of AO-GHD remains an individualized decision. There is a need for more randomized, placebo-controlled studies to evaluate the long-term outcomes of GH therapy in adults with hypopituitarism.
Article
Full-text available
Concerns over existing sunscreen filters have reinforced the need to examine supplemental sun protection or repair of sun damage. Technology to enhance DNA repair has been available in skincare and sunscreen products for several decades, but skepticism and lack of familiarity with the supporting data remain prevalent. Here, we address six of the main questions raised by medical professionals regarding the efficacy of DNA repair enzymes in sun protection. These include the mode of delivery and mechanism of action, the effect on cellular responses and the amelioration of pre-cancers, cancers and photoaging. The conclusions are that topical DNA repair enzymes do enhance removal of DNA damage and reduce the appearance of new actinic keratoses as well as increase regression of existing lesions. Support for prevention of photoaging and skin cancer is significant but could be strengthened or disproven with additional research.
Article
Full-text available
As the most voluminous organ of the body that is exposed to the outer environment, the skin suffers from both intrinsic and extrinsic aging factors. Skin aging is characterized by features such as wrinkling, loss of elasticity, laxity, and rough-textured appearance. This aging process is accompanied with phenotypic changes in cutaneous cells as well as structural and functional changes in extracellular matrix components such as collagens and elastin. In this review, we summarize these changes in skin aging, research advances of the molecular mechanisms leading to these changes, and the treatment strategies aimed at preventing or reversing skin aging.
Article
Full-text available
Human aging is characterized by both physical and physiological frailty that profoundly affects the immune system. In this context aging is associated with declines in adaptive and innate immunity established as immunosenescence. Immunosenescence is a new concept that reflects the age-associated restructuring changes of innate and adaptive immune functions. Thus elderly individuals usually present chronic low-level inflammation, higher infection rates and chronic diseases. A study of alterations in the immune system during aging could provide a potentially useful biomarker for the evaluation of immune senescence treatment. The immune system is the result of the interplay between innate and adaptive immunity, yet the impact of aging on this function is unclear. In this article the function of the immune system during aging is explored.
Article
Full-text available
The skin microbiome varies across individuals. The causes of these variations are inadequately understood. We tested the hypothesis that inter-individual variation in facial skin microbiome can be significantly explained by variation in sebum and hydration levels in specific facial regions of humans. We measured sebum and hydration from forehead and cheek regions of healthy female volunteers (n = 30). Metagenomic DNA from skin swabs were sequenced for V3-V5 regions of 16S rRNA gene. Altogether, 34 phyla were identified; predominantly Actinobacteria (66.3%), Firmicutes (17.7%), Proteobacteria (13.1%) and Bacteroidetes (1.4%). About 1000 genera were identified; predominantly Propionibacterium (58.6%), Staphylococcus (8.6%), Streptococcus (4.0%), Corynebacterium (3.6%) and Paracoccus (3.3%). A subset (n = 24) of individuals were sampled two months later. Stepwise multiple regression analysis showed that cheek sebum level was the most significant predictor of microbiome composition and diversity followed by forehead hydration level; forehead sebum and cheek hydration levels were not. With increase in cheek sebum, the prevalence of Actinobacteria (p = 0.001)/Propionibacterium (p = 0.002) increased, whereas microbiome diversity decreased (Shannon Index, p = 0.032); this was opposite for other phyla/genera. These trends were reversed for forehead hydration levels. Therefore, the nature and diversity of facial skin microbiome is jointly determined by site-specific lipid and water levels in the stratum corneum.
Article
Full-text available
Reduced growth hormone (GH) signaling has been consistently associated with increased health and lifespan in various mouse models. Here, we assessed GH secretion and its control in relation with human familial longevity. We frequently sampled blood over 24 h in 19 middle-aged offspring of long-living families from the Leiden Longevity Study together with 18 of their partners as controls. Circulating GH concentrations were measured every 10 min and insulin-like growth factor 1 (IGF-1) and insulin-like growth factor binding protein 3 (IGFBP3) every 4 h. Using deconvolution analysis, we found that 24-h total GH secretion was 28% lower (P = 0.04) in offspring [172 (128–216) mU L−1] compared with controls [238 (193–284) mU L−1]. We used approximate entropy (ApEn) to quantify the strength of feedback/feedforward control of GH secretion. ApEn was lower (P = 0.001) in offspring [0.45 (0.39–0.53)] compared with controls [0.66 (0.56–0.77)], indicating tighter control of GH secretion. No significant differences were observed in circulating levels of IGF-1 and IGFBP3 between offspring and controls. In conclusion, GH secretion in human familial longevity is characterized by diminished secretion rate and more tight control. These data imply that the highly conserved GH signaling pathway, which has been linked to longevity in animal models, is also associated with human longevity.
Article
Long considered both physiologic and inevitable, skin ageing is a degenerative phenomenon whereby both intrinsic and environmental factors conspire to produce an authentic disease. The consequences of this disorder are many and varied, ranging from atrophy and fragility to defective repair to deficient immunity and vulnerability to certain infections. The pathobiologic basis for skin ageing remains poorly understood. At a cellular level, stem cell dysfunction and attrition appear to be key events, and both genetic and epigenetic factors are involved in a complex interplay that over time results in deterioration of our main protective interface with the external environment. Past and current understanding of the cellular and molecular intricacies of skin ageing provide a foundation for future approaches designed to thwart the ageing phenotype. Herein, we provide a review of current insights into skin ageing, including the mechanisms of skin ageing, the role of stem cells in skin ageing and the implications of skin ageing for the microbiome and for the development of cancer. Conquest of the oft overlooked ‘disease’ of skin ageing should have broad implications that transcend the integument and inform novel approaches to retarding ageing and age-related dysfunction in those internal organs that youthful skin was designed to envelop and safeguard.
Chapter
In an ever-aging society a better understanding of the underlying mechanisms accompanying aging skin has become essential. Skin aging can be classified into light-induced aging (photoaging, exogenous aging) and endogenous aging. The latter occurs in nonexposed areas, which are not in direct contact with environmental factors such as ultraviolet (UV) and infrared (IR) irradiation, and is mainly attributed to genetic factors and alterations of the endocrine environment. In this chapter, new insights on the latest findings regarding the pathogenesis of endogenously aged skin are summarized, to what extent intrinsic factors may influence the progress of skin aging and what are the consequences on the morphology and physiology of skin.