ArticlePDF Available

Kajian Etnomedisin Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Penyembuh Lokal Pada Masyarakat Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus

Authors:

Abstract

Abstrak ___________________________________________________________________ Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan pengetahuan pengobatan tradisional yang ada di Desa Colo. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus terdapat seorang penyembuh lokal yang dikenal dengan sebutan Mbah Yai yang menjadi rujukan masyarakat di desa untuk menyembuhkan penyakit. Penyakit yang diobati oleh Mbah Yai adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dalam pengobatan keluarga. Proses pengobatan yang dilakukan Mbah Yai dengan cara melakukan petungan, penerawangan, pemberian resep tumbuhan obat, wirid dan rajah. Abstract ___________________________________________________________________ This article aims describe knowledge of traditional medicine in Colo Village. The method in this research is qualitative. Technique of collecting data in this research yautu with observation, interview and documentation. Data analysis is using qualitative data analysis method consisting of data collection, data reduction, data presentation, and conclusion. The results of this study indicate that to 1) Mbah Yai as a practinioner of traditional medicine in Colo village which aims to cure a patient's illnes. The treatment process carried out by Mbah Yai by doing petungan, laughing, prescribing medicinal plants, wirid and rajah.
480
SOLIDARITY 7 (2) (2018)
SOLIDARITY
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/solidarity
Kajian Etnomedisin Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Oleh Penyembuh Lokal
Pada Masyarakat Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus
Sri Oknarida, Fadly Husain, Harto Wicaksono
Jurusan Sosiologi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
________________
Sejarah Artikel:
Diterima November 2018
Disetujui Desember 2018
Dipublikasikan Januari
2019
________________
Keywords:
medicinal plant,
traditional medicine
____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Artikel ini bertujuan untuk mendiskripsikan pengetahuan pengobatan tradisional yang ada di Desa
Colo. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini yaitu dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini
dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Desa Colo, Kecamatan Dawe,
Kabupaten Kudus terdapat seorang penyembuh lokal yang dikenal dengan sebutan Mbah Yai
yang menjadi rujukan masyarakat di desa untuk menyembuhkan penyakit. Penyakit yang diobati
oleh Mbah Yai adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dalam pengobatan keluarga. Proses
pengobatan yang dilakukan Mbah Yai dengan cara melakukan petungan, penerawangan,
pemberian resep tumbuhan obat, wirid dan rajah.
Abstract
___________________________________________________________________
This article aims describe knowledge of traditional medicine in Colo Village. The method in this research is
qualitative. Technique of collecting data in this research yautu with observation, interview and documentation.
Data analysis is using qualitative data analysis method consisting of data collection, data reduction, data
presentation, and conclusion. The results of this study indicate that to 1) Mbah Yai as a practinioner of
traditional medicine in Colo village which aims to cure a patient’s illnes. The treatment process carried out by
Mbah Yai by doing petungan, laughing, prescribing medicinal plants, wirid and rajah.
© 2018 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi:
Gedung C6 Lantai 1 FIS Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: unnessosant@gmail.com
ISSN 2549-0729
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
481
PENDAHULUAN
Colo sebagai salah satu desa yang ada di Kecamatan Dawe Kabupaten
Kudus. Desa tersebut merupakan daerah yang terletak pada ketinggian 700 m diatas
permukaan laut, tepatnya berada di Gunung Muria. Desa Colo juga memiliki sejarah
mengenai berdirinya Gunung Muria yang diyakini masyarakat Colo bahwa
tumbuhan apa saja yang hidup di sekitar Gunung Muria mempunyai banyak
manfaat, salah satunya dimanfaatkan sebagai obat (Sunanang & Lutfi 2015).
Desa Colo terdapat kawasan hutan Muria yang masih kaya akan
keanekaragaman hayati, baik dari keanekaragaman jenis flora maupun fauna. Salah
satu keanekaragaman hayati yang dimiliki masyarakat Colo yaitu berbagai jenis
tumbuhan. Keragaman jenis tumbuhan memiliki berbagai manfaat untuk
kelangsungan hidup masyarakat Desa Colo dalam kehidupan sehari-hari yang sering
disebut dengan etnobotani. Menurut Chekole, Asfaw, & Kelbessa (2015) etnobotani
mempelajari tentang bagaimana manusia dari budaya dan wilayah tertentu
memanfaatkan tumbuhan yang ada di lingkungan sekitarnya.
Desa Colo dikenal dengan pengobatan tradisional dengan memanfaatkan
jenis-jenis tumbuhan obat dalam bidang kesehatan. Husain & Wahidah (2018)
menjelaskan bahwa obat tradisonal merupakan salah satu perawatan kesehatan yang
paling penting. Tumbuhan obat dimanfaatkan masyarakat Colo sejak zaman nenek
moyang sampai sekarang sebagai upaya dalam meningkatkan status kesehata. Upaya
kesehatan merupakan kegiatan atau serangkaian kegiatan yang integral, terpadu, dan
berkesinambungan dilaksanakan untuk mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,
pengobatan penyakit, pemulihan kesehatan (dilakukan) pemerintah atau masyarakat
(Husain & Wahidah 2017). Masyarakat Colo dari bayi, anak-anak, orang dewasa
dan orang tua memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai obat sesuai dengan
penyakit yang diderita.
Masyarakat Colo juga memperoleh pengetahuan pengobatan tradisional
dengan memanfaatkan tumbuhan obat dari Mbah Yai sebagai penyembuh lokal.
Pengobatan tradisional dengan menggunakan tumbuhan obat digunakan masyarakat
Colo dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan. Masalah kesehatan yang terjadi
di Desa Colo seperti penyakit lambung, asma, asam urat, penyakit mata, diabetes,
diare, hipertensi, masuk angin, batuk, flu, panas, pusing kepala dan lain-lain.
Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan obat merupakan
pengobatan yang diakui oleh masyarakat dunia sekaligus menandai kesadaran
kembali ke alam (back to nature) terus meningkat dan semakin digemari, karena
minim efek samping dibandingkan dengan menggunakan obat-obatan modern atau
obat-obatan dari bahan kimia (Santoso 2008). Masyarakat Colo masih mempercayai
obat-obatan tradisional dikarenakan khasiatnya dan harga yang relatif lebih murah
dibandingkan dengan harga obat modern yang harganya relatif lebih mahal dan
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
482
memiliki efek samping serta merugikan kesehatan (Triratnawati, Wulandari, &
Marthias 2014).
Penelitian mengenai pengobatan tradisional dengan memanfaatkan jenis-
jenis tumbuhan obat merupakan sebagai warisan budaya bangsa yang perlu terus
dilakukan dan dikembangkang di Indonesia. Potensi bahan alam yang besar serta
untuk menunjang pembangunan pelayanan kesehataan dan meningkatkan
pemerataan obat-obatan tradisional. Maka dari itu penulis ingin melakukan
penelitian di Desa Colo mengenai tumbuhan obat sebagai pengobatan tradisional.
Menurut ungkapan orang Jawa “nek ora ditulis ilmune miber” yang mempunyai makna
agar pengobatan tradisional menggunakan tumbuhan sebagai obat tidak dilupakan
sehingga harus dilakukan penelitian dan pencatatan. Selain untuk menghidari agar
pengetahuan tradisional ini tidak hilang, hal ini juga dapat memperkaya kajian-
kajian tentang pengetahuan tumbuhan obat di Indonesia.
Penelitian tentang pengobatan tradisional telah banyak dilakukan oleh
peneliti terdahulu, di antaranya: pertama, penelitian yang dilakukan Bussmann &
Sharon (2006) tentang pengobatan tradisional di Peru. Penelitian ini menjelaskan
bahwa di Peru terdapat curanderos sebagai penyembuh lokal yang menyembuhkan
penyakit “ajaib/ritual” seperti penyakit mal aire (udara yang buruk: penyakit yang
disebabkan oleh roh-roh yang mempengaruhi orang dewasa), mal viento (angin buruk:
penyakit yang disebabkan oleh roh-roh yang mempengaruhi kebanyak anak-anak),
susto dan espanto (ketakutan, disebabkan oleh sebuah peristiwa luar biasa dalam
kehidupan atau lingkungan), mal ojo (mata jahat, terutama tertuju untuk anak-anak
terjadi karena orang-orang yang kurang mempunyai niat jahat) dan envidia (iri,
penyakit orang dewasa disebabkan keirian orang lain). Pengobatan yang dilakukan
penyembuh dengan cara menyemprotan air suci sepanjang upacara pengobatan,
setelah itu pasien mandi bunga (lorecimiento) agar menghilangkan musuh atau roh-
roh yang tersisa. Terakhir pasien diberi sebuah jimat (seguros) dan ramuan berasal
dari tumbuhan. Penggunaan tumbuhan san pedro kaktus ( Echinopsis pachanol)
dengan angel’s-trumpet (Brugmansia spp.), jimson-gulma (Datura ferox) dan tembakau
banyak dimanfaatkan curanderos dalam ritual penyembuhan penyakit pasien.
Kedua Dermawan (2013) tentang peran penyembuh lokal sebagai
pengobatan tradisional pada komunitas Dayak Agabag di Kalimantan Timur.
Penelitian ini menjelaskan bahwa penyembuh lokal dalam menyembuhkan pasienya
menggunakan sebuah ritual limbai. Proses ritual limbai menggunakan perantara
melalui ibu-ibu yang kemudian dirasuki makhluk halus dan ibu-ibu tersebut
menyebutkan jenis tumbuhan yang akan digunakan. Jenis-jenis tumbuhan yang
sering digunakan obat yaitu daun sawang (Acorus calamus) agar makhluk halus yang
mengganggu keluar dari tubuh pasien.
Ketiga, penelitian yang dilakukan Rona & Promono (2015) tentang
pengobatan tradisional di Minangkabau. Penelitian ini menjelaskan bahwa leksikon
etnomedicine dalam pengobatan tradisional Minangkabau dapat dikelompokan
menjadi 3 yaitu 1) jenis-jenis penyakit, 2) jenis-jenis ramuan, dan 3) proses
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
483
pengobatan. Terdapat tiga jenis penyakit yang terkenal di Minangkabau yaitu biriang,
tinggam, sijundai. Biriang merupakan santet perusak kulit. Tinggam merupakan sejenis
santet yang sangat mematikan. Sijundai merupakan jenis guna-guna yang korbanya
hanya perempuan saja. Jenis ramuan di Minangkabau dinamakan sebagai panawa
yang terdiri dari ramuan dari jenis tumbuhan, hewan dan benda-benda lainya.
Tumbuhan yang sering dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional masyarakat
Minangkabau yaitu tumbuhan injuang. Injuang merupakan tumbuhan liar yang mana
masyarakat di daerah ini memanfaatkannya sebagai pagar atau pembatas lahan.
Menurut kepercayaan masyarakat jika tumbuhan ini juga berfungsi sebagai penolah
setan dan roh-roh jahan yang hendak masuk ke dalam rumah.
Keempat, penelitian yang dilakukan Husain & Wahidah (2018) tentang
pengobatan tradisional di Lombok. Penelitian ini menjelaskan bahwa belian nganak
merupakan penyembuh lokal yang ada di Lombok. Belian nganak mengobati penyakit
dengan cara yang berbeda, seperti dengan cara ditiup atau meludah sambil membaca
mantra, dan ada ada juga belian yang mengobati dengan cara menyediakan air
dengan mantra, memegang kepala anak sambil membaca mantra, menyediakan
herba untuk nyeri diare. Belian akan memberikan obat Sasak yang terbuat dari sekur,
beras, kunyit, bahan lain disertai mantra.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Lokasi
penelitian berada di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus. Subyek
penelitian adalah masyarakat Colo. Informan penelitian dilakukan pada penyembuh
lokal yang ada di Desa Colo biasanya disebut Mbah Yai, serta terdapat empat klien
Mbah Yai. Penelitian dilakukan peneliti dari bulan Febuari sampai Maret tahun
2018.
Pengumpulan data menggunakan metode observasi mengenai proses
penyembuhan yang dilakukan Mbah Yai pada klien, wawancara tentang profil Mbah
Yai sebagai penyembuh lokal, pengetahuan pengobatan tradisional Mbah Yai dan
jenis-jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan Mbah Yai, serta dokumentasi
mengenai Mbah Yai, rajah, buwahan dan peta Desa Colo. Analisis data
menggunakan analisis kualitatif deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Colo
Desa Colo merupakan desa yang ada di Kecamatan Dawe Kabupaten
Kudus, Jawa Tengah. Desa tersebut terdiri dari 4 RW dan 20 RT, serta jumlah
penduduk Desa Colo yaitu 4.346 Jiwa, dengan penduduk laki-laki sebesar 2.115 jiwa
dan penduduk perempuan sebesar 2.231 jiwa. Keunikan dari Desa Colo yaitu desa
yang terletak di kawasan Gunung Muria. Gunung Muria dikenal oleh masyarakat
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
484
Jawa Tengah khususnya sebagai tempat salah satu makam walisongo yaitu Sunan
Muria. Makam Sunan Muria banyak dikunjungi oleh masyarakat Colo sampai
masyarakat luar Colo, karena sebagai salah satu tempat wisata religi.
Gambar 1. Peta Desa Colo
Peta di atas menjelaskan bahwa Desa Colo merupakan salah satu desa di
Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus yang mempunyai jarak 18 km dari kota
Kabupaten. Colo berbatasan langsung dengan hutan lindung Muria bagian utara,
Desa Ternadi dan hutan lindung Muria bagian timur, Desa Kuwukan, Dukuh
Waringin dan Desa Kajar bagian selatan, serta Desa Japan dan Dukuh Waringin
bagian barat.
Mbah Yai : Penyembuh Lokal Desa Colo
Mbah Yai Yanto adalah seorang tokoh masyarakat (sesepuh) yang ada di
Desa Colo, yang mempunyai kemampuan untuk mengobati penyakit dengan
menggunakan metode pengobatan tradisional. Pengetahuan Mbah Yai dalam
mengobati pasien diperoleh dari Pondok Pesantren Darusalam Kecamatan Darma
Kabupaten Kuningan, Jawa Barat sejak tahun 1978-1980. Selama proses belajar dan
mendalami ilmu di pondok pesantren tersebut Mbah Yai selalu melakukan ritual
seperti wiridan dan puasa terakat untuk menjadi seorang Mbah Yai. Wiridan dilakukan
setelah setiap sholat lima waktu dengan bacaan doa-doa seperti dzikir. Puasa terakat
adalah puasa dengan menahan makan-minum, tidak boleh tidur selama berpuasa
dan menahan hawa nafsu selama 24 jam. Puasa terakat dilakukan selama 3 hari yaitu
Rebo Pon, Kames Wage dan Jumat Keliwon yang disebut sebagai Ratu ning dino, karena
tiga hari tersebut hari yang paling bagus untuk melakukan puasa terakat. Ritual
tersebut dilakukan oleh Mbah Yai sebagai bekal ilmu untuk menjadi seseorang yang
mempunyai kemampuan mengobati secara tradisional.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
485
Gambar 2. Mbah Yai
Mbah Yai dari umur 15 tahun sudah menjadi anak yatim piyatu, karena
orangtuanya mengalami kecelakaan. Sejak orangtuanya meninggal Mbah Yai tinggal
bersama pamannya di Desa Colo. Pendidikan Mbah Yai masih melanjutakan
sekolahnya di Pondok Pesantren Darusalam. Mbah Yai selesai menuntut ilmu di
pondok pesantren tersebut, Mbah Yai kembali pulang ke rumah pamanya di Desa
Colo. Pada tahun 1992 ketika Mbah Yai berumur 22 tahun, Mbah Yai mulai
mengikuti jejak gurunya yaitu Kyai Umar Shahab sebagai seorang praktisi dalam
pengobatan tradisional. Mbah Yai pertama kali menerapkan praktik pengobatan
tradisional di Desa Colo dengan tujuan menolong orang sakit.
Pengetahuan Pengobatan Tradisional Mbah Yai
Proses pengobatan yang dilakukan oleh Mbah Yai yaitu pertama, melalui
serangkaian petungan atau perhitungan weton (Hari kelahiran), hari pertama jatuh
sakit, kegiatan terakhir yang dilakukan pasien. Proses perhitungan petungan sifatnya
sangat tertutup dan rahasia bagi Mbah Yai yang menyebabkan peneliti tidak bisa
menggali informasi lebih dalam. Tetapi menurut informasi yang didapatkan dengan
wawancara bersama pasien, bahwa proses perhitungan weton dengan
memperhatikan hari kelahiran dan hari pasaran seseorang (pasien) serta dilakukan
penjumlahan.
Tabel 1. Petungan Hari, Pasaran dan Neptu
Neptu
Pasaran
Neptu
5
Legi
5
4
Pahing
9
3
Pon
7
7
Wage
4
8
Kliwon
8
6
9
(Wawancara dengan Mas Dodi selaku pasien, Tanggal 20 Febuari 2018, Pukul 16.00
WIB)
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
486
Seperti yang dijelaskan oleh mas Dodi, sebagai berikut:
“Carane geh wau kulo diitung wetone kaleh mbah yayi misale mbak rida lahire rabu
wage, rabu jumlahe 7 wage 4 dadine 11 lajeng ditrawangke Mbah Yai”.
“Caranya ya tadi saya dihitung weton atau hari lahir sama mbah yai misalnya
mbak rida lahir rabu wage, rabu jumlahe 7 wage 4 dadine 11 langsung diterawang
sama Mbah Yai”. (Wawancara dengan mas Dodi, Tanggal 20 Febuari 2018, Pukul
16.00 WIB)
Penjelasan mas Dodi di atas menjelaskan bahwa, misalnya seseorang pasien
lahir di hari Rabu Wage, kemudian Rabu sebagai salah satu dari ketujuh hari dalam
seminggu dan Wage sebagai salah satu dari kelima hari pasaran. Seseorang yang lahir
pada Rabu Wage tersebut, dilanjutkan dengan dilakukan perhitungan melalui cara
menjumlahkan keduanya, seperti Rabu jumlahnya tujuh dan Wage jumlahnya empat,
kemudian keduanya dijumlah menjadi 11. Selesai mengetahui jumlah dari hari
kelahiran pasien, kemudian dilakukan perhitungan hari pertama jatuh sakit yang
proses perhitungannya sama dengan perhitungan weton. Hasil perhitungan weton
dan hari pertama jatuh sakit, kemudian dilakukan penjumlahan keduanya. Selesai
dilakukan penjumlahan dari perhitungan weton dan hari pertama jatuh sakit, barulah
dilakukan penerawangan oleh Mbah Yai. Serangkaian ritual tersebut dilakukan
Mbah Yai untuk mengetahui asal mula penyakit pasien. Petungan merupakan cara
untuk menghindarkan semacam disharmoni dengan tatanan umum alam yang hanya
akan membawa ketidak beruntungan (Geertz 1989). Penerawangan merupakan
suatu kemampuan tertentu diluar kemampuan orang biasa yang dilakukan oleh
Mbah Yai sebagai praktisi pengobatan tradisional untuk mengetahui asal mula
penyakit. Seperti yang dijelaskan oleh informan, sebagai berikut:
“Pas biyen kulo brobat ki rampunge Mbah Yai ngitung wetone kulo, ngitung dinten
pertama saket geh Mbah Yai lajeng teng kamar piyambakan sekitar setengah jam seng
masyarakat kene nyeluke penerawangan. Penerawangan iki seng wong seng gadah indera
keenam kayak Mbah Yai ngelakenke meditasi mboh piye carane dek seng reti mek Mbah Yai”.
“Ketika dulu saya berobat selesai Mbah Yai menghitung weton saya, hari
pertama sakit ya Mbah Yai langsung ke kamar sendirian sekitar 30 menit yang
masyarakat Colo disebut penerawangan. Penerawangan itu orang yang mempunyai
indera keenam seperti Mbah Yai yang kemudian melakukan meditasi tidak tau
gimana caranya yang mengerti cuma Mbah Yai”. (Wawancara dengan mas Dodi,
Tanggal 13 April 2018)
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
487
Penjelasan mas Dodi di atas menjelaskan bahwa, penerawangan yaitu Mbah
Yai melakukan konsentrasi sejenak di dalam kamar sendirian sekitar 30 menit. Mbah
Yai di dalam kamar melakukan penerawangan dengan cara meditasi dengan
menggunakan kelebihan indera keenam yang dimiliki Mbah Yai untuk mencari asal
mula penyakit pasien.
Gambar 3. Rajah
Proses penyembuhan yang kedua yaitu setelah mengetahui penyakit yang
diderita oleh pasien. Proses penyembuhanya dilanjutkan dengan Mbah Yai meminta
pasien untuk melakukan wiridan, puasa, diberikan rajah (tulisan bacaan doa yang ada
di dalam Al-Quran), dan memberikan resep tumbuhan sebagai obat. Wiridan
dilakukan setelah setiap sholat lima waktu dengan bacaan doa-doa seperti dzikir.
Puasa yang dilakukan pasien yaitu puasa selama 12 jam yang dilakukan satu kali,
yang mana dilakukan dipagi hari maupun malam hari sebagai pengganti puasa
weton. Rajah merupakan selembar kertas warna putih yang didalamnya berisi berupa
tulisan bacaan Al-Quran dan dilipat menjadi kecil. Rajah selalu diikutkan ketika
direbus dan ditumbuk dalam proses peracikan tumbuhan obat. Penggunaan
tumbuhan sebagai salah satu cara dalam pengobatan tradisional.
Pernyataan mengenai pengetahuan pengobatan tradisional disampaikan oleh Mbah
Yai, sebagai berikut:
“Pengobatan tradisional niku bahan-bahan seng diagem obat niki sedaya alami sakeng
alam dek. Lha pengobatan tradisional ki sebenere enten macem-maceme dek pengobatan
tradisonal seng ngagem media kewan utowo hewan, pengobatan tradisonal gunake media air,
pengobatan tradisional patah tulang po meleh geh dek kulo sandok supe dek. Nek kulo gunake
pengobatan tradisional media tumbuhan seng kulo tambah rajahan kaleh wiridan dek”.
“Pengobatan tradisional yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk obat semua
alami dari alam. Kalau pengobatan tradisional itu sebenarnya ada macam-macam
pengobatan tradisonal yang menggunakan media hewan, pengobatan tradisional
yang menggunakan media air, pengobatan patah tulang apa lagi saya sedikit lupa.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
488
Kalau saya menggunakan pengobatan tradisional dari tumbuhan yang saya tambah
dengan rajahan sama wiridan”. (Wawancara dengan Mbah Yai, Umur 57 tahun,
Tanggal 20 Febuari 2018, Pukul 15.00)
Mbah Yai menjelaskan bahwa pengetahuan pengobatan tradisional yaitu
pengobatan yang menggunakan obat atau bahan serba alami, seperti pengobatan
menggunakan hewan, air, dan tumbuhan sebagai obat (Foster & Anderson 2006). Di
antara metode pengobatan tersebut yang paling sering digunakan Mbah Yai yaitu
penggunaan tumbuhan sebagai obat. Mbah Yai hanya menyediakan resep tumbuhan
obat saja, sedangkan proses pencarian dan peracikan tumbuhan obat dilakukan oleh
keluarga pasien. Proses pembuatannya dengan cara direbus atau ditumbuk yang
disertai dengan rajah diikutkan secara bersamaan dalam proses peracikan obat.
Tidak hanya rajah yang selalu diikutkan dalam proses peracikan obat, juga terdapat
penambahan bahan-bahan tambahan seperti campuran bagian hewan yaitu telur
ayam, ada pula madu dan gula jawa sebagai pemanis. Seperti yang disampaikan oleh
Mbah Yai, sebagai berikut:
Kanyata gerah mules lan mual empu kunir satu gempol direbus kaleh rajah lajeng
disareng ditambah madu, telur ayam kampung. Ukurane setengah gelas kecil 1 kali sehari
setiap malam sekitar 2-3 hari insallah sampun mari dek niku ramuan seng diminum. Nek
balurkan itu godong kecubung 5 lembar, godong lompot, lumut kali ditambah awulayan,
banyu enjet, supil kali dihaluske nembe diagem bobok teng weteng”.
“Misalnya sakit mules dan mual empu kunyit satu gempol direbus dengan
rajah lalu disaring ditambah madu, telur ayam kampung. Ukuranya setengah gelas
kecil satu kali seharu setiap malam, sekitar 2-3 hari insallah sudah sembuh dek itu
ramuan yang diminum. Kalau yang dibuat bobok itu godong kecubung 5 lembar,
godong lompot, lumut kali ditambah awulayan, banyu enjet, supil kali dihaluskan
baru dibuat bobok diperut”. (Wawancara dengan Mbah Yai, Umur 57 tahun,
Tanggal 20 Febuari 2018)
Penjelasan Mbah Yai di atas dapat diketahui bahwa, proses pembuatan dari
bahan-bahan tumbuhan juga dicampur dengan bagian hewan, seperti supil kali (siput
yang ada di sungai), awulayan atau abu hasil sisa bakaran kayu, bayu enjit atau air
kapur sebagai bahan campuran obat. Menurut Mbah Yai Rajah dan wiridan sifatnya
sangat privasi dan rahasia yang hanya diberikan kepada pasien dan tidak boleh
memberitahukan kepada orang lain bahkan kepada keluarga.
Mbah Yai dianggap sebagai sesepuh yang menjadi panutan dan sangat
dihormati oleh masyarakat Colo. Bentuk penghormatan yang diberikan kepada
mbah Yanto dengan sebutan Mbah Yai yaitu tidak sebatas karena beliau sudah
berusia tua, tetapi karena Mbah Yai dipandang sebagai sesepuh di Desa Colo. Desa
Colo sebutan Mbah Yai mempunyai arti yang berbeda dengan sebutan dukun.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
489
Pernyataan mengenai perbedaan sebutan Mbah Yai dengan dukun disampaikan ibu
Ika, yaitu sebagai berikut:
“Mbah dukun teng mriki saru dek luweh kearah negatif kayata tukang nyantet, nenun
semacem itu dek. Makane teng mriki luweh Mbah Yai. Geh wau Mbah Yai Yanto teng mriki
diajeni banget kaleh warga mriki dek geh amargi wau Mbah Yai selain wong sepuh geh katah
ilmune saget ngobati wong loro ngagem itungan weton, kaleh dinten loro, terakher sakeng
pundine pokoke bolo itungan seng kage nambani lajeng ditambahi wiridan, rajahan lan
tumbuhan wau geh luweh ngerti, pinter sakeng awak-awak dewe”.
“Mbah dukun di sini tidak sopan dek lebih kearah negatif, seperti menyantet,
nenun semacam itu dek. Makanya di sini lebih Mbah Yai. Ya tadi Mbah Yai Yanto
di sini sangat dihargai banyak warga sini dek ya gara-gara tadi Mbah Yai selain
orang sepuh ya banyak ilmunya yang bisa mengobati orang sakit menggunakan
hitungan weton, sama hari sakit, terakhir pergi dari mana pokonya teman hitungan
yang bisa menyembuhkan langsung ditambah dengan wiridan, rajahan dan
tumbuhan tadi yang lebih mengerti, pintar dari kita”. (Wawancara dengan Bu Ika,
Umur 26 tahun, Tanggal 12 Febuari 2018, Pukul 10.00)
Penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sebutan dukun memiliki arti yaitu
seorang praktisi yang melakukan praktik pengobatan yang lebih kearah negatif,
seperti menyantet, mentenun dan mencelakai orang lain. Berbeda dengan sebutan
Mbah Yai adalah seorang yang melakukan sebuah praktik pengobatan yang
bertujuan untuk membantu dan menolong orang lain yang datang kepadanya, karena
sebuah penyakit.
Orang yang sakit merupakan sebuah akibat dari sebuah kesalahan atau
pelanggaran yang telah dilakukan oleh pasien. Pelanggaran terhadap sistem tabu,
seperti di hutan seseorang kencing sembarang tempat, berbicara kotor atau kasar
ditempat yang dianggap suci bagi masyarakat Colo dan menebangan pohon dengan
cara yang tidak sesuai dengan aturan-aturan adat. Sistem tabu yang ada di Desa Colo
masih dipercayai oleh masyarakat Colo, maka dari itu jika seseorang melakukan
pelanggaran tabu baik yang disengaja atau tidak disengaja bisa menyebakan suatu
penyakit. Mbah Yai mempunyai pengetahuan dalam menentukan asal mula penyakit
yang diderita oleh pasien.
Seperti yang dijelaskan oleh informan, sebagai berikut:
“Nangeng seng penyakit asale niki enten 4 yokui diarani Tirtha yaiku sakit seng
penyakite sakeng masuk angen dan panas misale wayah udan malah udan-udanan mangken
angen masuk dadi masuk angen, watuk pilek , geh enteng seng sakeng barang-barang kiriman
lan ganguan barang seng mboten keton lan guna-guna kiriman sakeng wong saget diarani
Guna, Wana penyakit sakeng hutan lan lepas niki sakeng Allah niku seng kulo angsal sakeng
pesantren”.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
490
“Kalau penyakit asalnya ada 4 yaitu yang disebut sebagai Tirtha yaitu sakit
yang penyakitnya dari masuk dan panas, misalnya ketika disaat hujan sengaja hujan-
hujanan jadinya masuk angin (perut kembung), batuk dan pilek. Ya ada yang dari
barang-barang kiriman da gangguan barang yang tidak terlihat dan guna-guna dari
orang bisa disebut sebagai Guna, Wana penyakit dari hutan dan Lepas dari Allah
yang saya dapatkan dari pesantren”. (Wawancara dengan Mbah Yai Yanto, Tanggal
20 Febuari 2018)
Mbah Yai mempunyai pengetahuan dalam menentukan asal mula penyakit
yang diderita oleh pasien. Mbah Yai di atas bahwa, ada 4 asal mula penyakit,
dijelaskan sebagai berikut: (1) Tirtha, (2) Guna, (3) Wana, (4) Lepas. Tirtha merupakan
kondisi sakit sebagai akibat manusia kemasukan angin dan panas yang berlebihan,
misalnya ketika hujan sengaja hujan-hujanan yang menyebabkan masuk angin (perut
kembung), batuk dan pilek. Guna merupakan sumber penyakit yang berasal dari
“barang-barang” kiriman seperti tenun, santet, guna yang sengaja dikirim oleh
manusia yang tidak suka kepada seseorang. Wana merupakan enyakit yang berasal
dari alas atau hutan. Maksudnya adanya ganguan makhlus halus/makhluk gaib yang
berasal dari hutan, karena manusia tidak sopan atau tidak sengaja telah mengganggu
keberadaan makhluk halus. Lepas merupakan penyakit yang berasal dari Tuhan.
Misalnya penyakit jantung, paru-paru, kangker dan lain-lainya.
Asal mula penyakit guna dan wana termasuk dalam sistem personalistik. Sistem
personalistik merupakan suatu sistem penyakit (Illness) disebakan oleh intervensi dari
suatu agen yang aktif, yang dapat berupa makhluk supranatural (makhluk gaib atau
dewa), makhluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur atau roh jahat) maupun
makhluk manusia seperti sihir atau tukan tenung (Foster & Anderson 2006). Berbeda
lagi dengan asal mula penyakit tirtha dan lepas dari termasuk dalam sistem
naturalistik. Sistem naturalistik merupakan penyakit disebabkan karena unsur-unsur
dalam tubuh, seperti panas, dingin, cairan tubuh (humor atau dosha), ying dan yang,
berada dalam keadaan tidak seimbang menurut usia dan kondisi individu dalam
lingkungan sosialnya (Foster & Anderson 2006).
(Gambar 5. Buwahan merupakan sesaji sebagai tanda permintaan maaf kepada makhluk
halus)
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
491
Pengobatan tradisional yang dilakukan oleh Mbah Yai mempunyai cara yang
berbeda tergantung asal mula penyakit yang diderita oleh pasien. Asal mula penyakit
dari Tirtha dan Lepas, pasien diberikan resep tumbuhan obat, wiridan, rajah dan
puasa. Proses pengobatan di atas juga dilakukan oleh pasien yang asal mula
penyakitnya berasal dari Guna-guna dan Wana. Ada satu tambahan yaitu dengan
adanya Buwahan yang wajib dilakukan oleh pasien. Buwahan merupakan nasi yang
dibungkus dengan daun pisang membentuk kerucut. Nasi yang sudah dibungkus
dengan daun pisang tersebut kemudian bagian atasnya diberi cabai merah dan terasi
yang sudah dibakar dan dirangkai menggunakan tusuk lidi yang menyerupai seperti
sate. Bagian samping nasi juga ditambah dengan telur ayam kampung yang harus
direbus dan tidak boleh mentah.
Bahan-bahan tersebut dipilih sebagai isi dari buwahan, karena menurut Mbah
Yai semua bahan tersebut sebagai simbol dan memiliki arti. Nasi putih yang
dibungkus dengan daun pisang dan berbentuk kerucut sebagai simbol permohonan
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cabai merah, terasi dan telur ayam
kampung sebagai simbol penolak bala atau dijauhkan dari segala macam bencana
dan malapetaka. Buwahan tersebut ditaruh oleh pasien di tempat asal mula penyakit
seperti di sungai, hutan dan sawah. Tidak hanya buwahan saja pasien juga
meninggalkan pakaian seperti baju dan celana yang digunakan pasien terakhir kali
dipakai ketika terkenanya penyakit. Sehingga ketika masyarakat Colo mengalami
penyakit yang berasal dari wana dan guna, proses penyembuhannya dengan cara
meminta bantuan oleh Mbah Yai yang memiliki kekuatan supranatural atau
kekuatan magis (Foster & Anderson 2006).
Pernyatan mengenai buwahan diungkapakan oleh Mbah Yai, sebagai berikut:
“Buwahan niki isine sega seng wadahi godong pisang seng dibentuk lancip koyok
tumpeng dek (sambil kedalam masuk daun pisang dan keluar mempraktekan bentuk daun
pisang), lajeng trasi, cabe abang niki digoreng ryen mangken nek sampun mateng disunduki
koyok sate lha ditunjepke teng duwur sega seng teng godong pisang kaleh diparing telur ayam
kampung seng direbus mboten angsal nek mentah dek kudu mateng. Teseh meleh pakaian po
nopo seng pas diagem teng tempat keneke penyakit wau di tinggal mriku”.
“Buwahan ini berisi nasi yang di tempatkan di daun pisang berbentuk lancip
seperti tumpeng dek.., terus trasi, cabai merah yang digoreng dulu kemudian kalau
sudah matang disunduki seperti sate dan ditancapkan ke atas nasi yang ada didaun
pisang sama di kasih telur ayam kampung yang direbus dan tidak boleh mentah dek
harus matang. Kemusian masih ada lagi yaitu pakaian yang dipakai saat ditempat
awal terkena penyakit harus ditinggal disitu”(Wawancara dengan Mbah Yai,
Tanggal 20 Febuari 2018)
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
492
Informasi Mbah Yai di atas dapat dijelaskan bahwa, Buwahan yang merupakan
sesaji yang mempunyai tujuan sebagai tanda meminta maaf kepada makhluk halus,
karena telah melakukan suatu kesalahan dengan melanggar tabu yang tidak sengaja
dilakukan.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
493
Nama
local
Nama
Indonesia
Nama
spesies
Nama
Family
Bagian
Tumbuha
n yang
digunaka
n
Penyakit yang
diobati
Proses
Pengolaha
n
Tumbuhan
Menjadi
Obat
Bahan
tambahan
untuk
menjadi
ramuan
Cara
pakai/konsum
si
Mitos
Kelor
Kelor
Moringa
oleifera Lamk
Moringace
ae
Daun
Kelor 21
lirang
(anak
tangkai)
Lambung,
kelumpuhan,
hepatitis dan
kerasukan
makhluk halus.
Direbus
dan
digunakan
secara
langsung.
Tumbuha
n apa saja
yang
rasanya
asam,
kunyit,
rajah,
jahe, dan
telur
ayam
kampung.
Diminum
Daun kelor
dipercayai
masyarakat
Colo dapat
menyembuhaka
n orang yang
mengalami
kesurupan
makhluk halus
dengan cara
daun kelor
dipuku-pukul ke
tubuh pasien.
Tabel 2. Jenis-jenis tumbuhan
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
494
Alang-
alangan
Alang-
alangan
Imperata
cilindrica
Poaceae
Akar dan
bunga
Bagian bunga
untuk
menambah
darah. Bagian
akar untuk
muntah darah,
peluruh kencing,
stres, mimisan
dan mengatasi
rasa haus pada
penyakit campak
Direbus
Supil kali,
gula aren,
polo,
rajah.
Diminum
Tidak ada
Keji
beling
Keji
beling
Clerodendrom
gangeticum
L.
Acanthaceae
Daun
Penyakit ginjal,
diare dan
kenjing batu
Direbus
Bunga
kumis
kucing,
daun
nonyoron
o dan
madu asli
Diminum
Tidak ada
Sambiroto
Sambiroto
Andrographis
paniculata
Ness
Acanthace
ae
Daun
Kelebihan
kolestrol,
menurunkan
berat badan
(diet), malaria,
pegel linu, ginjal,
Direbus
Tumbuhan
krokot,
kuner, jahe
dan daun
jeruk nipis.
Diminum
Tidak ada
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
495
asam urat dan
gatal-gatal.
Kates
Gantung
Pepaya
gantung
Carica
papaya L.
Caricaceae
Daun
Pusing kepala
dan
mengeringkan
luka penyakit
dalam seperti
kangker dan
kencing manis
Direbus
Tidak ada
Diminum
Tidak ada
Petet
Jawa
atau
Lamtoro
Lamtoro
Leucaena
glauca L.
Mimosace
ae
Biji dan
daun
Bagian daun
untuk step dan
luka luar dan
Biji untuk
diabetes
Direbus
dan
digunakan
langsung
dengan
cara
dihaluskan
sebagai
bobok
Kapulogo
, empu
kuner dan
gula pasir
Diminum dan
sebagai bobok
Tidak ada
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
496
Kunir
Kunyit
Curcuma
domestica Val
Zingiberac
eae
Rimpang
Kunir
(satu
gempol)
Mengurangi
kolestrol, mual-
mual, lambung,
keputihan dan
menurunkan
darah tinggi
Direbus
dan bisa
digunakan
secara
langsung
dengan
cara
diparut
dan
diperat
sampai
keluar
airnya.
Madu,
gula jawa,
ayam
kampung,
dan
tumbuhan
pacul
gunung.
Diminum
Tidak ada
Awar-
awar
Awar-
awar
Ficus septica
Burn F
Moraceae
Daun
Penyakit
jantung, paru-
paru, bisul, obat
luka luar borok
atau kudis dan
penawar racun
Direbus
Cacing
orong-
orong
sebanyak
3,
kapulogo,
gula batu
dan
pulosari
Diminum
Tidak ada
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
497
Suroh
Sirih
Piper betle L.
Piperaceae
Daun 7
lembar
(temu ros)
Mengobati
penyakit mata
(mins),asma,
serak
tenggorokan,
kelebihan
kolestrol, dan
mengharumkan
serta
mengkesatkan
vagina
(pengobatan
dalam),
kemudian
mimisan dan
Asma(pengobata
n luar)
Direbus
dan
digunakan
secara
langsung
dengan
cara
ditaruh di
air panas
kemudian
di uap
pada
bagian
mata yang
sakit.
Tumbuha
n jahe.
Diminum dan
digunakan
secara
langsung
dengan cara
ditaruh di air
panas
kemudian di
uap pada
bagian mata
yang sakit.
Tidak ada
Gempur
watu
Gempur
Batu
Ruellia
napifera Zoll
& Morr
Acanthace
ae
Daun
Ginjal, peluruh
kencing dan
kencing batu
Direbus
Madu asli
Diminum
Tidak ada
Binahong
Binahong
Anredere
cordifolia
Basellaceae
Daun
Asam urat,
rematik,
menambah
Direbus
Rajah
Diminum
Tidak ada
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
498
kekuatan tulang,
encok,
membersihkan
darah, kolestrol
dan pegal-pegal
Kembang
Turi
Turi
Sesbania
Grandiflora
L.
Papiliaona
ceae
Bunga
dan daun
Bagian bunga
untuk mengobati
rabun senja,
kesandung
(bagian kuku
kaki). Sedangkan
bagian daun
untuk radang
tenggorokan,
keputihan,
batuk, dan
demam
Direbus
dan
digunakan
langsung
dengan
cara
dihaluskan
sebagai
bobok
Parutan
kelapa,
jeruk
nipis,
kunyit,
dan
garam.
Diminum
sebagai
pengobatan
dalam dan
bobok sebagai
pengobatan
luar
Tidak ada
Noyorono
-
-
-
Daun
Ginjal
Direbus
Beji beling,
rajah,
kumis
kucing dan
madu asli
Diminum
Tidak ada
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
499
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka peneliti dapat
menyimpulkan bahwa Mbah Yai merupakan penyembuh lokal yang ada di Desa Colo dengan
memanfaatkan tumbuhan obat. Proses penyembuhan yang dilakukan oleh Mbah Yai yaitu
pertama melalui serangkaian petungan atau perhitungan weton (Hari kelahiran), hari pertama
jatuh sakit, kegiatan terakhir yang dilakukan pasien. Kedua melakukan penerawangan untuk
menentukan asal mula penyakit. Ketiga pemberian resep tumbuhan obat, rajah, dan wirid. Asal
mula penyakit menurut Mbah Yai terdapat empat yaitu guna, wana, lepas dan tirtha. Tirtha
merupakan kondisi sakit sebagai akibat manusia kemasukan angin dan panas yang berlebihan,
misalnya ketika hujan sengaja hujan-hujanan yang menyebabkan masuk angin (perut kembung),
batuk dan pilek. Guna merupakan sumber penyakit yang berasal dari “barang-barang” kiriman
seperti tenun, santet, guna yang sengaja dikirim oleh manusia yang tidak suka kepada
seseorang. Wana merupakan enyakit yang berasal dari alas atau hutan. Maksudnya adanya
ganguan makhlus halus/makhluk gaib yang berasal dari hutan, karena manusia tidak sopan atau
tidak sengaja telah mengganggu keberadaan makhluk halus. Lepas merupakan penyakit yang
berasal dari Tuhan. Misalnya penyakit jantung, paru-paru, kangker dan lain-lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Bussmann, Rainer W. and Douglas Sharon. 2006. “Traditional Medicinal Plant Use in Northern Peru: Tracking Two
Thousand Years of Healing Culture.” Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 2(1):47. Retrieved
(https://doi.org/10.1186/1746-4269-2-47).
Chekole, Getnet, Zemede Asfaw, and Ensermu Kelbessa. 2015. “Ethnobotanical Study of Medicinal Plants in the
Environs of Tara-Gedam and Amba Remnant Forests of Libo Kemkem District, Northwest Ethiopia.” Journal
of Ethnobiology and Ethnomedicine 11(1):4. Retrieved (https://doi.org/10.1186/1746-4269-11-4).
Dermawan, Rahmat. 2013. Peran Battra Dalam Pengobatan Tradisional Pada Komunitas Dayak Agabag Di
Kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan.” EJournal Sosiologi Konsentrasi 1(4):5061.
Foster, George M. and Barbara Gallatin Anderson. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Husain, F. and BF Wahidah. 2018. “Medicine from Nature: Identification of Medicinal Plants Used by Belian
(Sasakese Indigenous Healer) in Traditional Medicine in Lombok, West Nusa Tenggara, Indonesia.” AIP
Conference Proceedings 2019(1):50003-1-500039.
Husain, Fadly and Baiq Farhatul Wahidah. 2017. “Traditional Medicine and Medical Pluralism in Eastern Indonesia
(A Literature Review).” Pp. 179–86 in The 5th International Conference on Education & Social Sciences (ICESS) ”The
Asia Network: Bringing Time, Space and Social Life Together", edited by B. Singh, K. A. Talib, J. Weintre, and W.
Wasino. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Rona, Almos and Pramono. 2015. “Leksikon Etnomedisin Dalam Pengobatan Tradisional Minangkabau.” Jurnal
Arbitrer Vol 2(April):4453.
Santoso, Hieronymus B. 2008. Ragam Dan Khasiat Tanaman Obat. Yogyakarta: Agromedia Pustaka.
Sri Oknarida, dkk / Solidarity 7 (2) (2018)
500
Sunanang, A. and A. Lutfi. 2015. “Mitos Dayeuh Lemah Kaputihan Pada Masyarakat Dusun Jalawastu Kabupaten
Brebes.” Solidarity: Journal of Education, Society and Culture 4(1):114.
Triratnawati, Atik, Arsanti Wulandari, and Tiara Marthias. 2014. “The Power of Sugesti in Traditional Javanese
Healing Treatment.” Komunitas: International Journal of Indonesian Society and Culture 6(2):28092.
... Jus buah nanas kombinasi madu memiliki pengaruh dalam menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi karena mengandung kalium dan vitamin C (antioksidan) selain itu nanas (Ananas comosus L.) dapat menurunkan resiko terjadinya inflamasi karena mengandung enzim bromelin ((Amsia, 2020); (Angelika et al., 2020)). Menurut (Oknarida et al., 2019)) daun pepaya direbus untuk menghilangkan sakit kepala. Sedangkan daun sirih 7 lembar untuk mengobati gatalgatal penyakit mata, kelebihan kolestrol, dan mengharumkan serta mengkesatkan vagina (pengobatan dalam), kemudian mimisan ( (Zildzian & Sari, 2021); (Oknarida et al., 2019)). ...
... Menurut (Oknarida et al., 2019)) daun pepaya direbus untuk menghilangkan sakit kepala. Sedangkan daun sirih 7 lembar untuk mengobati gatalgatal penyakit mata, kelebihan kolestrol, dan mengharumkan serta mengkesatkan vagina (pengobatan dalam), kemudian mimisan ( (Zildzian & Sari, 2021); (Oknarida et al., 2019)). ...
Article
Full-text available
Medicinal plants are plants that are used as traditional medicine by the people of Bali. These plants in the yard of the house are either planted intentionally or grow wild. Therefore, the purpose of this research is to find out the types of plants that exist in the yard of the house and are used as traditional medicine by the Balinese people. This research is descriptive qualitative with a snowball sampling technique. The results showed that there were 20 types of plants used for traditional medicine by the Balinese, such as Averrhoa bilimbi Linn., Pluchea indica L., Hylocereus polyrhizus, Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers, Acorus calamus L., Psidium guajava L., Sauropus androgynus ( L.) Merr, Cocos nucifera L., Ocimum sanctum L., Orthosiphon aristatus, Curcuma domestica Val.,Morinda citrifolia L., Ananas comosus L., Impatiens balsamina L., Pandanus amaryllifolius Roxb., Carica papaya L., Cymbopogon citratus Stapf, Piper betle L., Saccharum officinarum Linn., and Curcuma xanthorrizha Roxb. The parts of the plant that are used the most are the leaves, rhizomes, fruit, flowers and roots.Keywords: Balinese People, Ethnobotany, Medicinal PlantsAbstrakTumbuhan obat merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Bali. Tanaman yang ada di pekarangan rumah ini baik ditanam secara sengaja maupun tumbuh liar. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis tumbuhan yang ada di pekarangan rumah dan digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Bali. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan teknik snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 20 jenis tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan tradisional oleh masyarakat Bali, seperti Averrhoa bilimbi Linn., Pluchea indica L., Hylocereus polyrhizus, Kalanchoe pinnata (Lam.) Pers, Acorus calamus L., Psidium guajava L., Sauropus androgynus ( L.) Merr, Cocos nucifera L., Ocimum sanctum L., Orthosiphon aristatus, Curcuma domestica Val.,Morinda citrifolia L., Ananas comosus L., Impatiens balsamina L., Pandanus amaryllifolius Roxb., Carica papaya L. ., Cymbopogon citratus Stapf, Piper betle L., Saccharum officinarum Linn., dan Curcuma xanthorrizha Roxb.. Bagian tanaman yang paling banyak dimanfaatkan adalah daun, rimpang, buah, bunga, dan akar.Kata Kunci: Etnobotani, Masyarakat Bali, Tumbuhan Obat
... Anticipating the loss of local knowledge, a scientific record is needed so that local community knowledge regarding medicinal plants and food can be well documented. According to Bhagawan et al. (2021), Nasution (2022, Oknarida et al. (2019) and Hutubessy et al. (2021), ethnobotanical studies are a way can be done to document the knowledge of an indigenous community, so this knowledge is not lost. Apart from that, according to (Suwardi et al., 2020), ethnobotanical studies are also a step in conserving natural materials, so that their sustainability can be maintained due to the need for use as traditional medicine. ...
... Leaves are a part of the plant that regenerates easily compared to other parts of the plant, so even though they are widely used, their existence is still maintained. This is in accordance with Larasati et al. (2019) and Oknarida et al. (2019) who stated that the use of leaves as a medicinal ingredient by an ethnic group will maintain the sustainability of the plant. ...
Article
Full-text available
Ethnoeconomics is the study of the economic value or use of biological resources by an ethnic group and becomes wisdom. The aim of the research is to inventory the types of plants used as traditional medicine and food by the Bastem indigenous people. The methods used in the research were observation, interviews, focus group discussions (FGD), and literature study, while the sample collection technique used purpose sampling. This type of exploratory research uses a PRR (Participatory Rural Appraisal) approach. The sample criteria used were community leaders and traditional healers. The research data, which is respondents' emic data, is presented in tabular form, then analyzed descriptively and compared with scientific data based on Google Scholar, Sinta, and Research Gate sources. The results of the research show that the types of plants with the economic value used by the Bastem indigenous people as traditional medicine (ethnomedicine) are bangle, galangal, aromatic ginger, white turmeric, coffee leaves, avocado leaves, castor leaves, banana shoots, cat's whiskers, bitter gourd, guava leaves, papaya leaves, lemongrass and ciplukan, while the plants used as food by indigenous communities (ethnoculinary) are grouped into staple foods, vegetables and side dishes, traditional cakes and my day's food. Staple foods include sokko, limestone, corn porridge, sweet potato rice, banana rice and banana sokko. Vegetables and side dishes include green vegetables, burak, and nasu kadundung. Traditional cakes include putu pesse, tori cake, and baruasa. My daily food includes baurasa, gogos, and tumbu'.
... Puspitawati, S. Ekomila, and N. Hasanah (2013) [2] researched ethnomedicine as an alternative solution to solve economic and public health problems in Bagan Village, Percut Sei Tuan District, Deli Serdang Regency. S. Oknarida, F. Husain, and H. Wicaksono (2019) [3] examined medicinal plants in the Colo Village, Dawe District, Kudus Regency from Mbah Yai Yanto, a traditional healer who applies traditional healing methods to treat diseases. Julius dan Muswita (2013) [4] examined the traditional medication in the Batin tribe of Jambi that applied medicinal plants. ...
... In Assam, India, flowers of A. conyzoides used to make kind of rice beer which is used during the ritual in dispelling bad spirits (Sharma and Pegu 2011). There are certain ethnicities that believe that some diseases arise because of someone's bad attitude or evil spirit influence (Dwivedi and Dwivedi 2015;Oknarida et al. 2019). ...
Article
Full-text available
Mustofa FI, Rahmawati N, Aminullah. 2020. Medicinal plants and practices of Rongkong Traditional Healers in South Sulawesi, Indonesia. Biodiversitas 21: 642-651. Ethnomedicine reflects the fusion of tradition, natural resources, and local knowledge of the community in maintaining health. However, this knowledge is facing the threat of disappearance due to poor documentation and socio-cultural alteration. This study was conducted to find out information about species of plants used and related practices by traditional healers to overcome health problems. The study was conducted in Rongkong, North Luwu District, South Sulawesi Province. A semi-structured questionnaire was developed to obtain informants demographic data, species of medicinal plants, traditional medicine ingredients, parts used, methods of remedies preparation and use, as well as various ailments that can be treated by medicinal plants. The data were analyzed descriptively and quantitatively, by calculating the family and species use-value. The study revealed medicinal plants used and practices by Rongkong traditional healers to treat 31 ailments. They used a total of 62 species of medicinal plants distributed among 33 botanical families and 55 genera. Allium cepa has the highest UV among all medicinal plants in Rongkong. Both traditional knowledge and medicinal plant diversity possessed by Rongkong community are valuable local assets that must be maintained and developed for greater benefits.
Article
Full-text available
The study of oral traditions needs to be encouraged as a form of effort to preserve local wisdom values. One oral tradition that has not been widely studied is the healing mantra of the Osing people. This research aims to describe the values of local wisdom in the oral tradition of healing mantras of the Osing people of Banyuwangi Regency from an anthropolinguistic perspective. The research method used is a qualitative research method with a Spradley ethnographic approach consisting five research steps. This research data collection is classified based on primary data. Primary data were obtained through interviews with native sources in Ngaliyan Village, Rogojampi District, Banyuwangi City. Data were collected using interview, listening, and speaking methods. The collected data were analyzed based on three main components: data reduction, data presentation, and conclusions or verification. This research found four forms of local wisdom values in the oral tradition of healing mantras of the Osing Community, which include: (1) the value of asking God for healing, (2) the value of asking God for an abundance of grace, (3) the value of abstaining from acting carelessly, and (4) the value of the benefits of plants and nature. These four local wisdom values are depicted through a series of excerpts from the healing mantras of the Osing Community, Banyuwangi Regency, which has a wealth of distinctive traditions. Local wisdom values such as national wealth need to be cared for, including the oral tradition of Osing's magical mantras. In the modern society, the existence of this oral tradition is increasingly fading and will gradually fade if it is not preserved.
Article
Full-text available
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk 1) mendeskripsikan leksikon nama- nama tanaman obat pada masyarakat etnis Sabu, 2) mendeskripsikan fungsi leksikon tanaman obat yang dioperasikan pada masyarakat etnis Sabu, Desa Noelbaki-Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini berjenis kualitatif. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan wawancara untuk mengumpulkan data. Hasil dari penelitian ini adalah: hal-hal yang ditemukan pada nama-nama leksikon tumbuhan Tanaman Obat dengan mengunakan Bahasa Daerah (bahasa Sabu) ebagai berikut: Kewunyi, Kelia, Rauhere, lakuamea, kenan, hungapudi, Wohelangi Jawa, raupuddu, Wojarruki, Wilahege, Raumeda Wobaggimarri, Kurilib kemiri, Wohokku, okuede, Rauhederai, Kewunyimone, Kadji manu, Rau ubba meo, Rau kue ede, Rowayuwona, Rau latta kota.
Article
Full-text available
Ethnoeconomics is a branch of ethnobotany that studies the role of plants that have economic value, one of which is as traditional medicine by an ethnic group or ethnomedicine. The purpose of this study was to inventory traditional medicinal plants of the Bugis tribe in South Sulawesi as ethnomedicines. The research was conducted from November 2022 to January 2023 in Pallae Village, Cenrana District, Bone Regency, South Sulawesi. This type of the research was qualitative descriptive, to describe the use of plants as traditional medicine. Data collection techniques through interviews, observation, and literature studies. Respondents were selected by purposive sampling. Research data were analyzed descriptively and compared with scientific data or scientific data. Based on the results of the study, the types of plants used as traditional medicine by the Bugis tribe in the research location were noni, belimbing wuluh, sidaguri, areca nut, moringa, broken glass, cat's whiskers, ginger, bangle, turmeric, lemongrass, aloe vera, betel, tobacco, soursop and bagore. Plant organs used as medicine are fruit, leaves, rhizomes, and mucus
Article
Full-text available
ABSTRAK: Etnomedisin pada Pengobatan Tradisional Masyarakat Suku Jawa di Kecamatan Buay Madang Timur Kabupaten OKU Timur Sumatera Selatan. Masyarakat Kecamatan Buay Madang Timur merupakan masyarakat Transmigran yang masih melestarikan pengobatan tradisional, terutama Suku Jawa yang tinggal desa Madang Timur. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, bertujuan untuk mengetahui tumbuhan yang dipakai dalam pengobatan tradisional dan pemanfaatan bagian tumbuhan sebagai bahan pengobatan tradisional oleh Suku Jawa di Kecamatan Buay Madang Timur, Kabupaten OKU Timur, Sumatera Selatan. Penelitian dilaksanakan di desa Raman Agung Kecamata Buay Madang, pada bulan Desember 2020 hingga Februari 2021. Data dikumpulkan melalui wawancara terstuktur kepada responden terpilih. Jumlah Responden ditentukan melalui metode purposive sampling dan snowballing sampling. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 45 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 27 Famili digunakan oleh masyarakat suku jawa di Buay Madang Timur untuk pengobatan tradisional. Famili tumbuhan yang jenisnya paling banyak digunakan adalah Zingiberaceae dengan jumlah 7 Jenis. Bagian tumbuhan yang digunakan dalam pengobatan meliputi seluruh bagian tumbuhan, daun, batang, akar, rimpang, bunga, buah, dan biji. Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan adalah daunnya Kata Kunci : Etnomedisin, Kecamatan Byai Madang Timur, pengobatan tradisional
Article
Full-text available
Biodiversity in Indonesia is the second highest in the world, the medicinal plants are included in it that must be preserved because of their great benefits for a human being life. Ethnomedicine exploration is a bright way that can be done to record and preserve the biodiversity of medicinal plants in Indonesia. The society in Cihanjuang Village still use medicinal plants to treat digestive disorders, but the lack of documentation will eliminate this knowledge in the future. This ethnomedicine study aims to determine plants which used as diarrhea and ulcer drugs in Cihanjuang Village, consisting of the name, the plant part used, the research method used, and identification of the secondary metabolites. The research methodology used are interview methods with questionnaires, observation, documentation, calculation of Use Value (UV) analysis and phytochemical screening. The informant selection technique used purposive and snowball sampling. The result of this study was the discovery of 24 species of medicinal plants to treat digestive disorders in Cihanjuang Village, most of which belonged to the family of Zingiberaceae and the leaves were the most widely used. The highest of UV’s value for diarrhea is Salak plants (Salacca zalacca) and for ulcers is Hanjuang (Dracaena sanderiana). Some of the species tested for phytochemical screening showed various secondary metabolites that were efficacious in treating digestive disorders. Areuy tulungpung is one of the species that can be studied further due to lack of information as a medicinal plant for digestive disorders.
Article
Full-text available
Traditional medicine is a mixture of various types of plant parts in an area, so that local wisdom related to traditional medicine needs to be studied, preserved, and developed. This requires supporting data, namely in the form of written documentation and documented images with the aim of knowing various types of medicinal plants, types of diseases, how to mix, and how to treat them. This type of research is a descriptive qualitative research with snowball sampling technique. The inclusion criteria in this study, among others: the residents of the Secang District who have sufficient knowledge and experience in traditional medicine, are willing to be informants in the study, people who are over 30 years old. The results showed that the community in 5 villages, Secang District, Magelang Regency used 107 species of medicinal plants from 54 families. The plant parts used are leaves, stems, roots, flowers, seeds, rhizomes, fruits, tubers, all plants, bark, wood, and fruit skins. The results of the above calculations obtained sample results for 5 villages, which amounted to 387 respondents with a 95% confidence level. ICF analysis is used to determine the level of homogeneity between the information provided by the respondents. In this study, there were a total of 80 types of disease, based on the results of the ICF calculation, the value that was close to 1 was 45 efficacy, while the ICF value that was close to 0 was 35 efficacy
Article
Full-text available
System of traditional medicine to this day is still alive, although the practices of modern medicine is growing rapidly with the emergence of centers of government and private health services. The phenomenon Back to Nature (back to nature) are increasingly intensified by the developed countries have a positive impact on the flourishing of the traditional medical systems. The method used to analyze the data are unified method. Unified method used is equivalent translational methods and methods of unified referential. In this study lexicon Minangkabau traditional medicine can be classified into three groups: the types of diseases, types of herbs and treatment process. Keywords: traditional medicine, Minangkabau, lexicon
Article
Full-text available
This paper aims to explore the beliefs in society toward traditional healing regardless of the more accessible, affordable and improved modern health services. This ethnographic study was conducted in Yogyakarta in 2013-2014. Phenomenological approach was used to analyze the data using the theory of health seeking behavior as the guiding principle of this research. The main factor influencing Javanese community’s belief in traditional healing was the power of placebo effect. Placebo can arise from both the patient and the healer. Additionally, other factors such as compatibility between the patients and the healer, patient’s aversion to doctor’s therapy, and the fact that traditional treatment is cheaper, easier, and more effective than modern medicine were the main considerations for patients in choosing traditional treatment. The benefit of psychotherapy provided through traditional medicine is in the form of life advices or counseling. In addition, healers’ attentiveness in listening to patients’ complaints was also the main appeal of the traditional health care service.Tulisan ini mengupas kepercayaan masyarakat pada penyembuhan medis tradisional meski pelayanan kesehatan modern semakin mudah diakses, murah/gratis pembiayaannya serta ditingkatkan pelayanannya. Studi etnografis ini dilakukan di DIY tahun 2013-2014. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk menganalisis data disertai teori health seeking behavior. Kunci kepercayaan masyarakat Jawa berobat ke penyembuh tradisional adalah pengaruh sugesti. Sugesti muncul baik dari penderita maupun penyembuh. Selain itu faktor cocok, takut dengan terapi dokter serta murah, mudah dan manjur juga menjadi pertimbangan pasien ke pengobatan tradisional. Manfaat psikoterapi berupa nasihat, wejangan maupun saran serta kemampuan penyembuh tradisional mendengar curahan hati pasien menjadi daya tarik lain pasien merasa cocok ke pengobatan non medis.
Traditional Medicinal Plant Use in Northern Peru: Tracking Two Thousand Years of Healing Culture
  • Rainer W Bussmann
  • Douglas Sharon
Bussmann, Rainer W. and Douglas Sharon. 2006. "Traditional Medicinal Plant Use in Northern Peru: Tracking Two Thousand Years of Healing Culture." Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 2(1):47. Retrieved (https://doi.org/10.1186/1746-4269-2-47).
Ethnobotanical Study of Medicinal Plants in the Environs of Tara-Gedam and Amba Remnant Forests of Libo Kemkem District, Northwest Ethiopia
  • Getnet Chekole
  • Zemede Asfaw
  • Ensermu Kelbessa
Chekole, Getnet, Zemede Asfaw, and Ensermu Kelbessa. 2015. "Ethnobotanical Study of Medicinal Plants in the Environs of Tara-Gedam and Amba Remnant Forests of Libo Kemkem District, Northwest Ethiopia." Journal of Ethnobiology and Ethnomedicine 11(1):4. Retrieved (https://doi.org/10.1186/1746-4269-11-4).
Peran Battra Dalam Pengobatan Tradisional Pada Komunitas Dayak Agabag Di Kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan
  • Rahmat Dermawan
Dermawan, Rahmat. 2013. "Peran Battra Dalam Pengobatan Tradisional Pada Komunitas Dayak Agabag Di Kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan." EJournal Sosiologi Konsentrasi 1(4):50-61.
Antropologi Kesehatan
  • George M Foster
  • Barbara Gallatin Anderson
Foster, George M. and Barbara Gallatin Anderson. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Medicine from Nature: Identification of Medicinal Plants Used by Belian (Sasakese Indigenous Healer) in Traditional Medicine in Lombok
  • F Husain
  • Bf Wahidah
Husain, F. and BF Wahidah. 2018. "Medicine from Nature: Identification of Medicinal Plants Used by Belian (Sasakese Indigenous Healer) in Traditional Medicine in Lombok, West Nusa Tenggara, Indonesia." AIP Conference Proceedings 2019(1):50003-1-50003-9.
Ragam Dan Khasiat Tanaman Obat
  • Hieronymus B Santoso
Santoso, Hieronymus B. 2008. Ragam Dan Khasiat Tanaman Obat. Yogyakarta: Agromedia Pustaka.
  • A Sunanang
  • A Lutfi
Sunanang, A. and A. Lutfi. 2015. "Mitos Dayeuh Lemah Kaputihan Pada Masyarakat Dusun Jalawastu Kabupaten Brebes." Solidarity: Journal of Education, Society and Culture 4(1):1-14.