Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
224
Al-Ushul Al-Khamsah Mutazilah dalam Pandangan Kh. Mustain
Syafiie
(Studi Analisis di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang)
Muhammad Helmi Mighfaza1, Muhlas2
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
mighfazatbi@gmail.com, althabrani@yahoo.com
Abstract
This study aims to examine Ushul al-Khamsah Mutazilah (at-
Tauhid, al-'Adl, al-Wad wa al-waid, al-Manzilah Baina al-
Manzilatain, Amr Maruf Nahy Munkar) in the view of the
Tebuireng ulama who is from the Ashariyah. The research
method used qualitative with the type of field research to
obtain data and kalam science as an umbrella for theory and
analysis. The results and discussion of this research include
the Mutazilah theology, the concept of Ushul al-Khamsah
Mutazilah and the views of the Tebuireng ulama, while the
ulama of Terbuireng believes that the concept of Ushul al-
Khamsah in Mutazilah theology is more applicable in life and
looks more at the anthropocentric side. This research
concludes that the Tebuireng ulama are more personally
adapted to using theology in their social and religious life in
the community, judging from which it brings benefits to
themselves and society.
Keywords: Mutazilah, Tebuireng, Theological, Ushul al-Khamsah.
Abstrak
Penelitian ini betujuan untuk mengkaji Ushul al-Khamsah
Mutazilah (at-Tauhid, al-‘Adl, al-Wad wa al-Waid, al-Manzilah
Baina Al-Manzilatain, Amr Maruf Nahy Munkar) dalam
pandangan ulama Tebuireng yang mayoritas berhaluan
teologi Asyariyah. Metode penelitian ini menggunakan
kualitatif dengan jenis penelitian lapangan (field research)
untuk memperoleh data dan ilmu kalam sebagai payung teori
serta analisis. Hasil dan pembahasan penelitian ini meliputi
teologi Mutazilah, konsep Ushul al-Khamsah Mutazilah dan
pandangan ulama Tebuireng, adapun ulama Terbuireng
berpandangan bahwa konsep Ushul al-Khamsah dalam teologi
Mutazilah ini lebih aplikatif dalam kehidupan serta lebih
melihat pada sisi antroposentris. Penelitian ini
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
225
menyimpulkan bahwa ulama Tebuireng secara pribadi itu
lebih menyesuaikan dalam memakai teologi dalam
kehidupan sosial dan beragama di masyarakat, dilihat dari
mana yang banyak membawa kebermanfaatan untuk diri
pribadi dan masyarakat.
Kata kunci: Mutazilah; Tebuireng; Teologi; Ushul al-Khamsah.
Pendahuluan
Mutazilah merupakan golongan atau aliran yang memusatkan dalam
penyebaran Islam dengan dialogis filosofis serta argumentasi logis. Kajian
keislaman menjadi perdebatan yang hangat dari berbagai pendapat
(Hanafi, 1983, hal. 18). Mereka mengunakan argumentasi rasionalnya
dalam menjawab dan mempertahankan pendapat mereka. Untuk
mempertahankan argumentasinya umat Islam mempelajari cara berfikir
filsafat Yunani yang digunakan untuk mempertahankan ajaran agama
Islam, mereka adalah gologan yang disebut Mutazilah. Mutazilah adalah
orang-orang yang mengunakan akalnya dalam membangun argumentasi
kajian keislaman. Kajian dalam Mutazilah yang menjadi ciri khas adalah
mereka menjawab dengan usaha berfikir yang kritis dan logis menurut akal
rasional (Hartoko, 1986, hal. 63-64). Aliran ini mempunyai lima dasar
prinsip, yang mereka sebut Ushul al-Khamsah. Kelimanya yaitu: at-Tauhid,
al-‘Adl, al-Wad wa al-Waid, al-Manzilah Baina al-Manzilatain, dan Amr Maruf
Nahy Munkar (Kadir, 2016, hal. 254-256). Pendiri dari Mutazilah ini adalah
Wasil bin Atha’, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf
Yunani, yaitu Aristoteles. Mutazilah meyakini akal seorang manusia
mampu memilah mana suatu perbuatan yang baik dan suatu perbuatan
yang buruk, karena manusia dapat mengetahui sifat-sifat yang baik
maupun yang buruk. Maka dari itu manusia wajib menjalankan yang baik
dan menjauhi yang buruk. Akan tetapi ketika manusia mengetahui itu
perbuatan buruk dan dikerjakan maka mereka akan mendapatkan siksaan
dari Tuhan sama dengan mereka mengetahui jika itu perbuatan yang baik
tetapi tidak dikerjakannya, maka akan mendapatkan siksaan Tuhan, maka
dari itu seorang manusia wajib mengetahui perbuatan dan sifat yang baik
dan harus dikerjakan perbuatan baik itu agar mendapat balasan-Nya, yaitu
pahala dan surga (Hanafi, 1983).
Sejauh yang ditemukan, pembahasan perihal Mutazilah juga ada di
pondok pesantren Tebuireng atau menjadi bahan perbincangan oleh ulama
Tebuireng. Ulama Tebuireng, percaya bahwa Tuhan itu Esa (At-Tauhid) dan
tidak ada Tuhan lain selain Allah SWT. Kemudian para ulama Tebuireng
juga berpendapat bahwa seadil-adilnya adalah keadilan Tuhan yang mana
semua perbuatan manusia baik atau buruk akan ada
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
226
pertanggungjawabannya kelak, dan akan diadili seadil-adilnya oleh Allah
SWT. Ulama Tebuireng juga berpendapat bahwa Allah SWT akan menepati
janjinya yang mana orang yang berbuat baik itu akan mendapatkan pahala
dan orang yang berbuat kemungkaran akan mendapatkan dosa, soal siapa
yang kafir pun ulama Tebuireng tidak dengan mudahnya menuduh
seseorang itu dinyatakan kafir, walaupun seseorang itu telah melakukan
dosa yang besar. Selain itu, para ulama Tebuireng selalu mengajarkan
untuk selalu mentaati Allah SWT dan menjauhi segala apa yang dilarang
oleh Allah SWT.
Pondok pesantren Tebuireng berada di Cukir, Kecamatan Diwek,
Kabupaten Jombang, Provinsi Jawa Timur. Pondok Pesantren Tebuireng
didirikan oleh KH. Hasyim Asyari pada tahun 1899 M. (Fatimah, 2014). KH.
Hasyim Asyari merupakan tokoh penting yang pemikirannya masih segar
dan relevan untuk akademisi Indonesia. Dalam perkembangannya Hasyim
Asyari juga menjadi Rais Akbar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Hasyim
Asyari merupakan tokoh Sunni yang juga memiliki karya monumental
yang berjudul Risalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Tokoh-tokoh besar
bangsa Indonesia juga banyak yang lahir dari pondok pesantren Tebuireng,
di antaranya KH. Wahid Hasyim, KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), KH.
Sholahudddin Wahid (Gus Sholah), KH. Ma’ruf Amin, dan masih banyak
lagi.
Ajaran Islam diwarnai oleh berbagai aliran teologi, seperti
Khawarij, Murjiah, Syiah, Mutazilah, Asyariyah, dan lain-lain. Masing-
masing aliran tersebut, mempunyai pengaruh terhadap perkembangan
pemikiran Islam. Dalam hal ini yang akan penulis dalami adalah
Mutazilah. Mutazilah memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
membela Islam sebagaimana yang pernah dibahas dalam sebuah penelitian
Safii (2014), Teologi Mu’tazilah: Sebuah Upaya Revitalisasi. Dalam
penelitiannya ia memadukan Mutazilah dan sejarah Islam di dunia,
pengaruh pemikiran Mutazilah ini sangat berpengaruh dalam membela
Islam dari Yahudi, Majusi bahkan Kristen. Akan tetapi, saat ini banyak
orang yang tidak suka dan melupakan teologi Mutazilah ini. Semangat
kebebasan berpikir sebagai bagian dari manusia yang dapat tumbuh dan
berkembang sehingga sains dan teknologi di dunia Islam dapat tumbuh
kembali. Citra teologi Mutazilah ini memang sudah dianggap tidak baik di
kalangan para ahli hadis dan kalangan teologi Islam tradisional karena
dianggap sebagai suatu yang dikatakan bid’ah (Safii, 2014).
Perkembangan dan pengaruh pemikiran teologi Mutazilah yang lain
tentang kemahlukan Alquran, seperti yang dibahas dalam sebuah
penelitian M. Jamaluddin (2015), Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran
Teologi Mutazilah tentang Kemahkhlukan Alquran Tahun 124-218 H/742-
838. Artikel berikut ini membedah perkembangan dan pengaruh pemikiran
teologi Mutazilah tentang kemakhlukan Alquran tahun 124-218 H atau 742-
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
227
833 M. Pemikiran tentang kemakhlukan Alquran yang muncul pertama kali
pada masa Daulah Umayyah ini, mendapatkan momentum
perkembangannya secara dramatis pada masa kekhilafahan Abbasi
(Jamaluddin, 2015).
Tulisan artikel yang lain, diuraikan oleh Muhyidin dan
Nashihin (2019) dalam pemikiran teologi pada abad ke dua Hijriah,
lahirlah teologi Mutazilah yang lebih menggunakan akalnya dalam kajian-
kajian pemikiran. Mutazilah ini membawa warna baru dalam pemikiran
teologi, karena dalam pembahasan teologisnya itu lebih rasional dari pada
aliran teologi yang lain. Termasuk dalam kajian arti ayat Alquran yang
dimana mereka melakukan metode takwil, sampai pada akal dapat
memahami ayat tersebut. Karena inilah mereka juga disebut sebagai kaum
rasionalis Islam dan merekalah kelompok pertama dalam Islam yang
berfikir secara rasional. Kaum Mutazilah sendiri sudah banyak
berkontribusi dalam mempertahankan jawaban atau pertanyaan daripada
pertanyaan para kaum non Islam, dan tidak sedikit pula kaum Mutazilah
mendapat ejekan, cacian atau perbedaan dari pendapat dari aliran teologi
yang lainnya, yang tidak bisa menangkap apa yang dijelaskan atau
disampaikan kaum Mutazilah ini secara rasional. Mutazilah sendiri
mempunyai pegangan ajarannya yang dikenal dengan sebutan Ushul al-
Khamsah Mutazilah atau dikenal sebagai Pancasila Mutazilah (Nashihin,
2019).
Berdasarkan yang dipaparkan di atas, penulis berusaha menyusun
formula penelitian ini, penulis akan membahas dan mendalami Ushul al-
Khamsah Mutazilah.
Tujuan penelitian ini untuk menjawab permasalahan yang akan
dijadikan pokok pembahasan, yaitu meliputi: 1) Bagaimana pandangan
ulama Tebuireng terhadap teologi Islam aliran Mutazilah dan 2) Bagaimana
konsep Ushul al-Khamsah dalam pandangan ulama Tebuireng.
Metode Penelitian
Sebelum masuk ke pembahasan lebih jauh, penulis menggunakan
pendekatan ilmu kalam. Dimana ilmu kalam menurut Ahmad Hanafi
adalah ilmu yang membicarakan persoalan-persoalan kenyataan agama
dan membahas hubungan Tuhan dan manusia, melalui analisa pemikiran
murni lewat wahyu Tuhan, yang berdasarkan dan bersumber pada prinsip
ajaran agama Islam (Mukhlis, 2015). Penulis juga ingin menjelaskan bahwa
metode penelitian ini menggunakan kualitatif dengan jenis penelitian
lapangan (field research) untuk memperoleh data yang mendalam melalui
wawancara, dan ilmu kalam sebagai payung teori serta analisis. Penelitian
lapangan adalah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis dengan
mengangkat data yang ada di lapangan (Rahmawati, 2017). Metode
kualitatif ini juga untuk mendapatkan suatu data yang menekankan pada
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
228
makna, tidak menekankan pada generalisasi (Sugiyono, Metode Penelitian
Kuntitatif dan Kualitatif, 2014). Demikian, batas-batas dalam metode ini
diperuntukan untuk menganalisis Ushul al-Khamsah Mutazilah dalam
pandangan ulama Tebuireng.
Sumber utama yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sudut pandang ulama di pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa
Timur. Selain itu ada juga data sekunder atau data tambahan yang dipakai
oleh penulis, sumber-sumber yang berkaitan dengan pembahasan dalam
penelitian seperti, dokumen, buku, jurnal dan karya ilmiah lainnya.
Hasil penelitian yang dikumpulkan oleh penulis adalah data yang
perlu dianalisis agar menjadi tulisan yang baik untuk disajikan dalam
penelitian. Analisis penulis juga tidak akan keluar dari metode ilmu kalam
dan hasil dari wawancara dengan ulama di pondok pesantren Tebuireng
Jombang Jawa Timur. Dengan itu penulis dapat terbantu dalam
menyelesaikan penelitian Ushul al-Khamsah Mutazilah dalam pandangan
ulama Tebuireng.
Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan Ushul al-Khamsah Mutazilah dalam pandangan
ulama Tebuireng ini meliputi, aliran teologi Mutazilah, tokoh-tokoh
Mutazilah, isi dari setiap poin dalam Ushul al-Khamsah Mutazilah, dan
pandangan dari sisi ulama Tebuireng memandang ajaran Ushul al-Khamsah
Mutazilah melalui hasil wawancara.
1. Aliran Teologi Mutazilah
Mutazilah muncul di kota Bashrah atau Iraq sekarang, pada abad dua
hijriyah (105-110 H). Mutazilah sendiri berasal dari kata dasar I’tazala yang
artinya memisahkan diri, kata itu dikatakan untuk Washil bin Atha’ karena
tidak sependapat dengan gurunya, yaitu Hasan al-Bashri, dari sinilah para
pengikut Washil bin Atha’ menamakan aliran teologinya sebagai
Mutazilah.
Gurunya Washil bin Atha’, yaitu Imam Hasan al-Bashri berpendapat
bahwa seorang muslim yang telah melakukan suatu perbuatan dosa besar
itu masih dikatakan statusnya adalah mukmin, sedangkan berbeda
pendapat dengan muridnya, yaitu Washil bin Atha’ yang berpendapat
bahwa seorang muslim yang melakukan dosa besar itu tidak dikatakan
seorang yang mukmin dan tidak dikatakan seorang yang kafir, artinya ia
adalah orang yang fasik (Rohidin, 2018).
Dari perdebatan anatara guru dan murid inilah akhirnya, Washil bin
Atha’ keluar dari barisan Imam Hasan al-Bashri. Bersama pengikut Washil
bin Atha’ mereka disebut sebagai Mutazilah. Kemudian, aliran teologi yang
dipelopori atau dipimpin oleh Washil bin Atha’ ini berkembang, sehingga
Mutazilah ini dikenal dengan kaum muslim yang rasionalis, karena setelah
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
229
mereka berpisah dengan Imam Hasan al-Basri, kaum Mutazilah juga
mendalami filsafat, yang pada akhirnya ciri khas dari kaum Mutazilah ini
berorentiasai pada akal.
Berkembangnya pemikiran dari kaum Mutazilah ini juga banyak
menuai cecaran atau makian dari aliran-aliran teologi yang lain, karena
suatu perbedaan pendapat dari fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh kaum
Mutazilah. Dalam ajaran Mutazilah sendiri juga mereka harus berprinsip
pada lima dasar ajaran Mutazilah, tidak dikatakan seorang yang Mutazilah
jika tidak berprinsip dan mengimani pada lima ajaran dasar Mutazilah
yang mereka sebut, Ushul al-Khamsah Mutazilah.
Mutazilah sendiri pernah menjadi suatu Mazhab suatu negara yaitu
pada Dinasti Abbasiyyah. Yang pada mulanya hanya diikuti oleh orang
yang biasa-biasa saja, karena eksistensinya Mutazilah yang rasionalis,
maka kaum-kaum intelektual pada masa kerajaan Abbasyiah pun tertarik
pada ajaran Mutazilah, pada massa khalifah al-Maun (813-833 M) seorang
putera dari Harun al-Rasyid (766-809 M), menjadikan Mutazilah sebagai
mazhab resmi negara, tepatnya pada tahun 827 M, dan mulai dari sinilah
Mutazilah menjadi mazhab satu-satunya yang resmi digunakan di ruang
lingkup wilayah kekuasaan Dinasti Abbasyiah (Hatta, 2013).
2. Tokoh-tokoh Mutazilah
Sebagai aliran teologi yang pernah menjadi mazhab resmi, pada masa
dinasti Abbasyiah, tentu saja banyak tokoh-tokoh yang berperan besar atas
sumbangsih pemikirannya yang begitu rasional bagi Mutazilah, mulai dari
pengagas aliran teologi Mutazilah ini dan para pengikutnya, berikut adalah
para tokoh tokoh aliran teologi Mutazilah.
a) Washil bin Atha’
Washil bin Atha’ adalah seorang yang berasal dari Madinah dan
kemudian ia pun menatap di Basrah. Washil bin Atha’ inilah yang menjadi
atau melahirkan aliran teologi Mutazilah karena suatu perbedaan pendapat
dengan gurunya yaitu Imam Hasan al-Basri tentang seorang muslim yang
melakukan dosa besar itu disebut sebagai mukmin atau kafir. Karena
Washil bin Atha’ yang membuat aliran teologi Mutazilah, maka Washil
diberi gelar oleh para pengikutnya dengan sebutan Syeikh al-Mutazilah wa
Qodimuha yang artinya pemimpin dan orang tertua dalam Mutazilah, gelar
ini diberikan sebagai salah satu bentuk kehormatan kepada Washil bin
Atha’ (Hidayatullah, 2018).
Sebagai orang pertama dalam aliran teologi Mutazilah tentu saja,
peletakan kerangka dasar ajaran Mutazilah itu berawal dari Washil bin
Atha’, adapun doktrin atau ajarannya di dalam Mutazilah adalah al-
Manzilah Baina wa Manzilatain (di antara dua tempat), paham Qodariyah
(mengenai perbuatan manusia) dan paham peniadaan sifat Tuhan. Ketiga
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
230
ajaran Washil bin Atha’ inilah yang menjadi doktrin dalam aliran teologi
Mutazilah (Rohidin, 2018).
b) Abu Huzail bin Al-Alaff
Dilahirkan pada tahun 135 H, Abu Huzail bin al-Alaff adalah seorang
murid dari Usman al-Tawil, yang mana Usman al-Tawil ini juga adalah
murid dari Washil bin Atha’. Abu Huzail bin al-Allaf ini juga merupakan
generasi kedua dari aliran teologi Mutazilah yang merumuskan dasar dari
paham Mutazilah, yaitu Ushul al-Khamsah Mutazilah. Ia juga adalah orang
yang pertama yang menyelaraskan akal dengan wahyu dan menempatkan
wahyu pada kedudukan yang primer, pemahaman yang dikembangkan
oleh Abu Huzail bin al-Allaf adalah, menolak sifat-sifat Tuhan karena
pengetahuan ataupun kekuasaan Tuhan itu adalah dzat-Nya, kemudian
akal memiliki usaha lebih dalam proses mengetahui hal kebaikan dan suatu
hal keburukan walaupun tidak ada petunjuk dari wahyu, yang terakhir
adalah kebebasan manusia untuk melakukan hal baik atau hal buruk
(Dahlan, 1987).
c) An-Nazzam
An-Nazzam (231 H) juga adalah salah satu murid dari Abu Huzail
bin al-Allaf, dimana pendapatnya mengenai keadilan Tuhan, pendapat An-
Nazzam menyatakan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berlaku zalim
karena Tuhan itu maha adil, gurunya (Abu Huzail bin Al-Allaf) juga
pernah berpendapat bahwa mustahil Tuhan berbuat zalim kepada hamba-
Nya, kemudian An-Nazzam menegaskan kembali bahwa Tuhan tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Yang melakukan zalim itu
hanyalah orang yang bodoh dan tidak sempurna sedangkan Tuhan itu jauh
dari hal seperti itu, bahkan Tuhan itu sempurna (Anwar, 2009).
d) Al-Jubaii
Al-Jubaii adalah murid dari Abu Huzail, lahir pada tahun 235 H,
dimana pemikirannya tidak berbeda jauh dengan gurunya dan tokoh
Mutazilah yang lainnya, yaitu mereka yang menggunakan akal dalam
membahas atau menghadapi persoalan teologis. Al-Jubai juga adalah guru
dari Abu Hasan al-Asyari (pendiri aliran teologi Asyariyah), mengenai
pendapat al-Jubbai yang tidak berbeda jauh dengan gurunya (Abu Huzail)
mengeani sifat Tuhan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, kemudian
tentang kewajiban manusia yang al-Jubbai membaginya menjadi dua, yaitu
kewajiban yang harus diketahui oleh manusia melalui akalnya (Wajibah
Aqliah) dan kewajiban manusia yang diketahui melalui risalah yang dibawa
oleh Nabi dan Rasul (Wajibah Syariah) (Goldziher, 2010).
e) Az-Zamaksyari
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
231
Seorang yang ahli tafsir, beliau adalah az-Zamaksyari yang dilahirkan
pada tahun 467 H. Az-Zamaksyari juga belajar ke beberapa negera dan
pernah tinggal lama di Mekkah untuk belajar menuntut ilmu dan menulis
tafsir yang berorientasinya pada alian teologi Mutazilah, kitab tafsirnya ia
beri nama al-Kasyaff. Karangan kitab tafsir al-Kasyaff ini juga terkenal dan
menjadi rujukan selain dari kaum Mutazilah itu sendiri. Selain tafsir az-
Zamaksyari juga menulis buku tentang balagah dan menyusun buku
tentang kebahasaan (Pakpahan, 2017).
3. Ushul al-Khamsah Mutazilah
Ushul al-Khamsah Mutazilah, ialah suatu konsep ajaran dasar yang ada
di Mutazilah, tidak diakui sebagai pengikut aliran teologi Mutazilah jika
tidak mengakui Ushul al-Khamsah (lima dasar ajaran pokok) Mutazilah.
Penulis juga menyebutnya sebagai Pancasila aliran teologi Mutazilah.
a) At-Tauhid (Keesan Tuhan)
At-Tauhid berarti esa atau tunggal, jadi Mutazilah meyakini bahwa
Tuhan itu esa atau tunggal (Kadir, Dirasat Islamiyah, 2016), pengesaan
Tuhan merupakan inti dari paham Mutazilah, yang berpendapat
menetapkan Tuhan itu mustahil untuk dilihat karena jika Tuhan dapat
dilihat maka Allah akan berbentuk dan berjasad, mereka juga berpendapat
bahwa Allah bukanlah sesuatu yang lain dari dzat-Nya sendiri, jika tidak
seperti itu, maka akan berakibat banyaknya yang qadim (Zulhelmi, 2013).
Itu semua untuk memurnikan Ke-Esaan Allah, karena itulah juga
Mutazilah meniadakan sifat-sifat bagi Allah. Adapun diluar Mutazilah
yang mengatakan sifat Allah bagi Mutazilah itu adalah zat-Nya Allah SWT
itu sendiri.
Mutazilah juga berpendapat bahwa Alquran itu adalah makhluk dan
Allah disebut yang Khalik, Alquran juga adalah manifestasi dari kalam
Allah maka dengan ini Alquran disebut Makhluk atau yang diciptakan,
karena diciptakan maka itu bersifat baru, karena bersifat baru maka disebut
makhluk (Nashihin M. &., 2019).
b) Al-Adl (Adil)
Ajaran dasar yang kedua adalah al-Adl yang berarti Allah Maha Adil,
Allah itu maha sempurna. Pandangan ini bertujuan untuk memberikan
pemahaman dari sudut pandang manusia bahwa Allah itu sempurna,
karena Allah itu sempurna maka dalam hal keadilan Allah maha adil,
dengan demikian maka Allah terikat dengan janji-Nya, begitulah yang
dinamakan al-Adl (keadilan Tuhan), kemudian Tuhan itu adil bila Tuhan
tidak melanggar janji-Nya sendiri.
Yang dimaksud keadilan Tuhan itu juga adalah, bahwa manusia itu
bebas berkehendak dalam segala perbuatannya, ketika manusia itu berbuat
suatu hal yang dilarang maka Allah akan memberikan azab baginya,
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
232
adapun manusia itu berbuat baik maka akan medapatkan balasan pahala
dari Allah SWT. Pendapat Mutazilah ini juga digunakan untuk membalas
jawaban dari pendapat musuhnya yang berpendapat bahwa, jika Tuhan
mentakdirkan manusia itu berbuat dosa maka manusia itu akan diazab
oleh Tuhan, tentu pandangan ini sangat berbeda dengan konsep ajaran
dasar dari Mutazilah perihal adilnya Tuhan (Rohidin, Mutazilah: Sejarah
dan Perkembangannya, 2018).
Dari pandangan keadilan Mutazilah ini yang mana Tuhan tidak
menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia sehingga
manusia bebas bertindak semaunya untuk mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT atau tidak mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT inilah yang memiliki implikasi teologis yang
luas (Bachtiar, 2013).
c) Al-Wad wa al-Waid (Ancaman dan Janji)
Allah Wajib memberi pahala bagi orang yang berbuat baik karena
kebaikannya dan Allah wajib memberi hukuman pada orang yang berbuat
keburukan karena kemaksiatannya, inilah yang dinamakan atau yang
dimaksud al-Wad wa al-Waid, bahwasanya Allah itu harus adil dan
menepati janji dan ancamannya, pandangan ini dilandaskan pada QS. Ar-
Ra’du (13) ayat 31 “Innallaha la yukhlifu al-mi’ad” (Sesungguhnya Allah tidak
akan mengingkari janjinya).
Kesepakatan yang dibuat oleh golongan kaum Mutazilah adalah
ancaman atau siksa (al-Waad) dan janji pahala (al-Waid) adalah ketetapan
Allah yang mutlak, ini juga seperti yang dikatakan oleh al-Qadli Abdul
Jabbar (Matondang, 1989). Pandangan Mutazilah memang menghendaki
kebebasan manusia yang berefek pada setiap kehendak manusia bisa
berbuat kebaikan dan bisa berbuat keburukan, dan setiap semua tindakan
manusia itu akan mendapatkan balasanya dari Allah SWT yang sempurna,
adil dan menepati janji-janji-Nya. Akan tetapi Tuhan dikatakan tidak adil,
ketika tidak menepati janji-Nya tapi itu mustahil bagi Allah SWT yang
maha sempurna.
Seperti itulah yang dipercayai oleh kaum Mutazilah tentang janji dan
ancaman Tuhan pada berkehidupan di dunia, semua perbuatan baik dan
buruk akan mendapatkan balasannya yang sesuai apa yang dilakukan dan
yang dikerjakan oleh manusia, bahkan yang berhak untuk menentukan
seseorang akan mendapatkan pahala atau dosa atas perbuatan manusia itu
hanyalah Allah SWT saja, perihal surga dan neraka pun menjadi
konsekuensi dari janji dan ancaman Tuhan yang dijanjikan atas perbuatan
dan tindakan manusia itu sendiri.
d) Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Di antara Dua Posisi)
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
233
Al-Manzilah baina al-Manzilatain adalah ajaran atau pemahaman
pertama yang dicetuskan oleh Washil bin Atha’, karena melihat realita yang
terjadi antara kaum aliran teologi Khawarij dan Murjiah, jawaban Washil
bin Atha’ dengan al-Manzilah Baina al-Manzilatain ini menjadi respon atas
perdebatan yang terjadi di antara dua aliran teologi tersebut (Khawarij dan
Murjiah). Tentang kafir dan mengkafirkan seorang mukmin yang
dikatakan telah melakukan dosa besar.
Khawarij berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah
orang-orang yang kufur, jelasnya bahwa golongan teologi ini berpendapat
bahwa orang yang melakukan dosa besar, sudah tergolong orang yang
kafir dan tidak mukmin.
Sedangkan kaum Murjiah berpendapat bahwa orang yang melakukan
dosa besar itu masih dianggap mukmin, karena dengan alasan yang
sederhana, sejauh dalam dirinya masih mempunyai iman, ia masih disebut
sebagai mukmin sekalipun ia telah membuat sesuatu tindakan yang buruk,
seperti kejahatan yang mengakibatkan ia telah berbuat dosa besar, Murjiah
juga berpendapat bahwa suatu keimanan seseorang pun kita tidak ada
yang tau karena persoalan iman itu adalah kepercayaan dan kepercayaan
itu ada di hati tempatnya, dan selama ia masih beriman maka ia masih
dikatakan mukmin, inilah perdebatan yang terjadi di antara dua aliran
teologi ini (Khawarij dan Murjiah).
Kemudian Mutazilah hadir dengan menyuguhkan suatu pendapat
yang digagas oleh pendiri Mutazilah itu sendiri yaitu Washil bin Atha’
dengan istilah al-Manzilah Baina al-Manzilatain.
Kaum Mutazilah berpendapat ketika ada perkara seperti itu, maka al-
Manzilah Baina al-Manzilatain, yaitu di antara dua posisi (di tengah-tengah),
mereka tidak dikatakan sebagai orang yang kafir atau mukmin, tapi orang
yang melakukan dosa besar itu ada di antara dua posisi tersebut. Doktrin
yang dibawa oleh Washil bin Atha’ dan para pengikut Mutazilah ini
menetapkan orang yang melakukan dosa besar selain daripada syirik, itu
dikatakan dia tidak mukmin dan tidak kafir, akan tetapi fasik. Yang
dimaksud fasik itu sendiri ialah berdiri sendiri di antara kafir dan beriman
(di antara dua posisi).
Mutazilah mengambil jalan tengahnya, pendapat ini didasarkan pada
ayat-ayat Alquran dan as-Sunnah (Hadis) yang menganjurkan jalan tengah
(moderat) dalam menyikapi segala suatu hal, kemudian pemahaman Plato
yang mengatakan jika ada suatu tempat di antara hal buruk dan hal yang
baik, dan pikiran-pikiran Aristoteles ysng menjadi keutamaan, ialah
mengambil jalan tengah di antara dua jalan yang begitu berlebihan
(Ahmad, 2017).
e) Amr Maruf Nahy Mungkar
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
234
Ini adalah yang terakhir dari kelima konsep ajaran dasar dari aliran
teologi Mutazilah, yaitu Amr Maruf Nahy Mungkar atau perintah kepada hal
kebaikan dan menjauhkan hal dari keburukan, ini lebih kepada hubungan
moral, dari kelima ajaran dasar ini (Ushul al-Khamsah), ajaran satu sama
lainnya saling menghubungkan dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Adapun seseorang mengajak pada perbuatan yang baik dan
mencegah perbuatan buruk tidak hanya dengan lewat lisan akan tetapi juga
lewat gerakan, sebagai konsekuesni yang logis, pengakuan keimanan tidak
hanya di hati dan di lisan saja tapi bukti nyata dalam bersosial dan
beragama dimasyarakat dan saling mengingatkan dan menyerukan
perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Perbedaan dasar dari Mutazilah dan aliran teologi yang lainnya
mengenai doktrin kelima ini terletak pada teknis pelaksanaannya di
lapangan, Mutazilah beranggapan jika diperlukan cara kekerasan, maka
lakukanlah.
Mutazilah akan menempuh dan merealisasikan ajaran-ajarannya
walaupun dengan cara kekerasan, sejarah juga mencatat bahwa Mutazilah
pernah membuat kegaduhan yang menyebabkan kekerasan terjadi dalam
rangka untuk mewujudkan dan menyebarkan doktrin-doktrin Mutazilah
agar dapat diterima (Ahmad, 2017).
4. Pandangan KH. Mustain Syafiie atas al-Ushul al-Khamsah
Dalam ajaran al-Ushul al-Khamsah Mutazilah, pada kontekstualisasi
hari ini, khususnya di Indonesia pada bagian, at-Tauhid yaitu tentang
kesetian kepada pimpinan dalam organisasi, maupun kepada pemerintah.
Al-Adl dimata hukum konvensional adalah, penguatan pada supermasi
hukum, yang adil demi ketertiban masyarakat, serta menjamin keamanan
hidup manusia. Al-Wad wa al-Waid, setiap sisi kehidupan pasti terkait sebab
dan akibatnya, kebaikan akan berubah kebaikan, keburukan akan
mendapatkan keburukan, tidak akan ada sebaliknya. Ketika kita menanam
kebaikan akan menuai kebaikan juga, tidak mungkin sebaliknya. Al-
Manzilah baina Manzilatain, pada hari ini adalah suatu bentuk sikap
moderasi atau mengambil jalan tengah, antara suatu perbedaan pandangan
tentang agama yang berbeda atau pendapat yang bersebrangan dengan
cara mendialogkan melalui pendekatan konsep toleran dan saling
menghargai. Amr Ma’ruf Nahy Mungkar, ialah tugas para tokoh ulama,
cendekiawan untuk terus mengajak dan saling mengingatkan pada
kebaikan, dan menjauhi suatu tindak kejahatan atau keburukan, ini lebih
dominan dilakukan oleh pengurus organisasi atau pemerintah.
Jika dilihat dari sandaran teologinya, pondok pesantren Tebuireng itu
bersandar pada teologi Asyariyah. Namun, hal tersebut tidak menjadi
ukuran bahwa seorang ulama Tebuireng harus berpikir rasional atau
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
235
tradisional dalam menjalani hidup, melainkan dua-duanya diperlukan
sesuai dengan konteksnya.
Pada poin ini penulis akan menyajikan pandangan ulama Tebuireng
terkait dengan Mutazilah dan konsep ajaran Ushul al-Khamsah, adapun
semua pertanyaan yang ditanayakan itu dijawab oleh narasumber, akan
tetapi dari lima konsep ajaran dasar Mutazilah ini, ada dua (al-Wad wa al-
Waid dan al-Manzilah baina Manzilatain) yang dijawab secara mendalam
karena pada at-Tauhid, al-Adl dan Amr Ma’ruf Nahy Mungkar, narasumber
hanya secara umum, karena dari prespektif keimanan ansih atau
dasariyahnya sama saja dengan aliran teologinya, bahwa mereka percaya
bahwa Tuhan itu yang maha esa dan yang maha adil, lalu sudah wajiblah
untuk sesama muslim ini saling mengingatkan untuk berbuat kebaikan,
mengerjakan perintah Allah SWT dan menjauhi berbuatan yang buruk atau
semua apa yang dilarang oleh Allah SWT. Kami sebagai orang yang
mukmin itu wajib saling mengingatkan seperti yang dijawab oleh ulama
Tebuireng, KH. Mustain Syafiie:
“Saya memandang Ushul Al-Khamsah itu penguatan terhadap
keimanan yang ada di umumnya orang, setelah Amantu Billahi wa kutubi,
iya itu tidak diingkari. Itu sudah otomatislah sebagai orang beriman,
berkeyakinan seperti itu. Tapi, apa setelah itu? apa aplikasinya? Apa bukti
nyatanya? Maka dirumuskan, keadilan, kewajiban dakwah, tauhid itu
sudah menyangkut keseluruhannya, malah saya memandang ini lebih
aplikatif, jadi sisi teosentrisnya sudah maklum, justru sisi
antroposentrisnya terkait dengan hubungan kemanusiaan kerja agama itu
lebih nyata di Ushul al-Khamsah itu, lebih nyata itu, jelas lebih nyata itu,
maka saya tidak memandang tabrakan, ya seharusnya orang yang
memahami teologi Mutazilah itu tidak dilihat dari dasariahnya benar itu,
dasariahnya sudah selesai itu” (Syafiie, 2021).
Jadi dalam hal ini, KH. Mustain Syafiie itu mengetahui adanya aliran
teologi Mutazilah karena juga mengetahui secara umum dan mendalam
bahwa ada konsep dalam Mutazilah itu, Ushul al-Khamsah yang
dianggapnya lebih aplikatif dalam sisi antroposentris, sisi kemanusiaan
yang lebih nyata, dalam bersosial, berekonomi bahkan berpolitik.
Kemudian hal lain tentang ancaman dan janji Tuhan, KH. Mustain
Syafiie berpandangan dan menjelaskan sebagai berikut:
“Al-Wad wa al-Waid itu namanya Alwajibatul Aqliyah, maksudnya
begini, namanya pemikiran, pemikiran yang menjadi utama, ya Tuhan itu
mempunyai kewajiban secara Aqaliyah, itu komitmen dengan apa yang
diomongkan, apa yang difirmankan sendiri, jadi orang beriman beramal
dan soleh dapet surga, ya pasti. Kalau tidak ya Tuhan zalim, itu Aqaliyah.
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
236
Kalau orang bersalah ya di neraka, jadi ya secara Aqaliyah, ya zalim dong
Tuhan memberlakukan umat yang sudah berbuat baik terus dimasukan ke
neraka walaupun itu wewenang Dia itu tapi itu wewenang yang zalim”
(Syafiie, 2021).
Memang benar bahwasanya Tuhan berhak atas segalanya, tapi dalam
pandangannya KH. Mustain Syafii, itu suatu hal yang mustahil jika Tuhan
itu zalim, maksudnya Tuhan salah dalam memberikan pahala kepada
orang yang berbuat dosa dan juga sebaliknya, itu adalah mustahil sifatnya
bagi Allah, karena Allah maha adil.
Tidak mungkin Allah mengingkari janji-Nya dan menyalahi apa yang
sudah difirmankan-Nya. Dalam Mutazilah sendiri itu dipertegas secara
definitif melalui konsep al-Wad wa al-Waid, menuurut KH. Mustain Syaiie:
“Al-Wad wa al-waid. Itu definitif. Nah beda dengan kaum Suni yang
malu-malu kucing, yang agak malu, ya sopan, sopan yang malu-malu gitu,
tidak definitif jika seperti itu” (Syafiie, 2021).
Dengan adanya suatu yang jelas, atau definitif, dalam berkeyakinan
tidak akan goyah, dan percaya tentang ancaman Tuhan dan janji Tuhan itu
ada dan nyata.
Kemudian, KH. Mustain Syafiie juga menegaskan kembali bahwa
Mutazilah itu yang pasti saja, dan pengertian secara definitif pun dijelaskan
kembali oleh beliau, berikut tambahan dari KH. Mustain Syafiie:
“Mutazilah itu yang pasti pasti sajalah, apakah menjadi otoritas
Tuhan, mamasukan orang beriman dan beramal soleh ke neraka iya, saya
bilang iya, iyya maliki yaumiddin kok. Tapi masa iyato terjadi? Masa terjadi
itulah yang dipertajam oleh kaum Mutazilah, tidak! Akalnya ya tidak.
Kalau Ayariyah tidak bisa, gamau gitu, ya mungkinlah, loh ya masa gitu?
orangnya tidak definitif gituloh, nah bisa saja Tuhan memasukan orang
yang maksiat ke surga, ya karena fadolnya itu” (Syafiie, 2021).
Jadi, kepastian tentang Tuhan benar-benar tegas, bahwa seorang yang
beriman akan mendapatkan pahala dan surga tempatnya, akan tetapi
untuk orang yang berbuat dosa itu tempatnya adalah neraka, sudah pasti
itu, karena itu adalah ketetapan Tuhan.
Setelah itu penulis menanyakan tentang al-Manzilah Baina al-
Manzilatain, tentang dua posisi, atau di antara dan bagaimana dalam
bahasan eskataloginya jika orang muslim itu di antara dua posisi atau
tempat. Berikut analogi dan jawaban dari KH. Mustain Syafiie:
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
237
“Itu sama saja efek dari pengaruh Aqaliyah tadi, hitam putih tadi, tapi
apakah itu berdasar? Berdasar. Cuma lebih tajam itu aja. Maaf ya. Pernah
bertanding ga? Pernah. Unggul, menang kalah ya kalah, kalau draw
gimana? Seri. Kalo seri gimana? Tidak ada kontes, tidak ada skor, andaikan
diposisikan dia menang atau kalah, ya sama, sama. Cuma efeknya itu
sampai kesana. Surah al-Araf, barangkali itu yang mendasari kaum
Mutazilah sampai ada al-Manzilah Baina Manzilatain (Syafiie, 2021).
Kemudian KH. Mustaiin Syafiie menjelaskan kembali perihal al-Araf,
bagaimana surga dan neraka dalam al-Manzilah Baina Manzilatain, beginilah
penjelasan KH: Mustain Syafiie:
“Penduduk Arof itu bisa melihat penduduk surga, dan ingin. Tuhan
itu menyediakan al-Araf, Wabaimana Huma. Tempat in beetween, Tuhan
menyediakan score draw. Pasti membuat Araf sudah ada tata tertibnya,
indikatornya sudah ada. Sebaiknya begini, debatable akal dan fadol tidak
mungkin selesai tapi dunia ril, hari hari aqaliyah, tidak bisa, karena akhirat
itu sifatnya maha diluar rasional, maka mukmin yang baik itu bersopan-
sopan nah itu orang Sunni (Syafiie, 2021).
Maksudnya seorang yang sangat pintar secara penalaran rasionalnya
juga tidak akan mampu mengetahui akhirat, mentoknya saja mereka akan
berasumsi saja perihal Araf, surga, maupun neraka.
Selanjutnya dalam penjelasan KH. Mustain Syafiie tentang usaha
untuk mencapai surga-Nya Allah SWT, beginilah yang disampikan oleh
beliau:
“Bagaimana mungkin Imamuna Abu Hasan al-Asyari membuat jalan
tengah yang diikuti, memang kamu menggunakan cara jalan tengah, tapi
kira-kira miringnya kemana, pasti miring, bacaan saya Imam Asyari dan
jalan tengah teori kasab ke Jabariyah, ya melihat latar belakangnya yang
sufi-sufi gitu, salaf lah. Wa Inddana Lil Abdikasbun Kullifa, Wa Indana, kan
sunyi ya. Lil Abdikasbun, ada kasab. Kullifa yang dibebankan di sana tapi
aneh, Walam Yakunnu Asyiron. Gimana ini? Sudah diakui bahwa kita ini
dianugerahi kasab, punya pikiran punya akal, punya tangan, punya kaki
dan lain-lain, tapi Walam Yakunu Asyiron Fal Ta’rifa tapi itu tidak punya
pengaruh atas keputusan Tuhan, bukan karena karyamu, bukan karena
amalmu, lantas mempengaruhi status dirimu pantas masuk surga atau
neraka, bagi saya itu kan kata-kata humblelistik. Kata-kata tawadhu, bukan
kata-kata rasional, karena berhubungan dengan Tuhan saja. Kasab ya kasab
tapi ya Walam Yakunu Asyiron Fal Ta’rifa, kamu harus sadar, usaha kamu
tidak punya pengaruh atas keputusan Tuhan (Syafiie, 2021).
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
238
Sebagai manusia yang lengkap diberi akal dan nafsu, sebagai
makhluk sempurna yang diciptakan, akan tetap saja kesemua itu tidaklah
yang utama untuk bisa mengikuti kemauan dan bisa memilih ke surga,
ketatapan itu hanyalah Allah SWT yang berhak atas akan hal itu.
Bahkan semua yang dikerjakan pun jika Allah tidak meridhai-Nya itu
sama, hanya sia-sia saja, maka semua kepasrahan akan kembali lagi kepada
Tuhan. Tugas manusia adalah terus berbuat baik kepada seluruh ciptaan-
Nya, untuk balasan Tuhan, berpasrahlah dan yakini bahwa Tuhan itu maha
adil, dan tidak perlu mengatur Tuhan akan menempatkan di surga atau di
neraka, bahasa guyon KH. Mustaiin Syafii, seperti ini:
“Ya terserah Tuhan gitu mau bayar (pahala) atau enggak gitu.
Waiyyusibna Fabimakhdil Fadli, sikap Tuhan itu Yusibna, memberi reward
(surga), Fabimakhdil Fadli, itu karena anugerah-Nya saja. Usaha, ngaji zakat
dan lain-lain kegiatan ibadah kalian itu tidak dihargai, hanya dijadikan
dasar, fadol dulu. Ya itu kata-kata sufistik. Kalau ditinjau akal tidak sah.
Sebagai mukmin beradab, mengatur Tuhan itu usul adab. Etika saja itu.
Makanya bahasanya sopan pake fadol (Syafiie, 2021).
Kesimpulan
Ulama Tebuireng dalam memandang konsep ajaran Ushul al-Khamsah
Mutazilah itu lebih melihat pada sisi antroposentris, kepada sesama
manusia dalam beragama dan bersosial di masyarakat, karena itu dinilai
lebih aplikatif dalam kehidupan. Karena itu secara personal, ulama
Tebuireng lebih flexibel dalam memakai teologi, lalu penulis mengetahui
bahwa ulama Tebuireng yang mayoritas Asyariyah juga memahami aliran
teologi Mutazilah serta ajaran Ushul al-Khamsah. Penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi pembaca dan menambah khazanah dalam keilmuan
khususnya dalam teologi Mutazilah, juga memberikan prespektif baru di
kalangan Asyariyah. Penelitian ini memiliki keterbatasan literatur sehingga
dibutuhkan penelitian lebih lanjut dengan literatur yang lebih lengkap.
Penelitian ini merekomendasikan konsep Ushul al-Khamsah lebih dilihat
dari segi antroposentris dan diambil yang baiknya saja, karena menurut
ulama Tebuireng, konsep ini lebih aplikatif dan definitif dalam penerapan
di kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
Ahmad, J. (2017). Muktazilah: Penamaan, sejarah dan lima prinsip dasar
(Ushul Alkhamsah). uinjkt.ac.id.
Anwar, A. R. (2009). ILmu Kalam Edisi Revisi. Bandung: CV. Pustaka
Setia.
Bachtiar, A. S. (2013). studi komparatif pemikiran kalam mutazilah dan
Jurnal Penelitian Ilmu Ushuluddin
Vol. 1 No. 3 (Agustus 2021): 224-239
DOI: 10.15575/jpiu.11742
239
syiah isna asyariyah tentang Al-Ushul Al-Khamsah. uin-alauddin.ac.id.
Dahlan, A. A. (1987). Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam
bagian I: Pemikiran Teologis. Jakarta : Beunebi Cipta.
Fatimah, S. (2014). Sejarah Pondok Pesantren Tebuireng. uin-malang.ac.id.
Goldziher, I. (2010). Mzhab Tafsir: dari Klasik hingga modern.
Yogyakarta: eLSAQ Press.
Hanafi, A. (1983). Pengantar Theologi Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Hartoko, D. (1986). Orientasi di dalam Filsafat. Jakarta: gramedia.
Hatta, M. (2013). Aliran Mutazilah Dalam Lintasan Sejarah Pemikiran
Islam. Ilmu Ushuluddin.
Hidayatullah, N. F. (2018). Teologi Islam Mutazilah. ad-Dirasah.
Jamaluddin. (2015). Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran Teologi
Mu‘Tazilah tentang Kemakhlukan Al-Qur’ān Tahun 124-218 H/742-
838 M. ThaqafiyyaT.
Kadir, A. (2016). Dirasat Islamiyah. sidoarjo: Dwi Pustaka jaya.
Matondang, A. Y. (1989). Tafsir ayat ayat kalam menurut Al-Qadhi Abdul
Jabbar. Jakarta: Bulan Bintang.
Mukhlis, F. H. (2015). Model Penelitian Kalam: Teologi Islam (Ilmu
Kalam) Ahmad Hanafi. iainponorogo.ac.id.
Nashihin, M. &. (2019). Membumikan Pancasila (Al-Ushul Al-Khamsah)
Mutazilah. Ummul Qura.
Pakpahan, E. S. (2017). Pemikiran Mutazilah. Al-Hadi, 421.
Rahmawati, D. (2017). filed research. radenintan.ac.id.
Rohidin. (2018). Mutazilah: Sejarah dan Perkembangannya. El-Afkar.
Safii. (2014). Teologi Mu’tazilah: Sebuah Upaya Revitalisasi. Teologia.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kuntitatif dan Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Syafiie, K. M. (2021, 1 23). Wawancara: Ushul Khamsah Mutazilah Dalam
Pandangan Ulama Tebuireng.
Zulhelmi, Z. (2013). Epistemologi Pemikiran Mu'tazilah Pengaruhnya
Terhadap Perkembangan Pemikiran Islam Di Indonesia. Ilmu Agama,
130.