ChapterPDF Available

Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia: Suatu Kajian Awal

Authors:

Abstract

Melalui esai ini, saya akan mencoba untuk melihat lebih jauh hubungan antara bencana dengan kemunduran demokrasi di Indonesia, dengan menggunakan kasus banjir dan asap-kebakaran hutan sebagai contoh kasus. Saya berargumen bahwa bencana bisa dijadikan sebagai bukti kemerosotan kualitas demokrasi yang paling nyata. Hal ini karena bencana seperti banjir dan asap adalah konsekuensi dari rusaknya tata ruang karena kuatnya praktik klientelisme dan lemahnya kontrol publik. Oleh karena itu, saya mengasumsikan bahwa jika kualitas demokrasi semakin tinggi maka aktivitas “anthropogenic” akan semakin terkontrol, sehingga frekuensi bencana seperti banjir dan asap bisa berkurang.
535
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
Bagian 8
Kerusakan
Lingkungan dan
Kemunduran
Demokrasi
536 Demokrasi Tanpa Demos
537
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
Tahun lalu, terbit satu edisi khusus yang bertajuk “Authoritarian
Innovations” tentang perkembangan terkini demokrasi Asia Tenggara
di Jurnal Democratization. Dalam tulisan pengantarnya, Curato
dan Fossati1 menyatakan bahwa edisi khusus tersebut didedikasikan
untuk mencermati kecenderungan turunnya tingkat demokrasi di
negara-negara Asia Tenggara. Mereka menemukan berbagai praktik
otoritarianisme di negara-negara Asia Tenggara yang bermuara pada
menyempitnya ruang partisipasi politik masyarakat meskipun tanpa
ada kudeta militer atau kemunculan diktator. Walaupun sistem
politiknya secara formal demokratis, langgam politik kesehariannya
diwarnai dengan wajah otoritarian. Argumentasi dan temuan
tersebut tentu saja memberikan kontribusi berharga dalam studi
tentang demokrasi dan perubahan rezim, khususnya pada konteks
Asia Tenggara. Namun, saya selalu merasa ada yang terlewat
dalam karya sebagian besar para sarjana dalam studi demokrasi,
termasuk dalam edisi khusus tersebut. Aspek-aspek yang biasanya
digunakan sebagai penilaian kualitas demokrasi adalah pelaksanaan
Pemilu, penegakan hukum, dan perlindungan terhadap minoritas.
Kemunduran Demokrasi dan
Bencana di Indonesia: Suatu
Kajian Awal*
Yogi Setya Permana**
*Sebagian materi dari tulisan ini pernah penulis publikasikan sebelumnya di situs berita lingkungan
Mongabay.co.id.
**Yogi Setya Permana adalah Peneliti di Pusat Penelitian Politik, LIPI. Lulus dari Departemen Politik
dan Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (2009) dan menyelesaikan program master (honours)
di The Australian National University (2016). Saat ini, sedang menempuh studi doktoral di Royal
Netherlands Institute of Southeast Asia and Carribean Studies, Universitas Leiden.
1Nicole Curato dan Diego Fossati, “Authoritarian Innovations”, Democratization, 2020.
538 Demokrasi Tanpa Demos
Pembicaraan tentang kerentanan manusia (human vulnerability)
akibat bencana maupun kerusakan lingkungan hampir selalu absen
dalam tulisan para sarjana pengkaji demokrasi, termasuk pada
kasus Indonesia.
Sementara itu, studi Lin2 yang diterbitkan oleh Jurnal Social
Forces menjadi sangat berharga karena mengisi kelangkaan kajian
yang mencermati keterhubungan antara demokrasi dengan bencana.
Berdasarkan data set lintas negara (cross-national data set), Lin
menunjukkan bahwa negara yang demokratis dan berkapasitas
mampu mengurangi jumlah korban jiwa dan melakukan pencegahan
yang efektif terhadap dampak destruktif yang ditimbulkan oleh suatu
bencana terhadap penduduk. Hal ini terutama terhadap bencana
yang terprediksi seperti banjir atau badai. Sebaliknya, tulis Lin,
rezim otoritarian atau non-demokrasi dengan kapasitas negara yang
lemah bisa memperburuk kondisi kerentanan manusia terhadap
bencana.3 Kelangkaan kajian tentang demokrasi dan kerentanan
manusia merupakan suatu ironi, karena Indonesia bahkan Asia
Tenggara memiliki persoalan serius dengan bencana alam dan
kerusakan lingkungan. Sebagai gambaran, Indonesia bersama
Filipina adalah dua dari lima negara yang memiliki frekuensi
bencana alam terbanyak di dunia dari tahun 1995 sampai tahun
2009.4 Maka, sudah saatnya para sarjana mulai menempatkan
isu kerentanan manusia dan bencana sebagai isu serius dan perlu
menjadi perhatian untuk dihubungkan dengan demokrasi.
Melalui esai ini, saya akan mencoba untuk melihat lebih jauh
hubungan antara bencana dengan kemunduran demokrasi di
Indonesia, dengan menggunakan kasus banjir dan asap-kebakaran
hutan sebagai contoh kasus. Saya berargumen bahwa bencana
bisa dijadikan sebagai bukti kemerosotan kualitas demokrasi yang
paling nyata. Hal ini karena bencana seperti banjir dan asap adalah
konsekuensi dari rusaknya tata ruang karena kuatnya praktik
klientelisme dan lemahnya kontrol publik. Oleh karena itu, saya
mengasumsikan bahwa jika kualitas demokrasi semakin tinggi
maka aktivitas “anthropogenic” akan semakin terkontrol, sehingga
2Thung-Hong Lin, “Governing Natural Disasters: State Capacity, Democracy, and Human
Vulnerabil3Ibid, hlm.1268.
3Ibid, hlm.1268.
4Ibid, hlm.1279.
539
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
frekuensi bencana seperti banjir dan asap bisa berkurang. Bahwa
bencana membuat kemunduran demokrasi bukan lagi konsep
abstrak, namun lebih membumi karena semua lapisan masyarakat
bisa merasakan dampaknya secara langsung.
Redenisi Bencana
Untuk melihat adanya keterhubungan antara kualitas demokrasi
dengan bencana, terlebih dahulu kita harus mendenisikan ulang
bencana itu. Saya memaknai bencana di dalam esai ini berbeda
dengan pengertian bencana secara konvensional yang sudah lazim
kita pahami. Bencana bukan hanya fenomena alam atau external
hazard yang terpisah dari manusia, namun justru terkait erat
dengan dimensi sosial. Denisi bencana yang dipakai dalam esai
ini merujuk kepada istilah anthropogenic yang secara sederhana
bisa kita maknai sebagai aktivitas manusia baik sengaja maupun
tidak sengaja dan dilakukan secara terus-menerus yang memberikan
dampak buruk bagi masyarakat karena memicu atau mempercepat
terjadinya bencana.5
Banjir sendiri merupakan bencana yang tercipta karena interaksi
dua ruang yaitu ruang udara dan ruang daratan. Tingginya curah
hujan yang jatuh ke daratan dengan tata ruang yang berantakan
adalah katalisator yang memicu terjadinya banjir. Secara singkat,
kita bisa maknai bahwa kerentanan akan banjir erat berhubungan
dengan perencanaan dan tata ruang yang buruk. Perencanaan dan
tata ruang yang buruk dikarenakan rendahnya kualitas tata kelola
pemerintahan dan akuntabilitas publik. Korupsi dan kuatnya relasi
klientelisme membuat alokasi tata ruang menjadi berantakan karena
tidak lagi sebagai agenda publik untuk kesejahteraan bersama
namun lebih berdasarkan keuntungan ekonomi bagi kelompok
elite tertentu. Secara lebih spesik, kita bisa reeksikan dengan
mengambil contoh bencana banjir di Luwu Utara pertengahan
Juli 2020 yang menyebabkan puluhan orang meninggal dan hilang
serta merendam ratusan rumah tinggal. Berdasarkan laporan dari
5Joel C. Gill & Bruce D. Malamud, “Anthropogenic Processes, Natural Hazards, and Interactions
in a Multi-hazard Framework”, Earth-Science Reviews 166, 2017, hlm.248.
540 Demokrasi Tanpa Demos
Mongabay6 banjir bandang tersebut disebabkan adanya pembukaan
lahan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Balease dan alih guna
lahan dan hutan secara masif untuk perkebunan kelapa sawit dan
pertambangan.
Sedangkan asap akibat kebakaran hutan dalam skala luas di
Indonensia terkait dengan aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan raksasa.7 Berdasarkan data satelit,
diperkirakan perusahaan perkebunan sawit atau sub-kontraktornya
terlibat dalam 80 persen kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
untuk pembukaan lahan (Richardson, 2010: 22). Frekuensi titik
api tertinggi terjadi di wilayah konsesi penebangan kayu dan areal
perkebunan kelapa sawit.8 Oleh karena itu, kita bisa mendapatkan
indikasi bahwa karhutla bukan hanya disebabkan oleh faktor cuaca
atau corak cocok tanam tradisional, melainkan juga terkait erat
dengan alih guna lahan untuk perkebunan kelapa sawit (McCarthy
& Zen, 2010).
Demokrasi menjamin keadilan sosial dan pengambilan keputusan
yang inklusif dalam persoalan publik, misal dalam penentuan
zonasi tata ruang dan peruntukannya. Peruntukan tata ruang
adalah faktor krusial dalam mengendalikan degradasi lingkungan.
Misalkan, adanya kepastian dan jaminan dari Pemerintah untuk
mempertahankan zona hijau atau wilayah hutan konservasi dari
perizinan konsesi tambang atau perkebunan. Oleh karena itu,
saya mengasumsikan bahwa semakin tinggi kualitas demokrasi
maka aktivitas ‘anthropogenic’ akan semakin terkontrol sehingga
frekuensi banjir dan asap akibat kebakaran hutan bisa berkurang.
Banjir dan Kualitas Demokrasi
Sebagai langkah awal untuk menelusuri hubungan antara
banjir, anthropogenic, dan demokrasi, kita bisa mencari gambaran
permulaan dengan membandingkan dua data yang memberikan
informasi mengenai kualitas demokrasi dan frekuensi banjir di
6Lusia Arumingtyas, “Banjir dan Longsor Luwu Utara, Berikut Analisis Penyebabnya”, Mongabay.
co.id, 20 Juli 2002, dalam https://www.mongabay.co.id/2020/07/20/banjir-dan-longsor-luwu-utara-
berikut-analisis-penyebabnya/, diakses 24/8/2020.
7Helena Varkkey, The haze problem in Southeast Asia: Palm oil and patronage (Routledge, 2015).
8Herry Purnomo, et al, “Forest and Land Fires, Toxic Haze and Local Politics in Indonesia”, International
Forestry Review 21(4), 2019.
541
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
Indonesia. Ada dua data yang bisa digunakan yakni Indeks Demokrasi
Indonesia (IDI) yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan
data frekuensi banjir dari Data Informasi Bencana Indonesia (DIBI)
yang dikeluarkan oleh BNPB. IDI, pertama kali dibuat pada tahun
2009, menyediakan indikator untuk mengukur kualitas demokrasi
pada level provinsi. Sedangkan, data DIBI utamanya bersumber
dari dokumentasi pencatatan bencana oleh Pemerintah. Asumsi
yang bisa dibangun dari perbandingan data sederhana ini adalah
“semakin rendah kualitas demokrasi di suatu daerah maka frekuensi
banjir akan semakin tinggi”.
Ada tiga aspek yang dinilai di dalam IDI yaitu kebebasan sipil,
hak politik, dan pelembagaan demokrasi. Akses publik dalam
pengambilan kebijakan adalah salah satu komponen yang diukur. Ada
empat sumber data untuk penilaiannya yakni media, dokumentasi
Pemerintah, diskusi kelompok terarah, dan wawancara mendalam
dengan para pakar di tiap daerah. Empat hal inilah yang menjadi
sumber pemberian skor kualitas demokrasi pada tiap provinsi.
Semakin tinggi skor IDI suatu provinsi maka asumsinya semakin
bagus pula kualitas demokrasi di provinsi bersangkutan.
Saya mengumpulkan skor IDI tiap provinsi selama 10
tahun terakhir dari tahun 2009 sampai tahun 2018, kemudian
menghitung nilai rata-ratanya. Setelah mendapatkan skor rerata
IDI setiap provinsi, kita bisa memasukkan 34 provinsi tersebut
menjadi tiga kelompok: tinggi, sedang, dan rendah. Kemudian,
kita mengumpulkan jumlah frekuensi banjir di 34 provinsi dalam
kurun waktu yang sama dengan IDI yakni tahun 2009–2018.
Setelah mengompilasikan data frekuensi banjir 34 provinsi dalam
satu data set, kita bisa mengategorisasikan masing-masing provinsi
dalam tiga kelompok: tinggi, sedang, dan rendah.
Perbandingan dua data tersebut kemudian memberikan
gambaran bahwa provinsi-provinsi yang masuk dalam kategori
skor IDI rendah ternyata juga merupakan provinsi-provinsi yang
masuk ke dalam kategori kelompok frekuensi banjir tinggi. Kita
belum bisa mengatakan bahwa ada korelasi langsung, namun paling
tidak ada pengaruh tidak langsung yang perlu untuk diinvestigasi
lebih lanjut. Dari tabel di bawah ini, kita bisa lihat bahwa hanya
542 Demokrasi Tanpa Demos
ada tiga provinsi dengan skor IDI yang tergolong rendah yang tidak
mempunyai angka frekuensi banjir yang tergolong tinggi, yakni
Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua. Namun, semua
provinsi dengan IDI rendah lainnya terkonrmasi sebagai provinsi
dengan frekuensi banjir yang tinggi.
Tabel Perbandingan IDI dan Frekuensi Banjir
IDI Rendah Frekuensi Banjir Tingi
Jawa Tengah Jawa Tengah
Sulawesi Selatan Jawa Timur
Aceh Jawa Barat
Jawa Barat Aceh
Maluku Utara Sumatera Utara
Jawa Timur Sumatera Barat
Sumatera Utara Sumatera Selatan
Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Barat Kalimantan timur
Papua Barat Sulawesi Tenggara
Sumatera Barat Jambi
Papua
Dalam pemerintahan yang demokratis, publik mempunyai
kontrol yang kuat terhadap agenda bersama seperti perencanaan
tata ruang sehingga bencana seperti banjir bisa diatasi. Akuntabilitas
pemerintahan yang dikontrol oleh publik memungkinkan untuk
bisa merawat tata ruang jalur perjalanan air dari hulu hingga hilir
sehingga bisa mengurangi kemungkinan luapan sungai. Politisi
yang menduduki jabatan publik pun akan berhati-hati dalam
mengeluarkan kebijakan dengan tidak memberikan konsesi-konsesi
bisnis ekstraktif yang berakibat pada alih guna lahan sehingga
memperburuk wilayah tangkapan air dan bisa berdampak pada
terjadinya banjir. Oleh karena itu, gagalnya mitigasi terhadap banjir
kemungkinan terkait dengan adanya kepentingan ekonomi-politik
dan tata kelola pemerintahan yang tidak demokratis.
543
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
Asap dan Politik Klientelisme
Kebakaran hutan sebelumnya lebih banyak dipahami oleh
banyak pihak sebagai dampak dari kemiskinan dan pembangunan.
Kebakaran hutan telah tercatat di Asia Tenggara sejak Abad ke-
19, terutama di Indonesia.9 Pada tahun 1982, “The Great Fire of
Borneo” mengakibatkan 3,5 juta hektare hutan terbakar karena
sebab alamiah dan penggunaan api dalam kegiatan ladang berpindah
skala kecil. Para sarjana yang melakukan investigasi kebakaran
hutan pada waktu itu menyimpulkan bahwa masalah pembangunan
yang dialami oleh petani kecil seperti kemiskinan, pertumbuhan
penduduk yang cepat, dan ketidaktahuan menjadi penyebab utama.10
Kemiskinan dan kebutuhan subsisten mendorong petani lokal
untuk menggunakan api dalam pembukaan lahan dan penumbuhan
kembali tanaman tertentu. Api adalah metode pembukaan lahan
yang paling mudah dan murah. Kita bisa bayangkan bersama,
untuk membersihkan satu hektare lahan bekas tebangan kayu atau
tanaman dengan menggunakan api hanya membutuhkan biaya
tidak lebih dari Rp75 ribu. Sedangkan, biaya untuk membersihkan
lahan satu hektare dengan penggunaan peralatan mesin atau kimia
bisa menghabiskan hampir Rp3 juta.11 Pada kasus lahan gambut,
pembersihan lahan dengan menggunakan api menghabiskan ongkos
yang lebih mahal yakni hampir Rp3 juta per hektare, namun
pada saat yang sama membutuhkan 30–40 juta per hektare jika
menggunakan metode yang lebih ramah lingkungan.12
Kita menyaksikan perkembangan pesat di dalam literatur tentang
kebakaran hutan di Indonesia yang menekankan pada aspek relasi
kuasa dan kepemilikan sumber daya dalam lima tahun terakhir.
Perkembangan ini sebenarnya sesuai dengan masifnya ekspansi
industri perkebunan seperti kelapa sawit di Indonesia. Masifnya
ekspansi perkebunan kelapa sawit memicu munculnya perhatian yang
9Peter Eaton & Miroslav Radojevic, “Forest Fires and Regional Haze in Southeast Asia, Nova Science
Publishers, 2001.
10C.J Colfer, “Ten Propositions to Explain Kalimantan‘s Fires”, dalam J.C.Colfer dan I.A.P.Resosudarmo,
(eds.), Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia. (Singapore: Institute of
Southeast Asian Studies, 2002); Anshuman Varma, “e Economics of Slash and Burn: a Case Study
of the 1997–1998 Indonesian Forest Fires”,Ecological Economics46, No.1, 2003.
11Parkash Chander, “A Political Economy Analysis of The Southeast Asian Haze”, The Singapore
Economic Review 63, No.05, 2018.
12Ibid.
544 Demokrasi Tanpa Demos
serius dalam diskusi akademik terutama yang berhubungan dengan
relasi klientelisme antara elite politik dengan perusahaan kelapa
sawit. Keterkaitan perusahaan-perusahaan besar dalam bencana
asap di Asia Tenggara khususnya Indonesia, disorot oleh Varkkey13
dan Purnomo et al.14 Mereka memberikan gambaran bagaimana
perusahaan kelapa sawit melakukan akumulasi kekuasaan yang
membuatnya mampu mengakses wilayah hutan yang dilindungi
di Sumatera dan Kalimantan.
Studi dari Varkkey15 merupakan satu terobosan signikan
karena menempatkan asap sebagai persoalan lokal-global yang
terkait erat dengan politik klientelisme perusahaan-perusahaan
sawit raksasa di Asia Tenggara. Ia berargumen bahwa sulitnya
menghentikan bencana asap secara menyeluruh di Asia Tenggara
disebabkan oleh perlindungan negara dan jejaring klientelisme
yang melibatkan perusahaan-perusahaan Malaysia dan Singapura
yang beroperasi di Indonesia.16 Politik lokal juga mempengaruhi
penggunaan api untuk pembukaan lahan. Pilkada menjadi ajang
transaksi lahan untuk jual beli suara, dan api adalah cara paling
mudah dan murah untuk membersihkan lahan.17 Karhutla dan asap
akan bertambah frekuensinya sekitar setahun menjelang Pilkada.18
Elite lokal menjanjikan lahan kepada para pendukungnya untuk
membantunya bersaing dalam Pilkada.
Kesimpulan
Konteks Indonesia sebagai negara demokrasi baru yang mengalami
transisi dari otoritarianisme sebetulnya menyediakan ruang yang tepat
untuk melihat sejauh mana aktivitas anthropogenic berpengaruh
terhadap terjadinya bencana. Misalnya, masih ada persoalan besar
dengan klientelisme atau oligarki yang mempengaruhi pengaturan
tata ruang atau spasial. Dengan demikian, alih-alih suatu takdir,
bencana juga berhubungan dengan perilaku manusia yang tidak
benar dalam mengatur barang/kepentingan bersama (common
13Helena Varkkey, op.cit.
14Herry Purnomo et al., op.cit.
15Helena Varkkey, op.cit.
16Ibid.
17Herry Purnomo et al., op.cit.
18Ibid.
545
Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia ...
goods). Pengaturan common goods ini adalah suatu peristiwa
politik, dan demokrasi mengandaikan aturan permainan yang adil
dan inklusif.
Sebagai penutup, saya ingin menggarisbawahi adanya urgensi
bagi para sarjana pengkaji demokrasi Indonesia untuk mulai
mengarusutamakan aspek kerentanan manusia terkait dengan
bencana dan kerusakan lingkungan dalam fokus analisisnya. Sudah
saatnya penilaian dan evaluasi demokrasi Indonesia tidak hanya
melihat pada aspek Pemilu atau isu minoritas, namun juga mulai
memasukkan aspek kontrol publik terhadap lingkungan. Hal ini
karena kita menghadapi keniscayaan sejarah bahwa demokrasi tidak
akan mungkin bisa terwujud tanpa lingkungan yang berkelanjutan.
Agenda untuk usaha mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan
seharusnya menjadi agenda akademik dari para pengkaji demokrasi
Indonesia. Selain itu, pada level masyarakat sipil, perlu untuk lebih
kritis dalam memilih kandidat dalam Pemilu. Pastikan kandidat
yang dipilih dalam Pemilu kepala daerah maupun lembaga legislatif
memiliki agenda yang jelas dalam tata kelola lingkungan dan tidak
mempunyai catatan buruk rekam jejak perusakan lingkungan.
Hal ini karena masyarakat sendiri nantinya yang akan merasakan
dampak dari pilihan politiknya secara langsung: menjadi berkah
atau mendatangkan bencana.
Bibliogra
Arumingtyas, Lusia. 2020 (20 Juli). “Banjir dan Longsor Luwu Utara,
Berikut Analisis Penyebabnya”. Dalam https://www.mongabay.
co.id/2020/07/20/banjir-dan-longsor-luwu-utara-berikut-analisis-
penyebabnya/. Diakses 24/8/2020.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2020. Data Informasi Bencana
Indonesia. Jakarta: BNPB.
Badan Pusat Statistik. 2020. ”Indeks Demokrasi Indonesia”. Jakarta: BPS
Bonneuil, Christophe, and Jean-Baptiste Fressoz. 2016. The shock of the
Anthropocene: The Earth, History and Us. Verso Books.
546 Demokrasi Tanpa Demos
Chander, Parkash. 2018. “A Political Economy Analysis Of The Southeast
Asian Haze”. The Singapore Economic Review 63, No.05.
Colfer, C.J. 2002. “Ten Propositions to Explain Kalimantan‘s Fires”.
Dalam C.J. Colfer & I.A.P Resosudarmo (eds.), Which Way Forward?
People, Forests and Policymaking in Indonesia. Singapore: Institute
of Southeast Asian Studies.
Crutzen Paul, J. 2002. “Geology of Mankind.” Nature 415, No.6867.
Curato, Nicole & Diego Fossati. 2020. “Authoritarian
Innovations”. Democratization, 1-15.
Eaton, Peter & Miroslav Radojevic. 2001. “Forest Fires and Regional Haze
in Southeast Asia”. Nova Science Publishers.
Gill, Joel C. & Bruce D. Malamud. 2017. “Anthropogenic Processes, Natural
Hazards, and Interactions in a Multi-hazard Framework”. Earth-
Science Reviews 166.
Lin, Thung-Hong. 2015. “Governing Natural Disasters: State Capacity,
Democracy, and Human Vulnerability”. Social Forces 93, No.3.
Permana, Yogi Setya. 2020 (8 September). “Isu Lingkungan Nihil
Dalam Studi Demokrasi Indonesia. Dalam https://www.mongabay.
co.id/2020/09/08/isu-lingkungan-nihil-dalam-studi-demokrasi-
indonesia/.
Permana, Yogi Setya. 2020 (28 Mei). “Pendekatan Ekonomi-Politik dan
Mitigasi Bencana Asap di Masa Pandemi”. Dalam https://www.
mongabay.co.id/2020/05/28/pendekatan-ekonomi-politik-dan-
mitigasi-bencana-asap-di-masa-pandemi/.
Permana. Yogi Setya. 2020 (25 Juni). “Banjir, Antropogenik, dan
Demokrasi”. Dalam https://www.mongabay.co.id/2020/06/25/banjir-
antropogenik-dan-demokrasi/.
Purnomo, Herry, et al. 2019. “Forest and Land Fires, Toxic Haze and
Local Politics in Indonesia”. International Forestry Review 21(4).
Varkkey, Helena. 2015. The Haze Problem in Southeast Asia: Palm Oil
and Patronage. Routledge.
Varma, Anshuman. 2003. “The Economics of Slash and Burn: a Case Study
of the 1997–1998 Indonesian Forest Fires”. Ecological Economics 46,
No.1.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Lantas, bagaimana menghadapi ancaman asap dan karhutla ini sebagai langkahmitigasi pada masa pandemi? Pendekatan arus utama dalam penanggulangan karhutla cenderung merujuk kepada intervensi teknis-teknologi danmanajerial teknokratisme seperti yang biasa dilakukan sebelumnya. Mengacu pada kenyataan siklus tahunan karhutladan bencana asap yang sulit diputus ini, perlu ada pertimbangan strategi lain. Terlebih, pandemi merupakan situasiextraordinary hingga langkah-langkah penanganan pun perlu di luar strategi konvensional. Saya berargumen, pendekatan ekonomi-politik bisa bermanfaat untuk jadi pertimbangan langkah penanganan daruratpada masa pandemi. Relevansi pendekatan ekonomi-politik dalam merumuskan langkah mitigasi sejalan denganperdebatan akademik kontemporer tentang kebakaran hutan-lahan dan asap di Indonesia maupun Asia Tenggara
Article
Forest and land fires are among the major catastrophic events that occur in Indonesia. They are a major cause of deforestation and greenhouse gas emissions. Their multiple sources are most diverse and root in nature and society. The immediate fire effects directly and the long-term landscape ecosystem degradations indirectly cause major and persisting and serious problems of public health and ecosystem service. Smoke haze from the forest and land fires in Sumatra and Kalimantan in 2015 caused significant environmental and economic losses in Indonesia, Singapore and Malaysia. We describe the different types of land uses and land cover where fires and smoke haze took place, and how local politics have affected fire use from 2001 to 2017. We calculated hot spots from satellite imageries as proxies for fire occurrences and applied regression analysis to understand the link between fire and local politics in Sumatra and Kalimantan. The results show that the greatest frequency of hot spots occurred in wood and oil palm plantations and logging concessions (47%), followed by conservation areas (31%) and community land (22%). Local elections involve land transactions, and fires were used as a cheap way to increase the land value. The use of fire as means of land clearing was strongly influenced by local politics. Their frequency and abundance obviously increased about a year prior to local elections. The reasons behind the correlation need to be understood so that appropriate incentives and sanctions can be put in place and deter political leaders from using fire as an incentive to their advantage.
Article
This paper studies the political economy of the Southeast Asian haze and discusses the obstacles that, unless overcome, can prevent a permanent and effective solution to the transboundary pollution problem, which originates in Indonesia. Following a cost-benefit analysis of the problem, the paper takes note of the weaknesses in Indonesia's governance structure, which make it difficult to enforce national policies aimed at curbing the haze problem. The paper also puts forward a number of suggestions for strengthening the current policy regime for tackling the problem.
Article
Despite the efforts of Southeast Asian governments and of ASEAN, transboundary haze continues to be a major environmental problem in Southeast Asia. This book demonstrates that the issue is complex, and explains why efforts to solve the problem in purely political terms are ineffective, and likely to continue to be ineffective. The book shows how state-led, state-incentivised agribusiness development lies at the heart of the problem, leading to a large rise in palm oil production, with extensive clearing of forests, leading to deliberate or accidental fires and the resulting haze. Moreover, although the forest clearing is occurring in Indonesia, many of the companies involved are Malaysian and Singaporean; and, further, many of these companies have close relationships with the politicians and officials responsible for addressing the problem and who thereby have a conflict of interest. The author concludes by discussing the huge difficulties involved in overturning this system of 'patronage politics'.
Article
The slash and burn technique is used in many developing countries as a cheap means of clearing forest land for agriculture and involves cutting vegetation and setting it alight. This paper takes up a case study of the slash and burn forest fires of 1997–1998 in Indonesia and evaluates the social efficiency of this technique by means of a comparison of its economic costs with its economic benefits. The economic costs include the welfare loss caused by the fires through damage to plantations and crop cultivations, as well as the loss of direct, indirect and non use value of environmental goods, such as tropical rainforests damaged in the fires. The corresponding economic benefits consist of cost saving to shifting cultivators and plantation companies because of the elimination of the need to employ the more expensive mechanical (or non fire-using) methods of land clearing and because of the decreased requirement of fertilisers at the sites cleared for agriculture. A comparison of these costs and benefits reveals an estimated loss of US$ 20.1 billion as a result of use of slash and burn in Indonesia in 1997–1998, indicating that use of this technique is highly inefficient from a social perspective. Policy recommendations based on these findings include, among others, a proposal for imposition of a ‘land clearing’ tax on plantation companies in Indonesia in order to fund a state agency entrusted with the task of mechanically clearing forest land as per requirement, and multilateral aid transfers directed towards providing alternative employment to shifting cultivators.
Banjir dan Longsor Luwu Utara, Berikut Analisis Penyebabnya
  • Lusia Arumingtyas
Arumingtyas, Lusia. 2020 (20 Juli). "Banjir dan Longsor Luwu Utara, Berikut Analisis Penyebabnya". Dalam https://www.mongabay. co.id/2020/07/20/banjir-dan-longsor-luwu-utara-berikut-analisispenyebabnya/. Diakses 24/8/2020.
Ten Propositions to Explain Kalimantan's Fires". Dalam
  • C J Colfer
Colfer, C.J. 2002. "Ten Propositions to Explain Kalimantan's Fires". Dalam C.J. Colfer & I.A.P Resosudarmo (eds.), Which Way Forward? People, Forests and Policymaking in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
  • Joel C Gill
  • D Bruce
  • Malamud
Gill, Joel C. & Bruce D. Malamud. 2017. "Anthropogenic Processes, Natural Hazards, and Interactions in a Multi-hazard Framework". Earth-Science Reviews 166.
Governing Natural Disasters: State Capacity, Democracy, and Human Vulnerability
  • Thung-Hong Lin
Lin, Thung-Hong. 2015. "Governing Natural Disasters: State Capacity, Democracy, and Human Vulnerability". Social Forces 93, No.3.