Content uploaded by Shidarta Shidarta
Author content
All content in this area was uploaded by Shidarta Shidarta on Aug 21, 2021
Content may be subject to copyright.
SHIDARTA — v
“A l l e g r o ß e n p o l i t i s c h e n W a n d l u n g e n w a r e n v o n d e r R e c h t s p h i l o s o p h i e v o r b e r e i t e t
oder begleitet. Am Anfang stand die Rechtsphilosophie,
am Ende die Revolution.”
Gustav Radbruch, Rechtsphilosphie (Stuttgart: K.F. Koehler Verlag, 1973),
hlm. 96
Seluruh geger politik disiapkan atau dikawali filsafat hukum.
Bertolak dari filsafat hukum, berujung pada revolusi.
vi — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
SHIDARTA — vii
Duncan Kennedy dengan sinis mengatakan, “Teachers teach nonsense
when they persuade students that legal reasoning is distinct, as a method for
reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is never a
‘correct legal solution’ that is other than the correct ethical or political solution to that
legal problem.”* Ucapan provokatif semacam ini tentu menarik untuk
diperiksa ulang, khususnya bagi mereka yang berkecimpung dalam
pengkajian disiplin hukum.
Apa yang disebut “penalaran hukum” (legal reasoning, juridisch redenering)
atau biasa disebut “argumentasi yuridis” memang mulai menggeliat sejak
1980-an di Eropa dan Amerika Serikat. Sayangnya, perhatian terhadap topik
ini kurang mendapat tempat yang proporsional di Tanah Air, bahkan di
kalangan akademisi hukum sendiri.
Saya tidak ingin menebak-nebak apa yang menyebabkan studi di bidang
ini tidak begitu diminati. Hipotesis terburuk adalah karena banyak di antara
penstudi hukum itu sendiri yang terjangkiti “mitos manusia gua” seperti
disinyalir Plato. Suatu mitos yang menceritakan seorang manusia yang duduk
dengan tangan dan kaki terikat menghadap ke dinding gua, sementara di
bibir gua berlalu lalang mahluk-mahluk beraneka rupa. Si manusia hanya
mampu melihat bayangan mahluk-mahluk itu dan meyakini mereka sebagai
realitas mahluk-mahluk itu. Dapat dibayangkan berbahayanya jika para
akademisi hukum kita adalah manusia gua, yang menganggap produk
penguasa yang disebut undang-undang itu sebagai realitas hukum yang
sebenar-benarnya.
PRAKATA
________________________
*Duncan Kennedy, “Legal Education as Training for Hierarchy,” dalam D. Kairys, ed., Politics
of Law (New York: Pantheon, 1982), hlm. 47.
viii — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Jika dikembalikan kepada ilustrasi mitos manusia gua di atas, maka
tulisan dalam buku ini hanya karya embrional untuk sedikit melonggarkan
tali pengikat tangan dan kaki kita. Alangkah bahagianya jika seterusnya
karya ini dapat melahirkan pemikiran-pemikiran lain yang lebih bernas untuk
membimbing kita keluar dari gua dan melihat realitas hukum yang
multifaset.
Tulisan ini sendiri bermula dari disertasi penulis di Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Atas
pertimbangan tertentu, ada beberapa bagian kecil yang ditulis ulang, namun
secara keseluruhan tidak mengubah substansi yang ingin dibahas dalam
karya tersebut. Sebelumnya buku ini pernah beredar dengan judul
“Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan” di bawah
penerbit CV Utomo Bandung (2005). Setelah lebih dari tujuh tahun sejak
terbitan pertama, buku ini ternyata masih tetap banyak dicari. Untuk itulah,
dengan beberapa koreksi kesalahan ketikan dan tambahan beberapa uraian
di beberapa tempat, penulis memutuskan untuk menerbitkan kembali buku
ini melalui penerbit Genta Publishing. Judul bab dan subbab tertentu yang
terlalu beraroma akademis, diusahakan untuk diubah. Kendati demikian,
kesan bahwa buku ini adalah sebuah karya penelitian tidak mungkin
tersirnakan. Bahkan, beberapa kalangan meminta agar tujuan dan kegunaan
penelitian, identifikasi permasalahan, kerangka berpikir, dan metode
penelitian, perlu tetap dipertahankan agar para pembaca dapat memahami
secara lebih utuh bagaimana kajian dalam buku ini dijejaki sejak awal.
Demikian juga, bab penutup yang kali ini diberi judul “Napak Tilas”
disajikan secara utuh agar para pembaca dapat menstrukturkan kembali
konsep dan proposisi yang telah dipetakan dalam bab-bab sebelumnya.
Buku ini diberi label sebagai buku kesatu, dan diposisikan sebagai
fondasi dari trilogi “Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum”. Apa yang
dimaksud dengan “hukum” dari kedua konsep tersebut dapat dibaca pada
Bab II dan III dari buku ini. Buku kedua yang akan segera menyusul
kemudian, akan mengupas landasan teoretis dari penalaran hukum. Buku
berikutnya memuat tentang aplikasi penalaran hukum melalui contoh-
contoh dan latihan praktis. Lahirnya trilogi ini sekaligus ingin menjawab
tantangan kelangkaan buku-buku penalaran hukum yang mudah-mudahan
bisa menyentuh penalaran dari ketiga ranah displin hukum sekaligus, yakni
penalaran dalam tataran filsafat hukum, teori hukum, dan dogmatika hukum.
Tulisan dalam buku kesatu ini menampilkan model-model penalaran
yang telah dikenal sebagai paradigma klasikal. Model-model paradigmatik
SHIDARTA — ix
itu dipetakan untuk kemudian digunakan sebagai objek sekaligus pisau
analisis. Pekerjaan ini mengandung dan mengundang bahaya tersendiri!
Peta adalah produk simplifikasi. Ia berfokus pada kerangka “hutan” dengan
konsekuensi mengabaikan detail “pohon”. Pembaca yang kritis mungkin
dengan jengah akan bertanya tentang ketiadaan varian-varian, buah
kontemplasi para filsuf, mulai dari yang antik ala Cicero sampai kontemporer
gaya Giddens.
Sekali lagi, dalam paparan tulisan ini, pembaca tidak akan menemukan
kupasan mendetail tentang latar belakang tokoh-tokoh pendukung tiap-
tiap aliran, proses kelahiran model-model penalaran tersebut, dan polemik
yang menyertainya. Tulisan ini memang tidak didesain untuk itu! Karya
penelitian ini sangat bernuansakan meta-keilmuan hukum dengan
mengambil fokus pada kupasan karakteristik penalaran hukum yang
menandai benang merah atau soko guru dari setiap model. Dengan cara
inilah diharapkan tujuan dan kegunaan kajian ini akan lebih mudah digapai.
Kendati demikian, tetap saja semua upaya tadi merupakan petualangan
berat, khususnya tatkala ujung pena harus ditorehkan ke persoalan domestik
keindonesiaan.
Terlepas dari keluh kesah saya di atas, tentu ada banyak figur yang
perlu saya curahkan rasa terima kasih mendalam. Pertama dan terutama
adalah Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H. dan Prof. Dr. I. Bambang Sugiharto,
selanjutnya kepada Prof. Dr. H. Lili Rasjidi, S.H., S.Sos., LL.M., Prof. Dr.
Soedjono Dirdjosisworo, S.H., M.M., M.B.A., Prof. Dr. Wila Chandrawila
Supriadi, S.H., dan Prof. H. Darji Darmodiharjo, S.H. Semua figur di atas
terlibat secara langsung maupun tidak langsung mengawal kelahiran buku
ini dari rahim Program Pascasarjana Universitas Katolik Parahyangan. Di
almamater ini pula penulis berkesempatan mengembangkan studi tentang
penalaran hukum ini secara lebih intensif, yang membuat penulis terlibat
untuk mengajar mulai dari Program S-1, S-2, dan S-3 Ilmu Hukum. Cuplikan
dari isi buku ini juga kerap penulis gunakan untuk memperkaya perkuliahan
di Program S-3 Universitas Indonesia, Program S-2 Universitas
Diponegoro, dan Program S-2 Universitas Katolik Soegijapranata. Berkat
bantuan sahabat-sahabat di organisasi HuMa dan Epistema Institute, penulis
bahkan sempat membagi ulasan buku ini dalam beberapa seri lingkar belajar
(learning circle) yang diadakan di sejumlah daerah di Tanah Air.
Apresiasi yang mendalam saya sampaikan kepada Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H., LL.M. yang telah memberi kesempatan kepada saya
untuk mewawancarai beliau. Terima kasih juga untuk perhatian dan
x — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dukungan semangat dari Alm. Prof. Mr. Roeslan Saleh dan Alm. Prof. Dr.
R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. Beberapa nama lain yang perlu
disinggung di sini sebagai tanda terima kasih penulis antara lain adalah
Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, M..P.A., Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H.,
M.S., Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A., dan Prof. Dr. Ir. Dali S.
Naga, MMSI. Demikian juga dengan beberapa kolega yang bersedia
dicantumkan namanya untuk membuat testimoni singkat pada cover
belakang buku ini.
Last but not least, penulis ingin mempersembahkan buku ini untuk
isteriku Imelda Martinelli (mi compañera del alma) dan buah hati kami berdua
Shielda Natasha Shidarta. Kalian berdua tidak sekadar belahan jiwa, namun
juga karunia-Nya yang tak terhingga.
Tentu saja ada demikian banyak kritik, pandangan, masukan, atau
apapun namanya yang sangat berarti dalam memperkaya kajian dalam buku
ini. Kendati demikian, tanggung jawab atas semua guratan tinta pada karya
sederhana ini tetap berada di pundak penulis sepenuhnya.
Tangerang, Maret 2012
Shidarta
SHIDARTA — xi
PRAKATA................................................................................................
DAFTAR ISI ............................................................................................
DAFTAR TABEL ...................................................................................
DAFTAR RAGAAN...............................................................................
BAB I
DUDUK PERSOALAN ............................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................... 1
1. Faktor Eksternal Ilmu Hukum................................. 3
2. Faktor Internal Ilmu Hukum.................................... 5
3. Konteks Keindonesiaan ............................................ 6
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... 9
C. Identifikasi Per masalahan ................................................. 12
D. Kerangka Berpikir ............................................................. 15
E. Metode Penelitian .............................................................. 26
BAB II
HUKUM PENALARAN ........................................... 32
A. Pengantar ............................................................................ 32
B. Sudut Pandang ................................................................... 33
1. Kelompok Ilmu-Ilmu ................................................ 34
2. Modern dan Posmodern ........................................... 51
C. Aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis ......... 60
1. Aspek Ontologis ........................................................ 60
2. Aspek Epistemologis ................................................. 67
3. Aspek Aksiologis .......................................................... 76
DAFTAR ISI
xii — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
D. Model-Model Hukum Penalaran ..................................... 82
1. Positivisme dan Empirisme Logis ........................... 83
2. Rasionalisme Kritis .................................................... 92
3. Empirisme Analitis .................................................... 107
4. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis ............ 116
BAB III
PENALARAN HUKUM ........................................... 131
A. Pengantar ............................................................................ 131
B. Sudut Pandang ................................................................... 134
1. Keluarga Sistem Hukum ........................................... 134
2. Penstudi Hukum ........................................................ 146
C. Aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis ......... 156
1. Aspek Ontologis ........................................................ 156
2. Aspek Epistemologis ................................................. 165
a. Langkah Pertama ................................................ 168
b. Langkah Kedua ................................................... 170
c. Langkah Ketiga ..................................................... 176
d. Langkah Keempat .............................................. 186
e. Langkah Kelima .................................................. 186
f. Langkah Keenam ................................................ 188
3. Aspek Aksiologis ........................................................ 191
D. Model-Model Penalaran Hukum ..................................... 194
1. Aliran Hukum Kodrat ............................................... 199
2. Positivisme Hukum...................................................... 208
3. Utilitarianisme............................................................. 215
4. Mazhab Sejarah........................................................... 219
5. [American] Sociological Jurisprudence ................... 226
6. Realisme Hukum ........................................................ 231
BAB IV
PENALARAN HUKUM DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN 237
A. Pengantar ............................................................................ 237
B. Sudut Pandang ................................................................... 239
1. Sistem Hukum Indonesia .......................................... 240
2. Penstudi Hukum di Indonesia.................................. 268
a. Pengamat ............................................................. 270
SHIDARTA — xiii
1) Sejarah dan Sejarah Hukum......................... 271
2) Sosiologi dan Sosiologi Hukum .................. 274
3) Antropologi dan Antropologi Hukum....... 277
4) Psikologi dan Psikologi Hukum.................. 279
5) Ilmu Politik dan Politik Hukum .................. 283
b. Pengembanan Hukum Teoretis .......................... 290
1) Kajian Ilmu hukum....................................... 291
2) Kajian Teori Hukum .................................... 294
3) Kajian Filsafat Hukum ................................. 297
c. Pengembanan Hukum Praktis ............................. 299
1) Pembentuk Undang-Undang....................... 299
2) Peradilan ......................................................... 303
3) Bantuan Hukum ............................................ 308
4) Pemerintahan Umum ................................... 311
C. Aspek Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis ......... 316
1. Aspek Ontologis ........................................................ 324
2. Aspek Epistemologis ................................................. 330
a. Ada Tidaknya Musyawarah ............................... 332
b. Hakim Meng abulkan Lebih daripada yang Di-
minta ..................................................................... 334
c. Sumber Hukum yang Digunakan ..................... 337
3. Aspek aksiologis ......................................................... 341
D. Teori Hukum Pembangunan ............................................ 342
BAB V
KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM DAN MODEL YANG
SESUAI UNTUK KONTEKS KEINDONESIAAN ............. 358
A. Pengantar ............................................................................ 358
B. Karakteristik Penalaran Hukum ...................................... 363
1. Aspek Ontologis ........................................................ 378
2. Aspek Epistemologis ................................................... 387
3. Aspek Aksiologis .......................................................... 399
C. Model Penalaran untuk Konteks Keindonesiaan Dewasa
Ini ......................................................................................... 405
1. Aspek Ontologis ........................................................ 410
2. Aspek Epistemologis .................................................. 425
3. Aspek Aksiologis ......................................................... 433
xiv — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
BAB VI
NAPAK TILAS ...................................................... 443
A. Rangkuman .......................................................................... 443
B. Kesi mpul an ......................................................................... 451
1. Karakteristik Penalaran Hukum ................................ 451
2. Model Penalaran untuk Konteks Keindonesiaan ... 456
C. Saran....................................................................................... 457
Daftar Pustaka .......................................................................................... 461
Biodata ....................................................................................................... 479
SHIDARTA — xv
DAFTAR TABEL
Tabel I-1 Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian, dan Metode
Penelitian .............................................................................. 21
Tabel I-2 Organisasi dalam Sistem Hukum ..................................... 28
Tabel II-1 Perbedaan Ilmu-Ilmu Formal dan Empiris ..................... 37
Tabel II-2 Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dan Kemanusiaan............... 39
Tabel II-3 Perbedaan Ilmu-Ilmu Teoretis dan Praktis ..................... 43
Tabel II-4 Perbedaan Era Modern dan Posmodern ......................... 53
Tabel II-5 Perbedaan Keilmuan Era Modern dan Posmodern ....... 53
Tabel II-6 Perbandingan Keilmuan Hukum Era Modern dan Pos-
modern ................................................................................. 56
Tabel II-7 Perbedaan Tipe Siklus Empiris Nonreflektif dan Reflektif 110
Tabel II-8 Penyataan yang Dibangun Melalui Konstruktivisme Kritis 126
Tabel III-1 Perbedaan Civil Law-Common Law ................................ 144
Tabel III-2 Metode Interpretasi ............................................................ 180
Tabel III-3 Metode Konstruksi ............................................................. 183
Tabel III-4 Kebenaran ............................................................................ 207
Tabel IV-1 Perbandingan Empat Kebudayaan yang Hidup di Indo-
nesia ...................................................................................... 244
Tabel IV-2 Sistem Hukum di Indonesia sebelum Kemerdekaan ..... 255
Tabel IV-3 Perjalanan Historis Sistem Hukum di Indonesia............ 265
Tabel IV-4 Perbandingan Penstudi Hukum dari Ilmu Politik dan
Pengemban Hukum Praktis (Legislatif) ........................... 285
Tabel IV-5 Perbedaan Kekuasaan Kehakiman antara Masa Orde
Lama dan Orde Baru.......................................................... 305
Tabel IV-6 Segi dalam Fungsi Pemerintahan ...................................... 313
Tabel IV-7 Peta Sengketa Kasus Kedung Ombo ............................... 319
xvi — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Tabel IV-8 Perbandingan Beberapa Hal dalam Putusan (Kasasi)
Zaenal Asikin Kusumah Atmadja dan Putusan (PK)
Purwoto S. Gandasubrata .................................................. 323
Tabel V-1 Contoh Rumusan “Kesesatan Penalaran” dalam Putusan
Hakim ................................................................................... 403
Tabel VI-1 Rangkuman Bab II ............................................................. 446
Tabel VI-2: Rangkuman Bab III ............................................................ 448
SHIDARTA — xvii
DAFTAR RAGAAN
Ragaan I-a Kerangka Berpikir dalam Penelitian ............................ 22
Ragaan I-b Kerangka Berpikir “A” ................................................... 23
Ragaan I-c Kerangka Berpikir “B” .................................................. 24
Ragaan I-d Posisi Penstudi Hukum ................................................. 25
Ragaan I-e Alur Analisis Kerangka Berpikir “B” .......................... 25
Ragaan II-a Hubungan Fungsional Antar-Ilmu .............................. 45
Ragaan II-b Siklus Empiris ................................................................. 49
Ragaan II-c Perbandingan Kutub Modern dan Posmodern.......... 56
Ragaan II-d Pola Penalaran Beraspek Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis ........................................................................ 83
Ragaan II-e Proses Pengembangan Ilmu ......................................... 90
Ragaan II-f Pola Penalaran Empirisme Logis ................................. 91
Ragaan II-g: Proses Pengembangan Ilmu Menurut Rasionalisme
Kritis................................................................................. 95
Ragaan II-h: Pola Penalaran Rasionalisme Kritis.............................. 101
Ragaan II-i: Siklus Empiris Menurut Empirisme Analitis .............. 108
Ragaan II-j Proses Pengembangan Pengalaman Menurut Empirisme
Analitis ............................................................................. 108
Ragaan II-k Pola Penalaran Empirisme Analitis .............................. 112
Ragaan II-l Model Logika Formal Konstruktivisme Kritis........... 124
Ragaan II-m Pola Penalaran Konstruktivisme Kritis ....................... 127
Ragaan III-a Tiga Tataran Disiplin Hukum ....................................... 147
Ragaan III-b Posisi Partisipan dan Pengamat .................................... 155
Ragaan III-c Langkah-Langkah Penalaran Hukum .......................... 168
Ragaan III-d Sumber-Sumber Hukum ............................................... 172
Ragaan III-e Diagram Relasi Empat Sifat Norma ............................ 178
xviii — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan III-f Gambaran Metode Abduksi ......................................... 183
Ragaan III-g Bentuk-Bentuk Argumentasi ........................................ 190
Ragaan III-h Pola Penalaran Hukum Beraspek Ontologis, Episte-
mologis, dan Aksiologis ................................................. 196
Ragaan III-i Pola Penalaran Aliran Hukum Kodrat......................... 205
Ragaan III-j Pola Penalaran Positivisme Hukum ............................. 212
Ragaan III-k Pola Penalaran Utilitarianisme ...................................... 217
Ragaan III-l Pola Penalaran Mazhab Sejarah .................................... 221
Ragaan III-m Pola Penalaran [American] Sociological Jurisprudence 228
Ragaan III-n Pola Penalaran Realisme Hukum ................................. 234
Ragaan IV-a Hubungan Sibernetis Sistem Hukum dengan Sistem
Lainnya............................................................................. 241
Ragaan IV-b Kebudayaan Indonesia Asli........................................... 245
Ragaan IV-c Kebudayaan Hindu ........................................................ 246
Ragaan IV-d Kebudayaan Islam .......................................................... 247
Ragaan IV-e Kebudayaan Modern Demokratis ................................ 248
Ragaan IV-f Kebudayaan Modern Totaliter ...................................... 248
Ragaan IV-g Sistem Hukum Pasca-Kemerdekaan............................ 257
Ragaan IV-h Sistem Hukum yang Diharapkan ................................. 258
Ragaan IV-i Sistem Hukum Nasional Indonesia ............................. 260
Ragaan IV-j Bangunan Sistem Hukum ............................................. 262
Ragaan IV-k Bangunan Substansi Hukum ......................................... 264
Ragaan IV-l Posisi Para Penstudi Hukum di Indonesia .................. 270
Ragaan IV-m Hubungan Ilmu Politik dan Ilmu Hukum .................. 289
Ragaan IV-n Pola Penalaran Teori Hukum Pembangunan .............. 356
Ragaan V-a Perbandingan Pola Penalaran Konstruktivisme Kritis
dan [American] Sociological Jurisprudence ................ 362
Ragaan V-b Perbandingan Pola Penalaran [American] Sociological
Jurisprudence dan Teori Hukum Pembangunan ........ 363
Ragaan V-c Karakter Multidisipliner dari Kegiatan Penalaran
Hukum ............................................................................. 373
Ragaan V-d Sistematika Disiplin Hukum Abad ke-19 dan 20 ....... 374
Ragaan V-e Disiplin Hukum dan Kerja Sama Multidisipliner ...... 375
dalam Penalaran Hukum ............................................... 375
Ragaan V-f Perbandingan Penalaran Positivisme & Empirisme
Logis,Positivisme Hukum, dan Utilitarianisme .......... 382
Ragaan V-g Perbandingan Rasionalisme Kritis, Positivisme Hukum,
dan Utilitarianisme ......................................................... 384
SHIDARTA — xix
Ragaan V-h Pemaknaan Hukum dan Model Penalaran.................. 396
Ragaan V-i Pola Penalaran Model Ideal untuk Pengembanan
Hukum dalam Konteks Keindonesiaan ...................... 415
Ragaan V-j Perbandingan Pola Penalaran Aliran Hukum Kodrat,
Positivisme Hukum, dan Utilitarianisme ..................... 426
Ragaan V-k Perbandingan Pola Penalaran Mazhab Sejarah, [Ameri-
can] Sociological Jurisprudence, dan Model Ideal ..... 427
Ragaan V-l Perbandingan Pola Penalaran [American] Socilogical
Yurisprudence, Teori Hukum Pembangunan, dan
Model Ideal .................................................................... 430
Ragaan V-m Konstelasi Nilai-Nilai Budaya Menuju Nilai-Nilai Ideal 436
xx — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
SHIDARTA — 1
A. LATAR BELAKANG
Pertanyaan tentang apakah “ilmu hukum” merupakan suatu ilmu
mungkin dianggap sebagai pertanyaan contradictio in terminis. Sekalipun
demikian, pertanyaan ini menjadi penting karena terkait dengan indikator-
indikator yang dikembangkan oleh para ahli, khususnya mereka yang
berkecimpung dalam bidang epistemologi, yang ternyata mengintroduksi
karakteristik1 keil muan yang cenderung diakui lu as di selu ruh dunia. Sete lah
memperbandingkan karakteristik tersebut, banyak pihak, termasuk dari
kalangan penstudi disiplin hukum (ilmuwan, teoretisi, dan filsuf hukum)
sendiri, mulai “ragu-ragu” terhadap sifat keilmuan dari ilmu hukum itu.2
Suatu penelitian yang komprehensif tentang struktur ilmu hukum
sebagaimana dilakukan oleh Bernard Arief Sidharta, membuktikan bahwa
ilmu hukum masih dapat digolongkan sebagai ilmu. Ia termasuk dalam
kelompok ilmu praktis. Posisi ilmu hukum dapat dikatakan unik, karena
perpaduan antara faktor sejarah yang terbilang tua (bersama dengan ilmu
BAB I
DUDUK PERSOALAN
___________________________
1“Karakteristik” berarti ciri-ciri khusus atau mempunyai sifat khas sesuai dengan perwatakan
tertentu. Lihat Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, cet. 4 (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 445.
2Sebagai contoh, Paul Scholten setuju bahwa ilmu hukum termasuk dalam kriteria ilmu,
sementara Langemeijer berpendapat sebaliknya. Baca Visser ‘t Hooft, Filsafat Ilmu Hukum,
terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitan tidak berkala No. 4 Laboratorium Hukum
FH Unpar, 2002), hlm. 13-14. Dari perspektif di luar disiplin hukum, antara lain muncul
komentar Soetandyo Wignjosoebroto yang mengatakan, “Mengikuti tradisi reine Rechtslehre
atau rechtsgeleerdheid atau jurisprudence, ilmu hukum sebagaimana diajarkan di fakultas-fakultas
hukum di Indonesia itu sesungguhnya tidaklah terbilang ke dalam kerabat sains; ilmu hukum
(di) Indonesia tidaklah ditradisikan dalam alur sains sebagai legal science.” Baca lebih lanjut
Soetandyo Wignjosoebroto, “Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial: Perbedaan Ancangan Konsepsi
dan Konsekuensi Metodenya” (makalah disampaikan dalam Penataran Metodologi Penelitian
Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, 4-5 Februari 1994), hlm. 1.
2 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kedokteran) dan objek telaahannya berkenaan dengan tuntutan berperilaku
dengan cara tertentu yang tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak
bebas pribadi yang bersangkutan.3
Menurut B. Arief Sidharta, pada masa sekarang ini, kedudukan ilmu
hukum lebih khusus lagi, karena objek telaahnya bukan hanya hukum
sebagaimana yang biasa dipahami secara tradisional. Ilmu hukum dewasa
ini dituntut untuk menjalankan tugas menciptakan hukum baru dalam
rangka mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang tumbuh dalam
hubungan kemasyarakatan. Dengan demikian objek telaah ilmu hukum
sekarang harus lebih terbuka dan mampu mengolah produk berbagai ilmu
lain, tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut dengan kehilangan khasnya
sebagai ilmu normatif.4
Kekhasan ilmu hukum sebagai bagian dari kelompok ilmu praktis
dengan latar belakang sejarah yang khas itu membawa dimensi epistemologis
yang memerlukan penelaahan mendasar dan sekaligus menarik untuk diteliti.
Ilmu-ilmu yang dianggap “baku” dewasa ini, terlebih-lebih setelah René
Descartes mempublikasikan tulisannya “Le Discours de la Méthode”, mendesak
agar metodologi keilmuan hanya ada satu, yakni seperti yang berlaku pada
ilmu-ilmu alam.5 Penalaran sebagai bagian dari penarikan kesimpulan dalam
metodologi itupun menggunakan pola-pola yang seragam pula. Hal ini
sangat mungkin tidak sepenuhnya dapat diterima karena karakteristik ilmu
hukum itu sendiri sangat khas.
Pada uraian latar belakang ini dibentangkan pengaruh eksternal dan
internal ilmu hukum yang menyebabkan penalaran hukum ini menjadi
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Pengaruh eksternal tersebut berhubungan
dengan kondisi epistemologi yang berskala makro, yang menimpa dunia
keilmuan secara global. Fenomena filsafat ilmu pada akhir Abad ke-20 sangat
besar peranannya dalam memunculkan pertanyaan seputar kedudukan
penalaran hukum (legal reasoning; juridisch redenering) dalam konstelasi
penalaran pada umumnya sebagaimana diterapkan oleh ilmu-ilmu lain,
khususnya di kalangan ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities a tau human sciences).
___________________________
3Lihat Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang
Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional Indonesia (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 113.
4Ibid., hlm. 113-114.
5Descartes seorang matematikus yang berkeinginan menerapkan metode matematika (gemoetri
dan aljabar) itu pada filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karyanya Le Discours de la Méthode (1637)
adalah versi yang lebih lunak dari naskah berjudul Traité du Monde, yang dipersiapkan lebih
dulu tetapi tidak jadi diterbitkannya karena pertimbangan politik waktu itu.
SHIDARTA — 3
Selanjutnya diuraikan pula fenomena perkembangan internal ilmu
hukum di Indonesia sebagai pengaruh yang seharusnya ikut diperhitungkan
sebagai latar belakang.Dimensi keindonesiaan ini memberi makna
konstektual pada permasalahan penalaran hukum tersebut karena fakta-
fakta sosio-politik-kultural, ikut memainkan peranan penting dalam
pembentukan ilmu hukum di Indonesia, termasuk penalaran hukum yang
digunakan.
1. Faktor Eksternal Ilmu Hukum
Ilmu pada akhir abad ke-20 menghadapi perubahan yang sangat radikal.
Perubahan tersebut terjadi pada semua aspek. Ontologi ilmu (science),
misalnya, yang semula penuh percaya diri memaknai ilmu dengan
pendekatan mekanistik (non-animistik) semata, sekarang mulai merambah
ke pemaknaan yang dapat disebut sebagai “supranatural” (mystical worldview).
Tepatnya, dari mechanistic science pada era modern berubah ke arah organismic
science pada era posmodern.6
Salah satu tokoh yang menonjol dalam era posmodern ini adalah David
Ray Griffin, yang mengangkat kembali isu-isu kontekstualisasi dalam
pengetahuan manusia. Ia mendasarkan kerangka berpikirnya dari filsuf
Whitehead, Hartshorne, Heidegger, Derrida, dan Wittgenstein.7 Uraian
Griffin menunjukkan adanya berbagai dimensi dari reenchantment of science
itu. Jika dulu dunia ilmu menggunakan dualisme dan reduksionisme sebagai
paradigma, maka sekarang ini dunia ilmu beralih kepada pendekatan
ekologikal.8 Elemen-elemen yang ditelaah oleh ilmu tidak lagi diprioritaskan
pada hubungan internal di antara mereka, melainkan lebih pada hubungan
eksternal elemen-elemen itu secara keseluruhan dengan alam sekitar.
Menurut Griffin, worldview ilmu yang sudah berubah, dengan sendirinya
menuntut perubahan dalam cara kita melihat ilmu. Untuk itu Griffin
___________________________
6David Ray Griffin, ed., The Reenchantment of Science (New York: State University of New York
Press, 1988), hlm. 354.
7Ibid. hlm. 355-372. Mengenai pengaruh Wittgenstein, J.M. Kelly menulis: “ …In the Britain of
the early 1950s, wrote Neil MacCormick, ‘Jurisprudence as the general study of law and legal ideas was in
the doldrums’. What transformed this scene, awakening much interest also outside the common-law world,
was the infusion into jurisprudence of the new philosophy of linguistic analysis which had arisen from the
work both of Ludwig Wittgenstein, an Austrian who worked for some years at Cambridge, and of a group
of Oxford philosophers, notably J.L. Austin and Gilbert Ryle.” Lihat J.M. Kelly, A Short History of
Western Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1994), hlm. 403.
8Indikasi menguatnya isu-isu ekologis dalam ilmu, misalnya tampak dari diskursus tentang
teori-teori pembangunan berkelanjutan. Aktualisasi isu-isu ekologis ini antara lain dapat dibaca
dalam Anthony Giddens, The Third Way: the Renewal of Social Democracy (Malden: Blackwell,
1999).
4 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
memberikan sejumlah catatan:(1) ilmu tidak lagi dapat dimengerti dengan
hanya membatasi objek kajiannya pada aspek-aspek fisik yang dapat
diobservasi secara inderawi; (2) ilmu tidak perlu terpaku pada satu model
pengujian, seperti harus melalui eksperimen laboratorium, melainkan
tersedia berbagai model pembuktian yang dapat dilakukan; dan ini berarti
(3) ilmu tidak harus terjebak pada pengejaran satu tipe kebenaran
berdasarkan seperangkat keyakinan tertentu.
Konsekuensi lebih lanjut adalah aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis dunia ilmu harus juga berubah (dalam kerangka untuk dipelajari,
diajarkan, dan diterapkan). Perubahan paradigma juga terjadi pada dunia hukum.
Ilmu hukum menjadi lebih aktif mengembangkan teknik-teknik penemuan
hukum yang lebih komprehensif daripada berkeras pada penafsiran tekstual-
gramatikal yang sangat mekanistik dan legalistik seperti diperagakan model
penalaran Positivisme Hukum, yang menjadi fenomena zaman modern. Hal
ini dipertegas pula oleh Douglas E. Litowitz, dengan mengatakan: 9
The postmodern reaction to this line of thought is to argue that reason is
not a uniform faculty in all humankind but rather is socially constructed; it
is always situated within existing practices and discourses, and it will therefore
be biased or slanted in favor of existing power relations.
Pengaruh Posmodernisme seperti yang dikemukakan oleh Griffin
sebelumnya, dapat dikatakan telah menempatkan topik penalaran hukum,
seperti halnya bentuk-bentuk penalaran bidang lainnya, menjadi objek kajian
yang tereaktualisasi. Posmodernisme berupaya membalikkan cara pandang
kaum tradisionalis (baca: modernis) terhadap hukum. Posmodernisme tidak
lagi memfigurkan hukum sebagai Dewi Themis yang memegang pedang
dan timbangan dengan mata tertutup. Themis pada kenyataannya senang
bermain mata dengan pedang dan timbangannya. Ia bukan dewi yang tulus,
tetapi sebaliknya culas dan pilih kasih. Atas nama “timbangan” (keadilan),10
ia ayunkan pedangnya kepada kaum miskin dan minoritas yang
___________________________
9Douglas E. Litowitz, Postmodern Philosophy and Law (Kansas: the University Press of Kansas,
1997), hlm. 11. Namun, tidak semua ahli menyetujui paradigma berpikir posmodernisme.
Kritik keras antara lain diberikan oleh Ernest Gellner, Postmodernism: Reason and Religion ( Lond on:
Routledge, 1992) dan Peter Suber, “Legal Reasoning after Post-Modern Critiques of Reason,”
<http://www.earlham.edu/~peters/ writing/leglreas.htm>, 3 Juli 2000. Menurut kedua
penulis ini, relativitas dalam posmodernisme membawa pengaruh besar pada terciptanya
nihilisme. Gellner bahkan memperingatkan akan munculnya fundamentalisme religius, sehingga
ia mengajak untuk “kembali” kepada fundamentalisme rasionalis sebagai standar yang berlaku
lintas budaya.
10 Bahkan diimbuhi kata-kata “... berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
SHIDARTA — 5
termarginalkan. Sidang-sidang pengadilan menjadi sandiwara dengan biaya
mahal demi memberi legitimasi terhadap skenario kekuasaan.11 Charles
Stampford menggambarkan fenomena ini secara pesimistis dengan
memperkenalkan istilah-istilah seperti “disorder of law” dan “legal mêlée”.12
Konsep negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law)13 pada akhirnya
menjadi objek gugatan. Keyakinan terhadap eksistensi negara hukum,
dengan “equality before the law” sebagai slogan utamanya, adalah roh yang
menghidupi ilmu hukum. Tidak mengherankan, jika roh ini digugat, berarti
keseluruhan bangunan ilmu hukumpun bergetar.
2. Faktor Internal Ilmu Hukum
Perkembangan penalaran senantiasa terkait dengan perkembangan ilmu
yang bersangkutan. Penalaran hukum, dengan demikian, terkait pula dengan
perkembangan internal ilmu hukum. Penalaran hukum adalah persoalan
mendasar yang dari dulu terus menyertai perjalanan diskursus kaum
ilmuwan, teoretisi, dan filsuf hukum dari berbagai aliran pemikiran. Seperti
lazimnya isu-isu yang muncul dalam dunia filsafat, yang terus bergulir
laksana spiral membentuk tema-tema berulang, maka masalah penalaran
hukum pun dapat dianggap sebagai salah satu persoalan klasik yang ternyata
kembali menjadi kajian aktual.
Tentu saja dinamika internal itu memiliki derajat keterpengaruhan yang
bervariasi pada sistem-sistem hukum di berbagai negara. Critical Legal Studies
(CLS), misalnya, yang banyak dianggap sebagai “anak kandung” Legal
Postmodernism dan menolak adanya penalaran hukum yang otonom dan
netral,14 te rbukti belum mampu mengg oya hkan dominasi Positiv isme Hukum
di Indonesia, yang jelas sangat meyakini eksistensi penalaran hukum.
Di dunia Barat, studi tentang penalaran hukum (argumentasi yuridis)
yang berintikan hubungan antara hukum dan logika, mulai berkembang tahun
___________________________
11 Cf. Gary Saalman Jr., “Postmodern Impact: Law,” dalam Dennis McCallum, ed., The Death of
Truth: What’s Wrong with Multiculturalism, the Rejection of Reason and the New Postmodern Diversity
(Minneapolis: Bethany House Publishers, 1996), hlm. 161–177. Baca juga ulasannya dalam
Kurniawan, “Runtuhnya Tafsir Hukum Monolitik: Sk ets a Wacan a Hu kum di Te ngah Mas yar aka t
yang Berubah,” Jurnal Hukum Jentera, edisi 01/Agustus/2002, hlm. 69-79.
12 Charles Stampford, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory (Oxford: Basil Blackwell,
1989).
13 Istilah “rule of law” dipopulerkan antara lain oleh Dicey di lingkungan keluarga sistem common
law, sementara di lingkungan keluarga sistem civil law, dikenal dengan “rechtsstaaat,” antara lain
oleh Kant, Fichte, dan Julius Stahl.
14 Wacks menyatakan, “It (maksudnya CLS, penulis) rejects the view that there is an autonomous and
neutral mode of legal reasoning. This is described as the principle of antiformalism.” Baca Raymond
Wacks, Jurisprudence, edition 4 (London: Blackstone Press, 1995), hlm. 217.
6 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
1980-an dan memperleh perhatian lebih besar dan luas pada tahun 1990-an.
Para penstudinya yang berpengaruh antara lain Richard Wasserstrom, Chaim
Perelman, Jurgen Habermas, Neil MacCormick, Robert Alexy, Aulis Aarnio,
Aleksander Peczenik, dan E.T. Feteris.15 Di antara mereka, nama Neil
MacCormick termasuk yang paling banyak dijadikan acuan melalui bukunya
yang penting: Legal Reasoning and Legal Theory.16
Ilmu hukum adalah bagian dari disiplin hukum yang termasuk
kelompok ilmu praktis. Ia menyandang kekhasan, yakni:17
a. tercatat sebagai salah satu ilmu yang paling dulu berkembang (bersama
dengan ilmu kedokteran);
b. sebagai ilmu normatif yang berdampak langsung terhadap kehidupan
manusia dan masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematiknya
(masalah mendesak yang inheren dalam kehidupan sehari-hari manusia);
c. objek telaahannya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan cara
tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada
kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh
kekuasaan publik;
d. adanya tuntutan perkembangan masyarakat masa kini agar tugas ilmu
hukum lebih banyak terarah pada penciptaan hukum baru, yang
diperlukan untuk mengakomodasi timbulnya berbagai hubungan
kemasyarakatan.
Adanya tuntutan sebagaimana disebutkan dalam butir terakhir
menjadikan ilmu hukum makin dinamis. Sifat ilmu hukum yang lebih
akomodatif itu membuat ilmu hukum tidak saja harus lebih mengerti ilmu-
ilmu lain, melainkan juga harus lebih dimengerti oleh ilmu-ilmu tersebut.
Unsur yang dapat mempertemukan karakteristik keilmuan dari dua kubu
tersebut adalah segi-segi penalarannya.
3. Konteks Keindonesiaan
Bagi dunia hukum Indonesia, perkembangan yang disampaikan di atas
juga mempunyai relevansi yang sangat erat. Ada pertanyaan besar yang
dapat dipertanyakan, yakni seberapa peka ilmu hukum yang berkembang
di Indonesia telah mampu menyerap perubahan-perubahan tersebut,
khususnya dari aspek penalarannya.
___________________________
15 B. Arief Sidharta dalam kata pengantar cetakan kedua untuk buku Hans Kelsen, Hukum dan
Logika, terjemahan B. Arief Sidharta, cet. 2 (Bandung: Alumni, 2002), hlm. xii–xiii.
16 Terakhir buku ini diterbitkan oleh Oxford University Press, 1994. Tokoh lain yang penting
disebutkan di sini adalah H.L.A. Hart, R. Dworkin, dan Joseph Raz.
17 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 113-114.
SHIDARTA — 7
Pada tahun 1973, misalnya, memang pernah diperkenalkan suatu gagasan
baru dalam pembangunan hukum di Indonesia. Konsepsi tersebut
diintroduksi oleh Mochtar Kusumaatmadja, yang kemudian dikembangkan
di Universitas Padjadjaran, yang lalu diberi nama sebagai Teori Hukum
Pembangunan.18 Konsep ini pun sempat pula dimasukkan ke dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara (1973) dan Repelita I. Sayangnya, konsepsi ini
baru dalam tataran normatif, belum menyentuh pada aspek teoretis-akademis,
sehingga bagaimana perubahan “paradigma” pembangunan hukum itu dapat
membawa pada perubahan penalaran hukum, belum tersentuh sama sekali.
Bahkan, sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto menilai, konsep berpikir
kita tentang hukum tidak pernah mengalami perubahan yang berarti, kecuali
mengubah pola “politik sebagai panglima” pada era Orde Lama menjadi
lebih kepada konsep Kelsenian pada era Orde Baru. Dampak dari
perubahan tersebut tidaklah terlalu signifikan karena keduanya tetap
menjadikan hukum mengabdi pada kepentingan-kepentingan politik.
Konsep yang dianut kaum Kelsenian berpandangan bahwa hukum adalah
perintah penguasa (law as a command of lawgivers), sehingga sumber hukum
satu-satunya adalah undang-undang. Aliran filsafat hukum yang disebut
Positivisme Hukum ini menolak identifikasi antara hukum dan moral,
sehingga tujuan hukum hanya satu, yakni kepastian hukum. Soetandyo melihat
jelas bahwa Pemerintahan Orde Baru sangat setia menjalankan kebijakan
demikian. Pada paragraf penutup tulisannya, ia menyatakan: 19
Dalam konstelasi dan konstruksi seperti itu, bolehlah secara bebas dikatakan
di sini bahwa hukum di Indonesia dalam perkembangannya di akhir abad
ke-20 ini benar-benar secara sempurna menjadi government social control dan
berfungsi sebagai tool of social engineering. Walhasil, hukum perundang-
undangan sepanjang sejarah perkembangan pemerintahan Orde Baru telah
menjadi kekuatan kontrol di tangan pemerintah yang terlegitimasi (secara
formal-yuridis), dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan, asas-
asas moral, dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang
sesungguhnya hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam.
Konsep social engineering sendiri tidak mungkin dapat dilakukan tanpa
ada penelitian mendalam tentang hukum yang hidup (living law). Sayangnya,
justru penelitian inilah yang masih sangat kurang dilakukan. Walaupun
___________________________
18 Mengenai ini baca: Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, ed., Filsafat Hukum: Mazhab dan Refleksinya
(Bandung: Remadja Karya, 1989).
19 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu Kajian tentang
Dinamika Sosial-Politik dalam Perekembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di Indonesia (1840-
1990) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 247.
8 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
demikian, problema yang lebih utama tidak sekadar kurangnya penelitian
itu secara kuantitas, tetapi di sini terkait persoalan metodologis, yang di
dalamnya bersinggungan dengan aspek penalaran hukum. C.F.G. Sunaryati
Hartono mengatakan bahwa metode penelitian dan penafsiran hukum
sudah lebih dari 30 tahun diabaikan di Indonesia. Ia mengatakan:20
Tanpa mengingkari perlunya metode penelitian sosiologis untuk mendalami
kenyataan hidup hukum (rechtswerkelijkheid) di tanah air kita, pengalaman-
pengalaman kami, baik di bidang penelitian hukum, tetapi terutama di bidang
pembentukan dan penegakan hukum, apalagi dalam hal perencanaan hukum,
di samping pelaksanaan tugas sehari-hari para hakim, pengacara dan konsultan
menunjukkan bahwa pengabaian metode-metode penelitian hukum yang
notabene justru membedakan sarjana hukum dari sarjana sosial lainnya…
R. Subekti dan R.M. Sudikno Mertokusumo sependapat dengan
sinyalemen Sunaryati Hartono. Menurut mereka, para sarjana hukum
memiliki cara berpikir yang khas, yang disebut juridisch denken yang sulit
dimengerti dan diikuti oleh nonyuris. Dengan demikian apa yang oleh
seorang yuris dianggap “logis” (karena berdasarkan konsep, asas, dan
sistematika hukum yang dikenalnya) belum tentu dianggap logis dan
metodologis oleh bukan yuris, yang kerangka berpikirnya berbeda.21
Apa yang dimaksud dengan menalar secara juridisch denken ini dalam
kenyataannya belum jelas benar. Indikator yang paling memungkinkan untuk
memetakan juridisch denken tersebut adalah dengan mengacu pada aliran-
aliran filsafat hukum. Secara klasikal dikenal sedikitnya enam aliran filsafat
hukum, yakni Aliran Hukum Kodrat, Positivisme Hukum, Utilitarianisme
(Utilisme), Mazhab Sejarah, Sociological Jurisprudence, dan Realisme
Hukum. Aliran lain yang disebut Critical Legal Studies (Crits) dan
Freierechtslehre (Ajaran Hukum Bebas) dapat dianggap sebagai kubu
ekstrem dari Realisme Hukum.
Walaupun juridisch denken tersebut dapat dikaitkan dengan aliran-aliran
filsafat hukum tersebut, Irving Copi tetap mencatat sejumlah problema
yang muncul dalam penalaran hukum yang tidak konsisten mengikuti
“hukum-hukum” penalaran yang lazim dipraktikkan ilmu-ilmu lain.22
Dengan demikian terbuka suatu objek penelaahan yang sangat menarik
tentang perbedaan di antara format-format penalaran dari ilmu hukum
___________________________
20 C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20 (Bandung:
Alumni, 1994), hlm. v–vi.
21 Ibid., hlm. 28.
22 Lihat Irving Copi, Logika dan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (naskah yang tidak
dipublikasikan, 2001).
SHIDARTA — 9
dan ilmu-ilmu pada umumnya sebagaimana lazim dibentangkan dalam
epistemologi. Oleh karena aspek filosofis demikian signifikan untuk
menyoroti objek penelaahan tersebut, maka penelitian tersebut lebih tepat
dilakukan dengan menggunakan metode filsafat.
Di samping itu, faktor keindonesiaan juga harus diperhitungkan sebagai
variabel tersendiri dalam penelitian ini. Faktor keindonesiaan tersebut
memberikan lingkup ruang dan waktu yang membingkai tatanan hukum
yang diteliti. Perjalanan sejarah dengan latar belakang budaya, misalnya,
memberi nuansa yang berbeda terhadap penghayatan dan penerapan aliran-
aliran filsafat hukum tersebut di Indonesia, sekaligus membedakan
penalaran hukum yang diperagakan mereka.
Pergantian rezim penguasa dan suasana politik di Indonesia pasca-
tahun 1998 di sisi lain juga memberi warna tersendiri bagi karakteristik
hubungan hukum dengan masyarakatnya. Ini berarti, Indonesia sebenarnya
merupakan “laboratorium” yang menarik untuk melihat bagaimana sistem-
sistem budaya, sosial, politik, dan ekonomi mempengaruhi karakteristik
penalaran hukum di Indonesia. Dari titik ini selanjutnya dapat dimulai
pencarian terhadap model penalaran hukum yang sesuai untuk kebutuhan
Indonesia dewasa ini.
B. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Buku ini adalah sebuah karya penelitian yang menggali akar filosif
dari penalaran hukum. Tepatnya, penelitian yang tersaji dalam buku ini
bertujuan untuk mengetahui deskripsi tentang karakteristik penalaran
hukum (legal reasoning) yang diasumsikan memiliki kesamaan sekaligus
kekhasan jika disandingkan dengan hukum-hukum penalaran (laws of
reasoning) sebagaimana dikenal dalam model-model penalaran (teori-teori)
dalam diskursus epistemologi. Tujuan lainnya adalah dalam rangka
menganalisis penalaran hukum apa yang sesuai dengan konteks
keindonesiaan (dewasa ini).23
___________________________
23 “Konteks” berarti situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Lihat Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hlm. 552. Kata “Indonesia” di sini sengaja
diberi afiks “ke-an” karena dalam tata bahasa baku bahasa Indonesia, afiks demikian dipakai untuk
membentuk nomina dengan arti umum: keabstrakan yang dinyatakan oleh dasar katanya, keadaan,
atau tempat. Lihat Anton M. Moeliono et al., eds. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, cet. 2 (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988), hlm. 157. Dengan demikian kata “keindonesiaan” mengandung makna yang
lebih abstrak daripada “Indonesia” yakni berarti segala sesuatu yang terkait dengan Indonesia, hal
Indonesia; bukan sekadar Indonesia dalam makna geografis, melainkan juga budaya, politis, sejarah,
dan sebagainya di mana penalaran hukum mendapatkan konteksnya.
10 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan secara teoretis
dan praktis. Kegunaan teoretis mengandung arti bahwa penelitian ini
bermanfaat bagi pengkajian konseptual disiplin hukum (pengembanan
hukum teoretis), sedangkan kegunaan praktis mencakup kemanfaatan dari
segi perwujudan hukum dalam kenyataan kehidupan yang konkret
(pengembanan hukum praktis).
Dari segi kegunaan teoretis, penelitian ini terutama merupakan suatu
sumbangan pemikiran di bidang metailmu hukum (teori hukum) yang
disinyalir sangat kurang diminati di Indonesia, sebagaimana terlihat dari
kelangkaan publikasi bidang ini di Tanah Air.24 Penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh para pengemban hukum teoretis dalam mengkritisi
model-model penalaran yang diwacanakan. Pemetaan model-model
penalaran dengan mengaitkan aspek ontologis, epsitemologis, dan
aksiologisnya sekaligus, dapat dikatakan sebagai pendekatan yang orisinal
dari penelitian ini. Pemetaan model-model penalaran tersebut disadari
merupakan suatu simplifikasi, mengingat tiap-tiap kerangka orientasi
berpikir selalu memiliki varian-varian, namun “bahaya” tersebut dapat
diminimalisasi apabila hasil penelitian ini diperlakukan sebagai aktivitas
ilmiah yang embrional, yang harus dikritisi dan disempurnakan melalui
penelitian lanjutan.
Bagi para pembentuk hukum, hasil penelitian ini berguna untuk mengisi
kebutuhan dasar pada saat suatu produk hukum dikonsiderasikan secara
filosofis. Setiap produk hukum membutuhkan pertimbangan filosofis,
sehingga peraturan perundang-undangan itu tidak sekadar berlaku secara
yuridis (juristische Geltung), melainkan juga secara sosiologis (soziologische
Geltung) dan filosofis (filosofische Geltung).25 Padahal, disadari akhir-akhir ini
betapa keringnya wacana filosofis di ruang-ruang parlemen kita seperti
terlihat dari dangkalnya uraian pandangan yang disampaikan fraksi-fraksi
saat mengantarkan suatu rancangan undang-undang, yang pada gilirannya
juga terlihat pada formulasi minimalis dalam konsiderans “menimbang”
dan penjelasan undang-undang yang bersangkutan. Hasil penelitian ini
mungkin dapat membangkitkan kesadaran tentang betapa pentingnya
landasan filosofis itu diberikan perhatian, termasuk mendorong ke arah
___________________________
24 Sinyalemen demikian juga disampaikan Daniel S. Lev pada sampul belakang Jurnal Hukum
Jentera, Edisi 2, Tahun 2003.
25 Ulrich Klug dalam bukunya “Rechtslucke und Rechtsgeltung” sebagaimana dikutip J.J.H. Bruggink,
Refleksi tentang Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.
148–157 menyebutkan sembilan keberlakuan: (1) yuridis; (2) etis; (3) ideal; (4) riil; (5) ontologis;
(6) sosio-relatif; (7) dekoratif; (8) estetis; dan (9) logikal.
SHIDARTA — 11
diskursus lebih jauh tentang aliran filsafat hukum apa yang sesuai dengan
konteks keindonesiaan saat ini. Apa yang diingatkan oleh Gustav Radbruch,
“Alle großen politischen Wandlungen waren von der Rechtsphilosophie vorbereitet oder
begleitet. Am Anfang stand die Rechtsphilosophie, am Ende die Revolution,”26 sangat
relevan untuk kondisi kekinian Indonesia.
Bagi para akademisi hukum, penelaahan terhadap penalaran hukum dapat
mendorong dilakukannya reorientasi pengajaran ilmu hukum di Indonesia,
sesuatu yang sudah beberapa kali direkomendasikan para ahli hukum.27
Dominasi satu model penalaran saja dalam pengajaran ilmu hukum (akibat
pemahaman tunggal tentang kerangka orientasi berpikir yuridis) adalah
sungguh-sungguh “memiskinkan” daya nalar sarjana-sarjana hukum kita.
Disadari atau tidak, penalaran hukum ala “kaca mata kuda” tersebut akan
memberi warna yang tidak kondusif bagi penegakan hukum di Indonesia.
Salah satu contoh dari suramnya warna penegakan hukum itu adalah
sedikitnya putusan-putusan hakim yang dapat dikategorikan sebagai landmark
decision guna mengisi perbendaharaan yurisprudensi Indonesia.
Sementara itu, bagi akademisi ilmu-ilmu nonhukum, kajian ini dapat
bermanfaat sebagai bahan pembanding, sehingga diharapkan mereka dapat
lebih memahami atau bahkan memanfaatkan dalam taraf-taraf tertentu
karakteristik berpikir khas hukum (juridisch denken) tersebut. Dengan pengertian
ini, kesalahpahaman28 yang sel ama ini diten garai muncul terhadap ca ra berpikir
ilmuwan dan praktisi hukum, dapat sedikit demi sedikit diluruskan.
Akhirnya, bagi semua pihak yang berkepentingan, baik para teoretisi
maupun praktisi berbagai disiplin ilmu yang relevan, dapat pula
menggunakan hasil penelitian ini untuk membangun kerangka berpikir baru
dalam rangka mengevaluasi eksistensi dan kinerja sistem hukum Indonesia.
___________________________
26 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Stuttgart: K.F. Koehler Verlag, 1973), hlm. 96.
27 Li hat ant ara lai n tu lis an M och tar Kusum aat mad ja, Pembaharuan Pendidikan Hukum dan Pembinaan
Profesi (Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad, 1975), hlm. 3-22,
juga hasil studi dengan biaya Bank Dunia yang dilakukan oleh Kantor Hukum ABNR-MKK,
Reformasi Hukum di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Cyber Consult, 2000), hlm. 50-60.
28 Sinyalemen yang paling sering dikutip tentang “kesalahpahaman” ini adalah ucapan Soekarno
(Presiden pertama RI), “Met juristen kunt je geen revolutie maken!” yang disampaikannya di depan
peserta Kongres Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (1961). Ucapan ini dikutipnya dari William
Liebknecht. Kesalahpahaman lain ditunjukkan oleh Apeldoorn ketika mengomentari tulisan
Jerome Frank, Law and the Modern Mind (1949). Frank menyatakan penalaran ahli-ahli hukum
kebanyakan adalah sesuatu wishful thinking. Menurut Apeldoorn, berpikir secara yuridis adalah
berpikir secara normatif, tetapi lain daripada berpikir ilmiah, yang memang mengharuskan
“wishful thinking” seperti dikatakan Frank, karena berpikir yuridis merupakan hal memikirkan
sesuatu yang kita kehendaki sendiri. Baca catatan kaki No. 1 dari L.J. van Apeldoorn, Pengantar
Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, cet. 22 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1985), hlm. 389.
12 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
C. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN
Penalaran hukum secara umum menggunakan prinsip-prinsip
penalaran yang juga biasa dikenal dalam epistemologi, salah satunya,
misalnya, logika deontik.29 Oleh karena adanya karakteristik struktur
keilmuan ilmu hukum yang sangat khas, kesamaan penggunaan logika
deontik itupun (untuk kasus penalaran tertentu) tidak selalu membawa
kepada kesamaan prinsip-prinsip penalaran di antara ilmu-ilmu itu.
Karakteristik dan keunikan dari masing-masing model penalaran inilah
yang menarik untuk dijadikan sebagai permasalahan pokok (core problem)
pertama dalam penelitian ini. Model-model penalaran hukum sebagaimana
diperlihatkan kerangka orientasi berpikir yuridis itulah yang kemudian
menunjukkan konfigurasi karakteristik penalaran hukum yang khas
tersebut.
Model-model penalaran yang ditampilkan ilmu-ilmu pada era modern
ternyata tidak juga mampu memenuhi harapan untuk menciptakan metode
tunggal bagi semua ilmu. Diferensiasi, bahkan pluralisasi metodologis
bahkan menjadi-jadi setelah era pascamodern melanda konstelasi ilmu-
ilmu tersebut. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, yang sebenarnya
bukan hal baru bagi ilmu hukum, kini justru makin dilirik.
Penalaran hukum senantiasa dipengaruhi oleh landasan berpikir
tertentu, yang bersifat sangat mendasar (fundamental). Landasan yang
dimaksud adalah aliran-aliran filsafat hukum. Konfigurasi aliran-aliran
filsafat hukum dengan demikian menjadi permasalahan tersendiri yang
harus diperjelas posisinya dalam mempengaruhi polarisasi penalaran
hukum. Aliran-aliran filsafat hukum yang utama, yang menjadi sorotan
dalam penelitian ini meliputi: (1) Aliran Hukum Kodrat; (2) Positivisme
Hukum; (3) Utilitarianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5) [American] Sociological
Jurisprudence; dan (6) Realisme Hukum. Enam aliran filsafat hukum
tersebut adalah arus utama (mainstream) yang membentuk kerangka orientasi
berpikir yuridis. Dengan demikian, setiap aliran memiliki pola penalaran
yuridis tertentu pula.
___________________________
29 Logika deontik adalah logika yang berurusan dengan konsep-konsep seperti kewajiban,
permisibilitas dan nonpermisibilitas, keharusan, kepatutan, kelayakan, ke dalam suatu sistem
koheren. Lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm.
530. Ernst Mally (1879–1944) dikenal sebagai orang pertama yang mengelaborasi logika deontik
ini dalam monografnya “Grundgesetze des Sollens: Elemente der Logik des Willens” (The Basic Laws
of Ought: Elements of the Logic of Willing) (1926). Ringkasan dari pemikiran Mally dapat dilihat
dalam Gert-Jan Lokhorst, “Mally’s Deontic Logic,” Stanford Encyclopedia of Philosophy,
<http://plato.stanford.edu/entries/mally-deontic/>, 30 Juni 2003.
SHIDARTA — 13
Keberadaan tatanan (sistem) hukum Indonesia yang terbentuk sejak
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, memberi nuansa partikularistik
bagi penalaran hukum di Indonesia. Periodisasi perkembangan hukum di
Indonesia, sebagaimana diteliti oleh Soetandyo Wignjosoebroto, telah
memberi penekanan pendekatan yang berbeda, tetapi harus diakui periode
sepanjang Pemerintahan Orde Baru adalah masa yang paling berpengaruh
terhadap kondisi dominan penalaran hukum di kalangan fungsionaris
hukum Indonesia.30 Oleh karena itu, dukungan data dan analisis terhadap
kondisi keindonesiaan itu menjadi salah satu masalah yang layak
diindentifikasikan dalam penelitian ini.
Dalam konteks keindonesiaan ini, pola penalaran yang dikembangkan
oleh Mochtar Kusumaatmadja melalui Teori Hukum Pembangunannya,
menjadi fenomena menarik untuk juga diteliti. Mochtar menyebutkan
pendekatan pemikiran hukumnya ini dengan sebutan “normatif
sosiologis”.31 Beberapa ahli hukum menyatakan bahwa konsep tersebut
sebenarnya lebih mendekati pandangan aliran filsafat hukum Sociological
Jurisprudence dan Pragmatic Legal Realism.32 Kendati demikian, melalui
sejumlah kajian tampak bahwa dominasi Sociological Jurisprudence pada
pemikiran Mochtar jauh lebih dominan daripada Realisme Hukum itu.
Mochtar sendiri mengakui ada pengaruh dari Eugen Ehrlich dan William
James dalam pemikirannya, di samping Northrop (culture-oriented approach)
serta Lasswell dan McDougal (policy-oriented approach).33
Teori Hukum Pembangunan yang dikembangkan Mochtar Kusuma-
atmadja merupakan “kerangka orientasi berpikir yuridis” lain yang juga
menjadi fokus dalam penelitian ini. Hal tersebut berangkat dari beberapa
alasan. Pertama, konsep yang disampaikan Mochtar ini didasarkan pada
analisisnya tentang kecenderungan aliran filasafat hukum yang tepat untuk
Indonesia (terlepas ada anggapan konsep ini baru merupakan suatu tawaran
___________________________
30 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum…, Op. Cit.
31 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional,” Jurnal Pro Justitia,
Tahun XV, No. 1, Januari 1997, hlm. 3.
32 Lihat Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, ed., Op. Cit., hlm. 21.
33 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (Bandung:
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad, 1976), hlm. 5–10. Tokoh-tokoh
yang mempengaruhinya ini dikonfirmasikan kembali oleh Mochtar dalam wawancara dengan
Shidarta di MKK Law Firm, Jakarta, 3 Juni 2003. Untuk pemikiran Lasswell dan McDougal,
istilah yang disebut Mochtar adalah “policy-oriented approach,” namun dalam karya asli dari kedua
penulis itu digunakan istilah “policy-oriented jurisprudence” atau “policy-oriented theory.” Lihat Harold
D. Lasswell & Myres S. McDougal, Jurisprudence for A Free Society: Studies in Law, Science and
Policy, vol. 1 (New Haven: New Haven Press, 1992), hlm. 21, 182.
14 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
pendekatan saja, bukan teori apalagi aliran). Dengan demikian, pola
penalaran dalam Teori Hukum Pembangunan tadi adalah pola penalaran
yang telah diberi bobot keindonesiaan. Kedua, apa yang disebut Teori
Hukum Pembangunan itupun secara konseptual telah diterima dalam
tataran normatif, tepatnya (pertama kali) dalam Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Teori Hukum Pembangunan tidak dapat dipisahkan dari paradigma
pembangunan yang dijalankan sejak Orde Baru mengambil alih tampuk
pemerintahan di Indonesia. Selama tiga dekade Indonesia mencatat prestasi
yang mengesankan dalam pembangunan ekonominya. “Success story” ini
ternyata tidak disokong fondasi yang kuat, sehingga sangat rapuh pada
saat ditimpah krisis. Antara tahun 1997 dan 1998 inflasi meningkat dari
6% menjadi 78%, sementara upah riil turun menjadi hanya sekitar sepertiga
dari nilai sebelumnya. Akibatnya, kemiskinan meningkat tajam. Antara tahun
1996 dan 1999 proporsi orang yang hidup di bawah gari kemiskinan
bertambah dari 18% menjadi 24%.34 Pada saat peluncuran manuskrip yang
memuat indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia,
yang menempatkan Indonesia pada urutan 112 dari 175 negara yang
disurvai, Menteri Perencanaan Pembangunan/Ketua Bappenas
menandaskan bahwa Indonesia membutuhkan perubahan paradigma
pembangunan.35
Dengan adanya desakan untuk mengubah paradigma pembangunan
ini, menjadi penting pula untuk meninjau seberapa jauh kesesuaian Teori
Hukum Pembangunan tersebut (sebagai suatu model penalaran) dengan
konteks keindonesiaan dewasa ini. Untuk menjawab model penalaran
tersebut, peninjauan tentang konsep-konsep pengembanan hukum36
(rechtsbeoefening) di Indonesia harus termasuk dalam wilayah kajian ini.
Pengembanan hukum di Indonesia adalah kegiatan manusia berkenaan
dengan adanya dan berlakunya hukum di Indonesia, yang secara keseluruhan
meliputi pengembanan hukum teoretis dan praktis. Pengembanan hukum
___________________________
34 BPS-Statistics Indonesia, Bappenas, & UNDP Indonesia, “Toward A New Consensus:
Democracy and Human Development in Indonesia (Indonesia Human Development Report
2001),” <http://www.undp.or. id/publications/ihdr2001/ringkasan_eksekutif.asp>, 14 Juli
2003.
35 M. Taufiqurrahman, “Development Needs Paradigm Shift,” The Jakarta Post, 10 July 2003,
hlm. 1.
36 Dalam penjelasan lisannya, B. Arief Sidharta menyebutkan istilah lain yang berkonotasi sama
yaitu “pereksaan hukum.” Ia sendiri lebih cenderung memilih terminologi “pengembanan
hukum” sebagaimana tampak dari banyak tulisannya. Lihat antara lain B. Arief Sidharta,
Refleksi..., Op. Cit., hlm. 148–155.
SHIDARTA — 15
teoretis adalah kegiatan akal budi untuk memperoleh penguasaan intelektual
tentang hukum atau pemahaman hukum secara ilmiah. Tataran analisisnya
mencakup tiga tingkat abstraksi, yaitu: (1) ilmu-ilmu hukum, baik ilmu
hukum normatif maupun empiris; (2) teori hukum; dan (3) filsafat hukum.
Sementara pengembanan hukum praktis mencakup kegiatan mewujudkan
hukum dalam kenyataan sehari-hari secara konkret, yakni dalam bentuk:
(1) pembentukan hukum; (2) penemuan hukum; dan (3) bantuan hukum.37
Dalam Tabel I-2 terlihat bahwa aktivitas pengembanan hukum praktis ini
mencakup pula kegiatan birokrasi pemerintahan.
Mengingat demikian luas kajian penalaran hukum ini, maka pembatasan
ruang lingkup penelitian tentu perlu dilakukan. Sebagaimana akan
dibentangkan dalam kerangka berpikir di bawah, maka duduk permasalahan
yang ingin diteliti berangkat dari perihal yang paling mendasar dari penalaran
hukum itu sendiri, yakni karakteristiknya. Karakteristik penalaran hukum
ini diperagakan melalui model-model penalaran yang dikenal secara klasikal.
Apabila dihubungkan dengan konteks keindonesiaan dewasa ini, tampaknya
ada kebutuhan untuk menemukan model penalaran, yang di satu sisi tetap
konsisten dengan karakteristik penalaran hukum itu, namun di sisi lain
telah mengakomodasi nilai-nilai keindonesiaan tersebut.
Akhirnya, berdasarkan uraian di atas, dapatlah diformulasikan secara
singkat dua rumusan masalah yang ingin dicari jawabannya dalam penelitian
ini, yakni: (1) apa karakteristik penalaran hukum (legal reasoning) itu; dan (2)
model penalaran hukum apa yang sesuai (ideal) dengan konteks
keindonesiaan dewasa ini?38
D. KERANGKA BERPIKIR
Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam
tiga tataran teori. Pada tataran grand theory ditampilkan teori di bidang
epistemologi. Teori tersebut menyajikan suatu model penalaran. Dalam
model penalaran itu terdapat jalinan pola-pola penalaran. Tataran grand
theory ini memberi dasar pemahaman tentang pola penalaran ilmu-ilmu pada
umumnya (laws of reasoning). Dalam hal ini, dipilih teori (model penalaran)
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis. Pada tataran middle- range theory,
dipilih suatu kerangka orientasi berpikir yuridis dari salah satu aliran filsafat
___________________________
37 Lihat D.H.M. Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro
Justitia, Tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 61–81.
38 Penjelasan tentang “karakteristik” dan “konteks keindonesiaan”, supra catatan kaki No. 1 dan 22.
16 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
hukum, yaitu Sociological Jurisprudence, sedangkan pada tataran applied
theory, dipilih Teori Hukum Pembangunan. Alasan pemilihan teori-teori ini
dikemukakan pada akhir subbab ini.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab
dua rumusan permasalahan yang telah ditetapkan. Alur pikir dalam ragaan-
ragaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ada tiga konsep besar yang menjadi pilar bangunan penelitian ini.
Pertama, konsep tentang model-model penalaran hukum (models of legal
reasoning). Pada Ragaan I-a, konsep ini diletakkan pada lingkaran di
tengah. Dalam buku karya J.W. Harris, model-model penalaran hukum
ini disebut dengan istilah models of rationality. Menurut Harris, “By a
‘model of rationality’ is meant a class of reasons which may be cited by an official
in order to justify a legal decision when more than one decision can be given without
infringing legality or constitutionality. It is not a description of the psychological
processes by which officials reach decisions.”39 Konsep penalaran hukum ini
adalah pilar utama bagi keseluruhan objek penelitian ini. Kedua, model-
model hukum penalaran (laws of reasoning) yang diletakkan pada
lingkaran paling kiri. Model-model ini muncul dalam wacana
epistemologi. Ketiga, deskripsi permasalahan penalaran hukum dalam
konteks keindonesiaan, yang diposisikan pada lingkaran paling kanan.
2. Antara konsep pertama dan kedua ini terdapat perbedaan yang
berangkat dari karakteristik masing-masing. Kedua konsep tersebut
dikemukakan melalui pendekatan descriptive study. Dalam ragaan-ragaan
berikut, upaya melakukan descriptive study terhadap dua konsep ini disebut
kerangka berpikir “A”. Kerangka berpikir ini menggiring ke arah
jawaban bagi rumusan permasalahan pertama. Hubungan antara
konsep model-model penalaran hukum dan konsep permasalahan
penalaran hukum dalam konteks keindonesiaan, selanjutnya dibingkai
dengan kerangka berpikir “B”. Kerangka berpikir ini menuntun
analytical study guna menjawab rumusan permasalahan kedua. Kedua
kerangka berpikir yang disinggung pada butir 2 dan 3 di atas
diilustrasikan dalam Ragaan I-a. Selanjutnya, masing-masing pada
Ragaan I-b dan I-c diskemakan lebih jauh tentang kerangka berpikir
“A” dan kerangka berpikir “B.”
___________________________
39 J.W. Ha r ri s, Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System (Oxford:
Clarendon Press, 1982), Bab V. Dalam terminologi lain, model demikian bisa juga disebut
“paradigma.”
SHIDARTA — 17
3. Pada kerangka berpikir “A,” pada pilar sebelah kiri, diletakkan konsep
hukum penalaran (laws of reasoning). Dalam melihat model-model
penalaran tersebut pertama-tama ditetapkan sudut pandang yang
digunakan. Ada dua sudut pandang yang digunakan untuk meneropong
model-model penalaran tadi, yaitu (1) dari kaca mata kelompok ilmu-
ilmu; serta (2) dari situasi keilmuan pada jaman modern dan posmodern.
Selanjutnya, dikemukakan aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis keilmuan, yang kemudian berakhir pada peragaan model-
model penalaran yang dikenal sebagai teori-teori pertumbuhan
pengetahuan ilmiah. Model-model itu meliputi: (1) Positivisme dan
Empirisme Logis; (2) Rasionalisme Kritis; (3) Empirisme Analitis; dan
(4) Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis.
4. Pilar sebelah kanan kerangka berpikir “A” menunjukkan konsep
penalaran hukum (legal reasoning), yang penjabarannya juga
menggunakan sudut pandang tertentu dan aspek-aspek konseptual
ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari penalaran hukum tersebut.
Konsep-konsep tersebut terkait dengan pemaknaan hakikat hukum
yang berbeda antara satu penstudi dengan penstudi lainnya (Tabel I-
1). Sudut pandang yang digunakan adalah dari optik keluarga sistem
hukum dan pembedaan partisipan (medespeler) dengan pengamat
(toeschouwer). Mereka semua adalah para penstudi hukum. Ada tiga
kemungkinan posisi partisipan-pengamat ini, yaitu: (1) partisipan; (2)
partisipan sekaligus pengamat; dan (3) pengamat. Khusus untuk
partisipan, terdapat dua kemungkinan posisi, yakni sebagai pengemban
hukum praktis dan pengemban hukum teoretis (lihat Ragaan I-d).
Penjelasan mendalam tentang dasar dan latar belakang pembedaan
posisi-posisi ini diberikan pada bab-bab selanjutnya dari tulisan ini,
namun secara singkat dapat ditunjukkan bahwa penstudi hukum yang
berposisi sebagai pengamat adalah mereka yang bukan berangkat dari
disiplin hukum,40 sekal igus juga tidak menj adika n sis tem h ukum ( suat u
___________________________
40 Ada pandangan yang memasukkan ilmu-ilmu seperti sejarah hukum, sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, sebagai bagian dari disiplin hukum juga. Ilmu-ilmu ini
dimasukkan ke kelompok ilmu-ilmu empiris hukum atau ilmu tentang kenyataan hukum.
Dengan demikian disiplin hukum terdiri atas (1) ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum,
ilmu hukum positif), (2) ilmu-ilmu hukum empiris, (3) teori hukum, dan (4) filsafat hukum.
Tampaknya klasifikasi demikian perlu dikritisi, mengingat ilmu-ilmu hukum empiris ini adalah
cabang dari ilmu lain yang nondisiplin hukum, sehingga istilah ilmu-ilmu hukum empiris ini
seharusnya lebih tepat diganti menjadi ilmu-ilmu empiris yang berojekkan hukum (ilmu-ilmu
empiris hukum).
18 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
negara) sebagai dasar studi mereka. Mereka ini adalah para sejarahwan
hukum, sosiolog hukum, antropolog hukum, psikolog hukum, ahli
politik hukum, dan sebagainya. Sebaliknya, para penstudi yang
berangkat dari disiplin hukum dan menjadikan sistem hukum sebagai
dasar studi mereka adalah para pengemban hukum, baik yang teoretis
maupun praktis. Dasar pembedaan keduanya terletak pada pandangan
mereka terhadap sistem (norma) hukum positif. Sementara itu, pada
posisi antara terletak para penstudi hukum yang menggunakan model
penalaran Sociological Jurisprudence. Mereka berstatus partisipan
sekaligus pengamat. Alasan peletakan posisi inipun menjadi bagian
dari penjelasan bab-bab selanjutnya.
5. Semua deskripsi kemudian bermuara pada model-model penalaran
hukum, yang mencakup: (1) Aliran Hukum Kodrat; (2) Positivisme
Hukum; (3) Utilitarianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5) [American]
Sociological Jurisprudence; dan (6) Realisme Hukum. Model-model
penalaran ini sering dikenal sebagai aliran-aliran filsafat hukum yang
menjadi kerangka orientasi berpikir yuridis utama dalam disiplin hukum.
Aliran-aliran filsafat hukum tentu lebih dari enam tersebut, namun
aliran-aliran di atas merupakan konstelasi kerangka berpikir yuridis
klasikal. Beberapa aliran “sempalan” dari aliran klasik tersebut, seperti
Freirechtslehre dan Critical Legal Studies, juga disinggung sekadar
memperkaya uraian atas salah satu mainstream aliran klasikal tersebut.
6. Pilar sebelah kanan pada kerangka berpikir “A” selanjutnya dijadikan
pilar sebelah kiri pada Ragaan I-c. Pilar kiri dan kanan ini ditelaah
melalui studi analitis. Pilar kanan tersebut menampilkan konsep
penalaran hukum dalam konteks keindonesiaan. Sudut pandang yang
digunakan adalah para pengemban hukum teoretis dan praktis. Di sini
juga dibicarakan aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis
yang mengiringi perjalanan sistem hukum Indonesia, serta model-
model yang menandai periode-periode tertentu dalam perkembangan
sistem hukum Indonesia tersebut. Sejak tahun 1973, misalnya, secara
normatif diterima suatu pandangan yang oleh Mochtar Kusuma-
atmadja disebut Teori Hukum Pembangunan. Jika diasumsikan teori
ini sebagai model penalaran, maka teori inipun akan dikritisi dalam
rangka mencari model penalaran hukum yang sesuai (ideal) untuk situasi
Indonesia dewasa ini.
7. Untuk menjawab permasalahan kedua, secara lebih komprehensif, alur
pikirnya dapat diilustrasikan kembali seperti dalam Ragaan I-e. Konsep-
SHIDARTA — 19
konsep penalaran hukum dengan karakteristiknya yang khas tersebut
(yang lahir terutama berkat kolaborasi antara logika dan bahasa41) berada
dalam tataran diskursus grand theories, kemudian diaplikasikan ke dalam
sistem hukum Indonesia dalam tataran diskursus middle- range theory.
Penerapan ini ditangkap secara berbeda-beda antara tiga posisi penstudi
hukum, yaitu partisipan, partisipan sekaligus pengamat, dan pengamat.
Cara melihat hukum ini mempunyai implikasi terhadap pengembanan
hukum, baik pengembanan hukum teoretis dan praktis. Pengembanan
hukum teoretis berkaitan dengan kajian disiplin hukum yakni ilmu
hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Sementara pengembanan
hukum praktis bersentuhan dengan aktivitas pembentukan hukum,
penemuan hukum, bantuan hukum, birokrasi pemerintahan (Tabel 1-
2) dalam tataran diskursus applied theory. 42 Peng embanan hukum prakti s
yang diketengahkan dalam penelitian ini diberi konteks keindonesiaan.
Pengembanan hukum praktis ini dalam derajat tertentu memiliki
hubungan yang erat dengan pengembanan hukum teoretis, khususnya
dalam tataran ilmu hukum. Sebagai akibat lebih lanjut dari perbedaan
konsep (ancangan) dalam sistem hukum dan disiplin hukum itu tadi,
kemudian lahirnya dua kelompok ilmu hukum, yaitu ilmu hukum dalam
persepektif normatif (internal) dan empirikal (eksternal).
Dipilihnya tiga tataran teori: (1) Hermeneutika dan Konstruktivisme
Kritis; (2) Sociological Jurisprudence; dan (3) Teori Hukum Pembangunan,
disertai alasan-alasan tertentu.
1. Sebagaimana digambarkan dalam Bab II, Hermeneutika dan Konstruk-
tivisme Kritis adalah dua model penalaran yang terkait sangat erat.
Konstruktivisme tidak mungkin ada tanpa bangunan hermeneutis di
dalamnya. Oleh karena itu keduanya dibicarakan sec ara bersam aan sebagai
satu kerangka berpikir ilmiah. Dibandingkan dengan model penalaran lain,
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis memiliki keistimewaan karena
menjadi “state of the art” dalam teori-teori epistemologis era posmodern
dan sejak awal sengaja didesain untuk lebih “akrab” dengan ilmu-ilmu
yang berbasis sosial atau kemanusiaan (ilmu hukum diasumsikan termasuk
dalam kelompok ini). Di sisi lain, Hermeneutika sendiri bukan model
___________________________
41 Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis dapat digunakan untuk penalaran berbagai disiplin
dengan soko guru kajiannya pada logika dan bahasa. Untuk penalaran hukum, logika dan
bahasa ini akan dilengkapi dengan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain nondisiplin hukum. Uraian
mengenai ini dapat ditemukan dalam Subbab A Bab V.
42 Lihat penjelasan ini dalam B. Arief Sidharta, Refleksi …, Op. Cit., hlm. 84 et seq.
20 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
penalaran yang asing bagi disiplin hukum. Hans-Georg Gadamer dalam
bukunya “Truth and Methods” mengatakan:43
Legal hermeneutics is, then, in reality no special case but is, on the
contrary, fitted to restore the full scope of the hermeneutical problem
and so to retrieve the former unity of hermeneutics, in which jurist and
theologian meet the student of the humanities.
2. Sociological Jurisprudence, sebagaimana diuraikan lebih jauh dalam Bab
III, menunjukkan sifat eklektisnya yang kuat. Model ini berangkat dari
keluarga sistem common law, khususnya Amerika Serikat, namun
kelebihannya dalam mengawinkan antara ketertutupan logika Positivisme
Hukum dan keterbukaan logika Mazhab Sejarah telah menarik perhatian
banyak penstudi hukum di lingkungan keluarga sistem civil law. Bagi sistem
hukum Indonesia, yang sebagian masih disokong oleh unsur hukum
adat, penempatan model penalaran Sociological Jurisprudence ini juga
membuka arah pemahaman yang lebih holistik. Sebagaimana dikatakan
Soetandyo Wignjosoebroto, hukum adat sebenarnya hanya akan
menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law.44 Ini
berarti, untuk konteks keindonesiaan, cara pandang partisipan sekaligus
pengamat ala [American] Sociological Jurisprudence yang dijiwai keluarga
sistem common law ini merupakan kerangka berpikir yang tepat karena
terhindar dari perspektif satu arah jika hanya menggunakan Positivisme
Hukum yang identik sebagai model penalaran dari keluarga sistem civil
law. Status penstudi Sociological Jurisprudence sebagai partisipan
sekaligus pengamat ini juga menjadi alasan lain untuk menempatkan
aliran ini sebagai kerangka berpikir karena ia menggunakan pola penalaran
yang mungkin paling komprehensif dibandingkan model penalaran
klasikal manapun yang disinggung dalam penelitian ini.
3. Teori Hukum Pembangunan termasuk teori yang lahir karena
ketertarikan Mochtar Kusumaatmadja terhadap Sociological
Jurisprudence (dan Pragmatic Legal Realism). Sebagai model penalaran
hukum, teori ini dijadikan applied theory karena memang dirancang oleh
Mochtar Kusumaatmadja dengan melihat kebutuhan-kebutuhan
pembangunan di Indonesia. Konsep berpikir versi Teori Hukum
Pembangunan ini juga telah diterima secara normatif sebagai konsep
pembinaan hukum di Indonesia sejak 1973. Dengan demikian, Teori
___________________________
43 Gregory Leyh, ed., Legal Hermeneutics: History, Theory, and Practice (Berkeley: University of
California Press, 1992), hlm. xi.
44 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum..., Op. Cit., hlm. 134–135, 201–202.
SHIDARTA — 21
Hukum Pembangunan memiliki kedekatan dengan grand theories dan
middle-range theory d engan meleta kkannya dalam ruang lingkup keluarg a
sistem civil law, atau lebih khusus lagi, dalam konteks keindonesiaan.
Tabel I-1:
Hubungan Konsep Hukum, Tipe Kajian, dan Metode Penelitian45
___________________________
45 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum, Tip e Kaj ian dan Met ode Penel iti ann ya,” m aka lah
disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makassar, 4-5 Februari 1994, hlm. 3.
22 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan I-a: Kerangka Berpikir dalam Penelitian
SHIDARTA — 23
Ragaan I-b: Kerangka Berpikir “A”
24 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan I-c: Kerangka Berpikir “B”
SHIDARTA — 25
Ragaan I-d: Posisi Penstudi Hukum
Ragaan I-e: Alur Analisis Kerangka Berpikir “B”
26 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
E. METODE PENELITIAN
Ada banyak cara mengklasifikasikan sekaligus memberi nama metode-
metode penelitian. Tanpa harus terjebak kepada keragaman teknik
pembedaan dan predikat metodologi demikian, penelitian inipun memilih
terminologi metode penelitiannya dengan istilah studi “deskriptif ” dan
“analitis”. Jujun S. Suriasumantri menjelaskan penelitian “deskriptif versus
analitis” ini dengan mendasarkan ulasannya pada tiga golongan penelaahan
ilmiah. Golongan pertama disebutnya dengan penelitian deskriptif, dan
dua golongan berikutnya sebagai penelitian analitis. Ia menulis:46
Penelaahan ilmiah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga
golongan. Golongan pertama adalah penelaahan yang mencoba
mengklasifikasikan objek-objek berdasarkan kategori tertentu. Kategori ini
dapat mempergunakan berbagai kriteria seperti ukuran atau sistem
nomenklatur.... Pada hakikatnya penelaahan golongan pertama merupakan
upaya untuk mendeskripsikan variabel yang kita teliti secara mandiri tanpa
dikaitkan dengan variabel-variabel lain baik yang bersifat membandingkan
maupun menghubungkan... Penelitian yang bersifat memperlakukan variabel
secara mandiri ini saya namakan penelitian deskriptif.
Di samping penelitian yang bersifat deskriptif ini terdapat penelitian yang
bersifat analitis. Penelitian yang bersifat analitis tidaklah semata mencoba
menemukan variabel secara mandiri tetapi kemudian membandingkan atau
menghubungkannya dengan variabel-variabel lain. Kemajuan di bidang ilmu
pada dasarnya dapat dikembalikan kepada tiga tahap perkembangan yakni
mengklasifikasikan, membandingkan dan menghubungkan. Senapas dengan
pernyataan itu maka kegiatan penelitian pun dapat dibagi ke dalam tiga
golongan yang setara pula yakni deskriptif, komparatif, dan kausal/asosiatif.
Penelitian yang bersifat membandingkan dan menghubungkan mempunyai
perbedaan yang hakiki dengan penelitian yang bersifat mengklasifikasikan.
Perbedaan ini terletak pada adanya analisis yang merupakan dasar penarikan
kesimpulan mengenai ada atau tidaknya perbedaan dan hubungan yang
dimaksudkan. Secara epistemologis kegiatan penelitian ilmiah mempunyai
dua tipe analisis yakni, pertama analisis yang bersifat teoretis yang merupakan
kerangka pikir bagi pengajuan hipotesis dan, kedua, analisis yang bersifat
inferensial yang merupakan penarikan kesimpulan dari data empiris yang
dikumpulkan.
Penelitian ini juga dapat dikatakan menggunakan metode [penelitian]
filsafat. Suatu metode, yang menurut Moh. Nasir, adalah satu dari empat
___________________________
46 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik: Sebuah Dialog tentang
Dunia Keilmuan Dewasa Ini (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 61–62.
SHIDARTA — 27
metode penelitian yang paling banyak digunakan sejak tahun 1914.47 Apa
yang dimaksud dengan metode penelitian filsafat sendiri tentu
membutuhkan penjelasan panjang lebar, namun untuk mudahnya dibedakan
oleh Anton Bakker dan Ahmad Charris Zubair dalam sepuluh macam.
Kesepuluh metode filsafat tersebut adalah: (1) interpretasi; (2) induksi dan
deduksi; (3) koherensi intern; (4) holistik; (5) kesinambungan historis; (6)
idealisasi; (7) komparasi; (8) analogikal; (9) deskripsi; dan (10) heuristika.48
Metode-metode tersebut dapat dirunut akarnya dalam dua tradisi filsafat,
yakni tradisi Kontinental dan Inggris.49 Metode demikian kiranya sejalan
dengan grand theories yang dipilih sebagai pisau analisis dalam penelitian ini,
yaitu Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis. Keduanya tidak dapat
melepaskan diri dari aktivitas tafsir-menafsir (interpretasi). Oleh karena
itu, metode interpretasi merupakan pilihan yang absolut dalam metode
penelitian ini. Di sisi lain, mengingat penelitian ini bersifat deskriptif dan
analitis, maka metode komparasi, analogikal, dan deskriptif juga menjadi
bagian yang tidak terpisahkan.
Terlepas dari itu semua, sangat disadari bahwa pendekatan filsafat yang
holistik tidak pernah membiarkan dirinya terjerumus dalam sekat-sekat
metodologis seperti itu. Sebagai contoh, landasan teoretis yang berada dalam
tataran middle-range dan applied (Soci ologica l Ju risp rudence dan Teori Hukum
Pembangunan) hanya mungkin dipahami apabila ditelaah dengan melihat
kesinambungan historis, idealisasi, koherensi intern, heuristika, dan
seterusnya.
Teori-teori di atas semata-mata dibutuhkan untuk membantu
memberikan pengarahan dalam menjawab kedua rumusan permasalahan.
Teori-teori tersebut dengan demikian merupakan alat bantu untuk melihat
permasalahan secara lebih terfokus. Sekalipun demikian, penelitian ini tidak
bertujuan untuk menguji hipotesis. Hasil penelitian ini sangat mungkin
justru merupakan “hipotesis” itu sendiri.
___________________________
47 Moh. Nasir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), hlm. 53.
48 Anton Bakker & Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1994).
Lihat juga: Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, cet 2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986). Untuk
penjelasan singkat tentang metode filsafat, baca: Shidarta, Dasar-Dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari
Filsafat Hukum (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara, 1999), hlm. 5–10.
49 Peter Caws dalam kata pengantarnya menulis: “Philosophy in the twentieth century, to oversimplify
matters somewhat, has been split between two traditions, the continental and the British (although a good deal
of recent work in the latter has been done in Warsaw, Vienna, and the United States). The first is rationalist
and methaphysical, the second empiricist and logical; and there has been regrettably little exchange of ideas
between them.” Lihat J.M. Bocheñski, The Methods of Contemporary Thought, terjemahan Peter
Caws (New York: Harper Torchbooks, 1965), hlm. ix-x.
28 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Penelitian ini mengandalkan data sekunder dengan studi dokumen
sebagai instrumen utamanya. Sumber data formalnya terutama berupa
pendapat para ahli (doktrin) yang tertulis dalam buku-buku teks di bidang
epistemologi, yang memuat kajian mendalam tentang logika, baik logika
dalam ilmu-ilmu pada umumnya maupun logika hukum. Dengan perkataan
lain, penelitian ini pada akhirnya mempertautkan antara hukum penalaran
dan penalaran hukum. Kategori yang pertama (hukum penalaran)
mengandung arti penalaran-penalaran yang terpola secara umum,
sebagaimana diterapkan pada ilmu-ilmu pada lazimnya. Sementara penalaran
hukum lebih menjurus kepada spesifikasi penalaran di bidang ilmu hukum.
Suatu kajian khas teori hukum yang sangat mengandalkan instrumen logika
dan bahasa.
Konfigurasi pemikiran filsafat, seperti ditampilkan melalui aneka aliran
filsafat hukum menjadi kajian pendukung. Sumber data formalnya juga
berasal dari buku-buku teks di bidang filsafat hukum. Data pendukung
juga berupa wawancara dengan narasumber yang memiliki pemikiran-
pemikiran signifikan terhadap penelitian ini, yakni Mochtar Kusumaatmadja.
Tokoh ini dipilih karena memiliki peran penting dalam perancangan
pembangunan hukum nasional dalam dua dasawarsa terakhir, antara lain
melalui Teori Hukum Pembangunannya.
Terkait dengan segi penalaran hukum sebagaimana diterapkan dalam
praktik sehari-hari, C.J.M. Schuyt menyebutkan empat organisasi
pengemban hukum yang menjalankan aktivitas tersebut, seperti Tabel I-2
di bawah ini.
Tabel I-2
Organisasi dalam Sistem Hukum50
___________________________
50 C.J.M. Schuyt, Recht en Samenleving: Centrale Problemen, Alternatieven en Overzichten (As sen: van Goc um,
1981), hlm. 17 dalam: B.R. Rijkschroeff, Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, editor Wila
Chandrawila Supriadi, terjemahan F. Tengker (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 114. Kata
“sistem” aslinya ditulis “tatanan.” Terkait dengan organisasi-organisasi dalam tabel tersebut,
SHIDARTA — 29
Untuk keperluan analisis sekitar penalaran hukum praktis dalam
konteks keindonesiaan, tidak semua organisasi di atas dipilih sebagai objek
kajian. Organisasi yang dipilih hanyalah peradilan. Objek kajian peradilan
adalah berupa sebuah putusan hakim51 yang terbit dalam periode terakhir
perkembangan hukum di Indonesia, yakni periode tahun 1966 sampai
sekarang.52 Pemilihan atas putusan hakim sebagai objek kajian dan periode
terakhir ini sebagai lingkup waktu, didasari sejumlah alasan:
1. Penalaran hukum yang paling komprehensif dilakukan pada pekerjaan
hakim di peradilan.53 Dengan mengangkat putusan hakim Indonesia
sebagai contoh penalaran hukum praktis akan memberikan contoh
yang paling konkret tentang bagaimana penalaran hukum tersebut
diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan.
2. Suatu aliran filsafat hukum dapat saja memiliki pengaruh besar pada
periode tertentu, namun aliran pemikiran lainnya pun tidak lalu berarti
kehilangan eksistensinya pada periode tersebut. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, sesungguhnya keputusan yang arbitrary untuk
memilih periode pasca-1966 dalam penelitian ini diyakini tetap mampu
mengetengahkan konfigurasi orientasi berpikir yuridis sebagaimana
diperlihatkan oleh semua aliran filsafat hukum itu.
_________________________________________________________
perlu juga diperhatikan penjelasan Harold J. Berman, bahwa penalaran hukum tidak hanya
mencakup aktivitas intelektual hakim, melainkan “…to include the types of reasoning used in other
kinds of legal activity, such as making laws, administering laws, the trial (and not merely the decision) of cases
in court, the drafting of legal documents, and the negotiation of legal transactions.” Harold J. Be rman , “Legal
Reasoning,” dalam International Encyclopedia of Social Sciences, ed. 1972, hlm. 197.
51 Istilah putusan berbeda dengan yurisprudensi. Secara teknis “putusan” juga dibedakan dengan
“penetapan” karena yang pertama mengacu pada produk peradilan contentieus, sementara yang
kedua produk peradilan voluntair. Tentang pengertian yurisprudensi dan peranannya sebagai
sumber hukum, lihat Lie Oen Hock, “Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum,” (pidato
pengukuhan guru besar luar biasa dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masjarakat, Universitas Indonesia, Djakarta, 19 September 1959).
52 Ada tiga periode besar perkembangan hukum Indonesia menurut Soetandyo Wignjosoebroto,
yaitu: (1) Bagian I, antara tahun 1840-1890, (2) Bagian II, antara tahun 1890-1940, dan (3) Bagian
III, periode 1940-sekarang. Tiap-tiap bagian ini dipecah lagi menjadi beberapa subbagian. Khusus
pada Bagian III terdapat satu subbagian yang menunjukkan periode Pemerintahan Orde Baru,
antara tahun 1966-1990. Tahun 1990 ini digunakan Soetandyo sebagai batas terakhir tahun
penelitiannya. Lihat lebih lanjut Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial…, Op.Cit.
53 Itulah sebabnya aliran seperti Realisme Hukum (Amerika) beranggapan “All law is judge-made-
law.” Bahkan, ahli hukum terkemuka dari Jerman, seperti Peter Noll berpendapat, “Die
Rechtswissenschaft ist bis heute eine reine Rechtsprechungswissenschaft geblieben” (Ilmu hukum sampai sekarang
hanyalah tinggal ilmu yang murni tentang peradilan). Ungkapan senada juga dilontarkan oleh
W. G . v a n d e r V e l d e n . M en g e n a i h a l i n i l ih a t A . H a m i d S . A t t a m i m i , “ P e n g a n t a r : I l m u P e r u n d a n g -
undangan (Gesetzgebungslehre) dan Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) serta
Pengajarannya di Fakultas Hukum,” dalam: Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-
undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. xv-xxv.
30 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
3. Periode terakhir (pasca-1966) berada dalam kurun waktu yang paling
panjang dan aktual dengan jumlah putusan hakim relatif lebih banyak.
Kondisi tatanan hukum yang tengah disoroti juga dengan sendirinya
dipilih yang mampu dicerminkan oleh putusan tersebut. Kedekatan
periode ini dengan saat penelitian memberi keuntungan dari segi
aktualitas karena situasi tatanan hukum Indonesia dewasa ini terrefleksi
dari putusan tersebut.
Terkait dengan putusan hakim yang diteliti, terdapat dua faktor yang
harus dikontrol. Pertama, objek putusan hakim mencakup bidang hukum
yang sangat luas, sehingga perlu dibatasi. Dalam hal ini, bidang hukum
yang dipilih adalah perdata. Bidang hukum perdata memberi kesempatan
yang lebih lapang bagi para fungsionaris hukum (khususnya hakim) untuk
memberikan penemuan-penemuan hukum (rechtsvinding). Salah satu
keleluasaan yang dimaksud adalah diperbolehkannya penggunaan metode
konstruksi, yang tidak diperkenankan diterapkan dalam bidang hukum
pidana. Pemilahan hukum perdata ke dalam kategori netral dan non-netral
(sensitif dan non-sensitif54), seperti dilakukan oleh Mochtar Kusuma-
atmadja,55 ju ga dipertimbangka n dala m hal p emili han c ontoh kasus seba gai
objek-telaah penelitian ini. Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah
subjek si pembuat putusan. Penalaran dalam putusan hakim adalah aktivitas
subjektif dari si hakim, baik dilihat secara personal (sendiri-sendiri) maupun
secara majelis (bersama-sama). Dengan demikian, figur hakim menjadi
pertimbangan yang penting, sekalipun disadari bahwa peristiwa hukum
yang berbeda sangat mungkin menuntut model penalaran yang berbeda
pula, sekalipun dilakukan oleh subjek-subjek hakim yang sama. Putusan
hakim yang dinilai memenuhi semua syarat-syarat di atas adalah dua putusan
Mahkamah Agung tentang gugatan sejumlah penduduk terhadap
pembebasan tanah mereka untuk pembangunan Waduk Kedungombo, Jawa
Tengah (putusan kasasi perdata Nomor 2263-K/Pdt./1991 dan putusan
perkara peninjauan kembali perdata Nomor 650-PK/Pdt/1994). Kedua
putusan ini mengenai perkara gugatan 34 orang warga Kedungpring
(Kedung Ombo) terhadap Negara (Pemerintah) Republik Indonesia
sehubungan dengan ganti rugi atas tanah mereka untuk keperluan proyek
pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah.
___________________________
54 Istilah “sensitif ” ini dipakai oleh H.R. Otje Salman S. dan Eddy Damian dalam mengantar
buku Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis)
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. viii.
55 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, Hukum..., Op. Cit., hlm. 14.
SHIDARTA — 31
Dari segi penalarannya, kasus ini menarik karena memperagakan pola
penalaran yang bertolak belakang, sekalipun kedua putusan itu dilahirkan
dari satu lembaga peradilan yang sama (Mahkamah Agung), dalam jeda
waktu antara keduanya yang relatif singkat. Kontroversi yang muncul dari
kedua putusan ini adalah seputar penalaran para hakimnya terhadap
sejumlah peraturan perundang-undangan, antara lain Pasal 178 Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun
1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah.
Analisis terhadap putusan hakim yang dipilih secara purposif seperti
di atas disadari tidaklah representatif untuk mewakili semua pola penalaran
hukum yang berada dalam konteks keindonesiaan tersebut. Putusan hakim
ini digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan aplikasi penalaran hukum
yang terjadi dalam konteks keindonesiaan itu, sehingga disadari ada
kekurangan-kekurangan yang harus diperhatikan dalam mendesain suatu
model penalaran hukum yang sesuai (ideal) dengan konteks keindonesiaan
dewasa ini.
Analisis data dilakukan secara kualitatif. Sejalan dengan metode
penelitian yang digunakan, dalam penelitian inipun terdapat dua tahap studi
yang dilakukan. Pada tahap pertama dilakukan pendekatan descriptive study,
yakni dalam rangka menjawab rumusan pemasalahan pertama. Selanjutnya,
untuk menjawab rumusan permasalahan kedua digunakan pendekatan
analytical study. Untuk hal-hal tertentu, seperti perbandingan antara unsur-
unsur penalaran disajikan dalam bentuk tabel. Dengan demikian, beberapa
analisis dimungkinkan dilakukan dengan cara interpretasi tabel.
32 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
A. PENGANTAR
Jika ada yang mengatakan, “Bahasa hukum harus tunduk kepada
hukum bahasa!”1 maka analog dengan itu adalah bahwa penalaran
hukumpun wajib tunduk pada hukum-hukum penalaran. Berangkat dari
analogi tersebut, maka bab ini dipandang perlu untuk ditulis.
Kata “hukum” dalam “hukum penalaran” mengandung makna sebagai
dalil-dalil yang digunakan dalam proses penalaran. Elaborasi terhadap dalil-
dalil penalaran ini mempunyai konsekuensi yang tidak sederhana karena ia
menyentuh bidang persoalan yang sangat luas.
Untuk membahas hukum penalaran dalam perspektif yang lebih
sempit, terlebih dulu tentu perlu dibatasi sudut pandang yang akan dipakai
sebagai alat teropong. Dalam konteks pembatasan sudut pandang tersebut
kemudian dipilih perspektif hukum penalaran menurut kaca mata kelompok
ilmu-ilmu serta periodisasi modern dan posmodern. Dua pengelompokan
sudut pandang ini ditempatkan pada Subbab B.
Jika sudut pandang terkait dengan perspektif subjek penstudinya, maka
dilihat dari perspektif objek kajiannya sendiri, terdapat sedikitnya aspek-
aspek yang tidak kalah besar pengaruhnya. Tiga aspek kunci yang disinggung
pada subbab berikutnya adalah aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.
Hukum-hukum penalaran yang ingin diperlihatkan dalam bab ini tersaji
dalam model-model penalaran dari aliran-aliran yang dikenal luas. Aliran-
aliran tersebut menyajikan karakteristik penalaran menurut sudut-sudut
BAB II
HUKUM PENALARAN
___________________________
1Penggalan kalimat tersebut sering diucapkan oleh Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo,
S.H. dalam kuliah-kuliahnya di Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(1991–1993).
SHIDARTA — 33
pandang dan aspek-aspek tertentu. Dengan kondisi tersebut, sudah dapat
diprediksikan bahwa hukum-hukum penalaran tersebut tidak mungkin
tampil seragam. Sekalipun demikian, uraian di bawah berguna untuk
menunjukkan bahwa disunitas karakteritik penalarannya tidak hadir dengan
sendirinya tanpa penjelasan atau pertanggungjawaban. Hukum-hukum
penalaran itu muncul karena ada karakteristik dan kebutuhan khas (konteks)
keilmuan dari [kelompok] ilmu-ilmu yang bersangkutan.
Akhirnya, pendapat “penalaran hukum harus sepenuhnya tunduk pada
hukum penalaran” seperti diutarakan di muka, kembali menjadi premis
yang dipertanyakan. Artinya, sangat mungkin bahwa kebenarannya menjadi
relatif karena harus digantungkan pada karakteristik dan konteks keilmuan
dari ilmu hukum itu sendiri. Hal-hal demikian terilustrasi dengan jelas dalam
bab ini, untuk selanjutnya digunakan sebagai landasan analisis pada Bab V.
B. SUDUT PANDANG
Mengingat terminologi “hukum penalaran” itu sendiri dapat dilekatkan
pada berbagai dimensi, maka ruang lingkup deskripsi hukum penalaran
tersebut perlu dibatasi, antara lain dengan menetapkan sudut pandang yang
dipakai sebagai alat teropong.
Dalam konteks sudut pandang tersebut, pertama-tama dipilih
perspektif hukum penalaran menurut kaca mata kelompok ilmu-ilmu. Posisi
pandang ilmu-ilmu sangat menentukan pendekatan masing-masing dalam
melakukan aktivitas penalarannya. Diskursus berkepanjangan tentang ilmu
yang berkesatuan (unified science atau Einheitwissenschaft) dan pola penalaran
mana yang paling andal antara induksi dan deduksi, adalah contoh masalah-
masalah yang timbul karena dipicu oleh ketidaksepakatan pengelompokan
ilmu-ilmu. Tidak mengherankan apabila akhirnya timbul penafikan
eksistensi suatu kelompok ilmu oleh kelompok ilmu lainnya. Uraian tentang
pengelompokan ilmu-ilmu ini juga menjadi pembuka jalan ke arah
pembahasan tentang posisi ilmu hukum dalam khazanah keilmuan, sekaligus
untuk melihat apakah posisi tersebut berdampak pada karakteristik
penalaran yang digunakannya.
Hukum penalaran yang melekat pada ilmu-ilmu tersebut ternyata juga
tidak statis menghadapi perubahan masa. Sudut pandang akibat dinamika
“sang kala” tersebut diwakilkan oleh uraian tentang masa modern versus
posmodern. Harus diakui bahwa posmodernisme telah memberikan ujian
berat bagi kemapanan ilmu-ilmu dan hukum-hukum penalaran mereka.
Posmodernisme menuntut reorientasi, tidak saja pada sisi pemaknaan
34 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
ontologis dan aksiologis, tetapi terlebih-lebih pada epistemologis
keilmuannya. Ujian seperti ini tentu juga harus dihadapi oleh sistem
pengetahuan yang bernama “ilmu hukum.”
1. Kelompok Ilmu-Ilmu
“It continues to amaze me how many ‘educated’ people do not understand what
science is or what is meant by the term ‘scientific method’,” ungkap J.P. Siepmann,
yang kemudian mengutip pendapat (yang dinilainya arogan) dari pemenang
Nobel di bidang fisika Percy W. Bridgman, “No working scientist, when he
plans an experiment in the laboratory, asks himself whether he is being properly scientific,
nor is he interested in whatever method he may be using as method.” J.P. Siepmann
kemudian membedakan “Science” (“S” dengan huruf kapital) dengan “science”
(“s” dengan huruf kecil). Istilah “Science” menurutnya adalah “...the field of
study which tries to describe and understand the nature of the universe in whole or
part,” sedangkan “science” adalah “...the application of this discipline.”2
Cuplikan pernyataan di atas memberikan ilustrasi singkat betapa sulitnya
memberikan definisi ilmu. Padahal, teknik pengelompokan ilmu-ilmu sangat
ditentukan oleh batasan yang diberikan terhadap terminologi “ilmu” itu sendiri.
Ilmu (sains) dapat diartikan secara luas atau sebaliknya, secara sangat sempit.
Untuk keperluan bab ini, batasan ilmu akan dikaji dari aspek yang luas (“Science”
dengan “S” huruf kapital). Dalam rangka ini pula, pengertian tentang ilmu
mula-mula dibedah dari aspek denotasinya, dan kemudian dari segi konotasinya.
Denotasi (isi pengertian) ilmu mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam
pengertian ilmu tersebut. Sementara konotasi (wilayah pengertian) adalah luas
lingkungan realitas yang ditunjuk dengan pengertian tersebut.
Denotasi ilmu dapat dirujuk dengan melihat unsur-unsur definisinya.
Dalam karya besar kamusnya yang legendaris, Samuel Johnson,
menyebutkan unsur-unsur ilmu itu sebagai berikut:3
a. knowledge;
b. certainty grounded on demonstration;
c. art attained by percepts, or built on principles;
d. any art or species of knowledge;
e. one of the seven liberal arts.
___________________________
2J.P. Siepmann, ed., “What is Science,” <http://www.journaloftheoretics.com/Editorials/Vol-
1/el-3.htm>, 9 Mei 2003.
3Samuel Johnson, A Dictionary of the English Language, Vol. II (London: n.p.: 1831), hlm. 569
dikutip oleh The Liang Gie, The Interrelationship of Science and Technology: A Systematic Clarification
for the Development of Science and Technology Policy in Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Studi Ilmu
dan Teknologi, 1982), hlm. 15.
SHIDARTA — 35
Unsur-unsur itu menunjukkan denotasi ilmu yang demikian luas,
menyerupai batasan terminologi Wissenschaft dalam bahasa Jerman, yang
mencakup juga ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaft). Rudolf Carnap
juga menggunakan batasan ilmu yang kurang lebih sama luasnya, yang
menyatakan ilmu itu:4
...including all theoretical knowledge, no matter whether in the field of natural sciences or
in the field of the social sciences and the so-called humanities, and no matter whether it is
knowledge found by the application of special scientific procedures, or knowledge based on
common sense in everyday life.
Dilihat dari konotasinya, ilmu mencakup aspek proses (scientific research),
prosedural (scientific method), dan produk (scientific knowledge). Ketiganya
membentuk segi tiga konotasi ilmu (the trifold connotations of science). The
Liang Gie menyatakan:5
The three connotations are not fortuitous nor arbitrary. On the contrary, the trifold
connotations present a more logical conception of science from an internal and systematic
point of view. The connotations are logically interrelated as a unified whole depicted by
the area of the triangle.... A discussion on science can begin with any one of the three
vertices and eventually will include the other two if the entire area must be covered. But
the more logical sequence will usually view science successively as a series of activity
(process), a range of method (procedure), and a body of knowledge (product). It is
impossible to discuss science without considering its subject, namely human beings who
have certain aims and cognitive abilities. Thus in the first instance science is a human,
purposeful, and cognitive activity. The activity comprises the subtantive part and the
procedural form of operations that have to be performed. Hence science is a definite
method applied by scientists in their search for new facts or improvement of existing
information concerning particular phenomena. The resulting outcome or product of the
methodical inquiry is a corpus of propositions so that in the last analysis science is
scientific knowledge....
Secara historis, banyak kalangan menyakini ilmu-ilmu, yang konon saat
ini berjumlah 650–700 buah,6 bermula dari filsafat. Diferensiasi ilmu, yang
___________________________
4Rudolf Carnap, “Logical Foundations of the Unity of Science,” dalam Otto Neurath et al.,
International Encyclopedia of Unified Science, cet. 7 (Chicago: University of Chicago Press, 1970),
hlm. 45. Bandingkan dengan Harold Berman yang menyebut “konotasi” ilmu dalam tiga kriteria,
yaitu kriteria metodologikal, nilai, dan sosiologikal. Mengenai hal ini baca ulasannya dalam B.
Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
cet. 2 (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 105-106.
5The Liang Gie, Op. Cit., hlm. 26.
6Mengenai angka ini, lihat Haryono Semangun, “Filsafat, Filsafat Pengetahuan, dan Kegiatan
Ilmiah,” Pidato ilmiah dalam rangka acara pembukaan kuliah Program pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, semester II Tahun Akademik 1991/1992, 3 Februari 1992, hlm. 4.
36 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
disebut ilmu-ilmu vak itu sudah dimulai pada era Yunani Kuno dan
dipastikan akan berlanjut sampai sekarang, antara lain sebagaimana terlihat
dari pertumbuhan program-program studi di perguruan tinggi.
Ada banyak sekali metode pengelompokan ilmu-ilmu. Dalam uraian
subbab ini, konstelasi ilmu-ilmu dibedakan dalam dua kelompok utama,
yaitu ilmu formal dan ilmu empiris (ilmu positif). Ilmu-ilmu formal tidak
memfokuskan diri pada gejala-gejala faktual sebagai objek kajiannya.
Sebaliknya yang terjadi pada ilmu-ilmu empiris. Oleh karena itu, ilmu-ilmu
formal digunakan sebagai sarana untuk membantu analisis ilmu-ilmu
empiris. Sebagai contoh, statistika yang pada dasarnya bertumpu pada
matematika, adalah sarana yang paling banyak digunakan untuk keperluan
analisis ilmu-ilmu empiris tersebut. Pusat perhatian ilmu-ilmu formal adalah
sistem-sistem penalaran dan perhitungan.
Oleh karena perhatiannya lebih kepada sistem-sistem penalaran dan
perhitungan itulah, maka kebenaran ilmu-ilmu formal didekati secara formal
pula. Artinya, langkah-langkah (prosedur) penalaran merupakan ukuran
kebenaran atas pengetahuan yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan ilmu-
ilmu empiris karena yang lebih dipentingkan adalah kebenaran material,
sementara metodologinya dapat saja berbeda-beda antara satu penelitian
dengan penelitian lainnya.
Gejala pengetahuan dapat didekati dengan menggunakan dua model
pendekatan. Pertama, manusia (subjek) itu mendekati objek telaahnya dengan
membuat suatu model lahir dan nyata (tiga dimensi). Model ini mungkin
memperkecil ukuran kenyataan tertentu (misalnya dalam astronomi) atau
sebaliknya, memperbesar ukuran sebenarnya (misalnya model atom dari
Rutherford-Bohr). Upaya ini dilakukan dengan sangat menyederhanakan
kenyataan yang dipelajari. Diharapkan, dengan model tersebut objek yang
dipelajari tampak makin masuk akal. Kedua, manusia mendekati objek seolah-
olah hendak memasuki objek yang dipelajarinya itu sedalam-dalamnya.
Dengan begitu diharapkan dapat diperoleh pengetahuan yang berasal “dari
dalam.” Pengertian seperti ini biasanya terjadi dalam ilmu-ilmu yang senang
memakai rumus-rumus matematis sebagai modelnya (disebut model
abstrak).7
Kedua model di atas mewakili dua kelompok ilmu. Model pertama
mementingkan pengamatan dan penelitian, yang disebut empiris (“empirical”
dari kata Yunani, yang berarti “meraba-raba”) atau aposteriori (dari kata
___________________________
7C. Verhaak & R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, cet.
2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 8–9.
SHIDARTA — 37
Latin “post” atau sesudah). Hasil pengamatan itu hendak dirangkum dalam
model yang disebut tadi. Model kedua mewakili kelompok ilmu yang seakan-
akan ingin segera menangkap susunan keniscayaan (structure of necessity)
yang mendasari segala kenyataan secara apriori (dari kata Latin “prius”
atau sebelum) karena ilmu-ilmu formal ini ingin menentukan apa kiranya
yang mendahului adanya segala kenyataan itu. Kedua macam model ini
diterangkan dengan mengutip pandangan ilmu yang berasal dari Plato dan
Aristoteles, seperti tampak pada Tabel II-1.8
Tabe l II -1
Perbedaan Ilmu-Ilmu Formal dan Empiris
Ilmu-ilmu empiris dibedakan menjadi dua kelompok, yakni ilmu-ilmu
alam (Naturwissenschaften) dan ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften).
Kegiatan keilmuan adalah kegiatan manusia sebagai subjek. Hubungan
antara subjek dan objek yang diteliti merupakan faktor yang sangat
menentukan dalam pemilahan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
kemanusiaan ini.
Subjek yang melakukan penyelidikan dalam ilmu-ilmu kemanusiaan
adalah manusia dengan sasaran objek penyelidikan adalah juga manusia
(tidak sekadar fisik, melainkan kompleksitas keseluruhannya). Objek ilmu-
ilmu alam adalah semua realitas fisik dari alam semesta sejauh realitas
tersebut dapat diobservasi secara inderawi dan kebenaran pengetahuannya
dapat divalidasi melalui rangkaian eksperimen yang terukur.
A.G.M. van Melsen menyebutkan secara panjang lebar kekhasan ilmu-
ilmu alam, yang pada intinya mengacu pada dua ciri. Pertama, ilmu-ilmu
___________________________
8Ibid., hlm. 9.
38 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
alam melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan
registrasi inderawi secara langsung. Artinya, data inderawi itu harus
dimengerti secara tepat menurut penampakannya. Oleh karena itu,
objektivitas ilmu-ilmu alam adalah objektivitas yang menyangkut apa yang
diberikan sebagai objek (bukan produk penafsiran subjektivitas). Kedua,
ilmu-ilmu alam mengandaikan pada objeknya suatu determinisme,
sedemikian rupa sehingga suatu aksi tertentu mutlak perlu menampilkan
reaksi tertentu. Alam akan membuka rahasia dirinya jika terhadapnya
diadakan eksperimen-eksperimen secara tepat. Benda-benda alam akan
beraksi menurut sifatnya yang spesifik. Ini berarti eksperimen-eksperimen
itu dapat diulangi dengan reaksi spesifik yang sama pula.9
Ilmu-ilmu kemanusiaan ini pada dasarnya juga menggunakan bahan-
bahan yang dikumpulkan secara empiris, namun tetap ada kekhasan yang
sangat mencolok yang membedakannya dengan ilmu-ilmu alam. Pada ilmu-
ilmu kemanusiaan, ruang (spatio) dan waktu (temporal) tidak dimaknai secara
univok melainkan harus secara analog karena masing-masing ruang dan
waktu memiliki keunikan yang tidak mungkin digeneralisasi dan diukur
dengan memakai sistem statistik, satuan, dan lain sebagainya.10
Seperti dikatakan Max Weber, manusia tidak cukup dijelaskan
berdasarkan hubungan sebab akibat (causal explanation), sehingga diperlukan
upaya memahami (verstehen), bukan sekadar menerangkan (erklaeren).11
Manusia tidak dapat secara konstan bereaksi sama secara spesifik untuk
kondisi yang berbeda, sehingga metode eksperimen yang berulang-ulang
biasanya dihindari dalam penelitian ilmu-ilmu kemanusiaan.
C.A. van Peursen menyatakan ada dua arti dari verstehen ini. Pertama,
istilah ini digunakan untuk memahami perasaan dan keadaan batin sesama
manusia. Memahami orang lain mengandaikan manusia itu mengamati
perasaannya sendiri (introspeksi). Kedua, istilah ini dipakai untuk menangkap
arti suatu teks. Kata seolah-olah diterobosi untuk memasuki arti teks yang
mula-mula tersirat. Di sini memahami berarti sekaligus menafsirkan
(hermeneutics).12
Semula ilmu-ilmu kemanusiaan merasa cukup menggunakan metode
kualitatif dalam menganalisis data penelitiannya. Perkembangan Abad ke-
___________________________
9Lihat A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terjemahan K. Bertens
(Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 25–30.
10 Lihat C. Verhaak S.J. & R. Haryono Imam, Op. Cit., hlm. 70.
11 Ibid., hlm.71.
12 Lihat C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan J.
Drost, cet. 3 (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 54–55.
SHIDARTA — 39
20 mendesak ilmu-ilmu kemanusiaan ini untuk juga menerima metode
kuantitatif, sehingga dewasa ini cukup lazim menemukan ilmu-ilmu sosial
yang memakai alat analisis statistik dalam penelitiannya.
Tabel II-2
Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dan Kemanusiaan
Ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities atau human sciences) tidak sama
dengan humaniora sebagaimana sering dirancukan. Menurut J. Drost,
disiplin-disiplin yang tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan belum ada
ketika humaniora dibentuk. Humaniora bertujuan menjadikan manusia
(humanus) lebih manusiawi (humanior). Mula-mula humaniora terdiri atas
gramatika, logika, dan retorika (ketiganya disebut trivium). Pada awalnya
tekanan diletakkan pada gramatika yang biasanya dipelajari mahasiswa
selama tiga tahun lebih. Ini terjadi karena penguasaan bahasa Latin yang
dipakai sebagai bahasa pengantar, dipandang tidak cukup untuk
mengkomunikasikan hasil proses belajar. Harus diingat, bahwa bahasa Latin
memang menjadi bahasa studi, tetapi bukan bahasa ibu para mahasiswa.
Apabila bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, logika dan retorika
tidak mungkin berjalan baik. Selanjutnya keadaan berubah, dengan
___________________________
13 Antropologi di sini diartikan sebagai the study of humans, bukan ilmu tentang kebudayaan
masyarakat sederhana. Lihat anonim, “What is Science,” <http://tlc.ousd.k12.ca.us/~acody/
whatscience.pdf>, 9 Mei 2003.
40 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
penekanan pada logika dan retorika juga. Trivium kemudian ditingkatkan
menjadi quadrivium, yaitu teologi, aritmetika, musik (teori akustik), dan
astrologi (sekarang disebut astronomi).14 Dengan demikian, akh irnya diken al
“the seven liberal arts” (septem artes liberales) yang mencakup trivium (artes triviales)
dan quadrivium (artes quadriviales) yang diajarkan dalam dua tahap perkuliahan
di universitas. Tahap pertama menitikberatkan pada studi-studi bahasa (artes
sermocinales), tahap kedua pada disiplin matematiko-fisikal (artes reales atau
physicae). 15 Titik berat dari tahap kedua ini mencerminkan dua tingkatan
ilmu, yaitu matematika dan fisika. Seperti disampaikan oleh Otto Willmann,
“The seven liberal arts are thus the members of system of studies which embraces
language branches as the lower, the mathematical disciplines as the intermediate, and
science properly so called as the uppermost and terminal grade.”16 Ini berarti,
terminologi science dalam sudut pandang ini dibatasi hanya pada fisika.17
Di sisi lain, the seven liberal arts ini ternyata mempunyai dimensi universal,
seperti disampaikan lebih lanjut oleh Otto Willmann:18
Though this system did not receive the distinct development connoted by its name until the
Middle Ages, still it extends in the history of pedagogy both backwards and forwards; for
while, on the one hand, we meet with it among the classical nations, the Greeks and
Romans, and even discover analogous forms as forerunners in the educational system of
the ancient Orientals, its influence, on the other hand, has lasted far beyond the Middle
Ages, up to the present time.
Jika uraian ini dikembalikan kepada persoalan pengertian humaniora,
maka seperti juga diyakini oleh Drost, humaniora dalam makna klasik
mencakup hanya ilmu-ilmu dalam kelompok trivium.19 Pemaknaan inilah
yang sebenarnya lebih tepat, sehingga tidak sampai dirancukan dengan
ilmu-ilmu kemanusiaan (humanities).20 Dalam konsep trivium, humaniora
___________________________
14 Lihat J. Drost, “Humaniora,” Suara Pembaruan, 29 Juni 2001, hlm. 4, 7.
15 Istilah artes liberales digunakan terutama pada Abad Pertengahan, yang mengacu pada cabang-cabang
[ilmu] pengetahuan untuk tujuan pembebasan manusia, yakni lawan dari artes illiberales yang bertujuan
untuk kejayaan ekonomi. Lihat lebih lanjut Otto Willmann, “Catholic Encyclopedia: The Seven
Liberal Arts,” <http://www.newadvent.org/cathen/01760a.htm>, 9 Mei 2003.
16 Ibid.
17 Batasan yang mempersempit “science” hanya pada fisika atau ilmu-ilmu alam, ternyata cukup
kuat dianut di berbagai belahan dunia. Sebuah situs yang menyediakan daftar puluhan artikel
tentang definisi “science” dalam arti sempit ini adalah <http://genschem.net/msc1012/
sciencedef.html >.
18 Otto Willmann, Loc. Cit.
19 J. D ro st , Loc. Cit.
20 Fenomena kerancuan ini terlihat juga di Indonesia, misalnya dengan pemberian gelar “magister
humaniora” (M.Hum.) untuk lulusan strata dua bidang studi ilmu hukum, sastra, dan kajian
wanita (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 036/U/1993).
SHIDARTA — 41
diberikan pada tingkat pertama, dalam arti dipakai sebagai landasan semua
tingkatan dan terbuka untuk semua kelompok ilmu-ilmu.
Selanjutnya, baik ilmu-ilmu formal maupun ilmu-ilmu empiris (ilmu-
ilmu alam dan ilmu-ilmu kemanusiaan), semuanya merupakan kelompok
ilmu-ilmu teoretis. Kelompok mencakup ilmu-ilmu yang bertujuan sekadar
memperoleh pengetahuan. Produk dari ilmu-ilmu teoretis ini digunakan
justru oleh ilmu-ilmu lain untuk tujuan kesejahteraan manusia atau
memecahkan problem konkret tertentu. Ini berarti, ilmu-ilmu ini sebenarnya
tidak terlibat langsung dengan penerapan atas produk kajiannya. Inilah
yang membedakannya dengan ilmu-ilmu praktis. Ilmu-ilmu praktis
bertujuan untuk mengubah keadaan dan menawarkan langsung penyelesaian
konkret. Dalam rangka mencari penyelesaian suatu masalah, suatu ilmu
praktis mungkin saja harus bekerja sama dengan ilmu-ilmu lainnya, namun
problema konkret yang dihadapinya itu tetap diperlakukannya sebagai
bagian dari objek kajiannya, tidak diserahkan menjadi objek kajian ilmu
lain.
Dalam kaca mata A.G.M. van Melsen, perbedaan antara ilmu-ilmu
teoretis dan ilmu-ilmu praktis itu sebenarnya nisbi. Pengalaman
menunjukkan, kata Melsen, bahwa penelitian ilmiah murni yang diadakan
semata-mata untuk menambah pengetahuan, lambat laun menghantarkan
kita kepada penerapan-penerapan praktis yang lebih luas dan lebih
berdampak daripada penelitian yang langsung ditujukan pada penerapan.
Sebabnya adalah, penelitian yang ditujukan pada penerapan akan
menggunakan pengetahuan ilmiah yang sudah diperoleh dalam
mengkonstruksi alat-alat baru, mengembangkan metode-metode baru,
memperbaiki serta mengembangkan lebih lanjut metode-metode yang
sudah dipakai, memecahkan kesulitan-kesulitan yang timbul dalam hal ini,
dan seterusnya. Di sisi sebaliknya, penelitian ilmiah murni akan menemukan
potensi-potensi baru serta tak terduga dari realitas dan dengan demikian
membuka kemungkinan bagi penerapan-penerapan yang sama sekali lain
daripada yang terduga sebelumnya. Sebagai contoh ditunjukkan oleh Melsen
adalah energi nuklir. Tidak dapat disangkal, sumber baru itu tidak pernah
akan ditemukan dalam suatu penelitian yang bertujuan sekadar memperbaiki
sumber-sumber energi yang sudah ada.21
Dengan ilustrasi di atas, terlihat ada dimensi yang berhadapan antara
monodisipliner pada ilmu-ilmu teoretis dan multidisipliner pada ilmu-ilmu
___________________________
21 Lihat A.G.M. van Melsen, Op. Cit., hlm. 51.
42 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
praktis. Walaupun Melsen tidak sepenuhnya menyetujui kesimpulan
demikian, tampaknya pembedaan mono- dan multidisipliner tersebut,
dapatlah dijadikan pegangan sementara.22
Ilmu-ilmu praktis ini kemudian dibedakan menjadi dua kelompok lagi,
yaitu ilmu praktis nomologis dan ilmu praktis normologis. Ilmu praktis
yang normologis berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empiris, yakni
pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus niscaya berla ku antara
dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas-deterministik. Produknya
dapat diungkapkan, seperti ilmu empiris, dalam rumus logikal: “Jika A (ada
atau terjadi) maka B (ada atau terjadi) (when A is, then B is).” Arief Sidharta
menunjuk contoh ilmu kedokteran sebagai contoh ilmu praktis nomologis
ini, yang oleh Melsen justru dijadikan contoh untuk ilmu praktis
normologis.23 Sayangnya, alasan Melsen untuk memasukkannya ilmu
kedokteran dalam kelompok ini sebagaimana tampak dari uraian di
bawah¯tidak cukup jelas, sehingga kiranya ilmu kedokteran ini lebih sesuai
ditempatkan di lingkungan ilmu praktis nomologis.
Ilmu praktis normologis, sebaliknya, tidak menemukan hubungan
antara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas, melainkan lebih kepada
asas imputasi24 (menautkan tanggung jawab/kewajiban) untuk menetapkan
apa yang seharusnya menjadi kewajiban subjek tertentu dalam situasi
peristiwa atau keadaan tertentu. Sekalipun begitu, apa yang seharusnya
terjadi, tidak serta merta akan terjadi. Rumus logikanya: “Jika A (terjadi
atau ada), maka seyogianya B (terjadi) (When A is, B ‘ought’ to be, even though
B perhaps actually is not).”25 Ter masuk kelompok ilmu-i lmu praktis normologis
adalah ilmu hukum.
Ada dua contoh ilmu praktis normologis yang disinggung oleh Melsen
sebagai contoh, yaitu ilmu kedokteran dan ilmu hukum. Sebagaimana
dikemukakan di atas, masuknya ilmu kedokteran dalam kelompok ini cukup
menarik.
Pada ilmu kedokteran, menurut Melsen, perhatian diletakkan pada
fenomena penyakit dan pada manusia yang sakit. Untuk itu ia menggunakan
bermacam-macam ilmu lain untuk dapat menyembuhkan orang yang sakit
___________________________
22 Ibid., hlm. 58-62. Istilah “multidisipliner” berbeda dengan “interdisipliner.” Mulitidisipliner
adalah kerja sama ilmu-ilmu yang masing-masing tetap berdiri sendiri, sementara pada
“interdisipliner” terjadi peleburan untuk menghasilkan satu jenis ilmu baru.
23 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 111-112. Bandingkan dengan Ibid., hlm. 57.
24 Dari kata “imputatio” yang berarti tanggung jawab hukum (legal liability). Lihat Henry Campbell
Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm. 758.
25 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 112.
SHIDARTA — 43
tersebut. Oleh karena itu ilmu kedokteran lebih mempunyai sifat seni (ars)
daripada ilmu, biarpun sudah sejak dulu ia memanfaatkan hasil-hasil ilmu
alam atau apa yang dianggap demikian. Dengan perkembangan ilmu alam
dan ilmu kemanusiaan, status ilmu kedokteran sebagai ilmu bertambah,
dan karena tujuannya yang khas itu, bertambah pula statusnya sebagai ilmu
praktis. Hal yang sama juga terjadi pada ilmu hukum. Ilmu ini pada
hakikatnya adalah suatu seni praktis yang berasal dari keperluan konkret
untuk mengadili (seni kehakiman). Untuk itu diperlukan ahli-ahli yang
mengenal hukum yang berlaku, baik tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai
dasar ilmiah seni kehakiman memang mempunyai etika yang merupakan
suatu ilmu praktis, tetapi untuk menjalankan seninya perlu lebih dari sekadar
prinsip-prinsip etis. Oleh karena itu seni kehakiman ini berkembang menjadi
ilmu hukum sebagai ilmu praktis yang bersifat cukup unik. Objeknya bukan
saja hukum sebagaimana muncul dalam tradisi, tetapi juga hukum yang
diciptakannya untuk mengatasi keadaan yang baru. Dalam rangka itulah,
ilmu hukumpun menggunakan data dari pelbagai ilmu lain.26
Melsen juga mencatat, bahwa dalam bentuk modernnya sebagai ilmu-
ilmu praktis, ilmu kedokteran dan ilmu hukum mempunyai kesatuan yang
lebih erat daripada ilmu-ilmu praktis yang timbul kemudian. Alasannya,
menurut Melsen, objek kedua ilmu itu mudah dikenal sebagai suatu aspek
khusus dari realitas yang dapat diabstraksikan. Kedua ilmu ini mempunyai
tradisi yang sudah tua dan sama-sama bersifat normatif. Keduanya tidak
membatasi diri pada penyelidikan fenomena penyakit atau hukum yang
ada pada kenyataannya, melainkan juga mereka memandang semua itu
dalam perspektif apa yang seharusnya ada. Dalam hal ini ilmu kedokteran
memilih sebagai norma kesehatan yang alamiah dan ilmu hukum
mengambil sebagai norma hukum sebagaimana seharusnya ada. Hal itulah
yang menurut Melsen telah memberi kesatuan khusus kepada dua ilmu
tersebut.27
Tabel II-3
Perbedaan Ilmu-Ilmu Teoretis dan Praktis
___________________________
26 Lihat A.G.M. van Melsen, Op. Cit., hlm. 56.
27 Ibid., hlm. 57.
44 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Semua kelompok ilmu tersebut mempunyai hubungan fungsional. Ilmu-
ilmu formal berfungsi membantu ilmu-ilmu empiris dalam melakukan
interpretasi atas permasalahan yang dihadapkan kepadanya. Hasil kajian dua
kelompok ilmu-ilmu teoretis tersebut, yaitu ilmu-ilmu empiris yang dibantu
oleh ilmu-ilmu formal, kemudian dialirkan ke ilmu-ilmu praktis. Dalam hal
ini ilmu-ilmu praktis berfungsi mengaplikasikannya. Apa yang diterapkan
oleh ilmu-ilmu praktis ini harus dievaluasi dalam kenyataan sosial. Tanggapan-
tanggapan dari masyarakat ini akan mengkristalisasi, yang untuk sebagian
akan ditampung kembali oleh ilmu-ilmu teoretis. Sekalipun dalam ragaan di
bawah ditunjukkan ada aliran satu arah dalam hubungan fungsional di antara
ilmu-ilmu itu, tidak berarti kedudukan ilmu-ilmu formal lebih tinggi daripada
ilmu-ilmu empiris dan ilmu-ilmu praktis, atau sebaliknya.28 Semua ilmu-ilmu
itu mempunyai fungsi masing-masing yang bekerja secara sinergis.
___________________________
28 Dalam khazanah epistemologi, polemik tentang posisi ilmu-ilmu ini sangat hingar bingar.
Matematika sebagai salah satu ilmu formal, misalnya, oleh Bertrand Russell dianggap
berkedudukan paling tinggi. “Matematika adalah kedewasaan logika, sedangkan logika adalah
masa kecil matematika,” katanya. Namun, Schopenhauer berujar bahwa berhitung merupakan
aktivitas mental paling rendah sebab hal itu dapat dilakukan dengan mesin. Atau, jauh-jauh
hari sebelumnya St. Agustinus memperingatkan, “Hati-hati terhadap ahli matematika dan
mereka yang membuat ramalan-ramalan dusta.” Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer, cet. 2 (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 199, 225.
SHIDARTA — 45
Ragaan II-a: Hubungan Fungsional Antar-Ilmu
Harus pula dicatat, ada pengelompokan ilmu-ilmu teoretis yang berbeda
dengan klasifikasi di atas, antara lain seperti diutarakan oleh George J. Mouly.
Ia mengkontraskan ilmu-ilmu teoretis ini dengan ilmu-ilmu empiris, tetapi
keduanya ternyata tidak ditempatkannya dalam kelas-kelas yang sejajar. Ia
memberi tempat lebih tinggi, bahkan paling tinggi, kepada ilmu-ilmu
teoretis. Menurutnya, inilah tingkat paling akhir dari ilmu. Mouly melihat,
baik ilmu alam maupun ilmu sosial (dalam konteks subbab ini dapat
diartikan sama dengan ilmu-ilmu kemanusiaan) mempunyai kesempatan
untuk meningkatkan diri menjadi ilmu-ilmu teoretis, tetapi menurutnya,
tahap yang maju ini akan lebih mampu dicapai oleh ilmu-ilmu alam.29
Peningkatan yang disampaikan Mouly ini sebenarnya lebih mengarah
kepada aktivitas internal suatu disiplin [ilmu]. Tingkatan tersebut mengacu
kepada derajat abstraksi suatu ilmu, sehingga akhirnya dikenal ada tingkat
ilmu positif tertentu dan teori ilmu tertentu. Tingkatan Mouly ini sebenarnya
___________________________
29 Lihat George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu,” dalam Jujun S. Suriasumantri, ed., Ilmu dalam
Perspektif: Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu (Jakarta: Obor Indonesia, 1991), hlm. 96.
46 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dapat dilanjutkan ke posisi cabang disiplin yang paling tinggi (paling abstrak)
yaitu filsafat ilmu yang bersangkutan.
Sejalan dengan pemikiran di atas, khusus untuk disiplin hukum, B.
Arief Sidharta telah membuat pemetaaan yang terdiri atas tiga tingkatan,
yaitu:30
a. Ilmu-ilmu hukum:
Cabang disiplin hukum yang berobjekkan tatanan hukum nasional dan
internasional, terbagi dalam dua perspektif, normatif (internal) dan
empirikal (eksternal).
Normatif: (1) ilmu hukum dalam arti sempit, yang disebut juga dengan
ilmu praktis normologis, ilmu hukum positif, ilmu hukum praktis, atau
dogmatik hukum; dan (2) perbandingan hukum (berbeda artinya
dengan metode perbandingan hukum).
Empiris: (1) sosiologi hukum; (2) sejarah hukum; (3) antropologi
hukum; dan (4) psikologi hukum.31
b. Teori ilmu hukum:
Cabang disiplin hukum yang berobjekkan tatanan hukum positif
sebagai sistem, terbagi dalam: (1) ajaran hukum umum (teori hukum);
(2) hubungan hukum dan logika; dan (3) metodologi.
c. Filsafat hukum:
Cabang disiplin hukum yang berobjekkan hukum dalam keumumannya
atau sebagai demikian (law as such).
Masuknya ilmu-ilmu empiris hukum (biasanya lebih sering ditulis
dengan istilah “ilmu-ilmu hukum empiris”), seperti sosiologi hukum, sejarah
hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, ke dalam kelompok disiplin
hukum, tampaknya perlu dikritisi mengingat ilmu-ilmu ini adalah cabang
dari ilmu-ilmu lain yang nondisiplin hukum. Sosiologi hukum adalah cabang
dari sosiologi, antropologi hukum adalah cabang dari antropologi, dan
seterusnya. Posisi ilmu hukum dogmatis, ilmu-ilmu empiris hukum, teori
hukum, dan filsafat hukum tersebut merupakan bagian dari materi
___________________________
30 Lihat B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 116-137.
31 Politik hukum tidak/belum dimasukkan oleh B. Arief Sidharta ke dalam kelompok ini. Posisi
politik hukum dan ilmu politik memang unik. Georg Jellinek memasukkan ilmu politik sebagai
bagian dari ilmu negara dalam arti luas (ilmu kenegaraan). Ilmu politik ini disebut praktische
staatswissenschaft. Pada jurusan lain terdapat ilmu hukum, yang antara lain terdiri dari hukum
tata negara dan administrasi negara. Jika ilmu politik tidak terikat pada sifat-sifat nasionalitas,
maka hukum tata negara dan administrasi negara adalah sebaliknya. Sebagaimana dijelaskan
dalam Bab IV dan V, ilmu politik hukum ini tampaknya dapat dimasukkan ke dalam kelompok
ilmu-ilmu empiris hukum pula.
SHIDARTA — 47
pembahasan Bab III dan V karena masing-masing sangat memberi warna
pada karakteristik penalaran hukum itu sendiri.
Menurut B. Arief Sidharta, lahirnya pembedaan di atas disebabkan
oleh kemajemukan hukum itu sendiri sebagai gejala kemasyarakatan yang
terdiri dari banyak aspek, dimensi, dan faset. Kemajemukan itu menyebab
hukum itu dapat dipelajari dari berbagai sudut pandang. Pada masa
pengajaran hukum di berbagai universitas di Eropa pada Abad Pertengahan
(dipelopori Irnerius di Bologna), diskursus ilmiah tentang hukum berada
pada tataran ilmu positif. Diskursus ini kemudian dihangatkan oleh
pemikiran F.C. von Savigny yang meng-”coined” istilah “Rechtswissenschaft”
yang bersubstansikan Pandectenwissenschaft. Diskursus tentang hal ini terus
bergulir, sehingga melahirkan berbagai cabang disiplin lain yang berobjek-
telaah hukum, seperti sosiologi hukum, antropologi hukum, perbandingan
hukum, logika hukum, dan psikologi hukum.32
Banyaknya disiplin ilmiah yang mempelajari hukum sebagai pokok
studinya, mendorong Meuwissen melakukan sistematisasi dengan
mengambil titik pangkal pada semua kegiatan manusia berkenaan dengan
adanya dan berlakunya hukum di masyarakat, yang disebut “pengembanan
hukum”33 (rechtsbeoefening). Sekalipun demikian, sistematika yang mengarah
kepada pembagian disiplin hukum hanya bermuara pada pengembanan
teoretis (teoretikal), yaitu upaya memahami dan menguasai hukum secara
intelektual, sistematis, dan metodis. Muara lain dari pengembanan hukum
adalah pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan hukum, yang
ketiganya dimasukkan dalam segi pengembanan hukum praktis (praktikal).
Ilmu hukum tidak dapat dilepaskan dari pengembanan hukum ini, baik
teoretis maupun praktis. Oleh karena ilmu hukum dalam arti sempit
(dogmatik hukum) berada dalam kelompok ilmu-ilmu praktis normologis,
maka ilmu hukum ini mempunyai karakteristik penalaran yang khas pula,
yang secara khusus akan dijabarkan dalam Bab V.
Salah satu kekhasan yang menarik untuk ditelaah lebih mendalam
terhadap ilmu hukum (dalam arti sempit) ini adalah dalam hal logika
berpikirnya. Di dalam konstelasi pengelompokan ilmu-ilmu, pembedaan
berdasarkan logika berpikir tersebut juga menjadi salah satu faktor pembeda
yang penting untuk diperhatikan.
___________________________
32 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 117.
33 Istilah “pengembanan hukum” diperkenalkan pertama kali oleh B. Arief Sidharta. Lihat D.H.M.
Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun
XII No. 1, Januari 1994, hlm. 61–81.
48 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dilihat dari logika berpikirnya, konstelasi ilmu-ilmu dapat dibedakan
menjadi: (1) ilmu dengan metode deduktif; dan (2) ilmu dengan metode
induktif. Metode deduktif menghasilkan pengetahuan apriori, sementara
metode induktif berbuah pengetahuan aposteriori.
Ilmu-ilmu deduktif mengutamakan teoretisasi, spekulasi, dan
konseptualisasi. Termasuk dalam kategori ini terutama adalah ilmu-ilmu
formal. Teknik penyimpulan (inferensi) secara deduktif sebagai cara kerja
ilmu-ilmu tersebut lazimnya dilakukan dengan metode silogisme.
Menurut George J. Mouly, pendekatan silogistis adalah satu-satunya
metode yang efektif dalam cara berpikir secara sistematis dalam Jaman
Yunani dan Romawi sampai pada masa Galileo dan Renaissance. Cara
berpikir pada Abad Pertengahan berdasarkan silogisme mencapai
puncaknya yang ekstrem, manusia berpikir seakan seperti suatu gimnastik
mental tanpa hubungan sama sekali dengan pengamatan dan pengalaman
alam nyata. Pertanyaan tentang jumlah gigi seekor kuda, misalnya, dijawab
dengan pendekatan logika semata, bukan dengan pengamatan langsung ke
mulut si kuda.34 Bertrand Russel bahkan berkata:35
Untuk manusia modern yang terdidik, seakan-akan suatu hal yang biasa bahwa
kebenaran suatu fakta harus ditentukan oleh pengamatan, dan tidak
berdasarkan suatu fakta harus ditentukan oleh pengamatan, dan tidak
berdasarkan pada konsultasi dengan seorang ahli. Walaupun begitu, hal ini
benar-benar adalah suatu konsepsi modern, sesuatu yang hampir tidak pernah
dilakukan sebelum abad ketujuh belas.
Aristoteles bersikeras bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit dari
laki-laki, dan meskipun ia pernah kawin dua kali, tak pernah terlintas dalam
pikirannya untuk menguji pendapatnya dengan mengamati mulut isterinya.
Aristoteles juga berkata bahwa bayi-bayi akan lebih sehat jika mereka dibuahi
waktu angin sedang bertiup di Utara. . ., bahwa gigitan seekor tikus kesturi
lebih berbahaya dari gigitan seekor kuda, apalagi bila kesturi tersebut sedang
hamil. . . dan lain-lain sebagainya. Terlepas dari pendapat-pendapat aneh
tadi, ahli-ahli pemikir klasik, yang tidak pernah memperhatikan binatang
kecuali kucing dan anjing terus memuji Aristoteles. . .
Pada permulaan Abad ke-17, Francis Bacon memimpin pemberontakan
terhadap cara berpikir di atas. Ia melihat ada kecenderungan para ahli filsafat
pada masa sebelumnya untuk pertama-tama menyetujui lebih dulu suatu
___________________________
34 Lihat George J. Mouly, Loc. Cit., hlm. 87-88.
35 Bertrand Russell, The Impact of Science upon Society (New York: Simon and Schuster, 1958), hlm.
7 dikutip dari Ibid., hlm. 88.
SHIDARTA — 49
kesimpulan baru kemudian mengumpulkan fakta untuk mendukungnya.
Untuk itu Bacon lalu memperkenalkan metode sebaliknya berupa cara
berpikir induktif.
Ilmu-ilmu yang me nggunakan cara berpikir ind ukti f adalah ilmu-ilmu
yang mengandalkan observasi sebagai metode keilmuannya. Ilmu-ilmu
induktif ini antara lain adalah ilmu-ilmu empiris seperti palaetiologi (ilmu
yang bertugas merekonstruksi masa lalu berdasarkan bukti-bukti masa
sekarang, termasuk di dalamnya geologi dan filologi perbandingan),
demikian pula dengan ilmu fisika dan astronomi. Kajian yang komprehensif
tentang ilmu-ilmu induktif dilakukan oleh William Whewell (1794–1866)
dengan karya legendarisnya “History of the Inductive Sciences” (1858).36
Pembedaan ekstrem antara ilmu-ilmu induktif dan ilmu-ilmu deduktif
ini tidak begitu saja dapat dipilah sama dengan pembagian ilmu-ilmu formal
dan ilmu-ilmu empiris. Cara kerja ilmu-ilmu empiris, sangat mengandalkan
metode induktif, tetapi dalam tahap tertentu harus pula mengadopsi cara
berpikir deduktif. Perputaran ini dikenal dengan sebutan siklus empiris
seperti ragaan di bawah.
___________________________
36 Isi seluruh buku klasik yang terdiri dari dua volume ini pada saat Bab II disertasi ini ditulis,
dapat di-download lengkap melalui situs: “Making of America Books,” <http://
www.hti.umich.edu/cgi/t/text-idx?c=moa&idno=AGG5854.0001.001&view=toc>.
Ragaan II-b: Siklus Empiris
Siklus empiris tersebut melewati beberapa tingkatan: (1) observasi
(pengamatan gejala atau fenomena); (2) penekanan atau pencatatan dengan
akurasi tinggi; (3) seleksi dan klasifikasi data (pilih yang relevan dengan
50 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
subject matter); (4) penentuan berbagai alternatif (kemungkinan); (5) pengujian
alternatif (kemungkinan) itu satu per satu; (6) penarikan kesimpulan; dan
(7) memunculkan dugaan (hipotesis) baru. Di sini sesuatu yang semula
universal dikembalikan kepada partikular (dengan proses logika deduktif).
Wilayah hermeneutika adalah wilayah penafsiran (tafsir-menafsir
konsep). Wilayah heuristika (dari kata “eureka”37) adalah wilayah pencarian,
medan pengalaman sehari-hari. Wilayah heuristika ini adalah wilayah yang
sangat inspiratif, bahkan intuitif. Itulah sebabnya, ketika wilayah heuristika
berpindah ke wilayah hermeneutika, peran retorika menjadi sangat penting.
Artinya, kemampuan untuk membahasakan penemuan itu sehingga dapat
diterima oleh komunitas ilmiah menjadi sangat penting.
Ilmu hukum sebagai ilmu-ilmu praktikal, secara tradisional dipandang
sebagai ilmu yang menggunakan metode deduktif. Hal ini karena hukum
diartikan semata sebagai asas kebenaran dan keadilan atau norma positif
dalam sistem perundang-undangan. Dalam Bab III ditunjukkan bahwa
penggunaan metode deduktif ini ternyata tidak seluruhnya diterapkan secara
konsekuen karena aspek epistemologis dari model-model penalaran hukum
itu juga menggunakan berbagai kombinasi metode. Menurut Elias E.
Savellos dan Richard F. Galvin, penggunaan metode deduksi ini dalam
ilmu hukum mengalami beberapa kendala karena:38
a. hukum ternyata tidak sekadar berupa norma positif dalam sistem
perundang-undangan (the law involves more than just rules);
b. peraturan-peraturan itu memiliki kelemahannya sendiri (there are pbolems
with the rules);
c. faktanya mengandung permasalahan (there are problems with the facts);
d. Proses deduksi ini hadirnya belakangan setelah aturan yang relevan
dengan faktanya sudah ditetapkan terlebih dulu (deduction is a “late
comer”).
Kendala seperti dikemukakan di atas mewarnai karakteristik penalaran
hukum dibandingkan dengan hukum penalaran yang diterapkan dalam ilmu-
ilmu lain, terutama dengan sesama ilmu-ilmu praktis dan bermetode
deduktif. Uraian tentang hal ini merupakan porsi bahasan Bab V.
___________________________
37 Dari bahasa Yunani berarti “Saya menemukannya!” (I have it!). Cry of triumph at a discovery.
Lihat A.S. Hornby et al., The Advanced Learner’s Dictionar y of Current English, ed. 2 (London:
Oxford University Press, 1973), hlm. 337.
38 Elias E. Savellos & Richard F. Galvin, Reasoning and the Law: the Elements (Belmont: Wadsworth,
2001), hlm. 62-63.
SHIDARTA — 51
2. Modern dan Posmodern
Dalam periodisasi filsafat, istilah “modern” diberikan untuk suatu
rentang waktu yang berawal pada Abad ke-16. Tahap pertama Jaman
Modern itu dimulai tatkala manusia menganggap jati dirinya lahir kembali
(Renaissance), lepas dari tekanan Abad Pertengahan yang penuh prasangka
tentang kehidupan manusia sebagai mahluk pendosa.
Apabila pada periode pertama (Jaman Yunani Kuno) diskursus filsafat
berpusat pada masalah-masalah alam semesta (kosmosentris), dan Abad
Pertengahan pada ketuhanan (teosentris), maka wacana Jaman Modern
berkutat pada subjek manusia (antroposentris). Hal ini dapat dipahami,
mengingat Jaman Modern dipandang telah membangkitkan kembali
humanisme Jaman [Yunani] Kuno dengan titik berat pada individualisme.
Apabila kaum humanis Jaman Yunani Kuno mengajarkan tentang
ketenangan dan pengendalian diri, maka humanis ala Jaman Modern
mengajak individu untuk kritis dan penuh percaya diri, bahkan dinilai terlalu
percaya diri (over-self-confidence).
Menurut Bertrand Russell, ada dua hal terpenting yang menandai awal
sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja39 dan me nguatnya otoritas
ilmu (sains).40 Kemunduran otor itas gereja memb awa implikasi bes ar se cara
politis. Pengaruh gereja terhadap ilmu pada Abad Pertengahan jelas melebihi
pengaruh negara, dan hal ini semata-mata karena gereja memiliki otoritas
politis tersebut. Tatkala otoritas ini mengalami kemunduran, praktis tidak
ada lagi otoritas lain yang dapat menggantikannya karena negara-negara
Eropa sendiri ketika itu mengalami kontraksi karena harus berhadapan
dengan paham-paham baru seperti demokrasi dan sosialisme.
Di sisi lain, dunia ilmu yang bersifat intelektual mendapat hikmah dari
mengendurnya kekuasaan politik ini. Daya tarik ilmu jelas bukan karena ia
diberi kekuatan politis. Seperti kata Russell, otoritas ilmu diakui semata-
mata karena daya tarik intrinsiknya bagi akal. Lebih dari itu, otoritas ilmu
tumbuh sedikit demi sedikit dan parsial; tidak seperti kumpulan dogma
___________________________
39 Kuatnya otoritas gereja ini dapat dilihat antara lain dari keharusan meminta izin Paus untuk
pendirian universitas-universitas di Eropa. Universitas Oxford diberi izin tahun 1167 dan
Universitas Cambrigde tahun 1207. Keharusan ini dilatarbelakangi karena hanya Paus yang
diakui otoritasnya secara internasional. Suatu universitas (dari kata “universal”) mensyaratkan
ilmu-ilmu yang diajarkan di dalam lembaga ini harus bersifat kosmopolitan. Lihat kata pengantar
dari Mansel Davies dan Winwood Réade dalam buku Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam: Sejarah
Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, terjemahan H. Zainal
Abidin Ahmad, cet. 2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 10.
40 Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosial-politik Zaman Kuno
hingga Sekarang, terjemahan Sigit Jatmiko et al. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 645.
52 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
gereja. Otoritas ilmu tidak membangun sistemnya secara lengkap, melainkan
membatasi dirinya pada pengungkapan segala sesuatu yang pada saat itu telah
dipastikan kebenarannya secara ilmiah, laiknya sebuah pulau kecil di tengah
lautan kebodohan (nescience). Otoritas ilmu juga tidak menetapkan pernyataan-
pernyataannya sebagai kebenaran absolut tak terbantahkan, melainkan sekadar
kebenaran tentatif berdasarkan kemungkinan yang dapat dimodifikasi.41
Ilmu pada era modern dapat dikatakan “sukses” membangun dirinya
karena berhasil memperkuat sendi-sendi epistemologisnya. Demikian kuatnya
sendi-sendi tersebut, sehingga wacana filsafat pada jaman ini didominasi oleh
tema-tema epistemologis. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan inti dari
filsafat Jaman Modern adalah epistemologi itu sendiri. Hingar bingar polemik
antara Positivisme dan Empirisme Logis dan Rasionalisme Kritis adalah
contoh konkret dari dominasi wacana epistemologis ini.
Sekalipun semangat modernisme mengharamkan monopoli kebenaran,
sehingga setiap “kebenaran” adalah pernyataan tentatif belaka, pada
kenyataannya hal ini justru menimbulkan kegairahan untuk mencari dasar
dan batas kesahihan suatu pernyataan yang dianggap benar itu. Indikator-
indikator yang dimaksud akhirnya ditemukan oleh kaum modernis, yang
bermuara pada rasionalitas, keterukuran (commensurability), dan keterpisahan
subjek-objek. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ilmu-ilmu empiris
mendapat tempat yang terhormat dalam Jaman Modern karena diyakini, hanya
ilmu-ilmu empirislah yang memenuhi ciri-ciri sebagai ilmu modern.
Pandangan ini berlangsung sampai Abad ke-20, hingga akhirnya
dikoreksi total oleh kaum posmodernis. Adalah Richard Rorty yang dengan
jeli melihat inti permasalahan epistemologis yang telah mentradisi sepanjang
Jaman Modern tersebut. Gugatannya antara lain terkait dengan masalah
fondasionalisme dan representationalisme.42 Bagi eksponen posmodern,
epistemologi tidak lagi layak dianggap sebagai fondasi yang menetapkan
dasar kesahihan sekaligus batas-batas kesahihan pengetahuan. Demikian
pula, pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai representasi realitas yang
sepenuhnya independen terhadap manusia.
Jim Leffel membentangkan secara singkat perbedaan dari kedua masa
itu dalam Tabel II-4 singkat di bawah.43
___________________________
41 Ibid., hlm. 646-645.
42 Untuk pembahasan tentang fondasionalisme dan representationalisme ini, lihat I. Bambang
Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, cet. 4 (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 68-78.
43 Jim Leffel, “Our Old Challenge: Modernism,” dalam Dennis McCallum, ed., The Death of
Truth: What’s Wrong with Multiculturalism, the Rejection of Reason and the New Postmodern Diversity
(Minneapolis: Bethany House, 1996), hlm. 21.
SHIDARTA — 53
Tabel II-4
Perbedaan Era Modern dan Posmodern
Berangkat dari pembedaan di atas, posmodernis selanjutnya
mengiritik keras prinsip-prinsip tradisional keilmuan yang menjadi
trademark Jaman Modern. Lee Campbell menuliskannya dalam Tabel II-
5 berikut:44
Tabel II-5
Perbedaan Keilmuan Era Modern dan Posmodern
___________________________
44 Lee Campbell, “Postmodern Impact: Science,” dalam Dennis McCallum, ed., Ibid., hlm. 181-182.
54 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Industrialisasi yang menjadi “anak kandung” era modern, dengan
pabrik-pabrik sebagai simbol konsentrasi kegiatannya, ternyata mengalami
pergeseran besar-besaran pada era posmodern. Kekuasaan tidak lagi semata
ditentukan oleh kekuatan kapital dalam wujud pabrik-pabrik dengan
produksi massalnya, melainkan pada kemampuan menguasai informasi.
Sektor informasi ternyata berpotensi menyerap lapangan kerja yang lebih
besar, karena para pekerja tidak perlu harus terkonsentrasi di satu tempat.
Melalui jaringan kerja yang heterotopia itu (istilah yang dipinjam dari Michel
Foucault45), orang dapat bekerja di mana saja. Suatu produk yang dulu
digarap satu atau beberapa pihak secara terbatas, dewasa ini dapat menjadi
karya bersama. Mobil yang chasing-nya dibuat di Jepang, dapat dikombinasi
dengan mesin suplaian Korea, ban depan dari Cina, kaca depan dari Taiwan,
dan kemudian dirakit di Indonesia untuk dipasarkan di Papua Nugini.
Pendekatan produsen terhadap konsumenpun makin bersifat personal.
Oleh sebab itu, produk massal yang standar diganti dengan produk
segmentaris yang beraneka ragam (multivalence). Untuk mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang makin luas dan personal, dikembangkan
___________________________
45 Michel Foucault, The Order of Things: An Archaelogy of the Human Sciences (New York: Pantheon
Books, 1970), hlm. xviii.
SHIDARTA — 55
strategi pengambilan keputusan yang a-hirarkis. Hal ini sejalan dengan
berkumandangnya gerakan “konsumerisme” dengan hak-hak dasar
konsumen, seperti antara lain dikemukakan oleh John F. Kennedy
melalui pidatonya yang monumental tanggal 15 Maret 1962, yaitu: (1)
the right to safety; (2) the right to be informed; (3) the right to choose; dan (4) the
right to be heard.46 Keputusan-keputusan tidak mungkin lagi diambil secara
sepihak, melainkan harus melalui konsensus yang didialogkan secara
intersubjektif.
Akibat dari keadaan ini merambah ke mana-mana, tidak sekadar di
sektor manufaktur barang. Konsep sekolah, misalnya, yang seharusnya
dikenal sebagai wilayah paling konservatif, sekarang ini terpaksa harus
didefinisi ulang. Berkat jaringan dunia maya melalui komputer-komputer
pribadi (personal computers) yang luas memasyarakat,47 murid-murid
sebuah sekolah dapat belajar pada waktu yang sama langsung dari jarak
radius ribuan kilometer di seluruh penjuru dunia. Filosofi pendidikan
yang semula memandang siswa sebagai objek (objectivism) sekarang ini
telah berubah menjadi sebaliknya. Siswa tidak lagi dijejali pengetahuan
(transfer of knowledge) oleh guru sebagai pusat sumber belajar, tetapi
masing-masing siswa akan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
(constructivism). Tugas guru dan sekolah adalah sekadar memberikan
stimulus dan menawarkan konteks, sementara pusat pembelajarannya
ada pada setiap siswa.
___________________________
46 Lihat Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 36-37.
47 Fenomena komputer sendiri sungguh fantastis. Dimulai dari teknologi sederhana yang disebut
Electronic Numeral Integrator and Calculator (ENIAC) yang dibangun pertama kali tahun 1945 di
Universitas Pennsylvania (berbobot 1.500 ton, menyita ruangan 140 meter persegi), komputer
kini telah menjadi instrumen multimedia canggih yang praktis dan supermini. Pengaruh
komputer diramalkan kian penting (termasuk implikasi hukumnya) seiring dengan proyeksi
pertumbuhannya di berbagai negara. Gambaran statistik penggunaan komputer di 53 negara
dapat dilihat pada: eTForecasts, “Computers-in-Use-Forecast by Country,” <http://www.
etforecasts.com/products/ES_cinusev2.htm>.
56 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan II-c: Perbandingan Kutub Modern dan Posmodern
Jika banyak sektor harus diredefinisi akibat “hantaman” posmo-
dernisme ini, tentu pengaruh yang sama juga dialami ilmu hukum. Apa
yang dideskripsikan oleh Gary Saalman Jr. dalam ragaan sederhana di bawah
sedikit banyak mampu menunjukkan keterpengaruhan tersebut.48
Tabel II-6
Perbandingan Keilmuan Hukum Era Modern dan Posmodern
___________________________
48 Gary Saalman Jr., “Postmodernism Impact: Law,” dalam Dennis McCallum, ed., Loc. Cit.,
hlm. 166.
SHIDARTA — 57
Dominasi era modern yang secara tradisional menekankan pada semangat
Positivisme ala Auguste Comte, membawa dampak yang luar biasa pada
karakteristik ilmu hukum itu sendiri. Hukum telah terbiasa dipersepsikan
secara mekanistis, sebagai sarana yang objektif, dan stabil. Kehidupan sosial,
di mana interaksi individu dan/atau kelompok menjadi bagian di dalamnya,
akan terjamin tertib melalui norma-norma positif yang mekanis itu.
Mekanisme yang dijalankan oleh hakim menekankan pada uniformitas,
khususnya dalam hal penafsiran terhadap makna norma-norma itu sendiri.
Tafsir monolitik seperti ini akhirnya dipandang justru menjauhkan nor ma-
norma itu dari mayoritas subjek [pendukung] hukum itu. Tafsir monolitik
akhirnya menjadi tafsir monopolitis, dalam arti tafsir yang dikuasai oleh
sudut pandang penguasa politik dan ekonomi.
Monopoli tafsir yang berpusat pada penguasa di satu sisi menjamin
nilai-nilai kepastian, namun di sisi lain telah menggerogoti nilai-nilai
keadilan. Kaum posmodernis melihat hukum telah berpihak. Mereka
menyaksikan bahwa konsep “equality before the law” yang begitu dihormati
dan dibanggakan oleh negara-negara yang mengaku demokratis,49 ternyata
sekadar retorika yang menyesatkan dalam kehidupan sehari-hari. Putusan-
putusan pengadilan menjadi ajang “sandiwara” yang mahal, sementara
kebenaran yang dikejar adalah formal-prosedural belaka.
___________________________
49 Jargon “Equality before the law” hingga saat ini masih diyakini eksis dan menjadi semangat atau
roh demokrasi, sehingga dicantumkan dalam berbagai konstitusi negara-negara modern.
Bahkan, jargon ini ditulis dengan huruf yang besar di muka gedung Mahkamah Agung Amerika
Serikat untuk meyakinkan masyarakat tentang semangat tersebut.
58 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Bahaya tafsir monolitik seperti disinggung di atas, sebenarnya sudah
sejak lama dikritisi oleh teoretisi dan filsuf hukum. Lahirnya model-model
alternatif penalaran hukum di luar model Posivisme Hukum, sebagaimana
dibentangkan dalam Bab III, menunjukkan fenomena tersebut. Dalam hal
perkembangan ini, kredit terbesar patut diberikan kepada ilmu-ilmu empiris
hukum yang menggunakan perspektif eksternal, seperti sosiologi hukum,
sejarah hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.
Sosiologi hukum membuka mata para teoretisi dan filsuf hukum
tentang dimensi hukum yang hidup (living law), sehingga nilai-nilai
kemanfaatan menjadi penting untuk diakomodasi ke dalam pengembanan
hukum. Sejarah hukum dan antropologi hukum juga memberi andil, antara
lain dengan memberi tempat pada sumber-sumber alternatif hukum di
luar undang-undang. Hukum adat yang digali dari tradisi lokal terbukti
telah memperkaya khazanah sumber hukum di semua negara, sekalipun
mungkin tingkat prioritasnya berbeda-beda dalam berbagai sistem hukum.
Psikologi hukumpun demikian halnya. Ia berjasa telah mengurangi karakter
mekanistis hukum dengan menyadarkan banyak pihak terhadap sisi-sisi
manusiawi dari para pengemban hukum. Hakim adalah manusia yang rentan
terhadap tekanan-tekanan, seperti politis dan ekonomis.
Dengan demikian, salah satu ciri khas posmodernisme adalah
penolakannya yang kuat terhadap dominasi narasi (atau metanarasi). Selama
jaman modern, berlangsung suatu proyek untuk membangun masyarakat
baru atas dasar rasio universal. Program pencerahan ini percaya bahwa kaum
modern sanggup melihat dunia sebagaimana adanya, yang objektif dan bebas
dari mitos. Padahal, menurut kaum posmodernis, subjektivitas dan mitos-
mitos itu justru penting peranannya untuk mempertahankan hubungan-
hubungan sosial dalam masyarakat dan menjadi dasar untuk keabsahannya.
Kaum posmodernis menganggap sistem untuk mengabsahkan mitos-
mitos ini sebagai “narasi” (atau “metanarasi”). Metode-metode ilmiah lahir
dari percakapan antar-narasi, atau dapat juga disebut dialektika antar-mitos.
Oleh karena itu, manusia posmodern tidak boleh lagi berpegang kepada mitos
modern yang hanya meyakini satu narasi untuk mengabsahkan segala sesuatu.
Era ini adalah era di mana segala sesatu “tidak diabsahkan.” Akibatnya, konsep
posmodern selalu menyerang pandangan yang menganggap dirinya universal.
Posmoder n menyatakan “perang terhadap totalitas.”50
___________________________
50 Lihat Stanley J. Grenz, A Primer on Postmodernism: Pengantar untuk Memahami Postmodernisme,
terjemahan Wilson Suwanto (Yogyakarta: Andi, 2001), hlm. 74-75.
SHIDARTA — 59
Ciri khas lainnya dari posmodernisme adalah “tanpa titik pusat,” suatu
konsep yang menggantikan “universe” menjadi “multiverse.” Perubahan
orientasi berpikir ini mengubah paradigma ilmu hukum yang dikembangkan
suatu negara.51 Ilmu hukum sebagai ilmu praktis tentu menghadapi
problema konkret yang tidak mungkin seragam antara satu tempat dan
tempat lainnya, atau dari satu waktu ke waktu berikutnya. Ilmu hukum
bahkan merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang paling dinamis dan terbuka
terhadap perkembangan jaman.
Dinamika tersebut dapat dibuktikan secara mudah dari masuknya nilai-
nilai anti-tafsir monolitik itu (yang oleh bidang lain dianggap orisinalitas
posmodern) ke dalam disiplin hukum jauh mendahului periode inkubasi
posmodernisme itu sendiri. Stanley J. Grenz mencatat tanggal 15 Juli 1972
sebagai hari kelahiran posmodernisme, yakni ketika pertama kali proyek
rumah Pruitt-Igoe di St. Louis diledakkan dengan dinamit untuk menandai
kehancuran desain arsitektur modern.52 Tentu saja, penetapan satu tanggal
seperti yang disinyalir oleh Grenz akan ditolak banyak pihak, mengingat
istilah “postmodern” itu sendiri sudah muncul pada tahun 1930-an, antara
lain melalui tulisan Frederico de Onis atau Arnold Toynbee. Dalam bukunya
“Study of History,” Toynbee yakin benar bahwa sebuah era sejarah baru
telah dimulai, meskipun ia sendiri ragu-ragu mengenai awal munculnya,
entah pada saat Perang Dunia I berlangsung atau sejak tahun 1870-an.53
Jika yang dipersoalkan oleh posmodernisme hanya sekadar penolakan
terhadap tafsir monolitik, metanarasi, universe, atau tema-tema lain yang
senapas dengan itu, maka cara berpikir seperti ini sudah muncul jauh
sebelum tahun 1930. Sebagai contoh, tulisan Sophocles dalam karya
termasyhurnya “Antigone” secara cerdas sudah mempertanyakan
keabsahan narasi suatu undang-undang. Dalam naskah drama klasik itu
tergambarkan betapa keras tentangan Antigone dan Haemon atas undang-
undang yang dikeluarkan oleh Creon yang melarang penguburan mayat
Polyneices.54
___________________________
51 Mengenai batasan “paradigma” akan dibahas dalam subbab D, khususnya tatkala
memperbincangkan buah pemikiran Thomas Kuhn. Mengenai paradigma ilmu hukum nasional
Indonesia, lihat B. Arief Sidharta, Refleksi..., hlm. 180-196.
52 Stanley J. Grenz, Op. Cit., hlm. 25. Bandingkan juga dengan tulisan Steven Connor, Postmodernist
Culture (Oxford: Basil Blackwell, 1989), hlm. 69.
53 Stanley J. Grenz, Ibid., hlm. 31.
54 Di antara sekian banyak terjemahan karya Sophocles yang memuat naskah drama di atas, yang
paling banyak direkomendasikan untuk dibaca (karena kesederhanaan bahasanya) adalah
Sophocles, The Oedipus Plays of Sophocles: the Oedipus King, Oedipus at Colonus, Antigone, terjemahan
Paul Roche (New York: Plume/NAL, 1996).
60 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sekalipun gugatan-gugatan terhadap “mitos” objektivitas undang-
undang ini sudah dikumandangkan lebih awal dari masa kelahiran
posmodernisme, harus diakui bahwa pengaruh posmodernisme ini cukup
signifikan untuk “mengakhiri” atau setidaknya “menggoyahkan” sendi-
sendi berpikir ala jaman modern. Boleh jadi, kekuatan dari gugatan
posmodernisme ini terletak pada ketepatan momentumnya, yakni saat sekat-
sekat nasionalitas telah tercabik-cabik (borderless world) berkat teknologi
komunikasi dan informasi.
Dinamika yang luar biasa cepatnya ini direspons oleh ilmu hukum.
Mengingat ilmu hukum ini selalu berdimensi nasional, maka dengan
sendirinya perubahan tersebut mengejawantah ke dalam sistem hukum
positif negara tersebut. Di sinilah terletak relevansi diskursus sudut pandang
modern-posmodern ini terhadap sistem hukum Indonesia. Artinya, semua
keberatan yang dialamatkan terhadap pola penalaran hukum khas jaman
modern itu, berlaku juga sebagai dasar gugatan terhadap pola-pola yang
diadopsi oleh model penalaran hukum di Indonesia. Hal-hal ini akan
menjadi materi kupasan Bab IV.
C. ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
Aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang akan dijabarkan
di bawah mempersiapkan sebuah kerangka diskusi untuk menelaah model-
model penalaran, baik dalam konteks hukum-hukum penalaran (seperti
dimuat dalam bab ini) maupun untuk penalaran hukum (yang diposisikan
pada Bab III). Masing-masing aspek akan menguraikan latar belakang
pencantuman: (1) Idealisme, Dualisme, dan Materialisme; (2) Intuisionisme,
Rasionalisme, dan Empirisme; dan (3) Idealisme-etis, Deontologisme-etis,
dan Teleologisme-etis, sebagai sumbu-sumbu skematis dari setiap model
penalaran. Dengan demikian, aspek-aspek yang dikemukakan berikut
memberikan semacam “pertanggungjawaban” atas penempatan sumbu-
sumbu skema bersudut 90° tersebut.
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis antara lain mempersoalkan apa yang merupakan
hakikat dari realitas. Tampaknya pertanyaan ontologis sungguh-sungguh
mengundang perhatian tak berkesudahan, bahkan ia telah menandai
kelahiran pertama filsafat, yang diawali dari proyek kontemplatif Thales
(624–546 SM) tentang hakikat alam semesta.
SHIDARTA — 61
Aneka jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang
hakikat realitas tersebut melahirkan sejumlah pendekatan. Ada yang melihat
inti realitas sebagai materi, sementara yang lain melihatnya sebagai ide
(gagasan). Pandangan monistis yang hanya memilih salah satu dari alternatif
di atas, ditentang oleh aliran Dualisme, yang mengatakan hakikat realitas
justru keduanya sekaligus.
Materialisme berpendapat bahwa hakikat dari segala sesuatu yang “ada”
itu adalah materi. Jiwa bukanlah hakikat yang berdiri sendiri, melainkan
akibat dari pergerakan benda-benda materi. Pandangan demikian dapat
ditarik ke belakang, ke pemikiran “Atomisme” dari Demokritos (460–370
SM). Menurutnya, atomlah wujud materi terkecil tersebut. Apa yang ada
(materi) hanya mungkin muncul dari yang ada (materi juga). Tidak mungkin
sesuatu yang tidak eksis (nonmateri) dapat menghadirkan sesuatu yang
materi. Unsur terkecil materi tersebut menempati ruang kosong, dan karena
itu atom-atom ini terus bergerak, bertabrakan, dan menciptakan sistem
gerakan (mekanisme) tertentu, yang dikenal sebagai hukum alam (law of
nature).
Dalam filsafat Timur, Materialisme juga telah menjadi dasar falsafah
yang cukup berpengaruh, seperti Charvakah di India pada Abad ke-7 SM.
Materialisme kemudian terus berkembang dalam berbagai versi pemikiran,
seperti Materialisme-rasionalistis, Materialisme-parsial, Materialisme-
antropologis, Materialisme-dialektis, atau Material-isme-historis.55
Pandangan yang bertolak belakang dari Materialisme adalah Idealisme.
Menurut Idealisme, hakikat “pengada” itu justru unsur rohani (spiritual).
Rohani adalah dunia ide, bukan dunia materi. Ide lebih hakiki dibandingkan
materi karena yang disebutkan terakhir ini hanyalah penjelmaan dari yang
pertama. Inilah penjelasan umum tentang Idealisme.
Konsep Idealisme tergolong sulit untuk dijelaskan. Bahkan, setelah
mempelajari sekitar 13 pemikiran Idealisme, G. Watts Cunningham harus
sampai kepada kesimpulan, “A satisfactory answer is not readily to be had. . .
.Idealism shows itself to be a very complicated doctrine....”56
Ada banyak pembedaan Idealisme, yang tentu tidak relevan untuk
ditunjukkan satu per satu di sini. Pembedaan yang paling sederhana misalnya
dibuat oleh Nicholas Rescher dengan membagi menjadi dua kelompok,
___________________________
55 Penjelasan tentang masing-masing aliran tersebut lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 593–607.
56 G. Watts Cunningham, The Idealistic Argument in Recent British and American Philosophy (New
York: The Century Co., 1933), hlm. 337.
62 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
yaitu Causal Idealism dan Supervenience Idealism. Idealisme yang pertama
berpendapat bahwa segala sesuatu lahir dari aktivitas mental yang tunduk
pada hukum kausalitas. Idealisme jenis kedua juga meyakini adanya aktivitas
mental serupa. Hanya saja, aktivitas itu tidak tunduk pada hukum sebab-
akibat, melainkan pada ketergantungan eksistensial lainnya.57 Di luar itu
masih ada kategori Idealisme-absolut, Idealisme-subjektif, Idealisme-
objektif, Idealisme-transendental, Idealisme-epistemologi, Idealisme-
personal, Idealisme-etis, dan sebagainya. Jerman adalah negara yang banyak
memproduksi pemikir-pemikir Idealisme, sehingga dikenal ada Idealisme
Jerman.58
Satu hal yang harus diingatkan Rescher, bahwa Idealisme tidak selalu
harus disalahpahami seakan-akan pasti menafikan materi. Ia berkata:59
Idealists need not deny matter—they need not be immaterialists. The central point of
their doctrine is simply that matter-as-we-know-it is something in whose nature traces of
the operation of mind can be detected: that at least some of its aspects have to be seen as
mind-originated: that matter has features that are inextricably rooted in the operations of
mind. In the final analysis, any doctrine that denies the existence of in-principle unknowable
‘things-in-themselves’ and insists that the only reality there is is a potentially knowable
reality is a form of idealism (seeing that its in-principle knowability will render reality
mind coordinated).
Plato (427–347 SM) adalah filsuf yang berjasa menjelaskan secara
sederhana aliran berpikir Idealisme ini. Ia menyatakan, materi itu bisa saja
berubah atau bahkan musnah, tetapi ide tentang materi tersebut tidak hilang.
Kuda, misalnya, dapat berbeda-beda warna, berat, dan penampakannya,
atau menjadi tua, sakit, dan mati. Kendati “materi” kuda ini sudah tidak
eksis lagi, ternyata ide tentang kuda itu tetap abadi.
Walaupun Plato mengemukakan Idealisme, ia sendiri biasanya tidak
dimasukkan dalam kelompok penganut paham ini. Plato lebih dipandang
sebagai pengemuka pandangan Dualisme. Istilah “Dualisme” sendiri lahir
dari Thomas Hyde (sekitar tahun 1700) untuk menunjuk pada konflik
kebaikan melawan kejahatan antara Ormazd dan Ahriman dalam
Zoroastrianisme.60 Aliran berpikir ini berpendapat bahwa hakikat “pengada”
dalam alam semesta ini terdiri dari dua sumber di atas sekaligus, yaitu materi
dan rohani. Oleh Aristoteles (384–322 SM) kedua sumber ini disebut sebagai
___________________________
57 Nicholas Rescher, “Idealism,” dalam Jaegwon Kim & Ernest Sosa, eds., A Companion to
Metaphysics (Oxford: Blackwell, 1995), hlm. 227.
58 Lihat penjelasan singkat macam-macam Idealisme itu dalam Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 300-303.
59 Nicholas Rescher, Loc. Cit., hlm. 227–228.
60 Penjelasan lebih lanjut tentang Dualisme, lihat Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 174–175.
SHIDARTA — 63
wujud “materi” dan wujud “forma.” René Descartes (1596–1650)
menyebutnya sebagai “ruang” atau “materi berkeluasan” (res extensa) dan
“kesadaran” (res cogitans).
Dualisme menjadi pandangan yang menarik karena dapat dijelaskan
langsung keberadaannya pada diri manusia. Walaupun begitu, Dualisme
dinilai tidak mampu menjawab pertanyaan tentang kesesuaian antara materi
dan ide, bagaimana dan siapa yang membuat kedua realitas itu dapat
berkesesuaian.
Semua wujud realitas di alam semesta pada dasarnya dapat dijadikan
objek-contoh untuk menjelaskan ketiga pendekatan ontologis tersebut.
Dalam konteks ini, objek yang dijadikan sorotan adalah realitas “hukum”
itu sendiri. Pilihan ini sengaja dilakukan guna mempertajam deskripsi model-
model penalaran hukum yang dibentangkan pada bab selanjutnya.
Polemik sekitar aspek ontologis hukum dapat dirumuskan dengan
kalimat sederhana yaitu: apakah hukum itu termasuk dalam kriteria materi,
ide, atau keduanya sekaligus? Untuk dapat menjawab hal ini, jalan terbaik
adalah memahami terlebih dulu pandangan filsuf Romawi, Cicero (106–
43 SM): “Di mana ada masyarakat di situ ada hukum” (ubi societas ibi ius).
Dalam sebuah karya besarnya, “De Legibus” (On the Law), Cicero
mengatakan:61
Law is the highest reason, implanted in nature, which commands what ought to be done
and forbids the opposite. This reason, when firmly fixed and fully developed in the human
mind, is Law. They believe that Law is understanding; whose natural function it is to
command right conduct and forbid wrongdoing . . . The origin of Justice is to be found in
Law, for Law is a natural force; it is the mind and reason of the intelligent man, the
standard by which Justice and Injustice are measured . . . In determining what Justice is,
we may begin with that Supreme Law which had its origin ages before any written law
existed or any state had been established.
Pemahaman Cicero tentang hukum, bahwa di satu sisi hukum menyatu
dengan masyarakat, dan di sisi lain hukum juga merupakan akal budi alamiah
dan manusiawi, menunjukkan ada keterkaitan konsep hukum dan konsep
kebudayaan manusia. Dalam Bab III mendatang memang dikemukakan
beberapa pemaknaan hukum bahwa hukum dapat diartikan sebagai asas
kebenaran dan keadilan, norma positif dalam sistem perundang-undangan,
perilaku sosial yang terlembagakan, putusan pengadilan, atau manifestasi
makna-makna simbolik para pelaku sosial yang muncul dalam hubungan
___________________________
61 J.M. Ke ll y, Short History of Western Legal Theory, ed. 2 (Oxford: Clarendon Press, 1994), hlm. 58.
64 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
interaksional—namun semua aspek ontologis di atas dapat dialirkan ke
satu kata: “kebudayaan”. Hukum tidak sekadar produk politik, tetapi produk
kebudayaan manusia.
Menurut C.A. van Peursen, kebudayaan merupakan endapan dari
kegiatan dan karya manusia atau manifestasi kehidupan setiap orang dan
setiap kelompok orang.62 Selo Soemardjan mengartikan kebudayaan sebagai
keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya masyarakat yang dimanfaatkan
menurut karsa masyarakat itu. Cipta adalah kemampuan berpikir yang dapat
menghasilkan pengertian-pengertian yang abstrak seperti teori, filsafat,
pandangan hidup, dan bahasa. Rasa meliputi dua bidang, yakni (1) rasa
yang bersumber pada pancaindera dan dengan kehalusannya melahirkan
seni yang indah; dan (2) rasa kejiwaan yang mampu menimbulkan nilai-
nilai budaya untuk membedakan antara yang luhur dan jahat. Kemudian,
karya adalah kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan kekuatan-
kekuatan yang tersembunyi di dalam alam dan masyarakat untuk memenuhi
keperluan manusia. Kemampuan karya ini melahirkan teknologi. Terakhir,
karsa adalah kehendak, kemauan, atau keinginan, baik yang bersifat luhur
maupun jahat.63
Manifestasi kehidupan yang disebut kebudayaan itu mengejawantah ke
dalam sedikitnya tujuh unsur yang berlaku universal, yaitu: (1) sistem religi dan
upacara keagamaan; (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan; (3) sistem
pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup; dan
(7) sistem teknologi dan peralatan.64 Dari urutan di atas, unsur yang makin
belakangan disebutkan, makin mudah baginya untuk berubah. Sekalipun
demikian, seperti juga ditegaskan oleh van Peursen, secara keseluruhannya
pengertian kebudayaan makin bergeser, dari semula dianggap sebagai kata benda
(statis), sekarang telah berubah menjadi kata kerja (dinamis).
Koentjaraningrat kemudian membagi perwujudan kebudayaan itu ke
dalam tiga bentuk, yaitu:65
a. suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan-peraturan dan sebagainya;
___________________________
62 Lihat C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terjemahan Dick Hartoko, cet. 5 (Jakarta-Yogyakarta:
BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1985), hlm. 9, 10
63 Selo Soemardjan, “Adat, Modernisasi, dan Pembangunan,” dalam E. Suherman et al., Kumpulan
Tulisan untuk Mengenang Teuku Mohammad Radhie (Jakarta : UPT Penerbitan Universitas
Tarumanagara, 1993), hlm. 78.
64 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, cet. 12 (Jakarta: Gramedia, 1985),
hlm. 2.
65 Ibid., hlm. 5.
SHIDARTA — 65
b. suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat;
c. benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga pemaknaan kebudayaan tersebut mengingatkan pada batasan
yang kurang lebih sama diberikan oleh Clifford Geertz. Menurutnya,
kebudayaan adalah sebuah pola makna-makna (a pattern of meanings) atau
ide-ide yang ternuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat
menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan
kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu.66
Wujud kebudayaan yang pertama di atas bersifat abstrak, berupa tata
kelakukan untuk mengatur, mengendalikan, dan memberi arah atas
perbuatan manusia dalam masyarakat. Lokasinya ada di dalam hati atau
benak warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, yang dapat saja
kemudian dituangkan dalam karya-karya konkret seperti buku teks, kitab
undang-undang, yang dari aspek fisiknya dapat dikategorikan ke bentuk
ketiga kebudayaan.
Selanjutnya, wujud kedua kebudayaan adalah sistem sosial, yang terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi. Semua bentuk interaksi
ini dalam waktu ke waktu membentuk pola tertentu berdasarkan tata
kelakuan (wujud kebudayaan pertama). Berbeda dengan wujud pertama,
pada kebudayaan ini pada wujud kedua ini sudah lebih konkret karena
dapat diamati langsung, difoto, dan didokumentasikan. Fenomena inilah
yang kemudian dijadikan objek studi oleh para sosiolog, antropolog, dan
pengkaji humaniora.
Wujud ketiga kebudayaan adalah semua benda yang bersifat fisik. Dari
artefak kuno, candi, sampai ke chips komputer, semua adalah wujud
kebudayaan jenis ketiga ini. Dibandingkan dengan wujud kebudayaan yang
pertama dan kedua, tentu saja benda-benda fisik ini memperlihatkan tingkat
dinamika paling tinggi.
Demikianlah, maka pemaknaan hukum pada gilirannya juga dapat
dimasukkan dalam wujud-wujud kebudayaan tersebut. Hukum sebagai asas
kebenaran dan keadilan, norma positif dalam sistem perundang-undangan,
atau berupa putusan hakim, merupakan bukti kebudayaan jenis pertama.
Sementara itu, hukum sebagai pola perilaku atau manifestasi makna-makna
simbolik dalam interaksi para pelaku sosial adalah wujud kedua kebudayaan.
___________________________
66 Daniel L. Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, terjemahan Inyiak Ridwan
Muzir & M. Syukri (Yogyakarta: IRCISoD, 2001), hlm. 386.
66 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Konsep yang lebih menarik lagi disampaikan oleh Bernardo Bernadi,
yang kemudian direduksi oleh Soerjanto Poespowardojo, dengan membagi
fenomena kebudayaan dalam empat faktor dasar, yaitu anthropos, oikos, tekne,
dan ethnos.67 Untuk melihat kaitan antara faktor-faktor di atas dengan
pemaknaan hukum, maka keempat faktor yang disampaikan oleh Bernado
Bernadi dan Soerjanto Poespowardojo dapat dielaborasi sebagai berikut.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia
bukanlah mahluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya,
manusia perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih
bermakna. Potensi manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen
kebudayaan. Hanya manusia yang sanggup berkebudayaan, karena dialah
yang mampu mengkreasikan dan memanfaatkan simbol-simbol dalam
kehidupannya. Rasanya tidak berlebihan apabila Ernst Cassirer menyebut
manusia sebagai animal symbolicum. Menurutnya, salah satu kelebihan manusia
dibandingkan mahluk lainnya adalah karena manusia memiliki sistem
simbolis yang mampu mengubah seluruh kehidupannya.68 Hukum dengan
demikian adalah juga simbol-simbol kehidupan manusia. Simbol-simbol
hukum tersebut demikian beragam, sehingga memaknai hakikat hukum
secara komprehensif hanyalah mungkin dilakukan apabila ia tidak didekati
dari satu sudut pandang. Model-model penalaran hukum sebagaimana
disajikan pada Bab III merupakan upaya untuk melihat pemaknaan simbol-
simbol hukum secara lebih komprehensif.
Oikos adalah universum kosmis, yakni lingkungan alam tempat manusia
melakukan proses kreativitasnya. Lingkungan inilah yang menjadi medan
perjuangan manusia, sehingga muncul hubungan struktural antara manusia
dan alam sekitarnya. Kebudayaan dengan demikian diberi konteksnya dalam
jagad alam semesta. Kebudayaan hanya mungkin eksis selama manusia
terikat dalam konteks ruang dan waktu. Demikian pula halnya dengan
hukum sebagai produk kebudayaan! Oleh sebab itu, pemberian konteks
keindonesiaan dalam memaknai hakikat hukum (termasuk penalarannya),
sebagaimana dipaparkan pada Bab IV, sangat relevan untuk dilakukan.
___________________________
67 Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, cet. 2 (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), hlm. 7-9. Bandingkan dengan Bernado Bernadi, “The Concept of
Culture: A New Presentation,” dalam Bernado Bernadi, ed., The Concept and Dynamics of Culture
(The Hague: Mouton, 1977), yang menurut Soerjanto, tidak mengemukakan faktor tekne,
melainkan chronos yang menunjukkan dimensi waktu.
68 Ernst J. Cassirer, An Essay on Man (New Haven: Yale University Press, 1944), hlm. 24. Buku
lain yang cukup komprehensif membahas tentang makna simbol dalam kebudayaan manusia
adalah karya F.W. Dillistone, The Power of Symbols (London: SCM Press, 1986).
SHIDARTA — 67
Faktor ketiga adalah tekne, yaitu peralatan yang digunakan manusia
sebagai perpanjangan tangan untuk membantunya mengolah kehidupan
ini. Sejak lama manusia dikenal sebagai “a tool making animal.” Seberapa
cepat perubahan kebudayaan manusia, sangat dipengaruhi oleh seberapa
besar akses yang diserap seseorang atau sekelompok orang terhadap
teknologi yang menimpanya. Demikian pula halnya dalam rangka memaknai
hukum dan penalarannya. Dalam penalaran hukum, undang-undang adalah
sumber hukum yang penting namun ia tidak boleh dijadikan tekne satu-
satunya yang memvalidasi penalaran. Kedudukan dan peranan tekne ini
sangat penting, bahkan menentukan pola-pola penalaran yang dipakai oleh
masing-masing model penalaran seperti diungkapkan dalam Bab III.
Faktor terakhir adalah ethnos, yaitu manusia sebagai komunitas.
Kebudayaan pada dasarnya merupakan produk komunal. Ia lahir sebagai
hasil interaksi individu-individu yang mendukungnya. Karena lahir dari
kolektivitas, maka kebudayaan juga akan dikembalikan kepada kolektivitas
itu juga, yang antara lain dituangkan dalam jalinan nilai-nilai yang mengatur
tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Dalam kaitannya dengan penalaran
hukum, faktor ethnos ini antara lain direpresentasikan oleh komunitas
partisipan (medespeler) dan pengamat (toeschouwer). Setiap komunitas memiliki
kecenderungan penggunaan pola penalaran sendiri karena berangkat dari
keyakinan kolektif mereka dalam memaknai hukum tersebut.
Keseluruhan deskripsi di muka menunjukkan bahwa aspek ontologis dari
hukum sungguh-sungguh kompleks. Hukum tidak dapat direduksi sekadar
menjadi produk politik. Ia adalah produk kebudayaan manusia, baik sebagai
mahluk individu maupun mahluk sosial. Dalam koridor berpikir demikian, maka
rentang hakikat hukum tersebut berada dalam dimensi materialis sekaligus idealis.
2. Aspek Epistemologis
Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena memiliki dua
modal utama, yaitu bahasa yang komunikatif dan kemampuan berpikir
menurut kerangka tertentu.69 Dengan dua modal tersebut manusia dapat
melakukan kegiatan berpikir (kognitif) untuk menemukan pengetahuan
yang benar. Proses kegiatan berpikir ini disebut dengan penalaran.
Penalaran [reasoning (Ingg ris), ratiocinium (Latin)] dimaknai oleh Lorens
Bagus dalam tiga pengertian:70
___________________________
69 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet. 2 (Jakarta: Sinar Harapan,
1985), hlm. hlm. 40.
70 Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 794-795.
68 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
a. proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan;
b. penerapan logika dan/atau pola pemikiran abstrak dalam memecahkan
masalah atau tindakan perencanaan;
c. kemampuan untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung
persepsi inderawi atau pengalaman langsung.
Ditambahkannya, penalaran adalah suatu jenis kegiatan (atau keadaan
kesadaran) yang dapat dibedakan dengan jenis lainnya, seperti mimpi,
imajinasi, ingatan, intuisi, membayangkan, mengamati, menginderai,
menekan perasaan, melarang, mengontrol, menyeleksi, menipu. Adalah
mungkin, menurutnya, bahwa suatu unsur atau bentuk penalaran tercakup
dalam tiap-tiap hal tersebut, sehingga penalaranpun dapat digunakan untuk
bermacam-macam tujuan: menipu, membantah, berdebat, meragukan,
mengajak, menyatakan, menjelaskan, meminta maaf, rasionalisasi, dan
sebagainya. “Rupa-rupanya setiap bentuk kegiatan sadar dapat dipengaruhi
dan dibentuk oleh proses penalaran,” ujar Lorens Bagus.71
Secara sederhana penalaran dalam penelitian ini lebih diartikan sebagai
proses atau kegiatan berpikir menurut pengertian pertama dan kedua. Produk
dari penalaran ini disebut keputusan (kesimpulan, konklusi, argumen).
Penalaran pada hakikatnya digunakan pada semua lapangan kehidupan
manusia. Penalaran mendapatkan aksentuasi yang sangat tinggi, terutama
pada lapangan ilmiah. Struktur keilmuan yang dimiliki suatu ilmu sangat
menentukan model-model penalaran yang digunakan. Pada galibnya, orang
membatasi kegiatan penalaran pada kegiatan rasional. Hal ini tidak salah,
mengingat penalaran memang terkait dengan logika. Namun, penalaran
tidak mungkin dilakukan dengan modal logika belaka, sehingga logika harus
pula dibantu oleh disiplin lain. Bantuan ini terutama datang dari bahasa.
Bahasa diperlukan karena objek yang dinalar adalah simbol-simbol
yang lahir sebagai produk kebudayaan manusia. Objek bahasa adalah
simbol-simbol komunikasi. Dengan demikian, dalam praktiknya, penalaran
yang mengandalkan rasio itupun harus berkolaborasi dengan modalitas
lainnya, seperti intuisi dan empiri. Semua modalitas itu saling melengkapi,
khususnya dalam penalaran-penalaran bidang ilmu tertentu.
Sayangnya, kerja sama antar-modalitas tersebut tidak sepenuhnya
terjadi, paling tidak dalam wacana filsafat pengetahuan (epistemologi).
Dalam jaman modern, dikotomi antara Empirisme dan Rasionalisme
menjadi objek perdebatan besar.
___________________________
71 Ibid.
SHIDARTA — 69
Empirisme berasal dari kata empirik, yang berarti pengalaman
(empeiria). Empirisme adalah aliran dasar dalam epistemologi yang
menganggap sumber satu-satunya pengetahuan bagi manusia adalah
pengalaman, tepatnya melalui observasi inderawi. Tokoh utama dari
empirisme adalah John Locke (1632-1704), pencetus teori Tabula Rasa
(harfiah berarti “meja lilin”), yang kemudian dikenal luas sebagai Bapak
Empirisme. Selain John Locke, terdapat tokoh-tokoh lain yang dapat
dikelompokkan dalam penganut empirisme, seperti Francois Bacon
(1561-1626) yang hidup sebelum Locke, kemudian Berkeley (1685-1753)
dan David Hume (1711-1776).
Asumsi pokok yang mendasari aliran filsafat ini adalah bahwa
pengalaman atau pancaindera merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan. Pancaindera manusia tidak mungkin “berbohong” sehingga
kalau terjadi kesalahan dalam pengetahuan yang diperoleh, semata
disebabkan oleh kesalahan interpretasi manusia itu sendiri.72 Seperti
disampaikan oleh Teori Tabula Rasa, tatkala manusia lahir ia tidak membawa
pengetahuan apa-apa (tidak ada ide bawaan). Pengalaman hidupnyalah yang
mengajarkan segala sesuatu, sehingga sedikit demi sedikit manusia mampu
menghimpun pengetahuannya.
Bagaimana pengalaman langsung itu dapat melahirkan pengetahuan
manusia? E. Mach (1838-1916) mengatakan, bahwa dasar pengetahuan
adalah pengalaman langsung dari kenyataan. Namun, Mach mempunyai
pengertian spesifik terhadap sifat kenyataan itu. Menurutnya, kenyataan
itu tidak terdiri dari “objek-objek” yang dapat langsung dikenal, akan tetapi
terdiri dari warna, suhu, waktu, dan sebagainya, yang merupakan unsur
dasar atau disebut dengan elemen. Inilah yang dapat ditangkap oleh
pancaindera. Jadi, keseluruhan kenyataaan yang dialami oleh manusia adalah
“arus elemen.” Arus elemen inilah yang menjadi dasar pengembangan ilmu.
Mach menambahkan, bahwa apa yang disebut pengetahuan adalah hasil
reduksi atau pemadatan pengalaman. Pengalaman yang luas mengenai arus
elemen akan dipadatkan sehingga sampai pada konsep tertentu. Himpunan
elemen tertentu direduksi menjadi satu konsep tertentu. Tegasnya, konsep
itu adalah “ringkasan himpunan elemen” yang sempat dialami, atau lambang
(symbol) untuk himpunan elemen itu. Pembentukan konsep terjadi demi
kemudahan dan efisiensi. Wuisman memberi contoh apa yang disampaikan
___________________________
72 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid I: Asas-Asas (Jakarta: Lembaga Penerbit FE
UI, 1996), hlm. 5.
70 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Mach dengan menunjuk “meja” sebagai suatu konsep. Meja, sebagai objek
saja, adalah tidak ada. Apa yang ada hanya warna, suhu, kepadatan, suara,
dan waktu. Hal-hal tersebut dialami melalui pancaindera. Pengalaman yang
dikumpulkan berkaitan dengan meja itu luas, dan demi efisiensi, diringkas
dengan menciptakan lambang tertentu, yaitu kata “meja.” Sekali lagi, objek
itu tidak ada. Semua pengetahuan adalah hasil konstruksi dalam pikiran
manusia sendiri.73
Bertrand Russels (1872-1970) dalam batas-batas tertentu setuju dengan
pemikiran Mach. Pengetahuan yang diperoleh dari pancaindera, oleh Russels
disebut dengan “keterangan pancaindera” (sense data) dan dianggapnya
sebagai “fakta keras” (hard facts). Sama seperti Mach, Russels juga
menganggap bahwa objek saja tidak ada. Semua benda tidak lain hanyalah
“rangkaian fakta keras.” Namun, berbeda dari Mach, pengetahuan menurut
Russels bukan ringkasan pengalaman demi kemudahan atau efisiensi semata,
akan tetapi “hasil analisis logis” terhadap fakta-fakta keras itu. Dengan
demikian Russels menjadikan logika (ilmu mantik) sebagai unsur yang
memainkan peranan sangat penting dalam ilmu. Pengetahuan selalu
dikaitkan dengan daya nalar manusia.74
Kebenaran menurut Empirisme berangkat dari pendekatan Teori
Korepondensi. Menurut teori ini, suatu pernyataan benar apabila materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi
(berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.75
Empirisme juga kemudian mengembangkan teori kebenaran lain yang
disebut Teori Pragmatis, dengan tokohnya antara lain Charles S. Pierce
(1839-1914). Kebenaran menurut teori ini muncul dari proses pembuktian
empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu
pernyataan tertentu. Bagi seorang pragmatis, kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam
kehidupan manusia.76
Pendekatan induktif yang digunakan Empirisme ditentang oleh aliran
berpikir Rasionalisme. Rasionalisme adalah aliran dasar dalam epistemologi
yang menganggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah rasio (akal
___________________________
73 Ibid.
74 Ibid., hlm. 6.
75 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah..., Op. Cit., hlm. 57.
76 Ibid., hlm. 57-58.
SHIDARTA — 71
budi). Rasionalisme sendiri tidak menolak besarnya manfaat pengalaman
inderawi dalam kehidupan manusia. Namun, persepsi inderawi hanya
digunakan untuk merangsang kerja akal. Terbukti akal manusia tidak
bergantung begitu saja pada indera. Jika penangkapan indera itu meragukan
akal, maka akal dapat saja menolaknya. Dengan demikian, menurut
pendapat kaum rasionalis, jelas akal berada di atas pengalaman inderawi.
Descartes (1596–1650) adalah tokoh penting dalam Rasionalisme. Ia
melihat realitas sebagai substansi yang terdiri dari dua macam: (1) ide,
gagasan, pikiran, atau kesadaran (res cogitan); dan (2) materi atau perluasan
(res extensa). Kesadaran tidak terikat pada ruang dan waktu, namun sebaliknya
dengan perluasan. Raga manusia bisa saja menjadi tua dan rusak, tetapi
tidak pikirannya. Oleh karena itu, Descartes berkeyakinan bahwa di luar
kesadaran hanyalah perluasan semata. Eksistensi manusiapun ditentukan
oleh kesadarannya. Keyakinan ini disampaikan dengan slogannya yang
terkenal “Cogito ergo sum!” (Aku berpikir maka aku ada).
Keterpisahan antara kesadaran dan perluasan ini ditentang oleh Baruch
Spinoza (1632–1677). Ia berpendapat kedua hal itu menyatu dalam
ungkapan tentang alam (termasuk Tuhan), sehingga keduanya juga terikat
pada ruang dan waktu. Alam dan Tuhan dengan demikian diidentikkan
oleh Spinoza (Panteisme).
Kekhawatiran terhadap berlarut-larutnya dikotomi empiri dan rasio
mengundang Immanuel Kant (1724–1804) untuk menyuarakan
pendapatnya. Kekhawatirannya ini antara lain dipicu oleh dampak
perdebatan epistemologis tersebut, yang ternyata telah menyentuh wilayah
teologis seperti diungkapkan Spinoza. Menurut Kant, dikotomi ini
seharusnya tidak perlu ada, karena keduanya dapat saling mengisi. Apabila
Rasionalisme menekankan pada segi bentuk (formal) dan Empirisme pada
segi isi (material), maka ilmu jelas membutuhkan keduanya. Dalam rangka
inilah Kant membangun filsafat kritis yang berpedoman pada pernyataan
bahwa “pemikiran tanpa isi adalah kosong, sedangkan intuisi tanpa konsep-
konsep adalah buta.” Isi atau intuisi di sini menyangkut data empiris,
sedangkan konsep adalah bentuk pikiran.77
Pendekatan kompromis ala Kant tidak cepat populer di kalangan filsuf
yang sejaman dengannya. Reaksi untuk tetap bertahan pada pendekatan
dikotomis, pertama-tama datang dari G.W. Friedrich Hegel (1770–1831).
___________________________
77 Tommy F. Awuy, “Menolak Logosentrisme, Merayakan Perbedaan,” Jurnal Kebudayan Kalam,
Ed. 1-1994, hlm. 50.
72 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ia meradikalkan filsafat Kant dengan pendirian bahwa “apa yang nyata
adalah rasional dan yang rasional adalah nyata.” Kemenduaan (Dualisme)
dunia Kant dinyatakannya ke dalam substansi, yaitu Roh (Geist). Bagi Hegel,
realitas yang ada pada dasarnya berjalan secara dialektis menuju totalitas
Roh Absolut. Kesinambungan cara berpikir dikotomis ini lalu berlanjut ke
tokoh sejaman lainnya, yaitu Karl Marx (1818–1883) yang membalikkan
cara berpikir Hegel [melalui pengaruh Ludwig Feuerbach (1804–1872)].
Menurut Marx, bukan rasio yang menentukan realitas kehidupan, tetapi
sebaliknya. Jadi, Rasionalisme pada Hegel kemudian menjadi Empirisme
pada Marx. Dalam hal ini Empirisme Marx (Marxisme) mengacu pada
dunia pengalaman yang ditentukan oleh faktor ekonomi. Sejarah ditentukan
oleh basis ekonomi yang kemudian secara mencolok terbentuk realitas dan
suprastruktur yang meliputi dunia seni, ideologi, dan agama.78
Setelah Kritisisme Kant, ada aliran lain yang dapat dikatakan cenderung
mengawinkan kedua pendekatan seperti di atas, yaitu Positivisme. Aliran
ini penting dikemukakan di sini karena dianggap menjadi sumber inspirasi
dari kelahiran Positivisme Logis yang dibicarakan dalam bab ini dan
Positivisme Hukum yang akan disinggung kemudian dalam Bab III. Bukan
suatu kebetulan pula apabila tokoh-tokoh Positivisme Hukum seperti
Rudolf Stammler (1856–1938) dan Hans Kelsen (1881–1973) dikenal luas
merupakan figur-figur penganut Neokantianisme, yaitu suatu gerakan
berpikir yang mengajak orang kembali kepada pemikiran Kant.79
Positivisme sendiri dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte
(1798-1857). Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap (Law
of Three Stages). Pemikiran Auguste Comte ini diklaim sebagai “jembatan”
antara Rasionalisme Descartes dan Empirisme Bacon. Pengertian “positif”
menurut Comte terdiri dari beberapa kemungkinan, yakni:80
a. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka
pengertian “positif” pertama-tama diartikan sebagai pensifatan sesuatu
yang nyata. Hal ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa
filsafat Positivisme itu, dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan
pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh
akal tidak dijadikan sasaran penyelidikan;
___________________________
78 Ibid.
79 Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, cet. 5 (Yogyakarta: Kanisius, 1988),
hlm. 148–161.
80 Koento Wibisono Siswomihardjo, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte,
cet. 2 (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), hlm. 35-36.
SHIDARTA — 73
b. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka pengertian
“positif ” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini
sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa di dalam filsafat
Positivisme, segala sesuatu harus diarahkan kepada pencapaian
kemajuan. Filsafat tidaklah hanya berhenti sampai pada pemenuhan
keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian
mengenai barang sesuatu saja;
c. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian
“positif ” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. Hal ini
sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa filsafat harus sampai
pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi
setiap individu dan masyarakat;
d. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian
“positif ” diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. Hal
ini sesuai dengan ajarannya yang menyatakan bahwa dalam pemikiran
filsafati, kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat,
baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang
sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya
memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan
disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan
adikodrati;
e. sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian
“positif ” dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan
filsafatnya, yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban.
Dalam hukum tiga tahap, Comte menyebutkan bahwa manusia
berkembang ke arah kemajuan, tidak saja pada proses sejarah kehidupannya,
melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya secara individual. Ketiga
tahap itu terdiri dari: (a) tahap teologi atau fiktif, (b) tahap metafisik atau
abstrak, dan (c) tahap positif atau riil.
Menurut Comte, masyarakat tahap positif adalah masyarakat yang paling
ideal. Sayangnya, apa yang digambarkan oleh Comte sebagai “ideal” itu
ternyata terjebak pada ukuran-ukuran yang sangat teknis dan sosiologik.
Kritikan dari Lewis Mumford secara tepat menggambarkan kelemahan itu:81
The situation to which Comte looked forward . . . increased the scope and power of the
mechanical world picture . . . for technicians tended to take the world of physical scientist
as the most real section of experience;
___________________________
81 Ibid., hlm. 65.
74 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
the absence of humanistic interest in both the school of engineering itself and the
environment into which the engineer was trusted, only accentuated their limitations… the
interests of philosophy, religion, politics, and love were absent from the utilitarian world.
Keyakinan Positivisme di atas tentu segera menuai kritik karena tidak
semua orang percaya pada keandalan indera dan akal manusia. Manusia
tidak akan mampu menangkap hakikat dari keseluruhan suatu objek, jika
hanya mengandalkan pada pengetahuan atas bagian-bagian tertentu dari
objek itu. Pengetahuan tentang hakikat suatu objek tidak sama dengan
penjumlahan atas pengetahuan dari bagian-bagian tersebut. Apa hakikat
dari keadilan, contohnya, tidak dapat diketahui hanya dengan memahami
persepsi keadilan secara akali menurut si terhukum, si korban, si hakim,
dan seterusnya. Penjumlahan pemahaman akali demikian belum tentu
benar. Sebagai jalan keluarnya, harus dicari modalitas lain. Di sinilah
berperan intuisi.82
Ada banyak pengertian tentang intuisi. Menurut Kant, intuisi adalah
suatu data empiris yang menentukan isi.83 Apa yang dikemukakan Kant
sebenarnya dapat dimengerti, mengingat intuisi sebagian muncul karena
pengalaman juga. Ketajaman intuisi adalah hasil tempaan pengalaman.
Dalam konteks ini lalu orang menyamakan antara intuisi bisnis, misalnya,
dengan instink (naluri) bisnis. Padahal, intuisi tidak sepenuhnya sama dengan
instink. Menurut Ahmad Tafsir, intuisi adalah hasil evolusi pemahaman
yang tinggi, yang hanya dimiliki manusia.84 Oleh sebab itulah, ada aspek
kesadaran dan kebebasan dalam intuisi, sehingga membedakannya dengan
sekadar instink yang dimiliki mahluk non-manusia.
Dalam Ragaan II-d yang disajikan pada awal Subbab D di bawah, intuisi
ditempatkan pada sumbu y, dengan dasar pemikiran bahwa intuisi memang
berkedudukan khas dan eksistensinya harus diakui sama seperti halnya
rasio dan empiri. Dalam konteks ini, tampaknya pandangan Henri Bergson
(1859–1941)—yang dikenal luas sebagai perintis kajian komprehensif
tentang intusi—kiranya patut diikuti, sekalipun jauh sebelum itu Plotinos
(205–270) sebenarnya telah menyinggung tema serupa,85 atau oleh tokoh
yang dekat dengan jaman Bergson sendiri, yakni Arthur Schopenhauer
___________________________
82 Lihat Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai James, cet. 4 (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1994), hlm.24.
83 Lihat Tommy F. Awuy, Loc. Cit.
84 Ibid.
85 Mengenai ringkasan pemikiran “Intuisionisme” Plotinos dan Bergson, lihat Anton Bakker,
Metode-Metode Filsafat, cet. 2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 39–53.
SHIDARTA — 75
(1788–1860). Peneliti bernama Christian Yves Dupont memasukkan pula
Bergson ke dalam kelompok tokoh-tokoh fenomenologi asal Perancis.86
Dalam pandangan Bergson, kunci yang membedakan intuisi dengan
rasio terletak pada konsep durasi (duration), yaitu sebuah proses yang
mengalir tanpa akhir (an endlessly flowing process); sebuah konsep yang
dipungutnya dari Heraclitus (540–480 SM). Diakui banyak ahli, uraian intuisi
dari Bergson ini termasuk sulit dipahami, khususnya konsep durasi yang
dimaksudnya itu. Misalnya, ia beranggapan, apa yang dimaksud dengan
“waktu riil” (real time) adalah sesuatu yang dialami sebagai durasi, lalu
dipahami oleh intusi (bukan oleh operasionalisasi yang terpisah-pisah oleh
instink atau rasio). Intuisi adalah “...the direct apprehension of process, as the
discoverer of truth—intuition, not analysis, reveals the real world.”87
Bergson yang pada masa mudanya tertarik pada teori evolusi Spencer,
menyatakan intuisi merupakan “the highest human faculty” produk evolusi
kesadaran manusia. Untuk membuktikan tesisnya ini, ia menggabungkan
penemuan-penemuan dalam ilmu biologi dengan teori kesadaran manusia.
Dalam bukunya, “Creative Evolution” (1907), Bergson berpendapat bahwa
kunci evolusi ada pada dorongan kreatif manusia, tidak mengubah fisik
seperti teori Darwin. Kecerdasan berkembang sebagai instrumen manusia
untuk bertahan hidup. Bergson menyebut instrumen itu sebagai energi
yang hidup atau “creative impulse” (élan vital). Bagi Bergson, kecerdasan intuitif
itulah yang mampu membimbing manusia mencapai kebenaran filosofis
tentang kehidupannya.88
Disimpulkan oleh Anton Bakker, bahwa metode Bergson bersifat
supra-intelektual. Metode ini menuntut dan mengerjakan suatu “tobat”
mengenai kebiasaan. Manusia harus mengambil jarak (distansi), berjauh
dari logika. Manusia harus menyerahkan diri pada kemurnian kenyataan,
yaitu “gerakan.” Menurut Bakker, Bergson berbeda dari Plotinos, sebab ia
bukan menuju kontemplasi tenang, tetapi ke dinamika yang bergelompak.
Sekalipun demikian, keduanya mempunyai kesamaan, yakni kenaikan dari
yang material dan terbeku, menuju ke spiritual dan bebas.89
___________________________
86 Lihat Christian Yves Dupont, “Reception of Phenomenology in French Philosophy and
Religious Thought, 1889–1939,” dissertation submitted to the Graduate School of the
University of Notre Dame in partial fulfillment of the requirements of the degree of doctor
of philosophy, July 1997. Mengenai naskah lengkapnya lihat: <http://www.nd.edu/~cdupont/
home/dissertation/dupont_dissertation.pdf>.
87 Lihat anonim, “Henri Bergson (1859–1941),” <http://www.kirjasto.sci.fi/bergson.htm>, 13
Mei 2003.
88 Ibid.
89 Anton Bakker, Op. Cit., hlm. 52–53.
76 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dalam agama-agama besar, “misteri” tentang intuisi mendapat
perhatian sangat besar. Hal ini sangat beralasan mengingat intuisi adalah
modalitas pemahaman manusia yang diakui keberadaannya, bahkan
disebutkan dalam kitab-kitab suci, tetapi paling sulit untuk dijelaskan. Dalam
Bible (Romans 2:15), misalnya, dapat ditemukan kalimat:90
Indeed, when Gentiles, who do not have the law, do by nature things required by the
law... since they show that the requirements of the law are written on their hearts, their
consciences also bearing witness, and their thoughts now accusing, now even defending
them.
Dalam tradisi Islam juga dikenal konsep yang sejalan dengan intuisi.
Seorang ulama besar Islam abad ke-13, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (1292-
1350) bahkan pernah menulis karya manuskrip yang diberi judul Al-Firasah,
yang mengisahkan cuplikan-cuplikan kejadian dalam sejarah Islam tatkala
intuisi digunakan dalam pemecahan masalah.91 Seorang penulis Islam
Indonesia, Haidar Bagir menulis pandangannya tentang intuisi ini dengan
kalimat sebagai berikut:92
Lebih dari itu, aku percaya bahwa rasionalitas saja bukanlah satu-satunya
soko-guru keilmiahan. Aku, percaya pada bahwa akal juga mencakup apa
yang – oleh orang-orang seperti Aristoteles, Rumi, Bergson, Heidegger, atau
Muhammad Iqbal – disebut sebagai intuisi atau – oleh sebagaian pemikir
lain – disebut sebagai intelek (intellect). Inilah suatu daya (quwwah) yang dalam
tradisi Islam sering diidentikkan dengan hati (qalb atau fu’ad). Bahkan, aku
percaya bahwa setiap saat intuisiku ikut menentukan penarikan pendapat
ilmiahku – kumau atau tidak. Memang, tak seperti penalaran rasional, aku
tak bisa mengendalikan operasi intuisiku (bukankah per definisi intuisi bersifat
holistik sintetik, dan mengontrol?) Tapi, aku percaya bahwa aku bisa
menjadikan pemikiran intuitifku mendukung upayaku mencari kebenaran
selama aku menjaga obyektivitas dan keikhlasanku.
3. Aspek Aksiologis
Kiranya sudah menjadi aksioma bahwa tindakan manusia adalah fungsi
dari kepentingannya. Pemenuhan kepentingan inilah yang menjadi tujuan
dari tindakannya, bahkan dalam seluruh kehidupan seseorang. Ada banyak
___________________________
90 Lihat penjelasannya dalam Pelusa, “Intuitionism,” <http://www.faithnet.org.uk/
intuitionism.htm>, 6 Mei 2003.
91 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Keajaiban Firasat,”
terjemahan Inu Irahim Ba’adillah (Jakarta: Zaytuna, 2011). Dalam buku ini, kata “firasat”
dimaknai sama dengan “intuisi”.
92 Haidar Bagir, “Andai Aku Seorang Muslim Liberal,” <http://islamlib.com/KOLOM/
haidarKKA.html>, 14 Mei 2003.
SHIDARTA — 77
kepentingan dalam kehidupan ini, salah satunya seperti digambarkan
Aristoteles sebagai berikut:93
The end toward which men strive in life is happiness. Happiness for each creature is found
in the best possible performance of the function for which he is peculiarly adapted. Man
then finds his highest and most lasting happiness in the active life of his soul in accordance
with virtue. Virtue may be either (1) intellectual, the excellence of reasoning power, that
is, prudence and wisdom; or (2) moral, the control of emotions and desires in obidience to
reason, that is, liberality and temperance.
Jika tindakan dilatarbelakangi oleh motivasi (kehendak), maka tentu
menjadi pertanyaan besar di belakangnya tentang ada tidaknya kebebasan
dalam kehendak manusia. Tentu saja yang dimaksud dengan tindakan di
sini adalah terutama dalam kaitannya dengan tindakan manusia dalam
melakukan penalaran, mencari pengetahuan.
Aliran yang disebut “Religious Absolutism” termasuk kelompok yang
berpikir manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Seperti dikatakan oleh
Uskup (Bishop) Robert C. Mortimer, “God made us and all the world. Because of
that he has an absolute claim on our obedience. We do not exist in our own right, but
only as His creatures, who ought therefore to do and be what He desires.”94 Dalam
tradisi Islam pun dikenal ada kelompok yang memandang kemutlakan takdir
Tuhan atas perilaku sehari-hari manusia. Menurut paham yang disebut
Jabariyah ini, kelihatannya saja manusia memiliki kemauan untuk berbuat
baik dan buruk, tetapi sebenarnya ia tidak memilikinya sama sekali. Tenaga
pada manusia itu tidak lain adalah manifestasi tenaga Tuhan, dan ia sama
sekali dikendalikan (majbûr) atau berada dalam paksaan (jabar) Tuhan.95
Cara berpikir seperti di atas berhadapan dengan pandangan sebaliknya
tentang independensi perilaku manusia. Agama-agama besar seperti Kristen
dan Islam juga menghadapi dinamika pemikiran yang sama. Aliran qadariyah
tidak mengingkari adanya pengendalian-Nya atas manusia, tetapi
pengendalian itu hanya dalam arti menciptakan, memelihara, menggerakkan,
atau mengembangkan segenap ciptaan-Nya menurut hukum-hukum yang
tertib dan tetap (lazim disebut hukum alam).96
___________________________
93 Aristotle, “Nicomachean Ethics,” dalam Aristotle, On Man in the Universe, terjemahan James
E.C. Welldon (New York: Walter J. Black, 1943), hlm. 86.
94 Robert C. Mortimer, “Christian Ethics,” dalam Raziel Abelson & Marie-Louise Friquegnon,
eds. Ethics for Modern Life (New York: St. Martin’s Press, 1975), hlm. 127–28.
95 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992),
hlm. 468.
96 Ibid., hlm. 469.
78 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dalam aspek aksiologis berikut, diasumsikan bahwa manusia adalah
mahluk yang independen, berkehendak bebas (fee will). Sebab, hanya dengan
kebebasan itulah terdapat pertanggungjawaban (baik secara moral maupun
hukum). Ada banyak aliran pemikiran yang menelaah aspek aksiologis dari
tindakan manusia. Sesuai dengan pembagian aspek ontologis dan
epistemologis di atas, maka aspek aksiologis inipun dibagi dalam tiga
kelompok pemikiran, yaitu Idealisme-etis, Deontologisme-etis, dan
Teleologisme-etis.
Idealisme-etis adalah aspek aksiologis yang meyakini bahwa ukuran
baik-buruk dalam bertindak ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual.97 Konsep
pemikirannya akan dijelaskan kemudian karena memiliki keterkaitan dengan
imperatif-kategoris yang disampaikan oleh Immanuel Kant, yang oleh
sebagian penulis dianggap termasuk dalam kelompok Deontologisme.
Ada yang menyamakan Deontologisme-etis dengan Intuisionisme;
suatu identifikasi yang tidak tepat. Intuisi justru lebih berperan dalam
Idealisme-etis. Deontologisme-etis memang sering dianggap sebagai aspek
aksiologis yang diilhami oleh pemikiran Kant. Deontologi diambil dari
kata Yunani “deon,” yang berarti apa yang harus dilakukan atau kewajiban.98
Deontologisme menilai baik buruk suatu tindakan dari sudut tindakan itu
sendiri, bukan dari akibatnya. Suatu tindakan baik, apabila tindakan itu
sesuai dengan aturan (norma) positif.
Manusia, menurut Kant, adalah mahluk berbudi yang tidak sempurna.
Itulah sebabnya, ia tidak senantiasa mampu bertindak menurut prinsip-
prinsip objektif karena mereka terjebak pada keinginan atau dorongan
irasional (seperti “terpaksa” bertindak sesuai norma hanya karena sedang
diawasi atau demi popularitas). Kant menyatakan seharusnya prinsip
objektif itu tidak bersifat “harus” (imperatif) semata tetapi juga
“mengharuskan” karena menjadi perintah budi (rasio) (Gebot der Vernunft).
Semua imperatif itu dinyatakan sebagai suatu “wajib” (Sollen). Dengan
berkata “saya wajib,” saya menyatakan relasi antara norma objektif yang
berasal dari budi dan kehendak saya sebagai mahluk berbudi tidak sempurna;
sebuah relasi pengharusan (Nötigung). Imperatif-imperatif inilah yang
mengatakan apakah suatu tindakan itu baik atau tidak dilakukan. Sayangnya,
manusia tidak selalu melakukan suatu perbuatan sekalipun sudah
diperintahkan oleh imperatif tadi. Mungkin manusia tersebut tidak selalu
___________________________
97 Bandingkan dengan Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan, cet. 2 (Yogyakarta: Liberty, 2001), hlm. 41.
98 Ibid. Juga lihat K. Bertens, Etika, cet. 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 254.
SHIDARTA — 79
tahu tentang apa yang diperintahkan, atau kalaupun ia tahu, ia tetap berbuat
sebaliknya berdasarkan maksim yang bertentangan dengan kaidah objektif
dari akal budinya tadi. Bagi Kant, apa yang baik secara praktis adalah apa
yang menentukan kehendak berdasarkan pandangan objektif (kebaikan
semata), bukan karena alasan-alasan subjektif. Imperatif-imperatif itu hanyalah
rumusan-rumusan untuk mengungkapkan relasi antara kaidah-kaidah objektif
suatu tekad (Wollen) dengan ketidaksempurnaan kehendak manusiawi.99
Kehendak baik yang sempurna tentu menuruti kaidah-kaidah objektif
itu, sehingga di sini tidak ada keharusan untuk selalu bertindak menuruti
hukum (positif). Pada masa pemerintahan Hitler, misalnya, ada perintah
untuk menghukum pelaku perkawinan antara ras Arya dan non-Arya. Bagi
manusia yang berkehendak baik sempurna tentu tidak harus mengikuti
norma hukum seperti ini.
Ada dua macam imperatif yang terkait dengan tindakan manusia, yaitu
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Kriteria pertama, imperatif
hipotetis adalah perintah bersyarat yaitu tujuan-tujuan tertentu yang mau
dicapai. Artinya, prinsip-prinsip itu akan dituruti oleh seseorang jika dengan
itu ia dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Jadi, imperatif hipotetis
menyatakan keharusan praktis suatu tindakan yang mungkin sebagai sarana
untuk mencapai tujuan. Berbeda dengan itu adalah imperatif kategoris,
yaitu suatu tindkan yang secara objektif mutlak perlu pada dirinya sendiri,
tanpa mengacu pada tujuan tertentu. Imperatif ini adalah perintah kesusilaan
yang mutlak, dan semua tindakan yang diwajibkannya adalah baik dalam
arti moral.100 Immanuel Kant berkeyakinan bahwa yang terbaik dalam
tindakan manusia adalah imperatif kategoris ini, bukan imperatif hipotetis.
Idealisme-etis seperti disinggung di awal subbab ini, dengan demikian,
tampak sangat dekat dengan konsep imperatif-kategoris ini. Pendapat ini
diperkuat dengan pemikiran William David Ross (1877–1971). Ross dalam
bukunya “The Right and the Good” (1930), menerima teori Deontologi, tetapi
ia menambahkan sebuah nuansa penting di dalamnya. Menurutnya, setiap
kewajiban selalu dianggap sebagai kewajiban prima facie (kewajiban
pandangan pertama, atau kewajiban yang sementara berlaku sampai timbul
kewajiban yang lebih penting yang mengalahkannya). Tidak berbohong
adalah kewajiban prima facie, tetapi jika dengan berbohong kita dapat
menyelematkan jiwa orang lain maka kewajiban untuk tidak berbohong itu
___________________________
99 Lihat S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris
(Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius, 1991), hlm. 73.
100 Lihat Ibid., 74–75
80 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
tidak berlaku lagi. Menurut Ross, setiap manusia mempunyai intuisi tentang
kewajiban-kewajiban itu, artinya, semua kewajiban itu berlaku langsung
bagi kita. Sekalipun demikian, Ross berpendapat manusia tidak mempunyai
intuisi tentang apa yang terbaik dalam menghadapi situasi konkret, sehingga
manusia membutuhkan akal budi (rasio). Ross tidak lupa membuat daftar
kewajiban prima facie, yaitu:101
1) Kewajiban kesetiaan: kita harus menepati janji yang diadakan dengan
bebas.
2) Kewajiban ganti rugi: kita harus melunasi utang moril dan materiil.
3) Kewajiban terima kasih: kita harus berterima kasih kepada orang yang
berbuat baik terhadap kita.
4) Kewajiban keadilan: kita harus membagikan hal-hal yang menyenangkan
sesuai dengan jasa orang-orang bersangkutan;
5) Kewajiban berbuat baik: kita harus membantu orang lain yang
membutuhkan bantuan kita.
6) Kewajiban mengembangkan dirinya: kita harus mengembangkan dan
meningkatkan bakat kita di bidang keutamaan, intelegensi, dan
sebagainya.
7) Kewajiban untuk tidak merugikan: kita tidak boleh melakukan sesuatu
yang merugikan orang lain (satu-satunya kewajiban yang dirumuskan
Ross dalam bentuk negatif).
Apabila Ross mengatakan bahwa tujuh kewajiban prima facie tersebut
hadir secara intuitif, maka tentu ia meyakni adanya nilai-nilai universal di
dalamnya. Kewajiban kesetiaan, ganti rugi, dan seterusnya adalah kewajiban
yang self-evident, seperti layaknya “Sepuluh Perintah Tuhan” dalam ajaran
Kristen, “Delapan Jalan Tengah” dalam Budhisme, “Yama-Niyama,” atau
“Sadhana-Chatushtaya” dalam Hinduisme. Dimensi aksiologis yang
diinginkan mengacu kepada nilai-nilai keadilan.
Deontologisme-etis tidak menuntut kepatuhan setinggi yang
dipersyaratkan imperatif-kategoris. Aturan normatif dalam sistem
perundang-undangan merupakan contoh sarana yang meletakkan kewajiban
deontologis. Pada umumnya norma hukum sudah merasa cukup dengan
ketaatan fisik, tidak merasa perlu mendalami sampai kepada ada tidaknya
motivasi yang hipotetis. Jikapun ada, tatarannya hanya sekadar melihat ada
tidaknya unsur kesengajaan, sehingga dalam hukum pidana, kesengajaan
(dolus) ini dibedakan dengan kelalaian (culpa) dengan derajat pidana dan
sanksi yang juga berlainan.
___________________________
101 K. Bertens, Op. Cit., hlm. 259.
SHIDARTA — 81
Baik Idealisme-etis maupun Deontologisme-etis sama-sama berpegang
pada penilaian bahwa baik-buruk tindakan manusia ditentukan oleh
koherensi tindakan itu dengan asas atau norma yang berlaku. Hanya saja,
dalam Idealisme-etis asas atau norma tersebut bersifat self-evident yang
sebagian besar dapat dipahami langsung secara intuitif. Sementara, pada
Deontologisme-etis dituntut adanya koherensi antara tindakan itu dengan
tataran norma yang dipahami secara lebih rasional. Apabila dimensi
aksiologis dari Idealimse-etis berkerucut pada pencarian keadilan, maka
Deontologisme-etis bermuara pada kepastian.
Jika Deontologisme-etis meletakkan ukuran baik-buruk tindakan pada
perilaku itu sendiri, maka tidak demikian halnya dengan Teleologisme-etis
(terkadang diberi nama lain “Eudemonisme”102). Karena ukurannya adalah
hasil, maka aspek aksiologis lalu merambah ke banyak sisi, baik dari sudut
psikologis maupun ekonomis. Menurut Sonny Keraf, pandangan teleologis
ini kemudian memunculkan dua subpemikiran, yaitu Egoisme dan
Utilitarianisme.
Inti dari pandangan Egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang
pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan
memajukan dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga
kewajiban moral setiap pribadi adalah untuk mengejar kepentingannya dan
memajukan diri sendiri. Dari sini kemudian terdapat pembedaan antara
Egoisme-etis dan Egoisme-psikologis.
Egoisme-etis dapat didefinisikan sebagai teori etika yang menyatakan
bahwa satu-satunya tolok ukur mengenai baik-buruk suatu tindakan
seseorang adalah kewajiban untuk mengusahakan kebahagiaan dan
kepentingannya di atas kebahagiaan dan kepentingan orang lain. Dalam
konteks ini, Egoisme dapat dipersamakan dengan Pragmatisme.103 Eg oism e-
etis adalah aspek aksiologis yang bermakna netral karena pada dasarnya
setiap orang memang perlu menimbang-nimbang kemanfaatan pribadi dari
setiap tindakannya. Stimulus dengan memberikan penghargaan bagi pribadi-
pribadi tertentu yang berprestasi adalah sesuatu yang positif karena hal ini
akan membangun Egoisme-etis yang bersangkutan untuk lebih bekerja
keras, siap berkompetisi, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan
___________________________
102 Istilah “Eudemonisme” awalnya bermakna netral, dengan mengasumsikan semua perilaku
manusia pasti memiliki tujuan tertentu. Lihat penjelasannya dalam Ibid., hlm. 242-246.
103 Lorens Bagus mengartikan Pragmatisme sebagai aliran yang memandang inti pengetahuan
berdasarkan kegunaan praktisnya. Kegunaan praktis ini bukan pengakuan kebenaran objektif
dengan kriterium praktis, tetapi apa yang memenuhi kepentingan-kepentingan subjektif
individu. Lihat Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 877.
82 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kinerja dan produktivitas yang bersangkutan. Namun, Egoisme juga dapat
berbelok ke arah yang negatif apabila secara psikologis tertanam bahwa
tujuan dan kepentingan pribadi adalah segala-galanya, sehingga tujuan
menghalalkan cara (ends justify the means). Sisi negatif inilah yang menjadi
inti pemikiran Egoisme-psikologis.
Apabila Egoisme lebih mengarah kepada tujuan atau kepentingan
personal, maka Utilitarianisme melihat kepada tujuan atau kepentingan
masyarakat. Apabila ada pertentangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan sosial, maka kepentingan orang banyak inilah yang harus
didahulukan. Cara berpikir ini diintroduksi oleh Jeremy Bentham (1748–
1832) yang dimasukkan dalam gerakan Radikalisme-filosofis Abad ke-19
di Inggris. Pengaruh Utilitarianisme menyelusup ke berbagai bidang,
termasuk teologi dan ilmu hukum.
D. MODEL-MODEL HUKUM PENALARAN
Modalitas dalam aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis
di atas membawa pengaruh besar terhadap pola dalam model-model
penalaran ilmu-ilmu pada umumnya. Ada sangat banyak model penalaran
yang dikenal dalam wacana epistemologi, khususnya tentang pokok bahasan
pertumbuhan pengetahuan ilmiah. Oleh karena itu, dalam uraian di bawah
hanya disinggung beberapa model yang dapat menunjukkan pola-pola
penalaran yang menarik untuk dipersandingkan dengan model-model
penalaran hukum yang diungkapkan dalam Bab III.
Pada kesempatan ini secara arbiter dipilih empat kelompok model
penalaran, yang dapat juga disebut sebagai teori besar (grand theories) dalam
epistemologi, yakni: (a) Positivisme Logis, yang kemudian mengarah kepada
Empirisme Logis, (b) Rasionalisme Kritis, (c) Empirisme Analitis, (d)
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis. Dua teori yang terakhir, yaitu
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, sebenarnya masing-masing
berdiri sendiri, namun karena keterkaitannya yang demikian erat, pada
kesempatan ini akan diuraikan bersama sebagai satu kelompok, dengan
alasan-alasan tertentu yang dikemukakan kemudian.
Mengingat pokok bahasan ini sedemikian luasnya, diperlukan suatu
pegangan untuk tetap menggiring alur uraian agar tetap relevan dengan tujuan
semula. Oleh karena itu, aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis
dari masing-masing model penalaran secara konsisten dipakai sebagai acuan.
Jalinan aspek-aspek ini disajikan secara skematis dalam sumbu veritikal (y)
dan horisontal (x). Resultante dari kedua sumbu ini membentuk sumbu ketiga
SHIDARTA — 83
(z). Potongan sumbu-sumbu tersebut membagi dua zona gerakan pendulum
resultante itu, yaitu 45° bagian atas dan 45° bagian bawah.
Sumbu y sekaligus menunjukkan aspek ontologis Idealisme, aspek
epistemologis Intuisionisme, dan aspek aksiologis Idealisme-etis. Sumbu
x memberikan gambaran aspek ontologis Materialisme, aspek epistemologis
Empirisme, dan aspek aksiologis Teleologisme-etis. Di sisi lain, sumbu z
mewakili aspek ontologis Dualisme, aspek epistemologis Rasionalisme, dan
aspek aksiologis Deontologisme-etis.
Ragaan II-d: Pola Penalaran Beraspek Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis
1. Positivisme dan Empirisme Logis
Ada banyak teori yang menjadi inspirasi dari Positivisme Logis (yang
kemudian berkembang menjadi Empirisme Logis) ini. Teori Relativitas dari
Albert Einstein (1879–1955) adalah salah satu di antaranya.104 Demikian
___________________________
104 Artikel Einstein yang pertama kali membahas tentang Teori Relativitas berjudul
“Elektrodynamik bewegter Köper,” Annalen der Physik, Vol. 17, 1905. Dalam artikel itu Einstein
membahas teori khusus tentang relativitas yang sepuluh tahun kemudian dilengkapinya dengan
teori umum relativitas (Teori Gaya Berat).
84 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
pula dengan teori-teori tentang logika formal dan aritmetika dari Gottlob
Frege (1848–1925). Sejumlah filsuf dan ahli logika dari Polandia, seperti
Kazimierz Twardowski (1866–1938) dan Jan Lukasiewicz (1878–1956) juga
menyumbangkan saham pemikirannya. Nama-nama lain adalah Giuseppe
Peano (1858-1932) matematikus dari Italia yang dikenal sebagai penemu
simbol logika yang antara lain dipakai oleh Bertrand Russell (1872-1970).
Positivisme yang dirintis oleh Auguste Comte (1798–1857) memang
telah menggugah banyak pemikir di bidang epistemologi walaupun
wacananya sempat “tenggelam” akibat hiruk pikuk Perang Dunia I (1914–
1918). Barulah setelah perang usai Positivisme kembali berjaya menampilkan
corak baru, yang disebut Neopositivisme atau Positivisme Logis.
Kehancuran akibat Perang Dunia I mendesak lahirnya gerakan
pemulihan besar-besaran (restorasi) di Eropa Barat. Harapan untuk
pemulihan ini diarahkan kepada kalangan ilmuwan di lingkungan perguruan
tinggi. Pada saat itu muncul wacana yang mempertanyakan sejauh mana
andil ilmu guna menjawab permasalahan konkret tersebut.
Sejumlah kalangan berkeinginan agar pemulihan Eropa berangkat dari
semangat teologi-metafisis sebagaimana dianut Abad Pertengahan. Namun,
gagasan ini ternyata tidak mendapat banyak pengikut. Alternatif yang muncul
justru dari pemikiran yang sangat anti-metatisis, yakni Positivisme Logis.
Pemikiran ini dibawa oleh suatu aliran filsafat yang muncul pada tahun
1924 di Austria, yang dikenal dengan nama Lingkaran Wina (Vienna Circle
atau Der Wiener Kries). Tokoh utamanya adalah Ernst Mach (1838–1916),
Moritz Schlick (1882–1936), dan Rudolf Carnap (1891–1970). Lingkaran
Wina dikenal luas sebagai gerakan yang berupaya keras melahirkan filsafat
yang ilmiah dengan menghapus semua proposisi yang kabur, terutama
proposisi-proposisi metafisis. Lingkaran ini demikian berpengaruh, antara
lain melalui jurnal Erkenntnis (nanti berubah nama menj adi Journal of Unified
Science ketika sebagian pendukung aliran ini hijrah ke Amerika Serikat).
Jurnal Erkenntnis disunting Carnap bersama dengan Hans Reichenbach
(1891–1953) pendiri Lingkaran Berlin yang pikiran-pikirannya sejalan
dengan Lingkaran Wina.
Teori yang dibawa aliran Positivisme Logis berpegang pada empat asas,
yakni (1) Empirisme, (2) Positivisme, (3) logika, dan (4) kritik ilmu. Pada
awal Perang Dunia II, Positivisme Logis digantikan oleh aliran Empirisme
Logis yang mempersempit teori pengetahuan dari Positivisme Logis.
Menurut Empirisme Logis, asas yang relevan cukup dua saja, yakni
Empirisme dan logika.
SHIDARTA — 85
Asas Empirisme berarti mengandalkan pengalaman langsung.
Sementara itu, Positivisme mengandung pengertian bahwa pengetahuan
positif (seperti diperkenalkan Auguste Comte) pasti berguna untuk
membangun masyarakat. Keyakinan Positivisme ini melebihi
Empirisme! Logika sebagai asas ketiga memberi isyarat bahwa
analisisnya harus logis, yang sangat dimungkinkan untuk diperluas ke
arah analisis bahasa. Seperti dinyatakan oleh Wittgenstein, hanya kalimat
yang telah diverifikasi yang dapat dianggap benar dan berarti. Akhirnya,
asas terakhir, yakni kritik ilmu mengandung pengertian bahwa
Positivisme dan Empirisme Logis mengemban tugas untuk mencari
ilmu yang berkesatuan (unified science atau Einheitswissenschaft). Kesatuan
itu harus dikonstruksikan dari setiap ilmu dengan bahasa yang universal,
yaitu the logic of science. Paham ini tidak pula berusaha mencari teori-
teori baru, melainkan merekonstruksi teori-teori lama yang sudah
dipandang mapan.
Setelah Moriz Schlick terbunuh tahun 1936, eksistensi Lingkaran Wina
mulai terancam. Para pendukungnya terpaksa melarikan diri ke berbagai
perguruan tinggi di Amerika Serikat demi menghindari Naziisme dan Perang
Dunia II. Di sisi lain, ilmu yang ternyata asyik dengan persoalan internalnya
sendiri, pamornya telah mengalami kemerosotan drastis. Ilmu dianggap
gagal menjawab tantangan mengatasi resesi ekonomi. Desakan inilah yang
akhirnya membuat eksponen Lingkaran Wina ini mengembangkan model
penalaran baru yang disebut Empirisme Logis.
Ketika Positivisme Logis diambil alih oleh kaum Empirisme Logis,
fokus kepada penelaahan bahasa menjadi kian penting. Bahasa dibedakannya
menjadi dua, yakni bahasa pengamatan dan bahasa teori. Apabila bahasa
pengamatan menggunakan logika dan tata bahasa, maka bahasa teori
menambahkan elemen baru di samping dua unsur yang disebutkan di muka.
Elemen ketiga itu adalah ilmu pasti (fisika). Elemen terakhir ini
menunjukkan pengaruh matematika dari Whitehead dan Wittgenstein.105
Mengenai persoalan bahasa pengamatan dan bahasa teori ini, Carnap
membentangkan unsur-unsur bahasa sebagai berikut. Baginya, bahasa terdiri
atas: (1) seperangkat simbol; dan (2) aturan-aturan efektif yang menetapkan
apakah sekuen dari simbol-simbol itu telah dirumuskan dengan baik.
___________________________
105 Dalam otobiografinya, “The Philosophy of Rudolf Carnap” (1963), Carnap menyatakan bahwa
pengaruh Wittgenstein terhadap Lingkaran Wina terlalu dibesar-besarkan. Ia bahkan menolak
pernah melakukan kontak langsung dengan Wittgenstein bersama sejumlah eksponen Lingkaran
Wina lainnya.
86 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Aturan-aturan tersebut antara lain harus mengikuti sintaksis.106 Simbol-
simbol bahasa itu ada yang berupa term-term nonlogis (simbol yang
mempunyai arti empiris, seperti kata “biru,” “dingin,” “lebih panas,”
“proton,” atau “medan elektromagnetik”) dan term-term logis yang tidak
bermakna secara empiris (antara lain lambang matematika seperti 100, 90°,
=, +, !, atau E = mc2).107 Masing-masing kelompok term tersebut dinamakan
dengan sebutan bahasa pengamatan (observational language) dan bahasa teori
(theoretical language).
Bahasa pengamatan di atas diformulasikan ke dalam unsur-unsur:108
a. konsep pengamatan, yaitu konsep yang berhubungan langsung dengan
kenyataan;
b. pernyataan pengamatan (observational statements), yaitu pernyataan
mengenai fakta-fakta yang dapat langsung diamati dan yang merupakan
dasar pengamatan;
c. generalisasi empiris, hukum empiris, dan hipotesis, yaitu pernyataan
tentang keteraturan-keteraturan yang sempat diamati; dan
d. logika dan tata bahasa yang mengatur susunan bahasa pengamatan.
Demikian pula halnya dengan bahasa teori yang juga memiliki empat
unsur:109
a. konsep teoretis, yaitu konsep yang abstrak atau umum dan tidak
berkaitan langsung dengan kenyataan empiris;
b. hitungan (calculus), yaitu simbol-simbol abstrak yang tidak mempunyai
arti empiris dan dengannya konsep teori dapat dimanipulasikan dan
hubungan antara konsep teori satu dengan lainnya dapat diterangkan;
c. aturan persesuaian (rules of correspondence) yang mengaitkan simbol
hitungan dengan konsep-konsep dalam bahasa pengamatan; melalui
aturan ini konsep teori menerima masukan dari kenyataan empiris; dan
d. logika, tata bahasa dan ilmu pasti yang dengannya konsep teori dan
hitungan simbol dapat dikaitkan satu dengan yang lain dan mengatur
pemakaiannya.
___________________________
106 Sintaksis adalah bagian dari persoalan tata bahasa (gramatika) yang membahas tentang fungsi,
kategori, dan peran tata bahasa, seperti hubungan kata-kata dalam satuan frase, klausa, atau
kalimat. Persoalan tata bahasa lainnya adalah morfologi yaitu studi linguistik yang mempelajari
struktur intern kata dan proses pembentukannya. Lihat Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa
Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 6–7.
107 Mauro Murzi, “Rudolf Carnap (1891-1970),” The Internet Encyclopedia of Philosophy, <http:/
/www. utm.edu/research/iep/c/carnap.htm.>, 1 Mei 2003.
108 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 11.
109 Ibid., 11–12.
SHIDARTA — 87
Dengan mengutip pendapat H. Koningsveld, Wuisman menyatakan:110
Pembagian bahasa ilmu menurut dua lapisan ini mempunyai arti penting.
Bahasa pengamatan menurut empirisme logis merupakan landasan untuk
mengembangkan bahasa teori. Bahasa pengamatan merupakan dasar empiris
dan berperan sebagai “wasit” terhadap bahasa teori. Maksudnya, konsep
pengamatan dan pernyataan pengamatan tidak tergantung pada bahasa teori.
Misalnya, melalui penelitian ditemukan fakta bahwa penggolongan umur
bangsa Indonesia memiliki bentuk peluru. Untuk menjelaskan penggolongan
umur semacam ini diajukan teori tertentu (T1). Setelah beberapa waktu, teori
itu tidak dapat diterima lagi dan diganti dengan teori yang lain (T2). Meskipun
teori satu diganti dengan yang lain, penggolongan umur yang hendak
dijelaskan tetap sama. Hal ini, menurut empirisme logis, menunjukkan bahwa
fakta-fakta itu tidak tergantung teori. Mulai dari kerangka pikiran tersebut
empirisme logis mulai mempelajari bahasa ilmu yang dipakai di masing-
masing ilmu pengetahuan. Melalui analisis logis itu bahasa-bahasa yang
dipakai di bidang ilmu pengetahuan spesifik disusun kembali menjadi bahasa
ilmu pengetahuan yang berkesatuan dan menyeluruh. Rekonstruksi ini
dilakukan menurut cara kerja yang menggambarkan proses pengembangan
ilmu pengetahuan.
Apabila Positivisme Logis lebih mendudukkan subjek di atas segalanya
dengan kepastian yang tinggi, maka Empirisme Logis justru menginginkan
tercapainya komunikasi intersubjektif, sekalipun harus mengorbankan
kepastian. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Wuisman,
perbedaan terpenting dari kedua model penalaran ini adalah pada jawaban
mereka terhadap pertanyaan: “Apa yang dapat dianggap merupakan
pengamatan yang benar?” Positivisme Logis berangkat dari anggapan bahwa
“pengalaman subjektif elementer” seperti terungkapkan dengan kalimat:
“Saya mengalami merah.” Ini merupakan dasar pengetahuan ilmiah.
Sebaliknya dengan Empirisme Logis, yang berangkat dari anggapan dasar
bahwa pengetahuan dapat dikembangkan atas “fenomena yang secara nyata
(fisik) terbuka untuk semua pihak.” Menurut pandangan ini, “Pengamatan
di bawah kondisi X dinamakan merah.” Masing-masing pandangan di atas
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan Positivisme Logis adalah
bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti daripada itu, sedangkan
kekurangannya adalah bahwa sepenuhnya pengamatan itu bersifat subjektif.
Kelebihan Empirisme Logis adalah bahwa ia memakai “intersubjektivitas”
sebagai kriteria pengetahuan ilmiah. Kekurangannya adalah bahwa
pengetahuan tidak pernah dapat memberi kepastian. Dalam uraian di bawah
___________________________
110 Ibid., hlm. 12.
88 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
selanjutnya hanya disinggung nama Empirisme Logis, dengan asumsi pola
penalaran yang ditunjukkan dalam konteks yang dibicarakan tidak berbeda
secara prinsipil dengan pola penalaran Positivisme Logis.
Ragaan II-e di bawah menunjukkan tahap-tahap pengembangan ilmu
menurut Empirisme Logis.111
Tahap 1: Perumusan pernyataan pengamatan. Sumber penge-
tahuan adalah fakta. Dengan demikian, hakikat pengetahuan bersumber
dari materi karena fakta tesebut harus dirumuskan dalam bentuk pernyataan
pengamatan. Pengembangan ilmu dimulai dari pengamatan langsung yang
menghasilkan fakta-fakta tertentu. Fakta-fakta ini dirumuskan dalam bentuk
“pernyataan pengamatan” (P1
1 ... P1
n da n P2
1 ... P2
n). Pernyataan pengamatan
ini termasuk bahasa pengamatan dan tidak tergantung teori.
Tah ap 2: Pe ru mu sa n g en eral is as i em pi ri s. Pernyataan pengamatan
merupakan landasan untuk membentuk “generalisasi empiris” (Ge1 dan
Ge2). Generalisasi empiris adalah pernyataan yang menunjuk ke suatu
keteraturan yang terdapat dalam fakta-fakta yang sempat diamati. Misalnya,
keteraturan perubahan bentuk bulan yang tampak atau perubahan musim.
Generalisasi empiris selalu berdasarkan sejumlah pengamatan yang
banyaknya terbatas. Pengamatan ini mendukung dan menyajikan konfirmasi
terhadapnya. Namun, induksi itu bukan sesuatu yang dapat dilakukan begitu
saja. Maksudnya, generalisasi yang dapat dibuat tidak dapat langsung
diketahui. Perumusan generalisasi empiris meliputi unsur kreatif subjektif
yang selalu dapat dipertanyakan kebenarannya.
Tahap 3: Perumusan hukum empiris melalui pembuktian
generalisasi empiris. Berdasarkan generalisasi yang sempat dirumuskan
dapat dilakukan peramalan fakta-fakta baru (P1
n+1 dan P2
n+1), misalnya
bentuk bulan yang akan muncul pada hari tertentu pada masa mendatang.
Apabila ramalan-ramalan ini ternyata benar, maka generalisasi empiris yang
telah dirumuskan mendapat konfirmasi baru. Jika tingkat konfirmasi cukup
tinggi, maka generalisasi empiris dapat dinyatakan menjadi “hukum empiris”
(H1 dan H2). Hukum empiris menyatakan keteraturan yang ditemukan
bersifat umum atau universal. Berhubungan dengan ini hukum empiris
juga dinamakan “pernyataan pengamatan universal.” Hukum empiris
termasuk bahasa pengamatan juga. Ini berarti bahwa hukum empiris, seperti
halnya dengan pernyataan pengamatan, tidak tergantung teori. Teori dapat
diganti sedangkan hukum empiris sifatnya tetap sama.
___________________________
111 Ibid., hlm. 12–14.
SHIDARTA — 89
Tahap 4: Pengembangan teori. “Teori” tidak berdasarkan pada
pernyataan pengamatan secara langsung. Teori hanya mengenai hukum
empiris (H1 dan H2 ... Hn) dan selalu bersifat abstrak. Teori (T1)
dikembangkan mulai dari hukum-hukum empiris yang telah ditemukan
melalui penelitian-penelitian di bidang ilmu tertentu. Tujuan teori adalah
menjelaskan keterkaitan antara keteraturan yang dinyatakan dalam hukum-
hukum empiris sehingga dapat disimpulkan secara logis darinya.
Keteraturan-keteraturan itu dianggap benar-benar disebabkan oleh
proses-proses tersembunyi yang berlangsung pada tingkat yang lebih
mendalam. Itulah sebabnya, teori selalu meliputi “hitungan” (calculus)
tertentu.
Tahap 5: Perumusan hipotesis. Teor i buka n susu nan h ukum e mpiri s
yang logis semata-mata. Apabila teori hanya susunan logis, maka setiap
susunan hukum empiris yang logis, seperti susunan menurut abjad atau
menurut jumlah kata yang diliputinya, harus diterima sebagai teori. Teori
memiliki ciri khas yang memungkinkan ditunjuk keteraturan-keteraturan
baru yang belum sempat diamati sebelumnya. Pernyataan tentang
keteraturan yang belum diamati itu dinamakan “hipotesis” (H3).
Tahap 6: Pembuktian hipotesis. Hipotesis berguna bagi
pengembangan ilmu hanya jika memungkinkan dilakukan pengamatan
terhadap fakta-fakta baru (P3
1 ... P3
n). Hipotesis menjelaskan hasil yang
akan ditemukan melalui pengamatan terhadap kenyataan itu.
Tahap 7: Penilaian hasil penelitian. Hipotesis itu berperan sebagai
pengujian “independen” terhadap teori. Jika keteraturan yang dinyatakan
dalam hipotesis dapat ditemukan, maka diperoleh sebuah konfirmasi
untuknya. Apabila tingkat konfirmasi cukup tinggi, hipotesis itu diterima
sebagai hukum empiris yang baru. Dengan ditemukannya hukum empiris
yang baru itu, teoripun mendapat konfirmasi baru dan menjadi “teori
empiris” (T1). Apabila terjadi bahwa hipotesis ternyata tidak dapat
dibuktikan, hipotesis beserta teori yang mendasarinya tidak dibuang begitu
saja. Dalam hal ini diusahakan mencari penyebabnya terlebih dahulu.
Pertama ditentukan apakah terjadi kesalahan pengamatan atau tidak. Apakah
ilmuwan bersangkutan mengumpulkan data dengan cara yang tepat. Apabila
tidak dapat ditemukan kesalahan pengamatan, dan hipotesis tidak dapat
dipertahankan, maka diusahakan menyesuaikan bagian teori tertentu
sehingga hipotesis yang tidak berhasil dibuktikan itu tetap dapat diterima.
Namun, apabila penyesuaian teori itupun tidak berhasil, maka sebagai
langkah terakhir teori akan diubah (T1!T2). Teori baru ini dipakai untuk
90 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
merumuskan hipotesis-hipotesis baru (H3 dan H4) yang memungkinkan
diadakan pengamatan langsung terhadap fakta-fakta baru dalam kenyataan.
Kalau hipotesis baru ini juga dapat dibuktikan, maka “bobot empiris” dari
teori bertambah besar.
Ragaan II-e: Proses Pengembangan Ilmu
Uraian di atas menunjukkan bahwa Empirisme Logis sangat didominasi
pola penalaran induktif. Konstruksi teori dibangun seluruhnya dari logika
induktif tersebut. Logika tersebut dapat ditunjukkan dari fakta-fakta yang
diperlakukan sebagai dasar pengembangan teori, namun perumusannya
dalam bentuk “pernyataan pengamatan” dipisahkan dari (tidak
digantungkan pada) teori. Menurut H. Hans, Otto Neurath, dan R. Carnap
dalam karya mereka “Wissenschaftliche Weltauffassung, Der Wiener Kreis,” semua
pengetahuan manusia memang dibentuk melalui proses berpikir induktif,
sehingga tidak ada pengetahuan yang timbul secara apriori. Mereka tegaskan,
“The fundamental thesis of modern empiricism consists in denying the possibility of
synthetic a priori knowledge.”112
Sekalipun sangat mengandalkan logika induktif, pada titik tertentu,
model penalaran Empirisme Logis ini harus mengubah pola penalarannya
menjadi deduksi. Hal ini dilakukannya apabila:
___________________________
112 Mauro Murzi, “Logical Positivism,” The Internet Encyclopedia of Philosophy, <http://
www.utm.edu/ research/iep/l/logpos.htm>, 1 Mei 2003.
SHIDARTA — 91
a. generalisasi empiris ingin dipakai untuk melakukan peramalan fakta-
fakta baru, yang hasilnya diharapkan dapat mengkonfirmasi
generaliasasi empiris yang ada, sehingga akhirnya dapat dijadikan
“hukum empiris” (pernyataan pengamatan universal);
b. teori ingin dipakai untuk melakukan perumusan hipotesis.
Ragaan II-f: Pola Penalaran Empirisme Logis
Ragaan di atas menunjukkan simplifikasi dari pola penalaran dari
Empirisme Logis. Aspek ontologis dari model penalaran ini senantiasa
memandang objek kajiannya bermula dari fakta-fakta (realitas) yang
teramati. Fakta yang teramati secara inderawi adalah sesuatu yang material.
Aspek ontologis ini menggiring kepada aspek epistemologis yang
empiristis dengan pola penalaran induktif. Pola inilah yang mendominasi
Empirisme Logis. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, pola ini tidak
selamanya berjalan lurus. Pada saat kegiatan pengembangan ilmu telah
mencapai tahap 5 dan 6, tanda panah pola penalarannya bergerak dari atas
ke bawah atau umum ke khusus (deduktif).
Hal lain yang menarik dari Empirisme Logis terletak pada tanggapan
mereka tentang aspek aksiologis dari ilmu. Sesuai dengan prinsip
verifiabilitas, maka setiap pernyataaan yang memuat asas-asas etika tidak
92 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dapat dibenarkan atau disalahkan (bebas nilai) karena pernyataan seperti
itu adalah ekspresi perasaan belaka. Pemikiran demikian dikenal dengan
Teori Nonkognitif (Noncognitivism).
Sekalipun menafikan teori-teori tentang etika, muncul pertanyaan yang
penting untuk diajukan kepada kaum Empirisme Logis, yakni dari mana
asalnya asas-asas etika itu (yang tidak dapat disangkal saat ini eksis di tengah-
tengah masyarakat)? Di antara semua penganut Neopositivisme, Schlick
adalah tokoh yang paling menaruh minat untuk menjawab tantangan
pertanyaan ini. Mauro Murzi menulis:113
According to Schlick, ethics is a descriptive scientific theory. A man always prefers those
conditions pleasure and no pain. Good is thus equivalent to beneficial. Man’s actions are
caused by a wish to benefit himself. So the first ethical impulses is an egoistic one. But the
motivations to act are not static: they are subjected to the natural evolution and selection.
In a society, it is possible that an altruistic way of action is more beneficial that a purely
egoistic one. So there is a contrast between the very first impulse, which suggests an egoistic
behaviour, and the tendency to act generated by the evolution, which suggests a social
behaviour. This is the origin of ethical principles.
Jawaban Schlick ini sesungguhnya mengisi pandangan Empirisme Logis
tentang landasan etis suatu ilmu. Dalam melakukan penalaran, seorang
ilmuwan dari Empirisme Logis pertama-tama akan melihat kepentingan
dirinya. Dalam konteks ini, pendekatannya adalah teleologis-etis yang
mengarah kepada Egoisme. Hanya saja, pada tarap tertentu, ada norma-
norma sosial yang harus diperhatikan, yang oleh Schlick disebut sebagai
konsekuensi akibat evolusi dan seleksi alam. Pada titik ini berarti ego
tersebut harus berkompromi dengan nilai-nilai yang dibangun melalui
deontologis-etis.
2. Rasionalisme Kritis
Rasionalisme Kritis muncul terutama untuk mengkritisi Positivisme
Logis. Tokoh besar di balik kelahiran aliran ini adalah Karl R. Popper (1902–
1994). Nama Popper lazimnya dikaitkan dengan asas-asas pokok teorinya
tentang pertumbuhan ilmu, berbeda dengan Positivisme dan Empirisme
Logis yang lebih menyoroti struktur ilmu.
Popper menolak keras perolehan pengetahuan ilmiah melalui induksi.
Keberatannya tidak berkenaan dengan bentuk formal dari penalaran
induktif tersebut, melainkan pada cara pengisian bentuk formal itu.
Menurutnya, adalah mustahil menarik kesimpulan yang berlaku umum tanpa
___________________________
113 Ibid.
SHIDARTA — 93
terikat ruang dan waktu berdasarkan premis-premis spesifik dengan jumlah
yang terbatas. Itulah sebabnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa penalaran
yang tepat adalah dengan penalaran deduktif.
Teori adalah ciptaan manusia, demikian menurut Popper. Teori
hanyalah pendugaan atau pengiraan, yang berarti teori tidak pernah benar
mutlak. Ilmu baru dapat berkembang jika tiap-tiap teori secara terus
menerus diuji kebenarannya. Cara pengujiannya adalah dengan
menunjukkan kesalahan (anomali) dari teori itu, bukan sebaliknya. Di sini
Popper memperkenalkan istilah “falsifikasi” sebagai lawan dari “verifikasi.”
Demikian penting falsifikasi ini, sehingga kriterium ini dijadikan Popper
sebagai prinsip demarkasi untuk membedakan antara ilmu dan non-ilmu.
Tahap-tahap pengembangan ilmu menurut Karl Popper ditunjukkan
sebagai berikut:114
Tahap I: Perumusan masalah. Ilmu mulai dari suatu masalah (M1)
(problem). Masalah itu timbul kalau terjadi sesuatu yang menyimpang dari
apa yang diharapkan oleh seseorang (individu) berdasarkan perkiraan yang
sudah dimiliki olehnya. Penyimpangan ini mengakibatkan bahwa orang itu
terpaksa mempertanyakan keabsahan perkiraan itu dan, pada dasarnya,
merupakan “masalah pengetahuan.”
Tah ap 2: Pem bu at an te or i. Berhada pan d engan masalah itu m anu sia
kemudian merumuskan suatu “teori” (T1) sebagai jawabannya. Teori itu
adalah hasil daya cipta pikirannya dan bersifat percobaan (trial) atau terkaan
(conjecture). Teori itu selalu lebih abstrak daripada masalah.
Tah ap 3: Per umu sa n ra ma la n at au hip ot es is . Teori itu selanjutnya,
digunakan untuk menurunkan “ramalan-ramalan” spesifik secara deduktif
(R1 ...n). Ramalan itu adalah “hipotesis” dan menunjuk kepada keadaan
kenyataan empiris tertentu.
Tahap 4: Pengujian ramalan atau hipotesis. Ramalan atau hipotesis
berikutnya diuji melalui pengamatan dan eksperimen. Tujuan pengamatan
dan eksperimen adalah mengumpulkan “keterangan empiris” (data) yang
dikucilkan teori dan menunjukkan ketidakbenarannya.
Tah ap 5: Pe ni lai an ha si l p en gu ji an . Dasar yang dapat dipakai untuk
tujuan menilai benar tidaknya satu teori oleh Popper dinamakan “pernyataan
dasar.” Pernyataan semacam ini menggambarkan hasil pengujian. Di antara
semua pernyataan dasar ini terdapat satu himpunan bagian yang memainkan
peranan khusus, yaitu pernyataan yang bertentangan dengan teori.
___________________________
114 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 21-23.
94 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pernyataan semacam ini adalah “penunjuk ketidakbenaran potensial”
(potential falsificators) dari teori. Suatu teori sudah terbuka untuk difalsifikasi,
kalau berdasarkan hasil pengujian (tes, eksperimen) dapat dirumuskan satu
pernyataan yang bertentangan dengannya.
Berkaitan dengan hasil pengujian penting membedakan antara dua
kemungkinan. Pertama, ramalan itu ternyata memang tepat (5a) sehingga
teori yang diajukan (T1) tidak berhasil ditunjukkan ketidakbenarannya. Jika
diperoleh hasil penelitian semacam ini, maka teori yang dibuat (T1) untuk
sementara waktu dipertahankan sebagai “pengetahuan ilmiah.” Tetapi,
supaya pengetahuan ilmiah dapat berkembang terus-menerus, diusahakan
merancang suatu pengujian yang lebih cermat lagi yang memungkinkan
bahwa ketidakbenaran teori itu akan ditunjukkan kemudian hari (7a).
Kemungkinan kedua adalah bahwa ramalan itu ternyata dapat ditunjukkan
ketidakbenarannya (5b). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori yang
diajukan (T1) merupakan kesalahan (error) atau tertolak (refutation) dan perlu
diganti teori baru.
Tahap 6: Pembuatan teori baru. Dengan ditolaknya teori pertama
itu manusia menghadapi masalah baru (M2) (6b) dan membutuhkan teori
baru (T2) pula untuk mengatasinya (7b). Teori baru ini, sama dengan teori
pertama, bersifat abstrak dan pada dasarnya tidak lain hanya perkiraan atau
dugaan sehingga tidak memberi kepastian apa-apa. Jawaban yang diberikan
adalah satu percobaan (trial) baru yang perlu diuji melalui pengujian yang
berikutnya.
SHIDARTA — 95
Ragaan II-g:
Proses Pengembangan Ilmu Menurut Rasionalisme Kritis
Apa yang digambarkan tersebut dapat ditulis ulang dengan skema yang
lebih singkat, yang disebut skema “problem solving.” Skema tersebut pada
dasarnya sama dengan skema pertumbuhan pengetahuan. Dengan
menggantikan simbol M (masalah) menjadi P (problem), dan tes/eskperimen
dengan EE (error elimination), maka skema di atas disederhanakan oleh
Popper dengan rumus: P1—TT—EE—P2. Simbol P melambangkan
masalah, TT menunjukkan “teori tentatif,” dan EE mendenotasikan
“pembuangan kesalahan yang telah diusahakan” yang dilakukan terutama
melalui diskusi kritis. Skema tersebut lengkapnya dibaca sebagai berikut:
setiap masalah (P1) lahir melalui artikulasi teori, dan kebenaran setiap teori
adalah tentatif (TT); teori yang tentatif ini harus terbuka untuk diuji melalui
96 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
proses falsifikasi (EE); hasil dari pengujian itu mungkin menyebabkan teori
itu terfalsifikasi atau tidak terfalsifikasi; proses pengujian ini menghasilkan
masalah baru (P2) untuk dipecahkan kembali melalui prosedur yang sama
dengan tahap-tahap yang dilalui masalah pertama. Jika suatu teori dapat
bertahan (tidak terfalsifikasi), maka berarti teori tersebut makin mendekati
kebenaran, tetapi ini tidak berarti menghilangkan sifat tentatif teori itu.
Nama “Rasionalisme Kritis” diperoleh dari jalan pikiran seperti di atas,
seperti diisyaratkan Popper:115
My tetradic schema is an attempt to show that the result of criticism, or of
error-elimination, applied to a tentative theory, is as a rule the emergence of
a new problem; or, indeed, of several new problems. Problems, after they
have been solved and their solutions properly examined, and to beget
problem-children: new problems, often of greater depth and ever greater
fertility than the old ones. This can be seen especially in the physical sciences;
and I suggest that we can best gauge the progress made in any science by
the distance in depth and expectedness between P1 and P2; the best tentative
theories (and all theories are tentative) are those which give rise to the deepest
and most unexpected problems.
Skema umum P1—TT—EE—P2 te rseb ut dapat dikembangka n dal am
berbagai cara, misalnya dengan menuliskannya sebagai berikut:116
—TTa—EEa—P2a
P1 —TTb—EEb—P2b
—TTn—EEn—P2n
Dalam optik aspek epistemologisnya, Rasionalisme Kritis selalu
menggunakan pola penalaran deduktif, konsisten dengan predikat
“Rasionalisme” yang disandangnya. Prosedur kerja deduktif ini diuraikan
Popper dalam empat langkah. Lengkapnya ia merinci empat langkah tadi
sebagai berikut:117
(a) The first is formal, a testing of the internal consistency of the theoretical system to
see if it involves any contradiction.
(b) The second step is semi-formal, the axiomatising of the theory to distinguish between
its empirical and its logical elements. In performing this step the scientist makes the
___________________________
115 Karl R. Popper, “Objective Knowledge: A Realist View of Logic, Physics, and History (1966),”
<http://www.marxists.org/reference/subject/philosophy/ works/ at/popper.htm>, 6 Mei
2003.
116 Alfond Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Popper, cet. 2 (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1991), hlm. 114–115. Juga lihat Ibid.
117 Stephen Thornton, “Karl Popper,” <http://www.ul.ie/~philos/vol1/popper.html>, 2 Mei
2003. Artikel Thornton ini dimuat pertama kali dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy (1997).
SHIDARTA — 97
logical form of the theory explicit. Failure to do this can lead to category-mistakes—
the scientist ends up asking the wrong questions, and searches for empirical data
where none are available. Most scientific theories contain analytic (i.e. a priori) and
synthetic elements, and it is necessary to axiomatise them in order to distinguish the
two clearly.
(c) The third step is the comparing of the new theory with existing ones to determine
whether it constitutes an advance upon them. If it does not constitute such an
advance, it will not be adopted. If, on the other hand, its explanatory success matches
that of the existing theories, and additionally, it explains some hitherto anomalous
phenomenon, or solves some hitherto unsolvable problems, it will be deemed to constitute
an advance upon the existing theories, and will be adopted. Thus science involves
theoretical progress....
(d) The fourth and final step is the testing of a theory by the empirical application of
the conclusions derived from it. If such conclusion are shown to be true, the theory is
corroborated (but never verified). If the conclusion is shown to be false, then this is
taken as a signal that the theory cannot be completely correct (logically the theory is
falsified) and the scientist begins his quest for a better theory....
Ant ho ny O’Hear da la m tulisann ya “An Introduction to the Philosophy of Science,”
mengomentari Rasionalisme Kritis (untuk sama sekali tidak menyentuh pola
penalaran induktif ini) sebagai sesuatu yang mustahil. Ia menulis:118
The first problem for a Popperian to consider, though, is whether he can really talk of a
severe test [of a theory] without the use of inductive reasoning....
For a severe test is one which is unlikely on past evidence. Without using some sort of
inductive assumptions, how can one move from past experience to calculations of present
experience, and generalization from them is forbidden.
Dalam benak kaum Rasionalisme Kritis, tidak ada permasalahan yang
timbul dari sesuatu yang murni karena pengalaman (empiris). Masalah
baru (M2) timbul karena teori (T1) yang mendahuluinya, ditolak melalui
proses pengujian. Timbul pertanyaan: bagaimana halnya dengan masalah
pertama (M1)?
Menurut Popper, masalah pertama (M1) juga timbul akibat adanya
perbenturan antara suatu teori dan hasil pengujian yang dihadapkan
padanya. Ini berarti, masalah-masalah timbul akibat “tabrakan” antara hasil
pengujian dan teori yang mendahuluinya. Percobaan (trial) dan kesalahan
(error), terkaan (conjecture) dan penolakan (refutation) silih berganti. Kalau
jalan perkembangan ilmu ditarik ke belakang, maka melalui teori-teori yang
___________________________
118 Kelly L. Ross, “Criticism of Karl Popper in Anthony O’Hear’s: An Introduction to the
Philosophy of Science,” <http://www.friesian.com/ohear.htm>, 1 Mei 2003. Edisi cetakannya
diterbitkan oleh Oxford University Press, 1989.
98 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
lebih primitif dan mitos-mitos akhirnya akan sampai harapan-harapan
genetis yang berlaku sebagai teori yang pertama. Menurut Popper, ini
menunjukkan teori adalah unsur tetap dalam evolusi manusia. Teori,
betapapun sederhananya, adalah unsur rasio dan adalah bagian pembawaan
manusia. Meskipun demikian, adalah salah sama sekali jika dari proses trial
and error ini kemudian ditarik kesimpulan yang disamakan dengan tabrakan
antara “teori” dan “fakta keras” seperti dipersepsikan Positivisme Logis.
Wuisman menilai penjelasan susah payah dari Popper ini tetap belum
memuaskan untuk menjelaskan bagaimana proses pengembangan ilmu pada
awalnya dan mengapa hal itu berlangsung terus menerus. 119
Penjelasan Popper bahwa teori adalah bawaan manusia menunjukkan
aspek ontologis yang dualistis dalam Rasionalisme Kritis. Sekalipun begitu,
titik berangkat penalaran Rasionalisme Kritis tetap harus berangkat dari
sumbu z, bukan sumbu y (zona 45° bagian bawah). Alasannya sederhana,
yakni karena Rasionalisme Kritis tidak pernah menyetujui penggunaan
intuisi sebagai pengembangan ilmu, sesuatu yang sangat melekat kuat pada
aspek ontologis Idealisme yang absolut. Dalam bukunya, “Objective
Knowledge” (1972), khususnya tatkala mengomentari Realisme dalam logika
(Realism in Logic), Popper dengan tegas mengatakan:120
I think, incidentally, that the term ‘intuitionist logic’ is a misnomer. It is just a name for
a very interesting and somewhat weakened form of classical logic invented by Brouwer
and formalised by Heyting. I certainly do not want to say anything in favor of the
philosophical theory called intuisionism though I should like to say something in favor of
the Brouwer-Heyting logic. But I trust it will not be supposed that I am in any sense
defending the authority of intuition in philosophy or logic or anywhere else. Leaving aside
for the moment Brouwerian logic, one might say that intuitionism is the doctrine that
intuisions are not only important but generally reliable. As against this I think that
intuitions are very important but that as a rule they do not stand up to criticism. So I am
not an intuitionist.
Selanjutnya, aspek aksiologis dari Rasionalisme Kritis dapat dijelaskan
dengan melihat bentuk logis teori ini. Dalam pandangan Popper, hanya
teori yang dapat diusahakan ditunjukkan ketidakbenarannya yang berguna
untuk tujuan penelitian ilmiah. Wuisman sekali lagi berhasil memberikan
contoh yang gamblang tentang cara berpikir Popper ini. Sebagai contoh,
menurutnya, ada suatu teori yang menjelaskan tentang kemungkinan cabe
berkhasiat mencegah kanker. Dari teori itu dapat ditunjukkan tiga buah
___________________________
119 Lihat J.J.J.M. Wuisman, hlm. 23.
120 Karl R. Popper, Loc. Cit.
SHIDARTA — 99
pernyataan yang mempunyai bentuk logis berbeda: (1) khasiat itu ada; (2)
khasiat itu tidak ada; (3) khasiat itu ada sekaligus tidak ada. Pernyataan
ketiga jelas sudah melanggar keabsahan logika. Pernyataan pertama dan
kedua memenuhi syarat logika, tetapi hanya pernyataan kedua yang
memenuhi syarat dan berguna untuk tujuan penelitian ilmiah. Selain harus
memenuhi syarat logika berupa bentuk formal tertentu, teori juga harus
memenuhi syarat terbuka untuk dikritik. Pernyataan pertama di atas tidak
memenuhi syarat tersebut, sedangkan pernyataan kedua memilikinya.
Kalaupun melalui pengujian akhirnya didapati memang khasiat itu tidak
ada, tetap tidak boleh ditarik kesimpulan akhir bahwa khasiat itu pasti benar-
benar tidak ada. Sebab, masih mungkin ditemukan khasiat itu pada
kesempatan pengujian-pengujian berikutnya. Jika saja pada suatu pengujian
berhasil ditunjukkan ada satu buah cabe yang ternyata berkhasiat mencegah
kanker, maka teori semula yang menyatakan ketiadaan khasiat itu telah
difalsifikasi (ditunjukkan ketidakbenarannya). Selanjutnya, dari penemuan
itu dapat diusahakan pengembangan teori baru, demikian seterusnya.121
Tujuan penelitian ilmiah dengan demikian sungguh-sungguh berangkat
dari kebutuhan untuk pengembangan teori. Dibandingkan dengan
Positivisme/Empirisme Logis, aspek aksiologis dari Rasionalisme Kritis lebih
eksplisit terbaca. Rasionalisme Kritis tidak berbicara tentang nilai-nilai
pragmatis dalam pengembangan ilmu. Sebab, ilmu adalah untuk ilmu. Kendati
Popper memandang sinis pragmatisme, ia mengaku dirinya seorang realis
dan tidak menyangkal pendekatan seperti itu ada gunanya juga. Ia berkata:122
Although I am an opponent of pragmatism as a philosophy of science, I gladly admit
that pragmatism has emphasised something very important: the question whether a theory
has some application, whether it has, for example, predictive power. Praxis, as I have put
it somewhere, is invaluable for the theoretician as a spur and at the same time as a bridle:
it is a spur because it suggests new problems to us, and it is a bridle because it may bring
us down to earth and to reality if we get lost in over-abstract theoretical flights of our
imagination. All this is to be admitted. And yet, it is clear that the pragmatist position
will be superseded by a realist position if we can meaningfully say that a statement, or a
theory, may or may not correspond to the fact.
Dalam karya tulis (disertasi) ini, ingin ditunjukkan bahwa aspek
aksiologis dari Rasionalisme Kritis tidaklah kosong sama sekali. Satu hal
yang jelas adalah bahwa memang tidak mungkin ada suatu kegiatan ilmiah
tanpa pengejaran nilai apapun sama sekali. Dari semula diketahui bahwa
___________________________
121 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 24.
122 Karl R. Popper, Loc. Cit.
100 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Popper sangat menekankan pada keperluan pengembangan teori, dengan
tidak melalui jalan verifikasi melainkan falsifikasi. Sekalipun jalannya
berbeda, tujuan yang dikejar sebenarnya sama, yakni untuk menguji teori.
Pengujian teori seperti itu sangat membutuhkan kecermatan
metodologis. Tatkala membahas tentang “The Problem of Induction,” ia
menulis sebuah penggalan kalimat:123
Thus our logical analysis leads us direct to a theory of method, and especially
to the following methodological rule: try out, and aim at, bold theories, with
great informative content; and then let these bold theories compete, by
discussing them critically and by testing them severely.
Popper sejak semula menarik pembedaan antara logika situasi dan
metodologi yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, sejauh menyangkut
metode, Popper mengusulkan agar orang tidak menghindari penyangkalan
(refutasi) secara sistematis, entah dengan mengajukan suatu hipotesis ad
hoc atau definisi-definisi ad hoc, atau selalu tidak bersedia menerima hasil
eksperimen sebagai karya terandalkan. Di samping itu, ia juga menyarankan
agar teori-teori dirumuskan sejelas mungkin agar memberi akses seluas-
luasnya untuk diajukan penyangkalan. Sebaliknya, suatu teori juga tidak
seharusnya ditinggalkan dengan gampang. Jadi, meskipun Popper terkesan
seorang falsifikasionis yang naif di bidang logika, dari uraian tersebut jelas
bahwa dia sebenarnya seorang falsifikasionis yang sangat kritis dalam bidang
metodologis.124
Kesimpulannya adalah, bahwa Popper (dan kaum Rasionalisme Kritis)
boleh saja menganjurkan para ilmuwan untuk berlomba-lomba
menggulingkan teori-teori, namun aturan-aturan metodologis harus tetap
diperhatikan, paling tidak aturan menurut langkah-langkah yang diajarkan
Rasionalisme Kritis. Dengan logika tersebut, dapat dinyatakan bahwa ada
aspek aksiologis dari Rasionalisme Kritis, yaitu ke arah pendekatan
deontologis-etis. Dikatakan deontologis-etis karena setiap pengujian teori
membutuhkan metode tertentu yang berlaku sebagai “aturan normatif ”
suatu kegiatan ilmiah. Kesimpulan penelitian mungkin sekali akan berbeda
apabila metode yang diterapkan berlainan untuk satu pengujian dengan
pengujian lainnya. Ini berarti, upaya falsifikasi suatu teor i bena r-b enar harus
memperhatikan secara kritis seberapa jauh penggunaan metodenya masih
konsisten satu sama lain. Apabila ada keraguan metodologis, Popper
___________________________
123 Karl R. Popper, “The Problem of Induction (1953, 1974),” <http://dieoff.org/page126.htm>,
1 Mei 2003.
124 Lihat Alfons Taryadi, Op. Cit, hlm. 50–51.
SHIDARTA — 101
menyarankan peneliti tersebut untuk tidak buru-buru meninggalkan teori
lama. Keputusan untuk meninggalkan atau mempertahankan teori lama
sangat bergantung pada keparakan (verisimilitude)-nya terhadap kebenaran.125
Ragaan di bawah menunjukkan secara sederhana gambaran pola
penalaran Rasionalisme Kritis.
Ragaan II-h: Pola Penalaran Rasionalisme Kritis
Rasionalisme Kritis sendiri mengandung beberapa celah yang menjadi
ladang kritik pengkaji epistemologi. Dua nama yang banyak mewacanakan
Popper (dan Rasionalisme Kritis-nya) adalah Thomas S. Kuhn (1922–1996)
dan Peter Winch (1926–1997). Selanjutnya, dibahas pula pandangan Paul
Feyerabend (1924–1994) dan Imre Lakatos (1922–1974).
Menurut Kuhn dalam karyanya yang monumental, “The Structure
of Scientific Revolutions” (1962), telaah sejarah membuktikan jalannya
___________________________
125 Verisimilitude adalah konsep Popper tentang keparakan kebenaran, dengan menggabungkan
istilah isi dan kebenaran. Verisimilitude pernyataan a ialah truth-content a minus falsity-content a.
Dengan ide ini, orang masih bisa menerima T2 daripada teori T
1 meskipun dua-duanya
tersangkal, dengan alasan bahwa falsity-content T1 lebih besar daripada falsity content T2 sementara
truth-content-nya tidak. Lihat Ibid., hlm. 188.
102 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
perkembangan ilmu ternyata menyimpang dari gambaran Popper.
Kuhn mengatakan, “...science is not a steady, cumulative acquisition of
knowledge. Instead, science is a series of peaceful interludes punctuated by
intellectually violent revolutions.” Revolusi itu digambarkan Kuhn sebagai,
“...the tradition-shattering complements to the tradition-bound activity of normal
science.” Setelah revolusi tersebut, “... one conceptual world view is replaced
by another.”
“Wor ld view” yang dimaksud oleh Kuhn ini digantinya dengan sebutan
“paradigma.” Baginya, paradigma adalah “... as essentially a collection of belief
shared by scientists, a set of agreements about how problems are to be understood.” 126
Dengan memakai istilah ini, Kuhn bermaksud mengajukan sejumlah
contoh yang telah diterima tentang praktik ilmiah nyata—contoh-
contoh yang sekaligus meliputi hukum, teori, aplikasi, dan
instrumentasi—yang menyediakan model-model yang menjadi
sumber tradisi riset ilmiah tertentu yang koheren. Kuhn menyebut
sejumlah contoh tradisi riset yang dikenal dalam sejarah, seperti
Ptolemaic Astronomy
(Copernican),
Aristotelian Dyanamics
(Newtonian), dan
Corpuscular Optics
(
Wave Optics
). Istilah
“paradigma” berkaitan erat dengan “ilmu normal.” 127
Sebelum sampai pada tahap paradigma, setiap teori ilmu melewati
proses praparadigma. Pada tahap praparadigma ini fakta-fakta dikumpulkan
secara acak tanpa mengacu pada struktur teori tertentu. Dengan sendirinya
terjadi persaingan di antara teori-teori yang berbeda untuk memperoleh
penerimaan umum. Untuk mencapai penerimaan umum itu, suatu teori
harus melewati perjuangan yang tidak sebentar, tidak cukup dengan sekali
falsifikasi seperti digambarkan oleh Popper. Apabila teori itu telah mendapat
penerimaan umum, maka berlangsung tahap ilmu normal (normal science).
Pada tahap ilmu normal ini penelitian dilakukan, “... firmly based upon one or
more past scientific achievement, achievement that some particular scientific community
acknowledges for a time as supplying the foundation for its further practice.”128
Apa yang disebut dengan “achievements” di atas merupakan
paradigma baru yang demikian kuat pengaruhnya pada komunitas
___________________________
126 Frank Pajares, “Thomas Kuhn,” <http:www.emory.edu/EDUCATION/mfp/Kuhnsnap.html>,
2 Mei 2003.
127 Ziauddin Sardar, Thomas Kuhn dan Perang Ilmu, terjemahan Sigit Djatmiko (Yogyakarta: Jendela,
2002), hlm. 24.
128 Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press,
1970), hlm. 10. Juga baca ulasannya dalam Thomas Kuhn, “The Structure of Scientific
Revolutions: A Synopsis from the Original by Professor Frank Pajares form the Philosopher’s
Web Magazine,” <http: www.emory.edu/EDUCATION/mfp/ kuhnsyn.html>, 2 Mei 2003.
SHIDARTA — 103
ilmuwan. Untuk dapat dianggap sebagai bagian dari komunitas ilmiah,
para ilmuwan pun mematutkan pandangan ilmiahnya dengan paradigma
baru itu. Di sini Kuhn ingin menunjukkan bahwa komunitas ilmiah
pun sebenarnya tidak kalah subjektifnya dengan komunitas masyarakat
pada umumnya. Seandainya ada hasil penelitian yang berbeda dengan
paradigma, pertama-tama yang dilihat bukan isi penelitiannya, melainkan
reputasi si peneliti.
Ilmu normal bekerja berdasarkan paradgima yang dianut sehingga
kegiatan-kegiatan riset dalam tahap ini sekadar untuk mengartikulasi
paradigma yang berlaku. Ini dilukiskan Kuhn dengan istilah “puzzle-solving,”
yaitu orang melakukan riset sekadar untuk menjawab teka-teki yang
menyenangkan dengan menggunakan paradigma yang diacu bersama. Jika
atas dasar paradigma itu terjawab teka-teki itu, maka upaya tadi dianggap
berhasil. Jika sebaliknya, riset dianggap gagal. Digambarkan pada tahap
ini:129
... there is a good deal op mopping-up to be done. Mop-up operations are what engage
most scientists throughout their careers. Mopping-up is what normal science is all
about. This paradigm-based research is “an attempt to force nature into the pre-formed
and realtively inflexible box that the paradigm supplies.” No effort is made to call
forth new sorts of phenomena, no effort to discover anomalies. When anomalies pop
up, they are usually discarded or ignored. Anomalies are usually not even noticed and
no effort is made to invent a new theory (and there’s no tolerance for those who try).
Those restrictions, born from confidence in a paradigm, turn out to be essential to the
development of science. By focusing attention on a small range of realtively esoteric
problems, the paradigm forces scientists to investigate some part of nature in a detail
and depth that would otherwise be unimaginable and, when the paradigm ceases to
function properly, scientist begin to behave differenty and the nature of their research
problems changes.
Anomali-anomali yang makin banyak ditemukan akhirnya menciptakan
krisis, sehingga kegiatan “puzzle-solving” biasa tidak lagi dapat dilakukan.
Sikap para ilmuwan terhadap paradigma itupun berubah, sehingga sifat
penelitian yang tadinya sekadar mengikuti arus pun ikut berubah. Inilah
yang digambarkan oleh Kuhn sebagai “symptoms of a transition from normal to
extraordinary research.”130 Krisis ini sendiri dapat berbuah pada tiga
kemungkinan:131
___________________________
129 Ibid.
130 B. Arief Sidharta, Op. Cit, hlm. 93.
131 Thomas Kuhn, Loc. Cit.
104 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
(i) Normal science proves able to handle the crisis-provoking problem and all returns to
“normal.” (ii) The problem resists and is labelled, but it is perceived as resulting from the
field’s failure to possess the necessary tools with which to solve it, and so scientists set it
aside for a future generation with more developed tools. (iii) A new candidate for paradigm
emerges, and a battle over its acceptance ensues.
Jika kemungkinan ketiga terjadi, maka berlangsunglah apa yang disebut
oleh Kuhn dengan “scientific revolution.” Kuhn menganalogikan revolusi ilmiah
ini dengan revolusi politik yang mempunyai ciri dan akibat yang sama terhadap
pranata yang ada dalam komunitasnya masing-masing. Selama revolusi ilmiah
berlangsung, ilmuwan memandang segala sesuatu secara baru dan berbeda
dibandingkan dengan paradigma lama. Dengan demikian, usai terjadi revolusi
ilmiah berarti terjadi pula perubahan dunia ilmu (revolutions as changes of world
view). Kandidat paradigma yang mendapat penguatan dan penerimaan luas
di kalangan komunitas ilmiah itupun akan melahirkan ilmu normal yang baru.
Demikianlah, siklus pertumbuhan ilmu kembali berputar!
Kritik lain berasal dari P. Winch. Ia mengritik Popper karena memiliki
asumsi dasar bahwa tujuan ilmu adalah untuk mengembangkan ilmu yang
berkesatuan (unified science atau Einheitswissenschaft). Menurut Winch, tujuan
ini seharusnya tidak lagi diperjuangkan.
Winch melihat ada perbedaan yang fundamental antara ilmu alam dan
ilmu sosial. Menurutnya, ilmu sosial memberikan interpretasi terhadap ciri-
ciri spesifik dari kenyataan sosial. Metode penelitian yang cocok untuk
ilmu sosial adalah metode yang bersifat interpretatif, yang lazim disebut
verstehen. Karena perbedaan prinsipiil itu, maka metode penelitian ilmu alam
tidak mungkin diberlakukan untuk ilmu sosial.132
Verstehen mengandung dua pengertian. Pertama, istilah ini dipakai untuk
memahami perasaan dan keadaan batin sesama manusia. C.A. van Peursen
memberi contoh menatap wajah seseorang. Dengan menatap wajah
seseorang, kita hanya melihat sosok fisik wajah yang bersangkutan. Namun,
hal ini tidak cukup karena yang perlu dilakukan adalah mencocokkan
perasaan yang ada pada dirinya itu dengan roman mukanya, sehingga kita
sebagai sesama manusia dapat memahami isi batin orang tersebut.
Memahami orang lain mengandaikan bahwa manusia dapat mengamati
perasaannya sendiri, seakan-akan menjenguk ke dalam dirinya sendiri:
introspeksi. Kedua, istilah ini dipakai untuk menangkap arti suatu teks.
Memahami yang sekaligus menafsirkan ini disebut dengan istilah
___________________________
132 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 29.
SHIDARTA — 105
“hermeneutics.”133 Mengenai Hermeneutika ini, akan diuraikan tersendiri
dalam pokok bahasan tersendiri di bawah.
Van Peursen melihat dalam teori epistemologi penggunaan istilah
“memahami” (verstehen) ini sendiri masih dipersoalkan. Para penganut
Positivisme Logis menolak metode memahami ini karena dinilai terlalu
emosional dan subjektif. Selain itu ada keberatan bahwa metode ini biasanya
bertitik tolak pada kemungkinan adanya introspeksi. Mereka mempertanya-
kan keandalan pengamatan kehidupan batin pribadi. Karl Popper
(Rasionalisme Kritis) juga menolak “memahami” sebagai metode ilmiah
karena tidak menghasilkan hipotesis yang dapat difalsifikasikan.134
P. W i n c h d a n s e j u m l a h p e n u l i s l a i n m e n c o b a m e m b e l a p e n g g u n a a n
metode “memahami” ini dengan berusaha menghilangkan unsur
subjektifnya. Mereka tidak mengandalkan perasaan (Einfuehlen atau emphaty)
dan menolak kemungkinan orang perorangan dapat mengamati pribadinya
sendiri (introspeksi).
Dalam alam terdapat hukum-hukum alamiah (dalil), yang di situ juga
dapat terjadi penyimpangan. Namun, penyimpangan dalil tersebut dapat
diterangkan dengan memeriksanya secara statistik dalam bahasa fisika. Hal
yang berbeda terjadi pada masyarakat manusia. Sekalipun di situ terdapat
hukum-hukum, penyimpangan terhadap hukum-hukum itu tidak cukup
diterangkan seperti menerangkan gejala alamiah. Untuk itu Winch setuju
dengan Wittgenstein, yang menekankan perlunya analisis norma (kaidah)
perilaku manusia. Pemahaman terhadap isi norma inilah yang disebut dengan
verstehen). Berbeda dengan hukum alam, manusia dapat menyimpang dari
norma-norma, menaatinya atau tidak. Tanpa melihat kemungkinan ini,
menurut Winch, dunia sosial tidak dapat dianalisis.135 Dapat ditambahkan:136
Prediction in social science is clearly inherently difficult because human activity is voluntary.
Thus a failed prediction can still indicate a good understanding of current action. We
must follow for indeterminacy and uncertain outcomes even when following rules. We thus
have a clear difference between prediction in social science and prediction in natural sciences,
and it is a category mistake to speak of them as if they were the same.
___________________________
133 C.A. van Peursen, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan J. Drost,
cet. 3 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 54.
134 Ibid., hlm. 55.
135 P. W i n c h , The Idea of A Social Science and Its Relation to Philosophy (London: Rotledge and Kegan
Paul, 1958), hlm. 62–65 dikutip dari Ibid., hlm. 56.
136 Anonim, “Reading Guide to: Winch, P (1958) The Idea of A Social Science and Its Relation
to Philosophy, London: Rotlege and Kegan Paul,” <http: www.arasite.org/winch.htm>, 19
Mei 2003.
106 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Apa yang disampaikan oleh Winch dapat diperhatikan kejadiannya
dalam proses penalaran hukum. Seperti akan dibentangkan dalam Bab III,
analisis norma dalam rangka memahami isi sumber-sumber hukum,
memegang peranan yang penting sekali. Langkah-langkah yang dilakukan
hakim, mulai dari saat mengidentifikasi fakta sampai (paling tidak) pada
saat hakim menghubungkan strutur aturan dengan struktur kasus, sangat
sarat dengan penggunaan metode “memahami” (verstehen) ini. Di sisi lain,
akan menarik pula untuk menyaksikan betapa unsur-unsur emosional dan
subjektif yang nota bene ingin dihilangkan oleh Winch, dalam kenyataannya
juga berperan dalam penalaran hukum. Hal ini dapat dimengerti, mengingat
“legal reasoning” dekat “moral reasoning.”
Diskursus tentang pentingnya metode dalam ilmu mencapai antiklimaks
sewaktu Paul Feyerabend menulis “Against Method,” yang menunjukkan
penolakannya terhadap kukungan metode yang ingin dibakukan.
Perkembangan ilmu adalah kreativitas individual, sehingga prinsip yang
paling kondusif, menurut Feyerabend, adalah “anything goes.” Anarkisme
ala Feyerabend ini dibingkai hanya dalam koridor epistemologis, yaitu
anarkisme yang murni bersifat teoretis.
Hal lain yang dikritik oleh Feyerabend adalah praktik, fungsi, dan
kedudukan ilmu dalam masyarakat. Ilmu telah diletakkan melebihi
kekuasaan yang seharusnya, sehingga ia ditempatkan pada posisi melebihi
bentuk-bentuk pengetahuan lain, seperti sihir, magi, voodoo, mitos, dan
sebagainya. Keunggulan itu terjadi bukan karena alasan-alasan objektif,
melainkan berkat hasil propaganda para ilmuwan itu sendiri. Semboyan
extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) yang pernah
dianut seabad lalu, ternyata telah diadopsi oleh para ilmuwan menjadi extra
scientiam nulla salus (di luar ilmu tidak ada kebenaran).137
Nama lain yang perlu disinggung adalah Imre Lakatos. Ia berusaha
mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. Menurutnya, bukan teori
tunggal yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, melainkan
rangkaian teori-teori yang terhubung secara berketerusan (kontinuitas).
Rangkaian demikian menyatukan teori-teori tadi menjadi program-program
penelitian (research programmes). Menurut Lakatos, masalah-masalah pokok
yang berhubungan dengan logika penemuan tidak dapat dibahas secara
memuaskan kecuali dalam kerangka metodologi program-program penelitian.
Dalam waktu yang sama dapat terjadi ada program-program yang bersaing
___________________________
137 Baca ulasan ini dalam Prasetya T.W., “Anarkisme dalam Ilmu Pengetahuan Paul Feyerabend,”
dalam Tim Redaksi Driyarkara, Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Imu-Ilmu (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993), hlm. 47-60.
SHIDARTA — 107
tanpa terpecahkan. Dalam program penelitian terdapat dua aturan
metodologis, yaitu jalan yang harus dihindari (heuristika negatif) dan jalan
yang harus dijalani (heuristika positif). Heuristika positif ini merupakan inti
pokok program, yang dilindungi dari ancaman falsifikasi melalui hipotesis
pendukung, kondisi-kondisi awal, dan sebagainya. Suatu program penelitian
dikatakan berhasil jika problem yang diajukan mengalami perkembangan
progresif, dan dinyatakan gagal bila sebaliknya. Makin besar derajat perubahan
empiris (empirical growth) suatu problem dalam program penelitian, makin
berhasil pula rangkaian teori itu bertahan terhadap upaya falsifikasi.138
3. Empirisme Analitis
Teori ilmu dari kaum Empirisme Analitis dibangun dengan semangat
untuk mengatasi kekurangan Positivisme dan Empirisme Logis dan
Rasionalisme Kritis. Sekalipun demikian, menurut Wuisman, teori yang
dikemukakan Empirisme Analitis bukan penggabungan murni dari kedua
aliran berpikir di atas, melainkan hanya suatu penyesuaian lebih lanjut dari
model penelitian ilmiah yang dikembangkan oleh Positivisme dan
Empirisme Logis pada titik-titik kritik yang dilontarkan terhadapnya oleh
Rasionalisme Kritis. Empirisme Analitis menggambarkan proses penelitian
imiah sebagai sebuah siklus (daur). Teori ini timbul dalam hubungan dengan
usaha-usaha untuk menerapkan Positivisme dan Empirisme Logis pada
bidang studi ilmu sosial tertentu. Misalnya De Groot dalam bukunya
“Methodologie” (1975) berusaha menerapkannya pada bidang psikologi, W.C.
Wallace dalam dua bukunya “The Logic of Science in Sociology” (1971) dan
“Principles of Scientific Sociology” (1983) pada bidang sosiologi.139
Sama seperti teori terdahulu, Empirisme Analitis bermaksud
menerangkan tentang apa itu pengetahuan ilmiah, bagaimana ilmu
berkembang, dan metode penelitian apa yang cocok dipakai untuk
mengembangkan ilmu. Dalam tulisan ini, secara khusus juga ingin
dipertanyakan pola penalaran seperti apa yang diintroduksi oleh model
penalaran Empirisme Analitis.
Rangkuman terhadap pemikiran Empirisme Analitis dapat diberikan
dengan menunjukkan proses belajar interaktif antara manusia dan
lingkungannya. Lingkaran pembelajaran ini disebut dengan siklus empiris.
Secara umum manusia bertambah pengalamannya melalui siklus empiris
seperti digambarkan Ragaan II-i di bawah. Kata-kata “bertambah
pengalaman” ini menjadi kata kunci penting karena pada akhirnya De Groot
___________________________
138 Lihat C. Verhaak & R. Haryono Imam, Op. Cit., hlm. 168–169.
139 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 31.
108 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
juga melihat bahwa siklus sederhana seperti ragaan di bawah tidak memadai
untuk “menambah pengetahuan” manusia.
Ragaan II-i: Siklus Empiris Menurut Empirisme Analitis
Siklus empiris yang dikembangkan oleh De Groot tersebut berlangsung
dinamis, sehingga skema di atas dapat dilanjutkan sehingga melahirkan
bentuk spiral yang terus berputar (Ragaan II-j).
Ragaan II-j: Proses Pengembangan Pengalaman Menurut
Empirisme Analitis
SHIDARTA — 109
Siklus yang mengubah O menjadi O’ dan O’ menjadi O” menunjukkan
adanya pengembangan pengalaman pada diri organisme (subjek) yang
bersangkutan. Tambahan pengalaman ini dapat direfleksikan atau tidak
direfleksikan. Anjing yang dilatih berlari, setelah sekian lama akan bertambah
kegesitannya. Hubungan antara organisme (anjing) dan lingkungan (program
pelatihan) itu membentuk siklus empiris nonreflektif karena pengembangan
pengalamannya hanya dalam bentuk perubahan perilaku (behaviour). Organisme
itu merespons secara instinktif belaka, tidak dilakukannya atas kesadaran
rasional. Lain halnya jika itu dilakukan terhadap manusia (misalnya atlet pelari)
yang mempunyai kemampuan bernalar. Hubungan organisme manusia dewasa
dan lingkungannya biasanya membentuk siklus empiris reflektif. Si atlet tadi
mungkin akan memanfaatkan program pelatihan itu untuk memperoleh
dampak langsung terhadap kemampuannya berlari. Ia merespons program itu
dengan melakukan suatu tindakan (action). Di samping itu, ia dapat pula menelaah
program pelatihan itu secara mendalam, untuk dibandingkan dengan program-
program sebelumnya. Ini berarti si atlet merespons dengan melakukan penelitian
(research). Kemampuan manusia dewasa untuk berefleksi karena manusia
dianugerahi kesadaran dan rasa ingin tahu. Di luar itu, masih ada faktor lain
yang tidak kalah pentingnya dalam siklus empiris reflektif, yaitu bahasa. Dengan
bahasa atlet itu mampu mengembangkan pengalaman dan pengetahuannya,
misalnya suatu saat ia menjadi pelatih untuk atlet lainnya dengan program
pelatihan yang dibuatnya sendiri.
De Groot lalu membedakan dua macam sasaran di atas dengan melihat
pada bentuk pertanyaan yang diajukan. Pertama, jika sasarannya adalah untuk
menimbulkan dampak langsung pada lingkungan itu, maka bentuk
pertanyaannya adalah: “Kalau sasarannya adalah X, maka tindakan yang harus
dipilih: A atau B?” Kedua, jika sasarannya adalah untuk menambah
pengetahuan, maka pertanyaannya menjadi: “Kalau sasarannya adalah X,
apa yang harus dilakukan agar tujuan itu tercapai?” Berbeda dengan sasaran
pertama, di sini tidak disediakan pilihan baku A atau B lagi. Artinya, antara
sasaran pertama dan kedua terjadi pergeseran dari tujuan (goal) ke alat (means),
atau dari proses belajar (learning process) ke pemecahan masalah (problem solving).
Berdasarkan uraian tersebut, De Groot lalu menghubungkan siklus
empiris nonreflektif-reflektif, sasaran kegiatan, dan tipe-tipe kegiatan
(kelakuan, tindakan, dan penelitian) dalam bentuk skema sebagai
berikut:140
___________________________
140 Ibid., 40.
110 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Tabel II-7
Perbedaan Tipe Siklus Empiris Nonreflektif dan Reflektif
___________________________
141 Ibid., hlm. 40–41.
142 Ibid., hlm. 41–43.
Untuk keperluan pengembangan pengetahuan ilmiah, siklus empiris
tipe ketiga inilah yang harus dilakukan. Dasar pengembangan pengetahuan
ilmiah melalui penelitian, kata De Groot, bukanlah pengalaman langsung
(empiri fisik) melainkan melewati pengalaman khusus yakni kenyataan dalam
diri organisme itu sendiri (empiri mental). Pengetahuan ilmiah dapat
berkembang karena dalam proses penelitian, pengalaman tentang kenyataan
empiris bertambah terus tanpa harus diasumsikan bahwa perubahan dalam
kenyataan yang ditemukan (S1!S2!S3!dan seterusnya) diakibatkan oleh proses
pengembangan pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang dihasilkan
kurang lebih sebesar pengalaman tentang dampak terhadap kenyataan
mental yang ditimbulkan oleh penelitian itu.141
De Groot kemudian menyebutkan lima tahap yang membentuk siklus
empiris dalam pengembangan pengetahuan ilmiah. Kelima tahap tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:142
Tahap 1: Observasi. Pada tahap ini fakta-fakta empiris dikumpulkan
dan dikelompokkan. Fakta-fakta tersebut ada yang bersifat tunggal (singular
facts) dan majemuk (complex facts). Dalam penelitian ilmiah, fakta majemuk
selalu lebih menarik untuk diobservasi karena dari sinilah nanti
dimungkinkan adanya suatu pola keterkaitan satu dengan lainnya. Dalam
saat yang bersamaan, di benak si peneliti pada tahap ini sudah berlangsung
pembentukan hipotesis (walaupun belum dirumuskan dengan bahasa yang
logis). Tahap ini oleh De Groot disebut sebagai susunan pengetahuan
ilmiah tingkat pertama.
Tahap 2: Induksi. Induksi adalah dasar perumusan hipotesis.
Pernyataan-pernyataan spesifik yang diperoleh dari observasi fakta-fakta
tersebut, kemudian dicarikan pola-polanya dengan meletakkan asumsi-
asumsi tertentu. Artinya, pernyataan-pernyataan spesifik itu ditarik menjadi
SHIDARTA — 111
suatu pernyataan umum. Pernyataan umum ini adalah rumusan hipotesis
tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang logis, sehingga
dari rumusan itu nantinya memungkinkan dibuat suatu ramalan konkret
yang dapat diselidiki kebenarannya. Tahap kedua (kemudian diperkuat
sampai dengan kegiatan tahap ketiga) menghasilkan susunan pengetahuan
ilmiah tingkat kedua, berupa hipotesis atau dalil (hukum-hukum).
Tahap 3: Deduksi. Tahap ini meliputi kegiatan pembuatan ramalan
konkret berdasarkan rumusan hipotesis pada tahap sebelumnya. De Groot
membedakan dua pengandaran (operations) yang dilakukan dalam tahap ini.
Pertama, pengandaran logis, yaitu menurunkan pernyataan spesifik dari
penyataan yang lebih umum. Kedua, pengandaran metodologis, yaitu
mengembangkan prosedur pemakaian konsep beserta penyusunan prosedur
pengujian pernyataan umum bersangkutan. Hal ini memperlihatkan bahwa
deduksi dimaksudkan sebagai persiapan untuk kegiatan penelitian
berikutnya.
Tahap 4: Pengujian. Pengujian adalah kegiatan penelitian yang
meliputi dua hal yang berlainan. Pertama, penentuan benar tidaknya ramalan
yang telah ditegaskan sebelumnya. Karena ramalan memuat tentang dugaan
hasil pengujian, maka ramalan pun sekaligus menetapkan patokan apa yang
dipakai untuk menguji hipotesis. Kedua, tahap ini juga merupakan
penentuan sejauh mana hasil yang diperoleh mendukung hipotesis dari
mana ramalan itu diturunkan. Unsur pengujian yang kedua ini sering diangap
termasuk evalusi (tahap kelima berikut), tetapi oleh karena bagian ini
menyangkut analisis statistika, maka menurut De Groot, lebih tepat apabila
dianggap termasuk pengujian juga.
Tahap 5: Evaluasi. Evaluasi meliputi unsur subjektif dan irasional
karena merupakan kegiatan interpretatif dari si peneliti. Hal ini tidak berarti
negatif karena justru sifat tersebut memungkinkan hasil penelitian ini
memasuki wacana baru, termasuk dikembangkannya hipotesis baru. Hasil
evaluasi ini berguna untuk konteks yang lebih luas (untuk masukan bagi
teori yang telah digunakan kerangkanya) atau untuk keperluan membuat
keputusan praktis. Pada tahap ini dimungkinan munculnya teori baru, yang
oleh De Groot dianggap sebagai tujuan utama ilmu. Teori adalah susunan
ketiga (tingkat puncak) dari pengetahuan ilmiah.
Apabila tahap-tahap tersebut disederhanakan dalam bentuk skema
sumbu x dan y, maka akan terlihat pola penalaran sebagai berikut:
112 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan II-k: Pola Penalaran Empirisme Analitis
Istilah “Empirisme” dari kata “Empirisme Analitis” menunjukkan
pengetahuan ilmiah dianggap dikembangkan mulai dari dasar empiris
“objektif ”. Teori yang dikembangkan dapat dibuktikan kebenarannya
berdasarkan tingkat konfirmasi yang diperoleh dari dasar empiris itu.
Disebut “analitis” karena pengolahan keterangan empiris tadi menjadi
pengetahuan ilmiah dilakukan dalam pikiran (dengan bantuan konsep-
konsep abstrak). Teori dan empiri dinilai tidak terpisah satu dari yang lain.
Supaya dapat dibedakan antara “teori” dan “empiri,” maka dalam pikiran
dibentuk satu dasar percobaan konseptual yang abstrak, yaitu empiri
mental.143
Terlihat jelas bahwa dari segi ontologis, hanya fakta-fakta yang
terobservasi yang dapat diangkat menjadi bahan telaah ilmiah. Oleh karena
itu, aspek ontologis dalam model penalaran Empirisme Analitis adalah
materialisme.
___________________________
143 Ibid., hlm. 46.
SHIDARTA — 113
Aspek epistemologis dari model penalaran ini menunjukkan
kompleksitas karena sejak awal De Groot bermaksud menutupi lubang-
lubang kelemahan yang ditinggalkan Positivisme dan Empirisme Logis
dan Rasionalisme Kritis. Sekalipun demikian, titik berangkat dari
Empirisme Analitis tetaplah fakta-fakta (gejala empiri). Artinya, pola
penalaran pada awalnya adalah induktif. Pada saat fakta-fakta itu
dikumpulkan dan dikelompokkan, peneliti menggunakan suatu konsep
tertentu sebagai patokan. Wuisman menjelaskannya dengan kata-kata
sebagai berikut:144
Pengumpulan dan pengelompokan data tidak mungkin dilakukan
terlepas dari segi pandangan tertentu yang secara tegas ataupun samar,
merupakan patokan untuk memilih dan mengabstraksikan keterangan
tentang kenyataan tertentu. Artinya, observasi hanya dapat dikatakan
berlangsung apabila dua unsur itu berkaitan. Hal ini dapat diterangkan
dengan membandingkan konsep observasi dengan dua kata sehari-hari
yang lain, yaitu kata ‘bengong’ dan ‘melamun.’ Kalau seseorang
dikatakan bengong, maka yang dimaksudkan bahwa orang bersangkutan
sedang mengamati akan tetapi keterangan yang diterima olehnya tidak
menyambung pada pikiran tertentu. Sebaliknya, apabila seseorang
melamun, maka di dalam benaknya ada pikiran yang tidak berhubungan
dengan pengamatan. Terjadi observasi apabila pikiran dan pengamatan
sambung-menyambung.
Sekilas, dari kata “Empirisme Analitis” ini terkesan bahwa pola
penalaran dari aliran ini pasti berawal dari empiri (induktif). De Groot
sendiri sebenarnya tidak terlalu yakin dengan hal ini. Ia menyatakan:145
Setiap siklus (empiris) baru, terkecuali barangkali yang paling pertama (!)
bermula tidak hanya dari masukan pengamatan empiris yang bersifat konkret,
tetapi juga dari keterangan yang lebih abstrak yang datang dari (tahap)
penilaian siklus-siklus terlebih dahulu.
Dengan demikian, terlihat bahwa segera setelah tahap pengumpulan
fakta dilakukan secara induktif (untuk pertama kali), berikutnya sudah
terjadi pola penalaran simultan antara induksi dan deduksi. Dalam tahap-
tahap proses pengembangan pengetahuan ilmiah yang dituliskan oleh De
Groot memang ada pemilahan yang tampaknya tegas antara tahap 2, 3,
dan seterusnya, tetapi sebenarnya tahap-tahap ini sulit dipisahkan antara
___________________________
144 Ibid, hlm. 42.
145 Ibid, hlm. 45. Wuisman menerjemahkan kutipan dari De Groot, Methodologie, Grondslagen van
Onderzoek en Denken in de Gedragswetenscahppen (‘s-Gravenhage: Mouton, 1975), hlm. 9.
114 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
pola induktif dan deduktif. Sebagai contoh adalah tahap 2 dan 3, yaitu
tahap pembentukan susunan pengetahuan ilmiah tingkat kedua. Kedua
tahap ini dalam praktik berjalan seiring, meliputi pembuatan pernyataan
umum berdasarkan pernyataan-pernyataan spesifik dan perumusan
hipotesis sebagai dasar membuat peramalan. Hal serupa juga terjadi pada
tahap 4 dan 5 dalam rangka pembentukan susunan pengetahuan ilmiah
tahap ketiga (teori). Di sini juga terjadi pola penalaran simultan antara
induksi dan deduksi. Antara susunan pengetahuan tingkat pertama ke
tingkat kedua, dan antara tingkat kedua ke tingkat ketiga, terjadi loncatan-
loncatan interpretasi. Peranan induksi yang sebenarnya terjadi pada tahap
loncatan antar-susunan pengetahuan itu. Pada saat inilah nuansa subjektif
ikut berperan. De Groot menulis:146
Perbedaan antara tiga tingkat pengetahuan tersebut berkaitan erat sekali
dengan metode yang dipakai untuk menghasilkannya. Keterangan pada setiap
tingkat pengetahuan merupakan kesimpulan yang ditarik melalui induksi
dari keterangan yang terdapat di tingkat yang lebih rendah. Artinya, hipotesis
atau hukum (keterangan tingkat dua) merupakan kesimpulan yang
dirumuskan berdasarkan keterangan dasar tentang pengamatan kongkret
(keterangan tingkat dasar). Seperti itu juga, teori-teori (keterangan tingkat
tiga) disusun melalui induksi berdasarkan hukum atau hipotesis (keterangan
tingkat dua). Keterangan pada setiap tingkat yang lebih tinggi mengandung
baik masukan (input) berupa keterangan empiris dari tingkat di bawahnya,
maupun unsur “subjektif.” Ini berarti, antara tingkat dasar, menengah dan
atas terdapat lompatan “interpretatif ” . . . . Implikasinya adalah bahwa apa
yang dikemukakan pada tingkat lebih rendah relatif terpisah dan netral
terhadap apa yang dikemukakan pada tingkat yang lebih atas. Teori dan
hipotesis atau hukum dapat diganti, sedangkan keterangan yang mendasarinya
tetap sama. Keterangan yang terdapat pada tingkat yang lebih atas pada
hakikatnya bersifat hipotetis. Supaya induksi berguna untuk pengembangan
ilmu pengetahuan, maka interpretasi yang menyertainya semestinya
memungkinkan dirumuskan hipotesis yang dapat diuji.
Aspek aksiologis dari model penalaran Empirisme Analitis mengacu
pada Teleologisme-etis dan Deontologisme-etis. Kesimpulan tersebut
diperoleh melalui keyakinan De Groot bahwa penelitian ilmiah hanya dapat
dijelaskan dengan model siklus empiris ini. Anggapan ini diperoleh De
Groot dari hasil penelitiannya sendiri tentang cara berpikir pemain catur.147
___________________________
146 Ibid., hlm. 44. Wuisman menerjemahkan kutipan dari De Groot, Ibid., hlm. 33, 47.
147 Penelitian ini diungkapkannya dalam De Groot, Thought and Choice in Chess (New York: Basic
Books, 1966).
SHIDARTA — 115
Observasi fakta tentu berangkat dari adanya tujuan konkret tertentu yang
ingin dikejar. Tujuan konkret ini adalah bentuk kemanfaatan praktis. Tujuan
ini dilaksanakan melalui prosedur penelitian ilmiah yang tunduk pada pola
penalaran yang lazim. Pada akhirnya, hasil penelitian itu tidak saja diperlukan
untuk pengambilan keputusan praktis tetapi juga untuk menguji atau
menghasilkan teori.
Wuisman menilai cita-cita Empirisme Analitis untuk mengatasi
keberatan Rasionalisme Kritis terhadap Positivisme dan Empirisme Logis
ternyata gagal diwujudkannya. Menurut Wuisman, pandangan De Groot
bertitik tolak dari satu pandangan terhadap ilmu yang persis sama dengan
Positivisme dan Empirisme Logis juga, sehingga keberatan-keberatan
terhadap Positivisme dan Empirisme Logis itu berlaku juga untuk
Empirisme Analitis. Lengkapnya Wuisman menulis:148
Dalam uraian tentang positivisme logis telah diterangkan bagaimana Carnap
mempelunak teorinya dengan mengganti “fakta pengalaman,” yang
dinyatakan “benar dan mutlak,” menjadi “data pengamatan,” yang dianggap
memiliki tingkat konfirmasi tertentu sebagai dasar pengembangan
pengetahuan ilmiah. Walaupun demikian, asas utama positivisme logis adalah
bahwa data pengamatan beserta hukum empiris yang dirumuskannya terpisah
dari teori dan juga induksi sebagai metode yang tepat untuk mengembangkan
teori tetap dipertahankan. Dalam empirisme analitis asas utama ini diperlunak
lebih lanjut dengan mengatakan bahwa induksi ini tidak dapat dipisahkan
dari teori. Teori dan data berhubungan satu dengan yang lain secara mutlak.
Maksudnya, induksi tidak mulai dari data pengamatan semata-mata, seperti
masih dipertahankan dalam empirisme logis, akan tetapi selalu berlangsung
dalam konteks teori, yaitu pengetahuan umum yang telah berhasil
dikembangkan dalam siklus-siklus empiris yang mendahuluinya. Dengan
perkataan lain, induksi tidak berangkat dari dasar yang terpisah secara mutlak
dari teori, akan tetapi adalah langkah lanjutan dalam rangkaian langkah induksi
yang sudah lalu. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa persamaan antara
empirisme analitis dan rasionalisme kritis mengenai keterkaitan teori dan
data, pada hakikatnya adalah semu. Sebab keterkaitan antara teori dan data
itu tidak berarti bahwa induksi sebagai asas pokok pengembangan
pengetahuan ilmiah dilepaskan. Seperti positivisme logis dan empirisme logis
sebelumnya, empirisme analitis tetap menyatakan bahwa perkembangan
lanjut ilmu pengetahuan hanya dapat dicapai melalui langkah induktif yang
menghubungkan siklus empiris satu dengan yang berikutnya, yakni melalui
pembentukan hipotesis-hipotesis baru berdasarkan evaluasi interpretatif. Hal
ini meliputi unsur subjektif dan irasional dan, justru karena itu, tidak memberi
___________________________
148 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 46–47.
116 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kepastian sehingga perlu dibenarkan melalui kritik atau verifikasi dalam siklus
empiris yang berikutnya. . . . Keberatan lain adalah bahwa juga dalam hal
empirisme analitis, teori tidak pernah menjadi bagian utuh penelitian secara
keseluruhan. Teori selalu merupakan hasil evaluasi interpretatif belakangan,
sedangkan penelitian ilmiah hanya merupakan usaha untuk membuktikan
atau membenarkannya. Selain itu pengujian tidak mungkin melebihi
“pencocokan,” artinya usaha menunjukkan kesesuaian antara hipotesis atau
teori di satu pihak dan data atau keterangan tentang kenyataan empiris di
pihak lain. Dengan perkataan lain, pendekatan empirisme analitis tetap lebih
tertuju pada pembuktian dan pembenaran (verifikasi) daripada penolakan
(falsifikasi).
Wuisman selanjutnya mengatakan, yang diperlukan sebenarnya adalah
model penalaran yang teori dan metode falsifikasi merupakan bagian dasar
yang utuh. Model tersebut semestinya sekaligus mengharuskan dan
memungkinkan pembuatan teori maupun pembuatan prosedur falsifikasi
secara cermat.149 Model penalaran yang diinginkan oleh Wuisman ini dapat
dipenuhi oleh Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis.
4. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis
Kedua model penalaran ini dibicarakan bersama-sama karena beberapa
pertimbangan. Pertama, tulang punggung dari Konstruktivisme Kritis adalah
interaksi timbal balik yang interpretatif antara “teori” dan “empiri” (lihat
Ragaan II-l di bawah!). Teori yang secara khusus memperbincangan tafsir-
menafsir (interpretasi) ini adalah Hermeneutika. Hubungan antara dua kubu
dalam model logika formal ini dinamakan oleh Wuisman dengan “lingkaran
pemahaman” atau “lingkaran hermeneutis.” Jadi, tidak mungkin ada model
penalaran yang disebut Konstruktivisme Kritis tanpa soko gurunya:
Hermeneutika.150 Kedua, Hermeneutika sebagai suatu model penalaran
memerlukan kerangka penjelasan yang lebih komprehensif dalam kaitannya
dengan pengembangan pengetahuan ilmiah. Untuk itu, kerangka tersebut
disediakan oleh Konstruktivisme (termasuk Konstruktivisme Kritis). Ketiga,
sekalipun ia mampu membantu Hermeneutika menemukan kerangka
penjelasannya, model penalaran Konstruktivisme Kritis ini belum banyak
dikenal,151 sehing ga deskripsi te rhadap model penalaran tersebut akan lebih
___________________________
149 Ibid., hlm. 47.
150 Mengenai penegasan hubungan Hermeneutika dengan Konstruktivisme Kritis, lihat Ibid., hlm. 71.
151 Ketidakpopulerannya dapat dibuktikan dari hampir tidak ditemukannya situs di internet yang
memuat atau menyebutkan model penalaran ini. Model ini diakui oleh Wuisman sebagai nama
yang diberikannya sendiri. Lihat Ibid., hlm. 70.
SHIDARTA — 117
mudah dipahami jika diuraikan bersamaan dengan (atau didahului oleh)
Hermeneutika.
Di luar ketiga alasan tersebut, dan terlepas dari belum banyak dikenalnya
Konstruktivisme Kritis, ada pertimbangan lain mengapa ia tetap diangkat
sebagai salah satu model penalaran yang disoroti dalam bab ini. Alasan ini
erat kaitannya dengan konteks keindonesiaan, baik ditinjau dari sudut tokoh
pengemukanya maupun substansi pemikirannya. Pengemuka model penalaran
ini adalah J.J.J.M. Wuisman, seorang antropolog dan sosiolog dari Belanda
yang sangat mengenal Indonesia. Setelah menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Leiden dalam studi “Sociology of the non-Western Society,” dan aktif
dalam penelitian ilmu-ilmu sosial di sejumlah negara Eropa, ia lalu pergi ke
Indonesia, dan terlibat dalam proyek kerja sama Indonesia-Belanda di Solo
dan Bengkulu. Di Bengkulu ia melakukan penelitian antropologi budaya di
proyek transmigrasi Air Lais-Seblat. Hasil penelitian ini kemudian
dituangkannya dalam disertasinya di Universitas Leiden. Ia kemudian bekerja
sebagai dosen di Universitas Indoensia (1984–1991), sebelum kembali ke
almamaternya sebagai dosen mata kuliah Metode dan Teknik Penelitian Sosial
dan Ilmu Pemerintahan Masyarakat-Masyarakat Non-Barat. Mengingat
kedekatannya dengan situasi di Indonesia, tidak mengherankan apabila
contoh-contoh yang diangkat Wuisman dalam menjelaskan model penalaran
Konstruktivisme Kritis ini banyak yang berasal dari situasi di Indonesia.
Wuisman tampak sangat terkesan dengan pembedaan antara
“menerangkan” (erklaeren) dan “memahami” (verstehen) seperti dikemukakan
P. Winch. Di atas telah disebutkan dua arti vestehen. Wuisman mengartikan
verstehen dalam artinya yang kedua, yaitu metode untuk menangkap arti
suatu teks. Kata-kata ingin diterobosinya untuk memasuki arti teks yang
mula-mula tersirat. Memahami yang sekaligus menafsirkan ini secara umum
disebut dengan “hermeneutics” (sekalipun secara spesifik ada banyak
pengertian Hermeneutika). Wuisman memaknai “teks” di sini secara lebih
luas, yakni semua penampakan empiris.
Hermeneutika memperkuat penolakan terhadap upaya menuju ke
pencarian ilmu yang berkesatuan. Ilmu alam dan ilmu sosial adalah dua
bidang keilmuan yang memiliki perbedaan mendasar. Dilthey adalah tokoh
Hermeneutika yang secara panjang lebar menguraikan perbedaan antara
Geisteswissenschaften dan Naturwissenschaften.
Hermeneutika berkembang sejak jaman Yunani Kuno. Orang pertama
yang mempopulerkannya kembali adalah Schleiermacher, diikuti
(dibangkitkan kembali) oleh tokoh-tokoh abad ke-20 seperti Wilhelm
118 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dilthey, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, dan
Jacques Derrida. Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata “Hermes”
nama dewa dalam mitologi Yunani, yang tugasnya menyampaikan/
menafsirkan pesan dari para dewa kepada manusia. Hermeneuein berarti “to
interpret.” Paling tidak ada tiga unsur dalam Hermeneutika, yaitu: (1) adanya
tanda, pesan, berita, yang seringkali berbentuk teks, (2) harus ada
sekelompok penerima yang bertanya-tanya atau merasa “asing” terhadap
pesan atau teks itu, dan (3) adanya pengantara yang dekat dengan kedua
belah pihak. Dalam pengalaman nyata, ketiga unsur itu dapat berganti
tempat dalam urutan waktu. Khususnya penafsir, ia dapat pindah ke tempat
kedua, atau malahan ke tempat pertama. Penampilannya di depan para
penerima menyatakan adanya suatu pesan.
Kata “Hermeneutika” sekarang ini dikembangkan menjadi setidaknya
tujuh makna, yaitu sebagai: (1) teori mengenai tafsir al-kitab, (2) metodologi
filologi (interpretasi teks-teks kuno), (3) ilmu pemahaman linguistik, (4)
dasar metodologi bagi Geisteswissenschaften, (5) fenomenologi tentang Das
Sein dan pemahaman eksistensial, (7) sebagai metodologi ilmu-ilmu sosial.152
Dalam perkembangan kemudian, khususnya pada era posmodern, cukup
banyak para ahli di bidang ilmu alam yang melihat kemungkinan
menggunakan Hermeneutika sebagai metode penelitian mereka.153 Tentu
saja, penerimaan Hermeneutika di wilayah ilmu-ilmu alam (Natuurwis-
senschaften) masih sangat terbatas. Artinya, aksentuasi Hermeneutika
memang tetap pada ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaft). Thomas
Kuhn dapat dikatakan sebagai tokoh yang berjasa dalam penyadaran ilmu-
ilmu alam, bahwa rasionalitas itu bukan semata-mata perkara induksi atau
deduktif, atau rasionalitas demonstratif yang berkulminasi pada
representasi teoretis kenyataan “objektif,” melainkan juga para perkara
interpretasi dan persuasi.154
Hermeneutika sangat terkait dengan interpretasi atas simbol-simbol,
khususnya bahasa. Menurut Schleiermacher, setiap orang mampu
___________________________
152 Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 172-174.
153 Tendensi ini menguat dengan adanya keraguan atas karakteristik keterukuran ilmu-ilmu alam,
khususnya fisika. Griffin menyebutkan beberapa contoh kegelisahan ini. Ada yang menyamakan
fisika seperti mistik (antara lain oleh Capra, Wilber). Apanya dunia (worldview) ternyata sangat
bergantung pada siapa pengamatnya, sehingga tidak mengherankan jika dalam ilmu-ilmu alam
pun timbul banyak tafsir. Baca David Ray Griffin, ed., The Reenchantment of Science (Albany:
State University of New York Press, 1988) dan Nirwan Ahmad Arsuka, “Ilmu di Simpang
Alaf: tentang Pengetahuan-yang-fictive dan Kenyataan-yang-fictitious,” Jurnal Melintas, Th. 17
No. 52 & 53, April–Agustus 2001, hlm. 5–41.
154 I. Bambang Sugiharto, Op. Cit., hlm. 39.
SHIDARTA — 119
mengalami kembali proses batin pengarang teks. Dengan demikian, metode
penemuan hukum yang bertumpu pada naskah peraturan perundang-
undangan, doktrin, dan sebagainya, dapat disoroti dengan pendekatan
hermeneutis. Pendekatan demikian menjadi kecenderungan yang diserukan
kaum posmodernis, walaupun seperti diutarakan di muka, secara historis
Hermeneutika bukan pendekatan baru sama sekali.
Menurut Wuisman, dalam pandangan filsafat ilmu dewasa ini,
Hermeneutika bukan model penalaran yang seragam. Ada banyak
perbedaan dalam hal asas, tujuan, pendekatan, dan metodenya.155 Juga
terdapat perbedaan pandangan yang cukup tajam antara para “peletak dasar”
model ini, seperti Wilhelm Dilthey dan beberapa penerusnya antara lain
Hans-Georg Gadamer, Paul Ricoeur, K.O. Opel, Jürgen Habermas, atau
Jacques Derrida. Satu nama lain yang secara khusus akan disinggung dalam
uraian di bawah adalah Max Weber. Kendati terdapat variasi pemikiran di
antara mereka, semuanya bersepakat untuk menjadikan Hermeneutika
sebagai “metode pilihan” bagi ilmu-ilmu kemanusiaan.
Dilthey mengajak ilmu-ilmu kemanusiaan untuk melirik prinsip
“memahami” (verstehen) seperti pernah diintroduksi oleh P. Winch. Ia
mengartikan “verstehen” sebagai kemampuan manusia untuk saling
memahami berdasarkan pengalaman sendiri. Sehubungan dengan prinsip
ini dibuatnya lima asumsi dasar:156
a. memahami adalah sesuatu yang biasa dalam kehidupan manusia sehari-
hari karena tanpa interpretasi terhadap tindakan orang lain, manusia
tidak bisa bertindak, yaitu mengarahkan kelakuannya sendiri untuk
mencapai tujuan tertentu;
b. di balik tindakan (actus), gerak-gerik tubuh (gesticulation), dan tutur kata,
terdapat isyarat-isyarat, lambang, atau simbol (signs) tersembunyi yaitu
berupa dorongan-dorongan subjektif seperti pikiran, cita-cita,
perasaan, dan harapan;
c. manusia memiliki kemampuan menembus “lapisan luar” (berupa signs
tadi) sampai pada dorongan-dorongan subjektif yang melatar-
belakanginya; kemampuan ini karena pihak yang tindakannya dipahami
maupun pihak yang hendak memahami, dua-duanya berada dalam
“lingkup pengalaman” (Erlebnisraum) bersama;
d. daya pemahaman manusia tidak hanya untuk menyoroti tindakan
perseorangan (individual action) yang dibatasi ruang dan waktu; sasaran
___________________________
155 J.J.J.M. Wuisman, Op. Cit., hlm. 59.
156 Lihat Ibid., hlm. 60.
120 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
pemahaman itu dapat juga menjangkau gejala yang lebih komprehensif
(signs lain seperti sebuah lagu, sistem ekonomi, atau sistem hukum);
gejala yang menyeluruh ini dapat dipahami karena pada hakikatnya
merupakan “fakta maknawi” yang juga berdasarkan pada pemberian
makna oleh manusia bersangkutan;
e. sekalipun ada dua orang asing hidup pada konteks sejarah berbeda,
mereka tetap dapat saling memahami karena dua-duanya adalah bagian
dari suatu pemahaman kolektif yang memuat semua fakta maknawi
yang ada; kesadaran kolektif ini melampaui kesadaran individu, yakni
tidak dapat begitu saja dipengaruhi oleh daya pikir masing-masing;
namun, apa yang dipikirkan seseorang adalah cermin dari fakta-fakta
maknawi yang bersifat umum itu.
Usaha mengembangkan pengetahuan ilmiah, menurut Dilthey, dimulai
dari pemahaman (verstehen) terhadap “isyarat” yang tersedia dan terbuka
untuk diamati melalui pancaindera. Jika yang diamati adalah isyarat berupa
gejala yang lebih makro sifatnya, katakanlah seperti sistem hukum, maka
di balik gejala sistem hukum itu terdapat dorongan-dorongan dari dalam,
yaitu pemahaman kolektif manusia pendukung sistem hukum itu yang
sudah berlangsung lama. Hanya bentuk kehidupan manusia yang
mempunyai perkembangan sejarah (berlangsung lama) yang berguna untuk
tujuan penelitian ilmiah. Ini berarti, dalam pandangan Dilthey, memahami
isyarat yang terbuka itu tidak cukup untuk menghasilkan pengetahuan ilmiah
melainkan harus dikembangkan menjadi “interpretasi sempurna” tentang
“kenyataan” yang tersembunyi di dalamnya.157
Pandangan Dilthey tentang hakikat objek studi ilmu kemanusiaan dan
tujuan penelitian ilmiah mempunyai implikasi terhadap konsep “kebenaran”
dan “objektivitas.” Menurut Dilthey, kebenaran adalah terdapatnya
persamaan dengan pemahaman kolektif manusia yang umum dan
menyeluruh. Kebenaran ini pada hakikatnya bersifat normatif karena
pemahaman kolektif adalah mengenai bentuk yang semestinya manusia
mengungkapkan diri. Tidak heran apabila Dilthey menyatakan kebenaran
paling murni terungkapkan dalam karya-karya sastrawan, penemu, pemikir
agama, dan filsuf termasyhur. Hanya merekalah yang mampu mengungkap-
kan secara sempurna “dorongan dari dalam” yang mendasari segala
“bentuk-bentuk kehidupan manusia”. Dalam karya mereka “keadaan
sebagaimana mestinya” muncul tanpa penyimpangan sama sekali.158
___________________________
157 Lihat Ibid., hlm. 61.
158 Ibid.
SHIDARTA — 121
Tentang objektivitas, Dilthey menyatakan bahwa pengetahuan yang
dikembangkan dengan metode verstehen hanya mungkin objektif apabila
memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) didorong oleh perhatian (interest) yang benar-
benar murni; (2) wujud dari objek studinya (ungkapan kehidupan manusia
itu) telah “baku” dan “tetap” selama masa panjang; dan (3) dihasilkan sesuai
dengan aturan mengadakan interpretasi yang sudah baku untuk
“menciptakan kembali” objek studi dalam diri ilmuwan sendiri berdasarkan
perasaan empati terhadap sesama manusia.159
Apa yang dimaksud dengan objektivitas ini juga disinggung oleh Emilio
Betti, dengan menyebutnya sebagai “interpretasi objektif dan pemahaman
yang adekuat.” Untuk itu ia menekankan pada empat aspek penting yang
bersifat teoretis yang harus ada dalam proses penalaran. Pertama, aspek
filologi, yaitu rekonstruksi terhadap koherensi suatu ungkapan dari sisi
gramatikal dan logika. Aspek ini bernilai efektif dalam usaha memahami
secara permanen simbol-simbol yang sudah pasti. Kedua, aspek kritik.
Kegiatan ini dihadapkan pada hal-hal yang membutuhkan sikap untuk
dipertanyakan, misalnya mengenai pernyataan yang tidak logis atau adanya
jarak (gap) yang muncul dalam sekumpulan argumen. Ketiga, aspek psikologis.
Aspek ini diberlakukan ketika penafsir meletakkan dirinya dalam diri
pengarang, yaitu ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas
dan posisi intelektual si pengarang. Keempat, aspek morfologis-teknis.
Pendekatan ini ditujukan kepada pemahaman isi-arti kata yang bersifat
mental-objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-
prinsip yang digunakannya. Pada sisi ini, objek dipandang apa adanya tanpa
dikaitkan dengan sifat atau faktor-faktor eksternal. Tegasnya, menurut Betti,
suatu interpretasi hendaknya bersifat gerakan penafsiran yang melibatkan
aspek kebahasaaan, latar belakang historis dan pengenalan terhadap si
pengarang secara bersama-sama. Melalui pendekatan ini, hasil interpretasi
yang relatif objektif sangat mungkin untuk dicapai.160
Kembali kepada apa yang dikemukakan Dilthey di atas, maka syarat
untuk memberikan perhatian yang murni dan perasaan empati ini
sebenarnya inkonsisten dengan prinsip pengamatan inderawi yang
dikemukakan oleh Dilthey. Artinya, proses pengembangan pengetahuan
ilmiah dengan metode verstehen tidak cukup dilakukan dengan modalitas
rasio dan empiri, melainkan (seharusnya) juga intuisi. Hal ini tampaknya
___________________________
159 Ibid.
160 Abd A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hlm. 85–86.
122 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
juga menjadi sumber kritikan oleh Max Weber, seperti yang akan diutarakan
kemudian di bawah.
Hermeneutika di mata Dilthey berjalan menurut dua prinsip. Pertama,
prinsip ketidakterpisahan antara usaha mengenal sesuatu dan memberikan
penilaian (valuation) terhadapnya. Dua sisi upaya mengembangkan
pemahaman (verstehen) ini selalu berhubungan karena kenyataan yang
dipelajari ilmu-ilmu kemanusiaan pada hakikatnya bersifat normatif, yaitu
mengenai keadaan sebagaimana mestinya. Kedua, prinsip keharusan
mengaitkan upaya memahami itu dengan konteks luas untuk mengembang-
kan pemahaman. Artinya, pemahaman hanya dapat dikembangkan dengan
cara mengaitkan apa yang spesifik dan konkret dengan sesuatu yang bersifat
lebih menyeluruh dan abstrak.161
Max Weber memberi catatan terhadap prinsip Hermeneutika yang
dikemukakan Dilthey di atas. Menurut Weber, objek studi ilmu-ilmu
kemanusiaan tidak bersifat normatif melainkan deskriptif. Oleh karena
itu, ia dapat dipelajari dengan metode yang bebas nilai (value free) seperti
halnya metode ilmu-ilmu alam. Weber berkeyakinan bahwa tidak mungkin
seorang peneliti dapat menarik kesimpulan yang benar tentang kehidupan
sosial manusia yang hidup dalam konteks sejarah dalam lingkungan kebudayaan
yang berbeda dengan si ilmuwan peneliti tersebut. Jika “pengalaman pribadi”
si peneliti yang dijadikan dasar penelitian, pasti penggambaran “fakta maknawi”
yang dipahaminya telah menyimpang jauh. Weber tidak melihat adanya struktur
kenyataan yang demikian teratur sehingga dapat mudah dipahami berdasarkan
pengalaman pribadi si peneliti. Kalaupun ada “keteraturan” yang diasumsikan
tersebut, hal itu tidak lain adalah hasil kreasi si peneliti sendiri. Di samping itu,
fakta maknawi bukan objek yang berdiri sendiri. Dalam upaya mempelajari
kelakuan manusia, ilmuwan sosial tidak tepat berpedoman pada perasaan empati,
tetapi pada prinsip tertentu dalam pikiran sendiri seperti konsep dan teori.
Prinsip terpenting menurut Weber adalah tipe ideal (ideal type), yaitu satu
konstruksi model abstrak dan teoretis oleh ilmuwan sosial tentang isi “dunia
pemaknaan” orang yang ingin diteliti beserta tindakan-tindakan yang dapat
disimpulkan darinya.162 Koreksi Weber terhadap Dilthey yang terakhir ini
membawa uraian pada konsep Konstruktivisme.
Konstruktivisme sendiri, sebagai suatu gerakan berpikir dalam
epistemologi, menurut C.A. van Peursen, dapat dibedakan dalam beberapa
kelompok. Ada yang disebut “Holisme” dengan tokoh-tokohnya P. Duhem,
___________________________
162 Lihat Ibid., hlm. 63.
SHIDARTA — 123
V.O. Quine, dan Lakatos. Mereka mengatakan bahwa sistem ilmiah terdiri
dari simbol-simbol yang dikonstruksikan (konstruksi simbolik), yang lewat
kaidah logis, simbol-simbol itu seakan-akan menyajikan suatu “terjemahan”
mengenai data empiris. Oleh karena itu ilmu harus selalu mengadakan
kontak dengan pengalaman.163
Kelompok lain lagi adalah gerakan yang dinamakan “Filsafat Ilmu
Baru.” Mereka terdiri dari antara lain P.K. Feyerabend, N.R. Hansen, M.
Polanyi, dan S. Toulmin. Nama Thomas S. Kuhn juga kerap dimasukkan
dalam kelompok Konstruktivisme ini. Mereka menekankan bahwa sistem
ilmu dan kenyataan empiris (data kelompok peneliti ilmiah, kebudayaan
sendiri) saling meresapi. Dengan demikian, seperti analisis Kuhn dalam
“Teori Paradigma”-nya, perkembangan ilmu justru terjadi lewat kejutan
dan ugeran (norma) di luar ilmu. Dalam menafsirkan simbol, harus
diperhatikan arti keseluruhannya. Selain itu, sering suatu simbol juga
bermakna ganda. Dalam hal ini, aspek “sudut pandang” menjadi sangat
penting, khususnya dalam ilmu-ilmu sosial. Titik tolak pandangan ini
diistilahkan dengan “Gestalt” (atau istilah yang sepadan seperti “Teori
Sistem” atau “Holisme”). Jadi, perubahan Gestalt, atau yang diistilahkan
oleh Thomas Kuhn dengan “Gestalswithch,” adalah juga perubahan
paradigma.164
Kelompok ketiga Konstruktivisme adalah aliran “Genetis” yang
berpendapat bahwa terjadinya sistem (genesis sistem) merupakan bagian
dari sifat khas sistem itu sendiri. Proses dan hasil tidak dapat dipisahkan.
Nama-nama seperti C.S. Pierce dan J. Dewey termasuk kelompok ketiga
ini. Pierce memberikan sumbangan pemikiran dalam ajaran “abduksi”-nya.
Menurutnya, abduksi mendahului semua prosedur pertanggungjawaban,
dan abduksilah yang bertugas menyusun hipotesis (context of discovery).
Khusus dalam rangka menelaah model penalaran yang menggunakan
Hermeneutika dan Konstruktivisme, maka uraian di bawah mengemukakan
salah satu teori dalam epistemologi, yang disebut Konstruktivisme Kritis.
Wuisman, pemberi nama teori ini, menggunakan metode interpretasi
(hermeneutics) sebagai pola penalarannya. Model logika formal yang
dikembangkan oleh Konstruktivisme Kritis adalah seperti dalam Ragaan
II-l berikut:165
___________________________
163 Lihat C.A. van Peursen, Susunan..., Op. Cit., hlm. 87–88.
164 Ibid.
165 Wuisman, Op. Cit., hlm. 72.
124 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan II-l: Model Logika Formal Konstruktivisme Kritis
Proses yang digambarkan berangkat dari suatu masalah pengetahuan
yang timbul dalam pikiran si peneliti. Gagasan untuk meneliti itu muncul
karena ada “keterangan empiris” yang dinilai saling bertentangan atau
menyimpang dari pemahaman yang sudah dimiliki. Oleh karena
pemahaman awalnya tidak mampu memberikan penjelasan yang
memuaskan, si peneliti berusaha mencari atau mengembangkan satu
gagasan baru. Gagasan baru ini terbuka untuk diuji. Melalui pengumpulan
keterangan empiris, si peneliti berusaha menunjukkan ketidakbenaran
gagasan baru tadi. Begitulah terus-menerus dilakukan, sehingga ia sampai
pada konteks penelitian yang lebih luas dan makin kompleks.
Konstruktivisme Kritis berangkat dari beberapa asumsi: (1) tidak
terdapat hubungan langsung antara teori (pengetahuan ilmiah) dan
kenyataan (empiri); (2) teori tidak dapat dibuktikan begitu saja kebenarannya
secara induktif atau empiri tidak dapat ditunjukkan begitu saja
ketidakbenarannya secara deduktif; (3) apa yang dinamakan teori dan empiri
hanya terdapat dalam suatu “kenyataan” yang hanya dapat “dikonstruksi-
kan” dalam pikiran, yang kemudian disebut sebagai “kenyataan konseptual”
(conceptual reality); (4) untuk tujuan pengembangan pengetahuan ilmiah, maka
teori dan empiri itu dipertentangkan dalam suatu kenyataan konseptual
melalui bentuk logis formal berupa metode interpretasi (lingkaran
SHIDARTA — 125
hermeneutis); dan (5) interpretasi itu dikritisi, sehingga jika tidak dapat
ditunjukkan ketidakbenarannya, akan diterima sebagai pengetahuan
ilmiah.166
Wuisman memberikan contoh konkret Konstruktivisme Kritis lewat
penelitiannya di masyarakat Rejang (Bengkulu). Awalnya ia merasa heran
terhadap kebiasaan upacara perkawinan orang Rejang yang selalu memotong
kambing, tetapi jumlah kambingnya tidak selalu sama antara perkawinan
satu dengan lainnya. Ia bertanya kepada sejumlah orang tentang alasannya,
tetapi penjelasan mereka berbeda-beda. Dari pertentangan keterangan
empiris itu Wuisman lalu mengkonstruksikan suatu gagasan dalam bentuk
Pernyataan I (lihat Tabel II-8 di bawah!). Ia berpegang sementara pada
gagasan ini, sambil terus mengumpulkan keterangan empiris baru. Ternyata
ia menemukan ada pesta perkawinan yang memotong dua ekor kambing
dihadiri oleh undangan lebih sedikit, sedangkan pesta yang memotong
seekor kambing, justru lebih dipenuhi undangan. Hasil pengumpulan
keterangan empiris ini membuatnya sampai pada Pernyataan II. Hasil ini
mengherankannya karena bertolak belakang dengan Pernyataan I.
Pertentangan ini menimbulkan masalah baru lagi, sehingga ia mencari
keterangan empiris tambahan. Beberapa waktu kemudian diketahuinya dari
orang Rejang bahwa pertentangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
jika ada pelanggaran aturan perkawinan, dipotong dua ekor kambing,
sedangkan jika tidak ada pelanggaran hanya dipotong seekor. Karena acara
perkawinan didominasi oleh ritus agama Islam, Wuisman mengira aturan
demikian berasal dari hukum perkawinan Islam, sehingga ia sampai pada
gagasan baru (Pernyataan III). Gagasan baru ini tampaknya tidak saja
mampu menerangkan adanya perbedaan jumlah kambing yang dipotong,
tetapi juga perbedaan dalam hal jumlah tamu. Apabila terjadi perkawinan
yang menyimpang dari aturan agama Islam, tentu pihak yang bersangkutan
merasa malu dan tamu yang diundang atau bersedia datang juga sedikit.
Gagasan ini ternyata tidak bertahan lama. Berdasarkan keterangan empiris
lebih lanjut, diketahui bahwa pelanggaran yang dibicarakan di sini terjadi
karena perkawinan saudara dekat yang masih dibolehkan dalam agama
Islam. Oleh karena itu Pernyataan III tidak lagi dapat dipertahankan,
sehingga Wuisman harus mencari gagasan baru lagi (Pernyataan IV).
Menurut adat orang Rejang, perkawinan antara saudara yang masih
keturunan satu “poyang” dilarang, karena mereka termasuk “kelompok
___________________________
166 Ibid., hlm. 70–71.
126 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
poyang” yang sama (padahal agama Islam membolehkan). Untuk kelompok
poyang ini berlaku aturan eksogami, artinya bahwa jodoh harus dicari di
luar kelompok kekerabatan tersebut. Apabila terjadi perkawinan dari poyang
yang sama (biasanya karena keadaan memaksa), maka diperlukan memotong
dua ekor kambing. Jika perkawinan berasal dari poyang berbeda, cukup
dengan memotong seekor kambing.167 Dem ikia nlah Konstruktivisme Kri tis
itu dibangun Wuisman terus-menerus untuk menjawab kesenjangan antara
gagasan yang ada dalam pikirannya dan keterangan empiris yang
diperolehnya.
Tabel II-8
Penyataan yang Dibangun Melalui Konstruktivisme Kritis
___________________________
167 Ibid., hlm. 75–78.
168 William Desmond pada saat tulisan ini dibuat adalah guru besar di Katholieke Universiteit
Leuven (Louvain), Belgia. Bukunya “Being and the between” (Albany: SUNY Press, 1995)
memenangkan dua penghargaan sekaligus, yaitu the Prix Cardinal Mercier Award dan J.N. Findlay
Award of the Metaphysical Society of America, sebagai buku terbaik di bidang metafisika.
Istilah “kesenjangan” yang digunakan oleh Wuisman tampaknya dapat
diidentikkan dengan “keantaraan” (inbetweeness) sebagaimana dipopulerkan
antara lain oleh William Desmond (lahir 1951).168 Kesenjangan tersebut
diasumsikan merupakan bentuk dualisme juga ditinjau dari aspek ontologis,
namun tidak persis sama seperti dualisme dalam Rasionalisme Kritis.
SHIDARTA — 127
Apabila dalam Rasionalisme Kritis hakikat permasalahan diangkat langsung
dari objek materi dan/atau ide, maka dalam dualime Hermeneutika dan
Konstruktivisme Kritis hakikat permasalahannya merupakan titik-titik di
antara kedua sudut ekstrem itu. Pendekatan ini sekilas seperti sebuah negasi
(penolakan) atas materi atau ide, tetapi tidak terhindarkan bahwa pada
akhirnya upaya yang dilakukannya merupakan proses eklektisitas atas kedua
kubu tersebut.
Ragaan berikut memberikan gambaran tentang pola penalaran yang
dilakukan oleh Konstruktivisme Kritis.
Ragaan II-m: Pola Penalaran Konstruktivisme Kritis
Sejalan dengan ragaan di atas, pengembangan pengetahuan ilmiah
menurut Konstruktivisme Kritis dapat dirinci melewati enam tahap sebagai
berikut:169
Tah ap 1: Pe mb at asan pe r ma sa la ha n. Proses pene litia n bera wal dari
“masalah pengetahuan” (knowledge problem). Ilmuwan menghadapi
pertentangan atau penyimpangan antara gagasan (dalam pikiran) dan
keterangan empiris yang diperoleh. Penelitian dilakukan untuk memecahkan
___________________________
169 Wuisman, Op. Cit., hlm. 86–90.
128 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
masalah, mengisi atau menjelaskan kekosongan tersebut. Dalam praktik
penelitian, permasalahan itu dibedakan menjadi dua macam menurut
konteks asalnya. Pertama, permasalahan ilmiah praktis, yaitu permasalahan
yang berkaitan dengan usaha memecahkan suatu soal praktis (action problem),
misalnya mengubah situasi atau kondisi konkret (contoh memperbaiki
manajemen perusahaan). Penelitian terhadap permasalahan praktis ini
dilakukan oleh penelitian terapan (applied research) atau penelitian kebijakan
(policy research). Kedua, permasalahan ilmiah dasar (science problem), yaitu
permasalahan yang terjadi pada bidang ilmu terentu, misalnya untuk mencari
jawaban akibat pertentangan dua teori. Penelitian demikian ditujukan untuk
penelitian ilmiah murni (pure research) atau dasar (fundamental research).
Tahap 2: Pembuatan teori. Setelah permasalahan berhasil ditegaskan
(dibuat pembatasannya), maka selanjutnya gagasan yang akan diuji itu
dideskripsikan secara terinci dan disajikan dalam bentuk satu teori
(pernyataan umum). Wuisman mengingatkan, bahwa teori dalam konsep
berpikir Konstruktivisme Kritis berbeda dengan teori menurut Positivisme
dan Empirisme Logis. Dalam Konstruktivisme Kritis, antara teori di satu
pihak dan kenyataan di pihak lain, tidak terdapat hubungan langsung. Proses
penelitian ilmiah selalu dimulai dari pengembangan suatu gagasan yang
memberikan jawaban atas masalah pengetahuan dalam pikiran yang
dihadapi. Ini berarti pengujian gagasan tidak mungkin dilakukan tanpa
pembuatan teori terlebih dulu.
Tahap 3: Perancangan pengujian. Pada tahap ini ditetapkan
operasionalisasi untuk pengujian gagasan seperti yang telah dikembangkan
dan diterangkan dalam bentuk teori. Dalam hal ini dikonstruksikan dasar
interpretasi yang berlaku, termasuk ukuran-ukuran, metode, teknik
pengumpulan dan pengolahan datanya. Rancangan pengujian dapat
dianggap sebagai rencana kerja untuk kegiatan konkret tahap-tahap
berikutnya.
Tahap 4: Pengumpulan data. Setelah operasionalisasi selesai dan
dibuat satu rencana kerja untuk pelaksanaan praktis, ilmuwan
“menghubungkan” diri secara langsung dengan apa yang ditunjuk sebagai
“dasar pengujian” dengan maksud mengumpulkan data (keterangan
empiris).
Tahap 5: Pengolahan data. Setelah data terkumpulkan, sampailah
pada tahap pengolahannya. Pengolahan berangkat langsung dari himpunan
data yang dipadatkan menjadi pernyataan yang ringkas dan terbatas
jumlahnya. Berkaitan dengan ini dapat dipakai bermacam-macam teknik
SHIDARTA — 129
dan metode analisis (kuantitatif dan/atau kualitatif). Hasil analsisis
dikemukakan antara lain dalam bentuk tabel, grafik, rumus matematika,
pernyataan empiris, tipologi, atau kerangka konsep. Tujuan analisis data
adalah memungkinkan penentuan berlaku tidaknya gagasan (teori) yang
dikembangkan pada awal proses penelitian ilmiah dengan mencoba
menyusunnya kembali berdasarkan keterangan empiris (data) yang
dikumpulkan.
Tahap 6: Penilaian. Melalui proses penyusunan kembali teori, dapat
dinilai apakah gagasan yang diajukan pada awal proses penelitian tepat
atau tidak. Apabila melalui interpretasi jelas bahwa gagasan semula tidak
berhasil ditunjukkan ketidakbenaran (ketidakbergunaannya), dan juga tidak
ditemukan alasan untuk menduga bahwa hasil penelitian itu disebabkan
kesalahan dalam penerapan metode pengujian itu sendiri, maka apa yang
dinyatakan oleh gagasan itu untuk sementara waktu diterima sebagai temuan
ilmiah. Apabila gagasan itu ternyata tidak tepat, karena tidak dapat disusun
kembali berdasarkan data yang diperoleh, maka ditemukan masalah
pengetahuan baru yang menuntut diciptakan gagasan baru pula sebagai
pemecahannya. Pengujiannya dapat terjadi dalam proses penelitian
berikutnya.
Secara ontologis, permasalahan ilmiah yang menjadi sorotan
Konstruktivisme Kritis adalah kesenjangan (keantaraan; inbetweeness) antara
“gagasan dalam pikiran” dan “keterangan empiris yang diperoleh.”
Pergulatan antara kenyataan empiris dan pernyataan teoretis tersebut—
seperti ditunjukkan dalam ragaan di atas—lebih kuat terjadi pada
permasalahan ilmiah yang bertujuan untuk memecahkan soal-soal praktis
(action problems). Sementara untuk permasalahan ilmu (science problems),
pergulatan tersebut kurang teraksentuasi. Ragaan II-l menunjukkan adanya
pergulatan interpretatif antara teori dan empiri di dalam kenyataan
konseptual. Dalam Ragaaan II-m, pergulatan itu digambarkan dalam aspek
epistemologis Rasionalisme dan Empirisme yang bergerak simultan. Pola
penalaran induksi-deduksi, bahkan oleh Pierce ditambahkan dengan
“abduksi” merupakan satu kesatuan untuk menemukan permasalahan tadi.
Dalam model penalaran ini memang diperlukan teori, tetapi tidak ada
keharusan untuk mencari referensi pada teori-teori yang sudah baku. Teori
itu idealnya bahkan dikonstruksikan berdasarkan kenyataan empiris yang
dihadapi dan tentu saja, sudut pandang si ilmuwan (peneliti) sendiri. Pada
tahap ini sudah berperan Hermeneutika.
130 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sekalipun pada tahapan di atas ada disebutkan tahap penilaian,
sebenarnya dalam Konstruktivisme Kritis tidak pernah ada pengakhiran
penelitian itu. Untuk tujuan pengembangan ilmiah, hasil interpretasi harus
terus-menerus dikritisi. Di sinipun sekali lagi tidak perlu ada dominasi antara
pola penalaran induksi atau deduksi. Sepanjang hasil interpretasi itu tidak
(atau belum) dapat ditunjukkan kebenarannya, maka secara tentatif ia
diterima sebagai pengetahuan ilmiah.
SHIDARTA — 131
A. PENGANTAR
“The object of a scientific inquiry is discovery; the object of a legal inquiry is
decision,” demikian kutipan Visser’t Hooft yang diambilnya dari penulis
Inggris A.G. Guest.1 Beranjak dari ungkapan itu, mereka sesungguhnya
ingin menegaskan bahwa penalaran hukum pada dasarnya adalah kegiatan
berpikir problematis. Kegiatan berpikir ini berada dalam wilayah penalaran
praktis, sebagaimana dinyatakan oleh Neil MacCormick, “... legal reasoning
as one branch of practical reasoning, which is the application by humans of their
reason to deciding how it is right to conduct themselves in situations of choice.”2
Namun, tipe argumentasi problematis (topikal) seperti dikemukakan
itu bukan satu-satunya jenis argumentasi. Ada kutub lawan dari tipe
argumentasi ini, yaitu berpikir secara aksiomatis (sistemis). Berpikir
aksiomatis menunjuk pada proses berpikir yang bertolak dari kebenaran-
kebenaran yang tidak diragukan, melalui mata rantai yang bebas-ragu, sampai
kepada kesimpulan yang mengikat (konklusif). Proses ini, menurut B. Arief
Sidharta, mengacu pada model pengetahuan yang pasti, yang digambarkan
dengan sistem yang puncaknya berupa seperangkat aksioma yang eviden.
Selanjutnya, melalui mata rantai perantara yang bebas-ragu dijabarkan
aksioma itu ke dalam suatu keseluruhan putusan yang detail. Tipe
argumentasi ini mencerminkan usaha yang sudah tertanam dalam pikiran
manusia. Dalam hal ini diusahakan untuk menemukan landasan dan
pembenaran atas suatu pendapat, dan diusahakan juga kesatuan,
BAB III
PENALARAN HUKUM
___________________________
1H. Ph. Visser’t Hooft, Filsafat Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Penerbitan
tidak berkala No. 4 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2002), hlm. 23.
2Neil MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1994),
hlm. ix.
132 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kesalingterkaitan, kebertatanan (stelselmatigheid). Tipe ini dibedakan dengan
kutub lawannya, yakni berpikir problematis. Tipe argumentasi yang
disebutkan terakhir ini adalah berpikir dalam suasana yang di dalamnya
tidak ditemukan kebenaran bebas-ragu. Dalam pertentangan pendapat
menurut tipe argumentasi ini, masalahnya bergeser dari hal menentukan
“apa yang konklusif ” menjadi “apa yang paling dapat diterima” (acceptable;
pluasible). Untuk itu lalu diajukan alasan-alasan untuk mendukung pendapat
tertentu yang kekuatannya diuji dalam diskusi.3
Uraian di atas mengawali suatu deskripsi yang agak panjang lebar dalam
bab ini tentang berbagai aspek seputar karakteristik penalaran hukum.
Bertolak dari uraian bab sebelumnya, terlihat jelas bahwa penalaran hukum
adalah kegiatan berpikir problematis dari subjek hukum (manusia) sebagai
mahluk individu dan sosial di dalam lingkaran kebudayaannya. Sekalipun
demikian, penalaran hukum tidak mencari penyelesaian ke ruang-ruang
yang terbuka tanpa batas. Ada tuntutan bagi penalaran hukum untuk juga
menjamin stabilitas dan prediktabilitas dari putusannya dengan mengacu
kepada sistem hukum positif. Demi kepastian hukum, argumentasi yang
dilakukan harus mengikuti asas penataan ini, sehingga putusan-putusan
itu (misalnya antara hakim yang satu dengan hakim yang lain dalam
mengadili kasus serupa) relatif terjaga konsistensinya (asas similia similibus).
Berdasarkan pandangan ini, dengan mengutip Ter Heide, B. Arief Sidharta
menyebut tipe argumentasi dalam penalaran hukum sebagai “berpikir
problematikal tersistematisasi” (gesystematiseerd probleemdenken).4
Term “subjek hukum” yang disebutkan di atas perlu diberi aksentuasi
tersendiri, karena menunjukkan bahwa kegiatan berpikir ini adalah aktivitas
terfokus yang hanya menyoroti problema yang relevan dengan kepentingan
(kedudukan dan peranan) para subjek hukum, bukan sebagai subjek dalam
konteks lain. Artinya, problema hukum adalah problema kepentingan
manusia sebagai mahluk berbudaya.
Pada dasarnya semua subjek hukum mampu melakukan penalaran
hukum ini, namun aktivitas yang terfokus seperti itu secara intens
merupakan ladang bergelut para pengemban hukum, lebih khusus lagi di
sini adalah para hakim sebagai pengambil keputusan (legal decision maker)
untuk kasus-kasus konkret di lembaga yudikatif. Dalam uraian bab ini dan
___________________________
3B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia
(Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 163.
4Ibid., hlm. 164.
SHIDARTA — 133
bab-bab selanjutnya, penalaran hukum akan banyak dititikberatkan pada
penalaran hukum oleh hakim. Kendati begitu, mengingat kedudukan dan
peranan pembentuk undang-undang (pengemban hukum di lembaga
legislatif) juga menonjol, terutama di negara-negara yang berada di jajaran
keluarga sistem civil law seperti halnya Indonesia, maka penalaran hukum
dalam proses pembentukan hukum pun akan mendapatkan porsi bahasan
tersendiri, khususnya pada Bab IV dan V.
Setelah pengantar, bagian kedua bab ini (Subbab B) diisi dengan
gambaran tentang sudut-sudut pandang yang dapat digunakan oleh para
subjek penalar dalam melakukan proses penalaran hukum. Ada dua sudut
pandang yang disampaikan, yaitu sudut pandang dari keluarga sistem hukum
(parent legal system) dan sudut pandang partisipan (medespeler) versus pengamat
hukum (toeschouwer). Kedua dimensi sudut pandang tersebut seringkali
diabaikan para teoretisi pengkaji masalah penalaran hukum, padahal
sesungguhnya keduanya berkorelasi erat dengan karakteristik penalaran
hukum, termasuk berbagai model penalaran yang muncul kemudian.
Pada bagian ketiga disinggung tentang aspek-aspek kunci yang harus
dipahami sebelum seseorang memasuki lebih jauh kajian penalaran hukum
tersebut. Aspek-aspek tersebut mencakup modalitas dalam kajian ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Aspek ontologis menyoroti pemaknaan
hakikat hukum, sementara aspek epistemologis lebih terkait kepada
persoalan-persoalan metodologis. Di sisi lain, aspek aksiologis mengacu
pada tujuan-tujuan yang ditetapkan dalam penalaran hukum itu. Semua
aspek kunci ini pada akhirnya akan meletakkan pola dasar pada model-
model penalaran hukum.
Model-model penalaran hukumnya sendiri akan dibentangkan pada
bagian keempat bab ini. Apa yang dimaksud dengan kerangka orientasi
berpikir yuridis ini tidak lain adalah aliran-aliran yang lazimnya digunakan
oleh para pengkaji filsafat hukum. Oleh karena itu, kerangka orientasi
berpikir yuridis tadi biasa disebut juga aliran-aliran filsafat hukum. Pada
kesempatan ini, secara khusus dipetakan enam konfigurasi aliran filsafat
hukum, yang semuanya merupakan hasil pengklasifikasian klasikal. Paparan
tentang aliran-aliran filsafat hukum ini sangat relevan dikemukakan di sini,
mengingat penalaran hukum ini sendiri adalah salah satu objek telaah cabang
disiplin hukum yang disebut teori hukum (jurisprudence), dan hasil kajian
teori hukum itupun antara lain nantinya diarahkan untuk membantu
pemahaman filsafat hukum. Kaitan kedua bidang ini demikian erat, seperti
kata Visser’t Hooft, bahwa suatu teori hukum yang dipahami dengan baik,
134 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
tidak mungkin ada tanpa filsafat hukum.5 Kiranya, kondisi sebaliknya pun
demikian. Itulah sebabnya pula, dalam pemetaan aliran-aliran filsafat hukum
inipun, pendekatannya tetap memperhatikan aspek-aspek kunci filsafat yang
disinggung pada subbab sebelumnya, yakni dimensi ontologi, epistemologi,
dan aksiologi dari penalaran hukum.
B. SUDUT PANDANG
Pola-pola penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang
dari subjek-subjek yang melakukan kegiatan penalaran.6 Sudut pandang
inilah yang kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir yuridis, yakni
berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, khususnya
sebagaimana dikenal luas sebagai aliran-aliran filsafat hukum. Apa yang
dimaksud dengan sudut pandang di sini, dengan demikian, merupakan
latar belakang subjektif dari suatu kerangka orientasi berpikir yuridis.
Uraian tentang sudut pandang di bawah ini mencakup dua kategori.
Pertama, pembedaan sudut pandang penalaran hukum dilihat dari aspek
makro, yaitu dari sudut keluarga sistem hukum (parent legal system). Kedua,
pembedaan tersebut didasarkan pada sudut pandang partisipan (medespeler)
dan pengamat (toeschouwer).
1. Keluarga Sistem Hukum
Kata “sistem” merujuk kepada banyak pengertian. Secara sederhana
kata ini berarti sekelompok bagian-bagian (alat dan sebagainya) yang bekerja
bersama-sama untuk melakukan suatu maksud,7 atau “Group of things or
part working together in a regular relation.”8 Definisi yang kurang lebih sama
diberikan oleh Black’s Law Dictionary, yang mengartikan sistem sebagai
“Orderly combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole;
especially such combination according to some rational principle.”9
Banyak unsur-unsur yang terjalin dalam suatu sistem. Hal ini terlihat pada
hukum sebagai suatu sistem. Sudikno Mertokusumo mengibaratkan sistem
___________________________
5H. Ph. Visser’t Hooft, Op. Cit., hlm. 1.
6Beberapa bagian dari tulisan ini pernah dipublikasikan tersendiri. Lihat Shidarta, “Penalaran
Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum,” Jur nal Era
Hukum, Tahun 11, No. 1 (September 2003), hlm. 1-29
7 W.J.S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. 5 (Jakarta: Balai Pustaka, 1982),
hlm. 955.
8A.S. Hornby et al., The Advance Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2 (London: Oxford
University Press, 1973), hlm. 1024.
9Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm.
1450.
SHIDARTA — 135
hukum sebagai gambar mozaik, yaitu gambar yang dipotong-potong menjadi
bagian-bagian kecil untuk kemudian dihubungkan kembali, sehingga tampak
utuh seperti gambar semula. Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri lepas
hubungannya dengan yang lain, tetapi kait mengait dengan bagian-bagian
lainnya. Tiap bagian tidak mempunyai arti di luar kesatuan itu. Di dalam kesatuan
itu tidak dikehendaki adanya konflik atau kontradiksi. Kalau sampai terjadi
konflik, maka akan segera diselesaikan oleh dan di dalam sistem itu sendiri.10
Sistem hukum, sebagaimana tampak dari uraian di bawah, adalah sistem
yang terbuka, dalam arti dipengaruhi dan mempengaruhi sistem-sistem
lain di luar hukum. Tidak mengherankan apabila di antara sistem-sistem
hukum itu terdapat persamaan sekaligus perbedaan. Ciri-ciri yang sama
inilah yang kemudian menjadi dasar pengklasifikasian sejumlah sistem
hukum itu ke dalam suatu keluarga sistem hukum (parent legal system).
Dalam pembahasan subbab ini, ingin ditunjukkan bahwa keluarga
sistem hukum memainkan peranan penting dalam menentukan model-
model penalaran yang disajikan dalam kerangka orientasi berpikir yuridis.
Hal ini disebabkan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Keluarga sistem hukum merupakan produk historis, yakni wujud
pergumulan nilai-nilai budaya, sosial, politik, ekonomi, dan berbagai
aspek nilai lainnya yang diakomodasi ke dalam sistem hukum suatu
negara atau bagian dari suatu negara. Sistem hukum Indonesia,
misalnya, terbentuk dari pergumulan nilai-nilai yang sebagian besar
disokong oleh corak keluarga Eropa Kontinental (Romawi-Jerman atau
Civil Law System). Kehadiran corak keluarga sistem hukum ini
merupakan produk historis yang dibawa oleh Kolonial Belanda, yang
kemudian mengejawantah ke dalam aspek substansi, struktur, dan
budaya hukum Indonesia itu sampai sekarang.
b. Keluarga sistem hukum meletakkan dasar bagi pola perkembangan
(pembangunan) selanjutnya dari suatu sistem hukum (the visions of law).
Sebagai contoh, ada keluarga sistem hukum yang lebih memberi
tekanan pada pembangunan substansi hukumnya dalam bentuk
peraturan perundang-undangan daripada yurisprudensi, dan hal ini
dengan sendirinya membawa pengaruh pada pola pembangunan
hukum (khususnya hukum positif) suatu negara yang berada dalam
keluarga sistem hukum tersebut.
___________________________
10 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), ed. 3 (Yogyakarta: Liberty, 1991),
hlm. 102–103.
136 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
c. Keluarga sistem hukum memperagakan karakteristik tertentu dari
pengembanan hukum (rechtsbeoefening) baik pengembanan hukum
praktis maupun teoretis. Dari sudut pengembanan hukum teoretis,
keluarga sistem hukum memberi pengaruh tidak kecil terhadap sikap
ilmiah para ahli hukum (sebagai bagian dari ethnos atau komunitas
ilmuwan), misalnya tatkala mereka dihadapkan pada suatu tata nilai,
gagasan, atau perkembangan baru. Keluarga sistem hukum ikut
membentuk sikap ilmiah para ilmuwan pendukungnya, sehingga ada
yang cenderung lebih konservatif atau sebaliknya.11 Sementara dari
aspek pengembanan hukum praktis (pembentukan, penemuan, dan
bantuan hukum), terkait persoalan-persoalan teknis yang khas. Sebagai
konsekuensinya, jika ada dua negara yang berasal dari keluarga
hukumnya berlainan, sangat besar kemungkinannya masing-masing
menggunakan metode atau teknik pengembanan hukum yang berbeda
pula. Mengenai hal ini René David dan John E.C. Brierley
menambahkan:12
From the technical standpoint, it is advisable to ask whether someone
educated in the study and practice of one law will then be capable,
without much difficulty, of handling another. If not, it may be concluded
that the two laws do not belong to the same family; this may be so
because of differences in the vocabularies of the two laws (they do not
express the same concepts), or because the hierarchy of sources and
the methods of each law differ to a considerable degree.
Istilah keluarga sistem hukum (parent legal system) biasa dipergunakan
oleh para ahli perbandingan hukum (legal comparatists) untuk menyebutkan
suatu tatanan organisasional yang paling penting (organizational linchpin)
dalam rangka penganalisisan sistem-sistem hukum berbagai negara di dunia.
Keluarga sistem hukum ini merupakan eponymous models,13 yakni “...certain
___________________________
11 Tumbangnya epistemologi akibat serangan Posmodernisme, misalnya, ternyata lebih banyak
direspons di negara-negara Anglo Saxon daripada negara-negara bertradisi lainnya. I. Bambang
Sugiharto menulis, “Tidak terlalu salah bila kita katakan bahwa kini, terutama di wilayah Anglo-
saxon, epistemologi telah ‘babak belur’ mendapat serangan dari segala sudut.” Lihat I. Bambang
Sugiharto, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, cet. 4 (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 68.
12 René David & John E.C. Brierly, Major Legal Systems in the World Today: An Introduction to the
Comparative Study to Law, ed. 3 (London: Stevenson & Sons, 1985), hlm. 21.
13 Eponymous biasa digunakan untuk menyebutkan ciri pemain utama dalam drama atau buku,
yang namanya dicantumkan sebagai judul karya tersebut. “An eponymous hero or heroine is
the character in a play or book whose name is the title of that play or book....” Lihat John
Sinclair et al, eds., BBC English Dictionary (London: BBC English & Harper-Collins Publishers,
1992), hlm. 382.
SHIDARTA — 137
laws which can be considered typical and representative of a family which groups a
number of laws.”14 Dengan demikian istilah keluarga sistem hukum (parent
legal system) ini dapat dipersamakan dengan sistem-sistem hukum utama
(major legal systems) atau bahkan cukup ditulis sebagai keluarga hukum (legal
family atau famille juridique) saja.
Di dunia ini biasanya dikemukakan ada tiga keluarga sistem hukum,
yaitu (1) civil law system, (2) common law system, dan (4) socialist law system.
Kelompok yang ketiga, socialist law system, sering tidak disinggung secara
khusus dalam banyak tulisan karena dianggap berakar pada civil law system.
Di luar tiga kelompok itu, ada kategori lain-lain, yang biasa disebut keluarga
sistem hukum bertradisi campuran. Pembagian di atas sebenarnya bersifat
oversimplified, mengingat sistem-sistem hukum yang mengisi bagian-
bagiannya juga begitu banyak. Peter de Cruz menyebut angka sekitar 42
sistem hukum yang mempunyai karakteristik tersendiri, yang berarti
pengelompokan ke dalam tiga keluarga sistem hukum di atas tentu terlalu
sedikit.15
Neg ara-negara yang ter masuk dalam kelompok negara-negara civil law
adalah seperti Prancis, Jerman, Italia, Swiss, Austria, negara-negara Amerika
Latin, Turki, sejumlah negara Arab, Afrika Utara, dan Madagaskar.
Indonesia termasuk kategori civil law juga, mengingat negara ini mendapat
pengaruh dari Belanda, dan Belanda memperolehnya dari Prancis. Negara-
negara yang berkategori common law16 antara lain adalah Inggris (England)
dan Wales, Australia, Nigeria, Kenya, Zambia, Amerika Serikat, Selandia
Baru, Kanada, dan berbagai negara dari kawasan Timur Jauh, seperti
Singapura, Malaysia, dan Hongkong. Selanjutnya, untuk sistem sosialis
tercakup antara lain Bulgaria, Yugoslavia, Kuba, dan negara-negara eks
Uni Soviet. Di luar itu terdapat sistem campuran (hybrid or mixed jurisdictions)
seperti Seychelles, Afrika Selatan, Louisiana (di Amerika Serikat), Filipina,
Yunani, Quebec (di Kanada), dan Puerto Rico.
Kriteria yang lebih luas diberikan oleh Esmein (1905), dengan
membedakannya menjadi lima keluarga sistem hukum yaitu: (1) Romanistic,
___________________________
14 René David & John E.C. Brierley, Op. Cit., hlm. 1.
15 Peter de Cruz, Comparative Law in A Changing World (London: Cavendish Publishing Ltd.,
1995), hlm. 3.
16 Istilah “common law” mempunyai dua pengertian. Secara sempit ia adalah pranata hukum yang
dibangun oleh suku-suku Anglo-Saxon jauh sebelum penaklukan bangsa Normandia (tahun
1066). Dalam hal ini ia dipertentangkan dengan pranata equity yang lahir pasca-penaklukan.
Istilah “common law” juga diartikan secara luas untuk menamakan keluarga sistem hukum dari
negara-negara yang mendapat pengaruh mendalam dari hukum Inggris, terutama setelah melalui
proses kolonialisasi.
138 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
(2) Germanic, (3) Anglo Saxon, (4) Slavic, dan (5) Islam. Zweigert dan Kotz
(1977) mengklasifikasikan lebih banyak lagi, yaitu: (1) Romanistic, (2) Germanic,
(3) Nordic, (4) Common Law families, (5) Socialist, (6) Far E as te r n S y st em s, (7)
Islamic Systems, dan (8) Hindu law. David dan Brierley mengadopsi sistem
klasifikasi berdasarkan ideologi dan teknis hukum, sehingga muncul enam
keluarga sistem hukum yang berbeda: (1) Romano-Germanic, (2) Common Law,
(3) Socialistic, (4) Islamic, (5) Hindu dan Jewish, (6) Far E as t dan Black African.
Pada intinya, metode pembagian keluarga sistem hukum tersebut sangat
dipengaruhi oleh indikator yang digunakan sebagai “pisau analisis.” Makin
tajam “pisau analisis” tersebut, maka makin banyak bagian-bagian yang
bisa ditampilkan sebagai keluarga sistem hukum tersendiri.
Apa sejumlah faktor yang dapat dijadikan indikator untuk
menggolongkan sistem hukum negara-negara tertentu menjadi satu
keluarga tersendiri. Faktor-faktor itu antara lain meliputi:17
a. latar belakang sejarah dan pembangunan sistem hukumnya (the historical
background and development of the system);
b. karakteristik khas dari cara berpikirnya (its characteristic [typical] mode of
thought);
c. pranata-pranatanya yang berbeda (its distinctive institutions);
d. jenis-jenis sumber hukum yang dikenal dan penggunaannya (the types
of legal sources it acknowledges and its treatment of these);
e. ideologinya (its ideology).
Dalam uraian berikut, faktor kedua tersebut yang akan dijadikan fokus
elaborasi. Para ahli perbandingan hukum pada umumnya mengakui ada
perbedaan karakteristik dalam cara berpikir (penalaran) di antara keluarga-
keluarga sistem hukum itu. Peter de Cruz menulis sebagai berikut:18
As a generalisation, civil law or Germanic and Romanistic legal families tend
to think in abstract, conceptual and symmetrical terms. Civil law, derived from
universities and Roman law, is rule-based and constantly seeks solutions to a
problem before the court. It also thinks in terms of institutions, whereas the
English common law is typical for its concrete, court-based approach, seeking
pragmatic answers to issues before the court. Where civil law proceeds from
general principle to general principle, common law proceeds from case to
case. Where cases have formed the primary source of the common law, statutes
and codified law have been the civil law counterparts. While common lawyers
think in terms of the parties and their particular legal relationship, civil lawyers
___________________________
17 Peter de Cruz, Op. Cit., hlm. 34.
18 Ibid., hlm. 36.
SHIDARTA — 139
think in terms of the existing enacted rules, codified or statutory, which may
be applied to a given situation. Another consequence of the historical
development which is reflected in the mode of legal thinking is the civil law
penchant for planning, systematising and regulating everyday matters as
comprehensively as possible. In contrast, the classic common law characteristic
is to improvise, examining cases for possible precedents which may or may
not be ‘binding’ on the court currently hearing a case and only deciding to
legislate in any sort of organised and comprehensive fashion if the particular
area of law happens to be confused, obscure or reveals a ‘gap’ in the law.
Even when ostensibly comprehensive statutes are passed, the preceding case
law is often relevant as a guide to interpretation since the enactment of the
statute is generally seen as a consolidation (and possibly clarification) of existing
law. The common law statute therefore seeks generally to build or improve on
existing case law, whereas the civil law equivalent has traditionally sought to
enunciate universally applicable principles, clearly set out for either the citizen
(as in the French Code) or the specialist (as in the German Code). It frequently
sets out to establish new laws, and to do so explicitly.
Karakteristik penalaran hukum yang digambarkan Cruz di atas dapat
dikembangkan dengan melihat bagaimana peran fungsionaris hukum pada
masing-masing kubu, khususnya mereka yang berprofesi sebagai
pembentuk undang-undang dan para hakim.
Sejalan dengan ditempatkannya undang-undang sebagai sumber utama
hukum dalam keluarga sistem civil law, maka dengan sendirinya pembentuk
undang-undang mempunyai peranan penting untuk menetapkan corak sistem
hukum positif negara tersebut. Pada forum legislatif inilah semua konsep
hukum itu dibicarakan untuk kemudian digunakan sebagai panduan bagi para
hakim dalam memecahkan kasus-kasus konkret di pengadilan. Dalam konteks
ini, para pembentuk undang-undang dituntut berpikir sekomprehensif mungkin
agar semua kasus yang dipersepsikan akan muncul di kemudian hari dapat
tercakup dalam pengaturan undang-undang itu. Makin detail dan eksplisit suatu
peraturan diformulasikan, makin ringan pekerjaan hakim di lapangan. Dimensi
nilai keadilan (Gerechtigkeit) dan kemanfaatan (Zweckmäßigkeit) dipersepsikan
sudah diletakkan jauh-jauh hari tatkala undang-undang itu dirumuskan oleh
wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif. Oleh karena itu, tugas hakim seharusnya
lebih diarahkan kepada penetapan aturannya, sehingga tercapailah kepastian
hukum (Rechtssicherheit) bagi semua pihak.
Di sisi lain, dalam keluarga sistem common law, keaktifan justru dituntut
datang dari para hakim. Undang-undang bukanlah sesuatu yang dapat
diandalkan oleh mereka dalam menghadapi situasi terberi (given situation) di
pengadilan. Dalam pencarian sumber hukum, perhatian mereka pertama-
140 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
tama tidak tertuju kepada undang-undang, tetapi lebih kepada konstelasi
hubungan para pihak yang bersengketa. Sekalipun ada undang-undang yang
dapat dijadikan sumber acuan, hakim tetap diberi kesempatan untuk
menemukan hukum lain di luar undang-undang, dengan bertitik tolak dari
pandangan subjektifnya atas kasus yang dihadapi. Cara berpikir pragmatis
ini mengarahkan hakim-hakim dari keluarga sistem common law untuk
meletakkan nilai kemanfaatan (daya guna, Zweckmäßigkeit) pada tempat
pertama. Kemanfaatan di sini tentu pertama-tama dilihat dari optik
kepentingan para pihak yang bersengketa, namun konsep “pihak” di sini
dapat saja diperluas, khususnya dalam sengketa hukum publik.19 Pada kasus-
kasus demikian, hakim dituntut untuk menyelaraskan makna kemanfaatan
itu tadi dengan kepentingan masyarakat luas, sehingga tercapai pula dimensi
keadilan (Gerechtigkeit) dalam putusannya. Untuk melembagakan semangat
berkeadilan inilah, antara lain lalu dihadirkan dewan juri di pengadilan
sebagai pranata khas common law.20 Demikian juga dengan eksisten si pra nata
equity yang lahir sebagai alternatif dari pengadilan common law.21 Selanjutny a,
agar nilai kepastian hukum juga tercakup dalam putusan hakim, maka asas
preseden yang mengikat (the binding force of precedent) diterapkan.22 Tatkala
___________________________
19 Dalam keluarga sistem common law ti dak dik ena l pe mbag ian teg as ant ara huk um p ubl ik d an p riv at.
Penjelasan mengenai hal ini lihat Paul Scholten, Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het
Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1934), hlm. 34–41.
20 Sistem juri muncul dari tradisi (kebiasaan) yang kemudian dikukuhkan dalam Magna Charta,
bertujuan untuk mengontrol kekuasaan the King’s judges. Saat ini, dalam sistem hukum Amerika
Serikat dikenal banyak variasi dari pranata juri ini, seperti grand jury, petit jury, common jury, special
jury, coroner’s jury, dan sheriff’s jury. Agar dimensi rasa keadilan masyarakat itu dapat tercermin,
komposisi juri ditetapkan harus dalam jumlah tertentu. Grand jury, misalnya, terdiri dari 12 s.d.
23 orang. Namun, umumnya di pengadilan distrik negara bagian atau federal jumlah juri ini
telah diciutkan menjadi 6 orang. Untuk efisiensi, para pihak diperbolehkan pula menetapkan
sejumlah lainnya, yang kurang dari 12 kurang. Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary,
ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm. 855-857.
21 Pranata equity lahir sebagai respons atas buruknya kinerja pengadilan common law. Menurut
doktrin yang hidup pada Abad Pertengahan, untuk memenuhi rasa keadilan rakyat dapat secara
individual meminta keputusan dari raja. Dalam sejarah pernah terjadi konflik antara equity dan
common law, sampai akhirnya diharmonisasikan melalui Judicature Acts 1873 dan 1875. Lihat
Denis Keenan, Smith and Keenan’s English Law, ed. 8 (London: Pitman, 1986), hlm. 4–8 dan
René David & John E.C. Brierley, Op. Cit., hlm. 339–341.
22 “The essence of the common-law doctrine of the precedent or stare decisis is tht the rule of
the case creates a binding legal percept. The doctrine is so central to Anglo-American
jurisprudence that it scarcely need to be mentioned let alone discussed at length. A judicial
precedent attaches a specific legal consequence to a detailed set of facts in an adjudged case
or judical decision, which is then considered as furnishing the rule for the determination of a
subsequent case involving identical or similar material facts and arising in the same court or a
lower court in the judicial hierarchy.” Ruggero J. Aldisert, Logic for Lawyers: A Guide to Clear
Legal Thinking (hlm. 13).
SHIDARTA — 141
hakim menjatuhkan putusan, ia dipastikan sudah memperhatikan dengan
saksama putusan-putusan sebelumnya yang mengadili kasus serupa. Jika
tidak ada alasan yang sangat prinsipiil, hakim tersebut tidak dapat mengelak
kecuali ia juga menjatuhkan putusan yang secara substantif sama dengan
putusan sebelumnya.
Profesi hakim juga menjadi unsur pembeda yang menarik untuk
diperbandingkan. Dalam keluarga sistem civil law, hakim direkrut langsung
dari tamatan universitas. Sebagian besar di antara mereka menekuni profesi
ini sebagai karir pertama mereka di bidang hukum. Hal ini tidak menjadi
kecenderungan di dalam keluarga sistem common law. Dalam keluarga sistem
hukum ini, hakim sering dianggap sebagai puncak karir berbagai profesi
hukum. Rekrutmen hakim dilakukan dari profesi hukum lain, yakni
penasihat hukum dan jaksa yang dinilai mempunyai reputasi tinggi.23
Asosiasi profesi hukum juga berperan penting dalam tradisi common law. Di
Amerika Serikat, misalnya, bar association bertugas menyeleksi calon-calon
penasihat hukum, sehingga fenomena ini menjadikan profesi hukum
berkembang secara elitis. Jauh lebih elitis dibandingkan kondisi di negara-
negara dari keluarga sistem civil law.
Pengaruh keluarga sistem hukum juga muncul pada banyak aspek yang
lain, seperti dalam pendidikan hukum. Pembelajaran disiplin hukum di
universitas pada dasarnya berawal dari tradisi kuno civil law, sebagaimana
dikembangkan oleh Irnerius di Studium Civile di Bologna pada Abad ke-11.
Tradisi ini sangat kuat berpengaruh di Eropa sampai ke Amerika pada
Abad ke-19. Metode pengajaran yang mengacu kepada doktrin-doktrin,
baru berubah secara dramatis di Amerika Serikat pada tahun 1870, dirintis
oleh Christopher Columbus Langdell di Universitas Harvard. Ia
menciptakan metode perkara (case method), yang mengarahkan mahasiswa
untuk lebih banyak mempelajari dan mengupas laporan (terbitan) perkara
yang diputuskan pengadilan banding. Perkara-perkara itu dihimpun di
dalam buku perkara (casebook) yang awalnya disusun sendiri oleh Langdell.
Metode kasus ini dipadukannya dengan teknik tanya jawab, yang umum
lebih dikenal sebagai metode pembelajaran Sokrates.24 Langdell sangat
dipengaruhi oleh paham formalisme klasik dalam ilmu hukum, yang
___________________________
23 Di Indonesia, kecenderungan sistem rekrutmen hakim mulai berubah, yakni dengan
dimungkinkannya akademisi sebagai hakim di Mahkamah Agung dan sejumlah pengadilan ad
hoc.
24 Lihat Lawrence M. Friedman, American Law: An Introduction (New York: W.W. Norton & Co.,
1984), hlm. 242–243.
142 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
memandang ilmu hukum sama dengan ilmu fisika yang bekerja atas dasar
temuan hubungan kausal.25 Cara pandang ini dikritik keras oleh Roscoe
Pound, namun metode kasus yang diintroduksi Langdell tetap bertahan,
bahkan akhirnya menjadi semacam keniscayaan dalam tradisi pembelajaran
di perguruan tinggi hukum di negara-negara keluarga sistem common law.
Buku-buku teks ilmu hukum yang beredar di sana dipenuhi oleh analisis
putusan-putusan hakim. Sementara itu, perguruan tinggi hukum di negara-
negara keluarga civil law tetap bertahan dengan pola belajar ilmu hukum
yang legal-dogmatis. Buku-buku teks ilmu hukumnya lebih condong ke
arah anlisis doktrinal atas norma hukum positif (peraturan perundang-
undangan). Buku-buku tersebut ditulis dengan pendekatan sistemik-
problematik, berlawanan dengan pendekatan problematik-sistemik yang
melekat kuat pada buku-buku di lingkungan keluarga sistem common law.
Pola penalaran dalam buku-buku teks ini merefleksikan pola umum
penalaran para pengguna buku-buku itu dari kedua belahan keluarga sistem
hukum tersebut.
Sekalipun demikian, pengaruh universitas dalam rangka penciptaan
doktrin-doktrin baru lebih kuat terjadi di dalam keluarga sistem civil law
daripada common law. Sudah merupakan tradisi di negara-negara Eropa
Kontinental untuk menyerahkan penggarapan suatu rancangan undang-
undang kepada seorang guru besar terkemuka yang bekerja di bawah wibawa
sebuah perguruan tinggi. Hubungan kerja antara guru besar dan universitas
yang menobatkannya sebagai guru besar juga lebih permanen daripada
hubungan serupa di negara-negara berkeluarga sistem common law.
Tentu saja, dalam praktiknya, pembagian “hitam-putih” secara ekstrem
seperti dikemukakan di atas makin sulit ditemukan di negara-negara
penganut sistem civil law maupun common law. Interaksi baik di tingkat negara,
kelompok, maupun personal yang demikian intens sejak teknologi
telekomunikasi dan transportasi ditemukan, merupakan faktor utama yang
mendorong peleburan segi-segi tertentu dari keluarga-keluarga sistem
hukum di dunia dewasa ini, sehingga misalnya dikenal adanya European law
yang berlaku baik di Inggris maupun di Eropa Kontinental.26 Sebagai
___________________________
25 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta: Elsam
& Huma, 2002), hlm. 69.
26 Istilah “European law” biasanya dipakai untuk mengacu kepada pranata-pranata hukum bentukan
the Council of Europe. Mengenai hal ini, lihat David A.O. Edward & Robert C. Lane, European
Community Law: An Introduction (Edinburgh: Butterworths/Law Society of Scotland, 1991),
hlm. 1.
SHIDARTA — 143
ilustrasi singkat, Peter de Cruz memberikan contoh perkembangan yang
telah terjadi di Inggris, Prancis, dan Jerman:27
Of course, recent trends have indicated that the common law and civil law systems have
been coming closer together in their use of cases and statutes. The United Kingdom
Children Act 1989, which came into force in October, 1991, while incidentally consolidating
and integrating certain existing case-derived rules and statutes, was enacted predominantly
to effect ‘the most comprehensive and far-reaching reform of English child care law ever
introduced’ into the United Kingdom in the 20th century .... On the other hand, civil law
system, particularly France and Germany, have begun to rely more and more on cases
where, for example, the enacted or codified law has been found deficient in any way.
Sistem hukum (positif) Indonesia pun tidak lepas dari pengaruh pencairan
kedua kubu ini. Gagasan pengkodifikasian hukum-hukum dasar (seperti perdata,
pidana, dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana), yang dapat
dikatakan khas datang dari cara berpikir keluarga sistem civil law, tampaknya
tidak lagi menonjol disuarakan akhir-akhir ini.28 Paling tidak, ada keinginan
kuat saat ini untuk tidak lagi meletakkan gagasan kodifikasi itu sebagai sesuatu
yang primer dibandingkan dengan gagasan modifikasi (pembentukan hukum
melalui penyempurnaan beberapa ketentuan yang sudah ada dalam kitab
undang-undang atau dengan memasukkan secara parsial materi hukum-hukum
dasar itu ke dalam sejumlah undang-undang baru yang masing-masing berdiri
sendiri).29 Di sisi lain, pranata hukum yang semula lahir dan berkembang di
keluarga sistem common law, juga mulai diadopsi di dalam sistem hukum
Indonesia, seperti pranata wali amanat yang berasal dari pranata trust.
Dalam ragaan di bawah, secara umum perbedaan klasikal dan ekstrem
antara keluarga sistem civil law dan common law itu dapat ditampi lkan sebag ai
berikut:
___________________________
27 Peter de Cruz, Op. Cit., hlm. 36-37. Anehnya, Roscoe Pound justru melihat ada kecenderungan
resepsi civil law terhadap common law jauh lebih besar daripada jurusan sebaliknya, setidaknya
sepanjang yang diamatinya di Skotlandia, Louisiana, Quebec, dan Afrika Selatan. Lihat Roscoe
Pound, “Do We Need A Philosophy of Law?” dalam The Association of the Bar of the City
of New York, ed., Jurisprudence in Action: A Pleader’s Anthology (New York: Baker, Voorhis &
Co., 1953), hlm. 393–409.
28 Dalam Pasal 102 UUDS 1950, misalnya, masih ditegaskan secara eksplisit perlunya diadakan
kodifikasi. Pasal tersebut berbunyi: “Hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun
hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan
pengadilan diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum kecuali jika pengundang-undang
menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.”
29 Tentang mana yang lebih primer antara kodifikasi dan modifikasi hukum, dapat dibaca dalam
tulisan-tulisan yang memuat polemik antara Teuku Mohammad Radhie dan A. Hamid S. Attamimi
dalam harian Kompas (1988). Ulasan terhadap polemik ini antara lain dapat dibaca dalam Shidarta,
“Refleksi atas Pandangan Teuku Mohammad Radhie tentang Pembangunan Kerangka Landasan
Hukum Nasional,” dalam E. Suherman et al., Kumpulan Tulisan untuk Mengenang Teuku Mohammad
Radhie (Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara, 1993), hlm. 65–73.
144 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Tabel III-1
Perbedaan Civil Law-Common Law
SHIDARTA — 145
Faktor-faktor yang menjadi pembeda dari kedua keluarga sistem hukum
di atas memberi pengaruh yang cukup signifikan pada pola-pola penalaran
hukum yang digunakan. Pola penalaran ini terkait dengan perbedaan dalam
pemaknaan konsep hukum dari masing-masing keluarga sistem hukum
itu.
Para ahli hukum dari keluarga sistem civil law, pada dasarnya berada
dalam arus besar (mainstream) pemikiran bahwa “law as it is written in the
books.” Pola penalaran ini makin mendapat penguatan pada Abad ke-19,
yakni setelah Hans Kelsen mengintroduksi Ajaran Hukum Murni (reine
Rechtslehre)-nya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, para ahli hukum
[Eropa] Kontinental memang memandang hukum sebagai norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan hukum nasional. Akibatnya,
metode penalaran (termasuk metode penelitian) yang dikembangkan para
ahli hukumnya adalah doktrinal, bersaranakan terutama pada logika deduksi
untuk membangun sistem hukum positif.30 Pola penalaran ini t ampak m asih
sejalan dengan akar historis yang dibangun sejak ilmu hukum Romawi
(Roman legal science) muncul pada Abad ke-1 s.d. 4.
Sebaliknya, para ahli hukum dari sistem keluarga common law dalam
perkembangannya mulai meninggalkan arus besar yang berakar pada ilmu
hukum Romawi tersebut. Cara kerja para hakim sebagai pengemban hukum
yang paling berperan dalam pembentukan hukum dalam keluarga sistem
hukum ini, menuntut penyandang profesi ini lebih melihat kepada situasi-
situasi konkret di masyarakat daripada pertama-tama harus mengacu kepada
undang-undang. Jargon yang disampaikan oleh Hakim Oliver Wendell
Holmes, “The life of the law has not been logic, it has been experience”31 dan ucapan
senada dari John Chipman Gray, “All the law is judge-made law” adalah
penggambaran yang tepat dari pendekatan pragmatisme tadi. Pendekatan
pragmatisme itu antara lain mengerucut menjadi model penalaran Realisme
Hukum, sebagaimana akan diperagakan dalam Subbab D di bawah.
___________________________
30 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum, Tip e Kaj ian dan Met ode Penel iti ann ya,” m aka lah
yang disampaikan pada Penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Hasanuddin,
Makassar, 4–5 Februari 1994, hlm. 1–3.
31 Ucapan Oliver Wendell Holmes di atas seperti mengekspresikan bahwa logika tidak dapat
diaplikasikan pada hukum. Padahal, ada ucapan Holmes yang menunjukkan pendapatnya yang
berlawanan yaitu dalam esainya “The Path of the Law” (Collected Legal Papers, 1920, hlm. 180).
Menurutnya, “Kerancuan (fallacy) yang terhadapnya saya menunjuk adalah gagasan bahwa
satu-satunya kekuatan yang bekerja dalam perkembangan hukum adalah logika.” Itu berarti
bahwa logika adalah bukan satu-satunya asas yang menentukan keabsahan dari hukum. Untuk
selebihnya, tidak ada oposisi antara pengalaman (empiri) dan logika. Lihat Hans Kelsen, Hukum
dan Logika, terjemahan B. Arief Sidharta, cet. 2 (Bandung: Alumni, 2002), hlm. 28.
146 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Gagasan tentang model suatu penalaran, tentu dapat melintasi batas-
batas area keluarga sistem hukum, namun akhirnya dapat ditunjukkan bahwa
model penalaran itupun harus beradaptasi dengan karakteristik keluarga
sistem hukum itu. Contoh yang baik dalam kasus ini adalah Realisme
Hukum Amerika yang berangkat dari keluarga sistem common law dan
Realisme Hukum Skandinavia32 yang bercorak keluarga sistem civil law.
Bahkan, di bawah satu atap keluarga sistem hukum pun, perbedaan di
antara sistem-sistem hukum nasional tidak dapat dihindarkan. Penelitian
yang dilakukan oleh P.S. Atiyah dan R.S. Summers tentang penalaran hukum
antara sistem hukum Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan fenomena
di atas. Setidaknya, menurut pandangan mereka, “... the English legal system is
highly ‘formal’ and the American highly ‘substantive’.”33 Apa yang dimaks ud mere ka
dengan “substantive reasoning” adalah “... a moral, economic, political, institutional,
or other social consideration,” sementara “formal reasoning” adalah “... a different
kind of reason from a substantive reason that has not yet been incorporated in the law
at hand. A formal reason is a legally authoritative reason on which judges and others
are empowered or required to base a decision or action....”34
2. Penstudi Hukum
Sebagaimana ditunjukkan dalam Ragaan I-d (Posisi Penstudi Hukum),
istilah “penstudi hukum” dalam tulisan ini mengacu kepada banyak pemegang
peran. Posisi yang disinggung dalam Bab I itu akan dielaborasi di sini sebagai
suatu sudut pandang yang penting dalam memahami penalaran hukum.
Perbedaan penstudi hukum yang penting adalah antara “partisipan” dan
“pengamat.” Kedua istilah ini digunakan untuk menunjukkan masing-masing
kepada sebutan medespeler dan toeschouwer. Partisipan (medespeler) adalah penstudi
hukum sekaligus pengemban hukum (rechtsbeofenaar),35 sedangkan pengamat
(toeschouwer) adalah penstudi hukum, tetapi bukan pengemban hukum.
___________________________
32 Skandinavia meliputi kawasan negara-negara Eropa Utara (Norwegia, Swedia, Denmark,
Finlandia, Eslandia, dan Kepulauan Faroe).
33 P. S . A t i y a h & R . S . S u m m e r s , Form and Susbtance in Anglo-American Law: A Comparative Study of
Legal Reasoning, Legal Theory, and Legal Institutions (Oxford: Clarendon Press, 1991), hlm. 1.
34 Ibid., hlm. 1–2.
35 Istilah “pengemban hukum” ini diderivasi dari terminologi “pengembanan hukum” yang
diperkenalkan oleh B. Arief Sidharta. Pengertian istilah ini lebih luas daripada sekadar praktisi
hukum, karena di dalamnya termasuk para teoretisi atau akademisi hukum juga. Menurut
saya, istilah “pengemban hukum” dalam konteks ini dapat diidentikkan dengan “fungsionaris
hukum” yang mengandung arti penyandang profesi tertentu yang membuat hukum itu
berfungsi, baik dalam tataran teoretis maupun praktis. Uraian lebih lanjut, lihat D.H.M.
Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Majalah Pro Justitia, Tahun
XII No. 1, Januari 1994, hlm. 61–81.
SHIDARTA — 147
Pengembanan hukum adalah kegiatan manusia berkenaan dengan
adanya dan berlakunya hukum di masyarakat.36 Peng embanan hukum d apat
dibedakan menjadi pengembanan hukum teoretis dan pengembanan hukum
praktis. Pengembanan hukum teoretis adalah kegiatan akal budi untuk
memperoleh penguasaan intelektual tentang hukum atau pemahaman
hukum secara ilmiah, yakni secara metodis sistematis-logis-rasional.
Termasuk kegiatan pengembanan hukum teoretis ini adalah kegiatan
mempelajari, meneliti, dan mengajarkan hukum. Berdasarkan tataran
analisisnya, pengembanan hukum dibedakan menjadi tiga tingkat abstraksi,
mulai dari yang terendah sampai tertinggi, yaitu: (1) ilmu hukum; (2) teori
hukum; dan (3) filsafat hukum.
Tingkat abstraksi yang paling rendah (berarti paling konkret) adalah ilmu
hukum. Istilah “ilmu hukum” ini sering ditulis dalam bentuk jamak menjadi
“ilmu-ilmu hukum” dengan pertimbangan bahwa yang dimaksud di sini tidak
sekadar ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum), melainkan juga ilmu-ilmu
empiris hukum (yang biasa diistilahkan dengan “ilmu-ilmu hukum empiris”).
Meuwissen termasuk dalam ahli hukum yang berpendapat demikian. Hubungan
di antara ketiga tataran itu dijelaskannya dalam ragaan berikut:37
Ragaan III-a: Tiga Tataran Disiplin Hukum
___________________________
36 Ibid., hlm. 61.
37 J. J.H . Br u gg in k, Refleksi tentang Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1996), hlm. 162.
148 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sistematika di atas akan diperdalam lagi dalam pembahasan Bab V.
Dalam tulisan ini selanjutnya, ilmu-ilmu empiris hukum ini tidak dimasukkan
sebagai bagian dari disiplin hukum. Ada sejumlah alasan untuk mendukung
keputusan tersebut.
Pertama, dilihat dari perkembangan ilmu hukum, khususnya setelah
periode Irnerius (dengan karakter universalnya) dan Revolusi Perancis
(dengan karakter nasionalnya), apa yang dimaksud dengan ilmu hukum itu
pada hakikatnya memang adalah dogmatika hukum itu saja. Ilmu-ilmu
empiris hukum tersebut adalah suatu pendekatan baru dalam studi hukum
yang muncul kemudian bersamaan dengan kelahiran disiplin baru seperti
sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Kedua, pengklasifikasian ilmu-ilmu seperti sosiologi hukum, dan
psikologi hukum itu ke dalam disiplin hukum menyebabkan ilmu-ilmu ini
berada di dua disiplin sekaligus. Sosiologi hukum, misalnya, dapat dianggap
cabang dari disiplin sosiologi sekaligus hukum. Padahal, sekalipun objek
material dari ilmu-ilmu ini memang adalah hukum, objek formal mereka
tetap saja mengacu kepada (“mengibarkan bendera”) disiplin keilmuan
mereka masing-masing. Dalam pengklasifikasian disiplin keilmuan, objek
formal inilah yang menjadi faktor penentu. Tentu saja, penjelasan ini agak
berbeda untuk filsafat hukum, yang memang lahir jauh mendahului
dogmatika hukum dan ilmu-ilmu vak lainnya. Filsafat hukum memang
termasuk kategori disiplin filsafat, namun karena objek formalnya bersifat
holistik, integral, dan radikal, maka ia masuk ke dalam disiplin hukum juga.
Hal ini juga berlaku untuk disiplin manapun tatkala mereka menyinggung
tataran paling abstrak dari disiplin ilmu tersebut.
Ketiga, jika ilmu hukum diartikan sebagai bagian dari ilmu praktis, maka
dengan memasukkan ilmu-ilmu baru seperti sosiologi hukum dan psikologi
hukum itu ke dalam kelompok yang sama dengan dogmatika hukum, akan
langsung menghilangkan ciri ilmu hukum sebagai ilmu praktis tersebut.
Keempat, jumlah ilmu-ilmu empiris yang berobjek (material) hukum ini
akan bertambah banyak seiring dengan pertumbuhan disiplin-disiplin baru
yang berminat melakukan studi terhadap hukum. Oleh sebab itu, pembatasan
yang dilakukan oleh Meuwissen kepada hanya empat macam (sosiologi
hukum, perbandingan hukum, sosiologi hukum, dan psikologi hukum) seperti
ragaan di atas, patut dipertanyakan. Dari sekian banyak “ilmu-ilmu” itu
ternyata ada yang masih diragukan posisinya: apakah layak disebut sebagai
ilmu yang berdiri sendiri atau sekadar sebagai metode (pendekatan). Salah
satu contoh dari ketidakjelasan ini adalah “ilmu” perbandingan hukum.
SHIDARTA — 149
Kelima, dalam kegiatan pengembanan hukum, terlibatnya ilmu-ilmu
empiris hukum sesungguhnya terjadi pada tataran teori hukum dalam arti
luas, terutama dalam rangka penalaran hukum. Teori hukum adalah cabang
disiplin hukum yang interdisipliner, yang berarti juga bekerja dengan
merangkul disiplin keilmuan lainnya (pendekatan multidisipliner). Ulasan
tentang hubungan fungsional antardisiplin tersebut disajikan dalam Bab V.
Berdasarkan pemikiran di atas maka secara tegas dapat disajikan dalam
bab-bab selanjutnya pembedaan yang tegas bahwa disiplin hukum hanya
diartikan sebagai ilmu hukum positif (dogmatika hukum), teori hukum,
dan filsafat hukum). Ini berarti, ada studi hukum yang dilakukan oleh
kalangan internal dan eksternal disiplin hukum. Kalangan internal ini disebut
partisipan (medespeler), sementara kalangan eksternal adalah pengamat
(toeschouwer).
Sebagai disiplin hukum dengan abstraksi terendah, ilmu hukum
(dogmatika hukum) melakukan tugas melakukan inventarisasi, kompilasi,
interpretasi, konstruksi, sistematisasi, dan/atau evaluasi atas teks otoritatif
(sumber hukum, seperti undang-undang, traktat, yurisprudensi). Kegiatan
dalam ilmu hukum itu dimaksudkan antara lain untuk:
a. mempersiapkan putusan-putusan hukum (dalam rangka menawarkan
penyelesaian yuridis atas permasalahan sosial);
b. menetapkan apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu;
c. menetapkan siapa berhak atas apa, terhadap siapa, berkenaan dengan
apa, dalam situasi apa, dan seterusnya.
Ilmu hukum dengan demikian memedomani, mengarahkan, dan
mengontrol secara rasional pengembanan hukum praktis. Peristiwa-
peristiwa konkret yang ditemukan di lapangan secara langsung berada dalam
pemantauan ilmu hukum. Dengan demikian, tujuan eksistensi ilmu hukum
adalah senantiasa praktikal. Dalam menetapkan proposisi atas variabel-
variabel yang ditemukannya di lapangan, ilmu hukum tidak bekerja sendiri.
Ia wajib berkonsultasi dengan disiplin lain agar keputusan (konklusi) yang
diformulasikan kemudian dapat benar-benar memenuhi “konsumen
hukum” tersebut.38
Penetapan proposisi hukum seperti diutarakan di atas, dilakukan
berdasarkan norma hukum positif yang dipahami melalui proses penemuan
___________________________
38 Masyarakat dengan predikat sebagai “konsumen hukum” antara lain dinyatakan oleh Edmon
Cahn, “Law in the Consumer Perspective,” University of Pennsylvania Law Review, Vol. 112,
1963, hlm. 1–27.
150 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
hukum (rechtsvinding). Pada umumnya, berkembang pandangan bahwa upaya
melakukan penemuan hukum dilakukan secara hermeneutikal dari titik
berdiri subjek penstudi sebagai partisipan (medespeler). Pandangan demikian
dapat dimengerti, mengingat penemuan hukum ini memang merupakan
pekerjaan utama para pengemban hukum partisipatoris, khususnya hakim.
Ucapan Peter Noll dan W.G. van der Velden bahwa ilmu hukum telah
berkecenderungan menyempit menjadi ilmu tentang peradilan semata,
adalah ilustrasi yang tepat untuk memperlihatkan pandangan umum di atas39.
Tingkat abstraksi yang lebih tinggi daripada ilmu hukum adalah teori
hukum. Istilah teori hukum seringkali digunakan secara interchangeable
dengan teori ilmu hukum. Jika mengikuti uraian B. Arief Sidharta, ruang
lingkup teori ilmu hukum sebenarnya lebih luas daripada teori hukum.
Teori ilmu hukum adalah disiplin hukum yang secara kritikal (dalam
perspektif interdisipliner) menganalisis berbagai aspek dari hukum secara
tersendiri dan dalam keseluruhannya, baik dalam konsepsi teroretisnya
maupun dalam pengolahan praktisnya. Tujuan analisis ini adalah untuk
memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih
tentang bahan-bahan hukum terberi (sumber hukum otoritatif). Secara
sistematis teori ilmu hukum dapat dibagi dalam tiga cabang (bidang) yakni:
(1) ajaran hukum atau teori hukum; (2) hubungan hukum dengan logika;
dan (3) metodologi.40
Ajaran hukum atau teori hukum merupakan kelanjutan dari Allgemeine
Rechtslehre mencakup analisis konseptual atas hukum (pengertian, asas,
kaidah, sistem hukum, dan sebagainya). Kemunculan teori hukum sejalan
dengan pertumbuhan disiplin hukum pada paruh kedua Abad ke-19 setelah
mendapat pengaruh pemikiran John Austin (1790–1859). Sejak saat itu,
disiplin hukum telah diperkaya dengan kajian-kajian teoretis yang biasa
disebut analytical jurisprudence. Ia memperkenalkan analisis konsep-konsep
kunci hukum seperti hak, kewajiban, keabsahan, subjek hukum, status,
tindak pidana, dan sumber hukum, dengan meninggalkan pendekatan yang
biasa dilakukan seperti sosiologi dan sejarah. Ajaran inilah yang kemudian
pada tahun 1970 mengemuka kembali sebagai suatu bidang disiplin hukum
baru, yang disebut teori hukum sebagai terjemahan dari istilah “jurisprudence”
atau “Rechtstheorie.” Dalam hubungan hukum dan logika dibahas tentang
argumentasi yuridis, penerapan logika deontik (logika yang bertalian dengan
keniscayaan atau kewajiban), serta hubungan antara hukum dan bahasa.
___________________________
39 Tentang ucapan Peter Noll dan W.G. van der Velden, lihat infra catatan kaki No. 64.
40 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 123.
SHIDARTA — 151
Kajian tentang karakteristik penalaran hukum dalam kontekstualitas hukum
positif negara tertentu, sebagaimana dilakukan dalam karya penelitian ini,
adalah bentuk kajian teori ilmu hukum jenis ini. Selanjutnya, metodologi
hukum membahas tentang ajaran ilmu dan ajaran metode praktik hukum.
Ajaran ilmu membahas sifat keilmuan dan landasan kefilsafatan ilmu hukum,
metode penelitian dan pembentukan hukum dan metode penemuan hukum
yang mencakup penafsiran dan konstruksi hukum. Dalam perkem-
bangannya, semua bidang teori ilmu hukum ini kemudian menyatu sebagai
bagian dari aktivitas teori hukum, sehingga istilah “teori ilmu hukum” inipun
diidentikkan dengan “teori hukum.”
Teori hukum sekadar memberikan deskripsi (informasi) yang positif
teoretikal, sama sekali tidak melakukan penilaian normatif (baik-buruk).
Teori hukum dengan demikian berfungsi untuk mengolah produk dari
ilmu-ilmu lain yang juga berobjekkan hukum, lalu mengubahnya menjadi
teknik hukum untuk kepentingan ilmu hukum. Oleh karena itu, seorang
teoretisi hukum sebagai partisipan (medespeler) dalam pengembanan
hukum wajib memahami perspektif para pengamat (toeschouwer) atas
adanya dan berlakunya hukum. Di samping itu, teori hukum melakukan
pembentukan, pengolahan, pengembangan, dan pemantapan
(pembakuan) konsep-konsep yuridis. Sebagai disiplin hukum yang
berada di antara tingkat abstraksi ilmu hukum dan filsafat hukum, maka
teori hukum juga difungsikan untuk merumuskan pertanyaan-
pertanyaan yang akan diajukan kepada filsafat hukum. Sebaliknya,
jawaban-jawaban yang diberikan filsafat hukum merupakan porsi teori
hukum untuk kembali mengolahnya secara deskriptif.
Tingkat abstraksi yang paling tinggi adalah filsafat hukum. B. Arief
Sidharta menyebutkan dua pokok permasalahan yang menjadi fokus filsafat
hukum, yaitu tentang landasan mengikat dari hukum dan kriteria keadilan
menurut hukum (kaidah hukum positif dan sistem hukum secara
keseluruhan). Dalam kegiatan merefleksi dwitunggal pertanyaan inti
tersebut, ranah telaah filsafat hukum mencakup aneka persoalan. Beberapa
di antara persoalan yang relevan dengan topik bahasan ini adalah tentang
aturan-aturan yuridis dan argumentasi yuridis, bangunan logikal serta
struktur sistem hukum.41
Pengembanan hukum teoretis, dengan demikian terdiri dari dua
kelompok disiplin. Pertama, disebut disiplin hukum (pendekatan internal),
___________________________
41 B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum: tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum,” Jurnal Pro Justitia, Tahun XX No. 3, Juli 2002, hlm. 12
152 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
mencakup: (1) ilmu hukum (pendekatan normatif-praktis); (2) teori hukum
(pendekatan ilmiah-positif teoretis); dan (3) filsafat hukum (pendekatan
abstrak spekulatif-evaluatif). Di sisi lain terdapat kelompok ilmu-ilmu lain
di luar hukum (pendekatan eksternal), namun objek telaahnya adalah
hukum. Mereka memaparkan keadaan hukum senyatanya. Kelompok illmu-
ilmu lain ini mencakup antara lain sejarah hukum, perbandingan hukum,
sosiologi hukum, antropologi/etnologi hukum, psikologi hukum, logika
hukum, dan politik hukum.
Tempat berpijak para pengemban hukum yang dijadikan sebagai indikator
pembeda antara partisipan dan pengamat tersebut adalah sistem hukum.
Konsep sistem hukum inipun memiliki komponen yang tidak seragam. Pada
umumnya, terminologi sistem hukum diartikan secara luas mencakup tiga
unsur sekaligus meliputi struktur, substansi, dan budaya hukum.
Menurut Lawrence M. Friedman, struktur sistem hukum itu
menunjukkan:42
... its skeleton or framework, the durable part, which gives a kind of shape and definition
to the whole.... The structure of a legal system consists of elements of this kind: the
number and size of courts; their jurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and
how and why); and modes of appeal from one court to another. Structure also means how
the legislature is organized, how many members... , what a president can (legally) do or
not do, what procedures the police department follows, and so on. Structure, in a way, is
a kind of cross section of the legal system a kind of still photograph, which freezes the
action.
Unsur kedua dari sistem hukum adalah substansi, yaitu “... the actual
rules, norms, and behavior patterns of people inside the system.”43 Definisi ini
menunjukkan pemaknaan substansi hukum yang lebih luas daripada sekadar
stelsel norma formal (formele normenstelsel). Friedman memasukkan pula pola-
pola perilaku sosial dan norma-norma sosial selain hukum, sehingga
termasuk juga etika sosial seperti asas-asas kebenaran dan keadilan.
Unsur ketiga adalah budaya hukum, yang diartikan oleh Friedman
sebagai: 44
... people’s attitudes toward law and legal system their beliefs, values, ideas, and expectations.
. . The legal culture, in other words, is the climate of social thought and social force which
determines how law is used, avoided, or abused. Without legal culture, the legal system is
inert a dead fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.
___________________________
42 Lawrence M. Friedman, Op. Cit., hlm. 5–6.
43 Ibid., hlm. 6
44 Ibid.
SHIDARTA — 153
Budaya hukum juga dapat diberikan batasan yang sama dengan
kesadaran hukum.45 Konsep “kesadaran hukum” ini dibedakan oleh J.J.
von Schmid dengan konsep “perasaan hukum.” Menurutnya:46
Van rechtsgevoel dient men te spreken bij spontaan, on middelijk als waarheid
vastgestelde rechtswaardering, terwijl bij het rechtsbewustzijn men met waarderingen te
maken heef, die eerst middelijk, door nadenken, redeneren en argumentatie aanemelijk
gemaakt worden.
Dengan demikian perasaan hukum merupakan produk penilaian
masyarakat secara spontan yang tentu saja bersifat subjektif, sedangkan
kesadaran hukum lebih merupakan hasil pemikiran, penalaran, dan
argumentasi yang dibuat oleh para ahli, khususnya ahli hukum. Kesadaran
hukum adalah abstraksi (para ahli) mengenai perasaan hukum dari para
subjek hukum. Dalam konteks pembicaraan tentang sistem hukum ini,
tentu saja yang dimaksud dengan budaya hukum ini adalah kesadaran hukum
dari subjek-subjek hukum suatu komunitas secara keseluruhan.
Tiga unsur sistem hukum yang dikemukakan Friedman di atas, memiliki
kemiripan dengan pandangan Kees Schuit. Menurutnya, sebuah sistem
hukum terdiri dari tiga unsur yang memiliki kemandirian tertentu (identitas
dengan batas-batas yang relatif jelas) yang saling berkaitan, dan masing-
masing dapat dijabarkan lebih lanjut. Unsur-unsur yang mewujudkan sistem
hukum itu adalah:47
a. Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang
terdiri atas atuan-aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang
oleh para yuris disebut “sistem hukum”. Bagi para sosiolog hukum,
masih ada unsur lainnya.
b. Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasi-organisasi
dan lembaga-lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang
termasuk ke dalamnya adalah juga para pengemban jabatan (ambtsdrager),
yang berfungsi dalam kerangka suatu organisasi atau lembaga.
c. Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan
perbuatan-perbuatan konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari
hukum, baik dari para pengemban jabatan maupun dari para warga
masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.
___________________________
45 Darji Darmodiharjo & Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 154.
46 J.J. von Schmid, Het Denken over Staat en Recht in de Tegenwoordige Tijd (Haarlem: De Erven F.
Bohn, 1965), hlm. 63 dikutip oleh C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Pembaharuan Umum (Bandung: Binacipta, 1976), hlm. 3.
47 J. J.H . Br ug g in k, Op. Cit., hlm. 140.
154 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sistem hukum merupakan indikator pembeda dalam menetapkan posisi
penstudi hukum. Pada Bab I telah disinggung tentang pembagian penstudi
hukum itu. Dalam Ragaan III-b di bawah posisi penstudi tersebut dapat
diperjelas. Dua penstudi yang duduk pada sebelah kanan mengambil posisi
sebagai partisipan (medespeler). Mereka adalah para pengemban hukum.
Mereka bekerja di dalam sistem hukum dengan menggunakan optik internal
disiplin hukum. Di sini terlihat ada identifikasi antara sistem hukum dan
disiplin hukum.48 Sekalipun demikian, tetap ada perbedaan antara
pengemban hukum di sebelah kanan dan kiri. Posisi pengemban hukum
paling kanan adalah pengemban hukum teoretis, sementara pengemban
hukum sebelah kiri adalah pengemban hukum praktis. Perbedaan di antara
keduanya terletak pada dasar pegangan mereka dalam mengemban hukum.
Pengemban hukum praktis selalu menjadikan sistem hukum positif sebagai
pegangan. Sesuai dengan Tabel I-2 tentang Organisasi dalam Sistem
Hukum, mereka yang menjadi pengemban hukum praktis ini adalah mereka
yang duduk dalam organisasi perundang-undangan, peradilan, bantuan
hukum, dan pemerintahan publik. Sementara pengemban hukum teoretis
adalah kaum ilmuwan hukum, teoretisi hukum, dan filsuf hukum. Mereka
memang menjadikan sistem hukum sebagai dasar pijakan, tetapi analisis
dan kesimpulan mereka tidak harus sejalan dengan sistem hukum positif.
Makin tinggi tingkat abstraksi cabang-cabang disiplin hukum itu, makin
longgar keterikatannya mereka dengan hukum positif. Ilmu hukum sebagai
cabang disiplin hukum paling konkret cenderung dekat dengan sistem
hukum positif, dan kecenderungan ini makin berkurang pada teori hukum,
dan filsafat hukum.
Posisi paling kiri adalah posisi pengamat (toeschouwer) yang digambarkan
sedang duduk dan bekerja di atas sistem lain (di luar sistem hukum). Penstudi
yang termasuk kelompok pengamat ini antara lain mereka yang berasal
dari disiplin sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, dan sebagainya.
Mereka menjadikan hukum sebagai bagian dari objek kajian namun dengan
pendekatan eksternal.
Sementara itu, posisi di tengah adalah posisi yang unik karena diwakili
oleh penstudi hukum yang menjadi partisipan sekaligus pengamat. Posisi
partisipan sekaligus pengamat ini diilustrasikan kakinya berpijak pada sistem
nonhukum namun tangan dan sebagian badannya tetap bertumpu pada
___________________________
48 Dalam kesempatan itu, Bruggink mengatakan bahwa ketika orang menyebut “sistem hukum”
maka orang tersebut berbicara dalam kerangka acuan ilmu hukum, yang mendekati hukum
dari aspek sistematisnya. Lihat Ibid., hlm. 139.
SHIDARTA — 155
sistem hukum. Ia menggunakan pendekatan internal sekaligus eksternal
dalam mengemban hukum. Jika meminjam perspektif Meuwissen, posisi
partisipan-pengamat ini dapat disamakan dengan kelompok Positivisme
Hukum tradisi ketiga. Jika tradisi pertama diwakili oleh John Austin dengan
teori hukum analitisnya, dan tradisi kedua oleh Hans Kelsen dengan teori
hukum murninya, maka tahap ketiga ini di direpresentasikan para penganut
teori hukum empiris.49 Penstudi hukum yang termasuk kategori ini adalah
mereka yang menggunakan model penalaran Sociological Jurisprudence.
Alasan-alasan dari pendapat ini dikemukakan pada saat model penalaran
ini dibicarakan di bawah.
Semua posisi penstudi ini akan diketengahkan kembali tatkala sampai
pada uraian tentang sudut pandang penstudi dan pengemban hukum dalam
konteks sistem hukum Indonesia pada Bab IV. Untuk uraian pada Bab III
ini, pada Subbab C dan D, akan disinggung konsep-konsep dan model-
model penalaran yang berangkat dari posisi partisipan, pengamat, dan
partisipan-pengamat tersebut.
___________________________
49 D.H.M. Meuwissen, “Teori Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia, Tahun
XII No. 2, April 1994, hlm. 27–29.
Ragaan III-b: Posisi Partisipan dan Pengamat
156 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
C. ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
Dalam diskursus filsafat, terdapat tiga aspek penting yang selalu muncul
dalam pengkajian suatu objek. Ketiga aspek itu adalah kajian dari segi
ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya. Ketiganya dapat dianggap
sebagai modalitas50 agar suatu proses penalaran dapat berlangsung secara
komprehensif. Pada subbab berikut secara berturut-turut diperbincangkan
masalah aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis tersebut.
1. Aspek Ontologis
Secara ontologis, ilmu hukum, atau disiplin hukum pada umumnya,
terikat pada satu pertanyaan utama, yakni tentang apa hakikat hukum.
Pertanyaan ini berdimensi ontologis, sekalipun sesungguhnya sudah berada
di luar kajian ilmu hukum itu sendiri. Kajian ini sebenarnya lebih tepat
diserahkan kepada teori hukum untuk menjawabnya.
Upaya mencari pengertian hukum secara definitif telah sejak lama
dicoba dan terbukti hasilnya gagal untuk disepakati. Hal ini mengingatkan
L.J. van Apeldoorn pada ungkapan Immanuel Kant yang menyatakan, “Noch
suchen die Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht.”51 Walaupun
demikian, kajian ontologis terhadap hakikat hukum secara garis besar dapat
dipetakan kepada lima butir pengertian. Soetandyo Wignjosoebroto secara
tepat menunjukkan kelima pemaknaan hakikat hukum itu, dengan
mengartikan hukum sebagai:52
a. asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal;
b. norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara;
c. putusan hakim in-concreto, yang tersistematisasi sebagai judge-made-
law;
d. pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel
sosial yang empirik;
e. manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana
tampak dalam interaksi di antara mereka.
Dalam model-model penalaran sebagai konstelasi kerangka orientasi
berpikir yuridis, kelima aspek ontologis tentang hukum ini akan terlihat
___________________________
50 Modalitas dapat diartikan sebagai “... are all the detailed arrangements that have to be agreed before it
(process or event, Shidarta ) can take place.” Lihat John Sinclair et al., ed. Op. Cit., hlm. 743.
51 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, cet. 22 (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1985), hlm. 13.
52 Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum...,” Op. Cit., hlm. 2–3.
SHIDARTA — 157
jelas. Masing-masing pengertian tentang hukum berangkat dari asumsi-
asumsi tersendiri.
Hakikat hukum dapat diartikan sebagai asas-asas kebenaran dan
keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal. E. Sumaryono
mengatakan “kebenaran hukum” di sini dapat dibaca sebagai “validitas
hukum.”53 Dengan demikian hakikat hukum, baik dilihat dari aspek
formalitasnya (validitas, keabsahan) maupun dari segi substansialnya
(muatan keadilan) merupakan realitas kodrati. Pengertian ini berangkat dari
asumsi bahwa segala sikap dan perilaku manusia dalam menjalani
kehidupannya wajib tunduk pada suatu sistem moralitas yang bersifat
kodrati. Sistem moralitas tadi kemudian mengalami internalisasi ke dalam
diri manusia pribadi demi pribadi, sehingga akhirnya menjadi moralitas
sosial.
Moralitas sosial tersebut jelas masih terlalu abstrak untuk mengatur secara
rinci aktivitas manusia hari per hari. Untuk itu manusia diperbolehkan
membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law). Namun, hukum
buatan manusia ini baru sah (valid), mengikat, dan membebani kewajiban,
sepanjang dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas sosial di atasnya.
Moralitas sosial ini adalah standar regulatif yang harus diacu oleh setiap hukum
buatan manusia, sehingga akhirnya semua hukum itu mengidentifikasikan
diri sebagai pembawa pesan-pesan moralitas yang objektif. Objektivitas
moralitas itu dapat dicari pada asas-asas kebenaran dan keadilan yang kodrati,
yang dengan sendirinya berlaku universal dan abadi.
Soetandyo Wignjosoebroto menyatakan bahwa pemaknaan hukum
sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan kodrati ini merupakan karakteristik
penalaran yang berorientasikan filsafat.54 Pengkategorian ini sebenarnya
bersifat mempersempit (restriktif), mengingat filsafat, termasuk filsafat
hukum, tidak pernah membatasi diri untuk berpikir satu arah bahwa
karakteristik hukum selalu bersifat kodrati. Dalam konstelasi model-model
penalaran yang akan dibentangkan pada subbab D di bawah, tampak bahwa
pengertian hukum demikian adalah ciri khas Aliran Hukum Kodrat.
Sekalipun demikian, aliran inipun tidak sepenuhnya homogen dalam
berberapa segi.55
___________________________
53 Lihat catatan kaki No. 157 dalam E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum
Kodrat Thomas Aquinas (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 79.
54 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum...,” Op. Cit., hlm. 2.
55 Uraian perbedaan pandangan ini dibahas dalam Subbab D tentang Model-Model Penalaran
Hukum.
158 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pemaknaan kedua tentang hakikat hukum adalah dengan menyatakan
hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan
suatu negara. Konsep hukum seperti ini dapat dipahami berumur sama
tuanya dengan konsep negara itu sendiri. Soetandyo Wignjosoebroto
mencatat bahwa modifikasi penting terhadap pemikiran ini terjadi pada
era pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat menuju apa yang
disebut positivisasi norma.56 Oleh karena itu, untuk memahami pemaknaan
hukum sebagai norma hukum positif tersebut, terutama harus dipahami
konsep-konsep penting tentang timbulnya negara.
Pada awalnya, konsep negara merupakan ikatan genealogis suatu keluarga
besar (dinasti). Dalam taraf ini, penyelenggara negara adalah mereka yang
dianggap tua berdasarkan keturunannya, yang kemudian berkembang menjadi
yang dituakan. Seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga besar
ini, maka persoalan penguasaan atas tanah menjadi indikator penting. Pada
tahap ini, kumpulan beberapa keluarga besar beranggapan bahwa wilayahlah
yang menentukan adanya suatu negara. Tumbuh konstruksi berpikir bahwa
penguasaan atas tanah memberikan hak penguasaan atas segala apa yang ada
di atas tanah tersebut, sehingga hukum perdata memberikan sumber pada
hukum publik (Teori Patrimonial). Pola demikian tampak pada pemberian
nama-nama negara dengan istilah “land” seperti Holland (the Netherlands),
England, Deutschland, atau Switzerland. Pemilik tanah (landlord) menyewakan
tanah-tanah ini untuk digarap, dan oleh karena itu para penggarap diwajibkan
membayar upeti. Kondisi ini lama kelamaan menimbulkan ketimpangan
sosial, sampai akhirnya Jean J. Rousseau memunculkan asumsi bahwa negara
adalah hasil perjanjian bermasyarakat (Teori Kontrak Sosial). Konsep bangsa
pun ikut berubah, dari status alamiah (naturalis) ke status beradab (civilized)
dengan memberikan hak-hak sipil (civil rights) kepada rakyat.57
Padmo Wahjono mencatat adanya perubahan fungsi-fungsi kenegaraan
yang penting dari masa dianutnya Teori Patrimonial (Landlordisme) ke
Teori Kontrak Sosial. Pada masa yang pertama, fungsi-fungsi tersebut
mencakup kewenangan: antarkekuasaan (diplomacie), mempertahankan
kekuasaan (defencie), keuangan (financie), peradilan (justitie) dan terakhir adalah
kewenangan sisa yang tidak termasuk keempat kewenangan terdahulu
(disebut kewenangan policie). Pada perkembangannya kewenangan terakhir
ini menjadi kewenangan di bidang urusan dalam negeri dan keamanan dan
___________________________
56 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma..., Op. Cit., hlm. 180.
57 Padmo Wahjono, Masalah-Masalah Aktual Ketatanegaraan (Jakarta: Wisma Djokosoetono, 1991),
hlm. 59.
SHIDARTA — 159
ketertiban. Sementara pada Teori Kontrak Sosial, fungsi kenegaraan mencakup
kewenangan membentuk hukum (legislatif), menerapkan hukum (eksekutif),
dan menegakkan hukum (yudikatif). Teori Kontrak Sosial ini memberi status
hukum pada negara, sehingga memunculkan istilah “staat” atau “state,” dan
negara yang baik adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).58
Sekalipun sudah mengalami positivisasi, menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, ia tidak atau belum mengubah konsep hukum sebagai
norma. Di sini hukum tetap norm as it is written in the codes, dan tidak atau
belum sampai ke tatarannya as it is observed in the empirical world.
Ditambahkannya, bahwa positivisasi hukum seperti itu baru mentrans-
formasi konsep hukum dari pengertiannya yang semula metayuridis-
normatif (serta substansif karena bersubstansi moral) ke pengertiannya
yang yuridis-normatif (serta formal karena berformalitas lugas dan netral).59
Dilihat dari sudut penalarnya, pemaknaan hukum seperti di atas,
menurut Soetandyo Wignjosoebroto disukai oleh para ahli hukum (yuris)
Kontinental.60 Dalam uraian tentang keluarga sistem hukum diketahui
bahwa pendekatan formalitas ini memang sangat kuat berakar pada sejarah
sentralisme Romawi. Hukum Romawi itu sendiri substansinya terus
mengalami evolusi, disesuaikan dengan kebutuhan. Pengkajian besar-
besaran terjadi pada Abad ke-13 dan 14, tatkala kegairahan mempelajari
kembali hukum-hukum masa Yunani dan Romawi meningkat sehingga
membuahkan hukum Romawi yang dimodernisasi (usus modernus
Pandectarum).61 Karya kaum pengkaji inilah yang kemudian diadopsi oleh
negara-negara bangsa (nation-states) di kawasan Eropa Kontinental dan eks
negara-negara jajahan mereka. Kawasan inilah yang kemudian membentuk
suatu tradisi hukum tersendiri dengan sebutan keluarga sistem civil law.
Tiga pemaknaan hakikat hukum berikutnya mulai menerobos batas-
batas yang disebut yuridis-normatif yang formal-lugas-netral itu ala
kebanyakan ahli hukum dari keluarga sistem civil law itu. Hukum pun mulai
diobservasi dengan kaca mata empiris.
Hakikat hukum yang termasuk kategori empiris ini pertama-tama adalah
hukum dalam arti putusan hakim in-concreto ya ng ter sistem atisa si sebagai judge-
___________________________
58 Ibid, hlm. 60.
59 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma..., Op. Cit., hlm. 181.
60 Soetandyo, “Konsep Hukum...,” Op. Cit., hlm. 3.
61 Tidak semua gerakan mempelajari kembali hukum Romawi ini berupaya mengembalikan hukum
Romawi ke bentuknya yang asli. Pada Abad ke-14, misalnya, para post glossator melakukan
penjernihan hukum Romawi dengan merusak sistematisasi hukum tersebut dan menyajikannya
secara berbeda dengan hukum aslinya yang kasuistik. Lihat Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
cet. 5 (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 237.
160 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
made-law. Dalam konsep ini hukum tidak lagi bersifat apriori (mendahului
kenyataan), tetapi sudah ke tahap aposteriori (mengikuti kenyataan).
Cara memaknai hukum jenis ketiga seperti ini dapat diruntut pada tradisi
kuno hukum di Inggris (England) dan Wales, khususnya tradisi yang terjadi
pada pengadilan common law. Pada dua daerah di Inggris Raya ini, pengaruh
hukum Romawi memang tidak terlalu kuat, sehingga untuk sekian lama
Inggris dan Wales hidup dalam hukum adat mereka. Ketika William I (1027–
1087) dari Normandia berhasil menaklukkan Inggris, persentuhan antara
Prancis dan Inggris sesungguhnya terbuka luas. Namun, sebagaimana ditulis
oleh Michael H. Hart, William Sang Penakluk ini membiarkan lembaga-
lembaga tradisional Inggris tetap dipertahankan tanpa perubahan apapun.62
Salah satu tradisi yang dipertahankan adalah tradisi lembaga pengadilan.
Sidang-sidang pengadilan pada awalnya dilakukan di Westminster. Oleh
karena kebutuhan yang terus mendesak, lalu hakim-hakim dikirim ke
berbagai negeri dan melakukan sidang-sidang dengan sistem “jemput bola”
(disebut pengadilan “assize” atau “assise”). Sidang-sidang lokal ini
menggunakan hukum adat setempat sebagai dasar hukum, sehingga
pendekatannya benar-benar kasuistik. Kendati demikian, putusan-putusan
yang ditelurkan para hakim ini menuntut adanya kesamaan prinsipiil,
sehingga akhirnya dirasakan perlu adanya jalinan yang mengikat konsistensi
antara satu putusan dengan putusan lainnya yang menangani kasus serupa
(asas similia similibus). Untuk itulah kemudian dilahirkan asas preseden yang
mengikat, sebagai salah satu karakter khas dari keluarga sistem common law.
Demikianlah, tradisi Anglo Saxon ini kemudian dibawa oleh para
imigran Inggris ke negara baru mereka di Amerika Utara, sehingga akhirnya
berkembang tradisi yang sama yang sekarang dikenal dengan sistem hukum
Anglo-Amerika. Kendati berangkat dari tradisi hukum yang sama, sistem
hukum Anglo-Amerika memiliki sejumlah perbedaan dengan Anglo-Saxon,
seperti adanya undang-undang dasar tertulis dan penamaan (nomenclature)
untuk masing-masing tingkatan pengadilan yang tidak seragam di berbagai
negara bagian.63 Ban yakny a bad an-ba dan o tonom seba gai self-regulatory bodies
juga memberi warna tersendiri bagi sistem hukum Amerika Serikat.
___________________________
62 Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, terjemahan H. Mahbub
Djunaidi, cet. 3 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1982), hlm. 349.
63 Di beberapa negara bagian, pengadilan tingkat pertama disebut superior court, pengadilan banding
disebut appelatte court, dan pengadilan tertinggi disebut supreme court. Di lain pihak, untuk di
negara bagian New York, misalnya, pengadilan tingkat pertama justru disebut supreme court,
pengadilan banding disebut appellate division of the supreme court, dan pengadilan tertingginya
adalah court of appeals. Lihat Mulyana, “Mengenal Hukum dan Pengadilan Amerika Serikat,”
Jurnal Era Hukum, No. 2 Tahun 1, 1994, hlm. 85.
SHIDARTA — 161
Keluarga sistem common law secara umum masih menempatkan judge-
made-law sebagai sumber hukum utama.64 Kajian dari tipologi hukum
demikian menurut Soetandyo Wignjosoebroto berorientasi behavioral,
sosiopsi-logik, yakni kajian yang banyak dilakukan oleh praktisi hukum
Amerika (American lawyers).65 Kajian behavioral ini menjadi kajian menarik,
terlebih-lebih pada era posmodern, yang berusaha membuktikan bahwa
postulat imparsialitas hakim-hakim adalah utopia yang berbahaya karena
memarginalisasi orang-orang yang lemah secara ekonomi dan politik.66
Sekalipun demikian, John Chipman Gray (1839–1915) yang terkenal
dengan semboyannya “All the law is judge-made-law,” tetap mengingatkan
bahwa di samping logika sebagai faktor penting dalam pembentukan
hukum, unsur-unsur subjektivitas si hakim (simpati politik, ekonomi, dan
sifat-sifat pribadi) telah berperan dalam menyelesaikan kasus-kasus penting
umat manusia selama jutaan tahun.67 Intinya, Gray ingin menegaskan bahwa
pemaknaan hukum yang lebih pragmatis seperti yang dikemukakannya itu
adalah sesuatu yang sudah berjalan sangat lama dan terbukti dapat diterima
sebagai kenyataan oleh masyarakat luas. Oleh karena itu, kajian behavioral
terhadap perilaku pengemban hukum di pengadilan akan memunculkan
dugaan-dugaan tentang apa yang akan diputuskan oleh hakim apabila kasus
serupa terjadi lagi di masa mendatang. Hal ini disampaikan oleh Oliver
Wendell Holmes Jr. (1841–1935), “The prophecies of what the courts will do in
fact and nothing more pretentious, are what I mean by the law.”68
Pemberian peranan yang besar kepada pengadilan ini menjadikan
pemaknaan hukum meluas ke arah penambahan fungsi hukum. Berangkat
dari pemikiran ini, kemudian muncul gagasan-gagasan baru bahwa hukum
tidak sekadar berperan sebagai tertib sosial (social order) dan penyelesaian
sengketa (dispute settlement), melainkan juga sebagai perekayasa sosial (social
engineering). Fungsi terakhir ini terutama dijalankan oleh ahli-ahli hukum,
___________________________
64 Harus diakui bahwa seiring dengan kebutuhan regulasi di bidang perekonomian, keberadaan
undang-undang sebagai sumber formal hukum juga bertambah signifikan, baik yang dibuat di
tingkat federal maupun negara bagian. Selain itu ada perundang-undangan yang lebih rendah
derajatnya pada tingkat federal dan negara bagian, dengan materi muatan yang lebih bersifat
administratif.
65 Soetandyo, “Konsep Hukum...,” Op. Cit.
66 Lihat Gary Saalman Jr., “Postmodern Impact: Law,” dalam Dennis McCallum, ed., The Death
of Truth: What’s Wrong with Multiculturalism, the Rejection of Reason and the New Postmodern Diversity
(Minneapolis: Bethany House Publisher, 1996), hlm. 163–177.
67 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum: Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum (Susunan I),
terjemahan Mohamad Arifin (Jakarta: Rajawali, 1990), hlm. 188.
68 P. Shuchman, ed. Readings in Jurisprudence and Legal Philosophy, ed. 2 (Boston: Little, Brown &
co., 1979), hlm. 73.
162 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
terutama hakim, sebagai social engineer, seperti dikemukakan oleh Roscoe
Pound (1870–1964), “The task of the lawyer is as a ‘social engineer’ formulating a
program of action, attempting to gear individual and social needs to the value of Western
democratic society.”69
Pemaknaan hakikat hukum yang keempat adalah hukum sebagai pola-
pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang
empirik. Pemaknaan ini menggunakan pendekatan kultural, bahwa hukum
bukanlah kreasi penguasa politik, melainkan adalah fenomena budaya
seperti halnya bahasa. Friedrich von Savigny (1779–1861) menandaskan,
“Recht ist nicht gemacht; es is und wird mit dem Volke” (hukum tidak dibuat, ia
tumbuh bersama dengan masyarakat). Ditambahkannya:70
For law, as for language, there is no moment of absolute cessation; it is
subject to the same movement and development as every other popular
tendency; and this very development remains under the same law of inward
necessity, as in its earliest stages. Law grows with the growth, and strengthens
with the strength of the people, and finally dies away as the nation loses its
nationality....
Gerakan memaknai hukum sebagai fenomena kultural ini di kawasan
keluarga sistem Civil Law diprakarsai oleh Mazhab Sejarah (the Historical
School), yang dilanjutkan oleh pemikir-pemikir sosiologi yang sangat beragam
pendekatannya.
Pendekatan historis pada dasarnya adalah pendekatan sosiologis
juga, walaupun sering dikesankan bahwa pendekatan pertama lebih
berdimensi vertikal (waktu ke waktu) sedangkan pendekatan kedua
berdimensi horisontal (kontemporer). Sekalipun demikian, keduanya
melihat hukum sebagai fenomena sosial dengan kaca mata makro.
Persoalan hukum diteropong dengan pendekatan sistem sosial secara
holistik, sebagaimana dikemukakan oleh teori-teori sosiologi
fungsionalistis dan konflik.
Fungsionalisme berintikan pada teori-teori tentang ketertiban,
stabilitas, dan upaya menuju kehidupan bermasyarakat yang harmonis,
dengan mengibaratkan hubungan antarunsur dalam masyarakat itu
seperti hubungan anggota tubuh. Mengingat integrasi sempurna di
antara unsur-unsur itu tidak mungkin terjadi, maka terbuka
___________________________
69 Lord Lloyd of Hampstead, Introduction to Jurisprudence, ed. 3 (London: Stevens & Sons, 1972),
hlm. 348.
70 Clarence Morris, ed., The Great Legal Philosophers: Selected Readings in Jurisprudence (Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 1959), hlm. 290.
SHIDARTA — 163
kemungkinan adanya penyimpangan-penyimpangan.71 Dalam hal inilah
hukum berperan sebagai penetralisasi penyimpangan-penyimpangan
tersebut. Hukum diberlakukan melalui proses pelembagaan nilai-nilai
yang dianut bersama. Masyarakat pun kemudian kembali berperilaku
menurut pola-pola yang telah terlembagakan tersebut, dan itulah yang
sebenarnya hakikat hukum.
Titik berangkat yang melihat masyarakat yang harmonis ini dibantah
oleh penganut teori-teori sosiologi konflik. Menurut penganut pendekatan
konflik, organisme sosial itu selalu bergejolak karena benturan-benturan
kepentingan, termasuk konflik antara penguasa dan rakyat. Dalam rangka
memenangkan konflik tersebut, penguasa lalu membuat hukum. Dengan
demikian, hukum benar-benar menjadi alat kekuasaan. Pendekatan ini,
menurut Soerjono Soekanto, banyak digunakan oleh para sosiolog yang
menaruh perhatian pada hukum pidana.72
Sangat menarik, bahwa figur-figur yang muncul sebagai pengemuka
pandangan yang bernada sosiologis ini datang dari berbagai keluarga sistem
hukum, seperti Max Weber (1864–1920) dari Jerman, Eugen Ehrlich (1862–
1922) dari Austria, Emile Durkheim (1858–1917) dari Prancis, Albert Venn
Dicey (1835–1922) dan Karl N. Llewellyn (1893–1962) dari Amerika Serikat.
Di sini terlihat bahwa sekat-sekat yang dibawa oleh masing-masing keluarga
sistem hukum mulai melentur pada Abad ke-19.
Sementara Mazhab Sejarah dan ahli-ahli sosiologi menyoroti hukum
dengan optik makro, maka muncul sekelompok ahli lainnya yang memotret
hukum dari perspektif mikro. Kajian mereka inilah yang kemudian
menampilkan pemaknaan kelima dari hukum, yaitu hukum sebagai
manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana tampak
dalam interaksi di antara mereka. Cara memaknai hukum seperti ini tidak
dapat dipisahkan dari Eksistensialisme sebagai suatu aliran besar yang
melanda filsafat pada Abad ke-20.
Eksistensialisme bertolak dari pemikiran bahwa manusia yang konkret
adalah manusia yang eksis secara individu, sehingga ia tidak mengenal
konsep manusia pada umumnya. Oleh karena itu, perilaku manusia secara
individu adalah bebas, tidak dikendalikan oleh sistem sosial yang besar.
___________________________
71 Emile Durkheim bahkan mengatakan bahwa penyimpangan ini merupakan keharusan agar
suatu sistem eksis. Tanpa ada orang-orang berdosa, suatu gereja tak akan mungkin ada.
Keberadaan mereka memberikan peluang bagi penganut yang saleh untuk memperkuat
kepercayaannya. Lihat Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat
(Jakarta: Rajawali, 1985), hlm. 54-56.
72 Ibid., hlm. 58.
164 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Aliran ini banyak menggunakan metode fenomenologi dan hermeneutika
sebagai pisau analisisnya.
Dalam kaitannya dengan hukum, pengaruh Eksistensialisme melihat
hukum adalah manifestasi makna simbolik yang datang dari individu-
individu pelaku sosial itu sendiri. Kajiannya benar-benar empiris, dengan
melepaskan diri dari makna simbolik yang datang dari luar seperti makna
yang ditetapkan lewat undang-undang atau putusan hakim. Unit analisisnya
adalah pola-pola perilaku yang otonom. Para antropolog biasanya menyukai
pendekatan ini dalam melihat hukum.
Dari kelima aspek ontologis tentang hukum di atas, akan dapat
diperoleh gambaran sebagai berikut:
a. Pemaknaan hukum dalam arti hukum sebagai asas-asas kebenaran dan
keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal, serta norma-norma
positif dalam sistem perundang-undangan suatu negara, lebih
merupakan pemaknaan hukum menurut pengemban hukum partisipan
(medespeler).
b. Pemaknaan hukum sebagai putusan hakim in-concreto yang
tersistematisasi sebagai judge-made-law, posisinya berada di antara
pengemban hukum partisipan (medespeler) dan pengamat (toeschouwer).
c. Pemaknaan hukum dalam arti hukum sebagai pola-pola perilaku sosial
yang terlembagakan, eksis sebagai variabel sosial yang empirik, dan
manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana
tampak dalam interaksi di antara mereka, cenderung merupakan
pemaknaan hukum menurut pengemban hukum pengamat (toeschouwer).
d. Dilihat dari sudut pandang keluarga sistem hukum yang memaknai
konsep-konsep hukum tersebut terlihat bahwa pemaknaan hukum
sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu
negara berakar kuat pada tradisi keluarga sistem civil law, tetapi terutama
untuk menyikapi kebutuhan di bidang perekonomian, akhir-akhir ini
mulai dirasakan pentingnya untuk juga digunakan oleh keluarga sistem
common law. Sebaliknya, pemaknaan hukum sebagai putusan hakim in-
concreto semula berakar pada tradisi keluarga sistem common law
walaupun seiring dengan berkembangnya teori-teori sosiologi, mulai
pula menancapkan pengaruhnya pada tradisi keluarga sistem civil law.
Sementara pemaknaan hukum sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan
merupakan konsep hukum yang umum berkembang di kedua kawasan
keluarga sistem hukum.
SHIDARTA — 165
e. Pemaknaan hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagaan
dan manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial menjadi
fenomena yang berkembang di semua keluarga sistem hukum. Hal ini
antara lain karena pengkajinya memang tidak dimotori oleh para ahli
hukum, sehingga relatif terlepas dari ikatan-ikatan tradisi keluarga
sistem hukum tersebut. Selain itu, kedua pemaknaan itu merupakan
buah persemaian pemikiran Abad ke-19, yakni ketika dikotomi
keluarga-keluarga sistem hukum tidak lagi sekaku masa-masa
sebelumnya.
2. Aspek Epistemologis
Kenneth J. Vandevelde mengatakan, “The phrase ‘to think like a lawyer’
encapsulates a way of thinking that is characterized by both the goal pursued and the
method used.”73 Persoalan yang pertama (goal pursuing) akan disinggung dalam
uraian aspek aksiologis. Persoalan kedua, yakni tentang metode yang
digunakan, termasuk dalam kategori aspek epistemologis.
Aspek epistemologis berupa metode yang dimaksud dalam konteks
ini adalah hal-hal yang terkait dengan cara-cara penarikan kesimpulan dalam
suatu proses penalaran hukum. Pada galibnya, penalaran hukum (legal
reasoning) direpresentasikan dengan mengikuti rangkaian proses bekerja
(berpikir) seorang hakim (judicial reasoning).74 Dengan demikian pengertian
penalaran hukum telah dipersempit menjadi penalaran hakim tatkala yang
bersangkutan menghadapi suatu kasus konkret.
Jika dikaitkan dengan aspek ontologis tentang pemaknaan hukum
sebagaimana dibentangkan di muka, judicial reasoning dengan personifikasi
seorang hakim ini jelas sudah merupakan penyempitan ruang lingkup.
Hakim tidak bisa lain adalah pengemban hukum partisipan (medespeler),
sehingga bentangan penalaran hukum menurut langkah-langkah penalaran
___________________________
73 Kenneth J. Vandevelde, Thinking Like A Lawyer: An Introduction to Legal Reasoning (Colorado:
Westview Press, 1996), hlm. 1.
74 Kecenderungan ini demikian kuat, sehingga Peter Noll mensinyalir, “Die Rechtswissenschaft ist bis
heute reine Rechtsprechungswissenschaft geblieben” (ilmu hukum sampai sekarang hanyalah tinggal ilmu
yang murni tentang peradilan). W.G. van der Velden juga menggarisbawahi, “De rechtswetenschap
heeft zich te sterk geconcentreed op de wetgevingsproducten en de rechtspraak... Deze ‘brave juristenkijk’, zoals
Va n Sc he n de le n h et n oe m t, h ee f t va n de r e ch ts w et e ns ch a p ee n re c ht sp r aa ks w et e ns ch a p ge ma a kt ” (Ilmu hukum
telah terlalu kuat berkonsentrasi pada perundang-undangan dan pengadilan... ‘Pandangan yang
baik hati dari para ahli hukum’ ini, sebagaimana disebutkan Van Schendelen, telah mengubah
ilmu hukum menjadi ilmu tentang peradilan). Kecenderungan inipun terlihat dalam susunan
materi kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia. Mengenai ini, lihat A. Hamid S. Attamimi,
“Pengantar,” dalam Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. xv–xxv.
166 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
pada umumnya tentu akan mengikuti pemaknaan hukum menurut kategori
pertama, kedua, dan ketiga, yaitu hukum diartikan sebagai asas-asas
kebenaran dan keadilan, atau norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan hukum nasional, atau putusan hakim in concreto
yang tersistematisasi sebagai judge-made-law. Sekalipun demikian, dalam uraian
di bawah terlihat jelas bahwa pada langkah tertentu, hakim sebagai
pengemban hukum partisipan terbuka kesempatan untuk memaknai hukum
menurut cara pandang tertentu. Artinya, tidak tertutup kemungkinan hakim
mengambil alih pemaknaan hukum yang selama ini digunakan para
pengamat (toeschouwer).
Untuk meninjau kemungkinan tersebut, pertama-tama perlu
diperhatikan langkah-langkah apa saja yang harus dikuasai seorang penalar
hukum. Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa seorang sarjana hukum,
khususnya hakim, selayaknya menguasai kemampuan menyelesaikan
perkara yuridis (the power of solving legal problems), yang terdiri dari tiga kegiatan
utama yakni merumuskan masalah hukum (legal problem indentification),
memecahkannya (legal problem solving), dan terakhir mengambil keputusan
(decision making).75
Kenneth J. Vandevelde menyebutkan lima langkah penalaran hukum,
yaitu:76
a. mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin, biasanya berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the
applicable sources of law);
b. menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan hukum
yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze the sources
of law);
c. mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang koheren,
yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus di bawah
aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a coherent structure);
d. menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);
e. menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk
memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu, dengan
menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan hukum
dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure of rules to
the facts).
___________________________
75 Lihat Sudikno Mertokusumo, “Pendidikan Hukum di Indonesia dalam Sorotan,” Harian Kompas,
7 November 1990, hlm. 4 & 5.
76 Kenneth J. Vandevelde, Op. Cit., hlm. 2.
SHIDARTA — 167
Gr. van der Brught dan J.D.C. Winkelman menyebutkan tujuh langkah
yang harus dilakukan seorang hakim dalam menghadapi suatu kasus:77
a. meletakkan kasus dalam sebuah peta (memetakan kasus) atau
memaparkan kasus dalam sebuah ikhtisar (peta), artinya: memaparkan
secara singkat duduk perkara dari sebuah kasus (menskematisasi);
b. menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis (mengkualifikasi,
pengkualifikasian);
c. menyeleksi aturan-aturan hukum yang relevan;
d. menganalisis dan menafsirkan (interpretasi) terhadap aturan-aturan
hukum itu;
e. menerapkan aturan-aturan hukum pada kasus;
f. mengevaluasi dan menimbang (mengkaji) argumen-argumen dan
penyelesaian;
g. merumuskan (formulasi) penyelesaian.
Dengan mempertimbangkan beberapa pandangan di atas, dapat
disimpulkan enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
a. mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)
kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang
riil terjadi;
b. menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus tersebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan
perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);
c. menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan
hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu
struktur (peta) aturan yang koheren;
d. menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;
e. mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;
f. menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian
diformulasikan sebagai putusan akhir.
Apabila diilustrasikan dalam sebuah skema, akan tampak simplifikasi
dari enam langkah penalaran tersebut dalam Ragaan III-c di bawah.78
Sebagaimana terbaca pada uraian atas masing-masing langkah tersebut,
___________________________
77 Gr. van der Brught & J.D.C. Winkelman, “Penyelesaian Kasus,” terjemahan B. Arief Sidharta,
Jurnal Pro Justitia, Tahun XII, No. 1, Januari 1994, hlm. 35–36.
78 Bandingkan dengan skema yang dimuat dalam Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum..., Op.
Cit., hlm. 159.
168 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
arah langkah demi langkah penalaran hukum ini bukanlah perjalanan linear
seakan-akan seorang penalar hukum (in casu hakim) yang sudah sampai
pada langkah tertentu berada pada point of no return. Ragaan yang
menampilkan langkah-langkah tersebut hanyalah asumsi-asumsi di atas
kertas (teoretis). Sementara di lapangan, langkah-langkah dalam proses
penalaran itu dapat bergerak secara simultan, atau jika diperlukan, malahan
dapat berbalik ke langkah sebelumnya.
Ragaan III-c: Langkah-Langkah Penalaran Hukum
a. Langkah Pertama
Dalam ragaan di atas diasumsikan ada beberapa pihak (katakanlah X
dan Y) yang sedang berperkara. Pihak-pihak mengajukan perkara mereka
ke pengadilan. Hakim berkewajiban untuk menempatkan para pihak pada
posisi yang sejajar dan ia berkewajiban mendengarkan keterangan yang
diberikan oleh masing-masing pihak (audi alteram partem).79 Tentu saja setiap
pihak akan mengajukan versi kasus menurut pandangan masing-masing.
Hakim akan melakukan identifikasi atas setiap versi kasus itu, dengan
membuang keterangan-keterangan yang irelevan, sehingga ia sampai pada
___________________________
79 Biasanya asas ini ditulis dengan tambahan kata “et” (dan), yang seharusnya tidak tepat. Dalam
hukum positif Indonesia, asas ini antara lain tercermin dari Pasal 5 Undang-Undang No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 121 ayat
(1), Pasal 132 Herziene Indonesische Reglement (HIR).
SHIDARTA — 169
keyakinan tentang posisi kasus yang sesungguhnya, yang disebut sebagai
struktur kasus atau struktur fakta.
Sekalipun hakim dilarang untuk menolak perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, ia tetap perlu
diyakinkan oleh masing-masing pihak melalui serangkaian argumentasi.
Dalam proses ini berarti hakim dihadapkan pada dialektika informasi yang
disodorkan masing-masing pihak agar ia dapat membuat sintesis tertentu.
Sintesis ini mewujud menjadi keyakinan hakim, yang pada saatnya dapat
dijadikan sebagai sumber [hukum] “otonom” bagi yang bersangkutan dalam
menyelesaikan kasus tersebut.
Keyakinan hakim tentang duduk perkara suatu kasus sangat penting,80
khususnya pada sistem peradilan dalam keluarga sistem civil law yang
menempatkan hakim sebagai pemberi keputusan tunggal baik dari segi
fakta (penetapan guilty or not guilty) maupun hukumnya. Dapat tidaknya
perkara ini dilanjutkan, sangat bergantung pada keyakinan hakim tentang
peta kasus tersebut sebagaimana terkonstruksi di benaknya.
Sekali lagi ditegaskan, bahwa langkah pertama ini tidak selalu berjalan
linear mendahului langkah-langkah berikutnya seperti akan dikemukakan
kemudian. Menurut Brught dan Winkelman, langkah-langkah itu seringkali
saling bertumpuan. Pengetahuan tentang isi dari aturan hukum yang dapat
diterapkan ikut menentukan pada waktu hakim menyeleksi fakta-fakta mana
yang dianggapnya relevan.
Logika induktif berperan dalam langkah pertama ini, seperti contoh
berikut:
___________________________
80 Dalam hukum acara pidana dikenal sedikitnya tiga pendekatan dalam meninjau alat-alat bukti: (1)
sistem negatief wettelijk, yaitu hakim wajib terikat pada alat bukti minimum menurut undang-undang,
tetapi masih perlu ditambah dengan keyakinan hakim; (2) sistem positief wettelijk, yakni tanpa ada
keyakinan hakim, terdakwa tetap dapat dipidana sepanjang alat-alat bukti mencukupi; dan (3) sistem
vrij bewijs atau conviction intieme, yang menyatakan cukup dengan keyakinan hakim, sekalipun tanpa
diperkuat alat bukti lain, hakim dapat menjatuhkan pidana. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana menganut sistem negatief wettelijk. Lihat Andi Hamzah & Irdan Dahlan, Perbandingan
KUHAP, HIR dan Komentar (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 254–255.
170 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Kemudian, identifikasi berikutnya:
Patut dicatat bahwa tidak semua kasus yang diajukan ke pengadilan
berdimensi sengketa. Kasus-kasus berupa permohonan penetapan hakim,
seperti pergantian nama seseorang atau adopsi anak, tidak menghadapkan
pihak-pihak yang bersengketa di dalamnya. Dalam perkara seperti ini,
struktur kasusnya tentu akan lebih mudah dipetakan oleh hakim. Sekalipun
demikian, secara teoretis hakim tetap dianggap telah melakukan penarikan
kesimpulan (inferensi) dalam menangani kasus semacam itu yang disebut
inferensi langsung. Ia tetap berkewajiban mengkonstatasi fakta-fakta dalam
kasus tersebut dengan cara menghilangkan bagian-bagian yang irelevan.
b. Langkah Kedua
Pada langkah berikutnya, hakim akan melakukan pengkualifikasian dengan
menerjemahkan kasus itu ke dalam peristilahan yuridis. Pengkualifikasian
merupakan titik krusial dalam penalaran hukum. Fakta-fakta yang dikemukakan
para pihak umumnya diformulasikan dalam simbol, sebagian besar berupa kata-
kata, yang mungkin dimaknai secara berbeda menurut kaca mata yuridis. Burght
dan Winkelman memberi contoh sederhana dengan kata “membeli.” Bagi orang
awam, istilah “membeli” sering dimanfaatkan untuk menyatakan bahwa seseorang
menjadi pemilik suatu benda. Padahal, dalam bahasa hukum, kata ini menunjukkan
hal mengadakan perjanjian obligatoir yang (di kemudian hari) akan menimbulkan
penyerahan (levering) dan perolehan hak milik (eigendomsverkrijging).81
Seorang hakim, sebagai pengemban hukum, tentu saja telah dibekali
pengetahuan yang cukup tentang macam-macam kualifikasi perbuatan
hukum.82 Tiap-tiap kualif ikasi tersebut diberi peristilahan yuridis (legal term)
___________________________
81 Gr. van der Brught & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 39.
82 Mengkualifikasikan tidak selalu identik dengan melihat telah dipenuhi tidaknya unsur-unsur
suatu rumusan perbuatan hukum, sekalipun caranya demikian umum dilakukan. Moejatno
memberi contoh tentang perbuatan seorang Hitler-jugend yang merebut bendera dari tangan
seorang pemuda Katolik pada jaman Nazi. Orang yang merebut bendera itu tidak
dikualifikasikan sebagai pencuri, sekalipun ia memenuhi unsur-unsur delik pencurian dalam
KUHP Jerman. Pencuri dikualifikasikan tersendiri, menyimpang dari KUHP, yaitu sebagai
“dem Wesen nach Dieb ist” (orang yang menurut hakikatnya adalah pencuri). Lihat Moeljatno,
Azas-Azas Hukum Pidana, cet. 4 (Jakarta: Bina Aksarana, 1987) hlm. 67.
SHIDARTA — 171
melalui sumber-sumber hukum yang telah disistematisasi oleh ilmu hukum.
“Mengambil milik orang lain dengan maksud dimiliki secara melawan
hukum” diberi kualifikasi sebagai pencurian. “Menghilangkan nyawa orang
lain” sebagai “pembunuhan” dan seterusnya. Demikian pula dengan
kualifikasi perbuatan hukum pidana, perdata, administrasi negara, dan
seterusnya.
Pengkualifikasian tersebut dapat mudah dilakukan apabila kasus yang
dihadapi strukturnya sederhana (clear case). Namun, dalam kenyataannya,
tidak semua kasus mempunyai struktur yang sederhana. Ada kasus yang
strukturnya sedemikian kompleks (hard case; doubful case; penumbra case) karena
terdiri dari kombinasi berbagai bidang hukum dan perbuatan hukum
sekaligus, misalnya kasus yang membuka kemungkinan terdakwa diadili di
pengadilan koneksitas atau tindak pidananya bersifat konkursus. Belum
lagi jika sumber hukum yang diacu tidak memberikan rumusan yang
eksplisit, atau bahkan sama sekali tidak menyediakan aturan apapun. Semua
kondisi tersebut mengharuskan hakim melakukan kegiatan penemuan
hukum (rechtsvinding).
Kegiatan penemuan hukum pun sesungguhnya telah dimulai pada
langkah pengkualifikasian ini. Tindakan pengkualifikasian itu sendiri
pertama-tama sudah menggunakan logika induktif, yakni dengan
menghubungkan fakta-fakta yang muncul dalam peristiwa yang telah
terindentifikasi tersebut dengan sumber hukum tertentu. Langkah ini
mungkin tidak berlangsung mulus, mengingat tidak semua kasus dapat
dikualifikasikan secara mudah.
Untuk kasus yang kompleks (hard case), dapat terjadi sumber hukumnya
tidak dapat diacu secara cepat, sehingga dibutuhkan penyeleksian aturan-
aturan secara lebih tepat untuk akhirnya dapat diperoleh kepastian
(dikonstatasi) bahwa peristiwa konkret itu adalah suatu peristiwa hukum
(peritiwa yang berakibat hukum). Mengingat sumber hukum tersebut
demikian banyaknya, penyeleksian tadi harus dilakukan dengan hati-hati.
Sistem hukum suatu negara tentu telah memberikan pedoman tentang
jalinan hubungan antara sumber-sumber hukum tersebut.
Sebagai contoh, dalam sistem hukum Indonesia dapat ditunjukkan
suatu jalinan hubungan antar-sumber hukum seperti ragaan berikut:
172 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan III-d: Sumber-Sumber Hukum
Sumber formal hukum secara klasikal dibedakan menjadi peraturan
perundang-undangan, traktat, perjanjian di lapangan keperdataan (kontrak),
yurisprudensi, kebiasaan, dan doktrin. Perkembangan dewasa ini telah
menunjukkan makin luas dan beragamnya sumber-sumber formal hukum itu.
Satu sumber formal hukum yang sudah eksis sejak lama, namun jarang
dikemukakan dalam buku-buku teks adalah nilai-nilai atau asas-asas
hukum.83 Asas hukum umumnya tidak dirumuskan dalam bentuk norma
tersendiri di dalam undang-undang. Oleh karena itu, wujudnya masih berupa
nilai. Ia ada di balik ketentuan norma hukum positif tersebut. Principle of
morality (predikat dari John Chipman Gray),84 Grundnorm (istilah dari Hans
___________________________
83 Menurut Bellefroid, asas hukum adalah pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.
Eikema Hommes mengartikan asas hukum itu sebagai dasar-dasar atau petunjuk arah dalam
pembentukan hukum positif. Lihat O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1975), hlm. 49.
84 John Chipman Gray, The Nature and Sources of the Law, ed. 2 (New York: MacMillan, 1921),
hlm. 123–125.
SHIDARTA — 173
Kelsen) atau Volksgeist (terminologi dari von Savigny) termasuk dalam
kategori ini. Dalam sengketa hukum internasional publik, asas hukum ini
(dirumuskan dengan kata-kata “general principles of law recognized by civilized
nations”) bahkan digunakan sebagai sumber hukum utama.85
Menurut J.H.M. Klanderman et al., asas hukum mempunyai dua fungsi,
yakni fungsi dalam hukum dan fungsi dalam ilmu hukum. Fungsi yang
pertama mendasarkan eksistensinya pada rumusan pembentuk undang-
undang dan hakim (fungsi mengesahkan) serta mempunyai pengaruh yang
normatif dan mengikat para pihak. Sementara fungsi dalam ilmu hukum
hanya bersifat mengatur dan eksplikatif (menjelaskan). Tujuannya adalah
memberi ikhtisar, tidak normatif sifatnya dan tidak termasuk hukum
positif.86 Dalam konteks pembicaran tentang penalaran hukum ini, asas
hukum tersebut diartikan menurut fungsi yang pertama.
Kedudukan traktat (perjanjian internasional) dalam ragaan di atas
memang tidak langsung dihubungkan dengan kasus yang terindentifikasi,
melainkan harus melalui “jembatan” undang-undang (peraturan perundang-
undangan) terlebih dulu. Hal ini terutama karena setiap traktat baru
mengikat setelah melalui proses pengundangan ke dalam hukum positif.
Oleh karena itu, wujud traktat ini kemudian dapat berupa undang-undang
(dalam arti formal) atau jenis peraturan lainnya.87
Kebiasaan juga mempunyai kedudukan yang unik. Dalam lapangan
hukum perdata dan hukum internasional publik,88 kebiasaan lebih dapat
diterima sebagai sumber formal hukum. Dalam Code Civil yang berlaku
sejak 1804 di Prancis, sebagaimana juga diikuti oleh Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata di Indonesia, kebiasaan menjadi faktor yang harus
diperhatikan dalam membuat perjanjian.89 Untuk konteks sistem hukum
___________________________
85 Lihat Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional.
86 Lihat Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), ed. 3 (Yogyakarta: Liberty,
1991), hlm. 34.
87 Dalam sistem hukum Indonesia, tidak semua traktat harus diratifikasi dalam bentuk undang-
undang. Menurut Surat Presiden RI No. 2826/HK/60 tanggal 22 Agustus 1960, hanya
perjanjian yang terpenting saja, yakni yang mengandung soal-soal politik, yang perlu disahkan
oleh Presiden dan DPR. Perjanjian yang tidak termasuk kategori ini cukup disahkan dalam
bentuk keputusan Presiden.
88 Kebiasaan yang dimaksud sebagai sumber formal hukum internasional publik menurut Pasal
38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional adalah international custom atau customary international
law, yang oleh Mochtar Kusumaatmadja disebut sebagai “kesopanan internasional.” Lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional: Buku I-Bagian Umum, cet. 4 (Bandung:
Binacipta, 1982), hlm. 134.
89 Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa per janjian tidak hanya
mengikat untuk hal-halyang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu
yang menurut sifat perjanjiannya diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
174 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Indonesia, kedudukan kebiasaan ini menjadi salah satu sumber
permasalahan tersendiri, mengingat terminologi ini sering diidentikkan
dengan hukum adat. Dalam konteks keindonesiaan, kebiasaan yang
termasuk kategori hukum adat tidak serta merta dapat dijadikan sumber
formal hukum, kecuali jika telah ditunjuk oleh undang-undang.90
Kompleksitas permasalahan ini akan mempengaruhi pola penalaran hukum
yang diperagakan oleh pengemban hukum di Indonesia sebagaimana akan
dielaborasi kemudian dalam Bab IV karya tulis ini.
Sumber formal hukum yang mungkin belum banyak disinggung adalah apa
yang oleh Edgar Bodenheimer disebut sebagai autonomic legislation.91 Bentuk
autonomic legislation ini antara lain berupa kode etik profesi. Hampir tidak ada ahli
hukum yang menyadari bahwa sumber formal hukum seperti ini telah masuk ke
dalam sistem hukum positif Indonesia (bahkan ke dalam sistem hukum pidana
yang terkenal kaku), sekalipun mungkin hal ini dilakukan secara tidak disengaja.
Contoh “infliltrasi” dari autonomic legislation ini adalah dalam Pasal 17 ayat (1)
huruf f jo. Pasal 62 ayat (2) dan 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Pelindungan Konsumen. Pasal 17 ayat (1) huruf f melarang pelaku usaha
perikalanan memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensi dari pelanggaran ini
dinyatakan dalam Pasal 62 ayat (2) yaitu berupa pidana penjara dua tahun penjara
atau pidana denda maksimal Rp500 juta. Di samping itu masih terdapat sanksi-
sanksi tambahan yang dapat dijatuhkan menurut Pasal 63.
Autonomic legislation berupa etika periklanan yang dimaksud oleh
Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut adalah Tata Krama dan
Tata Cara Periklanan Indonesia (disempurnakan terakhir kali tanggal 19
Agustus 1996). Etika perikalanan ini disusun oleh tujuh lembaga otonom
yang menamakan diri mereka sebagai Masyarakat Periklanan, terdiri dari
___________________________
90 Pasal 15 AB menyatakan, “Behoudens de uitzonderingen omtrent de Indonesiërs en daarmee gelijkgestelde
personen vastgesteld, geeft gewoonte geen regt, dan alleen wanneer de wet daarop verwijst,” yang secara
bebas dapat diterjemahkan menjadi: “Selain pengecualian yang ditetapkan bagi Bumiputera
dan orang-orang yang dipersamakan (dengan Bumiputera), maka kebiasaan bukanlah hukum
kecuali jika undang-undang menetapkan demikian.” Ketentuan ini mengalami modifikasi dalam
Undang-Undang No. 1 drt Tahun 1951. Pasal 5 ayat (3) b undang-undang ini antara lain
menegaskan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan
pidana dan yang ada bandingannya dalam kitab hukum pidana sipil, maka dianggap diancam
dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada
perbuatan pidana itu.
91 Di Indonesia, ilmuwan hukum pertama yang secara khusus mengangkat persoalan ini adalah
Valerine J.L. Kriekhoff melalui tulisannya berjudul “Autonomic Legislation sebagai Sumber
Hukum Formal dalam Penelitian Hukum,” pidato pengukuhan guru besar di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 25 Oktober 1997.
SHIDARTA — 175
Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI), Asosiasi
Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo), Gabungan
Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (PPPI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional
Indonesia (PRSSNI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan Yayasan
Televisi Republik Indonesia (TVRI).92 Ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf
f tersebut menunjukkan adanya “revolusi” berpikir di kalangan ahli hukum
Indonesia, bahwa suatu pelanggaran (murni) etika adalah tindak pidana.
Namun satu hal yang pasti, keberadaan Pasal 17 ayat (1) huruf f tersebut
mempertegas eksistensi autonomic legislation sebagai sumber formal hukum.
Seperti halnya kebiasaan, autonomic legislation juga memerluk an das ar huk um
undang-undang untuk dapat mengantarnya menjadi sumber formal hukum.
Pada ragaan di atas juga terlihat ada pola hubungan yang bersifat
normatif-imperatif. Jika sumber hukum itu dilihat satu demi satu secara
terpisah, masing-masing memang memiliki sifat normatif-imperatif, sepanjang
sumber hukum itu memang relevan dengan kasus yang dihadapi. Sebagai
contoh, untuk sengketa sewa-menyewa antara dua orang warganegara
Indonesia atas properti yang dilindungi oleh hukum Indonesia, tentu kontrak
di antara pihak penyewa dan yang menyewakan akan memiliki sifat normatif-
imperatif. Sebaliknya sumber hukum berupa traktat internasional tidak
memiliki sifat normatif-imperatif karena tidak relevan bagi kasus tersebut.
Mengingat sumber-sumber formal hukum itu berada dalam satu sistem,
maka ada pola hubungan yang normatif-koordinatif. Hakim harus
memanfaatkan sifat hubungan ini agar langkah-langkah yang dilakukannya
tetap berada dalam koridor sistem hukum yang ada. Apabila ada sumber-
sumber hukum yang kontradiktif dalam melihat kasus konkret yang
dihadapinya, hakim harus mengambil sikap melalui pendekatan sistem.
Dalam hal ini, asas-asas hukum dapat digunakan untuk membantu mencari
pemecahan dari situasi kontradiksi itu.
Pada garis yang lain, tampak ada gambaran pola hubungan yang
normatif-persuasif. Dalam sistem hukum Indonesia, atau keluarga sistem
civil law pada umumnya, hal ini berlaku untuk sumber formal hukum berupa
putusan pengadilan. Putusan yang ditetapkan oleh hakim selalu bernuansa
personal-kasuistik.93 Karena sifat demikian, sejumlah ahli hukum seperti
___________________________
92 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 115.
93 Dalam sistem hukum Indonesia, misalnya, terdapat ketentuan dalam Pasal 21 Algemene Bepalingen
van Wetgeving voor Indonesië (AB) yang melarang hakim mengeluarkan putusan yang mengikat
setiap orang (umum).
176 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
van Apeldoorn, menolak memasukkan putusan hakim sebagai sumber
formal hukum. Menurutnya, putusan hakim bersama dengan perjanjian
(di lapangan hukum keperdataan) dan doktrin adalah faktor-faktor yang
membantu pembentukan hukum, karena mereka semua tidak membentuk
peraturan secara abstrakto.94
Di muka telah disinggung bahwa kegiatan menghubungkan fakta-fakta
yang ditemukan dalam kasus konkret dengan sumber hukum merupakan
proses penemuan hukum (rechtsvinding) sebagai bagian dari aktivitas
penalaran hukum (juridisch redenering). Pertama-tama hakim akan
memperagakan logika induktif, misalnya:
c. Langkah Ketiga
Langkah ketiga yang harus dilakukan hakim adala h me nye lek si s umb er
hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu
kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying
those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren.
Pada langkah ketiga ini didapati ada tiga tingkatan aktivitas: (1) menyeleksi
sumber hukum terberi (given legal resources), (2) menyeleksi aturan hukum
dalam sumber hukum terberi, dan (3) mencari kebijakan dalam aturan
tersebut. Apa yang dimaksud dengan kebijakan ini, dalam terminologi ilmu
politik sering juga disebut dengan istilah”politik hukum.”95
Pada langkah ketiga ini, faktor sudut pandang yang dikemukakan di
atas (latar belakang keluarga sistem hukum, dikotomi partisipan dan
pengamat) serta kerangka orientasi berpikir yuridis yang dianut, makin
berperan secara signifikan. Latar belakang keluarga sistem hukum
___________________________
94 L.J. van Apeldoorn, Op. Cit., hlm. 167-180.
95 Kaitan antara ilmu politik dan penalaran hukum dibahas dalam Bab V.
SHIDARTA — 177
memberikan pola pada sistem hukum negara tersebut dalam menentukan
jenis-jenis sumber hukum terberi. Pada negara yang berkiblat pada keluarga
sistem civil law, misalnya, besar kemungkinan hakimnya akan melirik terlebih
dulu kepada undang-undang daripada sumber hukum lainnya. Dalam
sumber-sumber hukum itu ditemukan aturan (rumusan ketentuan normatif)
tertentu yang diperkirakan relevan dengan konteks permasalahan yang
dihadapi.
Apabila dari sumber-sumber hukum yang sudah diseleksi itu ditemukan
sejumlah aturan (norma) yang tingkat koherensinya tidak sempurna, maka
hakim harus melakukan penyeleksian aturan secara hati-hati. Dalam konteks
ini, hakim dapat menggunakan asas-asas hukum, misalnya dalam hal terjadi
kontradiksi normatif antara:
1) undang-undang yang umum dan undang-undang yang khusus,
dapat dicari pemecahannya dengan asas lex specialis derogat lege
generali.
2) undang-undang lama dan undang-undang baru, dapat dicari
pemecahannya dengan asas lex posteriori derogat lege priori.
3) undang-undang lebih tinggi dan undang-undang lebih rendah
(seperti undang-undang [dalam arti formal] dengan peraturan
pemerintah), dapat dicari pemecahannya dengan asas lex superior
derogat lege inferiori.
4) undang-undang dan putusan hakim, dapat dicari pemecahannya
dengan asas res judicate pro veritate habetur.
Koherensi antar-aturan juga harus memperhatikan sifat-sifat norma
(perintah, larangan, izin, dan dispensasi).96 Relasi keempat sifat aturan
normatif ini membentuk pola yang ditunjukkan dalam ragaan di bawah.
___________________________
96 Dalam hukum Islam, bahkan dikenal ada lima sifat norma yang disebut “al-ahkam al-khamzah”
(wajib, haram, sunnah, makruh,dan jaiz).
178 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan III-e: Diagram Relasi Empat Sifat Norma
Jika persoalan koherensi antar-aturan itu telah teratasi, maka komposisi
aturan-aturannya dapat disajikan. Namun, semua aturan tadi belumlah
“berbicara” untuk memecahkan kasus tersebut. Untuk itu, hakim terlebih
dulu harus menganalisis aturan-aturan ini. Itulah yang dimaksud dengan
mencari kebijakan dalam aturan tersebut.
Menurut Burght dan Winkelman, syarat pertama untuk dapat
mengenali isi suatu aturan hukum adalah pembacaan teks dengan baik.
Hal ini penting karena tidak semua aturan hukum dirumuskan secara jelas.
Upaya memperbesar pemahaman adalah perlu untuk menganalisis dan
mengikhtisarkan teks demikian secara gramatikal. Syarat kedua adalah
pengetahuan tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam aturan
hukum itu. Apa arti, misalnya, suatu benda terdaftar (registergoed) itu? Apa
pengalihan (overdracht) itu? Apa arti itikad baik (te goedertrouw) itu? 97
Pandangan Burght dan Winkelman tersebut mengantarkan hakim
kepada keperluan untuk melakukan interpretasi. Paul Scholten menegaskan,
“Tiap undang-undang, juga yang terbaik dirumuskan, memerlukan
penafsiran.”98
Metode penafsiran adalah salah satu metode penemuan hukum
(rechtsvinding). Di luar itu ada metode lain, yang disebut dengan metode
___________________________
97 Gr. van der Burght & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 41.
98 Ibid., hlm. 42.
SHIDARTA — 179
konstruksi atau argumentasi. Sudikno Mertokusumo membedakan kedua
metode ini secara sederhana sebagai berikut:99
Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya
ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya
dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak
ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekosongan atau
ketidak-lengkapan undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab
hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih
tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya (bandingkan Pasal 22
Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan Untuk Indonesia/S.
1847-23) dengan Pasal 14 UU no. 14 tahun 1970). Dalam hal ini apa yang
harus dilakukan oleh hakim untuk menemukan hukumnya? untuk mengisi
kekosongan itu digunakan metode berfikir analogi, metode penyempitan hukum
dan metode a contrario.
Ada banyak metode interpretasi, yang satu sama lain bersifat saling
melengkapi. Tiap-tiap metode memiliki ciri-cirinya sendiri, sehingga tidak
ada petunjuk tentang metode mana yang sesungguhnya harus digunakan
dalam sebuah kasus konkret. Menurut Burght dan Winkelman, di masa
lalu memang telah “diperjuangkan” suatu pedoman yang kaku pada
pemilihan metode-metode interpretasi, namun berlawanan dengan harapan
itu, yang akhirnya diperoleh sekadar petunjuk-petunjuk yang kabur. Hal
ini karena sulit memperoleh pemahaman tentang motif-motif sesunguhnya
dari hakim dalam mengambil suatu keputusan tertentu karena yang terlihat
hanya argumen-argumen yang dikemukakan secara eksplisit dalam
vonisnya.100
Sekalipun demikian, para penganut Legisme senang mengemukakan
doktrin yang ada dalam Pasal 1342 KUH Perdata, yang lazim disebut doktrin
sens-clair. Pasal tersebut menyatakan, “Jika kata-kata suatu persetujuan jelas,
tidaklah diperkenankan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan
penafsiran.” 101 Bunyi Pasal 1342 ini memang tidak ganjil, mengingat metode
penemuan hukum barulah dipersoalkan keberadaannya apabila terjadi
perbedaan penyusunan struktur kasus (fakta) oleh para pihak akibat
pemahaman yang berlainan atas suatu rumusan sumber hukum. Doktrin
___________________________
99 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1993), hlm. 21.
100 Gr. van der Burght & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 44.
101 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan R. Subekti & R. Tjitrosudibio, cet. 8 (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1976), hlm. 308.
180 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
sens-clair jelas tidak menutup pintu bagi penggunaan metode penafsiran,
sebagaimana tampak dari bunyi Pasal 1343 KUH Perdata, “Jika kata-kata
suatu persetujuan dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus
dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
persetujuan itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.”102
Jika dalam sengketa kontrak keperdataan, lebih mudah untuk
menanyakan kembali maksud para pihak atas suatu rumusan yang kabur
dalam perjanjian mereka, tentu situasinya tidak demikian untuk peraturan
perundang-undangan. Undang-undang adalah produk hukum yang
dirumuskan secara umum-abstrak, sehingga spektrum keberlakuannya
sangat luas. Keluasan ini membuat ia rentan untuk dipahami secara berbeda
oleh para subjek hukum yang berkepentingan. Akibatnya, dalam kasus
tertentu masing-masing akan cenderung memakai metode penafsiran yang
paling menguntungkan posisi dirinya.
Dalam Tabel III-2 berikut dapat dilihat uraian singkat tentang
bermacam-macam metode interpretasi yang dikenal dalam kegiatan
penemuan hukum.103
Tabe l II I- 2
Metode Interpretasi
___________________________
102 Ibid.
103 Sebagian isi tabel ini pernah dipublikasikan oleh penulis. Lihat Shidarta, “Kerangka Berpikir
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan dalam Pengelolaan Pesisir,” dalam Buku Narasi
Menuju Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia (Jakarta: Bappenas,
Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, dan CRMP, 2005),
hlm. 8-87.
104 Elias E. Savellos & Richard F. Galvin, Reasonng and the Law: the Elements (Belmont: Wadsworth,
2001), hlm. 74.
SHIDARTA — 181
Metode-metode interpretasi di atas secara sederhana dapat
dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu (1) the textualist approach
(focus on text) dan (2) the purposive approach (focus on purpose).107 Interpretasi
___________________________
105 Lihat Gr. van der Burght & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 46.
106 Paul Scholten, Op. Cit., hlm. 63. Terjemahan bebasnya kurang lebih: “Oleh karena penerapan
hukum merupakan subsumsi logis, maka kegiatan utama ilmu hukum adalah secara logis induktif
mengumpulkan data, mereduksi data tersebut menjadi pengertian umum, lalu pengertian umum
dideduksikan kembali menjadi konklusi-konklusi baru.”
107 Dalam epistemologi, metode abduksi mendapat kajian mendalam dari C.S. Pierce, khususnya
dalam karya-karyanya setelah tahun 1893. Ia menyatakan bahwa abduksi adalah tahap pertama
penelitian ilmiah. Fungsi abduksi adalah menawarkan suatu hipotesis. Pierce memerinci dua
ciri abduksi. Pertama, abduksi menawarkan suatu hipotesis yang memberikan eksplanasi yang
probable. Hipotesis hanya berfungsi sebagai konjektur (dugaan). Kebenaran hipotesis masih
harus dibuktikan melalui proses verifikasi. Kedua, hipotesis itu dapat memberikan eksplanasi
terhadap fakta-fakta lain yang belum dijelaskan dan bahkan tidak dapat diobservasi secara
langsung. Pierce menolak pemikiran Positivisme yang beranggapan bahwa semua hipotesis
harus dapat secara langsung menjelaskan fakta, seperti dikemukakan A. Comte. Menurut Pierce,
setiap hipotesis memang harus diverifikasi, namun hal itu tidak perlu dibuktikan dengan
observasi langsung (direct observation). Cukup hipotesis itu dapat menjelaskan fakta yang
diobservasi dan ada kemungkinan untuk diverifikasi melalui pengalaman di masa depan. Suatu
teori, demikian dijelaskan Pierce, tidak hanya bisa menjelaskan fakta yang bisa diamati, tetapi
juga fakta yang tidak dapat diamati, sekarang dan di sini. Sebagai contoh, Pierce menunjuk
hipotesis yang dijelaskan melalui teori heliosentris (Copernicus). Uraian selanjutnya lihat A.
Sonny Keraf & Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis, cet. 2 (Yogyakarta:
Kanisius, 2001), hlm. 91–98.
182 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
gramatikal dan otentik termasuk kategori pendekatan pertama, sementara
metode interpretasi lainnya mengacu kepada pendekatan kedua. Burght
dan Winkelman mencatat, pendekatan dengan memperhitungkan keadaan-
keadaan tertentu (yang dapat disamakan dengan purposive apporach) itu baru
diterima luas sesudah Perang Dunia Kedua. Itupun setelah melewati proses
perdebatan yang panjang di kalangan iluwan hukum.108
Metode penemuan hukum lainnya adalah konstruksi hukum, atau
disebut juga dengan metode argumentasi. Paul Scholten menggambarkan
metode konstruksi sebagai berikut:109
Omdat rechtstoepassing is logisch subsumeeren, is de logische arbeid van inductief
verzamelen van gegevens; deze reduceeren tot algemeene begrippen en uit deze weder tot
nieuwe conclusies deduceeren; het werk der rechtswetenschap bij uitnemendheid.
Deskripsi tentang pola penalaran menurut metode konstruksi adalah
seperti ragaan di bawah.110 Dalam ragaan ini diambil contoh peristiwa
konkret penghibahan dikaitkan dengan perjanjian sewa menyewa. Apakah
penghibahan ini memutuskan hubungan sewa menyewa? Pasal 1576 KUH
Perdata hanya mengatur tentang jual beli, bukan penghibahan. Oleh karena
itu, peristiwa khusus 1 (penghibahan) dipersandingkan dengan peristiwa
khusus 2 (jual beli) yang mirip dengan peristiwa khusus 1, yang kebetulan
telah diatur penyelesaian hukumnya. Oleh karena di antara kedua peristiwa
itu terdapat perbedaan mendasar tentang bentuk-bentuk hubungan
hukumnya, maka logika abduksi dipakai. Pasal 1576 KUH Perdata yang
mengatur peristiwa khusus 2 tersebut diabstraksikan sehingga membentuk
pengertian umum. Setelah pengertian umum ini telah diperoleh, maka
prinsip inilah yang kemudian dijadikan kerangka berpikir untuk
menyelesaikan peristiwa konkret tersebut. Sudikno Mertokusumo
menyebutkan pola penalarannya sebagai berikut: kalau x maka y; z mirip x;
oleh karena itu kalau z maka y.111 Metode abduksi ini secara sederhana
digambarkan dalam ragaan di bawah.
___________________________
108 Sudikno Mertokusumo & A. Pitlo, Op. Cit., hlm. 22.
109 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta membedakan antara konstruksi dan penghalusan
hukum. Keduanya dituliskan terpisah. Konstruksi mencakup analogi dan argumentum a
contrario. Lihat Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Buku I) (Bandung: Alumni, 1999),
hlm. 111–120. Kami sendiri berpendapat penghalusan hukum dapat digolongkan sebagai
konstruksi, mengingat ia juga menggunakan logika abduksi.
110 Lihat Moeljatno, Op. Cit., hlm. 27–28.
111 Paul Scholten, Op. Cit., hlm. 65–66.
SHIDARTA — 183
Ragaan III-f: Gambaran Metode Abduksi
Analogi (argumentum per analogiam) hanyalah salah satu dari metode
konstruksi. Di luar itu terdapat penghalusan hukum atau penyempitan
hukum (rechtsverfijning),112 argumentum a contrario, dan argumentum a fortiori.
Tabe l II I- 3
Metode Konstruksi
___________________________
112 J.W. Ha r ri s, Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System (O xford :
Clarendon Press, 1982), hlm. 10.
184 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sangat menarik untuk mengamati bahwa batas-batas antara metode
interpretasi dan konstruksi dalam banyak segi demikian tipis. Interpretasi
ekstensif dan analogi, misalnya, sama-sama terkesan memperluas
keberlakuan suatu rumusan norma. Walaupun demikian, garis batas kedua
metode ini dapat ditarik tegas, seperti dikemukakan Moeljatno. Menurutnya,
perbedaannya terkait dengan gradasi semata. Interpretasi ekstensif masih
berpegang pada aturan yang ada, sementara pada analogi, peristiwa yang
menjadi persoalan tidak dapat dimasukkan ke dalam aturan yang ada,
meskipun diyakini bahwa peristiwa itu seharusnya juga diatur atau dijadikan
peristiwa hukum.115 Itulah sebabnya, ada pandangan yang masih menerima
interpretasi ekstentif dalam hukum pidana, namun menolak analogi karena
dianggap bertentangan dengan asas legalitas.
Untuk melakukan konstruksi, Paul Scholten menyebutkan tiga syarat,
yaitu: (1) meliputi materi positif (het dekken der positieve stof); (2) ajarannya
___________________________
113 Bandingkan dengan penjelasan B. Arief Sidharta, “Struktur Ilmu Hukum Indonesia,” dalam Wila Ch.
Supriadi, ed., Percikan Gagasan tentang Hukum ke-III (Bandung: Mandar Maju, 1998), hlm. 22–23.
114 J.W. H ar r is, Op. Cit., hlm. 141.
115 Lihat Victor Grassian, Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems
(New Jersey: Prentice-Hall, 1981), hlm. 194 et seq.
SHIDARTA — 185
tidak kontradiksi secara internal (de leer mag niet zich zelf tegenspreken); dan
(3) memenuhi syarat estetis (aesthetische eischen).116 Apa yang dimaksud oleh
Scholten adalah kurang lebih sebagai berikut. Materi yang dikonstruksikan
harus positif dalam arti dapat diterima sebagai pandangan yang sejalan
dengan ajaran yang berlaku, bukan ajaran yang sudah tersingkir oleh jaman.
Kedua, hasil konstruksi tersebut harus diterima sebagai bagian dari sistem
hukum yang logis, dan terakhir, konstruksi itu pun harus memperhatikan
segi-segi kesederhanaan dan kejelasan agar konklusi baru yang dihasilkannya
mudah dipahami.
Pembangunan struktur aturan yang dibentangkan di atas pada akhirnya
harus tunduk pada asas-asas yang oleh J.W. Harris disebut “the rule-systematizing
logic of legal science.” Ada empat asas yang disebutkan Harris, yaitu asas (1)
eksklusi (exclusion); subsumsi (subsumption); (3) derogasi (derogation); dan (4)
nonkontradiksi (non-contradiction).117 Asas pertama mengandaikan sejumlah
sumber legislatif independen (independent legislative sources) bagi sistem hukum,
dan dengan ini mengidentifikasi sistem hukum tersebut. Dalam uraian di
muka telah dibentangkan bahwa pengertian “legislasi yang independen” versi
Harris ini harus diartikan luas, tidak harus berupa undang-undang. Dengan
asas ini, suatu norma bisa dibedakan secara eksklusif sebagai hukum atau
bukan hukum. Selanjutnya, asas subsumsi mengandung arti bahwa aturan-
aturan itu tunduk pada sistem hierarkis, dan ini sejalan dengan asas derogasi
yang tidak menghendaki adanya konflik di dalam sistem aturan tersebut.
Konsekuensi lebih lanjut ditunjukkan oleh asas nonkontradiksi, yang
menggarisbawahi bahwa eksistensi sebuah kewajiban tidak dapat dihadirkan
bersamaan dengan sebuah nonkewajiban. Misalnya, peletakan kewajiban
untuk membayar sejumlah uang tidak boleh dihadirkan bersamaan dengan
kewajiban untuk tidak membayar sejumlah uang.118
Masih ada kemungkinan lain yang dapat timbul pada langkah ketiga
ini! Struktur aturan yang dibuat itu, sekalipun telah melewati “the rule-
systematizing logic of legal science” ternyata tetap tidak mungkin hadir secara
tunggal. Artinya, ada beberapa struktur aturan yang semuanya mungkin
___________________________
116 Gr. van der Burght & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 52–53.
117 Secara leksikal, “dissent” diartikan sebagai “... refusal to agree with something already stated or adjudged
or to an act previously performed. The term is most commonly used to denote the explicit dissagreement of one
or more judges of a court with the decision passed by the majoritiy upon a case before them. In such event, the
non-concurring judge is reported as ‘dissenting.’ A dissent may or may not be accompanied by a dissenting
opinion.” Lihat Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 472–473.
118 Istilah “putusan” secara teknis dibedakan dengan “penetapan” karena yang pertama mengacu
pada produk peradilan contentieus, sementara yang kedua produk peradilan voluntair.
186 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
untuk diterapkan pada langkah keempat nanti. Pada kasus yang kompleks
(hard case), tingkat probabilitas terjadinya situasi demikian sangat tinggi.
Apalagi, jika persidangannya berbentuk majelis. Antara hakim yang satu
dengan hakim yang lain, mungkin saja masing-masing membangun struktur
aturan yang berbeda, berangkat dari sudut pandang sendiri-sendiri, yang
ternyata sulit dipersatukan. Dan, seharusnya pada langkah ketiga inipun,
perbedaan struktur aturan itu tidak perlu buru-buru untuk dituntaskan
(diseragamkan) karena justru perbedaan ini sangat berguna untuk
melahirkan alternatif-alternatif solusi yang dilakukan pada langkah kelima.
d. Langkah Keempat
Langkah keempat ini sebenarnya menyatu dengan langkah kelima.
Intinya, pada kedua langkah ini si hakim menghubungkan struktur aturan
dengan struktur kasus, seperti ditunjukkan dalam skema berikut:
Pada skema di atas, ada satu contoh konklusi yang berhasil diperoleh
melalui logika deduktif itu. Pada clear case seperti contoh di atas, hakim
sangat mungkin tidak perlu berpikir keras untuk mencari alternatif lain
daripada jawaban yang ditelurkan melalui metode interpretasi gramatikal.
Lain halnya, jika yang terjadi adalah hard case (penumbra case), sehingga hakim
perlu membuat beberapa pola konklusi sesuai dengan kompleksitas struktur
kasus yang dipetakannya. Dalam hal demikian, konklusi tidak dapat
dilakukan dengan logika deduksi sederhana dan cepat. Seperti kata Lon L.
Fuller, dalam area penumbra, “... men cannot live by deduction alone. And it
follows that if legal arguments and legal decisions of penumbral questions are to be
rational, their rationality must lie in something other than a logical realtion to premises.”119
e. Langkah Kelima
Seperti diuraikan pada langkah ketiga, pada kasus yang kompleks (hard
case), hakim atau majelis hakim sangat mungkin memiliki lebih dari satu
___________________________
119 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (yogyakarta: Liberty, 1988), hlm. 167–168.
SHIDARTA — 187
alternatif jawaban atas masalah yang ditanganinya. Setiap struktur aturan,
secara deduktif akan melahirkan minimal satu jawaban. Setiap jawaban harus
dibangun melalui proses penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
disiplin hukum. Bagi sejumlah kalangan, pertanggungjawaban disiplin hukum
ini harus juga dipadukan dengan pertanggungjawaban moral. Dengan
demikian, penalaran hukum (legal reasoning) adalah juga penalaran moral (moral
reasoning). Itu terbukti dari teori-teori tentang etika, yang sebagian besar
mengemukakan contoh-contoh peristiwa hukum di dalamnya, seperti
euthanasia, aborsi, diskriminasi rasial, dan hukuman mati.120
Tiap-tiap alternatif harus diverifikasi dengan argumentasi yang tepat.
Kerja sama antara hakim-hakim yang duduk dalam satu majelis diuji pada
langkah kelima ini. Hakim yang baik harus menerima apabila argumentasi
yang diajukannya dikritik oleh rekannya. Bahkan, iapun wajib mengkritisi
penalarannya sendiri. Untuk itu Langemeijer berpesan:121
Bila undang-undang dan “kesadaran umum” berdiam diri, maka keputusan dari
orang, yang tidak mempunyai tujuan lain selain mewujudkan hukum dan terdidik
(terlatih) di dalam menimbang kepentingan-kepentingan dan argumen-argumen,
adalah masih yang terbaik yang terhadapnya orang dapat memberikan kepercayaan.
Asalkan ia masih memiliki sifat, yang mutlak harus dimiliki seorang hakim yang
baik: zelfkritiek (kritis terhadap diri sendiri atau mampu mengkritik diri sendiri).
Seorang hakim yang baik harus, jika ia dihadapkan pada suatu penyelesaian, yang
memuaskannya, juga memiliki sedemikian banyak pengetahuan tentang dirinya
sendiri sehingga ia dapat mempertanyakan kepada dirinya sendiri apakah kepuasan
itu tidak berkaitan dengan preferensi-preferensi, yang ia ketahui bahwa tidak setiap
orang merasakannya dengan cara yang sama dan sedemikian banyak pengetahuan
tentang masyarakat sehingga ia dapat mengetahui yang (disebut) terakhir ini. Hanya
setelah mampu mengatasi pengujian yang terakhir ini maka penilaiannya, yang
terpaksa, kreatif, akan tidak subjektif lagi.
Hakim adalah profesi yang independen dalam bernalar. Independensi
ini harus tetap dijamin, sekalipun ia duduk sebagai anggota majelis. Hakim
yang bersikeras untuk mempertahankan alternatif lain di luar putusan rekan-
rekannya, harus tetap dihormati. Untuk itu, argumentasi yang diajukannya
nantinya sebaiknya dimuat dalam putusan juga, yang lazim disebut dengan
dissenting opinion (contrariety of opinion).122
___________________________
120 Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5 Tahun 1959 dan No. 1 Tahun 1962. Lihat pembahasan
ini dalam Ibid., hlm. 168.
121 Sayangnya, untuk kondisi di Indonesia publikasi putusan hakim secara luas masih terhalang
antara lain oleh Pasal 179 Herziene Indonesisch Reglement (HIR). Pembahasan tentang kondisi ini
ditempatkan pada Bab IV dari karya tulis ini.
122 Sir Alfred Denning, The Road to Justice (London: Stevens & Sons, 1955), hlm. 29 dikutip Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara..., Op. Cit., hlm. 178.
188 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
f. Langkah Keenam
Langkah keenam ini adalah langkah pamungkas, tetapi justru paling krusial
sifatnya. Pada tahap ini hakim atau para hakim harus menetapkan pilihan atas
salah satu alternatif yang paling sesuai dengan struktur kasus, untuk akhirnya
diformulasikan sebagai putusan (termasuk juga yang lazim disebut “penetapan”).123
Putusan hakim per definisi adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atau sengketa antara para pihak.124 Dalam praktik, semua putusan selalu
dibacakan (uitspraak) berdasarkan naskah tertulis yang telah dipersiapkan. Dalam
hukum acara di Indonesia, misalnya, dianut pendapat bahwa apabila ada
perbedaan antara naskah tertulis dan ucapan lisan pada saat naskah putusan
dibacakan, maka yang dijadikan pegangan adalah ucapan lisan.125
Putusan pengadilan memang senantiasa bersifat individual kasuistik.
Oleh karena itu, seluruh isi putusan, terutama penalaran hukum yang
menjadi benang merah lahirnya putusan tersebut, harus dipertanggung-
jawabkan kepada para pihak. Pada perkara hukum publik, konotasi para
pihak ini mencakup denotasi yang luas sekali. Kendati demikian, setelah
dibacakan dan menjadi public domain, putusan ini akan terbuka sebagai bahan
wacana publik (public discourse). Oleh sebab itu, publikasi putusan yang utuh
sangat diperlukan agar masyarakat tidak hanya tercuri perhatiannya pada
amar putusan, melainkan terutama harus pada konsideran yang menggiring
diktum putusan. Masyarakat yang berkepentingan, khususnya para penstudi
hukum harus diberi akses yang cukup agar setiap putusan hakim dapat
dikaji penalarannya.126 Putusan hakim adalah produk penalaran hukum,
sehingga tepat apa yang dikatakan Sir Alfred Denning. “In order that a trial
should be fair, it is necessary, not only that a correct decision should be reached, but also
that it should be seen to be based on reason; and that can only be seen if the judge
himself states his reason.”127
___________________________
123 Gr. van der Burght & J.D.C. Winkelman, Loc. Cit., hlm. 53.
124 Kaitan hukum dan bahasa, termasuk sastra, juga banyak menyita perhatian ahli hukum. Salah
satunya yang terkemuka adalah James Boyd White. Pemikiran White bahkan telah diteliti khusus
dalam bentuk disertasi di Universitas Erasmus oleh Adriana M.P. Graakeer, De Waarde van het
Woord: Eeen Studie van het Werk van James Boyd White in het Perspectief van Law and Literature
(Arnhem: Sanders Instituut, 1995).
125 Lihat M. Henket, Teori Argumentasi dan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung:
Penerbitan Tidak Berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2003), hlm. 12.
126 Lihat Ibid., hlm. 13–14.
127 William Zelermyer, Legal Reasoning: the Evolutionary Process of Law (Englewood Cliffs: Prentice-
Hall, 1960), hlm. 4.
SHIDARTA — 189
Formulasi putusan dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol
bahasa, yang tentu memiliki keterbatasan. Burght dan Winkelman
menyatakan, sama seperti bentuk pelaporan (rapportage) lainnya, putusan pun
harus disusun berstruktur. Pembagian dan pembahasan butir demi butirnya
harus menghindari konstruksi kalimat yang jelimet.128 Oleh karena itu, pu tusan
hakim menunjukkan keterampilan (skill) dan seni (art) bernalar praktis.
Formulasi putusan dengan demikian terkait erat dengan persoalan-
persoalan bahasa, seperti problematika pemilihan kata (diksi) dan pemaknaan
(semantik) yang telah banyak disoroti para penstudi dan pemerhati hukum.129
Putusan yang baik, yang mempersiapkan diri sebagai bahan diskursus publik,
akan memperhatikan penggunaan terminologi hukum dan pemaknaannya
secara tepat. Penggunaan term yang tidak tepat, misalnya karena ekuivokasi,
amfibolia, dan aksentuasi, dapat membawa kepada kesesatan penalaran para
pengemban hukum yang menggunakan putusan itu sebagai sumber.
Dalam formulasi putusan ini, teknik menguraikan pembuktian (betoog) menjadi
sisi yang paling penting menurut perspektif penalaran hukum. Menurut M.
Henket, suatu uraian pembuktian minimal terdiri dari dua bagian, yaitu titik berdiri
(pendirian, standpunt) dan argumen. Ia selanjutnya membedakan lagi antara titik-
titik berdiri antara (tussenstandpunten) dan titik berdiri akhir (eindstandpunt). Hubungan
argumen-argumen dalam mendukung suatu titik berdiri disebut dengan
argumentasi, sehingga ada pula argumentasi yang dibentuk oleh argumen-argumen
yang diletakkan di depan (vooruitwijzende argumentatie) dan argumen-argumen yang
diletakkan di belakang (terugwijzende argumentatie). Titik berdiri antara biasanya
ditandai dengan kata-kata: “menyimpulkan...,” “jadi...,” atau “oleh karena itu....”
Titik berdiri akhir menggunakan kata-kata: “mengabulkan gugatan...,” atau
“menolak permohonan kasasi....” Sudah dapat diduga bahwa titik berdiri akhir
ini adalah bagian paling menarik bagi masyarakat umum dan para pihak yang
berperkara karena secara langsung mengindikasikan pihak mana yang menang
dan kalah. Sementara bagi penstudi hukum, ketertarikan mereka justru diarahkan
kepada titik-titik berdiri antara beserta argumen-argumennya.130
Argumentasi kebanyakan bersifat majemuk (complexe argumentatie).
Hubungan argumen-argumen yang mendukung titik berdiri ini dibedakan oleh
___________________________
128 Lawrence M. Friedman, Law and Society: An Introduction (New Jersey: Prentice Hall, 1977), hlm.
11–12. Pemaknaan fungsi hukum sebagai tugas hukum dapat dilihat dalam Roscoe Pound,
The Task of Law (Lancaster: Franklin & Marshall College, 1944).
129 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Stuttgart: K.F. Koehler, 1973), hlm. 170–179. Juga Gustav
Radbruch, Einführung in die Rechtswissenschaft (Stuttgart: K.F. Koehler, 1961), hlm. 36.
130 O. Notohamidjojo, Op. Cit., hlm. 35.
190 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Henket dalam tiga bentuk dasar, yang dilihat dari posisi argumen-argumennya
terhadap titik berdiri. Pertama, ada argumen-argumen yang bergantung (dalam
ragaan ditunjukkan oleh Bentuk A). Dalam ragaan tersebut terlihat bahwa
Pernyataan 2 (p2) atau Pernyataan 3 (p3) secara sendiri-sendiri tidak cukup
mendukung titik berdiri Pernyataan 1 (p1). Titik berdiri ini baru eksis jika p2
dan p3 saling melengkapi. Argumen-argumen demikian disebut argumen-
argumen bergantung atau tidak bebas (afhankelijke argumenten). Contoh rumusan
titik berdiri dan argumen-argumennya dapat dilihat pada ragaan. Kedua, ada
argumen-argumen yang bebas (onafhankelijke argumenten) karena masing-masing
pernyataan (argumen) secara terpisah dapat mendukung titik berdiri (lihat
Bentuk B). Ketiga, ada bentuk argumen-argumen yang disusun bertahap
(tapsgewijs). Sebuah argumen berfungsi mendukung sebuah titik berdiri antara,
yang pada gilirannya titik berdiri antara ini juga berfungsi sebagai argumen
untuk mendukung titik berdiri berikutnya (lihat Bentuk C). Sekalipun demikian,
Henket mencatat, bahwa kebanyakan uraian pembuktian dalam formulasi
putusan hakim menampilkan bentuk-bentuk campuran (mengvormen) dari
bentuk-bentuk dasar tersebut (contohnya lihat bentuk D).131
___________________________
131 Untuk pembahasan tentang keadilan, dapat melihat pada tulisan kami: Darji Darmodiharjo &
Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, cet. 4 (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 155–168.
Ragaan III-g: Bentuk-Bentuk Argumentasi
SHIDARTA — 191
3. Aspek Aksiologis
Uraian tentang aspek aksiologis dalam konteks ini berhubungan dengan
tujuan dari aktivitas penalaran hukum. Diyakini bahwa penalaran hukum
tidak dilakukan semata-mata untuk penalaran itu sendiri. Penalaran hukum
memiliki misi tertentu yang dapat dikoheren dengan aspek ontologis dan
epistemologis dari penalaran hukum itu sendiri. William Zelermyer juga
mengingatkan, bahwa dalam penalaran hukum: 132
We are dealing with human beings and not with things. We must reasonable. This means
that the law and its decisions must be supported by reason; they must be the products of
arbitrary action. To be reasonable does not necessarily mean to be logical. Logic can lead
to injustice, hence we must guard against its abusieve use.
Ucapan tersebut memberi konfirmasi tentang aspek aksiologis dari
penalaran hukum. Ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam penalaran
hukum agar penalaran tadi tidak disalahgunakan, sehingga akhirnya justru
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum itu sendiri.
Tujuan hukum sering dirancukan dengan fungsi hukum atau tugas
hukum. Fungsi hukum atau tugas hukum, menurut Lawrence M.
Friedman, meliputi pengendalian sosial (social control), penyelesaian
sengketa (dispute settlement), dan perekayasaan sosial (social engineering).133
Fungsi hukum mengacu pada peranan yang diemban oleh hukum. Ini
berbeda dengan tujuan hukum yang menitikberatkan pada arah yang akan
dicapai dari berfungsinya hukum. Penalaran hukum, terutama yang
dilakukan oleh hakim, lebih berelevansi dengan tujuan hukum daripada
fungsi hukum. Gustav Radbruch secara sederhana membagi tujuan
hukum menjadi tiga, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum
(Rechtssicherheit), dan kemanfaatan (Zweckmäßigkeit).134 Ketiga tujuan hukum
ini masing-masing identik dengan aspek aksiologis yang diangkat dari
pemikiran Idealismeetis, Deontologisetis, dan Teleologismeetis
sebagaimana diuraikan dalam Bab II.
___________________________
132 Artinya, “Legal similarity is a similar reason which governs various cases when compared with each other; for
what avails in one similar case will avail in the other. Of things dissimilar, the reason is dissimilar.” Henry
Campbell Black, Op. Cit., hlm. 1383.
133 Richard de Mulder & Kees van Noortwijk, “More Science than Art: Law in the 21st Century,”
<http://www.law.warwick.ac.uk/confs/97-7.html>, 22 April 2003. Lihat juga Irving Kayton,
“Can Jurimetrics Be of Value to Jurisprudence?” dalam Mark R. MacGuigan, ed., Jurisprudence:
Reading and Cases, ed. 2 (Toronto: University of Toronto Press, 1966), hlm. 634–635.
134 Lihat pengertian pendekatan ini dalam tulisan Paul Burrows & Cento G. Veljanovski, eds., The
Economic Approach to Law ( Lon don : Bu tte rwo rths , 19 81) , hl m. 1 –34 . Ju ga t ent ang law and economics
dalam Andrew Altman, Op. Cit, hlm. 170–198.
192 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Keadilan adalah aspek aksiologis yang paling sulit untuk dijelaskan.
Diskursus tentang keadilan sudah dipersoalkan oleh Ulpianus (sekitar 200
M), dengan melahirkan suatu definisi bahwa keadilan adalah kehendak yang
ajeg untuk memberikan kepada masing-masing menurut bagiannya (Iustitia
est constant et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi). Konsep ini pula yang
kemudian diambil alih oleh Kitab Hukum Justinianus.135 Se lan jutnya muncul
demikian banyak batasan keadilan, mulai dari Aristoteles dalam buku
Nicomachean Ethics-nya sampai pada teori kontemporer ala John Rawls.136
Sekalipun konsep ini terkesan absurd, harus diakui bahwa “keadilan” adalah
term yang paling banyak dilekatkan pada konsep hukum.
Sebagai aspek aksiologis dari hukum, keadilan menempatkan posisi
paling ideal. Keadilan merupakan konsep filsafat, sehingga nafas dari
keberlakuan filosofis (filosofische Geltung) suatu norma hukum adalah ada
tidaknya keadilan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan kepastian hukum,
yang sebenarnya lebih mengacu kepada pendekatan yuridis formal.
Kepastian hukum mengacu pada konsep keberlakuan yuridis (juristische
Geltung) karena memang norma itu telah memenuhi syarat-syarat prosedural
untuk ditetapkan sebagai hukum.
Kepastian hukum hanya mungkin dicapai apabila daya prediktibilitas
penerapannya tinggi. Artinya, setiap subjek hukum harus mempunyai
keyakinan bahwa apabila terjadi suatu kasus berkenaan dengan suatu norma
hukum, maka ia dapat memperkirakan konklusi atau putusan apa yang
bakal diterimanya. Untuk itu, para hakim yang bertugas menjatuhkan
putusan harus benar-benar memperhatikan asas similia similibus (similitudo
legalis eswt casuum diversorum inter se collatorum similis ratio; quod in uno similium
valet, valebit in altero).137
Kemanfaatan adalah aspek aksiologis yang lain dari hukum.
Kemanfaatan berdimensi pragmatis. Teori-teori kemanfaatan (eudaemo-
nistis) kontemporer biasanya mempersepsikan konsep ini dengan nilai-
nilai ekonomis dapat dicapai, tidak lagi sekadar kebahagiaan (happiness) untuk
jumlah masyarakat terbesar. Oleh karena itu, pendekatan yang semula
kualitatif itu pun mulai bergeser kepada pendekatan kuantitatif.
___________________________
135 Richard de Mulder & Kees van Noortwijk, Loc. Cit.
136 Anonim, “Deontic Logic,” <http://mally.stanford.edu/deontic.html>, 30 Juni 2003.
137 Lokakarya internasional tentang logika deontik diadakan rutin tiap 2 tahun. Informasi tentang
lokakarya ini antara lain dapat dilihat dalam anonim, “Fourth International Workshop on
Deontic Logic in Computer Science,” <http://www.cirfid.unibo.it/~deon98/dfp.html>, 30
Juni 2003.
SHIDARTA — 193
Tatkala metode penelitian kuantitatif mencuri perhatian ilmu-ilmu
sosial, khususnya sosiologi dan psikologi, dampaknya juga dirasakan
oleh pengemuka teori-teori eudaemonistis. Sekelompok ahli hukum
mencoba membawa analisis matematis untuk mengkuantifikasi nilai-
nilai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pendekatan
metodologis ini dikenal dengan sebutan jurimetrika (jurimetri). Menurut
De Mulder dan Kees van Noortwijk, “Jurimetrics is concerned with the
empirical study of the law in the widest sense, not only the form but also the
meaning and pragmatic aspects of law.”138
Inti dari pendekatan jurimetrika adalah dengan membuat taksiran-
taksiran kemungkinan (probabilitas), khususnya dengan alat bantu statistik.
Pembentuk undang-undang dapat menggunakan jurimetrika untuk
meramalkan pola perilaku para subjek hukum yang bakal terkena akibat
pembelakuan suatu undang-undang. Artinya, melalui perhitungan
matematis, dapat diduga kemungkinan-kemungkinan penerimaan produk
hukum itu secara sosiologis.
Dewasa inipun terdapat kecenderungan baru menggunakan jurimetrika
untuk mendukung data bagi jasa penasihat hukum (legal advice system), seperti
dianjurkan oleh Deedman, John Zeleznikov, dan Dan Hunter. Mereka yakin,
apa yang akan diputuskan hakim, dapat diprediksi melalui analisis
yurisprudensi. Segi kemanfaatannya pun dapat diukur dengan kalkulasi
biaya. Jurimetrika dalam konteks terakhir ini mendekati suatu studi yang
disebut “the economic approach to law.”139
Istilah jurimetrika (jurimetrics) sendiri diperkenalkan oleh Lee Loevinger,
yang menekankan pada pentingnya metode ilmiah yang diidentifikasikannya
sebagai metode kuantitatif bagi para ahli hukum. Penelitian dengan
pendekatan ini terutama menarik minat para legal realists dari Amer ika Uta ra,
sebagaimana tampak dari publikasi karya mereka dalam Jurimetrics Journal
yang terkemuka. Nama-nama yang sering dikaitkan dengan jurimetrika di
Amerika Serikat adalah Stuart Nagel, Ejan Mackaay, dan Reed Lawlor.
Namun, perkembangan yang signifikan terhadap penggunaan jurimetrika
ini justru terjadi di Belanda, dengan pegiat utamanya antara lain Franken,
De Wildt, De Mulder, Van Noortwijk, Piepers, Combrink-Kuiters, Snijd ers
dan Malsch.140
___________________________
138 Salah satu buku terbarunya: Agency and Deontic Logic (Oxford: Oxford University Press, 2001).
139 Paul Bartha, “Notre Dame Philosophical Reviews 2002.02.01,” <http://ndpr.icaap.org/
content/archives/ 2002/2/bartha-horty.html>, 30 Juni 2003.
140 J.W. H ar ris, Op. Cit., hlm. 133.
194 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
D. MODEL-MODEL PENALARAN HUKUM
Dari uraian tentang aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan
aksiologis di atas, terlihat bahwa penalaran hukum sangat kuat
berpegang pada logika deontik. “Deontic logic is the study of the logical
relationships among propositions that assert that certain actions or states of affairs
are morally obligatory, morally permissible, morally right or morally wrong.”141
Itulah sebabnya, tidak mengherankan jika logika deontik ini terus
menyita perhatian serius kaum teoretisi hukum, di samping juga
terhadap ahli-ahli semantik formal dan ilmuwan komputer (yang terakhir
ini dalam rangka pengembangan artificial intelligence).142 Perkembangan
penelitian logika deontik terakhir, sebagaimana dikemukakan oleh John
F. Ho r ty, 143 membedakan secara tegas antara pernyataan “ought to be”
dan pernyataan “ought to do.” Keduanya tidak lagi identik seperti dulu
disampaikan Ernst Mally. Analisis dalam logika deontik saat ini lebih
ditujukan pada jenis pernyataan kedua.144
Pergulatan antara “ought to be”dan “ought to do” dalam diskursus logika
deontik kurang lebih sama dengan persoalan “what the law ought to be” dan
“what the law is” dalam penalaran hukum. Ada penstudi hukum yang
mengidentik hukum dengan moral, sehingga “what the law ought to be” adalah
“what the law is,” namun ada pula yang membedakannya secara tegas.
Perbedaan prinsip pemikiran seperti itulah yang antara lain melahirkan
model-model penalaran hukum sebagaimana diungkapkan di bawah.
Model penalaran (model of rationality) dalam bidang hukum dapat
diartikan secara sempit atau luas. Model penalaran hukum dalam arti sempit
adalah seperti disampaikan oleh R.A.S. Wasserstrom:145
A model of rationality means a class of reasons which may be cited by an official in order
to justify a legal decision when more than one decision can be given without infringing
legality or constitutionility.... It is not a description of the psychological processes by which
officials reach decisions.
___________________________
141 Andrew Altman, Op. Cit., hlm.3–7.
142 Ilustrasi dengan membuat dua sumbu seperti ini juga dilakukan oleh Satjipto Rahardjo, Op.
Cit., hlm. 17. Juga lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai..., Op. Cit., hlm.
58.
143 Kaitan pemikiran Parsons dengan uraian ini akan dikupas dalam Bab IV.
144 Baca mengenai cara berpikir ini dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar
(Yogyakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2010), hlm. 54-59.
145 Sebagian paparan ini pernah dipublikasikan tersendiri. Lihat Shidarta, “Memahami Model
Penalaran Aliran Hukum Kodrat, “ Jurnal Era Hukum, Edisi No. 2/Th. 13/Januari 2006, hlm.
103-120.
SHIDARTA — 195
Cara memberi batasan model penalaran hukum seperti Wasserstrom di
atas dapat dipahami, mengingat ada sebagian pandangan yang berpendapat
bahwa penalaran hukum hanya mungkin eksis sepanjang berlaku prinsip-
prinsip negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law). Padahal, prinsip negara
hukum sendiri sudah dibatasi demikian terbatas, yang oleh Andrew Altman
diderivasi ke dalam lima poin (the five principles of the rule of law):146
1. Government must operate under the law.
2. Government must regulate society through a system of general and
authoritative rules.
3. The general and authoritative rules should give individuals fair warning:
the rules should be (a) made public; (b) reasonably clear in meaning
and specific in what they prohibit; (c) in force for a reasonable period
of time; (d) applied prospectively; (e) applied impartially; (f) possible
to comply with; and (g) enacted in accordance with preexisting legal
rules.
4. All persons must be given due process, that is, a fair chance to defend
themselves against formal charges that they have violated the rules.
5. The sovereign people ought to establish constitutional government and
abide by its laws.
Padahal, di sudut yang lain terdapat sekelompok eksponen yang
kemudian makin teraksentuasi dengan kemunculan gerakan Posmoder-
nisme dalam hukum yang justru tidak lagi percaya pada jargon-jargon the
rule of law tersebut. Gerakan Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)
adalah contoh dari kelompok penstudi hukum yang mencoba mengem-
bangkan model penalaran sendiri, dengan tidak lagi berkiblat pada prinsip-
prinsip the rule of law.
Oleh karena itu, batasan model penalaran hukum harus lebih fleksibel
dengan juga menampung model-model lain di luar pola penalaran kaum
partisipan (pengemban hukum teoretis). Model-model penalaran hukum
para pengemban hukum praktis harus pula diberi tempat, karena mereka
mampu menawarkan komplemen pola-pola penalaran yang selama ini
dianggap standar oleh penstudi tradisional.
Model-model penalaran dengan demikian, menjadi identik dengan
kerangka orientasi berpikir yuridis sebagaimana ditunjukkan oleh aliran-
aliran filsafat hukum. Sekalipun sejak awal telah ditegaskan tentangnya
banyak varian aliran-aliran filsafat hukum ini, yang sekaligus menunjukkan
tingkat keluasannya, setidaknya tetap dapat dipetakan enam model yang
___________________________
146 Lihat penegasan ini dari W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum..., Op. Cit., hlm. 47.
196 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dikenal secara klasikal. Keenam model yang akan dideskripsikan di bawah
adalah: (1) Aliran Hukum Kodrat; (2) Positivisme Hukum; (3)
Utilitarianisme; (4) Mazhab Sejarah; (5) [American] Sociological
Jurisprudence; dan (6) Realisme Hukum. Latar belakang kemunculan
masing-masing model penalaran sengaja tidak disinggung secara mendalam,
kecuali sekadar mengantarkan pada pemahaman aspek ontologis,
epistemologis, dan aksiologis dari setiap model penalaran tersebut.
Demikian juga, detail dari sub-sub pemikiran yang memberi warna pada
tiap-tiap model penalaran itu, hanya akan diulas sejauh mempunyai relevansi
yang kuat dengan topik penalaran hukum yang menjadi pusat perhatian.
Aspek ontologis terkait dengan pemaknaan hakikat hukum. Masing-
masing aliran menawarkan persepsinya sendiri tentang apa hukum itu.
Hakikat hukum yang ditawarkan dapat dibedakan dalam dua kubu, hakikat
hukum sebagai gagasan (idealisme) dan sebagai kenyataan imanen
(materialisme). Dialektika dari keduanya menunjukkan sinkretisme ontologis
antara idealisme dan materialisme, atau disebut dualisme.
Aspek epistemologis berhubungan dengan langkah-langkah
metodologis yang dilakukan selama proses penalaran hukum. Di sini juga
terdapat dua titik ekstrem yakni intuisi dan empiri.
Ragaan III-h: Pola Penalaran Hukum Beraspek Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis
SHIDARTA — 197
Skema seperempat lingkaran dibentuk dengan menarik dua garis
sumbu, vertikal (y) dan horisontal (x). Garis sumbu y merefleksikan aspek
ontologis berupa idealisme, aspek epistmologis berupa institusionalisme,
dan aspek aksiologis berupa keadilan. Sementara pada sumbu x direfleksikan
aspek ontologis berupa materialisme, aspek epistemologis berupa
empirisme, dan aspek aksiologis berupa kemanfaatan.
Tarik menarik di antara kedua sumbu tersebut menggerakkan
pendulum garis yang ada di tengah. Garis di antara sumbu y dan x tersebut
tidak harus membagi ruang di antara keduanya secara simetris. Posisi garis
antara ini sangat dinamis, mencerminkan resultante dari kekuatan-kekuatan
tertentu dalam sistem hukum dan sistem nonhukum.147 Ada banyak teori
yang menganalisis kekuatan-kekuatan ini, misalnya teori Sibernetika kaum
Parsonian, yang melukiskan adanya arus informasi dan arus energi.148
Garis antara ini menunjukkan aspek ontologis berupa dualisme
(hubungan antara idealisme dan materialisme), aspek epistemologis berupa
rasionalisme, dan aspek aksiologis berupa kepastian hukum. Garis antara
ini mungkin pada satu konteks hukum akan berat ke arah sumbu y, tetapi
pada konteks yang lain dapat berat ke arah sumbu x. Pola gerakan sumbu
z inilah yang secara skematis akan ditunjukkan untuk menjelaskan model-
model penalaran itu. Sumbu z ini sekaligus membagi wilayah gerakan
pendulum ini dalam dua zona, yaitu 45° bagian batas dan 45° bagian bawah.
Boleh jadi ada pandangan yang ingin mempertukarkan antara posisi
sumbu z dan sumbu x. Artinya, sumbu kemanfaatan dipindahkan menjadi
sumbu independen (z) dan sebaliknya, sumbu kepastian dipindahkan menjadi
sumbu dependen (x). Biasanya pandangan demikian berangkat dari perspektif
bahwa hukum adalah alat penyelesaian sengketa. Setiap putusan hakim,
misalnya, diasumsikan dicapai melalui tarik-menarik antara sumbu keadilan
(y) dan kepastian (x). Jadi, setiap putusan hakim selalu memberi kemanfaatan,
dalam arti ia merupakan resultante dari keadilan dan kepastian hukum.
Dalam skema ini, pandangan di atas tidak tepat karena beberapa alasan.
Pertama, skema yang diintroduksi dalam buku ini mengacu pada ketiga
dimensi sekaligus, yaitu dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
Persoalan kepastian dan kemanfaatan lebih mengacu pada aspek aksiologis,
sehingga konseptualisasinya terlalu sempit jika hanya berpijak pada ranah
aksiologis semata. Kedua, tujuan yang melekat pada hukum positif pertama-
tama adalah untuk memberikan kepastian (sesuai rangkaian kata “ponere-
___________________________
147 Visser’t Hooft, Op. Cit., hlm. 45.
148 Andrew Altman, Op. Cit., hlm. 54-58.
198 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
posui-positus” yang berarti meletakkan, sehingga urusan keadilan/kemanfaatan
pun bergantung pada hukum yang telah diletakkan). Andaikan hukum
dimaknai secara sempit sebagai putusan hakim sekalipun, tetap saja yang
dikejar pertama-tama dalam putusan hakim itu adalah kepastian, yaitu
memastikan pihak mana yang lebih dibenarkan menurut hukum atau seperti
apa hukum menetapkan kata akhirnya atas kasus tersebut (beberapa asas
hukum seperti: res judicata pro veritate habetur dan litis finiri oportet, mengingatkan
juga perihal kepastian ini). Ketiga, tujuan kemanfaatan di dalam hukum
berdimensi lebih partikular (kasuistis), praktis-pragmatis, dan berjangka
pendek. Putusan hakim kerap justru tidak ingin terjebak pada pemberian
kemanfaatan yang berskala partikular-kasuistis, yakni demi semata-mata
memuaskan pihak-pihak yang bersengketa di ruang pengadilan. Sebagai
pengemban (fungsionaris) hukum, para hakim tidak boleh terkukung hanya
dengan melihat hukum dalam lingkup kasusnya semata (probleemdenken), tetapi
ia harus merefleksikan hukum itu sebagai sebuah sistem (systeeemdenken).149
Putusan hakim memastikan bahwa jalan keluar yang ditetapkan atas suatu
kasus memang dapat dibenarkan menurut cara berpikir sistemis maupun
problematis. Putusan hakim tentang pengujian material atas suatu peraturan
perundang-undangan (di Indonesia bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
atau Mahkamah Agung), secara gamblang menunjukkan cara pandang
demikian. Hal yang sama juga diperlihatkan putusan–putusan perkara pidana
yang penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum mewakili negara. Jadi,
penegakan hukum positif sudah tepat jika diletakkan pada posisi sumbu z,
yang secara skematis berada di antara dua sumbu lainnya. Dalam posisi ini,
hukum positif berada dalam tataran paling rasional, yaitu sebagai resultante
dari proses tarik-menarik dua “hukum” yang ideal dan faktual. Kepastian
itu membutuhkan rasio karena hanya dengan demikian hukum akan dihargai,
sebagaimana juga dinyatakan di dalam pepatah Latin: lex plus laudatur quando
ratione probatur (the law is the more praised, whne it is approved by reason). Keempat,
pemosisian hukum positif pada sumbu z tersebut juga mempertontonkan
sebuah ironi bahwa nilai kepastian hukum itu memang terus-menerus
membutuhkan pencarian. Kepastian hukum itu justru adalah ketidakpastian
karena hukum memang harus ditemukan maknanya. Ucapan Paul Scholten
yang kerap dikutip, kiranya tepat untuk mengilustrasikan argumentasi ini,
yakni kendati hukum sudah tersedia, ia tetap masih harus ditemukan (Het
recht is er, doch het moet worden gevonden).
___________________________
149 Ibid., 59.
SHIDARTA — 199
1. Aliran Hukum Kodrat
Sekalipun ada varian yang cukup beragam tentang pemaknaan hukum
menurut Aliran Hukum Kodrat, satu hal yang jelas bahwa aliran ini
menempatkan ontologi hukum pada tataran yang sangat abstrak. Hakikat
hukum dalam arti yang sebenarnya dimaknai lebih sebagai asas-asas daripada
norma. Keberadaan hukum positif tetap diakui eksistensinya, namun
hukum positif ini dapat serta merta terancam keberadaannya seandainya
tidak memenuhi persyaratan moralitas yang dibebankan oleh hukum
kodrat.150
Dalam hierarki hukum yang diintroduksi oleh Aquinas, khususnya pada
tataran lex aeterna (eternal law) dan lex naturalis (natural law), tampak sarat
dengan muatan hukum alam (law of nature). Keniscayaan hukum alam ini
berangkat dari dalil-dalil kausalitas. Dalil itu lalu didirikan di atas bangunan
silogisme yang berangkat dari premis-premis self-evident dan suprapositif.
“Semua manusia mencintai kebenaran dan keadilan” adalah salah satu
bentuk premis self-evident yang paling relevan dengan konteks uraian ini.
Kebenaran dan keadilan ini merupakan kerinduan paling dalam manusia
yang terus dicari sepanjang jaman. Aliran Hukum Kodrat tampaknya
memang didesain untuk menjawab kebutuhan ini.151 Ini berarti, hukum
buatan manusia (human law), tanpa terkecuali, harus dimaknai sebagai
pengejawantahan premis self-evident itu. Demikian keras tuntutan itu,
sehingga secara maknawi hukum buatan manusia inipun diberi batasan
ideal sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan juga.
Pemaknaan hukum sebagai asas-asas kebenaran dan keadilan dalam
Aliran Hukum Kodrat disokong oleh paham idealisme. Menurut paham
ini, gagasan kebenaran dan keadilan itu tidak datang dari pengalaman,
melainkan mendahului pengalaman (apriori bukan aposteriori). Gagasan
itu adalah sesuatu yang sangat asasi sekaligus asali inilah yang harus
dipertahankan eksistensinya pada setiap wujud hukum.
Untuk membuktikan adanya kosistensi asasi-asali di antara hukum-
hukum tersebut, digunakan pendekatan melalui penalaran deduktif. Pada
tataran epistemologis, pemikiran Aquinas dapat dikatakan semua berjalan
___________________________
150 Reaktualisasi aliran ini pada Abad ke-20 dipicu antara lain oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia
PBB 1948, Deklarasi Rule of Law (Delhi) 1959, dan pengadilan Nuremberg. Tulisan kelompok
Neo-Kantianisme seperti Stammler dan Del Vecchio, juga kaum Neo-Thomisme sepeti John
Finnis, telah pula memperkaya wacana Aliran Hukum Kodrat pada abad ini.
151 Bukankah ini yang dilakukan oleh, misalnya, Hans Kelsen (Stufentheorie) dan Hans Nawiasky
(Die lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung)?
200 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
menurut penalaran deduktif ini. Secara umum, pola penalaran Positivisme
Hukum¯seperti akan dideskripsikan kemudian dan Aliran Hukum Kodrat,
sepenuhnya bercorak sama. Perbedaannya hanya pada batas tertinggi dari
hierarki hukum tersebut. Pada Positivisme Hukum, wujud hukum tertinggi
sekaligus sebagai sumber hukum tertingginya adalah hukum positif itu
sendiri. Tidak ada tempat bagi hukum bukan buatan manusia (baca:
penguasa) untuk tampil sebagai standar regulatif yang mengikat warga
masyarakat. Pada Aliran Hukum Kodrat, hierarki hukum itu dibuka lebih
jauh ke atas, sehingga “closed logical system” yang mengunci pola penalaran
Positivisme Hukum diberi ruangan lebih luas pada Aliran Hukum Kodrat.
Pola penalaran model Aliran Hukum Kodrat sepenuhnya menunjukkan
kesamaan dengan penalaran moral. Legal reasoning di sini diidentifikasi
sebagai moral reasoning. Seperti dikatakan Visser’t Hooft, suatu kerangka
referensi yang penting dalam penalaran hukum memang terletak pada
analisis atas moral speech, yaitu arti pelaksanaan percakapan rasional pada
bidang penentuan-penentuan titik berdiri moral.152
Jika diasumsikan bahwa hukum adalah asas kebenaran, maka dapat
dimaklumi bahwa satu hal yang paling menarik dari Aliran Hukum Kodrat
ini adalah keasyikannya memfokuskan diri pada pengujian validitas normatif,
khususnya validitas (legitimasi) dari hukum buatan manusia. Hal ini
sebenarnya pada derajat tertentu telah mengurangi nuansa nalar praktis
(praktische rede) yang sesungguhnya melekat pada penalaran hukum. Jawaban
terhadap uji validitas ini pula yang kemudian melahirkan varian-varian baru
dalam Aliran Hukum Kodrat, seperti dari Lon F. Fuller dengan “inner morality
of law” dan Ronald Dworkin dengan “interpretive theory”-nya.
Fuller berpendapat bahwa sistem hukum yang genuine selalu terikat
pada prinsip-prinsip moral tertentu. Ia menyebut prinsip moral ini dengan
istilah “the inner morality of law.” Prinsip hukum inilah yang menjadi prima
facie peletakan kewajiban kepada setiap warganegara untuk menghormati
hukum. Ia mengakui bahwa dalam kenyataannya, tidak semua produk
hukum penguasa (legislasi) konsisten dengan prinsip-prinsip moral itu.
Produk hukum itu jelas tidak baik secara moral, tetapi ia tidak lalu kehilangan
validitasnya seperti diklaim oleh kaum tradisional. Di samping itu Fuller
___________________________
152 Pemikiran bahwa instrumen intuisi lebih tinggi daripada rasio tentu akan ditolak oleh para
penganut rasionalisme. Sebaliknya, penganut intuisionisme yang dipelopori Plotinos (205–
270) dan Henri Bergson (1859–1941) berpendapat intuisi adalah tenaga rohani, suatu kecakapan
yang dapat melepaskan diri dari akal. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran
diri dan dinamis. Lihat Shidarta, Dasar-Dasar Filsafat: Pengantar Mempelajari Filsafat Hukum
(Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara, 1999), hlm. 54–55.
SHIDARTA — 201
juga membuka kemungkinan lain, bahwa suatu produk hukum mungkin
tidak memiliki keabsahan secara “inner morality,” tetapi dapat dibenarkan
demi tujuan-tujuan sosial.153
Dworkin berpendapat lain. Pengemuka Interpretive Theory ini
berkeyakinan, bahwa setiap produk hukum (legislasi) dengan sendirinya
harus dapat diinterpretasi dan diterapkan dengan pendekatan moral.
Baginya, hukum positif harus memiliki integritas moral. Integritas mungkin
tidak menjamin pencapaian keadilan, tetapi integritas tadi akan menjamin
adanya derajat moralitas tertentu (yang cukup) dalam setiap produk hukum,
sehingga terhindarilah legislasi sekadar menjadi produk kekuasaan politik.
Menurutnya, hukum merupakan ungkapan filosofi pemerintahan. Filosofi
ini terdiri dari prinsip-prinsip moral yang menetapkan tujuan-tujuan
fundamental pemerintah dan hubungan pemerintah dengan individu.
Prinsip-prinsip tadi merupakan legitimate bases of legal decisions, yang sekaligus
memedomani penafsiran atas suatu aturan hukum. Untuk itu, Andrew
Altman menyebutkan dua aspek yang terkait dengan hal ini, yang disebutnya
“the idea of fit”:154
First, fit is a matter of logical consistency: any viable candidate for an underlying principle
must be logically consistent with most of the rules. Total consistency is not required, since
it is not to be expected that any set of explicity adopted rules will perfectly express some
underlying philosophy of government. But unless there is a high degree of consistency, it
will not be plausible to think that the rules of a certain legal system are an expression of
the philosophy of government in question.
In addition, a proposed underlying principle must help explain why (most of) the rules
explicitly adopted are good one. This is the second aspect of fit: an underlying principle
must help to justify, or provide a rationale for, the rules. Thus, the two aspects of fit are
logical consistency and the power to help provide a rationale.
Ilustrasi singkat dari pemikiran Fuller dan Dworkin menunjukkan
bahwa persoalan hubungan hukum kodrat dan hukum positif (buatan
manusia) terus menerus menjadi topik aktual.155 Hal ini mengakibatkan
Aliran Hukum Kodrat tidak terlalu rajin membicarakan keterkaitan fakta-
fakta konkret dengan hukum buatan manusia. Fenomena ini dapat
___________________________
153 J.W. Ha rr is , Op. Cit., hlm. 133. Apa yang dimaksud oleh J.W. Harris dengan “trained intuitive
judgeship” ini jelas tidak dapat disamakan dengan intuisi dalam arti sebenarnya karena Realisme
Hukum tetap terikat kepada pola-pola penalaran induktif dengan mengutamakan empiri sebagai
premis-premis putusannya. Oleh karena itu, empirisme lebih tepat untuk menyebutkan aspek
epistemologis Realisme Hukum daripada intuisionisme.
154 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 364.
155 Lihat K. Bertens, Etika, cet. 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 259.
202 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dimaklumi, karena jika ini dilakukan, aliran ini sebenarnya telah memasuki
wilayah yang sejak lama menjadi kepedulian Positivisme Hukum.156 Terlepas
dari berbagai variasi model penalaran Aliran Hukum Kodrat, tidak dapat
disangkal bahwa prinsip-prinsip paling tegas dari aliran ini tetap hanya
mampu diletakkan oleh Aliran Hukum Kodrat dari Aquinas. Ragaan di
bawah merefleksikan cara berpikir aliran yang tradisional tersebut.
Dalam ragaan di bawah terlihat bahwa gerakan tanda panah berada
sekitar garis vertikal (sumbu y) sampai pada garis keseimbangan mutlak
(sumbu z10). Busur panahnya bergerak satu arah (top-down) secara terus
menerus dari sumbu y. Sistem hukum yang dihasilkan menurut pola
penalaran Aliran Hukum Kodrat, dengan sendirinya akan dipenuhi garis-
garis z1, z2, z3, . . . z10) memenuhi zona 45° pertama (bagian atas).
Apabila dikembalikan kepada pemikiran Aquinas, yakni tentang adanya
bagian-bagian dari hukum yang tidak sepenuhnya tertangkap oleh rasio manusia
(eternal law), jelas bahwa rasio bukan andalan dalam memahami standar regulatif
yang diletakkan oleh Aliran Hukum Kodrat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
ada instrumen lain yang cara kerjanya lebih “tinggi” daripada rasio.157
Penempatan intuisionisme sebagai paham epistemologis dari Aliran
Hukum Kodrat ini perlu diberi catatan tersendiri. Satu pertanyaan klasik yang
sering diajukan apakah penalaran itu semata-mata murni menggunakan rasio
atau juga melibatkan intuisi. Mengenai hal ini ada banyak kemungkinan jawaban,
seperti diajukan oleh J.W. Harris. Menurutnya, intuisi sepenuhnya digunakan
pada penalaran jaman kuno (ancient conception of judgeship) ala Nabi Sulaiman.
Rasio adalah dominasi penalaran jaman modern seperti dipraktikkan Positivisme
Hukum, dan pada Realisme Hukum justru berkembang jenis intuisi baru, yang
disebut Harris dengan istilah “trained intuitive judgeship.”158
Intuisi sering diartikan sebagai pemahaman atau pengenalan terhadap
sesuatu secara langsung dan bukan melalui inferensi (penyimpulan).159
Memang benar, bahwa dalam Aliran Hukum Kodrat pun kegiatan inferensial
juga terjadi. Namun, inferensi itu berproses pada derajat hukum yang lebih
rendah, yang terkait dengan hukum buatan manusia. Pada tingkatan hukum
di atas itu, pemahaman tidak dapat sepenuhnya dikuasai oleh rasio, sehingga
kegiatan inferensial (rasional atau empirikal) tidak dapat diandalkan.
___________________________
156 Lihat Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Alumni,
2003), hlm. 50.
157 Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 364–365.
158 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie..., Op. Cit.
159 Departemen Agama RI, Al Quräan dan Terjemahnya (Jakarta: Depag, 1985), hlm. 57.
SHIDARTA — 203
Pola penalaran Aliran Hukum Kodrat adalah intuitif. Hal ini sejalan
dengan karakteristik pemaknaan hukumnya berupa asas-asas kebenaran
dan keadilan yang universal. Aturan-aturan yang dirumuskan dalam hukum
kodrat itu pertama-tama menuntut pencernaan intuitif, bukan rasio. Tatkala
membahas tentang aspek aksiologis yang bernama Idealisme-etis pada Bab
II, hal ini sudah dibicarakan. Pada saat itu sempat disinggung pemikiran
William David Ross yang menyatakan bahwa setiap kewajiban pertama-
tama harus selalu dianggap sebagai kewajiban prima facie (kewajiban
pandangan pertama, atau kewajiban yang sementara berlaku sampai timbul
kewajiban yang lebih penting yang mengalahkannya). Tidak berbohong
adalah kewajiban prima facie, tetapi jika dengan berbohong kita dapat
menyelamatkan jiwa orang lain maka kewajiban untuk tidak berbohong itu
tidak berlaku lagi. Ditambahkannya, setiap manusia mempunyai intuisi
tentang kewajiban-kewajiban yang disebut prima facie itu.160 Paul Scholten
pun melihat peran intuisi pada situasi demikian. Ia mengatakan, kesadaran
kita memiliki kaitan dengan hal-hal yang sangat umum [baca: universal],
seperti tidak merugikan orang lain (neminem laedere), menghormati atau
memberikan apa yang menjadi hak (suum quique tribuere). Reaksi demikian
adalah inutitif, kata Scholten.161
Intuisionisme dalam kajian filsafat mempunyai beberapa tingkatan.
Lorens Bagus menyebutkan dua kriteria intuisi, yaitu intuisi sensibel
(inderawi) dan intuisi intelektual. Menurutnya, intuisi sensibel ditemukan
dalam binatang dan (secara lebih sempurna) pada manusia. Indera mampu
untuk mempersepsikan sesuatu secara langsung dan persepsi itu turut
menyajikan eksistensi individu dalam penampakan-penampakan inderawi.
Banyak konsep yang sebenarnya muncul dari intuisi inderawi ini dan bahkan
dalam perkembangannya lebih jauh, pemikiran manusia pun berakar secara
terus menerus dalam intuisi ini (conversio ad phantasma). Sementara itu, yang
dimaksud dengan intuisi intelektual tidak berhubungan langsung dengan
manusia. Oleh karena itu, hanya roh murni mempunyai intuisi intelektual
sempurna. Contohnya adalah visi di mana Allah memahami diri-Nya sendiri
dan di dalamnya Allah melihat semua eksisensi yang terbatas.162
___________________________
160 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyebutkan lama masa tunggu
(iddah). Pasal 11 ayat (2) dari UU tersebut menyatakan tenggang waktu masa iddah ini diatur
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Mengenai hal ini lihat juga ketentuan dalam Buku
I dari Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991).
161 Lihat Andrew Altman, Op. Cit., hlm. 51–54.
162 Lihat uraian Jonathan H. Turner, “A Cybernetic Model of Legal Development,” Western
Sociological Review, Vol. 5, 1974, hlm. 3–16.
204 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Apabila kriteria tentang intuisi ini hendak diaplikasikan pada model
penalaran Aliran Hukum Kodrat, maka terlihat bahwa pada tingkatan
hukum yang paling tinggi (eternal law) berlangsung sepenuhnya aktivitas
intuisi intelektual, tetapi pada tingkatan hukum yang makin ke bawah,
kegiatan itu digantikan oleh intuisi sensibel.
Pilar ontologis dan epistemologis dari Aliran Hukum Kodrat juga harus
diperkuat dengan pilar ketiga, yaitu aspek aksiologisnya. Terkait dengan
dimensi aksiologis ini, secara klasikal dan simplistis, Gustav Radbruch
menyebutkan tiga macam tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan.163 Ketiganya dapat diibaratkan seperti tripod yang menopang
dan menuntun perjalanan penalaran hukum.
Oleh karena spektrum Aliran Hukum Kodrat ini senantiasa
membebaskan diri dari kekangan faktor kekinian (waktu) dan keterdisinian
(ruang), maka jelas keadilan merupakan tujuan hukum yang diidamkannya.
Keadilan adalah cita-cita paling universal dan abadi. Sekalipun pada tataran
paling konkret nanti akan muncul hukum buatan manusia, tetaplah aspek
aksiologis berupa keadilan ini tidak dapat dilepaskan. Keadilan ini demikian
absolut keberadaannya di dalam hukum, sehingga tidak ada satu pun
ketentuan normatif (buatan manusia) yang dapat menghilangkannya. Jika
ada ketentuan normatif yang tidak sesuai dengan standar regulatif tersebut,
maka norma itu harus disingkirkan, atau setidaknya diragukan kelayakan
dan keabsahannya sebagai hukum.
Model penalaran Aliran Hukum Kodrat tersebut jika diskemakan akan
tampak sebagai berikut:
___________________________
163 H.L.A. Hart, The Concept of Law ( Oxford: Oxford University Press, 1961), hlm. 253.
SHIDARTA — 205
Ragaan III-i: Pola Penalaran Aliran Hukum Kodrat
Uraian tentang pola penalaran dari model Aliran Hukum Kodrat apabila
diilustrasikan lebih konkret dapat diformulasikan dengan contoh sebagai
berikut.
a. Apabila ketentuan-ketentuan dalam kitab suci Al-Qur’an dianggap
merepresentasikan norma self-evident bagi penganut agama Islam
di Indonesia, maka ketentuan kitab suci itu harus dijadikan standar
regulatif bagi setiap penyusunan hukum positif (buatan manusia)
yang secara khusus mengatur pola perilaku penganut agama Islam
di Indonesia. Sebagai contoh, perkawinan, kewarisan, dan
perwakafan adalah area hukum non-netral, yang sangat kuat
mendapat pengaruh hukum Islam. Dalam ilustrasi di bawah
ditunjukkan ketentuan Surah Al-Baqarah: 234 sebagai premis
normatif self-evident ya ng di d alamnya t er muat keten tuan masa iddah
bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
b. Ketika Pemerintah akan merumuskan norma hukum positif
(hukum buatan manusia), maka premis self-evident dari Al-Qur’an
itu dijadikan standar regulasi. Sebagai contoh dari perumusan itu
adalah ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan).
206 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Premis normatif 1 (self-evident):164
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (Al-Qur’an, Al-Baqarah: 234).
Premis normatif 2:165
Waktu tunggu bagi seorang janda ... ditentukan sebagai berikut: (a) apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu diterapkan 130 (seratus
tiga puluh) hari. (b) ... (Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975).
Kedua proposisi majemuk, baik n⊃o maupun p⊃q, adalah proposisi
hipotetik (kondisional), yaitu proposisi yang konsekuensinya digantungkan
pada antesedennya. Variabel o dan q adalah konsekuen, sementara n dan p
adalah anteseden. Dilihat dari distribusinya, batas denotasi term subjek
“wanita beragama Islam...” lebih luas dan universal dibandingkan dengan
term subjek “wanita beragama Islam di Indonesia....” Term “pelanggaran
hukum Islam” (o) dan “pelanggaran hukum negara” (q) menurut Aliran
Hukum Kodrat harus diartikan sama-sama sebagai pelanggaran moralitas.
Contoh di atas memang masih bercorak Aliran Hukum Kodrat
tradisional yang memposisikan wahyu Tuhan sebagai sumber moralitas
untuk menguji validitas hukum buatan manusia. Posisi premis mayor di
atas tidak selalu harus datang dari ajaran kitab suci atau sejenisnya, melainkan
dapat berasal dari nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Posisi berdiri
seperti ini dianut oleh Aliran Hukum Kodrat rasional, sehingga aliran ini
tidak dapat diterima oleh kaum ateis sekalipun.
___________________________
164 J.W. H ar r is, Op. Cit., hlm. 24.
165 Raymond Wacks, Op. Cit., hlm. 47.
166 J.W.Harris., Op. Cit., hlm. 24.
SHIDARTA — 207
Dalam rangka menguji validitas hukum buatan manusia, maka inferensi
langsung dapat dilakukan, yakni dengan mencari relasi antara proposisi n
dan p. Kedua proposisi ini jika diubah menjadi proposisi kategoris, akan
memperlihatkan suatu hubungan yang tunduk pada “bujur sangkar
penalaran” sebagaimana lazim dilakukan dalam penyimpulan langsung.
Proposisi n yang telah diubah menjadi proposisi kategoris itu adalah
universal afirmatif (lambang Boole-nya ditulis dengan huruf A) dan
proposisi p adalah partikular afirmatif (dilambangkan dengan huruf I).
Relasi kedua proposisi ini adalah implikasi (subalternasi). Formulasi
proposisi n dapat juga diubah menjadi universal negatif (dilambangkan
dengan huruf E) dan p diubah menjadi partikular negatif (dilambangkan
huruf O). Benar salahnya kedua proposisi yang diperlawankan, dapat
disimpulkan dalam tabel kebenaran (truth table) sebagai berikut:
Tabe l II I- 4
Kebenaran
Dalam kaca mata Aliran Hukum Kodrat, proposisi n senantiasa bersifat
universal, berarti premis A atau E. Proposisi n juga bersifat self-evident.
Dengan inferensi langsung, berarti hanya memungkinkan ditarik konklusi
jikalau premis A benar atau premis E benar (perhatikan cetak tebal pada
tabel). Implikasinya terhadap dua premis konsekuen (o=q) dapat dilihat
pada tabel.
Dengan dalil implikasi di atas, hukum buatan manusia sebagaimana
dirumuskan oleh premis normatif 2 tervalidasi oleh premis normatif 1.
208 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Jika tidak tervalidasi menurut pandangan Aliran Hukum Kodrat (tradisional)
maka hukum buatan manusia ini gagal menunjukkan keajegan nilai-nilainya
dengan hukum kodrat (dan atau perwujudannya dalam kitab suci).
Akibatnya, hukum buatan manusia (norma positif) itu menjadi tidak sah
(invalid), batal demi hukum (null and void), dan substansi tidak dapat
membebani kewajiban kepada siapapun (no obligation).167
Seperti telah disinggung di muka, dalam keadaan hukum yang masih
bersahaja (ancient conception of judgeship), inferensi langsung juga dilakukan
oleh para penguasa hukum dalam rangka menjatuhkan putusan atas kasus-
kasus konkret. Jonathan H. Turner menyatakan putusan-putusan demikian
diserahkan kepada sang pemimpin yang kharismatik,168 sebagaimana
dicontohkan Nabi Sulaiman tatkala mengadili kasus perebutan bayi.
Dilihat dari faktor keluarga sistem hukum yang menaungi model
penalaran ini, dapat dikatakan Aliran Hukum Kodrat mempunyai pengaruh
yang kuat pada tradisi berpikir common law maupun civil law. Nama-nama
pendukung aliran ini, seperti Grotius (1583–1645), Pufendorf (1632–1694),
Locke (1632–1704), Thomasius (1655–1728), Burlamaqui (1694–1748),
Vattel (1714–1767), dan Immanuel Kant (1724–1804), menunjukkan titik
tolak berangkat dari berbagai keluarga sistem hukum. Aliran ini juga
memberi inspirasi bagi dua revolusi besar di dua keluarga sistem hukum
berbeda, yakni Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Prancis (1789).
Sekalipun demikian, dalam perkembangannya kemudian, harus diakui aliran
ini memang berbasis sangat kuat di kalangan Gereja, dan otoritas hukum
Gereja (Kanonik) sendiri lebih mendapat pengakuan di lingkungan keluarga
sistem common law daripada civil law.
2. Positivisme Hukum
Seiring dengan pengaruh Positivisme yang merambah dunia sains pada
umumnya, maka tidak terkecuali disiplin hukum pun menghadapi badai
serupa. Pengaruh ini pada gilirannya memberi bentuk pada berbagai
keluarga sistem hukum. H.L.A. Hart memberikan penggambaran tentang
istilah Positivisme Hukum tersebut sebagai berikut:169
The expression ‘positivism’ is used in contemporary Anglo-American literature to designate
one or more of the following contentions: (1) that laws are commands of human beings;
___________________________
167 Ibid, hlm. 36.
168 Ibid., hlm. 10.
169 Hans Kelsen, The General Theory of Law and State (New York: Russell & Russell, 1945), hlm.
126–127.
SHIDARTA — 209
(2) that there is no necessary connection between law and morals, or law as it is and law
as it ought to be; (3) that the analysis or study of meanings of legal concepts is an
important study to be distinguished from (though in no way hostile to) historical inquiries,
sociological enquiries, and critical appraisal of law in terms of morals, social aims,
functions, & c; (4) that a legal system is a ‘closed logical system’ in which correct decisions
can be deduced from predetermined legal rules by logical means alone; (5) that moral
judgements cannot be established, as statements of fact can, by rational argument, evidence
or proof (‘non cognitivism in ethics’). Bentham and Austin held the views expressed in
(1), (2), and (3) but not those in (4) and (5); Kelsen holds those expressed in (2), (3), (5)
but not those in (1) and (4). Contention (4) is often ascribed to ‘analytical jurists’ but
apparently without good reason.
In continental literature the expression ‘positivism’ is often used for the general repudiation
of the claim that some principles or rules of human conduct are discoverable by reason
alone….
Positivisme Hukum, dalam definisinya yang paling tradisional tentang
hakikat hukum, memaknainya sebagai norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan demikian
mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme.
Penjelasan mengenai hal ini dapat mengacu pada Teori Hukum Kehendak
(The Will Theory of Law) dari John Austin dan Teori Hukum Murni (The
Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen.
Menurut John Austin, “A positive legal rule is to be equated with the expression
of an act of wishing,” sedangkan “A legal system is to be equated with all the positive
legal rules emanating from the same sovereign will.”170 Dengan demikian, “... the
notion of law as a command of the sovereign. Anything that is not a command is not
law. Only general command counts as law. And only commands emanating from the
sovereign are ‘positive law’.”171
Hukum adalah ungkapan kehendak penguasa. Kehendak ini jelas bukan
sesuatu yang kosong melompong. Hal ini dijelaskan oleh Kelsen, dengan
mengatakan, “A positive legal rule is to be equated with a pure norm, that is, with an
ought or may meaning content,” dan selanjutnya, “A legal system is to be equated
with a collection of pure norms interpreted by legal scientists as non-contradictory field
of meaning such interpretation entailing the logical postulate that legal norms must
___________________________
170 Jika fungsi regulatif dari norma dasar lebih mengarah pada penentuan muatan asas keadilan
pada norma positif, maka fungsi konstitutif menentukan segi formalitasnya atau asas
kebenarannya. Lihat Darji Darmodiharjo & Shidarta, Penjabaran Nilai-Nilai..., Op. Cit., hlm. 101.
171 Bambang Poernomo, “Reaksi Sosial terhadap Norma Imperatif di Bidang Hukum Pidana,”
pidato ilmiah dalam rangka acara pembukaan kuliah Program Pascasarjana Semester I Tahun
Akademik 1992/1993 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1 September 1992, hlm. 5.
210 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
originate in a finite number of sources.”172 Kumpulan norma yang tersusun secara
sistematis itu adalah rumusan yang bermakna, karena ia menjadi sumber
kegiatan penemuan hukum oleh pengemban hukum. Muatan makna (ought
or may meaning content) ini didapat dengan pendekatan idealisme dan
materialisme dan diolah dengan aspek epistemologis rasionalisme.
Pengertian dualisme pendekatan ini dituntaskan oleh Kelsen dengan
mengatakan bahwa unit dari the meaning content itu adalah “norma.”
Selanjutnya, “A norm is the expression of the idea... .that an individual ought to
behave in a certain way.”173
Berbeda dengan Aliran Hukum Kodrat yang sibuk dengan
permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada Positivisme
Hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret.
Masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar
regulasi yang dijadikan acuannya adalah juga norma-norma hukum.
Logikanya, norma hukum hanya mungkin diuji dengan norma hukum pula,
bukan dengan non-norma hukum. Norma positif akan diterima sebagai
doktrin yang aksiomatis, sepanjang ia mengikuti “the rule-systematizing logic
of legal science” yang memuat asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan
nonkontradiksi.174
Jika Aliran Hukum Kodrat memiliki kekuatan argumen pada wacana
validasi (legitimasi) hukum buatan manusia, maka kekuatan argumen
Positivisme Hukum terletak pada aplikasi struktur norma positif itu ke
dalam struktur kasus-kasus konkret. Seandainya skema Aliran Hukum
Kodrat dan Positivisme Hukum digabungkan, segera tampak bahwa kedua
model penalaran itu bersambungan dari sumbu y ke sumbu x, dengan pola
top-down dan doktrinal-deduktif.
Positivisme Hukum sendiri pernah mencoba untuk menjawab
pertanyaan tentang tata cara memvalidasi norma positif itu. Hans Kelsen
relatif berhasil ketika menjelaskan adanya sistem hierarkis dari norma-
___________________________
172 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia juga mencantumkannya pada Pasal 1 ayat
(1). Bunyi lengkapnya, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan
pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, terjemahan Moeljatno, cet. 14 (Jakarta: Bina Aksarana, 1985), hlm. 3.
173 Istilah “policy” memiliki konotasi yang lebih luas pada sistem keluarga common law. Menurut
Roscoe Pound, “In the common law we have been wont to speak of social interests under the name of
‘public policy’. Thus when a great judge was called on to weigh certain claims with reference to the social
interest in the security of political institutions, he said that a ‘great and overshadowing public policy’ forbade
applying to the case one of the most fundamental principles of the law.” Roscoe Pound, “A Sur vey of
Social Interest,” dalam Mark R. MacGuigan, ed., Loc. Cit., hlm. 447.
174 Lihat Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit., hlm. 18–19.
SHIDARTA — 211
norma positif. Masalahnya baru timbul ketika ia sampai kepada puncak
sistem hierarki itu, yang oleh Kelsen diberi nama Grundnorm (n orma dasar).
Norma dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen. Konsep ini
kemudian diambil alih oleh Hans Nawiasky dengan Staatsfundamentalnorm-
nya. Diskursus tentang norma dasar dan norma fundamental negara ini
sesungguhnya telah “menjebak” Kelsen dan Nawiasky kepada “perangkap”
Aliran Hukum Kodrat, sama halnya dengan von Savigny tatkala
mengemukakan Volksgeist sebagai jiwa bangsa yang harus hadir sebagai
pedoman pelembagaan perilaku sosial. Hans Kelsen sesungguhnya
menyadari hal ini dan menolak cara berpikir Savigny. Menurutnya, doktrin
Volksgeist itu telah salah arah dan telah ditinggalkan. Ia menyatakan:175
The most important representative of this school, F.C. von Savigny,* advocated the view
that the law cannot be “made” but exists within and is born with the People since
begotten in a mysterious way by the Volksgeist. He consequently denied any competence to
legislate, and characterized customary observance not as cause of law but as evidence of
its existence. In modern French legal theory the doctrine of the Volksgeist is replaced by
that of “social solidarity” (solidarité sociale). According to Leon Duguit* and his school,
the true, i.e. the “objective,” law (droit objectif) is implied by the social solidarity.
Consequently, any act or fact the result of which is positive law¯be it legislation or
custom¯is not true creation of law but a declaratory statement (constatation) or mere
evidence of the rule of law previously created by social solidarity.
Terlepas dari keberatan Kelsen untuk dipersamakan dengan konsep
Aliran Hukum Kodrat dan Mazhab Sejarah, tetaplah bahwa konsep
Grundnorm yang dikemukakannya memaksa Positivisme Hu kum mem buka
sedikit celah dari kekukuhan argumentasi dan ketertutupan sistem logikanya,
bahwa norma positif itu mempunyai puncak yang berfungsi regulatif dan
konstitutif.176 Sistem hierarki menunjukkan tingkat-tingkat abstraksi norma.
Akibatnya, norma dasar ini berada pada tingkat abstraksi tertinggi, yang
bermain di wilayah perbatasan antara hukum dan moral.
Ketegasan Positivisme Hukum untuk menghilangkan persyaratan
koneksitas antara hukum dan moral membuat ranah aksiologis aliran ini
hanya terbatas pada pencapaian kepastian hukum. Inti dari kepastian hukum
adalah prediktibilitas, yakni kemampuan mempersepsikan “an individual ought
to behave in a certain way.”
___________________________
175 Selo Soemardjan, “Perkembangan Politik sebagai Penggerak Dinamik Pembangunan Ekonomi,”
pidato pengukuhan sebagai guru besar luar biasa pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia,
Jakarta, 30 Maret 1965, hlm. 27–28.
176 Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 563.
212 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Apabila konfigurasi pemikiran Positivisme Hukum itu dituangkan
dalam skema, akan tampak bahwa pola penalarannya tetap top-down satu
arah. Gerakan berawal dari sumbu keseimbangan mutlak (z10) ke arah
sumbu x, sehingga terdapat konfigurasi garis-garis z10, z11, z12, . . . z19. Apabila
pada Aliran Hukum Kodrat garis-garis ini bermain dalam zona 45° bagian
pertama, maka pada Positivisme Hukum garis-garis itu berada dalam zona
45° bagian kedua (bagian bawah).
Aspek aksiologis yang diperjuangkan Positivisme Hukum adalah
kepastian hukum. Dengan mengambil sumber formal hukum berupa
perundang-undangan, diyakini bahwa hal ini dapat diwujudkan. Asas
legalitas merupakan roh dari upaya pengejaran kepastian hukum tersebut.
Asas ini oleh von Feuerbach dirumuskan dalam adigium “No punishment
without law, no punishment without crime, no crime without punishment” (nulla poena
sine lege, nulla poena sine crimine, nullum crimen sine poena).177 Asas inipun demikian
mendominasi, khususnya dalam arena hukum pidana, sehingga dalam
banyak kodifikasi dimuat dalam pasal pertama.178 Itulah sebabnya, larangan
retroaktif dan penerapan analogi sangat ditekankan dalam konsep berpikir
tradisional Positivisme Hukum.
___________________________
177 Hans Kelsen, Op. Cit., hlm. 127.
178 Clarence Morris, ed., Loc. Cit., hlm. 289.
Ragaan III-j: Pola Penalaran Positivisme Hukum
SHIDARTA — 213
Pola penalaran dari Positivisme Hukum dapat diformulasikan dengan
contoh sebagai berikut:
a. Norma positif dalam Pasal 39 jo. Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1)
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, menetapkan suatu struktur
aturan yang dalam contoh ini diasumsikan norma-norma itu telah
tervalidasi (memenuhi asas eksklusi, subsumsi, derogasi, dan
nonkontradiksi).
b. Pada suatu ketika terdapat fakta pernikahan antara janda A dan tuan B,
dengan diawasi dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah bernama C.
Premis normatif:
Waktu tunggu bagi seorang janda ... ditentukan sebagai berikut: (a) apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu diterapkan 130 (seratus
tiga puluh) hari. (b) ... (Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan).
Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang (Pasal
6 ayat [1] PP No. 9 Tahun 1975).
... (b) Pegawai Pencatat Nikah yang melanggar ketentuan yang diatur dalam
Pasal 6, ... Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,-
(tujuh ribu lima ratus rupiah) (Pasal 45 ayat [1] huruf b PP No. 9 Tahun
1975).
Fakta:
Nyonya A seorang janda yang ditinggal mati oleh suaminya pada tanggal 1
Januari 2003 dan ia melangsungkan perkawinan dengan Tuan B pada tanggal
1 Mei 2003. Pegawai Pencatat Nikah bernama C, yang mengawasi dan
mencatat perkawinan tersebut diancam sanksi kurungan.
Jika diperhatikan dalam struktur aturan dalam premis-premis normatif
itu, terlihat satu kebijakan (policy)179 untuk menyatakan bahwa perkawinan
tidak boleh dilakukan pada masa iddah. Sekalipun demikian, konsekuensi
dari berlangsungnya perkawinan dalam masa iddah ini ternyata tidak
mengakibatkan perkawinan itu menjadi batal secara serta merta. Pasal 27
ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 menyatakan:
___________________________
179 Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 563–564.
214 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat
larangan menurut hukum munakahat atau peraturan perundang-undngan
tentang perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat membatalkan
pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak sebagai dimaksud pasal
23 Undang-Undang No. 1 tahun 1974.
Pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) di atas menurut
ketentuan Pasal 23 adalah: (1) para keluarga dalam garis keturunan lurus
ke atas dari suami atau isteri; (2) suami atau isteri; (3) pejabat yang berwenang
hanya selama perkawinan belum diputuskan; (4) pejabat yang ditunjuk untuk
mencegah berlangsungnya perkawinan dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus. Pasal 27 jo Pasal 23 ini harus dimasukkan
pula ke dalam struktur aturan bersama dengan ketentuan lain yang relevan.
Dari pandangan Positivisme Hukum, terlihat dampak dari perbuatan
itu mempunyai akibat yang lebih sempit daripada Aliran Hukum Kodrat.
Pada pandangan Positivisme Hukum, jika mengacu pada kasus di atas,
perkawinan pasangan A dan B yang tidaklah serta merta menjadi batal.
Pembatalan hanya mungkin terjadi apabila ada permohonan dari pihak-
pihak tertentu yang ditetapkan perundang-undangan. Dalam hukum positif,
justru akibatnya lebih ditekankan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Apabila
ia terbukti tidak meneliti dengan saksama syarat-syarat itu, maka Pegawai
Pencatat Nikah inilah yang diancam pemidanaan. Ancaman untuk A dan
B tidak ditetapkan dalam hukum positif, kecuali tentu saja bila terbukti
mereka sengaja memberikan informasi yang keliru.
Apabila struktur kasus tersebut diskematisasi, maka akan muncul
formula sebagai berikut:
Kesimpulan (∴∴
∴∴
∴q) ini adalah titik berdiri (standpunt) yang dibangun
berdasarkan argumen-argumen berbentuk proposisi di atasnya. Jika
meminjam perspektif Hans Kelsen, proposisi p adalah norma primer dan
q adalah norma sekunder. Hubungan kedua norma ini unik, yang sekaligus
menunjukkan keunikan penalaran hukum. Berbeda dengan penalaran dalam
SHIDARTA — 215
ilmu-ilmu eksakta, proposisi majemuk p⊃q tidak didasarkan pada hubungan
kausalitas. Hubungannya adalah pertanggungjawaban perbuatan
(Zurechnung).180 Dalam hukum pidana, dikenal suatu asas penting bahwa
seseorang tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld).
Unsur kesalahan inilah yang harus dibuktikan, sehingga tanpa itu ancaman
yang dirumuskan dalam norma sekunder (q) itu tidak mungkin dimintakan
pertanggungjawabannya kepada Pegawai Pencatat Nikah C tersebut.
Dilihat dari sudut kawasan keluarga sistem hukumnya, Positivisme
Hukum jelas mempunyai akar yang mendalam pada civil law, dengan catatan
bahwa ini tidak berarti bahwa pengaruhnya sama sekali tidak ada dalam
keluarga common law. John Austin (1790–1859), misalnya, sangat dikenal
sebagai pengemuka Positivisme Hukum yang datang dari Inggris. Sekalipun
demikian, dalam sejarah kehidupannya diketahui bahwa pemikiran Austin
sangat dipengaruhi oleh sistem hukum Jerman, tempatnya menuntut ilmu
sebelum ditunjuk sebagai guru besar di Universitas London. Selain itu,
banyak rekomendasi Austin untuk Pemerintah Inggris (dalam rangka
reformasi hukum di sana) yang ditolak dengan alasan tidak sesuai dengan
sistem hukum Inggris.
3. Utilitarianisme
Model penalaran hukum Utilitarianisme pada dasarnya berangkat dari
titik tolak yang sama dengan Positivisme Hukum. Konsep-konsep berpikir
John Austin, misalnya, banyak kesamaannya dengan sahabat dekatnya, yakni
tokoh Utilitarianisme Jeremy Bentham. Positivisme Hukum menjadi
menarik dan berbeda dengan Utilitarianisme, sebenarnya justru berkat andil
Kelsen dengan gerakan pemurnian hukumnya.
Aspek ontologis dari model penalaran Utilitarianisme tidak berbeda.
Apa yang membedakan Utilitarianisme dan Positivisme Hukum adalah pada
gerakan top-down yang kemudian diikuti dengan gerakan bottom-up. Gerakan
bottom-up ini muncul karena norma positif dalam sistem perundang-
undangan itu harus diuji dalam lapangan kenyataan. Pola penalarannya
menunjukkan gerakan pendulum z10, z11, z12, ... z19, baru kemudian z19, z18,
z17, ... z10. Di sini berarti tidak saja dituntut adanya keberlakuan yuridis
(juristische Geltung) atau legitimasi secara yuridis (validity) tetapi juga efektivitas
(efficacy) atau keterimaannya di masyarakat karena memang dianggap
bermanfaat (soziologische Geltung).
___________________________
180 Soetandyo Wignjosoebroto, “Konsep Hukum...,” Op. Cit.
216 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Gerakan top-down dan bottom-up ini tid ak si multan, tetapi berjalan linear.
Setiap peraturan yang menurut pola penalaran Positivisme Hukum adalah
perintah penguasa tersebut, memerlukan waktu untuk kemudian dievaluasi
dan dinilai baik buruknya. Ini berarti, bahwa prinsip efficacy tidak dapat
mempengaruhi prinsip validity. Suatu norma positif tetap absah, terlepas
hasil evaluasinya menunjukkan aturan itu tidak membawa manfaat bagi
sebagian besar masyarakat yang terikat norma tersebut (the greatest happiness
of the greatest number).
Pola penalaran bottom-up ini adalah nondoktrinal-induktif. Dalam proses
pembentukan hukum oleh lembaga legislatif, pola penalaran bottom-up ini
lebih mudah mereka lakukan, bahkan dianggap suatu keharusan agar produk
hukumnya dinilai responsif. Lain halnya, jika hal ini harus dilakukan oleh
seorang hakim pada saat ia melakukan proses penemuan hukum dalam
menghadapi kasus konkret. Melakukan penafsiran sosiologis, misalnya,
sering membuat hakim harus ekstra berhati-hati, khususnya pada sistem
hukum yang Positivisme-sentris. Memberi tempat pada pengaruh
heteronom di luar sistem norma positif, sering dipandang sama dengan
memberi kesempatan pada subjektivitas hakim. Sesuatu yang berbahaya
bagi pencapaian kepastian hukum.
Utilitarianisme dalam konteks ini sebenarnya memberi nilai tambah
pada Positivisme Hukum, namun ironisnya, juga membuat hukum
kehilangan kemurniannya seperti diinginkan Kelsen. Menurut kaca mata
Utilitarianisme, kondisi ini tidak mungkin dihindari karena hukum tidak
lagi bergerak dalam ruang steril dan sistem logika yang tertutup rapat.
Jika model penalaran ini dituangkan dalam putusan hakim, maka
putusan tersebut tidak sekadar mengacu pada kepastian semata, melainkan
juga kemanfaatan bagi pihak-pihak terkait dalam arti luas. Secara teoretis,
kepastian dan kemanfaatan tidak berada pada posisi sederajat. Inilah yang
membedakannya dengan model penalaran hukum ala [American]
Sociological Jurisprudence yang akan dideskripsikan di bawah. Kepastian
hukum menurut Utilitarianisme harus menjadi tujuan primer hukum, baru
kemudian diikuti kemanfaatan sebagai tujuan sekundernya. Sayangnya,
semua konstruksi berpikir ini hanya ada di benak si pengemban hukum
itu, tidak mungkin dapat dibaca secara eksplisit oleh penstudi hukum,
sehingga secara kasatmata oleh pihak eksternal si penalar, model penalaran
Utilitarianisme ini sulit dibedakan dengan [American] Sociological
Jurisprudence.
SHIDARTA — 217
Idealnya, putusan hakim yang telah diberi muatan kemanfaatan ini
adalah masukan bagi para pembentuk hukum di lembaga legislatif.
Utilitarianisme mensyaratkan adanya kerja sama yang baik antara lembaga
peradilan dan lembaga legislatif, antara penerap dan pembentuk hukum.
Setiap kasus yang dibawa ke muka hakim, dengan demikian adalah test-case
terhadap segi efficacy suatu norma positif dalam sistem perundang-
undangan. Sekalipun demikian, bayangan ideal ini menjadi utopia karena
Utilitarianisme kerap kali membuat hakim terjepit di antara dua sisi
aksiologis yang berbeda. Klaim Positivisme Hukum yang masih melekat di
pundak Utilitarianisme membuat hakim harus setia kepada bunyi rumusan
norma positif dalam sistem perundang-undangan. Ini harus dilakukan demi
tujuan kepastian. Di sisi yang berbeda, apabila hakim meyakini ada
ketidakmanfaatan dalam aplikasi rumusan itu untuk kasus yang dihadapinya,
ia juga tidak dapat berbuat banyak karena tujuan kemanfaatan adalah
sekunder baginya. Oleh sebab itu, ruang gerak para hakim yang utilitarian
dibatasi oleh jenis norma positifnya. Pada contoh di bawah terlihat bahwa
hakim hanya dapat menjajaki sisi kemanfaatan ini sepanjang norma
positifnya diformulasikan dengan proposisi disjungtif.
Ragaan III-k: Pola Penalaran Utilitarianisme
218 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Untuk dapat menyelami pola penalaran dari model berpikir
Utilitarianisme ini, dapat diberikan contoh skema sebagai berikut:
Proposisi p⊃q dan p⊃~q dirumuskan secara disjungtif. Formulasi yang
sama dengan itu adalah p⊃(qV~q). Dalam formulasi peraturan perundang-
undangan, indikator dari proposisi disjungtif itu biasanya terletak pada
kata “dapat.” Karakteristik norma demikian menunjukkan adanya
kebolehan (mogen). Proposisi disjungtif ini dapat diletakkan pada norma
primer maupun norma sekundernya. Contoh di atas mengindikasikan
kebolehan pada norma sekunder untuk membatalkan (q) atau tidak
membatalkan perkawinan (~q). Kedua kesimpulan ini menunjukkan titik
berdiri akhir (eindstandpunten) si penalar.
Pilihan untuk membatalkan atau tidak membatalkan tentu didasarkan
terlebih dulu pada ada tidaknya proposisi disjungtif pada rumusan norma
positif dalam sistem perundang-undangan. Jika tidak ada, hakim tidak akan
melakukan pertimbangan kemanfaatan ini. Jika proposisi disjungtif memang
terkandung dalam rumusan normatifnya, barulah pertimbangan
kemanfaatan diletakkan. Terlihat di sini bahwa pertimbangan heteronom
(datang dari undang-undang) harus didahulukan daripada pertimbangan
otonom si hakim. Pada contoh kasus di atas, seandainya proposisi norma
positifnya tidak memberi alternatif lain kecuali harus membatalkan
perkawinan, maka hakim akan melakukannya, sekalipun diyakininya hal
itu tidak memberi manfaat terhadap masyarakat secara umum atau para
pihak.
Sebagaimana dinyatakan di muka, model penalaran Utilitarianisme pada
tahap tertentu, khususnya saat pertimbangan kemanfaatan dimunculkan,
polanya sulit dibedakan dengan Sociological Jurisprudence. Pada proposisi
norma positif yang disjungtif itu, premis nondoktrinal (keyakinan hakim
SHIDARTA — 219
akan fakta empiris)-nya sangat menentukan putusan akhir sang hakim. Jika
premis nondoktrinalnya mendukung atau sejalan dengan kebijakan (policy)
premis normatif, maka putusan hakim akan membatalkan perkawinan.
Sebaliknya, jika ia tidak mendukung premis normatif, hakim dapat
membatalkan atau tidak membatalkannya (peluangnya sama besar).
Karena basis dari Utilitarianisme ini sama dengan Positivisme Hukum,
maka model penalaran ini dapat dianggap sebagai modifikasi dari Legisme,
yaitu bentuk Positivisme Hukum yang paling konservatif. Model penalaran
ini bahkan dapat dianggap sebagai “penyusupan sosiologi” lewat pintu
belakang bangunan Positivisme Hukum. Oleh karena itu tidak heran bahwa
model ini dapat diterima baik di kawasan keluarga sistem common law, maupun
civil law, dengan tokoh pendukung utama seperti Bentham (1748–1832),
Rudolf van Ihering (1818–1892), dan Holmes (1841–1935).
4. Mazhab Sejarah
Pola penalaran yang dikembangkan oleh Mazhab Sejarah pada dasarnya
tidak melewati langkah-langkah yang sistematis. Itulah sebabnya, model
penalarannya sangat alami, bukan sesuatu yang didesain khusus, konsisten
dengan jargon aliran berpikir ini bahwa hukum tidak dibuat melainkan
tumbuh bersama dengan masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est ist und
wird mit dem Volke).
Aspek ontologis dari Mazhab Sejarah menekankan bahwa hukum
adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan. Proses institusionalisasi
dari perilaku sosial ini sangat bergantung pada aspek-aspek seperti
efektivitas menanam, kekuatan menentang dari masyarakat, dan kecepatan
menanam.181
Pola-pola perilaku yang terlembagakan ini mengontrol secara normatif
perilaku individu dan kelompok masyarakat, sesuai dengan asas yang
mengatakan bahwa fakta yang berulang-ulang terjadi akan mengikat secara
normatif (Die normatieve Kraft des Faktischen). Diasumsikan bahwa pola-pola
tersebut telah mengalami pendarahdagingan (internalisasi), sehingga tingkat
efficacy-nya tidak perlu dipersoalkan sama sekali karena sudah hadir dengan
sendirinya.
Lalu bagaimana dengan validity? Aspek ini dilambangkan dari gerakan
dari arah sumbu y ke bawah (top-down). Jiwa rakyat (Volksgeist) itulah yang
___________________________
181 Penjelasan sederhana tentang ajaran imperatif kategoris dari Kant, lihat S.P. Lili Tjahjadi,
Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris (Yogyakarta-Jakarta:
Kanisius-BPK Gunung Mulia, 1991), hlm. 69 et seq.
220 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
menginspirasi gerakan top-down tersebut. Volksgeist ini dipersepsikan ada
secara intuitif, bukan hasil karya rasio. Volksgeist adalah kristalisasi nilai-
nilai yang dibangun melalui proses pengemblengan sejarah. Ia terjadi dengan
sendirinya, tidak didesain sehingga tidak memerlukan lembaga untuk
mendesainnya. Ia lahir secara alamiah melalui kesepakatan-kesepakatan
sosial seperti halnya bahasa tutur manusia.
Oleh karena itu, menjadi patut dipertanyakan di sini apakah Volksgeist
ini muncul secara apriori atau aposteriori. Menurut Hampstead:182
Savigny, however, sought to link a genuine and serious study of the course of development
of Roman law from ancient times up till its existing states as the foundation of the civil
law contemporary Europe, with a belief in the organic nature of law as a product of the
spirit (Volksgeist) of a particular People (or perhaps nation or race for the German word
Volk is characteristically ambiguous). This led him to regard custom as the fundamental
and natural form of law.
Jika Volksgeist adalah produk dari spirit, maka jelas sesungguhnya ia
adalah sesuatu yang ideal dan tatkala harus bertugas menuntun perilaku
sosial, ia dideduksi oleh masyarakat. Khusus dalam konteks ini, Savigny
sendiri tidak menutupi bahwa dirinya terpengaruh pada idealisme Hegel.
Hans Kelsen juga membenarkan bahwa konsep Volksgeist tersebut
berada dalam tataran yang mendekati doktrin hukum kodrat. Namun, karena
pengaruh aspek ontologisnya yang dualistis, Volksgeist ini harus dieja sebagai
karakteristik hukum “yang sebenarnya” yang berada di belakang norma
hukum positif. Menurut Kelsen, “Both the German doctrine of the Volksgeist
and the French doctrine of solidarité sociale are typical variants of the natural-law
doctrine with its characteristic dualism of a “true” law behind the positive law.”183
Bagi Savigny, jiwa bangsa tersebut berproses. Perbedaan ruang dan
waktu membuat proses ini bersifat unik untuk tiap-tiap bangsa. Volksgeist
bangsa Jerman, menurut Savigny, tidak mungkin dapat dipersamakan
dengan Volksgeist bangsa Prancis, seperti yang cenderung akan dilakukan
___________________________
182 Lihat Mohamad Koesnoe, Catatan-Catatan terhadap Hukum Adat Dewasa Ini (Surabaya;
Airlangga University Press, 1979), hlm. 40.
183 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyatakan, “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib meng gali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Penjelasan pasal ini selanjutnya
mengatakan, “Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam
masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang
hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.” Catatan terhadap ketentuan tersebut diberikan pada Bab IV karya tulis ini.
SHIDARTA — 221
Thibaut dengan proyek kodifikasinya.184 Sayangnya, Savigny tidak cukup
konsisten dengan pendiriannya tatkala menganggap resepsi hukum Romawi
ke dalam hukum Jerman pada Abad ke-16 sebagai “the greatest and most
remarkable action of a common customary law in the beginning of the modern age.”
Atas inkonsistensi ini Hampstead bahkan sampai memberi komentar
terhadap Savigny sebagai berikut:185
His explanation of this, however, as having been adopted into the popular consciousness
of the German people is hardly convincing, and is really little more than a legal fiction.
That “to probe the spirit of the German Volk Savigny went straight back to Roman
law” is perhaps the strangest of paradoxes in Savigny’s thought.
Ditinjau dari aspek aksiologisnya, model penalaran Mazhab Sejarah
menggabungkan sekaligus antara kemanfaatan (hasil pola penalaran
nondoktrinal-induktif) dan keadilan (hasil pola penalaran doktrinal-deduktif
atas nilai-nilai yang terinternalisasi). Kedua tujuan hukum dalam aspek
aksiologis ini berada pada tataran yang sama primernya, sehingga
pengupayaannya pun dilakukan secara simultan
___________________________
184 Bandingkan dengan putusan Makamah Agung (5 Maret 1958) yang membatalkan putusan Pengadilan
Negeri Bandung tentang kasus gugatan anak kukut (Nyimas Roekmini) atas hak warisnya sebagai
anak angkat. Mahkamah Agung mengatakan putusan PN yang mengabulkan gugatan Roekmini
adalah tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan yurisprudensi tetap.
185 R. Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1962), hlm. 35–36.
Ragaan III-l: Pola Penalaran Mazhab Sejarah
222 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Gambaran singkat tentang pola penalaran yang digunakan oleh Mazhab
Sejarah adalah seperti skema berikut ini.
Proposisi majemuk r⊃q melambangkan pola penalaran nondoktrinal-
induktif, setelah hakim berhasil membuat struktur fakta (r). Sementara
proposisi s⊃q mencerminkan pola penalaran top-down karena memang
bertitik tolak dari Volksgeist. Sekalipun dalam skema ditulis satu mendahului
yang lain, namun secara teoretis keduanya harus diasumsikan berjalan
bersamaan. Oleh karena itu (rΛs)⊃q dapat juga dinotasikan menjadi
(sΛr)⊃q.
Soetandyo Wignjosoebroto, ketika menjelaskan tentang keterkaitan
pemaknaan hukum sebagai pola perilaku sosial terlembagakan dengan pola
penalarannya, hanya menyinggung pendekatan nondoktrinal-induktif ini
saja.186 Padahal, konsep Volksgeist yang diemban oleh Mazhab Sejarah
sebagai wakil utama dari model penalaran yang memaknai hukum sebagai
perilaku sosial terlembagakan jelas terlalu abstrak untuk dipersepsikan
sebagai pengalaman-pengalaman empiris keseharian. Konsep Volksgeist
bahkan dapat dipersandingkan dengan konsep hukum kodrat dari model
penalaran Aliran Hukum Kodrat. Perbedaan di antara keduanya, tentu saja
ada, yakni pada Aliran Hukum Kodrat skala “hukum ideal” itu berspektrum
universal, sedangkan pada Mazhab Sejarah spektrumnya justru bercorak
plural. Mazhab Sejarah meyakini Volksgeist timbul dari proses alami yang
bersifat kultural. Jadi, ia dipastikan hadir pada setiap masyarakat yang
___________________________
186 S.P. Tjahjadi, Op. Cit., hlm. 71 et seq. Bandingkan juga dengan uraian perbedaan konsep
Grundnorm dari Kelsen dan imperatif kategoris dari Kant dalam tulisan Raymond Wacks, Op.
Cit., hlm. 85–88.
SHIDARTA — 223
memiliki kedalaman budaya. Volksgeist juga mempunyai sifat doktrinal,
namun doktrin yang diembannya tidak hadir dan berlaku atas dasar kekuatan
otoritas politik seperti halnya Positivisme Hukum atau Utilitarianisme.
Dengan meminjam istilah Immanuel Kant, Volksgeist ini dapat dikatakan
sungguh-sungguh bersifat imperatif kategoris dalam skala normatif paling
makro.187
Untuk kondisi Indonesia, kasus-kasus yang terkait dengan model
penalaran Mazhab Sejarah seperti di atas, cenderung hanya bergerak dalam
koridor perkara-perkara adat. Oleh karena itu, hakim yang mengadili kasus-
kasus demikian dituntut untuk menyadari sejak awal tentang adanya pola
penalaran yang khas Mazhab Sejarah, sehingga ia tidak terjebak pada
proposisi yang dibangun dari norma positif dalam sistem perundang-
undangan. Baik proposisi r”q maupun s”q pada contoh di atas, tidak
berangkat dari rumusan norma positif. Ahli hukum adat Indonesia, R.
Soepomo, juga berpendirian bahwa dalam sistem hukum adat (di Indonesia)
tidak dikenal adanya peraturan hukum substantif atau peraturan yang prae-
existent.188 Deng an demiki an hak im yang mengadili ka sus se macam i ni har us
benar-benar kreatif dan rajin menggali sendiri nilai-nilai yang hidup dalam
keseharian perilaku masyarakat sekaligus abstraksi dari nilai-nilai yang
menjiwai pola-pola perilaku itu. Untuk keperluan itu, ia wajib memadukan
dua sudut pendekatan sumbu y ke x dan sumbu x ke y secara simultan.189
Pergerakan garis-garis yang berasal dari kedua sumbu tersebut akan
memunculkan garis keseimbangan baru pada wilayah yang sangat luas dalam
ruang 90°. Garis keseimbangan baru itu sebenarnya adalah “hukum yang
tumbuh bersama dengan masyarakat” seperti diintroduksi oleh Mazhab
Sejarah. Artinya, garis tersebut dapat dipersamakan dengan sumbu z, namun
sumbu z yang tumbuh bukan atas dasar kehendak penguasa sebagaimana
dipersepsikan Positivisme Hukum.
Karena tidak ada norma yang prae-existent, maka Mazhab Sejarah
membebankan tugas tambahan kepada para hakim untuk membuat
proposisi-proposisi seperti di atas. Kesulitan lebih besar terjadi tatkala hakim
___________________________
187 Lihat Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 9–10.
188 Hampstead mencatat bahwa hukum Romawi sebagai induk dari keluarga sistem civil law sejak
awal memang mengutamakan undang-undang dibandingkan dengan hukum adat, walaupun
ada beberapa pranatanya seperti patria potestas menerima hukum adat sebagai dasar hukum.
Lihat Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 572. Patria potestas adalah kekuasaan paternal
(ayah) dalam hukum keluarga.
189 Lihat Mochtar Kusumaatmadja, “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional,” Jurnal Pro Justitia,
Tahun XV, Nomor 1, Januari 1997, hlm. 3–11.
224 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
harus merumuskan proposisi r”q karena ia berangkat dari pola penalaran
nondoktrinal-induktif. Biasanya, hakim menetapkan proposisi ini melalui
riset terhadap putusan-putusan hakim sebelumnya yang mengadili kasus
serupa.190 Hal ini wajar dilakukan, namun dalam wacana teoretis, jika langkah
hakim ini dijadikan satu-satunya cara penetapan proposisi itu, jelas hakim
tersebut sudah tidak lagi berjalan mengikuti pola penalaran yang digunakan
Mazhab Sejarah. Alasannya adalah karena yurisprudensi tetap termasuk
ketentuan norma substantif yang existent, bukan prae-existent seperti
dipersyaratkan Mazhab Sejarah. Yurisprudensi dapat dijadikan referensi,
tetapi tidak boleh sampai memasung kreativitas hakim untuk menyusun
sendiri argumen-argumennya berdasarkan observasi yang dilakukannya
terhadap pola-pola perilaku sosial yang terlembaga.
Asas preseden yang mengikat para hakim di keluarga sistem common
law menjadikan Mazhab Sejarah kurang dapat diterima di kawasan sistem
hukum tersebut. Peluang untuk menerapkan Mazhab Sejarah dimungkinkan
di Indonesia, mengingat asas preseden hanya tampil secara persuasif. R.
Soepomo menyatakan dengan tegas hal ini:191
Hakim adalah terikat kepada sistim hukum yang berlaku, akan tetapi sistim
hukum Indonesia tidak mengenal dasar precedent seperti yang berlaku di
Inggris dan Amerika. Ini berarti, bahwa Indonesia adalah bebas untuk
meninjau secara mendalam, apakah penetapan-penetapan yang diambil pada
waktu yang lampau, masih dapat dan harus dipertahankan berhubung dengan
adanya perobahan-perobahan didalam masyarakat, berhubung dengan adanya
pertumbuhan perasaan-perasaan keadilan baru . . . hakim wajib memberi
putusan dalam rangka sistim Hukum Adat yang hidup didalam daerah
hukumnya hakim tersebut. Dalam sistim hukum yang tidak tertulis, hakim
tidak diharuskan mendasarkan segala putusannya atas peraturan-peraturan
hukum yang positip tetap berlaku. hakim tidak diwajibkan mendasarkan
putusannya atas suatu peraturan hukum yang prae-existent.
Pada uraian di atas telah disinggung tentang ajaran imperatif kategoris-
nya Kant sebagai analog dari konsep Volksgeist-nya Savigny. Secara umum,
imperatif kategoris dipertentangkan dengan imperatif hipotetis. Jika
imperatif hipotetis adalah perintah bersyarat, maka imperatif kategoris
adalah sebaliknya. Dengan imperatif hipotetis, prinsip-prinsip objektif
dipersyaratkan dengan adanya tujuan-tujuan tertentu yang mau dicapai.
Prinsip-prinsip itu dituruti seseorang agar ia dapat mencapai satu tujuan
___________________________
190 Kesan ini terpancar kuat dalam tulisan Roscoe Pound, “Do We Need...,” Loc. Cit.
191 Mark R. MacGuigan, “Sociological Jurisprudence,” dalam Mark R. MacGuigan, ed., Loc. Cit.,
hlm. 368.
SHIDARTA — 225
yang diinginkannya. “Jika mau X, kamu harus melakukan Y.” Suatu aksioma
mengatakan bahwa pola perilaku adalah fungsi dari kepentingan. Dengan
demikian, dalam imperatif kategoris pun sebenarnya ada kepentingan atau
tujuan, tetapi bukan tujuan yang praktis pragmatis. Artinya, imperatif
kategoris pun sebenarnya bukan perintah tanpa tujuan sama sekali,
melainkan perintah kesusilaan yang mutlak, dan semua tindakan yang
diwajibkannya adalah baik dalam arti moral, baik pada dirinya sendiri, bukan
hanya baik sebagai sarana untuk mencapai suatu tujuan atau pemuasan
perasaan.192
Ditinjau dari aspek aksiologisnya, model penalaran Mazhab Sejarah
ini mengadopsi secara bersamaan tujuan kemanfaatan dan keadilan. Pola
perilaku sosial yang bercorak kebiasaan jelas sangat didominasi oleh
pertimbangan-pertimbangan pragmatis atau kemanfaatan. Sebaliknya,
Volksgeist sebagai abstraksi nilai-nilai yang diyakini telah mengalami proses
internalisasi itu, mengejawantahkan tujuan keadilan. Tujuan keadilan ini
diperintahkan oleh kesusilaan yang mutlak.
Model penalaran Mazhab Sejarah jelas sangat kuat bernuansa
sosiologis-antropologis. Titik berpijak model penalaran ini juga bukan lagi
menggunakan landasan berdiri seorang partisipan (medespeler). Ini memakai
gaya bernalar kaum pengamat (toeschouwer). Benar bahwa F.C. von Savigny
(1770-1861) adalah tokoh penting Mazhab Sejarah yang kebetulan berasal
dari kawasan keluarga sistem civil law (Jer man), namun buah pikiran Savig ny
yang mengarah kepada pluralisme hukum dan anti-kodifikasi seperti itu
jelas sudah menjauh dari tradisi berpikir keluarga sistem civil law. Semasa
hidup Savigny, berkembang kebijakan negara yang dititahkan oleh Raja
Prusia, Hendrik Yang Agung (1740–1786) untuk merintis suatu kodifikasi
hukum. Gerakan ini memang mendapat tentangan dari Savigny, tetapi
praktis ia tidak mempunyai banyak pengikut. Ketidakpopuleran pikiran-
pikiran Savigny di kawasan keluarga sistem civil law juga ditunjukkan oleh
pengundangan Code Civil Prancis tahun 1804 dan Allgemeine Burgerliche
Gesetzbuch Austria tahun 1811.
Kurangnya peminat terhadap pola penalaran Mazhab Sejarah juga
dipengaruhi oleh inkonsistensi pandangan Savigny sendiri terhadap konsep
awalnya tentang hukum. Pada awalnya Savigny menyakini hukum tidak
mungkin dipisahkan dari rakyat, sebagaimana halnya dengan bahasa. Hak
dan kewajiban dibentuk dan dihapus oleh tingkah laku simbolis yang
___________________________
192 Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 379.
226 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
sebenarnya merupakan “tata bahasa hukum” pada saat itu. Namun, pada
perkembangannya kemudian Savigny mengakui bahwa jika kehidupan sosial
bertambah kompleks, maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah
dengan menggunakan bahasa yang lebih sempurna. Dalam rangka inilah
diperlukan suatu kelas profesional yang disebut para ahli hukum (yuris).
Mereka berperan aktif untuk membentuk lembaga-lembaga hukum dengan
bersemangatkan prinsip nasionalisme.193 Untuk dapat bekerja dengan baik
tentu lembaga hukum seperti itu harus dilengkapi dengan norma-norma
yang menjadi substansi hukum, yang sangat mungkin tidak ditemukan dalam
khazanah tradisi masyarakat setempat. Artinya, dalam tahap ini Savigny
sudah menerima kemungkinan adanya hukum yang dikreasikan.
Tanpa mengurangi pengakuan bahwa Mazhab Sejarah telah
memperoleh respons positif dari pembela hukum adat di kawasan negara-
negara civil law se ndir i, har uslah diterima kenyataan bahwa model penal ara n
Mazhab Sejarah tetap tidak mampu mencegah semangat unifikasi dan
kodifikasi dalam sistem hukum negara-negara tersebut.194 Kredit khusus
bagi Mazhab Sejarah malahan tidak diperolehnya dari segi ini, tetapi dari
rintisannya dalam studi sosiologis (juga antropologis) terhadap hukum.
Sebagaimana diketahui, sekalipun diawali di negara-negara civil law, studi
sosiologis terhadap hukum justru berdampak besar terhadap hukum di
negara-negara bertradisi common law, antara berkat jasa Sir Henry Sumner
Maine (1822–1888). Acuan terhadap hukum kebiasaan sangat kuat
diterapkan di negara-negara berkeluarga sistem common law. Suatu tradisi
yang berurat-berakar jauh sebelum penaklukan Inggris oleh bangsa
Normandia (tahun 1066) dan tetap mendapat pengakuan formal hingga
sekarang dalam keluarga sistem common law.
5. [American] Sociological Jurisprudence
Sociological Jurisprudence adalah model penalaran yang lahir dalam
sistem hukum Anglo-Amerika. Sekalipun demikian, model penalaran ini
telah banyak dimodifikasi, khususnya tatkala sistem hukum lain mencoba
mengakomodasikannya. Teori Hukum Pembangunan, sebagaimana
dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, termasuk tawaran model
penalaran yang diderivasi dari [American] Sociological Jurisprudence
___________________________
193 H. Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cet. 8 (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001), hlm. 67.
194 H. Lili Rasjidi & Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat an Teori Hukum, cet. 8 (Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm. 66–67. Cf. George W. Paton, A Text-Book of Jurisprudence, ed. 2 (Oxford:
Oxford University Press, 1951), hlm. 20–27.
SHIDARTA — 227
tersebut, disesuaikan dengan kebutuhan sistem hukum nasional
Indonesia.195 Kata “American” dalam uraian ini sengaja disisipkan sekadar
mempertegas bahwa model yang dibicarakan adalah orientasi berpikir
yuridis Sociological Jurisprudence dalam coraknya yang genuine, mengikuti
konsep awal pemikiran Roscoe Pound, yang dikenal sangat bangga dengan
sistem hukum versi Amerika Serikat.196
Kekhasan dari sistem hukum Amerika Serikat pada umumnya, yang berakar
dari keluarga sistem common law, adalah aspek ontologisnya yang mengidentifikasi
hukum sebagai putusan hakim in-concreto. Hukum adalah judge-made-law.
Pola penalaran yang digunakan hakim dalam menyelesaikan kasus-kasus
konkret adalah dengan memadukan dua pendekatan sekaligus secara
bersamaan, yakni pola bottom-up yang nondoktrinal-induktif dan pola top-
down yang doktrinal-deduktif. Cardozo menekankan tugas ini kepada para
hakim, yang menurutnya, “.... under a duty to conform to the accepted standards of
the community, the mores of the times.”197
Roscoe Pound sendiri menekankan kombinasi antara sudut empirisme
di satu sisi dan sudut rasionalisme di sisi lain dengan kata-kata sebagai
berikut:198
[T]he practical process of the legal order does not stop at finding by experience—by trial
and error and judicial inclusion and exclusion—what will serve to adjust conflicting of
overlapping interests. Reason has its part as well as experience. Jurists work out the jural
postulates, the presuppositions as to relations and conduct, of civilized society in the time
and place, and arrive in this way at authoritative starting points for legal reasoning.
Experience is developed by reason on this basis, and reason is tested by experience. Thus
we get a second method, namely, valuing with reference to the jural postulates of civilization
in the time and place.
Bertolak dari kedua arah pendekatan itu, dapatlah dibenarkan
pandangan yang mengatakan bahwa [American] Sociological Jurisprudence
adalah sintesis dari dua aliran filsafat hukum, yaitu Positivisme Hukum
dan Mazhab Sejarah. Ada pandangan, bahwa Positivisme Hukum
merupakan tesis sedangkan Mazhab Sejarah sebagai antitesis.199 Tampak nya ,
kalau melihat kepada sisi ontologisnya bahwa hukum lebih diartikan sebagai
putusan hakim in-concreto, posisi tesis dan antitesis ini lebih tepat jika dibalik.
Lain halnya, jika model penalaran [American] Sociological Jurisprudence
___________________________
195 Mark R. MacGuigan, Loc. Cit., hlm. 447.
196 Ibid., hlm. 369.
197 Lord Lloyd of Hampstead, Op. Cit., hlm. 348.
198 P.S. Atiyah & R.S. Summers, Op. Cit., hlm. 88.
199 Oliver Wendell Holmes, “The Path of the Law,” Harvard Law Review, Vol. 10, 1897, hlm. 460–461.
228 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
ini diadopsi ke dalam keluarga sistem civil law yang meletakkan perundang-
undangan (legislation) pada kedudukan yang lebih utama dibandingkan
putusan hakim.
Model penalaran ini juga dapat diperbandingkan dengan Utilitarianisme.
Perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah pada gerakan linear dan
simultan pada masing-masing pola penalaran. Utilitarianisme mendahulukan
pola top-down baru kemudian diikuti oleh gerakan bottom-up, sementara pada
Sociological Jurisprudence, kedua pola tersebut diasumsikan berlangsung
bersamaan. Pendulum penalaran bergerak dari sumbu z10 ke sumbu x,
membentuk garis-garis z10, z11, z12, ... z19, sedangkan pada saat yang
bersamaan pada arah sebaliknya bergerak pendulum z19, z18, z17, ... z10, sampai
bertemu satu garis keseimbangan baru dalam zona 45° bagian bawah.
Aspek aksiologis dari model penalaran Sociological Jurisprudence
menunjukkan adanya tujuan kemanfaatan dan kepastian hukum. Tujuan
kemanfaatan dicapai dengan pendekatan nondoktrinal-induktif melalui
metode penelaahan fakta-fakta empiris, sedangkan kepastian hukum diperoleh
dengan pendekatan doktrinal-deduktif melalui sumber hukum otoritatif, baik
berupa yurisprudensi yang mempunyai kekuatan mengikat berkat penerapan
asas preseden, maupun dalam bentuk perundang-undangan.
Ragaan III-m: Pola Penalaran [American]
Sociological Jurisprudence
SHIDARTA — 229
Ilustrasi dari model penalaran Sociological Jurisprudence dapat
ditunjukkan dengan contoh kasus sebagai berikut:
Proposisi r adalah struktur fakta yang diidentifikasi dan dikonstatasi
oleh hakim. Struktur fakta (r) ini diekuivalenkan dengan kebiasaan dan
norma positif. Mengingat Sociological Jurisprudence selalu bersikeras untuk
menyelaraskan hukum yang hidup dengan norma-norma positif, maka
pilihan (titik berdiri) untuk tidak membatalkan perkawinan A dan B (4"<“q)
secara rasional tidak akan dilakukan oleh hakim.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa model penalaran ini sebenarnya
menggabungkan dua pendekatan, yakni pendekatan kaum partisipan
(medespeler) dan sekaligus pengamat (toeschouwer) (lihat kembali Ragaan I-d
dan Ragaan III-b). Posisi ini meletakkan satu bagian anggota badan dari si
penstudi berada dalam disiplin hukum dan sistem hukum, namun pada
saat yang sama, sebelah anggota badan lainnya berada di luar disiplin hukum
dan sistem hukum. kata “sociological” di sini mengasosiasikan bahwa
disiplin nonhukum yang dimaksud adalah sosiologi.
Eksponen [American] Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound
(1870–1964), memang tidak membantah keterkaitan kedua disiplin itu,
namun ia tetap melihat ada perbedaan tegas antara Sociological
Jurisprudence dan sosiologi hukum. Sociological Jurisprudence adalah aliran
dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum
dan masyarakat. Pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat.
Sebaliknya, sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari
pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang
ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum tersebut secara
timbal balik. Pendekatan sosiologi hukum bermula dari masyarakat ke
hukum.200
Roscoe Pound menyebutkan beberapa jenis kepentingan (interests) yang
harus dilindungi oleh hukum, yakni kepentingan umum (public), sosial (social),
dan pribadi (individual). Khusus tentang kepentingan sosial dalam keluarga
sistem common law, ia berujar:201
In the common law we have been wont to speak of social interests under the name of
‘public policy.’ Thus when a great judge was called on to weigh certain claims with reference
to the social interest in the security of political institutions, he said that a ‘great and
overshadowing public policy’ forbade applying to the case one of the most fundamental
principles of the law.
___________________________
200 Raymond Wacks, Op. Cit., hlm. 135.
201 Ibid., hlm. 136
230 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Kalimat Pound di atas menunjukkan bahwa sebenarnya tidak hanya
sosiologi yang menjadi disiplin nonhukum yang dekat dengan Sociological
Jurisprudence ini, melainkan juga politik. Bahkan saat ini muncul gerakan
berpikir baru yang diilhami oleh Sociological Jurisprudence tetapi dalam
wujud yang lebih radikal. Martin Shapiro menamakan aliran baru ini sebagai
“Political Jurisprudence.” Ia menulis:202
I believe that . . . a new movement is afoot in legal theory, and I propose to call it political
jurisprudence.
This new movement is essentially an extension of certain elements of sociological jurisprudence
and judicial realism, combined with the substantive knowledge and methodology of political
science. Its foundation is the sociological jurist’s premise that law must be understood not as
an independent organism but an integral part of the social system. Political jurisprudence is
in one sense an attempt to advance sociological jurisprudence by greater specialization.
Semua uraian di atas menegaskan adanya posisi antara yang
menggabungkan seorang partisipan dan pengamat. Dalam kaca mata
[American] Sociological Jurisprudence, gabungan kedua posisi partisipan
dan pengamat itu bahkan terjadi juga pada figur hakim tatkala ia menghadapi
kasus konkret. Jika dianalisis dengan memperhatikan Ragaan I-e dan Ragaan
III-b, penempatan hakim pada posisi ini berarti menjadikan hakim tidak
perlu harus berpegang pada sistem hukum positif lagi. “Risiko” demikian
memang telah diperhitungkan oleh model penalaran ini. Masuknya
pertimbangan-pertimbangan kemanfaatan yang diinduksi dari kepentingan
para pihak (dan juga kepentingan masyarakat) adalah khas pertimbangan
pengamat dan ini merupakan titik tolak yang dikembangkan dalam keluarga
sistem common law. Selain Pound, nama lain seperti Benjamin N. Cardozo
(1870–1938) dan John Dewey (1859–1952) adalah figur-figur yang dikenal
luas dari kawasan common law. Menariknya lagi, di antara pengemuka model
penalaran ini, seperti halnya Cardozo, banyak yang berprofesi sebagai hakim.
Kendati demikian, sumbangan pemikiran tokoh-tokoh pengemuka
Utilitarianisme dari Jerman (kawasan keluarga sistem civil law) seperti Rudolf
van Ihering (1818–1892) juga tidak kecil terhadap [American] Sociological
Jurisprudence, termasuk karya-karya sosiolog Max Weber (1864–1920) dari
Jerman, Eugen Ehrlich (1862–1922) dari Austria, dan Emile Durkheim
(1858–1917) dari Prancis. Namun, tatkala ia diramu oleh Pound menjadi
Sociological Jurisprudence, ia seakan didesain sebagai “American
Jurisprudence” atau setidaknya, “Common Law Jurisprudence.”
___________________________
202 J.W. H ar ris, Legal Philosophies (London: Butterworth & Co., 1980), hlm. 98.
SHIDARTA — 231
Satu hal yang menarik untuk dikomentari pada cara berpikir Sociological
Jurisprudence adalah konsep “law as a tool of social engineering” dari Roscoe
Pound, yang dapat dikatakan cenderung inkonsisten dengan fondasi model
penalaran ini. Seperti pernah dikutip di muka, Pound mengatakan, “The
task of the lawyer is as a ‘social engineer’ formulating a program of action, attempting
to gear individual and social needs to the value of Western democratic society.”203
Pertanyaannya adalah: siapa yang dimaksud dengan “lawyer” di sini? Pound
memang tidak menjelaskan lebih jauh. Namun, jika hukum diartikan sama
dengan putusan hakim in-concreto, harusnya tugas “social engineer” itu
diemban terutama oleh para hakim pula. Padahal, tentang para hakim itu
sendiri, Pound menyatakan:204
[The American judge] conceives of the legal rule as a general guide to the judge, leading
him to the just result, but insists that within wide limits he should be free to deal with the
individual case, so as to meet the demands of justice between the parties and accord with
the general reason of the ordinary man.
Konsep “law as a tool of social engineering” dapat dikatakan merupakan
antonim dari asas “het recht hinkt acther de feiten aan” (hukum berjalan tertatih-
tatih mengikuti kenyataan). Asas yang disebutkan terakhir menempatkan
hukum di belakang kenyataan, sementara pada konsep “law as a tool of social
engineering,” hukum justru berada di depan kenyataan, yang dewasa ini lebih
dikenal dengan predikat “affirmative action.” Ini semua berarti, apabila
hakimlah yang diminta oleh Pound untuk terutama menjadi “social engineer,”
jelas seruan ini tidak efektif. Pound sendiri menginginkan hakim
menjatuhkan putusannya sesuai dengan “...the demands of justice between the
parties and accord with the general reason of the ordinary man.” Ditambah lagi
dengan fanatisme Pound terhadap sistem common law yang dikenal konsisten
menerapkan asas preseden. Jadi, tidak ada yang lebih efektif mengemban
tugas perekayasaan sosial (formulating a program of action), kecuali melalui
jalur undang-undang. Dengan perkataan lain, Pound seharusnya
mengalamatkan tugas ini terutama kepada pembentuk undang-undang,
bukan terutama ke pundak para hakim.
6. Realisme Hukum
Realisme Hukum, apabila dipresentasikan sebagai model penalaran,
dapat dianggap sebagai model yang mengambil posisi paling bertolak
___________________________
203 Lihat Llewellyn, Jurisprudence: Realism in Theory and Practice (Chicago: University of Chicago
Press, 1962), hlm. 3–41.
204 Raymond Wacks, Op. Cit., hlm. 140.
232 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
belakang (paradoksal) dengan Positivisme Hukum. Ketidakpercayaan kaum
realis terhadap norma positif berpuncak pada ketidakpercayaan mereka
pada konsep the rule of law. Oliver Wendell Holmes menegaskan hal ini
dengan menyatakan:205
Take the fundamental question. What constitutes the law? You will find some text
writers telling you that it is something different from what is decided by the courts of
Massachussetts or England, that it is a system of reason, that it is a deduction from
principles of ethics or admitted axioms or what not, which may or may not conincide with
the decisions. But if we take the view of our friend the bad man we shall find that he does
not care two straws for the axioms or deductions, but that he does want to know what the
Massachussetts or English courts are likely to do in fact. I am much of his mind. The
prophecies of what the courts will do in fact, and nothing more pretentious, are what I
mean by law.
Dilihat dari aspek ontologisnya, Realisme Hukum mengartikan hukum
sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial. Pemaknaan
demikian jelas sangat jauh dari nuansa filsafat, tetapi lebih menjurus kepada
kombinasi dari berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi,
antropologi, dan ekonomi. Tidak mengherankan apabila Karl N. Llewellyn
menyebut Realisme Hukum, “... is not a philosophy¯it is a technology.”206
Konsekuensinya, Llewellyn juga menolak mengkategorikan Realisme
Hukum sebagai aliran filsafat hukum. Menurutnya ada sembilan poin dari
Realisme ini, yaitu:207
a. The conception of law in flux, of moving law, and of judicial creation of law.
b. The conception of law as a means to social ends, and not as an end in itself.
c. The conception of society in flux¯faster than law.
d. The temporary divorce of ‘is’ and ‘ought’ for the purpose of study.
e. Distrust of traditional legal rules and concepts as descriptive of what courts or
people actually do.
f. Distrust of the theory that traditional prescriptive rule formulations are the main
factor in producing court decisions.
g. The belief in grouping cases and legal situations into narrower categories.
h. An insistence on evaluating the law in terms of its effects.
i. An insistence on sustained and programmatic attack on the problems of law.
___________________________
205 Theodore M. Benditt, Law as Rule and Principle: Problems of Legal Philosophy (Standford: Standford
University Press, 1978), hlm. 20–21.
206 Bandingkan dengan Gary Saalman Jr., Loc. Cit.
207 Duncan Kennedy, “Legal Education as Training for Hierarchy,” dalam D. Kairys, ed., Politics
of Law (New York: Pantheon, 1982), hlm. 47. Baca juga David Jabbari, “Critical Legal Studies:
A Revolution in Legal Thought?” dalam Zenon Bankowski, ed., Revolutions in Law and Legal
Thought (Aberdeen: Aberdeen University Press, 1991), hlm. 153–165.
SHIDARTA — 233
Lazimnya, Realisme Hukum dibedakan dalam dua versi, yaitu Realisme
Amerika dan Realisme Skandinavia. Perbedaan ini muncul sebagian besar
karena dipengaruhi karakteristik keluarga sistem hukum di antara kedua
kawasan tersebut. J.W. Harris membedakan Realisme Amerika dan
Skandinavia ini sebagai berikut:208
If we are unhappy with the idea that rule are abstract entities, alleged to exist as part of
some legal system, one way of anchoring the law in reality is to equate it with the behaviour
of officials¯that is the approach of extreme American realism. Another way is to identify
the law with psychological occurences¯the sensations produced in people ð”233Áð”s
minds as the result of legal words. The latter is the course taken by a school commonly
called Scandinavian realists.
Realisme Hukum versi Amerika juga dianggap lebih memberi perhatian
pada perilaku (behaviour orientation). Ini sejalan dengan rekomendasi Llewellyn
untuk mengubah orientasi studi hukum ke area kontak atau interaksi antara
“official regulatory behaviour and the behaviour of those affecting or affected by official
regulatory behaviour.”209 Keterangan ini dilanjutkan oleh Raymond Wacks:210
Behaviourism concentrates on the attempt to describe and explain outward manifestations
of mental processes and other phenomena that are not directly observable and measurable.
Thus behavioural psychology is concerned principally with the measurement of legal, and
especially, judicial behaviour. And this is especially evident in the realists’ near-obsession
with ‘prediction’.
Realisme Skandinavia di sisi lain lebih mempersoalkan landasan
metafisis hukum. Jika rekannya di Amerika bersikap rule-sceptics, maka kaum
Realis Skandinavia bersikap methaphysic-sceptics dengan titik berat pada
keseluruhan sistem hukum, bukan sekadar perilaku pengadilan. Dilihat dari
segi-segi ini, Realisme Hukum versi Amerika jelas lebih tepat mewakili
aspek ontologis Realisme Hukum daripada versi Skandinavia.
Aspek epistemologis dari Realisme Hukum adalah fakta konkret secara
mutlak. Demikian berkuasanya struktur fakta ini, sehingga ia tidak lagi
memerlukan struktur aturan apapun untuk memandu cara berpikirnya. Pola
penalaran Realisme semacam ini dapat ditelusuri dari postulatnya bahwa
setiap kasus adalah unik, sehingga tidak mungkin ada norma positif, apalagi
___________________________
208 Teori in i munc ul sebag ai bentu k perjuan gan ka um kulit hi tam at as ketidak adil an hukum ya ng
didasarkan pada politik warna kulit. Teori ini banyak menggunakan narasi (kasus-kasus
diskriminasi) sebagai klaim pembenaran teorinya. Lihat Andrew Altman, Op. Cit., hlm. 238–283.
209 Ada banyak varian gerakan Feminisme ini, seperti liberal, radikal, progresif, dan konservatif.
Di antara keempatnya, liberal feminisme adalah gerakan yang paling keras tuntutannya. Lihat
Ibid., hlm. 202–203.
234 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
berbentuk undang-undang, yang mampu menjadi premis mayor untuk
kemudian dideduksikan kepada struktur kasus tersebut. Oleh karena kasus
konkret sebagai titik fokus mereka, maka unit analisis dari model penalaran
Realisme Hukum senantiasa bersifat mikro.
Jika diilustrasikan dalam ragaan berikut tampak bahwa pendulum yang
menggerakkan penalaran Realisme Hukum berpola bottom-up, sehingga
muncul pola penalaran berupa garis yang bergerak terus menerus dari
sumbu x ke arah sumbu y pada titik keseimbangan mutlak (z10), suatu
gerakan yang paradoksal dengan Positivisme Hukum, namun keduanya
tetap berada pada zona 45° bagian bawah. Pendulumnya bergerak satu
arah z19, z18, z17, ... z10.
Ragaan III-n: Pola Penalaran Realisme Hukum
Mengingat setiap kasus adalah unik menurut Realisme Hukum, dan
struktur fakta dari masing-masing kasus itulah yang menentukan hukumnya,
maka peristiwa perkawinan u, v, dan w pada contoh di bawah adalah
independen. Sekalipun u dan v mempunyai konklusinya sendiri, tidak berarti
hakim ketika mengadili kasus w harus mengikuti salah satu dari kesimpulan
tersebut. Ia terbuka untuk menghasilkan putusan baru (katakan m), versinya
sendiri. Menurut Realisme Hukum, hakim bahkan harus membuat distansi
dengan putusan-putusan terdahulu. Setiap kasus menawarkan pola
penalaran sendiri-sendiri bergantung struktur faktanya. Secara teoretis, dapat
SHIDARTA — 235
dikatakan sebanyak apapun kasus yang muncul, maka pola penalarannya
pun akan sebanyak jumlah kasus tersebut. Bagi kaum Realis, judicial decision-
making is a creative activity.
Dari skema tersebut dapat dipahami bahwa Realisme Hukum
sesungguhnya memberi kebebasan yang sangat besar kepada para hakim.
Asas the binding force of precedent yang melekat pada keluarga sistem common
law telah ditinggalkan. Sungguh menarik untuk membayangkan, bahwa
pada tingkatan ini, independensi yang luar biasa tersebut akhirnya berpotensi
melahirkan kembali tipe-tipe hakim kharismatik ala Nabi Sulaiman, namun
bekerja dengan mengutamakan empirisme sebagai aspek epistemologisnya.
Banyak kalangan menilai, bahwa cara berpikir Realisme Hukum adalah
sangat spekulatif jika ia ingin mengatasi ketidakpercayaannya pada the rule
of law melalui pemberian kebebasan demikian besar pada hakim. Apabila
selama ini diyakini bahwa hakim selalu bertindak berat sebelah karena
senantiasa memihak kaum the have, maka tentu tidak ada jaminan bahwa
independensi yang diberikan kepada para hakim itu lalu akan mengubah
hakim benar-benar bertindak impartial. Theodore M. Benditt bahkan
menilai gagasan penciptaan hukum oleh hakim ini bertentangan dengan
semangat demokrasi, mengingat tugas ini seharusnya berada di tangan wakil-
wakil rakyat, dan para hakim bukan orang-orang yang dipilih langsung oleh
rakyat.211
Sekalipun demikian, pemikiran untuk memberikan independensi yang
besar ini, sangat mungkin tidak demikian saja “rela” dibiarkan oleh penguasa
___________________________
211 Theodore M. Benditt, Law as Rule and Principle: Problems of Legal Philosophy (Standford: Standford
University Press, 1978), hlm. 20–21.
236 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
politik. Contohnya adalah Ajaran Hukum Bebas (Freierechtslehre), yang
berasumsi memberikan kebebasan demikian kepada para hakimnya, persis
seperti ide dasar Realisme Hukum.. Dalam praktik, sebagaimana dilakukan
oleh kaum Nazi Jerman, putusan-putusan pengadilan telah diberi bobot
dan pesan-pesan ideologis. Aspek kemanfaatan yang dikejar dalam
Freierechtslehre, akhirnya menjadi “kemanfaatan” bagi penguasa semata.
Critical Legal Studies (CLS) yang dipengaruhi oleh ide-ide Posmodern
juga mengambil sudut pandang yang sama dengan Realisme Hukum. CLS
bahkan tidak meyakini adanya penalaran hukum sama sekali. Penalaran
hukum tidak ada bedanya dengan permainan politik yang memenangkan
kaum the have.212 Duncan Kennedy bahkan sampai menyatakan:213
Teachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is distinct, as a
method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is
never a “correct legal solution” that is other than the correct ethical or political solution to
that legal problem.
Penalaran CLS pada akhirnya berkorelasi erat dengan cara berpikir
kaum sosialis, dan terori-teori sealiran seperti Critical Race Theory (CRT)214
dan Feminisme.215 dengan mengajak para hakim untuk berpihak kepada
kaum termarginalisasi. Tentu saja, jalan keluar yang ditawarkan ini menjadi
bahan kritik kaum pendukung formalisme hukum. Sebab, gagasan
mendorong hakim untuk berpihak, terhadap kaum termarginal sekalipun,
tidak lain merupakan bentuk pelanggaran serius prinsip imparsialitas hakim.
Menguntungkan secara arbiter salah satu kelompok masyarakat, dengan
sendirinya akan menimbulkan kecemburuan bagi kelompok lainnya. Selain
itu, doktrin keberpihakan ini pada gilirannya juga berakibat memasung
independensi dan kreativitas para hakim.
___________________________
212 Bandingkan dengan Gary Saalman Jr., Loc. Cit.
213 Duncan Kennedy, “Legal Education as Training for Hierarchy,” dalam D. Kairys, ed., Politics
of Law (New York: Pantheon, 1982), hlm. 47. Baca juga David Jabbari, “Critical Legal Studies:
A Revolution in Legal Thought?” dalam Zenon Bankowski, ed., Revolutions in Law and Legal
Thought (Aberdeen: Aberdeen University Press, 1991), hlm. 153–165.
214 Teori ini muncul sebagai bentuk perjuangan kaum kulit hitam atas ketidakadilan hukum yang
didasarkan pada politik warna kulit. Teori ini banyak menggunakan narasi (kasus-kasus
diskriminasi) sebagai klaim pembenaran teorinya. Lihat Andrew Altman, Op. Cit., hlm. 238–
283.
215 Ada banyak varian gerakan Feminisme ini, seperti liberal, radikal, progresif, dan konservatif.
Di antara keempatnya, liberal feminisme adalah gerakan yang paling keras tuntutannya. Lihat
Ibid., hlm. 202–203.
SHIDARTA — 237
A. PENGANTAR
“To speak of the Indonesian language is nonsense, but to speak of Indonesian
law makes quite good sense,” ungkap Cornelis van Vollenhoven sekitar 83 tahun
lalu.1 Ironis sekali, prediksi Vollenhoven ini mungkin sekarang ini harus
dibaca terbalik. Terbukti, Indonesia justru mampu membangun bahasa
nasionalnya sendiri, namun sampai kini belum sanggup menelurkan prestasi
serupa untuk pembangunan sistem hukumnya.
Tatkala Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasi-
kan kemerdekaan negara Indonesia (17 Agustus 1945), pada saat itulah
sebenarnya sistem hukum nasional Indonesia mulai dibangun. Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundangan
Republik Indonesia, mengungkapkan momentum tersebut dengan kata-
kata:2
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia jang dinjatakan oleh Bung Karno dan
Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah
detik pendjebolan tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan
tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia.
BAB IV
PENALARAN HUKUM
DALAM KONTEKS KEINDONESIAAN
___________________________
1Ungkapan ini diterjemahkan oleh Peter J. Burns, The Leiden Legacy: Concepts of Law in Indonesia
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1999), hlm. 5 mengutip Vollenhoven, Verspreide Geschriften I
(Haarleem-‘s Gravenhage: Tjeenk Willink & Zoon-Martinus Nijhoff, 1934), hlm. 52. Tulisan
Vollenhoven ini adalah cetakan ulang atas karyanya yang pertama kali muncul tahun 1920,
yakni delapan tahun sebelum Sumpah Pemuda berhasil mencetuskan tekad adanya satu bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.
2Ketetapan ini telah dicabut dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Ketetapan baru ini sama sekali
tidak memuat kerangka berpikir filosofis tentang sistem hukum Indonesia, termasuk tidak
menyinggung kapan kelahiran tertib hukum Indonesia itu.
238 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Secara filosofis dan yuridis mungkin tidak terdapat keraguan tentang
keberadaan sistem hukum Indonesia itu, namun tetap menjadi pertanyaan
besar hingga sekarang tentang karakteristik sistem hukum yang benar-benar
representatif untuk diberi predikat sebagai sistem hukum nasional
Indonesia. Sebagai bukti dapat ditunjukkan jumlah sekitar 400 produk
hukum era kolonial Belanda yang tetap eksis sampai sekarang. Demikian
pula dengan fenomena pluralisme dalam lapangan hukum perdata, termasuk
implikasi atas berlakunya Pasal 131 Indische Staatsregeling (pengganti Pasal
75 Regeringsreglement), yang pengaruhnya sangat mendalam dalam praktik
hukum di Indonesia, dan ternyata masih diajarkan sebagai materi hukum
yang hidup (living law) dalam kurikulum perguruan tinggi hukum sampai
saat ini.3
Oleh karena itu, untuk membicarakan penalaran hukum dalam konteks
keindonesiaan ini, sistem hukum Indonesia itu sendiri harus dipetakan
terlebih dulu, untuk kemudian diposisikan sebagai suatu sudut pandang
dalam menelaah model penalaran hukum yang diterapkan di Indonesia
dewasa ini. Dari kaca mata lebih mikro, sudut pandang tersebut diperkaya
dengan melihat penerapan penalaran hukum menurut perspektif para
penemu hukum di pengadilan (baca: hakim). Uraian tentang organisasi
pengemban hukum praktis di Indonesia ditempatkan sebagai pokok
bahasan sudut pandang yang kedua. Penalaran hukum dalam konteks
keindonesiaan pun mempunyai dimensi tertentu berupa aspek-aspek
ontologis, epstemologis, dan aksiologisnya. Untuk mempermudah
pemahaman aspek-aspek ini, sengaja digunakan satu kasus sebagai objek
penggambaran.
Penalaran hukum dari penemu hukum (baca: hakim) atas kasus tertentu
yang beraspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis tersebut ditunjukkan
dalam dua putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, sekadar sebagai
contoh uraian. Dua putusan MA ini adalah putusan kasasi perdata Nomor
2263-K/Pdt./1991 dan putusan perkara peninjauan kembali perdata
Nomor 650-PK/Pdt/1994. Keduanya menyangkut perkara gugatan 34
orang Warga Kedungpring terhadap Negara (Pemerintah) Republik
Indonesia sehubungan dengan ganti rugi atas tanah mereka untuk keperluan
___________________________
3Materi ini biasanya dimasukkan dalam silabus perkuliahan, antara lain untuk mata kuliah Hukum
Antargolongan dan Asas-Asas Hukum Perdata. Lihat beberapa buku teks untuk kedua mata
kuliah ini seperti Sudargo Gautama, Hukum Antargolongan: Suatu Pengantar, cet. 9 (Jakarta:
Ichtiar Baru-van Hoeve, 1989), hlm. 72 et seq. Juga R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
cet. 19 (Jakarta: Intermasa, 1984), hlm. 10–14.
SHIDARTA — 239
proyek pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah. Dimensi
penalaran para hakim ini dikaitkan dengan sejumlah peraturan perundang-
undangan yang relevan, dan ketentuan yang disinggung-singgung dalam
kedua putusan itu. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain Pasal
178 Herziene Indonesisch Reglement (HIR), Keputusan Presiden No. 55 Tahun
1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun
1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan
Tanah.
Kata kunci “pembangunan” yang digunakan dalam kasus Waduk
Kedung Ombo ini bertambah menarik karena digunakan untuk menamakan
Teori Hukum Pembangunan yang diintroduksi oleh Mochtar Kusuma-
atmadja. Teori ini diakui sendiri oleh Mochtar telah diterima secara luas dalam
arti telah menjadi bagian dari konsep pembangunan sistem hukum Indonesia
setelah dicantumkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1973
dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) II. Model penalaran
ini merupakan pokok bahasan berikutnya dari bab ini.
B. SUDUT PANDANG
Jika dalam Bab III dikemukakan sudut pandang dari keluarga sistem
hukum (parent legal system; major legal systems; legal family; famille juridique), maka
dalam bab ini pertama-tama akan disinggung tentang sudut pandang dari
sistem hukum Indonesia. Pada uraian tentang keluarga sistem hukum
tersebut telah dinyatakan kedekatan sistem hukum Indonesia dengan
keluarga sistem civil law, khususnya karena secara historis ia mendapat
pengaruh mendalam dari sistem hukum yang diperkenalkan penguasa
kolonial Belanda. Keluarga sistem civil law itu dikatakan akan meletakkan
dasar bagi pola perkembangan (pembangunan) selanjutnya dari sistem
hukum nasional Indonesia (the vision of Indonesian legal system). Keluarga sistem
civil law-pun dalam derajat yang tinggi akan membentuk karakteristik tertentu
dari pengembanan hukum (rechtsbeoefening) dalam sistem hukum Indonesia
itu, baik pengembanan hukum teoretis maupun praktis.
Sudut pandang kedua dilihat dari posisi para penstudi hukum di
Indonesia. Ruang lingkup penstudi hukum dalam hal ini adalah lebih luas
daripada pengemban hukum. Ragaan I-d telah menunjukkan posisi masing-
masing figur yang dimaksud. Uraian di bawah ini bertujuan untuk
membentangkan kedudukan dan peranan para penstudi hukum tadi dalam
membentuk karakteristik penalaran hukum berkonteks keindonesiaan.
240 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
1. Sistem Hukum Indonesia
Sekalipun secara umum diterima adanya kedekatan keluarga sistem
civil law dengan sistem hukum nasional Indonesia, karakteristik sistem
hukum Indonesia itu sendiri masih menimbulkan silang pendapat,
khususnya jika dikaitkan dengan keberadaan subsistem hukum yang
menopangnya, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat.
Pengertian subsistem hukum Barat ini biasanya diartikan sebagai subsistem
hukum peninggalan era kolonial Belanda yang oleh sebagian ahli hukum
ditafsirkan masih berlaku melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 (dengan Perubahan UUD 1945, rumusan
Pasal II di atas secara substantif dialihkan menjadi rumusan Pasal I Aturan
Peralihan). Padahal, pengaruh sistem hukum dari luar Indonesia (khususnya
Barat) tidak terbatas hanya pada produk-produk hukum lama eks kolonial
Belanda, melainkan juga melalui adopsi terhadap hukum-hukum asing dari
keluarga sistem common law. Semua ini menambah kompleksitas penetapan
karakteristik sistem hukum Indonesia tersebut.
Kompleksitas demikian tidak mungkin dapat dipahami tanpa dilakukan
penelusuran akar historisnya. Uraian di bawah ini tidak berpretensi
mengungkapkan secara detail runtutan sejarah perkembangan sistem
hukum Indonesia tersebut.4 Uraian ini lebih difokuskan sebagai pengantar
dan pendukung materi analisis Bab V. Mengingat penalaran hukum dalam
karya tulis ini diartikan sebagai “kegiatan berpikir problematis tersistematisasi
dari subjek hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan sosial di dalam lingkaran
kebudayaannya,”5 maka kupasan tentang sistem hukum Indonesia pun lebih
menekankan segi-segi lingkaran budaya itu dalam pembentukan sistem
hukum nasional Indonesia. Uraian ini terutama berguna untuk menjelaskan
ranah hukum netral dan nonnetral untuk keperluan introduksi suatu model
penalaran hukum yang sesuai dengan konteks keindonesiaan dewasa ini.
___________________________
4Penelitian tentang sejarah sistem hukum di Indonesia di berbagai lapangan hukum telah banyak
dilakukan penulis-penulis asing seperti Andre de la Porte, Carpentier Alting, B. ter Haar Bzn,
F. C. H e k m ey e r, Ko l l ew i j n, L o g e ma n n , a ta u [ b a hk a n ] Jo h n B a ll d a n D a ni e l S . Le v. U n t uk t u l i sa n -
tulisan dari ahli hukum Indonesia sendiri dapat disebutkan antara lain: R. Soepomo, Sistem
Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II, cet. 13 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988); R. Soepomo,
Sejarah Politik Hukum Adat (Jilid 1): dari Zaman Kompeni sehingga Tahun 1848, cet. 2 (Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982); R. Soepomo & R. Djokosutono, Sedjarah Politik Hukum Adat (Djilid
II): Masa 1848– 1928 (Dj aka rta : Dj amb atan , 19 54) ; da n So eta ndy o Wi gnj oso ebr oto, Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (J aka rt a:
Raja Grafindo Persada, 1994).
5Lihat penjelasan batasan ini pada uraian sebelumnya di subbab “Pengantar” Bab III, yang
berhubungan erat dengan aspek ontologis dari penalaran (Subbab C Bab II) dan mewarnai
keseluruhan isi Bab III.
SHIDARTA — 241
Sebelum sampai kepada uraian tentang karakteristik sistem hukum
Indonesia, pertama-tama perlu dibentangkan keterkaitan antara budaya dan
hukum sebagai suatu hubungan sibernetis. Satjipto Rahardjo, dengan
mengambil dasar-dasar pemikiran Talcott Parsons, berjasa memberikan
deskripsi sederhana tentang hubungan ini seperti terlihat pada ragaan
berikut:6
___________________________
6Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antardisiplin dalam Pembinaan Hukum
Nasional (Bandung: Sinar Baru, 1985), hlm. 21–23. Nurcholish Madjid juga menyebutkan
hubungan lima unsur kekuatan dalam pemerintahan negara, yakni sama seperti Ragaan IV-a,
tetapi ditambah dengan unsur “teknologi” setelah ekonomi. Arus dari atas disebutnya controlling,
sementara arus dari bawah dinamakan conditioning. Lihat Dharnoto & Muhamad Sulhi,
“Nurcholish Madjid dan Simbol Harapan,” Majalah Intisari, Oktober 2003, hlm. 55–56.
Ragaan IV-a: Hubungan Sibernetis Sistem Hukum dengan
Sistem Lainnya
Ragaan IV-a menunjukkan adanya dua dunia, yakni dunia fisik organis
dan dunia kebenaran jati (ultimate reality). Sistem budaya adalah tatanan
yang paling dekat dan kaya dengan kebenaran jati, yakni nilai-nilai kebenaran
dan keadilan. Pada sudut ekstrem sebaliknya, terdapat sistem ekonomi,
yaitu tatanan yang paling dekat dan kaya dengan energi (dunia fisik organis).
242 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sistem budaya akan mengalirkan arus informasi (nilai-nilai) itu kepada
sistem sosial (termasuk di dalamnya sistem hukum), sehingga norma-norma
yang dirumuskan oleh hukum sesungguhnya mengambil nilai-nilai yang
disuplai oleh budaya. Dari konteks ini, hukum adalah produk budaya.
Selanjutnya nilai-nilai ini dialirkan oleh sistem hukum kepada sistem politik,
sehingga prosedur kerja sistem politik dapat dijalankan dengan baik
menurut mekanisme yang ditata oleh hukum. Sistem politik kemudian akan
mengalirkan nilai-nilai tadi kepada sistem ekonomi, sehingga sistem
ekonomi dapat berjalan menurut kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
penguasa politik. Di bawah sistem ekonomi pada ragaan di atas
sesungguhnya masih dapat ditambahkan satu sistem lain yang tidak sempat
disinggung oleh Parsons, yakni sistem teknologi.
Sistem ekonomi adalah tatanan yang kaya energi, tetapi miskin nilai-
nilai. Sistem ini mengalirkan arus energinya kepada sistem politik, sehingga
sistem politik mempunyai kemampuan untuk menetapkan dan
merealisasikan tujuan-tujuan (goals) kekuasaannya. Energi dari sistem politik
ini disalurkan kepada sistem hukum, antara lain guna memfungsikan hukum
sebagai instrumen social order. Sistem hukumpun memanfaatkan energi tadi
untuk juga mempengaruhi sistem budaya, sehingga nilai-nilai budaya pun
dapat diubah melalui fungsi hukum sebagai social engeneering.
Jadi, dari pola hubungan sibernetis di atas terlihat bahwa sistem hukum
di Indonesia dari sudut arus informasi (nilai-nilai) merupakan produk sistem
budayanya. Sementara, dari sudut arus energi adalah produk sistem politik.
Perjalanan sistem hukum di Indonesia, baik dari unsur substansi hukum,
struktur hukum, maupun budaya hukum, adalah hasil “kompromi” dari
desakan-desakan arus nilai dan arus energi tersebut.
Arus nilai-nilai yang bergerak dari sistem budaya ke sistem-sistem
berikutnya itu mengejawantah menjadi nilai-nilai tertentu yang hidup dalam
sistem-sistem tadi. Ditinjau dari sudut nilai-nilai ini, menurut Sutan Takdir
Alisjahbana, suatu sistem budaya (termasuk kebudayaan Indonesia)
membawa:7
a. nilai teori (NT);
b. nilai ekonomi (NE);
c. nilai agama (kekudusan) (NA);
d. nilai seni (NSn);
___________________________
7 Sutan Takdir Alisjahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, cet. 3 (Jakarta:
Dian Rakyat, 1982), hlm. 13-15.
SHIDARTA — 243
e. nilai kuasa (NK);
f. nilai solidaritas (NS).
Nilai teori atau nilai ilmu adalah nilai yang menentukan dengan objektif
identitas benda-benda dan kejadian-kejadian alam sekitar kita guna
mendapatkan pengetahuan. Nilai ekonomi adalah nilai yang menentukan
pemakaian atau penggunaan benda-benda dan kejadian-kejadian di alam
ini guna berlangsung secara efisien untuk sebesar-besar kepentingan
manusia. Kombinasi antara nilai teori dan nilai ekonomi, menurut
Alisjahbana, sangat menentukan kemajuan suatu masyarakat. Inilah aspek
progresif dari kebudayaan itu. Jika dalam proses penilaian terhadap alam
ini dihadapi dengan penuh kekaguman terhadap kebesaran alam semesta,
maka muncul nilai agama atau nilai kekudusan itu. Apabila penilaian
terhadap alam itu dituangkan dalam wujud ekspresi rasa keindahannya,
maka lahir nilai seni. Kombinasi antara nilai agama dan nilai seni merupakan
aspek ekspresif dari kebudayaan. Dalam berhubungan dengan sesama
manusia, muncul dua bentuk nilai, yang disebut nilai kuasa dan nilai
solidaritas. Nilai kuasa dilandasi pada otoritas untuk menundukkan orang
lain. Sementara nilai solidaritas bersifat menghargai manusia lain dengan
hubungan cinta, persahabatan, dan simpati.8
Uraian nilai-nilai yang diberikan oleh Alisjahbana di atas berguna untuk
memperjelas unsur-unsur dalam sistem hukum Indonesia. Sebagaimana
disinggung di muka, kompleksitas sistem hukum Indonesia ini dibentuk
oleh perjalanan sejarah, sehingga melahirkan subsistem hukum adat, Islam,
dan Barat seperti kondisi sekarang. Alisjahbana melihat adanya lapisan-
lapisan kebudayaan di Indonesia yang hadir secara kronologis. Lapisan-
lapisan ini relevan untuk menjelaskan karakteristik subsistem hukum yang
ada dalam sistem hukum Indonesia itu.
Menurut Alisjahbana, pertama kali kebudayaan yang muncul adalah
kebudayaan Indonesia asli. Hukum sebagai produk kebudayaan Indonesia
asli ini adalah hukum-hukum adat. Kebudayaan Indonesia asli berlangsung
sebelum kedatangan kebudayaan India. Selanjutnya, kita memasuki masa
pengaruh kebudayaan India (Hindu). Selanjutnya, pada Abad ke-13 sampai
dengan 14, masuk pengaruh Islam. Sejak saat itu, hukum Islam berkembang
dan memperkaya sistem hukum yang ada di Indonesia. Baru pada Abad
ke-17, kemudian masuk kebudayaan modern (Eropa-Amerika) yang
bermula di Eropa Barat dengan jaman Renaissance-nya. Akhirnya, pada
___________________________
8Ibid.
244 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kondisi sekarang ini, menurut Takdir Alisjahbana, Indonesia mengalami
suatu masa kebudayaan, yang disebut kebudayaan bhinneka tunggal ika.
Dengan demikian terdapat lima bentuk kebudayaan yang berlangsung secara
kronologis, yaitu:9
a. kebudayaan Indonesia asli;
b. kebudayaan Hindu (India);
c. kebudayaan Islam;
d. kebudayaan Barat (modern);
e. kebudayaan bhinneka tunggal ika.
Untuk menganalisis masing-masing periode tersebut, lalu digunakannya
suatu kerangka konsep yang secara skematis membentangkan enam buah nilai
yang disebutkan di atas. Dari lima bentuk kebudayaan yang disebutkan di atas,
hanya empat kebudayaan pertama yang digambarkan skemanya oleh
Alisjahbana. Khusus untuk kebudayaan Barat (modern), Alisjahbana
membedakannya menjadi kebudayaan Barat yang demokratis dan totaliter.
Kebudayaan bhinneka tunggal ika tidak diilustrasikannya sama sekali, sekalipun
ia seperti berkecenderungan untuk memilih skema kebudayaan Islam dipadukan
dengan kebudayaan modern.10 Tabel IV-1 di bawah menunjukkan konfigurasi
dari berbagai bentuk kebudayaan itu dilihat dari segi nilai-nilai.
Tabel IV-1
Perbandingan Empat Kebudayaan yang Hidup di Indonesia
___________________________
9Ibid., hlm. 7 et seq.
10 Ia menulis, “Kalau kita lihat dan bandingkan berbagai-bagai kebudayaan expresif, yaitu
kebudayaan yang dikuasai oleh intuisi, perasaan dan fantasi agama dan seni, mungkin kebudayaan
Islam yang dianut oleh sebagian terbesar dari rakyat Indonesia dan yang kuat nilai agama
maupun nilai ilmu dan ekonominya, seolah-olah teruntuk buat serta mencari jawab soal-soal
manusia abad ke-20.” Ibid., hlm. 50.
Tabel di atas, oleh Sutan Takdir Alisjahbana dipindahkan ke dalam
bentuk ragaan-ragaan yang lebih komunikatif seperti tampak di bawah. Ia
membentangkan kelima corak kebudayaan itu mulai dari periode
kebudayaan Indonesia asli hingga kebudayaan Barat (modern), dengan dua
kemungkinan, yaitu demokratis atau totaliter.
SHIDARTA — 245
Pada periode kebudayaan Indonesia asli, kebudayaan dikuasai oleh nilai
agama (kepercayaan terhadap roh-roh dan tenaga-tenaga gaib meresapi
seluruh kehidupan, baik orang perorangan maupun masyarakat
keseluruhannya), yang diikuti oleh nilai solidaritas dan nilai kesenian.
Sementara itu, nilai kuasa dalam sifatnya yang demokratis, masih lemah.
Nilai teori (ilmu) juga masih lemah karena pemikiran rasional manusia belum
berkembang. Kehidupan ekonomi masyarakat tersebut masih terbatas untuk
keperluan nafkah sehari-hari. Gambarannya dapat dilihat pada Ragaan IV-
b di bawah.
Ragaan IV-b: Kebudayaan Indonesia Asli
Pada periode yang dipengaruhi oleh budaya India (Hindu), kebudayaan
masa itu mulai mengenal lembaga-lembaga kekuasaan formal. Alisjahbana
menyebut masa ini sebagai dasar dari feodalisme dalam sejarah Indonesia.
Nilai tertinggi, masih nilai agama. Bedanya dengan nilai agama dalam
kebudayaan Indonesia asli, pada masa kebudayaan Hindu ini, nilai agama
sudah lebih rasional, lebih maju, dan bersistem. Berbeda sekali dengan
kebudayaan Indonesia asli, nilai kedua bukanlah nilai solidaritas, melainkan
nilai kekuasaan yang berpokok pada kekudusan dewa-dewa dan turun
bertingkat-tingkat sampai pada mahluk yang terendah. Sejalan dengan nilai
agama dan nilai kekuasaan adalah perkembangan nilai seni, yang mendapat
isi yang besar dari agama dan mendapat pusat pengolahan yang kaya pada
istana-istana raja dan sokongan-sokongan yang besar dari kaum bangsawan.
Dalam hubungan dengan ini, meskipun nilai teori dan nilai ekonomi
tidak menjadi nilai yang dominan dan menentukan, tetapi keduanya
mengalami kemajuan berarti seiring dengan makin meluasnya kecakapan
246 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
membaca dan menulis. Nilai solidaritas, yang merupakan salah satu nilai
terpenting dalam kebudayaan Indonesia asli, ternyata tenggelam dalam
lingkungan sistem kasta dan kerajaan-kerajaan feodal yang besar itu.
Ragaan IV-c: Kebudayaan Hindu
Pada periode kebudayaan Islam, nilai agama memegang peranan yang
kuat sekali, di samping nilai teori (ilmu) dan nilai ekonomi. Perkembangan
kedua nilai terakhir ini kelihatan sekali dalam jaman kebesaran Islam dari
Abad ke-8 sampai dengan Abad ke-13.
Tentang nilai kesenian, meskipun dikatakan dalam Al-Quran bahwa
Tuhan menyukai keindahan, tetapi apabila dibandingkan dengan agama
lainnya jelas bahwa agama Islam agak menahan kemajuan seni. Seni yang
dikembangkan lebih banyak mengarah kepada seni arsitektur (khususnya
dalam pembangunan masjid) dan kaligrafi.11
Nilai kuasa dalam Islam menentukan bahwa kekuasaan adalah semata-
mata di tangan Tuhan dan manusia dengan seisi alam ini takluk kepada-
Nya. Setiap manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Oleh karena
itu, Alisjahbana menilai, bahwa dilihat dari jurusan ini Islam menghendaki
___________________________
11 Menurut Oemar Amin Hoesin, perhatian Islam terhadap kesenian tidak terbatas pada arsitektur
dan lukisan kaligrafi, tetapi terlebih-lebih pada kesusasteraan. Raymundus Lullus (wafat 1314),
seorang ahli sastra Eropa yang sangat terkemuka adalah orang pertama yang memperkenalkan
sastra Islam ini ke Eropa, dan dari sini menyebar ke seluruh dunia. Atas rekomendasinya
didirikan sekolah tinggi sastra di Miramar (1276) dan Fakultas Ketimuran di Universitas Paris
(1311). Di dua tempat ini sastra Islam dan bahasa Arab dijadikan sebagai materi perkuliahan
wajib. Kebijakan ini diikuti oleh Universitas Louvain dan Salamanca. Mengenai pengaruh seni
sastra ini, lihat lebih lanjut Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam: Sejarah Perkembangan Kebudayaan
Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, terjemahan H. Zainal Abidin Ahmad, cet. 2
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 547 et seq.
SHIDARTA — 247
diterapkan semangat demokratis, dan fenomena raja-raja dan sultan-sultan
Islam yang mengaku dirinya sebagai khalifah turun-temurun adalah
bertentangan dengan semangat demokratis Islam itu sendiri.
Nilai solidaritas dalam Islam sangat kuat, karena adanya penekanan
pada rasa persaudaraan horisontal. Contoh semangat ini disimbolisasikan
dalam ritual sembahyang Jumat dan lembaga haji, yang mensyaratkan nilai-
nilai demokrasi tanpa memandang status sosial.
Ragaan IV-d:Kebudayaan Islam
Dalam periode berikutnya, yaitu kebudayaan modern, Sutan Takdir
Alisjahbana membaginya dalam dua karakteristik, yaitu kebudayaan modern
yang demokratis dan kebudayaan modern yang totaliter. Dalam kebudayaan
modern, yang terkuat adalah nilai ilmu dan nilai ekonomi, sedangkan nilai
agama dan nilai seni, lemah. Hal ini tampak dari terjadinya krisis agama
dan seni di Eropa dan Amerika. Tentang nilai solidaritas, sangat kuat pada
negara-negara demokrasi, sementara nilai kuasa sangat kuat dalam negara
totaliter, contohnya Rusia.
Pada Ragaan IV-e akan ditampilkan gambaran kebudayaan modern
yang demokratis, sementara pada Ragaan IV-f akan ditunjukkan diagram
kebudayaan modern yang totaliter. Sayang, Alisjahbana tidak menyebutkan
bilamana kedua model kebudayaan modern di atas secara bergantian
memberikan pengaruhnya pada masyarakat Indonesia.
248 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan IV-e: Kebudayaan Modern Demokratis
Ragaan IV-f: Kebudayaan Modern Totaliter
Pada masa berikutnya, kita memasuki periode kebudayaan bhinneka
tunggal ika. Ini terjadi, menurut Alisjahbana, karena terdapatnya bermacam-
macam penjelmaan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Ada yang masih
hidup dalam kebudayan asli (beberapa suku di Irian), ada yang
memperlihatkan gabungan antara kebudayaan Indonesia asli dan Hindu
(Bali), ada yang kombinasi Indonesia asli, Hindu, dan Islam (Jawa). Ada
pula yang kombinasi antara Indonesia asli dan Islam (Aceh, Minangkabau).
Sementara di kota-kota besar, tampak ada gabungan antara ketiga
kebudayaan itu dengan kebudayaan modern.
Alisjahbana selanjutnya melihat, bahwa ketiga lapis pertama kebudayaan
Indonesia yaitu kebudayaan Indonesia asli, Hindu, dan Islam mengalami
SHIDARTA — 249
krisis yang berat ketika bertemu dengan kebudayaan modern. Di samping
ada nilai-nilai positifnya, kebudayaan modern juga menghadapi kesulitan
di dalam dirinya sendiri, seperti munculnya gejala-gejala kebudayaan yang
tidak sehat (night-club, morfinis, dan lain-lain). Dengan perkataan lain, kita
dapat menangkap ide dari Alisjahbana untuk mengingatkan bangsa
Indonesia agar dapat secara hati-hati mendesain bentuk dan perkembangan
kebudayaannya.
Apabila hubungan sibernetis dalam Ragaan IV-a dianggap benar bahwa
dari sudut nilai-nilai, hukum adalah produk budaya, maka tidak salah untuk
menyatakan bahwa konfigurasi nilai-nilai kebudayaan ini mempunyai
relevansi yang erat dengan konfigurasi sistem hukum yang hidup di
Indonesia. Komposisi nilai-nilai inipun berguna untuk mendiskusikan
karakteristik model penalaran yang ideal untuk konteks keindonesiaan
dewasa ini. Model penalaran ala Teori Hukum Pembangunan yang juga
dibicarakan dalam bab ini, sebagian dapat dikritisi dengan menggunakan
kerangka berpikir ini.
Apa yang dikemukakan di atas memberi petunjuk bahwa keberadaan
hukum Indonesia yang asli (hukum adat), hukum yang dipengaruhi agama
Hindu, Islam, dan Barat (modern), semuanya memberi dukungan terhadap
pembentukan sistem hukum nasional Indonesia. Umumnya, para ahli
hukum di Indonesia mereduksi unsur-unsur yang mendukung sistem
hukum Indonesia itu hanya pada tiga subsistem hukum: adat, Islam, dan
Barat. Subsistem seperti Hindu dan Kristen/Katolik jarang disebut-sebut,
mengingat pengaruhnya dianggap telah teresepsi ke dalam hukum adat di
sejumlah daerah.
Hukum Islam dikedepankan sebagai salah satu pilar sistem hukum
Indonesia yang penting dan berdiri sendiri, tidak saja karena penganut agama
Islam merupakan mayoritas di negara ini, melainkan pula karena penolakan
luas dewasa ini bahwa hukum Islam memang teresepsi ke dalam hukum
adat. Teori Resepsi ini dinilai kurang tepat, karena menempatkan hukum
Islam secara subornatif terhadap hukum adat. Menariknya, penolakan ini
ternyata hanya datang dari jurusan ahli-ahli hukum Islam, sementara
keberatan dari pengemuka hukum [agama] lain tidak pernah terdengar.
Teori Resepsi (Receptie) sendiri diintroduksi oleh Snouck Hurgronje.
Teori ini merupakan bantahan Hurgronje terhadap Teori Receptio in
Complexu dari C.F. Winter, Salomon Keyzer, dan L.W.C. van den Berg,
yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia
tidak dibentuk oleh hukum adat mereka, melainkan oleh hukum agama.
250 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Menurut R. Supomo dan R. Djokosutono, Receptio in Complexu ini tidak
terjadi pada hukum Islam untuk orang-orang Islam saja, melainkan “...
orang-orang Hindu dari hukum-Hindu, orang-orang Muslim dari hukum-
Islam, orang-orang Keristen [Sic] dari hukum Keristen.”12
Teori Receptio in Complexu ini sempat pula diadopsi oleh
Pemerintahan Kolonial Belanda seperti termuat dalam Reglement op het Beleid
der Regering van Nederland Indie (S. 1854 No. 129 dan S. 1855 No. 2 atau lebih
dikenal luas dengan sebutan Regeringsregelement atau RR lama, tepatnya Pasal
75, 78, dan 109). Pasal 75 ayat (3) RR merupakan ketentuan yang paling
memperlihatkan pengaruh ajaran receptio in complexu ini. Pasal ini
menyebutkan:13
Kecuali bagi mereka yang telah menyatakan berlakunya (toepasselijk verklaring)
atau dalam hal orang Indonesia asli dan Timur Asing telah dengan sukarela
tunduk (virtueel) pada hukum perdata Eropa, oleh para hakim untuk orang
pribumi dipergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan (godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken) golongan
pribumi, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum
tentang kepatutan dan keadilan (billijkheid en rechtvaardigheid).
Ketentuan Pasal 75 ayat (3) RR lama ini menempatkan hukum adat di
bawah hukum agama. Namun, hukum agama (untuk golongan Indonesia
asli) tersebut ditempatkan pula di bawah asas-asas umum tentang kepatutan
dan keadilan. Apa yang dimaksud dengan asas-asas umum ini dijelaskan
pada ayat (6) dari pasal tersebut:14
Dalam memberikan keadilan kepada golongan pribumi, para hakim
mengambil asas-asas umum dari hukum perdata Eropa sebagai pedoman,
manakala mereka memutus perkara, yang tidak diatur dalam undang-undang
agama, lembaga-lembaga, dan kebiasaan-kebiasaan pribumi.
Dengan demikian Teori Receptio in Complexu yang dianut
Pemerintah Kolonial Belanda pada saat RR lama berlaku hanya mengakui
kekuatan mengikat atas dua subsistem hukum yang berlaku di Hindia
Belanda yaitu hukum agama, dan di atasnya adalah hukum Barat. Hukum
adat sendiri dianggap tidak lagi eksis karena telah diadopsi ke dalam
hukum agama.
___________________________
12 R. Supomo & R. Djokosutono, Op. Cit., hlm. 82.
13 Terjemahan ini dikutip dari H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat
Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat
(Bandung: Alumni, 2002), hlm. 76.
14 Ibid., hlm. 77.
SHIDARTA — 251
Ketentuan RR lama ini dikecam oleh Piepers, yang akhirnya berbuah
pada perubahan kecil pada redaksi Pasal 75 RR. Kata-kata “undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan-kebiasaan” diganti dengan “peraturan
hukum yang berhubungan dengan agama dan kebiasaan-kebiasaan.”
Perubahan ini efektif berlaku per tanggal 1 Januari 1920 dengan
pengundangan melalui S. 1919 No. 621 jo. S. 1907 No. 204). Perubahan kecil
ini menurut R. Otje Salman mempunyai implikasi yang sangat signifikan
dalam perkembangan hukum adat pada masa-masa kolonial dan masa-masa
pasca-kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, ia tidak menyebutkan seperti apa
implikasi tersebut. Bahkan, agak kontradiksi dengan pernyataan tersebut, ia
justru menyebutkan komentar Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa
perubahan terhadap Pasal 75 RR itu terlalu lunak, sehingga Hurgronje
mendesak Pemerintah Kolonial Belanda melakukan perubahan mendasar.
Snouck Hurgronje berhasil dengan kritikannya, sehingga diundangkanlah S.
1925 No. 415, 416, dan 447 (dikenal dengan Indische Staatsregeling15 atau IS)
menggantikan Pasal 75 RR menjadi Pasal 131 IS. Lalu, S. 1929 No. 221 yang
mengubah Pasal 78 RR menjadi Pasal 134 IS. Melalui kedua pasal ini dengan
tegas dinyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi golongan penduduk
pribumi adalah hukum adat.16 Teta p ada pengecualian dar i keberl akuan hukum
adat di atas, yaitu sepanjang kepentingan umum dan kepentingan sosial yang
nyata dari mereka tidak menghendaki lain. Jika ada pertentangan dengan itu
semua, maka pembuat ordonansi (aturan setingkat undang-undang yang
dikeluarkan atas persetujuan tiga lembaga: Dewan Hindia Belanda [Raad van
Indie], DPR Hindia Belanda [Volksraad], dan Gubernur Jenderal) berwenang
menyimpangi hukum adat itu.
Teori Resepsi dikritik secara keras oleh Hazairin yang menganggapnya
sebagai kampanye anti-Islam. Pikiran-pikiran Hazairin cukup besar
pengaruhnya di kalangan ahli hukum Islam dan hukum adat di Indonesia,
sehingga saat ini jarang ada di antara mereka yang berpandangan bahwa
hukum Islam memang meresepsi ke dalam hukum adat dan berlaku
sepanjang dikehendaki oleh hukum adat. Khusus tentang hubungan hukum
adat dan hukum Islam, selain teori dari Hazairin yang disebut “Teori
___________________________
15 Indische Staatsregeling ini adalah peraturan ketatanegaraan di Indonesia pada zaman penjajahan
Belanda. Dengan S. 1855 No. 2 sebenarnya namanya adalah Regeeringsregelement (RR). Lalu,
dengan S. 1925 No. 415 diganti sebutan namanya menjadi Staatsinrichting van Ned. Indië, dan
terakhir diperbaiki dengan S. 1925 No. 447 dengan sebutan Indische Staatsregeling (IS) Dengan
IS ini diumumkan kembali naskah secara menyeluruh dengan sistematika nomor pasal yang
baru, yang berlaku per tanggal 1 Januari 1926.
16 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Op. Cit., hlm. 78-79.
252 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Receptio a Contrario” ini, masih ada teori lain seperti Teori Penetratrion
Pasifique, Tolerante et Constructive (dari de Josselin de Jong) dan Teori
Sinkretisme (dari M.B. Hooker).17
Sekalipun Teori Resepsi dari Snouck Hurgronje menjadi perdebatan
besar dan mulai ditinggalkan, ternyata sisa-sisa pengaruhnya masih tetap
tercantum dalam Indische Staatsregeling (IS), khususnya Pasal 131 dan 134.
Pasal 131 IS terdiri dari enam ayat, sementara Pasal 134 IS memiliki dua
ayat. Dua pasal ini memiliki keterkaitan yang erat sekali dengan Pasal 163
yang memiliki enam ayat.
Terkait dengan masalah ini, Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief
Sidharta menandai dua ciri khas dari sistem hukum nasional Indonesia,
yakni ia lahir dari perjuangan kemerdekaan yang berlangsung cukup lama
dan berkulminasi pada dicetuskannya Proklamasi Kemerdekaan tanggal
17 Agustus 1945, dan adanya beberapa [sub]sistem hukum yang berjalan
berdampingan dan sederajat dalam sistem hukum nasional Indonesia.18
Ciri yang kedua ini menunjukkan situasi pluralistis dalam sistem hukum
Indonesia tersebut. Dalam rangka memberi penekanan pada aspek
pluralisme inilah, maka dipandang perlu untuk mengutip secara lengkap
terjemahan teks dari tiga rumusan pasal IS yang disinggung di atas.19
Pasal 131:
(1) Hukum-hukum perdata, dagang dan pidana, begitu pula hukum acara
perdata dan pidana, diatur dengan undang-undang [atau berupa
ordonansi], dengan tidak mengurangi wewenang yang diberikan oleh
atau berdasarkan undang-undang kepada pembentuk perundang-
undangan pidana. Pengaturan ini dilakukan, baik untuk seluruh golongan
penduduk atau beberapa golongan dari penduduk itu ataupun sebagian
dari golongan itu, ataupun baik untuk bagian-bagian dari daerah secara
bersama maupun untuk satu atau beberapa golongan atau bagian dari
golongan itu secara khusus.
(2) Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum perdata dan dagang
ini: (a) untuk golongan Eropa berlaku [dianut] undang-undang yang
berlaku di Negeri Belanda, dan penyimpangan dari itu hanya dapat
dilakukan dengan mengingat baik yang khusus berlaku menurut keadaan
di Indonesia [Hindia Belanda], maupun demi kepentingan mereka
___________________________
17 Khusus tentang teori-teori ini, baca penjelasannya dalam Ibid., hlm. 75–84.
18 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama
Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum. Buku I (Bandung: Alumni, 2000), hlm. 128.
19 Ter jemah an in i, dengan pe rubaha n seperl unya, di kutip da ri Reda ksi PT Icht iar Baru-va n Hoe ve,
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Disusun Menurut Sistem Engelbrecht (Ja kar ta : Ic hti ar
Baru-van Hoeve, 1989), hlm. 352–353.
SHIDARTA — 253
ditundukkan kepada peraturan perundang-undangan menurut ketentuan
yang sama bagi satu atau beberapa golongan penduduk lainnya; (b)
untuk orang-orang Pribumi, golongan Timur Asing atau bagian-bagian
dari golongan-golongan itu, yang merupakan dua golongan dari
penduduk, sepanjang kebutuhan masyarakat menghendaki, diberlakukan
baik ketentuan perundang-undangan untuk golongan Eropa, sedapat
mungkin dengan mengadakan perubahan-perubahan seperlunya, maupun
ketentuan perundang-undangan yang sama dengan golongan Eropa,
sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku
peraturan hukum yang bertalian dengan agama dan adat-kebiasaan mereka,
yang hanya dapat menyimpang dari itu, apabila ternyata kepentingan
umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya.
(3) Dalam ordonansi-ordonansi yang mengatur hukum pidana, hukum acara
perdata dan hukum acara pidana, bila hal itu berlaku secara khusus untuk
golongan Eropa, dianut undang-undang yang berlaku di Negeri Belanda,
akan tetapi dengan perubahan-perubahan yang diperlukan yang disebabkan
oleh keadaan khusus di Indonesia; bila karena penerapan atau penundukan
diri kepada peraturan umum yang berlaku sama bagi golongan lain atau
sebagian dari golongan itu, barulah undang-undang itu diberlakukan bila
terdapat persesuaian dengan keadaan yang khusus itu.
(4) Orang-orang Pribumi dan golongan Timur Asing, sepanjang mereka belum
ditundukkan kepada peraturan yang sama bagi golongan Eropa, berhak
untuk menundukkan diri secara keseluruhan atau sebagian, untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, kepada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
hukum perdata dan hukum dagang untuk golongan Eropa yang sebetulnya
tidak berlaku bagi mereka itu. Penundukan diri kepada hukum Eropa ini
beserta akibat-akibat hukumnya diatur dengan ordonansi.
(5) Ordonansi-ordonansi yang disebutkan dalam pasal ini berlaku hanya di
daerah-daerah di mana orang-orang Pribumi diberi kebebasan untuk
menggunakan hukum acaranya sendiri dalam berperkara, bila
penerapannya dapat disesuaikan dengan keadaan setempat.
(6) Hukum perdata dan hukum dagang yang sekarang berlaku bagi orang-
orang Pribumi dan golongan Timur Asing masih tetap berlaku selama
belum diganti dengan ordonansi-ordonansi seperti yang disebutkan
dalam ayat (2)b seperti tersebut di atas.
Pasal 134:
(1) Semua perselisihan mengenai hak milik dan hak-hak lainnya yang timbul
karenanya, tagihan utang atau perkara perdata lainnya, merupakan
perkara yang untuk penyelesaiannya harus dikemukakan di pengadilan
(melalui kekuasaan kehakiman).
(2) Akan tetapi perkara perdata sesama orang Islam, bila hukum adat mereka
menghendakinya, dapat diselesaikan di pengadilan agama, sepanjang
hal itu tidak ditentukan lain oleh ordonansi).
254 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pasal 163:
(1) Bila ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini, peraturan umum
dan verordening lainnya, reglemen, pemeriksaan polisi dan peraturan
administrasi berbeda-beda yang digunakan untuk golongan Eropa, orang
Pribumi dan golongan Timur Asing, berlakulah pelaksanaan-
pelaksanaan sebagai berikut).
(2) Ketentuan-ketentuan untuk golongan Eropa berlaku bagi: (1°) semua
orang Belanda; (2°) semua orang yang tidak termasuk dalam no. 1°
yang berasal dari Eropa; (3°) semua orang Jepang dan selanjutnya semua
pendatang dari luar negeri yang tidak termasuk dalam no. 1° dan 2°
yang di negeri asalnya berlaku bagi mereka hukum keluarga yang pada
dasarnya mempunyai asas-asas hukum yang sama dengan hukum
keluarga Belanda; (4°) anak-anak yang sah atau yang diakui sah
berdasarkan undang-undang di Indonesia beserta keturuan-keturunan
dari orang-orang seperti yang disebutkan dalam no. 2° dan 3°.
(3) Ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi orang-orang Pribumi, kecuali
bagi orang-orang Kristen Pribumi yang keadaan hukumnya telah
ditetapkan dengan ordonansi, berlaku bagi semua orang yang termasuk
penduduk asli Indonesia dan yang tidak mengalihkan status hukumnya
ke golongan lain dari penduduk asli Indonesia, dan termasuk mereka
yang merupakan golongan lain dari penduduk asli Indonesia akan tetapi
telah membaurkan diri dalam penduduk asli Indonesia.
(4) Ketentuan-ketentuan untuk golongan Timur Asing, kecuali yang status
hukumnya telah ditetapkan dalam ordonansi bagi mereka yang memeluk
agama Kristen, berlaku bagi semua orang yang tidak memenuhi unsur-
unsur seperti yang disebutkan dalam ayat (2) dan (3) pasal ini.
(5) Dengan persetujuan Raad van Indonesia, Gubernur Jenderal berwenang
untuk memberlakukan ketentuan-ketentuan untuk golongan Eropa bagi
mereka yang tidak tuntuk kepada ketentuan-ketentuan tersebut di atas.
Pernyataan berlakunya ketentuan-ketentuan ini bagi mereka, berlaku
pula demi hukum bagi anak-anak mereka yang sah yang dilahirkan
kemudian dan anak-anak mereka yang disahkan berdasarkan undang-
undang dan keturunan-keturunan lanjutan mereka.
(6) Setiap orang berdasarkan peraturan yang ditetapkan dalam ordonansi
dapat mengajukan permohonan kepada hakim untuk ditetapkan dalam
kategori mana orang itu berada.
Rumusan pasal-pasal IS di atas perlu dikemukakan secara lengkap
karena kerap disebut-sebut sebagai dasar peletakan unsur (subsistem)
hukum adat, Islam, dan Barat di Indonesia sebelum secara formal digantikan
dengan dasar Pancasila sejak Proklamasi Kemerdekaan. Ketentuan dalam
IS tersebut juga perlu dipahami sebagai akar masalah politik hukum
Indonesia yang ambigu terhadap penerapan prinsip-prinsip kesamaan
SHIDARTA — 255
perlakuan terhadap warga negaranya di hadapan hukum dan pemerintahan.20
Di samping itu, dasar-dasar untuk membedakan aspek netral dan non-
netral sebagaimana dinyatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam Teori
Hukum Pembangunannya, juga dapat bertitik tolak dari rumusan pasal-
pasal IS di atas.
Tokoh yang memperlihatkan pentingnya pasal-pasal IS ini sebagai
kriteria pembeda dalam sistem hukum Indonesia antara lain adalah C.F.G.
Sunaryati Hartono. Ia membuat klasifikasi corak sistem hukum yang berlaku
di Indonesia sampai setelah berlakunya IS (yaitu kondisi sebelum era
kemerdekaan Republik Indonesia) adalah seperti dalam tabel di bawah ini.
Tabe l IV- 2
Sistem Hukum di Indonesia sebelum Kemerdekaan
Sunaryati Hartono mencatat, bahwa sampai Abad ke-14, keadaan sistem
hukum di Indonesia masih sepenuhnya asli karena belum mendapat
masukan dari hukum-hukum agama, khususnya Hindu dan Islam.
___________________________
20 Dalam tataran normatif prinsip ini jelas sudah ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,
namun dalam praktiknya terkesan kuat bahwa Pemerintah Indonesia tidak secara konsisten
menjalankannya, sebagaimana terlihat dari sekian banyak kebijakan diam-diam dalam bentuk
instruksi dan surat edaran. Sebagai contoh Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, Instruksi
Presidium Kabinet No. 37/U/IN/6/1967, Instruksi Mendagri No. 455.2-360/1968, Surat
Edaran Dirjen PPG No. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1988. Contoh- contoh peraturan di atas
terkait dengan pengawasan terhadap aktivitas etnis Cina di Indonesia, termasuk yang sudah
berwarganegara Indonesia. Atas kondisi ini lalu dikeluarkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun
1998 yang menghilangkan pemakaian istilah “pribumi” dan “nonpribumi” dalam semua
perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program dan kegiatan pemerintahan.
Lihat Frans Hendra Winarta, “Harapan Masyarakat atas Persamaan Kedudukan di Hadapan
Hukum,” dalam J. Babari & Nur Fuad, eds., Indonesia Menuju Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi (Jakarta: Gandi, 1999), hlm. 38.
21 Cf. C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional (Bandung:
Alumni, 1991), hlm. 61. Tampaknya Sunaryati keliru menyebutkan S. 1855 No. 2 sebagai
dasar pengundangan IS, yang sebenarnya mengacu pada dasar pemberlakuan RR. Nama “Indische
Staatsregeling” baru digunakan dalam S. 1925 No. 447. Namun, benar bahwa politik hukum
kolonial Belanda untuk membiarkan hukum yang pluralistis telah resmi ditetapkan sejak S.
1855 No. 2 (RR) itu. Keterangan mengenai nama peraturan-peraturan tersebut, lihat Redaksi
PT Ichtiar Baru-van Hoeve, Op. Cit., hlm. 352.
256 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Menurutnya, sistem hukum ketika itu mungkin hanya memiliki dua unsur
yang sama (bukan tiga seperti dikemukakan Vollenhoven, yakni commun,
contant, concreet). Dua unsur yang sama tadi adalah sifat kekeluargaan
(komunalitas) dan tidak tertulis (dengan pengecualian Hukum Majapahit,
Hukum Wadjo, dan beberapa daerah lainnya).22 Tidak jelas mengapa
pengaruh hukum agama Hindu tidak dimunculkan Sunaryati pada kurun
waktu ini. Seperti tercatat dalam sejarah, Hinduisme sendiri sudah
berkembang di Jawa pada Abad ke-4 Masehi.23
Dengan masuknya agama Islam ke kepulauan Nusantara pada Abad
ke-14, maka muncul tiga corak sistem hukum di Indonesia. Pertama, ada
daerah-daerah yang banyak meresap unsur-unsur agama Islam ke dalam
hukum adatnya (seperti Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok). Kedua,
ada pula yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya (seperti Nias
dan Mentawai, Toraja dan Asmat). Ketiga, ada yang tetap mempertahankan
sifat agama Hindunya (seperti Jawa Tengah dan Bali).24
Kondisi sistem hukum di Indonesia setelah masuknya agama Islam
pada Abad ke-14, yang oleh Sutan Takdir Alisjahbana kondisi tadi dicirikan
sebagai “tiga lapisan budaya” (Indonesia asli, Hindu, dan Islam),25
selanjutnya oleh Hildred Geertz diterangkan dengan mengaitkannya dengan
faktor geografis. Daerah-daerah yang kuat mendapat pengaruh Hindu
adalah kawasan persawahan di pedalaman. Kawasan perdagangan di pantai
(pesisir) merupakan daerah-daerah yang dipengaruhi Islam, sementara
daerah-daerah pegunungan yang masih terasing dan hidup dengan cara
ladang-berpindah masih bertahan dengan sifat keasliannya.26
Perkembangan selanjutnya terjadi pada Abad ke-17, tatkala agama Kristen/
Katolik masuk ke Indonesia, dibawa oleh bangsa Portugis, Belanda, dan bangsa
Eropa lainnya. Pengaruhnya antara lain terjadi di Batak, Sulawesi Utara, Maluku,
___________________________
22 C.F.G. Sunaryati Hartono, Ibid, hlm. 57.
23 Hasan Shadily et al., eds. Ensiklopedi Indonesia Jilid I (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1980),
hlm. 106.
24 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., hlm. 58. Penyebutan corak ketiga ini menunjukkan ketidak-
konsistenan Sunaryati dalam membuat klasifikasi sistem hukum di Indonesia sebelum Abad
ke-14, yang seharusnya sudah memasukkan unsur [resepsi] agama Hindu di dalamnya.
25 Dalam tulisannya, Indonesia in the Modern World (New Delhi: Congress for Cultural Freedom,
1961), hlm. 9, Sutan Takdir Alisjahbana menyebutkan tiga lapisan ini merupakan ciri bagi
kebudayaan Indonesia secara menyeluruh. Namun dalam bukunya yang lain, Sejarah Kebudayaan
Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai, cet. 3 (Jakarta: Dian Rakyat, 1982), hlm. 7, ia menambahkan
satu lapisan lagi, sehingga ada empat lapisan kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan: (1)
Indonesia asli; (2) India; (3) Arab-Islam; dan (3) modern Eropa-Amerika.
26 Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Tinjauan Etis dan Budaya), cet. 6 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 19.
SHIDARTA — 257
Irian Jaya, Flores, dan Timor.27 Secara nasional, pengaruh hukum agama
Kristen/Katolik, seperti halnya juga hukum agama Hindu dan Budha, dapat
dikatakan kurang signifikan dibandingkan dengan hukum Islam. Hukum-
hukum agama selain Islam biasanya terbatas pengaruhnya yakni di lingkungan
internal penganutnya dalam lapangan hukum keluarga, khususnya perkawinan.
Sunaryati Hartono menyatakan bahwa setelah IS tidak berlaku lagi,
yakni sesudah ia digantikan oleh Pancasila, maka komposisi unsur-unsur
dalam sistem hukum Indonesia juga berubah. Momentum pergantian itu
adalah pada saat Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Tidak
jelas, apakah klaim Sunaryati tentang pergantian IS tersebut diartikannya
secara filosofis atau yuridis. Maksudnya, secara filosofis dapat saja dikatakan
bahwa nilai-nilai yang dibawa oleh IS tidak lagi sesuai dengan pandangan
hidup bangsa Indonesia, namun secara yuridis normatif ketentuan dalam
S. 1855 No. 2 itu dalam kenyataannya tetap diterima sebagai hukum positif
yang berlaku pasca-Proklamasi Kemerdekaan.
Menurut Sunaryati, setelah Proklamasi Kemerdekaan, kondisi sistem
hukum Indonesia adalah seperti Ragaan IV-g berikut:28
___________________________
27 C.F.G. Sunaryati Hartono, Op. Cit., hlm. 61.
28 Ibid., hlm. 62.
Ragaan IV-g: Sistem Hukum Pasca-Kemerdekaan
258 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ilustrasi yang terdapat dalam Ragaan IV-g menunjukkan kerangka
berpikir Sunaryati Hartono untuk menjadikan sistem hukum nasional
sebagai bentuk unifikasi yang berada di atas unsur-unsur (subsistem) hukum
adat, Islam, dan Barat. Pola pikir ini makin jelas dengan memperhatikan
Ragaan IV-h di bawah:29
Ragaan IV-h: Sistem Hukum yang Diharapkan
Ragaan IV-h di atas memperlihatkan bahwa hukum yang dicita-citakan
(ius constituendum) bagi sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum
yang menempatkan Pancasila sebagai cita hukum (lingkaran pusat No. 1),
diikuti oleh UUD 1945 (lingkaran No. 2), dan kemudian oleh perundang-
undangan (lingkaran No. 3), baru diikuti oleh yurisprudensi, hukum kebiasaan,
dan hukum internasional pada lingkaran-lingkaran berikutnya.
Sunaryati Hartono konsisten untuk menggunakan pola pikir di atas baik
untuk bidang hukum yang sarat dengan segi-segi budaya, adat, dan agama
(lazim dikenal dengan istilah ranah non-netral) maupun untuk bidang hukum
yang relatif netral. Kesimpulan tersebut dapat ditarik dari pencantuman bidang
hukum keluarga pada ragaan tersebut. Artinya, dapat diasumsikan bahwa dalam
kaca mata Sunaryati, termasuk untuk hukum-hukum yang nonnetral sekalipun
arahnya tetap kepada pembentukan sistem hukum tunggal (unifikasi).
___________________________
29 Ibid., hlm. 63.
SHIDARTA — 259
Sunaryati antara lain dalam kapasitasnya sebagai Kepala Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tampaknya konsisten mengikuti
pandangan-pandangan seniornya seperti Teuku Mohammad Radhie30 dan
figur yang besar peranannya dalam membenahi kelembagaan BPHN yakni
Menteri Kehakiman saat itu (1974), Mochtar Kusumaatmadja.31
Sebagai bahan perbandingan untuk membedah karakteristik sistem
hukum Indonesia ini, dapat pula diperhatikan unsur-unsur sistem
hukum Indonesia yang dipetakan oleh B. Arief Sidharta. Menurutnya,
sistem hukum Indonesia itu dapat digambarkan seperti Ragaan IV-i di
bawah.32
Perlu dicatat bahwa Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta
membedakan istilah “sistem hukum” dan “tatanan hukum”. Sistem hukum
[positif] diartikannya sebagai suatu struktur formal, yaitu kadiah-kaidah
yang berlaku dan asas-asas yang mendasarnya ditambah dengan isinya. Di
luar itu ada yang disebut proses hukum, yang sesungguhnya dapat
disamakan dengan budaya hukum dalam penjabaran sistem hukum menurut
Friedman. Gabungan antara struktur formal hukum, isi hukum, dan proses
hukum ini disebut oleh Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta
sebagai “tatanan hukum”. Menurut mereka, istilah “sistem hukum” lebih
banyak digunakan oleh kalangan pendidikan dan ilmuwan, sedangkan
“tatanan hukum” lebih disenangi oleh politisi dan praktisi.33 Di luar itu
ada istilah “tata hukum” yang oleh B. Arief Sidharta lebih diidentikkan
dengan unsur substansi dalam sistem hukum.34 Untuk uraian bab ini,
___________________________
30 Ulasan tentang pemikiran Teuku Mohammad Radhie dapat dibaca dalam E. Suherman,
Mulyana, & Shidarta, eds. Kumpulan Tulisan untuk Mengenang Teuku Mohammad Radhie (Jakarta:
UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara, 1993). Bandingkan pula dengan tulisan Yusril
Ihza Mahendra, “Pembangunan Sistem Hukum Nasional,” Majalah Ketahanan Nasional, edisi
No. 73–2000, hlm. 17–42.
31 Semula BPHN bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), didirikan dengan
Keputusan Presiden No. 107 Tahun 1956, beranggotakan para politisi, akademisi, dan praktisi.
Mochtar Kusumaatmadja mengganti nama LPHN menjadi BPHN di bawah Departemen
Kehakiman (Keppres No. 45 Tahun 1974) dan menjadikan badan ini lebih banyak didominasi
oleh para akademisi hukum. Ulasan pemikiran Mochtar Kusumaatmadja sendiri akan
dibicarakan pada subbab tentang Teori Hukum Pembangunan.
32 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
cet. 2 (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 83.
33 Lihat Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 121-126. Indikator
pembedaan juga terlihat dari judul Bab IX buku mereka, yang diberi titel “Sistem dan Tatanan
Hukum.” Lihat juga B. Arief Sidharta, Ibid., hlm., 188.; Cf. Lawrence M. Friedman, American
law: An Introduction (New York: W.W. Norton & Co., 1984) hlm. 1–19.
34 Lihat B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 83.
260 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
konsisten dengan bab-bab sebelumnya dan sesudahnya, pengertian sistem
hukum selalu diartikan secara luas mencakup ketiga subsistem tersebut.
Ragaan IV-i: Sistem Hukum Nasional Indonesia
Bangunan sistem hukum (B. Arief Sidharta menyebutnya “tata hukum”
sehingga sebenarnya lebih terfokus pada unsur substansi hukum) menurut
ragaan di atas bersumber kepada cita hukum Pancasila. Cita hukum ini
selanjutnya dioperasionalkan ke dalam kenyataan melalui asas-asas hukum
nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui perundang-
undangan dan yurisprudensi. Asas-asas hukum nasional ini terdiri dari asas-
asas hukum [yang berlaku atau diakui secara] universal, asas-asas yang
didistilasi dari hukum adat, asas-asas hukum yang diderivasi secara langsung
dari Pancasila, dan asas-asas hukum teknis-sektoral. Cita hukum Pancasila
dan asas-asas hukum ini berperan sebagai “guiding principles” dan batu uji
proses pembentukan perundang-undangan dan pembentukan hukum
melalui yurisprudensi (dan praktik hukum). Singkatnya, menurut B. Arief
Sidharta, sistem hukum yang akan dibangun itu secara hirarkis piramidal
tersusun atas cita hukum Pancasila, asas-asas hukum nasional, kaidah-kaidah
hukum positif yang terdiri atas perundang-undangan, yurisprudensi, pranata
dan kaidah hukum adat sepanjang masih hidup dalam kenyataan dan belum
diangkat menjadi ketentuan undang-undang, kaidah-kaidah hukum Islam
SHIDARTA — 261
sejauh sudah diresepsi dalam hukum adat atau sudah menjadi ketentuan
undang-undang, dan hukum kebiasaan.35
Apa yang digambarkan oleh Sunaryati dan B. Arief Sidharta di atas
sesungguhnya dapat dilukiskan secara lebih detail dengan menambahkan
unsur substansi, struktur, dan budaya hukum. Agar nuansa tersebut
tercermin secara lebih lengkap, maka dalam kreasi ragaan berikut ini semua
unsur sistem hukum di atas diberikan perhatian, ditambah dengan dimensi
para pengemban hukum atau penstudi hukumnya. Pada Ragaan IV-j di
bawah ini terlihat suatu bangunan sistem hukum. Bangunan ini ditopang
oleh tiga unsur pokok. Bangunan sistem ini pada dasarnya berlaku untuk
semua sistem hukum, namun dalam konteks ini dikaitkan dengan sistem
hukum nasional Indonesia.
Pertama, adalah struktur hukum yang dilambangkan dengan tiang-tiang
pancang yang menopang tegaknya suatu sistem hukum. Badan-badan
seperti DPR beserta Presiden dan birokrasi pemerintahan lainnya seperti
kepolisian dan kejaksaan, juga peradilan dan lembaga bantuan hukum,
semuanya jika dilihat dari aspek kelembagaan adalah apa yang dimaksud
dengan struktur hukum ini (lihat kembali Tabel I-2 tentang “Organisasi
dalam Sistem Hukum” dari C.J.M. Schuyt).
Kedua, adalah substansi hukum. Unsur ini dilambangkan dengan
lapisan-lapisan yang secara hirarkis terdiri dari berbagai norma-norma
hukum positif. Pada lapisan paling atas, terdapat suatu bintang pemandu
yaitu cita hukum Pancasila. Cita hukum ini terdiri dari nilai-nilai, belum
mewujud sebagai norma sehingga tidak disatukan dengan lapisan-lapisan
tersebut. Karena memuat konstelasi norma-norma positif, maka unsur
ini oleh A. Hamid S. Attamimi, disebutnya dengan istilah “sistem norma
hukum.”36
Ketiga, adalah budaya hukum. Unsur ini menyediakan lingkungan demi
berfungsinya struktur dan substansi hukum tersebut. Tapi lingkungan
kehidupan yang bernama budaya hukum ini, struktur dan substansi hukum
tidak akan mungkin bertahan. Lingkungan kehidupan yang bernama budaya
hukum ini dalam Ragaan IV-i yang dikemukakan B. Arief Sidharta lebih
kurang adalah perilaku dan praktik hukum. Yurisprudensi dan hukum
kebiasaan, seharusnya tidak masuk dalam lingkaran aturan hukum positif,
___________________________
35 Ibid., hlm. 81.
36 A. Hamid S. Attamimi, “Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia,”
dalam Oetojo Oesman & Alfian, eds., Pancasila sebagai Ideologi dalam Bidang Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (Jakarta: BP-7 Pusat, 1993), hlm. 85.
262 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
melainkan dalam perilaku dan praktik hukum. Bagi penstudi hukum,
perilaku dan praktik hukum inipun dapat menjadi sumber hukum.
Lingkungan itu terbuka, sehingga dapat mempengaruhi dan
dipengaruhi lingkungan lain, bisa berupa disiplin lain atau sistem hukum
lain. Lingkungan kehidupan yang bernama budaya hukum ini dinamis, sama
halnya dengan unsur-unsur sistem hukum lainnya. Dengan perkataan lain
ada gerakan sentrifugal (outward moving) dan sentripetal (inward moving) dalam
sistem hukum.
Ragaan IV-j: Bangunan Sistem Hukum
Dalam keluarga sistem civil law seperti yang dianut oleh Indonesia,
dari ketiga unsur sistem hukum itu, kajian tentang substansi hukumlah
yang paling dominan, sehingga mendorong pengkajiannya dalam suatu
cabang ilmu hukum yang baru, yang disebut ilmu perundang-undangan.
Hal ini dijelaskan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagai berikut:37
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan (terjemahan (Gesetzgebungswissenschaft)
merupakan ilmu baru, dikembangkan terutama di negara-negara yang
___________________________
37 A. Hamid S. Attamimi, “Ilmu Perundang-undangan.(Gesetzgebungslehre) dan Teori
Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) serta Pengajarannya di Fakultas Hukum” sebagai
pengantar buku Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. xvi-xvii.
SHIDARTA — 263
berbahasa Jerman. Negeri Belanda dan negara-negara lain sekitarnya yang
menerima manfaatnya. Di negara-negara dengan sistem Common Law, Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan tidak berkembang subur. Mungkin sistem
kehidupan hukum di sana tidak ‘membutuhkan’ perundang-undangan sebagai
sumber yang utama bagi pembentukan hukum, dan peraturan perundang-
undangan tidak ditempatkan sebagai instrumen yang terpenting bagi
perwujudan kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam melakukan
pengubahan tata kehidupan masyarakat. Di sana yang tumbuh hanyalah bagian-
bagian atau ‘sempalan-sempalan’ dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
seperti teknik penyusunan perundang-undangan, interpretasi atau penafsiran
perundang-undangan, dan metode pembentukan perundang-undangan.
Dalam kutipan di atas A. Hamid S. Attamimi memperkenalkan istilah
“ilmu pengetahuan perundang-undangan” untuk menyebutkan
(Gesetzgebungswissenschaft), lalu dengan mengikuti pembagian dari Burkhardt
Krems, pelopor ilmu ini, ia memilah ilmu pengetahuan perundang-
undangan itu menjadi dua bagi, yakni teori perundang-undangan
(Gesetzgebungstheorie) dan ilmu perundang-undangan (Gesetzgebungslehre).38 Jika
ilmu perundang-undangan berorientasi kepada melakukan perbuatan dan
bersifat normatif mengikuti ketentuan-ketentuan hukum tata negara dan
hukum administrasi negara positif, maka teori perundang-undangan
berorientasi kepada membentuk pengertian-pengertian dan menjernih-
kannya serta bersifat kognitif.39
Dengan bantuan ilmu perundang-undangan, substansi sistem hukum
Indonesia dapat pula disusun dalam suatu pola hubungan hirarkis. A. Hamid
S. Attamimi menggunakan dua pendekatan dalam menyusun tata susunan
peraturan dalam sistem hukum Indonesia itu, yaitu dengan menggunakan
“Die lehre von dem Stufenaubau der Rechtsordnung” dari Hans Nawiasky dan
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ragaan di bawah ini menunjukkan
hasil kajiannya berupa jenis-jenis peraturan perundang-undangan secara
berjenjangan.40
___________________________
38 Ibid., hlm. xvii. Tidak jelas mengapa A. Hamid S. Attamimi mengartikan istilah “ilmu
pengetahuan” dan “ilmu” secara berbeda, padahal sudah luas diterima bahwa keduanya
bermakna sama (sinonim). Mungkin lebih baik jika istilah “lehre” di sini diterjemahkan sebagai
“ajaran”.
39 Ibid., hlm. xx.
40 Ibid., hlm. 109.
264 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan IV-k: Bangunan Substansi Hukum
Dengan ilustrasi tersebut tergambarlah sistem hukum Indonesia yang
lebih utuh. Sistem hukum adalah keseluruhan bangunan seperti ditunjukkan
Ragaan IV-j, yang substansi hukumnya jika ditilik lebih rinci terisi dengan
peraturan-peraturan seperti Ragaan IV-k tersebut.
Sebagaimana diintroduksi oleh Talcott Parson dan Satjipto Rahardjo
(Ragaan IV-a: Hubungan Sibernetis Sistem Hukum dengan Sistem Lainnya),
sistem hukum [di] Indonesia adalah produk langsung budaya dilihat dari
arus nilai-nilai dan produk langsung politik dilihat dari arus energi. Konstelasi
yang memberi bentuk pada sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia
dapat dilihat dari perjalanan sejarah sistem hukum Indonesia tersebut.
Suatu penelitian yang relatif komprehensif tentang segi sejarah hukum
ini telah dilakukan oleh Soetandyo Wignjosoebroto dengan menitikberatkan
pada dimensi sosial-politiknya. Rentang waktu yang diteliti Soetandyo
mencakup periode pasca-VOC sampai pada tahun 1990.41 Peneliti an serupa
dilakukan oleh Moh. Mahfud M.D. Ia secara khusus menelaah dimensi
politik hukum (baca: pembentukan sejumlah undang-undang), khususnya
pada tiga periode pasca-kemerdekaan (masa Demokrasi Liberal, Demokrasi
Terpimpin, dan Orde Baru).42 Bernard Arief Sidharta juga menyinggung
___________________________
41 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit.
42 Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1998).
SHIDARTA — 265
sisi historis dalam perjalanan sistem hukum Indonesia ini, yang
dititikberatkannya pada upaya pencarian fondasi kefilsafatan bagi
pengembangan ilmu hukum nasional Indonesia.43
Apabila ketiga hasil penelitian tersebut dikombinasikan dalam tabel
berikut, akan terlihat uraian singkat titik-titik simpul masing-masing periode.
Tulisan ini dapat menyetujui pendapat Soetandyo yang menetapkan sekitar
tahun 1840 sebagai momentum paling signifikan yang menandai awal
penataan sistem hukum di Indonesia secara sadar.
Tabe l IV- 3
Perjalanan Historis Sistem Hukum di Indonesia44
___________________________
43 B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 17–24.
44 Garis besar perjalanan historis sistem hukum di Indonesia ini dirangkum antara lain dari hasil
penelitian Soetandyo Wignjosoebroto, Moh Mahfud M.D., dan B. Arief Sidharta.
45 Aslinya tertulis kata “tata hukum” sebagai terjemahan dari kata “legal order.” Untuk menghindari
kerancuan peristilahan, istilah “legal order” tidak ditulis menjadi tata hukum, yang oleh sebagian
penulis lebih diartikan sebagai substansi hukum. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, tata
hukum lebih luas daripada sistem hukum, karena menyangkut keseluruhan norma yang diakui
masyarakat sebagai kaidah-kaidah yang mengikat (demi tercapainya ketertiban kehidupan dalam
masyarakat) dan karena itu dipertahankan berlakunya oleh suatu otoritas yang¯untuk fungsi
itu¯juga diakui oleh masyarakat. Sementara itu, yang dimaksudkannya dengan “sistem hukum”
ialah keseluruhan aturan dan prosedur yang spesifik, yang karena itu dapat dibedakan ciri-
cirinya dari kaidah-kaidah sosial yang lain pada umumnya, dan kemudian secara relatif konsisten
diterapkan oleh suatu struktur otoritas yang profesional guna mengontrol proses-proses sosial
yang terjadi dalam masyarakat. Lihat Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit. hlm. 1. Bandingkan
pula dengan pengertian sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman, Op. Cit., hlm. 5–8,
yang diikuti oleh tulisan ini.
266 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
SHIDARTA — 267
268 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Tabel di atas memberi kilasan diakronis perjalanan sistem hukum
Indonesia. Di dalamnya terlihat jelas bahwa sistem hukum yang berkonteks
keindonesiaan sudah dibangun lebih dari satu setengah abad yang lalu,
sementara sistem hukum nasional Indonesia sendiri baru berumur sekitar
enam dasawarsa. Tidak mengherankan apabila pembinaan “legal order” yang
berlangsung satu abad di bawah pemerintahan kolonial Belanda dan
pendudukan Jepang itu memberi pengaruh yang sangat besar bagi
perjalanan setengah abad berikutnya.
Tabel di atas memberikan karakteristik ontologis tertentu bagi penalaran
hukum dalam konteks keindonesiaan. Ulasan mengenai hal ini secara khusus
disajikan dalam Subbab C di bawah. Tinjauan diakronik tadi selanjutnya
dipadu dengan tinjauan sinkronik terhadap salah satu bidang pembinaan
hukum, yaitu bidang hukum agraria. Tinjauan tematis ini dipilih sesuai
dengan contoh kasus waduk Kedung Ombo yang dikemukakan dalam
subbab tersebut.
2. Penstudi Hukum di Indonesia
Pada Bab I telah ditunjukkan melalui Ragaan I-d (Posisi Penstudi
Hukum) suatu komposisi penstudi hukum pada umumnya. Secara umum
para penstudi hukum ini dapat dibedakan menjadi partisipan (medespeler)
dan pengamat (toeschouwer). Khusus untuk para partisipan, lalu dibedakan
lagi antara mereka yang menjadi pengemban hukum teoretis dan
pengemban hukum praktis. Untuk konteks keindonesiaan, para penstudi
hukum ini juga memiliki karakteristik tersendiri yang terutama dipengaruhi
oleh sistem hukum yang dianut oleh Indonesia sepanjang sejarah
perjalanannya sampai saat ini.
Para pengemban hukum praktis Indonesia adalah para fungsionaris
hukum yang bekerja dengan berpegang erat dengan disiplin hukum dan
sistem hukum positif Indonesia. Mereka memfungsikan hukum menurut
SHIDARTA — 269
bangunan sistem hukum yang berlaku pada saat itu di Indonesia, bukan
berkelana dengan mencari pegangan kepada sistem hukum positif negara
lain, apalagi sistem nonhukum. Memang benar, bahwa seorang pengemban
hukum praktis (khususnya hakim) dimungkinkan membuat penemuan-
penemuan hukum, misalnya dengan penafsiran sosiologis atau bahkan
futuristis. Sekalipun hal itu dilakukannya, penalaran demikian pada akhirnya
harus dikembalikannya ke dalam sistem hukum positif, untuk menjamin
agar putusannya itu dapat dilaksanakan dalam perspektif sistem hukum
positif Indonesia.46
Hal ini berlainan dengan pengemban hukum teoretis. Ia memang tetap
berada dalam lingkungan sistem hukum, tetapi dalam melakukan penalaran
hukumnya yang bersangkutan tidak perlu harus terikat pada sistem hukum
positif yang ada dan berlaku. Sebagai ilmuwan, teoretisi, dan filsuf hukum,
para pengemban hukum teoretis ini berpegang erat pada disiplin hukum,
bukan bersikukuh pada sistem hukum positif. Kendati begitu, bukan berarti
sistem hukum positif itu tidak mempunyai pengaruh sama sekali terhadap
cara benalar mereka. Justru karena adanya pengaruh itulah maka dalam
ragaan itu tempat kedudukan mereka berada dalam lingkaran sistem hukum
tadi. Hanya saja, mengingat ada perbedaan tingkat abstraksi antara ilmu,
teori, dan filsafat hukum, terdapat pula derajat keterpengaruhan mereka
masing-masing terhadap sistem hukum positif itu. Ilmuwan hukum
Indonesia, misalnya, tatkala ia melakukan penalaran dipastikan akan
meletakkan konteks penalarannya lebih pada lingkup keindonesiaan.
Konteks keindonesiaan ini makin berkurang pada penalaran seorang
teoretisi hukum, dan seterusnya pada seorang filsuf hukum.
Di luar para pengemban hukum ini terdapat penstudi hukum pada
umumnya, yang dalam tulisan ini dikategorikan sebagai pengamat
(toeschouwer). Selanjutnya, ada pula posisi yang berada di antara keduanya.
Uraian di bawah ini akan dimulai dari deskripsi tentang pengamat, yaitu
penstudi hukum yang melakukan penalaran hukum di Indonesia dari sudut
pandang eksternal disiplin hukum dan sistem hukum positif Indonesia.
Posisi pengamat berkaitan dengan disiplin nonhukum yang digunakan, yang
pada gilirannya melahirkan cabang disipilin (ilmu) tersendiri. Selanjutnya,
uraian memasuki penstudi lainnya, yakni pengemban hukum teoretis dan
praktis.
___________________________
46 Dalam konteks inilah maka ilmu hukum dipandang sebagai bagian dari ilmu praktis (disebut
practische rechtswetenschap), atau di dunia Barat disebut hukum dogmatik (rechtsdogmatik). Mochtar
Kusumaatmadja menyebutnya “ilmu hukum positif.” Lihat B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 133.
270 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan IV-l: Posisi Para Penstudi Hukum di Indonesia
a. Pengamat
Seperti disinggung di muka, pengamat (toeschouwer) adalah para penstudi
hukum yang melakukan “penalaran hukum” juga, namun hal ini dilakukan
dari sudut eksternal disiplin hukum dan sistem hukum positif Indonesia.
Sejumlah model penalaran berangkat dari sudut pandang pengamat ini,
seperti Mazhab Sejarah dan Realisme Hukum. Tentu saja, pola penalaran
hukum yang digunakan oleh para pengamat ini menunjukkan karakteristik
tersendiri, yang secara umum telah dibahas dalam Bab III.
Titik berangkat yang digunakan para pengamat adalah disiplin
nonhukum. Disiplin pada hakikatnya adalah suatu sistem ajaran yang
memiliki unsur-unsur dan cara kerja tersendiri. Oleh karena objek studinya
adalah hukum, maka sistem ajaran ini kemudian melahirkan cabang disiplin
yang khas. Dari disiplin sejarah, misalnya, muncul sejarah hukum. Dari
sosiologi, muncul sosiologi hukum, dan seterusnya. Mengingat demikian
banyak disiplin nonhukum yang tertarik mengkaji hukum dari sudut
pandang masing-masing, maka uraian di bawah akan membatasi diri pada
beberapa disiplin saja. Disiplin yang dipilih adalah sejarah, sosiologi,
antropologi, psikologi, dan politik. Pokok-pokok persoalan yang
diketengahkan antara lain menyangkut hubungan masing-masing disiplin
SHIDARTA — 271
tadi dengan disiplin hukum, kelahirannya sebagai disiplin yang dipelajari
secara khusus di Indonesia, dan sumbangannya pada penalaran hukum
dalam konteks keindonesiaan.
1) Sejarah dan Sejarah Hukum
Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain yang akan diuraikan di bawah, ilmu
sejarahpun mendapat gugatan seputar karakter keilmuannya, yakni apakah
ia memenuhi syarat-syarat sebagai ilmu atau hanya sekadar metode
pengumpulan data. Namun, sebagai metode sekalipun, arti penting
kedudukan dan peran sejarah tidak dapat diragukan. Mengingat arti penting
inilah, tidak mengherankan apabila pengajaran sejarah di Indonesia sama
tuanya dengan riwayat keberadaan lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri.
Dalam penalaran hukum, aspek sejarah biasanya diperlukan untuk
memberi konteks kepada suatu rumusan peraturan. Setiap ketentuan
hukum, apapun bentuknya, adalah karya manusia yang terikat pada ruang
dan waktu. Konteks “ruang dan waktu” ini pada model penalaran Aliran
Hukum Kodrat ingin diabaikan, sehingga hukum adalah asas-asas keadilan
dan kebenaran yang belaku universal. Asas-asas itu tidak pernah berubah,
menembus sekat-sekat ruang dan waktu. Dalam praktiknya, pengabaian
konteks ini tidak banyak berhasil. Asas-asas hukum itu terlalu abstrak,
sehingga simbol-simbol yang merangkai rumusan asas-asas itu kerapkali
harus diberi pemaknaan baru agar mampu menjawab kebutuhan riil
masyarakat.
Model penalaran Mazhab Sejarah sebaliknya, sangat memperhatikan
konteks ruang dan waktu dalam pertumbuhan hukum. Bagi penganut model
penalaran ini, hukum tidaklah dibuat, melainkan tumbuh mengikuti
perkembangan masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit
dem Volke). Hukum yang berlaku sekarang adalah hukum yang memang
hidup dalam kondisi kemasyarakatan saat ini dan di tempat ini. Dengan
demikian, hukum dimaknai secara dinamis dan selalu kontekstual.
Kebutuhan memaknai hukum secara kontekstual ini hanya mungkin
dipenuhi dengan baik apabila dimensi-dimensi historis suatu hukum dapat
ditelusuri. Di sinilah arti penting studi sejarah terhadap hukum. Studi ini
dapat dilakukan secara makro terhadap satu atau sejumlah sistem hukum
pada umumnya (sejarah hukum) atau terhadap produk hukum tertentu
saja (antara lain sejarah undang-undang atau bagian dari undang-undang
tertentu).
Dari uraian di atas dengan jelas dapat dipahami bahwa ilmu sejarah
sangat berhubungan dengan kebudayaan. R.G. Collingwood dalam
272 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
tulisannya “Essays in the Philosophy of History” (1965) menyatakan bahwa
manusia tidak mempunyai kodrat, melainkan hanya mempunyai sejarah.
Keberadaan manusia tidak ditentukan oleh kodrat manusia itu, melainkan
oleh kebudayaannya, dan kebudayaan ini adalah produk sejarah.47
Pernyataan Collingwood ini menarik untuk direnungkan karena bagi
sebagian orang yang skeptis terhadap studi sejarah, bukan kebudayaan yang
merupakan produk sejarah, melainkan sejarah sebagai produk kebudayaan.
Mengenai hal ini, sejarahwan Indonesia Sartono Kartodirdjo menulis:48
Setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu, dan selalu di dalam
perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap
untuk digantikan yang baru. Di situ senantiasa terjadi pembentukan,
penciptaan kembali, dan pembaharuan. Karena setiap kebudayaan selalu
mempunyai gambaran angan-angan tertentu mengenai masa silamnya, maka
kebudayaan senantiasa menghasilkan bentuk gambaran sejarahnya sendiri.
Bentuk ini, dalam mana sejarah dan suatu kebudayaan tertentu tertuangkan,
sebagaimana tergantung dari sifat perangai kebudayaan itu, dan sebagian
lagi dari derajat perkembangannya. Mite, cerita-cerita kepahlawanan
(heldensagen), genealogi, kronik, dan annal juga merupakan bentuk sejarah.
Kebudayaan yang tertentu menghasilkan sejarah yang tertentu pula. Seperti
halnya agama, kesenian dan filsafat, sejarah juga merupakan bentuk
perwujudan kebudayaan (cultuuruiting), tetapi bedanya ialah bahwa sejarah
hanya berurusan dengan masa silam kebudayaan. Ia timbul dari dorongan
dan kebutuhan tak hanya sekadar ingin tahu masa lampau, tetapi juga ingin
mengerti maknanya. Pertanyaan tentang arti makna sejarah adalah pertanyaan
yang hidup dan terus-menerus dipertanyakan oleh manusia, yaitu pertanyaan
tentang: dari manakah dan ke manakah hidup ini, dari mana asalnya dan ke
mana tujuannya. Tiap kebudayaan mempunyai jawabannya sendiri-sendiri
yang tergantung dari sifat perangainya.
Selanjutnya, dengan mengutip J. Huizinga, Sartono menegaskan bahwa
sejarah adalah bentuk kejiwaan di mana suatu kebudayaan membuat
pertanggungjawaban mengenai masa silamnya. Karena gambaran sejarah
(geschiedbeeld) sebagai bentuk kebudayaan tidak beku, maka tidak ada turunan
ataau gambar cerminan yang murni dari masa lampau. Gambaran sejarah
tidak identik dengan masa lampau, tetapi lebih merupakan gambaran ide
dari penulis sejarah. Oleh sebab itu, gambaran sejarah merupakan cerminan
kebudayaan semasa penulis sejarah itu hidup.49
___________________________
47 Lihat Roeslan Saleh, Filsafat Sejarah (n.p. : naskah tidak dipublikasikan, n.d.), hlm. 9.
48 Sartono Kartodirdjo, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur: Penjelasan Berdasarkan
Kesadaran Sejarah, cet. 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 5.
49 Ibid., hlm. 5-6.
SHIDARTA — 273
Penulisan sejarah hukum dan sejarah undang-undang di Indonesia
bukanlah sesuatu yang baru. Apa yang dilakukan oleh Soepomo dan
Djokosoetono yang menulis tentang sejarah politik hukum adat di Indonesia
adalah contoh karya di bidang sejarah hukum untuk kategori penulis
Indonesia.50 Sementara untuk sejarah undang-undang adalah seperti yang
dilakukan Boedi Harsono.51
Pemanfaatan penelitian sejarah hukum untuk keperluan pengembanan
hukum praktis, khususnya dalam rangka pembentukan undang-undang
biasanya hanya merambah ranah-ranah hukum nonnetral, seperti
perkawinan, kewarisan, zakat dan wakaf. Padahal, ranah hukum netral pun
dapat memanfaatkan buah penelitian sejarah. Mochtar Kusumaatmadja
ketika memberikan sambutannya dalam pembukaan Simposium Sejarah
Hukum (1 April 1975) menyatakan, sistem production sharing yang
dikembangkannya dalam kontrak pertambangan adalah hasil modifikasi
dari sistem bagi hasil yang telah berjalan lama dalam masyarakat Indonesia,
yaitu pemilik tanah membagi hasil pertaniannya kepada pihak penggarap
yang telah menyediakan tenaga, pupuk, peralatan, dan bibitnya.52
Terlepas dari arti penting dan manfaat studi sejarah hukum itu,
sejarahwan Taufik Abdullah tetap berkeyakinan, “Sejarah adalah
perdebatan.”53 Dalam dimensi ilmu politik, sejarah biasanya ditulis oleh
“si pemenang” (baca: penguasa politik). Dengan demikian, tatkala rezim
penguasa berganti, sejarah terkadang perlu ditafsir dan ditulis ulang. Ini
berarti, apa yang diuraikan dalam karya Soepomo, Djokosoetono, atau
Boedi Harsono tersebut selalu terbuka untuk ditulis kembali. Kebetulan
mereka semua memiliki latar belakang disiplin hukum, sehingga
seharusnya diperlukan pengayaan hasil penelitian serupa dari orang-orang
yang berlatar belakang ilmu sejarah itu sendiri atau ilmu-ilmu lain di luar
disiplin hukum.54
___________________________
50 Lihat R. Soepomo, Sejarah Politik Hukum Adat (Jilid I)..., Op. Cit; juga R. Soepomo & R.
Djokosoetono, Sedjarah Politik Hukum Adat: Masa 1848–1928.. .Op. Cit.
51 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1: Hukum Tanah Nasional, cet. 7 (Jakarta : Djambatan, 1997).
52 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Simposium Sejarah Hukum (Jakarta : BPHN, 1976), hlm. 12.
53 Taufik Abdullah, “Pengantar : Arti Penerbitan Dokumen Sejarah,” dalam Sekretariat Negara
RI, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)—
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945–22 Agustus 1945, ed. 3 (Jakarta :
Setneg RI, 1995), hlm. vii..
54 Apa yang dilakukan Peter J. Burns dalam disertasinya di Universitas James Cook (Nort
Queensland, 1995) adalah contoh karya terbaru penelitian sejarah hukum Indonesia. Lihat
Peter J. Burn, Op. Cit.
274 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pengemban hukum praktis, khususnya hakim, dalam melakukan
penalaran hukum wajib memperhatikan segi-segi kelemahan dari produk
studi sejarah ini. Undang-undang dan putusan hakim terdahulu adalah
produk sejarah juga. Meminjam pernyataan Taufik Abdullah di atas, produk
itu adalah “perdebatan,” dalam arti terbuka untuk dikritisi dengan diberi
pemaknaan baru. Dengan ini berarti disparitas putusan dapat saja terjadi,
sekalipun kasus yang dihadapi serupa dengan kasus sebelumnya.
2) Sosiologi dan Sosiologi Hukum
Mengingat ilmu hukum adalah ilmu praktis yang senantiasa dievaluasi
oleh kenyataan-kenyataan sosial, maka disiplin nonhukum yang tercatat
paling sering memberi dasar-dasar ilmiah terhadap evaluasi tersebut adalah
sosiologi. Sebagai ilmu sosial, sosiologi adalah ilmu yang sangat muda.
Adalah Auguste Comte (1798–1857) yang dianggap sebagai perintis
pertamanya, dengan memperkenalkan dua bagian pokok sosiologi, yakni
“social statistics” dan “social dynamics.” Yang pertama merupakan sebuah ilmu
yang mempelajari hubungan timbal balik antara pranata-pranata sosial,
sementara yang terakhir meneropong bagaimana pranata-pranata tersebut
berkembang sepanjang jaman, yang oleh Comte dibagi menjadi tiga tahap
(teologis, metafisis, dan positif).55
Sosiologi memotret apa yang terjadi dewasa ini, bukan apa yang
seharusnya terjadi. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi menyatakan
bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-
proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu norma-
norma sosial, lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-
lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai
segi kehidupan bersama, seperti antara kehidupan ekonomi dan poitik,
atau hukum dan agama. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri
adalah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.56
Di Indonesia, kajian-kajian orisinal yang bermuatan sosiologis terwujud
dalam kitab-kitab etika, seperti Wulang Reh, yang disusun oleh
Mangkunegara IV berdasarkan situasi masyarakat Jawa (Surakarta) pada
saat itu. Konsep-konsep kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, juga dibangun
berlandaskan kajian sosiologis masyarakat Indonesia. Sekalipun demikian,
___________________________
55 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1982), hlm. 399.
56 Selo Soemardjan & Soelaeman Soemardi, eds., Setangkai Bunga Sosiologi (D jak arta : Ba dan Pen erb it
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964), hlm. 14.
SHIDARTA — 275
penelitian yang lebih komprehensif memang dilakukan oleh sarjana-sarjana
Barat, khususnya Belanda, seperti Snouck Hurgronje, C. van Vollenhoven,
Ter Haar, dan Duyvendak. Menurut Selo Soemardjan, sekalipun kajian-
kajian ahli-ahli asing ini memuat unsur-unsur sosiologis, kerangka
berpikirnya belum menempatkan sosiologi sebagai ilmu mandiri.57
Di lembaga pendidikan, materi sosiologi mula-mula diberikan di
Rechtshogeschool di Jakarta. Namu n, se kitar ta hun 193 4, kulia h-kuli ah sosio logi
ini ditiadakan karena dianggap pengetahuan tentang bentuk dan susunan
masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan
dalam hubungannya dengan pelajaran hukum. Dalam pandangan para
guru besar yang menyusun kurikulum tersebut, yang perlu dipelajari adalah
hukum positif, yaitu peraturan-peraturan yang berlaku dengan sah pada
suatu waktu dan tempat tertentu. Apa yang menjadi sebab terjadinya suatu
peraturan dan apa yang sebenarnya menjadi tujuannya, dianggap tidak
penting dalam pelajaran ilmu hukum. Hal yang dipentingkan adalah
perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya.58
Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1948, perkuliahan sosiologi
kembali diberikan, antara lain di Akademi Politik Indonesia di Yogyakarta.
Sejak saat itu, sejumlah buku sosiologi karya sarjana Indonesia diterbitkan,
seperti oleh Djody Gondokusumo dan Hassan Shadily. Namun, penelitian
mendalam oleh sosiolog Indonesia yang dilakukan secara sosiologis atas
suatu kelompok sosial tertentu baru muncul sekitar tahun 1962, melalui
disertasi Selo Soemardjan berjudul “Social Changes in Yogyakarta.”59 Setelah
itu, bermunculan banyak nama yang memperkaya khazanah penelitian
sosiologis di Indonesia, seperti N. Daldjoeni dan Arief Budiman, sedangkan
beberapa peneliti yang secara khusus melakukan kajian sosiologis terhadap
hukum adalah Soerjono Soekanto, Satjipto Rahardjo, dan Soetandyo
Wignjosoebroto. Kajian yang menelaah pengaruh struktur sosial dan proses
sosial terhadap hukum merupakan area dari cabang sosiologi yang disebut
sosiologi hukum.
Menurut Bruggink, pengkajian sosiologi hukum dapat bertolak pada
aliran (stroming) yang disebut sosiologi hukum empris dan sosiologi hukum
kontemplatif. Aliran pertama berangkat dari titik berdiri eksternal (berdiri
di luar masyarakat) dan mengacu pada teori kebenaran korespondensi,
mengkompilasi dan menata material objek telaahnya (perilaku orang atau
___________________________
57 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 46.
58 Ibid., hlm. 47.
59 Ibid., hlm. 49–50.
276 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kelompok orang) untuk kemudian dengan metode kuantitatif ditarik
kesimpulan-kesimpulan tentang hubungan antara norma hukum dan
kenyataan sosial. Metode yang digunakan mendekati metode yang digunakan
dalam ilmu-ilmu alam untuk menghasilkan produk penelitian yang seobjektif
mungkin, sehingga mampu menciptakan gambaran setepat mungkin tentang
kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya berfungsi aturan hukum positif.
Sebaliknya, sosiologi hukum kontemplatif menganut pendirian bahwa si
penstudi harus menjadi bagian dari masyarakat yang dikajinya (posisi internal).
Jenis sosiologi ini mengacu pada teori kebenaran pragmatis. Tidak seperti
sosiologi hukum empiris yang hanya dituangkan dalam proposisi informatif,
maka dalam sosiologi hukum kontemplatif proposisinya dapat bersifat
informatif, normatif, dan evaluatif. Kesahihan ilmiah kegiatan penelitian dan
produknya dikaji melalui diskursus intersubjektif. Penelitian empiris dalam
kerangka perspektif eksternal tetap dipandang penting dalam sosiologi hukum
kontemplatif, namun ia merupakan suatu momen saja dari keseluruhan
kegiatan penelitian tersebut.60
Saat ini praktis di semua jenjang pendidikan sarjana dan magister ilmu
hukum di Indonesia, materi tentang sosiologi hukum telah diberikan sebagai
mata kuliah yang berdiri sendiri. Sayangnya, dalam silabus perkuliahan di
kedua program studi itu, kajian-kajian aktual, apalagi yang bersifat
kontemplatif, tidak banyak dibicarakan.
Kajian sosiologi hukum empiris dan kontemplatif, secara saling
melengkapi dalam jumlah yang memadai, seharusnya memberikan
sumbangan yang penting bagi ilmu hukum dan penalaran hukum di
Indonesia. Pemahaman tentang struktur sosial diperlukan baik dalam
penalaran hukum praktis maupun teoretis. Pada saat Undang-Undang
Agraria disusun, misalnya, pembentuk undang-undang menyadari adanya
struktur sosial berupa golongan-golongan penduduk di Indonesia.
Kelompok masyarakat ada yang tunduk pada hukum tanah adat (seperti
hak ulayat, gogolan), ada pula yang tunduk pada hukum tanah Barat (seperti
hak eigendom, erfpacht). Seorang hakimpun memerlukan pemahaman sosiologi
hukum pula tatkala harus memutuskan suatu kasus konkret. Strata sosial
yang berbeda di antara para pihak dalam suatu sengketa pertanahan adalah
fenomena yang biasa terjadi, misalnya antara pemerintah dan warga sipil
seperti terlihat jelas pada kasus waduk Kedung Ombo. Tatkala terjadi
___________________________
60 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Adity
Bakti, 1996), hlm. 164–166; juga B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 125–126.
SHIDARTA — 277
perubahan-perubahan sosial, antara lain karena kegiatan pembangunan
(baca: pembangunan waduk), pranata-pranata sosial bernama “hukum”
ini kemudian dituntut untuk menjadi instrumen bagi dispute settlement, social
order, atau bahkan social engineering.
Para penstudi dari disiplin sosiologi dan sosiologi hukum memaknai
hukum sebagai pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik. Sosiologi hukum memberi landasan teoretisnya
kepada model penalaran Mazhab Sejarah, yang di Indonesia didukung oleh
para pengemuka hukum adat. Sosiologi hukumpun memberi pengaruh
yang sangat besar pada sistem hukum di Amerika Serikat, sehingga dari
wilayah ini para ahli hukumnya kemudian memaknai hukum sebagai judge-
made-law, dengan mengkaji “law as it is decided by judges through judicial process.”
Pendekatan ini melahirkan model penalaran Sociological Jurisprudence.
Sekalipun titik berangkat sosiologi hukum berbeda dengan Sociological
Jurisprudence, harus diakui bahwa penalaran hukum yang dilakukan oleh
para hakim mendapat pengaruh yang besar dari konsep-konsep sosiologis.
Hal ini kemudian memberi jalan kepada pengemban hukum yang menganut
model penalaran Sociological Jurisprudence, seperti halnya klaim para hakim
di Amerika Serikat, untuk ditempatkan pada posisi partisipan sekaligus
pengamat.
3) Antropologi dan Antropologi Hukum
Sosiologi dan antropologi adalah dua disiplin yang berdekatan. Jika
sosiologi memotret kenyataan sosial dewasa ini pada masyarakat modern,
maka sebaliknya, antropologi memotret hal serupa untuk masyarakat
tradisional (bersahaja). Pengertian tadi tampaknya ingin ditinggalkan oleh
sebagian antropolog. Saat ini, antropologi sudah diartikan sebagai “...the
study of human beings in all places and at all times. Antrhropology seeks to produce
useful generalizations about people and their behavior and arrive at an unbiased
understanding of human diversity.” Cakupan antropologi menurut pembagian
kontemporer itu adalah: (1) physical/biological anthropology; (2) archaeology; (3)
linguistic; (4) cultural anthropology; dan (5) applied anthropology. 61 Koentjaraning rat
memberi pembagian yang sedikit berbeda, yaitu: (1) paleo-antropologi;
(2) antropologi fisik; (3) etnolinguistik; (4) prehistori; dan (5) etnologi. Tiga
subbagian terakhir ini merupakan kelompok studi antropologi budaya.62
___________________________
61 Anonim, “A Definition of Anthropology,” <http://www.swt.edu/~rw04/intro/introduction/
start.htm>, 20 Juni 2003..
62 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, cet. 8 (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), hlm. 1.
278 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Antropologi hukum adalah cabang dari antropologi budaya (cultural
anthropology). Antropologi budaya mencakup dua subdisiplin, yaitu etnografi
(deskripsi tentang masyarakat) dan etnologi (analisis tentang masyarakat).
Antropologi hukum ini adalah pengembangan dari apa yang dulu disebut
etnologi hukum.63
Sama seperti sosiologi hukum, antropologi hukumpun merupakan
disiplin yang relatif muda usianya. Pada awal perkembangannya, antropologi
hukum dirintis oleh para ilmuwan yang memang berlatar belakang hukum,
seperti Bachofen, McLennan, Maine, dan Morgan, yang semuanya memberi
andil penting dalam pengkajian antropologi pada umumnya. Kajian
antropologis ini mendapat dukungan pula dari ahli-ahli hukum Mazhab
Sejarah, ahli perbandingan hukum, dan sosiologi hukum.64 Sayangnya, k ajian
mereka lebih bertendensi sebagai etnosentrisme hukum (legal ethnocentrism).
J.P. Spradley dan D. McCurdy dalam buku mereka “Anthropology: The Cultural
Perspective” (1975) menyatakan bahwa etnosentrisme hukum ini cenderung
menjadikan nilai-nilai Barat saja sebagai tolok ukur (standar) dalam rangka
deskripsi atau analisis terhadap masyarakat non-Barat.65
Pengkajian antropologi hukum dalam pengertian tradisional banyak
dilakukan oleh ahli-ahli hukum adat. Dalam kaca mata antropologi, hukum
tidak pernah dicerna sebagai hukum negara (state law). Hukum bermakna
plural, yakni hukum sebagaimana tercermin dari persepsi yang hidup di
masyarakat (living law).
Dalam kondisi kemasyarakatan Indonesia yang multietnik, pengkajian
antropologi akan memberi manfaat yang besar bagi penalaran hukum.
Penelitian-penelitian bertema kontemporer seperti dikemukakan
Koentjaraningrat mengindikasikan hal tersebut. Menurut Koentjaraningrat,
antropologi secara khusus dapat berperan dalam penelitian-penelitian
diakronis atau sinkronis mengenai interaksi antara suku-suku bangsa.
Penelitian-penelitian ini dapat dilakukan baik dengan metode kualitatif
melalui observasi dan wawancara mendalam, maupun dengan metode
kuantitatif untuk mengukur naik turunnya sikap toleransi di antara suku-
suku bangsa tersebut. Contoh penelitian antropologi dengan metode
kualitatif adalah mengenai identitas dan stereotip etnik yang dianut oleh
___________________________
63 Lihat B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 131.
64 Lihat Soerjono Soekanto, “Antropologi dan Hukum,” dalam Soerjono Soekanto & R. Otje
Salman, eds., Disiplin Hukum dan Disiplin Sosial (Bahan Bacaan Awal), cet. 2 (Jakarta: Rajawali
Pers, 1988), hlm. 33.
65 Lihat Djaka Soehendera, “Menyoal Peran State Law dan Kemajemukan Hukum,” Jurnal
Antropologi Indonesia, No. 61 Tahun 2000, hlm. 115
SHIDARTA — 279
warga dari suatu suku bangsa dan bagaimana stereotip itu mengalami
perubahan. Penelitian antropologi dengan metode kuantitatif dapat
dilakukan terhadap fenomena mobilisasi dan perkawinan antarsuku.
Koentjaraningrat memberi tekanan pula pada penelitian “iridentisme”
terhadap suku-suku bangsa yang ada di Indonesia namun berkewarga-
negaraan lain (contoh suku Papua di Papua Nugini, atau suku Dayak di
Malaysia).66
Penstudi antropologi hukum memberi sumbangan penting, khususnya
kepada pembentukan hukum yang akan menyusun undang-undang
bermaterikan yang menjangkau ranah nonnetral, seperti perdata adat atau
pidana adat. Dalam era desentralisasi saat ini, karya-karya penelitian
antropologi diperlukan untuk membantu pembentuk hukum menyelami
kebutuhan masyarakat dari perspektif kedaerahan. Kajian-kajian
antropologi juga membantu penalaran hukum yang dilakukan oleh para
hakim ketika hakim-hakim sedang menangani perkara-perkara adat.
Dalam kasus Kedung Ombo, kedekatan warga masyarakat
Kedungpring terhadap tanah mereka seharusnya dapat dijelaskan dengan
konsep-konsep antropologis. Hubungan magis ini tidak mudah dilepaskan
hanya dengan ganti kerugian yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
Pola penalaran yang digunakan oleh penstudi hukum dari disiplin
antropologi dan antropologi hukum memiliki kekhasan karena memaknai
hukum sebagai manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial
sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka (law as it is in human
actions). Penstudi hukum dari disiplin antropologi banyak menggunakan
model penalaran Realisme Hukum yang sepenuhnya menggunakan pola
penalaran nondoktrinal-induktif.
4) Psikologi dan Psikologi Hukum
Di samping ada ilmu bernama psikologi dikenal juga ada psikiatri.
Kedua ilmu tersebut berangkat dari disiplin yang berbeda, namun semuanya
terkait dengan persoalan mental atau kejiwaan.
Diskursus tentang jiwa telah dimulai sejak era Yunani Kuno, seperti
dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Sekalipun demikian, psikologi sebagai ilmu mandiri baru diterima luas pada
Abad ke-19, antara lain berkat jasa ahli psikologi eksperimen Wilhelm
___________________________
66 Koentjaraningrat, “Penelitian Antropologi terhadap Masalah Masyarakat Multietnik dan
Kesatuan Nasional,” dalam Harsya W. Bachtiar et al., Masyarakat dan Kebudayaan: Kumpulan
Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan (Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 361–362.
280 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Wundt (1832–1920), yang berhasil mendirikan laboratorium psikologi
pertama di Leipzig, Jerman. Objek telaah psikologi sangat beraneka ragam
sehingga sampai sekarang tetap ada pendapat yang meragukan psikologi
sebagai ilmu yang lengkap. Secara sederhana psikologi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari proses perilaku dan mental. Bidang-
bidangnya sangat luas, misalnya psikologi klinis, penyuluhan, eksperimental,
sekolah, pendidikan, perusahaan, sosial, perkembangan, kepribadian,
masyarakat, psikometri, dan rekayasa. 67
Psikiatri berbeda dengan psikologi karena ia beranjak dari disiplin
kedokteran. Para psikiater bekerja dengan pendekatan psikologi di samping
memberikan medikasi obat-obatan, pembedahan, dan prosedur lain.
Sebagian psikater ada yang memperdalam keilmuannya di bidang
psikoanalisis, yaitu pengetahuan khusus tentang kepribadian dan gangguan
kejiwaan. Di Amerika Serikat, psikonalisis menjadi bagian dari psikiatri.68
Di Indonesia, pendidikan psikologi baru diberikan pada tahun 1953, di
bawah rintisan Slamet Imam Santoso, seorang guru besar Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Saat itu ia mendirikan lembaga pendidikan psikologi
pertama sebagai lembaga otonom di luar kurikulum ilmu kedokteran. Upaya
ini akhirnya membawa lembaga ini ke bentuk mandiri berupa Fakultas Psikologi
pada tahun 1960. Setahun kemudian, di Universitas Padjadjaran didirikan
fakultas serupa sebagai hasil kerja sama dengan Pusat Psikologi Angkatan Darat.
Jika di Universitas Indonesia, fakultas ini berawal dari Fakultas Kedokteran, di
Universitas Gadjah Mada pada tahun 1964 berdiri Fakultas Psikologi sebagai
pengembangan dari Jurusan Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan.69
Psikologi dan psikiatri memberi andil yang besar bagi penalaran hukum.
Jika psikologi dan psikiatri menelaah kesadaran dan sikap tindak manusia,
maka ilmu hukum menyoroti aturan tentang kesadaran dan sikap tindak
yang serasi dengan patokan yang telah ditetapkan oleh masyarakat dan
negara.70 Hanya o rang yang keada an me ntaln ya sehat yang dapat melakukan
kegiatan penalaran hukum, sekaligus yang dapat dipersalahkan dan
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Asas hukum “actus
non facit reum, nisi mens sit rea” (an act does not make [the doer of it] guilty, unless
___________________________
67 Linda L. Davidoff, Psikologi: Suatu Pengantar, terjemahan Mari Juniati, jilid 1 (Jakarta: Erlangga,
1988), hlm. 2, 7–11.
68 Ibid., hlm. 9–10.
69 Lihat Irwanto et al., Psikologi Umum: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1994), hlm. 7.
70 Lihat Agus Brotosusilo, “Psikologi dan Hukum,” dalam Soerjono Soekanto & R. Otje Salman,
Loc. Cit., hlm. 68-69.
SHIDARTA — 281
the mind be guilty; that is, unless the intention be criminal. The intent and the act must
both concur to constitute the crime)71 membuktikan keyakinan ini. Oleh sebab
itu, kecakapan hukum (rechtsbekwaam) diukur dari aspek mental ini. Anak
di bawah umur, orang gila, atau orang yang sangat boros, dianggap tidak
matang atau tidak sehat secara mental, sehingga untuk mereka disediakan
oleh hukum suatu pranata tersendiri, yakni pengampuan (curatele).
Gambaran di atas menunjukkan bahwa perhatian ilmu hukum terhadap
kondisi mental subjek hukum sudah terumuskan sejak lama dalam peraturan
perundang-undangan. Pada saat Burgerlijk Wetboek dan Wetboek van Straafrecht
dirancang lebih dari satu setengah abad yang lalu, perkembangan ilmu
kedokteran jiwa kehakiman (psikiatri forensik atau psikiatri sosial-legal)
belumlah berkembang, tetapi kesadaran tentang pentingya kesehatan mental
sudah ditekankan. Peninggalan rumusan tersebut dapat dilihat dalam hukum
positif Indonesia antara lain dalam Pasal 61 dan 433 KUH Perdata dan
Pasal 44 KUHP. Sayangnya, ketentuan norma hukum positif ini masih
tetap bertahan seperti rumusan awal, sementara psikologi dan psikiatri telah
berkembang jauh. Sebagai contoh dapat ditunjukkan ketentuan Pasal 61
KUH Perdata. Pasal ini mengatur tentang pencegahan perkawinan oleh
orang tua kandung. Salah satu alasan tindakan pencegahan ini menurut
Ayat (3) pasal ini adalah: “Wanneer eene der partijen uit hoofde van gebrek aan
verstandelijke vermogens onder curateele gesteld, of de curateele uit dien hoofde verzocht,
en op dat verzoek nog niet is beslist” (Bila salah satu pihak, yang karena cacat
mental berada dalam pengampuan, atau dengan alasan yang sama telah
dimohonkan pengampuan, tetapi atas permohonan itu belum diambil
keputusan).72 Men urut Hasan Basri Saanin, konsep “verstandelijke vermogens”
ini dalam psikiatri bermakna sangat sempit, sehingga di Negeri Belanda,
rumusannya pada tahun 1928 telah diganti menjadi “geestelijke vermogens.”73
___________________________
71 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990), hlm. 36.
Lihat kaitannya dengan Pasal 6 Ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
72 Lihat kaitannya dengan Pasal 343 KUH Perdata yang menyatakan setiap keluarga sedarah berhak
minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap.
73 Kedua istilah ini secara leksikal bermakna sama, yaitu gangguan mental dan gangguan jiwa,
namun konsep psikiatri mengartikannya istilah yang pertama lebih sempit daripada yang kedua.
Sekadar catatan, International Classification of Diseases dari WHO membedakan dua kategori
gangguan jiwa (mental disorder), yaitu: (1) psikosa; dan (2) gangguan nonpsikotik. Gangguan
jiwa yang pertama secara populer disebut gila, yang dalam hukum penderitanya tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban legal. Gangguan nonpsikotik sebaliknya dapat tetap dijatuhi
sanksi, namun biasanya hakim memberikan keringanan atau menyerahkannya ke dalam
pengawasan negara. Lihat Hasan Basri Saanin Dt. Tan Pariaman, Psikiater dan Pengadilan:
Psikiatri Forensik Indonesia, cet. 2 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 3, 26-27.
282 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Meuwissen menyebutkan tiga segi sumbangan psikologi terhadap
hukum. Pertama, dari sudut psikonalisis (Freud dan pengikutnya) gejala-
gejala hukum dan negara dapat diinterpretasi menurut cara ini (dilakukan
misalnya oleh Fromm, Marcuse, Ehrenzweig). Kedua, psikologi humanistik
yang antara lain menelaah kesadaran hukum dan perasaan hukum. Ketiga,
psikologi perilaku (empiris) untuk mengamati tingkah laku manusia dengan
pertolongan model penjelasan kausal yang dipahami dari sudut konstelasi
tertentu.74
Hasil pekerjaan para ahli psikologi hukum, dengan demikian,
merupakan hasil studi yang sangat diperhatikan terutama oleh model
penalaran Realisme Hukum. Kaum Realisme Amerika memberi porsi
penting terhadap penelitian hukum dari optik psikologi ini. Dalam uraian
Bab III telah disinggung bahwa Realisme Hukum versi Amerika
dianggap lebih memberi perhatian pada perilaku (behaviour orientation).
Ini sejalan dengan rekomendasi Llewellyn untuk mengubah orientasi
studi hukum ke area kontak atau interaksi antara “official regulatory
behaviour and the behaviour of those affecting or affected by official regulatory
behaviour.”75
Studi dari kalangan psikologi hukum terhadap perilaku pengadilan
tampaknya belum menjadi fenomena di Indonesia. Hasil studi terhadap
lembaga peradilan di Indonesia, misalnya seperti dilakukan proyek penelitian
Bank Dunia,76 jug a oleh Indonesian Corruption Watch (ICW),77 semuanya
jelas menunjukkan buruknya citra dan kinerja aparat penegak hukum di
Indonesia. Buruknya citra dan kinerja ini, dapat disimpulkan terutama dari
kualitas putusan-putusan yang ditelurkan oleh lembaga peradilan, dan
putusan-putusan ini adalah produk penalaran hukum. Sangat disayangkan,
penelitian-penelitian yang disebutkan di atas, tidak satupun memuat kajian
mendalam tentang dimensi psikologis perilaku aparat hukum itu. Kajian-
kajian psikologi di Indonesia justru lebih banyak diarahkan kepada pelaku
kejahatan (bahan studi kriminologi) dan pihak korban (bahan studi
viktimologi).
___________________________
74 D.H.M. Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia,
Tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 67–68.
75 Lihat Karl Llewellyn, Jurisprudence: Realism in Theor y and Practice (Chicago: University of Chicago
Press, 1962), hlm. 3–41.
76 Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam terbitan: Kantor Hukum ABNR-MKK, Reformasi
Hukum di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Cyber Consult, 2000).
77 Lihat misalnya Washington Zakiyah et al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (Jakarta: Indonesian
Corruption Watch, 2002).
SHIDARTA — 283
5) Ilmu Politik dan Politik Hukum
Dalam bukunya “Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht,” Logemann
menyatakan ilmu politik harus dibedakan dengan politik. Politik merupakan
perbuatan memilih pihak tertentu untuk tujuan-tujuan sosial tertentu yang
dianggap bernilai, dan pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Ilmu politik
meneliti bagaimana cara mencapai tujuan-tujuan sosial dan sarana yang
dapat digunakan.78 Definisi tentang ilmu politik sendiri demikian luasnya,
sehingga Miriam Budiardjo mengkategorikan pengertian-pengertian itu
menurut lima konsep pokok, yaitu: (1) negara (state); (2) kekuasaan (power);
(3) pengambilan keputusan (decision making); (4) kebijakan79 (policy; beleid);
dan (5) pembagian (distribution) atau pengalokasian (alocation).80 Para ahli di
bidang ilmu politik biasanya mengambil sudut pandang tertentu dari
konsep-konsep di atas.
Khusus terkait dengan pembahasan tentang penalaran hukum,
pengertian ilmu politik dari konsep-konsep di atas sangat menarik. Negara
dan kekuasaan merupakan dua konsep penting karena institusi kehakiman
dan kekuasaan kehakiman itu sendiri diderivasi dari konsep-konsep politik
ini. Para pengemban hukum teoretis, khususnya mereka yang bergerak
dalam studi filsafat hukum sejak lama mempersoalkan tentang tema-tema
seperti hubungan negara dan hukum, hubungan hukum dan kekuasaan,
atau hak negara untuk menghukum. Jawaban atas perenungan ini antara
lain melahirkan teori-teori bernegara dan teori-teori kedaulatan.
Tiga konsep berikutnya dari pengertian ilmu politik juga menarik untuk
disinggung dalam kaitannya dengan kegiatan penalaran hukum. Menurut
Joyce Mictchell, “Politics is collective decision making or the making of public policies
for an entire society.” Senada dengan itu, Karl W. Deutsch menyatakan, “Politics
is the making of decisions by publics means.”81 Dua pernyataan ini menegaskan
bahwa ilmu politik pada dasarnya menekankan pada pengambilan keputusan
secara kolektif atau ditujukan untuk kebutuhan publik. Isi dari keputusan
itu merupakan kebijakan umum (public policy). Hoogerwerf bahkan
menekankan, bahwa objek dari ilmu politik adalah kebijakan pemerintah,
proses terbentuknya, serta akibat-akibatnya. Yang dimaksud dengan
kebijakan di sini, menurut Hoogerwerf adalah “membangun masyarakat
___________________________
78 Lihat masing-masing tulisan Winarno Yudho dan Purnadi Purbacaraka dalam Soerjono
Soekanto & R. Otje Salman, Loc. Cit., hlm. 103, 175.
79 Teks aslinya ditulis dengan kata “kebijaksanaan.”
80 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet. 10 (Jakarta: Gramedia, 1986), hlm. 8–14.
81 Ibid., hlm. 11-12.
284 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
secara terarah melalui pemakaian kekuasaan.”82 Dalam rangka membangun
masyarakat itu lalu diatur pembagian atau pengalokasian nilai-nilai dalam
masyarakat. Sehubungan dengan konsep pembagian dan pengalokasian
ini, tepatlah apa yang dikatakan Harold Lasswell¯tokoh yang diakui oleh
Mochtar Kusumaatmadja banyak mempengaruhi pikirannya¯bahwa politik
itu berbicara tentang “who gets what, when, how.”83 Kebijakan umum ini harus
dituangkan dalam format-format hukum tertentu, seperti dalam peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, kebijakan tentang pembagian atau
pengalokasian nilai-nilai yang termuat dalam format hukum tertentu tadi
selanjutnya dikenal dalam terminologi ilmu politik sebagai “politik hukum.”
Ada banyak variasi pengertian tentang politik hukum. Salah satunya adalah
dari Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, yang mendefinisikan
politik hukum sebagai kegiatan memilih dan menerapkan nilai-nilai.84 Ilmu
politik dengan demikian berfungsi memberikan landasan ilmiah bagi politik
hukum suatu negara atau pemerintahan.
Para penstudi hukum yang bertolak dari ilmu politik pada hakikatnya
melakukan penalaran hukum dalam rangka menjelaskan politik hukum ini.
Kegiatan penalaran yang mereka lakukan dengan demikian menunjukkan
karakteristik: (a) ditujukan untuk umum, bukan untuk kasus-kasus
individual; (b) dalam rangka membentuk kebijakan umum; dan (c) memuat
tentang pembagian dan pengalokasian nilai-nilai dalam masyarakat. Penstudi
hukum yang menggunakan pola penalaran seperti di atas sangat dekat
dengan apa yang dilakukan oleh pengemban hukum praktis yang melakukan
kegiatan pembentukan hukum, yakni mereka yang berada di lembaga
legislatif. Apa yang membedakannya dengan penstudi hukum dari ilmu
politik adalah sebagai berikut:
___________________________
82 Ibid., hlm. 12.
83 Penyataan ini ditulis sebagai judul bukunya: Harold D. Lasswell, Politics: Whot Gets What,
When, How (New York: World Publishing, 1972).
84 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, cet. 5 (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1989), hlm. 11. Bandingkan dengan definisi dari Mahfud M.D., Op. Cit., hlm. 9.
SHIDARTA — 285
Tabel IV-4:
Perbandingan Penstudi Hukum dari Ilmu Politik
dan Pengemban Hukum Praktis (Legislatif)
Para anggota lembaga legislatif yang mendapat kewenangan
membentuk hukum, tentu tidak seluruhnya berlatar belakang ilmu hukum.
Oleh karena itu, titik pandangan mereka tidak pula dapat diharapkan
semuanya mengikuti karakteristik penalaran hukum. Sekalipun demikian,
sebagai pengemban hukum praktis, para anggota lembaga legislatif tersebut
seharusnya menggunakan penalaran yang didominasi oleh pola partisipan,
dalam arti penalaran yang berpegang pada sistem hukum positif (nasional).
Untuk membantu terciptanya dominasi tersebut, lembaga-lembaga legislatif
di berbagai negara menciptakan unit (alat perlengkapan) yang secara khusus
membantu penyiapan suatu rancangan undang-undang atau analisis lain
yang terkait dengan aktivitas penalaran hukum. Di lingkungan DPR RI,
alat perlengkapan ini diwadahi dalam Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Pengemban hukum praktis lain yang juga erat kaitannya dengan
pembentukan hukum adalah para aparat yang menjalankan pemerintahan
umum. Di luar fungsi legislasi, aparat pemerintahan dalam level tertentu
juga diberi kewenangan diskresioner (freies ermessen) membuat peraturan
kebijakan (policy rules atau beleidsregel). Mengenai hal ini akan diuraikan lebih
jauh di bawah pada saat pembahasan tentang pengemban hukum praktis.
Pada bahasan Bab III sebelumnya, telah disinggung tentang langkah-
langkah penalaran hukum yang mengacu pada pengemban hukum praktis,
khususnya hakim. Pada langkah ketiga dinyatakan bahwa penalar hukum
harus menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk
kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum
itu (the policy underlying those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta)
aturan yang koheren. Kebijakan yang dikandung dalam aturan politik ini,
menurut terminologi ilmu politik, tidak lain adalah politik hukum itu sendiri.
286 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dengan demikian terlihat jelas bahwa produk penalaran hukum bagi
pembentuk hukum adalah keputusan tentang suatu kebijakan umum, yang
disebut dengan politik hukum itu. Kebijakan ini terkandung dalam aturan
hukum. Kebijakan ini perlu dicari oleh hakim karena tanpa itu ia tidak
dapat menghasilkan suatu struktur aturan yang koheren untuk diterapkan
pada struktur kasus konkret yang dihadapinya. Untuk membantu
pembentuk hukum menyusun politik hukum dengan baik¯dan di sisi lain
juga membantu masyarakat luas, khususnya hakim, dalam rangka
menangkap politik hukum tadi secara tepat¯diperlukan dukungan ilmu
politik.
Ilmu politik sebagai suatu cabang dari ilmu-ilmu sosial baru lahir pada
akhir Abad ke-19. Akan tetapi, apabila ilmu politik ditinjau dalam rangka
yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai
aspek negara dan kehidupan politik, maka ilmu politik dapat dikatakan
jauh lebih tua umurnya, malahan ia sering dinamakan “ilmu sosial yang
tertua” di dunia. Pada taraf perkembangan itu, ia bersandar pada sejarah
dan filsafat.85
Di Indonesia terdapat sejumlah karya tulis yang membahas perihal
kenegaraan, seperti Negarakertagama pada masa Majapahit dan Babad
Tanah Jawi (sekitar Abad ke-13 dan 15). Perkembangan kesusasteraan politik
ini, seperti halnya di kawasan Asia lainnya, mengalami kemunduran karena
terdesak oleh pemikiran Barat yang dibawa oleh negara-negara seperti
Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat dalam rangka imperialisme.86
Dari sudut pengajaran ilmu politik di lembaga pendidikan tinggi,
perkembangannya baru berlangsung pasca-Perang Dunia II. Penelitian
mengenai masalah-masalah kenegaraan pada masa itu dimonopoli oleh
fakultas hukum. Baru pada tahun 1947, di Amsterdam (Belanda) didirikan
Faculteit der Sociale en Politieke Wetenschappen. Kecenderungan yang sama juga
terjadi di Indonesia. Misalnya, pada tahun 1968 di Universitas Indonesia
berdiri Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, pecahan dari Fakultas Hukum dan Ilmu
Pengetahuan Kemasyarakatan. Di Universitas Gadjah Mada, fakultas baru
ini diberi nama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, seperti yang sekarang
ini lazim dipakai di semua perguruan tinggi.87
___________________________
85 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 1.
86 Ibid., hlm. 1-2.
87 Ibid., hlm. 2-3. Sebagai catatan, di Yogyakarta, pada tahun 1946 pernah didirikan Akademi
Ilmu Politik, yang dirintis oleh Djokosoetono, Sunario Kolopaking, dan Priyono. Akademi ini
kemudian dilebur ke dalam Universitas Gadjah Mada.
SHIDARTA — 287
Di Indonesia, kajian-kajian ilmu politik dalam kaitannya dengan hukum
telah banyak dilakukan, sekalipun penelitian yang kritis tidak terlalu banyak
dipublikasikan secara terbuka. Hal ini terutama terkait dengan pembatasan
yang dibuat oleh pemerintah. Tidak mengherankan jika kajian-kajian kritis
tersebut sebagian dilakukan oleh orang asing88 atau oleh orang Indonesia
yang studi di luar negeri.89
Di lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, politik hukum diberikan
sebagai mata kuliah wajib di Program Magister Ilmu Hukum. Tampaknya,
titik berat studi yang dijadikan pusat perhatian di program ini hanya terkait
dengan persoalan-persoalan tata negara, khususnya politik hukum yang
termuat dalam konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia.90
Politik hukum Indonesia selain tampak dalam konstitusi, pada skala lebih
mikro juga termuat dalam peraturan perundang-undangan yang spesifik
atau dalam putusan-putusan hakim. Salah satu area hukum yang banyak
mendapat perhatian penstudi politik hukum di Indonesia adalah bidang
agraria (pertanahan).91 Dari Tabel IV-3 (Perjalanan Historis Sistem Hukum
di Indonesia) sebenarnya juga dapat diduga bahwa perhatian di bidang ini
bukan sesuatu yang baru, karena minat yang sama sebenarnya sudah
diletakkan oleh pemerintahan kolonial seiring dengan meningkatnya
kebutuhan mereka akan tanah.92
Disiplin politik dan politik hukum senantiasa memandang hukum
sebagai produk politik (lihat Ragaan IV-a: Hubungan Sibernetis Sistem
Hukum dengan Sistem Lainnya). Peraturan perundang-undangan di bidang
agraria, dengan demikian, adalah produk politik penguasa di bidang
pertanahan. Model penalaran yang sangat terkesan dengan cara pandang
___________________________
88 Di antaranya yang cukup dikenal dewasa ini adalah Herbert Feith, Daniel S. Lev, R. William
Liddle, David Jenkins, Benedict Anderson, dan Harold Crouch.
89 Beberapa di antaranya adalah Todung Mulya Lubis dan Adnan Buyung Nasution yang masing-
masing studi di University of California (Barkeley) dan Universitas Leiden. Lihat: Todung
Mulya Lubis, In search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966–
1990 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993); juga Adnan Buyung Nasution, Aspirasi
Pemerintahan Konsitusional di Indonesia (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
90 Lihat antara lain silabus mata kuliah Politik Hukum di Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, <http://www.pasca.unpad.ac.id/magister/hukum/silabus.html>, 20 Juni 2003.
91 Lihat misalnya Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (Jakarta: Universitas,
1960); Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia (Jakarta: Pantjuran
Tujuh, 1971); Iman Soetiknjo, Politik Agraria Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1984); juga Moh. Mahfud M.D., Op. Cit..
92 Sekadar contoh adalah karya P.M. Letterie, Agrarische en daarmede in verband houdende Regelingen
voor het Rechtstreeks Bestuurd Gebeid der Gewesten buiten Java en Madura (Welt evr ede n: L and sdruk ker ij,
1924); C.C.J. Maaseen & A.P.G. Hens, Agrarische Regelingen voor het Gouvernements Gebied Java en
Madura (Batavia: Ruygrok, 1924).
288 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
seperti ini adalah Positivisme Hukum. Oleh karena itu, pola penalaran
“doktrinal-deduktif” yang dipergunakan oleh Positivisme Hukum dapat
dijelaskan melalui bantuan ilmu politik. Sekalipun demikian, ilmu politik juga
melihat bahwa pembentukan hukum harus pula diimbangi dengan
pendekatan substansial dari hukum itu sendiri, yakni berupa pembagian dan
pengalokasian sumber-sumber dalam masyarakat. Model penalaran
Utilitarianisme selanjutnya menawarkan pola penalaran nondoktrinal-induktif
sebagai penyeimbang dari terlalu menonjolnya peran penguasa politik.
Ditempatkannya politik hukum sebagai salah satu studi disiplin
nonhukum terhadap hukum tidak lalu berarti langsung disepakati bahwa
kedudukan politik hukum itu sekelompok dengan disiplin lain seperti sejarah
hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum. Pada
garis besarnya ada dua kubu yang memandang kedudukan politik hukum
ini jika dilihat dari posisi induk keilmuannya, yakni ilmu politik. Kubu
pertama diduduki oleh kaum tradisionalis (seperti Eric Voegelin, Leo
Strauss, John Hallowell), sementara di kubu lain terdapat para behavioralis
(seperti Gabriel A. Almond, David Easton, Karl W. Deutsch, David
Truman, Robert Dahl). Kaum tradisionalis menekankan pendekatannya
pada analisis nilai-nilai dan norma-norma, dengan bercirikan: filsafat, ilmu
terapan, historis-yuridis, dan tidak kuantitatif. Sementara kaum behavioralis
menekankan pada studi fakta dan bercirikan: penelitian empiris, ilmu murni,
sosiologis-psikologis, dan kuantitatif.93
Kaum tradisionalis ini melihat ilmu politik lebih dekat dengan ilmu
praktis seperti halnya ilmu hukum. Dilihat dari sejarah pendidikan ilmu
politik di Indonesia, tampaknya pengaruh kaum tradisionalis ini lebih
dominan. Namun, seiring dengan menguatnya pengaruh ilmu-ilmu empiris,
khususnya sosiologi dan psikologi, ilmu politik pun lebih mengidentifikasi-
kan dirinya ke arah ilmu-ilmu empiris. Pandangan terakhir inilah yang
dipegang erat oleh para behavioralis.
Dari kaca mata kebanyakan ahli hukum, pandangan tradisionalis
mmang lebih disukai. Menurut Purnadi Purbacaraka, politik hukum adalah
disiplin hukum khusus (bersegi khusus) karena dihasilkan oleh filsafat
hukum, dogmatik hukum, dan ilmu kenyataan hukum.94 Kelompok dis iplin
seperti sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi
hukum (dan juga perbandingan hukum), dimasukkan oleh Purnadi ke dalam
___________________________
93 Miriam Budiardjo, Op. Cit., hlm. 5–6.
94 Purnadi Purbacaraka, “Disiplin Hukum adalah Disiplin Sosial (Pendahuluan),” dalam Soerjono
Soekanto & R. Otje Salman, Loc. Cit., hlm. 20.
SHIDARTA — 289
kriteria ilmu kenyataan hukum. Menurutnya, ilmu kenyataan hukum di
Indonesia harus memenuhi syarat umum yaitu bersifat teoretis-empiris
dan metodenya induktif-nomologis. Adapun syarat khususnya adalah
pencerminan “bhinneka tunggal ika” dengan sesekali lebih membayangkan
ke-bhinneka-annya tanpa menghilangkan bayangan ke-tunggal-an (bidang
hukum perdata) dan lain kali sebaliknya (bidang hukum tantra dan hukum
pidana).95 Penjelasan pada paragraf sebelumnya dapat menunjukkan
keunikan dari politik hukum ini, yaitu bahwa model-model penalaran yang
dipengaruhinya tidak sepenuhnya bersifat teoretis-empiris atau bermetode
induktif-nomologis seperti digarisbawahi oleh Purnadi untuk menyebut
syarat-syarat ilmu kenyataan hukum.
Untuk memahami keterkaitan antara ilmu politik dan ilmu hukum,
dapat ditelusuri sistematika yang disampaikan oleh Georg Jellinek. Induk
dari kedua bidang hukum itu, menurut Jellinek, adalah Staatswissenschaft
dalam arti luas (ilmu kenegaraan). Ragaan di bawah ini adalah gambaran
dari sistematika tersebut.96
___________________________
95 Purnadi Purbacaraka, “Penutup,” dalam Ibid., hlm. 174-175.
96 Max Boli Sabon et al., Ilmu Negara: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992), hlm. 10.
Ragaan IV-m: Hubungan Ilmu Politik dan Ilmu Hukum
290 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan di atas selain ingin menunjukkan hubungan penalaran hukum
dengan ilmu hukum yang bersentuhan dengan bidang kenegaraan (hukum
tata negara dan hukum administrasi negara), juga untuk memperlihatkan
posisi ilmu negara dan ilmu politik. Kesemua bidang yang disebutkan tadi
kebetulan menyoroti objek yang sama, yaitu negara. Sistematika yang diberikan
oleh Jellinek di atas memperlihatkan, bahwa dilihat dari objek yang ditelaahnya,
ilmu hukum dapat dianggap bagian dari ilmu negara, namun sudah terkait
dengan negara tertentu. Sementara itu, ilmu politik adalah bagian dari ilmu
negara yang menyoroti segi-segi praktis dari negara-negara pada umumnya.
Dalam ragaan terlihat S taat swiss ensc haft dalam ar ti lu as (il mu kenegaraan)
dibedakan menjadi Staatswissenschaft dalam arti sempit (ilmu negara) dan
Rechtswissenschaft (ilmu hukum). Staatswissenschaft dalam arti sempit (ilmu
negara) ini lalu dibagi lagi menjadi Beschreibende Staatswissenschaft, Theoretische
Staatswissenschaft, dan Praktische Staatswissenschaft (ilmu politik). Selanjutnya,
Theoretische Staatswissenschaft ini dibedakan lagi menjadi Allgemeine Staatslehre
(ilmu negara umum) dan Besondere Staatslehre (ilmu negara khusus). Dalam
Allgemeine Staatslehre dibicarakan tentang aspek sosial negara pada umumnya
(Allgemeine Soziale Staatslehre) dan aspek yuridisnya (allgemeine Staatsrehtslehre).
Sementara itu, jika yang dipelajari adalah lembaga kenegaraan tertentu dalam
negara pada umumnya, seperti lembaga perwakilannya saja, maka bidang
ini disebut spezielle Staatslehre. Apabila lembaga-lembaga yang dipelajari itu
terkait dengan negara tertentu, maka bidang ini dinamakan individuelle
staatslehre.97 Mengingat Individuelle Staatslehre menunjuk kepada kekhususan
pada negara tertentu, maka di sinilah letak keterkaitannya dengan hukum
tata negara dan hukum administrasi negara. Di luar itu, sering juga
ditambahkan hukum internasional (hukum antar-bangsa).
Jadi, seperti ditunjukkan dalam sistematika Jellinek di atas, ilmu politik
(dan cabangnya [ilmu] politik hukum) memang tidak terlalu beralasan kuat
untuk dimasukkan ke dalam kelompok disiplin hukum. Hal ini juga sejalan
dengan kecenderungan ilmu politik akhir-akhir ini untuk lebih condong
ke arah pendekatan behavior. Politik hukum adalah studi hukum eksternal
disiplin hukum.
b. Pengembanan Hukum Teoretis
Berbicara tentang pengembanan hukum teoretis, berarti berbicara
tentang aktivitas ilmuwan, teoretisi, dan filsuf hukum dalam pengkajian
hukum di Indonesia. Dapat diduga bahwa komunitas pengemban hukum
___________________________
97 Lihat Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 9.
SHIDARTA — 291
teoretis ini ada di lingkungan perguruan tinggi hukum, khususnya di
sejumlah universitas nasional terkemuka.
Menurut hasil studi tentang perkembangan hukum Indonesia yang
didanai Bank Dunia (1996), terdapat lebih dari 200 lembaga pendidikan
tinggi hukum di seluruh Indonesia yang mampu meluluskan sekitar 13.000
sarjana hukum setiap tahunnya. Dari mereka inilah kemudian tumbuh
generasi-generasi baru para pengemban hukum praktis dan teoretis di
Indonesia. Mereka menjadi tenaga-tenaga profesional di bidang hukum,
seperti praktisi (hakim, jaksa, notaris, advokat/pengacara, konsultan hukum,
in-house lawyer, dan sebagainya) atau sebagai tenaga pengajar dan peneliti.
Untuk melihat kondisi pengembanan hukum teoretis di Indonesia,
salah satu cara yang mudah adalah dengan menyoroti kondisi pengkajian
disiplin hukum, yakni dari sudut penelaahan ilmu hukum, teori hukum,
dan filsafat hukum. Hubungan antara ketiga cabang disiplin hukum ini,
telah disinggung dalam paparan Bab I dan III dengan mengambil bahan-
bahan hasil penelitian B. Arief Sidharta.98
1) Kajian Ilmu hukum
Pendidikan hukum di Indonesia dimulai tahun 1909 dengan nama
Opleidingsschool voor de Inlandsche Rechtsundigen, yang sebenarnya belum dapat
disejajarkan dengan sekolah tinggi. Namun, menurut penelitian Soetandyo
Wignjosoebroto, dari Opleidingsschool inilah muncul cikal bakal berdirinya
Rechtsschool (RH) yang pertama di Hindia Belanda. Tujuan pendiriannya
adalah untuk mengisi kebutuhan pengisian jabatan administrasi tertentu
(rechtsambtenaren), yang sampai saat itu masih dipegang oleh orang-orang
berkebangsaan Belanda. Padahal, di sisi lain, berhembus cukup kuat “angin”
politik etis yang diperlakukan secara sadar (bewuste rechtspolitiek) di Negeri
Belanda, yang antara lain berkeinginan memberi kesempatan bagi penduduk
pribumi memperoleh pendidikan yang layak.99
Pendidikan hukum sejak masih bernama Opleidingsschool, sudah
mensyaratkan seleksi penerimaan yang ketat. Peserta harus lulusan Europese
Lagere School (ELS) yang dikenal berkualitas tinggi. Murid ELS biasanya
___________________________
98 Versi uraian yang lebih ringkas dan padat tentang hubungan ketiga cabang disiplin hukum ini
dimuat dalam B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum: tentang Hubungan antara Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum (State of the Arts), Jurnal Pro Justitia, Tahun XX No. 3, Juli
2002, hlm. 3–15.
99 Mengenai sejarah berdirinya lembaga pendidikan hukum di Indonesia, baca Soetandyo
Wignjosoebroto, Op. Cit, hlm. 143 et seq. Juga lihat B. Arief Sidharta, Refleksi..., Op. Cit., hlm.
36–37, 171. Uraian tentang pendidikan hukum masa penjajahan ini selanjutnya mengambil
bahan-bahan dari penelitian Soetandyo dan tulisan B. Arief Sidharta tersebut.
292 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
adalah orang-orang Eropa atau anak-anak kalangan bangsawan pribumi.
Padahal, Sekolah Dokter Jawa dan Sekolah Pamong Praja (Osvia) saja hanya
mensyaratkan murid-muridnya cukup berijazah Holandsch-Inlandsche School
(HIS). Dengan prestise tersebut, maka pada tanggal 28 Oktober 1924, RH
ini ditingkatkan menjadi lembaga pendidikan tinggi dengan nama
Rechtshoogesschool (RHS). Pendidikan tinggi ini didesa in di bawah saran-saran
Paul Scholten, seorang ahli hukum Belanda yang sangat berpengaruh dan
mendapat bantuan dari Fakultas Hukum Universitas Leiden. Oleh sebab
itu, falsafah pendidikan Leiden yang liberal mempunyai pengaruh yang
besar pada sistem pendidikan di RHS.
Menurut catatan Soetandyo, daftar lulusan RH pada tahun 1928
menunjukkan bahwa antara tahun 1912 (tahun pertama kali ujian akhir
diselenggarakan) dan tahun 1928 (saat RH ditutup) lembaga ini telah
berhasil mencetak 189 lulusan, 43 orang di antaranya meneruskan studi ke
Leiden dan lulus sebagai meester dan lima orang di antaranya bahkan berhasil
melanjutkan studi dengan menulis disertasi dan meraih gelar doktor.100
Sistem pendidikan tinggi di Negeri Belanda pada masa itu memberikan
gelar meester (untuk bidang hukum: meester in de rechten; Mr.) untuk
kepentingan praktik, sedangkan pendidikan yang tertuju ke gelar doktor
adalah pendidikan dengan tujuan pendalaman keilmuan. Sebenarnya, untuk
mengikuti pendidikan doktor, pesertanya harus terlebih dulu mendapat
dasar-dasar pendidikan klasik, sesuatu yang tidak diperoleh oleh lulusan
RH itu. Namun, Universitas Leiden meniadakan persyaratan ini, sehingga
terbukalah kesempatan para ahli hukum Hindia Belanda ini diberi izin
mengikuti pendidikan doktor ini. Izin tersebut harus pula dilihat sebagai
bagian dari kebijakan pengasuhan (voogdij), pengejawantahan dari politik
etis yang diperlakukan secara sadar itu.
Para pengajar dari RH dan RHS adalah orang-orang Belanda atau
mereka yang mendapat pendidikan hukum di Negeri Belanda. Oleh sebab
itu tidak mengherankan jika akar ilmu hukum yang diajarkan adalah ilmu
hukum Belanda atau ilmu hukum yang dikembangkan di Negeri Belanda.
Walaupun RHS ini kemudian berhenti setelah berjalan sekitar 16 tahun,
pengaruh ini terus dilanjutkan oleh perguruan tinggi hukum pasca-
kemerdekaan. Hal ini dapat dimengerti karena pengajar perguruan tinggi
pada awal era kemerdekaan itupun hampir seluruh berasal dari lulusan
RHS, ditambah dengan lulusan dari Negeri Belanda. Pada saat itu
___________________________
100 Kelima doktor ilmu hukum pertama ini adalah R. Gondokoesomo, Alimoedin Enda Boemi,
R. Kusumah Atmadja, M. Soebroto, dan R. Soepomo.
SHIDARTA — 293
diperkirakan jumlah sarjana hukum di Indonesia baru sekitar 500–600 orang
(jumlah penduduk saat itu di atas 60 juta jiwa).
Demikianlah, kondisi ini memberikan sisa-sisa yang kuat bagi
pengkajian ilmu hukum Indonesia hingga saat ini. Apa yang digambarkan
oleh Peter J. Burns sebagai “the Leiden legacy” masih dirasakan di ruang-
ruang kuliah fakultas hukum di Indonesia. Langkah-langkah mencari ilmu
hukum yang khas Indonesia, memang pernah diupayakan oleh ahli-ahli
hukum Indonesia, khususnya mereka yang berkecimpung dalam hukum
adat, tetapi kajian merekapun tetap bersandar pada warisan kolonial. Indikasi
ini antara lain dapat dilihat dari masih dicantumkannya “19 lingkungan
hukum adat” (adatrechtskring) karya Vollenhoven tanpa ada keinginan untuk
menelaah validitasnya di lapangan.
Pergantian sistem hukum dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan
juga lebih banyak bernuansa politis daripada akademis. Ilmu hukum yang
pada dasarnya lebih banyak berbicara tentang hukum positif Indonesia,
masih didominasi oleh fondasi hukum-hukum pokok seperti perdata dan
pidana. Keduanya kebetulan masih berpegang erat pada kodifikasi produk
jaman kolonial Belanda. Hanya bidang-bidang yang parsial saja yang terus
berkembang secara tambal sulam, seiring dengan munculnya peraturan
perundang-undangan yang baru.
Satu-satunya lapangan hukum yang terlihat cukup signifikan adalah di
bidang hukum tata negara. Ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum
(rechtsidee) memberi landasan yang kuat bagi lahirnya sistem hukum yang
khas Indonesia, sehingga pada gilirannya juga diharapkan lahir ilmu hukum
nasional Indonesia itu. B. Arief Sidharta menunjuk sedikitnya tiga ciri khas
ilmu hukum nasional Indonesia yang masih perlu dibangun itu:101
a. Paradigma Ilmu Hukum Nasional Indonesia mengacu Cita-hukum
Pancasila, Tujuan Hukum Pengayoman, Konsepsi Negara Hukum
Pancasila, Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara.
b. Obyek pengolahan sistematisasinya adalah Tatanan Hukum Nasional
Indonesia, tertulis maupun tidak tertulis.
c. Kegunaan studi dan pengembangan (pembinaan) Ilmu Hukum Nasional
Indonesia dewasa ini adalah untuk peningkatan mutu penyelenggaraan
hukum sehari-hari dan pelaksanaan pembangunan Tata Hukum Nasional
Indonesia dengan mengolah masukan dari berbagai ilmu lain dalam
mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan sosial, serta mengantisipasi
dan mengakomodasi dampak perkembangan di masa depan.
___________________________
101 B. Arief Sidharta, Refleksi..., Op. Cit., hlm. 219.
294 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Apa yang dimaksud dengan cita hukum Pancasila itu memang cukup
banyak ditulis,102 namun apa yang disebut sebagai cita hukum ini lebih
banyak disorot sebagai falsafah (pandangan hidup) yang nota bene yang
bernuansa ideologis daripada keilmuan. Ideologi adalah filsafat dalam arti
produk, bukan dalam arti proses.
Dalam sistem politik yang totaliter seperti ditunjukkan oleh
pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, terdapat kekhawatiran yang
sangat kuat untuk menjadikan Pancasila sebagai objek-telaah yang bersifat
keilmuan. Padahal, jarak yang abstrak pada tataran filosofis di atas dan
ilmu hukum yang konkret-positif itu dapat lebih terjembatani melalui kajian-
kajian teori hukum yang bernas, hasil dari suatu proses pengembanan
hukum teoretis.
2) Kajian Teori Hukum
Teori hukum adalah suatu cabang disiplin hukum yang baru tumbuh
pada era tahun 1970-an. Sekalipun demikian, sebelum disiplin ini tumbuh,
bukan berarti kajian-kajian interdisipliner sebagai ciri khas teori hukum
belum pernah dilakukan. Model-model penalaran seperti yang dikemukakan
dalam Bab III, yang dikenal sebagai aliran-aliran filsafat hukum sebenarnya
juga dapat dianggap buah penalaran hukum dari para pengemban hukum
teoretis di wilayah kajian teori hukum. Model-model penalaran itu disebut
aliran-aliran filsafat hukum karena filsafat hukum sebagai metadisiplin
terhadap teori hukum (dan juga terhadap ilmu hukum) itu telah memberi
landasan kefilsafatan bagi keberadaan teori hukum tentang model-model
penalaran itu.
Teori hukum berupaya untuk mengolah semua hasil penelitian berbagai
disiplin ilmiah yang objeknya hukum, menjadi suatu keseluruhan yang
koheren agar dapat, di satu pihak menarik pembentukan konsep-konsep
yuridis (yang baru) sehingga dapat digunakan dalam pengembanan ilmu
hukum pada waktu menanggulangi masalah-masalah hukum lama; dan di
lain pihak untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
tepat bagi filsafat hukum. Menurut B. Arief Sidharta, teori hukum adalah
disiplin hukum yang secara kritis dalam perspektif interdisipliner
menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam
kaitan dengan keseluruhannya, baik dalam konsepsi teoretisnya maupun
dalam pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang
___________________________
102 Lihat antara lain Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara (Kumpulan Tiga Uraian Pokok-
Pokok Persoalan tentang Pancasila), cet. 7 (Jakarta: Bina Aksara, 1988).
SHIDARTA — 295
lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis terberi.
Pokok telaah teori hukum itu mencakup: (1) analisis tentang pengertian
hukum, pengertian dan struktur sistem hukum, sifat dan struktur norma
hukum, pengertian dan fungsi asas hukum, pengertian serta interelasi
konsep-konsep yuridis (misalnya subjek hukum, hak, kewajiban, hubungan
hukum, peristiwa hukum, perikatan, tanggung gugat); (2) ajaran metode
dari hukum yang mencakup teori argumentasi yuridis (teori penalaran
hukum), metode dari ilmu hukum dan metode penerapan hukum (metode
pembentukan dan penemuan hukum); (3) ajaran ilmu (epistemologi) dari
hukum yang mempersoalkan keilmiahan dari ilmu hukum; dan (4) kritik
ideologi yang mencakup kritik terhadap norma hukum positif dan
menganalisis norma hukum untuk mengungkapkan kepentingan dari
ideologi yang melatarbelakanginya.103
Di lembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia, istilah “teori
hukum” tidak banyak dipakai sebagai mata kuliah yang mandiri, kecuali di
tingkatan program magister ilmu hukum (sebagai mata kuliah wajib).
Pendidikan magister sendiri dapat dikatakan sebagai jenjang pendidikan
baru, dengan dasar pemikiran yang kurang lebih sejalan dengan kebutuhan
akan teori hukum. Pada awalnya hanya beberapa perguruan tinggi negeri
yang mendapat kepercayaan menyelenggarakan program magister ini.
Perguruan tinggi swasta pertama yang diberikan izin adalah Universitas
Tarumanagara di Jakarta pada tahun 1992.
Di tingkat sarjana (strata satu), selalu terdapat mata kuliah yang diberi
nama “Pengantar Ilmu Hukum” yang jika ditelaah isinya merupakan ajaran
hukum umum (allgemeine rechtslehre).104 Ant ara teori hukum d an ajaran hukum
umum ini banyak terdapat persamaannya karena materinya dimaksudkan
untuk mengantarkan penstudi hukum memasuki objek telaah hukum positif
Indonesia. Cakupan teori hukum seperti disinggung di muka, seperti
konsep-konsep mendasar tentang pengertian hukum, sistem hukum, norma
hukum, asas hukum, metode pembentukan dan penemuan hukum, struktur
keilmuan ilmu hukum, dan kritik terhadap norma hukum positif, memang
diberikan dalam mata kuliah ini. Sayangnya materi-materi yang disajikan
tidak sampai menjangkau optimalisasi tingkat abstraksi yang diharapkan
untuk sebuah teori hukum yang berangkat dari ilmu hukum nasional
Indonesia.
___________________________
103 B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum: tentang ..., Loc. Cit., hlm. 11.
104 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. xii.
296 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Indikasi dari kesimpulan di atas dapat dilihat dari sedikitnya karya-karya
yang ditulis secara komprehensif dan interdisipliner untuk digunakan sebagai
materi studi “pengantar ilmu hukum” itu. Kelemahan terbesar adalah karena
sedikitnya penelitian-penelitian empiris hukum (sumbangan dari disiplin
nonhukum) yang dapat digunakan oleh teoretisi hukum di dalam karya-karya
mereka. Tradisi untuk mengutip kasus-kasus konkret di pengadilan (putusan
hakim) belum menjadi fenomena, salah satu di antaranya karena
“ketidakbersediaan” lembaga peradilan sendiri untuk memberi akses seluas-
luasnya kepada publik dalam mengkiritisi putusan-putusan tersebut. Dalam
praktik, putusan-putusan hakim yang telah dibacakan di muka umum tidak
mudah didapatkan sekalipun untuk keperluan penelaahan akademis. Hakim-
hakim tampaknya masih berpegang kepada Pasal 179 HIR yang hanya
menyebutkan bahwa kepada para pihak saja putusan itu wajib disampaikan.
Tradisi penulisan karya-karya berkriteria kajian teori hukum sangat
dipengaruhi oleh corak keluarga sistem civil law, yang sebenarnya sudah
mulai ditinggalkan di negara-negara Eropa Kontinental. Secara tradisional,
kajian-kajian teori hukum lebih diarahkan kepada produk hukum berbentuk
peraturan perundang-undangan daripada putusan-putusan pengadilan.
Kalaupun ada putusan pengadilan yang diangkat, biasanya berupa “landmark
decisions” sebelum Indonesia merdeka, bukan putusan-putusan yang berasal
dari lembaga peradilan di Indonesia sendiri. Sinyalemen tersebut dapat
diamati dari karya-karya ahli hukum seperti Soediman Kartohadiprodjo
(“Pengantar Tata Hukum Indonesia,” 1956), A. Utrecht (“Pengantar dalam Hukum
Indonesia”), dan Kusumadi Pudjosewojo (“Pedoman Pelajaran Tata Hukum
Indonesia,” 1961). Hal yang sama juga dapat diamati dari tulisan-tulisan yang
menganalisis lapangan hukum sektoral seperti karya R. Soepomo, Hazairin
, Wirjono Prodjodikoro, R. Subekti, St. Kali Malikoel Adil, dan Moeljatno.
Salah satu penulis Indonesia yang semula banyak melakukan analisis kasus
adalah Sudargo Gautama (antara lain dalam karyanya di bidang hukum
antar-tata hukum), namun langkah demikian tidak diteruskannya pada karya-
karya terakhirnya.105
Kurang terbukanya akses publik untuk mendapatkan putusan-putusan
pengadilan serta tidak tersedianya lembaga yang menghimpun dan
mendistribusikannya secara cepat, murah, dan meluas, adalah kendala yang
disadari sepenuhnya oleh pemerintah. Oleh sebab itu, salah satu langkah
___________________________
105 Ada sejumlah karya Sudargo Gautama akhir-akhir ini yang memuat analisis kasus seperti dalam
putusan di bidang merek dan arbitrase, namun analisisnya tidak cukup mendalam dan cenderung
menjadi karya kompilasi putusan-putusan belaka.
SHIDARTA — 297
yang dianggap perlu oleh pemerintah, sebagaimana ditegaskan oleh Yusril
Ihza Mahendra adalah pembinaan “yurisprudensi tetap” dengan pembinaan
kualitas para hakim. Menurutnya, penerbitan yurisprudensi tetap perlu lebih
digalakkan dengan disertai anotasi oleh para pakar di bidangnya.106
3) Kajian Filsafat Hukum
Berbeda dengan kajian teori hukum, kajian filsafat hukum sebagai
bentuk pengembanan hukum teoretis sudah lebih dulu akrab, khususnya
tatkala diskursus tentang dasar negara Indonesia merdeka diketengahkan
dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945. Apa yang diutarakan oleh
Soepomo, Moh. Yamin, dan Soekarno pada saat itu menunjukkan hasil
kajian filsafat hukum yang mendalam.
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum¯dan
setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan
kefilsafatan bagi teori hukum. Sebagai pemberi dasar, filsafat hukum menjadi
rujukan ajaran nilai dan ajaran ilmu bagi teori hukum dan ilmu hukum.
Kajian-kajian filsafat hukum ini terutama tercermin dalam penelitian di
tingkat doktoral, yang pada hakikatnya memang didesain untuk memberi
derajat pendidikan sebagai doctor of philosophy (Ph.D.).
Di manapun di seluruh dunia, kegairahan ilmiah sangat dipengaruhi
oleh tingkat kebebasan yang diberikan negara kepada kaum intelektualnya.
Dalam sistem pemerintahan yang otoriter selama pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru, dengan dominasi politik yang terlalu besar di segala bidang,
kegairahan untuk melakukan penelitian-penelitian yang radikal (sesuatu yang
khas filsafat) pastilah dihindari. Indikasi ini dapat diamati dari kegiatan
pengemban hukum teoretis dalam bentuk penelitian tingkat doktoral di
Indonesia selama dua periode rezim kekuasaan tersebut. Beberapa penelitian
yang kesimpulannya bersifat terlalu “berseberangan” dengan kebijakan atau
opini resmi pemerintah, biasanya tidak dilakukan. Seandainya tetap
dilakukan, penelitian demikian tidak dipublikasikan di Indonesia. Jika pilihan
suatu topik yang “sensitif” secara politis itu tetap ingin diteruskan, biasanya
penelitiannya diadakan di perguruan tinggi di luar Indonesia.107
___________________________
106 Yusril Ihza Mahendra, Loc. Cit., hlm. 22.
107 Contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Adnan Buyung Nasution. Penelitian ini
antara lain menyimpulkan bahwa Konstituante yang diserahi kewenangan membentuk konstitusi
baru, sengaja digagalkan tugasnya. Padahal opini resmi pemerintah, baik semasa Orde Baru
maupun Orde Lama menyatakan Konstituante ini dibubarkan karena memang tidak mampu
menyelesaikan tugasnya. Opini ini antara lain diperlukan sebagai dasar bagi pemerintah untuk
tetap mempertahankan UUD 1945 setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
298 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Kajian filsafat hukum yang terkait dengan Pancasila adalah termasuk
topik yang tidak banyak diminati. Kajian terhadap Pancasila sebagaimana
kemudian dituangkan dalam materi perkuliahan di perguruan tinggi lebih
diarahkan sebagai bentuk indoktrinasi ideologis daripada dalam rangka
pengembanan hukum teoretis. Pendidikan Pancasila bahkan diberikan mulai
dari tingkat pendidikan dasar. Semula, dari tahun 1968 materi ini diberikan
di bawah mata ajaran Pendidikan Kewarganegaraan, selanjutnya menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (1975), dan kemudian menjadi Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (1994).
Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa),
lalu dilakukan penataran-penataran Pancasila di berbagai jenjang pendidikan
dan lapisan masyarakat. Untuk mengelola kegiatan penataran ini, lalu
dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (BP-7) baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Sementara itu, di lingkungan perguruan tinggi tertentu seperti di Institut
Ilmu Keguruan dan Pendidikan (IKIP) Malang berdiri Laboratorium
Pancasila yang melakukan penerbitan dan riset-riset strategis untuk memberi
masukan kepada lembaga-lembaga negara.108 Hasil-hasil k ajian ter sebu t pada
umumnya bersifat mendukung (supportive) atau konfirmatif terhadap
kebijakan pemerintah, sementara yang bertolak belakang dengan kebijakan
pemerintah, tidak pernah diketahui karena tidak dipublikasikan.
Tingkat sensitivitas politis yang tinggi selama pemerintahan Orde Lama
dan Orde Baru sebagaimana diilustrasikan di atas menyebabkan kajian-
kajian filsafat hukum menjauhi tema-tema politis. Untuk itu, penstudi
hukum yang mengambil pendidikan di tingkat doktoral lebih banyak
mengambil topik-topik di lapangan hukum sektoral yang bobot politisnya
tidak mengemuka.109 Hal ini juga dilakukan oleh beberapa penstudi yang
___________________________
108 Sejak tahun 1974 Laboratorium Pancasila IKIP Malang (sekarang Universitas Negeri Malang) dipercaya
oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Dewan Hankamnas) untuk bekerja sama dalam riset
strategis yang dikembangkan secara bertahap dan berkelanjutan. Penelitian strategis ini telah
menghasilkan sejumlah karya yang dijadikan masukan kepada MPR. Lihat H. Nuril Huda dalam kata
sambutannya dalam: Team Editor Sekretariat Laboratorium Pancasila, Delapan Puluh Tahun Prof. H.
Darji Darmodihar jo, S.H.: Pemikiran, Karya dan Pengabdiannya (dalam Lintasan Wawasan dan Kesan Sejawat
dan Sahabat) (Malang: Laboratorium Pancasila Universitas Negeri Malang, 2000), hlm. xxx.
109 Hal Ini tidak berarti topik seputar Pancasila dan masalah kenegaraan/pemerintahan tidak diminati
sama sekali. Misalnya, kajian oleh Sri Sumantri, “Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan
Konstitusi dalam Batang Tubuh UUD 1945,” 1978; A.M.W. Pranaka, “Sejarah Pemikiran tentang Pancasila
sebagai Ideologi, Dasar Negara dan Sumber Hukum (Suatu Studi Eksplorasi),” 1984; A. Hamid S.
Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,” 1990; dan
Moh. Mahfud M.D., “Politik Hukum di Indonesia,” 1993. Ke cual i karya Mahfud yan g bar u diterbitkan
setelah keruntuhan pemerintahan Orde Baru (1998), semua kajian yang disebutkan sebelumnya
relatif tidak memuat kesimpulan atau merekomendasikan sesuatu yang sensitif secara politis.
SHIDARTA — 299
kemudian menonjol sebagai ahli hukum Indonesia, seperti Mochtar
Kusumaatmadja, “Masalah Lebar Laut Teritorial pada Konprensi-Konperensi
Hukum Laut Jenewa,” 1962; Rochmat Soemitro, “Masalah Peeradilan
Administrasi dalam Hukum Pajak di Indonesia,” 1964; Prijatna Abdurrasyid,
“Kedaulatan Negara di Ruang Udara,” 1972; Sunaryati Hartono, “Beberapa
Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia,” 1972; dan
Komar Kantaatmadja, “Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut,”
1981. Di luar itu, terdapat beberapa ahli hukum yang mengambil kajian
interdisipliner, seperti dilakukan oleh Sudikno Mertokusumo, “Sejarah
Peradilan dan Perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942...,” 1970; Soerjono
Soekanto, “Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,” 1977; dan Satjipto
Rahardjo, “Hukum dan Perubahan Sosial,” 1979.
Ketidakbebasan dalam melakukan kajian yang benar-benar bersifat
radikal dan reflektif kritis, dengan topik-topik yang bercirikan “perennial
problems” jelas merupakan kerugian besar bagi kegiatan pengembanan
hukum di Indonesia. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari keringnya
diskursus filsafat hukum pada saat suatu rancangan undang-undang dibahas
di sidang-sidang parlemen, sebagaimana juga terdeteksi dari rumusan
konsiderans menimbang pada peraturan perudang-undangan, dan pada
gilirannya juga dalam putusan-putusan hakim di Indonesia.
c. Pengembanan Hukum Praktis
Di atas telah disinggung pengembanan hukum teoretis yang masing-
masing dengan perannya telah berfungsi sebagai sarana intelektual untuk
menuntun kegiatan pengembanan hukum praktis. Sebaliknya, pengembanan
hukum praktis menyediakan bahan-bahan empiris untuk diolah dalam
pengembanan hukum teoretis.
Pengembanan hukum praktis di Indonesia dijalankan terutama oleh
empat organisasi (Tabel I-2), yaitu institusi di bidang: (1) perundang-
undangan; (2) peradilan; (3) bantuan hukum; dan (4) pemerintahan umum.
Deskripsi masing-masing institusi tersebut diutarakan sebagai berikut di
bawah ini.
1) Pembentuk Undang-Undang
Organisasi di bidang perundang-undangan terkait dengan kegiatan
pembuatan aturan atau pembentuk hukum. Terminologi “hukum”
mempunyai arti yang luas. Dalam konteks memberikan sudut pandang pada
uraian bab ini, pembentukan hukum di sini dimaknai secara sempit sebagai
pembentukan suatu produk hukum yang berformat undang-undang.
300 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Dengan perkataan lain, hukum di sini diartikan sebagai undang-undang
dalam arti formal. Pembentuk hukumnya adalah pembentuk undang-
undang dalam arti formal, yang menurut Pasal 20 Perubahan Pertama
Undang-Undang Dasar 1945 adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Presiden. Lengkapnya Pasal 20 tersebut berbunyi:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-
undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapatkan persetujuan
bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam
persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
Ketentuan tersebut berkorelasi dengan Pasal 5, yang terdiri dari dua
ayat. Redaksi ayat pertama dari pasal itu, dengan Perubahan Pertama UUD
1945, telah mengalami perubahan. Lengkapnya Pasal 5 ini berbunyi:
(1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya.
Kedua pasal di atas menandai pembalikan fungsi pembentukan hukum
(undang-undang) yang semula terutama berada di tangan Presiden, sekarang
beralih ke DPR. Untuk itu, kedudukan DPR menjadi sangat penting dalam
pengembanan hukum praktis. Secara kelembagaan, DPR telah memfasilitasi
diri dengan alat perlengkapan yang disebut Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Dalam Pasal 46 Peraturan Tata Tertib DPR disebutkan tugas Baleg DPR
adalah: (1) merencanakan dan menyusun program serta prioritas
pembahasan rancangan undang-undang, baik yang datang dari pemerintah,
maupun DPR untuk satu masa keanggotaaan DPR dan untuk setiap tahun;
(2) membantu menyiapkan RUU usul inisiatif DPR; (3) mengikuti
perkembangan dan mengawasi pelaksanaan undang-undang; (4) melakukan
evaluasi terhadap program penyusunan undang-undang; dan (5) membuat
SHIDARTA — 301
inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir masa
keanggotaan DPR.
Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, Baleg DPR dapat
mengadakan koordinasi dengan pihak pemerintah atau pihak lain yang
dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya
melalui Pimpinan DPR. Ia juga dapat memberikan rekomendasi kepada
Badan Musyawarah (Bamus) DPR dan komisi-komisi yang terkait mengenai
penyusunan program dan urutan prioritas pembahasan RUU untuk satu
masa keanggotaan DPR dan setiap tahun sidang, dan mengenai hasil
pemantauannya terhadap pelaksanaan undang-undang.
Dalam menjalankan tugas-tugas di atas, Baleg DPR dibantu oleh tim
asistensi dari Sekretariat Jenderal DPR, di bawah koordinasi Asisten I Bidang
Perundang-undangan. Tim asistensi ini berkewajiban menghimpun masukan-
masukan dari berbagai kalangan tentang RUU apa saja yang diperkirakan
akan dibahas oleh DPR dan pemerintah dalam kurun waktu lima tahun (satu
periode keangotaan DPR). Daftar tersebut kemudian disusun oleh Baleg
DPR menjadi prioritas prolegnas menurut versi DPR. Sebagai contoh, untuk
periode tahun 1999–2004, Baleg DPR mencantumkan 225 buah RUU yang
akan dibahas oleh DPR, meliputi 105 RUU bidang politik, 41 RUU bidang
kesra, dan 79 RUU bidang ekonomi-keuangan.
Sayangnya keinginan DPR untuk menjadi “produsen” undang-undang
dalam jumlah sebanyak itu tidak berkorelasi positif dengan kinerjanya.
Sekadar gambaran, dalam masa sidang Oktober–November 2002
ditargetkan pengajuan 43 rancangan untuk disahkan, yang ternyata hanya
dapat dituntaskan 7 buah (16%). Untuk periode Januari–Maret 2003, jumlah
yang berhasil diajukan adalah 15 buah dari 53 rancangan yang ditargetkan
(28%). Kendalanya, menurut seorang anggota DPR adalah karena
pemerintah lamban dalam menunjuk menteri terkait untuk mendiskusikan
rancangan itu bersama DPR.110
Di pihak pemerintah sendiri, koordinasi dalam rangka mengakselerasi
pembentukan undang-undang memang masih lemah. Hal ini terlihat dari
“tarik menarik” Departemen Kehakiman dan HAM (Depkeh dan HAM)
dengan Sekretariat Negara (Setneg).111 Koordinasi tentang materi peraturan
___________________________
110 Kurniawan Hari, “House Set to Endorse Bill on Legislative Bodies,” The Jakarta Post, 9 July
2003, hlm. 4. Lihat juga daftar rancangan undang-undang yang sudah dibahas, disahkan, atau
disetujui melalui situs resmi DPR-RI: <http://www.dpr.go.id/hukum>.
111 Lihat wawancara dengan Bambang Kesowo, “Saya Tidak Mau Jadi Tukang Pos,” Tabloid Kontan,
No. 34, Tahun VII, 26 Mei 2003, hlm. 20–21.
302 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
sebenarnya secara konseptual seharusnya dijalankan oleh Depkeh dan
HAM. Di lingkungan Depkeh dan HAM terdapat institusi yang diberi nama
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Badan ini berdiri tahun 1958
dengan nama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang ketika itu
langsung berada di bawah perdana menteri. Setelah mengalami beberapa
kali perombakan, akhirnya badan ini menjadi pelaksana tugas di bidang
pembinaan hukum nasional yang berada di bawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Tidak optimalnya kinerja institusi pembentuk undang-undang di
Indonesia, menurut pengamatan Mochtar Kusumaatmadja, tidak terlepas
dari empat faktor sebagai berikut:112
Pertama, sejak tahun 1980 komitmen atau kemauan politik untuk melakukan
pembaruan hukum melalui perundang-undangan secara berencana tampak
agak mengendur, kecuali yang berkaitan langsung dengan politik, seperti RUU
Pemilu dan lain sebagainya. Kedua, sarana penyusunan naskah RUU yang
berada di departemen-departemen atau lembaga pemerintah di luar
Departemen Kehakiman tidak atau kurang mendapat perhatian. Rencana untuk
memperhatikan dan meningkatkan status dan kemampuan direktorat atau biro-
biro hukum tidak sempat dilaksanakan. Di banyak departemen, biro hukum
atau direktorat hukum dan perundang-undangan tetap merupakan kesatuan
departemen yang kurang mendapat perhatian. Dengan kurang ampuhnya mitra
kerja Ditjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dalam
menyurun program legislatif nasional maka program ini kurang dapat
dilaksanakan dengan baik. Ketiga, tata tertib dan program kerja DPR menjadi
sangat ketat penjadwalannya, sehingga waktu untuk membicarakan RUU sangat
kurang. Kurang adanya fleksibilitas sehingga tidak mungkin menampung
naskah RUU yang perlu dibicarakan. Dengan sendirinya produksi RUU di
DPR menurun. Keempat, kekhawatiran bahwa ada usaha untuk menjadikan
BPHN sebagai pusat perundang-undangan nasional di tahun 1982
menimbulkan tandatanya pada banyak departemen terutama di direktorat
hukum dan perundang-undangan tentang kebijakan di bidang perundang-
undangan yang akan ditempuh. Kabar ini tersiar justru pada waktu
diperlukannya kerjasama dari direktorat-direktorat hukum dan perundang-
undangan itu dalam rangka menyusun program legislatif nasional.
Sekalipun dewasa ini telah terjadi perombakan (yang sesungguhnya
tidak terlalu signifikan) terhadap institusi-instutusi pembentuk undang-
undang di Indonesia, tampaknya faktor-faktor yang diutarakan Mochtar di
atas masih tetap relevan sebagai kendala utama.
___________________________
112 Mochtar Kusumaatmadja, “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional,” Jurnal Pro Justitia, Tahun
XV, No. 1, Januari 1997, hlm. 6-7.
SHIDARTA — 303
Di luar faktor-faktor tersebut, terutama pada saat perekonomian
Indonesia sangat bergantung pada bantuan negara/lembaga asing, praktis
independensi institusi pembentuk undang-undang di Indonesia makin
merosot. Negara/lembaga asing ternyata dapat saja mengintervensi kebijakan
pembentukan hukum dengan mengaitkan bantuan ekonomi terhadap
keberadaan suatu produk undang-undang. Sebagai contoh, untuk
menindaklanjuti komitmen Pemerintah Indonesia dalam Letter of Intent (LoI)
dengan Dana Moneter Internasinal, terdapat sejumlah peraturan perundang-
undangan yang wajib dicabut, diubah, atau dibentuk baru. Peraturan
perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) dan Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 (Perlindungan Konsumen) adalah contoh peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan sebagai bentuk komitmen tersebut.
Hal yang sama juga dapat diamati dari cepatnya perubahan peraturan
perundang-undangan di bidang hak kekayaan intelektual, yang sesungguhnya
adalah bentuk respons Indonesia atas desakan negara-negara tertentu yang
memiliki kepentingan ekonomi di Indonesia.113
2) Peradilan
Pengemban hukum praktis yang menjadi tulang punggung kegiatan
penalaran hukum adalah hakim. Pada Bab III, sebagian besar aktivitas
penalaran hukum itu bahkan diilustrasikan sebagai kegiatan hakim di
lingkungan peradilan. Di luar itu, sebenarnya ada profesi yang ikut
mendukung fungsi peradilan, yaitu kepolisian dan kejaksaan (khususnya
dalam perkara pidana) sebagai satu kesatuan dalam “the criminal justice system.”
Sebelumnya bahkan lembaga kehakiman dan kejaksaan ini berada di bawah
satu atap, namun sejak tahun 1960 fungsi kejaksaan dikeluarkan dari
kehakiman lalu dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga
peradilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia
karena ia melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-
ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan
penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan perkataan lain, hakim dalam sistem
hukum Indonesia yang pada dasarnya bersifat tertulis itu mempunyai fungsi
membuat hukum baru (creation of new law).114
___________________________
113 Cf. Laporan Penelitian Kelompok Kerja C-3 Komisi Hukum Nasional tentang Pogram Legislasi
Nasional (2002).
114 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. 99.
304 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
UUD 1945 memberikan landasan konstitusional bahwa kekuasaan
kehakiman (termasuk peradilan) adalah kekuasaan yang merdeka. Sekalipun
demikian, penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli terhadap kekuasaan
kehakiman Indonesia pada umumnya dan badan-badan peradilan pada
khususnya, justru menunjukkan dependensi yang tinggi terhadap kekuasaan
eksekutif. Padahal supremasi negara hukum yang menjadi amanat konstitusi
mutlak baru dapat dicapai jika lembaga peradilan diberikan kekuasaan yang
merdeka. Tentang hal ini, Sudikno Mertokusumo dalam disertasinya yang
membahas tentang sejarah peradilan di Indonesia, menyatakan:115
Sedjak zaman pendudukan Djepang sampai sekarang belum ada dan belum
dapat kita rasakan adanja supremasi hukum. Tidak adanja supremasi hukum
ini disebabkan tidak adanja kesatuan organisasi peradilan (“single system of
courts”): peradilan agama jang hanja berpuntjak kepada Mahkamah Islam
Tinggi, adanya Mahkamah Tentera Agung disamping Mahkamah Agung,
adanya peradilan ekonomi, peradilan landreform disamping peradilan umum
dan peradilan kepolisian disamping peradilan tentera, itu semuanya berarti
“versplintering” dari pada peradilan.
Diagnosis Sudikno bahwa supremasi hukum hanya mungkin dicapai
dengan adanya kesatuan organisasi peradilan, memang banyak disuarakan
tetapi tidak kunjung terealisasi. Memang benar, bahwa dalam Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, gagasan ke kesatuan organisasi peradilan ini telah
sedikit diakomodasi. Menurut undang-undang ini, kekuasaan kehakiman
dilakukan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Keempat lingkungan
peradilan ini berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara
tertinggi. Sekalipun ada tanda-tanda kehendak politik (political will) untuk
memasukkan semua lingkungan peradilan itu di bawah satu organisasi,
ternyata sampai sekarang, peradilan di Indonesia masih berada di bawah
dua atap, yaitu masalah administrasi, organisasi, dan finansial di bawah
koordinasi Departemen Kehakiman (dan HAM), dan masalah teknis yuridis
di bawah Mahkamah Agung.
Setelah kejatuhan Orde Baru, Undang-Undang No. 14 Tahun 1970
tersebut direvisi dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999. Menurut
undang-undang terbaru ini, kekuasaan pemerintah di bidang administratif,
___________________________
115 Sudikno Mertokusumo, “Sedjarah Peradilan dan Perundang-undangannja di Indonesia Sedjak
1942 dan Apakah kemanfaatannja bagi Kita Bangsa Indonesia.” Disertasi untuk Memperoleh
Gelar Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1971, hlm. 167.
SHIDARTA — 305
organisatoris, dan finansial dialihkan ke Mahkamah Agung. Pengalihan itu
dilaksanakan secara bertahap sampai paling lambat tanggal 31 Agustus
2004 untuk semua lingkungan peradilan, kecuali lingkungan peradilan agama
yang tidak ditentukan target waktunya.
Keberatan pemerintah (eksekutif) unguk melepaskan diri dari
campur tangan di lingkungan kekuasaan peradilan (yudikatif) telah
berlangsung lama. Setelah Indonesia merdeka, khususnya pasca-Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, institusi peradilan Indonesia benar-benar
terkooptasi oleh kekuasaan eksekutif. Pada kedua rezim, Orde Lama
dan Orde Baru, kebijakan ini dijalankan secara sadar dengan beberapa
perbedaan kecil. Benny K. Harman membuat perbandingannya sebagai
berikut:116
Tabel IV-5:
Perbedaan Kekuasaan Kehakiman
antara Masa Orde Lama dan Orde Baru
___________________________
116 Lihat Benny K. Harman, Konfigurasi Politik dan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia (Jakarta: Elsam,
1997), hlm. 445–447.
306 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Secara umum kondisi dunia peradilan di Indonesia tampaknya belum
mampu menunjukkan perbaikan yang signifikan. Kooptasi penguasa politik
tetap dirasakan besar karena pengalihan kewenangan Departemen
Kehakiman dan HAM di bidang organisasi, administrasi, dan finansial masih
efektif sampai sekarang. Di sisi lain, pengawasan yang diharapkan dari
Mahkamah Agung terhadap kualitas teknis yuridis putusan-putusan
pengadilan di bawahnya masih sangat rendah. Bahkan, putusan-putusan
di tingkat Mahkamah Agung sendiri, seperti halnya dua putusan atas kasus
waduk Kedung Ombo yang akan ditinjau di bawah, menunjukkan
ketidakwibawaan institusi peradilan ini. Tidak mengherankan apabila
organisasi internasional yang bermarkas di Berlin (Jerman), Transparancy
International, dalam laporannya (Juli 2003) menempatkan Indonesia pada
urutan keenam tertinggi tingkat korupsinya dari 48 negara yang diteliti.
Yang menarik, dikatakan dalam laporan itu bahwa pelaku yang paling korup
di Indonesia itu berada di jajaran peradilan (32,8%), kemudian diikuti oleh
partai-partai politik (16,3%), utilitas umum seperti telepon (11,1%), polisi
(10,2%), dan sistem pendidikan (8,7%).117
Penelitian yang didanai Bank Dunia (1996) menunjukkan lemahnya
manajemen perkara di puncak peradilan Indonesia (Mahkamah Agung).
Tercatat penumpukan perkara sampai mencapai 16.000 buah. Padahal,
jumlah perkara yang berhasil diselesaikan per tahun justru terus merosot.
Pada tahun 1993 jumlah perkara yang berhasil diputus sebanyak 8.876,
kemudian turun menjadi 7.445 perkara (tahun 1995). Hal ini mencerminkan
penurunan efisiensi para hakim dari 41,1% menjadi 31,3%. Penelitian lain
pada tahun 1992 mengungkapkan, bahwa penyebab rendahnya
produktivitas ini adalah karena justru “terlalu banyak hakim” (?),118 namun
kurang termotivasi akibat kompensasi finansial yang tidak memuaskan.
Sistem promosi yang tidak berjalan baik juga menjadi faktor penyebab
tidak langsung, khususnya pada tingkat pengadilan tinggi. Akibatnya, banyak
putusan pengadilan tinggi yang menurun kualitasnya, sehingga membuka
peluang lebih besar kepada pengajuan kasasi.119
___________________________
117 Endy M. Bayuni, “Corrupt Courts Seen As RI’s Greatest Problem,” The Jakarta Post, 10 July
2003, hlm. 3. Bandingkan dengan tulisan Washington Zakiyah et al., Op. Cit.
118 Dalam pidato di depan Sidang Tahunan MPR (Agustus 2003), Ketua MA justru menunjuk
sedikitnya hakim sebagai salah satu penyebab lemahnya kinerja peradilan. Lihat Muninggar
Sri Saraswati, “Lack of Justices Blamed for Judicial Corruption,” The Jakarta Post, 2 August
2003, hlm. 3.
119 Kantor Hukum ABNR-MKK, Reformasi Hukum di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Cyber Consult,
2000), hlm. 115.
SHIDARTA — 307
Dewasa ini, di luar Mahkamah Agung sudah terdapat lembaga setingkat
yang juga menjalankan fungsi yudikatif. Dalam Undang-Undang Dasar
1945 (hasil Perubahan III), lembaga ini diberi sebutan Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir terhadap pengujian undang-undang terhadap
undang-undang dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutuskan
pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Ia juga wajib memberi putusan atas pendapat DPR
mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/wakil presiden menurut
undang-undang dasar. Sementara itu, Komisi Yudisial mempunyai
kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial ini dipersyaratkan harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
Kegiatan penalaran hukum di lingkungan peradilan di Indonesia,
dengan demikian akan melibatkan banyak sekali institusi. Di luar tiga
lembaga yang didirikan atas dasar amanat konstitusi tersebut, masih terdapat
badan-badan yang disebut pengadilan kuasi, baik yang bersifat self-regulatory
body maupun bukan. Badan-badan ini menggunakan banyak nama, dengan
prosedur kerja dan lingkup kewenangan yang berbeda. Sekadar menyebut
berapa di antaranya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan Mahkamah
Pelayaran. Badan-badan ini ada yang bekerja dengan mekanisme adjudikasi,
termasuk arbitrase, namun ada pula yang mengunakan alternatif
penyelesaian sengketa seperti konsiliasi dan mediasi.
Kompleksnya, badan-badan pengadilan kuasi ini sebagian besar juga
membuka peluang pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung. Dari sudut
manajemen perkara, hal ini merupakan beban tambahan mengingat
penumpukan perkara di lembaga puncak peradilan itu sendiri sudah luar
biasa banyaknya.
Penalaran hukum yang dilakukan dalam lingkup peradilan, pada
akhirnya membutuhkan analisis mendalam, tidak hanya terhadap struktur
aturan dan struktur fakta kasus demi kasus, melainkan harus menukik
kepada pemahaman filosofis dari lembaga tempat kasus itu sedang
ditangani. Pendekatan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh hakim-hakim
308 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
peradilan yang bersifat adjudikasi seperti pengadilan konvensional (win-lose
solution) tentu berbeda dengan mereka yang memposisikan diri sebagai
konsiliator dan mediator (win-win solution). Perbedaan pendekatan ini sangat
berpengaruh terhadap pola penalaran hukum yang diperagakan. Namun,
untuk konteks keindonesiaan dewasa ini, tampaknya kualitas dengan analisis
mendalam seperti dikemukakan di atas harus berkompromi dengan berbagai
kendala dan keterbatasan yang sebagian besar sifatnya di luar teknis
penalaran hukum itu sendiri.
3) Bantuan Hukum
Aktivitas bantuan hukum di Indonesia sangat beragam, sekalipun secara
spesifik lebih diartikan sebagai kegiatan kepengacaraan di sidang-sidang
litigasi. Bantuan hukum merupakan salah satu organisasi dalam sistem
hukum yang melakukan pengembanan hukum praktis. Apabila dalam
organisasi peradilan, hakim adalah figur kunci yang memberikan putusan
akhir, maka di lingkungan organisasi bantuan hukum, terdapat pengacara/
advokat120 yang menawarkan alternatif penalaran di lu ar yang diajukan oleh
rekannya sesama pengacara/advokat dari pihak lawan (dalam kasus perdata/
tata usaha negara) atau oleh jaksa (dalam kasus pidana).
Di luar pengacara/advokat, sebenarnya terdapat profesi lain yang
menjalankan fungsi bantuan hukum. Mereka adalah notaris (notary public)
dan konsultan hukum. Profesi notaris tidak dibicarakan di sini karena sifat
bantuan hukum yang diberikannya tidak terlampau menonjol dalam praktik
keseharian mereka. Konsultan hukum biasanya menangani kasus-kasus
hukum nonlitigasi, dan cukup lazim dirangkap oleh pengacara/advokat.
Para konsultan hukum memberikan nasihat hukum (legal advice) atau
pendapat hukum (legal opinion) untuk kliennya, misalnya untuk meninjau
rancangan isi kontrak atau memeriksa otentikasi dokumen.
Menurut catatan Daniel S. Lev, sampai pertengahan tahun 1920-an,
semua advokat dan notaris di Hindia Belanda adalah orang-orang Belanda.
Kecilnya jumlah dan pengaruh advokat Indonesia segera sesudah
kemerdekaan, antara lain karena memang profesi ini terlambat dimasuki
oleh orang-orang Indonesia. Padahal, di bekas tanah-tanah jajahan Inggris
(juga seperti di Filipina yang dikuasai Amerika Serikat), jumlah pengacara
___________________________
120 Di lapangan, dua istilah ini dibedakan karena pengacara memiliki izin praktik untuk wilayah
satu pengadilan tinggi sementara advokat untuk seluruh Indonesia. Kewilayahan ini terkait
dengan pejabat yang memberikan izin, yaitu masing-masing oleh Ketua Pengadilan Tinggi
dan Menteri Kehakiman (dan HAM).
SHIDARTA — 309
pribuminya besar. Perbedaan ini menarik untuk diamati jika dikaitkan
dengan tradisi di antara dua keluarga sistem hukum yang telah dibicarakan
dalam Bab III. Mengenai hal ini Daniel S. Lev selanjutnya menulis: 121
Menarik sekali mengaitkan perbedaan tersebut dengan perbedaan tradisi
hukum Inggris-Amerika dan tradisi hukum Eropa Daratan: para pejabat
kolonial Inggris dan Amerika memandang besarnya jumlah pengacara sebagai
suatu kebaikan, sedang Perancis, Belanda, dan Belgia tidak. Akan tetapi,
dalam kenyataannya, para pejabat kolonial hampir di semua tempat enggan
mendorong berkembangnya pengacara pribumi, dan hal ini terjadi di tanah
jajahan yang mana pun. Para penganut garis keras memandang pengacara
pribumi sebagai sumber korupsi, kegemaran berperkara, penyalahgunaan
hukum, dan timbulnya keributan pada umumnya. Orang-orang Eropa, yang
mempunyai rasa simpati terhadap masyarakat yang mereka kuasai
memandang pengacara sebagai gejala kehancuran intimasi sosial tradisional
demi tegaknya hukum yang tanpa pandang bulu dan kurang mengenal belas
kasih, tetapi yang secara pasti memperluas kekacau-balauan sosial dan budaya.
Masing-masing pandangan tersebut mempunyai alasan pembenaran sendiri,
walaupun mungkin berbeda dengan alasan yang ditampilkannya keluar.
Sekalipun di bawah permukaan ada anggapan umum yang negatif
tentang kehadiran pengemban hukum praktis bernama “pengacara/
advokat” ini, Daniel S. Lev mengakui bahwa kombinasi ideologi
pemerintahan dan kebijakan ekonomi kolonial mempunyai peranan
penentu. Inggris dan Amerika, menurutnya, cenderung memandang
tegaknya tatanan (sistem) hukum sebagai unsur penting kebijakan ekonomi
dan bagian dari tugas kehadiran mereka. Pada saat bersamaan, dua negara
ini juga cenderung mendorong kesertaan politik lokal dan pengembangan
usaha kewiraswastaan sehinga dengan demikian para pengacara lokalpun
akan cenderung bertunas apabila diberi kesempatan. Kondisi sebaliknya
terjadi di tanah jajahan Perancis dan Belanda, demikian pula dengan
kebijakan ekonomi mereka. Konsepsi administratif mereka lebih
mmenitikberatkan kepada kehendak eksekutif, bukan kehendak hukum
itu sendiri. Konsepsi ini dipadu dengan monopoli khusus bagi Eropa (dan
kelompok perantara yang kecil jumlahnya) atas perdagangan, sehingga hal
inipun makin mempersempit ruang gerak tumbuhnya pengacara pribumi.122
Sekalipun pada uraian selanjutnya Daniel S. Lev mengakui bahwa gambaran
simplistis seperti di atas perlu dianalisis lebih jauh, apa yang dikemukakannya
___________________________
121 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, terjemahan Nirwono
& A.E. Priyono (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 312.
122 Ibid., hlm. 312–313.
310 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
setidaknya menunjukkan bahwa kebijakan pemerintahan kolonial Belanda
terhadap profesi ini berkelanjutan setelah estafet pemerintahan diambil
alih oleh orang-orang Indonesia sendiri.
Ada banyak kecenderungan yang dapat dijadikan indikator atas
pernyataan di atas. Berbeda dengan organisasi profesi seperti kedokteran
dan insinyur, profesi pengacara/advokat mempunyai banyak afiliasi organisasi.
Saat ini terdapat beberapa kelompok organisasi profesi tersebut atau profesi
yang serupa dengan itu (dengan menggunakan sebutan lain seperti penasihat
hukum atau konsultan hukum), antara lain Persatuan Advokat Indonesia
(Peradin), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Ikatan Penasehat
Hukum Indonesia (IPHI), ditambah lagi dengan asosiasi-asosiasi yang
mengkhususkan diri pada pekerjaan di lingkup hukum tertentu seperti Serikat
Pengacara Indonesia (SPI, berkaitan dengan bantuan hukum di bidang hak
asasi manusia), Perkumpulan Pengacara Kepailitan (PPK, di bidang
kepailitan), Himpunan Konsultan Pasar Modal (HKPM, khusus untuk
konsultan hukum yang terdaftar di Bapepam). Keragaman ini disadari sebagai
kelemahan tersendiri dalam kedewasaan suatu profesi, sehingga dalam
beberapa kesempatan, pemerintah melakukan inisiatif untuk mempersatukan
mereka dalam satu wadah yang solid. Namun, seperti sinyalemen di muka,
usaha ini tidak tampak sungguh-sungguh. Terbentuknya AAI sebagai pecahan
dari Ikadin pada tahun 1990, misalnya, tidak terlepas dari ketidakseriusan
upaya pemerintah pada saat itu.123 Terakhir usaha ini mendapat aksentuasi
kembali melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang
mengamanatkan bakal terbentuknya [kesatuan] organisasi advokat paling
lambat tanggal 5 April 2005.
Di luar itu, disengaja atau tidak, marginalisasi peran pengacara/advokat
juga terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Sekalipun Pasal
69 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana) memberi hak kepada penasihat hukum untuk menghubungi
tersangka sejak saat tersangka itu ditahan pada semua tingkat
pemeriksaaan,124 dalam kenyataannya kebijakan ini tidak terlalu disenangi
oleh penguasa sendiri.125
___________________________
123 Penjelasan tentang hal ini, lihat hasil wawancara Panda Nababan dkk. dengan Ismail Saleh,
dalam Forum Keadilan, No. 22, Agustus 1990, hlm. 12–18.
124 Ketentuan ini dianggap suatu terobosan karena dalam undang-undang sebelumnya (Pasal 25
HIR) hak ini baru diberikan setelah perkara dilimpahkan ke pengadilan negeri.
125 Dalam praktik sering kehadiran pengacara/advokat ini diminimalisasi. Lihat selanjutnya
rumusan Pasal 70 Ayat (2), (3), dan (4), Pasal 71–74 KUHAP.
SHIDARTA — 311
Oleh karena soliditas organisasi yang sangat minimal, maka tidak
mengherankan pula jika peran organisasi profesi pengacara/advokat dalam
pembinaan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat terbatas
pula. Jurang antara pengajaran dalam tataran teoretis di bangku-bangku
kuliah dan praktik hukum di Indonesia makin melebar. Hal ini tidak saja
terkait dengan substansi keilmuan antara yang diajarkan dan yang
dipraktikkan di lapangan, melainkan juga pada nilai-nilai profesional di
antara dua “dunia” tersebut.
Dalam situasi yang abnormal tersebut, pada akhirnya penalaran hukum
yang tepat tidak pula terlalu dipentingkan dalam organisasi pengacara/
advokat di Indonesia. Syarat-syarat menjadi anggota profesi sangat longgar.
Penyimpangan etika profesi oleh anggota-anggotanya diberi toleransi tinggi.
Profesi ini bahkan terlibat lebih jauh dalam praktik ilegal dalam penanganan
perkara di lembaga peradilan.126 Ironisnya, kesuksesan pengemban profesi
ini akhirnya diukur secara sangat pragmatis, bahkan oleh organisasi profesi
itu sendiri. Kesuksesan tidak diukur dari kualitas penalaran hukum yang
diperagakannya selama proses bantuan hukum tersebut, melainkan lebih
kepada kemampuan “lobby” (ekstrayudisial dalam arti negatif) di antara
sesama aparat “penegak hukum” itu sendiri.127
4) Pemerintahan Umum
Pemerintahan umum juga mempunyai peranan penting dalam
penalaran hukum, tidak saja di Indonesia melainkan di semua pemerintahan
negara yang berlangsung efektif. Dalam contoh yang ditampilkan oleh
Schuyt (Tabel I-2), fungsi pemerintahan umum ini lebih diartikan sebagai
pelaksana aturan-aturan (birokrasi).128 Dalam hukum administrasi negara,
fungsi pemerintahan umum telah berkembang luas, tidak sekadar sebagai
pelaksana aturan-aturan.
Dalam struktur kenegaraan di Indonesia, menurut S. Prajudi
Atmosudirdjo, terdapat delapan penguasa yang menjalankan fungsi: (1)
konstitutif (MPR); (2) legislatif (Presiden+DPR); (3) eksekutif (pemerintah,
___________________________
126 Fenomena ini lazim dikenal sebagai “mafia peradilan.” Sekalipun keberadaannya dibantah
keras oleh sejumlah kalangan, umumnya bantahan itu bernada eufemisme (misalnya dengan
menyebut kata “oknum”). Tentang mafia peradilan ini, lihat Washington Zakiyah et al., Op.
Cit.
127 Cf. Luki, “Mengintip Bahaya Ekstrayudisial,” Forum Keadilan, No. 23, September 1990, hlm.
22–25.
128 B.R. Rijkschroeff, Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, Rijkschroeff, B.R. Sosiologi, Hukum
dan Sosiologi Hukum, editor Wila Chandrawila Supriadi, terjemahan F. Tengker (Bandung: Mandar
Maju, 2001), hlm. 114.
312 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
yaitu Presiden dibantu pejabat-pejabat pemerintah); (4) administratif
(administrator negara, yaitu Presiden yang mengepalai administrasi negara);
(5) militer (Presiden, dengan membawahkan angkatan perang); (6) yudikatif
(Mahkamah Agung, dengan mebawahi aparatur peradilan [korsa hakim]);
(7) konsultatif (DPA); dan (8) inspektif (BPK).129 Dengan adanya
perubahan konstitusi, yang mengamanatkan antara lain pembubaran DPA
dan pembentukan Mahkamah Konstitusi, maka pembagian seperti
disebutkan oleh Prajudi di atas tentu perlu ditinjau kembali. Kendati
demikian, dalam konteks pembicaraan pemerintahan umum ini, akan
disinggung satu fungsi yang dijalankan oleh pemerintah, yaitu sebagai
eksekutif dan administrator negara.
Khusus terkait dengan pemerintah yang disimbolkan dengan lembaga
Kepresidenan di puncaknya, maka ada dua fungsi berbeda yang
dijalankannya. Kedua fungsi tadi adalah sebagai: (1) penguasa pemerintahan
(eksekutif); dan (2) penguasa administrasi negara. Fungsi pertama adalah
pelaksanaan undang-undang dengan menetapkan strategi (policy)
pelaksanaan undang-undang, merumuskan rencana, program budget, dan
instruksi untuk administrasi negara dan angktan perang. Produknya adalah
peraturan (wetgevingsregels), pembinaan masyarakat, kepolisian, peradilan, dan
penegakan kedaulatan. Fungsi kedua adalah realisasi undang-undang dengan
menjalankan kehendak dan perintah pemerintah (penguasa pemerintahan
atau eksekutif) sesuai peraturan, rencana, program budget, dan instruksi
secara nyata, kasuistis, dan individual. Produknya berupa penetapan
(beschikking), tata usaha negara, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan
pekerjaan dan kegiatan-kegiatan nyata.130
Menurut Prajudi, hampir dalam semua bidang tugas dan fungsi
pemerintahan itu terdapat segi-segi: (1) pemerintahan; (2) tata usaha negara
(sistem informasi); (3) kerumahtanggaan negara; (4) pembangunan; dan (5)
kelestarian lingkungan hidup. Bidang tugas pertama (pemerintahan) berupa
penegakan kekuasaan dan kewibawaan negara. Segi tata usaha negara
menyangkut pengendalian situasi dan kondisi negara dengan cara mengetahui
informasi tertentu dari masayarkat dan melakukan komunikasi dengan
masyarakat sesuai yang dikehendaki undang-undang. Selanjutnya sisi
pengurusan rumah tangga mencakup baik rumah tangga intern (personalia,
keuangan, domein negara, material, logistik) maupun rumah tangga ekstern
___________________________
129 S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, cet. 10 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994),
hlm. 26.
130 Ibid., hlm. 27.
SHIDARTA — 313
(domein publik, logistik masyarakat, usaha-usaha negara, jaminan sosial,
produksi, distribusi, lalu lintas angkutan dan komunikasi, kesehatan rakyat).
Segi pembangunan berhubungan dengan penyusunan rencana-rencana
pembangunan (seperti dulu dalam repelita-repelita). Segi terakhir, pelestarian
lingkungan hidup terdiri atas pengaturan tata guna lingkungan, perlindungan
lingkungan, dan penyehatan lingkungan. Apabila dituangkan dalam tabel,
pernyataan Prajudi tersebut adalah sebagai berikut:131
Tabel IV-6:
Segi dalam Fungsi Pemerintahan
___________________________
131 Ibid., hlm. 12–13, 28.
Di antara kelima segi fungsi pemerintahan itu, yang erat kaitannya
dengan topik penalaran hukum ini adalah fungsi pertama. Uraian tugas-
tugas ini sangatlah luas, sehingga dalam kesempatan ini hanya disoroti
bentuk tugas pertama, yaitu dalam pembentukan peraturan. Tugas ini dapat
dijelaskan dengan melihat perbuatan hukum (rechtshandelingen) apa saja yang
dapat dijalankan oleh administrator negara itu. Prajudi Atmosudirdjo
berpendapat, ada empat perbuatan hukum dalam kaca mata administrasi
negara masa kini, yaitu: (1) penetapan (beschikking; administrative discretion);
(2) rencana (plan); (3) norma jabatan (concrete normgeving); dan (4) legislasi
314 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
semu (pseudo-wetgeving). Keempat macam perbuatan hukum tersebut dalam
kehidupan sehari-hari disebut keputusan pemerintah (regeringsbesluit).132
Menurut Maria Indrati Soeprapto, yang menyitir pemikiran A. Hamid S.
Attamimi, istilah keputusan dalam arti luas mencakup peraturan (regeling)
dan penetapan (beschikking). Apa yang disebut penetapan ini adalah keputusan
dalam arti sempit yang berlaku sekali saja (einmahlig), sementara peraturan
berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Peraturan ini dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu peraturan daerah dan bukan peraturan daerah.133
Seorang pejabat administrasi negara dalam membuat keputusan,
memperoleh kewenangan yang didelegasikan atau diatribusikan oleh
peraturan di atasnya. Materi undang-undang biasanya memang memberi
delegasi dan atribusi seperti itu, mengingat hal-hal yang bersifat teknis
lazimnya dihindari untuk dirumuskan dalam undang-undang. Pengaturan
lebih lanjut itu ada yang harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk
peraturan pemerintah atau keputusan presiden. Dalam materi muatan
peraturan-peraturan ini, delegasian dan atribusian itu dapat pula diteruskan
ke dalam peraturan yang lebih rendah tingkatannya.
Dalam kenyataannya, tidak semua materi terakomodasi secara lengkap
dan jelas dalam peraturan tertulis. Dapat terjadi delegasian dan atribusian
itu belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan, atau
peraturan yang ada tidak memuat kejelasan apapun. Untuk itulah, dengan
kewenangan diskresioner (pouvoir discretionnaire; freies Ermessen) yang
dimilikinya, pejabat administrasi negara diperbolehkan membuat kebijakan
dalam rangka mengambil tindakan mendesak.
Kebijakan (policy atau beleid) ini merupakan produk penalaran hukum
juga, dan isinya lebih konkret daripada peraturan perundang-undangan
karena menyangkut segi-segi teknis yang harus dilakukan di tengah
ketiadaan peraturan perundang-undangan. Mengingat demikian terbukanya
kesempatan seorang pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsi
pemerintahan umum (bestuurszorg) untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
membahayakan hak-hak warga negara, maka kewenangan diskresioner ini
perlu dicermati secara hati-hati. Di Negeri Belanda, misalnya, pada tahun
1950 pernah dibentuk Panitia Monchy yang diberi tugas khusus meneliti
___________________________
132 Penjelasan tentang masing-masing perbuatan hukum ini lihat Ibid., hlm. 94–104.
133 Penggunaan istilah (nomenklatur) dalam produk hukum di Indonesia sangat rancu, termasuk
pembedaan antara peraturan dan keputusan. Penjelasan tentang pembagian ini, lihat Maria
Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta:
Kanisisus, 1998), hlm. 108. Cf. W.F. Prins & R. Kosim Asisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum
Administrasi Negara, cet. 5 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hlm. 41 et seq.
SHIDARTA — 315
dampak pelaksanaan kewenangan diskresioner ini. Dalam laporannya,
panitia ini merekomendasikan sejumlah asas umum pemerintahan yang
baik (algemene beginselen van behoorlijke bestuur).134
Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini merupakan prinsip yang
abstrak, sehingga tugas pejabat administrasi negara itulah untuk membuat
interpretasi, disesuaikan dengan situasi konkret yang dihadapinya. Dengan
demikian, kebijakan yang ditelurkannya adalah produk penalaran hukum
juga. Penalaran yang termuat di dalamnya dapat saja keliru karena tidak
sejalan dengan asas-asas pemerintahan yang baik itu. Oleh sebab itu,
penalaran demikian dapat dipertanyakan di forum pengadilan sesuai dengan
kompetensinya (peradilan umum, peradilan tata usaha negara) atau lembaga
lain yang memberi akses ke arah itu, misalnya melalui lembaga (komisi)
Ombudsman.135
Dalam kasus waduk Kedung Ombo (seperti yang dicontohkan dalam
deskripsi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis terhadap penalaran
hukum dalam konteks keindonesiaan di bawah), tindakan yang diambil oleh
Gubernur Jawa Tengah (Januari 1989) dengan memerintahkan supaya pintu
waduk ditutup secara bertahap sehingga air menggenangi tanah warga, adalah
salah satu contoh kebijakan yang diambil atas kewenangan diskresioner yang
dimilikinya. Padahal, saat itu jumlah ganti rugi belum disepakati dan akibat
kebijakan itu sebagian warga kehilangan mata pencahariannya.
Salah satu asas umum pemerintahan yang baik adalah asas
penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service). Sangat
mungkin bahwa kebijakan ini diambil karena Gubernur mengintepretasikan
pembangunan waduk itu adalah untuk kepentingan umum dan ia wajib
melaksanakan amanat ini.
___________________________
134 Lihat Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara (Bandung: Alumni, 1988), hlm. 28–35; dan S.F. Marbun & Mahfud M.D.,
Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Liberty, 1987), hlm. 57–67. Asas-asas
tersebut antara lain: (1) bertindak cepat; (2) motivasi; (3) kepastian hukum; (4) kesamaan
dalam mengambil keputusan; (5) meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal; (6)
menanggapi penghargaan yang wajar; (7) kebijaksanaan; (8) jangan mencampuradukkan
kewenangan; (9) keadilan dan kewajaran; (10) penyelenggaraan kepentingan umum; (11)
keseimbangan; (12) permainan yang layak; dan (13) perlindungan atas pandangan hidup (cara)
hidup pribadi.
135 Dengan Keputusan Presiden No. 1555 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan
Lembaga Ombudsman, sudah diletakkan dasar ide berdirinya lembaga ini di Indonesia. Tugas
utama lembaga ini adalah memberi akses kepada masyarakat untuk dapat mempertanyakan
tindakan aparat birokrasi yang dianggap menyimpang dari asas umum pemerintahan yang
baik. Sebagai mediator, Ombudsman berusaha mengkoomunikasikan keluhan masyarakat itu,
dan hasilnya tidak harus dipublikasikan.
316 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
C. ASPEK ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
Kata “pembangunan” merupakan kata kunci yang paling banyak
digunakan sepanjang periode Indonesia merdeka, dan terutama setelah
Orde Baru mengambil alih pemerintahan. Kata ini dipergunakan secara
luas dan dipretensikan selalu bernuansa positif. Nama-nama kabinet
pemerintah, misalnya, selalu dibubuhi predikat “pembangunan.” GBHN
yang ditetapkan setiap lima tahun sekali, hampir pasti memuat kata ini.
Tidak mengherankan juga apabila Mochtar Kusumaatmadja yang menjadi
konseptor penting pembangunan sistem hukum Indonesia sejak periode
awal Orde Baru juga menyebutkan teorinya dengan “Teori Hukum
Pembangunan.”
Arief Budiman melukiskan makna kata “pembangunan” ini dengan
ilustrasi sebagai berikut:136
Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal.
Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan
masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama
adalah kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai
kemajuan yang dicapai oleh sebuah masyarakat di bidang ekonomi.
Bagi rakyat kecil, seringkali pembangunan memiliki arti lain. Saya teringat
cerita yang dikisahkan oleh Bapak Selo Sumardjan. Dia pernah terdampar di
sebuah kota kecil di luar Jakarta, dan sempat berbicara dengan seorang
penduduk miskin di sana. Dia bertanya, dari mana orang itu datang. Jawab si
penduduk: “Saya dulu tinggal di Jakarta. Tetapi, karena ada pembangunan,
saya terpaksa mengungsi kemari.” Bagi orang ini, dan bagi banyak orang
kecil yang senasib dengannya, pembangunan merupakan sebuah malapetaka,
yang mendamparkan hidup mereka.
Sinyalemen Arief Budiman di atas sedikit banyak diakui oleh
Mochtar Kusumaatmadja. Menurutnya, pada saat GBHN 1973
dirumuskan, ia mengalami cukup banyak tantangan untuk memasukkan
sektor hukum dalam GBHN tersebut karena perumusan GBHN ketika
itu didominasi oleh orientasi untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi setinggi-tingginya.137 Hukum pun harus mengabdi pada
kepentingan ini. Padahal, pemaknaan pembangunan sendiri tidak selalu
sejalan dengan tujuan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi
masyarakat pada umumnya.
___________________________
136 Arief Budiman, Teori Pem bang unan Du nia Ketiga (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 1
137 Mochtar Kusumaatmadja, wawancara dengan Shidarta (rekaman kaset), MKK Law Firm, 3
Juni 2003.
SHIDARTA — 317
Apa yang terjadi pada kasus pembangunan waduk Kedung Ombo
seperti diuraikan di bawah menunjukkan secara jelas contoh subordinasi
hukum terhadap kepentingan pembangunan material dengan pertimbangan
keuntungan ekonomis semata.138 Putusan hakim secara kasatmata didesain
untuk mendukung setiap kebijakan penguasa. Jika saja ada hakim yang
berani melawan kebijakan demikian dalam putusan, ia serta merta dapat
dicap sebagai anti-pembangunan.
Sebelum menyinggung aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis
dari penalaran hukum yang dipergunakan dalam kasus Kedung Ombo ini,
dipandang perlu dalam tulisan berikut, untuk memperlihatkan nuansa-nuansa
kontekstual tatkala putusan para hakim di tingkat MA dikeluarkan. Apa yang
disebut nuansa-nuansa ini sebagian besar tidak akan tampak dengan hanya
menafsirkan redaksi putusan. Di lain pihak, tidak dapat disangkal bahwa
fenomena nonyuridis tadi telah ikut mewarnai penalaran para hakim. Beberapa
di antaranya adalah seperti: (1) ketika sengketa sedang ditangani MA
dikeluarkan peraturan baru yang “dipaksa” untuk diterapkan pada kasus ini
(Keppres No. 55 Tahun 1993); (2) jeda waktu satu tahun antara putusan MA
dan sampainya putusan di tangan para pihak; (3) reaksi keras Presiden atas
putusan yang memenangkan Warga Kedungpring (Kedung Ombo); (4) pesan-
pesan Presiden kepada Ketua MA (yang juga ketua majelis perkara peninjauan
kembali kasus Kedung Ombo); atau (5) dibentuknya majelis perkara
peninjauan kembali yang semuanya terdiri dari para pejabat struktural di
MA. Dalam Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, fenomena demikian
adalah bagian yang tidak kalah pentingnya untuk juga diamati karena sangat
menentukan proses dan produk penalaran hukum itu sendiri.
Ha rus diakui, bahwa pembangunan wadu k Kedung Ombo merupakan
proyek besar bagi bangsa Indonesia. Dari segi pendanaan, diperkirakan
proyek yang sebagian dananya berasal dari Bank Dunia ini menghabiskan
sekitar Rp131 milyar. Proyeknya sendiri terletak di tiga karisedanan
(Semarang, Pati, dan Surakarta) dan sembilan kabupaten (Semarang, Demak,
Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali, dan Sragen). Proyek ini
diperkirakan akan mencakup luas 7.900 km persegi, yang diperuntukkan
bagi pengendalian banjir, pengairan persawahan, perikanan, dan pembangkit
tenaga listrik. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila proyek besar
ini juga membutuhkan pembebasan tanah rakyat yang sangat luas. Luas
genangan waduk ini, bila ketinggian airnya mencapai elevasi 95 meter adalah
___________________________
138 Seluruh data untuk deskripsi tentang pembangunan Waduk Kedung Ombo dan putusan-
putusan hakim berkenaan dengan pembangunan waduk, mengutip Abdul Hakim G. Nusantara
& Budiman Tanuredjo, Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan
Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo (Jakarta: Elsam, 1997).
318 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
sebesar 6.125 hektar. Tanah yang perlu dibebaskan juga seluas sekitar areal
genangan, tepatnya 6.576 hektar. Padahal, di atas tanah itu terdapat sekitar
1.500 hektar sawah, 985 hektar pekarangan, 2.655 hektar tegalan, 30 hektar
perkebunan, dan sisanya merupakan kawasan hutan. Di antara bidang-
bidang areal tersebut, yang paling subur adalah kawasan persawahan di
kecamatan Kemusu, kabupaten Boyolali, tempat desa Kedungpring berada.
Hal ini dapat dipahami, mengingat kecamatan ini pernah mendapat
muntahan Gunung Merapi yang masih aktif sampai sekarang.
Informasi akan adanya pembebasan tanah ini sudah disebarkan secara
informal kepada penduduk setempat pada awal tahun 1982, namun baru
tiga tahun kemudian Pemerintah mengundang mereka secara resmi untuk
“bermusyawarah” membicarakan realisasi pembebasan tanah-tanah
penduduk. Konon, keikutsertaan penduduk dalam “musyawarah” itu dinilai
tidak cukup representatif untuk mewakili kepentingan masyarakat, di
samping kuatnya kesan intimidasi dari aparat pemerintah dan keamanan.
Jumlah keseluruhan penduduk yang terkena dampak pembebasan tanah
akibat proyek ini mencapai 5.268 kepala keluarga atau mencakup lebih
dari 30.000 jiwa (asumsi satu keluarga terdiri dari 5–6 jiwa).
Usaha pembebasan tanah yang dilakukan pemerintah tidak berjalan
mulus. Negosiasi harga per meter tanah yang semula ditetapkan Rp250 (dua
ratus lima puluh rupiah) terus merambat naik sampai menjadi Rp800 (delapan
ratus rupiah). Harga serendah itu tidak memuaskan masyarakat. Terbukti
pada akhir tahun 1990 ada 54 warga desa Kedungpring, kecamatan Kemusu,
yang mempermasalahkan pembebasan tanah mereka dengan menggugatnya
ke Pengadilan Negeri Semarang. Di luar itu masih banyak penduduk yang
bertahan tetapi tidak berani mempermasalahkan hak mereka. Pada saat
Presiden Soeharto meresmikan proyek ini pada tanggal 18 Mei 1991, masih
ada sekitar 600 keluarga dari 5.268 yang tetap bertahan di daerah genangan.
Pada saat peresmian, Soeharto mengatakan bahwa permintaan ganti
rugi yang dianggap wajar oleh warga itu sama sekali tidak bisa dikabulkan
pemerintah. Menurutnya, jika permintaan sebagian kecil warga ini dipenuhi,
maka warga lain yang sudah setuju dan telah menerima ganti rugi akan
menuntut tambahan uang, sementara pemerintah tidak mempunyai dana
lagi. Dalam pemberitaan di harian Kompas (19 Mei 1991) terkutip ucapan
Soeharto, “Kalau kita paksakan untuk membayar tentunya juga uang rakyat.
Ini sama saja akan memperkecil kemampuan dalam pelaksanaan
pembangunan,” tegasnya. “Karena itu, walaupun dengan gigihnya mereka
yang belum mau dan minta ganti rugi tambahan, terang itu tidak mungkin.”
SHIDARTA — 319
Gugatan diajukan kepada: (1) Negara Republik Indonesia qq Pemerintah
Republik Indonesia qq Menteri Dalam Negeri qq Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Jawa Tengah; (2) Negara Republik Indonesia qq Pemerintah
Republik Indonesia qq Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia qq
Direktur Jenderal Pengairan qq Pimpinan Proyek Pengembangan Wilayah
Sungai Jratun Seluna qq Pimpinan Waduk Kedung Ombo.
Peta permasalahan yang dipersengketakan antara penggugat (Warga
Kedungpring) dan tergugat (Pemerintah) di Pengadilan Negeri Semarang
adalah seperti dilukiskan dalam tabel berikut:
Tabel IV-7:
Peta Sengketa Kasus Kedung Ombo
320 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pengadilan Negeri Semarang pada tanggal 20 Desember 1990
mengeluarkan putusan No. 117/Pdt/G/1990/PN.Smg., yang dalam pokok
perkaranya menyatakan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya, dan
menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp24.500 (dua puluh empat ribu lima ratus rupiah). Warga menolak putusan
ini dan menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang.
Pada tanggal 9 April 1991, Pengadilan Tinggi mengeluarkan putusan No.
143/Pdt/1991/ PT.Smg., yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Semarang. Logika yang dibangun oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Tinggi adalah sama dengan tergugat asli (terbanding).
Para pembanding, sebanyak 34 orang, lalu memutuskan untuk
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim yang mengadili kasus
ini diketuai oleh Prof. Zaenal Asikin Kusumah Atmadja, S.H. (anggota: A.M.
Manrapi dan R.L. Tobing), yang berhasil menyelesaikan tugasnya dengan
mengeluarkan putusan Reg. No. 2263K/Pdt.1991 tanggal 28 Juli 1993
(selanjutnya disebut Putusan Zaenal Asikin). Sebelum putusan ini dikeluarkan,
pada tanggal 17 Juni 1993 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden
(Keppres) No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Keppres ini mencabut antara
lain Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 15 Tahun 1975
tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, yang
merupakan dasar hukum pengajuan gugatan sejak awal. Substansi
Permendagri tersebut dinilai lebih menguntungkan bagi pemohon kasasi
dibandingkan dengan ketentuan Keppres.
Putusan Zaenal Asikin di luar dugaan, ternyata memenangkan pihak
permohon kasasi. Walaupun ada perubahan peraturan, Zaenal Asikin tetap
menggunakan Permendagri No. 15 Tahun 1975 sebagai sumber hukum
putusannya. Satu hal yang menarik dari putusan Zaenal Asikin adalah
keberaniannya memutuskan besaran ganti rugi lebih daripada yang diminta
warga. Penggugat (pemohon kasasi) meminta ganti rugi Rp10.000 (sepuluh
ribu rupiah) per meter persegi, sementara Zaenal Asikin justru mengabulkan
sebesar Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah) per meter persegi. Tanaman
ditetapkan diganti sebesar Rp30.000 (tiga puluh ribu rupiah) per meter
persegi. Untuk kerugian imaterial sesuai dengan petitum ex aquo et bono
ditetapkan sebesar Rp2 milyar (dua milyar rupiah).
Sayangnya, putusan ini sejak diucapkan sampai diterima oleh para pemohon
kasasi membutuhkan waktu satu tahun. Kuasa hukum pemohon kasasi,
SHIDARTA — 321
Soemadi Prawirodirdjo mengaku baru menerima putusan tanggal 5 Juli 1994.139
Putusan ini menimbulkan reaksi keras dari pemerintah, dan banyak pihak (antara
lain Ketua Bakorstranasda Jawa Tengah) meragukan keaslian putusan tersebut.
Setelah kontroversi keaslian ini selesai, maka Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah
sebagai kuasa hukum Gubernur Jawa Tengah segera mengajukan permohonan
peninjauan kembali (PK). Pihak pemohon PK yakin memiliki bukti baru (novum)
untuk membatalkan putusan Zaenal Asikin.140
Majelis hakim yang memeriksa PK ini terdiri dari lima orang, diketuai
oleh H.R. Purwoto S. Gandsubrata, S.H. (anggota: Soerjono, Olden Bidara,
Samsoeddin Aboebakar, dan Sarwata). Semua anggota majelis adalah pejabat
di lingkungan MA. Purwoto Gandasubrata sendiri adalah Ketua MA ketika
itu, sementara anggota-anggotanya masing-masing adalah Ketua Muda
Perdata Adat, Ketua Muda PTUN, Ketua Muda Perdata Tulis, dan Ketua
Muda Peradilan Militer).
Reaksi keras atas putusan Zaenal Asikin diperlihatkan oleh Presiden
Soeharto. Pada saat bertemu Ir. Soni Harsono, Kepala Badan Pertanahan
Nasional (BPN) tanggal 25 Juli 1994, ia secara khusus menanyakan putusan
ini. Reaksi Presiden tampak dari pernyataan keras Kepala BPN usai diterima
Presiden. Ia menegaskan bahwa pemerintah selalu melindungi rakyat. “Ini
‘kan cuma 34 orang kepala keluarga. Kita bicara keadilan. Apa adil kita
memberi perlakuan khusus kepada orang yang sebenarnya jumlahnya kecil?
Tentunya, [mendahulukan bagi jumlah] yang lebih besar,” kata Soni.141
Kemudian, pada tanggal 30 Juli 1994, Presiden Soeharto menerima Ketua
MA di Bina Graha. Ia secara khusus meminta Ketua MA memberikan
keputusan yang “seadil-adilnya” dalam penanganan peninjauan kembali kasus
Kedung Ombo karena kasus ini menyangkut kepentingan umum. Tampaknya
Ketua MA tidak menilai pernyataan Presiden ini sebagai bentuk campur
tangan pihak eksekutif. Menurut Ketua MA, hal itu adalah himbauan dan
wajar-wajar saja, sekalipun pihak eksekutif adalah pihak dalam sengketa itu.142
___________________________
139 Ketua MA, Purwoto Gandasubrata menegaskan keterlambatan ini hanyalah kendala administrasi
biasa. Menurutnya, putusan itu diucapkan beberapa hari menjelang Zaenal Asikin pensiun.
Pada saat diucapkan, pengetikannya belum rampung sementara perkara yang harus ditangani
juga banyak. “Itu yang membuat lama. Putusannya setebal 135 halaman dan diketik dengan
mesin ketik biasa. Ini ‘kan memakan waktu,” kata Purwoto. Lihat Ibid., hlm. 83.
140 Bukti novum yang dimaksud menunjukkan bahwa harga tanah setempat adalah jauh lebih
rendah daripada harga yang ditentukan dalam putuan Mahkamah Agung. Ternyata, novum ini
ditolak oleh putusan Purwoto karena diangap tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 67 Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985.
141 Abdul Hakim G. Nusantara & Budiman Tanuredjo, Op. Cit., hlm. 85.
142 Ibid., hlm. 87.
322 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pada awal Agustus 1994, para pemohon kasasi (Warga Kedungpring)
mengajukan agar putusan kasasi dieksekusi. Namun, Kejaksaan Tinggi Jawa
Tengah sebaliknya mengajukan permohonan penundaan eksekusi. Atas
permohonan ini, dua bulan kemudian, Ketua MA mengabulkan
permohonan Kejaksaan, yakni menunda eksekusi.
Majelis hakim perkara PK yang diketuai Purwoto Gandasubrata ini
hanya perlu bekerja selama 2,5 bulan (bandingkan dengan majelis yang
dipimpin oleh Zaenal Asikin yang bekerja selama 2 tahun). Seperti diduga
banyak kalangan, putusan PK ini membatalkan putusan Zaenal Asikin.
Uniknya, sama seperti Asikin, Purwoto juga mengucapkan putusannya dua
hari menjelang ia pensiun dari MA.
Untuk mengimbangi suara-suara keras yang mengkritisi putusannya,
Purwoto Gandasubrata dalam sebuah acara perpisahan akhir jabatannya
dari MA, pada tanggal 10 November 1994, menyesalkan munculnya
berbagai komentar yang terburu-buru dan cenderung memojokkan
pengadilan. Menurutnya, ia tidak berpihak pada pemerintah. “Tidak benar,
karena putusan itu tidak menolak, tapi menyatakan tidak dapat menerima,
dan harus ditempuh menurut ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Keppres
No. 55 Tahun 1993,” kata Purwoto.
Me nging at komple ksita s kasu s Ke dun g Ombo ini ya ng ter kait b erbag ai
substansi hukum, maka untuk keperluan deskripsi penalaran hukum dari
aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya, hanya dipilih tiga isu
kontroversial untuk ditelaah lebih lanjut, yaitu perihal:
1. apakah musyawarah untuk mencapai kesepakatan harga ganti rugi
itu telah benar-benar berlangsung antara warga dan pemerintah?
2. apakah hakim boleh mengabulkan lebih daripada yang diminta
pihak penggugat (dalam hal ini pemohon kasasi)?
3. apakah sumber hukum yang paling tepat untuk digunakan dalam
pembebasan tanah warga Kedungpring tersebut (Permendagri No.
15 Tahun 1975 atau Keppres No. 55 Tahun 1993)?
Khusus terhadap tiga hal ini, jika dua putusan MA itu ditabulasikan,
akan muncul dalam bentuk tabel perbandingan sebagai berikut:
SHIDARTA — 323
Tabel IV-8:
Perbandingan Beberapa Hal
dalam Putusan (Kasasi) Zaenal Asikin Kusumah Atmadja
dan Putusan (PK) Purwoto S. Gandasubrata
___________________________
143 Ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud adalah Pasal 178 HIR. Pada Ayat (3) dari
pasal ini dinyatakan, “Ia (hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang
tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yang digugat.”
324 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
1. Aspek Ontologis
Aspek ontologis yang dikemukakan di sini terkait dengan pertanyaan
tentang pemaknaan hakikat hukum dalam konteks keindonesiaan. Dalam
uraian Bab III telah diilustrasikan betapa luas pemaknaan hukum itu, yang
pada intinya dapat berupa: (1) asas kebenaran dan keadilan; (2) norma
positif dalam sistem perundang-undangan; (3) putusan hakim in concreto;
(4) pola perilaku yang terlembagakan; dan (5) manifestasi makna-makna
simbolis perilaku sosial. Pemaknaan ini selanjutnya memberi ciri bagi
masing-masing model penalaran hukum.
Secara ontologis, hakikat hukum yang dipersepsikan secara umum
dalam penalaran hukum di Indonesia adalah hukum sebagai norma positif
dalam sistem perundang-undangan. Kesimpulan ini dapat ditarik dari
SHIDARTA — 325
perspektif makro, yakni dari sistem hukum Indonesia, dan secara mikro,
yakni dari kasus Kedung Ombo sebagaimana diilustrasikan di atas.
Pemaknaan hukum secara sempit demikian sesungguhnya telah
mempersempit dimensi ontologis dari ilmu hukum itu sendiri. Menurut B.
Arief Sidharta, objek telaah ilmu hukum adalah hukum positif di suatu
negara tertentu pada waktu tertentu (hukum yang berlaku di sini, sekarang;
ius constitutum). Hukum positif ini merupakan sistem konseptual asas-asas
hukum, kaidah-kaidah hukum dan putusan-putusan hukum produk
kesadaran hukum dan politik hukum yang bagian-bagian pentingnya
dipositifkan oleh pengemban kewenangan (otoritas) hukum dalam negara
yang bersangkutan, serta lembaga-lembaga hukum untuk mengaktualisasi-
kan sistem konseptual tersebut dan prosesnya. Pengolahan bahan hukum
ini, menurut B. Arief Sidharta, dilakukan dengan selalu mengacu kepada
keadilan dan konteks kesejarahan dan kemasyarakatan.144 Pe nalara n hukum,
dengan demikian, secara ontologis harus membebaskan diri dari pemaknaan
hakikat hukum hanya sekadar sebagai norma (kaidah) dalam sistem
perundang-undangan. Konteks ruang dan waktu sangat menentukan,
dengan orientasi aksiologis kepada keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat luas.
Untuk melihat perspektif makro realitas pemaknaan hukum di
Indonesia, pertama-tama perlu dilihat perjalanan sejarah yang membingkai
bangunan sistem hukum tersebut. Tabel IV-3 (Perjalanan Historis Sistem
Hukum di Indonesia) menunjukkan betapa besar pengaruh politik hukum
kolonial Belanda terhadap corak sistem hukum Indonesia sampai saat ini.
Politik hukum ini jelas didominasi oleh kepentingan pihak Belanda, bukan
kepentingan rakyat Indonesia pada umumnya. Hal itu terlihat dari motivasi
untuk melakukan penataan tadi, yang ditandai dengan kebangkrutan VOC
dan kegagalan cultuurstelsel di Hindia Belanda. Untuk menjaga agar Hindia
Belanda tetap menjadi sumber finansial bagi Negeri Belanda, maka
diusahakan untuk menawarkan kesempatan investasi di sektor perkebunan
kepada kalangan swasta di Eropa. Itulah sebabnya, tidak mengherankan
jika masalah pertanahan merupakan bidang hukum yang pertama-tama
ingin ditata oleh Pemerintahan Kolonial. Pemerintahan Kolonial juga
membutuhkan tenaga manusia untuk diperkerjakan di proyek-proyek padat
karya ini, sehingga sektor hukum perburuhan pun diberi prioritas
berikutnya.
___________________________
144 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur..., Op. Cit., hlm. 216.
326 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Motivasi yang kuat untuk memaksimalkan profit secara ekonomis
inilah yang mengedepan sepanjang sejarah penjajahan Belanda. Keinginan
untuk mengakselearasi tercapainya kepentingan inilah yang lalu membuat
Pemerintahan Kolonial menerapkan asas konkordansi, ditambah dengan
kebijakan melakukan unifikasi dan kodifikasi atas beberapa bidang hukum
(eenheidsbeginsel). Motivasi kepentingan ekonomi juga dapat ditunjukkan
dari cara Pemerintahan Kolonial menetapkan golongan-golongan
penduduk Indonesia. Sekilas klasifikasi ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan objektif, yakni hukum-hukum yang hidup pada masing-
masing golongan penduduk itu. Namun, dimasukkannya orang-orang
Jepang ke dalam golongan Eropa, membuktikan bahwa pertimbangannya
tidak lagi objektif seperti dipersangkakan. Demikian juga dengan
diberinya kesempatan untuk melakukan penundukan diri secara sukarela
(vrijwillige onderwerping) dan kebijakan menetapkan pernyataan berlaku
(toepasselijk verklaring).
Sistem hukum di Negeri Belanda sendiri sangat kuat dipengaruhi corak
sistem civil law. Dengan asas konkordansi, sistem civil law ini kemudian
ditanamkan ke dalam konstelasi hukum yang hidup di Indonesia. Corak
sistem civil law ini lalu tumbuh berkembang, bahkan akhirnya menjadi
“pohon utama” yang menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang.
Tuntutan untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi adalah beberapa
ciri utama dari Positivisme Hukum, yakni suatu model penalaran hukum
yang memandang hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-
undangan. Upaya Pemerintahan Kolonial untuk menanamkan model ini
ke dalam sistem hukum di Indonesia memang di sana-sini mengalami
penolakan. Motor penolakan justru datang dari kalangan ahli hukum
Belanda sendiri, seperti diinisiasi oleh Vollenhoven dkk. Kendati demikian,
tidak dapat disangkal bahwa model penalaran Positivisme Hukum ini
menjadi model yang disenangi penguasa politik, termasuk pasca-
Kemerdekaan.
Setelah melewati masa transisi (Demokrasi Liberal), Indonesia berada
dalam dua pemerintahan otoriter yaitu rezim Orde Lama dan Orde Baru.
Moh. Mahfud M.D. menyatakan bahwa pada kedua periode ini produk
hukum (baca: undang-undang) yang dihasilkan pada umumnya bersifat
konservatif, ortodoks, atau elitis. Produk hukum yang berkarakter seperti
itu lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-
instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara.
Hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok
SHIDARTA — 327
maupun individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya,
peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil.145
Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Mahfud M.D. menunjukkan
bahwa konfigurasi politik yang [sebenarnya relatif] demokratis pada periode
1945-1959 mulai ditarik ke arah berlawanan, yakni menjadi otoriter. Mahfud
menyebut tahun 1957 sebagai momentum tatkala Soekarno melemparkan
konsepsinya tentang Demokrasi Terpimpin. Konsepsi ini lalu secara
konstitusional diberi jalan dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959.
Mahfud melukiskan periode ini sebagai berikut:146
Menurut konsepsi demokrasi terpimpin, kehidupan politik periode
sebelumnya merupakan sistem yang sangat bertentangan dengan budaya
bangsa, karenanya harus ditinggalkan. Yang terjadi dalam demokrasi
terpimpin adalah terpimpinnya sehingga konfigurasi politik yang tampak
adalah konfigurasi otoriter. Kekuasaana pemerintah yang terpusat di istana
Presiden sangat kuat, sedangkan lembaga perwakilan rakyat sangat lemah.
Kewenangan DPR sering diintervensi dengan dikeluarkannya berbagai
Penpres dan Peperpu untuk akhirnya parlemen hasil Pemilu ini dibubarkan
dengan sebuah Penpres. Kehidupan pers ditekan sedemikian rupa melalui
pembreidelan, sensor, dan pemenjaraan. Pada era demokrasi terpimpin ada
tiga kekuatan politik yang saling tolak-tarik dan saling memanfaatkan yaitu
Presiden Soekarno, Angkatan Darat, dan PKI, tetapi kekuasaan terbesar
ada pada Soekarno.
Model penalaran hukum Positivisme Hukum diberi tempat yang tepat
dalam sistem pemerintahan otoriter. Apa yang terjadi selama era Presiden
Soekarno pasca-Dekrit (Orde Lama) ini berakhir tatkala Angkatan
Bersenjata (berintikan Angkatan Darat) mengambil alih pemerintahan.
Mahfud menjelaskan periode ini sebagai berikut:
Pada awalnya Orde Baru memulai langkah politiknya dengan langgam “agak”
demokratis-liberal, tetapi langgam tersebut hanya tampil sementara, yakni
selama pemerintah berusaha membentuk format baru politik Indonesia.
Setelah format baru tersebut terbentuk melalui UU No. 15 dan UU No. 16
Tahun 1969 dan hasil Pemilu 1971, maka langgam sistem politik mulai
bergeser lagi ke arah otoritarian. Logika pembangunan ekonomi yang harus
didukung oleh “stabilitas nasional” (sebagai prasyaratnya) telah membawa
Orde Baru untuk menjadikan dirinya sebagai negara kuat yang mampu
melaksanakan program pembangunannya . . . . Pemerintah Orde Baru adalah
pemerintah yang sangat otonom dan penetratif, mengatasi semua kekuatan
___________________________
145 Moh. Mahfud M.D., Politik Hukum..., Op. Cit., hlm. 25, 374–375.
146 Ibid., hlm. 374.
328 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
yang ada dalam masyarakat dan birokrasinya sangat menentukan. Partai politik
pada era ini tidak mandiri. Keputusan-keputusan bidang legislasi lebih banyak
diwarnai oleh visi politik pemerintah. Lembaga Surat Izin Terbit (SIT) yang
dulunya dikecam sebagai alat untuk membreidel pers eksistensinya
dipertahankan melalui lembaga Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Jika Mahfud menyebutkan bahwa pada era Orde Baru (juga Orde
Lama) keputusan-keputusan legislasi lebih banyak diwarnai oleh visi politik
pemerintah, maka kondisi serupa tercermin pula dari keputusan-keputusan
yudikatif. Kasus Kedung Ombo yang dideskripsikan di atas merupakan
representasi yang sangat kaya dengan nuansa “otoritarian” tersebut.147
Apa yang disebut dengan “otoritarian” di atas tentu dilandasi oleh suatu
motivasi tertentu. Oleh karena itu, diitinjau dari model-model penalaran
hukum, sikap pemerintah pada era Orde Lama dan Orde Baru sebenarnya
tidak sepenuhnya mencerminkan Positivisme Hukum yang murni seperti
gagasan orisinal seperti dikemukakan Hans Kelsen. Tatkala jargon “demi
pembangunan” disuarakan dengan keras hingga sampai ke ruang-ruang sidang
pengadilan, maka motivasi penguasa politik sering digunakan sebagai
justifikasi suatu putusan pengadilan dan pengemban hukum praktis lainnya.
Apa yang ditunjukkan dalam kasus Kedung Ombo di bawah
memperkuat sinyalemen ini. Sebagai contoh, Pasal 66 Undang-Undang
No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menegaskan bahwa
permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus
serta hanya dapat diajukan sekali saja.148 Bunyi pasal ini sangatlah eksplisit
(expressis verbis), sehingga tidak mungkin dapat diartikan lain. Dalam
kenyataannya, Purwoto sebagai Ketua Mahkamah Agung justru bertindak
sebaliknya. Pada tanggal 8 Oktober 1995, ia mengirim surat penangguhan
eksekusi (atas putusan Zaenal Asikin) ke Pengadilan Negeri Semarang.149
___________________________
147 Selain kasus Kedung Ombo, banyak kasus besar lainnya yang memperlihatkan “keanehan”
penalaran hukum yang terjadi di lembaga setingkat MA, yang sungguh-sungguh mencerminkan
intervensi sistem politik yang otoritarian terhadap sistem hukum. Salah satu di antaranya adalah
gugatan Henok Hebe Ohee atas tanah milik adat sukunya yang dikuasai oleh Pemda Irian Jaya.
Putusan yang memenangkan Ohee tidak dapat dieksekusi hanya dengan secarik surat (ketebeletje)
dari Ketua MA.
148 Selain kasus Henok Hebe Ohee, terdapat sejumlah kasus pidana yang menunjukkan pelanggaran
Pasal 66 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Pasal 259 KUHAP. Misalnya, adanya PK
yang diajukan oleh kejaksaan agung, diciptakannya pranata “kontra-PK” dan sebagainya.
149 Alasan Purwoto menerbitkan surat ini adalah untuk mengawasi jalannya peradilan. Ia berkata,
“Memang benar PK tidak menangguhkan eksekusi. Namun, ada juga pasal dalam UU MA
yang menempatkan MA sebagai lembaga pengawas jalannya peradilan. Kalau ada jalannya
peradilan yang bertentangan dengan undang-undang, kan bisa ditangguhkan.” Lihat lebih
lanjut Abdul Hakim G. Nusantara & Budiman Tanuredjo, Op. Cit., hlm. 79.
SHIDARTA — 329
Ironisnya, dalam salah satu tulisannya berjudul “Tugas Hakim Indonesia”
untuk mengenang gurunya (alm. Prof. Djokosoetono), Purwoto menulis
sebagai berikut:150
Dalam mengadili perkara-perkara yang dihadapinya maka hakim akan:
a. dalam kasus yang hukumnya atau undang-undangnya sudah jelas, tinggal
menerapkan saja hukumnya (Hakim menjadi terompet U.U.);
b. dalam kasus yang hukumnya atau Undang-undangnya tidak atau belum
jelas maka Hakim akan menafsirkan hukum atau U.U. melalui cara-cara
atau metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum;
c. dalam kasus dimana terjadi pelanggaran/penerapan hukum yang
bertentangan dengan hukum/Undang-undang yang berlaku, maka
Hakim akan menggunakan hak menguji (“toetsingrecht” atau “judicial
review”) yang dapat berupa “formele toetsing” maupun materiele
toetsing”. . . .
d. dalam kasus yang belum ada U.U./hukum yang mengaturnya, maka
Hakim harus menemukan hukumnya dengan menggali dan mengikuti
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih menarik lagi adalah pernyataan Purwoto berikutnya. Ia dengan nada
meyakinkan menyatakan, “Pada akhirnya Hakim harus memutuskan perkara
yang diadilinya semata-mata berdasarkan hukum, kebenaran dan keadilan
dengan tiada membeda-bedakan orang, tentunya dengan pelbagai risiko yang
mungkin akan dihadapinya.” Pada bagian lain dari tulisannya ia mengatakan:151
Putusan hakim yang baik bukanlah putusan yang sedemikian muluk dan
berkadar ilmiah setinggi langit sehingga sulit dimengerti pihak-pihak yang
bersangkutan, tetapi haruslah suatu putusan yang logis, “maton”, jelas dan
terang yang dapat dimengerti para pencari keadilan beserta pertimbangan-
pertimbangan hukum yang tepat-jelas dan cukup beralasan.
Dari seorang Hakim diharapkan, bahwa ia dapat menerapkan hukum positip
terhadap situasi/kasus yang konkrit secara baik, benar dan adil serta sesuai
dengan cita-hukum dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Untuk itu seorang hakim kecuali harus dijiwai rasa cinta kepada hukum dan
keadilan, juga harus merasa dirinya terikat (“committed”), peka dan tanggap
kepada “mission sacre”-nya untuk senantiasa menjunjung tinggi dan
menegakkan hukum dan keadilan terhadap sesama mahluk Tuhan
berlandaskan falsafah Bangsa kita Pancasila, yang merupakan pula citra
hukum tertinggi di Negara R.I.
___________________________
150 Purwoto S. Gandasubrata, “Tugas Hakim Indonesia,” dalam Selo Soemardjan et al., eds.,
Guru Pinandita: Sumbangsih untuk Prof. Djokosoetono, S.H. (Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI,
1984), hlm. 514–515.
151 Ibid., hlm. 515, 525.
330 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pada saat Purwoto menerbitkan surat penangguhan eksekusi tersebut,
ia memang belum dalam posisi sebagai hakim, tetapi sebagai Ketua
Mahkamah Agung. Istilah “surat penangguhan eksekusi” dalam kasus ini
dengan demikian sudah berada di luar proses beracara di depan pengadilan
karena dikeluarkan oleh seseorang dalam posisi sebagai pejabat administrasi
negara (dari atasan kepada bawahannya). Ilustrasi ini, dengan demikian,
menunjukkan kuatnya campur tangan administrasi negara terhadap dunia
peradilan. Hukum dengan demikian menjadi sangat rentan untuk
diputarbalikkan sesuai kepentingan penguasa. Kesan inilah yang
mendominasi konsep-konsep ontologis dalam konteks keindonesiaan,
setidaknya pada perjalanan sebagian besar sejarah sistem hukum di
Indonesia. Pemaknaan hukum yang lebih bernuansa sosiologis dan filosofis
bukannya tidak dipahami oleh para hakim, seperti terlihat dari kutipan
tulisan Purwoto di atas. Namun, keraguan untuk menemukan hukum
melalui proses penalaran yang bebas disebabkan terutama oleh dominasi
kekuasaan politik.
Putusan kasasi Zaenal Asikin dapat saja (dalam beberapa segi)
merupakan bentuk pengecualian pemaknaan hakikat hukum yang jarang
terjadi sepanjang sejarah peradilan di Indonesia sejak era Orde Lama,
sekalipun ia tetap menggunakan dasar-dasar peraturan perundang-undangan
sebagai sumber hukum utama.152 Keberanian Zaenal Asikin untuk
mendobrak maksim “Judex non reddit plus quam quod petens ipse requirit” (a
judge does not give more than what the complaining party himself demands),153 adalah
sesuatu yang seharusnya disikapi dengan hati-hati. Sebab, seperti
ditunjukkan dalam uraian aspek epistemologis di bawah ini, langkah Zaenal
Asikin ini justru pada akhirnya kontraproduktif bagi warga pencari keadilan,
sebab amar putusan demikian merupakan alasan pengajuan peninjauan
kembali yang nota bene memperpanjang proses peradilan itu sendiri.
2. Aspek Epistemologis
Ketika Hakim Agung Zaenal Asikin menerima tugas mengadili kasus
ini di tingkat kasasi, ia harus mempelajari memori kasasi dan kontra-memori
kasasi yang diajukan masing-masing pihak. Apa yang dilakukannya
sebenarnya persis seperti yang juga dilakukan oleh hakim-hakim pengadilan
___________________________
152 Terobosan serupa yang lebih luas dikenal adalah yang dilakukan hakim Bismar Siregar tatkala
ia bertugas di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara (1982–1984) dengan menggunakan analogi
kehormatan wanita sebagai “barang.” Tentang komentarnya terhadap putusan tersebut, lihat
wawancara dengan Bismar Siregar, Forum Keadilan, No. 24, Oktober 1990, hlm. 12–20.
153 Henry Campbell Black, Op. Cit., hlm. 841.
SHIDARTA — 331
negeri dan pengadilan tinggi yang mengadili kasus ini pada tingkat
sebelumnya. Zaenal Asikin mengidentifikasi fakta-fakta yang tercantum
dalam berkas-berkas itu. Ia juga menghubungkan struktur kasus tersebut
dengan sumber-sumber yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan
perbuatan hukum yang dipersoalkan di sini termasuk dalam kategori
“perbuatan melawan hukum oleh pemerintah” (onrechtmatige overheidsdaad).
Hakim Agung Purwoto S. Gandasubrata juga melakukan langkah-
langkah penalaran hukum yang sama, dengan mempelajari memori PK
dan kontra-memori PK. Akhirnya ia mengambil posisi titik berdiri
(standpunt) untuk menyatakan bahwa gugatan warga Kedungpring tidak
dapat diterima.
Menurut Purwoto, kata-kata “tidak dapat diterima” ini berbeda dengan
“gugatan ditolak.” Secara simbolis, Purwoto seakan ingin mengatakan
bahwa dalam kasus ini ia tidak memenangkan pemerintah, melainkan hanya
tidak menerima gugatan warga Kedungpring terhadap pemerintah.
Diwawancarai wartawan pada tanggal 10 November 1993, Purwoto
menegaskan, “Disebut majelis (kasus Kedung Ombo) berpihak pada
pemerintah. Tidak benar, karena dalam putusan itu tidak menolak tapi
menyatakan tidak dapat menerima, dan harus ditempuh menurut ketentuan
yang berlaku, yaitu Keppres No. 55/1993.”154
Apa yang menjadi argumentasi Purwoto di atas jelas tidak sejalan dengan
penalaran sederhana masyarakat dan perasaan keadilan mereka pada
umumnya.155 Sesuatu yang sebenarnya mutlak dipertimbangkan oleh hakim,
kecuali bagi hakim yang semata-mata mengandalkan model penalaran
Positivisme Hukum! Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo
memberi catatan mengenai kesenjangan penalaran tersebut sebagai berikut:156
Namun, pertimbangan hukum atau apapun namanya, bagi masyarakat
Kedungpring esensinya sama. Masyarakat kecil tidak memahami
pertimbangan hukum dari hakim yang kadang njlimet dan tidak bisa diterima
logika. Yang bisa mereka rasakan adalah sebuah hasil akhir. Masyarakat
Kedungpring tentunya tidak memahami apa arti gugatan ditolak atau gugatan
tidak bisa diterima. Bagi mereka artinya sama saja. Bahkan “kemenangan”
mereka telah dianulir dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tidak
mereka pahami.
___________________________
154 Abdul Hakim G. Nusantara & Budiman Tanuredjo, Op. Cit., hlm. 90.
155 Bahkan sejumlah praktisi dan akademisi hukumpun menyatakan keheranannya atas putusan
Purwoto ini. Lihat komentar Todung Mulya Lubis dan Luhut M.P. Pangaribuan dalam Ibid,
hlm. 80.
156 Ibid., hlm. 81–82.
332 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Namun warga Kedungpring sendiri sudah pasrah. Meski diakuinya, ketika
Asikin memenangkannya mereka sempat nyicil ayem. “Kalau kami sekarang
dikalahkan ya sumangga. Tak apa-apa. Sebagai rakyat kecil, kami ini lebih
banyak dirugikan, tetapi kami tidak pernah merugikan pemerintah,” ujar
Dukuh Kedungpring.
Warga Kedungpring memang merasa dipermainkan MA. Baru beberapa
bulan dikabari “menang”, kemudian dikabari lagi bahwa mereka “kalah”.
“Kalau MA bisa membikin keputusan yang keliru-keliru begitu, buat apa
kami mengajukan gugatan baru lagi. Tak usah menggugat saja,” tegas
Darsono.
Dari aspek epistemologisnya, kedua putusan yang berbeda 180 derajat
tersebut mengundang pertanyaan. Uraian berikut memperlihatkan
argumentasi yang dibangun oleh masing-masing hakim. Mengingat
kompleksitas permasalahan yang dimunculkan dalam putusan mereka,
dalam bahasan berikut hanya dibatasi pada tiga isu seperti dikemukakan
dalam Tabel IV-8 (Perbandingan Beberapa Hal dalam Putusan [Kasasi]
Zaenal Asikin Kusumah Atmadja dan Putusan [PK] Purwoto S.
Gandasubrata), yaitu (1) ada tidaknya musyawarah; (2) hakim mengabulkan
lebih daripada yang diminta; dan (3) sumber hukum yang digunakan.
a. Ada Tidaknya Musyawarah
Persoalan sudah terjadi tidaknya “musyawarah” merupakan isu sentral
dalam kasus Kedung Ombo ini. Para pihak yang terlibat perkara juga
mempermasalahkan hal ini mulai dari sidang tingkat pertama di Pengadilan
Negeri Semarang sampai pada pemeriksaan PK di Mahkamah Agung.
Pada putusan tingkat kasasi, Zaenal Asikin menyatakan bahwa
musyawarah untuk mencapai kesepakatan harga, secara material belum
pernah dilakukan. Secara formal memang ada undangan bagi para penduduk
untuk hadir, tetapi yang terjadi pada saat itu bukanlah musyawarah dalam
arti sebenarnya, melainkan penduduk diintimidasi. Padahal, eksistensi
musyawarah ini merupakan persyaratan mutlak menurut peraturan
perundang-undangan untuk dilakukannya pembebasan tanah. Jika
musyawarah belum diadakan, berarti pembebasan tanahpun belum
memenuhi syarat. Jika “kesepakatan” ganti rugi yang sebenarnya ditetapkan
sepihak itu dipaksakan, hal ini menunjukkan pemerintah telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, menurut penalaran Zaenal
Asikin, berdasarkan keadilan, seharusnya ia mengambil posisi berdiri
(standpunt) untuk menyatakan “kesepakatan” ganti rugi itu tidak memenuhi
syarat. Ia menyusun argumentasinya sebagai berikut:
SHIDARTA — 333
Pihak pemerintah dalam memori PK-nya menyatakan keberatan atas
keterangan warga Kedungpring (Kedung Ombo) yang menyatakan bahwa
pemberian ganti rugi tidak pernah didahului musyawarah. Sebagai buktinya,
pemerintah menunjukkan bukti notulen rapat penyuluhan, yang dilanjutkan
dengan musyawarah yang berhasil menetapkan harga ganti rugi di Balai
Desa Nglanji. Menurut versi pemerintah, keterangan warga Kedungpring
ini merupakan kebohongan. Adanya kebohongan ini merupakan salah satu
alasan dimintakannya peninjauan kembali.
Hakim Agung Purwoto menganggap persoalan substansial ada tidaknya
musyawarah ini tidak menjadi bagian dari materi kasus yang harus diperiksa
di tingkat PK. Mahkamah Agung pada pemeriksaan PK bukan merupakan
peradilan tingkat keempat, sehingga dalil pemerintah tentang adanya
kebohongan itu dinilai oleh Purwoto tidak memenuhi unsur yang
dikehendaki oleh Pasal 67 Huruf a Undang-Undang No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung. Menurut Pasal 67 terdapat ada enam alasan
pengajuan PK. Redaksi selengkapnya dari pasal ini berbunyi:
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada
yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama,
atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
334 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Jika disusun sebagai suatu bentuk argumentasi, maka Pasal 67 ini
mengambil bentuk dasar argumen-argumen yang bebas (onafhankelijke
argumenten). Artinya, masing-masing argumen secara terpisah sudah cukup
mendukung titik berdiri. Dengan tidak dapat digunakannya alasan
(argumen) pertama, maka permohonan PK ini hanya dapat diterima melalui
alasan-alasan berikutnya.
Pola penalaran dari Purwoto bersifat top-down, mencerminkan model
penalaran Positivisme Hukum, dengan semata mengambil dasar hukum
undang-undang sebagai sumber satu-satunya. Bentuk argumentasinya
kurang lebih dapat diskemakan secara singkat sebagai berikut:
Dengan tidak diterimanya alasan tersebut, maka masalah ada tidaknya
musyawarah tadi menjadi tidak terpecahkan. Majelis hakim PK menolak
untuk memeriksa masalah ini. Jika dihubungkan dengan amar putusannya,
yaitu “gugatan para penggugat tidak dapat diterima,” maka berarti materi
permasalahan “musyawarah” ini dibiarkannya tidak terselesaikan, sehingga
para penggugat dipersilakan menggugat ulang di pengadilan negeri.
Logika masyarakat awam akan menyatakan, bahwa jika masyarakat
dipersilakan menggugat kembali dari awal, maka seharusnya baik pihak
penggugat maupun tergugat belum ada yang dimenangkan. Untuk itu, segala
sesuatu harus dikembalikan ke kondisi awal. Untuk kasus Kedung Ombo
hal ini tidak mungkin dilakukan. Ironisnya, dalam salah satu argumen
(pertimbangan hukum) yang mendukung titik berdiri tadi, Purwoto sudah
menyatakan secara implisit bahwa tindakan pemerintah adalah benar
(dimenangkan). Hal ini terkait dengan soal konsinyasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Lengkapnya pertimbangan itu berbunyi:
Menimbang, bahwa karena sebagian terbesar dari warga Kedung Ombo telah
bersedia menerima uang ganti rugi yang telah ditawarkan dan diconsinyasikan
di Pengadilan Negeri Boyolali, hal itu berarti bahwa mayoritas warga Kedung
Ombo telah menerima uang ganti rugi itu dan melepaskan hak atas tanahnya,
sehingga pembebasan tanah tersebut sudah sah menurut hukum.
b. Hakim Mengabulkan Lebih daripada yang Diminta
Larangan hakim untuk mengabulkan gugatan lebih daripada yang
diminta, khususnya dalam perkara perdata, dikenal sejak lama dalam doktrin
SHIDARTA — 335
hukum dan diterima sebagai maksim hukum yang universal (judex non reddit
plus quam quod petens ipse requirit) atau kerap disebut asas ne ultra petita (not
beyond the request). Di Indonesia asas ini dieksplisitkan dalam Pasal 178 HIR
dan Pasal 67 Huruf c Undang-Undang Mahkamah Agung. Oleh karena
itu, apa yang dilakukan oleh Zaenal Asikin sepatutnya menarik perhatian
para penstudi hukum, karena sebagai guru besar hukum perdata dan hakim
senior di jajaran Mahkamah Agung, tidak mungkin keputusannya untuk
melanggar asas dan norma hukum positif tersebut tidak dilakukannya
dengan sengaja.
Dalam hukum acara perdata, hakim dipersepsikan sebagai figur yang
pasif. Materi dan luasnya ruang lingkup perkara sepenuhnya ditentukan
para pihak (penggugat dan tergugat), termasuk penetapan berapa nilai
ekonomi dari perkara itu. Dengan sendirinya, yang paling mengetahui
seberapa besar kerugian yang layak untuk diperkarakan adalah para pihak
itu sendiri, sehingga sangat logis jika hak menetapkan nilai ganti rugi
maksimal diberikan ke pihak penggugat. Hakim diperbolehkan pada
akhirnya memutuskan kurang dari nilai maksimal itu, tetapi tidak sekali-
kali melebihinya.
Secara umum putusan kasasi Zaenal Asikin memang dapat dinilai
berpihak kepada warga Kedungpring, namun dengan dilanggarnya secara
sengaja ketentuan hukum positif itu, “kemenangan” warga tadi menjadi
tidak berarti sama sekali. Dengan mengabulkan gugatan melebihi nilai yang
diminta oleh penggugatnya disertai dengan pergantian kerugian imaterial
yang juga tidak diminta, jelas-jelas Zaenal Asikin telah sengaja “mencederai”
putusannya sendiri ini dengan membuka lebar-lebar kesempatan
diajukannya peninjauan kembali atas putusan itu. Model penalaran
Positivisme Hukum tampaknya akan membenarkan sinyalemen demikian.
Kendati demikian, ada model penalaran lain yang dapat memahami
titik berdiri yang diambil Zaenal Asikin. Menurut Sudikno Mertokusumo,
ditinjau dari Pasal 178 HIR, putusan hakim yang mengabulkan lebih
daripada yang diminta ini bisa dinilai menyimpang, tetapi posisi hakim
yang bebas memberinya peluang untuk menetapkan putusan berdasarkan
pertimbangan keadilan.157 Pertimbangan inilah yang tampaknya mendasari
argumentasi yang dibangun Zaenal Asikin seperti tampak dalam skema
berikut:
___________________________
157 Ibid., hlm. 89.
336 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Zaenal Asikin melihat bahwa angka Rp10.000 (sepuluh ribu rupiah) per
meter persegi sebagaimana diminta oleh warga Kedungpring itu seiring dengan
perjalanan waktu yang menyertai proses kasus ini, masih tidak realistis untuk
memberi hak penggugat memperoleh tanah pengganti di tempat lain. Untuk itu
ia menetapkan nilai ganti rugi sebesar Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah) per
meter persegi. Selain itu, ia juga menetapkan ganti kerugian imaterial sebesar dua
milyar rupiah yang harus dibayar oleh pemerintah, yang menurut pihak pemerintah
ganti kerugian demikian tidak pernah diminta sebelumnya oleh penggugat.
Bagi Zaenal Asikin, jika ganti rugi yang diberikan sampai menyebabkan
warga Kedungpring tidak dapat memperoleh hidup yang lebih layak, hal
itu justru bertentangan dengan hukum, termasuk bertentangan dengan
jiwa peraturan perundang-undangan yang diacu (Permendagri No. 15 Tahun
1975). Ia memberikan pertimbangan dalam putusannya sebagai berikut:
Bahwa uang ganti rugi yang ditetapkan dalam surat keputusan tersebut diatas
sangat minim dan tidak manusiawi, sebab uang ganti rugi tersebut dibawah
harga umum dan tidak dapat digunakan untuk membeli barang yang sejenis/
kwalitas/kwantitas yang sama. Hal tersebut juga diakui para saksi Termohon
Kasasi dalam sidang. Uang ganti rugi yang diperoleh dari para Termohon
Kasasi tidak dapat/bisa untuk membeli tanah dan rumah sebagaimana yang
dimiliki semula. Bahwa dengan demikian para Termohon Kasasi telah
melanggar Permendagri nomor 15 Tahun 1975, oleh karena itu telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Purwoto tidak menganggap perlu mempertimbangkan apakah nilai
ganti rugi sebesar Rp10.000/m2 tersebut secara realistis memang dapat
digunakan masyarakat untuk membeli tanah pengganti di tempat lain,
demikian juga dengan kerugian imaterial yang tidak pernah diminta oleh
penggugat. Baginya, persoalan ini cukup dilihat dari sudut hukum positif
yang berlaku, yakni dengan mengacu pada ketentuan hukum acara [Pasal
178 ayat (3) HIR dan Pasal 67 Huruf c Undang-Undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung]. Argumentasinya adalah sebagai berikut:
SHIDARTA — 337
Perdebatan yuridis ini menarik bagi para penstudi hukum, tetapi jelas
tidak realistis dalam logika masyarakat awam. Apabila asas “res judicata pro
veritate habetur” (putusan hakim harus dianggap benar) dipakai sebagai dasar
pijakan, maka berarti putusan terakhir (Purwoto) itulah yang dijadikan
pegangan “kebenaran yuridis” dan sebaliknya dengan putusan Zaenal
Asikin.
Warga Kedungpring bernama Darsono seperti dikutip di atas,
berpendapat bahwa MA telah mempermainkan mereka dengan [sengaja]
membuat keputusan yang keliru seperti itu. Kesan Darsono ini dapat
dimaklumi. Apabila Zaenal Asikin dianggap “keliru” karena melanggar
asas ne ultra petita (judex non reddit plus quam quod petens ipse requirit), lalu
mengapa kekeliruan itu harus ditimpakan akibatnya kepada pihak penggugat
warga masyarakat kecil Kedungpring yang nota bene sudah bertahun-tahun
menanti keadilan. Apakah “kesalahan” hakim ini sepadan dengan akibat
yang harus ditanggung oleh warga Kedungpring, yakni gugatan mereka
dinyatakan tidak dapat diterima? Bukankah “kesalahan” (seandainya patut
dianggap sebagai kesalahan) ini dilakukan oleh majelis hakim MA, bukan
oleh warga Kedungpring?158 Kalau keputusan Zaenal Asikin dianggap
salah karena mengabulkan lebih daripada yang diminta, tidakkah lebih adil
jika kesalahan itu diperbaiki dengan mengembalikannya ke nilai yang
diminta?
c. Sumber Hukum yang Digunakan
Norma perundang-undangan yang sejak awal dijadikan acuan oleh
Zaenal Asikin adalah Permendagri No. 15 Tahun 1975. Ketika kasus ini
sedang diproses di tingkat MA, terjadi perubahan peraturan, yakni
berlakunya Keppres No. 55 Tahun 1993 yang secara eksplisit menyatakan
mencabut keberlakuan Permendagri No. 15 Tahun 1975. Zaenal Asikin
___________________________
158 Persoalan apakah hakim dapat digugat atas kesalahannya dalam menjalankan tugas peradilan,
tampaknya tidak diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. Menurut Oemar Seno Adji,
di berbagai negara hakim dibebaskan dari tanggung jawab perdata, sepanjang tugas itu
dijalankannya dengan itikad baik. Di Belgia dan Perancis, ada cataan tambahan, yaitu sepanjang
hakim tidak menerima suap atau melakukan penolakan hukum. Lihat Oemar Seno Adji,
KUHAP Sekarang (Jakarta: Erlangga, 1985), hlm.17–18.
338 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
bersikeras untuk tetap menggunakan peraturan lama, dengan menggunakan
alasan yang biasa dikemukakan kaum Positivis, yaitu asas “undang-undang
tidak berlaku surut.” Sekalipun demikian, asas ini lalu diberi relativitas
pemaknaan, yang sebenarnya merupakan pengecualian terhadap asas itu
sendiri. Dalam pertimbangan putusannya, Zaenal Asikin menambahkan
asas “jika terjadi perubahan peraturan perundang-undangan diterapkan
ketentuan yang paling menguntungkan.” Artinya, ada saja kemungkinan
suatu undang-undang untuk berlaku surut sepanjang undang-undang yang
baru itu memuat ketentuan yang lebih menguntungkan.
Uniknya, Purwoto dalam putusan PK-nya juga menggunakan
argumentasi yang sama, yang jika diskemakan adalah sebagai berikut:
Alhasil, pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah: “menguntung-
kan bagi siapa?” Dalam hukum pidana, jawaban terhadap pertanyaan ini
lebih mudah diberikan karena Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana secara tegas menyebutkan keuntungan itu harus dilihat
dari sanksi yang paling ringan bagi terdakwa. Subjek hukum si terdakwa
dalam perkara pidana tentu tidak dapat dianalogikan dengan si tergugat
dalam perkara perdata. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Kedung Ombo
ini. Pada proses kasasi, pihak pemohon kasasi (penggugat asli) adalah Warga
Kedungpring, sementara termohon kasasi (tergugat asli) adalah pemerintah.
SHIDARTA — 339
Dari posisi tersebut, jelas tidak mungkin untuk menetapkan bahwa subjek
yang lebih diuntungkan sebagaimana dimaksud oleh asas itu adalah si
termohon. Pihak termohon adalah pemerintah, yang notabene dalam sistem
hukum Indonesia juga berwenang menetapkan peraturan perundang-
undangan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, pemerintah tentu dapat
merekayasa perubahan peraturan yang menguntungkan dirinya di tengah
proses perkara yang melibatkan dirinya. Berdasarkan logika berpikir
tersebut, seharusnya dalam perkara perdata dibangun suatu asumsi bahwa
subjek yang lebih diuntungkan itu adalah pihak yang secara politis,
ekonomis, dan psikologis, merupakan pihak yang paling lemah posisinya.
Dalam kasus Kedung Ombo ini, pihak itu adalah warga Kedungpring.
Antara putusan Zaenal Asikin dan putusan Purwoto tampaknya tidak
mempunyai perbedaan pendapat tentang siapa pihak yang dimaksud dengan
subjek yang diuntungkan dengan adanya perubahan peraturan itu. Hanya
saja, tatkala menetapkan peraturan mana yang dianggap lebih menguntung-
kan Warga Kedungpring, yakni apakah Permendagri No. 15 Tahun 1975
atau Keppres No. 55 Tahun 1993, kedua hakim agung ini berbeda
kesimpulan. Zaenal Asikin menyimpulkan Permendagri No. 15 Tahun 1975
lebih menguntungkan bagi Warga Kedungpring sementara Purwoto
berpendapat justru Keppres No. 55 Tahun 1993 yang lebih menguntungkan
warga (lihat Tabel IV-8).
Argumen yang dikemukakan oleh masing-masing pihak berangkat dari
premis yang berbeda. Zaenal Asikin menyatakan Permendagri No. 15 Tahun
1975 lebih menguntungkan bagi warga karena jika musyawarah tidak
tercapai, Permendagri hanya memberi kewenangan kepada Gubernur untuk
mengambil alternatif, yaitu mengukuhkan apa yang diputuskan oleh Panitia,
atau menentukan keputusan di luar itu (lain dari yang diputuskan Panitia).
Sekalipun demikian keputusan Gubernur ini tidak mengikat para pihak
karena persyaratan bahwa proses harus didahului oleh musyawarah, tidak
terpenuhi. Ketentuan ini jelas lebih menguntungkan bagi warga
dibandingkan dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 yang memberi
kewenangan bagi Gubernur untuk mengusulkan pencabutan hak atas tanah
menurut ketentuan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya.
Argumen yang dibangun oleh Purwoto sebaliknya melihat bahwa
Keppres No. 55 Tahun 1993 justru lebih menguntungkan warga.
Pertimbangan Purwoto dikaitkan dengan nilai ganti rugi yang akan diterima
warga yang akan lebih besar jika menggunakan Keppres No. 55 Tahun
340 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
1993 dibandingkan dengan menggunakan Permendagri No. 15 Tahun
1975. Pola penalaran Purwoto sekilas terlihat mengaitkan norma hukum
positif dengan kebutuhan riil yang menjadi tuntutan warga. Artinya,
pendekatan top-down diikuti dengan pendekatan bottom-up sebagaimana
diperlihatkan model penalaran Utilitarianisme. Namun, pendekatan bottom-
up ini tidak berangkat dari kepentingan riil warga. Apa yang ditonjolkan
Purwoto di sini bukanlah pertimbangan kemanfaatan warga yang sedang
terlibat sengketa keperdataan dengan pemerintah, melainkan pertimbangan
pemerintah itu sendiri yang dipersepsikan sedang mengemban tugas
melaksanakan proyek pembangunan untuk kepentingan umum.
Perihal peraturan yang paling menguntungkan bagi warga sebenarnya
menjadi mudah untuk diketahui jika hal itu ditanyakan kepada warga sendiri.
Sayangnya, para hakim agung tersebut menganggap hukum acara dalam
sistem hukum positif Indonesia tidak membutuhkan informasi (fakta)
tambahan seperti itu. Mahkamah Agung bukanlah judex facti. Dengan
demikian, perihal mana peraturan yang paling menguntungkan bagi warga,
dianggap cukup diputuskan menurut penalaran hakim sendiri.
Indikator ekonomis sebagai ukuran untung-rugi seperti dilogikakan
Purwoto dalam kenyataannya mungkin saja keliru. Rapiyo, salah seorang
Warga Kedungpring yang dimintai pendapatnya oleh wartawan Kompas
(dimuat tanggal 27 Juli 1994) ketika mendengar “kemenangan” warga dalam
putusan hakim sebelumnya (Zaenal Asikin), malah berkomentar: “Hukum
itu bukan uang, tetapi sapa salah, bakal seleh. Boleh hukum jagat memperdaya,
tetapi Gusti Allah yang momong kami semua, tidak sare. Gusti Allah tidak
akan terima nasib umat-Nya. Di situ peristiwa adil itu akan berlangsung.”159
Pada bagian lain ia mengatakan, “Keadilan itu sebuah peristiwa sakral. Tidak
bisa untuk dolanan.”160
Pertimbangan yang sangat positivistis juga dimunculkan dalam dua
isu berikutnya. Pada saat membahas tentang sumber hukum yang digunakan
dalam putusannya, Purwoto bersikeras menggunakan Keppres No. 55
Tahun 1993 tanpa sama sekali mempertimbangkan dasar filosofi yang
membedakan peraturan itu dengan peraturan sebelumnya. Hal ini dilakukan
dengan baik oleh Zaenal Asikin, dengan mengatakan bahwa kedua peraturan
itu pada hakikatnya mensyaratkan “musyawarah” di antara kedua belah
pihak. Isu ada tidaknya musyawarah merupakan isu sentral dari kasus ini.
Sayangnya, Purwoto justru tidak bersedia sama sekali menyinggung isu ini
___________________________
159 Abdul Hakim G. Nusantara & Budiman Tanuredjo, Op. Cit., hlm. 73.
160 Ibid., hlm. 75.
SHIDARTA — 341
dalam putusan PK-nya dengan menggunakan dasar ketentuan hukum acara
bahwa MA dalam perkara PK bukan sebagai pengadilan tingkat keempat.
Dalam putusan PK yang dikeluarkan Purwoto, kesan keberpihakan
kepada kepentingan pemerintah ini tidak mungkin secara eksplisit
ditemukan dalam substansi putusan. Kesan itu baru dapat dipahami jika
peristiwa-peristiwa di luar ruangan pengadilan dapat ditempatkan dalam
konteks tertentu untuk kemudian ditafsirkan guna memahami penalaran
Purwoto. Pertemuan Soeharto dengan Purwoto, yang di dalamnya terselip
“pesan-pesan politik” tertentu kepada Purwoto untuk sungguh-sungguh
memperhatikan kepentingan pemerintah dalam putusan PK yang sedang
ditangani Purwoto, secara kasatmata membuat pola penalaran hukum yang
objektif dalam putusan Purwoto menjadi sangat bias.
Apabila setelah mendengar putusan Purwoto itu ada warga
Kedungpring bernama Darsono sampai menyatakan, “Kalau MA bisa
membikin keputusan yang keliru-keliru begitu, buat apa kami mengajukan
gugatan baru lagi. Tak usah menggugat saja,” maka keputusasaan seperti
itu dapat dimaklumi. Pilihan yang ditawarkan Purwoto sangat tidak realistis
karena dengan memulai kembali kasus ini dari awal (mengajukan gugatan
baru), Purwoto telah menghadapkan warga Kedungpring itu pada situasi
yang sangat tidak menguntungkan. Pertama, warga praktis tidak mempunyai
kemampuan dan kesabaran lagi untuk memproses kasus ini dari awal. Hal
ini jelas bertentangan dengan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan
biaya murah seperti diletakkan oleh undang-undang. Kedua, hak-hak warga
termasuk status kepemilikan tanah dan bangunan mereka tidak lagi sama
dengan keadaan seperti saat mereka dulu menggugat pertama kali di
pengadilan negeri. Ketiga, penggunaan Keppres No. 55 Tahun 1993 juga
dapat dibantah dengan asas undang-undang tidak berlaku surut.
3. Aspek aksiologis
Aspek aksiologis dari penalaran hukum pada hakikatnya sama dengan
tujuan hukum itu sendiri, yang sebagian besar telah ditulis dalam Bab
III. Untuk konteks keindonesiaan, rupanya aspek aksiologis tersebut
mendapat elaborasi yang menarik karena dihubungkan dengan cita hukum
Pancasila.
Tujuan hukum berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk
memberikan pengayoman kepada manusia, yakni melindungi manusia
secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan
secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang
manusiawi yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara
342 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
wajar sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan yang luas
dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara
utuh.161
“Pengayoman” yang dilambangkan dengan pohon beringin tersebut
selanjutnya dijadikan sebagai lambang Departemen Kehakiman (dan HAM)
Republik Indonesia. Departemen ini menetapkan visi pembangunan hukum
nasional dengan mengacu pada materi GBHN 1999 yaitu menegakkan
supremasi hukum untuk dapat melandasi dan memayungi segenap segi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga kehidupan
tersebut dapat terselenggara dalam suasana ketertiban dan keadilan.
Sementara misinya dirumuskan secara panjang lebar, yaitu untuk
terbentuknya dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap,
bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan
kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum yang berintikan
keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung
pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana, dan
prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum.162
Menurut B. Arief Sidharta, rumusan tentang pengayoman hukum
mencakup juga tujuan untuk memelihara dan mengembangkan “budi
pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,” sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan
UUD 1945. Pelaksanaan pengayoman itu dilakukan dengan usaha
mewujudkan: (1) ketertiban dan keteraturan yang memunculkan
prediktabilitas; (2) kedamaian yang berketenteraman; (3) keadilan (distributif,
komutatif, vindikatif, protektif); (4) kesejahteraan dan keadilan sosial; dan
(5) pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.163
D. TEORI HUKUM PEMBANGUNAN
Harus diakui bahwa agak sulit mengungkapkan model penalaran
hukum apa saja yang telah mempengaruhi perjalanan sistem hukum nasional
Indonesia. Jawaban terhadap hal ini bisa berbeda-beda, bergantung pada
parameter apa yang digunakan. Sebagai contoh, jika yang diacu adalah
terbatas pada rumusan konstitusi (UUD 1945), maka jawabannya dapat
___________________________
161 Mochtar Kusumaatmadja & B. Arief Sidharta, Op. Cit., hlm. ...
162 Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, “Visi dan Misi Pembangunan Hukum,”
<http:// www. depkehham.go.id/BPHN/VisiPembHK.html>, 16 Juli 2003.
163 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur..., Op. Cit., hlm. 190–191.
SHIDARTA — 343
mengarah ke semua model penalaran yang telah dibentangkan dalam Bab
III. Hal ini diperkuat lagi dengan konfigurasi nilai-nilai dalam kebudayaan
Indonesia seperti ditunjukkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (Ragaan IV-
b s.d. IV-f).
Tidak terbantahkan bahwa penduduk Indonesia dilihat dari perjalanan
kebudayaannya, telah sangat terbiasa hidup dalam pluralisme dalam berbagai
hal. Sebelum bangsa Eropa menguasai beberapa jalur perdagangan di
Nusantara, perbedaan tersebut belum menjadi hambatan dalam interaksi
di antara mereka. Hukum adat dan di sana-sini mendapat pengaruh dari
hukum agama, telah dirasakan cukup mengatur hubungan tersebut. Namun,
setelah ekspansi para pedagang Eropa itu, hukum adat mulai terdesak.
Dengan penekanan pada nilai kekuasaan (politik) yang kuat ditambah
dengan optik etnosentrismenya, para pendatang dari Eropa ini berusaha
mendikte model penalaran hukum yang berlaku di Indonesia.
Sejak periode awal (1840–1860) telah dikembangkan keinginan untuk
melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum bagi semua penduduk di Hindia
Belanda. Dalam hal ini, standar sistem hukum yang digunakan adalah sistem
hukum yang dianut di Negeri Belanda. Untuk melaksanakan hal ini,
disediakan dua sarana hukum yaitu melalui pranata penundukan diri secara
sukarela dan pranata pernyataan berlaku. Semuanya ke arah hukum yang
berlaku bagi golongan Eropa.
Apabila Tabel IV-3 (Perjalanan Historis Sistem Hukum di Indonesia)
kembali dilirik lebih teliti, upaya-upaya penguasa kolonial di atas tidak
sepenuhnya berjalan sukses, walaupun harus pula diakui bahwa
pengaruhnya sangat membekas, khususnya di lapangan hukum perdata.
Keraguan terhadap politik hukum pemerintah kolonial ini bahkan datang
dari komunitas hukum dan politik di Negeri Belanda sendiri ketika itu.
Inilah yang mendorong adanya perubahan pendekatan dari pemerintahan
Hindia Belanda untuk sedikit demi sedikit menerapkan politik yang lebih
etis terhadap penduduk di tanah jajahannya, khususnya kepada golongan
pribumi. Akhirnya, muncul satu lapisan sosial baru, yakni kaum terpelajar
yang pada gilirannya menjadi motor penggerak ke arah kemerdekaan
Indonesia. Apa yang dinyatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto berikut
ini mampu menggambarkan perubahan keadaan tersebut:164
Dengan munculnya lapisan terpelajar di kalangan anak-anak pribumi, juga
khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, polemik mengenai
___________________________
164 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 11–12.
344 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
kebijakan untuk mengakui kedudukan hukum adat dalam pengembangan
sistem dan tata hukum kolonial menjadi tak lagi terbatas di kalangan para
pemuka Belanda semata. Dengan cepat pada dasawarsa 1920-an ide van
Vollenhoven memperoleh pengikut dan sokongan dari yuris-yuris pribumi.
Sekalipun para yuris pribumi ini tidak banyak memperoleh akses untuk
melibatkan diri secara langsung ke dalam polemik-polemik politik mengenai
penyusunan dan pengundangan hukum kolonial, akan tetapi peran mereka
dalam hal “mempromosikan” peran dan keefektifan hukum adat untuk
menata tertib hukum kolonial di Indonesia (lewat penulisan disertasi semasa
mereka menjadi mahasiswa dan lewat penelitian setelah mereka menduduki
jabatan sebagai karyawan pemerintah kolonial) sangatlah bermakna. Para
yuris pribumi ini¯yang pada dasawarsa itu mulai banyak dijiwai oleh semangat
nasionalisme yang menyerbak¯tak akan mempunyai pilihan lain daripada
memihak ke ide dan kebijakan yang dilantangkan oleh van Vollenhoven.
Gagasan penggunaan model penalaran Mazhab Sejarah dengan
menghidupkan hukum adat tidak selalu berkorelasi positif dengan rasa
simpati ke arah gerakan kemerdekaan Indonesia, yang tentu berujung
kepada pembentukan sistem hukum nasional Indonesia. Di sisi lain, C.
van Vollenhoven yang banyak diajukan acuan oleh para pelajar hukum di
Negeri Belanda saat itu, sangat kontroversial pandangan politiknya. Terlepas
dari predikat “Bapak Hukum Adat Indonesia” yang cenderung dilekatkan
ke figur Vollenhoven itu, menurut catatan Daniel S. Lev, figur ini sebenarnya
bukan sosok yang simpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.165
Kendati demikian, penggalan kutipan dari Soetandyo Wignjosoebroto
di atas membuktikan betapa model penalaran sangat situasional sifatnya.
Kecenderungan untuk menggunakan model penalaran Mazhab Sejarah yang
digagas oleh Vollenhoven itu terus berlanjut dan dibawa masuk sampai ke
periode pasca-kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, usaha ini tidak banyak
berhasil. Soetandyo menulis lagi:166
Pada dasarnya dan pada awalnya pemuka-pemuka nasional ini mencoba
membangun hukum Indonesia dengan sedapat-dapatnya melepaskan diri
dari ide-ide hukum kolonial, yang tidak mudah. Inilah periode yang berawal
dari keyakinan bahwa substansi hukum rakyat yang selama ini terjajah akan
dapat diangkat dan dikembangkan secara penuh menjadi substansi hukum
nasional, namun yang dalam kenyataannya berakhir dengan pengakuan bahwa
proses realisasinya ternyata tidak sesederhana model-model strategiknya
dalam doktrin.
___________________________
165 Daniel S. Lev, Op. Cit., hlm. 432.
166 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 13.
SHIDARTA — 345
Jika sinyalemen Soetandyo ini benar, berarti ide untuk menjalankan
model penalaran Mazhab Sejarah ternyata harus kandas dalam tataran
praksis, dan untuk itu modelnya harus diubah kembali menuju ide yang
pernah dikembangkan oleh penguasa kolonial Belanda, yaitu supremasi
hukum melalui unifikasi dan kodifikasi. Upaya ini jelas mengindikasikan
model penalaran Positivisme Hukum. Diberlakukannya Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945 selama sekian dasawarsa menunjukkan ketidaksiapan
organisasi-organisasi dalam sistem hukum Indonesia untuk menyingkirkan
warisan hukum kolonial yang positivistis itu.
Di tengah arus besar (mainstream) Positivisme Hukum itu, suara-suara
untuk kembali melihat kepada Mahzab Sejarah tidak lenyap sama sekali.
Kesadaran ini bahkan sempat masuk dalam ketentuan normatif, yaitu Pasal
27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: “Hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Penjelasan pasal ini
mengatakan:
Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada
dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan
penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia
harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan
mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Pengertian nilai-nilai yang hidup di masyarakat ini tentu lebih luas
daripada hukum adat, sehingga kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di
masyarakatpun termasuk kategori “living law” itu. Oleh karena itu, hakim-
hakim menyikapi anjuran Pasal 27 di atas secara berbeda. Tidak sedikit
yang akhirnya berbalik kepada ketentuan Pasal 15 Algemene Bepalingen van
Wetgeving (AB), yang menyatakan bahwa kebiasaan tidak merupakan hukum
kecuali ditetapkan terlebih dulu oleh undang-undang.167
Akhirnya, yang muncul di permukaan adalah sikap ambivalen terhadap
model penalaran yang akan dipilih dalam rangka pembangunan sistem
hukum Indonesia. Dalam retorika verbal dapat saja disebut-sebut tentang
perlunya hukum adat dijadikan dasar pembinaan hukum Indonesia, namun
___________________________
167 Keterangan lebih jauh tentang Pasal 15 AB ini, lihat kembali penjelasan Bab III, supra catatan
kaki 90.
346 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dalam praktik, eksistensi hukum adat diragukan oleh ahli hukum itu sendiri,
khususnya dalam menghadapi kebutuhan pembangunan dewasa ini.
Ap abila model -mode l pena laran hukum klasikal yang b erfun gsi sebag ai
kerangka orientasi berpikir yuridis seperti ditunjukkan dalam Bab III itu
dikorelasikan dengan kebutuhan Indonesia dewasa ini, maka sebagai
konsekuensinya, aliran-aliran berpikir dalam tataran makro itu harus
diderivasi menjadi teori-teori pada tingkat yang lebih aplikatif. Tidak banyak
ahli hukum Indonesia yang pernah menyinggung tentang kebutuhan ini.
Salah seorang dari sedikit ahli hukum yang dimaksud adalah Mochtar
Kusumaatmadja, figur yang berperan penting pada awal pemerintahan Orde
Baru.
Dari sekian banyak nama untuk konsep pemikirannya, Mochtar
Kusumaatmadja lebih cenderung menamakan teorinya dengan sebutan
Teori Hukum Pembangunan, yakni sebuah teori yang menggunakan
pendekatan normatif-sosiologis. Sebutan lain yakni “Mazhab Hukum
Unpad,” seperti diperkenalkan oleh beberapa kalangan dari Universitas
Padjadjaran, belum tersosialisasi untuk kalangan di luar Unpad. Menurut
Mochtar, kata “mazhab” mensyaratkan adanya pengakuan dan penerimaan
yang luas atas teori itu. Predikat lain seperti “Teori Hukum Pancasila,”
dikonfirmasikannya bukan berasal dari dirinya.168
Mochtar menyadari bahwa pengaruh Positivisme Hukum sangat kuat
mengakar dalam pola pikir fungsionaris hukum di Indonesia. Oleh karena
itu, peran pembentukan hukum (baca: undang-undang dalam arti material
dan tertulis) menjadi tumpuan utama. Sayangnya, menurut Mochtar,
penciptaan hukum (undang-undang) yang lazim disebut dengan Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) ini tidak cukup sukses.169
Sebelum memasuki lebih jauh tentang konsep penalaran hukum yang
diperkenalkan Teori Hukum Pembangunan ini, pertama-tama ingin
ditampilkan latar belakang teoretis yang digunakan Mochtar Kusuma-
atmadja. Banyak kalangan menilai, sebagaimana diakui oleh Mochtar
sendiri, bahwa Teori Hukum Pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara
berpikir Harold D. Lasswell dan Myres S. McDougal (Policy-Oriented
Approach) serta F.S.C. Northrop (Culture-Oriented Approach)170 ditambah
___________________________
168 Mochtar Kusumaatmadja, wawancara dengan Shidarta (rekaman kaset), MKK Law Firm, 3
Juni 2003.
169 Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan program ini tidak sukses, lihat kembali Mochtar
Kusumaatmadja, “Pengembangan Filsafat Hukum Nasional,” Loc. Cit.
170 Mochtar lebih senang menamakan konsep pemikiran Lasswell, McDougal dan Northrop ini
sebagai pendekatan, bukan teori (wawancara dengan Mochtar Kusumaatmadja, 3 Juni 2003).
SHIDARTA — 347
dengan teori hukum dari Roscoe Pound (minus konsepsi mekanisnya171).
Mochtar mengolah semua masukan tersebut dan menyesuaikannya pada
kondisi Indonesia.172
Dari Northrop, Mochtar menyertakan pandangannya bahwa
hukum tidak sekadar terdiri dari kumpulan norma, melainkan juga
berbagai kelembagaan (institusi) yang hadir dalam kebudayaan
setempat. Northrop juga mengakui pentingya sikap saling memahami
di antara semua kebudayaan di dunia, karena kesalahpahaman inilah
yang sering menjadi sumber konflik (termasuk konflik hukum). Ia
juga mengecam sikap pengambil keputusan yang seringkali
mengabaikan nilai-nilai lokal. Suatu sikap yang mendekati pemikiran
penganut Posmodernisme seperti dibahas dalam Bab II. Mengenai
ini Northrop menyatakan:173
It appears, therefore, that the character of our undertaking and the nature of its
subject matter force us to depart from both the layman’s and the scholar’s traditional
way of looking at things. The layman has tended to regard his own economic and
political doctrines and moral, aesthetic and religious values as the only one, thereby
supposing that in so far as other peoples or cultures have ideals they are his own, and
that in so far as they are not his own, they are not ideal or valuable. The scholar
likewise has been inclined to conceive of scholarship as the meticulous specialization
upon some local portion of one of the worlds’s diverse cultures or periods¯thereby
concluding, consciously or unconsciously, that if it is not, then its character and relation
to his own findings will come out merely by adding togehter the conclusions of other
experts like himself. What happens from both of these attitudes is that the basic issues
and problems of our time never get faced or understood, to say nothing about being
constructively solved by either layman or scholar. . . .
Consequently, a new kind of attitude and a new type of scholarship are required. We
must open our institutions and imaginations, even our souls, to the possibility of insights,
beleifs and values other than our own; and we must bring scholarship to bear upon the
world’s problems as a whole, seing local provincial factors in their relation to one another
and this whole.
___________________________
171 Sesungguhnya tidak jelas benar upaya Mochtar untuk menghilangkan konsepsi mekanis ini.
Dengan masih meletakkan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum utama,
dalam beberapa segi, pikiran Mochtar justru lebih mekanis daripada Pound.
172 Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu Sistem (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993), hlm. 126. Dalam buku ini pemikiran Northrop disebut sebagai teori, sesuatu yang
ditolak Mochtar dalam wawancaranya dengan Shidarta (rekaman kaset), MKK Law Firm, 3
Juni 2003.
173 F. S. C . N o r t hr o p , The Meeting of East and West: An Inquiry Concerning World Understanding, cet. 11
(New York: The MacMillan Co., 1959), hlm. 9.
348 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Lasswell dan McDougal sependapat bahwa hukum tidak terpisahkan
dari faktor-faktor nonyuridis. Hukum harus dilihat sebagai proses, yaitu
proses yang akomodatif terhadap faktor-faktor sosial lainnya. Laswell yang
berlatar belakang ilmu politik dan McDougal yang berlatar belakang hukum
membuat kajian mulitidispliner. Tidak mengherankan apabila kajian tentang
“public policy” dari keduanya menggambarkan pendekatan antara politik dan
hukum. McDougal mengakui bahwa pemaknaan hukum yang muncul
dalam pendekatan mereka justru banyak dipengaruhi oleh pemikiran
Lasswell. Ia menulis:174
Lasswell’s contributions to law, and especially to theory and procedures for inquiry
about law, are as yet less well recognized.... For him law was a process of authoritative
decision by which the members of a community clarify and implement their common
interests. As such a process, law was but a component part of the broader process of
effective power that Lasswell had long studied as a political scientist. Hence, it was
only natural that he should seek to bring the broad conceptions of an emerging policy
science to bear upon the creation of a jurisprudence, or theory of inquiry about law,
that would be sufficiently comprehensive, and sufficiently detailed, economically to
locate authoritative decision in the larger social processes by which it was affected and
which it in turn affected.
Lasswell sebaliknya melukiskan McDougal sebagai orang yang
mempunyai “a doubly negative orientation” karena: “... he was dissatisfied with
traditional jurispru-dence; he was disenchanted with American legal realists. He at once
perceived the possibilities of a comprehensive, affirmative and empirical method.”175
Apa yang dilukiskan sebagai metode yang komprehensif, afirmatif, dan
empiris itu harus bermuara pada pencapaian suatu tujuan (goal). Untuk
mengelaborasi tujuan tadi, Lasswell dan McDougal menyebutkan lima
perhatian atau penekanan utama. Mereka menyatakan:176
A jurisprudence which would effectively serve the needs of both scholar and specialists in
decision, and indeed of all who would understand and affect the social processes in which
they live, must, accordingly, be comprised of a systematic, flexible, and configurative
approach, exhibiting at least five major emphases:
1. It must achieve clarity in distinguishing the observational standpoints of the scholar
and decision maker, and in aid of enlightenment, as well as of decision, develop a
theory about law, and not merely of law.
___________________________
174 Harold D. Lasswell & Myres S. McDougal, Jurisprudence for A Free Society: Studies in Law, Science
and Policy, vol. 1 & 2 (New Haven: New Haven Press, 1992), hlm. xxx.
175 Ibid., hlm. xxxvi.
176 Ibid., hlm. 17–18.
SHIDARTA — 349
2. It must establish a focus of attention, and create a map of inquiry, both comprehensive
and selective, for effectively relating authoritative decision to the larger social and
community processes by which it is affected and which it in turn affects.
3. It must formulate problems in terms of events in social process, that is in terms of
disparities between aspiration and achievement in a community’s shaping and sharing
of values.
4. It must postulate, and make commitment to, a comprehensive set of goal values for
the public order of particular communities, which can be made explicit, in social
process terms, in whatever degrees of abstraction and precision may be requiered in
inquiry and decision.
5. It must identify the whole range of intellectual tasks relevant to the making of, and
inquiry about, decision and about the interrelations of law and social process, and
it must specify economic and effective procedures for the performance of each of these
tasks.
Ada sisi menarik dari teori yang disampaikan Lasswell dan McDougal
tersebut. Mereka memperlihatkan betapa pentingnya kerja sama antara
pengemban hukum teoretis dan penstudi hukum pada umumnya (scholars)
serta pengemban hukum praktis (specialists in decision) dalam proses
melahirkan suatu kebijakan publik, yang di satu sisi efektif secara politis,
namun di sisi lain juga bersifat mencerahkan. Teori Hukum Pembangunan,
sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di bawah, memperagakan pola kerja
sama seperti ini. Proses tadi melibatkan keseluruhan stakeholders yang ada
dalam komunitas sosial tersebut.
Dalam proses itu, Mochtar menambahkan adanya tujuan pragmatis
(demi pembangunan). Hal terakhir ini dikatakannya sebagai masukan dari
pemikiran Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich. Dari aspek ini terlihat
korelasinya dengan pernyataan Lasswell dan McDougal, bahwa kerja sama
antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu
melahirkan teori tentang hukum (theory about law), bukan sekadar teori
hukum (theory of law). Teori tentang hukum adalah teori yang mempunyai
dimensi pragmatis atau kegunaan praktis. Pandangan-pandangan Pound
dan Ehrlich seperti dikutip dalam Bab III memperkuat pernyataan ini.
Mochtar secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat
(tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangun
masyarakat. Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah
bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan
pembaruan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu; dan bahwa hukum
dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia ke arah
yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaruan itu. Untuk itu
350 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
diperlukan sarana berupa peraturan hukum tertulis (baik perundang-
undangan maupun yurisprudensi), dan hukum yang berbentuk tidak tertulis
itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh,
Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas
daripada pengertian hukum sebagai alat karena: (1) di Indonesia peranan
perundang-undangan dalam proses pembaruan hukum lebih menonjol,
misalnya, jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan
yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada tempat lebih
penting; (2) konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang
tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah
diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang
menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep
seperti itu; (3) apabila “hukum” di sini termasuk juga hukum internasional,
maka konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat sudah
diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan
kebijakan hukum nasional.177
Selanjutnya, Mochtar mengatakan:178
Dari uraian di atas kiranya jelas bahwa walaupun secara teoritis konsepsi hukum
yang melandasi kebijaksanaan hukum dan perundang-undangan (rechtspolitiek)
sekarang ini diterangkan menurut peristilahan atau konsepsi-konsepsi atau
teori masa kini (modern) yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat,
namun pada hakekatnya konsepsi tersebut lahir dari masyarakat Indonesia
sendiri berdasarkan kebutuhan yang mendesak dan dipengaruhi faktor-faktor
yang berakar dalam sejarah masyarakat dan bangsa kita.
Meskipun Mochtar menegaskan bahwa gagasannya juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor yang berakar pada sejarah bangsa, menurut Soetandyo
Wignjosoebroto, Mochtar tidak terlampau percaya bahwa budaya, tradisi,
dan hukum asli rakyat pribumi harus dilestarikan seperti yang pernah
dilakukan pada masa-masa pemerintah kolonial. Apa yang disinyalir
Soetandyo memang dikesankan kuat dalam kata-kata Mochtar sendiri.
Menurut Mochtar, politik hukum yang diilhami Mazhab Sejarah (maksudnya
pelestarian hukum adat) memiliki segi-segi yang kurang menguntungkan,
yang baru tampak kemudian. Politik hukum yang bermaksud melindungi
golongan pribumi itu, justru secara efektif telah mengisolasi golongan tadi
___________________________
177 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional: Suatu Uraian
tentang Landasan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia (Bandung: Lembaga
Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad, 1976), hlm. 9-10.
178 Ibid.
SHIDARTA — 351
dari hubungan dan perkembangan hukum masa kini, sehingga
mengakibatkan golongan ini terbelakang, misalnya dalam perdagangan.179
Mochtar yang dikenal sebagai ahli hukum internasional memang tidak
banyak mengupas tentang hukum adat Indonesia. Dengan mengutip
beberapa pepatah adat, ia memang berusaha menunjukkan bahwa dalam
alam pikiran hukum adat sendiri tidak ada penolakan terhadap pembaruan
seperti yang disarankannya. Pemikiran ini membawanya pada kesimpujlan
bahwa jalan keluar yang terbaik bagi Indonesia dalam membangun hukum
nasionalnya adalah mengutamakan asas-asas yang umumnya diterima
bangsa-bangsa (di dunia) tanpa meninggalkan asas-asas hukum asli atau
hukum adat yang masih berlaku dan relevan dengan kehidupan dunia
modern.180 Kesimpulan Mochtar ini tidak cukup kuat untuk membuktikan
“dukungannya” terhadap pengembangan hukum asli itu sendiri.
Perhatiannya lebih banyak diarahkan kepada pengabdian hukum bagi
pembangunan nasional dengan memberi prioritas bagi pengembangan
hukum-hukum yang kurang sensitif, yang tidak banyak bernuansa
primordial.
Mochtar meyakini, bahwa kebijakan ala kolonial yang melestarikan
hukum asli seperti di atas, meminjam kata-kata Raymond Kennedy ¾
merupakan kebijakan anti-acculturation yang tidak mendatangkan kemajuan
apa-apa, sedangkan introduksi hukum Barat dengan tujuan-tujuan yang
terbatas pun kenyataannya hanya berdampak kecil untuk proses modernisasi
(Indonesia) secara keseluruhannya. Untuk itu, Mochtar mengusulkan agar
pembangunan hukum nasional di Indonesia hendaklah tidak secara tergesa-
gesa dan terlalu pagi membuat keputusan, antara meneruskan saja tradisi
hukum kolonial berdasarkan pola-pola pemikiran Barat, atau untuk secara
apriori mengembangkan hukum adat sebagai hukum nasional.181
Sebelum memutuskan apa yang hendak dikembangkan sebagai hukum
nasional, Mochtar menganjurkan agar dilakukan penelitian-penelitian
terlebih dulu untuk menentukan bidang hukum apa yang perlu diperbarui,
dan bidang (ranah) apa yang dibiarkan berkembang sendiri. Mochtar
melihat, bahwa untuk hukum-hukum yang tidak netral, pembangunannya
___________________________
179 Mochtar juga mengutip pernyataan yang sama dari Sunaryati Hartono, “Fungsi Hukum,
Pembangunan dan Penanaman Modal Asing,” Prisma, Th. II No. 3, hlm. 48–49. Lihat Ibid.,
hlm. 4–5.
180 Ibid., hlm. 6–7. Bandingkan juga dengan Mochtar Kusumaatmadja, “Pemantapan Cita Hukum
dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa yang Akan Datang,” Majalah Padjadjaran,
No. 1 Th. 1995, hlm. 4-7.
181 Soetandyo Wignjosoebroto, Op. Cit., hlm. 232-233.
352 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
diupayakan sedekat mungkin berhubungan dengan budaya dan kehidupan
spiritual bangsa. Di sisi lain, untuk bidang hukum lain, seperti kontrak,
badan usaha, dan tata niaga, dapat diatur melalui hukum perundang-
undangan nasional. Untuk ihwal lain yang lebih netral—seperti komunikasi,
pelayaran, pos dan telekomunikasi—model yang telah dikembangkan dalam
sistem hukum asing pun dapat saja ditiru.
Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa ide Mochtar tentang
kodifikasi dan unifikasi hukum nasional yang terbatas, ialah kodifikasi yang
terbatas secara selektif pada hukum yang tidak hendak menjamah ranah
kehidupan budaya dan spiritual rakyat (setidak-tidaknya untuk sementara
ini), telah menjadi bagian dari program kerja Badan Pembinaan Hukum
Nasional bertahun-tahun lamanya.
Mengenai ide hukum sebagai sarana untuk membangun masyarakat,
menurut Soetandyo:182
Ide law as a tool of social engineering ini rupanya baru ditujukan secara selektif
untuk memfungsikan hukum guna merekayasa masyarakat dalam seluruh
aspek kehidupannya. Ide seperti ini tentu saja bersesuaian dengan
kepentingan pemerintah Orde Baru, karena ide untuk mendahulukan
pembangunan hukum yang gayut dengan ranah netral ¾ yang juga hukum
ekonomi, tanpa melupakan tentu saja hukum tata negara ¾ manakala sempat
diselesaikan dengan hasil baik akan sangat diharapkan dapat dengan cepat
membantu penyiapan salah satu infrastruktur pembangunan nasional (yang
sangat kentara mendahulukan pembangunan infrastruktur politik dan
ekonomi itu).
Soetandyo lebih jauh mencatat, bahwa dalam perkembangannya tidak
semua ahli hukum sependapat dengan pengembangan hukum nasional
dengan cara mengembangkan hukum baru atas dasar prinsip-prinsip yang
telah diterima dalam kehidupan internasional, dengan maksud untuk
memperoleh sarana yang berdayaguna guna membangun infrastruktur
politik dan ekonomi nasional ¾ dengan membiarkan untuk sementara
infrastruktur sosial budaya yang tidak netral atau belum dapat dinetralkan.
Pihak-pihak yang tidak setuju ini berpendapat, upaya demikian terlalu
menyimpang dari tradisi.
Ada dua golongan yang tidak setuju. Pertama, mereka yang percaya
harus ada kontinuitas perkembangan hukum dari yang lalu (kolonial) ke
yang kini (nasional). Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa
hukum nasional harus berakar dan berangkat dari hukum rakyat yang ada,
___________________________
182 Ibid., hlm. 234.
SHIDARTA — 353
yaitu hukum adat. Dengan mengutip John Ball dalam bukunya berjudul
Indonesian Law Commentary and Teaching Materials (1985) dan The Struggle or
National in Indonesia (1986), golongan pertama ini antara lain tokoh-tokoh
pengacara di Jakarta, seperti Adnan Buyung Nasution, Sulistio, dan Yap
Thiam Hien. Golongan kedua, merupakan kelanjutan dari gerakan yang
telah berumur tua, dengan perintisnya yaitu Soepomo. Menurut Ball, pada
era Orde Baru, golongan kedua ini sudah kehilangan pencetus-pencetus
ide barunya yang mampu bersaing. Beberapa nama yang dapat disebut
adalah Djojodigoeno dan M. Koesnoe.
Di luar Djojodigoeno dan Koesnoe, masih dapat ditambahkan nama-
nama seperti Kusumadi Pudjosewojo dan Soediman Kartohadiprodjo. Pada
intinya, nama-nama di atas meneruskan pandangan Vollenhoven dan Ter
Haar berkenaan dengan pentingnya hukum asli (baca: hukum adat) ini
dikembangkan sebagai sumber yang patut bagi hukum nasional Indonesia.
Penegasan dari pandangan Vollenhoven antara lain disampaikannya dalam
ceramah di Rechtshogeschool Batavia (1932), dengan mengatakan: 183
Het Indisch recht zal, om voor dit land en dit volk te deugen, ook in deze kwestie zijn
eigen zelfstandigen weg hebben te zoeken, niet moeten probeeren een bijwagen te zijn van
het recht en de rechtsgeleerdheid in Holland; de studie van het Indisch recht zal, om bij dit
land en dit volk te passen, juist een wijde plaats moeten gunnen naast rechtsbegrip en
rechtsverstand aan rechtsgevoel.
Suatu tanggapan lain mengenai gagasan Mochtar, datang dari S. Tasrif.
Ia mengingatkan agar pembinaan hukum tidak diarahkan untuk
menghasilkan perundang-undangan baru belaka, tetapi seharusnya juga
menghasilkan perundang-undangan yang tidak mengenyampingkan hak
asasi manusia dan martabat manusia, sehingga slogan rule of law pada
hakikatnya akan menjadi rule of just law.184
Pendapat S. Tasrif ini perlu untuk digarisbawahi. Hal ini juga
sebenarnya disadari sepenuhnya oleh Mochtar Kusumaatmadja, dengan
mengatakan bahwa pembinaan hukum nasional secara menyeluruh
menghadapi tiga kelompok masalah (problem areas), yaitu (1) inventarisasi
___________________________
183 Ter jema han be basn ya, “Ag ar da pat c ocok bagi neger i dan ba ngsa ini, h arusl ah hu kum I ndon esia,
juga dalam soal ini, mencari jalannya sendiri yang mandiri bukanlah mencoba menjadi kereta
tambahan dari hukum dan pengetahuan hukum di negeri Belanda; agar selaras dengan negeri
dan bangsa ini, hendaknya pelajaran hukum Indonesia justru memberikan tempat yang luas
kepada rasa hukum di samping pengertian hukum dan paham hukum.” Lihat Kusumadi
Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Aksara Baru, 1976), hlm. 55.
184 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional (Bandung:
Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi FH Unpad, 1975), hlm. 22.
354 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dan kepustakaan hukum, (2) media dan personil (unsur manusia), dan (3)
perkembangan hukum nasional. Kelompok masalah ketiga, perkembangan
hukum nasional, dapat dibedakan dalam dua masalah, yaitu (1) masalah
pemilihan bidang hukum mana yang hendak dikembangkan, dan (2) masalah
penggunaan model-model asing.185
Masalah pertama, yakni bidang hukum yang hendak dikembangkan,
dapat diatasi dengan menggunakan berbagai ukuran (kriterium), yaitu (1)
ukuran keperluan yang mendesak (urgent need), (2) feasibility, dalam hal ini
bidang hukum yang terlalu mengandung komplikasi-komplikasi kultural,
keagamaan, dan sosiologis (ini biasa disebut bidang yang nonnetral), akan
ditangguhkan pengembangannya, (3) perubahan yang pokok (fundamental
change), yang maksudnya, perubahan (melalui perundang-undangan) di sini
diperlukan karena pertimbangan-pertimbangan politis, ekonomis, dan/atau
sosial. Menurut Mochtar, perubahan hukum demikian sering diadakan oleh
negara-negara bekas jajahan dengan pemerintah yang memiliki kesadaran
politik yang tinggi. Bidang hukum yang biasanya dipilih adalah hukum
agraria, perburuhan, hukum-hukum mengenai pertambangan dan industri.
Di mana ada keinginan untuk menarik penanaman modal asing maka akan
ada tarikan antara keinginan demikian dengan keinginan untuk mengadakan
perubahan dasar (fundamental change) dalam perundang-undangan yang
ditinggalkan pemerintah kolonial yang menempatkan pemerintah yang
bersangkutan dalam kedudukan yang tidak mudah.
Masalah kedua adalah penggunaan model-model (hukum) asing.
Wala up un ad a ka la ny a m en gu nt un gkan un tu k me ng gun ak an mo de l- mo del
hukum asing, seperti disinggung di muka, Mochtar menyadari bahwa
penggunaan model-model tersebut dapat mengalami hambatan. Untuk itu
harus dipertimbangkan apakah pemakaian menggunakan wujud semula
(adoption) atau dalam bentuk yang sudah diubah (adaptation).
Berdasarkan uraian dan pertimbangan yang sangat logis seperti
diungkapkan di atas, maka harus diakui bahwa konsep hukum sebagai sarana
pembaruan masyarakat merupakan konsep pembangunan hukum
(termasuk Prolegnas), atau tegasnya aliran filsafat hukum yang paling tepat
dan relevan untuk kondisi saat ini. Aliran ini memang tidak sepenuhnya
mirip lagi dengan pemikiran awal Roscoe Pound, sehingga dapat saja
dikatakan bahwa aliran yang kita anut tersebut sebagai Sociological Jurisprudence
yang telah dimodifikasi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia.
___________________________
185 Ibid., hlm. 13.
SHIDARTA — 355
Ragaan di bawah kurang lebih mengilustrasikan pemikiran Mochtar
Kusumaatmadja tentang Teori Hukum Pembangunan tersebut. Dalam
pandangannya, sumber hukum yang utama masih tetap undang-undang.
Untuk itu dalam perumusan hukum yang baru, pertama-tama tetap harus
diperhatikan sumber hukum yang sudah eksis. Mochtar menyadari benar
kondisi sistem hukum Indonesia sebagai pewaris sistem hukum kolonial
Belanda. Dalam perumusan undang-undang yang baru itu, harus
diperhatikan hukum yang hidup di masyarakat. Artinya, ada tujuan-tujuan
pragmatis harus harus diperhatikan oleh si pembentuk undang-undang,
yaitu hukum harus diabdikan kepada pembangunan. Oleh karena itu si
pembentuk hukum harus memiliki sense of public service. Tentu saja tidak
semua hukum yang hidup itu harus diakomodasi oleh si pembentuk undang-
undang, sebab hukum tidak saja berfungsi sebagai social order melainkan
juga social engineering. Kedua fungsi ini akan mengarahkan hukum kepada
tujuannya, yakni untuk ketertiban, kepastian, dan keadilan (dalam rangka
keberhasilan pembangunan nasional).
Secara ontologis, hukum dalam kaca mata Teori Hukum Pembangunan
adalah norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan. Konsep
demikian merupakan pembelokan dari [American] Sociological
Jurisprudence yang mengartikan hukum sebagai putusan hakim in-concreto.
Oleh karena itu, analisis epistemologis dari Teori Hukum Pembangunan
dimulai dengan pola doktrinal-deduktif, sekalipun secara simultan pola ini
bergerak bersamaan pula secara nondoktrinal-induktif.
Sumber hukum utama yang dijadikan acuan adalah peraturan
perundang-undangan. Norma-norma ini memuat kebijakan-kebijakan
publik yang sebagian telah diimplementasikan. Kebijakan ini dievaluasi
kembali melalui penelitian-penelitian dengan mencocokkannya dengan
kebutuhan riil masyarakat. Jika mengikuti pandangan Lasswell dan
McDougal, dalam rangka penelitian-penelitian inilah terletak porsi utama
para ilmuwan (scholars) untuk berperan. Penelitian-penelitian tersebut
menggunakan pendekatan empiris. Masukan dari penelitian-penelitian ini
kemudian diberi perspektif pragmatis, yaitu kesesuaian dengan kepentingan
pembangunan nasional. Pada akhirnya, terlihat bahwa Teori Hukum
Pembangunan ini tetap menggunakan pola penalaran Positivisme Hukum.
Hal ini dapat dipahami, mengingat pemaknaan hukum sebagai norma-
norma positif dalam sistem perundang-undangan, sebagaimana diadopsi
oleh Teori Hukum Pembangunan, merupakan konsepsi orisinal model
penalaran Positivisme Hukum tersebut.
356 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan IV-n: Pola Penalaran Teori Hukum Pembangunan
Mochtar menolak mengidentikkan teorinya dengan Utilitarianisme dari
Bentham. Walaupun ia mengakui tidak mempelajari Utilitarianisme secara
khusus, ia menyatakan teori dari Bentham “kering” dengan nilai-nilai
budaya, sementara Teori Hukum Pembangunan sangat memperhatikan
aspek budaya di Indonesia yang memang sangat kaya.186 Klaim Mochtar
ini sebenarnya agak kontradiktif dengan Teori Hukum Pembangunan itu
sendiri. Teori Hukum Pembangunan lebih didesain ke arah pengembangan
ranah-ranah hukum netral, seperti di bidang perdagangan atau
pertambangan. Pada ranah ini dimensi budaya keindonesiaan itu tentu tidak
menonjol, sehingga tidak terlalu relevan untuk menjadikannya sebagai titik
berat perhatian. Memang benar bahwa Mochtar pernah mengadopsi
sekaligus memodifikasi sistem bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap
sehingga muncul model production sharing di bidang pertambangan, namun
yang diadopsi ini murni teknis kerja sama dari hubungan di antara pihak-
pihak itu, bukan sisi-sisi budayanya.
Di sisi lain, potret riil dari penerapan hukum di Indonesia tidak
selamanya sejalan dengan model penalaran Teori Hukum Pembangunan.
___________________________
186 Mochtar Kusumaatmadja, wawancara dengan Shidarta (rekaman kaset), MKK Law Firm, 3
Juni 2003
SHIDARTA — 357
Pada uraian di muka telah disinggung bahwa pengembanan hukum teoretis
tidak berjalan memadai untuk mendukung kegiatan pengembanan hukum
praktis. Sementara itu, para pengemban hukum praktis pun terlalu kuat
terkooptasi dalam sistem politik. Studi hukum dari bidang sosiologi hukum,
antropologi hukum, dan lain-lain, tidak banyak dimanfaatkan untuk
memetakan hukum yang hidup (living law) tersebut. Akhirnya, jurang antara
law in the books dan law in action menjadi kian melebar. Hal ini terjadi karena
pola penalaran induktif (masukan dari arah bottom-up) tidak berjalan.
Ketetapan-ketetapan MPR tentang pembangunan hukum dapat saja
dirumuskan secara ideal, namun makin terjabarkan ke dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih rencah, relevansinya makin kabur.
Akhirnya yang berlangsung adalah praktik pragmatisme sempit dari
penggunaan model penalaran Positivisme Hukum.
Untuk memberikan nuansa nilai-nilai yang lebih kaya dalam model
penalaran Positivisme Hukum ini, para penguasa kemudian membuat
justifikasi berupa jargon-jargon “demi revolusi,” atau “demi pembangunan”.
Pemerintah menetapkan kebenaran tersebut berdasarkan satu versi, yaitu
atas nama penguasa atau atas nama kepentingan umum. Utilitarianisme
mengasumsikan kehendak penguasa yang diformulasikan dalam kebijakan
(politik hukum) tersebut benar-benar berangkat dari kehendak masyarakat
luas, sejalan dengan slogannya “the greatest happiness of the greatest number”.
Justifikasi yang mengatasnamakan kepentingan umum (argumentum ad
populum) dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan pemerintah dalam kasus
Kedung Ombo di atas. Demikian juga dengan penggunaan intimidasi
(argumentum ad baculum).
Positivisme Hukum yang dipadu di sana-sini dengan Utilitarianisme
inilah yang mengemuka di lapangan praktik hukum di Indonesia.
Positivisme Hukum mengutamakan kepastian hukum, dan kepastian hukum
ini benar-benar diupayakan apabila undang-undang yang ada memang
menguntungkan pemerintah. Sebaliknya, jika kemanfaatan dirasakan lebih
banyak diraih jika ketentuan undang-undang itu dapat disimpangi, maka
argumentasi model penalaran Utilitarianisme-lah yang dikedepankan.
Argumentasi ini akan memberikan pembenaran terhadap setiap tindakan
pemerintah dengan dalih “demi revolusi” atau “demi pembangunan”
tersebut.
358 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
A. PENGANTAR
Penyair Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749–1832) menulis
dalam “Studierzimmer” (1808) sebait puisi tentang teori dan realitas
kehidupan:1
Grau, teurer Freund, ist alle Theorie
Und grün des Lebens goldner Baum.
(All theory, dear friend, is grey
But the golden tree of actual life springs ever green).
Jika semua teori adalah abu-abu, seperti kata Goethe, maka pilihan
terhadap beberapa teori untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian
inipun tidak terkecuali, juga berwarna sama. Bagi sebagian besar ilmuwan,
teori dianggap sebagai abstraksi dari realitas pohon kehidupan. Realitas
itulah yang terus hidup, bukan teori-teori tentang realitas itu. Hasil abstraksi
tidak pernah tunggal, sehingga pilihan seseorang terhadap suatu teori adalah
pilihan subjektifnya. Penstudi hukum yang sejak awal menyelami peringatan
Goethe ini tentu menyadari risiko atas pilihan-pilihan demikian.
Dalam kerangka berpikir yang disajikan pada Bab I, telah ditetapkan
secara arbiter bahwa jawaban terhadap rumusan permasalahan penelitian
ini akan dibingkai dengan grand theories: Hermeneutika dan Konstruktivisme
Kritis, middle range theory: Sociological Jurisprudence, dan applied theory: Teori
Hukum Pembangunan. Sebagian alasan-alasan terhadap pilihan itu telah
disinggung secara singkat dalam Bab I. Agar pilihan tersebut tetap terjaga
konteksnya, maka untuk keperluan analisis permasalahan, alasan-alasan
BAB V
KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM DAN
MODEL YANG SESUAI UNTUK KONTEKS KEINDONESIAAN
___________________________
1Oxford Dictionary of Modern Quotations, AND CompLex for Windows Version 2 (Oxford: Oxford
University Press & AND Software B.V, 1993).
SHIDARTA — 359
itu perlu dielaborasi dengan mengambil bahan-bahan yang telah
dideskripsikan dalam Bab II, III, dan IV. Dalam bahasan di bawah, kata
“model penalaran” dipersamakan dengan “teori” karena pada hakikatnya
model penalaran adalah suatu paradigma yang mempunyai fungsi-fungsi
suatu teori, seperti kemampuan menerangkan, menjelaskan, atau
meramalkan suatu fenomena.
Berdasarkan uraian Bab II dan III dapat disimpulkan bahwa secara
teoretis keilmuan, Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis adalah teori
yang paling mampu menjelaskan dasar-dasar hukum penalaran (laws of
reasoning) yang sesuai dengan (mendekati) pola penalaran hukum (legal
reasoning). Ada beberapa pertimbangan yang mendasari pendapat tersebut.
Pertama, apapun pemaknaan hukum menurut masing-masing model
penalaran, pada dasarnya tidak ada dua kasus konkret yang persis sama,
sehingga tiap-tiap kasus membutuhkan penafsiran dan konstruksi tersendiri.
Penalaran hukum, dengan demikian, dapat dikatakan merupakan proses
interaksi subjek (yang menafsirkan atau mengkonstruksikan) dengan
struktur fakta dan/atau struktur aturannya. Struktur fakta ini selalu unik
karena tidak pernah persis sama, sehingga setiap kasus membutuhkan tafsir
dan konstruksi tersendiri. Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis sangat
mendukung kebutuhan ini.
Kedua, sumber-sumber otoritatif yang kerap dijadikan acuan itu bersifat
general dan tidak mungkin lengkap, sehingga selalu terbuka untuk dilakukan
penemuan hukum, baik dengan menggunakan metode penafsiran maupun
konstruksi. Sumber-sumber otoritatif itu adalah simbol-simbol yang bersifat
terberi, disusun sebelum suatu peristiwa konkret (kasus) terjadi (prae-existent).
Tanpa bantuan penafsiran dan konstruksi, sebagaimana ditekankan dalam
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, sumber-sumber otoritatif itu
hanya berdiri di “menara gading” (tidak membumi).
Ketiga, pengaruh Posmodernisme terhadap ilmu-ilmu diwadahi secara
tepat oleh Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis, terlebih-lebih bagi
ilmu hukum yang penalarannya sangat mengandalkan simbol-simbol
(khususnya bahasa). Melalui bantuan Hermeneutika dan Konstruktivisme
Kritis, pola penalaran hukum dapat lebih mudah dipahami oleh disiplin
nonhukum. Sebaliknya, ilmu hukumpun dapat merasa lebih tenang karena
karakteristik penalarannya mendapat penguatan fondasi teoretis dan
filosofis. Dasar-dasar ini sangat diperlukan oleh ilmu hukum khususnya,
dan disiplin hukum pada umumnya, dalam menghadapi klaim-klaim
posmodernisme itu.
360 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Pada tataran middle range, Sociological Jurisprudence adalah pilihan yang
dianggap tepat. Secara teoretis keilmuan hukum, Sociological Jurisprudence
adalah model penalaran yang paling mampu menjelaskan dasar-dasar pola
penalaran dikaitkan dengan berbagai sudut pandang dan aspek-aspek
ontologis, epistemologis, dan aksiologis hukum (serta jika dikaitkan dengan
konteks keindonesiaan dewasa ini). Pandangan ini didasarkan beberapa
alasan.
Pertama, Sociological Jurisprudence adalah model penalaran yang
menyajikan eklektisisme dari banyak teori (model penalaran, paradigma)
dalam penalaran hukum. Beberapa model penalaran yang disebut-sebut
menyumbangkan polanya bagi Sociological Jurisprudence adalah
Positivisme Hukum dan Mazhab Sejarah. Dalam banyak segi, Sociological
Jurisprudence juga memiliki karakteristik yang sejalan dengan Realisme
Hukum. Kedua model penalaran ini dapat berjalan seiring terutama karena
direkat oleh pendekatan sosiologis yang kuat. Model penalaran hukum
lainnya, yaitu Aliran Hukum Kodrat dan Utilitariansime dapat ditelusuri
dari sudut pandang Sociological Jurisprudence ini karena kedekatan dua
model penalaran tersebut dengan Mazhab Sejarah dan Positivisme Hukum.
Kedua, secara metodologis Sociological Jurisprudence dapat
menjembatani disiplin hukum dan nonhukum. Kemampuan ini dibutuhkan
ilmu hukum dalam rangka kerja sama multidisipliner dan penciptaan ilmu
baru yang interdisipliner. Ilmu hukum adalah ilmu praktis yang perlu terus-
menerus dievaluasi oleh kenyataan-kenyataan sosial. Makin dekat suatu
ilmu dengan kenyataan-kenyataan sosial itu, makin besar ketergantungannya
pada bantuan disiplin-disiplin lain. Sociological Jurisprudence dapat
menjelaskan kebutuhan kerja sama multidisipliner ini karena di dalam model
penalaran ini¯kecuali ilmu hukum terdapat juga pendekatan ilmu-ilmu lain,
seperti politik, sejarah, sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Ketiga, keberadaan Sociological Jurisprudence yang pada awalnya sangat
kuat bercirikan American Jurisprudence, ternyata mendapat respons positif
baik di negara-negara keluarga sistem common law lainnya, maupun di negara-
negara keluarga sistem civil law, termasuk Indonesia. Sebagaimana
dibentangkan dalam Bab III, pemikiran Sociological Jurisprudence
berembrio dari pemikiran-pemikiran sosiolog seperti Max Weber, Eugen
Ehrlich, dan Emile Durkheim, yang semuanya berasal dari kawasan keluarga
sistem civil law. Tidak mengherankan jika—dengan beberapa modifikasi
Sociological Jurisprudence dapat diterima oleh pemikir-pemikir hukum,
baik dari keluarga sistem common law maupun civil law. Apa yang dilakukan
SHIDARTA — 361
oleh Mochtar Kusumaatmadja dengan Teori Hukum Pembangunannya,
merupakan salah satu bukti keberhasilannya mengadopsi model penalaran
ini dan mengadaptasikannya ke dalam sistem hukum Indonesia yang sangat
kuat bercirikan keluarga sistem civil law.
Keempat, Sociological Jurisprudence merupakan model penalaran yang
paling moderat menghadapi kegamangan akibat posmodernisasi ilmu-ilmu.
Asumsi ini terutama disebabkan sifat eklektisisme yang dimiliki Sociological
Jurisprudence. Pola penalarannya yang top-down dan bottom-up se cara s imultan
mengharuskannya bekerja keras menggunakan teknik-teknik penafsiran
dan konstruksi secara maksimal. Sistem hukum positif, dengan demikian,
dibiarkan terbuka untuk diinterpretasi ulang. Monopoli kebenaran tidak
lagi tunggal atau hanya eksis di satu tangan. Karakter ini menjadi ciri penting
ilmu-ilmu dalam perspektif Posmodernisme.
Kelima, Sociological Jurisprudence mendasari model penalaran Teori
Hukum Pembangunan yang di Indonesia telah diterima konsepnya secara
normatif sejak tahun 1973. Alasan ini memberikan landasan kesinambungan
teoretis dengan applied theory yang digunakan untuk menjawab rumusan
masalah kedua dari penelitian ini.
Ragaan V-a di bawah memperlihatkan keajegan dari teori-teori yang
digunakan sebagai pisau analisis. Pola penalaran antara Konstruktivisme
Kritis dan [American] Sociological Jurisprudence secara teoretis disusun
terbalik (bottom-up dan top-down; top-down dan bottom-up). Penjelasan panjang
lebar terhadap pola ini merujuk pada uraian dalam Bab II dan Bab III.
Perbedaan tersebut, sekali lagi, hanya berada dalam tataran teoretis untuk
keperluan analisis.
362 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan V-a: Perbandingan Pola Penalaran Konstruktivisme
Kritis dan [American] Sociological Jurisprudence
Dalam Bab I dan IV telah dikemukakan panjang lebar tentang Teori
Hukum Pembangunan. Ditempatkannya teori ini sebagai applied theory
mengandung beberapa pertimbangan. Terlepas dari kenyataan bahwa secara
normatif ia telah diakomodasikan dalam sistem hukum positif di Indonesia,
teori ini tidak banyak dikaji oleh ahli hukum Indonesia sendiri menurut
kaca mata teori hukum.2 Ulasan-ulasan yang bersifat historis atau sosio-
politis memang telah dilakukan (sekalipun tetap dalam jumlah terbatas3),
namun kiranya kajian yang lebih menukik ke dalam segi-segi teori hukum
mutlak diperlukan terhadap Teori Hukum Pembangunan ini.
Di sisi lain, dilihat dari pola penalarannya (Ragaan V-b), teori ini layak
diangkat sebagai applied theory karena memiliki konsistensi pemikiran dengan
___________________________
2Sepanjang pemahaman kami, buku yang memuat kajian teori hukum tentang Teori Hukum
Pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja barulah karya Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra,
Hukum sebagai Suatu Sistem (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993).
3Lihat antara lain Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Suatu
Kajian tentang Dinamika Sosial-Politik dalam Perekembangan Hukum Selama Satu Setengah Abad di
Indonesia (1840-1990), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994).
SHIDARTA — 363
grand theories dan middle-range theory yang dikemukakan di atas. Hal ini dapat
dimengerti, mengingat Mochtar Kusumaatmadja mendesain model
penalaran ini dengan antara lain mengambil karakteristik pemikiran dari
Sociological Jurisprudence tersebut.
Ragaan V-b: Perbandingan Pola Penalaran [American] Sociological
Jurisprudence dan Teori Hukum Pembangunan
Selanjutnya, pada subbab di bawah ini masing-masing akan disajikan
deskripsi karakteristik penalaran hukum dan analisis tentang model
penalaran yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Deskripsi dan analisis
dari dua permasalahan tersebut diyakini dapat dilakukan secara
komprehensif melalui pendekatan ketiga tataran teori di atas.
B. KARAKTERISTIK PENALARAN HUKUM
Seperti disepakati dalam bab-bab sebelumnya, penalaran hukum (legal
reasoning) secara sederhana didefinisikan sebagai kegiatan berpikir
problematis tersistematisasi (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek
hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan sosial di dalam lingkaran
kebudayaannya.
364 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Terminologi “gesystematiseerd probleemdenken” ini antara lain dikemukakan
oleh Ter Heide.4 Berangkat dari pemikirannya, dapat dipahami bahwa
penalaran hukum memang penalaran yang berbasis masalah (problem based
thinking). Masalah-masalah itu berasal dari peristiwa konkret yang terjadi akibat
interaksi kepentingan manusia yang satu dengan manusia yang lain, baik
sebagai individu maupun kelompok sosial. Penalaran hukum, dengan
demikian, berusaha menjawab permasalahan itu dengan memberikan putusan
tertentu. Dalam jawaban berupa putusan itu selalu dituntut untuk menjamin
stabilitas dan prediktabilitas dengan mengacu kepada sistem hukum positif.
Demi kepastian hukum, argumentasi yang dilakukan harus mengikuti asas
penataan ini, sehingga putusan-putusan itu (misalnya antara hakim yang satu
dengan hakim yang lain dalam mengadili kasus serupa) relatif terjaga
konsistensinya (asas similia similibus). Bernard Arief Sidharta melukiskan lebih
lanjut tentang hal tersebut dengan kata-kata sebagai berikut:5
… mustinya model berpikir dalam Ilmu Hukum adalah berpikir problematik.
Namun, di dalam hukum, yang dicari adalah penyelesaian dalam kerangka
tatanan hukum yang berlaku, yang dalam dirinya hingga derajat tertentu
sudah terstruktur secara sistematik, yang menjamin stabilitas dan
prediktabilitas sehingga dapat mewujudkan kepastian dan keadilan di dalam
masyarakat. Sehubungan dengan tujuan hukum, cita-cita untuk mewujudkan
sistem yang sempurna (tertutup) dalam tatanan hukum, meskipun tidak akan
pernah tercapai, menyandang peranan yang sangat penting, yakni berfungsi
sebagai asas penataan. Dengan kata lain, baik berpikir aksiomatis maupun
berpikir problematik, dua-duanya penting dalam argumentasi yuridis. Ini
berarti bahwa model berpikir dalam argumentasi yuridis atau dalam Ilmu
Hukum adalah berpikir problematikal tersistematisasi.
Seperti dikemukakan oleh B. Arief Sidharta, asumsi ilmu hukum untuk
bekerja dalam sistem logika tertutup (closed logical system) dalam kenyataannya
tidak benar-benar berhasil dilakukan. Dalam Ragaan IV-a (Hubungan
Sibernetis Sistem Hukum dengan Sistem Lainnya), Talcott Parsons telah
menunjukkan bahwa sistem sosial (tempat sistem hukum positif menjadi
bagiannya) merupakan salah satu bagian saja dari keseluruhan sistem
kehidupan yang lebih besar. Salah satu karakter dasar dari sistem adalah
keterbukaannya untuk berinteraksi dengan sistem lainnya, baik melalui arus
energi maupun arus nilai (informasi).
___________________________
4B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia
(Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 164.
5Ibid.
SHIDARTA — 365
Ahli sosiologi Ter Heide secara lebih gamblang menunjukkan
keterbukaan itu. Menurutnya, kerja sama dari aktor-aktor yang berinteraksi
dalam masyarakat (Behavior) adalah relasi ketergantungan (function) antara
rencana atau tujuan bersama dari suatu sistem (Plan) dan faktor lingkungan
atau aspek situasional dari sistem (Environment). Jika disederhanakan akan
muncul rumus: B=fPE (dibaca: Behavior adalah fungsi dari Plan dan
Environment). Norma hukum menempati posisi fungsi (f), sebagai salah
satu kerangka referensi normatif bagi pihak-pihak yang melakukan tindakan
tertentu.6 Ini berarti, norma hukum tidak mungkin dapat efektif berlaku
(dalam arti mengubah perilaku masyarakat) apabila tidak dikaitkan dengan
perencanaan yang baik dan lingkungan yang kondusif. Dalam konteks
penalaran hukum, hal ini sekali lagi memberi pesan pentingnya memadukan
dimensi aksiomatis (berpikir sesuai rencana) dan dimensi problematis
(berpikir melihat fakta-situasi).
Penalaran adalah kegiatan berpikir, yang berarti memang senantiasa
melibatkan rasio (akal budi) di dalamnya. Namun, tidak semua problema
konkret itu dapat dengan mudah dipecahkan menurut kerangka berpikir
rasional. Sebagian besar kasus-kasus yang dihadapi oleh pengemban hukum
tergolong sebagai kasus-kasus yang kompleks (hard cases). Aleksander
Peczenik mengatakan:7
A “hard” case, on the other hand, “presents a moral dilemma, or at least a difficult
moral determination”…. However, it follows from an expanded set of premises containing
inter alia, a value statement, a norm or another statement the decision-maker assumes
but cannot easily prove.
Jika dikatakan bahwa penalaran adalah kegiatan berpikir, maka kata
“kegiatan” di sini mengacu kepada proses, bukan produk. Dalam literatur
di beberapa negara Eropa Kontinental, khususnya Belanda, penalaran
hukum lebih dikenal dengan sebutan “argumentasi yuridis,” dan bidang
yang secara khusus mengupas mengenai hal ini disebut Teori (Ajaran)
Argumentasi Yuridis.8
Penalaran hukum dan argumentasi yuridis adalah dua istilah yang pada
hakikatnya sama-sama menelaah kegiatan berpikir yang berangkat dari suatu
___________________________
6Lihat B. Arief Sidharta, “Konsep Fungsionalisme dalam Ilmu Hukum,” dalam A. Yoyon, ed.,
Percikan Gagasan tentang Hukum I, Bandung: Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
1988, hlm. 14.
7Aleksander Peczenik, On Law and Reason (Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, 1989),
hlm. 19.
8Lihat M. Henket, Teori Argumentasi dan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung:
Penerbitan tidak berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar, 2003), hlm. 1 et seq.
366 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
problema hukum tertentu. Penalaran hukum yang dilakukan oleh si
pengemban hukum praktis adalah penalaran hukum dalam arti proses
mencari putusan tatkala yang bersangkutan menghadapi suatu kasus
konkret. Selain itu, ada pula penalaran hukum yang objek telaahnya justru
adalah putusan hakim yang sudah dipublikasikan. Putusan inilah yang
dijadikan objek telaah utama. Amar putusan sebagai kesimpulan, disebut
dengan argumen. Kesimpulan ini dikaitkan dengan pertimbangan-
pertimbangan hakim, dikaitkan pula dengan sumber-sumber otoritatif yang
digunakan, dan seterusnya. Dari jurusan ini, dapat dikatakan bahwa
penalaran hukum adalah kegiatan mengevaluasi putusan hakim.
Sebagai suatu kegiatan berpikir, penalaran hukum tentu dapat dilakukan
untuk objek telaah yang bukan putusan hakim. Harold J. Berman
mengatakan, “… we would define legal reasoing … to include the types of reasoning
used in other kinds of legal activity, such making laws, administering laws, the trial
(and not merely the decision) of cases in court, the drafting of legal documents, and the
negotiation of legal transactions.”9 Penekanan pada sisi-sisi tertentu saja dari
penalaran hukum terutama disebabkan tradisi yang dibangun oleh suatu
keluarga sistem hukum seperti telah disinggung dalam Bab III. Pada
keluarga sistem common law, titik berat penalaran hukum lebih ditujukan
kepada aktivitas adjudikasi. Penalaran hukum sering diidentifikasi sebagai
proses intelektual seorang hakim. Sementara itu, di lingkungan keluarga
sistem civil law, penalaran hukum dikaitakan dengan “the creation of a complex
and harmonious body of legal rules and concepts.” Penalaran hukum dengan
demikian mengarah kepada proses intelektual untuk mempertahankan atau
menjustifikasi rasionalitas dan konsistensi dari doktrin-doktrin hukum.10
Keterangan di atas menunjukkan bahwa penalaran hukum meliputi
berbagai aktivitas pengembanan hukum. Perbedaan penekanan pada setiap
keluarga sistem hukum tidaklah terlalu signifikan karena keduanya saling
menunjang dan pada titik tertentu kedua fokus perhatian itu bertemu.
Walaupun titik berangkatnya berbeda, harus diakui bahwa penalaran hukum
sebagai aktivitas intelektual seorang hakim adalah representasi yang paling
tepat untuk menunjukkan karakter penalaran hukum yang khas dari ilmu
hukum itu. Hal ini dapat terjadi karena penalaran hukum membutuhkan
“test case,” yaitu satu atau sejumlah kasus konkret yang dihadapi langsung
atau dibayangkan sedang dihadapi oleh seorang hakim. Seorang pembentuk
___________________________
9Harold J. Berman, “Legal Reasoning,” dalam David L. Sills, ed., International Encyclopedia of the
Social Sciences, Vol. 9 (New York: Crowell Collier & Macmillan, 1972), hlm.197.
10 Ibid.
SHIDARTA — 367
hukum (misalnya anggota lembaga legislatif), sewaktu merumuskan suatu
peraturan hukum biasanya juga membayangkan berbagai peristiwa konkret
yang mungkin terjadi sehubungan dengan rumusan aturan yang dibuatnya.
Dalam konteks itu, ia membayangkan dirinya sebagai seorang hakim yang
harus berargumentasi atas kasus-kasus konkret yang dihadapinya dengan
menggunakan unsur-unsur dari rumusan normatif itu.
Dari uraian di atas dan bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa
penalaran hukum dengan demikian mempunyai dua lapisan kegiatan.
Lapisan pertama adalah penalaran langsung yang dilakukan oleh pengemban
hukum praktis (lihat Ragaan I-d: Posisi Penstudi Hukum dan Ragaan III-
b: Posisi Partisipan dan Pengamat). Mereka ini melakukan penalaran
berdasarkan fakta-fakta primer yang diperolehnya di lapangan. Hakim dan
eksponen lainnya dalam proses litigasi (jaksa, advokat/pengacara)
melakukan penalaran dalam konteks ini (lihat Ragaan III-c: Langkah-
Langkah Penalaran). Lapisan kedua adalah mereka yang mengevaluasi
penalaran dari produk yang dihasilkan oleh pengemban hukum yang ada
di lapisan pertama. Mereka yang bergerak pada lapisan kedua ini adalah
penstudi hukum, yang terdiri dari pengemban hukum teoretis dan penstudi
hukum yang berpredikat pengamat.
Posisi pembentuk undang-undang tampaknya perlu mendapat
perhatian tersendiri, karena menimbulkan tanda tanya: apakah ia termasuk
penalar hukum di lapisan pertama atau kedua. Jika konsisten dengan posisi
partisipan dan pengamat seperti ditunjukkan Ragaan III-b, pembentuk
undang-undang adalah mereka yang sangat berpegang teguh pada sistem
hukum positif. Ini berarti mereka juga harus melakukan penalaran
berdasarkan kenyataan-kenyataan sosial, yang kemudian harus
diprediksikannya sebagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
sebagai suatu peristiwa konkret. Cara pandang ini menempatkannya pada
penalar hukum di lapisan pertama.
Hal yang sama juga berlaku untuk pejabat pemerintahan publik yang
bertugas sebagai pelaksana aturan-aturan (birokrasi). Kapasitas sebagai
eksekutif juga mengharuskannya dalam situasi tertentu membuat
keputusan-keputusan, yang sebagian bermuatan sebagai peraturan
perundang-undangan (wetgevingsregel). Sementara itu, dengan kewenangan
diskresioner yang dimiliknya, ia dapat pula mengeluarkan peraturan-
peraturan yang bersifat kebijakan (beleidsregel). Kondisi ini secara jelas
memberi tempat kepada para birokrat ini dalam kedudukan sebagai penalar
hukum di lapisan pertama juga.
368 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Para pengemban hukum teo retis, yakni kaum ilmuwan hukum, teore tisi
hukum, dan filsuf hukum, adalah mereka yang mengevaluasi penalaran
yang dilakukan oleh pengemban hukum praktis. Para pengemban hukum
teoretis ini dapat disebut sebagai penalar hukum di lapisan kedua. Sekalipun
yang dijadikan objek telaah ini terlihat sepintas adalah produk penalaran
(putusan hakim, rumusan peraturan, dan/atau dokumen lainnya),
sesungguhnya mereka tidak bermaksud menjadikan produk itu sebagai
benda mati. Produk itu adalah simbol yang melambangkan suatu kegiatan
berpikir. Kegiatan atau proses berpikir inilah yang akhirnya justru menjadi
pusat perhatian mereka.
Model penalaran [American] Sociological Jurisprudence menempatkan
pengemban hukumnya dalam posisi unik. Hakikat hukum dalam kaca mata
Sociological Jurisprudence adalah putusan hakim in concreto. Sekalipun
demikian, hakim dalam pandangan model penalaran ini tidak perlu
berpegang teguh pada sistem hukum positif. Ia dapat menyimpang dari
sistem hukum positif itu, mirip seperti yang dilakukan pengemban hukum
teoretis atau penstudi hukum dari disiplin nonhukum. Posisi inilah yang
membuatnya berada di antara partisipan (medespeler) dan pengamat
(toeschouwer).
Dalam batasan tentang penalaran hukum di atas juga disebutkan bahwa
subjek yang melakukan penalaran ini memposisikan dirinya sebagai subjek
hukum. Ungkapan itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa yang primer
dalam penalaran hukum adalah subjek yang melakukan penalaran, baru
kemudian objek telaahnya. Problematika yang muncul sebagai objek telaah
adalah peristiwa konkret, namun tidak setiap peristiwa konkret merupakan
peristiwa yang berakibat hukum.
Subjek hukum ini adalah selalu manusia. Dewasa ini memang
dikembangkan teknologi yang dianggap memiliki kecerdasan buatan
(artificial intelligence), seperti sedang giat diikhtiarkan oleh ilmu komputer.
Penalaran hukum tidak mencakupi “penalaran” dari teknologi
berkecerdasan buatan ini. Setiap manusia subjek hukum pada hakikatnya
mempunyai kemampuan melakukan penalaran hukum ini. Dalam ilmu
hukum diterima luas suatu prinsip bahwa hanya manusia yang sehat
rohaninya yang dapat dibebani kewajiban hukum (competence; bekwaamheid).
Manusia yang tidak sehat rohaninya dianggap tidak dapat bernalar secara
baik, sehingga ia tidak mungkin diberi tanggung jawab yang sama seperti
subjek hukum pada umumnya.
SHIDARTA — 369
Kendati manusia pada umumnya berkemampuan melakukan penalaran
hukum, ada subjek-subjek hukum tertentu yang memang diberi kewenangan
dan tugas oleh hukum untuk melakukan penalaran hukum, yakni
sebagaimana disandang oleh para pengemban hukum praktis. Bagi
pengemban hukum teoretis, kewenangan demikian tidak diberikan oleh
hukum, melainkan oleh komunitas ilmiah (peer group) masing-masing.
Kewenangan itu mengejawantah menjadi otoritas ilmiah. Kekuatan
komunitas ilmiah ini demikian berpengaruh terhadap penerimaan dan
keterimaan suatu ilmu sebagaimana telah dinyatakan Thomas Kuhn dalam
paparan Bab II.
Dalam kegiatan penalarannya, subjek hukum ini mendudukkan dirinya
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Kata “individu” di sini
digunakan untuk memberi artikulasi bahwa penalaran hukum memang
merupakan kegiatan individual (personal). Seluruh model-model penalaran
yang ditampilkan baik dalam Bab II maupun Bab III menunjukkan bahwa
pola penalaran yang terjadi tidak hanya mengandalkan satu modalitas seperti
rasio saja, intuisi saja, atau empiri (inderawi) saja. Setiap penalaran senantiasa
menggunakan gabungan berbagai modalitas. Kecenderungan untuk
menggunakan kombinasi atas modalitas-modalitas ini sangat terkait dengan
latar belakang masing-masing individu subjek hukum yang melakukan
penalaran.
Sebagai mahluk sosial, subjek hukum yang melakukan penalaran juga
dihadapkan pada kepentingan-kepentingan eksternal (heteronom). Misalnya
saja, ada desakan baginya untuk tetap konsisten mengikuti norma hukum
positif (kepentingan yang disuarakan oleh negara), atau desakan untuk
mengikuti kebijakan pemerintahan saat itu (disuarakan oleh penguasa
politik), atau desakan untuk memperhatikan kebutuhan riil masyarakat luas
(disuarakan oleh komunitas sosial). Subjek hukum yang melakukan
penalaran tidak dapat melepaskan diri dari kongkongan berbagai
kepentingan itu. Kegiatan penalaran dengan demikian bukan kegiatan yang
berada di menara gading. Ia bergerak dalam lingkaran kebudayaannya.
Ilustrasi pada Ragaan II-a (Hubungan Fungsional Antar-Ilmu) dan
Tabel II-3 (Perbedaan Ilmu-Imu Teoretis dan Praktis) menunjukkan bahwa
ilmu hukum termasuk dalam kelompok ilmu-ilmu praktis yang normologis
otoritatif. Salah satu ciri dari ilmu-ilmu praktis adalah kemutlakannya dalam
bekerja sama dengan ilmu-ilmu lain. Hal ini terutama disebabkan oleh
adanya keperluan evaluasi atas kinerja ilmu hukum oleh kenyataan-
kenyataan sosial. Apa yang eksis sebagai kenyataan-kenyataan sosial itu
370 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
tidak mungkin dapat dipahami hanya melalui kaca mata ilmu hukum sendiri.
Kasus Kedung Ombo yang ditampilkan pada Bab IV secara jelas
memperlihatkan sulitnya untuk menafsirkan dan mengkonstruksikan pola
penalaran masing-masing putusan tanpa mengetahui apa yang terjadi di
luar ruang-ruang sidang pengadilan itu. Kenyataan-kenyataan sosial ini
bahkan demikian berperan, sehingga oleh kaum Critical Legal Studies,
dianggap dapat meniadakan eksistensi penalaran itu sendiri (lihat Tabel II-
6: Perbandingan Keilmuan Hukum Era Modern dan Posmodern).
Karakteristik multidisipliner ilmu hukum tercermin terutama dalam
pola penalaran yang digunakannya. Kasus Kedung Ombo merupakan
contoh yang menarik untuk menggambarkan fenomena ini.
Penalaran hukum dalam kasus Kedung Ombo pertama-tama tentu
perlu melihat pada ilmu hukum. Dari disiplin bernama ilmu hukum ini
terhubung sistem hukum positif Indonesia. Ilmu hukum ini dikenal dengan
sebutan ilmu hukum dogmatis. Di situ ada hukum material yang terlibat,
khususnya hukum agraria dan perdata. Proses penalarannya juga
membutuhkan hukum acara perdata, khususnya bidang hukum pembuktian.
Alat-alat bukti seperti dokumen dan kesaksian adalah sumber-sumber
penting bagi si penalar dalam rangka membangun struktur fakta.
Area ilmu hukum dogmatis lainnya adalah hukum tata negara.
Klasifikasi hukum tata negara dewasa ini telah mengalami banyak
perubahan. Ada yang berpendapat bahwa hukum administrasi negara adalah
pecahan dari hukum tata negara, namun di sisi lain ada pandangan yang
menyakini keduanya sebagai dua cabang ilmu yang sejajar. Georg Jellinek
bahkan membuat sistematika lain dengan berpendapat bahwa induk dari
kedua bidang hukum itu adalah Staatswissenschaft dalam arti luas (ilmu
kenegaraan). Ragaan IV-m yang disajikan pada bab sebelumnya
memperlihatkan sistematika tersebut.
Ragaan IV-m menunjukkan hubungan penalaran hukum dengan ilmu
hukum yang bersentuhan dengan bidang kenegaraan (hukum tata negara
dan hukum administrasi negara), juga untuk memperlihatkan posisi ilmu
negara dan ilmu politik. Kesemua bidang yang disebutkan tadi kebetulan
menyoroti objek yang sama, yaitu negara. Sistematika yang diberikan oleh
Jellinek di atas memperlihatkan, bahwa dilihat dari objek yang ditelaahnya,
ilmu hukum dapat dianggap bagian dari ilmu negara, namun sudah terkait
dengan negara tertentu. Sementara itu, ilmu politik adalah bagian dari ilmu
negara yang menyoroti segi-segi praktis dari negara-negara pada umumnya.
SHIDARTA — 371
Ilmu negara dalam arti luas (Staatswissenschaft) dibedakan menjadi
Staatswissenschaft dalam arti sempit (ilmu negara) dan Rechtswissenschaft (ilmu
hukum). Ilmu negara dalam arti sempit ini lalu dibagi lagi menjadi
beschreibende Staatswissenschaft, theoretische Staatswissenschaft, dan praktische
Staatswissenschaft (ilmu politik). Theoretische Staatswissenschaft ini dir inci men jadi
allgemeine Staatslehre (ilmu negara umum) dan besondere Staatslehre (ilmu n egara
khusus). Dalam allgemeine Staatslehre dibi carak an te ntang aspek sosi al neg ara
pada umumnya (allgemeine soziale Staatslehre) dan aspek yuridisnya (allgemeine
Staatsrehtslehre). Sementara itu, jika yang dipelajari adalah lembaga kenegaraan
tertentu dalam negara pada umumnya, seperti lembaga perwakilannya saja,
maka bidang ini disebut spezielle Staatslehre. Apabila lembaga-lembaga yang
dipelajari itu terkait dengan negara tertentu, maka bidang ini dinamakan
individuelle staatslehre.11 Mengingat individuelle Staatslehre menunjuk kepada
kekhususan pada negara tertentu, maka di sinilah letak keterkaitannya
dengan hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Di luar itu,
sering juga ditambahkan hukum internasional (hukum antarbangsa).
Hukum tata negara bersinggungan antara lain dengan kekuasaan kehakiman
dan hak-hak warganegara sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Hukum
administrasi negara memuat wawasan perihal ketatausahaan negara dalam
bidang pertanahan, salah satu contohnya adalah administrasi pencabutan
hak atas tanah. Kebetulan, materi hukum agraria sebagian besar memang
berada dalam wilayah hukum administrasi negara ini. Hukum administrasi
negara ini bersinggungan dengan ilmu perundang-undangan. Jadi, ilmu
politik (dan cabangnya politik hukum)—kendati sangat berdekatan dengan
ilmu hukum—tetap bukan termasuk kelompok disiplin hukum. Ia termasuk
dalam kategori ilmu-ilmu empiris, dan politik hukum adalah salah satu dari
ilmu-ilmu empiris hukum.
Di samping aktivitas penalaran hukum tidak terlepas dari dimensi-
dimensi ketatanegaraan dan politik, penalaran hukum juga bersinergi dengan
ilmu bahasa. Simbolisasi hukum berupa lambang-lambang seperti aksara
tertulis, pola perilaku sosial, atau wujud lainnya, selalu terbuka untuk ditafsir
ulang menurut konteks kasus tertentu. Terminologi “gugatan tidak dapat
diterima” sebagaimana tercantum dalam amar putusan Purwoto, misalnya,
bagi majelis hakim yang menjatuhkan putusan itu dan komunitas
pengemban hukum lainnya, dapat saja mempunyai arti yang berbeda dengan
terminologi “gugatan ditolak.” Namun, bagi masyarakat pada umumnya,
___________________________
11 Lihat Soehino, Ilmu Negara (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 9.
372 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
termasuk warga Kedung Ombo yang tidak pernah menempuh pendidikan
formal di bidang hukum, terminologi “gugatan tidak dapat diterima,” artinya
sama saja dengan “gugatan ditolak.” Semiotika, atau ilmu tentang tanda
(simbol) memainkan peranan penting dalam memahami perbedaan-
perbedaan tersebut. Menurut J.J.H. Bruggink, semiotika terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu sintaktika (mempelajari bentuk dan struktur tanda),
semantika (mempelajari arti atau isi tanda), dan pragmatika (mempelajari
fungsi tanda, yakni perkaitan antara tanda dan pemakainya).12
Disiplin lain yang sangat penting dalam penalaran hukum adalah logika.
M. Henket menyatakan, kesadaran tentang pentingnya logika dalam
penalaran sudah dikemukakan oleh Aristoteles. Tuntutan terpenting dari
logika adalah konsistensi (hal menghindari pertentangan) dan keabsahan
(validitas, geldigheid). Di samping logika, Aristoteles juga menyebut tentang
dialektika, yaitu ajaran tentang hal berdebat; kemudian retorika, seni
berbicara secara meyakinkan.13 Dalam ragaan di bawah, dialektika dan
retorika dianggap bagian dari logika, sekalipun dipahami bahwa pada
awalnya masing-masing bidang ini berdiri sendiri (dua “artes” dari trivium
yang ditawarkan pada tahap pertama studium generale. H.J. Berman
berpendapat keunikan penalaran hukum itu tidak hanya dapat dilihat dari
logikanya, namun juga retorika dan diskursusnya. Oleh karena itu ia
membedakan bidang logika hukum (legal logic), retorika hukum (legal rhetoric),
dan diskursus hukum (legal discourse). Menurutnya, logika hukum adalah
bagian dari retorika hukum, dan retorika hukum adalah bagian dari diskursus
hukum.14 Bidang lain yang oleh Aristoteles juga dibahas terpisah adalah
perihal kesesatan penalaran (kerancuan berpikir, fallacy, drogreden)15 yang
dewasa ini dimasukkan sebagai salah satu pokok bahasan dalam logika.
Akhirnya, penalaran hukum harus pula berkolaborasi dengan disiplin
lain, yang jumlahnya tidak terbatas bergantung pada kasus konkret yang
dihadapi. Dalam kasus Kedung Ombo, disiplin politik, sosiologi,
antropologi, sejarah, psikologi, dan bahkan ekonomi, ikut memperkaya
struktur fakta dan struktur aturan. Dalam kasus lainnya, tidak jarang disiplin
ilmu fisika, biologi, kimia, balistika, dan sebagainya, ikut memberi andil.
___________________________
12 J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Citra Adity
Bakti, 1996), hlm. 18.
13 M. Henket, Op. Cit., hlm. 4-5.
14 Harold J. Berman, Loc. Cit., hlm. 197–202. Kami sendiri berpendapat bahwa dalam
berargumentasi secara lisan, misalnya oleh pengemban hukum praktis di pengadilan, retorika
(seni persuasi) ada di dalam konteks berlogika hukum.
15 Lihat Ibid., hlm. 5.
SHIDARTA — 373
Hubungan fungsional antardisiplin dalam penalaran hukum tersebut
tergambar dalam Ragaan V-c di bawah ini.
Kerja sama multidisipliner ini lalu memunculkan cabang baru pada
disiplin nonhukum itu, yakni ilmu politik hukum, sosiologi hukum,
antropologi hukum, sejarah hukum, psikologi hukum, dan sebagainya.
Dalam banyak buku teks, perbandingan hukum sering juga ditambahkan
di sini. Namun, tampaknya perbandingan hukum ini lebih tepat jika
diklasifikasikan sebagai metode daripada suatu cabang ilmu tersendiri.16
Kerja sama mulitidisipliner antara ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain yang
berobjek telaah hukum di atas sekaligus merupakan kajian dari apa yang
disebut teori hukum.
Ragaan V-c: Karakter Multidisipliner dari Kegiatan Penalaran
Hukum
Ragaan tentang karakter multidisipliner kegiatan penalaran hukum,
apabila dikembalikan kepada posisi pembedaan ilmu formal, ilmu empiris,
___________________________
16 Perdebatan tentang apakah perbandingan hukum itu suatu ilmu atau sekadar metode sebenarnya
sesuatu yang klasik. Lihat Konrad Zweigert & Hein Kötz, An Introduction to Comparative Law,
vol. I-The Framework, ed. 2 (Oxford: Clarendon Press, 1987), hlm. 29 et seq; juga Peter de
Cruz, Comparative Law in A Changing World (London: Cavendish Publishing, 1995), hlm. 3.
374 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
dan ilmu praktis, dapat disusun kembali seperti Ragaan V-e di bawah. Ragaan-
ragaan ini, dalam beberapa segi, telah “menggugat” sistematika disiplin hukum
yang selama ini dikenal, baik pada Abad ke-19 maupun Abad ke-20.
Sampai Abad ke-19, gabungan antara ilmu hukum dogmatis (dogmatika
hukum), ilmu-ilmu empiris hukum (aslinya ditulis: ilmu-ilmu hukum empiris),
dan filsafat hukum ini masih dianggap sebagai disiplin hukum (lihat Ragaan
III-a: Klasifikasi Disiplin Hukum Menurut Meuwissen). Sistematika disiplin
hukum pada Abad ke-19 malahan masih menambahkan politik hukum sebagai
pelengkap dari disiplin hukum tadi, di luar ilmu-ilmu empiris hukum itu.17
Ragaan V-d: Sistematika Disiplin Hukum Abad ke-19 dan 20
Kerja sama multidisipliner dalam penalaran hukum, apabila dikaitkan
dengan pembidangan ilmu-ilmu sebagaimana disinggung dalam Bab II akan
memunculkan ilustrasi seperti ditunjukkan pada Ragaan V-e. Ragaan
tersebut dibagi dalam empat wilayah. Untuk mudahnya, dapat disebutkan
dengan wilayah Utara, Timur, Selatan, dan Barat (perhatikan petunjuk
kompas pada sudut kiri). Seperti telah dikemukakan alasannya pada bab-
___________________________
17 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, cet. 6 (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993), hlm. 1–3.
SHIDARTA — 375
bab sebelumnya, dalam tulisan ini, dianut suatu pandangan bahwa yang
termasuk kategori disiplin hukum hanyalah ilmu hukum dogmatis (dogmatika
hukum), teori hukum, dan filsafat hukum. Ilmu hukum dogmatis ada di
wilayah Selatan atau wilayah ilmu praktis. di sebelah Timur terdapat kelompok
ilmu-ilmu empiris. Sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum,
dan lain-lain, berada dalam wilayah ini karena mereka masing-masing
merupakan cabang dari disiplin nonhukum, seperti sosiologi, antropologi,
dan sejarah. Ilmu-ilmu empiris yang mengambil objek material hukum ini
disebut ilmu-ilmu empiris hukum. Di luar ilmu-ilmu empiris hukum itu
terdapat ilmu empiris lain yang tidak kalah penting peranannya, khususnya
jika dilihat dari optik pendekatan model penalaran Hermeneutika dan
Konstruktivisme Kritis. Ilmu empiris yang dimaksud adalah ilmu bahasa. Di
wilayah Barat terdapat wilayah ilmu-ilmu formal yang mendukung aktivitas
penalaran hukum, dalam hal ini terutama adalah logika. Sementara di wilayah
Utara terdapat filsafat hukum. Pada hakikatnya, filsafat hukum adalah cabang
dari filsafat. Namun, sebagai induk dari semua ilmu (mater scientiarum) filsafat
memasuki semua disiplin keilmuan anak-anaknya (ilmu-ilmu vak). Oleh karena
itu, ia tetap dapat dimasukkan dalam kriteria disiplin hukum pula.
Ragaan V-e: Disiplin Hukum dan Kerja Sama Multidisipliner
dalam Penalaran Hukum
376 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Aktivitas penalaran hukum dalam arti luas, dengan demikian,
sebenarnya berada di tengah-tengah. Inilah wilayah teori hukum. Teori
hukum adalah cabang disiplin hukum yang interdisipliner dan berkarakter
meta-ilmu hukum, yang berarti selalu bekerja dengan pendekatan
multidisipliner. Ragaan V-c telah menunjukkan cabang-cabang disiplin dan
ilmu apa saja yang banyak terlibat dalam aktivitas penalaran hukum itu.
Dalam Ragaan V-d terlihat bahwa pada Abad ke-19, disiplin hukum masih
terbagi dalam tiga kelompok besar, yaitu ilmu hukum, politik hukum, dan
filsafat hukum. Ilmu hukum sendiri lalu dibedakan menjadi ilmu tentang
norma (Normwissenschaft), ilmu tentang pengertian (Kamphuysen;
Begriffenwissenschaft), dan ilmu tentang kenyataan (Tatsachen-wissenschaft). Politik
hukum mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
Sementara itu, filsafat hukum bertugas merenungkan dan merumuskan
nilai-nilai. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyatakan bahwa
fungsi filsafat hukum mencakup pula penyerasian nilai-nilai, misalnya
penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara kebendaan
(materialisme) dan keakhlakan (idealisme), antara kelanggengan nilai-nilai
lama (konservatisme) dan pembaruan.18
Antara ilmu hukum tentang norma dan ilmu tentang pengertian di
satu sisi, dengan ilmu tentang kenyataan di sisi lain, disadari sejak awal
memiliki perbedaan secara metodologis. Secara garis besar diterima umum
adanya perbedaan bahwa kedua cabang ilmu hukum yang disebut pertama
bersifat dogmatis dengan menggunakan logika deduktif, sementara ilmu
tentang kenyataan menggunakan logika induktif.
Hadirnya ilmu-ilmu kenyataan tentang hukum (ilmu-ilmu empiris
hukum) ini makin menggugah eksistensi keilmuan ilmu hukum dogmatis,
sehingga pertanyaan tentang status keilmuan ilmu hukum mencuat kembali.
Penelitian yang dilakukan oleh B. Arief Sidharta berhasil menunjukkan
bahwa gugatan terhadap status tersebut seharusnya tidak perlu diajukan
kembali. Menurutnya, semua ciri ilmu telah terpenuhi oleh ilmu hukum
dogmatis tersebut, sepanjang pengambanannya dilakukan secara benar. Ciri-
ciri tersebut mencakup:19
a) semua hal terberi (kenyataan faktual) dalam bidang bersangkutan harus
dikompilasi,
___________________________
18 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 11.
19 B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,
cet. 2 (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 214-215.
SHIDARTA — 377
b) kesatuan yang dituntut pemikiran logikal,
c) kritis-logikal,
d) ikhtiar penyederhanaan untuk mengusahakan agar tiap putusan
diletakkan di bawah putusan yang lebih umum dengan pembentukan
pengertian dan klasifikasi,
e) tiap temuan selalu terbuka bagi pengkajian oleh orang lain.
Terkait dengan gugatan status keilmuan ilmu hukum itu, pada Abad
ke-19 isu-isu metodologis memang merupakan isu yang menarik perhatian.
Ilmu-ilmu alam berkembang sangat pesat pada abad ini, bahkan sangat
mendominasi. Akibatnya, metode ilmu-ilmu alam ini dipercaya paling baik
untuk ditiru, termasuk oleh ilmu hukum. Adalah John Austin (1790–1859)
yang terpesona dengan perkembangan ini, sehingga ilmu hukum dogmatis
yang tadinya mulai rancu dengan masuknya pendekatan-pendekatan baru
dari ilmu-ilmu empiris dan filsafat itu lalu dipagarinya menjadi satu sistem
metodologis yang tertutup. Upaya Austin ini melahirkan Ajaran Hukum
Umum (Allgemeine Rechtslehre). Langkah ini diteruskan oleh Hans Kelsen
(1881–1973) yang memelopori lahirnya satu cabang disiplin baru, yang
disebut teori hukum. Teori hukum dari Kelsen ini berusaha menganalisis
hukum positif secara murni dan bebas nilai. Apa yang dilakukan Austin
dan Kelsen ini tidak terlalu populer, karena antara lain dianggap dapat
menjustifikasi politik hukum Naziisme selama Perang Dunia II.
Di fakultas-fakultas hukum, Ajaran Hukum Umum dan teori hukum
seperti dikemukakan Austin dan Kelsen digabungkan pengajarannya dengan
filsafat hukum. Sebagai submateri filsafat hukum, substansi ini diberi nama
ensikolopedia hukum. Tujuan dari mata kuliah ini adalah untuk memberikan
pengantar ilmu hukum yang bertumpu pada landasan kefilsafatan.
Setelah sekian lama ditinggalkan, pada era tahun 1970-an, teori hukum
bangkit kembali. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan mendesak untuk
menjembatani ilmu hukum (dogmatika hukum dan ilmu-ilmu empiris
hukum) dengan filsafat hukum. Yang pertama dianggap terlalu konkret,
sementara yang kedua terlalu abstrak. Untuk itu dipe rlukan ada satu cabang
disiplin baru yang dapat menolong kedua kelompok disiplin hukum tadi.
Apa yang dilakukan oleh teori hukum adalah menganalisis konsep-
konsep yuridis yang dikenal dalam ilmu hukum maupun teori hukum. Untuk
itu, teori hukum membutuhkan bantuan logika dan ilmu bahasa. Dengan
bantuan ini, teori hukum lalu mengembangkan teori argumentasi yuridis
(teori penalaran hukum). Melalui metode ini selanjutnya teori hukum
melakukan kritik terhadap norma-norma hukum positif dan ideologi yang
digunakan dalam sistem hukum. Kritik ini hanya mungkin dilakukan jika
378 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
ia membuka diri untuk bekerja sama dengan semua disiplin ilmu yang
relevan.
Teori hukum sebagaimana dikenal dalam sistematika disiplin hukum
Abad ke-20, dengan demikian sebenarnya meneruskan pekerjaan ilmu
hukum tentang pengertian. Ilmu hukum dogmatis mengambil alih tugas
ilmu tentang norma. Sementara ilmu tentang kenyataan tetap seperti semula.
Namun, jika disiplin hukum ingin dibangun secara konsisten, khusus untuk
ilmu-ilmu tentang kenyataan ini harus dikembalikan kepada induk
disiplinnya masing-masing. Dengan demikian, penamaan ilmu-ilmu tentang
kenyataan hukum ini, yang selama ini dikenal dengan sebutan ilmu-ilmu
hukum empiris, sebenarnya lebih tepat disebut sebagai ilmu-ilmu empiris
yang berobjekkan hukum (dapat juga disingkat: ilmu-ilmu empiris hukum).
1. Aspek Ontologis
Dalam uraian Bab II terlihat jelas bahwa Hermeneutika dan
Konstruktivisme Kritis menampilkan dimensi ontologis yang sangat
komprehensif. Hakikat permasalahan muncul akibat adanya kesenjangan
antara materi dan ide (gagasan). Pergulatan dualistis ini juga terjadi pada
Sociological Jurisprudence. Rasionalisme Kritis sebagai suatu model
penalaran dalam epistemologis memang juga menunjukkan dualisme
demikian, namun ia tidak memberi tekanan bahwa permasalahan itu harus
muncul karena kesenjangan antara materi dan ide.
Ilmu hukum merepresentasikan aspek ontologis penalaran akibat
kesenjangan dari dualisme tadi. Bedanya dengan model penalaran yang
ditawarkan oleh Konstruktivisme Kritis, ilmu hukum justru lebih
berkonsentrasi untuk mengatasi permasalahan yang konkret (action problem),
bukan yang berada dalam tataran ilmiah (science problem). Hal ini terutama
terkait dengan corak ilmu hukum sebagai ilmu praktis. Konkretisasi dari
permasalahan yang menjadi objek telaah ilmu-ilmu hukum itu ditunjukkan
oleh kasus-kasus yang dihadapi hakim di pengadilan. Dengan demikian,
penalaran hukum adalah penalaran kasuistis. Hal ini sangat relevan dengan
pandangan [American] Sociological Jurisprudence yang memaknai hukum
sebagai putusan hakim in concreto.
Sekalipun penalaran dalam ilmu hukum terfokus pada permasalahan
dalam tataran konkret, ia membutuhkan kerja sama dengan cabang disiplin
hukum lainnya (teori dan filsafat hukum) dan disiplin nonhukum. Kerja
sama multidisipliner ini mempunyai pengaruh dari segi ontologis, mengingat
masing-masing disiplin memberi pemaknaan terhadap hukum sebagai objek
telaah itu secara berbeda-beda.
SHIDARTA — 379
Sebagaimana disinggung oleh B. Arief Sidharta, hukum adalah gejala
dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai banyak
aspek, dimensi dan faset. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses
interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya,
teknologi, keagamaan, dan sebagainya), dibentuk dan ikut membentuk
tatanan masyarakat. Bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai
sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan bentuk dan sifat-sifat masyarakat
itu sendiri. Dalam dinamikanya, hukum itu dikondisikan dan meng-
kondisikan masyarakat.20
Oleh sebab itu, pada saat orang berbicara tentang karakteristik
penalaran hukum, yang pertama-tama perlu diklarifikasi adalah pada tataran
dan konteks mana penalaran hukum itu ingin diposisikan. Kemajemukan
(multiaspek, multidimensi, dan multifaset) dari hukum tersebut, dari sisi
ontologis menelurkan pemaknaan hukum yang sangat beragam. Tataran
yang dimaksud mencakup: (1) ilmu hukum dogmatis, yang konteksnya
nasional; (2) teori hukum; (3) filsafat hukum; dan (4) ilmu-ilmu empiris
hukum.
Dalam tataran yang paling konkret, ilmu hukum selalu memaknai
hukum hanya sebatas norma positif dalam sistem perundang-undangan.
Pemaknaan hukum di luar itu, oleh sebagian orang dianggap menyimpang
dari tradisi keilmuan ilmu hukum itu sendiri. Pandangan ini tidak keliru,
jika penalaran hukum yang dimaksud memang adalah penalaran ilmu hukum
positif atau ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum). Sekalipun demikian,
harus disadari bahwa kegiatan penalaran hukum itu sendiri tidak selalu
berada di dalam tataran dogmatis. Secara teoretis, penalaran hukum dapat
saja diartikan hanya dalam lingkup dimensi demikian, namun dalam
praktiknya, adalah mustahil memasung penalaran hukum hanya sebatas
pada dimensi ruang yang sedemikian terbatas dengan menggunakan logika
tertutup (closed logical system) seperti itu.
Penalaran hukum adalah kegiatan berpikir. Produk dari penalaran ini
adalah keputusan yang menawarkan alternatif-alternatif solusi, yang pada
gilirannya digunakan untuk mengatasi suatu problema kemanusiaan.
Problema tersebut tentu bukan permasalahan pada umumnya. Penalaran
hukum memfokuskan diri pada permasalahan di bidang hukum saja. Oleh
sebab itu, subjek yang melakukan penalaran ini pasti adalah subjek hukum.
Permasalahan hukum dengan demikian adalah permasalahan subjek hukum.
___________________________
20 Ibid., hlm. 116.
380 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Permasalahan hukum muncul karena ada benturan kepentingan-
kepentingan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok,
atau kelompok dengan kelompok. Jadi, pada prinsipnya, permasalahan
hukum ini adalah permasalahan subjek hukum sebagai mahluk pribadi dan
sosial. Subjek hukum yang melakukan penalaran harus benar-benar
memperhatikan konteks hubungan-hubungan sosial ini, dikaitkan dengan
dimensi ruang dan waktu. Konteks ini dapat disebut sebagai lingkaran
kebudayaan yang melingkupi subjek hukum yang sedang bernalar dan objek
(problema hukum) yang sedang dinalarkannya. Berdasarkan pemikiran
inilah, maka sejak semula diterima suatu batasan sederhana dalam tulisan
ini bahwa penalaran hukum adalah kegiatan berpikir problematis
tersistematisasi dari subjek hukum (manusia) sebagai mahluk individu dan
sosial dalam lingkaran kebudayaannya.
Kendati subjek yang melakukan penalaran hukum ini diasumsikan
berada dalam kondisi psikis yang bebas, dalam kenyataannya ia tidak bebas
sepenuhnya. Penalaran hukum dalam arena ilmu hukum dogmatis wajib
berjalan menurut koridor sistem hukum positif. Oleh karena itu, proses
dan produk penalaran ini wajib memperhatikan asas penataan yang
berlangsung dalam sistem hukum tersebut. Itulah sebabnya, dalam
penalaran hukum, selain harus berpikir topikal (problematis), subjek penalar
(pengemban hukum) juga wajib berpikir aksiomatis (sistemik).21
Batasan penalaran hukum seperti dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa pemaknaan hukum hanya sebatas norma positif dalam sistem
perundang-undangan sangat tidak memadai untuk memperkaya dan
mengoptimalisasi kegiatan penalaran hukum. Penalaran sebagai kegiatan
berpikir, apalagi dalam rangka mengupayakan penyelesaian kasus-kasus
konkret yang terkait dengan nilai-nilai kebudayaan, membutuhkan
keleluasaan gerak intelektual yang seluas-luasnya. Oleh sebab itu, penalaran
hukum dalam tataran ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) itu harus
diterima sebagai salah satu bentuk saja dari penalaran hukum, yang disebut
penalaran ilmu hukum dogmatis.
Kegiatan penalaran ilmu hukum dogmatis memang sangat terikat
kepada sistem hukum positif. Namun, disadari bahwa keterikatan tersebut
dewasa ini cenderung makin melonggar. Dalam Bab II, III, dan IV telah
ditunjukkan bahwa pengaruh globalisasi dan posmodernisme telah
menggugat sendi-sendi positivisme ilmu-ilmu yang demikian dipercaya pada
___________________________
21 Ibid., hlm. 164.
SHIDARTA — 381
era jaman modern, tidak terkecuali ilmu hukum. Tampak jelas dalam
kenyataan, hubungan antarbangsa seperti kondisi saat ini sudah mendesak
setiap negara untuk juga mengakomodasi kepentingan eksternal sama
seperti ia memperhatikan kepentingan internal bangsanya sendiri.
Mendekatnya keluarga-keluarga sistem hukum seperti ditunjukkan dalam
uraian Bab III adalah salah satu bukti konkret kecenderungan itu, demikian
juga urian Bab IV yang memaparkan lahirnya sejumlah peraturan
perundang-undangan atas nama kepentingan kerja sama transnasional.
Ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) biasanya diindikasikan selalu
menggunakan model penalaran Positivisme Hukum dan Utilitarianisme.
Karena menggunakan kata “positivisme” maka model penalaran
Positivisme Hukum itu kerap disangkakan sebagai derivasi dari aliran
berpikir Positivisme Logis dan Empirisme Logis, suatu aliran yang menjadi
mainstream diskursus filsafat jaman modern. Padahal, pada ragaan di bawah
tampak bahwa model penalaran Positivisme Logis dan Empirisme Logis
tidak terlalu memiliki kemiripan dengan Positivisme Hukum dan
Utilitarianisme. Hal tersebut menuntut penjelasan lebih jauh.
Kegiatan ilmu hukum dogmatis berintikan kegiatan mengumpulkan
(kompilasi) dan menafsirkan (interpretasi) semua aturan hukum yang
berlaku. Hasil pekerjaan ini lalu disistematisasi dalam suatu tatanan yang
utuh yang disebut sistem hukum. Kegiatan mengumpulkan, menafsirkan,
dan mensistematisasi aturan-aturan hukum ini ditujukan untuk membantu
para pengambil keputusan hukum tatkala mereka menghadapi kasus-kasus
konkret di lapangan. Jadi, sekalipun ilmu hukum dogmatis ini mempunyai
tujuan praktis, karakter keilmuannya tidak hilang.22
___________________________
22 Ibid.
382 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Ragaan V-f: Perbandingan Penalaran Positivisme & Empirisme
Logis,Positivisme Hukum, dan Utilitarianisme
Dalam kaca mata Positivisme Hukum dan Utilitarianisme, sistem hukum
positif—yakni kompleksitas norma positif dalam sistem perundang-
undangan—adalah sesuatu yang sudah lengkap atau dipersepsikan lengkap.
Dengan demikian hakim tinggal menerapkan saja aturan yang sudah ada.
Oleh sebab itu, Positivisme Hukum menganggap penalaran hukum itu dimulai
dari penarapan norma positif dalam sistem perundang-undangan kepada
suatu kasus konkret secara doktrinal-deduktif. Proses pembentukan normanya
sendiri tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kegiatan penalaran hukum.
Silogisme yang dikenal dalam penalaran hukum dalam banyak hal
menunjukkan kekhasan ilmu hukum dogmatis. Sekalipun sumber-sumber
hukum otoritatif mungkin telah tersedia, dalam kenyataannya sumber-
sumber ini banyak yang tidak “siap pakai” (not given). Artinya, norma positif
dalam sistem perundang-undangan itu tidak dapat dideduksi langsung ke
dalam struktur faktanya. Jika demikian halnya, pengemban hukum yang
menjadi subjek penalar harus mengkreasikan sendiri premis-premis itu.
H.J. Berman menulis:23
___________________________
23 Harold J. Berman, Loc. Cit., hlm. 198.
SHIDARTA — 383
However useful syllogistic logic may be in testing the validity of conclusions drawn from
given premises, it is inadequate as a method of reasoning in a practical science such as
law, where the premises are not given but must be created. Legal rules, viewed as major
premises, are always subject to qualification in the light of particular circumstances;….
Also the “minor premises”—the facts of particular cases or the terms of particular legal
problems—are not simply “there” but must be perceived and characterized, and this, too,
requires interpretation and evaluation. Indeed, the legal facts of a case are not raw data
but rather those facts that have been selected and classified in terms of legal categories.
Ide dasar dari Positivisme Hukum dan Utilitarianisme tidak pernah
menyinggung “kreativitas” subjek penalar hukum seperti itu. Tugas penalar
hukum, khususnya hakim, menurut pandangan mereka, adalah sekadar
menjadi corong undang-undang. Semua norma positif dalam sistem
perundang-undangan itu tersedia lengkap, dan menunggu hakim
menemukan aktivatornya, yaitu kasus konkret, dan selanjutnya keduanya
dipertemukan secara silogistis. Padahal ketidakterberian (not given) yang
terdapat pada premis-premis itu secara teknis menyebabkan silogisme tadi
berlangsung tidak satu arah. Ada pola-pola yang menunjukkan arah
berpikirnya mundur ke belakang (backward thinking). Semua itu dilakukan
agar struktur premis-premis itu akhirnya dapat disuguhkan ke khalayak
umum sebagai bentuk silogisme.
Menariknya, apa yang dilakukan oleh hakim dalam situasi konkret seperti
itu (mengkreasikan struktur aturan dan fakta) sebenarnya justru sesuai dengan
Positivisme Logis atau Empirisme Logis. Sayangnya, praktik yang dilakukan
ini tidak diakui menurut ide dasar Positivisme Hukum dan Utilitarianisme.
Secara ontologis, objek telaah kedua model penalaran tersebut (Positivisme
Logis dan Empirisme Logis), memang sama-sama tidak hadir secara terberi
(given), melainkan harus dikreasikan. Aspek ontologis dari objek telaah itu
harus bersifat materialis (realitas yang terobservasi secara inderawi dan dapat
dipahami rasio), bukan sesuatu yang metafisis.
Perbedaan selanjutnya Positivisme Logis dan Empirisme Logis dengan
Positivisme Hukum dan Utilitarianisme juga terjadi pada aspek
epistemologis dan aksiologis sebagaimana akan dibahas pada bagian lain
dari tulisan ini. Demikianlah, akhirnya kita dapat melihat bahwa Positivisme
Logis dan Empirisme Logis memang tidak sejalan dengan karakteristik
ilmu hukum dogmatis dan model penalaran Positivisme Hukum atau
Utilitarianisme. Jika demikian halnya, kedekatan Positivisme Hukum dan
Utilitarianisme seyogianya tidak diarahkan kepada Positivisme Logis dan
Empirisme Logis, melainkan kepada model penalaran lain. Positivisme
384 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Hukum dan Utilitarianisme harus diperbandingkan dengan model penalaran
lain, dan untuk itu ditemukan suatu model lain yang mendekati yakni
Rasionalisme Kritis.
Ragaan V-g: Perbandingan Rasionalisme Kritis, Positivisme
Hukum, dan Utilitarianisme
Deteksi kedekatan ini cukup beralasan apabila tiga tradisi Positivisme
Hukum dikemukakan kembali. Menurut Meuwissen, tradisi pertama
Positivisme Hukum adalah tradisi Teori Hukum Analitis dari John Austin
(Analytical Jurisprudence). Tradisi kedua disampaikan oleh kalangan
Neokantian dengan tokohnya Hans Kelsen (Reine Rechtslehre). Selanjutnya,
ada tradisi ketiga yang dipengaruhi oleh ilmu-ilmu empiris.
Meuwissen mencatat, sekalipun perkembangan ilmu-ilmu empiris ini
berangkat dari pemikiran bahwa hukum adalah fakta sosial, tetap saja ada
eksponen dari tradisi ketiga ini yang (anehnya) ingin tetap “konsisten”
dengan pola deduktif yang dikembangkan oleh Rasionalisme Kritis.
Meuwissen menulis:24
Tesis terpenting dari teori hukum ini maksudnya: pada tradisi ketiga; Shidarta]
adalah bahwa ilmu hukum itu seyogianya diemban sebagai suatu ilmu empiris.
___________________________
24 D.H.M. Meuwissen, “Pengembanan Hukum,” terjemahan B. Arief Sidharta, Jurnal Pro Justitia,
Tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 29.
SHIDARTA — 385
Itu berarti a.l. bahwa hukum itu dipandang sebagai data empiris dipaparkan
dan dijelaskan. Untuk itu maka pengertian hukum itu harus diopera-
sionalisasikan, artinya harus dibuat cocok untuk pengolahan ilmiah ini. Tetapi,
tidak semua teoretisi hukum empiris melakukan ini dengan cara yang sama.
J. Raz misalnya, sangat terikat pada sejenis teori sistem dari hukum, yang
berdasarkannya dapat dikembangkan suatu teori-model yang cocok untuk
pemaparan empiris. Sesuai dengan tradisi Rasionalisme Kritis (cetak tebal
dan garis bawah oleh Shidarta), Hans Albert memandang hukum sebagai suatu
fakta sosial, yang dengan cara yang sama dapat didekati seperti gejala-gejala
kemasyarakatan lain. Di Belanda, cara pendekatan ini dibela oleh A.H. de
Wild (De Rationaliteit Van Het Rechterlijk Oordeel, 1980). Bagaimana pun
juga, di sini kita memiliki suatu sifat empiris (faktual) yang murni, dan bahwa
dalam arti ini juga sangat menyimpang dari suatu pengertian hukum dialektis.
Yang empiris itu dapat dipandang sebagai suatu metodis dapat dipertanggung-
jawabkan reduksi dari pengertian hukum yang lebih luas ini.
Memang tidak mudah untuk menarik kesimpulan tentang seberapa jauh
ilmu hukum mendapat pengaruh dari Rasionalisme Kritis. Sebagai ilmu yang
telah berusia tua, ilmu hukum telah tampil dalam panggung sejarah
kemanusiaan, sekalipun pada awalnya masih menyatu sebagai kajian filsafat
hukum (jaman Yunani Kuno) dan Roman legal science (jaman ke jay aan Romawi,
khususnya pada era Kaisar Justinianus I (482–565 Masehi). Apa yang
dimaksud dengan Roman legal science tersebut bertumpu pada Kitab Hukum
Justinianus.25 Kitab inilah yang kemudian digunakan oleh Irnerius (Garnerius)
dari Bologna untuk mengajarkan ilmu hukum pada Abad ke-11 dan 12. Apa
yang dilakukan oleh Irnerius ini dipandang sangat fundamental, sehingga
Harold J. Berman menyebutnya sebagai “the legal century: the forming of the
western legal tradition.”26 Ilmu hukum dogmat is se ndiri, seperti telah di singgung
beberapa kali di muka, baru muncul setelah Revolusi Perancis, yang
membuahkan pandangan lebih internal kepada hukum positif negara masing-
masing. Ilmu hukumpun lalu bercirikan ilmu dogmatis.
B. Arief Sidharta secara implisit juga mensinyalir pengaruh
Rasionalisme Kritis memang cukup kuat untuk menghasilkan ilmu hukum
dogmatis ini. Menurutnya: 27
___________________________
25 Kitab (code) ini diberlakukan pertama kali tahun 529. Ulasan para ahli hukum tentang kitab ini,
disebut Digest, terbit tahun 533. Pada tahun itu pula diterbitkan Institutiones (systematic and
elementary treatise of law). Pada tahun-tahun berikutnya Justinianus mengeluarkan sejumlah
peraturan baru, yang disebut Novellae. Semua peraturan itu (Code, Digest, Institutiones, Novellae)
dikenal dengan sebutan Corpus Juris Civilis (the Body of Civil Law).
26 B. Arief Sidharta, “Disiplin Hukum: tentang Hubungan antara Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum,” Jurnal Pro Justitia, Tahun XX No. 3, Juli 2002, hlm. 7.
27 Ibid., hlm. 8.
386 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
[S]etelah terbentuknya kodifikasi napoleonik di Perancis (yang draft-nya dibuat
oleh sebuah panitia yang terdiri atas a.l. Portalis, Tronchet, Bigot de
Preameneu, Malville) pada tahun 1804–1810, studi secara ilmiah dan
pengajaran hukum di universitas hanya dipusatkan pada sistem hukum yang
berlaku dari negara yang di dalamnya universitas dan kegiatan ilmiah yang
obyeknya hukum itu berkiprah (Coing). Jadi, di bawah pengaruh gerakan
kodifikasi hukum serta filsafat Rasionalisme dan Transendental Kritisisme
Kant, Ilmu Hukum kehilangan karakter internasionalnya dan memperoleh
karakter nasional.
Sebagai ilmu yang berkarakter nasional, ilmu hukum dogmatis
membentuk sumber-sumber hukum otoritatif selengkap mungkin. Sumber-
sumber ini adalah produk terberi (given) yang mengikat secara normatif
bagi seluruh masyarakat dalam lingkup nasional yang bersangkutan. Hukum
pun dimaknai sebagai norma positif dalam sistem perundang-undangan.
Sejalan dengan pola penalaran yang juga diterapkan dalam Rasionalisme
Kritis, ilmu hukum dogmatis ini menerapkan logika Positivisme Hukum,
yakni secara doktrinal-deduktif terhadap setiap peristiwa konkret yang
dianggap mempunyai akibat hukum. Untuk itu, sumber-sumber hukum
otoritatif itu harus sudah tersedia lebih dulu. Selama belum tersedia, berarti
peristiwa konkret itu belum mempunyai akibat hukum (bukan peristiwa
hukum). Cara berpikir demikian diakomodasi menjadi satu asas penting
dalam Positivisme Hukum, yaitu asas legalitas.
Tatkala struktur kenyataan-kenyataan sosial masih sederhana, asas
legalitas seperti disinggung di atas mungkin dapat diterapkan secara
konsisten, dengan asumsi bahwa norma hukum dalam sistem perundang-
undangan relatif telah cukup lengkap mengatur setiap peristiwa hukum.
Dalam kenyataannya struktur sosial berkembang sangat dinamis, dan arah
perkembangannya tidak selalu sesuai dengan nilai-nilai yang dikehendaki
bersama. Pemaknaan hukum di luar norma positif dalam sistem perundang-
undangan inilah yang akhirnya diakomodasi sebagai karakter penalaran
hukum lainnya, yang tidak berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis lagi
melainkan pada tataran teori hukum.
Pada tataran teori hukum, pendekatan yang digunakan tidak lagi
monodisipliner. Oleh sebab itu, berbagai ilmu pengetahuan dari disiplin
nonhukum ikut terlibat memberi konfirmasi terhadap karakter hukum yang
multiaspek, multidimensional, dan multifaset tersebut. Karakteristik
penalaran hukum akhirnya harus menerima pula adanya pandangan lain di
luar Positivisme Hukum dan Utilitarianisme.
SHIDARTA — 387
Ilmu-ilmu empiris seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan psikologi,
menaruh perhatian besar terhadap hukum. Mereka masing-masing
menawarkan pola-pola penalaran yang berbeda dari karakteristik penalaran
ala ilmu hukum dogmatis. Hal ini terutama disebabkan oleh aspek ontologis
dalam memaknai hukum itu sendiri. Ragaan V-h (Pemaknaan Hukum dan
Model Penalaran) di bawah memberikan ilustrasi singkat dari berbagai
pemaknaan hukum dan model-model penalaran yang relevan.
2. Aspek Epistemologis
Ulasan di muka telah menunjukkan bahwa ilmu hukum dogmatis
mempunyai akar ontologisnya pada Rasionalisme Kritis. Demikian juga
dengan aspek epistemologisnya. Uraian di bawah akan mengelaborasi akar
epistemologis ini dari penalaran ilmu hukum dogmatis tersebut, dan
kecenderungan yang dianut oleh pola penalaran dalam teori hukum dan
filsafat hukum.
Sekalipun menggunakan nama “positivisme,” ada perbedaan prinsipiil
antara Positivisme Logis dan Positivisme Hukum. Positivisme Logis sebagai
aliran filsafat, khususnya dalam wacana filsafat pengetahuan (epistemologi),
berangkat dari empat asas, yakni: (1) Empirisme; (2) Positivisme; (3) Logika;
dan (5) Kritik Ilmu. Empat asas ini kemudian mengejawantah menjadi
lima asumsi dasar, yaitu: (1) logiko-empirisme; (2) realitas objektif; (3)
reduksionisme; (4) determinisme; dan (5) bebas nilai.28
Logiko-empirisme berangkat dari pemikiran bahwa kebenaran hanya
mungkin diverifikasi melalui pembuktian empiris. Pengetahuan yang tidak
bisa dibuktikan dengan eksperimen (pembuktian pengalaman) adalah
pengetahuan non-ilmiah (not make sense). Dengan asumsi ini, berati setiap
pengetahuan diperoleh secara aposteriori, bukan apriori. Karena
menggunakan prinsip logiko-empirisme ini, maka Positivisme Logis
akhirnya berkembang menjadi Empirisme Logis.
Model penalaran Positivisme Hukum, jika diamati dengan saksama,
ternyata justru menghindari asas logiko-empirisme ini. Penampakan
pertama dapat dilihat dari perbedaan pola penalaran Positivisme Logis dan
Empirisme Logis dengan Positivisme Hukum, seperti ditunjukkan dalam
Ragaan V-f di atas.
Ilmu hukum dogmatis just74ru terkadang menghindari kebenaran-
kebenaran yang secara empiris dapat dibuktikan “ketidakbenarannya.” Apa
___________________________
28 Penerbit Qalam, “Pengantar,” dalam Michael T. Gibbons, ed., Tafsir Politik: Telaah Hermeneutis
Wacana Sosial-Politik Kontemporer (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. ix.
388 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
yang disebut dengan fiksi hukum adalah salah satu bukti ketidakbenaran
tersebut. Fiksi hukum yang paling terkenal adalah “semua orang dianggap
tahu hukum” (setelah suatu peraturan perundang-undangan dipublikasikan
secara formal dalam lembaran negara/lembaran daerah). Fiksi ini memang
dibuat bukan tanpa tujuan. Ilmu hukum dogmatis yang berpegang teguh
pada sistem hukum positif memerlukan kepastian agar suatu aturan dapat
ditegakkan segera setelah norma hukum tersebut dinyatakan berlaku.
Dengan demikian, alasan “ketidaktahuan” tidak mungkin digunakan karena
hanya akan menggerogoti tujuan kepastian hukum tersebut.
Asumsi kedua adalah realitas objektif. Asumsi ini berangkat dari
pemikiran bahwa hanya dikenal satu realitas yang benar, yaitu realitas yang
berasal dari objek-telaah. Subjek terpisah dari objek. Distansi ini diperlukan
agar penafsiran subjektif dapat diminimalisasi. Padahal, dalam ilmu hukum
dogmatis, penalaran adalah kegiatan berpikir dari subjek hukum yang sangat
terikat pada lingkaran kebudayaan tertentu. Istilah “hukum positif ” itu
sendiri sudah menunjukkan dimensi ruang dan waktu ini. Setelah Revolusi
Perancis (1789), ilmu hukum dogmatis telah mengadopsi dimensi
nasionalitas dalam setiap objek telaahnya. Pengemban hukum yang
melakukan kegiatan penalaran hukum dengan demikian wajib memper-
hatikan kepentingan hukum positif (baca: hukum nasionalnya)
dibandingkan dengan kepentingan manapun.
Realitas objektif yang dimaksud oleh ilmu hukum dogmatis dengan
model penalaran Positivisme Hukum pada akhirnya mudah sekali terjebak
ke dalam realitas subjektif pemegang kekuasaan publik. Arus energi yang
dibawa oleh sistem politik inilah yang mengendalikan realitas tadi. Akibatnya
dapat diduga, bahwa penalaran hukum pun akhirnya terjebak dalam
kesesatan (fallacy) bahwa kebenaran ditentukan sepenuhnya oleh kekuasaan
(argumentum ad baculum).
Model penalaran Utilitarianisme yang digunakan ilmu hukum dogmatis
pun dapat terjebak dalam kesesatan penalaran yang sama rumitnya. Tesis
Bentham bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan “the
greatest happines of the greatest number,” menuntut pembenaran-pembenaran
setiap keputusan pemegang kekuasaan publik atas dasar kepentingan
mayoritas (argumentum ad populum). Kasus Kedung Ombo yang dibentangkan
dalam Bab IV adalah contoh konkret dari kegagalan tesis ini, karena persepsi
kepentingan umum itu sendiri adalah bagian dari realitas subjektif, bukan
realitas objektif. Berdirinya waduk Kedung Ombo memang dapat saja
dianalisis dengan bantuan jurimetrika sebagai proyek yang menguntungkan
SHIDARTA — 389
secara ekonomis. Namun, perasaan luka akibat perlakuan yang tidak adil
atas putusan peninjauan kembali dari Hakim Agung Purwoto S.
Gandasubrata, tidak dapat dianggap sebagai kerugian sebagian kecil warga
Kedungpring (Kedung Ombo) itu saja. Ketidakadilan ini adalah kerugian
bagi penegakan hukum di Indonesia, suatu kerugian bagi mayoritas rakyat
Indonesia baik diukur dari dimensi ruang maupun waktu.
Asumsi dasar ketiga dari Positivisme adalah reduksionisme. Asumsi
ini menyatakan bahwa objek telaah adalah satuan komposisi yang dapat
direduksi menjadi bagian-bagian kecil. Pemahaman tentang keseluruhan
objek adalah penjumlahan dari pemahaman bagian-bagian itu. Cara pandang
matematis ini juga tidak sepenuhnya sejalan dengan ilmu hukum dogmatis
sebagai bagian dari ilmu-ilmu praktis normologis otoritatif.
Objek telaah ilmu hukum dogmatis adalah norma-norma positif dalam
sistem hukum positif, yang lebih khusus lagi adalah sistem perundang-
undangan. Objek ini sekilas dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang lebih
kecil, namun upaya ini mengandung kelemahan-kelemahan sama seperti
kritikan yang telah diajukan terhadap pekerjaan John Austin, H.L.A. Hart,
dan Hans Kelsen.
Hasil reduksi dari Austin menunjukkan bahwa norma memuat perintah
(command), kewajiban (duty), dan sanksi. Penelaahan reduksionisme juga
dilakukan oleh Hart. Ia membedakan norma hukum menjadi aturan primer
(primary rules) dan aturan sekunder (secondary rules). Aturan primer secara
langsung memberikan kepada semua warga masyarakat kewajiban dan hak-
hak. Aturan ini meliputi norma hukum perdata dan pidana. Menurut Hart,
kita baru dapat berbicara tentang hukum secara persis (strikt) jika terdapat
aturan sekunder, yaitu aturan yang memberikan kewenangan kepada pejabat
(penguasa; officials).29 Aturan sekunder ini terdiri dari tiga macam, yaitu
rules of change, adjudication, dan recognition. Selanjutnya, Kelsen juga melakukan
reduksi yang sama sehingga menghasilkan the Pure Theory of Law (reine
Rechtslehre) dan Teori Jenjang (Stufentheorie). Kritikan terhadap semua
pekerjaan Austin, Hart, dan Kelsen telah dilakukan banyak kalangan,30 yang
pada dasarnya menunjukkan bahwa hukum yang multiaspek (multidi-
mensional; multifaset) itu sangat tidak mudah direduksi menjadi bagian-
bagian kecil. Reduksi ini mengandung bahaya karena jika proses reduksi
___________________________
29 D.H.M. Meuwissen, Loc. Cit., hlm. 27.
30 Lihat antara lain Raymond Wacks, Jurisprudence. ed. 4 (London: Blackstone Press, 1995), hlm.
34 et seq.
390 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
ini arahnya dibalik, maka pemahaman terhadap bagian-bagian kecil itu tidak
serta merta menghasilkan pemahaman yang utuh tentang hukum.
Asumsi dasar keempat adalah determinisme, yaitu keteraturan dunia
berdasarkan hubungan sebab akibat yang bersifat linear. Ilmu hukum
dogmatis tidak dapat menerima asumsi ini karena menyalahi karakter ilmu
praktis normologis otoritatif yang diembannya. Prinsip yang lebih tepat
untuk ilmu hukum adalah imputasi. Prinsip ini memungkinkan seorang
subjek hukum untuk terhindar dari konsekuensi-konsekuensi hukum
tertentu, misalnya karena adanya gangguan jiwa (non compos mentis), belum
dewasa, daya paksa (overmacht), pembelaan paksa karena keadaan darurat
(noodtoestand), atau karena menjalankan tugas jabatan.
Pertimbangan untuk menetapkan berapa banyak variabel-variabel yang
harus diperhitungkan adalah bagian dari konstatasi kasus yang harus
dilakukan oleh seorang pengemban hukum yang sedang melakukan
penalaran (lihat Ragaan III-c: Langkah-Langkah Penalaran Hukum). Untuk
kasus di pengadilan, misalnya, variabel-variabel ini biasanya muncul dari
fakta-fakta yang diungkapkan oleh para pihak yang terlibat dalam
persengketaan. Namun, untuk kasus seperti Kedung Ombo, realitas yang
terjadi di luar pengadilan (misalnya pertemuan antara Presiden dan Ketua
Mahkamah Agung) adalah variabel antara yang sangat mungkin justru telah
menjadi faktor penentu arah putusan akhir.
Asumsi dasar kelima dari Positivisme Logis adalah asumsi bebas nilai.
Keterpisahan antara subjek dan objek hanya melahirkan nilai-nilai yang
objektif. Karena a-subjektif maka subjek tidak perlu ikut bertanggung jawab.
Nilai-nilai tidak ada kaitannya dengan objek karena nilai-nilai adalah urusan
moralitas, sementara Positivisme hanya berkaitan dengan materi.
Dari aspek keterpisahan antara objek telaah dan moral, antara
Positivisme Logis dan Positivisme Hukum memiliki beberapa kesamaan.
Namun, jika ditelaah lebih jauh, asumsi bebas nilai ini tidak sejalan dengan
ilmu hukum dogmatis sebagai bagian dari ilmu-ilmu praktis. Dalam Ragaan
II-a (Hubungan Fungsional Antar-ilmu), terlihat jelas bahwa ilmu-ilmu
praktis membutuhkan evaluasi terus-menerus dari kenyataan-kenyataan
sosial. Realitas sosial ini adalah realitas yang kaya dengan nilai-nilai. Justru
evaluasi ini adalah penilaian itu sendiri, sehingga menghindarkan ilmu
hukum dari nilai-nilai adalah “mengkhianati” posisi ilmu praktis yang
diembannya.
Positivisme Hukum sendiri membutuhkan penilaian-penilaian agar
dapat diketahui seberapa jauh telah didapatkan kepastian hukum dari
SHIDARTA — 391
penerapannya. Kepastian hukum ini pada bagian terpentingnya memuat
nilai-nilai prediktabilitas bahwa dengan berlakunya norma hukum itu, maka
setiap peristiwa konkret yang diterapkan dengan struktur aturan normatif
tersebut akan memperoleh penyelesaian yang relatif sama (asas similia
similibus). Model penalaran Utilitarianisme bahkan mampu menunjukkan
lebih jelas lagi bahwa ilmu hukum dogmatis itu memang tidak mungkin
bebas nilai. Norma peraturan perundang-undangan dan putusan hakim
dipersepsikan telah mengakomodasikan nilai-nilai kemanfaatan. Padahal,
nilai kemanfaatan ini tidak mungkin dapat diketahui dengan pasti tanpa
melihat penerapannya di lapangan.
Keberatan lain terhadap asumsi bebas nilai untuk ilmu hukum dogmatis
adalah terkait dengan area hukum nonnetral yang tidak mungkin lepas dari
dimensi nilai-nilai budaya. Jika objek telaah hukum ini menyangkut norma-
norma di bidang hukum perkawinan dan warisan, misalnya, maka penetapan
hukum positif—sekalipun dengan bantuan kekuasaan publik—tidak
mungkin berlangsung efektif atau memberikan kemanfaatan yang besar.
Larangan negara terhadap perkawinan ras Jerman dengan Yahudi tatkala
rezim Nazi berkuasa, adalah bukti dari kegagalan semacam itu, yang pada
ujungnya justru menuai kecaman keras dari seluruh penjuru dunia sebagai
praktik diskriminasi dan kejahatan atas kemanusiaan.
Dengan ditolaknya pola penalaran ala Positivisme Logis (dan
Empirisme Logis), maka perhatian diarahkan ke Rasionalisme Kritis.
Diketengahkan di muka bahwa kegiatan ilmu hukum dogmatis (dogmatika
hukum) berintikan kegiatan mengumpulkan (kompilasi) dan menafsirkan
(interpretasi) semua aturan hukum yang berlaku. Hasil pekerjaan ini lalu
disistematisasi dalam suatu tatanan yang utuh yang disebut sistem hukum.
Kegiatan mengumpulkan dan menafsirkan, kemudian mensistematisasi
aturan-aturan seperti dimaksudkan di atas dalam Rasionalisme Kritis adalah
sejalan dengan kegiatan perumusan masalah, pembuatan teori, sampai
kepada perumusan ramalan atau hipotesis. Sementara tatkala hakim
menghadapi suatu kasus konkret dan berusaha mencari alternatif dan
menetapkan pilihan untuk keputusan akhirnya, yang dapat dipersamakan
dengan pengujian ramalan dalam Rasionalisme Kritis. Akhirnya ketika
putusan itu sampai ke masyarakat atau institusi pengadilan pada tingkat
berikutnya, maka pada saat itu dilakukan penilaian hasil pengujian. Hasil
pengujian ini dapat merupakan pembuatan teori baru menurut persepsi
Rasionalisme Kritis.
392 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Tentu saja kedekatan model penalaran Rasionalisme Kritis dengan
Positivisme Hukum (dan Utilitarianisme) sebagaimana dipraktikkan oleh
ilmu hukum dogmatis ini perlu diberi catatan. Seperti telah ditulis dalam
Bab II, kritik Anthony O’Hear bahwa diabaikannya pola penalaran induktif
oleh Rasionalisme Kritis, memang merupakan sesuatu yang mustahil.
Positivisme Hukum dan Utilitarianisme pun sebenarnya perlu dikritik untuk
alasan yang sama. Untuk itu, penjelasan J.W. Harris tentang Teori Kehendak
(the Will Theory) dapat dijadikan acuan.31
Menurut J.W. Harris, ada lima teori yang utama tentang hukum, yaitu:
(1) the Will Theory; (2) the Pure Norm Theory; (3) the Psychological Theory; (4) the
Behavioral Theory; dan (5) the Dispute Theory. Kelima teori yang disebutkan
Harris sesungguhnya hanya mengacu kepada dua kubu dalam model-model
penalaran hukum klasik, yaitu Positivisme Hukum dan Realisme Hukum.
Dalam kelompok Positivisme Hukum ini termasuk juga model penalaran
Utilitarianisme, yang mengarah kepada pemikiran John Austin, Jeremy
Bentham, dan Hans Kelsen. Apabila Positivisme Hukum memandang
sistem hukum sebagai momentary legal system (sistem hukum nasional yang
berlaku saat ini) maka sebaliknya dengan Realisme Hukum yang melihatnya
sebagai non-momentary legal system (sistem hukum yang terkait dengan tradisi
atau kebiasaan). Mengingat konteks tulisan ini ingin menyoroti kritikan
terhadap pengabaian pola penalaran induksi dalam Positivisme Hukum
dan Utilitarianisme, maka penjelasan tentang Teori Kehendak dari J.W.
Harris tersebut lebih difokuskan untuk keperluan tersebut.
Teori Kehendak, melalui tokohnya Jeremy Bentham, memandang, “A
positive legal rule is to be equated with the expression of an act of wishing” (teorem
a), sedangkan “A legal system is to be equated with all the positive legal rules emanating
from the same sovereign will” (teorem b).32 Berdasarkan pemahaman ini, maka
kehendak penguasa yang berdaulat harus dibaca sebagai kehendak penuh
(full will) sebagai hasil serapannya atas semua kehendak lapisan masyarakat.
Ditambahkan oleh Harris:33
Bentham’s follower, John Austin used the terms ‘law’ and ‘rule’ interchangeably. Like
Bentham he regarded rules (‘general commands’) as intimations of wishes or desires, and
equated the law of a community with the totality of the sovereign’s expressed wishes. . . .
The both writers equate that entity which (under the description ‘legal rule’) is issued and
___________________________
31 J.W. Ha r ri s, Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal Rule and Legal System (Oxford:
Clarendon Press, 1982), Bab V.
32 Ibid., hlm. 24.
33 Ibid., hlm. 27-29.
SHIDARTA — 393
repealed by legislatures and is the subject-matter of legal science, with words or other signs
expressing an act of wishing (‘volition’, ‘wish or desire’) (Theorem (a) ). Both equate the
legal system, in the sense of all the legal rules valid at any moment of time in a society,
with the totality of legal rules emanating from the same sovereign will (Theorem (b) ).
That legal rules emanate from the sovereign’s will follows from the fact that he enforces
them. Unity of enforcement entails unity of will.
Jelaslah bahwa untuk dapat menghasilkan “unity of will” dan kemudian
melaksanakannya sebagai “unity of enforcement” itu diperlukan penelitian
mendalam ke lapangan. Ini berarti, pembentukan hukum juga harus
dilakukan secara induktif.
Utilitarianisme memang melakukan pola penalaran induksi, tetapi secara
prinsipiil hal tersebut dilakukannya untuk mengevaluasi suatu norma hukum
yang telah berlaku. Logikanya, dari hasil evaluasi itu seyogianya dapat
dirumuskan norma hukum baru yang lebih sempurna daripada rumusan
lama. Namun, model penalaran Utilitarianisme tidak sampai berbicara
tentang keperluan perumusan baru seperti itu. Baginya, pola penalaran
induktif dilakukan mengikuti pola deduktif untuk memastikan seberapa
jauh norma hukum itu memberikan kemanfaatan bagi jumlah orang
terbesar.
Menurut J.W. Harris, model penalaran Utilitarianisme biasanya
digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus sulit (doubtful–/unclear–/
penumbral–/hard cases). Ia mengatakan:34
The utility model of rationality is employed whenever a judge refers expressly to the
consequences of his decision as part of its justification. It is not, however, generally
perceived as an integral part of the judicial role to employ such reasoning, as it the case
with doctrine. It is supposed to be for the legislature not the judge, to decide what legal rules
have the best consequences for society, all things considered. Hence courts often clothe the
utility model in the dress of one of the other models of rationality.
Where judges are dealing with unclear cases in an area covered by statute law, it is
unusual for them to justify decisions solely by balancing good and bad consequences. One
would be surprised to find a judge expressly announcing: ‘The legislature has not made
clear what decision it wanted in a case such as this; I will therefore fill the gap; and in
framing a new rule.’
Dalam kaca mata Utilitarianisme, seperti ditunjukkan dalam kutipan
di atas, tugas hakim memang bukan untuk mengisi kelemahan undang-
undang. Apa yang diungkapkan oleh hakim dalam kutipan tersebut dapat
dituding sebagai pelanggaran konsep pemisahan kekuasaan (separation of
___________________________
34 Ibid., hlm. 144-145.
394 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
powers). Menurut catatan J.W. Harris, bahkan di Inggris yang notabene
menganut tradisi keluarga sistem common law, ungkapan hakim seperti itu
pernah ditolak beberapa kali oleh the House of Lords.35
Dengan demikian tampak bahwa ilmu hukum dogmatis yang menganut
model penalaran Positivisme Hukum dan Utilitarianisme didominasi—
kalaupun tidak dapat dikatakan untuk seluruhnya—oleh pola penalaran
deduksi. Inferensi secara deduksi memang sering dianggap sebagai salah
satu kekhasan ilmu hukum dogmatis. Tidak mengherankan jika ilmu hukum
dogmatis ini dipandang sebagai bagian dari kelompok ilmu-ilmu [bermetode]
deduktif. Uraian Bab III sesungguhnya telah menunjukkan bahwa pandangan
bahwa ilmu hukum dogmatis adalah anggota dari ilmu-ilmu deduktif, harus
dicermati secara mendalam. Padahal, penggunaan pola penalaran doktrinal-
deduktif tersebut di lapangan disadari menghadapi sejumlah kendala. Elias
E. Savellos dan Richard F. Galvin menyebutkan sedikitnya empat kendala
pola penalaran doktrinal-deduktif ini, yaitu bahwa: (1) hukum ternyata tidak
sekadar berupa kompleksitas peraturan; (2) peraturan-peraturan itu memiliki
kelemahannya sendiri; (3) faktanya juga memiliki permasalahan; dan (4) proses
deduksi ini hadirnya belakangan (setelah aturan yang relevan dengan faktanya
sudah ditetapkan terlebih dulu).36
Kendala-kendala di atas, pada dasarnya berkaitan dengan pemaknaan
hukum yang tidak tunggal, yang berdampak pada aspek epistemologi ilmu
hukum. Paul Scholten sendiri mengatakan:37
Kita juga berbicara tentang “norma-norma” dari logika sebagai preskripsi-
preskripsi bagi berpikir (menalar); tetapi asumsi bahwa asas-asas logikal yang
demikian seperti hukum non-kontradiksi atau aturan-aturan inferensi
mempunyai sifat dari norma-norma, bahwa logika sebagai sebuah ilmu (a
science) berurusan dengan norma-norma sama sebagaimana etika dan ilmu
hukum melakukannya, adalah terbuka bagi perdebatan.
Di sisi itulah, seperti diungkapkan oleh Meuwissen, akhirnya muncul
pandangan dalam tradisi ketiga Positivisme Hukum, yang gelisah melihat
kecenderungan hukum jika hanya dimaknai sebagai norma positif dalam
___________________________
35 Penolakan terjadi antara lain pada kasus-kasus: Magor and St. Mellons Urban District Concil
v. Newport Corporation (1952) dan London Transport v. Betts (1959). Sesuai dengan konsep
pemisahan kekuasaan itu, sistem hukum di Inggris mengenal asas “Lex Angliae sine Parliamento
mutari non potest” (the law of England cannot be changed execpt by Parliament).
36 Elias E. Savellos & Richard F. Galvin, Reasoning and the Law: the Elements (Belmont: Wadsworth,
2001), hlm. 62-63.
37 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta (Bandung: Alumni, 2003),
hlm. 2.
SHIDARTA — 395
sistem perundang-undangan. Perdebatan itu akhirnya justru membawa
sekelompok penstudi hukum sampai pada kesimpulan bahwa ilmu hukum
lebih tepat diemban sebagai ilmu empiris. Pandangan inilah yang melahirkan
sebutan “ilmu-ilmu hukum empiris” itu, yang ternyata setelah dikaji justru
terdiri dari berbagai pendekatan yang mengacu kepada ilmu-ilmu empiris
yang sudah eksis terlebih dulu, seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi.
Tatkala mengritik Rasionalisme Kritis, P. Winch menyatakan bahwa
tujuan ilmu dewasa ini bukan lagi mengarah kepada pengembangan ilmu
yang berkesatuan (unified science; Einheitswissenschaft). Ia melihat ada perbedaan
yang fundamental dalam ilmu-ilmu empiris, yang mencakup ilmu alam dan
ilmu-ilmu sosial. Metode penelitian yang cocok untuk ilmu sosial adalah
metode yang bersifat interpretatif, yang lazim disebut verstehen. Karena
perbedaan prinsipiil ini, maka metode penelitian ilmu alam tidak mungkin
diberlakukan untuk ilmu sosial.38
Dalam kaca mata Hermeneutika, Konstruktivisme Kritis, dan
Sociological Jurisprudence, kegelisahan metodologis seperti di atas dapat
dimaklumi. Konsep epistemologi era posmodern yang dibawa oleh
Konstuktivisme Kritis dan Hermeneutika tidak dapat lagi menerima
keterpilahan antara subjek dan objek. Uraian tentang kedua model penalaran
ini pada Bab II telah menunjukkan kecaman mereka terhadap pandangan
demikian. Sociological Jurisprudence pun memberi koreksi yang sama,
sekalipun konsep hukumnya memang berangkat dari tradisi yang
berkembang di lingkungan keluarga common law system.
Hakikat hukum sebagai norma meletakkan suatu kewajiban (obligation)
kepada manusia (pada arah sebaliknya, juga memberikan hak). Oleh karena
itu, kewajiban adalah sebuah tindakan kemanusiaan, yaitu sebuah tindakan
yang ditujukan pada tingkah laku dari orang lain, sebuah tindakan yang
maknanya adalah bahwa orang (orang-orang) lain seharusnya bertingkah
laku tertentu.39 Peletakan kewajiban ini membutuhkan kekuasaan politik.
Dari perspektif ini, hukum adalah produk politik (arus energi). Sebagai
produk politik, ia tentu dapat dipaksakan keberlakuannya oleh alat-alat
kekuasaan publik. Sepanjang kekuasaan politik beritikad baik, maka selama
itu pula hukum dapat berjalan efektif. Namun, seperti dikatakan oleh Lord
Acton, “Power tends to corrupt,…,” bahkan penguasa politik seringkali
berupaya mendapatkan kekuasaan itu seluas-luasnya, termasuk dalam
___________________________
38 J.J.J.M. Wusiman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Jilid I: Asas-Asas (Jakarta: Lembaga Penerbit FE
UI, 1996), hlm. 29.
39 Paul Scholten, Op. Cit., hlm. 7.
396 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
menentukan arah politik hukum suatu negara. Padahal, menyambung
perkataan Lord Acton di atas, “… absolute power corrupts absolutely.”40
Oleh karena itu, pembatasan hukum hanya pada norma positif dalam
sistem perundang-undangan, dalam arti hukum sebagai produk politik dari
penguasa harus dicermati secara hati-hati. Hukum dalam pengertian ini
adalah hukum yang dogmatis. Di sisi lain, tatkala hukum sudah berbicara
tentang kewajiban bagi orang lain untuk bertingkah laku menurut pola
tertentu, maka tidak mungkin dihindari akan munculnya pertanyaan-
pertanyaan yang a-dogmatis. Itulah sebabnya, penglihatan hukum yang
hanya dari arus energi harus diimbangi dari sisi sebaliknya, yakni dari arus
informasi (nilai-nilai). Hukum dalam dimensi ini, jelas bukan lagi hukum
yang bebas nilai, yang berarti sudah keluar dari diskursus Positivisme
Hukum. Dengan mengambil konstruksi dari Ragaan V-e, maka Ragaan V-
h di bawah menunjukkan konfigurasi pemaknaan hukum dikaitkan dengan
model-model penalaran hukum yang dikenal secara klasikal.
___________________________
40 Lord Acton menulis kalimat tersebut dalam konteks membicarakan tentang “liberty”. Ia
menyatakan, “Liberty is not a means to a higher political end. It is itself the hightest political end.
…[L]iberty is the only object which benefits all alike, and provokes no sincere opposition…. The danger is
not that a particular class is unfit to govern. Every class is not unfit to govern…. Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely.” Download atas tulisan Lord Acton dapat dilihat pada Jim
Powell, “Lord Acton’s Epic Warning that “Power Corrupts, and Absolute Power Corrupts
Absolutely,” <http://www.libertystory.net/LSTHINKACTON.html>, 1 September 2003.
Ragaan V-h: Pemaknaan Hukum dan Model Penalaran
SHIDARTA — 397
Demikianlah, akhirnya dari pemaknaan hukum yang demikian majemuk
itu dapat dirangkum dalam ragaan di atas. Dalam tataran paling konkret,
terdapat pemaknaan hukum sebagai norma positif dalam sistem perundang-
undangan. Pemaknaan ini ada dalam wilayah ilmu praktis. Ilmu hukum
dogmatis (ilmu hukum positif; dogmatika hukum) mengambil kedudukan
ini. Model penalaran yang diajukan oleh ilmu hukum dogmatis ini terutama
adalah Positivisme Hukum dan Utilitarianisme. Pemahaman hukum dan
model penalarannya ditempatkan pada wilayah Selatan.
Pada tataran paling abstrak terdapat pemahaman hukum sebagai asas
kebenaran dan keadilan. Pemaknaan ini merupakan ciri dari studi filsafat
hukum, yang melahirkan model penalaran Aliran Hukum Kodrat. Uraian
dalam Bab III menunjukkan bahwa Aliran Hukum Kodrat dan Positivisme
Hukum sesungguhnya membentuk pola penalaran yang berkesinambungan.
Jika “pendulum” Aliran Hukum Kodrat bergerak di zona 45° bagian atas,
maka Positivisme Hukum bertatah di zona 45° bagian bawah (lihat Ragaan
III-i: Pola Penalaran Aliran Hukum Kodrat; dan III-j: Pola Penalaran
Positivisme Hukum). Jika Positivisme Hukum mencoba mengasingkan
moralitas dari hukum, maka sebaliknya, Aliran Hukum Kodrat berfungsi
menguji keabsahan hukum positif dari sudut moral. Kedekatan ini
membentuk suatu alur pemikiran, sehingga filsafat hukum dan ilmu hukum
dogmatis (bersama dengan teori hukum) dapat dipandang berada dalam
satu disiplin yang sama, yakni disiplin hukum.
Pada wilayah Timur, terdapat sekumpulan disiplin nonhukum, yang
terdiri dari ilmu-ilmu empiris. Karena salah satu objek telaah dari ilmu-
ilmu empiris ini adalah hukum, maka ilmu-ilmu tersebut dapat dipredikati
sebagai ilmu-ilmu empiris hukum. Setidaknya ada dua model penalaran
hukum yang dapat dimasukkan ke dalam sudut pandang eksternal disiplin
nonhukum ini, yaitu Mazhab Sejarah dan Realisme Hukum.
Pada wilayah Timur condong ke Tenggara, terdapat model penalaran
Sociological Jurisprudence yang memaknai hukum sebagai putusan hakim
in-concreto. Model penalaran ini mengambil tempat di antara disiplin hukum
dan disiplin nonhukum, tepatnya antara ilmu hukum dogmatis dan ilmu
empiris hukum. Dalam Bab III telah ditegaskan bahwa Sociological
Jurisprudence mempunyai perbedaan titik berpijak dan sudut pandang
dengan sosiologi hukum, sehingga tidak mungkin memasukkan model
penalaran ini sepenuhnya ke dalam cakupan aktivitas studi sosiologi hukum.
Sociological Jurisprudence adalah studi hukum yang menggunakan
pendekatan dari hukum ke masyarakat, sementara pendekatan sosiologi
398 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
hukum adalah sebaliknya. Di sisi lain, Sociological Jurisprudence juga tidak
dapat diklasifikasikan seratus persen ke dalam studi ilmu hukum dogmatis
karena pola penalarannya memang tidak sepenuhnya mengikuti sumber-
sumber hukum otoritatif yang diterapkan secara doktrinal-deduktif
(Positivisme Hukum) atau doktrinal-deduktif diikuti nondoktrinal-induktif
(Utilitarianisme).
Model penalaran Sociogical Jurisprudence tidak dapat menerima asumsi
bahwa hukum harus selalu berjalan di belakang fakta. Dalam perkem-
bangannya, norma hukum positif tidak lagi sekadar berfungsi sebagai sarana
tertib sosial (social order) dan sumber penyelesaian sengketa (dispute settlement),
melainkan juga sebagai instrumen perekayasaan sosial (social engineering).
Dalam fungsinya sebagai perekayasaan (pembaruan) sosial, norma hukum
tidak lagi diletakkan di belakang fakta, melainkan di depan kenyataan. Inilah
yang oleh B. Arief Sidharta, seperti telah dikutip di muka, dikatakan bahwa
hukum tidak hanya dikondisikan melainkan juga mengkondisikan
masyarakat.41
Sementara itu, gerakan kontemporer yang berpijak pada semangat
posmodernisme menyemai banyak sekali pemikiran-pemikiran baru yang
ingin keluar dari kondisi status quo dalam sistem hukum posit if itu. Gerak an
berpikir seperti Critical Legal Studies dan Feminism Jurisprudence,
menuntut perubahan-perubahan secara radikal dalam proses pembentukan
undang-undang dan penerapannya di pengadilan. Undang-undang
diharapkan memuat ketentuan affirmative action bagi pemberdayaan
masyarakat kecil atau demi keseimbangan gender. Keterangan ini adalah
sekelumit bukti bahwa pendekatan ilmu-ilmu empiris yang digunakan oleh
gerakan-gerakan berpikir ini akan terus menguat, memperkaya pola
penalaran yang biasa digunakan oleh ilmu hukum dogmatis.
Dari sisi epistemologis, keinginan untuk tidak bergantung pada pola
penalaran tertentu, memang telah mendapat aksentuasi pada era
posmodern. Keinginan untuk memberikan kewenangan lebih besar kepada
hakim dalam Realisme Hukum (yang juga dianut oleh Freirechtslehre),
misalnya, pada gilirannya tidak sekadar menyentuh kutub rasio dan empiri,
tetapi juga intuisi. Menariknya, fenomena ini mengingatkan orang pada
pola penalaran oleh “hakim-hakim” kharismatis jaman kuno. J.W. Harris
menulis tentang ini sebagai berikut:42
___________________________
41 B. Arief Sidharta, “Refleksi tentang …,” Loc. Cit., hlm. 116.
42 J.W. H ar r is, Op. Cit., hlm. 133.
SHIDARTA — 399
There is a more ancient conception of ‘intuitive’ judgeship of a judge who knows what is the
just solution for any particular case and need give no reasons. He is King Solomon, sitting
under a palm tree and doing what is right by the parties. The judgments of such a judge are
not supposed to be bound by pre-existing rules, nor yet to give rise to binding rules which
would fetter future just judges. Some adherents of the dispute theory of law have recommended
this model of judgeship for modern communities, on the ground that a ‘trained intuition’ will
produce better justice than any decision which purports to be based on legal reasons.
Apa yang dikemukakan oleh J.W. Harris tersebut tentu tidak mudah
untuk dilaksanakan, mengingat kebanyakan hakim adalah manusia biasa,
dan sangat tidak mudah mencari mereka yang memiliki daya intuisi seperti
Nabi Sulaiman. Pada sisi lain, tidak mudah pula untuk mengambil jalan
pintas dengan menukar sebagian tugas hakim ini kepada mesin (komputer)
seperti direkomendasikan oleh pengemuka artificial intelligence.43
Melalui penglihatan Hermeneutika, Konstruktivisme Kritis, dan
Sociological Jurisprudence—yang sebenarnya sudah digagas mulai dari bab-
bab sebelumnya—dapat disimak betapa kompleks dimensi epistemologi
penalaran hukum itu. Kekecewaan terhadap Positivisme Hukum dan
Utilitarianisme sebagai model penalaran dalam ilmu hukum dogmatis
sesungguhnya telah diatasi melalui kerja sama multidisipliner pada tataran
teori hukum, dan selanjutnya mendapat “penguatan” filosofis oleh filsafat
hukum pada tataran berikutnya. Munculnya berbagai tawaran model
penalaran hukum dengan konfigurasi pola-pola penalarannya masing-
masing justru memberi aksentuasi pada kekhasan penalaran hukum itu
sendiri, khususnya penalaran ilmu hukum dogmatis.
3. Aspek Aksiologis
Satu pertanyaan menggelitik dapat diajukan berkaitan dengan tinjauan
aspek aksiologis dari penalaran hukum. Pertanyaan ini berangkat dari
pemikiran sebagai berikut. Dalam hukum alam (law of nature) dikenal konsep
bahwa penyimpangan terhadapnya menunjukkan kesalahan pada hukum
alam tersebut. Sebagai contoh, apabila hukum alam menetapkan matahari
terbit di ufuk Timur dan terbenam di Barat, dan ternyata terjadi
penyimpangan, maka berarti pernyataan “hukum alam” tersebut—
meminjam istilah Karl R. Popper—telah terfalsifikasi. Jadi, bila hukum
alam dilanggar, yang salah adalah hukum alam tersebut; jika hukum positif
dilanggar, lalu siapa yang harus dipersalahkan?
___________________________
43 Mengenai artificial intelligence untuk bidang hukum baca antara lain: Stephen M. McJohn,
“Artificial Legal Intelligence,” <http:jolt.law.harvard.edu/articles/pdf/12HavJLTech241.pdf>,
25 Agustus 2003.
400 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Biasanya, secara mudah pertanyaan itu dapat dijawab dengan
menyatakan bahwa hukum alam bersifat deskriptif, sementara hukum
positif bersifat preskriptif. Hukum alam bersinggungan dengan ranah das
Sein, sedangkan hukum positif berada di ranah das Sollen.44 Namun, jawaban
yang diberikan di atas belum cukup memuaskan.
Untuk menjelaskan lebih jauh, pertama-tama harus disepakati bahwa
penalaran hukum adalah penalaran yang dilakukan manusia untuk diabdikan
kepada kemanusiaan. Semua kasus konkret yang menjadi bahan penalaran
hukum adalah kasus yang berdimensi kemanusiaan.45 Penalaran hukum
dengan demikian merupakan pergulatan kemanusiaan, dengan manusia
sebagai para subjek pelakunya. Kata “kemanusiaan” (humanity) di sini
mengandung arti yang berbeda dengan sekadar “manusia” (human being).
Kemanusiaan tidak cukup hanya berurusan dengan fisik atau psikis,
melainkan terutama mencakup harkat martabat tertinggi seorang manusia
secara utuh.
Pandangan yang meletakkan distansi antara subjek dan objek penalaran
seperti yang dilakukan oleh penalaran ilmu jaman modern, pada
kenyataannya tidak pernah diterapkan sepenuhnya dalam penalaran hukum.
Di antara semua model penalaran yang telah ditampilkan pada Bab III,
terlihat Positivisme Hukum adalah aliran yang paling banyak terpengaruh
oleh arus besar (mainstream) pola penalaran ilmu pengetahuan jaman
modern. Kendati demikian, dalam Positivisme Hukum, dimensi
kemanusiaan ini tetap tidak dapat ditiadakan begitu saja.
Norma-norma hukum positif, sepanjang masa selalu memberi porsi
yang sangat tinggi terhadap perlindungan atas hak-hak “terdakwa” atau
“tergugat.” Dalam Positivisme Hukum perlindungan ini tetap mendapat
porsi yang besar. “Lebih baik melepaskan sepuluh orang yang bersalah
daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah,” adalah salah satu
jargon yang paling sering dikutip untuk membuktikan sisi kemanusiaan
dari Positivisme Hukum.
Larangan retroaktif dan analogi sebagai unsur penting dalam asas
legalitas, yang juga menjadi ciri menonjol dalam Positivisme Hukum,
ditujukan untuk melindungi kemanusiaan. Ahli hukum pidana Jerman,
___________________________
44 Lihat I. Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W, Wajah Baru Etika dan Agama (Yogyakarta:
Kanisius, 2000), hlm. 107.
45 Tidak mengherankan jika logika dan bahasa berperan penting dalam penalaran hukum.
Keduanya termasuk dalam ilmu-ilmu humaniora (ilmu yang mengajak manusia [humanus]
menjadi lebih manusiawi [humanior]) dan dianggap bagian dari the seven liberal arts.
SHIDARTA — 401
Anselm von Feuerbach (1775–1833), menemukan asas legalitas ini dan
menuliskannya dalam bahasa Latin menjadi “nullum crimen, nulla poena sine
praevia lege,” yang sebenarnya terdiri dari tiga susunan:46
a) nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut
undang-undang.
b) nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
c) nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana
menurut undang-undang.
Asas ini memuat dua fungsi. Pertama, fungsi melindungi rakyat dari
kemungkinan pelaksanaan kekuasaan tanpa batas dari pemerintah. Kedua,
fungsi instrumental bahwa tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut.
Menurut D. Schaffmeister et al., asas legalitas ada hubungannya dengan
fungsi instrumental dari undang-undang pidana. Paham untuk
memberikan fungsi instrumental ini diikuti oleh beberapa negara (seperti
Jerman, Austria, Spanyol, dan Italia), tetapi tidak oleh Perancis, Belgia,
dan Belanda. Fungsi kedua ini memberi paksaan psikologis (bagi
penguasa) untuk menerapkan hukum tanpa pandang bulu.47 Tampaknya
Indonesia juga mengikuti jejak Belanda untuk tidak melekatkan fungsi
instrumental ini, sebagaimana tampak dari dianutnya asas oportunitas
dalam sistem hukum Indonesia.
Dianutnya asas oportunitas berangkat dari latar belakang pemikiran
bahwa perlindungan terhadap rakyat (fungsi pertama asas legalitas) tidak
boleh sampai mengikat pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi
perjalanan tugas penuntutan pidana yang efektif. Harus ada perimbangan
kepentingan dan hal ini berada di area politik hukum kriminal (pidana).
Khusus untuk kondisi di Belanda, Schaffmeister menambahkan, bahwa
struktur sosial ekonomis masyarakat Belanda sekarang ini sangat berbeda
dengan struktur sosial ekonomis pada waktu asas legalitas diperkenankan
sebagai reaksi terhadap ketidakpastian hukum dan kesewenang-wenangan
dalam Abad ke-18. Kepentingan-kepentingan tersebut kini menjadi jauh
lebih kompleks.48
Dari aspek aksiologis, penjelasan tentang asas legalitas tersebut kembali
memberi penegasan bahwa ilmu hukum dogmatis dengan model penalaran
___________________________
46 D. Schaffmeister, N. Keijzer, & E. P.H. Sutorius, Hukum Pidana, terjemahan J.E. Sahetapy, ed.
(Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 5–6.
47 Ibid, hlm. 5.
48 Ibid., hlm. 6
402 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Positivisme Hukum dan Utilitarianisme, sungguh-sungguh tidak bebas nilai.
Sebagai ilmu praktis, ilmu hukum dogmatis bersinggungan dengan
kenyataan-kenyataan sosial yang terus-menerus memberi evaluasi
kepadanya. Evaluasi ini dituangkan dengan logika dan bahasa tertentu, yang
kemudian pada akhirnya mengalir kembali ke ilmu hukum (lihat Ragaan
II-a: Hubungan Fungsional Antar-Ilmu).
Aspek aksiologis dari penalaran hukum menurut kaca mata ilmu hukum
dogmatis adalah deontologis-etis (model penalaran Positivisme Hukum)
atau deontologis-etis untuk kemudian diikuti oleh teleologisme-etis (model
penalaran Utilitarianisme). Sekali lagi, karena konsep Positivisme Hukum
dan Utilitarianisme ini dekat dengan Rasionalisme Kritis, kiranya ketiga
model penalaran ini perlu diperbandingkan secara khusus. Perbandingan
ini sekaligus berguna untuk menuntun kita pada jawaban terhadap
pertanyaan pada awal ulasan tentang aspek aksiologis dalam penalaran
hukum ini, yaitu: bila hukum alam dilanggar, yang salah adalah hukum
alam tersebut; jika hukum positif dilanggar, lalu siapa yang harus
dipersalahkan?
Rasionalisme Kritis memandang teori hanya pendugaan atau pengiraan,
yang berarti teori tidak pernah mutlak benar. Positivisme Hukum tampaknya
berseberangan dengan pandangan ini. Untuk konteks ini, Positivisme
Hukum ternyata lebih mendekati Positivisme Logis yang benar-benar
memisahkan secara tegas antara subjek dan objek. Sementara itu, konsep
falsifikasi dalam Rasionalisme Kritis, sekalipun memiliki perbedaan prinsip,
secara teknis dapat dianalogikan dengan pola penalaran nondoktrinal-
induktif dari Utilitarianisme.
Norma hukum memuat asumsi-asumsi tentang “kebenaran.” Asumsi
inilah yang memberi legitimasi bahwa norma positif dalam sistem
perundang-undangan itu secara moralitas memenuhi syarat untuk
dilaksanakan. Dalam hal ini, dimensi logika dan etika menjadi satu.
Kebenaran (logis) adalah juga kebaikan (etis). Hal inilah yang dicoba untuk
diupayakan terus-menerus oleh ilmu hukum dogmatis. Tentu saja, semua
itu diimbuhi dengan dalih demi kepastian hukum. Dengan model penalaran
Positivisme Hukum yang diembannya (khususnya pada tradisi pertama dan
kedua Positivisme Hukum menurut Meuwissen), ilmu hukum dogmatis
meyakini bahwa kepastian hukum tidak harus mengalah kepada tujuan
hukum apapun juga.
Demikian kuat keinginan mencapai tujuan kepastian hukum tersebut,
tidak mengherankan jika sejumlah rumusan norma yang oleh logika pada
SHIDARTA — 403
umumnya dianggap sebagai kesesatan penalaran (fallacy), oleh Positivisme
Hukum diterima secara penuh sebagai bagian dari “kebenaran” dan dengan
sendirinya adalah “logis.” Ketentuan Pasal 2 dan Pasal 507 Burgerlijk
Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dapat dijadikan contoh.
Pasal 2 dari peraturan tersebut menyatakan, “Anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana
juga kepentingan si anak menghendakinya.” Pasal 507: “Karena
peruntukannya, termasuklah dalam paham kebendaan tak bergerak
…kawanan burung merpati; sarang burung yang dapat dimakan, selama
belum dipetik; ikan yang ada dalam kolam.”
Dalam pekerjaan hakim di pengadilan, “kesesatan penalaran” ironisnya
sering dijadikan alasan-alasan untuk keperluan penuntutan dan penjatuhan
pidana. Sebagai contoh dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel V-1:
Contoh Rumusan “Kesesatan Penalaran” dalam Putusan Hakim
Rumusan-rumusan seperti dicontohkan di atas, oleh ilmu hukum
dogmatis dapat diberikan argumentasi tersendiri. Namun, sebenarnya aspek
aksiologis penalaran hukum tidak cukup dengan argumentasi yang logis
semata. Ilmu hukum dogmatis adalah ilmu praktis yang dekat dengan
kenyataan-kenyataan sosial. Dengan demikian, penalaran hukum seharusnya
tidak mengejar syarat logis (di mata ilmu hukum dogmatis) semata-mata,
melainkan juga harus sarat nilai (worth pursuing). Seperti kata Zelermyer,
404 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
“To be reasonable does not necessarily mean to be logical. Logic can lead to injustice,
hence we must guard against its abusive use.”49
Untuk dapat membantu ilmu hukum dogmatis memperkaya dimensi
aksiologisnya, sehingga setiap putusan atas kasus hukum konkret
mendapat respons positif dari para pihak yang bersengketa dan
masyarakat pada umumnya, maka diperlukan kerja sama multidisipliner.
Selain pendekatan kepastian hukum (deontologismeetis), putusan tersebut
wajib mempertimbangkan tujuan keadilan (idealismeetis) dan
kemanfaatannya (teleologisme-etis). Penerapan hukum yang mengejar
aspek aksiologis kepastian semata, hanya akan mendatangkan penderitaan,
kecuali ia diimbangi dengan nilai-nilai moral yang kuat. Suatu pepatah
Latin kuno mengingatkan pesan moral ini: “Summun ius, summa injuria;
summa lex, summa crux,”50
Dari uraian di atas, tidaklah sepenuhnya benar untuk menyatakan bahwa
jika ada pelanggaran terhadap norma hukum positif, maka yang salah adalah
manusianya (si pelanggar). Pertimbangan kemanusiaan, bahkan dalam
tataran ilmu hukum dogmatis sekalipun, tidak serta merta tersimpulkan
demikian. Asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straaf zonder schuld) telah
diadopsi sejak lama dalam tataran hukum positif pada semua sistem hukum.
Oleh karena ilmu hukum dogmatis tidak menganut prinsip kausalitas, dan
telah menggantikannya dengan asas imputasi, maka dengan sendirinya
jawaban terhadap pertanyaan di muka menjadi sangat relatif. Artinya, yang
dapat dipersalahkan itu bisa saja manusia si pelaku pelanggaran hukum
tersebut (ini adalah jawaban umum dalam kaca mata ilmu hukum dogmatis)
atau justru bukan siapapun. Untuk hal yang disebutkan terakhir ini, misalnya
karena yang bersangkutan dinilai tidak mampu bertanggung jawab atau
karena negara menerapkan asas oportunitas.
Untuk dapat menetapkan secara tepat aspek aksiologis dari pengembanan
hukum, khususnya dalam pengembanan hukum praktis oleh para hakim,
kinerja ilmu hukum dogmatis harus dibantu oleh teori hukum. Pada tataran
inilah, ilmu-ilmu formal dan empiris dapat memberikan analisis, sehingga
aktivitas penalaran hukum tidak lagi diserahkan kepada ilmu hukum dogmatis
semata secara monodisipliner. Pada gilirannya, aktivitas penalaran inipun harus
___________________________
49 William Zelermyer, Legal Reasoning: the Evolutionary Process of Law (Englewood Cliffs: Prentice-
Hall, 1960), hlm. 4.
50 Artinya, “Extreme law (rigor of law) is the greatest injury; strict law is great punishment. That is, insistence
upon the full measure of a man’s strict legal rights may work the greatest injury to others, unless equity can
aid.” Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, ed. 6 (St. Paul: West Publishing, 1990),
hlm. 1436.
SHIDARTA — 405
dijamah oleh tataran filsafat hukum yang memberi wawasan holistik, integral,
radikal, dan reflektif-kritis terhadap putusan yang dihasilkan.
Sebagai ilmu praktis, ilmu hukum dogmatis memiliki nuansa seni dan
mensyaratkan kiat (ars) yang tinggi. Membatasi aktivitas penalaran hukum
hanya dalam koridor ilmu hukum dogmatis memang mampu mempertajam
kekhasan karakteristik penalaran hukum (dalam arti ilmu hukum dogmatis),
namun dalam praktiknya, karakteristik itu tidak tepat untuk direkomen-
dasikan sebagai satu-satunya pendekatan. Rekomendasi itu pada akhirnya
berujung kepada penerapan model penalaran Positivisme Hukum atau
Utilitarianisme, yang justru membatasi sifat praktis (seni dan kiat) dari ilmu
hukum itu sendiri.
C. MODEL PENALARAN UNTUK KONTEKS KEINDONESIAAN DEWASA INI
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis membawa implikasi
metodologis bahwa tujuan interpretasi, yang salah satunya adalah mengubah
tipe pemahaman tekstual menjadi sebuah pemahaman konstekstual. Bahasa
akan memainkan peran konstitutif terhadap dunia (worldview). Menurut
Michael T. Gibbons, dalam hal ini bahasa dianggap mendasari (constituting)
dunia dan hubungan-hubungan sosial-politik yang terbangun di atasnya.51
Demikianlah, betapa penting arti bahasa dan penafsiran itu, terlebih-
lebih untuk disiplin hukum. Sebagai contoh, tatkala topik pembicaraan
diarahkan kepada model penalaran apa yang sesuai (ideal) untuk konteks
keindonesiaan dewasa ini, maka pertama-tama orang biasanya akan mencari
hasil-hasil studi tentang topik ini. Kesimpulan-kesimpulan dari hasil studi
tersebut adalah produk interpretasi dengan mengaitkan pemahaman tekstual
(fenomena) dengan konteks keindonesiaan tersebut.
Mengingat pengembanan hukum dalam konteks keindonesiaan ini
sangat dinamis, maka hasil pemahaman konstektual—yang setelah
dipublikasikan kemudian menjelma sebagai pemahaman tekstual kembali—
perlu terus menerus direinterpretasi oleh sebanyak mungkin penstudi
hukum. Hanya dengan cara demikian, dapat diperoleh pemahaman
kontekstual yang up-to-date melalui wacana intersubjektif.
Terkait dengan studi tentang kualitas pengembanan hukum (adanya
hukum dan berlakunya hukum) di Indonesia, kesimpulan yang muncul
umumnya selalu menunjukkan nuansa ketidakpuasan. Menurut B. Arief
___________________________
51 Michael T. Gibbons, ed., Tafsir Politik: Telaah Hermeneutis Wacana Sosial-Politik Kontemporer,
terjemahan Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. xxviii.
406 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
Sidharta, perasaan tidak puas berkenaan dengan pengembanan hukum di
Indonesia sudah terdengar pada permulaan tahun 1960-an. Salah satu di
antaranya disuarakan oleh Soediman Kartohadiprodjo.
Soediman berkeyakinan bahwa keberadaan hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan dan ketertiban masyarakat. Unsur keadilan yang
meresapi keseluruhan bidang hukum berwujud penilaian manusia terhadap
perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain di dalam
pergaulan hidup. Karena itu, penilaian tentang adil-tidak adilnya perilaku
itu akan ditentukan dalam pergaulan hidup, yang merupakan titik tolak
dan dengan demikian menjadi inti pandangan hidup yang dianut.52 Apa
yang disampaikan oleh Soediman Kartohadiprodjo memperkuat
pemahaman bahwa dalam pengembanan hukum, nilai-nilai kebudayaan
selalu memberi konteks ruang dan tempat bagi kegiatan penalaran hukum.
Permasalahan hukum yang muncul menuntut pemecahan dari para
pengemban hukum menurut konteks tersebut. Dengan perkataan lain,
penalaran hukum harus memperhatikan dimensi kekinian (waktu) dan
keterdisinian (ruang) yang melingkupi permasalahan tersebut. Oleh karena
itu, model penalaran hukum dapat saja berubah dari waktu ke waktu
bergantung pada kebutuhan kontekstual. Hal-hal demikian seyogianya
dicermati oleh para penstudi hukum, khususnya mereka yang bekerja di
lingkungan pendidikan tinggi hukum.
Sayangnya, menurut pemantauan Soediman Kartohadiprodjo, apa yang
diajarkan kepada para [calon] ahli hukum di lembaga pendidikan tinggi
hukum Indonesia masih belum beranjak dari cara (baca: model) berpikir
Barat. Dalam pandangan Soediman Kartohadiprdojo, cara berpikir yuridis
Belanda itu dalam kenyataannya ternyata terbuka dan membenarkan stelsel
(tatanan) yang disebut stelsel kolonial atau stelsel penjajahan, yang jelas
dirasakan sebagai stelsel yang tidak ad il.53 Se puluh tahun kemudian, Mochtar
Kusumaatmadja mengungkapkan hal yang senada. Menurutnya, “No basic
changes since Indonesia has become independent so the law schools continue to proceed
according to a pattern laid down some forty-odd years ago.” Pendidikan hukum
yang demikian itu menghasilkan ahli hukum yang “ill equipped for the formidable
task confronting him in the developing society.” Padahal ditegaskan Mochar, “The
lawyer in a developing society needs to know the interaction between law and other
___________________________
52 Soediman Kartohadiprodjo, “Penglihatan Manusia tentang tempat Individu dalam Pergaulan
Hidup,” Orasi Dies Natalis Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1962 dikutip oleh B.
Arief Sidharta, “Refleksi tentang ...,” Op. Cit., hlm. 172.
53 B. Arief Sidharta, Ibid., hlm. 172.
SHIDARTA — 407
factors of development, mainly social and economic, implying a functional analysis of
the legal system as a whole and of particular social norms and institutions.” Sementara
pendidikan hukum yang diwarisi dari jaman kolonial itu, “... emphasis is laid
on the analytical study of existing legislation and the decisions of high courts and
administrative tribunals.”54
Penelitian terhadap pendidikan hukum Indonesia yang dilakukan
dengan dana dari Bank Dunia setelah berakhirnya rezim Orde Baru
mengindikasikan kesimpulan yang ternyata belum beranjak dari sinyalemen
Soediman Kartohadiprodjo dan Mochtar Kusumaatmadja beberapa puluh
tahun yang lalu. Dalam laporan penelitiannya dikatakan bahwa dari
pendidikan demikian:55
Akibatnya, mahasiswa hanya mempunyai pengertian yang abstrak mengenai
apa sebetulnya hukum, dan ke arah mana keadilan itu seharusnya. Mata
kuliah lebih sering diajarkan dengan cara yang membosankan dan tidak
menjelaskan interaksi sosial di dalam masyarakat, serta friksi nilai sosial,
ekonomi, politik, dan filosofi yang terkandung dalam peraturan.
Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa dewasa ini terdapat kebutuhan
yang sangat mendesak terhadap suatu model penalaran hukum yang lebih
menjawab kebutuhan kontekstual keindonesiaan. Model ini dibutuhkan
terutama untuk kepentingan pengembanan hukum, baik praktis maupun
teoretis. Pada gilirannya, pengembanan hukum inipun akan memberi
pengaruh fundamental pada reformasi sistem pendidikan tinggi hukum di
Indonesia.
Kata “model penalaran hukum” dalam bab ini digunakan secara
konsisten sama seperti bab-bab sebelumnya, yaitu mengacu kepada
kerangka orientasi berpikir yuridis. Model penalaran hukum ini, dalam
terminologi yang lebih umum sebagaimana terdapat dalam diskursus filsafat
hukum, biasa pula disebut sebagai aliran filsafat hukum.
Selanjutnya, kata “sesuai” di sini dianggap perlu ditambahkan dengan
kata “ideal” dalam tanda kurung mengingat tidak semua yang dianggap
sesuai merupakan sesuatu yang ideal. Kata “ideal” juga mengandung makna
bahwa pencarian model ini dilakukan lebih banyak dengan pendekatan
filsafati sebagaimana disebutkan dalam metode penelitian. Secara leksikal
kata “ideal” berarti “Satisfying one’s idea of what is perfect.” A.S. Hornby
___________________________
54 Ibid., 174-175 mengutip Mochtar Kusumaatmadja, “Law and Development: the Need for Reform
of Legal Education in Developing Countries,” Majalah Padjajaran, No. 4/1971, hlm. 10.
55 Kantor Hukum ABNR-MKK, Reformasi Hukum di Indonesia, cet. 4 (Jakarta: Cyber Consult,
2000), hlm. 50-51.
408 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
menambahkan makna tadi dengan keterangan, “...(contrasted with real) existing
only in the imagination or as an idea; not likely to be achieved.”56 Keterangan yang
disebut terakhir ini perlu diberi catatan karena apa yang disebut ideal di
sini, sekalipun benar sebagian masih berada dalam tataran imajinatif, tidak
berarti tidak mungkin dicapai sama sekali. Imajinatif tidak berarti utopis.
Sepanjang syarat-syarat yang ditetapkan dapat dipenuhi (cateris paribus),
model penalaran ideal ini dapat diwujudkan sebagai tawaran “mainstream”
kerangka orientasi berpikir yuridis untuk pengembanan hukum dalam
konteks keindonesiaan.
Kata “konteks keindonesiaan” di atas harus dibaca dalam dimensi
waktu dewasa ini. Momentum “dewasa ini” yang dimaksud terhitung sejak
pemerintahan Orde Baru secara formal dipandang berakhir (saat Soeharto
menyatakan diri berhenti dari kursi kepresidenan, Mei 1998). Momentum
ini memberi efek yang menggerakkan seluruh pola hubungan sibernetis
sistem kehidupan, baik dari sisi ekonomi, politik, hukum, maupun budaya.
Efek yang dimaksud masih terus bergulir sampai sekarang, sementara
arahnya masih belum terlalu jelas untuk dapat diprediksi.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian Bab I, kata “konteks” selalu
mengacu pada situasi yang berhubungan dengan kejadian tertentu. Salah
satu contoh dari kejadian-kejadian tertentu (yang sangat mengkhawatirkan)
itu adalah amandemen demi amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
yang sayangnya terkesan dilakukan tanpa memperlihatkan kerangka orientasi
berpikir yuridis yang jelas. Apa yang diperingatkan oleh Gustav Radbruch,
“Alle groâen politischen Wandlungen waren von der Rechtsphilosophie vorbereitet oder
begleitet. Am anfang stand die Rechtsphilosophie, am Ende die Revolution,”57 seakan-
akan (atau benar-benar telah) dilupakan atau bahkan tidak disadari sama
sekali.
Situasi “dewasa ini” seperti dimaksud dalam uraian bab ini
menunjukkan dimensi kekinian. Artinya, model penalaran yang dibicarakan
adalah model yang sesuai (ideal) untuk konteks kekinian itu. Model ini
dapat saja ditinggalkan di kemudian hari apabila setelah ditelaah ulang
ternyata tidak lagi sesuai dengan konteks keindonesiaan itu. Perjalanan
historis sistem hukum di Indonesia (Tabel IV-3) menunjukkan bahwa
___________________________
56 A.S. Hornby et al., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, ed. 2 (London: Oxford
University Press, 1973), hlm. 486.
57 Gustav Radbruch, Rechtsphilosophie (Stuttgart: K.F. Koehler Verlag, 1973), hlm. 96. Secara bebas
kalimat itu berarti, “Semua perubahan politik dipersiapkan atau dikawal oleh filsafat hukum.
Bermula dari filsafat hukum, berakhir pada revolusi.”
SHIDARTA — 409
pencarian model-model tersebut secara sadar atau tidak, terus menyertai
sebagai “mainstream” kerangka orientasi berpikir yuridis dalam pengembanan
hukum di Indonesia. Namun, saat ini “formasi” dari model penalaran
hukum itu hendak ditata ulang; ingin di-”reformasi”. Reformasi model
penalaran hukum itu pada gilirannya memang menjadi bagian dari reformasi
[sistem] hukum itu sendiri. Kondisi dewasa ini adalah momentum yang
sangat tepat bagi para penstudi hukum untuk melakukan kajian ulang
terhadap model penalaran hukum ini. Apa yang dikeluhkan oleh Soediman
Kartohadiprodjo dan Mochtar Kusumaatamadja puluhan tahun lalu, dengan
demikian, seyogianya teraksentuasi saat ini.
Di sisi lain, memang disadari bahwa tuntutan reformasi itu sendiri
menjadi lebih berat karena ada urgensi untuk juga menerjemahkan apa
yang dimaksud dengan “Indonesia” itu. Ketika seseorang berbicara tentang
“hukum Indonesia” atau “kepentingan hukum Indonesia” maka mungkin
sekali yang dimaksudkannya bukan lagi sistem yang diabdikan untuk satu
dimensi kewilayahan (geografis) negara di salah satu kawasan di dunia
sebagaimana dipersepsikan oleh studi ilmu hukum dogmatis. Pengembanan
hukum Indonesia adalah pengembanan yang kompleks, yang di dalamnya
terkait banyak nilai dan kepentingan yang harus dipertimbangkan. Sekadar
sebagai contoh sederhana untuk menggambarkan kompleksitas yang
dimaksud adalah pembentukan undang-undang atas desakan negara atau
lembaga asing tertentu, yang tentu saja bermuara pada kepentingan
ekstranasional Indonesia.58 Artinya, dalam wacana dewasa ini (dapat saja
fenomena ini disebut sebagai imbas dari globalisasi dan posmodern), kata
“Indonesia” itu telah terabstraksi. Abstraksi inilah yang menyebabkan kata
tersebut dalam konteks ini, perlu dieja menjadi “keindonesiaan.”
Uraian tentang model penalaran hukum ini juga menampilkan tiga
aspek bahasan, yaitu aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Aspek
pertama lebih terkait dengan segi pemaknaan hakikat hukum, sementara
aspek kedua lebih menitikberatkan pada uraian tentang pola-pola penalaran.
Aspek aksiologis mengacu pada uraian tentang nilai-nilai yang dituju dalam
kegiatan penalaran hukum dalam konteks keindonesiaan itu.
___________________________
58 Contoh dari desakan ini adalah dicantumkannya sejumlah komitmen di dalam Letter of Intent
(LoI) yang ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF). LoI
pertama ditandatangani tanggal 31Oktober 1997 dan sejak itu terus diperbarui beberapa kali.
Peraturan yang diminta untuk dibuat atau direvisi antara lain adalah UU Bank Sentral, UU
Pinjaman/Utang Publik, UU Utang Asing (Sovereign Debt Securities), sejumlah peraturan
perpajakan, dan UU Kepailitan. Di samping itu ada keharusan pemerintah untuk mencabut
subsidi BBM, privatisasi BUMN, pembentukan struktur kelembagaan baru (Lembaga Pengawas
Sektor Keuangan, Komisi Antikorupsi, dll.).
410 — HUKUM PENALARAN DAN PENALARAN HUKUM
1. Aspek Ontologis
Bab IV di muka telah membicarakan tentang sistem hukum yang
mendapat arus informasi dari sistem budaya, sementara dari arah sebaliknya
mengalir arus energi dari sistem politik (Ragaan IV-a: Hubungan Sibernetis
Sistem Hukum dengan Sistem Lainnya). Hubungan di atas, sekali lagi,
menunjukkan bahwa hukum memang tampil sebagai fenomena yang
multiaspek, multidimensional, dan multifaset. Kompleksitas ini
menghasilkan pemaknaan hukum yang berbeda-beda dengan berbagai latar
belakang masing-masing, yang semuanya telah dipaparkan dalam bab-bab
sebelumnya.
Bagi bangsa Indonesia, pemaknaan hukum pun menunjukkan sisi yang
sama kompleksnya. Pluralisme hukum di Indonesia adalah fenomena paling
kasat mata dari kompleksitas itu. Di sana sedikitnya terdapat subsistem
hukum adat, Islam, dan Barat, menyertai keberadaan sistem hukum nasional
yang tengah dibangun. Masing-masing komponen yang membentuk mozaik
dalam sistem hukum nasional itu memiliki karakteristik tersendiri. Sutan
Takdir Alisjahbana, seperti telah diuraikan dalam Bab IV, telah
memperlihatkan masing-masing kelebihan/kekurangan dari komponen tadi
dari sudut nilai-nilai yang diembannya.
Berdasarkan penjelasan Alisjahbana itu, ditambah dengan uraian
tentang perjalanan historis sistem hukum di Indonesia (Tabel IV-3), dapat
disebutkan sejumlah model penalaran yang pernah menjadi “mainstream”
kerangka orientasi berpikir yuridis di Indonesia.
Pertama, model penalaran Mazhab Sejarah, yang diwakili selama periode
Indonesia asli (menurut istilah yang diberikan oleh Alisjahbana), yang
kemudian ingin diaktualisasikan kembali oleh pendukung hukum adat
setelah pemerintah kolonial Belanda mengintroduksi politik etis (periode
1890–1942). Secara sporadis, kerangka orientasi berpikir yuridis versi
Mazhab Sejarah ini muncul dalam sejumlah episode pascakemerdekaan,
antara lain masa Demokrasi Terpimpin yang mencanangkan politik berdikari
dan anti-asing (baca: Barat). Hukum adat digali kembali dan sempat
dijadikan acuan, misalnya dalam lapangan hukum agraria (diakomodasi
dalam UUPA Tahun 1960). Sekalipun demikian, ambigu dalam arah
pengembanan hukum pada masa itu membuat model penalaran ini tidak
menonjol. Hal ini dapat dimengerti karena pembangunan sistem hukum
sendiri ditempatkan sebagai subordinasi pembangunan bidang politik (demi
revolusi yang belum selesai). Semangat sentralistis pada jaman Orde Baru
juga menghasilkan kondisi yang sama terhadap model penalaran ini. Kajian-
SHIDARTA — 411
kajian antropologi hukum sebagai tulang punggung pengembangan model
penalaran Mazhab Sejarah tidak banyak dilakukan lagi, sekalipun di lembaga-
lembaga pendidikan tinggi hukum pelajaran tentang hukum adat masih
tetap diberikan dengan menggunakan bahan-bahan yang tidak lagi mutakhir
(out-of-date).
Kedua, model penalaran Aliran Hukum Kodrat. Kerangka orientasi
berpikir yuridis ini biasanya muncul secara terbatas dalam ranah-ranah
hukum yang nonnetral, seperti perkawinan, waris, zakat, dan wakaf.
Pengadilan di lingkungan peradilan agama tetap dibiarkan eksis dan para
hakimnya bekerja terutama dengan berpegang pada sumber-sumber
otoritatif dalam agama Islam. Dewasa ini, acuan agama sebagai model
penalaran hukum makin signifikan setelah daerah-daerah diberi kewenangan
lebih besar (otonomi daerah). Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
misalnya, diberi status khusus dengan memberlakukan syariah Islam bagi
masyarakat Muslim di sana, sesuatu yang belum pernah dilakukan pada
periode pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Lembaga-lembaga agama
yang berskala lokal diberi peran lebih besar untuk membuat kebijakan publik
(politik hukum) bagi daerah setempat.
Setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kedudukan hukum Islam
juga menguat memasuki ranah-ranah hukum netral yang sejak lama telah
terunifikasi. Contoh paling penting mengenai hal ini adalah dimasukkannya
delik-delik kesusilaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, yang diakui oleh sejumlah pihak sangat kuat bersendikan hukum
Islam.
Ketiga, model penalaran Positivisme Hukum, yang dapat dikatakan
mendominasi perjalanan sejarah sistem hukum di Indonesia terhitung sejak
ada kebijakan “de bewuste rechtspolitiek” dicanangkan oleh pemerintah kolonial
Belanda (1840). Selama pemerintahan rezim Orde Lama dan Orde Baru,
model penalaran ini diteruskan. Ulasan tentang hal ini telah diberikan pada
Bab IV, termasuk variasi model ini ke bentuk lain yang disebut
Utilitarianisme.
Di tengah-tengah periode pemerintahan Orde Baru, diintroduksikan
satu “model penalaran hukum” baru yang disebut Teori Hukum
Pembangunan. Teori ini dapat dianggap sebagai tawaran alternatif bar