Content uploaded by Mashita Fandia
Author content
All content in this area was uploaded by Mashita Fandia on Aug 12, 2021
Content may be subject to copyright.
PENULIS:
ANDI FAISAL, DKK.
PENERBIT PT KANISIUS
Daftar Isi
Ucapan Terima Kasih ......................................................................................... iii
Dinamika dan Politik Spasial: Sebuah Pengantar
Ratna Noviani & Wening Udasmoro .................................................... iv
Daftar Isi ........................................................................................................................ xxv
BAGIAN I
RUANG DALAM BINGKAI KONSUMERISME .................................... 1
1. MenyewaMeja,MengimpikanIlusi:PraktikProduksi
RuangSosialdalamCoworking Space
Syifanie ...................................................................................................................... 2
2. McDonalisasiRuangPerpustakaan
Endang Fatmawati ............................................................................................. 31
3. Politik Konsumsi Ruang Internet Cafe diYogyakarta
Tangguh Okta Wibowo ................................................................................... 58
BAGIAN II
SPASIALITAS DALAM KONSTRUKSI MEDIA ....................................... 83
4. PerpustakaansebagaiRuangHeterotopia
dalamFilmIndonesia
Nina Mayesti .......................................................................................................... 84
5. GenderisasiRuangdalamAnime Kimi No Na Wa (2016)
Khairil Anwar ......................................................................................................... 107
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
xxvi
6. MencariPrivasi:RuangPersonaldiMediaSosial
Mashita Fandia ..................................................................................................... 139
7. GamedanRuangFantasi(Hetero)Seksual
Rinta Arina Manasikana .................................................................................. 165
BAGIAN III
STRATEGI DAN NEGOSIASI RUANG POLITIK .................................. 193
8. NegosiasiMaknaRuangPerpustakaan
Purwani Istiana .................................................................................................... 194
9. WarungKopisebagaiRuangPublikdiMakassar
Andi Faisal ............................................................................................................... 211
10. Berebut JalananKota:StrategidanNegosiasi
SeniJalanandiKotaYogyakarta
Musyaa ................................................................................................................... 237
11. MonumenIngatandanObsesiPerjalanan
SeniRupaIndonesia:KajianRuangpada
PameranTetapGaleriNasionalIndonesia
Elok Santi Jesica ................................................................................................... 267
12.ProduksiRuangSosialUntukGeostrategiWilayah
diPerbatasan:StudiKasusdiPerbatasanMaritim
Indonesia-Singapura(Batam)
T. Ken Darmastono ............................................................................................. 288
Indeks .............................................................................................................................. 313
Tentang Penulis ...................................................................................................... 314
Tentang Editor .......................................................................................................... 323
BAGIAN II
__________________________
SPASIALITAS DALAM
KONSTRUKSI MEDIA
Mencari Privasi: Ruang Personal
di Media Sosial
Mashita Fandia
Setelah membuka mata pada pagi hari, hal pertama yang
dilakukan Desti10 adalah mengecek notikasi yang
masuk dalam gawainya. Ia mengecek aplikasi WhatsApp,
membaca pesan-pesan yang masuk, membalas sebagian besar
pesan tersebut dan memilih untuk mengabaikan beberapa
pesan lainnya, terutama yang berkaitan dengan perkuliahan.
Setelah menutup WhatsApp, ia beralih pada aplikasi Twitter,
media sosial yang paling sering ia akses. Ia melakukan
scrolling pada laman linimasa akun Twitter-nya, menyimak
perbincangan yang terjadi semalaman ketika ia tertidur.
Semalam, ia sempat mengunggah cuitan di Twitter mengenai
komentarnyaterhadappandemiCovid-19yangmelandadunia,
termasuk Indonesia, negara di mana ia tinggal saat ini. Desti
memperhatikan berapa banyak like dan retweet yang didapat-
kan oleh cuitannya tersebut. Setelah itu, ia membuka aplikasi
Instagram,mediasosialkeduayangpalingseringiaakses.
Di Instagram, ia melihat twit Jerinx SID yang heboh
diunggah-ulang (seseorang melakukan tangkapan layar atau
screenshot atas cuitan Jerinx SID di Twitter, kemudian meng-
unggahnya ke dalam Instagram). Di situ ramai diperbincang-
10 Bukan nama sebenarnya.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
140
kan cuitan Jerinx SID yang berkomentar mengenai pandemi
Covid-19danWHO.Destimembacanyasekilas,lalumerinding
sendirimemikirkanbagaimanapikirankitayangkitatuangkan
ke media sosial dapat dengan mudahnya disebarluaskan. Ia
bertanya-tanya apakah Jerinx SID dan siapa pun itu pernah
memikirkan bahwa unggahan mereka di satu kanal akan
menjadi viral di kanal lainnya juga. Desti menjadi was-was.
Bagaimanapun ia memasang setting‘Close Friends’diInstagram,
atau bagaimanapun ia menyetel akun Twitter-nya sebagai akun
privat (private account),entahbagaimanacaranyaunggahannya
tetap akan bisa dilihat oleh dunia. Ia memberikan tanda love
padabeberapaunggahanyangiatemukanpadalinimasanya.Ia
kemudian membuka aplikasi Spotify, memilih salah satu lagu
milik Taylor Swift berjudul Cardigan, kemudian membaginya
melaluiturInstagram Story.
Padaeramedia sosial sekarangini,Destiadalahkita. Kita
dapat dengan mudahnya terkoneksi satu sama lain melalui
media sosial. Di tengah begitu banyaknya situs dan aplikasi
mediasosialyanghadirsebagai‘anakkandung’dariteknologi
internet ini, manusia seolah melakukan multiplikasi atau
‘membelahdiri’ mereka ke dalam berbagaikanal media sosial
yang ada. Kita seolah terbiasa ‘membagi’ diri kita. Mulai dari
Facebook, Twitter, Youtube, WhatsApp, LINE, Instagram,
Tik Tok, setiap media sosial hadir dengan karakter dan tur
masing-masing yang mereka unggulkan. Teknologi media
sosial tersebut memungkinkan setiap orang memiliki satu
ataubahkanbanyakakununtuksetiapjenismediasosialyang
ada. Sangat jarang ditemui seorang digital native yang hanya
memilikiakunFacebooksajaatauTwittersaja.Padaumumnya,
kita memiliki baik akun Facebook maupun Twitter, bahkan
Instagram, Youtube, WhatsApp, LINE, dan yang tengah naik
daun,TikTok.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 141
Dengan menggunakan satu gadget seperti smartphone saja,
seseorang dapat mengirim dan menerima informasi melalui
berbagai kanal media sosial. Akses terhadap media sosial
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan digital
native. Kita melibatkan media sosial dalam berbagai kegiatan
disetiaplini kehidupan, mulai dari komunikasi, berorganisasi
sosial, hiburan, ekspresi diri, informasi dan berita, aktivisme,
hingga edukasi. Kita mencari hiburan (entertainment) dengan
cara mengikuti akun sosok selebriti favorit kita di media
sosial. Begitu pula dengan informasi dan berita; kita mencari
informasi dengan cara mengikuti akun-akun informasional
yang menyajikan informasi dan berita mengenai topik-topik
tertentu. Kita juga menggunakan akun media sosial untuk
mengunggah hasil karya yang kita buat sendiri, seperti
misalnya musik, foto, video, dan lain sebagainya. Selain itu,
kita menggunakan akun media sosial untuk beropini atas
sebuahisuyangsedangpopuler.Bahkan,ketika kita memiliki
sebuah kelompok atau organisasi sosial, kita akan membuat
satu akun khusus atas nama kelompok atau organisasi sosial
tersebut.Kitahidupdalamrealitastermediasi yang diciptakan
bersama (co-created mediated reality); realitas yang ada bersama
kita dan segala sesuatu di sekitar kita pun selalu ada dan
dapatditemukandidalam media. Keseluruhandariitusemua
membangunsuatukonstruksiatasidentitasdiriseseorang.
Ruang media sosial memberikan keleluasaan bagi
para penggunanya untuk ‘menjadi’ diri mereka, untuk
memasang persona apa pun yang mereka inginkan, untuk
mempertunjukkannya kepada siapa pun yang mereka mau.
Persoalannya, benarkah keleluasaan itu ada? Adanya oknum
yang dihujat beramai-ramai di media sosial, adanya perang
komentar, adanya kehebohan akibat unggahan tertentu,
kesemuanya membuat kita bertanya-tanya: apakah benar-benar
adaruang yangpersonaldalam mediasosial?Medialitaskanal
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
142
mediasosial mendorong para penggunanya untukmelakukan
personalisasi terhadap akun kita. Kita memakai nama kita,
memasang foto kita, menampilkan apa pun yang kita suka
atau tidak suka, menuangkan isi pikiran dan hati kita, dan
berbagaiseluk-belukmengenaidirikita.Namun,segalabentuk
personalisasi tersebut berada dalam lingkup ruang publik,
yangbernamajejaringmediasosial.
Privasi yang Paradoksal di Ruang Siber
Karakter media sosial yang memiliki keterbukaan dan
kecepatan arus informasi tidak dapat dipungkiri telah meng-
ubahcaramanusiadalammempersepsidunia.WalterBenjamin
(1969/2006: 18-40), dalam esainya yang berjudul The Work of
Art in the Age of Mechanical Reproduction, menyatakan bahwa
cara persepsi manusia (human sense perception) bekerja telah
berubah seiring modus keberadaan mereka (humanity’s entire
mode of existence). Hal ini sangat dipengaruhi oleh reproduksi
mekanis yang merupakan efek dari kemajuan teknologi, di
mana konteksnya adalah proses reproduksi karya seni yang
makinmasifdanmassal,sehinggaterjadipergeserannilai,dari
cult value menjadiexhibition value. Media sosial pun tidakjauh
berbeda dari itu. Melalui praktik penggunaannya, kehadiran
media sosial meruntuhkan tembok-tembok batasan yang
sebelumnya dibangun oleh media konvensional (suratkabar,
televisi, radio, dan lain sebagainya), dengan memungkinkan
pengguna untuk saling berinteraksi secara cepat dan luas. Di
sisi lain, melalui praktik penggunaan media sosial tersebut,
munculindikatorbaruatas“batasan-batasan”,termasukdalam
hal“privasi”.
Pada tataran penggunaan media sosial, reproduksi “per-
panjangan diri” manusia makin masif dan massal. Sesuatu
yang disebut “privat” tidak hanya merupakan sesuatu yang
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 143
diketahui seseorang untuk dirinya sendiri, melainkan sesuatu
yang dibagi untuk khalayak yang mereka pilih sendiri.
Berbagaikanalmediasosialyangmenyatakandirinyasanggup
memberi fasilitas tersebut kepada para penggunanya, yaitu
memilih khalayak mereka sendiri untuk membagikan sesuatu
yang mereka anggap “privat”, salah satunya dengan tur
akun privat yang disediakan oleh Twitter dan Instagram.
Ketika para pengguna memilih untuk menggunakan media
sosial tersebut dengan asumsi bahwa ia memberikan ruang
privat dalam jejaring sosial, maka sedikit banyak hal tersebut
akan memengaruhi pilihan atas konten apa saja yang mereka
unggah. Namun, terlepas dari proses seleksi yang dilakukan
para pengguna, baik pada tataran pemilihan media maupun
pemilihan konten yang diunggah, privasi adalah hal yang
problematisdalamjejaring sosial.
Hasrat manusia untuk membangun komunikasi melalui
media digital dengan cara yang personal dan privat selalu
ada (Walther, 2011: 3-7). Dengan adanya media sosial, para
pengguna mendapatkan kepuasan dari proses pengungkapan
diri yang mereka lakukan terhadap publik yang mereka pilih
sebagai kontak yang terhubung dalam jejaring sosial mereka.
Pada waktu yang bersamaan, seiring dengan pengungkapan
diriyangmerekalakukandalammediasosial,makinbesarpula
risikoatas pelanggaran privasi. AlanWestin (dalam Margulis,
2011:9-16)menyatakanbahwaprivasiadalahcarayangorang
lakukanuntukmelindungidirimerekadenganjalanmembatasi
aksesoranglain kepadadirimerekauntuk sementara.Dengan
kata lain, persoalan privasi adalah persoalan proteksi dan
kontrolseseorangatasdirimereka.
Dengan adanya privasi, seseorang dapat menentukan
bagi diri mereka sendiri mengenai kapan, bagaimana, dan
sejauh apa informasi tentang diri mereka dibuka kepada
oranglain(Margulis, 2011: 9-16). Dengan demikian,seseorang
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
144
dapat memiliki alasan untuk menarik diri dari lingkungan
masyarakatnya;yaituuntukmendapatkanprivasi.Padatataran
ini, tuntutan sosial menjadi kata kunci dalam privasi. Ketika
seseorang merasa lelah dengan tuntutan sosial yang mereka
dapatkan, maka mereka akan mencari privasi untuk kembali
menyeimbangkan kondisi mental mereka. Oleh karena itu,
Westin (dalam Margulis, 2011: 9-16) mencatat bahwa privasi
terjadidalamtiga level,yaitulevelindividual, levelkelompok,
dan level organisasi atau institusional. Dalam konteks peng-
gunaan media sosial, privasi terjadi pada level individual
hingga level kelompok, di mana para pengguna melibatkan
setidaknya orang-orang yang ia anggap aman untuk berbagi
informasipersonalmelaluikanalmediasosial.
Privasi adalah suatu kebutuhan bagi manusia. Irwin
Altman (dalam Margulis, 2011: 9-16) menyatakan bahwa
privasiadalahkontrolselektifatasaksesterhadapdiri(selective
control of access to the self).MenurutAltman,privasiberoperasi
secara individual dan kelompok, dengan tiga penekanan
pentingdalamaspek-aspekmengenai privasi, yaitu (1) privasi
adalah proses sosial secara inheren, (2) pemahaman terhadap
aspek psikologis privasi mencakup interaksi antarmanusia,
dunia sosial mereka, lingkungan sik, dan fenomena sosial
yang secara alamiah bersifat sementara, dan (3) privasi
memiliki konteks kultural; secara spesik, privasi adalah hal
yang cultural universal, namun memiliki manifestasi psikologis
yang spesik secara kultural. Pada tataran ini, pembatasan
diri (self-boundary) menjadi kata kunci dalam privasi. Dalam
mendapatkan privasi, seseorang akan melakukan pembatasan
diri secara terkontrol terhadap akses atas diri mereka sendiri
darilingkungansosialnya.
Tidak hanya mengenai ketertutupan diri, pembatasan
diri dalam privasi juga melingkupi keterbukaan diri. Petronio
mengemukakan teori manajemen privasi komunikasi (Com-
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 145
munication Privacy Management,ataudisingkatCPM)(Margulis,
2011: 9-16), yang menekankan bahwa privasi adalah proses
dialektika antara menutup dan membuka diri dalam proses
interaksi seorang individu dengan lingkungan sosialnya.
Dengan demikian, privasi tidak berdiri sendiri, melainkan
berjalin-kelindan dengan proses pengungkapan diri seorang
individu; relasi keduanya pun selalu dialektis, karena sese-
orang akan secara terus-menerus menyesuaikan level privasi
danpengungkapan diribaiksecara internalmaupuneksternal.
Hal ini didasari oleh kebutuhan manusia untuk bersosialisasi
secara terbuka sekaligus memiliki otonomi pribadi atas diri
secarasimultan(Margulis,2011:9-16).Penekanannyaadapada
bagaimana keputusan mengenai menutup atau membuka suatu
informasiitudilakukan.
Privasi merupakan konsep yang elastis karena berbagai
konteks sosial dan kultural mengenai oleh siapa, bagaimana,
kapan, dan di mana konsep tersebut diterapkan. Penerapan
privasi pun bersinggungan dengan berbagai ranah, mulai
dari psikologi, hukum, ekonomi, kesehatan, dan politik. Pada
tataran penggunaan media sosial, privasi bersinggungan de-
nganketerbukaaninformasi,pengungkapandiri,danrepresen-
tasi identitas para pengguna. Perdebatan yang muncul me-
ngenai privasi di era media sosial ini berkisar mengenai ada
atautidaknyaprivasi serta sepertiapawujuddanbatasan atas
suatuinformasiyangdinilaipersonal.
Dalampenggunaanmediasosial, para penggunasanggup
“menampilkan” diri mereka melalui prol yang mereka ran-
cangsendiri.Dengankatalain,merekamerasaseolahmemiliki
kemerdekaan atas privasi mereka di dunia maya, padahal
sesungguhnya segala yang mereka tampilkan adalah publik.
Pada tataran ini, internet dan media sosial memunculkan apa
yang disebut sebagai “paradoks atas privasi” (privacy paradox)
(Barnes,2006:8). Dalam praktikbermediasosial,isumengenai
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
146
privasi bukan lagi mengenai hal-hal yang hanya disimpan
seseorang untuk diri mereka sendiri, melainkan mengenai
tarik-menarikantarasesuatuyangseseoranganggapprivatdan
publikuntukditampilkandimediasosial.Paradoksatasprivasi
terjadi dalam tataran perbedaan antara kekhawatiran atas
privasidanperilakuprivasiyangaktual.
Menyoal Ruang Personal di Media Sosial
Kehadiran internet dan media sosial dianggap “menying-
kirkan” keterbatasan atas waktu dan ruang. Hal ini terjadi
bukannya tanpa konsekuensi. Modus kehadiran (modes of
presence) dalam media digital tidak lagi linier dari pengirim
pesankepadapenerima,melainkanmenjadinonlinier,dimana
batasspasialdantemporalseolahmenjadikabur.Ruangprivat
berubah menjadi ruang publik dan ruang publik berubah
menjadi ruang privat. Saat ini, melalui internet dan media
sosial, orang-orang dapat mengomunikasikan komunikasi
privat pada ruang publik, begitu pula sebaliknya (Kwon,
Hwang, & Jo, 2011: 25-48). Orang-orang tidak segan untuk
mengunggahfotodirimereka atau foto mesra mereka dengan
pasangan, dengan asumsi bahwa mereka hanya membaginya
dengan orang-orang yang mereka kenal dalam media sosial.
Namun, ketika foto-foto tersebut tersebar lebih luas hingga
ke luar jejaring sosial yang mereka bangun, mereka merasa
bahwa privasi mereka terlanggar, ketika sebenarnya privasi
hanya menjangkau pada tataran ketika seseorang tersebut
memutuskanuntukmengunggahdanmembagifototersebutdi
mediasosial.
Ruangvirtualatauruang siber dikonstruksiolehberbagai
macam aspek, seperti data, gambar visual, dan interaktivitas
multimedia. Pada level dasar ruang siber, terletak kesadaran
para pengguna bahwa ruang yang baru akan tercipta dalam
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 147
mediadigital.Padatataranini,penggunamenggunakanruang
online sebagai media komunikasi, seperti e-mail, chatting, dan
membaca berita-berita terkini melalui kanal media online.
Level selanjutnya memasuki periode persepsi ruang siber, di
manaparapenggunamulaibertukaride,berita,daninformasi,
bahkan menjual dan membeli barang-barang atau komo-
ditas tertentu. Pada level selanjutnya, para pengguna mulai
melibatkan fasilitas yang diberikan oleh internet untuk mem-
bangun jejaring sosial, seperti blog, komunitas online, dan
aktivitassosial.Padatataranini,ruangsosialdalamkehidupan
nyata atau ofine dan ruang siber yang online terkonvergensi
menjadisatu(Kwon,Hwang,&Jo,2011:25-48).
Penggunaan media sosial, yang terletak pada level ketiga
seperti pada paparan di atas, membentuk konvergensi ruang
sosial antara ruang ofine para pengguna internet dan ruang
siberyangmerekaciptakanmelaluiproses penggunaan media
sosial itu sendiri. Kepercayaan bahwa privasi atas segala in-
formasiataupesan yang mereka bagi melalui mediasosialdi-
lindungisecaralegalolehkebijakanprivasi(privacy policy) yang
disediakanolehinstitusipenyelenggaramediasosialitusendiri
atau bahkan Undang-Undang negara tempat mereka berada –
justrumenjadi sumberataskeabaianmerekasertapemahaman
yang keliru mengenai faktor keamanan informasi di ruang
siber (Debatin, 2011: 55); karena seringnya, mereka justru
tidak membaca secara rinci uraian kebijakan privasi tersebut,
dimanasetiappesan atau informasi yang diunggah oleh para
penggunainternetmenjaditanggungjawabdirimerekasendiri
danbukanmerupakantanggungjawabpihaklain.
Menyoalprivasiberartimenyoaltarik-menarikantarakon-
trolsosialdanindividu(Schoeman, 1992: 12): apakahindividu
memiliki daya atas kontrol sosial terhadapnya, atau kontrol
sosial yang mengendalikan individu? Dalam konteks internet
dan media sosial, persoalan privasi bukan semata mengenai
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
148
persoalan bagaimana individu menampilkan diri mereka di
sana untuk menyeimbangkan antara pengungkapan diri dan
pembatasan diri yang mereka butuhkan (Ellison et. al., 2011:
20), melainkan juga mengenai persoalan bagaimana ruang
personalyangkemudianterbangundisanasebagaiwujuddari
usaha untuk memenuhi hasrat membagi informasi personal
individu dan kebutuhan atas kontrol terhadap informasi
personaltersebut.Terlebihlagi,ruangmediasosialmerupakan
ruang yang berbeda dengan realitas ofine di mana batas-
batas sik memiliki gambaran yang jelas. Ketika seseorang
merasa membutuhkan ruang personal dalam lingkup sosial
yang paling mikro, yaitu keluarga, ia dapat dengan mudah
memasukiareakamartidurnya,misalnya,untukmendapatkan
ruang personal itu. Ketika ia tidak ingin sendirian di sana, ia
akanmengajaksaudaraatautemannyauntuk masukkedalam
kamar tersebut. Ruang kamar menjadi ruang personal dalam
ruang publik yang berupa bangunan rumah.
Dalam kaitannya dengan privasi, ruang personal menjadi
salah satu unsur signikan yang menandai bagaimana indi-
vidu mendapatkan sensasi atas privasi itu sendiri. Dalam
ruang so sial yang telah mengalami konvergensi antara ofine
dan online, ruang personal yang diharapkan oleh individu
harus dikonstruksikan sedemikian rupa supaya memenuhi
kebutuhanmerekaatasprivasi(Margulis,2011:14-15).Menyoal
privasi berarti menyoal kuasa atas informasi dan diri. Ruang,
pada tataran ini, menjadi aspek yang penting, karena kuasa
atasinformasitersebutdibangundidalamruangyangbernama
ruang siber, di mana realitas online dan ofine mengalami
konvergensipadatitiktertentuhinggataraftertentu.
Namun, meleburnya ruang dan waktu dalam konteks
media sosial tidak lantas meleburkan jarak (distance). Roger
Silverstone (2003: 6) memberikan konsep mengenai “jarak
yang layak” (proper distance)dalampraktikpenggunaan media
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 149
sosial oleh individu. “Layak” dalam konteks ini diartikan
sebagai sesuatu yang telah diadaptasikan dengan tujuan
dan untuk kebutuhan tertentu. Relasi dalam media sosial
dibangunatasdasarkedekatan(proximity),baik secaramediasi
maupun emosional. Namun, menurut Silverstone, sensibilitas
individuatasetika, moral, dan tanggung jawab dalampraktik
bermediasosial tidakakanada tanpaadanyajarak yanglayak.
Indikator atas jarak yang layak ini pun berbeda bagi masing-
masingindividu.Meskipundemikian, jarak yang layak bukan
merupakan sesuatu yang ada pada diri individu secara serta-
merta (taken for granted)maupun sesuatu yang telah diberikan
(pre-given) kepada mereka. Jarak yang layak merupakan
sesuatuyangdibentukdandiproduksi.
Pembahasanmengenaiprivasidalamruangsiberyangada
selama ini selalu berfokus pada perilaku individu dan relasi
yang dibangun oleh individu dan lingkungan sosial yang ada
di sana. Pembahasan soal privasi dalam media sosial dengan
menggunakanbingkaikanal-kanalmediasosialmeleburkanisu
mengenai“ruang”kedalamisumengenai“presentasidiri”dan
“relasi sosial”, karena kesamaan mendasar yang dimiliki oleh
kanal-kanal media sosial tersebut; bahwa media sosial adalah
ruang publik di mana individu berusaha mendapatkan kon-
trolatasdirimereka(Trepte&Reinecke,2011:68).Dengankata
lain, tidak ada ruang personal dalam media sosial; yang ada
hanyalah“ruangpublikyangtelahditentukan”olehparapeng-
gunanya (Ellison et. al., 2011: 22). Oleh karena itu, konstruksi
atasruangpersonaltidakmenjadifokusyangdilihatdisana.
Bagaimana para pengguna melakukan konstruksi atas
ruang personal dalam akun media sosial yang mereka miliki
tentunya terkait alasan dan tujuan mereka menggunakan
media sosial tersebut. Pada tataran ini, konstruksi atas ruang
personal menjadi salah satu cara di mana para pengguna
memfasilitasi diri mereka sendiri untuk memenuhi dan me-
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
150
nyeimbangkan paradoksatas kebutuhan mereka. Dengan kata
lain, meskipun medialitas media sosial mendorong pengguna
untukmembatasipublisitasmereka,tetapterjaditarik-menarik
antaraprivasidanpublisitasyangtermanifestasidalampraktik
penggunaan media sosial. Ruang personal yang seperti apa
dan bagaimana yang kemudian tercipta diantara dialektika
privasi dan publisitas tersebut? Mengapa kemudian terbentuk
ruangpersonalyangdemikian?Apakahpadapraktiknyaruang
personal itu benar-benar mereka dapatkan, atau sebenarnya
hanyamerupakan“ruangpublikyangtelahditentukan”seperti
padakanalmediasosiallainnyanamundalambentuklain?
Keramaian yang Dipersonalisasi: Ruang Nyaman
dalam Keserupaan
Membangun ruang personal di media sosial mewujud
proses seleksi yang dilakukan pengguna atas audiens yang
mereka pilih untuk menampilkan atau menutupi apa yang
mereka bagi pada kanal media sosial (Margulis, 2011: 14-15).
Konstruksi atas ruang personal tersebut sudah dimulai sejak
para pengguna membuat akun media sosial; pada keputusan
apakah mereka akan memasang setelan akun sebagai ‘akun
privat’ (private account) atau akun publik. Dengan medialitas
media sosial yang mendorong publisitas para penggunanya,
keputusan pengguna untuk membuat akun privat yang mena-
warkan ruang personal dalam jejaring media sosial memper-
lihatkan adanya tendensi bahwa mereka memiliki keinginan
untukmembangunpublisitasdalamlingkupruangyanglebih
sempitdibandingkankanalmediasosiallainnya.
Proseskonstruksiruangpersonalselanjutnyaterjadipada
tataran pemilihan teman atau akun-akun yang terhubung
denganmerekadalammediasosial.Prosesinimenjaditahapan
yang signikan karena dalam konteks ini akun-akun yang
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 151
terhubung dengan mereka tersebut nantinya akan menjadi
audiens atau penonton dari presentasi diri yang akan mereka
tampilkan di sana. Dalam penggunaan setelan akun privat di
Instagram, contohnya, pengguna memperlihatkan tendensi
bahwa mereka membangun jejaring yang ditambatkan pada
relasi yang mereka miliki dalam realitas ofine (Zhao, et. al.,
2009: 1820). Hal ini terlihat dari pilihan mereka atas akun-
akunmilik orang yangtelah mereka kenal sebelumnya dalam
kehidupan sehari-hari sebagai akun yang terhubung dengan
merekadalamakunprivattersebut.
Para pengguna memiliki kesadaran bahwa media sosial
memberikan ruang keramaian digital dengan karakter yang
berbeda-beda (Joinson et. al., 2011: 34). Dalam Twitter dan
Instagram, mereka dapat melakukan seleksi atas ruang kera-
maian digital tersebut melalui pemilihan terhadap akun-
akun yang mereka ikuti di sana dengan lingkup yang luas.
Keramaian digital ini didasarkan pada benang merah “selera”
dan “minat”, namun tidak terbatas pada audiens tertentu
saja. Perkara mengenai apakah ia benar-benar mengenal akun
tersebut pada realitas ofine tidak menjadi masalah yang
penting.Sebagaicontoh,dalamTwitter,Desti mengikutiakun-
akun yang memiliki selera dan minat yang sama dengannya
dalam hal K-pop, bahkan ia tidak masalah apabila akun
tersebut merupakan akun anonim atau menggunakan nama
samaran,selamaakunitumenunjukkanseleradanminatyang
sama dengannya. Sementara itu, pada media sosial Instagram
ia akan mengunggah foto yang menurutnya layak untuk
diunggah ke Instagram, yaitu foto di lokasi tertentu dengan
gaya tertentu dan telah melalui proses pengeditan tertentu
yang hasilnya menurut Desti merupakan foto yang bagus.
Selera atau kegemaran individu merupakan bagian dari
ruang personal yang mereka miliki; ketika itu terlanggar maka
potensi untuk terjadi konik pun membesar (Joinson, et. al.,
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
152
2011: 35). Perang komentar, atau biasa dikenal sebagai ‘twit
war’dalamTwitterdan‘comment war’dalamInstagram,adalah
salah satu bentuk konik yang terjadi ketika ruang personal
pengguna dilanggar, dalam kaitannya dengan preferensi atau
kegemaran. Contohnya dapat dilihat dalam perang antar-
fandom yang terjadi pada kanal media sosial. Di samping itu,
pengguna memiliki kecenderungan untuk ‘memblokir’ atau
‘menghapus’orang-orangyangtidaksepaham, tidak memiliki
perspektif yang sama, atau memiliki preferensi yang ber se -
berangandenganmerekadimedia sosial. Seperti yangdilaku-
kan Desti, sebagai seorang yang peduli dengan kese tara an
gender, ia rajin mengikuti akun-akun advokasi dan gerakan
feminisme; ketika ia menemukan salah satu following atau
followers-nya yang ternyata bersikap patriarki di media sosial,
maka ia tak segan untuk ‘menghilangkan’ akun tersebut dari
ruang media sosialnya. Hal ini dilakukan dalam upaya me-
minimalisir konik yang mungkin terjadi akibat pelanggaran
ruang personal.
Terkait presentasi diri, ruang media sosial adalah ruang
‘pamer’ atau pertunjukan diri seseorang melalui referensi
kultural yang mereka miliki (Purwaningtyas, 2019: 237-238).
Proses unjuk diri melalui referensi kultural dapat terwujud
dengan adanya teman-teman yang memiliki referensi kultural
yang serupa yang terhubung dengan mereka di sana (Lewis,
2011:95).Lewis(2011:93)memberikanilustrasibahwamelihat
jejaringlingkaranterdekat(peer group)yangdibangunindividu
dalam ruang media sosial bagaikan melihat sekelompok
burung sejenis yang terbang bersama (birds of a feather ock
together). Keserupaan individu dengan lingkaran terdekatnya
seolah membentuk tradisi tidak tertulis di antara sesama
pengguna media sosial bahwa “apa pun yang Anda unggah
akansayasukai,begitupundenganapayangsayaunggahakan
Anda sukai”. Kondisi tersebut menempatkan ruang media
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 153
sosialsebagai“kamargema”(echo chamber),sebuahkonsepdari
Sunstein(2001:74) yangdigunakanolehHampton et. al. (2017:
1095)untukmengilustrasikanpartisipasiindividudalammedia
sosial yang dimotivasi oleh rasa percaya diri bahwa opini
merekaakan lebihditerimaolehpihaklainyangberadadalam
kamar gema tersebut.
Kondisi di mana ruang media sosial diisi oleh penggu-
nanya dengan keserupaan yang ditunjukkan dengan bentuk
“sepaham” (like-minded), menunjukkan bahwa ruang media
sosial tidak menunjukkan kesesuaian dengan ruang publik
(public sphere) dalam konsep tradisional (Dahlgren, 2013: 48).
Menurut Dahlgren (2013: 19), ruang publik pada hakikatnya
merupakan tempat di mana ide-ide dengan berbagai macam
kepentingandibagi,sehinggaterjadidialogdaninteraksiantara
ide-idetersebut.Namun,yangterjadidalamruangmediasosial
adalahkonsep“tanda sukauntuktandasuka”(“likes for likes”)
(Dahlgren,2013:61),sehinggamenghilangkanesensidariruang
publikitusendiri. Alih-alih,ruangmediasosial menjadiruang
kamar gema di mana ide-ide yang telah ada pada individu
makinmendapatkanjustikasimelaluiinformasiyangmemuat
ideyangserupa.Padatataranmediasosial,ruangkamargema
tersebutdikonstruksisecarasengajaolehparapenggunauntuk
memenuhi kebutuhan mereka atas privasi, di mana mereka
merasa percaya diri dan yakin bahwa ruang personal mereka
tidak akan terlanggar dengan membangun ruang yang diisi
oleh individu lain yang serupa atau memiliki kesepahaman
denganmereka.
Pergeseran Kontrol: Ruang Liberasi yang Semu
Konstruksi ruang personal dalam media sosial yang
dilakukan oleh pengguna memperlihatkan kecenderungan
bahwa ruang personal tersebut dibangun dengan tujuan
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
154
untukmemenuhikebutuhan merekaatasrasa“setara”dengan
pengguna lain yang terhubung dengan mereka di sana. Oleh
karena itu, dalam media sosial, para pengguna memiliki
kecenderungan untuk menambatkan relasi yang mereka
bangun di sana atas dasar pertemanan (friendship), dengan
tujuan antara lain untuk memeroleh kesetaraan yang mereka
inginkan. Kebutuhan atas rasa setara ini, menurut Stefanick
(2011:29),munculkarenakebutuhanpenggunauntukmemiliki
kuasaatasapayangdiketahuipubliktentangdirimerekadan
bagaimana lingkungan sosial menyikapi informasi personal
mereka tersebut. Dengan kata lain, kebutuhan tersebut ada
karena kebutuhan individu atas privasi dalam ruang personal
yang mereka miliki.
Relasi pertemanan, sebagai konstruksi sosial, bisa jadi
berbeda dalam setiap konteksnya, tetapi pemahaman umum
mengenai pertemanan seringnya merujuk pada sifat sukarela
yang dibangun dalam relasi, keberadaan selera atau afeksi
yang sama, serta dukungan emosional dan praktis yang pada
umumnya dibawa oleh relasi tersebut (Trepte & Reinecke,
2011:82).Padatataranini,pertemananmelampauibatas-batas
yangadadalamrelasi profesional danbisajaditidakmemiliki
intensitas tanggung jawab bersama dalam keluarga. Persoalan
inikembali padapersoalankontrol, dimanarelasi pertemanan
memberikansensasiataskebebasanyangtidakdapatdiperoleh
penggunadaribentukrelasilainnya.
Schoeman (1992: 11) mengungkapkan bahwa dalam ber-
bagai diskusi, konsep privasi selalu menjadi tarikan vis-a-vis
antarakontrolsosialatasindividudansebaliknya.Dengankata
lain,kuasa individudankontrol sosialdiletakkandalam posisi
yang berseberangan dalam usaha pemenuhan kebutuhan atas
privasi. Pada spektrum yang mikro, privasi secara eksklusif
berkaitan dengan informasi personal seseorang dan sejauh
mana orang lain memiliki akses terhadap informasi tersebut.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 155
Bahkan,padatataranyangpalingmikro,privasidikonsepsikan
sebagai informasi personal yang “tidak didokumentasikan”,
atau dengan kata lain, hanya ada dalam benak dan pikiran si
seseorang itu sendiri (Schoeman, 1992: 12). Dengan demikian,
individumemilikikontrolterhadapinformasipersonalmereka.
Namun, praktik penggunaan media sosial meruntuhkan
gagasan atas konsep privasi pada spektrum yang mikro.
Sebagai individu yang juga pengguna media sosial, para
informan membagi informasi personal mereka dengan mesin
komputer atau gawai (gadget). Ketika mereka membuat akun
Twitter atau Instagram, mereka membagi informasi personal
mereka (nama, jenis kelamin, umur, alamat surat elektronik,
dan lain sebagainya) dengan kanal media sosial tersebut,
yang dalam hal ini merupakan institusi media. Pada tataran
ini, konsepsi privasi sebagai informasi personal yang “tidak
didokumentasikan”telahruntuh.
Terlepas dari relasi yang tertambat pada realitas ofine,
secara umum para pengguna membangun ruang personal
mereka dengan menghilangkan bentuk relasi tertentu, ter-
masukdalamhalini adalah relasikeluarga(kinship). Rupanya,
bentuk penghilangan ini terjadi dalam kanal-kanal media
sosial seperti Instagram dan Twitter, di mana terdapat kecen-
derungan bahwa para pengguna memutus relasi keluarga
dengan tidak ‘berteman’ atau tidak ‘mengikuti’ anggota
keluarga mereka, terutama orang tua. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka berusaha melepaskan diri mereka yang ada
dalam dunia maya dari pengawasan (surveillance) orang tua
yangmerekadapatkan direalitas ofine, karena melalui proses
pengawasan itulah seseorang memiliki kontrol. Ketika mereka
merasadiawasiolehorangtua,merekamerasatidakmemiliki
kuasapenuhatasdirimerekadimediasosial.Ketikaseseorang
merasa tidak memiliki kuasa penuh atas diri mereka, maka
padasaatitulahmerekamerasatidakmemilikiprivasi.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
156
Dalampraktiknya, ketikarelasidenganorangtuatersebut
dihilangkan dalam media sosial, terdapat kecenderungan
bahwa kontrol sosial tidak serta-merta turut hilang dari sana.
Sebaliknya, yang terjadi adalah pergeseran kontrol sosial,
dariorang tua ke teman-teman lingkaran terdekat (peer group)
yang mereka pilih untuk ada di sana. Lingkaran terdekat
para informan memiliki pengaruh yang signikan dalam
kegiatan mereka bermedia sosial, bahkan sejak pengambilan
keputusan untuk memiliki akun di suatu kanal media sosial.
Misalnya, ketika Desti pertama kali memutuskan untuk
membuat akun Twitter dan Instagram, hal itu dipengaruhi
oleh kondisi di mana lingkaran terdekatnya telah lebih dulu
memiliki akun Twitter dan Instagram. Begitu pula ketika ia
mulaijarang menggunakan Facebook, kondisi itu dipengaruhi
oleh lingkarang terdekatnya yang mulai meninggalkan kanal
mediasosialtersebut.Disampingitu,signikasipeer group juga
ditemukandalamaktivitasbermediasosial.
Baik disadari maupun tidak, meskipun berada di tengah
teman-temannyayangmerupakan‘zona nyaman’, Destimasih
menemukan dirinya memikirkan berkali-kali setiap kali ia
akan mengunggah sesuatu. Ia memikirkan bagaimana reaksi
teman-temannya, apakah teman-temannya akan menyukai
unggahannya tersebut, apakah akan ada banyak komentar
yang ia dapatkan. Pertimbangan yang ia ambil ketika memu-
tuskan akan mengunggah sesuatu didasarkan pada reaksi
audiens yang ia bayangkan. Pada tataran ini, ruang media
sosial yang dipersonalisasi sedemikian rupa ternyata masih
memberikankontrol dalam bentuk lain yangdidasarkan pada
relasi pertemanan.
Persoalankontrol menjadi persoalan siapa yanginforman
pertimbangkanuntukdipercayai wewenang pengetahuan atas
informasi personal yang mereka bagi (Peter & Valkenburg,
2011: 223-230). Ketika mereka memberi wewenang pada ling-
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 157
karanterdekatmerekaataspengetahuantersebut,baikdisadari
maupun tidak, mereka memberi semacam kontrol kepada
lingkaranterdekatatasinformasipersonalmereka.Olehkarena
itu,berdasarkanrelasiyangdibangundalamruangpersonaldi
mediasosial,kontrolsosialtidakhilangsepenuhnya,melainkan
bergeser dari kontrol oleh relasi keluarga (kinship) menjadi
kontrol oleh relasi pertemanan (friendship).Secaraironis,ruang
eskapismeyangmereka ciptakanuntukmenjadiruangliberasi
justru menempatkan mereka pada suatu bentuk kontrol yang
lain,yangmembuatruangtersebutmenjadiruangliberasi yang
semu.
Antara Jarak dan Kedekatan: Ruang yang
Meruntuhkan Panoptik
Dalam membangun ruang personal di media sosial, dite-
mukanbahwaparapenggunamembangunruangdenganjarak
yang mereka anggap layak, dengan cara membatasi informasi
personalmengenaihal-halyangmerekaanggapdapatmelang-
gar privasi mereka. Konstruksi jarak yang layak dalam ruang
yang mereka bangun atas kedekatan tersebut memiliki tujuan
untuk melakukan justikasi atas rasa nyaman yang mereka
milikidalamruangpersonalmerekadimediasosial.
Para pengguna berada dalam ruang media sosial dengan
kesadaran bahwa terdapat “orang-orang yang berbicara” atau
dengan kata lain, penonton, atas presentasi diri mereka. Bagi
mereka,membangunruangpersonaldalammediasosialberarti
mengikutsertakanparaaudiensitudanmerekamenyadarihal
tersebut. Namun, yang membuat para pengguna tidak mera-
sakan hal itu sebagai ancaman atas ruang personal mereka,
salah satunya, karena dalam praktiknya mereka juga menjadi
“orang-orangyangberbicara”bagipenggunalain.Padatataran
ini,ruangmediasosialbukanlagi menjadi ruang pengawasan
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
158
yang memberikan efek panoptik di mana satu atau beberapa
orang merasa diawasi saja sebagai objek, melainkan menjadi
ruang di mana beberapa orang saling mengawasi satu sama
lain. Oleh karena itu, mereka tidak hanya diawasi atau
mengawasisaja,melainkandiawasisekaligusmengawasi.
Panoptikon merupakan sebuah tipe bangunan institusi
sekaligusmerupakansistemkontrolyangdidesainolehJeremy
Benthampadaakhirabadke-18.Desainini digunakan sebagai
desain bangunan penjara yang memungkinkan sipir penjara
untuk mengawasi para tahanan dengan kondisi di mana para
tahanan tidak dapat melihat secara sik sipir atau siapa pun
yangmengawasimereka.Tujuanbesardari desainpanoptikon
adalah untuk menanamkan rasa “diawasi” kepada para ta-
hanan sehingga mereka termotivasi untuk berperilaku tertib
dan disiplin. Pada tataran tersebut, panoptikon membangun
sistem kontrol karena efek pengawasan yang dihasilkannya.
Konsep panoptikon digunakan oleh Foucault (1977/1980:
202-203) untuk mengilustrasikan kecenderungan bagaimana
masyarakat disiplin menundukkan warga-warganya; bahwa
individu dilihat tetapi tidak melihat, bahwa mereka adalah
objekatasinformasitetapitidakpernahmenjadisubjekdalam
komunikasi.
Prinsip dari panoptikon adalah inspeksi sentral dengan
pengetahuan yang dimiliki individu bahwa mereka diawasi
(Foucault, 1977/1980: 198). Goldenfein (2013: 277-278) meng-
ungkapkanbahwasalahsatuefek yang dihasilkan oleh media
sosial adalah ia mengaburkan relevansi panoptikon karena
konsep pengawas pusat atau tunggal tidak lagi ada, serta
individu seringnya tidak memiliki kesadaran bahwa mereka
diawasi.Sepertiyangterjadi pada Desti; iamengetahuibahwa
teman-temannya dalam media sosial dapat ‘melihat’ dirinya
(melalui prol, unggahan, dan apa pun yang ia bagikan),
namuniatidak menganggaphaltersebutsebagaiproses peng-
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 159
awasan. Ia menerimanya sebagai suatu kewajaran. Namun,
pada titik tertentu hingga taraf tertentu, Desti menyadari
bahwaiamengawasiteman-temannyadalammediasosial,atau
iamengakuinyasebagaiproses‘mengamati’.
Oleh karena itu, ditemukan kecenderungan bahwa ada
ketimpangan dalam aspek pengawasan; di satu sisi mereka
tidak merasa bahwa mereka diawasi, di sisi lain mereka
melakukanaksipengawasandansadarakanhalitu.Dalamhal
ini, bisa jadi mereka tidak sadar diawasi karena terlena oleh
aktivitas mengawasi, seperti yang terlihat melalui pengakuan
informan di atas, sehingga pada titik tertentu mereka merasa
bahwa aktivitas melihat orang lain menjadi lebih penting
daripada memperlihatkan diri kepada orang lain. Namun,
pernyataantersebutbisajadimerupakanbentukpenyangkalan
bahwa mereka juga mendapatkan pengawasan dalam ruang
tersebut. Penyangkalan tersebut muncul menunjukkan kecen-
derungantindakanmekanismepertahanandiriyangpengguna
lakukan untuk menciptakan rasa aman dalam ruang personal
mereka.
Ruang media sosial dapat dikatakan telah meruntuhkan
batas-batas panoptik, di mana proses pengawasan tidak ha-
nya dilakukan oleh pihak tertentu saja, melainkan semua
pihakyangadadisana.Ketikadalamruang tersebut individu
berusahamembangun ruang personal mereka, ruang itutidak
menjadi ruang yang sepenuhnya tertutup, melainkan terbuka
pada bagian-bagian tertentu. Mereka mengizinkan pengguna
lainuntukmengawasidirimerekamelaluibagianyangterbuka
tersebut di satu sisi, sementara di sisi lain mereka mengawasi
pengguna lain melalui bagian yang dibiarkan terbuka oleh
pengguna lain tersebut. Pada tataran ini, ruang personal
dalam media sosial dibangun ibarat ruang kaca di mana para
penggunadapatsalingmengawasisatusamalain.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
160
Penutup
Konstruksi ruang personal dalam media sosial dibangun
dalam spektrum tarik-menarik antara hasrat pemenuhan
atas ruang personal dan kebutuhan untuk menjadi bagian
dari ruang publik dalam masyarakat jejaring di media sosial.
Dialektika tersebut telah membentuk ruang yang sanggup
menimbulkan sensasi kenyamanan melalui keserupaan antar-
individu dalam satu jejaring lingkaran terdekat untuk meme-
roleh sensasi kesetaraan. Dalam usahanya untuk meng hilang-
kanhierarkidan meraih liberasi,ruangtersebutdibangunatas
relasi pertemanan dan menghapus relasi keluarga, terutama
orang tua, yang justru memunculkan adanya pergeseran
kontrol dari relasi keluarga ke relasi pertemanan. Di samping
itu, ada jarak dan kedekatan tertentu yang menyokong ruang
personal tersebut, yang kemudian membuat efek pengawasan
ataupanoptikmenjadiruntuh.
Berdasarkantemuandi atas, dapat dilihat kecenderungan
bahwa tercipta paradoks dalam konstruksi ruang personal
yang individu lakukan dalam media sosial. Mereka merasa
bahwa mereka membangun “ruang personal”, sementara
yang mereka bangun sebenarnya adalah “ruang publik yang
ditentukan yang berbeda dari kanal media sosial lainnya”.
Manifestasi “ruang publik yang ditentukan” itu adalah: (1)
keriuhan dalam lingkup kecil yang serupa, di mana mereka
merasa bahwa tidak ada hierarki di sana, (2) memiliki relasi
yangberbasispertemanandimanamerekamerasabahwatidak
adakontroldisana,(3)transparandalam jarak dan kedekatan
tertentu di mana mereka merasa tidak ada pengawasan di
sana. Mereka mencoba membangun ruang “semitransparan”
dimanamerekamemilikisensasiataskuasaterhadapseberapa
terbuka atau tertutupnya ruang tersebut, sehingga ruang
itu menjadi “ruang yang dianggap personal”. Mereka akan
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 161
membukadanmenutupruangtersebutuntukmencapaitujuan
yang mereka bayangkan atas ruang personal, yaitu ketiadaan
hierarki, kontrol, dan pengawasan. Namun, ruang yang
dianggap personal tersebut tidak bebas dari hierarki, kontrol,
danpengawasan.
Pada praktiknya, “adanya hierarki, kontrol, dan peng-
awasan dalam ruang yang dianggap personal” tidak berada
dalam spektrum kesadaran pengguna media sosial. Mereka
menganggap bahwa di tengah masyarakat jaringan dalam
ruang media sosial, pada satu titik mereka memiliki otonomi
atas ruang personal yang dapat mereka konstruksikan
sendiri. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa mereka telah
memenuhi kebutuhan mereka atas privasi dalam media
sosial,karena di satu sisi merekamemaknainyasebagai kuasa
untuk membangun ruang yang personal, sementara di sisi
lain mereka memaknainya sebagai kuasa untuk mendapatkan
sesuatu, yaitu relasi timbal-balik dengan lingkaran terdekat
berdasarkan seleksi yang mereka lakukan, sehingga mereka
memeroleh sensasi atas kesetaraan.Denganadanyasensasiatas
kesetaraandanrelasitimbal-balik dalamruangyangdianggap
personal,bicara mengenai privasi dalam mediasosial menjadi
sesuatu di mana terjadi resiprokalitas yang dibutuhkan oleh
individu, yang mewujud dalam relasi timbal-balik dengan
lingkungan sosial yang mereka anggap setara.
Daftar Pustaka
Barnes,SusanB.2006.“APrivacyParadox:SocialNetworking
in the United States”, dalam First Monday, 11(9), 2006.
DOI: 10.5210/fm.v11i9.1394
Benjamin, Walter. 1969/2006. “The Work of Art in the Age
of Mechanical Reproduction”, dalam Meenakshi Gigi
Durham & Douglas Kellner (eds.). Media and Cultural
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
162
Studies: KeyWorks Revised Edition. Oxford: Blackwell
Publishing, hlm. 18-40.
Dahlgren, Peter. 2013. The Political Web: Media, Participation, and
Alternative Democracy.NewYork:PalgraveMacmillan.
------------. 2005. “The Internet, Public Spheres, and Political
Communication: Dispersion and Deliberation”
dalam Political Communication, 22:2, 147-162. DOI:
10.1080/10584600590933160
Debatin, Bernhard. 2011. “Ethics, Privacy, and Self-Restraint
in Social Networking” dalam Sabine Trepte & Leonard
Reinecke (eds.). Privacy Online: Perspective on Privacy and
Self-Disclosure in the Social Web,Heidelberg:Springer,hlm.
47-60.
Ellison, N. B., Jessica Vitak, Charles Steineld, Rebecca Gray,
&CliffLampe.2011.“NegotiatingPrivacyConcernsand
Social Capital Needs in a Social Media Environment”
dalam Sabine Trepte & Leonard Reinecke (eds.). Privacy
Online: Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the
Social Web,Heidelberg:Springer,hlm.19-32.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings 1972-1977. Diterjemahkan oleh Colin
Gordondkk.NewYork:Pantheon.
------------. 1977. Discipline and Punishment: The Birth of the Prison.
Diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York: Vintage
Books.
Goldenfein, Jake. 2013. “Police Photography and Privacy:
Identity, Stigma and Reasonable Expectation” dalam
University of New South Wales Law Journal, Vol. 36, No. 1,
diunggahdiSSRN:https://ssrn.com/3044865
Hampton,Keith N., Shin,Inyoung & Lu, Weixu.2017. “Social
Media and Political Discussion: When Online Presence
Silences Ofine Conversation”., dalam Information,
Communication & Society 20 (7), hlm. 1090-1107.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas 163
Joinson, Adam N., David J. Houghton, Asimina Vasalou &
Ben L. Marder. 2011. “Digital Crowding: Privacy, Self-
Disclosure, and Technology” dalam Sabine Trepte &
Leonard Reinecke (eds.). Privacy Online: Perspective on
Privacy and Self-Disclosure in the Social Web, Heidelberg:
Springer, hlm. 33-45.
Kwon, Sang Hee, Kyung Ho Hwang, & Do Hyun Jo. 2011.
“Timeand SpacePerceptionon MediaPlatforms”,dalam
Proceedings of the Media Ecology Association, Volume 12,
hlm. 25-48.
Lewis, Kevin. 2011. “The Co-evolution of Social Network Ties
and Online Privacy Behavior”, dalam Sabine Trepte &
Leonard Reinecke (eds.). Privacy Online: Perspective on
Privacy and Self-Disclosure in the Social Web, Heidelberg:
Springer, hlm. 91-110.
Margulis, Stephen T. 2011. “Three Theories of Privacy: An
Overview”, dalam Sabine Trepte & Leonard Reinecke
(eds.). Privacy Online: Perspective on Privacy and Self-
Disclosure in the Social Web, Heidelberg: Springer, hlm.
9-18.
Peter, Jochen & Patti M. Valkenburg. 2011. “Adolescents’
Online Privacy: Toward a Developmental Perspective”
dalam Sabine Trepte & Leonard Reinecke (eds.). Privacy
Online: Perspective on Privacy and Self- Disclosure in the
Social Web.Heidelberg:Springer,hlm.221-234
Purwaningtyas, Mashita Phitaloka Fandia. 2019. “Privacy and
Social Media: Dening Privacy in the Usage of Path”,
dalam KnE Social Sciences, hlm. 217-235. DOI: 10.18502/
kss.v3i20.4938
Schoeman, Ferdinand David. 1992. Privacy and social freedom.
Cambridge:PressSyndicate.
Silverstone, Roger. 2003. “Proper Distance: Towards an Ethics
for Cyberspace”, dalam G. Liestol, A. Morrison and R.
Terje(eds),Cambridge,MA:MITPress,hlm.469-491.
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
164
Stefanick, Lorna. 2011. Controlling Knowledge: Freedom of
Information and Privacy Protection in a Networked World.
AthabascaUniversity:AUPress.
Sunstein, Cass R. 2001. Echo Chambers: Bush V. Gore,
Impeachment, and Beyond. New Jersey: Princeton
University Press.
Trepte, Sabine & Reinecke, Leonard. 2011. “The Social Web
as Shelter for Privacy and Authentic Living”, dalam
SabineTrepte & Leonard Reinecke (eds.).Privacy Online:
Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the Social Web,
Heidelberg:Springer,hlm.61-74.
Walther, Joseph B. 2011. “Introduction to Privacy Online”
dalam Sabine Trepte & Leonard Reinecke (eds.). Privacy
Online: Perspective on Privacy and Self-Disclosure in the
Social Web,Heidelberg:Springer,hlm.3-8.
ZhaoS.,etal.2008.“IdentityConstructiononFacebook:Digital
empowerment in Anchored Relationships”, dalam
Computers in Human Behavior. Vol. 24, hlm. 1816-1836.
DOI:10.1016/j.chb.2008.02.012
Polik Ruang: Spasialitas dalam Konsumerisme, Media, dan Governmentalitas
320
puanBugisdalamPusaranPembangunandiSeminarNasional
Kebudayaan III, Universitas Brawijaya, Malang (2019). Selain
itu, ia juga berkarir di idecom, sebagai direktur, lembaga
konsultan media yang berbasis di Indonesia bagian timur
khususnya di Makassar. Iril, begitu ia kerap disapa, dapat
dihubungimelaluiemail,imajikuisland@gmail.comataumedia
sosial lainnya, Twitter @R_Riil dan Instagram @imajikuisland.
Saat ini, bersama dua rekannya di Kajian Budaya dan Media
tengah merintis sebuah media alternatif yang dinamakan
Ruang Liyan.
MASHITA FANDIA, atau yang ber-
nama lengkap Mashita Phitaloka
FandiaPurwaningtyas,adalahdosen
di Departemen Ilmu Komunikasi
UGM. Ia menempuh pendidikan S1
di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM
danmendapatkangelarsarjanapada
tahun 2013. Kemudian, pada tahun
2018ia memperoleh gelar S2di Program Studi KajianBudaya
dan Media, Sekolah Pascasarjana, UGM. Tulisan yang dimuat
dalambukuini merupakanbagiandaritesisyang disusunnya.
Minat riset Mashita meliputi budaya digital, psikologi media,
dan kajian media hiburan. Saat ini, mata kuliah yang diampu
olehnya meliputi Teori Komunikasi, Psikologi Komunikasi,
Media Hiburan, dan Kajian Entertainment. Mashita dapat
dihubungimelaluialamatsurelmashita.p.f@mail.ugm.ac.id