Content uploaded by Nurdin Nurdin
Author content
All content in this area was uploaded by Nurdin Nurdin on Jul 15, 2021
Content may be subject to copyright.
Edisi 4/ November / 2011
Mewujudkan Ketahanan Berkedaulatan:
Reorientasi Kebijakan Politik Pangan
Antipasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Ketahanan Pangan
Ketahanan Pangan yang Berkedaulatan
Ketahanan Pangan Berbasis Maritim
Ketahanan
Pangan
dalam Perubahan
Iklim Global
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
iii
Tim Redaksi
Pengarah : Tifatul Sembiring
(Menteri Kominfo)
Basuki Yusuf Iskandar
(Sekretaris Jenderal)
Ahmad Mabruri Mei Akbari
(Staf Khusus Menkominfo)
Penanggungjawab : Freddy H Tulung,
(Dirjen Informasi dan
Komunikasi Publik)
Pemimpin Umum : Suprawoto
(Staf Ahli Menteri Bidang
Sosial Ekonomi dan
Budaya)
Pemimpin Redaksi : Sadjan
(Direktur Pengelolaan
Media Publik)
Anggota
Dewan Redaksi : Ismail Cawidu
(Sekretaris Direktorat
Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik)
Bambang Wiswalujo
(Direktur Pengolah dan
Penyediaan Informasi)
Supomo
(Direktur Komunikasi
Publik)
Erlangga Masdiana
(Direktur Layanan
Informasi
Internasional)
James Pardede
(Direktur Kemitraan
Komunikasi)
Redaktur Pelaksana : Mardianto Soemaryo
Penyunting/ Editor : 1. Hypolitus Layanan
2. Endang Kartiwak
3. Tauk Hidayat
Tim Tenaga Ahli : Sugeng Bayu Wahono
Lambang Trijono
M. Abduh Sandiah
Murti Kusuma Wirasti
Design Gras : Danang Firmansyah
Sekretaris Redaksi : M. Taok Rauf
Sekretariat : 1. M. Azhar Iskandar
Zainal
2. Jatmadi
3. Sarnubi
4. Inu Sudiati
5. Elpira Inda Sari N.K
6. Lamini
7. Nur Arief Hidayat
Diterbitkan Oleh :
Ketahanan
Pangan
dalam Perubahan
Iklim Global
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
v
aftar Isi
D
Salam Redaksi vi
Wawancara Khusus 1
Upaya Mewujudkan “Pangan Beragam, Bergizi Seimbang”
Mewujudkan Ketahanan Berkedaulatan:
Reorientasi Kebijakan Politik Pangan 9
Antipasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan
Ketahanan Pangan 21
Status Ketahanan Pangan Saat Ini 23
Pengaruh Perubahan Dan Anomali Iklim Terhadap
Produksi Pertanian 24
Strategi Antisipasi Perubahan Dan Anomali Iklim 27
Arahan Antisipasi Perubahan dan Anomali Iklim
untuk Memperkuat Ketahanan Pangan 28
Ketahanan Pangan yang Berkedaulatan 33
Ketahanan Pangan Berbasis Maritim 43
Laporan Studi lapangan 49
Strategi Daerah dalam Menjaga Ketahanan Pangan
I
II
III
IV
Edisi 4 / November / 2011
21
Antipasi Perubahan
Iklim untuk
Keberlanjutan
Ketahanan Pangan
Oleh : Nurdin, SP, MSi *
* Ketua Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Negeri
Gorontalo, Jln Jenderal Sudirman No. 6, Kota Gorontalo 96122Telp. (0435)
821125, Faks. (0435) 821752, E-mail: nurdin@ung.ac.id
IIII
Foto : ANTARA/ARIEF PRIYONO
22
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
Pendahuluan
Pertanian merupakan sektor penyedia pangan yang tidak
pernah lepas dari berbagai persoalan, baik persoalan
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, bahkan persoalan
kebijakan politik. Hal ini tidak berlebihan karena pangan adalah
kebutuhan pokok penduduk, terutama di Indonesia. Laporan BPS
tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia sudah
mencapai 237,641,326 jiwa atau meningkat sebesar 15,21% dari tahun
sebelumnya. Kondisi ini membutuhkan ketersediaan pangan yang
cukup agar tidak menjadi salah satu penyebab instabilitas pangan
nasional. Dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan terutama
mempertahankan sekaligus meningkatkan produksi pangan, pada
level lapangan masih banyak hambatan dan kendala yang dijumpai.
Dari sekian banyak hambatan dan kendala tersebut, ada yang dapat
ditangani melalui introduksi teknologi dan upaya strategis lainnya,
tetapi ada pula yang sukar untuk ditangani terutama yang berkaitan
dengan fenomena alam.
Perubahan iklim (climate changes)
merupakan salah satu fenomena alam
dimana terjadi perubahan nilai unsur-unsur
iklim baik secara alamiah maupun yang
dipercepat akibat aktitas manusia di muka
bumi ini. Sejak revolusi industri dimulai
hingga sekarang telah menyebabkan
terjadinya peningkatan suhu udara global.
Selain meningkatkan itu, perubahan iklim
juga menyebabkan anomali iklim seperti
fenomena Enso (El-Nino dan La-Nina),
IOD (Indian Ocean Dipole), penurunan
atau peningkatan suhu udara secara
ekstrem, curah hujan dan musim bergeser
dari pola biasanya dan tidak menentu
serta permukaan air laut meningkat dan
terjadinya rob di beberapa wilayah. El-
Nino adalah kejadian iklim di mana terjadi
penurunan jumlah dan intensitas curah
hujan akibat naiknya suhu permukaan
laut di wilayah Samudra Pasik Selatan
yang mendorong mengalirnya massa uap
air di wilayah Indonesia ke arah timur.
Sebaliknya, La-Nina adalah kejadian iklim
di mana terjadi peningkatan jumlah dan
intensitas curah hujan hingga memasuki
musim kemarau akibat penurunan suhu
permukaan laut di wilayah Samudra Pasik
Selatan yang memperkaya massa uap air di
wilayah Indonesia.
Saat ini, perubahan iklim bukan lagi
menjadi perdebatan tentang keberadaannya
tetapi sudah menjadi permasalahan
bersama antar komunitas, antar instansi,
antar Negara bahkan global untuk
mendapat penanganan serius karena begitu
banyak aspek kehidupan yang terkena
dampaknya, apalagi sektor pertanian.
Produktitas dan progresitas sektor
pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor,
terutama perubahan dan anomali iklim.
Oleh karena itu tidak mengherankan jika
banyak pihak menyatakan bahwa usaha di
sektor pertanian merupakan sektor usaha
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
23
yang berada pada posisi ketidakpastian
(unpredictable).
Pelandaian produksi pertanian,
terutama sumber pangan pokok (staple
food) selain secara inherent disebabkan
oleh tingkat kesuburan tanah yang terus
mengalami penurunan karena intensifnya
pemanfaatan lahan, penyempitan lahan
pertanian, juga dipengaruhi baik secara
langsung maupun tidak langsung oleh
faktor perubahan dan anomali iklim. Hal ini
mengingat suatu lingkungan pertanaman
merupakan satu kesatuan sistem yang
saling berinterkasi, sehingga satu faktor
dalam kondisi minimum akan menjadi
pembatas bagi perkembangan tanaman
secara keseluruhan. Guna mempertahankan
sekaligus meningkatkan produksi pertanian
tanaman pangan yang berhubungan erat
dengan perubahan dan anomali iklim,
maka diperlukan upaya strategis yang
salah satu diantaranya melalui adaptasi
dan modikasi pengelolaan lingkungan
pertanaman. Tulisan ini mengulas
upaya antipasi perubahan iklim melalui
pengelolaan lingkungan pertanaman untuk
keberlanjutan ketahanan pangan. Tulisan
ini diharapkan mampu memberikan analisis
komprehensif bagaimana menghadapi
perubahan iklim dalam kaitannya dengan
ketahanan pangan.
Status Ketahanan Pangan Saat IniA.
Pengertian pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sumberhayati
dan air, baik diolah maupun tidak diolah,
yang diperuntukkan sebagai makanan atau
minuman bagi konsumsi manusia termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku
pangan, dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau
minuman, sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No 7 tahun 1996.
Selanjutnya, ketahanan pangan merupakan
suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata, dan
terjangkau. Berdasarkan denisi tersebut,
maka ketahanan pangan dapat terwujud
apabila pada tataran makro setiap saat
tersedia pangan yang cukup baik jumlah
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.,
sedangkan pada tataran mikro apabila
setiap rumah tangga setiap saat mampu
mengkonsumsi pangan yang cukup, aman,
bergizi dan sesuai pilihannya untuk dapat
hidup produktif dan sehat.
Ketersediaan pangan nasional untuk
konsumsi yang diukur dalam satuan energi
dan protein, sebagaimana laporan BPS
menunjukkan pada tahun 2008 sebanyak
3.786,49 Kkal/kapita/hari dan naik sebesar
0,072% dari tahun sebelumnya, sementara
tahun 2009 mengalami penurunan
sebesar 5,54% dan meningkat lagi sebesar
0,02% pada tahun 2010. Untuk konsumsi
protein pada tahun 2008 sebanyak 106,62
g protein/kapita/hari dan turun dari
total konsumsi protein tahun sebelumnya
sebesar 1,27% dan terus turun sebesar
5,65% pada tahun 2009, tetapi mengalami
peningkatan sebesar 1,39% tahun 2010.
Meskipun tampak bahwa konsumsi kalori
maupun protein cenderung uktuatif,
tetapi berdasarkan standar kecukupan
energi dan protein yang direkomendasikan
dalam Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi VII tahun 2000 yang masing-masing
sebanyak 2.500 Kkal/kapita/hari dan 55
g protein/kapita/hari masih melebihi
standar tersebut. Tampaknya ketersediaan
pangan saat ini telah melebihi standar
kecukupan energi dan protein nasional,
tetapi angka kecukupan tersebut belum
seideal pemenuhan kecukupan konsumsi
di tingkat rumah tangga atau individu.
Hal ini terlihat pada tingkat konsumsi
per kapita per hari rata-rata penduduk
Indonesia pada tahun 2010 yang hanya
sebanyak 1.839,69 Kkal atau hanya 72.00%
dari standar kecukupan nasional. Dengan
demikian, maka amanah Undang-Undang
No 7 tahun 1996 masih sulit untuk
diwujudkan.
Upaya mewujudkan ketahanan pangan
di Indonesia saat ini banyak mengalami
hambatan dan permasalahan, terutama
karena ketersediaan pangan jauh lebih
rendah dibanding jumlah permintaan
pangan itu sendiri. Hal ini disebabkan laju
pertumbuhan penduduk pada selang waktu
tahun 1990-2000 yang rata-rata mencapai
1,49%., pertumbuhan ekonomi yang pada
tahun 2009 mencapai 5,70%., naiknya
daya beli masyarakat dan perubahan
selera konsumsi masyarakat. Padahal
24
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
kapasitas produksi pangan nasional
relatif lambat bahkan mengalami stagnasi
yang disebabkan oleh adanya kompetisi
dalam pemanfaatan sumberdaya lahan
dan air serta stagnannya pertumbuhan
produktivitas lahan dan berkurangnya
jumlah tenaga kerja pertanian. Kondisi
ketidakseimbangan inilah yang
mendorong kebijakan impor pangan guna
mempertahankan dan meningkatkan
penyediaan pangan nasional. Hal ini
dilakukan dalam rangka mewujudkan
stabilitas penyediaan pangan nasional.
Pengaruh Perubahan Dan Anomali B.
Iklim Terhadap Produksi Pertanian
Fenomena perubahan iklim (climate
change) sebenarnya sudah terjadi dan
sementara tetap berlangsung saat ini
sampai waktu-waktu mendatang. Pada
prinsipnya perubahan iklim terjadi karena
beberapa unsur iklim intensitasnya
menyimpang dari kondisi biasanya menuju
ke arah tertentu. Berbagai penelitian ilmiah
telah melaporkan bahwa karbondioksida
(CO2) di lapisan atmosr yang merupakan
konsekuensi hasil sisa pembakaran dari
batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas,
telah meningkat hampir mendekati angka
20% sejak dimulainya revolusi industri.
Mudiarso (2003) menjelaskan bahwa
kawasan perindustrian telah menghasilkan
limbah “gas rumah kaca” (GRK), seperti
karbondioksida (CO2), metana (CH4),
dan nitrousoksida (N2O) yang dapat
menyebabkan terjadinya “efek selimut”.
Efek inilah yang kemudian mangakibatkan
naiknya suhu di permukaan bumi. Sebagai
bahan perbandingan, konsentrasi GRK
pada masa pra-industri di abad ke-19 baru
sebesar 290 ppmv (CO2), 700 ppbv (CH2),
dan 275 ppbv (N2O). Sedangkan pada saat
ini, peningkatannya menjadi sebesar 360
ppmv (CO2), 1.745 ppbv (CH4), dan 311
ppbv (N2O). Dengan demikian, menurut
para ahli, GRK untuk CO- pada tahun 2050
diperkirakan akan mencapai kisaran 550
ppmv.
Hasil penelitian Boer dan Subbiah
(2005) melaporkan bahwa sejak tahun 1844
hingga 2009 masing-masing telah terjadi 47
dan 38 kali peristiwa El-Nino dan La-Nina
yang menimbulkan kekeringan dan banjir
serta gangguan terhadap produksi padi
nasional. Secara klimatologis, dampak El-
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
25
Nino dan La-Nina dapat diperlemah atau
diperkuat jika dalam waktu bersamaan
juga terjadi fenomena IOD. Fenomena IOD
memengaruhi dinamika dan peredaran
udara dan massa uap air dari/ke Samudra
Hindia daratan Asia Selatan dan Indonesia.
IOD positif cenderung memperkuat dampak
El-Nino, sedangkan bila IOD negatif akan
memperkuat dampak La-Nina. Data curah
hujan di berbagai lokasi menunjukkan
adanya kecenderungan curah hujan rata-
rata yang makin rendah di wilayah bagian
selatan Indonesia. Sementara itu di wilayah
utara terjadi gejala sebaliknya. Contoh
kasus kejadian hujan pada periode tahun
1988-1994, curah hujan rata-rata di wilayah
Gorontalo (Sulawesi bagian utara) sebanyak
106 mm/bulan dengan selang curah hujan
minimum dan maksimum sebanyak 2-279
mm/bulan, sementara untuk periode tahun
1995-2002 curah hujan rata-rata sebanyak
131 mm/bulan dengan selang curah hujan
minimum dan maksimum sebanyak 1-306
mm/bulan, sedangkan pada periode tahun
2003-2009 curah hujan rata-rata sebanyak
138 mm/bulan dengan selang curah hujan
minimum dan maksimum sebanyak 3-400
mm/bulan. Selain itu, suhu udara di
wilayah ini juga menunjukkan peningkatan
yang cukup nyata. Pada periode tahun
1995-2000, suhu udara rata-rata mencapai
27,58oC dengan selang suhu minimum
dan maksimum sebesar 25oC-27,7oC dan
periode tahun 2001-2009 suhu udara rata-
rata mengalami peningkatan mencapai
27,63oC dengan selang suhu minimum dan
maksimum sebesar 24,3oC-27,7oC. Kondisi
ini mengakibatkan beberapa wilayah di
Gorontalo mengalami kejadian banjir yang
tidak mengikuti pola banjir umumnya.
Selain itu, musim kemarau di daerah ini
juga semakin panjang dan sulit diprediksi
kapan awal musim tanam bias dimulai.
Sektor pertanian, selain merupakan
penyumbang emisi GRK, tetapi pertanian
juga merupakan sektor yang paling terkena
dampak akibat perubahan iklim, terutama
tanaman pangan. Perubahan iklim telah
menyebabkan penurunan produktivitas
dan produksi tanaman pangan akibat
peningkatan suhu udara, banjir, kekeringan,
intensitas serangan hama dan penyakit,
serta penurunan kualitas hasil pertanian.
Lebih lanjut Putra dan Indradewa (2011)
menjelaskan bahwa peningkatan suhu
udara di atmosfer sebesar 5oC akan diikuti
oleh penurunan produksi jagung sebesar
40% dan kedelai sebesar 10-30%. Sementara
itu, peningkatan suhu 1-3oC dari kondisi
saat ini menurunkan hasil padi sebesar
6,1-40,2%. Pengaruh ini juga terlihat
pada tanaman kacang-kacangan yang
mengindikasikan kaitan antara penurunan
curah hujan sebesar 10-40% dari kondisi
normal dengan penurunan produksi
sebesar 2,5-15%. Data lainnya terkait
dengan cekaman kekeringan memberikan
informasi bahwa el nino yang terjadi
pada tahun 1997 dan 2003 menyebabkan
menurunnya hasil padi sebesar 2-3%.
Penurunan tersebut dapat menjadi lebih
ekstrem apabila El Nino dibarengi dengan
peningkatan suhu udara.
Konsorsium Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim
(KP3I 2009) Badan Litbang Pertanian
memprediksi bahwa perubahan iklim
akibat El-Nino akan memperluas areal
pertanaman yang terancam kekeringan.
Secara nasional areal pertanaman padi
sawah yang terancam kekeringan
meningkat dari 0,3-1,4% menjadi 3,1-7,8%,
sementara areal yang mengalami puso
akibat kekeringan meningkat dari 0,04-
0,41% menjadi 0,04-1,87%. Sementara itu,
La-Nina menyebabkan peningkatan luas
areal pertanaman yang rawan banjir dari
0,75-2,68% menjadi 0,97-2,99%, dan areal
pertanaman yang mengalami puso akibat
banjir meningkat dari 0,24-0,73% menjadi
8,7-13,8%. Secara agregat, perubahan iklim
berpotensi meningkatkan penurunan
produksi nasional dari 2,45-5,0% menjadi
lebih dari 10%.
Laporan BPS menunjukkan bahwa
sampai tahun 2010, produksi padi nasional
mencapai 66,47 juta ton dan mengalami
peningkatan sebesar 3,21% dari tahun
sebelumnya, sementara pada tahun
2011 berdasarkan angka ramalan III BPS
produksi padi akan mengalami penurunan
sebesar 1,63% atau sebanyak 1,08 juta ton
dibandingkan tahun 2010. Penurunan ini
diperkirakan terjadi karena penurunan
luas panen yang mencapai seluas 29,07
ribu hektar (0,22 persen) dengan tingkat
produktitas sebesar 0,71 kuintal/hektar
atau 1,42%. Penurunan produksi padi
tahun 2011 tersebut terjadi pada subround
Mei sampai Agustus dimana beberapa
26
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
daerah sentra produksi padi nasional
mengalami musim kemarau, sehingga
desit air. Selanjutnya, pada subround
Januari sampai April dipredisksikan akan
terjadi peningkatan sebesar 1,32 juta ton
atau sebesar 4,52% dibandingkan dengan
produksi pada subround yang sama tahun
2010. Pada bulan-bulan tersebut daerah
sentra produksi padi masih mengalami
musim penghujan. Penurunan produksi
padi tahun 2011 tersebut diperkirakan
terjadi di Jawa sebesar 2,22 juta ton,
sedangkan di luar Jawa mengalami
peningkatan sebesar 1,14 juta ton.
Untuk produksi jagung tahun 2011
(angka ramalan III) yang diperkirakan
sebesar 17,23 juta ton pipilan kering atau
menurun sebanyak 1,10 juta ton (5,99%)
dibandingkan tahun 2010. Penurunan
produksi diperkirakan terjadi karena
penurunan luas panen seluas 261,82 ribu
hektar (6,34%). Penurunan produksi padi
tahun 2011 tersebut diperkirakan terjadi
di Jawa sebesar 0,81 juta ton, sedangkan di
luar Jawa sebesar 0,29 juta ton. Produksi
kedelai tahun 2011 (angka ramalan III)
diperkirakan sebesar 870,07 ribu ton biji
kering, menurun sebanyak 36,96 ribu
ton (4,08%) dibandingkan tahun 2010.
Penurunan produksi kedelai tahun 2011
tersebut diperkirakan terjadi di Jawa
sebesar 40,75 ribu ton, sedangkan di luar
Jawa diperkirakan mengalami peningkatan
sebesar 3,79 ribu ton. Penurunan produksi
kedelai diperkirakan terjadi karena
turunnya luas panen seluas 29,40 ribu hektar
atau 4,45%. Penurunan produksi kedelai
tahun 2011 terjadi pada subround Januari
sampai April sebesar 0,29 ribu ton atau
0,12% karena banyak lahan pengembangan
kedelei yang diusahakan untuk padi sawah
karena ketersediaan air dan subround Mei
sampaiAgustus sebesar 67,62 ribu ton atau
sebesar 20,65% karena memasuki musim
kemarau, sedangkan pada subround
September sampai Desember atau masuk
musim penghujan diperkirakan akan
mengalami kenaikan sebesar 30,95 ribu ton
(9,35%) dibandingkan dengan produksi
pada tahun 2010.
Pada skala lokal, laporan BPS
menunjukkan bahwa produksi padi
di wilayah Gorontalo sampai tahun
2010 mengalami peningkatan sebanyak
256.217 ton atau sebesar 7,71% dari tahun
sebelumnya. Demikian halnya dengan
produksi kedelei. Namun tidak demikian
halnya dengan produksi jagung yang justru
mengalami penurunan produksi yang
hanya sebanyak 569.110 ton atau menurun
sebesar 24,48% dari tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan wilayah ini mengalami
musim kemarau yang cukup panjang
sehingga desit air. Penurunan produksi
ini juga terjadi pada komoditi kacang
tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar
di daerah ini. Padahal komoditi-komoditi
tersebut merupakan sumber pangan
masyarakat selama ini.
Sektor pertanian terutama produksi
pangan dikenal sebagai aktivitas ekonomi
yang sangat banyak mengkonsumsi air.
Studi Lundqvist dan Falkenmark (2007)
menyebutkan, untuk menghasilkan 1.000
kilokalori (kkal) pangan dari tanaman,
diperlukan sekitar 0,5 meter kubik air.
Untuk memproduksi 1.000 kkal pangan dari
hewan, diperlukan rata-rata 4 meter kubik
air, walaupun angka ini bervariasi menurut
wilayah dan jenis produk yang dihasilkan.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa
perubahan iklim juga turut berdampak
terhadap degradasi lahan pertanian, seperti
erosi dan sedimentasi, tanah longsor, dan
bencana banjir. Naiknya permukaan air
laut mengakibatkan instrusi air laut di
sebagian lahan sawah di sepanjang pantai,
terutama pantai utara Jawa. Genangan
tersebut selain mengakibatkan hilangnya
lahan sawah, juga menyebabkan degradasi
dan penurunan produktivitas lahan
akibat salinitas. Laporan Boer et al. (2009)
menyatakan bahwa Kabupaten Karawang
dan Subang yang merupakan sentra
produksi pangan di Jawa Barat mengalami
penurunan produksi beras sekitar 300.000
ton akibat genangan tersebut. Pada tahun
2010, wilayah persawahan di Gorontalo
juga banyak yang mengalami genangan
akibat naiknya muka air laut Teluk Tomini
dan banjir pada beberapa sungai besar
di DAS Limboto dan DAS Randangan.
Akibatnya kerugian yang ditimbulkan oleh
kejadian ini cukup besar bagi petani dan
mengganggu penyediaan pangan daerah
dan nasional.
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
27
Strategi Antisipasi Perubahan Dan C.
Anomali Iklim
Strategi pengelolaan lingkungan
pertanaman dapat dilakukan melalui
berbagai upaya perencanaan, penyesuaian,
baik kegiatan pertanian, pengelolaan
sumberdaya maupun penerapan teknologi
pertanian untuk mengatasi dampak
perubahan dan anomali iklim. Strategi
yang ditempuh terdiri dari strategi jangka
pendek, menengah dan stretegi jangka
panjang, meliputi:
Strategi Jangka Pendek1.
Pengolahan tanah minimum untuk a.
mengurangi evaporasi karena
permukaan tanah terbuka.
Penentuan waktu tanam (b. crop
calendar) berdasarkan data unsur-
unsur iklim yang valid dan seri data
yang lebih panjang.
Esiensi penggunaan air melalui c.
perhitungan kebutuhan air tanaman
setiap musim tanam.
Pengelompokan tanaman dalam d.
suatu bentang lahan (land-scape)
berdasarkan kebutuhan air yang
sama, sehingga pengairan dapat
dikelompokkan sesuai kebutuhan
tanaman.
Penentuan pola tanam yang tepat e.
untuk areal yang datar maupun
berlereng.
Mempercepat waktu tanam agar fase f.
vegetatif maupun generatif tanaman
kebutuhan airnya dapat terpenuhi.
Penerapan sistem pertanaman g.
tumpang sari dan tumpang gilir
yang didasarkan pada kebutuhan air
setiap tanaman.
Pemilihan varitas tanaman yang h.
unggul dan toleran terhadap
cekaman kekeringan, serta berumur
pendek sebagai antisipasi fenomena
terjadinya El-Nino.
Pemantauan serangan hama dan i.
penyakit yang umumnya terjadi saat
musim curah hujan yang panjang
dan pergantian musim.
Penggunaan pemecah angin j.
(wind break) untuk mengurangi
kecepatan angin sehingga
menurunkan kehilangan air melalui
evapotranspirasi dari permukaan
tanah dan tanaman.
Pemberian mulsa dan bahan organik k.
yang tersedia setempat untuk
mengurangi evapotranspirasi dan
menjaga kelembaban tanah serta
meningkatkan kesuburan tanah.
Penerapan teknik konservasi tanah l.
dan air yang saat ini dapat secara
langsung dilaksanakan oleh petani,
seperti pembuatan rorak, bak-bak
penampung air, saluran buntu,
lubang penampung air dan lainnya.
Strategi Jangka Menengah2.
Pemantauan secara kontinyu a.
terhadap fenomena perubahan
unsur-unsur iklim, terutama curah
hujan, suhu udara dan kelembaban.
Perbaikan dan pemeliharaan sarana b.
dan prasarana irigasi yang telah ada.
Peningkatan pembangunan jaringan c.
irigasi teknis, terutama pada wilayah
yang sumber airnya tersedia, tetapi
banyak mengalami kegagalan panen
karena kekurangan air.
Penerapan teknik konservasi d.
tanah dan air, seperti cek dam, dan
embung pada daerah yang rawan
kekeringan.
Pembentukan kelembagaan e.
pengelola dan pemanfaat air.
Pemberdayaan petani melalui f.
pembinaan dan pembimbingan untuk
menghadapi perubahan dan anomali
iklim terhadap usaha pertanian.
Strategi Jangka Panjang3.
Perencanaan pembangunan sektor a.
pertanian yang lebih terpadu,
sistematis dan komprehensif dengan
mempertimbangkan berbagai
aspek yang tekait dengan kinerja
sektor pertanian, terutama aspek
agroklimatologi.
Pelibatan masyarakat secara b.
partisipatif dalam setiap perencanaan
pembangunan pertanian.
Pola koordinasi yang baik antar c.
instansi pemerintah, terutama yang
terkait langsung dengan sektor
28
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
pertanian melalui sinkronisasi dan
harmonisasi program kerja.
Pemantauan areal yang sering d.
terkena bencana akibat perubahan
dan anomali iklim secara berkala
dan berkesinambungan.
Melakukan reboisasi dan rehabilitasi e.
lahan dan hutan dengan pendekatan
daerah aliran sungai (DAS).
Pemanfaatan teknologi dalam f.
membantu upaya prediksi perubahan
iklim untuk mengurangi resiko
kegagalan panen, seperti model down
scalling analysis dan general circulation
model.
Penyebarluasan informasi iklim dan g.
cuaca secara cepat, tepat dan aktual.
Pembangunan sarana dan prasarana h.
infrastruktur pertanian yang
membutuhkan penanganan oleh
pemerintah, seperti bendung dan
waduk.
Arahan Antisipasi Perubahan dan D.
Anomali Iklim untuk Memperkuat
Ketahanan Pangan
Adaptasi Perubahan Iklim
Sektor pertanian sangat rentan terhadap
perubahan iklim karena berpengaruh
pada pola tanam, waktu tanam, produksi,
dan kualitas hasil. Dengan demikian
diperlukan upaya tanggap yang relatif
cepat dan mampu mengurangi pengaruh
negatif dari perubahan iklim. Salah satu
upaya yang dapat dilakuakan melalui
adaptasi tanaman pangan. Upaya adaptasi
yang dapat dilakukan berupa pengelolaan
sumberdaya tanah dan air secara optimal
dan berkelanjutan, pengelolaan tanaman
dan pertanaman yang disesuaikan dengan
kondisi iklim setempat, penggunaan sarana
produksi pertanian yang efektif dan esien,
dan penerapan teknologi pertanian tepat
guna yang adaptif.
Upaya adaptasi perlu didukung oleh
beberapa program, sebagaimana usulan
Las et al. (2011) antara lain:
Percepatan arus informasi iklim dan 1.
teknologi dengan dukungan teknologi
informasi seperti situs dan media
massa, serta pembentukan kelompok
kerja perubahan iklim, baik di pusat
maupun daerah.
Pengembangan dan pemberdayaan 2.
kelembagaan petani, seperti
pengintegrasian sekolah lapang
iklim (SLI) ke dalam sekolah lapang
pengelolaan tanaman terpadu (SLPTT)
dan sekolah lapang pengendalian hama
terpadu (SLPHT).
Identikasi wilayah rawan banjir dan 3.
kekeringan serta potensi sumber daya
air alternatif dan lahan suboptimal
seperti lahan kering (STL-KIK) dan
lahan rawa potensial.
Sosialisasi perangkat dan pedoman 4.
penyesuaian pola tanam dan teknologi,
seperti Atlas Kalender Tanam, PHT, PTT,
SPTL-KIK, dan Cetak Biru Pengelolaan
Banjir dan Kekeringan Partisipatif.
Pengembangan sistem penyiapan 5.
sarana produksi yang antisipatif
terhadap anomali iklim, terutama benih
varietas unggul baru (VUB) adaptif dan
pupuk yang siap pakai.
Pengembangan teknologi dan alat 6.
mesin panen dan pascapanen, terutama
sistem pengeringan dan penggilingan
gabah.
Namun demikian, World Bank (2011)
melaporkan bahwa biaya untuk melakukan
adaptasi akan tinggi dan diperkirakan biaya
adaptasi untuk Indonesia dan tiga negara
lain di Asia Tenggara di sektor pertanian
dan daerah pesisir adalah rata-rata $5
milyar per tahun pada tahun 2020. Khusus
Indonesia, pada tahun 2050 keuntungan
tahunan dari terhindarnya kerusakan
akibat perubahan iklim akan melebihi biaya
tahunan. Diperkirakan, pada tahun 2100
keuntungan dapat mencapai 1.6 persen
PDB (bandingkan dengan biaya sebesar
0.12 persen PDB).
Diversikasi Produksi Pangan
Diversikasi produksi pangan
merupakan aspek yang sangat penting
dalam ketahanan pangan. Diversikasi
produksi pangan bermanfaat bagi upaya
peningkatan pendapatan petani dan
memperkecil resiko berusaha. Diversikasi
produksi secara langsung maupun
tidak langsung akan mendukung upaya
penganekaragaman pangan (diversikasi
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
29
konsumsi pangan) yang merupakan salah
satu aspek penting dalam ketahanan
pangan. Bentuk diversikasi produksi yang
dapat dikembangkan untuk mendukung
ketahanan pangan, antara lain:
Diversikasi horizontal, yaitu 1.
mengembangkan usahatani komoditas
unggulan sebagai “core of business”
serta mengembangkan usahatani
komoditas lainnya sebagai usaha
pelengkap untuk mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam,
modal, dan tenaga kerja keluarga serta
memperkecil terjadinya resiko kegagalan
usaha. Contoh bentuk diversikasi ini
adalah Jagung Agropolitan di Provinsi
Gorontalo, Padi di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara Provinsi Sulawesi
Utara.
Diversikasi regional, yaitu 2.
mengembangkan komoditas pertanian
unggulan spesik lokasi dalam kawasan
yang luas menurut kesesuaian kondisi
agro ekosistemnya, dengan demikian
akan mendorong pengembangan
sentra-sentra produksi pertanian di
berbagai wilayah serta mendorong
pengembangan perdagangan antar
wilayah.
Pembinaan Kehidupan Sosial dan
Budaya Masyarakat
Kehidupan masyarakat petani di
perdesaan sangat dipengaruhi adat-istiadat,
budaya dan agama. berkaitan dengan upaya
mengantisipasi kerawanan pangan akibat
dari perubahan iklim, kearifan manusia
(local wisdom) yang selaras dengan alam
merupakan salah satu kunci keberhasilan
upaya ini. Dari aspek adat, banyak kearifan
lokal yang mulai terkikis oleh gerak laju
perkembangan zaman yang menglobal.
Seperti halnya daerah lain, di Gorontalo
dikenal budaya “huyula” atau dalam
pengertian umum gotong royong yang
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal
yang saat ini masih ada, walaupun mulai
terkikis oleh perkembangan zaman. Salah
satu kearifan lokal yang berkaitan dengan
kegiatan pertanian adalah penentuan
waktu tanam yang didasarkan pada ilmu
perbintangan yang dikenal dengan istilah
“panggoba”. Sejak zaman dahulu, budaya
ini dipegang teguh oleh petani. Namun
seiring perubahan iklim mikro maupun
global, panggoba mulai ditinggalkan. Dalam
konteks ini, keberadaan panggoba sebagai
salah satu upaya penentuan waktu tanam
dapat dikombinasikan dengan data dan
informasi iklim yang dikumpulkan pada
stasiun pengamatan iklim. Hal ini cukup
beralasan karena petani juga merupakan
sumber informasi iklim yang strategis,
melalui pencermatan dan interpretasi
lapangan, baik menurut kearifan lokal
(local wisdom) maupun pendekatan
diskriptif dengan alat sederhana. Peran
tersebut diwujudkan melalui kelompok
tani atau sekolah lapang iklim (SLI) yang
fungsinya menghasilkan, mengolah, dan
mengomunikasikan informasi iklim untuk
menetapkan sistem usaha tani, pola tanam,
dan teknologi yang paling menguntungkan
dengan risiko paling kecil. Pendekatan SLI
akan sangat tepat jika diterapkan dalam
pendekatan SLPTT dan SLPHT. Selain
itu, di wilayah Nusa Tenggara Timur juga
terdapat kearifan lokal yang berkaitan
langsung dengan konservasi tanah dan
air yang disebut kebekolo. Kebekolo
merupakan barisan kayu atau ranting yang
disusun atau ditumpuk memotong lereng.
Tumpukan kayu/ranting ini berfungsi
untuk menahan tanah yang tergerus
aliran permukaan (run off), sehingga erosi
tanah dapat diminimalisir. Gorontalo juga
memiliki beberapa varietas jagung (binthe)
lokal, seperti binthe kiki, binthe kalingga
(tongkol merah), binthe momala, dan binthe
pulo (biji berwarna putih dan ketan).
Untuk mengantisipasi serangan hama dan
penyakit pada benih, petani melakukan
molude, yaitu menyimpan benih pada
tumpukan karung yang berisi kapur atau
tilo agar tahan sampai panen berikutnya.
Penguatan Ekonomi dan
Kelembagaan Petani
Pengembangan ekonomi di sektor
pertanian dapat dilakukan dengan
pendekatan agribisnis. Pengembangan
pertanian melalui pendekatan agribisnis
merupakan langkah yang benar dan tepat
(on the right track) karena pendekatan
ini mengintegrasikan secara vertikal
aktivitas hulu hingga hilir dan secara
horizontal berbagai sektor sehingga
mampu menciptakan keuntungan yang
30
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
layak bagi petani. Lembaga agribisnis yang
perlu dikembangkan adalah kelompok
tani, perkumpulan petani pemakai air
(P3A), koperasi dan lembaga keuangan
perdesaan, penyedia sarana dan prasarana
produksi, pemasaran hasil, dan jasa
pelayanan alsintan. Selain kedua lembaga
tersebut, pemberdayaan penyuluh
lapangan juga perlu dilakukan karena
mereka yang langsung berhadapan dengan
petani. Pemberdayaan kelembagaan
petani bertujuan untuk meningkatkan
partisipasi petani dalam kelembagaan
usaha tani. Kelembagaan masyarakat
seperti Badan Perwakilan Desa (BPD)
berperan menggerakkan masyarakat dalam
kegiatan bersama, menumbuhkan dan
meningkatkan peran masyarakat dalam
kegiatan yang diprakarsai pemerintah
setempat, serta meningkatkan kemandirian
petani dalam pembangunan pertanian.
Sementara itu, koperasi unit desa (KUD)
berperan membantu petani anggotanya
dalam memperoleh kredit, sarana produksi,
dan alat-alat pertanian serta menampung
dan memasarkan hasil.
Kebijakan yang Berpihak
pada Pertanian
Manfaat yang dinikmati masyarakat
di daerah hilir sering kali atas biaya atau
kerja keras masyarakat di daerah hulu.
Apabila tujuan pembangunan adalah
menciptakan keadaan sosial ekonomi
yang adil dan merata maka kondisi
yang demikian tidak akan mendukung
pencapaian tujuan pembangunan. Hal ini
sejalan dengan pernyataan Fagi dan Las
(2006) bahwa kebijakan pembangunan
yang tidak berpihak kepada pertanian akan
mengganggu stabilitas ketahanan pangan,
memperburuk kualitas lingkungan, dan
berdampak buruk terhadap stabilitas
ekonomi, sosial, dan politik. Beberapa
arahan kebijakan yang dapat digunakan
adalah: 1) pemberian subsidi kepada
petani di daerah hulu untuk membangun
pengendali erosi, seperti teras dan teknik
konservasi lahan lainnya, 2) pemberian
subsidi pajak kepada petani di daerah
hulu, dengan cara membebankan yaitu
petani daerah hilir membayar pajak (PBB)
lebih besar daripada petani di hulu sebagai
bentuk keseimbangan dalam pemanfaatan
sumber daya lahan yang adil dan bijaksana,
3) penetapan kebijakan di tingkat kabupaten
dan atau provinsi tentang pengelolaan
lahan pertanian berbasis konservasi beserta
petunjuk teknisnya agar berbagai pihak
mengetahui tata hukum dan tata kelola
pemanfaatan lahan pertanian. Salah satu
kendala dalam pengelolaan lahan pertanian
adalah tumpang tindih kepentingan dalam
pengelolaan lahan. Oleh karena itu, dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan petani,
sekaligus menjaga ketahanan pangan
maka sinkronisasi dan koordinasi lintas
institusi perlu dilakukan untuk menjamin
pelaksanaan program pembangunan
pertanian.
Kesimpulan
Perubahan dan anomali telah
berdampak besar terhadap ketahanan
pangan nasional. Sektor pertanian selain
penyumbang efek GRK, tetapi juga sektor
yang paling terpangaruh oleh perubahan
dan anomali iklim. Ketersediaan pangan
saat ini telah melebihi standar kecukupan
energi dan protein nasional, tetapi angka
kecukupannya belum seideal pemenuhan
kecukupan konsumsi di tingkat rumah
tangga atau individu. Selain itu, produksi
pangan terus mengalami pelandaian dan
statgnasi bahkan peluang untuk terjadi
penurunan produksi juga cukup tinggi.
Oleh karena itu diperlukan strategi
penanganan dalam jangka pendek,
menengah, dan jangka panjang. Selain
itu, antisipasi perubahan iklim perlu juga
arahan dari berbagai aspek, antara lain
adaptasi perubahan iklim, diversikasi
produksi pangan, pembinaan kehidupan
sosial dan budaya masyarakat, penguatan
ekonomi dan kelembagaan petani, serta
kebijakan yang berpihak pada pertanian.
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
31
Sumber Rujukan
Boer, R. and A.R. Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. p. 330-344. In
V. S. Boken, A.P. Cracknell, and R.L. Heathcote (Eds.). Monitoring and Predicting
Agricultural Drought: A global study. Oxford Univ. Press.
Boer, R., A. Buono, Sumaryanto, E. Surmaini, A. Rakhman, W. Estiningtyas, K.
Kartikasari, and Fitriyani. 2009. Agriculture Sector. Technical Report on Vulnerability
and Adaptation Assessment to Climate Change for Indonesia’s Second National
Communication. Ministry of Environment and United Nations Development
Programme, Jakarta.
Las, I., A. Pramudia, E. Runtunuwu, dan P. Setyanto. 2011. Antisipasi perubahan
iklim dalam mengamankan produksi beras nasional. Jurnal Pengembangan Inovasi
Pertanian 4(1): 76-86.
Mudiarso, D. 2003. Sepuluh tahun perjalanan negosiasi konvensi perubahan iklim.
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 11.
Suryana, A. 2005. Kebijakan ketahanan pangan nasional. Makalah Simposium
Nasional Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi,
Faperta, IPB, Bogor, 22 November 2005.
World Bank. 2011. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim. Policy Brief World Bank.
62
Edisi 4 / November / 2011
Ketahanan Pangan
dalam Perubahan Iklim Global
Foto : ANTARA/Musyawir
ANTARA/Syaiful Arif
Abduh Sandiah