Content uploaded by Dinoroy Marganda Aritonang
Author content
All content in this area was uploaded by Dinoroy Marganda Aritonang on Jul 06, 2021
Content may be subject to copyright.
45
KOMPLEKSITAS PENEGAKAN
HUKUM ADMINISTRASI DAN PIDANA DI INDONESIA
Dinoroy Marganda Aritonang
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Email: dinoroy.aritonang@gmail.com
Naskah diterima: 11/8/2020, direvisi: 3/3/2021, disetujui: 4/3/2021
Abstract
The development of criminal law in Indonesian legal system has extended in many legal issues without
exception to the administrative law. Both areas of law are basically impossible to separate because they are
subordinated to the public law. Nevertheless, the line between them must be determined. It is to distinguish
whether a violation of the law includes an administrative offense or a criminal act, furthermore, to determine
which legal process is appropriate and what sanctions should be imposed. However, the emergence of
administrative penal law has made the distinction or separation of the two laws blurred. This happens because
many regulations on public administration dominantly include criminal sanctions other than administrative
sanctions. It automatically includes the process of criminal handling into any administrative violation. In other
words, the regulation introduces several new criminal acts. There are several regulations that have a broad
inuence on the interpretation and application of criminal principles into administrative law. In addition, it
also gives effect to the preparation of various policies of administration and its implementation in government
management. The massive paradigm or criminal law approach into administrative law is caused by the
dominance of the concept of clean government and progressive corruption eradication.
Keywords: administrative, criminal, sanction
Abstrak
Perkembangan hukum pidana dalam sistem hukum Indonesia meluas ke banyak persoalan hukum tanpa
terkecuali hukum administrasi negara. Kedua bidang hukum tersebut pada dasarnya memang tidak
mungkin dipisahkan sebagai wujud percabangan dari hukum publik. Namun demikian, garis pemisah di
antara kedua hukum tersebut harus dapat ditentukan untuk membedakan apakah sebuah pelanggaran
hukum termasuk pelanggaran administrasi atau perbuatan pidana, selain itu untuk menentukan proses
hukum mana yang tepat dan sanksi yang seyogyanya dijatuhkan(substantive dan procedural law). Namun,
lahirnya bidang hukum pidana administrasi telah membuat pembedaan atau pemisahan terhadap kedua
hukum tersebut menjadi kabur. Hal tersebut didorong juga oleh banyaknya regulasi mengenai administrasi
publik memasukkan sanksi pidana kedalamnya selain sanksi administratif, yang otomatis memasukkan
juga proses penanganan hukum pidana pada setiap pelanggaran yang sifanya administratif. Dengan
kata lain, regulasi tersebut memunculkan perbuatan-perbuatan pidana yang baru. Terdapat beberapa
regulasi yang memberikan pengaruh secara luas terhadap penafsiran dan penerapan prinsip-prinsip hukum
pidana ke dalam hukum administrasi. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap penyusunan berbagai
kebijakan bidang administrasi dan pelaksanaannya dalam manajemen pemerintahan. Masifnya paradigma
atau pendekatan hukum pidana dalam ranah hukum administrasi salah satunya disebabkan oleh dominasi
konsep clean government dan pemberantasan korupsi yang amat progresif.
Kata Kunci: administratif, pidana, sanksi.
46
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
A. Pendahuluan
Saat ini, regulasi telah menjadi salah satu
instrumen yang amat sentral untuk menentukan
pemerintahan yang baik selain administrasi yang
inovatif. Tanpa regulasi pemerintahan jatuh ke
dalam kerusakan dan tidak efektif, kehilangan
kapasitas untuk memerintah, dan menjadi sasaran
kritik dan kegagalan.1 Bagi sebagian orang regulasi
adalah sesuatu yang dilakukan secara eksklusif oleh
pemerintah berkaitan dengan masalah negara dan
penegakan hukum, sementara bagi yang lain regulasi
sebagian besar merupakan pekerjaan aktor sosial
yang memantau aktor lain termasuk pemerintah.2
Regulasi yang semakin kompleks turut menghendaki
intervensi ke dalam wilayah tertentu yang belum
tentu sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Bagi
administrasi publik luasnya pertimbangan hukum
yang harus diakomodasi amat menentukan proses
pengambilan keputusan.3
Di Indonesia setiap tahun Parlemen dan
Pemerintah Pusat mengeluarkan banyak undang-
undang yang baru atau perubahan dari regulasi
yang lama. Undang-undang tersebut kadang kala
memperkenalkan jenis pelanggaran-pelanggaran baru
dan kadang beserta sanksi baru di dalamnya. Selain
itu undang-undang juga seringkali menghendaki
pembentukan badan-badan administrasi yang
baru. Konsepsi hukum, penafsiran, dan perluasan
bidang-bidang hukum yang baru juga muncul melalui
penciptaan norma-norma baru tersebut.
Gerth & Mills4 berpendapat bahwa kondisi di
atas merupakan ciri utama dari administrasi publik
modern. Institusi publik diberikan kewenangan
untuk mengatur persoalan publik melalui regulasi
yang sifatnya umum atau abstrak. Pemerintahan
regulatif (regulatory state) tersebut bertindak
sebagai subjek regulasi (regulator) dan berinteraksi
dengan aktor sosial yang independen sebagai objek
pengaturannya. Secara administratif pemerintahan
mensyaratkan bahwa peristiwa, proses, dan kegiatan
dikendalikan melalui sarana komando dan kontrol.
5
Salah satu cara yang digunakan adalah melalui
pedoman-pedoman umum dalam Administrative
Procedure Act (APA).6 Pedoman-pedoman tersebut
memberikan prosedur-prosedur formal yang protektif
bagi badan administrasi, namun di sisi lain mereka
juga menuntut lebih banyak diskresi dan penerapan
yang lebih agresif daripada yang disediakan dalam
APA tersebut.7
Pembentukan regulasi dan hukum secara
masif untuk mengatur beragam isu publik turut
mengakibatkan kaburnya sekat antara urusan
publik dan privat. Bidang hukum yang paling sering
digunakan untuk mengatur persoalan-persoalan
administrasi tersebut adalah hukum administrasi
dan hukum pidana.
8
Pertalian kedua hukum itu pun
menjadi tidak dapat dielakkan. Penegakan sanksi
pidana dianggap tepat apabila ingin menimbulkan
efek jera dan dibutuhkan justikasi yang lebih akurat
untuk mencegah kesalahan hukum.9
1. Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance: Policy and Administrative Innovations. USA: Praeger Publisher, hlm. 1.
2. Levi-Faur, David. 2011. Handbook on the Politics of Regulation. UK: MPG Books Group, hlm. 3.
3. Bugari, Bojan, 2017, “Openess and Transparency in Public Administration: Challenges for Public Law”, Wisconsin
International Law Journal 22 (3), 483-521, hlm. 487.
4. Mills, H.H. Gerth & C. Wright. 1958. Max Weber Essays in Sociology. UK: Oxford University Press, hlm. 198.
5. Schneider, Volker. 2002. Regulatory Governance and the Modern Organizational State: The Place of Regulation in
Contemporary State Theory. European Consortium for Political Research (ECPR). Workshop on The Politics of Regulation,
Universitat Pompeu Fabra, Barcelona. 29-30 November. Diakses 23 Mei 2018. http://regulation.upf.edu/reg-network/
papers/1vsbcn.pdf., hlm. 22.
6. Administrative Procedure Act (APA) merupakan produk hukum yang mengatur mengenai mekanisme prosedur
administrasi oleh badan-badan administrasi di Amerika Serikat (administrative agencies). Undang-Undang ini telah
menjadi salah satu landasan dan pondasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan penegakan keadilan
administrasi di Amerika serikat.
7. Epstein, Richard A. 2016. The Role of Guidances in Modern Administrative Procedure: The Case for De Novo Review.
Journal of Legal Analysis Volume 8 Nomor 1, hlm. 48.
8. Weyembergh, Anne &Nicolas Joncheray. 2016. Punitive Administrative Sanctions And Procedural Safeguards: A
Blurred Picture that Needs to be Addressed. New Journal of European Criminal Law Volume 7 Nomor 2, hlm. 190.
9. Blondiau, Thomas, Carole M. Billiet, & Sandra Rousseau. 2015. Comparison of Criminal and Administrative
Penalties for Environmental Offenses. European Journal of Law and Economics Volume 39 Nomor 1, hlm. 13.
47
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
Dalam beberapa peraturan perundang-undangan
di Indonesia juga diatur kedudukan sanksi-sanksi
tersebut. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik mengatur sanksi pidana
sebagai kelanjutan dari sanksi administrasi jika
sebuah pelanggaran hukum dianggap mengandung
perbuatan pidana. Pimpinan penyelenggara atau
pelaksana pelayanan publik yang melakukan
pelanggaran dikenai sanksi administrasi seperti
teguran tertulis dan sanksi terkait jabatannya,
namun pemeriksaan dapat dilanjutkan ke peradilan
umum apabila penyelenggara melakukan perbuatan
melawan hukum atau melakukan tindak pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen juga cukup banyak
mengatur mengenai proses dan muatan pidana selain
sanksi administratif yang berupa penetapan ganti
rugi. Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha atau pengurusnya. Sanksi pidana
yang dapat dijatuhkan adalah pidana penjara dan
pidana denda dan dapat ditambah dengan hukuman
tambahan seperti perampasan, pembayaran ganti
rugi, atau pencabutan izin usaha. Dalam beberapa
pelanggaran tertentu pembuktian terhadap unsur
kesalahan pidana menjadi tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa
untuk melakukan pembuktian juga (pembuktian
terbalik). Pemberian ganti rugi juga tidak otomatis
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut. Selain
itu apabila dilakukan penyelesaian sengketa di luar
pengadilan juga tidak serta merta menghilangkan
tanggung jawab pidananya.
Eratnya pertalian antara kedua hukum tersebut
menyebabkan makin sukarnya menentukan
demarkasi antara proses administrasi dan pidana.
Hal tersebut sering menimbulkan perdebatan untuk
menentukan apakah suatu pelanggaran hukum
sepantasnya merupakan pelanggaran administrasi
atau perbuatan pidana.10 Terutama terkait dengan
pemberantasan korupsi dapat diasumsikan bahwa
setiap pelanggaran hukum amat mungkin dikaitkan
dengan timbulnya dugaan tindak pidana korupsi
meskipun hal itu bisa saja hanya merupakan
pelanggaran administrasi. Proses pemeriksaan
pidana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan
penyelesaian administratif.
Beranjak dari persoalan-persoalan di atas,
pada tahap penelitian awal ini, beberapa hal akan
diberikan analisa dan deskripsi yang tertuang dalam
uraian selanjutnya. Pertama, analisa diarahkan pada
hubungan antara hukum pidana dan administrasi
yang terjadi dalam sistem regulasi dan penegakan
hukum di Indonesia. Pada bagian lain juga dijelaskan
beberapa kebijakan yang dipandang menjadi sebab
dominannya penerapan prinsip dan sanksi hukum
pidana dalam penyelenggaraan administrasi
pemerintahan. Pada bagian akhir dipaparkan
beberapa kelemahan dalam hukum administrasi di
Indonesia yang menyebabkan tidak efektifnya upaya
untuk mendorong penyelenggaraan pemerintahan
yang baik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan studi analisis secara normatif
yuridis. Analisis dilakukan terhadap beberapa
kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang
dipandang memberikan pengaruh yang signikan
terhadap kompleksitas hubungan antara hukum
pidana dan administrasi di Indonesia.
B. Pembahasan
B.1. Peranan Hukum Administrasi dan Pidana
Hukum administrasi dan pidana merupakan
2 (dua) bidang hukum yang berbeda meskipun
keduanya berasal dari cabang hukum publik.
Berdasarkan fungsinya secara umum, hukum
administrasi mengatur tentang kewenangan
badan administrasi, menentukan struktur badan
administrasi, menetapkan persyaratan prosedural
minimal untuk tindakan bagi badan administrasi,
mengukur keabsahan keputusan dari badan
administrasi, dan menentukan hubungan antara
badan administrasi dengan 3 (tiga) cabang utama
kekuasaan.11 Tugas dasar badan administrasi adalah
untuk melaksanakan beragam tools yang diberikan
oleh parlemen melalui undang-undang.12 Tidak ada
10. Weyembergh, Anne, et al, op.cit., hlm.194.
11. Bremer, Emily S. 2015. The Unwritten Administrative Constitution. Florida Law Review Volume 66 Nomor 3, hlm.
1219.
12. Elman, Philip. 1965. A Note on Administrative Adjudication. The Yale Law Journal Volume 74 Nomor 4, hlm. 652.
48
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
pejabat publik yang diizinkan untuk memperluas
ruang lingkup kewenangannya melalui tindakan biasa
dengan dampak aktual seperti tindakan hukum, baik
oleh hukum atau tindakan penegakan hukum.13
Tujuan dasar hukum administrasi adalah
untuk mendorong administrator agar menghasilkan
tingkat layanan optimal dengan lebih esien. Jika
keputusan yang dibuat memiliki konsekuensi penting
bagi seseorang atau pihak lain, maka pengambilan
keputusan yang baik sepatutnya memerlukan
pertimbangan yang hati-hati.14 Penegakan hukum
administrasi dilakukan melalui hukum acara
administrasi yang dapat diterapkan melalui pedoman
dan peraturan procedural administrative yang bersifat
umum dan khusus.15 Oleh karena itu substansi
hukum prosedural dapat bervariasi dari satu bidang
ke bidang lainnya.
Prosedur administratif merupakan bentuk
mekanisme untuk mendorong kepatuhan dari badan
administrasi. Tujuannya adalah untuk membangun
efisiensi, konsistensi, tanggung jawab, dan
akuntabilitas dari manajemen pemerintahan di tingkat
pelaksanaan atau teknis-operasional.16 Prosedur
administratif dituangkan dalam peraturan formal
yang ditetapkan oleh organisasi. Penggunaannya
dapat difungsikan sebagai instrumen pengawasan,
pengendalian, dan peninjauan secara yuridis.17
Secara instrumental prosedur administratif dapat
berguna untuk membangun legitimasi penerapan
administrasi yang baik.18
Penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran hukum
administrasi dapat dilakukan melalui mekanisme
administrative adjudication19 atau penyelesaian
sengketa secara administratif (administrative
sanctioning system). Dalam Komunitas Masyarakat
Eropa (European Union) penyelesaian sengketa
secara administratif dimaknai sebagai mekanisme
untuk menyediakan respon dari badan administrasi
terhadap pelanggaran hukum yang terjadi atas
penggunaan keputusan administrasi yang sepihak
dan mengikat dan membebankan sanksi kepada
pelanggar. Kebijakan sanksi secara nyata merupakan
pendekatan penegakan hukum publik yang dibangun
berdasarkan hukum pidana dan administrasi.20 Ada
3 (tiga) unsur sanksi sesuai dengan metode yang
ada untuk mendukung norma-norma primer. Tiga
elemen yang tidak terpisahkan adalah hukuman,
perbaikan, dan regulasi.21
13. Epstein, Richard A., op.cit., hlm. 55.
14. Bishop, William. 1990. A Theory of Administrative Law. The Journal of Legal Studies Volume 19 Nomor 2, hlm. 490.
15. Dalam khasanah hukum administrasi negara di Indonesia juga dikenal pembagian Hukum Administrasi Umum
dan Khusus. Sebagian ahli menyatakan bahwa hukum administrasi khusus sebagai hukum administrasi sektoral
karena berkaitan dengan persoalan administrasi yang khusus. Hadjon menyatakan bahwa pada tahap perkembangan
hukum administrasi diawali oleh berkembangnya hukum-hukum administrasi khusus yang pada gilirannya akan
membentuk hukum administrasi umum yang dapat diterapkan dalam setiap praktik administrasi negara. Undang-
Undang Administrasi Pemerintahan dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk hukum administrasi umum tersebut.
Lebih lanjut dalam Philipus M. Hadjon, et al, 1997, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
16. Sever, Polonca Kovac &Tina. 2013, “Public Service Excellence through Participation in Administrative Procedures
- Trends and Challenges in Slovenia and EU.” 16th Toulon-Verona Conference "Excellence in Services", 29-30 August,
University of Ljubljana, Slovenia, 404-417. Diakses 28 Mei 2019, https://www.researchgate.net/publication/308977648_
Reforming_public_administration_in_Slovenia_between_theory_and_practice_of_good_governance_and_good_
administration.
17. Cananea, Giacinto Della, 2016,Due Process of Law Beyond the State, Requirements of Administrative Procedure,
Oxford University Press, UK, hlm. 20.
18. Ponce. 2005. Good Administration and Administrative Procedures. Indiana Journal of Global Legal Studies Volume
12 Nomor 2, hlm. 551.
19. Lebih lanjut dalam Asimow, Michael. 2015. Five Models of Administrative Adjudication. The American Journal of
Comparative Law Volume 63 Nomor 3.
20. Billiet, Carole M. 2017. Administrative Sanctioning Systems in the EU Member States: A General Overview”,www.
aeaj.org. AEAJ Workshop in Riga, Latvia. 7-8 September. Diakses 12 April 2018. http://www.aeaj.org/media/les/2017-
11-25-58-AEAJ%20Riga_Administrative%20sanctions.pdf.
21. Lebih lanjut dalam Altree, Lillian R. 1964. Administrative Sanctions: Regulation and Adjudication”,Stanford Law
Review Volume 16 Nomor 3, hlm. 631.
49
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
Untuk menjelaskan mekanisme penyelesaian
administratif seperti di atas, Asimow menggunakan
istilah yaitu “Administrative adjudication”. Jenis
ajudikasi ini adalah keseluruhan sistem untuk
menyelesaikan perselisihan individual antara pihak
swasta dengan badan administrasi pemerintah,
dimulai dengan penyelidikan administratif, lalu proses
gugatan dari pihak swasta, dan diakhiri dengan uji
materi.22 Hukum administratif harus menetapkan
sistem penyelesaian perselisihan dengan akurat, adil,
dan esien. Administrative Sanctioning System atau
Administrative Adjudication yang dimaksud bukan
hanya berwujud badan peradilan23, meskipun di
Indonesia terdapat peradilan yang berwenang khusus
terkait sengketa administrasi negara melalui Peradilan
Administrasi (Administrative Court).
Sanksi melibatkan sejumlah momen pengambilan
keputusan hukum dengan konsekuensi hukum yang
beragam berdasarkan hukum yang mengatur tentang
penegakan sanksi konkret tersebut, mekanisme
penjatuhannya, dan pelaksanaan hukuman.24
Perbedaan mendasar antara ajudikasi yudisial dan
administratif bukanlah mengenai perbedaan prosedur
tetapi pada lingkungan kelembagaannya di mana
ajudikasi berlangsung. Dalam ajudikasi administratif,
independensi hakim merupakan bentuk perlindungan
yang substansial terhadap ketidakadilan dalam
ajudikasi.25 Meskipun demikian, kurangnya kerangka
kerja normatif yang mengatur tentang institusi yang
koheren, prosedural, dan prinsipil dalam pemberian
sanksi administratif merupakan salah satu bentuk
kelemahan dan kritik.26
Berbeda dengan hukum administrasi, hukum
pidana tidak dimaksudkan untuk mengatur secara
khusus perihal tindakan atau keputusan yang dibuat
oleh badan administrasi. Hukum pidana mengatur
mengenai pencegahan terhadap perbuatan yang
dilarang oleh hukum baik secara sengaja ataupun
karena kelalaian. Sebagian besar hukum diterapkan
dengan ancaman hukuman atas tindakan yang
dilarang.27 Tindakan tersebut dapat dilakukan oleh
siapapun termasuk oleh badan atau pejabat publik.
Hukum Pidana adalah sarana dari kekuatan
koersif pemerintah.28 Tujuan penerapannya tidak
hanya untuk menghukum dan mengendalikan
pelanggar, tetapi juga menawarkan perlindungan
kepada mereka melalui sistem peradilan serta
memberikan perlindungan bagi masyarakat.
29
Salah
satu ciri pembeda hukum pidana dengan hukum
lainnya adalah penjatuhan hukuman yang diberikan
oleh institusi yang berwenang. Tanpa hukuman
dan lembaga yang dirancang untuk melaksanakan
hukuman, tidak ada hukum pidana.30
Gagasan penegakan hukum melalui penjatuhan
hukuman terhadap pelanggar hukum pada dasarnya
sebagian berfungsi sebagai alat untuk mencegah
kejahatan di masa depan. Konsep tersebut adalah
dasar dari legislasi pengendalian kejahatan,
meskipun hal tersebut juga telah lama dipertanyakan
secara serius.31 Salah satunya Sherman32 yang
mengungkapkan bahwa sanksi kriminal pada
umumnya tidak memiliki relevansi terhadap tingkat
kejahatan ke depannya. Sanksi kriminal malah dapat
menghadirkan penentangan dan ketidakpuasan dari
22. Asimow, Michael, op.cit., hlm. 4.
23. Cane, Peter. 2009. Administrative Tribunals and Adjudication. Portland: Hart Publishing,.
24. Vervaele, J.A.E. 1994. Administrative Sanctioning Powers of and in the Community: Towards a System European
Administrative Sanctions?, Vol. 5, dalam Administrative Law Application and Enforcement of Community Law in the
Netherlands, oleh J.A.E. Vervaele (ed.), 161-202, Kluwer Law and Taxation Publishers,Deventer.
25. Elman, Philip,op.cit., hlm. 653.
26. Kidron, Eithan Y.. 2018. Understanding Administrative Sanctioning as Corrective Justice”,Michigan Journal of Law
Reform Volume 51 Nomor 2, hlm. 321.
27. Ramsay, Peter. 2013. Democratic Limits to Preventive Criminal Law” dalam Prevention and the Limits of the
Criminal Law, oleh Lucia Zedner & Patrick Tomlin Andrew Ashworth. UK: Oxford University Press, hlm. 215.
28. Cass, Ronald A. 2015. Overcriminalization: Administrative Regulation, Prosecutorial Discretion, and The Rule of
Law”. Engage Volume 15 Nomor 2, hlm. 15.
29. Lanham, David, et al. 2006. Criminal Laws in Australia. New South Wales: The Federation Press, hlm. 1.
30. Fletcher, George P. 1998. Basic Concepts of Criminal Law. New York: Oxford University Press, hlm. 30.
31. Ehrlich, Isaac. 1972. The Deterrent Effect of Criminal Law Enforcement. The Journal of Legal Studies Volume 1
Nomor 2, hlm. 260.
32. Sherman, Lawrence W. 1993. Deance, Deterrence, and Irrelevance: A Theory of the Criminal Sanction. Journal of
Research in Crime and Delinquency Volume 30 Nomor 4, hlm. 447.
50
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
pelanggar terhadap manfaat dari sanksi tersebut. Hal
tersebut di antaranya disebabkan oleh pandangan
bahwa sanksi kriminal tidak adil atau pelanggar
menolak untuk merasa malu atas sanksi yang
dijatuhkan padanya. Oleh sebab itu, pendekatan
yang dilakukan untuk menganalisis efek jera dari
penegakan hukum pada kejahatan amat bergantung
pada faktor-faktor penentu dari perilaku kriminal
itu sendiri.33
Pada dasarnya, bidang hukum pidana dan
administrasi memiliki perbedaan yang fundamental.
Masing-masing hukum itu diatur dalam kumpulan
norma independen yang berbeda.34 Selain itu fokus
kedua bidang hukum tersebut juga berbeda, karakter
fundamental dari hukum pidana kebanyakan
bersifat membatasi (restraining), sedangkan hukum
administrasi sebagian besar bersifat mendorong
(enabling).35 Penjatuhan hukuman yang lebih
ringan atau rendah diberikan secara administratif
daripada dalam penegakan pidana.
36
Hukum pidana
merupakan the ultima ratio, dan oleh karena itu,
hanya bisa digunakan jika pilihan sanksi yang
tersedia dipandang tidak cukup memuaskan untuk
menjamin hak-hak hukum secara efektif.37
B.2. Kompleksitas Hukum Pidana Administrasi
Dalam studi ilmu hukum percampuran antara
hukum administrasi dengan hukum pidana telah
menciptakan bidang hukum yang lebih spesik
dalam bidang administrative penal law. Hukum
pidana ini pertama kali diperkenalkan ke dalam
bahasa hukum oleh James Goldschmidt dalam
“Das Verwaltungsstrafrecht”. Istilah ini tidak hanya
menjadi mapan di Jerman, tapi juga di beberapa
negara lain. Banyak sistem hukum nasional dan
supranasional menggunakan istilah yang berbeda
untuk itu.38
Di Eropa, Administrative Penal Code telah
diterapkan sejak tahun 1925. Undang-undang ini
mengatur hukum pidana administrasi dan prinsip-
prinsip dasar yang dekat dengan hukum pidana.39
Meskipun di Belanda merupakan kebalikannya, di
mana pada akhir 1980-an, instrumen penegakan
alternatif lebih sering digunakan selain hukum
pidana. Hal itu mendorong pembentukan legislasi
yang lebih mengutamakan hukum administrasi di
sana.40
Hukum Pidana Administratif adalah hukum
quasi-penal (kuasi-pidana) yang memungkinkan
badan administratif untuk menjatuhkan sanksi
yang memiliki karakter, atau setidak-tidaknya serupa
dengan hukuman pidana.41 Untuk memudahkan
dalam memahami pemisahannya maka perbedaan
keduanya tidak boleh ditarik antara hukum pidana
dan hukum pidana administrasi tetapi antara
hukum pidana administrasi dan hukum administrasi
lainnya.42 Pada dasarnya administrative penal law
merupakan perpanjangan fungsi dari hukum
administrasi melalui karakter lebih koersif dan
punitive. Kekuasaan administratif untuk menghukum
33. Ehrlich, Isaac, op.cit., hlm. 261.
34. Paeffgen, H.U. 1991. Overlapping Tensions Between Criminal and Administrative Law: The Experience of West
German Environmental Law. Journal of Environmental Law Volume 3 Nomor 2, hlm. 248.
35. Cass, Ronald A.,op.cit., hlm.17.
36. Blondiau, Thomas et al, op.cit., hlm. 14.
37. Casermeiro, Pablo Rando. 2011. The Law and Order Approach to Criminal Law in the Administrative Sanctioning
System”. Diakses pada 25 Mei 2018, hlm. 6. https://www.researchgate.net/publication/267336067_The_law_and_
order_approach_to_criminal_law_in_the_administrative_sanctioning_system,
38. Cho, Byung-Sun, 1993, “Administrative Penal Law and Its Theory in Korea and Japan: A Comparative Point of
View”,Tilburg Law Review Volume 2 Nomor 3, hlm. 265.
39. Staniszewska, Lucyna. 2016. Models of Liability for the Administrative Tort Sanctioned with Financial Penalties on
the Example of Selected European Countries. Studies in Public Law Volume 1 Nomor 13: 67-84. Diakses 27 March 2018.
https://repozytorium.amu.edu.pl/bitstream/10593/17403/1/Strony%20odSPP_1_13_2016_Lucyna_Staniszewska.
pdf, hlm. 73.
40. Widdershoven, Rob. 2002. Encroachment of Criminal Law in Administrative Law in the Netherlands”,Electronic
Journal Of Comparative Law Volume 6 Nomor 4, hlm. 445.
41. Cho, Byung-Sun, op.cit., hlm. 265.
42. Ligeti, Katalin. 2000. European Criminal Law: Administrative and Criminal Sanctions as Means of Enforcing
Community Law. Acta Juridica Hungarica Volume 41 Nomor 3-4, hlm. 200.
51
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
merupakan akibat dari fungsi-fungsi lain dan bukan
aktivitas yang berdiri sendiri.43
Masuknya karakter hukum pidana ke dalam
hukum administrasi memberikan kesulitan untuk
menentukan batasan yang jelas antara proses
pemeriksaan pidana dan administrasi. Hal tersebut
disebabkan oleh sifat punitif dari sanksi yang
digunakan bagi pelanggaran hukum administrasi.
Intervensi hukum administrasi melalui pemberian
hukuman (sanksi) sebagai bentuk sanksi alternatif
telah sering terjadi.44 Sanksi punitif memang tidak
selalu berasosiasi dengan sanksi pidana namun juga
pada hukum administrasi, seperti sanksi denda atau
ganti kerugian yang dapat diterapkan pada kedua
bidang hukum tersebut. Sifat menghukum (punitive
character) dari sanksi administrasi juga dapat terasa
sama beratnya dengan sanksi pidana.45
Perbedaan utama antara hukuman pidana
dan administrasi adalah dalam hukum pidana
administratif biasanya sanksi cukup dikenakan
pada kasus kelalaian, sebaliknya, kelalaian dalam
pidana dapat dianggap sebagai pelanggaran yang
disengaja.46 Dalam praktiknya memang amat sulit
untuk menentukan jenis pelanggaran hukum
dengan jelas. Faktor penting dalam menentukan
ruang lingkup tindak pidana bukan pada scope
saja tetapi pada struktur dari hukum pidana.
Struktur tersebut berkaitan dengan pertanyaan apa
yang harus dikriminalisasi dan bagaimana dapat
dikriminalisasi.47 Beragamnya regulasi yang secara
bersamaan mengatur sanksi administrasi dan pidana
didasarkan pada konsep dan tujuan hukum yang
berbeda-beda.48
Di Indonesia pada dasarnya belum ada undang-
undang tertulis yang khusus mengatur mengenai
administrative penal law. Penal atau hukuman
pidana masih menjadi domain dari bidang hukum
pidana. Perkembangan administrative penal law
dan punitive sanction disebabkan oleh maraknya
pelanggaran hukum yang terjadi, terutama pidana
korupsi oleh pejabat publik atau badan administrasi.
Pola pemberian sanksi dan penerapan hukum yang
lama dianggap tidak mampu memberikan efek jera
kepada pelanggar. Hukum administrasi dipandang
tidak mencukupi untuk memukul mundur perbuatan
korupsi. Sebagaimana dimaksud oleh Bensing dan
Langsted49, hukum administratif jarang memiliki
ketentuan tertulis yang mengikat mengenai pemberian
hadiah (gratikasi) atau keistimewaan lainya yang
setara dengan aturan suap dalam Hukum Pidana.
Aturan administrasi sudah diatur dan dipublikasikan,
namun aturan itu seringkali tidak mengikat (soft
law).50
Kehadiran progresif dari hukum pidana
administrasi ini cukup terbilang baru di Indonesia,
seiring dengan kuatnya pemberantasan korupsi dan
pemerintahan yang bersih sebagai jargon utama
penyelenggaraan pemerintahan. Sanksi pidana
kemudian banyak diterapkan dalam peraturan
perundang-undangan bidang hukum administrasi.51
Bukan hanya dalam peraturan nasional tetapi
juga banyak masuk ke dalam substansi peraturan
daerah.
52
Salah satu undang-undang yang diciptakan
untuk mendukung pemberantasan korupsi dan
pembangunan birokrasi pemerintahan yang semakin
baik adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU-AP).
43. Gellhorn, Walter. 1970. Administrative Prescription and Imposition of Penalties. Washington University Law Review
Volume 1970 Nomor 3, hlm. 774.
44. Weyembergh, Anne, et al,op.cit., hlm. 194.
45. Ligeti, Katalin, op.cit., hlm. 207.
46. Staniszewska, Lucyna, op.cit., hlm. 73.
47. Duff, R. A., Lindsay Farmer, S. E. Marshall, &Massimo Renzo. 2010. The Boundaries of the Criminal Law. New York:
Oxford University Press, hlm.5.
48. Paeffgen, H.U., op.cit., hlm. 250.
49. Langsted, Sten Bensing &Lars Bo. 2013. “Undue” Gifts for Public Employees: An Administrative and Criminal Law
Analysis. European Journal of Crime, Criminal Law and Criminal Justice 21, hlm. 165.
50. Untuk Konteks hukum internasional, salah satunya dapat dibaca dalam Dinah L. Shelton, 2008, Soft Law, in
Handbook of International Law. USA: Routledge Press.
51. Sulaeman, Eman. 2014. Kebijakan Penggunaan Sanksi Pidana dalam Perundang-undangan Hukum
Administrasi”,Wahana Akademika Volume 1 Nomor 1, hlm. 136.
52. Harahap, Zairin. 2006. Pengaturan Tentang Ketentuan Sanksi Dalam Peraturan Daerah. Jurnal Hukum Volume
13 Nomor 1, hlm. 40-41.
52
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
Pertalian antara penerapan hukum pidana
atas tindakan badan administrasi salah satunya
didasarkan pada prinsip ultra vires di mana hal
itu juga diatur dalam UU-AP. Dalam undang-
undang tersebut, setiap pejabat publik atau badan
administrasi dilarang untuk menyalahgunakan
wewenang.53 Perbuatan administrasi negara yang
menyalahgunakan wewenang sering dianggap sebagai
bagian atau penyebab dari tindak pidana korupsi.
Meskipun di kalangan para ahli hukum administrasi
masih terdapat perdebatan akan hal tersebut,
terutama terkait dengan kerugian negara54 sebagai
salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi.55
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi memberikan pengertian dan
jenis pidana korupsi secara luas. Pasal 2 di antaranya
mengkonstruksikan bahwa tindak pidana korupsi
merupakan perbuatan yang dilakukan oleh setiap
orang secara melawan hukum dengan maksud
untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Selain itu Pasal
3 mengatur bahwa tindak pidana korupsi juga
berkenaan dengan perbuatan yang menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukannya serta dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Pasal 2 dikenakan
kepada setiap orang baik badan administrasi maupun
individu dan swasta, sedangkan Pasal 3 secara
khusus mengatur mengenai perilaku koruptif yang
hanya mungkin dilakukan oleh badan administrasi.
Dalam penegakan hukum di Indonesia penafsiran
terhadap doktrin ultra vires diterapkan secara
kasuistik sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi
pada setiap kasus penyalahgunaan kewenangan
yang melibatkan aparatur pemerintah.56 Penegakan
hukum pidana korupsi pun dapat diterapkan
terhadap perbuatan penyalahgunaan kewenangan
tersebut meskipun perbuatan tersebut masih
mungkin untuk dikategorikan sebagai pelanggaran
hukum administrasi saja. Oleh karena itu, UU-
AP menyediakan mekanisme untuk membuktikan
ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang
tersebut melalui PTUN di mana hal tersebut menjadi
kompetensi absolutnya yang baru. Kepada setiap
Badan atau Pejabat Pemerintahan yang diduga
melakukan penyalahgunaan wewenang, diberikan
hak untuk mengajukan permohonan kepada PTUN
untuk menilai unsur penyalahgunaan wewenang
tersebut.57
Undang-undang tentang Administrasi
Pemerintahan juga mengatur mengenai pola
pengawasan internal administrasi terhadap perbuatan
penyalahgunaan wewenang. Pengawasan administratif
dapat dilakukan oleh aparat pengawasan internal
pemerintah (APIP), di mana hasil pengawasannya
dapat berupa tidak terdapat kesalahan; terdapat
kesalahan administratif; atau terdapat kesalahan
administratif yang menimbulkan kerugian keuangan
negara. Selain itu untuk tindakan penyalahgunaan
wewenang yang merupakan kesalahan administratif
dan menimbulkan kerugian keuangan negara dapat
dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara
tersebut. Namun bisa saja terjadi sebaliknya di
53. Pelarangan tersebut dalam bentuk larangan untuk melampaui wewenang; larangan untuk mencampuradukkan
wewenang; atau larangan untuk bertindak sewenang-wenang. Lihat lebih lanjut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
54. Untuk mengurangi penafsiran yang amat luas tersebut, salah satu upaya penjelasan dapat dibaca melalui Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut telah memberikan batasan mengenai penafsiran
unsur “kerugian negara” dalam pidana korupsi dari potential loss menjadi kerugian yang senyatannya. Namun tetap
saja, dalam praktiknya, unsur kerugian tersebut masih sulit dibatasi dan ditemukan kesepahaman bersama.
55. Gumbira, Ratna Nurhayati & Seno Wibowo. 2017. Pertanggungjawaban Publik dan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal
Hukum dan Peradilan Volume 6 Nomor 1, hlm. 41.
56. Ibid.
57. Sebagai perbandingan, dalam sistem hukum di Amerika Serikat, dikenal doktrin primary jurisdiction dimana
peradilan berhak untuk menolak pemeriksaan suatu perkara apabila semua upaya administrasi belum tuntas dilakukan
atau lebih baik jika diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya penyelesaian administrasi (exhaustion of administrative
remedies). Lebih lanjut dalam Jaffe, Louis L. 1964. Primary Jurisdiction. Harvard Law Review Review Volume 77 Nomor
6, 1037-1070.
53
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
mana aparatur pemerintah melakukan kesalahan
administrasi yang membawa akibat pada kerugian
negara namun dalam tindakannya tersebut
malah tidak ditemukan unsur penyalahgunaan
wewenang, maka terhadap kesalahan tersebut
sanksi pengembalian kerugian negara dibebankan
pada badan pemerintahannya. Namun jika dalam
pengawasan internal tersebut teridentikasi unsur
penyalahgunaan wewenang maka pengembalian
kerugian negara tersebut dibebankan kepada pejabat
pemerintahan tersebut. Justikasi dan pembuktian
unsur penyalahgunaan wewenang tersebut dapat
dilakukan melalui pengujian di PTUN melalui
permohonan pihak yang terkait.
Masifnya semangat pemberantasan korupsi dan
lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan
yang khusus mengatur hal tersebut telah membangun
pemahaman yang dominan bahwa pemberantasan
korupsi adalah roh atau semangat utama dari
penyusunan dan penegakan berbagai peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundang-
undangan yang berkenaan dengan korupsi seolah-
olah menjadi landasan utama (organic statute) bagi
penyusunan dan penegakan kebijakan lainnya. Upaya
untuk menerapkan sanksi pidana bagi sebagian
pelanggaran-pelanggaran hukum terutama dalam
bidang hukum publik cenderung menjadi pola pikir
yang dominan.
Produk hukum lain yang amat mempengaruhi
konstruksi penyusunan dan pelaksanaan hukum
administrasi adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara. Undang-undang ini
memberikan konsepsi yang sangat luas mengenai
penggunaan keuangan negara dan menerapkannya
secara ketat. Konsepsi yang luas tersebut turut
mengaburkan batasan antara keuangan milik negara
dan milik privat. Sebagaimana dalam Pasal 2 huruf g,
di mana makna “kekayaan negara yang dipisahkan”
dalam BUMN dianggap menjadi bagian dari keuangan
negara meskipun dalam bidang hukum perusahaan,
itu termasuk kekayaan yang dipisahkan. Salah satu
akibatnya adalah jika direksi BUMN mengambil
kebijakan bisnis yang belum atau tidak memberikan
prot sebagaimana yang diharapkan maka dapat
diduga memenuhi tindak pidana korupsi, meskipun
amat mungkin hal itu merupakan kerugian bisnis
semata.58
Selain itu terdapat Pasal 2 huruf h dan i yang
memberikan ruang lingkup “keuangan negara”
yang semakin luas lagi di mana termasuk yaitu
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
atau kepentingan umum serta kekayaan pihak lain
yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah. Pengertian yuridis tersebut
membuat cakupan keuangan yang menjadi milik
atau dikelola negara menjadi amat luas, sehingga
setiap unsur kerugian yang terjadi pada keuangan
negara dapat menjadi pintu masuk atau dugaan
terjadinya tindak pidana korupsi ketika merujuk pada
pengertian kerugian negara dalam undang-undang
tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal tersebut telah
memberikan ruang intervensi yang lebih luas bagi
penegak hukum untuk lebih mengedepankan aspek
pemidanaan dibanding mekanisme lain yang mungkin
tersedia. Pelanggaran-pelanggaran administratif amat
mungkin dikategorikan sebagai bagian dari perbuatan
pidana.
B.3. Terbatasnya Hukum Administrasi
Hukum administrasi di Indonesia memiliki
sejumlah kelemahan sehingga belum berjalan
efektif untuk mengurangi terjadinya pelanggaran
hukum baik yang dilakukan oleh badan atau pejabat
publik. Salah satu kelemahan tersebut karena sanksi
hukumnya tidak dapat dieksekusi secara langsung.
Sistem hukum administrasi tidak memiliki lembaga
yang berwenang untuk memaksa pelaksanaan
putusan peradilan administrasi sebagaimana
dalam eksekusi hukum pidana yang dilakukan oleh
kejaksaan. Pelaksanaannya merupakan tanggung
jawab atau kewajiban dari pihak yang dikenakan
sanksi tersebut. Apabila sanksi tersebut diabaikan
maka sistem administrasi tidak memiliki mekanisme
untuk menyelesaikannya.
Persoalan lain adalah berbagai regulasi tentang
administrasi pemerintahan belum menegaskan
penyediaan mekanisme atau prosedur pemeriksaan
58. Undang-Undang tentang Keuangan Negara telah beberapa kali digugat uji materi di Mahkamah Konstitusi salah
satunya dalam Putusan MK No. 62/PUU-XI/2013. Namun permohonan dan gugatan Pengujian tersebut ditolak oleh
Mahkamah Konstitusi.
54
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
dan penjatuhan sanksi melalui pemeriksaan
administratif secara internal dalam badan-badan
administrasi. Banyak regulasi administrasi hanya
berfungsi mengatur dan memberikan pedoman umum
tanpa menentukan sanksinya. Prosedur administrasi
yang tersedia seringkali malah dijadikan ukuran
untuk menentukan pemenuhan aspek pidana dari
sebuah pelanggaran administratif.59
Secara empiris dalam proses penyelenggaraan
administrasi di Indonesia, prosedur administratif
belum dipandang sebagai pedoman yang mengikat
dan wajib. Pelanggaran dan pengabaian terhadap
prosedur masih menjadi salah satu kelemahan
mendasar dalam pelaksanaan administrasi
pemerintahan. Prosedur administrasi kadang-kadang
belum tersedia sama sekali atau jarang diperbaharui
dan dievaluasi. Akibatnya, prosedur administrasi
yang dibentuk hanya menjadi dokumen yang tidak
terpakai.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan mewajibkan setiap
badan pemerintahan atau pejabat publiknya untuk
menyusun standar operasional prosedur terutama
terkait dengan pembuatan keputusan dan tindakan
pemerintahan. Namun dalam pelaksanaannya,
teknis operasional prosedur seperti itu jarang untuk
digunakan dan dijadikan sebagai dasar pengambilan
keputusan. Dalam banyak hal Administrasi
pemerintahan masih lebih sering menggunakan
diskresi. UU-AP juga mengatur bahwa pedoman
umum standar operasional prosedur pembuatan
keputusan wajib diumumkan oleh Badan atau
Pejabat Pemerintahan kepada publik melalui media
cetak, media elektronik, dan media lainnya. Namun
pada kenyataanya, amat sedikit badan publik yang
mensosialisasikan dan mempublikasikan prosedur
yang dibuatnya apalagi dalam media cetak atau
elektronik.
Untuk menguji efektifitas dari prosedur
administrasi tersebut, penegakan hukum di Indonesia
lebih menerapkan pendekatan pidana dibanding
administrasi. Akibatnya prosedur administrasi belum
dimaknai sebagai instrumen pencegahan (review/
correction) namun sebagai ukuran-ukuran yuridis
untuk menentukan pemenuhan unsur dan sanksi
pidana atas terjadinya pelanggaran. Kondisi ini
menimbulkan keengganan dan ketakutan bagi badan
administrasi untuk mengeluarkan kebijakan atau
melakukan tindakan tanpa berkonsultasi dengan
penegak hukum.
Argumentasi di mana sanksi administrasi belum
cukup memberikan efek jera bagi pelanggar hukum
juga masih menjadi pemahaman yang dominan
terutama jika dikaitkan dengan pemberantasan
korupsi. Pengenaan pidana dipandang sebagai jalan
keluar yang paling efektif. Jikapun sistem sanksi
administrasi dilaksanakan bersamaan dengan proses
pemidanaan atau dikombinasikan60, hal itu hanya
harus dilihat sebagai bentuk pertukaran (trade-
off) dalam hal pencegahan.61 Padahal sebagaimana
diungkapkan oleh Savona62 bahwa hukum pidana
saja tidak esien dan tidak efektif dalam menangani
korupsi, instrumen lain dan tindakan pencegahan
seperti kode etik mungkin lebih efektif.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kelemahan dari
sistem hukum administrasi di Indonesia turut
disebabkan oleh lemahnya akuntabilitas dan
kredibilitas dari badan administrasi. Dalam sistem
administrasi, tersedia sistem pengawasan internal
yang berada di dalam badan-badan pemerintah baik
nasional maupun daerah melalui Sistem Pengendali
Internal Pemerintah (SPIP). Meskipun demikian,
sistem pengawasan tersebut belum berjalan efektif
sebagai jaminan untuk memperbaiki akuntabilitas
dan kredibilitas tersebut.
Administrative sanctioning system masih
belum efektif dan serius diterima dalam sistem
administrasi di Indonesia. Banyak peraturan
mengenai administrasi masih jarang menyinggung
mengenai sistem tersebut. Undang-undang tentang
Administrasi pemerintahan (dapat dianggap
sebagai APA-nya Indonesia) sebenarnya sudah
59. Weyembergh, Anne,op.cit., hlm. 195.
60. Lanham,David, et al, op.cit., hlm. 4.
61. Blondiau, Thomas, et al, op.cit., hlm. 14.
62. Savona, Ernesto U.. 1995. Beyond Criminal Law in Devising Anticorruption Policies: Lessons from the Experience.
European Journal on Criminal Policy and Research Volume 3 Nomor 2, hlm. 25.
55
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
mulai menyinggung sistem tersebut, namun masih
sangat umum.
63
Sistem ini belum memiliki model dan
bentuk yang jelas untuk dilaksanakan secara teknis.
Oleh karenanya pengawasan dan pengendalian
terhadap pelanggaran hukum administrasi masih
banyak diselesaikan melalui Peradilan Administrasi
(PTUN). Di luar itu terdapat peradilan pidana apabila
kebijakan dan tindakan melanggar hukum tersebut
telah memenuhi unsur pidana.
Penyelesaian kasus-kasus hukum administrasi
lainnya dapat dilakukan melalui beberapa badan
administrasi yang dapat dikategorikan sebagai
state auxiliary agency atau independent regulatory
agency. Badan tersebut dilekati dengan kewenangan
yang bersifat quasi-judicial dan dapat membentuk
peraturan-peraturan yang independen. Salah satunya
adalah Komisi Informasi yang berwenang mengatur
dan menyelesaikan perkara yang berkenaan dengan
penyediaan informasi publik. Namun kasus-kasus
seperti itu amat spesik dibandingkan dengan kasus
hukum yang terkait dengan hak dan kepentingan
publik lainnya seperti pelanggaran dan kualitas
pelayanan publik, kesehatan, keuangan publik,
pengadaan barang/jasa, atau pengambilan keputusan
oleh pejabat publik, dan lain sebagainya.
Badan lain seperti Ombudsman memiliki
kewenangan yang amat lemah berkaitan dengan
perbaikan pelayanan publik sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2008. Ombudsman diberikan wewenang untuk
mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik
yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan termasuk BUMN, Badan Hukum
Milik Negara, serta badan swasta atau perseorangan
yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan
publik tertentu yang mana sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari anggaran milik negara atau
daerah. Tugas penting dari Ombudsman adalah
menerima laporan dan mencegah terjadinya praktik
maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Ombudsman dapat menyediakan mediasi
dan konsiliasi atas permintaan para pihak serta
memberikan rekomendasi pemberian ganti rugi atau
rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan.
Kelemahannya secara kelembagaan adalah
Ombudsman tidak memiliki kewenangan quasi-judicial
seperti badan peradilan atau komisi negara lainnya
dalam menyelesaikan laporan maladministrasi dalam
pelayanan publik, sehingga hasil kerjanya hanya
berupa rekomendasi kepada pihak terkait yang belum
tentu ditindaklanjuti. Sanksi administratif yang dapat
dijatuhkan kepada pihak yang tidak menjalankan
rekomendasi tersebut hanya berupa publikasi publik
dan laporan kepada DPR dan Presiden. Kelemahan
lainnya adalah Ombudsman tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan penyelidikan di
mana hasilnya dapat diterima sebagai alat bukti yang
mengikat dalam persidangan (authoritative evidences);
tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan
sanksi administrasi yang berat kepada pelanggar
pelayanan publik; dan tidak dapat menyampaikan
hasil laporan atau pendapatnya kepada pengadilan
(misalnya dalam bentuk keterangan ahli) karena
undang-undang melarang Ombudsman untuk
mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan
putusan.
C. Penutup
C.1. Kesimpulan
Pertalian yang kompleks antara hukum pidana
dan administrasi di Indonesia menunjukkan dominasi
hukum pidana yang kuat terhadap pelaksanaan
hukum adminstrasi. Dominannya karakter pidana
dalam berbagai regulasi hukum administrasi dapat
dilihat dari sanksi dan proses pemeriksaan yang
dilakukan terhadap pelanggaran administrasi
terutama terkait dengan penegakan hukum pidana
korupsi. Pemberantasan korupsi dan konsep
pemerintahan yang bersih menjadi acuan utama
dalam setiap penegakan hukum administrasi.
Kondisi tersebut membuka pintu yang luas bagi
penegak hukum untuk mengutamakan aspek pidana
meskipun pelanggaran yang terjadi amat mungkin
merupakan pelanggaran dalam hukum administrasi.
Persoalan lain yang menyebabkan dominannya
penegakan tindak pidana korupsi adalah terkait
dengan pengaturan atau makna keuangan negara
dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara
63. Jika menelaah substansi UU-AP secara umum, kurang tepat jika disebut sebagai Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan, lebih tepat jika disebut sebagai Undang-Undang tentang Prosedur Administratif Pemerintahan, karena
terminologi “Administrasi Pemerintahan” sangat abstrak dan masih berupa konsepsi kelimuan, belum menunjukkan
sebuah konsepsi hukum.
56
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
yang diatur secara luas. Selain itu juga tidak
ditemukannya pengertian tetap atau batasan pasti
mengenai unsur-unsur kerugian negara dalam
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi.
Hal tersebut memberikan intervensi yang besar
bagi penegak hukum untuk memeriksa kesalahan
yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dalam
pelaksanaan kewenangannya. Hukum administrasi
belum berjalan dengan efektif sebagai instrumen
pengawasan dan pencegahan yang disebabkan oleh
batasan-batasan yang ada dalam penegakan hukum
administrasi itu sendiri.
C.2. Saran
Penegakan hukum seyogyanya memperhatikan
landasan normatif dan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku tanpa mengesampingkan eksistensi bidang-
bidang hukum satu sama lain. Dominannya penegakan
hukum pidana dalam pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan jangan sampai mengabaikan fungsi
dan tujuan dari hukum administrasi. Prinsip-
prinsip dalam penegakan hukum administrasi perlu
diupayakan terlebih dahulu melalui mekanisme
pengawasan secara internal dan eksternal.
Selain itu pemerintah dan para pihak yang
mendalami penegakan hukum administrasi dan
pidana terutama administrative penal law perlu
menyusun kajian secara komprehensif dan objektif
mengenai 4 (empat) hal, yaitu pertama, melakukan
evaluasi terhadap efektitas penegakan hukum
dan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang baik termasuk efektitas sanksi
pidana yang diberikan melalui pengadilan. Apakah
terbuka ruang untuk merumuskan jenis sanksi
alternatif; kedua, perumusan model atau mekanisme
yang tepat mengenai sistem pemeriksaan dan
penjatuhan sanksi administratif yang lebih efektif
dan punitif sebelum memasuki tahapan pemeriksaan
di pengadilan baik di PTUN maupun peradilan
umum serta peradilan khusus lainnya. Selain itu,
model tersebut dapat diterapkan di setiap badan
administrasi di samping tersedianya pemeriksaan
secara internal (internal review); ketiga, sinkronisasi
dan konsolidasi penegakan hukum administrasi dan
pidana agar tidak saling tumpang tindih dan tidak
mengabaikan fungsi hukum administrasi. Hukum
pidana dapat ditempatkan sebagai ultimum remedium
dalam rangka pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan; dan keempat, revitalisasi kewenangan
badan-badan pengawasan (seperti ombudsman) agar
dapat berfungsi lebih maksimal dan memiliki kaitan
kewenangan dengan lembaga penegak hukum.
Daftar Pustaka
Buku
Cananea, Giacinto Della. 2016. Due Process of Law
Beyond the State, Requirements of Administrative
Procedure. UK: Oxford University Press.
Cane, Peter. 2009. Administrative Tribunals and
Adjudication. Portland: Hart Publishing.
David Lanham, Bronwyn Bartal, RObert Evans, and
David Wood. 2006. Criminal Laws in Australia.
New South Wales: The Federation Press.
Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance: Policy
and Administrative Innovations. USA: Praeger
Publishers.
Fletcher, George P. 1998. Basic Concepts of Criminal
Law. New York: Oxford University Press.
Levi-Faur, David. 2011. Handbook on the Politics of
Regulation. UK: MPG Books Group.
Mills, H.H. Gerth & C. Wright. 1958. Max Weber
Essays in Sociology. UK: Oxford University Press.
R. A. Duff, Lindsay Farmer, S. E. Marshall, and
Massimo Renzo. 2010. The Boundaries of the
Criminal Law. New York: Oxford University Press.
Ramsay, Peter. 2013. “Democratic Limits to Preventive
Criminal Law.” Dalam Prevention and the Limits
of the Criminal Law, oleh Lucia Zedner, & Patrick
Tomlin Andrew Ashworth, 214-234. UK: Oxford
University Press.
Vervaele, J.A.E. 1994. Administrative Sanctioning
Powers of and in the Community: Towards a
System European Administrative Sanctions?
Vol. 5, dalam Administrative Law Application
and Enforcement of Community Law in the
Netherlands, oleh J.A.E. Vervaele (ed.), 161-202.
Deventer: Kluwer Law and Taxation Publishers.
57
Kompleksitas Penegakan Hukum Administrasi dan Pidana di Indonesia (Dinoroy Marganda Aritonang)
Jurnal
Altree, Lillian R. 1964. Administrative Sanctions:
Regulation and Adjudication. Stanford Law
Review Volume 16 Nomor 3.
Asimow, Michael. 2015. Five Models of Administrative
Adjudication. The American Journal of
Comparative Law Volume 63 Nomor 3.
Bishop, William. 1990. A Theory of Administrative
Law. The Journal of Legal Studies Volume 19
Nomor 2.
Bremer, Emily S. 2015. The Unwritten Administrative
Constitution. Florida Law Review Volume 66
Nomor 3.
Bugari, Bojan. 2017. Openess and Transparency in
Public Administration: Challenges for Public
Law. Wisconsin International Law Journal
Volume 22 Nomor 3.
Cass, Ronald A. 2015. Overcriminalization:
Administrative Regulation, Prosecutorial
Discretion, and The Rule of Law. Engage Volume
15 Nomor 2.
Cho, Byung-Sun. 1993. Administrative Penal Law and
Its Theory in Korea and Japan: A Comparative
Point of View. Tilburg Law Review Volume 2
Nomor 3.
Ehrlich, Isaac. 1972. The Deterrent Effect of Criminal
Law Enforcement. The Journal of Legal Studies
Volume 1 Nomor 2.
Elman, Philip. 1965. A Note on Administrative
Adjudication. The Yale Law Journal Volume
74 Nomor 4.
Epstein, Richard A. 2016. The Role of Guidances in
Modern Administrative Procedure: The Case
for De Novo Review. Journal of Legal Analysis
Volume 8 Nomor 1.
Gellhorn, Walter. 1970. Administrative Prescription
and Imposition of Penalties. Washington
University Law Review Volume 1970 Nomor 3.
Gumbira, Ratna Nurhayati dan Seno Wibowo. 2017.
“Pertanggungjawaban Publik dan Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Hukum dan Peradilan Volume
Volume 6 Nomor 1.
Harahap, Zairin. 2006. Pengaturan Tentang Ketentuan
Sanksi Dalam Peraturan Daerah. Jurnal Hukum
Volume 13 Nomor 1.
Huaide, M. A. 2006. The Values of Administrative
Procedural Law and the Meaning of its
Codication in China. Frontiers Law in China
Volume 1 Nomor 2.
Jaffe, Louis L. 1964. “Primary Jurisdiction.” Harvard
Law Review Review Volume 77 Nomor 6.
Joncheray, Anne Weyembergh and Nicolas. 2016.
“Punitive Administrative Sanctions And
Procedural Safeguards: A Blurred Picture that
Needs to be Addressed. New Journal of European
Criminal Law Volume 7 Nomor 2.
Kidron, Eithan Y. 2018. Understanding Administrative
Sanctioning as Corrective Justice. Michigan
Journal of Law Reform Volume 51 Nomor 2.
Langsted, Sten Bensing and Lars Bo. 2013. “Undue”
Gifts for Public Employees: An Administrative
and Criminal Law Analysis. European Journal
of Crime, Criminal Law and Criminal Justice 21.
Ligeti, Katalin. 2000. European Criminal Law:
Administrative and Criminal Sanctions as Means
of Enforcing Community Law. Acta Juridica
Hungarica Volume 41 Nomor 3-4.
Nodi, Hamzar. 2013. Pertanggungjawaban Pejabat
Administrasi Negara Dalam Hal Terjadinya
Kerugian Pada Keuangan Negara Dalam Kasus
Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum
Volume 3 Nomor 1.
Paeffgen, H.U. 1991. Overlapping Tensions Between
Criminal and Administrative Law: The Experience
of West German Environmental Law. Journal of
Environmental Law Volume 3 Nomor 2.
Ponce, Juli. 2005. Good Administration and
Administrative Procedures. Indiana Journal of
Global Legal Studies Volume 12 Nomor 2.
Savona, Ernesto U. 1995. Beyond Criminal Law in
Devising Anticorruption Policies: Lessons from
the Experience. European Journal on Criminal
Policy and Research Volume 3 Nomor 2.
58
Jurnal LEGISLASI INDONESIA Vol 18 No. 1 - Maret 2021: 45-58
Sever, Polonca Kovac and Tina. 2013. Public
Service Excellence through Participation
in Administrative Procedures - Trends and
Challenges in Slovenia and EU. 16th Toulon-
Verona Conference “Excellence in Services”, 29-
30 August . Slovenia: University of Ljubljana.
Sherman, Lawrence W. 1993. Deance, Deterrence,
and Irrelevance: A Theory of the Criminal
Sanction. Journal of Research in Crime and
Delinquency Volume 30 Nomor 4.
Sulaeman, Eman. 2014. Kebijakan Penggunaan
Sanksi Pidana dalam Perundang-undangan
Hukum Administrasi. Wahana Akademika
Volume 1 Nomor 1.
Thomas Blondiau, Carole M. Billiet, & Sandra
Rousseau. 2015. Comparison of Criminal and
Administrative Penalties for Environmental
Offenses. European Journal of Law and
Economics Volume 39 Nomor 1.
Widdershoven, Rob. 2002. Encroachment of Criminal
Law in Administrative Law in the Netherlands.
Electronic Journal Of Comparative Law Volume
6 Nomor 4.
Peraturan Perundang-undangan dan Putusan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang
Ombudsman Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-
XIV/2016
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-
XI/2013
Internet
Billiet, Carole M. 2017. Administrative Sanctioning
Systems in the EU Member States: A General
Overview.” www.aeaj.org. AEAJ Workshop
in Riga, Latvia. 7-8 September. Diakses
pada 12 April 2018. http://www.aeaj.org/
media/les/2017-11-25-58-AEAJ%20Riga_
Administrative%20sanctions.pdf.
Casermeiro, Pablo Rando. 2011. The Law and Order
Approach to Criminal Law in the Administrative
Sanctioning System. http://www.penal.org/.
electronic Review of the International Association
of Penal Law. Diakses pada 25 Mei 2018.
http://www.penal.org/sites/default/les/les/
The%20law%20and%20order%20approach%20
to%20criminal%20law%20in%20the%20
administrative%20sanctioning%20system%20
formateado.pdf.
Schneider, Volker. 2002. Regulatory Governance
and the Modern Organizational State: The Place
of Regulation in Contemporary State Theory.
European Consortium for Political Research
(ECPR). Workshop on The Politics of Regulation,
Universitat Pompeu Fabra, Barcelona. 29-30
November. Diakses pada 23 Mei 2018. http://
regulation.upf.edu/reg-network/papers/1vsbcn.
pdf.
Staniszewska, Lucyna. 2016. Models of Liability
for the Administrative Tort Sanctioned with
Financial Penalties on the Example of Selected
European Countries. Studies in Public Law
Volume 1 Nomor 13. Diakses pada 27 Maret
2018. https://repozytorium.amu.edu.pl/
bitstream/10593/17403/1/Strony%20
odSPP_1_13_2016_Lucyna_Staniszewska.pdf.