ArticlePDF Available

Stigma Perempuan Lajang dan Perkawinan dalam Metropop 90 Hari Mencari Cinta Karya Ken Terate

Authors:

Abstract

Budaya patriarki telah membuat perempuan didorong untuk bersegera menjadi istri dan ibu dalam sebuah keluarga, sehingga ia lebih dihargai sebagai anggota masyarakat yang utuh. Fenomena ini masih berlangsung dalam situasi aktual, sebagaimana tercermin dalam sejumlah novel populer. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari stigma perempuan lajang dan perkawinan di dalam metropop 90 Hari Mencari Suami (2019) karya Ken Terate. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data selanjutnya diklasifikasi, diinterpretasi, dan dikaji. Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif sosiologis dan kritik sastra feminis dari Beauvoir dan Humm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel 90 Hari Mencari Suami: (1) kelajangan merupakan hal yang tidak wajar terjadi pada perempuan dewasa sehingga muncul mitos dan stigma yang mendorongnya untuk segera menikah. Protagonis perempuan membuktikan bahwa mitos itu tidak benar dan memutuskan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. (2) Perkawinan tidak seharusnya terjadi karena perasaan takut melainkan didasari oleh kesadaran penuh untuk menjalaninya. Perkawinan yang ideal adalah yang memposisikan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan setara.
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
145
Mabasan: Masyarakat Bahasa & Sastra Nusantara
http://mabasan.kemdikbud.go.id/index.php/MABASAN
p-ISSN: 2085-9554
e-ISSN: 2621-2005
STIGMA PEREMPUAN LAJANG DAN PERKAWINAN DALAM METROPOP
90 HARI MENCARI CINTA KARYA KEN TERATE
SINGLE WOMEN AND MARRIAGE STIGMA
IN METROPOP 90 HARI MENCARI CINTA BY KEN TERATE
Tania Intan, Susi Machdalena
Jalan Raya BandungSumedang Km 21, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat
Universitas Padjadjaran
Ponsel: 081285319071; Pos-el: tania.intan@unpad.ac.id
Abstrak
Budaya patriarki telah membuat perempuan didorong untuk bersegera menjadi istri dan ibu
dalam sebuah keluarga, sehingga ia lebih dihargai sebagai anggota masyarakat yang utuh.
Fenomena ini masih berlangsung dalam situasi aktual, sebagaimana tercermin dalam sejumlah
novel populer. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari stigma perempuan lajang dan
perkawinan di dalam metropop 90 Hari Mencari Suami (2019) karya Ken Terate. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Data berupa kata, frasa, dan kalimat
dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data selanjutnya diklasifikasi, diinterpretasi, dan dikaji.
Landasan teoretis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif sosiologis dan kritik
sastra feminis dari Beauvoir dan Humm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel 90
Hari Mencari Suami: (1) kelajangan merupakan hal yang tidak wajar terjadi pada perempuan
dewasa sehingga muncul mitos dan stigma yang mendorongnya untuk segera menikah.
Protagonis perempuan membuktikan bahwa mitos itu tidak benar dan memutuskan untuk
menentukan jalan hidupnya sendiri. (2) Perkawinan tidak seharusnya terjadi karena perasaan
takut melainkan didasari oleh kesadaran penuh untuk menjalaninya. Perkawinan yang ideal
adalah yang memposisikan perempuan dan laki-laki dalam kedudukan setara.
Kata-kata kunci: stigma; perempuan lajang; perkawinan; metropop
Abstract
The patriarchal culture has encouraged women to immediately become wives and
mothers in a family so that they are more valued as members of the whole society. This
phenomenon is still taking place in actual situations, as reflected in several popular
novels. This study aims to study the stigma about single women and marriages in Ken
Terate's 90 Hari Mencari Suami (2019). The method used in this research is descriptive-
qualitative. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using note-
taking technique. The data are then classified, interpreted, and reviewed. The
theoretical basis used in this study is a sociological perspective and feminist literary
criticism from Beauvoir and Humm. The results showed that: in the novel 90 Hari
Mencari Suami: (1) singleness is something that is not natural for adult women so that
Naskah Diterima Tanggal: 16 Februari 2021; Direvisi Akhir Tanggal: 14 Juni 2021; Disetujui Tanggal: 25 Juni 2021
DOI: https://doi.org/10.26499/mab.v15i1.448
Stigma Perempuan Lajang…
146
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
myths and stigma emerge that encourage them to get married. The female protagonist
proves that the myth is untrue and decides to decide her path in life. (2) Marriage
should not occur out of fear but with full awareness of living it. The ideal marriage is
one that positions women and men in an equal position.
Keywords: stigma; single women; marriage; metropop
1. Pendahuluan
Seperti chick-lit, metropop
merupakan karya populer kontemporer
yang kerap mengusung tentang
perempuan. ‘Metropop’ sendiri
merupakan istilah yang diciptakan oleh
penerbit Gramedia sejak tahun 2010-an
untuk menandai salah satu jenis
terbitannya, yang cenderung mengangkat
permasalahan kehidupan masyarakat kota,
baik yang berkaitan dengan pekerjaan,
percintaan, pertemanan, dan keluarga.
Berbeda dengan chick-lit yang hampir
selalu diakhiri dengan sekuen bahagia,
akhir dari metropop cenderung realistis
dan dewasa. Alurnya pun lebih sulit
ditebak.
Karena lebih banyak dibaca oleh
perempuan dan ditulis oleh perempuan,
metropop kerap berfokus pada
permasalahan perempuan dalam latar
urban, termasuk kelajangan. Aksentuasi
atas keberadaan protagonis perempuan
heteroseksual yang lajang dalam budaya
populer jelas terlihat sejak pertengahan
tahun 1990. Novel Sex and the City (1997)
karya Candace Bushnell misalnya,
menunjukkan perayaan atas kelajangan
dengan demografi tertentu (berkulit putih,
stabil secara ekonomi, dan heteroseksual).
Demikian pula halnya dengan novel
Bridget Jones’s Diary (1996) karya Helen
Fielding dan rangkaian chick-lit lainnya,
yang memunculkan pola baru penokohan
fiksi perempuan yang kemudian disebut
TWITS (Teenage Women in their 30s)
(Taylor, 2012: 1). Taylor juga
menjelaskan bagaimana menguatnya
fenomena kelajangan ditampilkan sebagai
cultural obsession’ oleh Dux & Simic,
atau new cultural affirmation oleh
Macvarish.
Dalam konteks Indonesia,
kelajangan dimaknai secara situasional
dan kultural. Yang lebih banyak muncul
dari dunia fiksi kontemporer justru adalah
tema tentang perempuan lajang yang
terdesak untuk menikah karena tuntutan
sosial. Tema tersebut ternyata tidak
eksklusif dan telah banyak dieksplorasi,
seperti di dalam novel 30 Hari Mencari
Cinta (2004) karya Nova Riyanti Yusuf,
Cinta Suci Zahrana (2011) karya
Habiburrahman El Shirazy, OTW Nikah
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
147
(2019) karya Asma Nadia, Kebelet Nikah
(2020) karya Anisa Hakim, serta Ganjil-
Genap (2020) karya Almira Bastari.
Berulangnya penggunaan tema yang sama
dalam karya-karya ini menunjukkan masih
relevannya permasalahan tersebut dalam
kehidupan perempuan Indonesia.
Keberadaan perempuan lajang dengan
stigmatisasi terutama sebagai sosok
‘pengganggu rumah tangga/pelakor’ atau
malah sebagai ‘perempuan aneh’
merupakan isu yang kerap dikembangkan
di dalam karya fiksi (T. Intan, 2021).
Selain karya-karya yang telah
disebutkan di atas, novel lain yang
mengusung tema tersebut dan telah dipilih
sebagai objek penelitian ini adalah 90
Hari Mencari Suami (2019) yang
merupakan karya pertama penulis Ken
Terate pada lini metropop. Novel ini
dipilih sebagai bahan kajian karena
merupakan karya yang relatif baru,
menggunakan gaya penulisan dan bahasa
yang nyaman dibaca, mengandung unsur
humor, dan memiliki akhir cerita yang
tidak mudah ditebak. Karya tersebut,
sebelum terbit sebagai buku, sempat
diunggah penulisnya pada platform online
Wattpad.
Novel yang terdiri dari 365 halaman
tersebut diawali dengan sebuah epilog
untuk memperkenalkan tokoh utama
perempuan, Eli, beserta mimpi-mimpinya
yang tidak tercapai hingga usianya yang
menjelang tiga puluh tahun. Ia memiliki
banyak harapan, yang salah satu di
antaranya adalah saat usianya mencapai
28 tahun, ia akan menikah dengan
tunangan yang tampan dan miliarder itu
(hlm. 7). Namun kenyataannya, Eli belum
juga menikah dan bahkan tidak memiliki
pacar saat memasuki usia 29 tahun.
Kegalauan yang dialami protagonis
tersebut agaknya dialami oleh banyak
perempuan yang telah memasuki usia
kepala tiga tapi belum menikah. Situasi ini
diperparah ketika perempuan dihadapkan
pada tekanan dari keluarga dan stres
akibat pekerjaan (Wijayanti, 2019).
Karena kerap menghadapi ketidakadilan,
biasanya akan muncul kesadaran dan
kekuatan pada perempuan untuk menuntut
haknya dan mengupayakan hal yang
dikehendaki sesuai dengan pilihannya
(untuk menikah atau melajang).
Kesadaran tersebut, menurut Widianti
(2020: 54-55), diperoleh melalui
pergaulan dan pendidikan yang membuat
perempuan menjadi kritis dalam bersikap.
2. Landasan Teori
Pada umumnya, perempuan dewasa
yang menunda pernikahan terhalang
karena belum menemukan pasangan yang
tepat, namun ada juga yang memang
Stigma Perempuan Lajang…
148
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
memilih untuk tetap melajang (Septiana,
2013: 72). Hurlock (1990) menjelaskan
bahwa pada usia dua puluhan, tujuan
hidup sebagian besar perempuan adalah
menikah. Namun, bila perempuan belum
juga menikah pada umur tiga puluh tahun,
mereka akan mengganti tujuan dan nilai
hidupnya untuk mulai berorientasi pada
pekerjaan, karir, dan kesenangan pribadi.
Perempuan berusia 30-an memasuki fase
usia kritis (critical age) karena berada
pada persimpangan antara pilihan ingin
tetap menikah atau justru tetap menjadi
lajang.
Kehidupan lajang pada perempuan
memang tidak pernah bebas dari tekanan
masyarakat yang dominan (Septiana,
2013: 72). Masyarakat Indonesia
merupakan bagian dari struktur budaya
Asia yang memiliki kecenderungan
kolektivitas lebih kental dibandingkan
dengan masyarakat Amerika atau Eropa.
Oleh karena itu, anggota masyarakat
Indonesia, terutama perempuan,
mengalami tekanan yang jauh lebih kuat
untuk memelihara norma budayanya,
termasuk menikah. Pernikahan adalah
salah satu ritus budaya yang sangat
dihargai oleh hampir seluruh etnis budaya
di Indonesia. Sebagai konsekuensinya,
orang dewasa yang masih lajang, terlebih
perempuan, akan mendapatkan tekanan
dari orang tua dan lingkungannya untuk
segera menikah.
Menurut teori Identitas Sosial dari
Tajfel & Turner yang dikutip Septiana
(2013: 73), perempuan lajang menjadi
kategori sosial tersendiri yang dilekati
karakteristik khas bernada negatif atau
‘tidak normal’, karena dibandingkan
dengan kelompok perempuan yang telah
menikah dan dipandang ‘normal’.
Tindakan mengategorisasi ini
memunculkan nilai psikologis yang
berdampak pada harga diri individu yang
masuk dalam kelompok tersebut. Status
belum menikah pada perempuan dewasa
akan cenderung diposisikan sebagai
inferior karena tidak sesuai dengan norma
kewajaran. Dengan status tersebut,
individu yang mendapat identitas negatif,
atau disebut juga stigma, akan merasakan
adanya ancaman identitas.
Stigma sendiri, menurut Goffman,
adalah semua bentuk kualitas yang
bersifat fisik, sosial, atau personal yang
membuat kelompok orang yang
memilikinya dilabeli dengan identitas
yang mendiskreditkan dan inferior
(Septiana, 2013: 73-74). Dalam konteks
ini, status ‘perempuan lajang’ mendapat
penilaian yang merendahkan,
sebagaimana ditunjukkan dalam kajian
Indriana yang dikutip Septiana (2013: 74),
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
149
perempuan lajang cenderung berkarakter
tertutup, emosional, kekanak-kanakan,
dan mudah marah. Penelitian Greitemeyer
(2009) mengargumentasikan bahwa secara
sadar, masyarakat menunjukkan sikap
negatif pada para lajang, terutama
perempuan. Mereka yang telah ‘cukup
umur’ namun belum menikah ini
mendapatkan label seperti: kurang dapat
mengemban tanggung jawab, kurang
dewasa, dan kurang pandai bergaul.
Mereka juga sering diposisikan sebagai
‘berbeda’, bermasalah dalam menjalin
hubungan intim, atau bahkan mengalami
‘disfungsi pribadi’ sehingga perlu
mendapatkan intervensi pengobatan.
Bahkan, Mami & Suharnan (2015: 216)
menemukan bahwa perempuan dalam
kategori ini kerap dilabeli ‘perawan tua’,
‘tidak laku’, ‘terlalu pemilih’, dan ‘suka
jual mahal’.
Dalam kajian Major dan O’Brien
(2005), ada dua strategi umum yang dapat
dipilih oleh individu atau kelompok sosial
yang menjadi target stigma. Cara pertama
adalah vokasional, yaitu cara yang
melibatkan usaha untuk menyelesaikan.
Adapun cara kedua, non-vokasional,
adalah cara yang tidak melibatkan usaha
untuk menyelesaikan, seperti
menyembunyikan status atau menghindar
dari situasi yang mendatangkan stigma.
Dalam konteks novel 90 Hari Mencari
Suami yang dikaji, telah tersirat melalui
judul, bahwa protagonis memilih cara
pertama, vokasional, dengan melakukan
berbagai upaya dalam jangka waktu
tertentu (90 hari) demi mendapatkan
pasangan.
Dalam perspektif gender, tuntutan
untuk menikah pada perempuan dewasa
memang jauh lebih kuat daripada laki-
laki. Laki-laki dewasa dianggap memiliki
pilihan untuk menunda menikah dengan
alasan sedang merintis atau
mengembangkan kariernya. Sebaliknya,
perempuan dewasa didorong untuk segera
menjadi istri dan ibu dalam sebuah
keluarga agar ia dihargai sebagai anggota
masyarakat sepenuhnya. Perkawinan
sendiri sebenarnya merupakan alat yang
digunakan oleh laki-laki untuk
mengendalikan perempuan (Beauvoir,
2016: 257). Perkawinan dan perempuan
dikonstruksi sebagai dua sisi yang tidak
dapat dipisahkan. Oleh karena itu, stigma
negatif akan melekat pada perempuan
lajang, sekalipun ia memiliki prestasi dan
latar belakang yang baik. Perkawinan,
menurut Humm (2007: 266), tidak lain
merupakan tempat kategori gender
direproduksi, tempat pembagian kerja
secara seksual dan subordinasi
Stigma Perempuan Lajang…
150
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
perempuan, serta model institusi sosial
lainnya mengenai norma seksual.
Kajian terdahulu tentang kelajangan
perempuan dalam novel di antaranya telah
dilakukan oleh Fahmi dan Arfiyanti
(2020) yang mengkaji kesetaraan gender
dalam novel Cinta Suci Zahrana karya
Habiburrahman El-Shirazy. Temuan dari
penelitian tersebut adalah adanya
kecenderungan pada perempuan lajang
yang berpendidikan dan berkarier tinggi
mendapat desakan untuk segera menikah.
Hal ini terjadi karena kuatnya budaya
patriarki yang memiliki kehendak untuk
menempatkan perempuan (kembali) ke
ranah domestik. Sebaliknya, laki-laki
memiliki keleluasaan untuk melajang
karena dianggap memiliki hak untuk
memilih.
Ketertarikan peneliti pada isu-isu
feminis, terutama tentang kelajangan
perempuan, dalam karya fiksi
kontemporer ditunjukkan dengan
beberapa publikasi. Sebagai contoh, novel
karya Netty Virgiantini berjudul Cincin
Separuh Hati dikaji oleh Intan dan
Prayoga (2021) melalui strategi
kebertahanan perempuan lajang dengan
pendekatan psikologi sastra. Kajian ini
menunjukkan bahwa trauma di masa lalu
dapat menjadi penyebab perempuan
melajang. Akibat pilihannya untuk
melajang, perempuan rentan dikenakan
stigma sebagai perempuan yang tidak
laku, pemilih, memiliki orientasi seksual
berbeda, serta berpotensi merusak rumah
tangga orang lain. Namun, meskipun pada
awal cerita ditunjukkan tokoh utama
memegang janji selibat (tidak akan
menikah untuk selamanya), pada akhirnya
ia menikah juga. Realita ini menyiratkan
kepatuhan perempuan pada nilai-nilai
tradisional tentang lajang dan pernikahan.
Penelitian juga dilakukan terhadap
karya Netty Virgiantini lainnya yaitu
Jodoh Terakhir (T. Intan, 2021). Pokok
permasalahan yang menjadi fokus adalah
mekanisme perjodohan yang ditimpakan
pada perempuan lajang. Telaah dengan
pendekatan sosiologi sastra tersebut
menunjukkan hasil bahwa ada resistensi
sekaligus negosiasi dari tokoh perempuan
dalam menghadapi perjodohan.
Kecurigaan awal bahwa teks akan
bertendensi feminis tidak terbukti, karena
(lagi-lagi) tokoh perempuan patuh pada
konstruksi sosial yang ditanamkan melalui
struktur keluarga.
Hasil telaah yang relatif berbeda
ditunjukkan Intan (2020) yang mengkaji
resiliensi perempuan lajang dalam
metropop Ganjil-Genap karya Almira
Bastari. Analisis dengan kritik sastra
feminis terhadap karya tersebut
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
151
memperlihatkan bagaimana institusi
perkawinan masih didambakan oleh tokoh
perempuan yang mandiri, mapan, dan
logis. Dalam menghadapi tanggapan
negatif dari sekitarnya, protagonis yang
merupakan lajang dewasa menampilkan
perilaku resilien dan pencapaian yang
dihasilkannya adalah mengubah posisinya
dari objek menjadi subjek. Perkawinan
tidak menjadi akhir dari novel bermuatan
perspektif feminis tersebut.
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Data terdiri dari kata, frasa, dan kalimat
yang dikutip dari objek formal penelitian
dikumpulkan dengan teknik simak catat.
Data selanjutnya diklasifikasi berdasarkan
permasalahan, diinterpretasi, dan
dianalisis.
Sesuai dengan permasalahan
tentang perempuan lajang dan perkawinan
yang menyentuh ranah ilmu sosiologi dan
feminisme, maka pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
sosiologi sastra dan kritik sastra feminis.
Kritik sastra feminis digunakan
karena teks yang ditelaah merupakan
novel metropop yang ditulis perempuan,
dibaca perempuan, dan membicarakan
terutama tentang perempuan. Wiyatmi
(2012: 11) mengutip Ruthven, yang
menyatakan bahwa kritik sastra feminis
bersifat revolusioner karena memiliki
tujuan menumbangkan wacana dominan
yang diciptakan suara tradisional dan
patriarkis.
Wiyatmi (2012: 30) juga mengutip
Showalter yang memaparkan dua jenis
kritik sastra feminis, yaitu kritik yang
melihat perempuan sebagai pembaca dan
kritik yang melihat perempuan sebagai
penulis. Untuk penelitian ini, akan
digunakan kritik sastra yang melihat
perempuan sebagai pembaca, karena kritik
ini berfokus pada citra dan stereotip
perempuan dalam sastra, serta pengabaian
dan kesalahpahaman tentang perempuan.
Perempuan dalam karya sastra hampir
selalu ditempatkan sebagai korban,
bersifat sentimental dan memiliki
kepekaan spiritual di bawah dominansi
laki-laki (Djajanegara, 2003: 7).
4. Pembahasan
Bagian pembahasan ini dibagi
menjadi tiga bagian yaitu: (1) Sinopsis
Metropop 90 hari Mencari Suami, (2)
Representasi Perempuan Lajang di antara
Karir dan Stigma, dan (3) Perkawinan
dalam Perspektif Perempuan.
Stigma Perempuan Lajang…
152
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
4.1 Sinopsis Metropop 90 Hari Mencari
Suami
Novel ini dikisahkan melalui sudut
pandang Eli sebagai narator-tokoh.
Dengan karakter naratif ini, sifat
penceritaan menjadi subjektif, intim, dan
seperti pengakuan. Latar cerita didominasi
oleh situasi kota Jakarta yang sibuk dan
para tokoh ditempatkan dalam ruang kerja
metropolis, yang melibatkan para pekerja
dari dunia hiburan seperti artis, make up
artis, manager artis, event organizer,
penata gaya, dan wartawan. Latar cerita
beralih ke Jogjakarta karena Eli
memutuskan untuk mengundurkan diri
dari pekerjaannya dan memulai hidup
baru.
Pada awal novel, Eli memaparkan
kegagalan mimpi-mimpinya untuk sukses
sebelum berumur 30 tahun, terutama
karena ia belum menikah. Ia bekerja
sebagai sebagai asisten artis di sebuah
perusahaan dengan atasan yang tidak ia
sukai dan tidak menyukainya. Eli bertahan
bekerja di tempat itu karena sesuai dengan
passion-nya dan gajinya memungkinkan
dirinya berbelanja online setiap kali ia
merasa tertekan.
Kenyamanannya berubah menjadi
kegelisahan saat ia memasuki usia 29,
yang berarti satu tahun lagi menuju 30
tahun. Kepanikan Eli bertambah saat adik
perempuannya menyatakan akan segera
menikah. Dalam budaya Jawa, ada mitos
bahwa jika ‘dilangkahi’, kakak perempuan
akan mengalami kelajangan selamanya.
Eli sebenarnya tidak yakin apakah dia
ingin menikah atau tidak. Akan tetapi, ia
tidak ingin menua sendiri. Untuk
mendahului pernikahan adiknya, ia pun
bertekad menemukan suami dalam waktu
kurang dari 90 hari. Kabar buruk
berikutnya tiba-tiba menghampiri, ketika
Tristan, adik laki-lakinya, mengabari Eli
bahwa ia akan segera melamar pacarnya.
Panik karena akan dilangkahi
menikah oleh kedua adiknya, Eli pun
membicarakan permasalahan itu dengan
kedua sahabatnya, Sandra dan Rosa.
Mereka pun merancang sejumlah langkah
untuk segera menemukan suami bagi Eli.
Meskipun selalu disibukkan dengan
pekerjaan, Eli sendiri tetap berupaya
menemukan laki-laki idamannya. Ia pergi
ke tempat fitnes dan memainkan aplikasi
pencari jodoh, Tinder. Ia juga menemui
Jay, kakak angkatannya dulu saat kuliah
yang sangat rupawan dan ramah. Eli pun
sempat berhubungan dengan Dewa yang
metroseksual dan mapan. Namun, tidak
satu pun dari laki-laki yang ia temui yang
benar-benar cocok dengannya.
Persahabatannya dengan Sandra dan
Rosa memberi Eli pandangan baru tentang
arti pernikahan. Sandra sudah menikah
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
153
dengan seorang ekspatriat dan hidup
berkecukupan secara material, tetapi tidak
merasa bahagia. Demikian pula dengan
Rosa, yang hamil tapi tidak dapat
meminta pertanggungjawaban dari ayah
bayi yang dikandungnya karena telah
beristri. Eli juga banyak belajar dari
hubungan Pak Dion dan Bu Mimi, yang
merupakan kliennya.
Pada akhirnya, perjalanan hidup
mendekatkan Eli pada Dimi, teman kecil
dan tetangganya saat di Jogjakarta, dan
membuat mereka menikah. Laki-laki
sederhana itu awalnya tidak masuk
kriterianya sama sekali. Namun, seiring
waktu, Eli menyadari bahwa Dimi adalah
orang yang tepat untuk menua
bersamanya.
4.2 Representasi Perempuan Lajang
di antara Karir dan Stigma
Eli adalah perempuan berumur
hampir tiga puluh tahun. Penampilannya
menarik dan mandiri secara finansial
karena ia bekerja sebagai asisten artis di
perusahaan Glow Event Company.
Kesukaannya pada pekerjaan itu
membuatnya terlena dan hampir lupa pada
pernikahan, kalau saja Lisa, adiknya yang
baru berusia 23 tahun, tidak menyatakan
akan segera menikah. Eli pun menyadari
bahwa dirinya tidak mau ‘dilangkahi’.
namun saat itu ia tidak sedang menjalin
hubungan percintaan dengan siapa pun.
Selama ini, hubungan yang dijalaninya
selalu berakhir dalam waktu relatif
singkat.
Aku juga punya pacar saat itu. Plus
gebetan nggak resmi. Dua atau tiga
gebetan tidak resmi. Semuanya
memanjakanku dengan caranya
masing-masing. Rafi dengan
traktiran makan dan nonton, Frank
dengan keromantisan ala novel-
novel Harlequin dan ciuman yang
sanggup menegakkan seluruh bulu
di tubuhku, dan Yori dengan segala
kelucuan, keluguan, dan
keikhlasannya membantuku setiap
saat (antar-jemput? Beres.
Komputer rusak? Beres. Kiriman
makan siang? Beres).
Hidup begitu sempurna.
(Terate, 2019: 9-10)
Dalam perspektif Hurlock (1990:
247), perempuan memang dapat
berpacaran dengan lebih dari satu laki-laki
untuk menemukan pasangan hidup yang
paling cocok. Pengalamannya berpacaran
dengan sejumlah laki-laki di masa lalu
membuktikan bahwa Eli adalah
perempuan heteronormatif yang memiliki
kemampuan menjalin hubungan
percintaan dan tidak memiliki masalah
kejiwaan atau fisik tertentu. Para laki-laki
itu pun memperlakukannya dengan baik
dan hal tersebut membuatnya senang.
Meskipun memiliki karakter mandiri,
sebagai perempuan biasa, ada saatnya Eli
Stigma Perempuan Lajang…
154
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
senang saat dimanjakan, bergantung, dan
diberi perhatian oleh laki-laki.
Konstruksi masyarakat terhadap
perempuan lajang yang sangat kentara di
dalam novel 90 Hari Mencari Cinta
adalah aksentuasi pada stigma dan mitos,
bahwa bila seorang perempuan dilangkahi
adiknya menikah, perempuan itu akan
hidup melajang sampai akhir hayat.
Namun, mitos, dalam hal ini dari budaya
Jawa, juga mengganjar para lajang yang
dilangkahi ini dengan ‘pelipur lara’ yang
disebut sebagai ‘pelangkah’.
“Pelangkah?”
“Iya, itu kewajiban adik yang sudah
melangkahi kakaknya. Kalau kamu
nggak minta, bisa bener-bener sulit
jodohmu, mintalah pelangkah yang
wajar. Jangan terlalu mudah,
jangan terlalu sulit. Jangan terlalu
mahal, tapi juga jangan murah. Itu
menghina adikmu namanya.” […]
“Dan jangan sampai Tristan
melangkahimu! Dilangkahi adik
perempuan saja sudah gawat,
dilangkahi adik laki-laki? Gawatnya
dobel. Contohnya Bulik Mia tadi.”
(Terate, 2019: 129)
Seperti diburu waktu, perempuan
dikonstruksi oleh lingkungannya untuk
menikah sesegera mungkin. Gagasan yang
ditanamkan dalam benak setiap orang
adalah bahwa semakin berumur, peluang
perempuan untuk mendapatkan pasangan
pun dianggap semakin kecil. Usia 30
tahun merupakan lampu merah pengingat
bagi perempuan untuk bergegas mencari
suami, ‘sebelum semuanya terlambat’.
Stigma kelajangan ini memengaruhi
mentalitas Eli menjadi tertekan dan tidak
nyaman karena merasa ‘tidak laku’.
Tiga puluh tahun usiaku! Sudah
tujuh tahun bekerja seperti kuda,
dan yang aku punya? Hanya
tumpukan tas dan sepatu. […]
Tiga puluh. Brak! Pintu jadi PNS
tertutup. Brak! Pintu ke karier
model tertutup. Brak! Pintu jadi
karyawan level pertama tertutup
[…] dan yang paling parah::
Braaakkk! Pintu ke Mr. Perfect juga
tertutup. (Terate, 2019: 12-13)
Ada apa dengan usia tiga puluh?
Apa usia itu memancarkan sinyal
“perawan tua” yang membuat laki-
laki menjaga jarak? Meski mereka
tertarik padamu, mereka akan
berpikir, “Hm, cewek ini menarik,
tapi kenapa dia masih jomlo? Ah,
pasti dia cewek matre yang hanya
doyan cowok tajir. Atau kariernya
cemerlang banget dan bikin cowok
minder.” Itu masih mending
daripada: dia pasti lesbi, dia tidak
perawan lagi, dia punya masalah
kejiwaan, atau dia “punya masalah
dengan kesuburan”.
(Terate, 2019: 14-15)
Kedua kutipan di atas
merepresentasikan pandangan umum
bahwa kelajangan perempuan dewasa
adalah sebuah kategori sosial yang
‘bermasalah’, bahkan bagi mereka yang
menempati posisi lajang itu sendiri. Status
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
155
lajang akan mengundang prasangka yang
membuat perempuan yang mengalaminya
dilabeli secara peyoratif, mulai dari
‘perawan tua’, ‘banyak menuntut/
materialistis’, lesbian, tidak perawan lagi,
sakit jiwa, hingga mandul. Eli sebagai
representasi perempuan lajang menyikapi
situasinya secara dilematis. Di satu sisi, ia
menikmati kebebasan, kemandirian, dan
prestasi, namun di sisi lain, ada perasaan
tertekan, kesepian, serta keinginan untuk
menuntaskan kelajangan tersebut. Usia
tiga puluh seperti menjadi penanda dari
ambang batas pilihan untuk masa depan.
Tiga puluh! Tiga puluh! Angka itu
berdentam-dentam seperti drum.
Padahal memangnya kenapa bila
aku sudah tiga puluh? Aku tetap
sama. Tak ada tanduk yang muncul
di dahiku atau kutil di seluruh
permukaan kulitku. Tapi fakta
bahwa tak ada laki-laki yang
beredar di orbitku, membuat semua
ini tidak masuk akal. Kayaknya aku
sudah menjadi ogre dalam semalam
atau minimal ada aura yang
menyelubungiku dan membuatku
tampak seperti … seperti apa ya?
Seperti guru TK tua yang bijaksana,
begitu menentramkan, enak diajak
bicara, tapi sudah itu saja.
(Terate, 2019: 16)
Sebagaimana dinyatakan Hurlock
(1990: 262), perempuan dewasa lajang
menjadi lebih selektif memilih teman.
Namun, meskipun memiliki sedikit teman,
mereka dapat menjadi sangat akrab dan
terbuka. Dalam novel 90 Hari Mencari
Suami, Sandra dan Rosa, sahabat Eli,
terungkap memiliki andil dalam
membantunya mencari calon suami
dengan cara membuat daftar alternatif
tempat-tempat yang potensial untuk
menemukan pasangan.
Mengikuti saran mereka, Eli pun
pergi ke tempat fitnes yang sebelumnya
tidak pernah didatangi. Ia juga bermain
aplikasi Tinder untuk menemukan
pasangan yang cocok. Namun, meskipun
diburu waktu, perempuan ini tidak begitu
saja memilih sembarang laki-laki yang
ada di sekitarnya karena ia memiliki
kriteria calon suaminya harus tampan
dan mapan”. Dengan belajar dari
pengalaman sahabat-sahabatnya, Eli pun
mulai memilah hal-hal yang berpotensi
baik atau buruk baginya di kemudian hari.
Ia mencoba menyikapi kelajangannya
dengan pandangan positif. Dalam hal ini,
dapat dinyatakan bahwa Eli menghadapi
stigma kelajangannya dengan cara
vokasional, secara aktif ia melakukan
upaya untuk mencari suami. Ia tidak
berusaha bersembunyi atau menghindar
dari realitas tersebut.
Usia tiga puluh kupikir
menguntungkan karena aku sudah
“menemukan diriku”, apa pun
artinya itu. Aku tak ragu tampil
Stigma Perempuan Lajang…
156
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
sebagai cewek cerdas dan mandiri
sebagaimana adanya diriku (waktu
remaja kadang aku sengaja tampil
lenjeh, manja, dan tak berdaya,
berharap dengan begitu cowok-
cowok jatuh cinta padaku. Konyol
banget). Aku tak lagi terintimidasi
dengan tren dan sebagainya. Aku
bahkan tak peduli bila pada hari
kencanku, ada jerawat nongol di
jidatku. (Terate, 2019: 200-201)
Ide di dalam kutipan di atas juga
sesuai dengan teori Hurlock (1990: 255),
bahwa minat perempuan untuk
meningkatkan penampilan mulai
berkurang menjelang umur tigapuluhan.
Namun, minat tersebut dapat kembali
muncul jika ada tanda-tanda ketuaan yang
mendorong kecemasan individu. Hal
inilah yang terjadi pada Eli. Menjelang
umurnya yang ketiga puluh, ia semakin
yakin untuk menjadi dirinya sendiri.
Wacana seksualitas prapernikahan,
yang merupakan salah satu fokus bahasan
feminisme radikal, tidak mendapat tempat
dalam novel 90 Hari Mencari Suami.
Meskipun sedang dalam keadaan
‘terdesak’ untuk mendapatkan pasangan,
Eli tidak merasa dirinya harus
menyerahkan diri begitu saja, ketika ada
laki-laki yang ia sukai dan menyukainya.
Ia berusaha menjaga diri karena dirinya
masih perawan. Meskipun demikian,
perempuan itu tidak benar-benar bangga
dengan keadaannya. Sebaliknya, Eli
kadang merasa malu karena dalam
lingkungan pergaulannya, keperawanan
bukan lagi merupakan hal penting yang
perlu dijaga. Kondisi ‘perawan’
cenderung menunjukkan karakter naif dan
tidak berpengalaman. Lebih jauh lagi,
perempuan dewasa yang masih perawan
berpotensi dilabeli sebagai perempuan
‘tidak laku’ atau ‘tidak ada yang mau’.
Stigma ini pun memperburuk citra
perempuan lajang, yang diposisikan
semakin inferior dalam masyarakat,
karena dianggap tidak normal dan di luar
kewajaran.
Dan pengakuan ketiga: sebenarnya
aku eh masih perawan.
Seratus persen. Nggak tahu deh
kenapa aku malu mengakuinya. Tapi
aku memang MALU mengakuinya.
Rasanya kayak mengakui aku
adalah manusia terakhir yang
belum berevolusi. […] cewek baik-
baik harus tetap perawan sebelum
menikah. (Terate, 2019: 15)
Meskipun tidak ditampilkan sebagai
perempuan yang kaku atau religius, Eli
memiliki prinsip untuk mempertahankan
kesuciannya dan menunda hubungan
seksual hingga setelah menikah nanti.
Oleh karena itu, ia memilih untuk putus
dengan Jay padahal mereka baru saja
menjalin hubungan. Eli tidak dapat
menerima prinsip laki-laki itu yang
menganggap hubungan seksual sebagai
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
157
hal yang wajar dilakukan pasangan yang
sedang berpacaran (hlm. 166).
Eli juga tidak dapat menolerir laki-
laki yang melakukan perselingkuhan atau
kekerasan, baik secara fisik maupun
verbal. Itulah sebabnya, ia memilih
berpisah dengan Dewa, laki-laki yang
sebenarnya dianggap memenuhi hampir
semua harapannya. Dalam pandangan Eli,
laki-laki itu memiliki kekurangan yang
akan sangat mengganggunya jika mereka
terus berhubungan bahkan menikah. Dewa
dinilainya sangat posesif, pemarah, dan
kurang bertanggung jawab (hlm. 297).
Selain mendapat gambaran tentang
pernikahan dari sahabat-sahabatnya, Eli
juga mendapat pengaruh dari para tokoh
perempuan yang memang memilih untuk
tidak menikah karena berbagai alasan
personal. Salah satu perempuan lajang di
dalam keluarganya yang memberi
inspirasi adalah Bulik Mia, adik ibunya,
yang menjadi dosen favorit di kampus
tempatnya mengajar. Perempuan lajang
lain yang menarik perhatian Eli adalah
Emma, seniornya di perusahaan.
Emma lajang, dalam arti belum
menikah (dan jalang). Dia punya
pacar yang gosipnya sudah tinggal
bersama. Umurnya 37 tahun dan
nggak berniat menikah. “Kenapa
harus punya mobil, kalau ada Grab
yang bisa lo panggil tiap saat. Lebih
murah dan nggak ribet,” adalah
prinsipnya. Dia bergaya hippie dan
tak ada yang berani macam-macam
dengannya, termasuk Vivian.
(Terate, 2019: 63-64)
Prinsip praktis dan pragmatis yang
diadopsi Emma yang menolak perkawinan
tersebut relatif memengaruhi pandangan
Eli. Ia mendapat pemahaman bahwa tanpa
menikah pun, perempuan dapat merasa
bahagia sepanjang hal itu memang
menjadi pilihan sadarnya. Meskipun
demikian, Eli melihat bahwa Emma
menempuh jalan tersebut karena ada
ketakutan dan trauma akibat perceraian
orang tuanya.
Setelah mengupayakan berbagai
cara untuk menemukan suami dalam
waktu yang singkat, pada akhirnya Eli pun
tiba pada kesadaran bahwa tidak semua
hal yang telah ia rencanakan dapat
diwujudkan sesuai keinginan. Sekalipun
kehidupan telah menjadi sangat modern
dan (seharusnya) lebih mudah dijalani,
ada hal-hal yang tidak dapat dikendalikan
manusia. Selain itu, situasi yang tidak
menyenangkan menurutnya harus
ditanggapi dengan sudut pandang lain,
sehingga ada hikmah yang didapatkan.
Ok, untuk yang terakhir, aku sudah
memutuskan untuk tidak peduli. Jadi
aku tak peduli. Yeah, tentu saja aku
tak peduli. Memangnya kenapa
kalau aku belum punya calon saat
Stigma Perempuan Lajang…
158
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
adikku sudah menikah? Aku bakal
jadi perawan tua? Mitos macam apa
itu? Aku tak percaya. Aku. Nggak.
Percaya. Tentu saja aku nggak
percaya.
Lagi pula, apa buruknya jadi
perawan seumur hidup? Paling
kamu nggak akan punya anak, ya
kan? Dan itu nggak masalah. Tak
ada popok kotor atau tangan
celemotan cokelat.
(Terate, 2019: 256)
Meskipun orang tua Eli tidak
dikisahkan menunjukkan kecemasan
berlebihan atas kelajangan putrinya itu,
tetapi novel 90 Hari Mencari Suami
menampilkan adanya tokoh antagonis dari
pihak keluarganya. Sosok tersebut adalah
Bude Nunuk yang selalu berusaha
menjodohkan Eli dan mencecar gadis itu
dengan peringatan Jangan pacaran
sajalah, umurmu kan sudah tiga puluh
lima”, “Kamu enggak takut dilangkahi?
Lihat Bulik Mia. Sendirian sampai
sekarang.” (hlm. 128). Tokoh Bulik Mia
yang disebut itu tidak muncul dan
bersuara di dalam cerita namun selalu
dijadikan contoh oleh Bude Nunuk untuk
merepresentasikan sosok perempuan
lajang yang, sekalipun mapan dan sukses
dalam karir, tetap dianggap tidak utuh dan
bermasalah dalam hubungan sosial. Hal
ini menunjukkan bahwa perempuan baru
dianggap utuh identitasnya bila telah
berpasangan (dengan laki-laki) dalam
institusi perkawinan.
4.3 Perkawinan dalam Perspektif
Perempuan: Menolak Wacana
Penguasaan
Eli membuat daftar “Sepuluh Alasan
yang Tepat” untuk menikah (hlm. 57-58).
Namun, ternyata ia hanya menemukan
sembilan, yaitu: (1) agar normal seperti
manusia lainnya, (2) karena menikah itu
romantis, (3) ingin mengenakan gaun
pengantin, (4) mendapatkan seks, (5)
memiliki anak, (6) mendapatkan rumah
dan mobil, (7) ada tujuan hidup, (8)
mewujudkan impian romantis seperti di
film Twilight, dan (9) semua teman sudah
menikah. Seluruh alasan tersebut secara
logis bisa jadi merupakan alasan
perempuan pada umumnya untuk
bersegera menikah.
Meskipun berharap segera menikah,
dalam pandangan Eli, perkawinan
mengubah dan membatasi langkah
perempuan, karena perkawinan
membebani perempuan dengan tugas-
tugas domestik yang dilekatkan
kepadanya, namun tidak pada laki-laki.
Perempuan akan disibukkan oleh anak-
anak sehingga tidak dapat melakukan
kebiasaan-kebiasaan dan pergaulan yang
menyenangkan saat masih lajang.
Perempuan lebih menyebalkan lagi.
[…] mereka cuma mengobrolkan
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
159
popok, sale susu, atau gemblungnya
asisten rumah tangga mereka.
Mereka tak lagi punya waktu untuk
diajak nongkrong di kafe atau
nonton film ABG sambil jejeritan.
Norak, kata mereka. […] Andai
mereka mau nongkrong ngopi pun,
pasti hanya sebentar karena selalu
ada krisis, “anakku demam”, “ibu
mertuaku mau datang, inspeksi
mendadak”, “duh, nanny-ku mau
pulang kampung”, dan seterusnya.
Nongkrong lebih lama sedikit selalu
diselingi telepon-telepon untuk
mengecek ketersediaan popok atau
susu. (Terate, 2019: 16-17)
Kutipan tersebut menunjukkan
ketidaksukaan Eli pada gambaran
perempuan berkeluarga, yang mungkin
akan melekat padanya juga jika ia
menikah kelak. Ia tidak ingin
kebebasannya bersenang-senang
dikekang. Situasi ini sejalan dengan kajian
Hurlock (1990: 266) yang menguraikan
bahwa perempuan masa kini
mengharapkan menjadi istri dan ibu,
namun menolak konteks tradisional dari
kedua peran itu. Yang Eli harapkan
sebenarnya adalah berada dalam institusi
perkawinan yang menempatkan istri dan
suami pada posisi sederajat. Mereka akan
berbahagia dan menanggung seluruh
beban rumah tangga bersama, yang berarti
Eli ingin tetap bekerja. Oleh karenanya, ia
merasa heran mendengar keinginan Lisa,
adiknya, yang merasa baik-baik saja
dengan menjadi ibu rumah tangga setelah
menikah.
“Lis, dengar aku. Kalau kamu
menikah, kamu nggak akan punya
kesempatan berkarier atau kuliah
setinggi-tingginya. Puas-puasin
dulu masa mudamu.”
“Tapi aku sudah puas,” Alisa
terdengar mantap. ”Aku sudah
bilang, aku mungkin bisa kuliah di
Jepang. Tapi kalau tidak bisa pun,
tidak apa-apa. Kurasa aku bakal
hepi-hepi aja jadi ibu rumah
tangga.”
Mengejutkan! Oh, Kartini pasti
menangis mendengarnya.
(Terate, 2019: 34)
Dalam bayangan Eli, perkawinan
seharusnya menyenangkan dan adil bagi
kedua belah pihak. Ia juga membayangkan
akan memperlihatkan kesenangan yang
didapatkannya dalam perkawinannya
kelak melalui media sosial, sebagaimana
yang saat ini lazim dipamerkan oleh
pasangan ‘yang berbahagia’.
Setelah menikah dia dan suaminya
bikin usaha bareng, backpacking
sepuluh hari di Australia naik van,
umroh bareng, bikin rumah sendiri-
dan tiap tahapnya mereka upload di
Instagram. Rumahnya biasa-biasa
aja, tetapi entah gimana banyak
yang nge-like, lalu mereka punya
anak dan blam! Pada usia tiga
tahun anak ini udah femes di
Instagram karena fotonya menurut
orang-orang imut banget. Bah,
semua anak kecil begitu juga, kali!
Stigma Perempuan Lajang…
160
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
Oh, astaga, berat kuakui, tapi AKU
INGIN SEMUA itu. Soalnya
mereka PUNYA semua itu dan aku
nggak punya! Persetan. (Terate,
2019: 59)
Kutipan tersebut menunjukkan
bahwa keluarga normatif membutuhkan
rumah sebagai latar kehidupannya. Bila
mobil menjadi simbol status utama bagi
remaja, Packard dalam Hurlock (1990:
257) menjelaskan bahwa pada orang
dewasa, rumahlah yang menjadi simbol
status penting karena merupakan tempat
untuk memamerkan ‘budaya’ dan
kekayaannya. Di dalam rumah, orang
dapat memamerkan barang, buku-buku,
kristal, lukisan, pakaian, dan sebagainya.
Mobil tidak dapat menjadi lahan pameran
materi seperti itu. Eli meyakini bahwa
materi memang diperlukan untuk
membangun kebahagiaan. Namun, dari
pengalaman Sandra, sahabatnya, ia
menemukan bahwa materi tidak menjamin
kebahagiaan dan kelanggengan sebuah
perkawinan.
Awalnya aku mendambakan
pernikahan, tetapi setelah apa yang
menimpa dua temanku, aku tak
yakin lagi. Sebenarnya, untuk apa
sih pernikahan itu? Lihat Sandra.
Orang-orang mengatakan mereka
pasangan sempurna, tampan dan
cantik, uang tak kurang, sama-sama
pintar, dan masing-masing punya
karier cemerlang. Tetapi lihat,
Sandra tidak bahagia. Kurasa Aron
pun tidak. (Terate, 2019: 185)
Eli pun mengamati pengalaman
kehidupan pernikahan Pak Dion dan Bu
Mimi, kliennya. Sejak pertemuan pertama,
terlihat bahwa Pak Dion bersikap sangat
sabar menghadapi perilaku dan kata-kata
istrinya yang sangat pahit dan sinis. Eli
mengira laki-laki itu berusaha
memakluminya karena Bu Mimi
menderita sakit kanker. Ternyata di
kemudian hari, Eli mengetahui bahwa di
masa lalu Pak Dion pernah berselingkuh
dan kemudian diusir oleh sang istri.
Namun, ketika ia terpuruk, Bu Mimi
bersedia menerima suaminya kembali.
Aku teringat Pak Dion dan Bu Mimi.
Cinta berarti saling menerima.
Cinta berarti memaafkan. Apakah
aku harus memaafkan juga?
Tunggu! Memangnya aku cinta
padanya? […]
Apakah aku akan memaafkan
pasanganku bila dia selingkuh?
Tidak! Aku tak bakal memaafkan
pengkhianatan semacam itu. Aku
menghela napas. Kurasa setiap
orang punya nilai-nilai sendiri
menyangkut hubungan percintaan.
Apa yang bisa diterima dan apa
yang bisa dimaafkan.
(Terate, 2019: 281)
Eli juga mendapat pembelajaran dari
hubungannya dengan Dewa. Ia memang
menyukai tampilan fisik Dewa dan
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
161
kemapanannya yang sangat sesuai dengan
ekspektasi. Namun, Eli tidak dapat
menerima karakter kasar, penindas, dan
posesif pada laki-laki itu yang jauh di luar
dugaannya. Meskipun ia sempat berharap
Dewa menjadi pasangannya di kemudian
hari, pada akhirnya ia menyadari tidak
ingin menghabiskan masa depan dengan
laki-laki yang berpotensi menyakitinya
itu. Terlebih lagi, Dewa ternyata meyakini
stigma buruk terhadap perempuan lajang.
“Jadi kamu nggak mau
berkompromi?” Dewa menatapku
tajam. Menusuk.
Hah, siapa yang tidak mau
berkompromi? Bukannya kamu?
Pantas saja kamu tidak menikah
sampai saat ini. Tak ada laki-laki
yang mau dengan perempuan
keras kepala sepertimu.”
Apa? Aku kaget. Tanpa sadar
kutentang matanya. Mata itu
menyala dengan amarah. Tetapi
anehnya, aku tidak takut.
“Oya? Aku nggak peduli. Lebih baik
aku tak menikah daripada dipasung
laki-laki egois sepertimu.”
(Terate, 2019: 297)
Eli, yang sebelumnya percaya bila
Dewa menyukai dirinya apa adanya,
merasa terkejut karena laki-laki
berpendidikan tinggi pun ternyata percaya
pada stigma perempuan lajang. Karena
telah memiliki kriteria tentang sebuah
perkawinan yang setara dan dapat
membuatnya bahagia, Eli pun memilih
untuk memutuskan tidak lagi berhubungan
dengan laki-laki itu. Ia menolak untuk
berada dalam posisi dikuasai, karena yang
diinginkannya adalah perkawinan dalam
posisi setara.
Berbeda dengan Sandra yang tidak
menyukai anak dalam perkawinannya, Eli
menganggap bahwa keluarga yang ia
inginkan adalah keluarga dengan anak-
anak di dalamnya.
Ah, aku pasti akan mengundangnya
untuk memotret bayiku bila aku
punya bayi suatu hari nanti. Hah,
tunggu sebentar. Apakah barusan
aku memikirkan untuk punya bayi?
Aku dan Dimi belum
membicarakannya, tetapi kurasa
diam-diam ada kesepakatan di
antara kami; bayi akan kami terima
dengan sukacita bila dia memang
tiba. (Terate, 2019: 358)
Pada akhirnya, Eli mendapatkan
harapannya, yaitu laki-laki yang
mencintainya dan ia cintai, Dimi.
Meskipun Dimi tidak memenuhi kriteria
‘tampan dan mapan’ yang disyaratkan dan
‘hanya’ bekerja sebagai PNS di kantor
catatan sipil, Eli merasa bahagia.
Pernikahan mereka memang terjadi
setelah melebihi batas 90 hari yang
ditetapkannya dulu, namun Eli tetap
bersyukur karena telah mendapatkan
banyak pengalaman berharga. Dia merasa
pernikahan membawa kebaikan dan
Stigma Perempuan Lajang…
162
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
kebahagiaan asal dilakukan dengan orang
yang tepat, di saat yang tepat, dengan
alasan yang tepat (Terate, 2019: 286).
Dari pembahasan bagian ini,
terungkap bahwa perkawinan bagi
perempuan tidak seharusnya dilakukan
karena perasaan takut (dilangkahi atau
dilekati stigma) melainkan sebagai pilihan
sadar dari individu yang menjalaninya.
Konsep perkawinan yang ideal adalah
yang memosisikan perempuan dan laki-
laki yang ada di dalamnya pada
kedudukan setara.
5. Penutup
Hasil penelitian terhadap novel
metropop 90 Hari Mencari Suami
menunjukkan bahwa dalam situasi modern
sekalipun, kelajangan masih merupakan
hal yang tidak wajar dan cenderung
dianggap aneh oleh masyarakat jika
dipilih sebagai jalan hidup oleh
perempuan dewasa. Hal tersebut terjadi
karena perempuan telah dikonstruksi
secara sosial, di antaranya melalui mitos-
mitos. Perempuan lajang dianggap sebagai
mahluk yang tidak utuh karena tidak
memiliki pasangan (laki-laki). Namun,
terungkap bahwa setelah menempuh cara
vokasional, protagonis perempuan
mendapatkan kesadaran jika mitos itu
tidak benar. Sebagai perempuan dewasa,
ia memiliki hak untuk menentukan jalan
hidup sebagaimana yang dimiliki oleh
laki-laki.
Perkawinan juga tidak seharusnya
dimotivasi oleh perasaan takut (dilangkahi
atau dilekati stigma), melainkan sebagai
pilihan sadar dari individu yang
menjalaninya. Konsep perkawinan yang
ideal adalah yang memosisikan
perempuan dan laki-laki yang ada di
dalamnya pada kedudukan setara.
Sebagai implikasi dari penelitian ini,
terungkap bahwa seperti dalam sebagian
besar karya fiksi kontemporer Indonesia
lainnya, kelajangan tidak benar-benar
dirayakan atau menjadi pilihan protagonis
perempuan. Pada akhirnya, perempuan
lajang tetap kembali berada di bawah
konstruksi patriarki dengan menerima
perkawinan sebagai alasan untuk
menghindari stigma.
Tania Intan, Susi Machdalena
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
163
Daftar Pustaka
Beauvoir, S. d. 2016. Second Sex: Fakta
dan Mitos. Jakarta: PT. Buku Seru.
Djajanegara, S. 2003. Kritik Sastra
Feminis: Sebuah Pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fahmi, R. F. A., R. . 2020. Kesetaraan
Perempuan dan Polemik Budaya
Patriarkal dalam Novel Cinta Suci
Zahrana. Deiksis, 7(1), 36-45.
Greitemeyer, T. 2009. Stereoptypes of
Singles: Are singles what we
think? European Journal of Social
Psychology, 39, 368-383.
Humm, M. 2007. Ensiklopedia Feminisme
(M. Rahayu, Trans.). Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru.
Hurlock, E. B. 1990. Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Intan, T. 2020. Resiliensi Perempuan
Lajang dalam Metropop Ganjil-
Genap Karya Almira Bastari.
Adabiyyt: Jurnal Bahasa dan
Sastra, 4(1), 47-65.
Intan, T. 2021. Perempuan Lajang dan
Perjodohan dalam Novel Jodoh
Terakhir Karya Netty Virgiantini.
Alinea: Jurnal Bahasa Sastra dan
Pengajaran, 10(1), 1-14.
Intan, T., Elga Ahmad Prayoga. 2021.
Strategi Kebertahanan Perempuan
Lajang dalam Novel Cincin
Separuh Hati Karya Netty
Virgiantini. Fonema: Edukasi
Bahasa dan Sastra Indonesia, 4(1),
1-17.
Major, B., O’Brien, L.T. 2005. The Social
Psychology of Stigma. Annual
Review of Psychology, 56(393-
421).
Mami, L. S. 2015. Harga Diri, Dukungan
Sosial, dan Psychological Well
Being Perempuan Dewasa yang
Masih Lajang. Persona, Jurnal
Psikologi Indonesia, 4(3), 216-224.
Septiana, E., Syafiq, M. 2013. Identitas
“Lajang” (Single Identity) dan
Stigma: Studi Fenomenologi
Perempuan Lajang di Surabaya.
Jurnal Psikologi Teori & Terapan,
4(1), 71-86.
Taylor, A. 2012. Single Women in
Popular Culture: The Limits of
Post-feminism. New York:
Palgrave Macmillan.
Terate, K. 2019. 90 Hari Mencari Suami.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Widianti, N. R., S.A.; Labibah, S.;
Solihin, N. 2020. Representasi
Perjuangan Perempuan dalam
Novel Wedding Agreement karya
Mia Chuz. Muwazah Jurnal Kajian
Gender, 12(1), 53-70.
Wijayanti, E. 2019. Ulasan Novel 90 Hari
Mencari Suami Karya Ken Terate.
https://www.fimela.com/lifestyle-
relationship/read/4137919/ulasan-
novel-90-hari-mencari-suami-
karya-ken-terate diakses tanggal 14
September 2020
Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminis:
Teori dan Aplikasinya dalam
Sastra. Yogyakarta: Ombak.
Stigma Perempuan Lajang…
164
©2021, Mabasan 15 (1), 145164
... At the cultural level, the strong patriarchal culture in Indonesian society is often reflected in stronger social pressure for women (compared to men) who are not or are not yet married (Intan & Machdalena, 2021;Nanik et al., 2018;Natasha & Desiningrum, 2018;Septiana & Syafiq, 2013), although cultural expectations for marriage are universal for both sexes (genders; Hidayatullah & Larassaty, 2017;Himawan, 2019;Oktawirawan & Yudiarso, 2020). Social pressure which is perceived as stronger in single Javanese women is responded to by women practicing more strategies of self-compassion in maintaining life satisfaction. ...
... Pada level kultural, budaya patriarkal yang kuat pada masyarakat Indonesia sering kali terefleksi dalam tekanan sosial yang lebih kuat bagi perempuan (dibandingkan bagi laki-laki) yang belum atau tidak menikah (Intan & Machdalena, 2021;Nanik et al., 2018;Natasha & Desiningrum, 2018;Septiana & Syafiq, 2013), walaupun ekspektasi budaya untuk menikah bersifat universal bagi kedua jenis kelamin (Hidayatullah & Larassaty, 2017;Himawan, 2019;Oktawirawan & Yudiarso, 2020). Tekanan sosial yang dipersepsikan lebih kuat pada perempuan Jawa lajang direspons dengan perempuan lebih mempraktikkan strategi welas asih diri dalam mempertahankan kepuasan hidupnya. ...
Article
Full-text available
For most societies with strong patriarchal values, marriage is part of cultural expectations, causing challenges and social stress for single individuals of marriageable age. This phenomenon can also be observed in people in Central Java. In an effort to increase the life satisfaction of single individuals amidst high cultural expectations, this quantitative study aims to explore the influence of self-compassion on life satisfaction. A cross-sectional survey was conducted on 138 single individuals aged between 25-35 years (Mage = 27.84; SD = 3.014). Regression analysis was utilized to determine the contribution of self-compassion to life satisfaction. The results show that self-compassion influences the life satisfaction of single women (r = .537; p = .000) and men (r = .270; p = .34) in Central Java. This means that self-compassion as a psychological strategy can help singles to experience life satisfaction even though they experience social pressure regarding their single status. Bagi kebanyakan masyarakat dengan nilai patriarkal yang kuat, pernikahan merupakan bagian dari ekspektasi budaya, menyebabkan tantangan dan tekanan sosial bagi individu lajang berusia siap menikah. Fenomena ini juga dapat diobservasi pada masyarakat di Jawa Tengah. Sebagai upaya untuk meningkatkan kepuasan hidup individu lajang di tengah ekspektasi budaya yang tinggi, studi kuantitatif ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengaruh welas asih diri terhadap kepuasan hidup. Survei cross-sectional dilakukan terhadap 138 individu lajang berusia antara 25-35 tahun (Musia = 27,84; SD = 3,014). Analisis regresi digunakan untuk mengetahui kontribusi welas asih diri terhadap kepuasan hidup. Hasil menunjukkan bahwa welas asih diri berpengaruh pada kepuasan hidup perempuan (r = 0,537; p = 0,000) dan laki-laki (r = 0,270; p = 0,34) lajang di Jawa Tengah. Hal ini berarti welas asih diri sebagai strategi psikologis dapat membantu lajang tetap mengalami kepuasan hidup walaupun mengalami tekanan sosial mengenai status lajangnya.
... Bagi sebagian perempuan, pendidikan tinggi seringkali justru direspons dengan stigma negatif oleh lingkungan, terutama apabila perempuan tersebut berstatus lajang (Himawan 2020b;Kumalasari 2007). Pola ini konsisten dengan temuan yang menunjukkan bahwa pendidikan tinggi sering kali dianggap sebagai kompensasi sosial yang positif bagi lelaki lajang, seiring ia mempersiapkan kestabilan ekonomi dan rumah tangganya kelak; sementara hal tersebut dianggap sebagai stigma sosial bagi perempuan yang cenderung dinilai egois karena hanya mementingkan aspirasi personal (Himawan 2020b;Intan dan Machdalena 2021). ...
Article
Full-text available
Marriage is a normative practice in Indonesia. As a result, many view marriage as a social achievement rather than a personal choice. This attitude could impact the psychological well-being of single individuals as they receive marriage pressures and associated stigma from their communities. This quantitative study aims to explore the role of friendship quality on life satisfaction among non-dating unmarried young adults in Indonesia. Friendship Quality Scale (FQS) and Satisfaction With Life Scale (SWLS) were employed to measure the quality of friendship and the life satisfaction of 121 unmarried young adults who is not in a romantic relationship in Indonesia (Mage = 29.98; SD = 3.849), as approached through purposive sampling. Result of this study confirmed a significant contribution (49.4%) of friendship quality to the life satisfaction of male participants, but the results among the females was found insignificant.
Article
Full-text available
Modernization and individualistic culture have shifted the values and expectations of the younger generation regarding marriage, leading to delays or decisions not to marry. However, in Indonesia, many single individuals still face social pressure due to societal stigma, as well as religious and cultural values. This pressure can negatively impact the well-being or flourishing of single individuals. This study aims to examine the relationship between sense of community and emotion regulation (cognitive and expressive suppressions) with flourishing among single individuals, using a correlational quantitative method with 105 respondents (Mage = 34.90; SD = 5.84 years) from the Catholic Singles Community “J”. A purposive sampling technique was employed to select the sample. The results of multiple correlation indicated that sense of community and emotion regulation together significantly positively correlate with flourishing (R = 0.293, R2 = 0.086, p < 0.05. Nevertheless, partial correlation analysis revealed a significant positive correlation between the sense of community and flourishing (p<0.05), but a non-significant correlation between emotion regulation (both cognitive and expressive suppression) and flourishing (p>0.05). Although emotion regulation did not directly correlate with flourishing, emotion regulation (cognitive and expressive suppression) were significantly positively correlated with most aspects of sense of community. The implications of this research suggest that enhancing the sense of community plays a crucial role in achieving flourishing among members of a community. Sense of community can be further strengthened when supported by emotion regulation skills within the community context.
Article
Full-text available
Kelajangan dianggap sebagai hal yang tidak wajar pada perempuan dewasa. Penelitian dilakukan dengan tujuan mengungkap bagaimana perempuan lajang dan perjodohan ditampilkan di dalam novel “Jodoh Terakhir” (2016) karya Netty Vigiantini. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra dan kritik sastra feminis. Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak catat setelah melalui pemhacaan tertutup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lajang dianggap tidak wajar dan melanggar aturan, sehingga untuk mengembalikannya pada jalur normatif, perjodohan dijadikan solusi. Dalam novel, terungkap adanya resistensi dan negosiasi dari tokoh perempuan dalam menyikapi pernikahan yang dipaksakan kepadanya. Kecurigaan bahwa teks akan cenderung bersifat feminis tidak terbukti, karena wacana yang justru dikembangkan pengarang adalah kepatuhan anak perempuan pada konstruksi sosial yang ditanamkan melalui struktur keluarga.Katakunci: feminis, konstruksi sosial, lajang, perjodohan Abstract:Singleness is considered an unnatural thing for adult women. This research was conducted to reveal how single women and matchmaking are featured in Netty Vigiantini's novel Jodoh Terakhir (2016). The method used is descriptive qualitative with sociological literary approaches and feminist literary criticism. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using the note-taking technique after going through closed reading. The data are then classified, interpreted, and analyzed with relevant theories. The results of this study indicate that single women are considered unnatural and violate the rules, so to return them to the normative path, matchmaking is used as a solution. In the novel, it is revealed that there are resistance and negotiation from female characters in responding to the marriage that was forced on her. The suspicion that the text will tend to be feminist is not proven, because the discourse developed by the author is the obedience of girls to social constructs that are instilled through the family structure.Keywords: feminist, social construction, single, matchmaking
Article
Full-text available
In the context of Eastern culture, society views single women and men unequally. The demand for immediate marriage in women is greater than that of men. This research was conducted to reveal the resilience of single women represented by the protagonist of the novel Ganjil-Genap (2020) by Almira Bastari. The method used in this research is descriptive-qualitative. Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using the listening technique and notes through closed reading. The data are then classified, interpreted, and then analyzed using feminist literary criticism. The theoretical foundation in this research comes from the ideas of Hurlock and Schoon. The results showed that (1) The institution of marriage is still coveted by independent, well-established, and logical female figures because singleness is a social category that is considered problematic. (2) In exercising resilience, women go through the overcoming, steering through, bouncing back, and reaching out stages. (3) The achievement that the female character produces from resilience is turning her position from object to subject.
Article
Full-text available
Abstrak. Penelitian ini didasarkan atas temuan dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El-Shirazy yang mengangkat persoalan perempuan. Novel Cinta Suci Zahrana menarik untuk dikaji dari sudut pandang gender karena bernuansa feminisme. Namun, novel ini ditulis oleh pengarang laki-laki. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori feminisme dan gender. Metode penelitian menggunakan deskriptif analisis dengan studi dokumentasi. Dari hasil penelitian ditemukan kecenderungan perempuan lajang yang berpendidikan dan berkarier tinggi acapkali mendapatkan desakan untuk segera menikah. Hal itu didasarkan masih kuatnya budaya patriarkal yang membentuk konstruksi sosial sehingga muncul anggapan bahwa setinggi-tingginya perempuan berpendidikan dan berkarier pada akhirnya akan mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Novel Cinta Suci Zahrana mencerminkan realitas kehidupan masa kini, terutama bagi perempuan yang berkarier dan berpendidikan tinggi, tetapi belum menikah, seperti yang direpresentasikan tokoh Zahrana. Konflik yang dialami tokoh Zahrana merupakan representasi dari ketidaksetaraan gender pada masyarakat patriarkal bahwa pria cenderung bebas melakukan pilihan yang didukung oleh anggapan mayoritas sebagai sebuah kewajaran bahkan kebenaran. Kata Kunci : Cinta Suci Zahrana, gender, patriarkal
Article
Full-text available
This study was aimed to explore middle class single adult women's experience concerning their identity as a single in Surabaya. The number of single adult women in Surabaya has been increased since 2010 until recently. Phenomenological method was used in this study. Data collected using indepth semi-structured interviews and analysed using IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). This study reveals three themes, namely the experience of being stigmatized, psychological impacts of the stigma, and strategies employed to cope with stigma and psychological discomforts. Most participants reported that they are called as " perawan tua " (spinster), " tidak laku " (leftover) by social surroundings. They are also blamed as having negative traits such as introvert because of their single status. The experience of being stigmatized has impacted on their psychological discomforts such as insecure feelings and loneliness. To cope with stigma and psychological discomforts, most participants employed some strategies, namely reevaluating single identity in positive ways, avoiding situations wich invite stigma, and accepting God's destiny and plan. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perempuan lajang kelas menengah di Surabaya. Meningkatnya jumlah perempuan lajang di Surabaya dari tahun 2010 hingga tahun 2012 dan masih dijumpainya stigma negatif kepada perempuan lajang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis dengan pengambilan data menggunakan wawancara semiterstruktur. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis interpretative phenomenological analysis (IPA). Penelitian ini berhasil mengidentifikasi tiga tema utama, yaitu pengalaman terkait stigma terhadap identitas lajang; kondisi psikologis akibat stigma terhadap lajang, dan cara menghadapi tekanan dan stigma. Para partisipan melaporkan bahwa mereka dianggap dan diperbincangkan sebagai perawan tua, perempuan tidak laku, dan memiliki sifat tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan intim. Pengalaman stigma tersebut telah mempengaruhi kondisi psikologis sebagai perempuan lajang, yaitu perasaan tertekan dan kesepian. Dalam menghadapi tekanan akibat stigma dan upaya untuk mengatasi tekanan psikologis tersebut, para partisipan penelitian ini menempuh strategi untuk mempertahankan rasa identitas yang positif sebagai lajang, antara lain: memaknai kembali status lajang lebih positif, menghindari situasi yang menimbulkan stigma, dan menyerahkan diri pada takdir. Kata kunci: Perempuan lajang, ancaman identitas lajang, stigma.
Article
Full-text available
This chapter addresses the psychological effects of social stigma. Stigma directly affects the stigmatized via mechanisms of discrimination, expectancy confirmation, and automatic stereotype activation, and indirectly via threats to personal and social identity. We review and organize recent theory and empirical research within an identity threat model of stigma. This model posits that situational cues, collective representations of one's stigma status, and personal beliefs and motives shape appraisals of the significance of stigma-relevant situations for well-being. Identity threat results when stigma-relevant stressors are appraised as potentially harmful to one's social identity and as exceeding one's coping resources. Identity threat creates involuntary stress responses and motivates attempts at threat reduction through coping strategies. Stress responses and coping efforts affect important outcomes such as self-esteem, academic achievement, and health. Identity threat perspectives help to explain the tremendous variability across people, groups, and situations in responses to stigma.
Article
Single Women in Popular Culture demonstrates how single women continue to be figures of profound cultural anxiety. Examining a wide range of popular media forms, this is a timely, insightful and politically engaged book, exploring the ways in which postfeminism limits the representation of single women in popular culture.
Article
Four studies examined the accuracy of the single stereotype by comparing perceptions of single and partnered targets with self-ratings and ratings by others of single and partnered participants. Results revealed that single targets were evaluated more negatively than partnered targets in terms of a wide range of personality characteristics, overall well-being, and satisfaction with relationships status. These findings were very robust and not qualified by target sex, participant sex, and participant relationship status. In contrast, self-ratings of single and partnered participants were remarkably similar for all personality characteristics as well as overall well-being, which was corroborated by ratings of participants by others. However, partnered participants were indeed more satisfied with their relationship status than single participants. When all is considered, the single stereotype is largely inaccurate. Copyright © 2008 John Wiley & Sons, Ltd.
Second Sex: Fakta dan Mitos
  • S D Beauvoir
Beauvoir, S. d. 2016. Second Sex: Fakta dan Mitos. Jakarta: PT. Buku Seru.
Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar
  • S Djajanegara
Djajanegara, S. 2003. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.