Content uploaded by Tania Intan
Author content
All content in this area was uploaded by Tania Intan on Jul 17, 2021
Content may be subject to copyright.
PEREMPUAN LAJANG DAN PERJODOHAN DALAM NOVEL
JODOH TERAKHIR KARYA NETTY VIRGIANTINI
Tania Intan
Universitas Padjadjaran, Bandung, Indonesia
______________
Riwayat artikel:
Dikirim: 18 Oktober 2020
Direvisi: 24 Februari 2021
Diterima: 28 Februari 2021
Diterbitkan: 27 April 2021
__________
Katakunci:
feminis, konstruksi sosial,
lajang, perjodohan
Keywords:
feminist, social contruct, single,
matchmaking
_______________________
Alamat surat
tania.intan@unpad.ac.id
Abstrak:
Kelajangan dianggap sebagai hal yang tidak wajar pada perempuan dewasa.
Penelitian dilakukan dengan tujuan mengungkap bagaimana perempuan lajang
dan perjodohan ditampilkan di dalam novel “Jodoh Terakhir” (2016) karya
Netty Vigiantini. Metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan
pendekatan sosiologi sastra dan kritik sastra feminis. Data berupa kata, frasa,
dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak catat setelah melalui pemhacaan
tertutup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lajang dianggap
tidak wajar dan melanggar aturan, sehingga untuk mengembalikannya pada
jalur normatif, perjodohan dijadikan solusi. Dalam novel, terungkap adanya
resistensi dan negosiasi dari tokoh perempuan dalam menyikapi pernikahan
yang dipaksakan kepadanya. Kecurigaan bahwa teks akan cenderung bersifat
feminis tidak terbukti, karena wacana yang justru dikembangkan pengarang
adalah kepatuhan anak perempuan pada konstruksi sosial yang ditanamkan
melalui struktur keluarga..
Abstract:
Singleness is considered an unnatural thing for adult women. This research
was conducted to reveal how single women and matchmaking are featured in
Netty Vigiantini's novel Jodoh Terakhir (2016). The method used is descriptive
qualitative with sociological literary approaches and feminist literary criticism.
Data in the form of words, phrases, and sentences were collected using the
note-taking technique after going through closed reading. The data are then
classified, interpreted, and analyzed with relevant theories. The results of this
study indicate that single women are considered unnatural and violate the
rules, so to return them to the normative path, matchmaking is used as a
solution. In the novel, it is revealed that there are resistance and negotiation
from female characters in responding to the marriage that was forced on her.
The suspicion that the text will tend to be feminist is not proven, because the
discourse developed by the author is the obedience of girls to social constructs
that are instilled through the family structure.
PENDAHULUAN
Kuantitas kerap didefinisikan kenormal-
an (Asyari). Ketika perempuan menikah pada
usia 20-25 tahun, ia dianggap normal.
Sebaliknya, jika perempuan belum menikah
pada umur tersebut, ia pun dianggap
menyimpang dan aneh. Berbagai label akan
dilekatkan pada perempuan dewasa yang
masih lajang tersebut, seperti ‘perawan tua’,
‘tidak normal’, ‘terlalu pemilih’, dan ‘tidak
laku’, sehingga me-nimbulkan pertanyaan
pada sekitarnya. Acara kumpul keluarga pun
dapat menjadi ajang perundungan dan
guyonan yang berfokus pada perempuan
lajang sebagai objeknya. Dalam situasi ini,
selain oleh laki-laki, perempuan telah
dijatuhkan oleh kaumnya sendiri, mulai dari
ibunya, kerabatnya yang perempuan, teman-
ALINEA: JURNAL
ALINEA: JURNAL ALINEA: JURNAL
ALINEA: JURNAL
BAHASA
BAHASABAHASA
BAHASA
SASTRA DAN PENGAJARAN
SASTRA DAN PENGAJARANSASTRA DAN PENGAJARAN
SASTRA DAN PENGAJARAN
P-ISSN: 2301 – 6345 I E-ISSN: 2614-7599
http://jurnal.unsur.ac.id/ajbsi
2
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
temannya yang perempuan, hingga tetang-
ganya yang perempuan.
Melajang pada usia dewasa cenderung
membuat perempuan dilekatkan dengan
berbagai stereotip dari masyarakat dan istilah
singlism (Primanita 86). Berbagai ejekan dan
tuntutan cenderung menimbulkan perasaan
tertekan dan kesepian pada perempuan lajang.
Situasi ini relatif berbeda dengan konteks
Barat. Kelajangan cenderung dirayakan dan
dianggap sebagai ‘new cultural affirmation’
sebagaimana ditunjukkan dalam chick lit
Bridget Jones‘s Diary (Taylor 1). Sementara
itu, di Indonesia, kelajangan dimaknai secara
situasional dan kultural. Yang kemudian
bermunculan dalam dunia fiksi kontemporer
adalah tema tentang perempuan lajang yang
didesak untuk menikah karena tuntutan sosial.
Perempuan yang tinggal di perkotaan
masih bersikap lebih santai (Asyari). Dengan
wawasan dan sudut pandang yang lebih luas,
mereka tidak merasa terburu-buru untuk
menikah. Masuknya perempuan dalam ruang
publik melalui pendidikan dan pekerjaan
diyakini membuka wacana baru dalam
pemikiran perempuan lajang, termasuk pada
pergeseran persepsi tentang pernikahan
(Oktarina 76). Pernikahan kini disikapi
sebagai hak kebebasan individu. Sementara
itu, perempuan di desa pada umumnya masih
diharuskan untuk segera menikah karena
berbagai alasan, mulai dari keinginan untuk
meningkatkan status sosial, memiliki
keturunan, takut tidak ada jodoh, atau untuk
menghindari gunjingan kerabat. Setelah
menikah pun, perempuan mengalami
tantangan baru. Ia harus memiliki anak, karena
jika tidak, ia akan (kembali) dianggap tidak
normal. Ketika perempuan hamil, melahirkan,
dan anaknya berkelamin perempuan, (sekali
lagi) perempuan pun akan dituntut untuk
hamil dan memiliki anak laki-laki.
Pada umumnya, perempuan dewasa yang
menunda pernikahan terhalang karena belum
menemukan pasangan yang tepat, tetapi ada
juga yang memang memilih untuk melajang
(Septiana 72). Ada beberapa faktor penyebab
perempuan dewasa masih melajang, di
antaranya yaitu pekerjaan dan belum
memperoleh jodoh. Perempuan yang belum
menikah karena memang memutuskan untuk
tidak menikah pada umunya menikmati
kehidupan lajangnya, sedangkan perempuan
yang merasa belum menemukan jodoh masih
terus mengharapkan pernikahan dengan cara
aktif mencari pasangan (Pratama 351). Dalam
tinjauan psikologis, pada usia dua puluhan
tujuan hidup sebagian besar perempuan adalah
menikah. Akan tetapi, bila perempuan belum
juga menikah pada umur tiga puluh tahun,
mereka akan mengganti tujuan dan nilai
hidupnya untuk mulai berorientasi pada
pekerjaan, karir, dan kesenangan pribadi.
Perempuan berusia 30-an memasuki fase usia
kritis (critical age) karena berada pada
persimpangan antara pilihan ingin tetap
menikah atau justru tetap menjadi lajang
(Hurlock 286).
Pernikahan dalam masyarakat Indonesia
merupakan hal yang penting karena
merupakan sumber dukungan sosial bagi
individu, yang dipercaya akan membuat
kehidupannya menjadi lebih bahagia. Mes-
kipun demikian, menurut Susanti, pandangan
tentang pernikahan sebagai sumber kebaha-
giaan ini tidak menjamin individu untuk
menikah, menunda pernikahan, atau tidak
menikah (Srimaryono 100).
Kehidupan perempuan lajang memang
tidak pernah bebas dari tekanan masyarakat
yang dominan (Septiana 72). Masyarakat
Indonesia merupakan bagian dari struktur
budaya Asia yang memiliki kecenderungan
kolektivis lebih kental dibandingkan dengan
masyarakat Amerika atau Eropa. Oleh karena
itu, anggota masyarakat Indonesia, terutama
perempuan, mengalami tekanan yang jauh
lebih kuat untuk memelihara norma
budayanya, termasuk menikah. Pernikahan
adalah salah satu ritus budaya yang sangat
dihargai oleh hampir seluruh etnis budaya di
Indonesia. Sebagai konsekuensinya, orang
dewasa yang masih lajang, terlebih
perempuan, akan mendapatkan tekanan dari
orang tua dan lingkungannya untuk segera
menikah. Tuntutan untuk menikah pun,
menurut Kumalasari (Putri 28), lebih
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
3
ditujukan pada perempuan daripada laki-laki.
Kecenderungan budaya di Indonesia telah
membuat perempuan untuk segera menjadi
istri dan ibu di dalam institusi keluarga. Setiap
orangtua akan menyarankan anak perem-
puannya untuk segera menikah.
Tema perempuan lajang dalam karya
sastra bukan merupakan hal yang baru,
sebagaimana dapat ditemui pada beberapa
novel kontemporer seperti 30 Hari Mencari
Cinta (2004) karya Nova Riyanti Yusuf, Cinta
Suci Zahrana (2011) karya Habiburrahman El
Shirazy, OTW Nikah (2019) karya Asma
Nadia, 90 Hari Mencari Cinta (2019) karya
Ken Terate, Kebelet Nikah (2020) karya Anisa
Hakim, Ganjil-Genap (2020) karya Almira
Bastari, serta 90 Hari Mencari Cinta (2019)
karya Ken Terate. Kajian terdahulu tentang
kelajangan perempuan dalam novel di
antaranya terhadap novel Cinta Suci Zahrana
karya Habiburrahman El-Shirazy (Fahmi).
Temuan dari penelitian tersebut adalah ada
kecenderungan pada perempuan lajang yang
berpendidikan dan berkarier tinggi mendapat
desakan untuk segera menikah. Hal ini terjadi
karena kuatnya budaya patriarki yang
memiliki kehendak untuk menempatkan
perempuan [kembali] ke ranah domestik.
Sebaliknya, laki-laki memiliki keleluasaan
untuk melajang karena dianggap memiliki hak
untuk memilih.
Makna perjodohan (Kertanegara 2)
adalah proses mengenalkan seseorang kepada
lawan jenis melalui perantara, baik melalui
keluarga, teman, atau medium lainnya.
Berjodoh berarti cocok dan sepadan. Secara
singkat, perjodohan adalah cara untuk
menemukan pasangan hidup berlandaskan
keserasian di antara kedua belah pihak.
Pemilihan pasangan ini secara sosiologis
merupakan bagian dari sistem keluarga.
Menurut O’Brien (Ciren 114), perjodohan
adalah tipe pernikahan yang menyatukan
pengantin laki-laki dan perempuan dengan
campur tangan pihak ketiga yang pada
umumnya adalah orangtua. Perjodohan adalah
tahap yang penting, karena melalui
pernikahan, seseorang akan mendapatkan
keseimbangan hidup, baik secara sosial,
biologis, maupun psikologis.
Pada dasarnya, pemilihan jodoh ber-
langsung seperti sistem pasar (Goode 99).
Pemikiran ini sejalan dengan Wollburg (1)
yang mengafirmasi bahwa pernikahan meru-
pakan masalah transaksi, sebagaimana dalam
tradisi umumnya, perempuan ‘dibeli‘ oleh
laki-laki. Pemilihan jodoh bagi sang anak
merujuk pada pernikahan homogen sebagai
hasil dari proses tawar menawar. Sistem ini
dapat berbeda dari satu masyarakat ke
masyarakat lainnya, mulai dari pengatur
transaksi, peraturan pertukarannya, serta
penilaian relatif mengenai berbagai macam
kualitas [calon yang dijodohkan], yang
bergantung dari sistem yang dianut oleh
masyarakat untuk membentuk unit keluarga
(Zulbaidah 3). Sistem dalam keluarga akan
menentukan sistem perjodohan yang
diterapkan. Bila keluarga menganut sistem
patrilineal, maka perjodohan didasarkan pada
marga atau garis keturunan ayah. Sistem
matrilineal menganut perjodohan terbatas
yaitu didasarkan pada kesepakatan keluarga.
Dalam konteks budaya Indonesia, se-
tidaknya ada tiga konteks perjodohan. Yang
pertama, perjodohan yang terjadi untuk
melanggengkan kekuasaan dan mempertahan-
kan keningratan keturunan sebagaimana
terjadi pada masa lalu. Kedua, perjodohan
terjadi karena tuntutan ekonomi, dan yang
ketiga, perjodohan yang ada dalam tradisi
Islam yang dikenal dengan nama Ta’aruf
(Kertanegara 2-3). Dalam tradisi budaya Jawa
di Indonesia, menurut Rahayu (163), ada
istilah bibit, bobot, dan bebet dalam proses
pemilihan pasangan. Hal ini menunjukkan
bahwa membentuk keluarga baru memang
harus dimulai dari memeriksa asal-usul calon
suami atau istri. Bibit artinya berasal dari
keturunan yang baik dalam hal ini juga
melihat penampilan fisik dan riwayat
penyakit. Bebet artinya memiliki kedudukan
sosial yang sesuai, sedangkan bobot artinya
memiliki tingkat ekonomi yang baik baik segi
ekonomi maupun harta benda (Endah 140).
4
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
Pada masa modern ini, ternyata
perjodohan masih lazim terjadi di dalam
masyarakat. Hal ini terutama disebabkan oleh
kekhawatiran orang tua karena anaknya,
terutama perempuan, telah memasuki usia
matang, sehingga perlu diupayakan tindakan
untuk menghindari berbagai. Kondisi nilai
atau keberadaan norma yang bias gender
seperti ini menurut Zulbaidah (24) akan
mengarah kepada pengaturan posisi tawar
menawar di antara laki-laki dan perempuan
yang tidak seimbang dan lebih sering
didominasi oleh kepentingan laki-laki.
Perjodohan merupakan tema yang cukup
sering diulang di dalam fiksi populer
(Fiksimetropop). Tema perjodohan misalnya
ditemukan di dalam novel-novel seperti: Siti
Nurbaya (Marah Roesli), Midah Si Manis
Bergigi Emas (Pramoedya Ananta Toer),
Summer Sky (Stephanie Zen), Eiffel I’m in
Love (Rachmania Arunita), Perempuan Jogja
(Achmad Munif), My Cold Wedding (Nabila
Poetri), The Bad Guy (Ami Shin), Mahogany
Hills (Tia Widiana), Marriagable: Gue Mau
Nikah Asal … (Riri Sardjono), Black Confetti
(Assrianti), dan Orange (Windry Ramadhina).
Penelitian tentang perjodohan dalam karya
sastra telah dilakukan terhadap novel Memang
Jodoh karya Marah Rusli (Wicaksono) dan
Konsep Perjodohan pada Abad 20 terkait
Novel Midah dengan menggunakan teori sastra
Marxis untuk mengkaji perjodohan sebagai
sistem tawar menawar di antara keluarga
(Lestariningtyas).
Kombinasi di antara kedua tema,
perempuan lajang dan perjodohan, merupakan
tersebut berkisah tentang Neyna, perempuan
berusia 40 tahun yang masih betah melajang.
Kedua orangtuanya telah berkali-kali
mencarikan jodoh, tetapi Neyna selalu berhasil
menggagalkannya. Alasannya, Neyna belum
menemukan laki-laki yang cocok.
Dalam penelusuran peneliti, novel Jodoh
Terakhir telah dikaji dengan fokus telaah
terhadap perwatakan tokoh utama (Sari). Teori
struktural yang digunakan untuk menganalisis
adalah dari Stanton. Penelitian tersebut
menunjukkan bahwa melalui kajian terhadap
sikap keinginan, sikap emosi, sikap
ketertarikan, dan sikap prinsip moral, tokoh
utama dalam novel tersebut memiliki
perwatakan yang unik dan sulit ditebak.
Dari paparan terhadap seluruh penelitian
terdahulu, diketahui bahwa novel Jodoh
Terakhir belum pernah dikaji dari sudut
pandang sosiologi sastra maupun kritik sastra
feminis. Selain itu, pengkajian terhadap tema
perempuan lajang dan perjodohan belum
banyak dilakukan. Oleh karena itu, dapat
dinyatakan adanya kebaruan dan celah untuk
melanjutkan penelitian ini. Tujuan yang
dirumuskan untuk penelitian ini adalah
mengungkap bagaimana perempuan lajang
dan perjodohan ditampilkan di dalam novel
Jodoh Terakhir karya Netty Vigiantini.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan
metodologis yang diaplikasikan adalah
sosiologi sastra dan kritik sastra feminis.
Sosiologi sastra digunakan sebagai pendekatan
penelitian ena melibatkan pembahasan tentang
tokoh sebagai bagian dari struktur ke-
masyarakatan. Kritik sastra feminis digunakan
karena teks yang ditelaah merupakan novel
metropop yang ditulis perempuan, dibaca
perempuan, dan membicarakan terutama
tentang perempuan. Wiyatmi (11) mengutip
Ruthven, yang menyatakan bahwa kritik sastra
feminis bersifat revolusioner karena memiliki
tujuan menumbangkan wacana dominan yang
diciptakan suara tradisional dan patriarkis.
Wiyatmi (30) juga mengutip Showalter yang
memaparkan dua jenis kritik sastra feminis,
yaitu kritik yang melihat perempuan sebagai
pembaca dan kritik yang melihat perempuan
sebagai penulis. Untuk penelitian ini, akan
digunakan kritik sastra yang melihat
perempuan sebagai pembaca, karena kritik ini
berfokus pada citra dan stereotip perempuan
dalam sastra, serta pengabaian dan kesa-
lahpahaman tentang perempuan. Perempuan
dalam karya sastra hampir selalu ditempatkan
sebagai korban, bersifat sentimental dan
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
5
memiliki kepekaan spiritual di bawah
dominansi laki-laki (Djajanegara 7).
Objek penelitian yang dipilih adalah
novel bergenre “Amore” dari PT Gramedia
Pustaka Utama (GPU) berjudul Jodoh
Terakhir karya Netty Virgiantini. Novel
setebal 208 halaman ini pertama kali
diterbitkan pada bulan Juli 2010 dan dicetak
ulang pada bulan April 2016. Amore adalah
lini novel romansa yang dibuat GPU sejak
tahun 2012, seperti “Metropop”, dengan
konten cerita tentang kisah percintaan
perempuan dewasa. Bahasa yang digunakan
cenderung puitis dan humoris. Berbeda
dengan metropop yang selalu menggunakan
latar urban dan kehidupan para tokoh yang
mapan secara finansial, cerita amore dapat
terjadi dalam konteks ruang berbeda. Sebelum
dicetak sebagai novel, Jodoh Terakhir menjadi
juara dalam Sayembara Novelette Nyata tahun
2008 dengan predikat Karya Terpuji.
Meskipun tema yang diangkat bukan
merupakan hal yang baru dan segar, tetapi ada
keunikan dan kelebihan di dalam
pengemasannya.
Netty Virgiantini memenangkan lomba
cerita konyol yang diselenggarakan GPU
dengan karyanya berjudul The Kolor of My
Life (2008). Dibandingkan dengan para
penulis karya kontemporer lainnya, Netty
Virgiantini dianggap memiliki kelebihan,
karena ceritanya selalu membumi dan
memiliki akhir yang cukup realistis. Karya-
karyanya yang lain adalah Mama Comblang:
Jodoh Itu di Telapak Tangan Mama (2008),
Ini Rahasia (2010), When I Look into Your
Eyes (2011), Bittersweet Love (2012),
Chemistry of Love (2012), Yamaniwa (2013),
Lho, Kembar Kok Beda? (2014), Kembar
Dizigot (2015), dan Cincin Separuh Hati
(2015).
Data berupa kata, frasa, dan kalimat
dikumpulkan dari novel Jodoh Terakhir
dengan teknik simak catat setelah melalui
pembacaan tertutup. Data kemudian dikla-
sifikasi, diinterpretasi, dan dianalisis dengan
teori yang relevan.
HASIL PENELITIAN
Pembahasan akan dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu synopsis novel Jodoh Terakhir
sebagai sebuah narasi feminis, perempuan
[lajang dan berkeluarga] dalam konstruksi
sosial, dan perjodohan dalam perspektif
perempuan lajang.
Sinopsis Novel Jodoh Terakhir
Neyna, seorang perempuan yang ber-
umur empat puluh, diharuskan oleh ayahnya
untuk menikah secepatnya, tepatnya pada hari
Sabtu minggu depan, dengan seorang laki-laki
yang telah melamarnya. Ayah Neyna sengaja
tidak memberitahukan identitas sang calon
suami karena Neyna seringkali menghindar
dari perjodohan yang telah ia atur. Neyna
diberi waktu dua hari untuk memutuskan,
menerima perjodohan atau pergi dari rumah
dan tidak lagi diakui sebagai anak.
Selama ini, Neyna selalu menolak
perjodohan yang disiapkan ayahnya karena
merasa belum ada laki-laki yang benar-benar
cocok. Selain itu, Neyna masih belum dapat
melupakan Bondan, rekan sekerja sekaligus
kekasihnya saat bekerja bersama di Surabaya
selama tujuh tahun. Hubungan berbeda
keyakinan itu pun berakhir karena Neyna
terkena PHK besar-besaran saat krisis
moneter.
Dalam kegelisahannya, Neyna pun
meng-hubungi Damar, tetangga sekaligus
sahabatnya dalam beberapa tahun terakhir.
Laki-laki berumur tiga puluh tahun itu adalah
adik Deni, yang pernah menjadi pacar Neyna.
Damar bekerja di bank, dan saat memiliki
waktu luang, ia sering membantu dan
menemani Neyna di kios penyewaan bukunya.
Akan tetapi, sejak rencana perjodohan disam-
paikan ayahnya, Neyna sulit menghubungi
Damar. Menjelang hari pernikahannya,
perempuan itu pun pasrah. Saat itulah Damar
6
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
muncul dan menyampaikan bahwa ia akan
menikah. Damar menyatakan bahwa dirinya
tidak akan dapat menemani Neyna lagi demi
untuk menjaga perasaan istrinya kelak. Neyna
merasa kehilangan tapi tidak ingin
menunjukkannya.
Pada suatu hari, Deni yang masih saja
mengejar cinta Neyna menyatakan bahwa laki-
laki yang dijodohkan dengan Neyna adalah
Damar. Ada perasaan lega sekaligus keraguan
pada diri Neyna. Lega karena ia mengenal
Damar, tetapi juga sedih, karena ia tidak ingin
Damar menikahinya dengan didasari belas
kasihan saja. Hingga sesaat sebelum akad
nikah pun, Neyna masih berusaha meyakinkan
Damar dan dirinya bahwa pilihan itu tidak
akan disesali selamanya.
Narasi dikisahkan oleh pencerita orang
ketiga yang bersifat mahatahu. Meskipun
demikian, keberpihakan narator terlihat sangat
condong pada tokoh Neyna. Pada bab Eh, Lha
Kok Main Tuduh Seenaknya, Neyna
menyuarakan isi pikirannya secara langsung
melalui tindakan menulis catatan harian.
Langkah ini ditempuhnya karena Damar tidak
lagi ada di sisinya. Dalam novel Jodoh
Terakhir, para tokoh yang muncul adalah
orang-orang yang dekat dengan Neyna, yaitu
Bapak dan Ibu, Damar, Deni, orangtua Damar,
Mas Hamdan (tetangga kios), Mbak Nuning
(istri Mas Hamdan), Alena (istri Deni), Risty
dan Santi (teman-teman Neyna), Doni dan
Dika (saudara Damar), Nina dan Noni
(saudara Neyna), Anto dan Meka (suami-
suami Nina dan Noni). Atmosfer kekeluargaan
sangat ditonjolkan di dalam cerita ini.
Kisah novel ini terutama berlatar tempak
kota Madiun. Kemudian ada sekuen flash back
saat Neyna dan Bondan bekerja di perusahaan
yang sama di Surabaya, serta sekuen
keberadaan Neyna di Solo saat ada pameran
buku. Latar sosial dalam Jodoh Terakhir tidak
menunjukkan kehidupan mewah yang pada
umumnya digunakan dalam karya populer
kontemporer. Konteks budaya yang di-
tampilkan adalah kultur Jawa, sehingga tidak
mengherankan bila pengarang memunculkan
komentar dan celetukan dalam bahasa Jawa.
Latar waktu yang ditampilkan berkisar tahun
2005-2006, yaitu 8 tahun setelah krisis
moneter tahun 1997 yang menyebabkan
banyak perusahaan terpaksa melakukan
pemutusan hubungan kerja pada banyak
karyawan.
Perempuan [Lajang dan Berkeluarga]
dalam Konstruksi Sosial
Neyna adalah seorang perempuan
berumur empat puluh tahun yang memiliki
watak mandiri dan keras kepala. Penam-
pilannya menarik dan awet muda. Sifatnya
humoris tetapi sesekali dapat menjadi sangat
sensitif. Ia memiliki dua adik perempuan yang
telah menikah dan memiliki anak. Hubu-
ngannya dengan sang ibu sangat dekat, lebih
daripada dengan ayahnya. Neyna merasa tidak
perlu bergegas untuk menikah karena ia dapat
membiayai hidupnya sendiri dari penyewaan
buku yang ia rintis setelah di-PHK beberapa
tahun lalu.
Neyna pulang kampung dengan kondisi
sangat terpuruk. Kehilangan pekerjaan
dan kekasih dalam waktu bersamaan
merupakan pukulan terberat dalam
hidupnya. Hampir selama dua tahun
hidupnya hanya dihabiskan di dalam
kamar, […]. Bahkan orangtua maupun
kedua adiknya tidak begitu menyadari
kondisi psikis Neyna. Karena di depan
seluruh keluarganya, ia selalu berusaha
bersikap biasa-biasa saja. (Virgiantini 28-
29)
Dalam pandangan masyarakat, perem-
puan lajang yang belum menikah dianggap
sebagai perawan tua, terlebih lagi ia telah
berumur empat puluh tahun seperti Neyna.
Sebagaimana ‘produk kedaluarsa’ perawan tua
merupakan produk yang ‘tidak layak dijual’
karena ‘tidak ada yang mau’. Oleh karenanya,
ketika ada laki-laki yang bersedia menikahi
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
7
Neyna, ayahnya pun merasa sangat bahagia,
karena pada akhirnya, putrinya itu ‘laku
terjual’.
“Kemarin sore, ada laki-laki yang datang
kemari berserta kedua orangtuanya. Dia
meminta izin pada Bapak untuk
menikahimu. Buat Bapak, ini seperti
anugerah. Bagi wanita seusiamu, masih
ada laki-laki yang mau atas kemauan
sendiri datang untuk menjadikanmu istri,
itu suatu hal yang luar biasa.” (Virgiantini
17)
Pada kutipan tersebut, terungkap kele-
gaan ayah Neyna ketika ada laki-laki baik-baik
yang melamar Neyna. Ia memiliki pandangan
bahwa anak perempuan yang sudah berumur
cukup tetapi belum menikah merupakan aib
yang memalukan bagi keluarganya. Ayah
Neyna ingin secepat mungkin melepaskan aib
itu dengan cara menikahkan putri sulungnya.
“Memang tidak melanggar hukum. Tapi
apa kamu nggak sadar kamu sudah mem-
permalukan kedua orangtuamu sendiri?
Semua orang di kampung ini tahu kamu
anak sulung Pak Rahmad Setrodiwiryo.
Dan punya anak perawan tua itu aib! Aib,
nduk!” (Virgiantini 18)
Penolakan Neyna atas konstruksi sosial
yang dilekatkan padanya sebagai perempuan
lajang didasari oleh pemikiran logis bahwa
kelajangannya tidak merugikan siapa pun dan
juga tidak melanggar hukum. Sebagai
perempuan yang mandiri, ia telah merasa
cukup dengan dirinya sendiri.
“Aku heran, kenapa sih semua orang tidak
bisa membiarkanku hidup tenang? Kenapa
hampir setiap detik aku selalu dikejar-
kejar soal kawin, kawin, dan kawin?!
Perempuan belum menikah kan tidak
melanggar hukum. Tidak merugikan
negara. Juga tidak mengganggu ketertiban
masyarakat!” (Virgiantini 60)
Resistensi ditunjukkan Neyna yang
menolak perjodohan karena ia belum ingin
menikah. Ia tidak dapat memahami pandangan
sekitarnya terhadap kehidupan lajang yang ia
jalani sebagaimana gagasan yang disampaikan
dalam tulisan Septiana. Neyna tidak ingin
menikah jika alasannya adalah karena ingin
menyenangkan orangtua, takut menjadi
pembicaraan orang, atau tekanan norma umum
pada perempuan yang sudah berumur (63).
Perlawanan Neyna untuk dijo-dohkan ayahnya
dilakukan secara verbal maupun dengan
tindakan langsung. Berkali-kali ia melawan
kehendak ayahnya, ia juga menolak dan
menghindar dengan segala cara saat akan
dijodohkan.
“Tapi saya juga nggak mau menikah
hanya karena dikejar umur atau takut jadi
omongan orang, Pak. Saya akan menikah
kalau memang sudah menemukan orang
yang benar-benar ingin saya nikahi,” jelas
Neyna, masih berusaha memberikan
sedikit pengertian pada bapaknya. […]
“Ingat kamu sekarang tinggal di mana?
Kalau kamu tinggal di kota besar
semacam Jakarta, orang nggak akan
peduli kamu belum nikah, sudah cerai,
nggak nikah tapi mau cerai, atau nggak
mau menikah sekali pun. Madiun ini kota
kecil, nduk. Di kampung kita ini
masyarakatnya masih saling mengenal
satu sama lain.” (Virgiantini 20-21)
Dari cerita terungkap bahwa Neyna
pernah menjalin hubungan serius selama tujuh
tahun dengan Bondan, rekan kerjanya, tetapi
relasi itu tidak dapat dilanjutkan hingga
pernikahan karena adanya perbedaan
keyakinan di antara mereka (26). Selain
dengan Bondan, Neyna juga pernah
berpacaran Deni, tetangganya sejak SMP-
SMA (30). Hubungan ini tidak berlanjut
karena Deni berselingkuh. Kedua relasi yang
pernah dijalin ini membuktikan bahwa Neyna
perempuan heteroseksual dan tidak memiliki
masalah psikologis dengan laki-laki.
8
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
[…] Neyna terpaksa membuat satu alasan
paling mujarab untuk membuat mereka
mundur teratur dengan sukarela. Kalau
posisi sudah terdesak dan rasa jengkel
memenuhi kepalanya, Neyna terpaksa
berbohong menggunakan jurus ngawur-
nya dengan mengatakan bahwa dirinya
lebih menyukai sesama jenis. Begitu
mendengar pengakuan ngawurnya, rata-
rata pria itu langsung pucat dan buru-buru
pamit pulang. (Virgiantini 56)
Neyna beberapa kali mengaku menyukai
sesama jenis kepada para laki-laki yang
dijodohkan padanya. Dalam masyarakat,
terlebih di pedesaan, perempuan homoseksual
dianggap memiliki seksualitas menyimpang
dan ‘sakit’. Pada kenyataannya, Neyna bukan
seorang lesbian, sebagaimana telah ditun-
jukkan oleh hubungan pacarannya dengan
beberapa laki-laki. Pengakuannya itu tidak
lain merupakan strategin untuk menghindar
dari perjodohan yang ternyata efektif, karena
kemudian beberapa laki-laki yang dijodohkan
dengannya itu pergi dan tidak kembali. Pada
Santi, perempuan berumur 40 tahun ini
menyatakan bahwa ia masih perawan.
“Jelas dong! Aku memang masih awet
muda. Masih asli. Perawan thing-thing!
Murni 100 persen 24 karat. Masih segel.
Dan dijamin halal.”
“Bilang aja kamu nggak laku!”
(Virgiantini 36)
Neyna membanggakan keperawanannya,
sesuatu yang [oleh laki-laki] dianggap penting
dimiliki perempuan yang belum menikah.
Akan tetapi, Santi justru menganggap
keperawanan itu tidak berguna karena
bagaimana pun, temannya itu ‘tidak laku’.
Berbeda dengan dirinya yang sudah tiga kali
‘laku’. Santi mengaku memiliki tiga anak dari
tiga kali pernikahan. Tidak terlihat sedikit pun
penyesalan atau trauma atas kegagalan dalam
rumah tangganya saat ia mengunjungi Neyna.
Santi beranggapan bahwa kelajangan Neyna
adalah murni kesalahannya sendiri. Menurut-
nya pula, tidak perlu menjadi perempuan
pemilih karena pada dasarnya semua laki-laki
itu sama saja.
“Wanita seperti kamu itu, Na, kebanyakan
mikir dan milih malah nggak dapat-dapat.
Apa yang ada di depan mata hajar aja.
Terlalu pilih-pilih tetap nggak menjamin
dapat suami yang baik nantinya. Sering
terjadi orang sudah pacaran sembilan
tahun, begitu menikah malah hanya tahan
satu tahun. Kalau dipikir, kurang
mengenal apa mereka selama pacaran
sekian lama? Tapi toh cerai juga. Menikah
itu bisa diibaratkan perjudian, Na.
Gambling!” (Virgiantini 40)
Meskipun merasa bahwa pandangan
Santi cukup logis, Neyna tidak sependapat
dengannya. Ia masih percaya bahwa banyak
laki-laki yang baik dan pernikahan pun dapat
dipertahankan (44), sebagaimana yang ia lihat
pada kedua orangtuanya.
Neyna yang menganggap diperlakukan
tidak adil karena sebagai perempuan harus
segera menikah dan melakukan resistensi,
ternyata juga seperti menyepakati pemikiran
umum bahwa laki-laki tidak seharusnya
menikah cepat-cepat. Ia bingung ketika Damar
menyatakan akan segera menikah dan mereka
tidak bisa lagi menjadi teman.
“Kamu kan laki-laki, umur juga baru tiga
puluh tahun. Aku aja yang sudah berumur
empat puluh tahun masih santai-santai
saja. Lebih baik kamu mantepin dulu
kariermu, puas-puasin masa mudamu,
baru mikirin kawin!” berondong Neyna
dengan raut muka kaget yang jelas
terlihat. (Virgiantini 67)
Kelajangan laki-laki biasanya diatribu-
sikan dengan perilaku asertif dalam bekerja
dan kesigapan dalam mempersiapkan kehi-
dupan masa depan. Sebagaimana dinyatakan
Kumalasari, laki-laki lajang tidak men-
dapatkan tuntutan untuk segera menikah
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
9
sebanyak yang perempuan dapatkan.
Sementara itu, perempuan lajang berada dalam
situasi rentan dengan stigma, yang salah
satunya adalah sebagai pengganggu rumah
tangga. Alena, istri Deni mendatangi Neyna
karena menduga suaminya dan Neyna
menjalin hubungan. Ia menemukan bahwa
Deni masih menyimpan foto-foto Neyna di
dompetnya. Tuduhan bahwa perempuan lajang
dianggap sebagai penggoda laki-laki ini
sejalan dengan pandangan masyarakat yang
menganggap dengan sadar dan menunjukkan
sikap negatif pada para lajang, terutama
perempuan (Greitemeyer).
“Saya tahu wanita seperti Mbak Neyna
memang sudah terdesak untuk segera
menikah. Tapi tidak harus merebut suami
orang, kan?!” (100)
Senin, siang.
Istri Deni datang. Cuantik sekali. Eh, lha
kok malah menuduh orang seenak
perutnya sendiri. Aku heran, kenapa
hampir semua orang mengira perempuan
lajang seperti diriku akan gelap mata
dalam mencari suami. Terus main embat
suami orang seenaknya. Amit-amit jabang
bayi! Deni kurang ajar! Kurang kerjaan.
Buat apa pakai nyimpen foto-foto jadul
segala? Awas kalau nanti ketemu. Harus
bikin perhitungan! (Virgiantini 102)
Neyna yang tidak merasakan hal yang
sama dengan Deni mengerti bahwa ia
dipandang negatif karena statusnya sebagai
perempuan lajang. Padahal selain belum
menemukan laki-laki yang benar-benar cocok
dengannya, Neyna masih mengharapkan untuk
dapat bertemu dengan Bondan, mantan
pacarnya. Ketika ia berkunjung ke pameran
buku di Solo, ia berdoa pada Tuhan untuk
mempertemukannya dengan laki-laki yang
masih ia cintai itu.
“Ris, kamu pernah ketemu Bondan,
nggak?” tanya Neyna pelan, mengalihkan
topik pembicaraan sambil menundukkan
kepala. […]
“Apa dia pernah menanyakan tentang aku
padamu?”
“Nggak pernah. Nggak pernah sama
sekali. Berulang kali aku bertemu
dengannya, dia nggak pernah sekali pun
nanyain kamu!” ujar Risty dengan suara
tegas tetapi dalam hati mati-matian
menahan merasa bersalah. (Virgiantini
117-118)
Keinginan Neyna untuk bertemu lagi
dengan Bondan tidak didasari niat untuk
merusak rumah tangga laki-laki itu, tapi
semata-mata karena ia merindukannya dan
ingin melihat Bondan untuk terakhir kali.
Risty, sahabatnya, mengerti bahwa Neyna
merasa kesepian dalam kesendiriannya. Akan
tetapi, ia tidak menyampaikan bahwa Bondan
pun sering menanyakan kabar Neyna dan
ingin bertemu.
Konstruksi sosial ternyata tidak hanya
berlaku pada perempuan lajang, melainkan
pada semua perempuan, yang berarti juga
perempuan yang telah menikah. Ibu, sebagai
istri, dianggap harus selalu patuh pada apa pun
yang dikatakan Bapak.
“Bapak ini sama saja dengan laki-laki
lain, kalau ada yang nggak beres, selalu
saja istri yang dijadiin kambing hitam,”
repetnya kebih lanjut.
“Lho, kan memang sudah jadi tugas
seorang ibu untuk membimbing dan
mendidik anak, sekaligus mengurus
rumah tangga. Tugas laki-laki itu berat,
Bu, harus membanting tulang mencari
nafkah untuk menghidupi seluruh
keluarga.” (Virgiantini 9)
Neyna kagum pada ibunya, karena
walaupun produk wanita zaman dulu,
beliau tidak pernah takut untuk
menyuarakan isi hati di depan suaminya.
10
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
“Jangan bilang begitu, Bu. Itu namanya
melawan kodrat. Wanita memang harus
mengabdi sepenuhnya kepada suami!”
“Selalu itu alasannya. Kodrat, kodrat, dan
kodrat yang membuat para laki-laki
merasa punya hak untuk menyakiti
istrinya.” (Virgiantini 10)
Meskipun menerima konstruksi sosial
yang dikenakannya sebagai istri dan ibu, ibu
Neyna masih melakukan perlawanan dan siap
berdebat jika prinsip-prinsip yang diterapkan
suaminya tidak dapat ia terima. Akan tetapi,
ketika berada di hadapan anak-anaknya,
perempuan itu akan diam demi menjaga
martabat dan wibawa suaminya. Selain Ibu,
Risty juga memenuhi peran gendernya sebagai
seorang istri dan ibu ‘yang baik’ secara
normatif. Dalam novel digambarkan ba-
gaimana Risty memastikan kondisi anak-
anaknya baik-baik saja saat ia pergi dengan
Neyna ke Solo. Ia harus meminta izin pada
suaminya untuk ‘menyeberang’ dari ranah
domestik ke ranah publik.
“Aku tadi sudah menelepon Mas Anto,
bilang kalau masih nostalgia sama kamu.
Aku juga sudah telepon anak-anak. Di
rumah kan ada ibuku. Mereka nurut kalau
sama eyangnya,” jelas Risty mene-
nangkan sahabatnya yang kelihatannya
merasa tak enak hati. (Virgiantini 121)
Dari pembahasan bagian ini, terungkap
bahwa perempuan lajang dikonstruksi oleh
masyarakat sebagai mahluk yang ‘aneh’ dan
harus diingatkan untuk kembali ke ‘kodratnya’
yaitu menikah. Bila tidak, perempuan lajang
akan terus dianggap sebagai aib, pemilih,
terlalu banyak menuntut, sehingga akan diberi
sanksi sosial berupa label pengganggu rumah
tangga atau bahkan lesbian. Selain perempuan
lajang, dalam novel ini terungkap bahwa
perempuan yang telah menikah atau pernah
menikah juga tidak terlepas dari konstruksi
sosial.
Perjodohan dalam Perspektif Perempuan
Lajang dan Masyarakat
Perjodohan sebenarnya terjadi karena
orangtua menganggap anak tidak memiliki
kemampuan untuk memilih pasangan terbaik.
Perjodohan dilakukan agar kedua calon yang
dipertemukan bermuara pada pernikahan dan
bermanfaat bagi semua pihak. Orangtua kerap
merasa memiliki kewajiban memilihkan jodoh
yang tepat bagi anaknya, oleh karena itu, anak
tidak diperkenankan menjalin hubungan
dengan calon yang tidak memenuhi syarat
ideal. Hal ini ditunjukkan dengan terputusnya
hubungan Neyna dengan Bondan di masa lalu
karena perbedaan keyakinan.
Sementara itu, Neyna memiliki prinsip
bahwa ia sendiri yang akan memilih laki-laki
pendamping hidupnya. “Aku mau cari sendiri
calon suamiku. Nggak perlu acara dijodoh-
jodohi begitu.” (45). Neyna percaya bahwa
jodoh sudah ada yang mengatur, dan untuk
yang ke sekian kalinya. ia menolak perjodohan
yang disiapkan orangtuanya. Terlebih lagi,
pada perjodohan yang terakhir, ia tidak diberi
tahu siapa calon suaminya. Sebagaimana
dinyatakan Kertanegara, perempuan selalu
menjadi pihak yang harus patuh dan berperan
sebagai objek untuk melanggengkan keku-
asaan patriarki.
“Tunggu … tunggu! Apa-apaan ini?
Bapak anggap apa pernikahan itu?
Bagaimana bisa seenaknya sendiri
menerima lamaran dan menentukan hari
pernikahan tanpa melibatkan pihak yang
bersangkutan?” protes Neyna. “Pak, Bu,
saya yang akan menjalaninya. Susah atau
senang, sayalah yang harus menang-
gungnya sendiri. Jadi jangan begini
caranya!” (Virgiantini 22)
Reaksi Neyna yang keras muncul dari
kesadaran bahwa ia seperti tidak memiliki hak
untuk memilih sendiri pasangannya atau
menolak laki-laki yang diajukan oleh
orangtuanya. Bagi perempuan ini, pernikahan
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
11
adalah sebuah kontrak sosial, yang
mengharuskan terjadinya kesepakatan di
antara kedua belah pihak, tanpa ada intervensi
dari pihak lain. ia merasa memiliki otonomi
dan kuasa penuh atas dirinya. Akan tetapi
demikian, sistem perjodohan yang diatur oleh
orangtuanya dianggap tidak relevan dengan
prinsip perempuan itu. Akan tetapi kemudian,
Neyna menyadari bahwa Bapak dan Ibu
bermaksud baik. Keduanya sudah berumur,
sehingga saat itu ia harus patuh pada
keinginan mereka. Kedua orangtuanya merasa
kuatir bila Neyna hidup sendiri dan kesepian
kelak ketika mereka telah tiada. Neyna juga
tidak ingin tidak lagi diakui sebagai anak,
karena keluarga merupakan hal yang penting
baginya.
Kalau saja dia mau nurut, pasti dia sudah
hidup bahagia dengan suami dan anak-
anaknya sendiri. Orangtua sudah susah-
suah nyariin jodoh, bukannya berterima
kasih malah sering membuat ulah yang
memalukan orangtua.” (Virgiantini 11)
“Bapak jangan selalu memojokkan
Neyna. Dia pasti punya alasan untuk
menolak perjodohan-perjodohan yang
Bapak ajukan. Dia sudah cukup dewasa
untuk menentukan pilihannya sendiri,”
bela Ibu yang tidak rela putri sulungnya
selalu dipersalahkan. (Virgiantini 11)
Akan tetapi, sebagaimana terungkap
dalam kutipan-kutipan tersebut, Neyna
menunjukkan sikap tidak menerima kenyataan
bahwa perempuan mendapatkan tuntutan lebih
besar untuk segera menikah dibandingkan
dengan laki-laki. Ia juga tidak memahami
mengapa sebagian besar perempuan mau saja
dijodohkan dengan tanpa perlawanan sama
sekali.
“Seandainya saya laki-laki, berumur
empat puluh tahun, dan belum menikah,
apa Bapak juga akan sesibuk sekarang ini
mencarikan jodoh untuk saya?” […]
“Pasti nggak kan, Bu? Karena punya anak
perempuan yang disebut perawan tua
selalu dianggap lebih memalukan
daripada punya anak laki-laki yang
disebut bujang lapuk.”
(Virgiantini 47)
[…] mengapa sebagian besar laki-laki
yang dikenalkan padanya selalu ber-
pendapat wanita seperti dirinya akan
langsung mengangguk-angguk pasrah saja
begitu diajak menikah. Waduh, maaf-
maaf saja ya. Apa mereka pikir karena
sudah dikejar umur, ia bakal langsung
menerima laki-laki yang paling cepat
datang untuk jadi suaminya tanpa pikir
panjang lagi? Istilahnya, mumpung ada
yang mau. (Virgiantini 56)
Sebagai seorang perempuan dewasa,
Neyna lalu menyadari bahwa orangtuanya
bermaksud baik dan saat itu ia tidak memiliki
pilihan selain harus patuh pada keinginan
mereka. Kedua orangtuanya merasa kuatir bila
Neyna hidup sendiri dan kesepian kelak ketika
mereka telah tiada. Hal ini tidak bertentangan
dengan perspektif Goode, bahwa proses
pemilihan jodoh pada dasarnya berlangsung
seperti sistem pasar. Pemilihan jodoh bagi
anak merujuk pada pernikahan sebagai hasil
dari tawar menawar dan ditujukan untuk
mendapatkan keuntungan.
Kalau saja dia mau nurut, pasti dia sudah
hidup bahagia dengan suami dan anak-
anaknya sendiri. Orangtua sudah susah-
suah nyariin jodoh, bukannya berterima
kasih malah sering membuat ulah yang
memalukan orangtua.” (Virgiantini 11)
“Bapak jangan selalu memojokkan
Neyna. Dia pasti punya alasan untuk
menolak perjodohan-perjodohan yang
Bapak ajukan. Dia sudah cukup dewasa
untuk menentukan pilihannya sendiri,”
bela Ibu yang tidak rela putri sulungnya
selalu dipersalahkan. (Virgiantini 11)
12
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
Dalam konteks novel ini, perjodohan
dilakukan pada Neyna setelah orangtuanya
menerima lamaran dari seorang laki-laki
misterius (yang kemudian diketahui adalah
Damar). Telah terjadi kesepakatan untuk
menikahkan Neyna dan Damar pada hari
Sabtu seminggu setelah ayahnya menyam-
paikan hal tersebut. Proses lamaran, yang
dalam istilah Goode menyerupai transaksi di
pasar, yang telah terjadi tidak boleh dibatalkan
lagi. Pada akhirnya, Neyna memutuskan untuk
mengikuti keinginan kedua orangtuanya. Ia
bersedia menikah karena pada dasarnya ia
membutuhkan keluarga.
“[…] Yang perlu kamu tahu, meskipun di
mata orang-orang kelakuanku sering
dianggap keras kepala, aku tetap wanita
normal yang suatu saat nanti juga pengin
punya suami, anak, dan keluarga yang
bahagia. Tapi aku memang nggak mau
terlalu ngoyo.” (Virgiantini 61)
Negosiasi pun akhirnya dilakukan oleh
Neyna karena tidak lagi melihat celah untuk
melarikan diri kali ini. Demi orangtuanya, ia
bersedia menikah dengan laki-laki yang
dijodohkan dengannya, meskipun ia tidak
mengenalnya. Meskipun demikian, Neyna
diam-diam merencanakan untuk menghindari
pernikahan itu dengan berbagai cara, mulai
dari menyadarkan Damar, melarikan diri,
hingga bunuh diri. Akan tetapi, dengan cara
yang sederhana, Damar membuat hati Neyna
sangat tersentuh. Laki-laki itu membuatkannya
teh hangat dan makanan saat ia lapar.
Apa yang telah terjadi padaku? Mengapa
segelas teh hangat ini membuatku begitu
tersentuh? Apa karena Damar yang
membuatnya? Atau karena selama ini aku
tidak pernah melihat Bapak membuatkan
teh hangat untuk Ibu? Setahuku, dalam
kondisi sakit pun Iby masih terus
melayani Bapak. Di rumah ini seolah
sudah ada rumus yang sudah baku, Ibu
yang melayani dan Bapak yang dilayani.
Mungkin karena itulah perhatian
sederhana yang berwujud segelas teh
hangat ini rasanya begitu menyentuh dan
membahagiakanku. (Virgiantini 135)
Ayahnya sendiri tidak pernah dilihat
Neyna membuatkan teh untuk Ibu. Dalam
keluarga Neyna, Bapak memang otoriter tetapi
ia sering berbicara dengan lembut dan merajuk
pada Ibu. Kesediaan Damar untuk mela-
yaninya dan kebaikan hatinya selama ini
membuat perempuan itu tersentuh dan
menerima pernikahannya.
Adanya resistensi dan negosiasi dalam
novel Jodoh Terakhir yang dilakukan oleh
tokoh Neyna untuk bertahan dalam kela-
jangannya sempat menimbulkan kecurigaan
bahwa karya tersebut bersifat feminis. Akan
tetapi, kemudian narasi kemudian menun-
jukkan bahwa kecenderungan tersebut tidak
dikembangkan, karena wacana yang kemudian
tampil justru adalah kepatuhan anak [perem-
puan] pada konstruksi yang dibentuk melalui
struktur keluarga yang patriarkis.
SIMPULAN
Dari penelitian ini, diketahui bahwa
dalam novel Jodoh Terakhir, perempuan
dewasa lajang masih dipandang sebagai
fenomena yang tidak wajar dan melanggar
aturan. Oleh karena itu, untuk mengembalikan
perempuan pada jalur ‘yang seharusnya’ yaitu
menjadi istri dan ibu, perjodohan pun
dijadikan solusi. Selain perempuan lajang,
perempuan yang telah atau pernah berkeluarga
juga tidak luput dari konstruksi sosial. Dalam
novel, terungkap adanya resistensi dan
negosiasi dari tokoh perempuan dalam
menyikapi pernikahan yang dipaksakan
kepadanya. Kecurigaan peneliti bahwa teks
akan cenderung bersifat feminis tidak terbukti,
karena wacana yang justru dikembangkan
pengarang adalah kepatuhan anak perempuan
pada nilai-nilai normatif yang ditanamkan
melalui struktur keluarga.
Seluruh pembahasan menunjukkan bah-
wa, dengan berbagai variasinya, tema
perempuan lajang dan perjodohan masih
Tania Intan: Perempuan Lajang dan Perjodohan dalam…
13
dianggap relevan dengan situasi aktual, yang
diperlihatkan melalui penggunaan tema-tema
tersebut di dalam sejumlah karya. Di masa
modern ini, perempuan, baik yang lajang atau
pun berkeluarga, masih saja berada di dalam
konstruksi sosial yang berkarakter patriarkis.
Dengan berbagai cara dan alasan, perempuan
seperti dipaksa untuk memasuki dunia
perkawinan yang berarti menempatkannya
kembali ke dalam ruang domestik. Pendidikan
tinggi dan pekerjaan yang memungkinkannya
hidup mandiri tidak dapat menjadi senjata
perlawanan, karena perempuan selalu
diposisikan sebagai mahluk yang lemah,
patuh, dan sabar.
Penelitian terhadap novel Jodoh
terakhir maupun karya populer kontemporer
lainnya masih dapat dikembangkan karena
tema-tema di dalamnya, meskipun tidak selalu
otentik, memiliki keunikan yang berpotensi
untuk ditelaah lebih jauh. Pembahasan tentang
perempuan lajang dan perjodohan di dalam
novel selain ditinjau dengan sosiologi sastra
dan kritik sastra feminis juga dapat dilakukan
dengan perspektif lain, seperti antropologi
sastra atau psikologi sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Asyari, Rena. "Ketika Kuantitas Mendefinisikan Kenormalan." Jurnal Perempuan, 2014,
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/ketika-kuantitas-mendefinisikan-
kenormalan.
Ciren, Cuo-Mu, dkk. "From Arranged Marriage to Autonomous Marriage: Marriage
Liberalization in India, Ancient Rome, United Kingdom and China." International Journal
of Humanities and Social Science, vol. 6, no. 1, 2016, pp. 114-120.
Djajanegara, Soenarjati. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Endah, Kuswa. "Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa." Kejawen:
Jurnal Kebudayaan Jawa, vol. 1, no. 2, 2006.
Fahmi, R.F. & Arfiyanti, R. "Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam
Novel Cinta Suci Zahrana." Deiksis, vol. 7, no. 1, 2020, pp. 36-45.
Fiksimetropop. "[Suka Nggak Suka] Tema Perjodohan." 2014,
http://www.fiksimetropop.com/2014/10/suka-nggak-suka-tema-perjodohan.html.
Goode, W. J. Sosiologi Keluarga. edited by Sahat Simamora, translated by Lailahanoum
Hasyim, Bumi Aksara, 1991.
Greitemeyer, T. "Stereoptypes of Singles: Are Singles What We Think?" European Journal of
Social Psychology, vol. 39, no. 368-383, 2009.
Hurlock, E. B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Erlangga, 1990.
Kertanegara, Rizky. "Perjodohan di Ruang Publik (Kajian Resepsi Perjodohan di Ruang Publik
dalam Program Take Me out Di Indosiar oleh Remaja Perempuan)." Makalah, 2012, pp. 1-
17, doi:10.13140/RG.2.2.16335.53929.
Lestariningtyas, Stefani R. "Konsep Perjodohan Pada Abad 20 Terkait Novel Midah: Sebuah
Pendekatan Sejarah Pada Karya Sastra." academia.edu, 2018,
https://www.academia.edu/36721666/Konsep_Perjodohan_pada_Abad_20_Terkait_Novel_
Midah_Sebuah_Pendekatan_Sejarah_pada_Karya_Sastra.
Oktarina, L. P., Wijaya, M., Demartoto, A. "Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus pada
Perempuan Lajang yang Bekerja di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri." Jurnal
Analisa Sosiologi, vol. 4, no. 1, 2015, pp. 75-90.
14
Alinea: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajaran
Volume 10, (1) April 2021, hal. 1-14
Pratama, L. A. J. & Masykur, A. M. "Interpretative Phenomenological Analysis tentang
Pengalaman Wanita Dewasa Madya yang Masih Melajang." Jurnal Empati, vol. 7, no. 2,
2018, pp. 351-360.
Primanita, N. M. D. & Lestari, M.D. "Proses Penyesuaian Diri dan Sosial pada Perempuan Usia
Dewasa Madya yang Hidup Melajang." Jurnal Psikologi Udayana, vol. 5, no. 1, 2018, pp.
86-98.
Putri, Friska. "Psychological Well-Being Wanita Dewasa Lajang (Ditinjau dari Empat Tipe
Wanita Lajang menurut Stein)." Jurnal Motiva, 2016, pp. 28-37.
Rahayu, Lina M. "Perempuan dan Perkawinan dalam Tradisi dan Konstruksi." Seminar Nasional
Sastra dan Budaya: Perempuan dan Lokalitas, edited by Witakania Sundasari Som dkk.,
Departemen Susastra dan Kajian Budaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran,
26 Juli 2016 2016.
Sari, Maya K. "Perwatakan Tokoh Utama dalam Novel Jodoh Terakhir Karya Netty
Virgiantini." Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumbar, Skripsi,
STKIP PGRI Sumbar, 2016.
Septiana, E. & Syafiq, M. "Identitas “Lajang” (Single Identity) dan Stigma: Studi Fenomenologi
Perempuan Lajang di Surabaya." Jurnal Psikologi Teori & Terapan, vol. 4, no. 1, 2013, pp.
71-86.
Srimaryono, F. & Nurdibyanandaru, D. "Intensi untuk Menikah pada Wanita Lajang." Jurnal
Psikologi Kepribadian dan Sosial, vol. 2, no. 2, 2013, pp. 99-105.
Taylor, Anthea. Single Women in Popular Culture: The Limits of Post-Feminism. Palgrave
Macmillan, 2012.
Virgiantini, Netty. Jodoh Terakhir. PT Gramedia Pustaka Utama, 2016.
Wicaksono, Rendra. "Masalah Perjodohan dalam Novel Memang Jodoh Karya Marah Rusli."
Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, 2015.
Wiyatmi. Kritik Sastra Feminis: Teori Dan Aplikasinya Dalam Sastra. Ombak, 2012.
Wollburg, C. The History of Matchmaking and the Function of Intermediaries in the Marriage
Market. 2016.
Zulbaidah. "Dampak Perjodohan Pilihan Orang Tua Di Gampong Geulanggang Gajah
Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya." Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi, Skripsi, Universitas Teuku Umar, 2014, p. 65.