Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
526
Vol. 5 No. 3 Desember 2020
e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik
Dengan Bahasa Asing
Arya Bagus Khrisna Budi Santosa Putra1, I Made Dedy Priyanto2
1Program Studi Magister (S2) Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Udayana,
E-mail: aryabagussantosa10@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: dedy_priyanto@unud.ac.id
Info Artikel
Abstract
Masuk : 13 November 2020
Diterima : 13 November 2020
Terbit : 15 Desember 2020
Keywords :
Responsible; Notary, Authentic
deed; Foreign language
In Law on the Occupation of Notary Article 43, there are 2 (two)
contradicting Paragraphs, namely Paragraph (1) and Paragraph
(3). In Paragraph (1) it is stated that "deeds must be made in
Indonesian", while in Paragraph (3) it states "if the parties wish,
the deed can be drawn up in a foreign language". The
disharmony of the 2 (two) rules could potentially reduce the
perfection of the deed. As for the problems raised in this study
regarding what is the notary's responsibility in making
authentic deeds in foreign languages? and what is the urgency of
using Indonesian in making authentic deeds? Then the objective
of this research is to knowing the Notary's responsibility in
making authentic deeds in foreign languages and to find out how
much urgency the use of Indonesian is in making authentic
deeds. This study is using a normative research method with
statutory approach. Through this research it is known that the
responsibility of notaries in making authentic deeds in foreign
languages can be classified into administrative, civil and
criminal responsibilities, then it is known that the urgency of
using Indonesian in making deeds is very important because the
regulation of the applicatian of Indonesian in the territory of the
Indonesian state is clearly stated in Article 36 of the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia.
Abstrak
Kata kunci:
Tanggung Jawab; Notaris,
Akta Otentik; Bahasa Asing
Corresponding Author:
Arya Bagus Khrisna Budi
Santosa Putra, E-mail:
aryabagussantosa10@gmail.com
DOI :
10.24843/AC.2020.v05.i03.p08
Pada Pasal 43 UUJN terdapat 2 (dua) Ayat yang bertolak
belakang yaitu dalam Ayat (1) dan Ayat (3). Pada Ayat (1)
dinyatakan bahwa “akta wajib dibuat dalam bahasa indonesia”,
sedangkan dalam Ayat (3) dinyatakan “jika para pihak
menghendaki, akta dapat dibuat dalam bahasa asing”.
Ketidakharmonisan dari 2 (dua) aturan tersebut dapat berpotensi
untuk mengurangi kesempurnaan akta. Adapun permasalahan
yang diangkat dalam penelitian ini mengenai apakah tanggung
jawab Notaris dalam pembuatan akta otentik dengan bahasa
asing? dan bagaimana urgensi penggunaan bahasa Indonesia
dalam pembuatan akta otentik? Lalu tujuan dari adanya
penelitian ini ialah untuk mengetahui apakah bentuk tanggung
jawab Notaris dalam pembuatan akta otentik dengan bahasa
asing dan untuk mengetahui seberapa besar urgensi penggunaan
bahasa Indonesia dalam pembuatan akta otentik. Metode pada
penelitian ini adalah metode penelitian normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan. Melalui
penelitian ini diketahui bahwa tanggung jawab Notaris dalam
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
527
pembuatan akta otentik dengan bahasa asing dapat
diklasifikasikan menjadi tanggungjawab administratif, perdata
dan pidana, lalu diketahui urgensi penggunaan bahasa Indonesia
dalam pembuatan akta sangatlah penting karena pengaturan
penggunaan bahasa Indonesia dalam wilayah negara Indonesia
telah termuat jelas dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 .
I. Pendahuluan
Pada dasarnya perjanjanjian bisa dilakukan secara lisan ataupun tertulis. Pada kaitannya
dengan perjanjian tertulis, suatu perjanjian dilakukan dengan menuangkannya dalam
bentuk tertulis, sedangkan perjanjian lisan merupakan bentuk kesepakatan para pihak
yang dilaksanakan melalui perkataan yang sifatnya lisan. Pada prakteknya perjanjian
tertulis sendiri mencakup 2 (dua) jenis, yang pertama adalah perjanjian di bawah tangan
serta perjanjian notariil/akta otentik yang mana diartikan sebagai “suatu akta yang
dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat
umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.
Penjelasan UUJN juga memberikan kepastian pada Notaris bahwa Notaris perlu
mendapatkan jaminan perlindungan dalam peranannya menjalankan tugas sebagai
pejabat publik. Bagaimanapun juga produk akta yang dihasilkan Notaris selalu
dianggap bersifat otentik selama belum bisa dibuktikan sebaliknya.
Dalam menjalankan kepastian hukum serta jaminan perlindungan bagi pelaksanaan
tugas Notaris harus selaras dengan keterbaharuan kebutuhan masyarakat maupun
perkembangan aturan hukum. Sebagai pengemban jabatan, Notaris sepatutnya
menjalankan tugasnya sesuai apa yang diamanatkan dari undang-undang. Penyusunan
akta harus merujuk kepada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disingkat UUJN) Pasal 38 sampai Pasal 53. Ketentuan dimaksud memberikan batasan-
batasan dan petunjuk-petunjuk bagaimana seorang Notaris melakukan kewajiban
dengan baik dan benar.
Dilihat dari ketentuan Pasal 43 UUJN terdapat inkonsistensi antara Ayat yang satu
dengan Ayat lainnya. Hal ini menandakan terdapat ketidaktegasan antar Ayat dalam
pasal yang sama dalam UUJN dimana pada Pasal 43 Ayat (1) mengharuskan
penggunaan bahasa Indonesia dalam penyusunan akta sedangkan pada Pasal 43 Ayat
(3) membolehkan Notaris menyusun akta menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia
apabila dikehendaki oleh para pihak.
Pengunaan bahasa Indonesia pada wilayah hukum Republik Indonesia merupakan
bentuk nyata kedaulatan negara. Bila di dalam wilayah hukum Republik Indonesia
diperbolehkan untuk mempergunakan bahasa selain bahasa Indonesia dalam
penyusunan akta otentik tentunya akan menghilangkan esensi dari penggunaan bahasa
nasional itu sendiri. Setiap negara tentu menghendaki agar bahasa nasionalnya dikenal
secara internasional dan berdaulat di dalam negaranya.
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 3 Desember 2020, h. 526-535
ISSN: 1978-1520
528
Kewajiban untuk menjelaskan dan menterjemahkan isi suatu akta berbahasa asing pada
dasarnya sudah diatur dalam Pasal 43 Ayat (2) UUJN. Hal tersebut menunjukan
inefisiensi dari pembuatan akta dengan bahasa asing. Apabila Notaris membuat akta
berbahasa Indonesia lalu menerjemahkannya maka hal tersebut tentu lebih dapat
mengurangi adanya kecacatan dalam pemaknaan bahasa dalam akta dan juga secara
filosofis dapat menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama.
Perbedaan interpretasi dalam menerjemahkan akta berbahasa asing tentunya sulit untuk
dihindari sehingga dapat menjadikan Notaris sebagai pihak yang ikut
bertanggungjawab apabila nantinya timbul kerugian dari para pihak karena perbedaan
interpretasi istilah asing pada akta. Dalam menjalankan kewenangannya Notaris
memang dilindungi oleh undang-undang akan tetapi bila Notaris menimbulkan
kerugian bagi klien atau para penghadap dalam menjalankan jabatannya, Notaris dapat
dimintakan ganti kerugian oleh pihak yang merasa dirugikan.
1
Kapabilitas Notaris dalam menyusun akta otentik melahirkan tanggung jawab penuh
terhadap bagi dirinya terhadap semua produk hukum yang ia buat. Oleh karenanya
dalam penyusunan akta autentik Notaris mengikuti syarat formil maupun materil.
Tanggung jawab Notaris terhadap aktanya terdapat didalam Pasal 65 UUJN. Dalam
Pasal 65 UUJN tersebut menentukan bahwa “segala akta yang dibuat menjadi
tanggungjawab Notaris, Notaris pengganti sementara maupun Notaris pengganti”.
Tanggungjawab dalam akta tersebut tetap dimiliki oleh si Notaris walaupun
protokolnya sudah diberikan pada pihak yang selanjutnya menyimpan protokol Notaris
tersebut. Tanggungjawab Notaris dimulai dari awal pembuatan akta sampai dengan
akhir pembuatan akta. Apabila merujuk kepada UUJN tidak ditentukan secara jelas
mengenai pertanggungjawaban Notaris terhadap penyusunan akta menggunakan
berbahasa asing. Permasalahan yang pertama pada penelitian ini mengenai bentuk
tanggung jawab Notaris perihal penyusunan akta berbahasa asing apabila terdapat
kesalahan pemaknaan istilah asing oleh Notaris. Permasalahan kedua terkait dengan
urgensi penyusunan akta otentik dengan bahasa Indonesia. Selain bertujuan untuk
mengetahui bentuk tanggung jawab Notaris serta seberapa besar urgensi penyusunan
akta otentik dengan bahasa Indonesia, penelitian ini juga bertujuan memberikan
paradigma tentang kemudahan dan efisiensi yang dapat dinikmati oleh Notaris
maupun para penghadap apabila memilih menyusun akta otentik dengan bahasa
Indonesia.
Sebelum penelitian ini dibuat, telah terbit tesis dengan judul “Pertanggungjawaban
Notaris Terhadap Perbedaan Interpretasi Akta Yang Menggunakan Bahasa Asing” oleh
Melani Kristina Pasaribu yg membahas mengenai “kewenangan Notaris dalam hal
pembuatan akta dalam bahasa asing dan mengenai tanggung jawab Notaris terhadap
perbedaan interpretasi akta antara akta yang menggunakan bahasa Indonesia dengan
akta yang menggunakan bahasa asing”. Terdapat pula penelitian yang berjudul “Prinsip
Kepastian Hukum Akta Notaris yang Dibuat dalam Bahasa Asing” oleh Christian
Nugrahadi yang membahas mengenai ”mutt Pasal 43 UUJN memperbolehkan Akta
Notaris dibuat dalam bahasa asing serta siapa yang memiliki otoritas menilai atau
1
Widyantari, M. D. (2019). Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam Pembuatan
Akta Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(1), 34-44, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.i01.p04, p. 35
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
529
menafsirkan klausula akta yang dibuat dalam bahasa asing jika terjadi permasalahan
hukum”. Kedua penelitian tersebut memiliki fokus yang berbeda dengan artikel ini
karena di dalam artikel ini lebih berfokus pada pentingnya menggunakan bahasa
Indonesia dalam menyusun akta yang secara langsung dapat mempermudah tugas dari
Notaris dan dapat meminimalisir tanggung jawab yang timbul nantinya bagi Notaris
terkait dengan akta yang dibuat. Penelitian ini sendiri dikaji secara filosofis dan
menggunakan teori peraturan perundang-undangan yang masih dipandang relevan.
2. Metode Penelitian
Bertumpu pada pendekatan perundang-undangan membuat penelitian ini dikaji dengan
metode penelitian hukum normatif. Hal tersebut memiliki maksud untuk mengukur
konsistensi dan kesesuaian suatu peraturan hukum baik dengan aturan berbeda
maupun aturan-aturan dalam suatu lingkup undang-undang yang sama. Hasil yang
didapat dari proses tersebutlah yang nantinya dapat digunakan untuk membentuk
suatu argumentasi guna memudahkan pemecahan masalah pada jurnal ini.
2
Bahan
hukum primer serta sekunder merupakan sumber dari penelitian ini. Aturan hukum
yang terkait dengan permasalahan yang diangkat dipergunakan sebagai bahan hukum
utama lalu kumpulan buku/literatur dan jurnal menjadi bahan hukum sekundernya.
3
Selanjutnya digunakan teknik sistem kartu dalam pengumpulan bahan hukum. Teknik
sistem kartu ini yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan kemudian mencatat
informasi penting terkait masalah dalam jurnal ini . Setelah terkumpul lalu dipaparkan
dengan terbuka suatu kondisi maupun peristiwa hukum yang terjadi melalui teknik
deskriptif.
3. Hasil Dan Pembahasan
3.1. Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik Dengan Bahasa Asing
Dalam menjalankan suatu jabatan¸Notaris memiliki kewenangan yang melekat dalam
jabatannya. Kewenangan yang terdapat dalam jabatannya ini melahirkan suatu
pertanggungjawaban, sesuai terhadap prinsip “gee bevoegheid zonder verantwoordelijkheid”
yaitu tiada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”.
4
Segala bentuk wewenang yang didapatkan dari jabatan apapun tentunya memiliki
sumber. Terdapat 3 (tiga) jenis wewenang yang dikenal pada hukum administrasi yaitu
delegasi, mandat, dan atribusi. Atribusi merupakan wewenang yang timbul dari
peraturan perundang-undangan yang sifatnya baru dan datang langsung dari aturan
hukum. Wewenang yang didapatkan secara delegasi dapat diartikan sebagai pengalihan
wewenang yang mana didasari oleh aturan hukum. Mandat pada dasarnya bukan
merupakan suatu pemindahan maupun pengalihan wewenang, namun dikarenakan
yang memiliki kewenangan tidak dapat melaksanakan wewenangnya pada saat itu oleh
2
Peter Mahmud Marzuki. (2011). Penelitian Hukum (Edisi revisi). Cetakan ketujuh. Jakarta:
Prenadamedia Group, p. 133
3
Ibid., p. 181
4
Ridwan H.R. (2014). Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi. Jakarta: Grafindo Persada, p. 334
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 3 Desember 2020, h. 526-535
ISSN: 1978-1520
530
karena itu wewenang tersebut di kuasakan. Notaris sendiri merupakan jabatan yang
memiliki kewenangan atribusi karena bersumber langsung dari UUJN itu sendiri.
5
Pembuatan akta oleh seorang Notaris wajib merujuk pada bab VII UUJN, Pasal 38
sampai dengan Pasal 53 UUJN. Ketentuan sebagaimana dimaksud memberikan batasan-
batasan dan petunjuk petunjuk bagaimana seorang Notaris melakukan kewajibannya
dengan benar, namun dalam UUJN sendiri terdapat ketidaktegasan antar Ayat dalam
satu pasal yang sama dalam Pasal 43 UUJN. Dalam Pasal 43 Ayat (3) mengatur, “jika
para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat dalam bahasa asing”, sedangkan dalam
Ayat (1) diatur bahwa “akta wajib dibuat dalam bahasa indonesia”. Melihat dari
rumusan pasal tersebut tentu memberikan pandangan apabila Notaris membuat akta
tidak dalam bahasa Indonesia, Notaris tersebut melanggar syarat keabsahan akta
mengenai bentuknya atau lebih dikenal dengan syarat formil. Sehingga secara langsung
mengurangi kekuatan pembuktian akta tersebut.
Menurut Vegting dan Kranenburg ada 2 (dua) teori yang mendasari bentuk yakni “teori
fautes personalles yang menjelaskan bahwa kerugian yang dialami oleh pihak ketiga
dapat dibebankan pada pejabat yang berwenang bila mana melalui kewenangannya
tersebut telah menimbulkan kerugian. Pembebanan tanggung jawab pada teori ini
menitiberatkan pada pertanggungjawaban pejabat sebagai natuurlijk persoon. Lelu
menurut teori fautes de services menyatakan bahwa kerugian yang diderita oleh pihak
ketiga dapat dibebankan kepada pejabat yang berwenang dari instansinya”. Sehingga
dari teori ini diketahui bahwa pertanggungjawaban dibebankan langsung terhadap
jabatan dari pejabat tersebut. Tanggung jawab Notaris dapat dikatakan sejalan dengan
Teori Fautes Personalles oleh Vegtug dan Kranenburg, karena Notaris menjalankan
kewenangan berdasarkan suatu jabatan yang diatur dalam UUJN.
6
Kewenangan serta
tanggung jawab Notaris lahir dari adanya UUJN. Saat seseorang diangkat sebagai
Notaris dan telah melalui sumpah jabatan maka pada saat itu juga segala tugas dan
tanggung jawab jabatan Notaris melekat pada dirinya dan ia diwajibkan untuk
melaksanakan tugas-tugasnya berdasarkan undang-undang berlaku.
7
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya mempersamakan pemaknaan dalam bahasa
tertentu terutama bahasa asing selain bahasa Indonesia dapat menjadi suatu masalah.
Terutama untuk Notaris yang tidak fasih dalam berbahasa asing, hal tersebut dapat
memicu multitafsir dalam suatu pemaknaan kata tertentu. Tanggung jawab seorang
Notaris muncul pada saat ia bertindak membuat akta otentik dengan tidak mengikuti
pedoman UUJN.
5
Ghansham Anand. (2018). Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group, p. 38
6
Ridwan H.R. Op. Cit., p. 336
7
Pertiwi, S. M., Sirtha, I. N., & Dharsana, I. M. P. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta
Otentik Yang Berakibat Batal Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatannya. Acta
Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 247-257, DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i02.p09, p. 250
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
531
Tanggung jawab Notaris tersebut dapat diklasifikasikan dalam berbagai segi hukum
seperti: tanggung jawab secara administrasi, perdata dan pidana yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
8
a. Tanggung jawab secara administrasi
Secara administrasi Notaris bertanggung jawab bila terdapat pelanggaran sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 85 UUJN. Dalam Pasal 85 UUJN menentukan sanksi
administratif terkait melakukan pelanggaran yang terdapat didalam Pasal tersebut.
9
Penerapan sanksi terhadap Notaris atas pelanggaran tersebut dapat dalam bentuk
teguran secara lisan maupun tertulis, atau dapat juga dikenakan sanksi pemberhentian
tugas sementara. Sampai pada pemberhentian permanen yang dilaksanakan baik
dengan hormat maupun tidak hormat.
b. Tanggung jawab secara perdata
Notaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata apabila melakukan suatu
pelanggaran yang merugikan bagi para pihak yang terikat dalam akta yang dibuatnya.
Sanksi dapat berupa ganti rugi maupun beserta bunga, penggantian biaya dan segala
hal yang merupakan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris sebagai natuurlijk
persoon yang menyebabkan akta para pihak berubah menjadi akta dibawah tangan
sebagaimana dimaksud Pasal 84 UUJN.
10
c. Tanggung jawab secara pidana
Apabila ditemukan fakta bahwa Notaris dalam proses penyusunan aktanya terbukti
secara sengaja dengan itikad buruk melanggar ketentuan UUJN demi kepentingan
pribadi maupun pihak tertentu maka ia dapat dimintai pertanggungjawaban secara
pidana. Dalam hal ini Notaris tidak dapat lagi dilindungi dengan ketentuan UUJN
melainkan harus bertanggungjawab secara pidana dibawah ketentuan Pasal 266 KUHP
yang mengatur bahwa siapapun yang meminta atau memasukkan keterangan palsu,
dalam hal ini adalah segala bentuk keterangan baik secara lisan mapun tertulis yang
mengandung unsur ketidak benaran yang seolah-olah benar yang kemudian sengaja
dipergunakan di dalam pembuatan akta autentik. Ancaman pidana tersebut berlaku
sama jika siapapun dengan sengaja menggunakan akta tersebut sehingga menyebabkan
suatu kerugian terhadap orang lain.
11
8
Afifah, K. (2017). Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara Perdata
Terhadap Akta yang Dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1), 147-161, DOI:
https://doi.org/10.20885/JLR.vol2.iss1.art10, p. 151
9
Trisnasari, I. G. A. O. (2019). Tanggungjawab Notaris Terhadap Penomoran Ganda Pada Akta
Yang Berbeda. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(1), 99-108, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.i01.p09, p. 104
10
Setiabudhi, I. K. R., & Swardhana, G. M. (2017). Sanksi Hukum Terhadap Notaris Yang
Melanggar Kewajiban Dan Larangan Undang-Undang Jabatan Notaris. Acta Comitas: Jurnal
Hukum Kenotariatan, 110-121, DOI: https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p10, p. 114
11
Mahendra, M. C. A. Akibat Hukum Terhadap Kesalahan Ketik pada Akta yang Dibuat
Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 227-236, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.02.p.06, p. 232
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 3 Desember 2020, h. 526-535
ISSN: 1978-1520
532
3.2. Urgensi Penggunaan Bahasa Indonesia Dalam Pembuatan Akta Otentik
Pasal 43 Ayat (3) UUJN mengatur “jika para pihak menghendaki, akta dapat dibuat
dalam bahasa asing.” Ketentuan pasal tersebut merupakan ketentuan pengecualian dari
ketentuan “akta wajib dibuat dalam bahasa indonesia” yang terdapat pada Ayat (1).
Rumusan pasal tersebut menjadi sangat ber tolak belakang dengan rumusan pasal
sebelumnya, hal ini tentu menunjukan adanya pertentangan norma di dalam satu
perundang-undangan yang sama. Pertentangan tidak hanya terdapat pada UUJN,
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD
1945) pada Pasal 36 mengatur “Bahasa negara adalah bahasa Indonesia”. Hal itu
menunjukan UUD 1945 menghendaki dalam kegiatan berbangsa dan bernegara
dihubungkan memalui bahasa Indonesia termasuk dalam kegiatan hubungan hukum,
sedangkan dalam Pasal 43 Ayat (3) UUJN tidak mencerminkan tujuan tersebut.
Rumusan Pasal 43 Ayat (3) UUJN jelas menunjukan ketidakharmonisan dengan maksud
serta tujuan norma konstitusional yakni UUD 1945. Asas ”lex superior derogat legi inferior”
tentu tepat digunakan sebagai dasar berfikir dalam permasalahan di penelitian ini,
karena asas tersebut memberikan pedoman bahwa ketentuan dalam suatu aturan dapat
mengesampingkan aturan yang tingkatan hirarkinya lebih rendah. Berbicara mengenai
hirarki perundang-undangan tentu tidak terlepas dari teori Stufenbeau oleh Hans Kelsen.
Ia menyatakan bahwa peraturan di dalam sistem hukum memiliki jenjang atau hirarki,
yang mana peraturan hukum dengan drajat lebih rendah wajib mengikuti kaidah aturan
diatasnya dan peraturan hukum tersebut juga harus berpegang pada aturan hukum
konstitusi (UUD 1945). Aturan konstitusi juga harus berdasar pada norma
dasar/groundnorm dalam hal ini Pancasila sebagai dasar negara.
12
Bila melihat dari teori tersebut, ketentuan dari Pasal 43 Ayat (3) UUJN tidak dapat
bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 36 UUD 1945. Bila itu terjadi maka akan
timbul ketidakharmonisan tujuan dari aturan hukum negara itu sendiri, karena aturan
hukum tidak serta merta disusun untuk mengatur kehidupan masyarakat saja namun
juga untuk menuntun suatu cita-cita maupun tujuan dari suatu masyarakat. Salah
satunya penggunaan bahasa Indonesia untuk sarana komunikasi yang utama dan resmi
serta sarana melakukan hubungan hukum di Indonesia.
Pada dasarnya penggunaan bahasa dalam akta bukan merupakan permasalahan yang
tanpa jalan keluar, karena dalam UUJN sendiri telah diatur mengenai hal tersebut
bahwa “dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta,
Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang
dimengerti oleh penghadap”. Ketentuan itu tentunya dapat digunakan apabila
penghadap yang ingin membuat akta di Notaris tidak memahami bahasa Indonesia,
sehingga mengurangi urgensi penyusunan akta berbahasa asing.
Tidak semua Notaris memiliki kemampuan dalam penggunaan dan pemaknaan bahasa
asing, terlebih dalam konteks ini bahasa asing yang dimaksud tidak terbatas hanya pada
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Oleh karenanya dalam Pasal 43 Ayat (5)
12
Samekto, F. A. (2019). Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentan g Stufenbeautheorie
Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis. Jurnal Hukum Progresif, 7(1), 1-19, DOI:
https://doi.org/10.14710/hp.7.1.1-19, p. 5
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
533
UUJN ditentukan “apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya,
akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi”.
Perihal akta tersebut diterjemahkan secara lisan maka pada bagian penutup akta
diberikan keterangan bahwa akta telah diterjemahkan dan dijelaskan kepada para
penghadap dikarenakan para penghadap tidak memahami bahasa Indonesia. Dalam hal
akta diterjemahkan oleh penerjemah resmi maka dalam penutup akta juga diberikan
keterangan hal tersebut dan akta juga dibubuhi tanda tangan penerjemah resmi. Sama
halnya dengan penerjemahan secara tertulis, penambahan keterangan dalam penutup
akta juga diperlukan. Bedanya di dalam keterangannya disebutkan bahwa terjemahan
dari akta tersebut telah dibuat secara tertulis pada lembar atau dokumen terpisah.
Terkait terjemahaan akta yang dilakukan oleh penerjemah resmi juga diberikan
keterangan yang sama dan ditambah dengan pembubuhan tanda tangan penerjemah
resmi tersebut pada akta.
Penggunaan bahasa Indonesia sangatlah penting dalam segala bentuk aspek kehidupan
masyarakat. Terlebih dalam penyusunan suatu akta otentik oleh Notaris, karena
pemaknaan setiap kosa kata yang ada dalam bahasa Indonesia tidak serta merta dapat
dimaknai ke dalam bahasa asing. Notaris sendiri memiliki tanggung jawab yang sangat
besar untuk menghasilkan suatu produk hukum yang sesuai dengan keinginan
penghadap. Tanggung jawab tersebut mewajibkan Notaris memiliki sifat ketelitian dan
kecermatan pada setiap tahapan pembuatan akta yang dimulai dari menkonstantir,
mengkualifisir, dan menkonstituir suatu peristiwa.
13
Notaris sudah seharusnya mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia di dalam
pembuatan aktanya guna mendukung penyusunan akta yang cermat dan tanpa cela,
karena bagaimanapun juga bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu bagi para warga
negara indonesia. Tentunya Notaris yang sejak awal memang diharuskan
berkewarganegaraan Indonesia (seuai dengan Pasal 3 huruf a UUJN) akan lebih mudah
menciptakan produk hukum yang sempurna tanpa cacat secara formal bila
menggunakan bahasa nasionalnya sendiri.
Dalam bagian menimbang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera,
Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan juga disebutkan pada huruf a
“bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia
merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi
simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD
1945”. Setiap bangsa memang pada dasarnya ingin menunjukan kedaulatan dan
eksistensinya terlebih dalam penggunaan bahasa nasional. Bila melihat landasan
filosofis yang terdapat pada huruf a bagian menimbang tersebut, maka sudah jelas
bahwa urgensi penggunaan bahasa indonesia memanglah penting dan harus lebih
ditekankan terutama pada dokumen resmi seperti akta otentik.
4. Kesimpulan
Tanggung jawab Notaris dapat timbul apabila Notaris lalai dalam menyampaikan
terjemahan akta berbahasa asing yang dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak,
baik dengan sengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab tersebut diklasifikasikan
13
Achmad Ali. (2011). Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, p. 120.
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 5 No. 3 Desember 2020, h. 526-535
ISSN: 1978-1520
534
dalam berbagai segi yaitu melalui tanggung jawab secara administrasi, perdata serta
pidana. Urgensi penggunaan bahasa Indonesia dalam penyusunan akta otentik
sangatlah penting, mengingat landasan filosofis penggunaan bahasa Indonesia sendiri
adalah sebagai wujud eksistensi dan kedaulatan bangsa Indonesia. Selain itu
penggunaan bahasa Indonesia telah secara jelas diatur dalam Pasal 36 UUD 1945
sehingga aturan yang dibawahnya harus menyesuaikan terhadap aturan tersebut. Guna
menghindari adanya kecacatan dalam penafsiran akta sebaiknya akta tetap dibuat
dengan bahasa Indonesia.
Daftar Pustaka
Buku
Achmad Ali. (2011). Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ghansham Anand. (2018). Karakteristik Jabatan Notaris di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Peter Mahmud Marzuki. (2011). Penelitian Hukum: Edisi revisi. Cetakan ketujuh, Jakarta:
Prenadamedia Group.
Ridwan H.R. (2014). Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi. Jakarta: Grafindo Persada.
Jurnal
Afifah, K. (2017). Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi Notaris secara
Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya. Lex Renaissance, 2(1), 147-161, DOI:
https://doi.org/10.20885/JLR.vol2.iss1.art10
Mahendra, M. C. A. Akibat Hukum Terhadap Kesalahan Ketik pada Akta yang Dibuat
Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 227-236, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.02.p.06
Pertiwi, S. M., Sirtha, I. N., & Dharsana, I. M. P. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta
Otentik Yang Berakibat Batal Demi Hukum Pada Saat Berakhir Masa Jabatannya.
Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 247-257, DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i02.p09
Samekto, F. A. (2019). Menelusuri Akar Pemikiran Hans Kelsen Tentang
Stufenbeautheorie Dalam Pendekatan Normatif-Filosofis. Jurnal Hukum Progresif,
7(1), 1-19, DOI: https://doi.org/10.14710/hp.7.1.1-19
Setiabudhi, I. K. R., & Swardhana, G. M. (2017). Sanksi Hukum Terhadap Notaris Yang
Melanggar Kewajiban Dan Larangan Undang-Undang Jabatan Notaris. Acta
Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan 110-121, DOI:
https://doi.org/10.24843/AC.2017.v02.i01.p10
Trisnasari, I. G. A. O. (2019). Tanggungjawab Notaris Terhadap Penomoran Ganda Pada
Akta Yang Berbeda. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(1), 99-108, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.i01.p09
Widyantari, M. D. (2019). Fungsi dan Kedudukan Penerjemah Tersumpah dalam
Pembuatan Akta Notaris. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(1), 34-44, DOI:
10.24843/AC.2019.v04.i01.p04
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
535
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3. Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5491
Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan
Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 109. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5035