Available via license: CC BY 4.0
Content may be subject to copyright.
41
Vol. 06 No. 01 Maret 2021
e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang
Ni Made Ayu Sintya Dewi1, Made Gde Subha Karma Resen2
1Magister (S2) Kenotariatan Universitas Udayana, E-mail: ayusintyad23@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: karma_resen@unud.ac.id
Info Artikel
Abstract
Masuk : 7 Desember 2020
Diterima : 8 Desember 2020
Terbit : 21 Maret 2021
Keywords : Auction,
Minutes of Auction,
Auction Officer, Public
Notary
This journal’s purpose is to understand the harmonization of
authority arrangements for making auction minutes and to find
out the evidentiary strength of auction minutes. This research
uses normative legal research with an approach to the concept of
law and legislation. Based on the lex special derogate legi
generale principle, the authority to prepare auction minutes is
based on Staatsblad No. 189 which was promulgated in 1908
concerning Vendu Reglement / VR (hereinafter referred to as
Tender Regulations) which regulate the authority to make
Minutes of Auction rests with the Auction Officer not the
Notary Public. Although a Notary Public can be appointed as
Class II Auction Officer according to Article 7 the Vendue
Intructie in Indonesian is called an auction instruction Jo.
Regulation of the Minister of Finance of the Republic of
Indonesia Number 175 / PMK.06 / 2010 concerning Class II
Auction Officers (hereinafter referred to as PMK Class II
Auction Officers), however this authority is given the capacity of
a Notary as Class II Auction Officer and not the capacity as a
Notary. The power of proof of the auction minutes according to
Article 1868 of the Criminal Code, the minutes of auction
fulfilling the three elements of the deed must be made by a
General Official, the deed is determined by law and the General
Official who makes it must be authorized to make the deed so that
it is said that the Minutes of Auction are authentic deeds having
the power of proof that perfect.
Abstrak
Kata kunci: Lelang,
Risalah Lelang, Pejabat
Lelang, Notaris
Corresponding Author : Ni
Made Ayu Sintya Dewi
E-mail :
ayusintyad23@gmail.com
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i01.p0
4
Tujuan jurnal ini yaitu untuk memahmi harmonisasi
pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang dan untuk
mengetahui kekuatan pembuktian risalah lelang. Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
konsep hukum dan perundang-undangan. Berdasarkan asas lex
special derogate legi generale pengaturan kewenangan
Pembuatan Risalah Lelang adalah berdasarkan Staatsblad No.
189 yang diundangkan pada tahun 1908 tentang Vendu
Reglement/VR (selanjutnya disebut Peraturan Lelang) yang
mengatur kewenangan membuat Risalah Lelang terdapat pada
Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat
diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II menurut Pasal 7
Vendue Intructie dalam bahasa Indonesia disebut Intruksi lelang
Jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II (selanjutnya
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41– 51
42
disebut PMK Pejabat Lelang Kelas II), namun wewenang itu
diberikan kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dan
bukan kapasitasnya sebagai Notaris. Kekuatan pembuktian
risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer, Risalah lelang
memenuhi ketiga unsur akta itu harus dibuat seorang Pejabat
Umum, akta itu ditentukan oleh undang-undang dan Pejabat
Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut
sehingga dikatakan Risalah Lelang merupakan akta otentik
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
1. Pendahuluan
Lelang merupakan kegiatan untuk menjual barang yang dilaksanakan dengan cara
terbuka untuk umum dengan tawar menawar yang dilakukan secara tertulis dan dapat
juga secara lisan dengan proyeksi meningkat untuk mencapai harga tertinggi yang
harus dilakukan pengumuman lelang sebelumnya dan penawaran tertinggi
merupakan pemenang lelangnya dan berhak memiliki barang tersebut.
1
Sejarah lelang
di Indonesia diawali tahun 1908 yaitu tepatnya pada jaman pemerintahan Hindia
Belanda. Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Staatsblad No.
189 yang diundangkan pada tahun 1908 tentang Vendu Reglement/VR (selanjutnya
disebut Peraturan Lelang) tujuan di undangkannya peraturan tersebut guna untuk
menanggulangi permasalahan mengenai penjualan barang-barang pejabat di
pemerintahan Hindia Belanda yang dijabat oleh orang belanda yang pada saat itu
terkena mutasi serta barang-barang bekas perusahaan Belanda.
Peraturan Lelang pun juga menjadi peraturan awal tentang lelang di Indonesia,
dikenal dengan nama Peraturan Lelang, peraturan ini merupakan
Ordonansi/diadaptasi pada tanggal 28 Pebruari 1908 dan berlaku sejak 1 April 1908
(selanjutnya disebut Peraturan Lelang). Lelang pada prinsipnya merupakan konsep
pada bidang keuangan dan ekonomi di Indonesia, keuntungan kegiatan lelang
didasari oleh jenis-jenis barang yang dilelang biasanya variatif dan dalam jumlah yang
banyak, sehingga dapat memilih lebih leluasa, kemudian sering kali barang-barang
pada pelelangan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga pasaran dan barang
akan cepat laku bila melalui mekanisme lelang.
2
Pejabat lelang wajib melaporkan hasil lelang dalam sebuah suatu risalah lelang
sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 35 Peraturan Lelang di Indonesia. Risalah
Lelang adalah catatan atau berita acara dalam bentuk akta otentik. Peraturan Lelang
hingga memiliki peraturan pelaksana dan yang terbaru yang sudah beberapa kali
diganti dan dirubah yaitu Peraturan Menkeu RI No. 27/PMK.06/2016 Tentang
Petunjuk Pelaksana Lelang (untuk seterusnya dapat disingkat menjadi PMK Pelaksana
Lelang), peraturan menentukan kewajiban seorang pejabat lelang untuk membuat
1
Faisal, M. (2014). “Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli Beritikad
Baik Terhadap Putusan Re-Eksekusi”. Jurnal Hukum & Pembangunan. 44(1). 83-101. p. 90.
2
Haris, M. (2018). “Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dalam Memberikan
Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang yang Dibuatnya”. Syariah: Jurnal Hukum dan
Pemikiran, 17(1). 53-63. p. 56
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
43
laporan berupa risalah lelang apabila melakukan kegiatan lelang, seperti yang dimuat
pada Pasal 85 ayat (1). Kemudian pada tahun 2014 diundangkan Undang-Undang No.
2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang
mengakibatkan terjadinya suatu konflik norma dengan Peraturan Lelang, karena Pasal
15 ayat (2) huruf g merumuskan jikalau seorang Notaris memiliki kewenangan untuk
membuat risalah lelang. Konflik norma terdapat pada Pasal 85 ayat (1) PMK Pelaksana
Lelang dan pada Pasal 15 ayat (2) UUJN institusi yang ditunjuk oleh peraturan
masing-masing yang berbeda, Peraturan lelang menunjuk Peraturan lelang menunjuk
Pejabat lelang yang mempunya kewenangan untuk membuat akta risalah lelang,
sedangkan pada UUJN yang mempunyai kewenangan membuat akta risalah lelang
adalah notaris.
Timbulnya konflik norma berimplikasi terjadi kondisi tidak terciptanya kepastian
hukum, terhadap bidang pelelangan, khususnya dalam kewenangan untuk membuat
risalah lelang, apakah menjadi tanggungjawab dan wewenang pejabat lelang atau akan
menjadi tanggungjawab dan wewenang notaris. Konflik norma ini akan berakibat
pada tataran praktis di lapangan dalam membuat risalah lelang tersebut, sehingga
penting untuk dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif guna menemukan
suatu analisa dalam bentuk jurnal ilmiah dengan judul “Harmonisasi Kewenangan
Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang”.
Dipaparkannya latar belakang masalah guna untuk mengetahui apa yang menjadi
dasar permasalahan sehingga dapat diambil 2 (dua) rumusan masalah dalam jurnal
ilmiah ini antara lain mengenai :
1) Bagaimana harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang ?
2) Bagaimana kekuatan pembuktian risalah lelang
Suatu jurnal ilmiah haruslah memiliki tujuan yang hendak dicapai agar apa yang
ditulis memiliki nilai kegunaan, sehingga tujuan penulisan yang terdiri dari tujuan
penulisan umum dan tujuan penulisan khusus. Tujuan umum daripada penulisan
jurnal ilmiah ini diharapkan pembaca baik itu mahasiswa, dosen, notaris maupun
masyarakat umum memahami tentang harmonisasi kewenangan pembuatan risalah
lelang antara notaris dengan pejabat lelang, kemudian tujuan khususnya yaitu untuk
mengetahui harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang dan
untuk mengetahui kekuatan pembuktian risalah lelang.
Penyusunan jurnal ilmiah mengenai risalah lelang ini memiliki nilai pembaharuan
untuk dunia pendidikan ilmu hukum kenotariatan, walaupun pada masa yang lampau
sudah ada membahas tentang risalah lelang, namun ada nilai pembeda yang terdapat
pada tulisan ini dibandingkan tulisan terdahulu. Adapun tulisan terdahulu yang
membahas mengenai risalah lelang yaitu:
1) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Mohamad Erik, dkk., jurnal dengan judul
“Karateristik Akta Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik”, jurnal yang terbit
pada Jurnal Hukum Jatiswara Fakultas Hukum Universitas Mataram, Volume
33, Nomor 2, Bulan Juli Tahun 2018. Permasalahan yang dibahas yaitu
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41– 51
44
mengenai “Kedudukan Akta Risalah Lelang sebagai akta otentik dan Kekuatan
Pembuktian Pada Akta Risalah Lelang Sebagai akta otentik.”
3
2) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Tomy Indra Sasongko, jurnal dengan judul
“Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca
Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/2016 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa
Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet”, yang terbit pada Jurnal Lex
Renaissance Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Volume 3, Nomor 1,
Bulan Januari Tahun 2018. Permasalahan yang dibahas mengenai “pelaksanaan
wewenang dan tanggungjawab notaris dalam pelaksanaan lelang sebagai
pejabat lelang kelas II dan pelaksanaan lelang melalui internet yang
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara di Indonesia.”
4
Berdasarkan pembandingan dengan 2 (dua) jurnal ilmiah terdahulu atau sebelumnya,
tulisan pada jurnal ilmiah ini memiliki nilai pembaharuan dan orisinil. Jurnal ini
berjudul “Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris
Dengan Pejabat Lelang”. Pembaharuan pada jurnal ilmiah ini yaitu mengangkat
permasalahan mengenai harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah
Lelang dan kekuatan pembuktian risalah lelang.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan langkah-langkah dilakukan dengan terukur dan
terencana yang memuat kontruksi dan analisa objek yang hendak diteliti dengan cara
yang konsisten.
5
Penelitian hukum normatif yang digunakan pada tulisan ini
bermakna bahwa tulisan ini diteliti dengan cara menganalisa secara sistematis suatu
peraturan dengan peraturan lainya atau dengan aturan diatas dan dibawahnya,
maupun aturan yang sederajat hierarkinya.
6
Terkait dengan penelitian hukum
normatif, pada penelitian jurnal ini UUJN bertentangan dengan Peraturan Lelang yang
memiliki kedudukan atau derajat yang sama terkait dengan wewenang membuat
risalah lelang.
Penelitian pada jurnal ini memakai pendekatan konsep hukum dan pendekatan
perundang-undangan.
7
Jadi isu hukum dikaji dengan peraturan perundang-undangan
yang terkait antara lain UUJN dan Peraturan Lelang, kemudian isu hukum yang ada
menggunakan konsep hukum yang umum pada keilmuan ilmu hukum yaitu
3
Erik. M. dan Triyanti. (2019). Karakteristik Akta Otentik Pada Akta Risalah Lelang. Jurnal Hukum
Jatiswara. 33(2). 1-20. p. 11
4
Sasongko, T. I. (2018). Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca Berlakunya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan
Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet. Lex Renaissance, 3(1), 206-
225. p. 207
5
Soerjono Soekanto, (2012), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,
h.42
6
Jody Bagus, W. I. W. (2019). “Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara
Elektronik”. Jurnal Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan. 5(1). 79-88. p. 82.
7
Kusumaningrat, I. D. G. A. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Hapusnya Hak
Atas Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2),
251-260. p. 225
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
45
menggunakan asas preferensi hukum dan menggunakan teori kewenangan yang
dikemukakan oleh ahli-ahli hukum yang diperoleh dan bersumber dari buku-buku
hukum dan jurnal ilmiah yang telah terbit dalam berbagai jurnal yang ada di Indonesia
maupun dunia serta sumber-sumber yang relevan lainya guna untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
8
Teknik deskipsi digunakan untuk menganalisis bahan
hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini, teknik deskripsi berarti
menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari prosisi-prosisi
hukum.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Harmonisasi Pengaturan Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
Lelang menurut Tomy Indra S. pada jurnal yang ditulisnya menyebutkan bahwa
Lelang merupakan kegiatan jual beli barang dengan pengumuman dan penawaran di
buka secara umum terkait dengan objek yang dijual tersebut kepada para peserta
lelang disaat yang serentak.
9
Sedangkan Lelang menurut Satrya Haprabu dalam
jurnalnya adalah penjuaan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran
harga secara tertulis maupun lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.
10
Pendapat ini
sejalan dengan pengertian lelang yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 PMK
Pelaksanaan Lelang yang merupakan peraturan pelaksana daripada Peraturan Lelang.
Lelang dilaksanakan dengan melakukan tawar menawar harga dengan sesama peserta
lelang guna mendapatkan harga yang terbaik daripada objek lelang tersebut, sehingga
apabila telah tercapai harga yang tidak ada lagi peserta lelang yang menawarnya
dengan harga yang lebih tinggi, maka peserta tersebut akan menjadi pemenang lelang
dan berhak untuk mendapatkan objek atas lelang tersebut dan pemenang lelang
tersebutlah yang berhak menjadi pembeli.
11
Lelang pun menurut Pasal 2 peraturan
tersebut haruslah dilakukan dihadapan pejabat lelang sepanjang Undang-Undang
tidak menentukan lain. Artinya apabila tidak ditentukan secara khusus dalam
Undang-Undang maka setiap lelang harus dilakukan dihadapan pejabat lelang.
Bukti telah dilaksanakanya proses lelang, pada produk akhir seorang pejabat lelang
wajib membuat suatu yang disebut risalah lelang.
12
Kewajiban ini ditentukan pada
Pasal 35 Peraturan Lelang bahwa:
“seorang pejabat lelang wajib membuat berita acara lelang, istilah berita acara
lelang ini lah yang disebut dewasa kini menjadi risalah lelang, ini menjadi suatu
8
Sonbai, A. I. K. (2019). “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa
Prostitusi Melalui Media Online”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 271-282. p. 276
9
Sasongko, T. I. (2018). “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca
Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang
Melaui Internet”. Lex Renaissance, 3(1), 206-225. p. 207
10
Satrya, H. (2017) “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut Perspektif
Hukum Islam.” Jurnal Repertorium IV (1) 52-60
11
Ibid.
12
Marziah, A., Rahayu, S. W., & Jauhari, I. (2019). “Pembuktian Risalah Lelang Bagi Pemenang
Eksekusi Hak Tanggungan”. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 7(2), 225-236. p. 232
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41– 51
46
landasan autentifikasi perjalalan dan proses serta hasil lelang, berita acara lelang
berisikan semua aktifitas serta peristiwa yang terjadi pada lelang”.
13
Muhamad Erik menjelaskan pada Jurnalnya bahwa Risalah lelang setidaknya harus
berisikan dan menjelaskan apa saja yang menjadi objek lelang, menjelaskan mengapa
sampai lelang itu diadakan, menjelaskan dimana lelang tersebut dilakukan beserta
waktu pelaksanaan lelang, bagaimana jalan atau proses lelang itu berjalan lengkap
dengan proses tawar menawar sampai akhirnya mendapatkan pemenang lelang yang
berhak atas objek lelang tersebut dan siapa saja yang mengikuti lelang tersebut
meliputi penjual atau pemohon lelang, siapa saja yang melakukan penawaran-
penawaran , dan siapa pemenang lelang.
14
Peraturan Lelang yang lahir pada tahun 1908 dan telah dirubah beberapa kali sampai
yang terakhir pada tahun 1941 ini merupakan peraturan khusus yang kedeudukannya
sejajar dengan undang-undang yang berlaku saat ini dan mengatur mengenai lelang
di Indonesia, peraturan lelang ini memiliki peraturan pelaksana yaitu PMK
Pelaksanaan Lelang yang dikeluarkan oleh menteri keuangan Republik Indonesia,
yang mengatur pada prinsipnya pejabat lelang memiliki wewenang membuat suatu
risalah lelang. Kemudian pada tahun 2014 munculah UUJN yang juga turut mengatur
menurut mengenai kewenangan membuat risalahlelang yaitu pada Pasal 15 ayat (2)
hurug g menentukan pada intinya bahwa “seorang notaris juga diberikan kewenangan
dalam hal membuat risalah lelang. Peraturan Lelang dan UUJN sama sama mengatur
tentang kewenangan untuk membuat risalah lelang, yang secara normatif yang
berwenang membuat risalah lelang ialah Pejabat Lelang yang wewenangnya diberikan
dengan Peraturan Lelang dan Notaris yang wewenang nya diberikan oleh UUJN.”
Antara Peraturan Lelang dan UUJN terjadi suatu konflik norma atau disebut dengan
conflict of norm atau lebih mudah disebut pertentangan norma, karena 2 peraturan
dengan kedudukan yang sama sebagai suatu Undang-Undang mengatur hal yang
berbeda, pertentangan norma ini akan mengakibatkan terjadinya ketidak pastian
hukum terhadap siapa yang berwenang untuk membuat akta risalah lelang dan
bagaimana mengenai kekuatan hukum produk risalah lelang tersebut.
Permasalah pertentangan norma yang terjadi dapat diselesaikan menggunakan asas-
asas hukum yang relevan dan sudah digunakan diseluruh dunia yaitu asas preferensi
hukum, terdiri dari 3 asas yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis, dan asas
posterior.
15
“a) Asas lex superior derogate lex inferior bermakna bahwa perundang-
undangan yang derajatnya lebih rendah dikesampingkan oleh perundang-undangan
yang derajatnya lebih tinggi, b) Asas lex posteriori derogate lex priori bermakna peraturan
perundang-undangan yang lama dikesampingkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih baru, c) Asas lex specialis derogate legi generale yang bermakna dua
peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang
sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan peundang-
undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari
13
Harahap, M. Y. (2007). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3., h. 187
14
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. (2018). “Karakteristik Akta Otentik Pada Akta Risalah
Lelang”. Jatiswara, 33(2). 1-20 . p. 11
15
Hadjon, P. M., & Djamiati, T. S. (2014). Argumentasi hukum. Gadjah Mada University Press,
h.31
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
47
yang lain.”
16
Dari ketiga asas preferensi hukum yang ada yang paling cocok dengan
permasalahan adalah dengan menyelesaikanya dengan Asas lex specialis derogate legi
generale bahwa peraturan yang lebih umum dikesampingkan dengan peraturan yang
lebih khusus.
Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generale maka yang digunakan adalah
Peraturan Lelang, bukan UUJN, karena kekhususannya tentang lelang, Jadi yang
berwenang menjadi pembuat risalah lelang berdasakan kewenangan untuk membuat
risalah lelang yang diperoleh dari Peraturan Lelang menurut Teori Kewenangan yang
membahas mengenai sumber sumber kewenangan, yaitu kewenangan atribusi,
delegasi, dan mandat, kewenangan atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas
dasar konstitusi di dalam Undang-Undang, kewenangan delegasi, haruslah ditegaskan
suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat
tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang
diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat.
17
Sesuai dengan Teori
Kewenangan atribusi, tanggungjawab dan wewenang membuat risalah lelang adalah
Pejabat Lelang.
Kewenangan Notaris dalam hal membuat risalah lelang harus dihilangkan dari UUJN,
karena membuat risalah lelang bukan kewenangan Notaris. Walaupun benar Notaris
dapat diangkat menjadi pejabat lelang kelas II yang diatur pada Pasal 7 Vendue
Intructie atau dalam bahasa Indonesia disebut Intruksi lelang Jo. Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010 tentang
Pejabat Lelang Kelas II (selanjutnya disebut PMK Pejabat Lelang Kelas II), yang pada
prinsipnya seorang Notaris dapat diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II. Seorang
notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pejabat Lelang Kelas II haruslah
dipisahkan dari profesi Notarisnya, karena jabatan notaris dengan jabatan pejabat
lelang harus dibedakan. Sehingga tidak semua notaris dapat melakukan wewenang
dalam pembuatan Risalah Lelang, hanya seorang Notaris yang secara sah telah
berstatus atau diangkat untuk menjadi Pejabat Lelang Kelas II oleh Menteri Keuangan
yang dapat membuat risalah lelang yang berpedoman pada Peraturan Lelang dan
Intruksi Lelang dan peraturan pelaksanaan dibawahnya seperti PMK Pelaksanaan
Lelang dan PMK Pejabat Lelang Kelas II, bukan berpedoman pada UUJN.
Oleh karena itu harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
berdasarkan asas lex specialist derogate legi generalist yang digunakan adalah “Peraturan
Lelang sebagai dasar kewenangan membuat Risalah Lelang yaitu terdapat pada
Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat diangkat sebagai Pejabat
Lelang Kelas II menurut Pasal 7 Intruksi Lelang jo. PMK Pejabat Lelang Kelas II,
namun wewenang itu diberikan dalam kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas
II yang telah diangkat oleh Menteri Keuangan dan bukan kapasitasnya sebagai
Notaris.”
3.2 Kekuatan Pembuktian Risalah Lelang
16
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media., h. 101
17
Rafly R. P., Johny L., & Neni K. (2018) “Kewenangan Pemerintah Desa Dalam Peningkatan
Perekonomian Di Desa Mahangiang Kecamatan Tagulandang Kabupatenkepulauan Sitaro.”
Eksekutif Jurnal Jurusan Ilmu Pengetahuan1, ( 1) 1-10
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41– 51
48
Berbicara mengenai kekuatan pembuktian, harus terlebih dahulu mengetahui apa itu
pembuktian, pembuktian merupakan serangkaian proses guna memperoleh atau
mengadili suatu hak sehingga tujuan atas nilai kepastian dan keadilan dalam hukum
dapat tercapai.
18
Mengenai kekuatan pembuktian suatu risalah lelang, tidak bisa lepas
dari derajat suatu risalah lelang itu sendiri. Menurut hukum perdata derajat
pembuktian terbagi atas 2 jenis yaitu Akta otentik dan Surat di bawah tangan
sebagaimana diatur Pasal 1867 KUHPer. Akta otentik menurut Pasal 1870 KUHPer
“memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sempurna dan mengikat, sedagkan surat
dibawah tangan memiliki pembuktian yang tingkatanya dibawah akta otentik.”
Guna untuk menganalisa apakah risalah lelang merupakan akta otentik atau bukan,
pertama tama risalah lelang harus memenuhi syarat sebagai akta otentik yang diatur
pada Pasal 1868 KUHPer, apapun syarat-syarat tersebut yakni:
1. “akta harus dibuat oleh Pejabat Umum.
2. akta itu ditentukan oleh undang-undang;
3. Pejabat Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut.”
19
Jadi apabila risalah lelang tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 1868
KUHPer maka risalah lelang tidak dapat dikatan sebagai akta otentik yang memiliki
pembuktian yang sempurna.
20
Guna untuk mendapatkan suatu kebenaran mengenai kekuatan pembuktian risalah
lelang, dapat di analisa dengan menggunakan unsur-unsur pada Pasal 1868 KUHPer
tersebut yang dianalisa dibawah ini:
1. “Akta harus dibuat oleh Pejabat Umum.
menurut Peraturan Lelang sebuah berita acara lelang atau dapat disebut risalah
lelang dibuat oleh Pejabat Lelang sebagaimana diatur oleh Pasal 35 Peraturan
Lelang Jo PMK Pelaksanaan Lelang.
2. akta itu ditentukan oleh Undang-Undang
akta tersebut atau risalah lelang dibuat dan diperintahkan oleh Undang-
Undang dalam hal ini Peraturan Lelang yaitu Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39.
3. Pejabat Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut.
Pejabat Lelang merupakan pejabat umum yang berwenang berdasarkan
Peraturan Lelang, Intruksi Lelang dan PMK Pelaksanaan Lelang.”
18
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. Op.Cit. h. 13
19
Purnayasa, A. T. (2018). “Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak
Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Otentik”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 395-
409. p. 397-398
20
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Martana, N. A., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I.
P. R. A., ... & Tribuana, P. A. R. (2016). “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam
Peristiwa Hukum Perdata”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 1(2). 180-188 p. 185
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
49
Berdasarkan unsur-unsur tersebut telah dipenuhi oleh risalah lelang jadi dapat
dikatakan risalah tentang hasil pelelangan merupakan akta otentik yang memiliki
kekuatan sebagai bukti yang sempurna ditentukan oleh Pasal 1870 KUHPer.
Namun, menurut Pasal 1969 KUHPer suatu akta otentik akan turun derajat nya
menjadi dibawah tangan apabila suatu akta otentik dibuat berdasarkan yang tidak
pada kewenangannya walaupun ia adalah pejabat umum. Artinya “apabila risalah
lelang dibuat oleh seorang Notaris yang belum diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas
II oleh Menteri Keuangan maka Risalah Lelang itu akan menjadi akta dibawah tangan,
bukan lagi menjadi akta otentik yang sempurkan kekuatan hukum pembuktianya.”
Jadi kekuatan pembuktian risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer haruslah
memenuhi 3 unsur terlebih dahulu yaitu 1) akta itu harus dibuat seorang Pejabat
Umum, 2) akta itu ditentukan oleh undang-undang dan 3) Pejabat Umum yang
membuat harus berwenang membuat akta tersebut, Risalah lelang telah memenuhi
ketiga unsur tersebuk sehingga dapat dikatakan Risalah Lelang itu merupakan akta
otentik yang memiliki pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak melanggar apa
yang ditentukan Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPer.
4. Kesimpulan
Peraturan Lelang merupakan jawaban dari Harmonisasi pengaturan kewenangan
Pembuatan Risalah Lelangberdasarkan asas lex specialist derogate legi generalist.
Peraturan Lelang sebagai dasar kewenangan membuat Risalah Lelang yaitu terdapat
pada Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat diangkat sebagai
Pejabat Lelang Kelas II menurut Pasal 7 Intruksi Lelang jo. PMK Pejabat Lelang Kelas II
memiliki wewenang dalam pembuatan Risalah Lelang, namun wewenang itu
diberikan dalam kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang II yang telah diangkat oleh
Menteri Keuangan dan bukan kapasitasnya sebagai Notaris.
Kekuatan pembuktian risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer haruslah memenuhi
3 unsur terlebih dahulu yaitu 1) akta itu harus dibuat seorang Pejabat Umum, 2) akta
itu ditentukan oleh undang-undang dan 3) Pejabat Umum yang membuat harus
berwenang membuat akta tersebut, Risalah lelang telah memenuhi ketiga unsur
tersebut sehingga dapat dikatakan Risalah Lelang itu merupakan akta otentik yang
memiliki pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak melanggar apa yang ditentukan
Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPer.
Daftar Pustaka
Buku
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.
Hadjon, P. M., & Djamiati, T. S. (2014). Argumentasi hukum. Gadjah Mada University
Press.
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41– 51
50
Soerjono Soekanto, (2012), Pengantar Penelitian Hukum. , Jakarta, Universitas Indonesia
Press
Harahap, M. Y. (2007). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3.
Jurnal Ilmiah
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. (2018). “Karakteristik Akta Otentik Pada Akta
Risalah Lelang”. Jatiswara, 33(2). 1-20 .
Faisal, M. (2014). “Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli
Beritikad Baik Terhadap Putusan Re-Eksekusi”. Jurnal Hukum & Pembangunan.
44(1). 83-101.
Haris, M. (2018). “Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dalam
Memberikan Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang yang Dibuatnya”.
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 17(1). 53-63.
Jody Bagus, W. I. W. (2019). “Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan
Secara Elektronik”. Jurnal Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan. 5(1). 79-88.
Kusumaningrat, I. D. G. A. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Hapusnya
Hak Atas Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 4(2), 251-260.
Marziah, A., Rahayu, S. W., & Jauhari, I. (2019). “Pembuktian Risalah Lelang Bagi
Pemenang Eksekusi Hak Tanggungan”. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan,
7(2), 225-236.
Rafly R. P., Johny L., & Neni K. (2018) “Kewenangan Pemerintah Desa Dalam
Peningkatan Perekonomian Di Desa Mahangiang Kecamatan Tagulandang
Kabupatenkepulauan Sitaro.” Eksekutif Jurnal Jurusan Ilmu Pengetahuan1, ( 1) 1-10
Sasongko, T. I. (2018). “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang
Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016
Tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa
Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet”. Lex Renaissance, 3(1), 206-225.
Satrya, H. (2017) “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut
Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Repertorium IV (1) 52-60
Sonbai, A. I. K. (2019). “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna
Jasa Prostitusi Melalui Media Online”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan,
4(2), 271-282.
Purnayasa, A. T. (2018). “Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak
Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Otentik”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 3(3), 395-409.
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
51
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Martana, N. A., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S.,
Putra, I. P. R. A., ... & Tribuana, P. A. R. (2016). “Akta Notaris (Akta Otentik)
Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 1(2). 180-188
Peraturan Perundang-undangan
Vendu Reglement Peraturan Lelang Peraturan Penjualan Di Muka Umum Di
Indonesia (Ordonansi 28 Pebruari 1908, S. 1908-189)
Vendu Intructie Instruksi Lelang di Indonesia (Ordonansi 28 Pebruari 1908, S.
1908-190)
Kitab Undang –Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terjemahan Subekti, R,
dan R. Tjitrosudibio
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 Dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010
tentang Pejabat Lelang Kelas II
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016
Tentang Petunjuk Pelaksana Lelang