ArticlePDF Available

Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang

Authors:

Abstract

This journal’s purpose is to understand the harmonization of authority arrangements for making auction minutes and to find out the evidentiary strength of auction minutes. This research uses normative legal research with an approach to the concept of law and legislation. Based on the lex special derogate legi generale principle, the authority to prepare auction minutes is based on Staatsblad No. 189 which was promulgated in 1908 concerning Vendu Reglement / VR (hereinafter referred to as Tender Regulations) which regulate the authority to make Minutes of Auction rests with the Auction Officer not the Notary Public. Although a Notary Public can be appointed as Class II Auction Officer according to Article 7 the Vendue Intructie in Indonesian is called an auction instruction Jo. Regulation of the Minister of Finance of the Republic of Indonesia Number 175 / PMK.06 / 2010 concerning Class II Auction Officers (hereinafter referred to as PMK Class II Auction Officers), however this authority is given the capacity of a Notary as Class II Auction Officer and not the capacity as a Notary. The power of proof of the auction minutes according to Article 1868 of the Criminal Code, the minutes of auction fulfilling the three elements of the deed must be made by a General Official, the deed is determined by law and the General Official who makes it must be authorized to make the deed so that it is said that the Minutes of Auction are authentic deeds having the power of proof that perfect. Tujuan jurnal ini yaitu untuk memahmi harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang dan untuk mengetahui kekuatan pembuktian risalah lelang. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan konsep hukum dan perundang-undangan. Berdasarkan asas lex special derogate legi generale pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang adalah berdasarkan Staatsblad No. 189 yang diundangkan pada tahun 1908 tentang Vendu Reglement/VR (selanjutnya disebut Peraturan Lelang) yang mengatur kewenangan membuat Risalah Lelang terdapat pada Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II menurut Pasal 7 Vendue Intructie dalam bahasa Indonesia disebut Intruksi lelang Jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II (selanjutnya disebut PMK Pejabat Lelang Kelas II), namun wewenang itu diberikan kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dan bukan kapasitasnya sebagai Notaris. Kekuatan pembuktian risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer, Risalah lelang memenuhi ketiga unsur akta itu harus dibuat seorang Pejabat Umum, akta itu ditentukan oleh undang-undang dan Pejabat Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut sehingga dikatakan Risalah Lelang merupakan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
41
Vol. 06 No. 01 Maret 2021
e-ISSN: 2502-7573 p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang
Ni Made Ayu Sintya Dewi1, Made Gde Subha Karma Resen2
1Magister (S2) Kenotariatan Universitas Udayana, E-mail: ayusintyad23@gmail.com
2Fakultas Hukum Universitas Udayana, Email: karma_resen@unud.ac.id
Info Artikel
Abstract
Masuk : 7 Desember 2020
Diterima : 8 Desember 2020
Terbit : 21 Maret 2021
Keywords : Auction,
Minutes of Auction,
Auction Officer, Public
Notary
This journal’s purpose is to understand the harmonization of
authority arrangements for making auction minutes and to find
out the evidentiary strength of auction minutes. This research
uses normative legal research with an approach to the concept of
law and legislation. Based on the lex special derogate legi
generale principle, the authority to prepare auction minutes is
based on Staatsblad No. 189 which was promulgated in 1908
concerning Vendu Reglement / VR (hereinafter referred to as
Tender Regulations) which regulate the authority to make
Minutes of Auction rests with the Auction Officer not the
Notary Public. Although a Notary Public can be appointed as
Class II Auction Officer according to Article 7 the Vendue
Intructie in Indonesian is called an auction instruction Jo.
Regulation of the Minister of Finance of the Republic of
Indonesia Number 175 / PMK.06 / 2010 concerning Class II
Auction Officers (hereinafter referred to as PMK Class II
Auction Officers), however this authority is given the capacity of
a Notary as Class II Auction Officer and not the capacity as a
Notary. The power of proof of the auction minutes according to
Article 1868 of the Criminal Code, the minutes of auction
fulfilling the three elements of the deed must be made by a
General Official, the deed is determined by law and the General
Official who makes it must be authorized to make the deed so that
it is said that the Minutes of Auction are authentic deeds having
the power of proof that perfect.
Abstrak
Kata kunci: Lelang,
Risalah Lelang, Pejabat
Lelang, Notaris
Corresponding Author : Ni
Made Ayu Sintya Dewi
E-mail :
ayusintyad23@gmail.com
DOI :
10.24843/AC.2021.v06.i01.p0
4
Tujuan jurnal ini yaitu untuk memahmi harmonisasi
pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang dan untuk
mengetahui kekuatan pembuktian risalah lelang. Penelitian ini
menggunakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
konsep hukum dan perundang-undangan. Berdasarkan asas lex
special derogate legi generale pengaturan kewenangan
Pembuatan Risalah Lelang adalah berdasarkan Staatsblad No.
189 yang diundangkan pada tahun 1908 tentang Vendu
Reglement/VR (selanjutnya disebut Peraturan Lelang) yang
mengatur kewenangan membuat Risalah Lelang terdapat pada
Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat
diangkat sebagai Pejabat Lelang Kelas II menurut Pasal 7
Vendue Intructie dalam bahasa Indonesia disebut Intruksi lelang
Jo. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II (selanjutnya
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41 51
42
disebut PMK Pejabat Lelang Kelas II), namun wewenang itu
diberikan kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dan
bukan kapasitasnya sebagai Notaris. Kekuatan pembuktian
risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer, Risalah lelang
memenuhi ketiga unsur akta itu harus dibuat seorang Pejabat
Umum, akta itu ditentukan oleh undang-undang dan Pejabat
Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut
sehingga dikatakan Risalah Lelang merupakan akta otentik
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
1. Pendahuluan
Lelang merupakan kegiatan untuk menjual barang yang dilaksanakan dengan cara
terbuka untuk umum dengan tawar menawar yang dilakukan secara tertulis dan dapat
juga secara lisan dengan proyeksi meningkat untuk mencapai harga tertinggi yang
harus dilakukan pengumuman lelang sebelumnya dan penawaran tertinggi
merupakan pemenang lelangnya dan berhak memiliki barang tersebut.
1
Sejarah lelang
di Indonesia diawali tahun 1908 yaitu tepatnya pada jaman pemerintahan Hindia
Belanda. Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Staatsblad No.
189 yang diundangkan pada tahun 1908 tentang Vendu Reglement/VR (selanjutnya
disebut Peraturan Lelang) tujuan di undangkannya peraturan tersebut guna untuk
menanggulangi permasalahan mengenai penjualan barang-barang pejabat di
pemerintahan Hindia Belanda yang dijabat oleh orang belanda yang pada saat itu
terkena mutasi serta barang-barang bekas perusahaan Belanda.
Peraturan Lelang pun juga menjadi peraturan awal tentang lelang di Indonesia,
dikenal dengan nama Peraturan Lelang, peraturan ini merupakan
Ordonansi/diadaptasi pada tanggal 28 Pebruari 1908 dan berlaku sejak 1 April 1908
(selanjutnya disebut Peraturan Lelang). Lelang pada prinsipnya merupakan konsep
pada bidang keuangan dan ekonomi di Indonesia, keuntungan kegiatan lelang
didasari oleh jenis-jenis barang yang dilelang biasanya variatif dan dalam jumlah yang
banyak, sehingga dapat memilih lebih leluasa, kemudian sering kali barang-barang
pada pelelangan dijual dengan harga yang lebih murah dari harga pasaran dan barang
akan cepat laku bila melalui mekanisme lelang.
2
Pejabat lelang wajib melaporkan hasil lelang dalam sebuah suatu risalah lelang
sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 35 Peraturan Lelang di Indonesia. Risalah
Lelang adalah catatan atau berita acara dalam bentuk akta otentik. Peraturan Lelang
hingga memiliki peraturan pelaksana dan yang terbaru yang sudah beberapa kali
diganti dan dirubah yaitu Peraturan Menkeu RI No. 27/PMK.06/2016 Tentang
Petunjuk Pelaksana Lelang (untuk seterusnya dapat disingkat menjadi PMK Pelaksana
Lelang), peraturan menentukan kewajiban seorang pejabat lelang untuk membuat
1
Faisal, M. (2014). Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli Beritikad
Baik Terhadap Putusan Re-Eksekusi. Jurnal Hukum & Pembangunan. 44(1). 83-101. p. 90.
2
Haris, M. (2018). Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dalam Memberikan
Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang yang Dibuatnya. Syariah: Jurnal Hukum dan
Pemikiran, 17(1). 53-63. p. 56
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
43
laporan berupa risalah lelang apabila melakukan kegiatan lelang, seperti yang dimuat
pada Pasal 85 ayat (1). Kemudian pada tahun 2014 diundangkan Undang-Undang No.
2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang
mengakibatkan terjadinya suatu konflik norma dengan Peraturan Lelang, karena Pasal
15 ayat (2) huruf g merumuskan jikalau seorang Notaris memiliki kewenangan untuk
membuat risalah lelang. Konflik norma terdapat pada Pasal 85 ayat (1) PMK Pelaksana
Lelang dan pada Pasal 15 ayat (2) UUJN institusi yang ditunjuk oleh peraturan
masing-masing yang berbeda, Peraturan lelang menunjuk Peraturan lelang menunjuk
Pejabat lelang yang mempunya kewenangan untuk membuat akta risalah lelang,
sedangkan pada UUJN yang mempunyai kewenangan membuat akta risalah lelang
adalah notaris.
Timbulnya konflik norma berimplikasi terjadi kondisi tidak terciptanya kepastian
hukum, terhadap bidang pelelangan, khususnya dalam kewenangan untuk membuat
risalah lelang, apakah menjadi tanggungjawab dan wewenang pejabat lelang atau akan
menjadi tanggungjawab dan wewenang notaris. Konflik norma ini akan berakibat
pada tataran praktis di lapangan dalam membuat risalah lelang tersebut, sehingga
penting untuk dikaji secara lebih mendalam dan komprehensif guna menemukan
suatu analisa dalam bentuk jurnal ilmiah dengan judul Harmonisasi Kewenangan
Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris Dengan Pejabat Lelang”.
Dipaparkannya latar belakang masalah guna untuk mengetahui apa yang menjadi
dasar permasalahan sehingga dapat diambil 2 (dua) rumusan masalah dalam jurnal
ilmiah ini antara lain mengenai :
1) Bagaimana harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang ?
2) Bagaimana kekuatan pembuktian risalah lelang
Suatu jurnal ilmiah haruslah memiliki tujuan yang hendak dicapai agar apa yang
ditulis memiliki nilai kegunaan, sehingga tujuan penulisan yang terdiri dari tujuan
penulisan umum dan tujuan penulisan khusus. Tujuan umum daripada penulisan
jurnal ilmiah ini diharapkan pembaca baik itu mahasiswa, dosen, notaris maupun
masyarakat umum memahami tentang harmonisasi kewenangan pembuatan risalah
lelang antara notaris dengan pejabat lelang, kemudian tujuan khususnya yaitu untuk
mengetahui harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang dan
untuk mengetahui kekuatan pembuktian risalah lelang.
Penyusunan jurnal ilmiah mengenai risalah lelang ini memiliki nilai pembaharuan
untuk dunia pendidikan ilmu hukum kenotariatan, walaupun pada masa yang lampau
sudah ada membahas tentang risalah lelang, namun ada nilai pembeda yang terdapat
pada tulisan ini dibandingkan tulisan terdahulu. Adapun tulisan terdahulu yang
membahas mengenai risalah lelang yaitu:
1) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Mohamad Erik, dkk., jurnal dengan judul
“Karateristik Akta Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik, jurnal yang terbit
pada Jurnal Hukum Jatiswara Fakultas Hukum Universitas Mataram, Volume
33, Nomor 2, Bulan Juli Tahun 2018. Permasalahan yang dibahas yaitu
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41 51
44
mengenai Kedudukan Akta Risalah Lelang sebagai akta otentik dan Kekuatan
Pembuktian Pada Akta Risalah Lelang Sebagai akta otentik.
3
2) Jurnal ilmiah yang dibuat oleh Tomy Indra Sasongko, jurnal dengan judul
“Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca
Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.06/2016 Tentang
Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa
Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet”, yang terbit pada Jurnal Lex
Renaissance Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Volume 3, Nomor 1,
Bulan Januari Tahun 2018. Permasalahan yang dibahas mengenai pelaksanaan
wewenang dan tanggungjawab notaris dalam pelaksanaan lelang sebagai
pejabat lelang kelas II dan pelaksanaan lelang melalui internet yang
dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara di Indonesia.
4
Berdasarkan pembandingan dengan 2 (dua) jurnal ilmiah terdahulu atau sebelumnya,
tulisan pada jurnal ilmiah ini memiliki nilai pembaharuan dan orisinil. Jurnal ini
berjudul Harmonisasi Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang Antara Notaris
Dengan Pejabat Lelang”. Pembaharuan pada jurnal ilmiah ini yaitu mengangkat
permasalahan mengenai harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah
Lelang dan kekuatan pembuktian risalah lelang.
2. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan langkah-langkah dilakukan dengan terukur dan
terencana yang memuat kontruksi dan analisa objek yang hendak diteliti dengan cara
yang konsisten.
5
Penelitian hukum normatif yang digunakan pada tulisan ini
bermakna bahwa tulisan ini diteliti dengan cara menganalisa secara sistematis suatu
peraturan dengan peraturan lainya atau dengan aturan diatas dan dibawahnya,
maupun aturan yang sederajat hierarkinya.
6
Terkait dengan penelitian hukum
normatif, pada penelitian jurnal ini UUJN bertentangan dengan Peraturan Lelang yang
memiliki kedudukan atau derajat yang sama terkait dengan wewenang membuat
risalah lelang.
Penelitian pada jurnal ini memakai pendekatan konsep hukum dan pendekatan
perundang-undangan.
7
Jadi isu hukum dikaji dengan peraturan perundang-undangan
yang terkait antara lain UUJN dan Peraturan Lelang, kemudian isu hukum yang ada
menggunakan konsep hukum yang umum pada keilmuan ilmu hukum yaitu
3
Erik. M. dan Triyanti. (2019). Karakteristik Akta Otentik Pada Akta Risalah Lelang. Jurnal Hukum
Jatiswara. 33(2). 1-20. p. 11
4
Sasongko, T. I. (2018). Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca Berlakunya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan
Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet. Lex Renaissance, 3(1), 206-
225. p. 207
5
Soerjono Soekanto, (2012), Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press,
h.42
6
Jody Bagus, W. I. W. (2019). Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara
Elektronik. Jurnal Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan. 5(1). 79-88. p. 82.
7
Kusumaningrat, I. D. G. A. Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Hapusnya Hak
Atas Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2),
251-260. p. 225
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
45
menggunakan asas preferensi hukum dan menggunakan teori kewenangan yang
dikemukakan oleh ahli-ahli hukum yang diperoleh dan bersumber dari buku-buku
hukum dan jurnal ilmiah yang telah terbit dalam berbagai jurnal yang ada di Indonesia
maupun dunia serta sumber-sumber yang relevan lainya guna untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada.
8
Teknik deskipsi digunakan untuk menganalisis bahan
hukum yang digunakan dalam penulisan jurnal ini, teknik deskripsi berarti
menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari prosisi-prosisi
hukum.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Harmonisasi Pengaturan Kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
Lelang menurut Tomy Indra S. pada jurnal yang ditulisnya menyebutkan bahwa
Lelang merupakan kegiatan jual beli barang dengan pengumuman dan penawaran di
buka secara umum terkait dengan objek yang dijual tersebut kepada para peserta
lelang disaat yang serentak.
9
Sedangkan Lelang menurut Satrya Haprabu dalam
jurnalnya adalah penjuaan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran
harga secara tertulis maupun lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.
10
Pendapat ini
sejalan dengan pengertian lelang yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 1 PMK
Pelaksanaan Lelang yang merupakan peraturan pelaksana daripada Peraturan Lelang.
Lelang dilaksanakan dengan melakukan tawar menawar harga dengan sesama peserta
lelang guna mendapatkan harga yang terbaik daripada objek lelang tersebut, sehingga
apabila telah tercapai harga yang tidak ada lagi peserta lelang yang menawarnya
dengan harga yang lebih tinggi, maka peserta tersebut akan menjadi pemenang lelang
dan berhak untuk mendapatkan objek atas lelang tersebut dan pemenang lelang
tersebutlah yang berhak menjadi pembeli.
11
Lelang pun menurut Pasal 2 peraturan
tersebut haruslah dilakukan dihadapan pejabat lelang sepanjang Undang-Undang
tidak menentukan lain. Artinya apabila tidak ditentukan secara khusus dalam
Undang-Undang maka setiap lelang harus dilakukan dihadapan pejabat lelang.
Bukti telah dilaksanakanya proses lelang, pada produk akhir seorang pejabat lelang
wajib membuat suatu yang disebut risalah lelang.
12
Kewajiban ini ditentukan pada
Pasal 35 Peraturan Lelang bahwa:
seorang pejabat lelang wajib membuat berita acara lelang, istilah berita acara
lelang ini lah yang disebut dewasa kini menjadi risalah lelang, ini menjadi suatu
8
Sonbai, A. I. K. (2019). Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna Jasa
Prostitusi Melalui Media Online. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), 271-282. p. 276
9
Sasongko, T. I. (2018). Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang Pasca
Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa Kehadiran Peserta Lelang
Melaui Internet. Lex Renaissance, 3(1), 206-225. p. 207
10
Satrya, H. (2017) “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut Perspektif
Hukum Islam.” Jurnal Repertorium IV (1) 52-60
11
Ibid.
12
Marziah, A., Rahayu, S. W., & Jauhari, I. (2019). Pembuktian Risalah Lelang Bagi Pemenang
Eksekusi Hak Tanggungan. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 7(2), 225-236. p. 232
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41 51
46
landasan autentifikasi perjalalan dan proses serta hasil lelang, berita acara lelang
berisikan semua aktifitas serta peristiwa yang terjadi pada lelang.
13
Muhamad Erik menjelaskan pada Jurnalnya bahwa Risalah lelang setidaknya harus
berisikan dan menjelaskan apa saja yang menjadi objek lelang, menjelaskan mengapa
sampai lelang itu diadakan, menjelaskan dimana lelang tersebut dilakukan beserta
waktu pelaksanaan lelang, bagaimana jalan atau proses lelang itu berjalan lengkap
dengan proses tawar menawar sampai akhirnya mendapatkan pemenang lelang yang
berhak atas objek lelang tersebut dan siapa saja yang mengikuti lelang tersebut
meliputi penjual atau pemohon lelang, siapa saja yang melakukan penawaran-
penawaran , dan siapa pemenang lelang.
14
Peraturan Lelang yang lahir pada tahun 1908 dan telah dirubah beberapa kali sampai
yang terakhir pada tahun 1941 ini merupakan peraturan khusus yang kedeudukannya
sejajar dengan undang-undang yang berlaku saat ini dan mengatur mengenai lelang
di Indonesia, peraturan lelang ini memiliki peraturan pelaksana yaitu PMK
Pelaksanaan Lelang yang dikeluarkan oleh menteri keuangan Republik Indonesia,
yang mengatur pada prinsipnya pejabat lelang memiliki wewenang membuat suatu
risalah lelang. Kemudian pada tahun 2014 munculah UUJN yang juga turut mengatur
menurut mengenai kewenangan membuat risalahlelang yaitu pada Pasal 15 ayat (2)
hurug g menentukan pada intinya bahwa seorang notaris juga diberikan kewenangan
dalam hal membuat risalah lelang. Peraturan Lelang dan UUJN sama sama mengatur
tentang kewenangan untuk membuat risalah lelang, yang secara normatif yang
berwenang membuat risalah lelang ialah Pejabat Lelang yang wewenangnya diberikan
dengan Peraturan Lelang dan Notaris yang wewenang nya diberikan oleh UUJN.
Antara Peraturan Lelang dan UUJN terjadi suatu konflik norma atau disebut dengan
conflict of norm atau lebih mudah disebut pertentangan norma, karena 2 peraturan
dengan kedudukan yang sama sebagai suatu Undang-Undang mengatur hal yang
berbeda, pertentangan norma ini akan mengakibatkan terjadinya ketidak pastian
hukum terhadap siapa yang berwenang untuk membuat akta risalah lelang dan
bagaimana mengenai kekuatan hukum produk risalah lelang tersebut.
Permasalah pertentangan norma yang terjadi dapat diselesaikan menggunakan asas-
asas hukum yang relevan dan sudah digunakan diseluruh dunia yaitu asas preferensi
hukum, terdiri dari 3 asas yang meliputi asas lex superior, asas lex spesialis, dan asas
posterior.
15
a) Asas lex superior derogate lex inferior bermakna bahwa perundang-
undangan yang derajatnya lebih rendah dikesampingkan oleh perundang-undangan
yang derajatnya lebih tinggi, b) Asas lex posteriori derogate lex priori bermakna peraturan
perundang-undangan yang lama dikesampingkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih baru, c) Asas lex specialis derogate legi generale yang bermakna dua
peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang
sama. Akan tetapi ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan peundang-
undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari
13
Harahap, M. Y. (2007). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3., h. 187
14
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. (2018). Karakteristik Akta Otentik Pada Akta Risalah
Lelang. Jatiswara, 33(2). 1-20 . p. 11
15
Hadjon, P. M., & Djamiati, T. S. (2014). Argumentasi hukum. Gadjah Mada University Press,
h.31
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
47
yang lain.
16
Dari ketiga asas preferensi hukum yang ada yang paling cocok dengan
permasalahan adalah dengan menyelesaikanya dengan Asas lex specialis derogate legi
generale bahwa peraturan yang lebih umum dikesampingkan dengan peraturan yang
lebih khusus.
Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generale maka yang digunakan adalah
Peraturan Lelang, bukan UUJN, karena kekhususannya tentang lelang, Jadi yang
berwenang menjadi pembuat risalah lelang berdasakan kewenangan untuk membuat
risalah lelang yang diperoleh dari Peraturan Lelang menurut Teori Kewenangan yang
membahas mengenai sumber sumber kewenangan, yaitu kewenangan atribusi,
delegasi, dan mandat, kewenangan atribusi menunjuk pada kewenangan yang asli atas
dasar konstitusi di dalam Undang-Undang, kewenangan delegasi, haruslah ditegaskan
suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain. Pada mandat
tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti pemberian wewenang, akan tetapi, yang
diberi mandat bertindak atas nama pemberi mandat.
17
Sesuai dengan Teori
Kewenangan atribusi, tanggungjawab dan wewenang membuat risalah lelang adalah
Pejabat Lelang.
Kewenangan Notaris dalam hal membuat risalah lelang harus dihilangkan dari UUJN,
karena membuat risalah lelang bukan kewenangan Notaris. Walaupun benar Notaris
dapat diangkat menjadi pejabat lelang kelas II yang diatur pada Pasal 7 Vendue
Intructie atau dalam bahasa Indonesia disebut Intruksi lelang Jo. Pasal 17 ayat (2)
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010 tentang
Pejabat Lelang Kelas II (selanjutnya disebut PMK Pejabat Lelang Kelas II), yang pada
prinsipnya seorang Notaris dapat diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II. Seorang
notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pejabat Lelang Kelas II haruslah
dipisahkan dari profesi Notarisnya, karena jabatan notaris dengan jabatan pejabat
lelang harus dibedakan. Sehingga tidak semua notaris dapat melakukan wewenang
dalam pembuatan Risalah Lelang, hanya seorang Notaris yang secara sah telah
berstatus atau diangkat untuk menjadi Pejabat Lelang Kelas II oleh Menteri Keuangan
yang dapat membuat risalah lelang yang berpedoman pada Peraturan Lelang dan
Intruksi Lelang dan peraturan pelaksanaan dibawahnya seperti PMK Pelaksanaan
Lelang dan PMK Pejabat Lelang Kelas II, bukan berpedoman pada UUJN.
Oleh karena itu harmonisasi pengaturan kewenangan Pembuatan Risalah Lelang
berdasarkan asas lex specialist derogate legi generalist yang digunakan adalah Peraturan
Lelang sebagai dasar kewenangan membuat Risalah Lelang yaitu terdapat pada
Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat diangkat sebagai Pejabat
Lelang Kelas II menurut Pasal 7 Intruksi Lelang jo. PMK Pejabat Lelang Kelas II,
namun wewenang itu diberikan dalam kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas
II yang telah diangkat oleh Menteri Keuangan dan bukan kapasitasnya sebagai
Notaris.
3.2 Kekuatan Pembuktian Risalah Lelang
16
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media., h. 101
17
Rafly R. P., Johny L., & Neni K. (2018) Kewenangan Pemerintah Desa Dalam Peningkatan
Perekonomian Di Desa Mahangiang Kecamatan Tagulandang Kabupatenkepulauan Sitaro.”
Eksekutif Jurnal Jurusan Ilmu Pengetahuan1, ( 1) 1-10
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41 51
48
Berbicara mengenai kekuatan pembuktian, harus terlebih dahulu mengetahui apa itu
pembuktian, pembuktian merupakan serangkaian proses guna memperoleh atau
mengadili suatu hak sehingga tujuan atas nilai kepastian dan keadilan dalam hukum
dapat tercapai.
18
Mengenai kekuatan pembuktian suatu risalah lelang, tidak bisa lepas
dari derajat suatu risalah lelang itu sendiri. Menurut hukum perdata derajat
pembuktian terbagi atas 2 jenis yaitu Akta otentik dan Surat di bawah tangan
sebagaimana diatur Pasal 1867 KUHPer. Akta otentik menurut Pasal 1870 KUHPer
memiliki kekuatan hukum pembuktian yang sempurna dan mengikat, sedagkan surat
dibawah tangan memiliki pembuktian yang tingkatanya dibawah akta otentik.
Guna untuk menganalisa apakah risalah lelang merupakan akta otentik atau bukan,
pertama tama risalah lelang harus memenuhi syarat sebagai akta otentik yang diatur
pada Pasal 1868 KUHPer, apapun syarat-syarat tersebut yakni:
1. akta harus dibuat oleh Pejabat Umum.
2. akta itu ditentukan oleh undang-undang;
3. Pejabat Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut.
19
Jadi apabila risalah lelang tidak memenuhi syarat yang ditentukan oleh Pasal 1868
KUHPer maka risalah lelang tidak dapat dikatan sebagai akta otentik yang memiliki
pembuktian yang sempurna.
20
Guna untuk mendapatkan suatu kebenaran mengenai kekuatan pembuktian risalah
lelang, dapat di analisa dengan menggunakan unsur-unsur pada Pasal 1868 KUHPer
tersebut yang dianalisa dibawah ini:
1. Akta harus dibuat oleh Pejabat Umum.
menurut Peraturan Lelang sebuah berita acara lelang atau dapat disebut risalah
lelang dibuat oleh Pejabat Lelang sebagaimana diatur oleh Pasal 35 Peraturan
Lelang Jo PMK Pelaksanaan Lelang.
2. akta itu ditentukan oleh Undang-Undang
akta tersebut atau risalah lelang dibuat dan diperintahkan oleh Undang-
Undang dalam hal ini Peraturan Lelang yaitu Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39.
3. Pejabat Umum yang membuat harus berwenang membuat akta tersebut.
Pejabat Lelang merupakan pejabat umum yang berwenang berdasarkan
Peraturan Lelang, Intruksi Lelang dan PMK Pelaksanaan Lelang.”
18
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. Op.Cit. h. 13
19
Purnayasa, A. T. (2018). Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak
Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Otentik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 3(3), 395-
409. p. 397-398
20
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Martana, N. A., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S., Putra, I.
P. R. A., ... & Tribuana, P. A. R. (2016). Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam
Peristiwa Hukum Perdata. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 1(2). 180-188 p. 185
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
49
Berdasarkan unsur-unsur tersebut telah dipenuhi oleh risalah lelang jadi dapat
dikatakan risalah tentang hasil pelelangan merupakan akta otentik yang memiliki
kekuatan sebagai bukti yang sempurna ditentukan oleh Pasal 1870 KUHPer.
Namun, menurut Pasal 1969 KUHPer suatu akta otentik akan turun derajat nya
menjadi dibawah tangan apabila suatu akta otentik dibuat berdasarkan yang tidak
pada kewenangannya walaupun ia adalah pejabat umum. Artinya apabila risalah
lelang dibuat oleh seorang Notaris yang belum diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas
II oleh Menteri Keuangan maka Risalah Lelang itu akan menjadi akta dibawah tangan,
bukan lagi menjadi akta otentik yang sempurkan kekuatan hukum pembuktianya.
Jadi kekuatan pembuktian risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer haruslah
memenuhi 3 unsur terlebih dahulu yaitu 1) akta itu harus dibuat seorang Pejabat
Umum, 2) akta itu ditentukan oleh undang-undang dan 3) Pejabat Umum yang
membuat harus berwenang membuat akta tersebut, Risalah lelang telah memenuhi
ketiga unsur tersebuk sehingga dapat dikatakan Risalah Lelang itu merupakan akta
otentik yang memiliki pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak melanggar apa
yang ditentukan Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPer.
4. Kesimpulan
Peraturan Lelang merupakan jawaban dari Harmonisasi pengaturan kewenangan
Pembuatan Risalah Lelangberdasarkan asas lex specialist derogate legi generalist.
Peraturan Lelang sebagai dasar kewenangan membuat Risalah Lelang yaitu terdapat
pada Pejabat Lelang bukan pada Notaris. Walaupun Notaris dapat diangkat sebagai
Pejabat Lelang Kelas II menurut Pasal 7 Intruksi Lelang jo. PMK Pejabat Lelang Kelas II
memiliki wewenang dalam pembuatan Risalah Lelang, namun wewenang itu
diberikan dalam kapasitas Notaris sebagai Pejabat Lelang II yang telah diangkat oleh
Menteri Keuangan dan bukan kapasitasnya sebagai Notaris.
Kekuatan pembuktian risalah lelang menurut Pasal 1868 KUHPer haruslah memenuhi
3 unsur terlebih dahulu yaitu 1) akta itu harus dibuat seorang Pejabat Umum, 2) akta
itu ditentukan oleh undang-undang dan 3) Pejabat Umum yang membuat harus
berwenang membuat akta tersebut, Risalah lelang telah memenuhi ketiga unsur
tersebut sehingga dapat dikatakan Risalah Lelang itu merupakan akta otentik yang
memiliki pembuktian yang sempurna, sepanjang tidak melanggar apa yang ditentukan
Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPer.
Daftar Pustaka
Buku
Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.
Hadjon, P. M., & Djamiati, T. S. (2014). Argumentasi hukum. Gadjah Mada University
Press.
ISSN: 1978-1520
Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan, Vol. 06 No. 01 Maret 2021, h. 41 51
50
Soerjono Soekanto, (2012), Pengantar Penelitian Hukum. , Jakarta, Universitas Indonesia
Press
Harahap, M. Y. (2007). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3.
Jurnal Ilmiah
Erik, M., Triyanto, T., & Sesung, R. (2018). “Karakteristik Akta Otentik Pada Akta
Risalah Lelang”. Jatiswara, 33(2). 1-20 .
Faisal, M. (2014). “Upaya Perlindungan Hukum Pemenang Lelang Sebagai Pembeli
Beritikad Baik Terhadap Putusan Re-Eksekusi”. Jurnal Hukum & Pembangunan.
44(1). 83-101.
Haris, M. (2018). “Kewenangan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II dalam
Memberikan Penyuluhan Hukum atas Akta Risalah Lelang yang Dibuatnya”.
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 17(1). 53-63.
Jody Bagus, W. I. W. (2019). “Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan
Secara Elektronik”. Jurnal Acta Comitas : Jurnal Hukum Kenotariatan. 5(1). 79-88.
Kusumaningrat, I. D. G. A. “Perlindungan Hukum Bagi Kreditor Terhadap Hapusnya
Hak Atas Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 4(2), 251-260.
Marziah, A., Rahayu, S. W., & Jauhari, I. (2019). “Pembuktian Risalah Lelang Bagi
Pemenang Eksekusi Hak Tanggungan”. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan,
7(2), 225-236.
Rafly R. P., Johny L., & Neni K. (2018) Kewenangan Pemerintah Desa Dalam
Peningkatan Perekonomian Di Desa Mahangiang Kecamatan Tagulandang
Kabupatenkepulauan Sitaro.” Eksekutif Jurnal Jurusan Ilmu Pengetahuan1, ( 1) 1-10
Sasongko, T. I. (2018). “Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Risalah Lelang
Pasca Berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK. 06/2016
Tentang Pedoman Pelaksanaan Lelang Dengan Penawaran Secara Tertulis Tanpa
Kehadiran Peserta Lelang Melaui Internet”. Lex Renaissance, 3(1), 206-225.
Satrya, H. (2017) “Penjualan Lelang Barang Jaminan Hak Tanggungan Menurut
Perspektif Hukum Islam.” Jurnal Repertorium IV (1) 52-60
Sonbai, A. I. K. (2019). “Kebijakan Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Pengguna
Jasa Prostitusi Melalui Media Online”. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan,
4(2), 271-282.
Purnayasa, A. T. (2018). “Akibat Hukum Terdegradasinya Akta Notaris yang Tidak
Memenuhi Syarat Pembuatan Akta Otentik”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 3(3), 395-409.
P-ISSN: 2502-8960, E-ISSN: 2502-7573
51
Tjukup, I. K., Layang, I. W. B. S., Martana, N. A., Markeling, I. K., Dananjaya, N. S.,
Putra, I. P. R. A., ... & Tribuana, P. A. R. (2016). “Akta Notaris (Akta Otentik)
Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa Hukum Perdata”. Acta Comitas: Jurnal Hukum
Kenotariatan, 1(2). 180-188
Peraturan Perundang-undangan
Vendu Reglement Peraturan Lelang Peraturan Penjualan Di Muka Umum Di
Indonesia (Ordonansi 28 Pebruari 1908, S. 1908-189)
Vendu Intructie Instruksi Lelang di Indonesia (Ordonansi 28 Pebruari 1908, S.
1908-190)
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terjemahan Subekti, R,
dan R. Tjitrosudibio
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3 Dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 175/PMK.06/2010
tentang Pejabat Lelang Kelas II
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 27/PMK.06/2016
Tentang Petunjuk Pelaksana Lelang
... After finding the auction's winner, the Auction Officer reads the minutes of the auction in front of the sellers and buyers of the auction. (Dewi, 2021) The minutes of the auction that have been read out will be signed by all parties in front of the auction official. The Minutes of Auction is perfect evidence of the existence of an auction. ...
Article
Full-text available
Auction minutes that the Class II Auction Officer does not read will affect their validity. The problem in this paper is about how the validity of the deed is not read out by the auction official, as well as the form of legal protection for the Class II Auction Officer for acceptable sanctions due to the auction minutes not being read out in the implementation of an electronic non-execution auction. This paper aims to analyze the validity of the deed that was not read out by the auction official in the performance of an electronic non-execution auction and a form of legal protection for Class II auction officials. This writing uses a normative juridical method with a statutory and conceptual approach. The study results indicate that the minutes of auction through the internet media have fulfilled the elements contained in Article 1868 of the Civil Code. Legal protection for Class II Auction Officials can be carried out in 2 (two) ways: preventive legal protection, namely by making new rules or improving the provisions of the old laws. Repressive legal protection is to take legal action in the form of an appeal against the Administrative Court or an appeal against the Supreme Court. In the request and cassation, repressive legal protection should be prioritized. How to cite item: Wijaya, I. (2022). Sanctions for not being read out by the auction office. Jurnal Cakrawala Hukum, 13(2), 164-174. DOI:https://doi.org/10.26905/idjch.v13i2.5896.
Article
Full-text available
This scientific article purpose is understand the arrangements regarding the issuance of Certificate of Inheritance related to the division of population groups in Indonesia. The method used is normative legal research. This study result is indicate that the arrangement for making a certificate of inheritance related to division of population groups in Indonesia is regulated in Article 111 paragraph (1) of Ministerial Regulation No. 3 of 1997 on the Implementation of Land Registration which divides into 3 (three) groups, namely Indonesian Citizens, Indigenous People, Chinese Descendants. and Foreign Eastern Descent, then there are also 3 (three) officials who have the authority to make a certificate of inheritance in Indonesia according to their class. This classification raises the problem that Ministerial Regulation Number 3 of 1997 on the Implementation of Land Registration is contrary to Law Number 40 of 2008 on Elimination of Discrimination which is a higher regulation and should eliminate the classification of society related to the issuance of a certificate of inheritance in Indonesia. The urgency of a notary to be given the authority to make a deed of inheritance rights because a notary is an official who makes a deed whose legal force of proof is perfect, guaranteed order, certainty, and legal protection. Article 15 paragraph (1) of the Law on Notary Positions becomes the basis for Notaries in acting and constructing a Certificate of Inheritance for all residents and/or citizens of Indonesia, in order to create legal certainty for makers of Certificate of Inheritance in Indonesia. Abstrak Tujuan artikel ilmiah ini yaitu untuk memahami pengaturan mengenai dibuatnya Surat Keterangan Waris terkait pembagian golongan penduduk di Indonesia. Metode yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan dibuatnya surat keterangan waris terkait pembagian golongan penduduk di Indonesia diatur pada Pasal 111 ayat (1) Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah yang membagi atas 3 (tiga) golongan yaitu golongan Warganegara Indonesia Penduduk Asli, Keturunan Tionghoa dan Keturunan Timur Asing, kemudian terdapat juga 3 (tiga) pejabat yang memiliki wewenang dalam dibuatnya suatu surat keterangan waris di Indonesia sesuai dengan golongannya. Penggolongan semacam ini menimbulkan permasalahan bahwa Peraturan Menteri Nomor 3 Tahun 1997 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah sudah bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 Penghapusan Diskriminasi yang merupakan aturan yang lebih tinggi dan sudah seharusnya menghilangkan penggolongan masyarakat terkait dibuatnya surat keterangan waris di indonesia. Urgensi notaris diberikan kewenangan dalam pembuatan akta keterangan hak waris karena Notaris merupakan pejabat yang membuat akta yang kekuatan hukum pembuktiannya bersifat sempurna, terjamin ketertiban, kepastian, dan perlindungan hukum. Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris menjadi dasar Notaris dalam bertindak dan mengkonstruksi sebuah Surat Keterangan Waris untuk semua penduduk dan/atau warga negara Indonesia, agar menciptakan kepastian hukum bagi pembuat Surat Keterangan Waris di Indonesia.
Article
Full-text available
Penelitian ini dilakukan karena ada pertentangan antara UUHT dengan Perkaban 9/2019. Dari hal tersebut dirumuskan 2 rumusan masalah: (1) Bagaimanakah proses pendaftaran hak tanggungan secara elektronik?; (2) Bagaimanakah pemberlakuan pendaftaran hak tanggungan secara elektronik ditinjau dari UUHT?. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proses pendaftaran hak tanggungan secara elektronik dan pemberlakuan pendaftaran hak tanggungan secara elektronik ditinjau dari UUHT. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. pendaftaran hak tanggungan secara elektronik dilakukan melalui sistem HT-el oleh PPAT dengan memasukkan warkah-warkah yang diperlukan berupa dokumen elektronik sampai mendapat Sertipikat Hak Tanggungan dan catatan hak tanggungan pada buku tanah dan Sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dalam bentuk dokumen elektronik; dan pendaftaran hak tanggungan secara elektronik belum bisa diberlakukan karena UUHT masih berlaku dan tidak memeberikan kewenangan delegasi pada perkaban 9/2019 untuk memberlakukan pendaftaran hak tanggungan secara elektronik.
Article
Full-text available
Abstract Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dasar hukum dan menjelaskan pembuktian risalah lelang bagi pemenang eksekusi hak tanggungan; metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini metode yuridis normatif. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembuktian risalah lelang bagi pemenang eksekusi hak tanggungan, pada kasus Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor: 08/PDT.G/2013/PN MBO dimana dalam praktiknya pembuktiannya terhadap risalah lelang yang dikeluarkan oleh KPKNL (Tergugat I) Banda Aceh sudah berdasarkan prosedur pelaksanaan lelang, setelah pelaksanaan berakhir tidak adanya kepastian hukum terhadap Bank (Tergugat II) tidak mendapatkan ganti kerugian disebabkan adanya gugatan penggugat pada Pengadilan Negeri Meulaboh dan pemenang lelang (Tergugat III) tidak dapat menguasai objek lelang karena debitor tidak bersedia mengosongkan objeknya. Berdasarkan putusan hakim seharusnya memperhatikan keadilan dan kemanfaatan bagi para pihak tidak hanya dengan kepastian hukum semata karena hakim bukan corong Undang-Undang sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) undang-undang Nomor 49 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Keywords Pembuktian, Risalah Lelang, Eksekusi Hak Tanggungan
Article
Full-text available
As a Public Officer with the intention to make an authentic deed, the Notary often acts inadvertently and inadvertently, it can certainly lead to legal problems. Authentic deeds made by Notary also do not rule out can be a deed under the hands. Notarial deeds as authentic deeds that have perfect evidentiary power in civil law disputes may, in fact, degenerate from the perfect evidentiary power to such a deed under the hand, and may be legally defamatory resulting in the disregard or invalidity of the Notary's deed. Based on the background of the problem can be formulated as follows, how a deed can be said or categorized as an authentic deed and how authentic deeds can experience the degradation of the power of proof into the deed under the hands. This research is normative law research. The results of the study conclude that the Notary Act can be an authentic deed if it meets the formalities that are already determined based on the rules contained in the provisions of Article 1868 Civil Code and jo UUJN. Based on the provisions of Article 1868 Civil Code must be fulfilled the requirements of authentic deed and authentic deed must be made in accordance with the format specified in accordance with the provisions of Article 38 UUJN and Deed can be degraded into deed under the hand if violating the provisions of Article 1868 Civil Code jo UUJN. Sebagai Pejabat Umum yang berwenag untuk membuat akta autentik, Notaris sering kali bertindak tidak hati-hati dan tidak seksama, sehingga apa yang diisyaratkan oleh undang-undang yaitu tentang syarat pembuatan akta autentik kadang kala tidak diperhatikan oleh pejabat umum yang berwenang untuk membuat Akta Autentik khusunya dalam hal ini adala Notaris, hal tersebut tentunya dapat menimbulkan permasalahan hukum. Akta autentik yang dibuat oleh Notaris juga tidak menutup kemungkinan dapat menjadi akta di bawah tangan. Akta Notaris sebagai akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dalam sengketa hukum perdata, ternyata dapat mengalami penurunan status (degradasi) dari kekuatan pembuktian yang sempurna menjadi seperti akta dibawah tangan, dan dapat cacat hukum yang menyebabkan kebatalan atau ketidakabsahan akta Notaris tersebut. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut, Apa Akibat hukum dari suatu akta autentik yang terdegradasi Bagaimanakah akta autentik tersebut dapat mengalami degradasi kekuatan pembuktian menjadi akta di bawah tangan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Hasil studi menyimpulkan bahwa akta Notaris dapat menjadi akta yang autentik apabila memenuhi formalitas-formalitas yang memang sudah ditentukan berdasarkan aturan yang ada dalam ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata dan jo UUJN. Berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata haruslah dipenuhi syarat akta autentik serta akta otentik haruslah dibuat sesuai dengan format yang sudah ditentukan berdasarkan ketentuan Pasal 38 UUJN dan Akta Notaris dapat terdegradasi menjadi akta di bawah tangan apabila melanggar ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata jo UUJN.
Article
Full-text available
Notaris memiliki kewenangan untuk memberikan penyuluhan atau penjelasan tentang isi akta risalah lelang kepada para pihak yang ada di dalam risalah lelang tersebut. Risalah lelang adalah berita acara dokumen resmi dari jalannya penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggung jawabkan oleh pejabat lelang dan para pihak (penjual dan pembeli) sehingga pelaksanaan lelang yang disebut didalamnya mengikat para pihak. Notaris selaku pejabat Lelang Kelas II juga berwenang menjelaskan fungsi dari risalah lelang yaitu sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Selain itu Risalah Lelang juga berfungsi sebagai dasar untuk melakukan balik nama/ peralihan/pemindahan hak sesuai benda yang dicantumkan dalam risalah lelang. Dengan diberikannya penjelasan tentang isi akta risalah lelang kepada para pihak lelang tersebut, akan memberikan dampak adanya rasa percaya dari para pihak yang melakukan lelang kepada notaris selaku pejabat lelang kelas II. Dengan tingginya rasa percaya dan aman kepada notaris tersebut diharapkan akan memicu peningkatan frekuensi lelang noneksekusi sukarela dari masyarakat
Article
Full-text available
Tulisan ini membahas mengenai upaya perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, khususnya pembeli beritikad baik dari pemenang lelang dalam suatu putusan eksekusi ulang (re-eksekusi). Kepastian hukum pembeli beritikad baik dapat terganggu oleh adanya putusanre-eksekusi dimana terjadi eksekusi ulang objek yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang kemudian dieksekusi lagi dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap. Upaya perlindungan hukum pembeli beritikad baik dapat dilakukan dengan kewajiban menggugat pembeli beritikad baik sebelum mengeksekusi objek, melalui perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan perlindungan hukum. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan hukum yang memerlukan perhatian lebih terhadap adanya putusan re-eksekusi. Hasil penelusuran kasus menemukan bahwa Mahkamah Agung dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, dapat melaksanakan fungsi pengawasannya dengan mengeluarkan penetapan yang menganulir putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam rangka memperbaiki kesalahan hakim terdahulu dan memberikan kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik.Tulisan ini membahas mengenai upaya perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, khususnya pembeli beritikad baik dari pemenang lelang dalam suatu putusan eksekusi ulang (re-eksekusi). Kepastian hukum pembeli beritikad baik dapat terganggu oleh adanya putusanre-eksekusi dimana terjadi eksekusi ulang objek yang pernah dieksekusi sebelumnya dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap dan telah dipindahtangankan yang kemudian dieksekusi lagi dengan putusan lain yang berkekuatan hukum tetap. Upaya perlindungan hukum pembeli beritikad baik dapat dilakukan dengan kewajiban menggugat pembeli beritikad baik sebelum mengeksekusi objek, melalui perlawanan terhadap penetapan eksekusi serta melalui permohonan perlindungan hukum. Permohonan perlindungan hukum merupakan bentuk perlindungan hukum yang memerlukan perhatian lebih terhadap adanya putusan re-eksekusi. Hasil penelusuran kasus menemukan bahwa Mahkamah Agung dalam memberikan perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik, dapat melaksanakan fungsi pengawasannya dengan mengeluarkan penetapan yang menganulir putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam rangka memperbaiki kesalahan hakim terdahulu dan memberikan kepastian hukum kepada pembeli beritikad baik.
Article
The phenomenon of online prostitution became a hot issue in Indonesia. Online Prostitution Article 27 paragraph (1) Jo. Article 45 paragraph (1) of the ITE Law, Article 296 of the Criminal Code, Article 506 of the Criminal Code, Article 2 paragraph (1) of Law No. 21 of 2007 concerning Eradication of Crime in Trafficking in Persons, and Article 30 Jo. Article 4 paragraph (2) Law No. 44 of 2008 concerning Pornography. However, in the article has not set explicitly against online prostitution service users. The aim of this study was to elaborate on the user settings prostitution service through online media and forms of criminal responsibility prostitution service users through online media. The method used is a normative legal research. This type of approach is used, among others: statue approach, conceptual approach, and comparative approach. The results of the study indicate that the formulation policy criminal liability for online prostitution service users has not yet been regulated in Indonesian legislation, from the results of a comparison with Sweden (Sex Purchase Act) also regulates the criminal liability of users of online prostitution services and should the rules in the future refer to Swedish law (sex purchase act). Fenomena prostitusi online menjadi suatu isu hangat di Indonesia. Prostitusi online Pasal 27 ayat (1) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE, Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP, Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan Pasal 30 Jo. Pasal 4 ayat (2) UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Namun, dalam pasal tersebut belum mengatur secara eksplisit terhadap pengguna jasa prostitusi online. Tujuan studi ini ialah untuk mengelaborasi pengaturan pengguna jasa prostitusi melalui media online dan bentuk pertanggungjawaban pidana pengguna jasa prostitusi melalui media online. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan yang digunakan antara lain: pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Hasil studi menunjukkan bahwa kebijakan formulasi pertanggungjawaban pidana pengguna jasa prostitusi online saat ini belum di atur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, dari hasil perbandingan dengan Swedia (Sex Purchase Act) mengatur juga pertanggungjawaban pidana pengguna jasa prostitusi online dan sebaiknya aturan di masa mendatang mengacu pada hukum swedia (sex purchase act)
Article
Credit distribution by banks is one effort that can be utilized by everyone to meet needs that are very diverse and always increasing. Credit distribution by banks is generally carried out in the presence of collateral to increase creditor trust. Credit distribution is a product that is profitable for the bank, but on the other hand there is a risk in lending due to the need for time from the lending phase to the repayment stage. Credit implementation does not always run smoothly, one of which is when the credit debtor becomes bogged down, plus the collateral of the debtor cannot be executed by the bank because the guarantee has been removed by a certain matter. The problem is how the legal protection for creditors against the abolition of land rights burdened with liability and how the debtor's responsibility due to the abolition of rights to land burdened with mortgage rights. Normative juridical research used in compiling this study is accompanied by the use of a legal approach (Statue approach), and a conceptual approach. There are two types of protection for creditors, namely preventive legal protection (prevention) and repressive legal protection (dispute resolution). The debtor is still obliged to pay off the debt even though the collateral with the right of liability has been removed. The credit agreement is a protection for creditors in the event of a dispute during the process of lending, then efforts can be made by the bank if there is a problem, namely by conducting a credit restructuring. Penyaluran kredit oleh bank merupakan salah satu upaya yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang guna memenuhi kebutuhan yang sangat beraneka ragam dan selalu meningkat. Penyaluran kredit oleh bank pada umumnya dilakukan dengan keberadaan jaminan guna meningkatkan kepercayaan kreditor. Penyaluran kredit merupakan produk yang menguntungkan bagi bank, namun disisi lain terdapat resiko dalam penyaluran kredit tersebut yang dikarenakan diperlukannya waktu sejak tahap pemberian kredit sampai pada tahap pelunasan kredit. Pelaksaan kredit tidak selalu berjalan dengan lancar, salah satunya ketika debitor kreditnya menjadi macet, ditambah lagi jaminan debitor tidak bisa dieksekusi oleh bank karena jaminan telah hapus oleh suatu hal tertentu. Adapun yang menjadi masalah yakni bagaimana perlindungan hukum bagi kreditor terhadap hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan dan bagaimana tanggung jawab debitor akibat hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan. Penelitian normatif digunakan dalam menyusun penelitian ini disertai penggunaan pendekatan perundang-undangan (Statue approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Terdapat dua jenis perlindungan bagi kreditor yaitu perlindungan hukum preventif (pencegahan) serta perlindungan hukum represif (penyelesaian sengketa). Debitor tetap berkewajiban melunasi utangnya meskipun jaminan dengan hak tanggungan telah hapus. Perjanjian kredit menjadi perlindungan bagi kreditor dalam hal terjadinya sengketa selama proses penyaluran kredit, kemudian upaya yang dapat dilakukan bank apabila terjadi permasalahan yakni dengan melakukan restrukturisasi kredit.
Article
Notary Public Officer has the duty to make an authentic deed and dare to make the deed of minutes of auction. One of the hallmark of the Auction of Minutes of Deed is made by the Auction Officer appointed by the Minister of Finance. The strength of the proof consists of the power of proof of birth, formal and material relationships has been regulated in Article 1868 of the Civil Code. Is the Deed of Minutes auction referred to the Authentic Deed. Make the form of the deed determined by law. The result of this thesis research is the status of the Auction of Minutes of the Auction referred to as the authentication deed because (1) the form of the authentic deed is the drafting of the law (Articles 37, 38 and 39 Vendu Reglement, (2) the original deed must be made by or against the general officials The auction is made by the auction official (3) of what authority, when and where the deed was made. (Articles 3 and 7 Vendu Reglement) is determined by the Minister of Finance. The Power of Evidence On The Deed of Auction Minutes As an authentic deed, In Article 35 of the Vendu Reglement from which "From every public sale by the Auction Officer or his proxy, during the sale, for each day of auction or sale shall be made separate news event". Here it is clear that the Auction Risks must be made by an authentic deed, as the auction treatise has a perfect proof of power on what is contained therein.
Article
Notary is one of professions lawful services to public, which has responsibilities related with authentic attesting instruments, such as, letters,certificates, or documents made by him/her in written form concerning various lawful actions Departing from the circumstances as preventive measures of prevention needs to be premature given information about the notarial deed (deed authentic) as evidence in the event of civil law in order to later villagers in any transaction in a very large amount in order to carry out the agreement in front notary officials. The fact that occurs in the community, some of them are less aware of the importance of a document as evidence that an agreement between the parties is done with a sense of mutual trust and made ??orally, but there are also some people who understand the importance of making a document as evidence that the deal is made in writing, that it will be presented as a means of evidence.
Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata
  • M Y Harahap
Harahap, M. Y. (2007). Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3. Jurnal Ilmiah