Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya
ISSN: 2528-7249 (online)
ISSN: 2528-7230 (print)
DOI : 10.15575/rjsalb.v5i1.8920 https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Religious/
Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran
Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan Yohanes 14: 6
Muhammad Radya Yudantiasa1*
1 Gadjah Mada University, Indonesia; yudantiasa@gmail.com
* Correspondence
Received: 2021-06-29; Accepted: 2021-03-01; Published: 2021-05-25.
Abstract: This article problematizes the idea of pluralism in the Qur'an and Bible. The contestation
about idea of pluralism often occurs in religion, especially in Islam and Christianity. This discourse
will be analyzed using inter-religious hermeneutics perspective. This perspective shows that the
relationship between the two holy books is a mutual connection. There are two options from my
exploration about the idea of pluralism in the Qur'an and Bible. Firstly, make an inclusive
interpretation of verses that are literally exclusive (Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 and John (14): 6) using the
hermeneutic method. Secondly, understanding the two verses literally, but we must open ourselves
to dialogue with others. The second option uses the inter-religious hospitality method. Both options
are very relevant if implemented in the context of diversity in Indonesia.
Keywords: al-Qur’an; Bible; inter-religious hermeneutics; pluralism.
Abstrak: Artikel ini mencoba untuk memunculkan kembali ide-ide tentang pluralisme yang
terdapat dalam al-Qur’an dan Injil. Kontestasi tentang ide-ide pluralisme sering terjadi dalam
agama, khususnya di dalam agama Islam dan Kristen. Diskursus tersebut akan dianalisis dengan
menggunakan perspektif hermeneutika lintas-iman. Perspektif ini menunjukkan bahwa hubungan
antara kedua kitab suci tersebut merupakan hubungan ketersalingan atau mutual connection. Ada
dua opsi tawaran dari hasil eksplorasi penulis terhadap ide-ide tentang pluralisme dalam al-Qur’an
dan Injil. Pertama, melakukan penafsiran yang inklusif terhadap ayat-ayat yang berbunyi eksklusif
(Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan Yohanes (14): 6) dengan menggunakan metode hermeneutika. Kedua,
memahami kedua ayat tersebut secara apa adanya dengan syarat kita harus membuka diri untuk
berdialog dengan yang lainnya. Opsi kedua ini menggunakan metode inter-religious hospitality.
Kedua opsi tersebut sangat relevan jika diterapkan dalam konteks keberagaman di Indonesia.
Kata Kunci: al-Qur’an; hermeneutika lintas-iman; Injil; pluralisme.
1. Pendahuluan
Dalam teologi agama-agama, pembagian kategori eksklusif, inklusif, dan pluralis telah banyak
digunakan untuk menunjukkan karakteristik yang dimiliki oleh setiap agama. Menurut Moyaert
(2011, hal. 5), pembagian tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
ditujukan pada topik keselamatan. Contohnya adalah kontradiksi antara aspek universalita
1
dan
partikulatitas
2
dalam konsep keselamatan yang dipahami oleh Kristen tradisional. Penjelasan
Moyaert tentang ketiga pembagian tersebut (eksklusif, inklusif, dan pluralis) memiliki maksud dan
tujuan yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Gavin D’Costa dalam tulisannya yang berjudul
Theology of Religions (2005, hal. 627).
1
Aspek universalitas adalah adanya pemahaman bahwa Tuhan menghendaki keselamatan bagi semua umat
manusia.
2
Aspek partikularitas adalah adanya pemahaman bahwa keselamatan hanya datang melalui Kristus.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 74 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Ide-ide tentang pluralisme dalam kitab suci perlu untuk diungkap kembali dalam menghadapi
situasi yang semakin beragam. Interaksi antara teks dan konteks yang kreatif sangat dibutuhkan
sebagai sarana untuk mengungkap nilai-nilai universal yang ingin disampaikan oleh suatu ayat
dalam kitab suci. Teks yang dimaksud di sini adalah ayat-ayat dalam al-Qur’an dan Injil yang
berbicara tentang pluralisme. Sedangkan konteks yang dimaksud adalah apa yang disebut oleh Lee
(2005, hal. 518–520) yaitu dua hal besar dalam konteks Asia, realitas sosio-politik dan keberagaman
agama. Konteks ini akan sangat tepat jika dilihat dalam perspektif dinamika keberagaman yang
sedang berkembang di Indonesia.
Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah tantangan terhadap ide pluralisme ini menuai
banyak kritikan dalam internal masing-masing agama. Untuk itu, wacana yang berkembang dalam
diskusi tentang pluralisme agama akan diungkapkan untuk melihat bagaimana diskusi ini
berlangsung di setiap waktu. Lebih lanjut, pembaca juga bisa merasakan nuansa diskusi tersebut
sekaligus bisa menilai atau bahkan memberikan kritik secara objektif terhadap diskusi yang akan
disampaikan. Selain itu, tantangan yang lainnya adalah adanya ayat-ayat eksklusif yang eksis dalam
kedua kitab suci tersebut. Tentu ayat-ayat eksklusif ini tidak bisa dihiraukan begitu saja. Perdebatan
yang tak pernah usai di dalam masing-masing agama tersebut menunjukkan bahwa kontestasi ini
akan terus menerus berlangsung sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.
Realitas inilah yang dipandang sebagai sesuatu yang menonjol sehingga perlu untuk
didiskusikan secara seksama dalam studi hermeneutika baik itu al-Qur’an maupun Injil. Ada dua hal
yang perlu dikaji secara serius jika hendak melakukan upaya kontekstualisasi yang lebih relevan
yaitu kesadaran sejarah dan kepekaan dalam membaca situasi kekinian (Listijabudi, 2018, hal. 209).
Kekayaan tradisi budaya keagamaan yang dimiliki Indonesia menjadi nilai yang amat berharga
dalam membaca situasi tersebut. Maka dari itu, kepekaan kita dalam membaca situasi tersebut
menjadi sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman penafsiran.
Model pembacaan yang digunakan dalam tulisan ini sebenarnya merupakan hermeneutika
lintas-iman. Artinya, spirit dari kedua kitab suci tersebut akan dikolaborasikan dalam rangka
menyatukan kekuatan khususnya dalam konteks keberagaman. Pembacaan ini mengharuskan
pemaknaan yang liberal dari dominasi yang menghambatnya. Strategi pembacaan teks dan konteks
keberagaman ini tidak saling terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi jutru saling berkelindan dan
saling berinterpretasi antara satu dengan yang lainnya (Listijabudi, 2018, hal. 210–211). Lebih lanjut,
perjumpaan kedua kitab suci ini dalam level yang lebih tinggi akan menghasilkan kerja
intertekstualitas yang luas dan melanjutkan hubungan lintas-iman yang lebih baik.
Beberapa penelitian sebelumnya telah melakukan kajian terhadap teks dan wacana pluralisme.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Sahiron Syamsuddin dalam salah satu artikelnya, ia mencoba
mengkaji pandangan al-Quran tentang klaim eksklusif kebenaran agama. Ia melakukan reinterpretasi
terhadap Q.S. al-Baqarah (2): 111-113. Menurutnya, ayat-ayat tersebut bisa menjadi landasan teologis
Islam sebagai upaya untuk mencegah klaim kebenaran agama yang cenderung eksklusif
(Syamsuddin, 2018, hal. 80). Selain itu, Nelson Semol Kalay juga melakukan kajian yang serupa
namun berangkat dari paradigma Kristen. Ia melakukan reinterpretasi terhadap konsep Logos dan
mencoba untuk menguji kembali asumsi yang mengatakan bahwa gagasan ini sangat eksklusif dan
tidak mempromosikan dialog antar agama. Upaya kontekstualisasi yang ia lakukan menunjukkan
bahwa konsep ini bisa diarahkan kepada wacana pluralisme bahkan bisa berkontribusi untuk
pengembangan teologi pluralisme serta mendorong terjadinya dialog praksis di masyarakat (Kalay,
2019, hal. 122).
Meminjam istilah dari Sterkens, pendekatan yang digunakan di atas merupakan monoreligious
approach. Karakter dari model pendekatan ini cenderung didominasi oleh tradisi keagamaan tertentu
dan menggunakan basis normatif satu agama. Meskipun kajian-kajian di atas telah menunjukkan
keterbukaan, tetapi pendekatan seperti ini masih menggunakan basis perspektif “kita” yang
cenderung menunjukkan superioritas suatu agama. Maka dari itu, artikel ini menggunakan basis dari
interreligious approach. Pendekatan ini berangkat dari paradigma pluralitas agama. Tujuan utamanya
adalah untuk mengembangkan kompetensi dalam dialog. Basis normatif dari pendekatan ini adalah
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 75 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
teologi pluralis. Pluralis di sini dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk saling memperkaya
(mutual enrichment) antara satu tradisi agama dengan tradisi agama lainnya (C. J. A. Sterkens,
Hermans, & Van der Ven, 1998, hal. 63).
Selain itu, artikel ini juga merupakan salah satu usaha untuk melanjutkan cita-cita dari dokumen
kesepakatan bersama (a common word/kalimatun sawā) yang dideklarasikan pada tahun 2006.
Dokumen ini telah disepakati oleh ratusan pemuka agama dan intelektual agama yang merupakan
perwakilan dari agama Islam dan Kristen di seluruh penjuru dunia. Tujuan dari dokumen ini adalah
sebagai sebuah konstitusi bersama untuk mencapai dialog antar-agama di seluruh penjuru dunia.
Lebih jauh, dokumen ini merupakan titik awal untuk kerja sama dan koordinasi di seluruh dunia
yang berlandaskan pada kesolidan teologi yang digali dari penafsiran terhadap al-Qur’an dan hadis
dengan penafsiran terhadap Alkitab. Terlepas dari perbedaan di antara keduanya, Islam dan Kristen
tidak hanya dipandang sebagai dua tradisi agama yang lahir dari nenek moyang yang sama
(Abrahamic religions), tetapi keduanya dipandang sebagai dua tradisi agama yang memiliki semangat
hidup berdampingan (Borrmans, 1989; Doumanis, 2012; Rahman & Akram, 2020).
Pada bagian akhir, penulis akan memberikan pembacaan kritis sekaligus memberikan
penawaran yang praktis terhadap ide-ide pluralisme yang terdapat dalam kedua kitab suci tersebut.
Selain itu, penulis juga akan mencoba menerapkan ide-ide tersebut dalam konteks keberagaman
Indonesia melalui cara-cara yang institusional dan dengan pendekatan-pendekatan yang lebih
humanis sehingga ide-ide ini dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Tentu hal ini bukanlah
sebuah tugas yang mudah, tetapi setidaknya usaha ini mampu berkontribusi dalam memberikan ide-
ide lain yang lebih kreatif.
2. Pro dan Kontra Wacana Pluraslisme dalam al-Qur’an
Martin Riesebrodt (2010, hal. 23) dalam bukunya yang berjudul The Promise of Salvation: A Theory
of Religion menawarkan sebuah teori demarkasi. Teori ini berbicara tentang keberbedaan identitas
(perception of difference). Keberbedaan tersebut merupakan sebuah cara untuk menunjukkan eksistensi
yang membedakan satu agama dengan agama yang lain. Jadi, suatu agama butuh identitas pembeda
(demarcation) yang membedakan dirinya dengan agama lain dalam rangka untuk melihat dirinya dan
juga merepresentasikan dirinya sebagai sebuah agama. Dari teori ini, penulis merenungkan kembali
konsep tentang esensi dari agama. Penulis berasumsi bahwa teori demarkasi menimbulkan paradoks
dalam agama. Di satu sisi, agama digunakan sebagai alat mempromosikan harmoni dan toleran.
Tetapi di sisi lain, agama juga dijadikan alat justifikasi untuk membenarkan tindakan kekerasan dan
sikap intoleransi. Kedua paradoks di atas akan diungkap pada bagian ini dengan menunjukkan
bagaimana al-Qur’an diperlakukan dengan cara yang berbeda oleh setiap kelompok yang memiliki
kepentingan tertentu.
Ali S. Asani (2019, hal. 53) berpegang pada pendapat bahwa al-Qur’an secara esensi mendukung
pandangan tentang pluralitas. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, al-Qur’an juga ditafsirkan
oleh para kelompok eksklusif dengan tujuan-tujuan tertentu, seperti politik dan keagamaan.
Dikotomi antara pluralis al-Qur’an dan anti-pluralis al-Qur’an inilah yang kita pahami sebagai
kontradiksi dalam penggunaan ayat-ayat al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, ayat yang sering dirujuk untuk
menyatakan pluralitas adalah Q.S. Al-Hujurāt (49): 13.
3
Lebih Lanjut, ia mengatakan bahwa tujuan
diciptakannya keberagaman manusia adalah untuk saling mengetahui dan memahami. Tuhan tidak
menciptakan perbedaan ini sebagai sumber perpecahan, polarisasi, dan masalah. Apakah kita sadar
atau tidak, realitas ini adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada seluruh umat manusia (Asani, 2019,
hal. 54).
Tokoh lain yang cukup gencar menyuarakan pluralisme adalah Mun’im Sirry. Ia mencoba
menggali ide-ide tentang pluralisme dalam artikelnya yang berjudul “Compete with one another in good
3
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 76 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
works: Exegesis of Qur'an Verse 5.48 and contemporary Muslim discourses on religious pluralism”. Ia
menekankan kepada teori terbaru tentang hubungan antara teks dan pembacaannya. Menurutnya,
penafsiran merupakan suatu produk yang memiliki ruang dan waktunya sendiri. Dalam artikelnya,
ia mencoba membandingkan penafsiran Q.S. Al-Mā’idah (5):48
4
dari tiga tokoh yaitu Nurcholish
Majid, Ashgar Ali Engineer, dan Abdulaziz Sachedina. Mun’im berkesimpulan bahwa meskipun
pendekatan yang mereka gunakan berbeda, (Majid lebih menekankan kepada aspek teologis, Asghar
lebih menekankan aspek praktis, dan Sachedina lebih menekankan aspek politis) namun mereka
semua bersepakat bahwa Al-Qur’an menyajikan pluralisme agama sebagai misteri ilahi yang harus
diterima sebagai pemberian untuk memungkinkan kelancaran hubungan lintas komunitas dalam
kehidupan publik (Sirry, 2009, hal. 436).
Di sisi lain, terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang seakan-akan bertentangan dengan pandangan di
atas. Seperti contohnya Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19,
19
Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah
diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka.
Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-
Nya.
Q.S. Āli-‘Imrān (3): 85,
85
Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi.
Kedua ayat tersebut sering digunakan oleh kalangan eksklusif untuk menjustifikasi klaim
kebenaran yang dimilikinya. Kalangan eksklusif menggunakan cara pandang yang sempit sehingga
berimplikasi kepada bagaimana mereka menilai pandangan orang lain. Mereka sering menggunakan
standar yang dibuatnya sendiri dan digunakan untuk menghakimi pandangan yang lainnya. Seperti
misalnya, mereka memandang bahwa Islam adalah agama yang paling benar, sedangkan agama
lainnya tidak lain adalah hasil konstruksi manusia, atau berasal dari Tuhan tetapi sudah banyak
diselewengkan oleh pengikutnya sendiri (Bakar, 2016, hal. 47).
Pandangan eksklusif ini menurut Fatimah Husein dapat dikenali dengan tiga karakteristik yang
melekat kepadanya. Pertama, kalangan eksklusif memahami teks-teks dalam Islam yaitu al-Qur’an
dan Hadis secara literal. Hal ini berimplikasi kepada ide tentang ijtihad yang tidak penting bagi
konsep pemikiran mereka. Kedua, doktrin tentang Islam merupakan jalan satu-satunya untuk
menuju surga. Konsep keselamatan yang mereka gunakan sangat berbau Islam sentris sehingga
mereka melakukan problematisasi terhadap kitab suci umat lain atau bahkan menolaknya. Ketiga,
kesatuan antara Islam dan negara. Konsep ini sangat kuat dalam pemikiran kalangan eksklusif.
Mereka menganggap bahwa ajaran Islam sudah sangat sempurna, termasuk di dalamnya urusan
agama dan negara. Karakter terakhir ini didukung oleh kelompok-kelompok yang ingin menegakkan
Khilāfah Islāmiyyah (Philips, 2013, hal. 54–55).
4
Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang
membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 77 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Kedua pandangan di atas akan selalu berkontestasi dan mungkin masih banyak lagi ayat-ayat
yang bisa dijadikan sebagai alat justifikasi bagi masing-masing kelompok. Pertanyaannya adalah di
mana titik temu kita dalam konteks pluralitas Indonesia? Sejarah telah menunjukkan bahwa ide
pluralisme pernah dinyatakan haram oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dalam fatwanya tahun
2005. Latar belakang dari fatwa ini adalah adanya prasangka yang dibangun dari pemahaman bahwa
pluralisme agama yang dipromosikan telah menimbulkan keresahan di masyarakat karena
pandangan ini merelatifkan agama.
Menurut Munjid, pluralisme mengalami distorsi makna dan banyak orang yang salah paham
terhadap konsep ini dengan mengidentikkan pluralisme dengan relativisme. Dengan menggunakan
analisis filsafat moral, ia mengatakan bahwa di satu sisi, pluralisme bisa masuk ke dalam celah-celah
relativisme dalam kerangka epistemologinya. Di sisi lain, pluralisme juga bisa mengambil sikap yang
tegas dalam membuat batas yang menjadi ciri absolutisme (Munjid, 2009, hal. 39). Tantangan bagi
umat manusia saat ini adalah kesadaran bahwa kita semua memiliki kepercayaan. Kompetisi yang
kita jalani seharusnya tidak menjadikan kita saling bertengkar antara satu dengan lainnya. Semua
orang yang memiliki kepercayaan harus saling menghormati dan percaya pada semua wahyu Tuhan
(Ayoub, 2014, hal. 28).
Al-Qur’an menggunakan cara-cara yang cukup progresif ketika memandang pluralisme agama.
Ia mengklaim eksistensi dari kitab suci sebelumnya khususnya Taurat, Injil, dan Zabur. Hal ini
dinyatakan dalam Q.S. Al-Baqarah )2 ( : 62,
62
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan
melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada
mereka, dan mereka tidak bersedih hati.
Q.S. Al-Mā’idah )5(: 69 :
(69 )
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, Sabiin, dan orang-orang
Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada hari kemudian, dan berbuat kebajikan,
maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.
Kedua ayat tersebut menunjukkan pluralitas agama dan juga pluralitas kitab suci lainnya. Selain
itu, pluralitas agama dan kitab suci juga dapat diinisiasikan dari banyaknya jumlah nabi dan rasul
yang saling mengikuti antara satu dengan yang lainnya semenjak nabi Adam hingga nabi
Muhammad (Iqbal, 2018). Ini menunjukkan sebuah rangkaian yang menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sejarah manusia, menurut pandangan al-Qur’an merupakan sejarah kenabian. Dalam realitasnya,
sejarah kenabian merupakan sejarah tuntunan umat manusia kepada Tuhan melalui misi yang
dilakukan oleh nabi dan Rasul (Ayoub, 2014, hal. 22–24).
3. Pergulatan Konsep Pluralisme dalam Kristen
Dalam teologi Kristen, wacana tentang pluralisme juga menjadi isu yang cukup diperdebatkan
dalam teologi mereka. Seperti yang penulis sampaikan di pendahuluan yaitu adanya perbedaan
antara aspek universalitas dan partikularitas dalam hal keselamatan. Bagaimana memahami problem
demikian? Bagaimana perdebatan konsep pluralisme dalam Kristen? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan dieskplorasi lebih dalam di bagian ini.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 78 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Beberapa tema yang menjadikan teologi Kristen terlihat eksklusif adalah isu kristologi
5
,
soteriologi
6
, dan ekklesiologi.
7
Sebagai bagian yang penting dalam teologi Kristen, ketiga konsep
tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Seperti misalnya, ketika konsep
kristologi terkesan eksklusif, maka konsep tersebut akan berdampak pula pada konsep soteriologi.
Rujukan yang sering digunakan adalah umat Kristen percaya bahwa Kristus adalah satu-satunya
jalan keselamatan (Yoh. 3:16-17). Tidak ada jalan lain kecuali di dalam Kristus, di mana manusia
memperoleh keselamatan di dalam Tuhan (Kis. 4:12; 16:30-31). Pemahaman seperti ini selanjutnya
diikuti dengan upaya-upaya untuk melakukan Kristenisasi agar banyak orang yang lebih percaya
kepada Kristus. Hal ini juga merupakan “Amanat Agung” yang dipegang teguh oleh umat Kristen
(Objantoro, 2016, hal. 64–68).
Tafsir tentang “Amanat Agung” yang secara tekstual dipahami sebagai suatu misi yang agresif
untuk memberitakan Injil dipahami dengan lebih terbuka oleh Listiabudi. Ia menggunakan analisis
dari Soares-Prabhu yang merupakan seorang teolog asal India dan menulis artikel terkenal berjudul
“Two Mission Commands: An Interpretation of Matthew 28:16-20 in the Light of a Buddhist Text”. Pada
intinya, tulisan ini mencoba untuk membandingkan dua teks perintah dari tradisi Kristen dan
Buddhis. Kesimpulan dari artikel ini menunjukkan bahwa teks Buddhis berhasil mengiluminasi teks
Injil, khususnya teks Matius. Sebenarnya pembacaan ini merupakan “cross-religious reading” yang
mengarah kepada kerja intertekstualitas yang lebih memperkaya pemahaman dengan cara
beinteraksi dengan teks dari tradisi agama lain (Listijabudi, 2018, hal. 222–227).
Semangat ini diperkuat oleh argumentasi yang diajukan oleh Paul Knitter. Ia mengusulkan
perubahan paradigma yang disebut dengan posisi pluralis. Pandangan ini merupakan sebuah upaya
untuk meninggalkan paham yang menekankan pada superioritas dan finalitas Kristus. Pertanyaan
menarik yang ia sampaikan adalah “How might assertions about “the only Savior” or “the highest
enlightenment” or “the final revelation” be understood and reformulated so that each religious community can
make room for other communities in today’s pluralistic community and religions?” (Knitter 2005).
Pertanyaan ini sangat relevan untuk ditanyakan dalam konteks kehidupan bernegara di Indonesia
(Afsaruddin, 2009, hal. 333).
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Arya Susanti (2017, hal. 87) mengkaji
tentang relevansi finalitas Kristus bagi teologi al-Kitab dan bagi kehidupan orang-orang Kristen di
tengah-tengah kehidupan majemuk bangsa Indonesia. Ia mengatakan bahwa relevansi finalitas
Kristus dengan beberapa pertimbangan waktu, pengajaran, dan sejarah kehidupan menjadikan
finalitas Kristus berlaku untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Selain itu, dalam konteks pluralitas
bangsa ini, maka toleransi dan dialog menjadi kata kunci sebagai representasi dari konsep “kasih”
dalam agama Kristen. Konsep tentang relevansi finalitas Kristus dalam setiap zaman dan waktu ini
memiliki semangat yang sama dengan al-Qur’an yang dipedomani oleh umat Islam. Menurut
penulis, kedua semangat ini merupakan potensi besar untuk membangun kehidupan bersama.
Artinya, jikalau kedua agama ini memiliki klaim yang sama, maka mereka punya nilai-nilai universal
yang sama untuk memperbaiki kehidupan dari waktu ke waktu.
Konsep pluralisme dalam agama Kristen juga menuai banyak kritikan dari para penganutnya.
Seperti yang dikatakan oleh Stevri I. Lumintang, pluralisme merupakan ancaman bagi agama Kristen,
Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. Karena
pluralisme bukan sekedar konsep sosiologis, antropologis, melainkan konsep filsafat agama
yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh
tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh kemajemukan
etnis, budaya dan agama; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme
yang mengiringinya (Lumintang, 2004, hal. 15).
5
Kristologi merupakan paham yang meyakini bahwa Kristus adalah pribadi yang sempurna. Ia memiliki posisi yang
unik dan istimewa di kalangan umat Kristen.
6
Soteriologi merupakan paham yang meyakini bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan.
7
Ekklesiologi merupakan paham yang meyakini otoritas gereja sebagai otoritas tertinggi. Doktrin tentang gereja
berperan penting dalam hidup orang-orang yang percaya
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 79 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Pandangan pluralisme ini berpijak pada teologi liberal. Kaum pluralis memberikan kritik yang
tajam terhadap proses pewahyuan al-Kitab. Mereka berpendapat bahwa penulisan al-Kitab
merupakan hasil pemahaman atau interpretasi dari para penulisnya (Soesilo, 2011, hal. 5). Terdapat
banyak versi pemahaman terkait dengan kapan dan bagaimana awal mula munculnya ide tentang
hermeneutika. Pandangan di atas merupakan salah satu versi dari munculnya ide-ide tentang
hermeneutika. Sebagaimana yang kita pahami secara seksama bahwa ide hermeneutika merupakan
suatu tradisi penafsiran yang muncul dari Kristen.
Dalam pendahuluan, saya telah menyinggung sedikit tentang hermeneutika Asia. Di sini,
Yudhak Soesilo (2011, hal. 8) mengatakan bahwa konsep pluralisme di Indonesia harus dipahami
dalam model berpikir pemikir-pemikir pluralis Asia. Terdapat kesamaan argumentasi yang
mendasar antara kerja hermeneutika Asia dan pluralisme Asia. Keduanya sama-sama berangkat dari
situasi kemajukan dalam hal agama, budaya, politik, dan ekonomi. Menurut penulis, semangat yang
sama ini bisa dikolaborasikan bersama dalam rangka membaca kitab suci dalam konteks
keberagaman Indonesia. Salah satu yang diusulkan oleh tokoh Pluralis Asia yaitu teologi
transposisional. Transposisi bisa dipahami sebagai pergeseran ruang dan waktu, komunikasi, dan
inkarnasi (Song, 2008, hal. 7–17). Salah satu pandangan teologi transposisional yaitu konsep
keselamatan yang sangat terbuka. Jika keselamatan itu berasal dari Tuhan, maka mengakui
keselamatan yang lainnya seharusnya juga terbuka. Hal ini sesuai dengan Efesus (Ephesians) 2: 8-9.
8
Pandangan di atas berhadapan dengan beberapa tokoh eksklusif seperti Samuel Zwemer,
Hendrik Kraemer, and Lesslie Newbigin yang mengikuti salah satu konsep berpikir dari Aristoteles
yaitu kebenaran hanyalah satu dan tidak banyak. Kelompok Eksklusif menganggap bahwa semua
klaim religius selain Kristen adalah salah dan tidak valid. Mereka berpegang pada pendapat bahwa
keselematan hanya melalui Yesus semata. Pandangan ini bermula dari pemahaman terhadap Bible
sebagai satu-satunya sumber spiritualitas dan keselamatan (Marbaniang, 2007, hal. 6–7). Pandangan
ini didukung oleh beberapa ayat dalam Bible seperti Kisah Para Rasul (Acts) 4: 12
9
, Kisah Para Rasul
(Acts) 16: 30-31
10
, and Yohanes (John) 14: 6.
11
Selain itu, pandangan di atas juga di dukung dengan
ekspresi yang terungkap dalam kalimat “Extra Ecclesiam mulla salus” (No salvation outside the Church)
(Philips, 2013, hal. 52).
Dua tokoh lain yang memiliki pandangan tentang eksklusivisme adalah Karl Barth dan Hendrik
Kraemer. Karl Barth mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan tentang Tuhan yang dapat
ditemukan diluar Yesus. Sedangkan Hendrik Kraemer mengatakan bahwa Tuhan bisa saja
memberikan wahyu diluar Kristen, tetapi kebenaran hanya bisa ditafsirkan melalui Yesus.
Pandangan Barth menurut Knitter dapat dikategorikan sebagai “the conservative evangelical model”.
Sedangkan pandangan Hendrik Kraemer sedikit lebih moderat meskipun pada akhirnya tetap
berpegang pada eksklusivisme. Ada dua hal yang mendasari konsep teologi eksklusif Barth. Pertama,
berkembangnya pengaruh dari relativisme di setiap bidang keilmuan termasuk teologi. Kedua,
hilangnya hak setiap agama sebagai “sole interpreter of the universe” karena disebabkan oleh kesamaan
agama-agama (Philips, 2013, hal. 52–53).
Ada kesamaan kritik terhadap konsep pluralisme dalam Islam dan Kristen, yaitu relativisme.
Kritik ini memandang pluralisme sebagai konsep yang merelatifkan agama-agama. Namun, kalangan
pluralis juga membela diri dengan mengatakan pluralisme tidak sama dengan relativisme. Diskusi di
atas menunjukkan bagaimana pergulatan konsep tentang pluralisme terjadi. Masing-masing
kelompok memiliki argumentasi yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Lalu
pertanyaannya adalah bisakah kita menafsirkan ayat-ayat dalam Bible yang eksklusif dengan cara
8
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu
bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.
9
Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada
nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.
10
Ia mengantar mereka keluar, sambal berkata: “Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?”
Jawab mereka: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Krsitus dan engkau akan selamat, engkau dan sisi rumahmu.”
11
Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui aku.”
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 80 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
yang inklusif? Pertanyaan ini penulis ungkapkan karena argumentasi yang digunakan oleh kalangan
eksklusif juga didukung oleh ayat-ayat yang ada di dalam Bible. Untuk itu, pada bagian selanjutnya
penulis akan mencoba menggunakan pendekatan hermeneutika untuk menafsirkan sebuah ayat
dalam Bible yang bernada eksklusif.
4. Metode Hermeneutika: Upaya Memahami Ayat-ayat Eksklusif dengan Lebih Terbuka
Setelah membahas tentang diskusi, kontestasi, dan juga argumentasi dari masing-masing agama
terhadap konsep pluralisme, pada bagian ini penulis akan mencoba untuk mengaplikasikan metode
hermeneutika untuk membaca teks-teks yang berbunyi eksklusif. Penulis tidak menggunakan
metode hermeneutika yang sama dalam mengkaji kedua kitab suci tersebut dengan dua alasan.
Pertama, karena adanya konsep teologis yang berbeda dalam masing-masing kitab suci. Kedua, para
sarjana sudah menyesuaikan metode yang digunakannya sesuai dengan karakteristik masing-masing
kitab suci.
Ada dua teks yang akan dikaji pada bagian ini. Pertama adalah teks al-Qur’an yaitu Q.S. Āli-
‘Imrān (3): 19 dan kedua adalah teks Injil yaitu Yohanes (14): 6. Secara umum, kedua ayat ini
digunakan karena mengindikasikan pandangan eksklusif. Dalam al-Qur’an, ayat tersebut secara
tekstual menyatakan bahwa agama di sisi Allah adalah Islam. Sedangkan dalam Injil, ayat tersebut
juga mengindikasikan pandangan eksklusif karena menyatakan bahwa Yesus adalah satu-satunya
jalan kebenaran. Kedua teks tersebut sama-sama mengklaim kebenaran yang mereka miliki. Maka
dari itu, bagian ini akan mencoba untuk melakukan interpretasi untuk memahami kedua ayat di atas
dengan lebih terbuka dan berbeda dengan pandangan eksklusif.
Adapun metode hermeneutika yang digunakan untuk memahami teks al-Qur’an adalah metode
yang ditawarkan oleh Sahiron Syamsuddin yaitu Ma’nā-Cum-Maghzā. Ada dua prinsip yang
digunakan dalam pendekatan ini. Pertama, penafsir harus memperhatikan makna asli dari sebuah
teks (al-Qur’an) sebagaimana makna ini dipahami oleh audiens pada saat al-Qur’an diturunkan
(Ma’nā). Kedua, mengembangkan signifikansi teks ke dalam situasi kontemporer saat ini (Maghzā).
Pendekatan ini juga mensyaratkan untuk memahami konteks historis dari ayat tersebut. Dalam Islam,
tradisi ini disebut dengan Asbāb al-Nuzūl (latar belakang turunnya ayat). Jadi, intinya ada dua hal
yang harus dilakukan, yaitu analisis bahasa dari ayat yang dikaji dan konteks sosio-historis ayat
tersebut yang digunakan untuk memahami makna historis yang selanjutnya dapat memberikan
makna yang baru (Syamsuddin, 2018, hal. 69–72).
Sedangkan untuk memahami Yohanes (14): 6, penulis menggunakan pendekatan ideologis
(ideological approach). Pendekatan ini memiliki peran yang sangat penting dalam pembebasan teologi
(liberation theologies) dan pembacaan teks-teks (materialist readings) Injil. Pendekatan Ideologis
terhadap Injil mensyaratkan dua hal yang harus dipahami yaitu “(1) to read the ancient biblical stories
for their ideological content and mode of production and (2) to grasp the ideological character of contemporary
reading strategies” (Aichele, 1995, hal. 277). Sebenarnya pendekatan ini mengindikasikan bahwa setiap
elemen dari hermeneutika (text, author, and reader) memiliki ideologi. Hubungan antara ketiganya
tidak pernah murni dan bebas dari ideologi. Artinya, selalu ada bias baik itu dari sisi pengarangnya,
teks itu sendiri dan juga pembaca.
Pendekatan ini dapat menjadi sebuah jembatan antara kritik sastra dan kritik budaya. Ia tidak
datang dari sesuatu yang seragam, tetapi ia datang dari berbagai macam suara, bahasa, dan juga
menggunakan berbagai macam pendekatan ilmu (psychoanalytic theory, cultural criticism,
sociolinguistics, subaltern studies, feminist theory) (Aichele, 1995, hal. 280). Selain itu, pendekatan ini juga
tidak bisa terhindar dari ketegangan pembacaan (resistance reading). Pembacaan ini menunjukkan
kepada keterbukaan pada suatu teks dan konsekuensinya adalah tidak ada makna yang absolut. Hal
ini mendukung diktum dari Bultmann yang mengatakan “there are no presuppositionless readings of the
New Testament. Resistant readings are always shaped by political interest” (Aichele, 1995, hal. 302). Untuk
memahami Yohanes (14): 6, penulis hanya fokus kepada pertanyaan, siapa yang menulis teks ini?
Dan untuk tujuan apa? Pertanyaan tersebut akan mengantarkan kepada pemahaman ideologi penulis
teks tersebut dan juga terhadap teks itu sendiri.
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 81 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19
Penulis hanya akan fokus terhadap makna Dīn dan Islām yang terdapat dalam ayat ini.
Perbedaan penafsiran terhadap kata tersebut sering terjadi. Terutama tentang bagaimana cara
menafsirkan kata Dīn dan Islām dengan pemahaman yang lebih inklusif. Secara umum, ayat ini
seringkali ditafsirkan bahwa Islam merupakan agama yang paling benar di sisi Allah dan
disyariatkan kepada Nabi Muhammad. Untuk itu, penulis akan mencoba memahami ayat ini dengan
menggunakan metode Ma’nā-Cum-Maghzā. Pertama, kita harus menuju kepada makna asli dari kata
Dīn dan Islām. Kata Dīn bemakna agama dan juga dapat dipahami dengan Millah. Sedangkan kata
Islām bermakna tunduk atau berserah diri. Ibnu ‘Asyūr, salah seorang penafsir modern menafsirkan
kata Islam dengan ketaatan total manusia terhadap perintah Tuhan (Syamsuddin, 2018, hal. 74).
Dalam analisis sinonimitas, kata Dīn bermakna Millah dan Syarī’ah. Secara umum, ketiganya
memiliki makna yang sama jika ditinjau dalam aspek taklīf (beban tanggung jawab manusia kepada
Tuhan). Teori sinonimitas merupakan sebuah analisis linguistik yang menunjukkan kepada
hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan arti antara satu kesatuan ujaran dengan
ujaran lainnya. Jadi, relasi makna sinonimi merujuk pada konteks sinonimitas dalam pengambilan
maknanya. Prinsip dari teori ini adalah ayat-ayat yang mengandung unsur sinonim tidak bisa
dipertentangkan karena makna dari ketiga kata di atas bisa disubtitusikan antara satu dengan yang
lainnya (Nurhadi, Hadi, Thoyib, & Suhandano, 2013, hal. 65–66).
Analisis sinonimitas ini sangat membantu dalam memahami ayat-ayat yang tampak saling
bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Seperti misalnya, sinonimitas kata Dīn dalam ayat ini
dengan kata Syarī’ah dalam Q.S. Al-Mā’idah (5): 48 yang menuntut pemaknaan kata Islām dalam ayat
ini kepada makna generiknya yaitu tunduk atau berserah diri, bukan dimaknai sebagai Islam dalam
pengertian institusionalized religion. Jadi, Dīn di sisi Allah hanyalah tunduk dan berserah diri.
Sedangkan Syarī’ah yang diciptakan kepada setiap umat juga disebut dengan Dīn. Pemahaman kata
Dīn dengan analisis ini akan menimbulkan hubungan ketersalingan dengan Q.S. Al-Mā’idah (5): 48
(Nurhadi et al., 2013, hal. 66).
Pemahaman dengan menggunakan teori sinonimitas ini bisa menghadirkan pandangan Islam
yang inklusif. Dalam aspek keselamatan, pemahaman ini mengindikasikan bahwa surga tidak
dimonopoli bagi beberapa kelompok saja, tetapi ia dimiliki oleh semua yang tunduk kepada Allah.
Hal ini sesuai dengan Q.S. Al-Baqarah (2): 62 yang dipahami dengan semua penganut agama ilahiah
(yang diwahyukan Tuhan), apabila mereka beriman pada Allah dan hari akhir dengan cara yang
benar, mereka akan mendapatkan keselamatan dan mendapat balasan di sisi Allah. Jadi, keselamatan
tidak berdasarkan pada jenis agamanya, tapi tergantung pada iman dan amalnya.
Pemahaman seperti ini menjadi cukup signifikan jika ditinjau dari sisi pluralitas masyarakat
Indonesia. Umat Islam membutuhkan teologi Islam pluralis yang bisa menangani problem klaim
kebenaran agama. Teori sinonimitas yang dijelaskan di atas juga membantu untuk menghindarkan
pertentangan antar ayat bahkan bisa menafsirkan antara ayat yang dipandang eksklusif dengan ayat
yang inklusif. Jadi signifikansi (Maghzā) dari ayat ini adalah semua yang berserah diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan melakukan perbuatan baik akan selamat.
Yohanes (14): 6
Untuk memahami teks ini, penulis memfokuskan kepada dua hal yaitu sejarah penulisnya dan
juga konteks ketika ia menulis teks ini. Dua hal tersebut diharapkan bisa digunakan untuk
memahami ideologi dari penulis dan juga ideologi teks. Tidak ada informasi yang mutlak tentang
siapa yang menulis dan kapan teks ini ditulis. Ada yang berpendapat bahwa teks ini ditulis oleh
Rasul Yohanes (the Apostle John). Namun, para ahli Perjanjian Baru modern membantah hal tersebut.
Menurut mereka, teks ini ditulis oleh para pengikut atau murid Yohanes. Mereka berargumen bahwa
teks ini ditulis pada akhir abad pertama. Pada masa ini, Yohanes telah wafat. Selain tu, dalam kajian
Perjanjian baru juga dikenal istilah pseudepigraphy. Istilah ini merujuk kepada karya yang dikaitkan
secara keliru atau teks yang pengarangnya bukan pengarang yang sebenarnya. Bagaimamapun, pada
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 82 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
dasarnya teks ini adalah catatan yang terilhami dari kehidupan Yesus. Tujuan utama catatannya
adalah untuk memberikan bukti bahwa Yesus Kristus adalah figur yang harus kita percayai untuk
diselamatkan (Aquinas, 2012, hal. 9–10).
Dibandingkan dengan ketiga injil lainnya yaitu injil-injil Sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas),
Injil Yohanes mendeskripsikan Yesus sebagai pribadi yang agak misterius dan diliputi dengan
sentuhan mistik. Penulis buku ini sangat menyukai istilah hidup kekal. Salah satu perbedaan yang
mencolok antara Injil Sinoptik dan Injil Yohanes adalah Injil Sinoptik lebih menekankan kepada
pewartaan tentang kerajaan Allah, sedangkan Injil Yohanes menekankan kepada Yesus itu sendiri.
Pribadi Yesus ditafsirkan dengan cara-cara yang berbeda dengan pemahaman injil-injil Sinoptik.
Seperti contohnya, penulis Injil Yohanes menjelaskan Yesus dengan ucapan-ucapan yang diucapkan
oleh Yesus sendiri. Ciri-cirinya adalah adanya tujuh perkataan Yesus yang mengatakan “aku
adalah”.
12
Konteks situasi yang penting untuk dilihat adalah Injil Yohanes sangat berkaitan dengan situasi
ketika masyarakat Yahudi mengucilkan orang-orang Kristen keturunan Yahudi. Situasi ini juga
memungkinkan komunitas Yohanes terdiri dari orang-orang dengan latar belakang Yahudi diaspora.
Berhadapan dengan situasi seperti ini, maka komunitas ini membutuhkan kekuatan untuk
mengukuhkan kesatuan diantara mereka sendiri yaitu persatuan iman terhadap Yesus. Kondisi ini
sejalan dengan tujuan ditulisnya Injil Yohanes dan juga sejalan dengan karakter-karakter yang
melekat dalam Injil ini. Penjelasan singkat di atas paling tidak bisa menjawab pertanyaan yang
diusulkan yaitu siapa yang menulis kitab ini dan untuk tujuan apa.
Selanjutnya, penulis akan mencoba memahami dari sisi penafsiran terhadap ayat ini sendiri.
Teks ini berbunyi, Kata Yesus kepadanya: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun
yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui aku.” Kata “jalan” ternyata memiliki penafsiran yang cukup
beragam. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata ini dipahami sebagai jalan untuk mencapai
surga. Pendapat ini kemungkinan benar jika dipahami oleh pengikut Yohanes dengan sudut pandang
mistik. Kemungkinan latar belakang lainnya mengatakan bahwa kata “jalan” bermakna Highway to
Zion. Hal ini cukup masuk akal karena referensi sebelumnya menunjukkan bahwa “jalan” dalam
konteks ini menyatakan suatu eksodus baru, yang dengannya Allah akan mengembalikan umatnya
ke tanah suci. Dalam tradisi Biblikal, khususnya tentang kebijaksanaan, “jalan” dipahami sebagai
jalan kebajikan dan kebijaksanaan. Sumber-sumber Yahudi awal juga menunjukkan kata tersebut
kepada kelakukan (tindak-tanduk) (Keener, 2003, hal. 940).
Kata “kebenaran” dan “hidup” berfungsi untuk sekedar mengklarifikasi kata “jalan”. Kebenaran
dalam tradisi yahudi dipahami sebagai moral integrity. Sedangkan kehidupan di pahami sebagai way
of behavior. Kemunculan klaim ini dalam Injil keempat tidak bisa dilepaskan dari polemik terhadap
orang-orang Yahudi, khususnya politik agama Yahudi dan para elit keagamaan (the Jewish political
and religious elite). Secara etnis, pada mulanya orang-orang Kristen adalah universalis. Konteks ini
sangat penting untuk dipahami karena berkaitan dengan bagaimana menafsirkan teks ini secara lebih
terbuka. Bagaimanapun, teks yang secara literal eksklusif ini tidak menutup kemungkinan adanya
jalan lain. Klaim ini lebih bersifat universal (Keener, 2003, hal. 943).
5. Inter-Religious Hospitality: Cara Baru Memahami Pluralisme dalam Konteks Indonesia
Dua penafsiran di atas merupakan contoh bagaimana menafsirkan ayat-ayat yang secara literal
berbunyi eksklusif dengan cara yang inklusif. Beberapa sarjana dalam masing-masing agama sudah
banyak yang mencoba memahami ayat-ayat yang secara literal ekslusif menjadi lebih inklusif dengan
metode hermeneutika. Tetapi, apa yang mereka lakukan banyak menuai kritikan dari berbagai
macam kalangan. Hal ini karena pemahaman yang mereka gunakan bisa dikatakan sebagai sesuatu
yang berbeda dengan kebiasaan yang dianut (out of the box). Model pemahaman di atas menjadi opsi
pertama yang bisa digunakan sebagai wacana untuk memahami isu pluralisme. Pada bagian ini,
12
Yohanes 6: 35, 8: 12, 10: 7, 10: 11, 11: 25, 14: 6, dan 15: 1
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 83 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
penulis akan mengekplorasi opsi kedua yang bisa digunakan sebagai wacana lain untuk memahami
pluralisme yaitu dengan metode inter-religious hospitality (keramahtamahan lintas-agama).
Hal penting yang perlu dipahami dalam konteks inter-religious hospitality adalah bahwa setiap
teks memiliki dunianya sendiri. Ia memiliki tradisi yang spesifik dan tentunya juga memiliki
pandangan dunia (world view) yang khas. Inilah yang harus dipahami ketika menjumpai adanya
perbedaan. Dalam konteks ini, perbedaan-perbedaan yang muncul tidak digunakan sebagai alat
untuk melemahkan yang lain. Tetapi, perbedaan ini seharusnya mampu menjadi suatu kekuatan
yang mempersatukan. Hal ini harus didasari kepada kesadaran bahwa pihak lain (religious other) juga
memiliki kebanggaan dan keyakinan, komitmen iman, dan tradisi religiusnya sendiri (Moyaert, 2011,
hal. 235).
Pihak lain (religious other) tidak dipahami sebagai orang miskin (orang yang membutuhkan),
tetapi pihak lain dipandang sebagai orang yang kaya. Orang kaya memiliki sesuatu yang bisa
dibagikan kepada yang lainnya. Jadi, mereka hanya meminta kita untuk menerima pemberiannya
dengan ramah dan mendengar serta memahami maksud yang mereka inginkan. Satu hal yang
menjadi motivasi penting bagi dialog lintas-iman adalah pengalaman keberagaman agama sebagai
sumber kekayaan spiritual dan moral (Moyaert, 2011, hal. 265). Gambaran di atas sangat tepat jika
digunakan pada opsi kedua dalam memahami kedua teks dalam al-Qur’an dan Bible. Kita bisa
memahami kedua ayat tersebut tanpa harus melakukan penafsiran yang terbuka. Yang perlu
dilakukan adalah diri kitalah yang harus membuka diri. Dengan demikian, kita tidak akan memiliki
masalah dengan keimanan masing-masing.
Tentu ada konsekuensi-konsekuensi yang harus kita hadapi ketika kita membuka ruang bagi
yang lain. Maka dari itu, kita harus siap dengan teologi dalam diri kita sendiri. Usaha ini
membutuhkan keseriusan untuk membentuk teologi yang valid. Resiko yang terjadi ketika
melakukan dialog lintas-iman seharusnya tidak menjadikan kita tidak peduli, pasif, atau bahkan
menghindar darinya. Sebaliknya, kita harus mengolah ketegangan yang terjadi secara dialektis. Kita
dapat memperjuangkan koneksi mutual untuk mengembangkan pemahaman dan berdialog dengan
cara berkomitmen dengan keimanan kita masing-masing dan terbuka terhadap pihak lainnya
(Listijabudi, 2019, hal. 83). Ide ini mirip dengan gagasan yang disampaikan oleh Calvin E. Shenk
tentang simbiosis agama. Ia juga menawarkan paradigma dialog antar agama. Gagasan ini di satu sisi
menekankan kepada praksis kesaksian iman, namun di sisi lain gagasan ini juga tidak bisa
mengabaikan bahwa setiap agama saling membutuhkan (Parihala & Sapteno, 2020, hal. 113).
Pemahaman di atas seharusnya bisa diterima oleh masyarakat luas. Dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, keterbukaan terhadap pihak lain sangat dibutuhkan. Inter-
religious hospitality telah menunjukkan bahwa kita bisa berkomitmen dengan keimanan kita masing-
masing sekaligus memahami keimanan pihak lain. Penulis yakin model dialog seperti ini akan
menjadikan keragaman di Indonesia semakin solid, aman, dan tercipta kehidupan yang damai.
6. Kesimpulan
Wacana pluralisme bukan sesuatu yang baru dalam diskusi teologi agama-agama. Pembahasan
di atas menunjukkan bahwa wacana ini selalu menjadi perdebatan yang cukup sengit dalam agama
Islam dan Kristen. Artikel ini berusaha untuk memunculkan kembali wacana tentang pluralisme
dalam sudut pandang inter-religious hermeneutics. Perspektif ini digunakan karena masing-masing
kitab suci memiliki pengalaman yang sama yaitu realitas sosio-politik dan keberagaman agama.
Pengalaman tersebut akan menunjukkan kepada hubungan keterlasingan ketika digunakan dalam
konteks Indonesia. Ada dua opsi yang bisa digunakan dalam wacana pluralisme ini. Pertama,
menafsirkan ayat-ayat yang secara literal eksklusif dengan cara yang inklusif. Opsi pertama ini
menggunakan metode hermeneutika untuk mengungkap makna-makna yang ada di balik kedua
kitab suci tersebut. Hasilnya adalah ayat-ayat-eksklusif dalam kedua kitab suci tersebut bisa
dipahami secara inklusif dan berbeda dengan makna literalnya. Opsi kedua menggunakan metode
inter-religious hospitality (keramahtamahan lintas-iman). Metode ini lebih menekankan kepada diri
kita sendiri yang harus membuka diri. Karena teks pada dasarnya memiliki dunia sendiri dan
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 84 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
keunikannya sendiri. Jadi, ayat-ayat yang secara literal berbunyi eksklusif tersebut bisa dipahami
dengan apa adanya tetapi tidak membatasi kita untuk melakukan dialog dengan yang lainnya.
Metode ini menunjukkan bahwa kita bisa berkomitmen dengan keimanan kita masing-masing di satu
sisi, dan kita juga bisa berdialog dengan yang lainnya.
Referensi
Afsaruddin, A. (2009). The Hermeneutics of Inter-Faith Relations: Retrieving Moderation and Pluralism as
Universal Principles in Qur’anic Exegeses. Journal of Religious Ethics, 37(2), 331–354.
https://doi.org/10.1111/j.1467-9795.2009.00389.x
Aichele, G. (1995). The Postmodern Bible. New York: Yale University.
Aquinas, T. (2012). Commentary on the Gospel of John. https://doi.org/10.2307/j.ctt31nk8p
Asani, A. S. (2019). The Phi Beta Kappa Society. In The Grants Register 2019 (Vol. 71, hal. 595–595).
https://doi.org/10.1007/978-1-349-95810-8_953
Ayoub, M. (2014). Religious Pluralism and The Qur’an. In I. Yusuf (Ed.), Asean Religious Pluralism. Bangkok:
Konrad-Adenauer-Stiftung Thailand Office.
Bakar, A. (2016). Argumen Al- Qur’an tentang Eklusivisme, Inklusivisme, dan Pluralisme. Toleransi: Media
Komunikasi Umat Beragama, 8(1), 43–60.
Borrmans, M. (1989). Future prospects for Muslim‐Christian coexistence in non‐Islamic countries in light of past
experience. Institute of Muslim Minority Affairs. Journal, 10(1), 50–62.
https://doi.org/10.1080/02666958908716101
D’Costa, G. (2005). Theology of Religions. In D. F. Ford (Ed.), The Modern Theologians (3 ed., hal. 626–644).
https://doi.org/10.1111/dial.12406
Doumanis, N. (2012). Before the nation: Muslim-Christian coexistence and its destruction in late-Ottoman Anatolia.
Oxford: OUP Oxford.
Iqbal, A. M. (2018). People of the Book dan Gagasan Pluralisme Keagamaan dalam Alquran. Wawasan: Jurnal
Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 3(2), 140–159. https://doi.org/10.15575/jw.v3i2.3582
Kalay, N. S. (2019). Kristologi “Logos” dan Konteks Pluralisme Agama. Kenosis: Jurnal Kajian Teologi, 1(2), 108–
128. https://doi.org/10.37196/kenosis.v1i2.24
Keener, C. S. (2003). The Gospel of John A Commentary. United States of America: Hendrickson Publishers.
Knitter, P. F. (2005). Introduction. In P. F. Knitter (Ed.), The Myth of Religious Superiority: Multifaith Explorations of
Religious. United States of America: Orbis Books, Maryknoll, New York.
Listijabudi, D. K. (2018). Pembacaan Lintas Tekstual: Tantangan Ber-Hermeneutik Alkitab Asia (1). Gema
Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, 3(2), 207. https://doi.org/10.21460/gema.2018.32.411
Listijabudi, D. K. (2019). Pembacaan Lintas Tekstual: Tantangan Ber-Hermeneutik Alkitab Asia (2). Gema
Teologika: Jurnal Teologi Kontekstual dan Filsafat Keilahian, 4(1), 73–100.
https://doi.org/10.21460/gema.2019.41.412
Lumintang, S. I. (2004). Theologia abu-abu: pluralisme agama: tantangan & ancaman racun pluralisme dalam teologi
Kristen masa kini. Malang: Gandum Mas.
Marbaniang, D. (2007). Theology of Religion: Pluralism, Inclusivism, Exclusivism. Manila.
Moyaert, M. (2011). Summary for Policymakers. In Intergovernmental Panel on Climate Change (Ed.), Climate
Change 2013 - The Physical Science Basis (Vol. 53, hal. 1–30). https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Munjid, A. (2009). Mengurai Tumpang-Tindih Pluralisme dan Relativisme. In H. M. dan K. Anwar (Ed.), Prospek
Pluralisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei.
Nurhadi, R., Hadi, S., Thoyib, I. M., & Suhandano, S. (2013). Dialektika Inklusivisme Dan Eksklusivisme Islam
Kajian Semantik Terhadap Tafsir Al-Quran Tentang Hubungan Antaragama. Jurnal Kawistara, 3(1), 58–67.
https://doi.org/10.22146/kawistara.3961
Objantoro, E. (2016). Pluralisme agama-agama: Tantangan bagi teologi Kristen. Jurnal Simpson: Jurnal Teologi dan
Pendidikan Agama Kristen, 1(1), 61–80.
Parihala, Y., & Sapteno, K. (2020). Dari Kesaksian Iman ke Simbiosis Agama: Meninjau Konsep Dialog Calvin E.
Shenk Bagi Perjumpaan Islam-Kristen di Maluku. Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya,
4(2), 103–114. https://doi.org/10.15575/rjsalb.v4i2.8250
Philips, G. (2013). Beyond Pluralism Open Integrity As a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue (1 ed.; E. J.
Sarapung, ed.). Yogyakarta: Interfidei.
Rahman, K., & Akram, M. (2020). Christian-Muslim Coexistence in Peshawar City. Asian Social Science, 16(4), 30.
https://doi.org/10.5539/ass.v16n4p30
Riesebrodt, M. (2010). The Promise of Salvation: A Theory of Religion. United States of America: The University of
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 85 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Chicago Press.
Sirry, M. (2009). Compete with one another in good works: Exegesis of Qur’an Verse 5.48 and contemporary
muslim discourses on religious pluralism. Islam and Christian-Muslim Relations, 20(4), 423–438.
https://doi.org/10.1080/09596410903194886
Soesilo, Y. (2011). Gereja dan Pluralisme Agama dalam Konteks di Indonesia. Jurnal Antusias, 1(2), 81–93.
Song, C. (2008). Allah yang Turut Menderita (6 ed.). Jakarta: Gunung Mulia.
Sterkens, C. J. A., Hermans, C. A. M., & Van der Ven, J. A. (1998). Theories about the Relationship Between
Religions in Religious Education. In C. Sterkens & A. Ploeger (Ed.), Education into Realms of Meaning in a
Plural Society. Kampen: Kok.
Susanti, A. (2017). Relevansi Finalitas Kristus Di Tengah-Tengah Arus Pluralisme Dan Pluralitas Masyarakat
Indonesia. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili dan Pembinaan Warga Jemaat, 1(1), 85–102.
https://doi.org/10.46445/ejti.v1i1.65
Syamsuddin, S. (2018). Pandangan al-Qur’an tentang Klaim Ekslusif Kebenaran Agama. In Suhadi (Ed.), Costly
Tolerance: Tantangan Baru Dialog Muslim-Kriisten Di Indonesia dan Belanda. Yogyakarta: CRCS UGM.
© 2021 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY SA) license
(https://creativecommons.org/licenses/by-sa/3.0/).
Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya 5, 1 (2021): 73-86 86 dari 86
Muhammad Radya Yudantiasa/Diskursus Pluralisme dalam Perspektif Hermeneutika Lintas-Iman: Penafsiran Q.S. Āli-‘Imrān (3): 19 dan
Yohanes 14: 6
Halaman ini sengaja dikosongkan