ArticlePDF Available

Peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam Menghadapi Perilaku Intoleransi dan Fundamentalis

Authors:

Abstract

Indonesia is the most plural country in the world. Pluralism in Indonesia also concerns religion. The role of the Church and the Servant of God is very important in dealing with intolerant behavior between religions in the pluralism of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This research is a descriptive qualitative research that uses literature research methods and data collection using the literature study method. The purpose of this research is to find out how the role of the Church and the Servant of God in dealing with intolerant behavior and religious hardliners within the framework of the Republic of Indonesia. Using descriptive qualitative methods with a literature study approach, the conclusion of this study is that the Church and the Servant of God have an important role to play and be proactive in maintaining and dealing with intolerant behavior towards Christians in Indonesia by being responsible for educating Christians in Indonesia so that they do not have sectarianism. radical which leads to aggressive and intolerant behavior towards adherents of other religions. The Church and the Servant of God must realize that every citizen has the right that is protected by the state to worship according to the religion and belief of each citizen. If there is an intervention against Christians exercising their religious rights, the Church and the Servant of God must act to defend their rights as citizens according to the laws in force in Indonesia by making various efforts including through inter-religious dialogue approaches, social approaches, political approaches and formal legal approaches according to the law applies in Indonesia. .
22
Apostolos
Journal of Theology and Christian Education
Available Online at Vol.1 , No. 1 (Mei): 22-33
http:// ejournal.staknkupang.ac.id/ojs/index.php/apos
Peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam Menghadapi
Perilaku Intoleransi dan Fundamentalis
Jhon Leonardo Presley Purba
Info Article
Sekolah Tinggi Teologi
Baptis Indonesia
Semarang
*jhonpresley@stbi.ac.id
Submit:
March 7th, 2021
Revised:
march 15th, 2021
Published:
may 15th, 2021
This work is licensed
under a Creative
Commons Attribution-
NonCommercial-
ShareAlike 4.0
International License
Abstract:
Indonesia is the most plural country in the world. Pluralism in Indonesia
also concerns religion. The role of the Church and the Servant of God is
very important in dealing with intolerant behavior between religions in
the pluralism of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This
research is a descriptive qualitative research that uses literature research
methods and data collection using the literature study method. The
purpose of this research is to find out how the role of the Church and the
Servant of God in dealing with intolerant behavior and religious hardliners
within the framework of the Republic of Indonesia. Using descriptive
qualitative methods with a phenomenological approach through literature
studies designed to collect, analyze and compile systematic and scientific
valid data from literature materials relevant to this research, so that the
conclusion of this study is that the Church and the Servant of God have an
important role. to be proactive in maintaining and dealing with intolerant
behavior towards Christians in Indonesia by being responsible for
educating Christians in Indonesia so that they do not have radical
sectarianism that leads to aggressive and intolerant behavior towards
adherents of other religions. The Church and the Servant of God must
realize that every citizen has the right that is protected by the state to
worship according to the religion and belief of each citizen. If there is an
intervention against Christians exercising their religious rights, the Church
and the Servant of God must act to defend their rights as citizens
according to the laws in force in Indonesia by making various efforts
including through inter-religious dialogue approaches, social approaches,
political approaches and formal legal approaches according to the law
applies in Indonesia.
Keywords: Church, Servant of God, Intolerance, Conflict, Religion.
Abstrak
Indonesia adalah Negara paling plural di dunia. Pluralisme di
Indonesia juga menyangkut hal beragama. Peran Gereja dan Hamba
Tuhan sangat penting untuk menghadapi perilaku intoleransi antar
agama di dalam pluralisme Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan
metode penelitian literatur dan pengumpulan data dengan metode
studi literatur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam menghadapi perilaku intoleransi
dan aliran garis keras keagamaan dalam rangka NKRI. Menggunakan
metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi melalui
23
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara di dunia yang memiliki pluralitas dalam berbagai
aspek. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI) mendefinisikan pluralitas atau majemuk
sebagai suatu kata sifat dari sesuatu yang terdiri dari beberapa atau bermacam-macam
bagian yang berbeda namun merupakan satu kesatuan.(Fajri, Em Zul & Senja, 2010, p.
542) Peneliti atau ilmuwan sosial dan antropolog bahasa secara konsisten menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang paling plural di dunia, terutama dari aspek suku
bangsa dan bahasa (Al Qurtuby, 2020). Dukungan data empiris melegitimasi pernyataan
di atas, karena merujuk pada laporan BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku
bangsa dengan 1.158 bahasa daerah yang berbeda. Tidak hanya suku bangsa dan
bahasa, agama dan kepercayaan juga beragam di Indonesia, baik lokal maupun
transnasional. Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki tingkat pluralitas seperti
Indonesia dan pluralitas yang bersifat natural (given) dan sekaligus kultural ini(Al
Qurtuby, 2020) merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga (Halim, 2015).
Pluralitas sebagai kekayaan bangsa juga memiliki dampak negatif, salah satunya
adalah sumber terjadinya konflik sosial yang melibatkan isu suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA). Untuk mencegah terjadinya konflik maka dibutuh kajian-kajian yang
komprehensif, yang bukan hanya akan memberikan gambaran komprehensif dan
holistik tentang ciri khas kebhinekaan Indonesia namun dapat juga menumbuhkan
persepsi positif terhadap dialog kerukunan SARA dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam masyarakat (Lestari, 2015).
Agama merupakan unsur SARA yang paling berpotensi menjadi sumber konflik
sosial di Indonesia. Konflik antar agama, khususnya antara Islam dan Kristen sudah
sering terjadi di Indonesia. Kesenjangan kekayaan antara minoritas Kristen atas
mayoritas umat Islam sering menjadi penyebab terjadinya konflik (Saleh Tajuddin et al.,
studi literatur yang dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis dan
menyusun data-data valid yang sistematis dan ilmiah dari bahan-bahan
literature yang relevan dengan penelitian ini, sehingga didapatkan
kesimpulan penelitian ini bahwa Gereja dan Hamba Tuhan memiliki
peran penting untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan
menghadapi perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia
dengan bertanggungjawab mendidik orang-orang Kristen di Indonesia
agar tidak memiliki sikap sektarianisme radikal yang mengarah pada
perilaku agresif dan intoleran terhadap penganut agama lain. Gereja dan
Hamba Tuhan harus menyadari bahwa setiap warga negara memiliki hak
yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan
masing-masing warga negara. Jika terjadi intervensi terhadap orang
Kristen menjalankan hak peribadatanya, Gereja maupun Hamba Tuhan
harus bertindak membela hak sebagai warga negara sesuai hukum yang
berlaku di Indonesia dengan melakukan berbagai upaya diantaranya
melalui pendekatan dialog antar agama, pendekatan sosial, pendekatan
politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia.
Kata-kata kunci: Gereja, Hamba Tuhan, Intoleransi, Konflik, Agama.
24
2016). Sikap sektarianisme dalam beragama juga merupakan faktor utama konflik antara
Islam dan Kristen. Sektarianisme terjadi ketika masing-masing pemeluk agama
mengklaim bahwa agama yang dianutnyalah yang paling benar (Hanafy, 2015).
Selanjutnya, persoalan perizinan rumah ibadah yang sebenarnya adalah kewenangan
pemerintah setempat, juga sering menjadi faktor terjadinya konflik. Pemerintah perlu
melakukan perbaikan-perbaikan dalam menjalankan aturan perizinan rumah ibadah
sesuai undang-undang yang berlaku (Rina Hermawati, Caroline Paskarina, 2016). Karena
ini semua merupakan masalah laten, yang ketika terjadi akan sulit dicari jalan keluarnya
(Hanafy, 2015).
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki peran yang sentral dan
penting dalam upaya menjaga keberlangsungan kerukunan antar umat beragama
dengan menumbuhkan sikap toleran antar agama khususnya terhadap umat Kristen
karena sejatinya, kenabian Muhammad Saw dilegitimasi oleh pendeta Nasrani, Waraqah
bin Naufal dan sebelum itu juga telah diprediksi oleh Buhairah. Namun dinamika
hubungan Islam dan Kristen di Indonesia memang selalu fluktuatif. Berbagai faktor
terjadinya hubungan yang fluktuatif ini diantaranya praduga-praduga yang berlebihan
terhadap agama lain, pengalaman relasi dan dialog antar agama yang buruk, dan juga
faktor penafsiran-penafsiran dangkal atas teks-teks Alquran maupun Hadis (Maarif,
2020). Faktor-faktor inilah yang kemudian berpotensi menyebabkan terjadinya sikap
intoleran antar agama, khususnya dari kelompok-kelompok garis keras dan radikal.
Salah satu contoh perilaku intoleran yang terjadi belum lama ini yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok garis keras dan radikal dari agama Islam terhadap umat
Kristen adalah peristiwa ditolaknya tiga gereja yang berlokasi di Perumahan Griya
Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ketiga gereja tersebut dinyatakan
dilarang menjadi tempat penyelenggaraan ibadah sampai akhir Maret 2017. Ketiga
gereja yang dilarang haknya untuk berkegiatan itu adalah Gereja Katolik, Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) dan Methodist. Menanggapi penolakan tersebut, Efendi
Hutabarat selaku pendeta Gereja Methodist Indonesia menyatakan bahwa pelarangan
kegiatan peribadatan itu diputuskan secara sepihak oleh muspika (musyawarah
pimpinan kecamatan) serta muspida (musyawarah pimpinan daerah) setempat, yang
diketuk palu pada 7 Maret 2017, tanpa meminta pendapat dari pihak gereja-gereja
terkait.(Folia, 2017) Kejadian ini hanyalah satu dari ribuan kasus intoleransi antar agama
yang belum terselesaikan, yang terjadi di Indonesia (Perkasa, 2016).
Berkaitan dengan topik perilaku intoleransi antar agama di Indonesia juga pernah
diteliti oleh Zulfa Jamalie yang menyatakan bahwa sikap atau perilaku intoleransi antar
agama dapat terjadi karena gesekan-gesekan akibat misi penyebarluasan agama yang
dianut, perbedaan pemahaman dan cara pandang, maupun pelaksanaan hak beribadah
dari masing-masing umat beragama yang dianggap mengganggu oleh pemeluk agama
yang lain (Jamalie, 2012). Febri Handayani melakukan penelitian serupa dalam artikel
berjudul: Toleransi Beragama Dalam Perspektif HAM Di Indonesia dengan menyatakan
bahwa dalam konteks sudut pandang keagamaan, ada opini yang menyatakan bahwa
seluruh aliran atau kelompok agama yang ada di Indonesia belum seluruhnya meyakini
jika nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Implikasi dari hal ini adalah munculnya
intoleransi dan konflik antar agama (Handayani, 2010). Irfan Sanusi dan Enjang
Muhaemin dalam penelitian berjudul: Intoleransi Keagamaan Dalam Framing Surat
25
Kabar Kompas menyimpulkan bahwa intoleransi maupun konflik antar agama adalah
suatu ancaman yang serius bagi keberlangsungan NKRI.(Sanusi & Muhaemin, 2019)
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah bagaimana seharusnya peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam menghadapi
perilaku intoleransi dan aliran garis keras keagamaan dalam rangka NKRI. Maka untuk
itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran Gereja dan
Hamba Tuhan dalam menghadapi dan menyikapi perilaku intoleransi dan aliran garis
keras keagamaan dalam rangka NKRI.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif (Zaluchu, 2020) dengan
pendekatan fenomenologi dimana penelitian terinspirasi atas fenomena yang tampak
saat ini dikalangan Gereja dan Hamba Tuhan yang cenderung pasif ketika terjadi
tindakan intoleran terhadap umat Kristen (Asih, 2014). Metode pengumpulan data
penelitian ini dengan studi literatur terhadap buku, artikel dan jurnal-jurnal ilmiah yang
relevan dengan topik penelitian ini.
Selanjutnya dari bahan-bahan literature yang relevan tersebut, peneliti
melakukan seleksi dan analisis terhadap data-data deskriptif yang valid dan relevan
untuk kemudian disusun dalam suatu kerangka berpikir yang sistematis dan ilmiah untuk
mendukung pokok pikiran peneliti dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang
tampak tentang perilaku intoleransi oleh kelompok radikal dan garis keras dari agama
Islam terhadap umat Kristen di Indonesia. Beranjak dari persoalan ini, dengan metode
analisis data yang identik, peneliti juga memberikan uraian deskriptif dan pandangan
kritis tentang sikap dan peran Gereja maupun Hamba Tuhan dalam menghadapi
perilaku-perilaku intoleransi tersebut.
PEMBAHASAN
Perilaku Intoleransi Terhadap Umat Kristen Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perilaku intoleransi antar agama di Indonesia, khususnya terhadap umat Kristen
masih sering terjadi di zaman modern ini. Salah satu tindakan intoleransi yang belum
lama ini terjadi terhadap umat Kristen adalah gangguan yang dialami oleh umat HKBP
Kota Serang Baru (KSB), Bekasi, Jawa Barat, dari sekelompok massa yang tidak dikenal
pada saat beribadah pada hari minggu (13/9/2020) (Raharjo, Dwi Bowo & Sari, n.d.).
Pelaku tindakan intoleransi terhadap umat Kristen pada umumnya adalah kelompok-
kelompok aliran garis keras atau radikal dari agama Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh Tempo pada Selasa, 30 Januari 2018, sejumlah
ormas Islam yaitu Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia bersama pemuda masjid melakukan pelarangan kegiatan bakti sosial yang
dilakukan Gereja Santo Paulus Yogya pada Minggu pagi, 28 Januari 2018 dengan alasan
kristenisasi (Maharani, 2018).
Perilaku intoleran terhadap umat Kristen di Indonesia yang dilakukan oleh
kelompok Islam garis keras dan radikal juga dilakukan dalam bentuk kekerasan yang
tidak berprikemanusiaan, salah satunya tindakan teror bom bunuh diri. Sudah sangat
banyak kejadian tindakan terorisme bom bunuh diri yang menyasar Gereja atau orang
Kristen sebagai targetnya. Kejadian yang paling akhir adalah serangan bom bunuh diri
26
pada tiga Gereja di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018. Serangan ini menyebabkan
puluhan korban jiwa dan luka-luka. Pelaku tindakan terorisme ini adalah kelompok
teroris dari Islam radikal di Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS (Kriswanto, 2018).
Sesuai hakikatnya, agama seharusnya menjadi penguat persaudaraan dan persatuan
tapi yang terjadi sebaliknya, dimana agama menjadi alat untuk melegitimasi setiap
tindakan kekerasan dan permusuhan (Mahyiddin, 2009).
Penyebab utama munculnya sikap dan perilaku intoleransi antar agama adalah
pemahaman yang dangkal terhadap teks-teks Kitab Suci keagamaan. Dalam konteks
Islam, pemahaman yang tidak komprehensif terhadap Alquran dan Hadis akan
menyebabkan kekakuan dalam implementasinya. Pemahaman yang tidak komprehensif
juga, pada akhirnya akan menghasilkan penerapan yang tidak sesuai dengan maksud
teks itu sendiri. Dalil-dalil yang ada seringkali dipahami secara literalis tekstualis tanpa
memperhatikan latar belakang sosial, budaya, lokal, temporal, majaz, sabab al-wurūd
dan aspek lain yang berkorelasi terhadapnya. Ketidaktepatan memahami hadis-hadis
yang nampak intoleran akan mengakibatkan rusaknya substansi dan tujuan hadis itu
sendiri. Implikasi dari hal ini adalah harapan meningkatnya kerukunan antar umat
beragama dalam berbangsa dan bernegara tidak tercapai, sebaliknya yang terjadi adalah
suasana permusuhan yang mencekam dan mengancam kehidupan berbangsa dan
bernegara.(Arifin, 2020) Padahal dalam agama Islam sendiri, tidak kurang dari 300 ayat
menyebut tentang toleransi secara eksplisit. (Ginting & Ayaningrum, 2009)
Agama yang tidak dipahami secara komprehensif juga akan menimbulkan sikap
sektarianisme radikal. Menurut Azyumardi Azra, sektarianisme Islam di Indonesia tidak
serumit yang terjadi di Timur Tengah, namun tindakan intoleransi sektarianisme radikal
di Timur Tengah juga telah terjadi di Indonesia salah satunya dengan melakukan
perusakan terhadap rumah ibadah bahkan sampai memakan korban jiwa penganut
agama lain.(Azyumardi Azra, 2014)
Pendangkalan terhadap pemahaman agama dan fanatisme mengakibatkan rasa
superioritas atas pemeluk agama lain yang kemudian mengarah pada gerakan radikal.
Gerakan radikalisme di Indonesia muncul karena dipicu oleh persoalan domestik dan
konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik
umat Islam.(Widodo & Karnawati, 2019) Terorisme merupakan gerakan yang terjadi
karena pengaruh pemahaman yang radikal. Tindak terorisme berhubungan dengan
unsur radikalisme dalam pemaknaan terhadap ajaran agama.(Rahardanto, 2012)
Radikalisme menyebabkan tindakan kekerasan akibat pemaknaan yang parsial, inilah
yang terjadi terhadap konsep jihad dalam Islam. Konsekuensi logis dari interpretasi ini
adalah penyandingan terorisme sebagai buah dari radikalisme. Hipotesis ini merupakan
sesuatu yang wajar, mengingat berbagai aktivitas terorisme di berbagai belahan dunia
seringkali mengatasnamakan jihad yang dilakukan umat Islam sebagai bentuk ketaatan
pada Kitab Suci. Di Indonesia, hal ini menimbulkan berbagai gejolak yang berimplikasi
pada menurunnya stabilitas nasional, juga respon negatif dari negara-negara lain.(Laisa,
2014)
Terdapat beberapa faktor yang mendorong munculnya radikalisme di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan sekurang-kurangnya ada tiga faktor utama,
pertama adalah perkembangan di tingkat global, kedua adalah penyebaran paham
Wahabisme dan ketiga adalah kemiskinan. Situasi yang kacau di negara-negara Timur
Tengah khususnya di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Mesir, Suriah, dan Turki,
27
dipandang oleh kelompok radikal sebagai akibat dari campur tangan Amerika, Israel,
dan sekutunya. Pada saat yang sama, Masuknya paham Wahabisme yang
mengagungkan budaya Islam versi Arab yang konservatif ke Indonesia ikut mendorong
timbulnya kelompok eksklusif yang sering menuduh orang lain yang berada di luar
kelompok mereka sebagai musuh, kafir dan boleh diperangi. Faktor ketiga adalah
kemiskinan. Meski faktor ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap merebaknya
aksi radikalisme, namun perasaan sebagai elemen masyarakat yang termarjinalkan
dapat menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk terjebak dalam propaganda
radikalisme.(Asrori, 2017)
Paham radikalisme ini juga telah menyusup hingga ke institusi-institusi
pendidikan. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak umat Muslim Indonesia memahami Islam
dalam perspektif radikalisme. Kelompok radikal menggunakan beberapa cara untuk
menyebarkan radikalisme ini, diantaranya melalui organisasi kader, ceramah di masjid-
masjid yang dikelola dengan kendali kelompok ini, penerbitan majalah, booklet maupun
buku, dan melalui berbagai situs di internet. Dampak dari situasi ini adalah radikalisme
telah memasuki sebagian besar sekolah di beberapa daerah. Jika hal ini tidak segera
diantisipasi, maka dapat membantu dalam menumbuhkan sikap intoleransi di kalangan
siswa yang bertentangan dengan tujuan pendidikan agama itu sendiri.(Munip, 1970)
Program deradikalisasi sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2012. Program ini
menggunakan paradigma pencegahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang
dihasilkannya. Selama tujuh tahun pelaksanaannya, deradikalisasi mengalami cukup
banyak tantangan dan hambatan. Sejauh ini, banyak kritik ditujukan pada program
deradikalisasi. Seperti kurangnya anggaran, fasilitas di lapas yang tidak memadai, materi
deradikalisasi yang diberikan kepada napi terorisme, bagaimana program kelanjutan
pasca deradikalisasi, sampai pada persepsi masyarakat terhadap program ini yang
cenderung tetap melakukan penolakan bagi eks narapidana terorisme setelah kembali
ke masyarakat. Masalah-masalah ini muncul dan menjadi hambatan bagi efektivitas
program deradikalisasi.(Indrawan & Aji, 2019)
Hal yang terpenting adalah adanya pemahaman inklusif terhadap agama,
sehingga pemeluk agama menyadari bahwa pluralitas beragama adalah sebuah
kebaikan.(Laisa, 2014) Jika dipahami dengan benar, agama bisa menjadi energi positif
untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.
Pada era reformasi ini, seharusnya nilai demokrasi dan toleransi dijunjung tinggi karena
demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik,
sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo toleransi yang rentan
memicu terjadinya konflik komunal. Untuk itu toleransi perlu dikembangkan dalam
masyarakat plural seperti masyarakat yang ada di Indonesia ini.(Ginting & Ayaningrum,
2009)
Pluralisme agama di bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang nyata dan tidak
dapat lagi diperdebatkan sehingga perlu diambil jalan tengah terbaik dengan mengakui
pluralisme agama itu sendiri melalui perspektif toleransi yang positif atas segala kondisi
dan situasinya.(Ulfah, 2018) Langkah praktis yang dapat diupayakan untuk
meminimalisir intoleransi adalah dengan melihat peluang dialog sebagai realitas praksis
baru antar agama untuk hidup dalam keharmonisan. Dialog mendatangkan beragam
dinamika dan relasi sehingga mewadahi pluralitas yang konkret. Dialog juga dapat
menjadi identitas sosial umat beragama di Indonesia yang majemuk, karena dialog tidak
28
sebatas konsep ilmu kalam masing-masing agama melainkan bentuk yang lebih
transformatif. Beberapa pemikir teori kerukunan antar umat beragama menunjukkan
urgensi dan implikasi dari pendekatan dialog mengatasi intoleransi, khususnya dalam
konteks kehadiran Kristen dan Islam di Indonesia.(Kaha, 2020)
Keberadaan Kekristenan Dalam Pluralisme Agama Di Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Setiap warga Negara setuju bahwa agama merupakan dimensi sentral dan
penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap individu tidak terlepas dari
agama yang kemudian memberi dampak terhadap pola dan kecenderungan berpikir
setiap individu.(Soesilo, 2011) Eksistensi Kekristenan di Indonesia juga tidak dapat
dilepaskan dari paradigma ini, dimana ajaran Kekristenan juga akan membentuk pola
pikir penganutnya.
Perjalanan eksistensi agama Kristen di Indonesia selalu dibayangi oleh catatan
sejarah yang kurang berpihak. Berdasarkan catatan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, Kekristenan pernah diidentikan sebagai agama penjajah, terlebih lagi pada
awal abad ke-20 agama Islam telah identik dengan pergerakan perjuangan dan
nasionalisme di Indonesia.(Telaumbanua, 2012) Pengaruh latar belakang secara historis
seperti ini, dan dinamika perbedaan pengajaran masing-masing agama, khususnya klaim-
klaim sepihak terhadap kemutlakan kebenaran dari setiap agama seringkali menjadi
pemicu utama terhadap timbulnya gesekan horizontal yang cukup keras antara umat
Islam dan Kristen dalam masyarakat.
Dalam konteks agama Kristen sendiri, sikap apatis orang Kristen sering menjadi
masalah yang secara tidak langsung mengakibatkan persepsi negatif terhadap identitas
keindonesiaan dan kadar nasionalisme pemeluk agama Kristen di Indonesia. Kenyataan
ini semakin diperburuk oleh kondisi Gereja yang cenderung eksklusif dan menutup diri
dari berbagai persoalan sosial, masyarakat, dan negara. Ferry Y. Mamahit
mengungkapkan bahwa kebanyakan Gereja bersikap apatis terhadap masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan yang ada di sekitarnya.(Telaumbanua, 2012) Selain itu, banyak
Gereja dikuasai oleh prasangka dan pemikiran diskriminatif yang membuat Kekristenan
tidak mampu menjalankan komunikasi dan kerja sama antar umat beragama. Padahal
pluralitas agama merupakan topik yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan
sehingga menuntut respons yang tepat di dalam menanggapinya. Oleh karenanya,
Sumartana mengagas gerakan untuk membawa Kekristenan menjadi relevan di bumi
Indonesia agar dapat berperan aktif di dalam konteks pluralitas agama.(Telaumbanua,
2012)
Dari perspektif Kristen, pluralitas agama dapat memperlihatkan aspek positif
maupun negatif. Dari perspektif positif, pluralitas agama dapat memperkaya dan
sekaligus menantang pemahaman Kristen secara lebih perseptif dan realistis tentang
keberagaman, sehingga pelayanan Kristen akan jadi lebih relevan dan kontekstual bagi
kebutuhan manusia disekitanya. Dari perspektif negatif, pluralitas agama dalam
keadaan-keadaan tertentu telah menjadi penyebab timbulnya ketegangan dan konflik-
konflik di antara agama yang ada. (Lukito, 2012) Meskipun tidak mudah menemukan
keseimbangannya namun Kekristenan di Indonesia harus mengambil sikap untuk
mengimplementasikan prinsip ‘mendalami agama Kristen secara teks Alkitab yang
mengajarkan tentang “kasih” dan harus tetap bersikap pluralis terhadap agama dan
29
masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.’(Widodo & Karnawati, 2019)
Sebab Kekritenan mengajarkan untuk menjadi terang dunia dan garam dunia di tengah-
tengah masyarakat dengan keyakinan iman yang berbeda, sehingga tercipta
keharmonisan.(Arifianto & Santo, 2020)
Peran Gereja dan Hamba Tuhan Dalam Menyikapi dan Menghadapi Perilaku Intoleransi
Antar Agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Umat Kristen Indonesia harus menerima bahwa Indonesia adalah negara yang
plural dalam beragama. Sebagai anak bangsa, pandangan pluralisme tidak dapat
dipisahkan dari setiap orang Kristen Indonesia, khususnya para Hamba Tuhan. Hamba
Tuhan yang dimaksud disini adalah para Gembala yang menjadi pemimpin dan pengajar
rohani di Gereja. Sebagaimana dikutip oleh Jermia Djadi dan Yoseph Thomassoyan
(Djadi, n.d.), di dalam buku yang berjudul Sebuah Bunga Rampai Pertumbuhan Gereja,
Pontas Pardede mengemukakan bahwa di dalam setiap Gereja terdapat seorang tokoh
kunci yang Tuhan tetapkan dan pakai untuk menjadi pemimpin rohani yang aktif bagi
pertumbuhan Gereja tersebut melalui pengajaran-pengajaran teologi Kristen yang
Alkitabiah. Namun pandangan pluralisme sosiokultural modern memiliki dampak
terhadap teologi Kristen di Indonesia. Menurut Lukito, pluralisme telah dimanfaatkan
untuk membenarkan agenda teologis yang dikenal sebagai “teologi agama-agama
dunia” atau “teologi pluralistik.” Dimana iman Kristen diletakkan sebagai dikotomi atau
alternatif antara partikularisme dan inklusivisme. Pandangan ini juga menuntut orang
Kristen mengadakan atau ikut serta dalam dialog intra iman atau antar agama sehingga
kekristenan itu sendiri dapat diperkaya, atau bahkan diubahkan melalui interaksi dengan
menyerap kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam iman atau agama lain.(Lukito,
2012)
Persetujuan orang Kristen di Indonesia melakukan pandangan dan harapan
teologi pluralistik ini, barangkali dapat meminimalisir perilaku intoleransi terhadap orang
Kristen. Namun di pihak lain Kekristenan tidak akan sesuai lagi dengan kebenaran
Alkitab yang menjadi dasar absolut dari Kekristenan itu sendiri. Sebaliknya, jika
Kekristenan melakukan pola hidup dualisme yaitu dunia rohani dan dunia sekuler, yang
berimplikasi menjadikan umat Kristen sebagai komunitas yang menghindari dunia
(world-denying church), juga berlawanan dengan panggilan utama Kekristenan karena
orang Kristen seharusnya menjadi alat bagi Tuhan untuk melakukan karya-Nya di muka
bumi di antara umat manusia (world-engaging church). (Telaumbanua, 2012)
Lukito juga mengemukakan bahwa gereja perlu melangkah melampaui
kontroversi, yakni mengajukan sebuah kerangka yang bisa dikerjakan dimana
perbedaan-perbedaan pemikiran atau ideologi adalah sah dan tidak direlatifkan atau
diabsolutkan,(Lukito, 2012) tapi pada saat yang sama orang Kristen juga tetap dapat
menjalankan hak beribadah tanpa intervensi dan gangguan dari pihak manapun,
termasuk penganut agama lain, dan mendapat perlindungan hak beragama secara
hukum dari negara apabila terjadi tindakan intoleransi dari kelompok radikal khususnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Victorio H. Situmorang bahwa pelanggaran terhadap
kebebasan beragama melanggar undang-undang hak asasi manusia yang mana telah
diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.(Situmorang, 2019) Kebebasan beragama juga dijamin dalam undang-undang
dasar Indonesia. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia dalam
30
konstitusi adalah Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”)
disebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.” Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.(Rachmadsyah, 2010)
Merupakan kewajiban bagi Gereja, Hamba Tuhan dan orang Kristen secara umum
untuk menjadi pelopor utama bagi sikap toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati serta kerjasama dalam kehidupan antar agama di masyarakat. terlebih
memiliki memiliki sikap dapat menerima, menghargai dan mengasihi sesama manusia.
Ini merupakan inti dari pengajaran Yesus yang harus dikerjakan dan dihidupi oleh setiap
orang Kristen.(Arifianto & Stevanus, 2020) Karena kehadiran Gereja di Indonesia
bukanlah sebagai oposisi negara, melainkan rekan yang memiliki tanggung jawab sosial
untuk mengaktualisasikan shalom bagi warga Gereja, dan masyarakat umum yang
lebih luas.(Susanto, 2019) Model kerukunan dapat dilakukan dengan memberi
keseimbangan antara negative rights dan positive rights, karena di negara ini konsep
kerukunan beragama (religious harmony) lebih ditekankan daripada konsep kebebasan
beragama (religious freedom). Kerukunan beragama merupakan keadaan hubungan
antar umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.(Abdillah, 2016) Terlebih
hal itu diaktualisasikan dalam situasi dan kondisi dengan apapun yang terjadi, tetap
memberikan kontribusi bagi kemajemukan bangsa Indonesia.(Simon & Arifianto, 2021)
Sektarianisme dan radikalisme beragama yang cenderung meningkat akhir-akhir
ini di Indonesia sebagai faktor utama tindakan intoleransi antar agama sangat
berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman, damai, bersatu dan utuh. Oleh sebab
itu, diperlukan peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku
kepentingan (stake holders) untuk mencegah peningkatan sektarianisme dan
radikalisme dari kelompok aliran garis keras keagamaan. Para pemimpin agama, sosial,
dan politik harus menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui institusi masing-
masing untuk mencegah ancaman nyata tersebut, sekaligus memperkuat harmoni dan
saling menghargai perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok intra dan antar
agama, termasuk juga kelompok antar etnis, dan faksi politik.(Azyumardi Azra, 2014)
Dalam hal inilah diperlukan peran penting Gereja dan Hamba Tuhan sebagai
pemimpin umat Kristen untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan menghadapi
perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia. Gereja dan Hamba Tuhan juga
harus bertanggungjawab mendidik umat Kristen di Indonesia agar tidak memiliki sikap
sektarianisme radikal yang dapat mengarah pada perilaku agresif terhadap penganut
agama lain. Dan lain pihak, Gereja dan Hamba Tuhan harus menyadari bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinan masing-masing warga negara.(Rachmadsyah, 2010) Oleh karenanya, jika
orang Kristen mengalami gangguan atau intervensi pihak luar, khususnya dari kelompok
agama lain dengan aliran garis keras, baik secara psikis maupun fisik dalam menjalankan
hak peribadatannya, maka Gereja maupun Hamba Tuhan harus bertindak membela hak
31
sebagai warga negara sesuai hukum yang berlaku di Indonesia dengan melakukan
berbagai upaya diantaranya melalui pendekatan dialog antar agama, pendekatan sosial,
pendekatan politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia.
Gereja secara umum maupun Hamba Tuhan secara khusus harus memiliki
wawasan kebangsaan yang luas dan holistik agar dapat membangun relasi yang inklusif
di tengah-tengah masyarakat yang plural dan terlibat aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan. Ini akan menjadi modal utama untuk memiliki kedekatan sosial dengan
lingkungan, khususnya dengan kelompok-kelompok agama lain yang moderat, yang
tentunya akan berimplikasi terhadap penerimaan masyarakat umum terhadap
keberadaan Gereja. Penerimaan masyarakat ini menjadi modal sosial yang penting bagi
eksistensi Gereja lokal. Kemudian, Gereja dan Hamba Tuhan juga harus berupaya
membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan para pejabat dan aparatur
Negara di daerah setempat. Hal ini akan menjadi modal penting bagi eksistensi Gereja
dalam bidang politik dan birokrasi. Terakhir, Gereja dan Hamba Tuhan harus memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang konstitusi, perundang-undangan dan hukum yang
berlaku di Indonesia, khususnya yang mengatur tentang hak asasi keagamaan.
Pemahaman ini penting agar tidak ragu dalam besikap dan bertindak ketika terjadi
situasi yang urgen, yang mengharuskan dilakukannya upaya secara hukum untuk
melindung hak asasi umat Kristen Indonesia.
KESIMPULAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia diberikan given oleh Tuhan untuk menjadi
Negara yang paling majemuk di dunia, khususnya dalam agama tapi semua perbedaan
itu dapat terangkai indah dalam kebersamaan dibawah ideologi Pancasila dan Bhinneka
tunggal ika. Namun pluralitas agama juga rentan menjadi sumber konflik antar agama,
khususnya Islam dan Kristen. Salah satu ancaman yang nyata adalah perilaku intoleransi
dari kelompok aliran garis keras agama Islam terhadap Gereja pada umumnya maupun
Hamba Tuhan pada khususnya, baik dalam bentuk psikis maupun fisik.
Dalam hal inilah diperlukan peran penting Gereja dan Hamba Tuhan sebagai
pemimpin umat Kristen untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan menghadapi
perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia. Gereja dan Hamba Tuhan
bertanggung jawab mendidik orang-orang Kristen di Indonesia agar tidak memiliki sikap
sektarianisme radikal yang mengarah pada perilaku agresif dan intoleran terhadap
penganut agama lain. Selanjutnya Gereja dan Hamba Tuhan harus menyadari bahwa
setiap warga negara memiliki hak yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama
dan keyakinan masing-masing warga negara. Jika terjadi intervensi terhadap penganut
agama Kristen dalam menjalankan hak peribadatan. Gereja maupun Hamba Tuhan harus
bertindak membela hak sebagai warga negara sesuai hukum yang berlaku di Indonesia
dengan melakukan berbagai upaya diantaranya melalui pendekatan dialog antar agama,
pendekatan sosial, pendekatan politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum
yang berlaku di Indonesia
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, M. (2016). Kerukunan Umat Beragama di Era Jokowi-JK. Accessed on 24
November 2016, Http://Graduate.Uinjkt.Ac.Id.
Al Qurtuby, S. (2020). Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi dan Kekerasan.
Arifianto, Y. A., & Santo, J. C. (2020). Tinjauan Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Berdasarkan Perspektif Iman Kristen. Angelion, 1(1), 114.
Arifianto, Y. A., & Stevanus, K. (2020). Membangun Kerukunan Antarumat Beragama
dan Implikasinya bagi Misi Kristen. HUPĒRETĒS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan
Kristen, 2(1), 3951. https://doi.org/10.46817/huperetes.v2i1.44
Arifin, A. (2020). Penerapan Metode Ali Mustafa Yaqub dalam Memahami Hadis
Intoleransi antar Umat Beragama. Holistic Al-Hadis.
https://doi.org/10.32678/holistic.v6i1.3239
Asih, I. D. (2014). Fenomenologi Husserl: Sebuah Cara “Kembali Ke Fenomena.” Jurnal
Keperawatan Indonesia. https://doi.org/10.7454/jki.v9i2.164
Asrori, A. (2017). Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas. Kalam.
https://doi.org/10.24042/klm.v9i2.331
Azyumardi Azra. (2014). Pemerintah Harus Tangkal Sektarianisme. Satu Harapan.
Djadi, Y. C. T. J. (n.d.). Kepemimpinan Yesus Kristus Menurut Injil Sinoptik dan
Relevansinya Terhadap Kepemimpinan Rohani masa Kini. Retrieved May 28, 2019,
from https://media.neliti.com/media/publications/104906-kepemimpinan-yesus-
kristus-menurut-injil-77aa2aa4.pdf
Fajri, Em Zul & Senja, R. A. (2010). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.
Folia, R. (2017). Bogor Larang Warga Nasrani Beribadah di 3 Gereja Ini.
Ginting, R., & Ayaningrum, K. (2009). Toleransi dalam Masyarakat Plural. Jurnal Majalah
Ilmiah Lontar.
Halim, A. (2015). Pluralise Dan Dialog Antar Agama. Tajdid: Jurnal Ilmu Ushuluddin.
https://doi.org/10.30631/tjd.v14i1.21
Hanafy, M. S. (2015). Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebebasan. Jurnal
Diskursus Islam.
Handayani, F. (2010). Toleransi Beragama Dalam Perspektif HAM Di Indonesia. Toleransi.
https://doi.org/10.24014/trs.v2i1.426
Indrawan, J., & Aji, M. P. (2019). Efektivitas Program Deradikalisasi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme Di Indonesia. Jurnal
Pertahanan & Bela Negara. https://doi.org/10.33172/jpbh.v9i2.561
Jamalie, Z. (2012). Pluralisme, Toleransi, Pendidikan Multikultural dan Kerukunan Umat
Beragama. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat.
Kaha, S. C. (2020). Dialog Sebagai Kesadaran Relasional Antar Agama: Respons Teologis
Atas Pudarnya Semangat Toleransi Kristen-Islam Di Indonesia. Jurnal Abdiel:
Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja.
https://doi.org/10.37368/ja.v4i2.165
Kriswanto, J. (2018). Serangan bom di tiga gereja Surabaya: Pelaku bom bunuh diri
“perempuan yang membawa dua anak.” BBC News Indonesia.
Laisa, E. (2014). Islam Dan Radikalisme. Islamuna: Jurnal Studi Islam.
https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i1.554
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika: Khasanah Multikultural. Jurnal Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan.
33
Lukito, D. L. (2012). Eksklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme, dan Dialog Antar Agama.
Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan. https://doi.org/10.36421/veritas.v13i2.269
Maarif, N. H. (2020). Islam, Kebhinekaan, dan Relasi Muslim-Non-Muslim.
Maharani, S. (2018). Sejumlah Ormas Melarang Bakti Sosial Gereja Santo Paulus Yogya.
TEMPO.CO.
Mahyiddin, S. (2009). Filsafat Hukum Ketatanegaraan Dalam Perspektif Islam. Jurnal
Mentari.
Munip, A. (1970). Menangkal radikalisme agama di sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 1(2),
159. https://doi.org/10.14421/jpi.2012.12.159-181
Perkasa, A. (2016). Kekerasan agama, 2,498 pelanggaran belum dituntaskan. Kabar24.
Rachmadsyah, S. (2010). HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia. In Hak Asasi
Manusia.
Rahardanto, M. S. (2012). Mengkaji Sejumlah Kemungkinan Penyebab Tindak Terorisme:
Kajian Sosio-Klinis. Experentia: Jurnal Psikologi Indonesia.
https://doi.org/doi.org/10.33508/exp.v1i1.54
Raharjo, Dwi Bowo & Sari, R. R. N. (n.d.). Peribadatan HKBP Bekasi Diganggu Massa,
Komnas HAM: Pelanggaran Konstitusi.
Rina Hermawati, Caroline Paskarina, N. R. (2016). Toleransi Antar Umat Beragama di
Kota Bandung. UMBARA: Indonesian Journal of Anthropology, 1(2), 105124.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BnJH04BYyq8J:journal.u
npad.ac.id/umbara/article/download/10341/4829+&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id
Saleh Tajuddin, M., Mohd. Sani, M. A., & Tenri Yeyeng, A. (2016). Berbagai Kasus Konflik
di Indonesia: Dari Isu Non Pribumi, Isu Agama, Hingga Isu Kesukuan. Sulesana.
Sanusi, I., & Muhaemin, E. (2019). Intoleransi Keagamaan Dalam Framing Surat Kabar
Kompas. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi.
https://doi.org/10.15575/cjik.v3i1.5034
Simon, S., & Arifianto, Y. A. (2021). Kerukunan Umat Beragama dalam Bingkai Iman
Kristen di Era Disrupsi. JURNAL PENGABDIAN MASYARAKAT DAN INOVASI, 1(1), 3543.
Situmorang, V. H. (2019). Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia.
Jurnal HAM. https://doi.org/10.30641/ham.2019.10.57-67
Soesilo, Y. (2011). Gereja dan Pluralisme Agama dalam Konteks di Indonesia. Jurnal
Antusias.
Susanto, H. (2019). Gereja Sebagai Umat Allah dan Rekan Negara. Jurnal Jaffray, 17(1),
35. https://doi.org/10.25278/jj71.v17i1.298
Telaumbanua, H. (2012). Identitas dan Nasionalisme Komunitas Kristen di Indonesia:
Tinjauan Pemikiran Th. Sumartana dan Implikasinya bagi Pelayanan Kaum Muda.
Veritas: Jurnal Teologi Dan Pelayanan, 13(1), 7898.
https://doi.org/10.36421/veritas.v13i1.252
Ulfah, M. (2018). Isu Kemajemukan (Pluralisme) Bangsa Indonesian Dalam Film ’?’ (Tanda
Tanya) (Analisis Semiotika Dalam Film ’?’ (Tanda Tanya) ). Interaksi Online.
Widodo, P., & Karnawati, K. (2019). Moderasi Agama dan Pemahaman Radikalisme di
Indonesia. PASCA: Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 15(2), 914.
https://doi.org/10.46494/psc.v15i2.61
Zaluchu, S. E. (2020). Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian
Agama. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 4(1), 28.
https://doi.org/10.46445/ejti.v4i1.167
... Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya memiliki karakter dasar multikultural atau yang bercorakan masyarakat majemuk (plural society). Hal ini merupakan given yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada bangsa Indonesia, sehingga menjadi negara yang paling majemuk di dunia (Purba 2021). Karakter masyarakat Indonesia yang multikultural tidak saja tentang keanekaragaman sukubangsanya melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia itu sendiri. ...
Article
Full-text available
Paul was the most successful and greatest missionary in the history of Christianity, his evangelistic ministry covered a wide area, so Paul met various multicultural community groups in the first century. This study aims to study the methods of the apostle Paul's evangelism in the perspective of 1 Corinthians 9: 19-23 on the multicultural society of the first century and its implications for contemporary evangelism in Indonesia. This research is a qualitative descriptive study with a hermeneutic and literature study approach. Through this research, the writer tries to answer research problems by looking for literature sources that are correlated and relevant to the research problem. Thematic and exegetical approaches are used to describe the theological-historical foundation of the Apostle Paul's method of evangelism in the perspective of 1 Corinthians 9: 19-2, then describe the implications for contemporary evangelism in Indonesia. The result of this research is that the contextual evangelism method "be the same as" Paul used in the multicultural society of the first century is very relevant to be applied in evangelism today in Indonesia. Indonesia is a multicultural country, so a cross-cultural contextual evangelism approach is very appropriate to do to reach Unreached People Groups, which are still widely available in Indonesia. This needs to be done in order to carry out the Great Commission of the Lord Jesus in Matthew 28: 18-20, so that all ethnic groups hear the gospel of salvation and become disciples of the Lord Jesus Christ.AbstractPaulus merupakan misionaris tersukses dan terbesar dalam sejarah Kekristenan, pelayanan penginjilannya meliputi wilayah yang luas, sehingga Paulus bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat multikultural abad pertama. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian metode penginjilan rasul Paulus dalam perspektif 1 Korintus 9:19-23 terhadap masyarakat multikultural abad pertama dan implikasinya terhadap penginjilan masa kini di Indonesia. Penelitian ini merupakan kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi literature dan hermeneutik. Melalui penelitian ini penulis berusaha menjawab permasalahan penelitian dengan mencari sumber-sumber literatur yang berkorelasi dan relevan dengan masalah penelitian. Pendekatan tematis dan eksegesis digunakan untuk mendeskripsikan landasan teologis-historis metode penginjilan Rasul Paulus dalam perspektif 1 Korintus 9:19-2, selanjutnya mendeskripsikan implikasinya terhadap penginjilan masa kini di Indonesia. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa metode penginjilan kontekstual “menjadi sama seperti” yang digunakan Paulus pada masyarakat multikultural abad pertama sangat relevan untuk diterapkan dalam penginjilan pada masa kini di Indonesia. Indonesia merupakan negara multikultural, sehingga pendekatan penginjilan kontekstual lintas budaya sangat tepat dilakukan untuk menjangkau Unreached People Group yang masih banyak terdapat di Indonesia. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka menjalankan Amanat Agung Tuhan Yesus dalam Matius 28:18-20, agar semua suku bangsa (etnis) mendengar Injil keselamatan dan menjadi murid Tuhan Yesus Kristus.
... Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami dengan baik prinsip pengelolaan dan pola pemuridan dalam 2 Timotius 2:2 karena prinsip-prinsipnya masih sangat relevan bagi pemuridan Kristen dalam dunia modern saat ini. Dalam dunia modern seperti saat ini, di mana Kekristenan dan Gereja telah diorganisasikan secara formal, menjadikan para gembala atau pemimpin yang ada di setiap Gereja memiliki peran yang vital (Purba, 2021), dalam memberikan pengaruh dan dalam mengelola kegiatan pelayanan dan pembinaan kerohanian agar tercipta tatanan nilai dan output pelayanan yang baik (Samarenna, 2020), termasuk dalam hal ini pelayanan pemuridan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Hisikia Gulo menyatakan bahwa pembinaan kerohanian jemaat gereja merupakan tanggung jawab penuh seorang gembala sebagai pemimpin rohani dalam Gereja lokal. ...
Article
Full-text available
Advances in technological innovation and various changes that occur cause an era of disruption that cannot be avoided. This disruption needs to be addressed in an adaptive manner so that it can be utilized for the advancement of Christian discipleship ministry as the pattern in 2 Timothy 2:2. The role of the Shepherd is very significant here, which requires good management skills. Using a descriptive qualitative approach with literature study and hermeneutic-exegesis methods, this paper aims to answer the research question, namely what and how is the role of the shepherd in the management of Christian discipleship patterns in 2 Timothy 2:2 in the era of disruption. This study concludes that a shepherd must play a role and function as a catalyst in discipleship services, which also has implications for the need for humanistic integrity to utilize technology-digitalization in the era of disruption for discipleship services through a benefit principle approach in order to be able to face and adapt to the era of disruption. As a catalyst, the shepherd plays a role in selecting and involving faithful believers, as well as the Church as an organization in the ministry of discipleship. the shepherd plays a role in managing discipleship services like the pattern in 2 Timothy 2:2 well through systematic efforts in planning, organizing, directing, coordinating, and controlling or systematically planning, implementing, controlling, and following up by analyzing the composition of skills , the strengths and personality of each member of the service team, conduct periodic evaluations individually and in teams, and perform synergies between human resources and non-human resources as ministry support so that the vision and goals of Christian discipleship are in the Great Commission of the Lord Jesus (Matt. 28:18-20) can be achieved.AbstrakKemajuan inovasi teknologi dan berbagai perubahan yang terjadi menyebabkan terjadinya era disrupsi yang tidak dapat dihindari. Disrupsi ini perlu disikapi dengan adaptif agar dapat dimanfaatkan untuk kemajuan pelayanan pemuridan Kristen seperti pola dalam 2 Timotius 2:2. Peran gembala sangat signifikan disini, yang menuntut kemampuan manajemen yang baik. Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi literature dan hermeneutik-eksegesis, paper ini bertujuan menjawab pertanyaan penelitian yaitu apa dan bagaimana peran gembala terhadap manajemen pola pemuridan Kristen dalam 2 Timotius 2:2 di era disrupsi. Kajian ini menyimpulkan bahwa seorang gembala harus berperan dan berfungsi sebagai katalisator dalam pelayanan pemuridan, yang juga berimplikasi pada dibutuhkannya integritas yang humanistik untuk memanfaatkan teknologi-digitalisasi di era disrupsi bagi pelayanan pemuridan melalui pendekatan azas manfaat agar mampu menghadapi dan beradaptasi dengan era disrupsi. Sebagai katalisator, gembala berperan memilih dan melibatkan orang-orang percaya yang setia, juga Gereja sebagai organisasi dalam pelayanan pemuridan. gembala berperan melakukan manajemen pelayanan pemuridan seperti pola dalam 2 Timotius 2:2 dengan baik melalui upaya yang sistematis dalam membuat perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, dan pengendalian atau secara sistematis membuat perencanaan, pelaksanaan, kontrol, dan tindak lanjut dengan melakukan analisis komposisi skill, kelebihan dan kepribadian masing-masing anggota tim pelayanan, melakukan evaluasi berkala secara individu dan tim, dan melakukan integrasi-sinergitas antara sumber daya manusia dan sumber daya non manusia sebagai penunjang pelayanan agar visi dan tujuan pemuridan Kristen dalam Amanat Agung Tuhan Yesus (Mat. 28:18-20) dapat tercapai.
... Selain kaum fundamentalis, terdapat sikap sektarianisme dalam beragama juga merupakan faktor utama konflik antaragama. Sektarianisme terjadi ketika setiap manusia berpendapat bahwa jalan kebenaran mutlak hanya terdapat pada agama yang dianutnya sedangkan dalam agama lain tidak terdapat jalan kebenaran (Purba, 2021). ...
Article
Full-text available
Indonesia is a pluralistic country with various religious entities and beliefs that live and develop in Indonesia. This plurality has the potential to cause conflict. Conflict can be avoided by the openness of religious institutions towards other religions or beliefs. One of the ways to show this is the openness of a house of worship towards other religions and beliefs. This research aims to dig deeper into the openness of the attitude of the Nam Ha Kwan Se Im Pu Sa Temple towards other religions and beliefs. Data was collected by deep interviews, observation, and documentation. The selection of informants or research subjects was carried out purposively. This temple has a very open attitude towards other religions and beliefs by making altars or pavilions for holy figures of other religions and beliefs. This temple not only honors Buddhist figures but also other figures such as Macopo from Taoism, Spiritual Bells from Confucianism, Our Lady from Catholicism, Lord Ganesha from Hinduism, Eyang Semar from Java, Eyang Prabu Siliwangi from Tatar Sunda, and Nyai Roro Kidul who is trusted by local residents as the sovereign of the South Sea. In addition to erecting altars and pavilions for holy figures of other religions and beliefs, this temple also organizes religious rituals adapted to local culture. Not only during cap go, the Kliwon Friday Night ritual is also carried out by this temple.
... Setiap agama memiliki prinsip-prinsip pengajaran dan aturan sehingga ini dapat memberikan respon yang berbeda-beda dalam memandang kemajemukan, terlebih ketika suatu dogma sudah berada pada fase fanatik dan radikal akan sangat sulit untuk menerima kemajukan agama yang ada dan menganggap yang dianut sangatlah benar. Pada kajian yang dilakukan Jhon memberikan hasil bahwa tingkat radikalisme terhadap dogma yang dianut muncul berdasarkan hasil penelitian yaitu perkembangan yang terjadi di tingkat Global, terjadi penyebaran pemahaman Wahabisme (aliran Pemikiran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab), dan ketiga ialah kemiskinan (Purba, 2021). Ini menjadi suatu langkah yang memang harus diantisipasi oleh setiap agama, melihat dari sisi teologis kekristenan kemajemukan bukan suatu hal yang harus bersikap fanatis dan radikalisme tetapi sebagai suatu kebajikan dalam memanfaatkan moment yang menjadi trobosan iman dan kerohanian. ...
Article
Full-text available
The purpose of writing this article is to provide knowledge about the role of Christian theological perspectives in the issue of religious pluralism through the attitude of tolerance as an initial foundation for mutual life in the utterance of the existing society and religion. Problems that occur in the plural of religion often Christian theological interventions such as allowing things that really should be able to contribute solutions to problems in the values of Christian theology are not given as a sense of tolerance, so that the word tolerance is only a known literacy without action (allowing ). The method used in this study is a descriptive qualitative method. The source used is a trusted book and journal article. The results found in this article are that Christian theology does not look at tolerance as ignorance, causing omission to other religions. The factors seen in the intervention of Christian theology as a perspective of religious pluralism tolerance include: intolerant, dogmatic, opportunist, and apathetic.Tujuan penulisan artikel ini ialah untuk memberikan kajian mengenai keterlibatan Teologis Kristen yang mampu menjadi jawaban dunia khususnya dalam permasalahan pluralisme agama melalui sikap toleransi sebagai landasan awal untuk saling hidup dalam kemajemukkan masyarakat dan agama yang ada. Permasalahan yang terjadi pada pluralitas agama kerap kali intervensi teologis Kristen seperti membiarkan hal yang memang seharusnya dapat memberikan sumbangsi solusi permasalah dalam nilai-nilai teologis kekristenan tidak diberikan sebagai rasa toleransi, sehingga kata toleransi tersebut hanya menjadi literasi yang diketahui tanpa adanya aksi (membiarkan). Metode yang digunakan dalam kajian ini ialah metode kualitatif deskriptif. Sumber yang digunakan ialah buku, artikel jurnal, studi kasus, dan tinjauan teologis mengenai kajian yang dilakukan. Adapun hasil yang ditemukan dalam kajian artikel ini ialah teologis Kristen saat ini masih memandang toleransi sebagai suatu hal yang kurang memberikan kepedulian, menimbulkan pembiaran terhadap agama lain. Faktor yang dilihat dalam intervensi teologis Kristen sebagai perspektif toleransi pluralisme agama, antara lain: intoleran, dogmatik, oportunis, dan apatis.Kata kunci: intervensi; perspektif; pluralisme agama; toleransi; teologi Kristen
Article
Full-text available
Pluralism cannot be separated from Indonesian society, pluralism is a color in society. In society the issue of peace is an issue that cannot be separated from the role of a religious institution, including the church. Peace is the responsibility of the whole society, even a pluralistic society, including the church. The role of the church is very vital in impacting peace. The church is in the midst of a pluralistic society, so the church is directly involved in teaching peace in a pluralistic society. Of the several cases of conflict that have occurred in Indonesia, the church has played an important role in peace, namely teaching tolerance and teaching the importance of living in peace. The formulation of the problem in this research is what are the roles of the church in teaching peace missions in a pluralistic society? The purpose of this research is to describe the role of the church in teaching peace missions in a pluralistic society. the method used is library research with a descriptive approach. The role of the church in teaching peace in a pluralistic society is: teaching tolerance, teaching the importance of living in peace and living in love.
Article
Full-text available
Church and radicalism; An attitude and the role of the church in an era of disruption amid a state of radicalism is to go hand in hand with the church's challenge to rise to light and love. The problem of radicalism is not only a local problem on a small scale but a problem being fought over by world leaders and the church. As part of human life, the church is called out from darkness to become light and as God's mandate amid the world, which naturally fulfills prophecy after prophecy regarding the end times. Where love grows cold, and man becomes selfish. Therefore the church is required to be able to play a role in helping the problem of radicalism by imitating the attitudes and examples of Jesus and his Apostles. For harmony and peace to be the goal of the church to have an impact using descriptive qualitative methods with a literature study approach and looking at the phenomenology of the church's situation in society, it can be concluded that the church exists to side with the truth and prioritize love, so the true church knows the meaning of the essence of the church as light and to be a blessing for humans because the existence of radicalism as a challenge to the church will bring the attitude and responsibility of the church to follow Jesus' example to fight with love and challenge the church in an era of disruption amid radicalism. Abstrak Gereja dan radikalisme; Sebuah sikap dan juga peran gereja dalam era disrupsi di tengah keadaan radikalisme adalah berjalan selaras dengan tantangan gereja untuk bangkit menjadi terang dan kasih. Permasalahan radikalisme bukan hanya menjadi masalah lokal dalam skala kecil, namun menjadi masalah yang digumulkan oleh pemimpin dunia dan gereja. Gereja sebagai bagian dari kehidupan manusia yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk menjadi terang dan juga sebagai mandataris Tuhan di tengah dunia yang secara natural menggenapi nubuatan demi nubuatan terhadap akhir zaman. Di mana kasih menjadi dingin dan manusia akan mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu gereja dituntut untuk dapat berperan dalam membantu masalah radikalisme dengan meneladani sikap dan teladan dari Yesus dan para Rasulnya. Supaya kerukunan dan kedamaian menjadi tujuan gereja berdampak menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi literatur dan melihat fenomenologi keadaan gereja ditengah masyarakat, dapat disimpulkan bahwa gereja hadir untuk berpihak kepada kebenaran dan mengutamakan kasih, maka gereja sejatinya mengetahui arti akan hakikat gereja sebagai terang dan menjadi berkat bagi manusia. Sebab adanya radikalisme sebagai tantangan gereja akan membawa sikap dan tanggung jawab gereja untuk mengikuti keteladanan Yesus memerangi dengan penuh kasih dan tantangan gereja dalam era disrupsi di tengah radikalisme.
Article
Full-text available
Truth is not just a conception of idealism in the mind but also a real and concrete experience in human life. As seen in the text of Psalm 111, the psalmist writes of praise and his real experience of God's truth. Using a descriptive-qualitative approach with literature study methods and hermeneutic exegesis, this study aims to understand the real and concrete meaning of God's truth, which is manifested in the form of justice and integrity as contained in the text of Psalm 111. The results of this study conclude that based on the text and context of Psalm 111, we get the theological concept of God's truth, which is manifested in real and concrete justice and integrity in the spiritual and actual experience of human life through God's righteous, just, straight, honest, and wise actions toward humans. This has anthropological implications for human actions that are right, fair, straight, honest, and wise horizontally towards others, which the psalmist stated concretely through his caring attitude towards the poor and being willing to give or share with fellow human beings in his day. These attitudes and actions are imitations of God's character. Right attitudes and actions in the form of justice and integrity are absolute and universal, so they are relevant to be applied horizontally in today's human life, especially for believers who have faith in Christ. As the New Testament emphasizes the transformation and renewal of man into the image and likeness of God through faith in Christ and the likeness of Christ's character, so today's believers must care for the poor, be willing to share with others in need, and have integrity in their horizontal relationships with others.Abstrak: Kebenaran bukan hanya sekedar konsepsi idealisme dalam pikiran tapi juga pengalaman nyata dan konkrit dalam kehidupan manusia. Sebagaimana tampak dalam teks Mazmur 111, pemazmur menuliskan pujian dan pengalamannya yang nyata atas kebenaran Tuhan. Menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi literature dan hermeneutik-eksegeses, penelitian ini bertujuan untuk memahami makna kebenaran Tuhan yang rill dan konkrit yang termanifestasi dalam wujud keadilan dan kejujuran sebagaimana yang terdapat dalam teks Mazmur 111. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa berdasarkan teks dan konteks Mazmur 111 didapatkan konsep teologis kebenaran Tuhan yang diwujudkan dalam keadilan dan kejujuran yang nyata dan konkrit dalam pengalaman spiritual dan aktual hidup manusia melalui tindakan-tindakan benar, adil, lurus, jujur, dan bijaksana Tuhan kepada manusia. Hal ini berimplikasi secara antropologis terhadap tindakan-tindakan manusia yang benar, adil, lurus, jujur, dan bijaksana secara horizontal terhadap sesamanya yang dinyatakannya secara konkrit oleh pemazmur melalui sikap peduli terhadap orang miskin dan rela memberi/berbagi dengan sesama manusia pada zamanya. Sikap dan tindakan ini merupakan peniruan atas karakter Tuhan. Sikap dan tindakan benar dalam wujud adil dan jujur ini bersifat absolut dan universal sehingga relevan diterapkan secara horizontal dalam kehidupan manusia masa kini, khususnya orang percaya yang beriman kepada Kristus. Sebagaimana Perjanjian Baru menekankan transformasi dan pembaharuan manusia menuju gambar dan keserupaan dengan Allah melalui iman kepada Kristus dan keserupaan dengan karakter Kristus, karenanya orang percaya masa kini harus perduli terhadap orang miskin, rela berbagi dengan sesama yang membutuhkan dan jujur/berintegritas dalam hubungan horizontal dengan sesamanya.
Article
Full-text available
Persoalan deskriminasi dan intoleransi yang diakibatkan pemahaman agama di ruang publik tidak memprioritaskan kebersamaan. Bahkan faham fundamentalisme yang mencoba memengaruhi anak bangsa untuk keluar dari marwah hidup yang pluralisme, sebagai ancaman yang nyata bagi generasi kedepannya. Peran penting dalam mereduksi superioritas agama melalui aktulisasi pancasila menjadi tujuan dalam penelitian ini. Mengunakan metode kualitatif deskritif dengan pendekatan studi pustaka dapat menjawab aktualisasi pancasila bagi kekristenan menjadikan umat Kristen sadar pentingnya menjaga jati diri bangsa dengan prioritas bela negara melawan perkembangan superioritas dan fundamentalisme mengatasnamakan agama. Kesimpulan dari hasil pembahasan artikel ini adalah aktualisasi Pancasila dalam PAK: sebagai penguatan terhadap bela Negara dan sebagai Jati diri Bangsa dalam menghadapi Superioritas dan Fundametalisme atas Nama Agama. Diperlukan pemahaman bahwa Pancasila merupakan dasar hukum yang harus diterapkan bagi kehidupan bermasyarakat. Untuk itu sebagai bagian dari makluk sosial dan beragama, Kekristenan dalam peran pendidikan agama Kristen turut membela bangsa dan negaranya dari berbagai ancaman termasuk sesama anak bangsa yang menginginkan perubahan ideologi negara. Kekristenan juga dapat memprioritaskan bela negara dan pentingnya jati diri Bangsa sebagai bagian dari kerinduan Yesus bagi umatNya untuk menjadi terang dan garam. Maka diperlukan sinergi Pancasila dan PAK sebagai upaya mereduksi superiotas dan fundamentalisme agama. Sehingga penelitian ini dapat memberikan wawasan dan sikap yang mengedepankan jati diri bangsa dan bela negara dalam bermasyarakat sebagai bagian mereduksi superioritas atas nama agama dan fundamentalisme.
Article
Full-text available
Indonesia is a pluralistic nation because it consists of various races, languages, cultures, and religions. Diversity has the potential for horizontal conflict in society. Jesus commanded that Christians manifest love for others as well as for themselves. Sincere love will create harmony and harmony with others regardless of the differences in it. This research uses a descriptive qualitative method through exploring literature related to the topic and using parallel biblical texts that describe how believers carry out their call to live in harmony and at the same time carry out a Christian mission to save those who do not believe in Christ. From this research, it is concluded that the Christian mission is the application of the love of Christ. Love is the basis in society to foster tolerance and mutual respect for the rights of everyone, including belief. This reality must change the paradigm and practice of modern Christian mission. Christian mission must stick to the Bible which affirms that faith in Christ is an absolute requirement of salvation. Therefore, there is no reason for the believer or the church not to carry out this missionary command by maintaining religious harmony so that it can be a blessing for those who do not know Christ.Indonesia adalah bangsa yang majemuk karena terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya dan agama. Kemajemukan memiliki potensi konflik horisontal di masyarakat. Yesus memerintahkan agar orang Kristen mewujudkan kasih kepada sesama seperti kepada diri sendiri. Kasih yang tulus akan menciptakan kerukunan dan keharmonisan dengan sesama tanpa memandang perbedaan yang ada di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif melalui menggali literatur yang berkaitan dengan topik dan menggunakan teks-teks paralel Alkitab yang mendeskripsikan bagaimana orang percaya menjalankan panggilan untuk hidup rukun sekaligus mengemban misi Kristen untuk menyelamatkan mereka yang belum percaya pada Kristus. Melalui penelitian ini disimpulkan bahwa misi Kristen adalah penerapan dari kasih Kristus. Kasih itu menjadi dasar dalam bermasyarakat untuk menumbuhkembangkan sikap toleransi dan saling menghormati hak-hak setiap orang termasuk berkeyakinan. Realitas ini harus mengubah paradigma dan praktik dari misi Kristen modern. Misi Kristen harus tetap berpegang teguh pada Alkitab yang menegaskan bahwa iman dalam Kristus sebagai persyaratan mutlak keselamatan. Tetapi tidak ada alasan bagi orang percaya atau gereja untuk tidak menjalankan perintah misioner tersebut dengan tetap menjaga kerukunan beragama agar dapat menjadi berkat bagi orang yang belum mengenal Kristus.
Article
Full-text available
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, bangsa terdiri dari berbagai budaya, etnis, suku, bahasa, bahkan agama dan lainnya. Kemajemukan yang merupakan keniscayaan tersebut, di satu sisi merupakan khazanah kekayaan bangsa sekaligus sebagai pemersatu kekuatan bangsa, namun di sisi lain justru berpotensi terhadap kehancuran bangsa karena banyaknya kepentingan dari masing-masing kelompok berbeda. Sungguh disayangkan, acap kali konflik terjadi disebabkan atas dasar perbedaan, salah satunya karena perbedaan agama atau keyakinan. Alih-alih agama menjadi penguat persaudaraan dan persatuan justru sebaliknya menjadi alat untuk melegitimasi setiap tindakan kekerasan dan permusuhan. Pemahaman terhadap teks-teks agama (Alquran dan hadis) yang tidak komprehensif hanya akan memberikan kesan kaku dalam mengamalkannya, bahkan lebih jauhnya menghasilkan pemahaman yang tidak sesuai dengan maksud teks itu sendiri. Dalil-dalil tersebut acap kali dipahami secara literalis tekstualis tanpa memperhatikan kondisi sosial, budaya, lokal, temporal, majaz, sabab al-wurūd dan aspek lain yang berkorelasi terhadapnya. Ketidaktepatan memahami hadis-hadis yang nampak intoleran akan mengakibatkan rusaknya substansi dan tujuan hadis itu sendiri. Alih-alih meningkatkan kerukunan antar umat beragama dalam berbangsa dan bernegara, justru malah menciptakan suasana permusuhan nan mencekam dan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Article
Full-text available
p>Program deradikalisasi sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2012. Program ini menggunakan paradigma pencegahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya. Selama tujuh tahun pelaksanaannya, deradikalisasi mengalami cukup banyak tantangan dan hambatan. Sejauh ini, banyak kritik dialamatkan terhadap program deradikalisasi. Kritik-kritik, seperti terkait kurangnya anggaran, fasilitas di lapas, materi deradikalisasi yang diberikan kepada napi terorisme, bagaimana program kelanjutan pasca deradikalisasi, sampai pada persepsi masyarakat terhadap program ini yang cenderung tetap menghadirkan penolakan bagi eks narapidana terorisme setelah kembali ke masyarakat. Masalah-masalah ini muncul dan menjadi hambatan bagi efektivitas program deradikalisasi. Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori deradikalisasi dan teori efektivitas. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis yang bersifat deduktif dan konseptual, serta cara pengumpulan data adalah melalui studi pustaka. Atas dasar itulah, artikel ini ingin melihat efektivitas program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT terhadap narapidana terorisme di Indonesia. Kata Kunci: terorisme, deradikalisasi, narapidana terorisme, dan resosialisasi dan reintegrasi</p
Article
Full-text available
Pelanggaran terhadap kebebasan beragama masih saja terjadi di Indonesia. Hal tersebut tentunya melanggar hak asasi manusia yang mana telah diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk menyoroti mengapa masih saja terjadi pelanggaran terhadap kebebasan beragama atau sering diistilahkan perilaku intoleransi diskriminatif yang cenderung bersifat anarkis. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan dan memanfaatkan informasi terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. Adapun sifat penelitian ini adalah analis deskriptif. Sumber data adalah data sekunder. Dengan masih saja terjadinya peristiwa atau kasus intoleransi diskriminatif, tentunya merupakan sinyal bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan berbagai pembenahan dan evaluasi di sektor penegakan hukum dan aparatur pemerintah, berikut pembinaan terhadap masyarakat secara menyeluruh, baik melalui sistem pendidikan sekolah maupun sosialisasi tentang kebebasan beragama yang merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Article
Full-text available
Kehadiran agama Kristen di Indonesia selalu dibayangi oleh catatan sejarah yang kurang menguntungkan. Berdasarkan catatan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia, kekristenan pernah diidentikkan sebagai agama Belanda atau penjajah, apalagi pada awal abad ke-20, agama Islam telah identik dengan pergerakan nasionalisme Indonesia. Akibatnya, secara tidak langsung identitas keindonesiaan dan kadar nasionalisme pemeluk agama Kristen di Indonesia menjadi sering diragukan. Kenyataan ini semakin diperburuk oleh kondisi gereja yang menutup diri dari berbagai persoalan sosial, masyarakat, dan negara. Ferry Y. Mamahit mengungkapkan bahwa kebanyakan gereja, secara khusus kalangan gereja Injili, bersikap apatis terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan yang ada di sekitarnya. Gereja melakukan pola hidup dualisme, dunia rohani dan dunia sekuler, sehingga menjadi komunitas yang menghindari dunia (world-denying church), padahal seharusnya gereja menjadi alat bagi Allah untuk melakukan karya-Nya di muka bumi di antara umat manusia (world-engaging church). Selain itu, banyak gereja dikuasai oleh prasangka dan pemikiran diskriminatif yang membuat kekristenan tidak mampu menjalankan komunikasi dan kerja sama antarumat beragama. Padahal pluralitas agama dan pluralisme merupakan topik yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan sehingga menuntut respons yang tepat di dalam menganggapinya.4 Th. Sumartana (alm.) mengagas gerakan untuk membawa kekristenan menjadi relevan di bumi Indonesia dan dapat berperan aktif di dalam konteks pluralitas agama. Tulisan ini akan memaparkan pemikiranpemikiran Sumartana tersebut. Apakah inti pemikiran Sumartana tentang agama-agama, gereja, kristologi, dan dialog antar-umat beragama? Apakah pandangan Sumartana dapat dibenarkan? Apakah implikasi pemikiran Sumartana bagi pelayanan gereja secara umum dan secara khusus di dalam konteks pelayanan kaum muda di Indonesia?
Article
Full-text available
Cukup banyak gereja atau sinode di zaman pascamodern ini yang mengutamakan pentingnya relasi antar-agama atau antar-iman. Mereka agaknya tidak mementingkan apa ajaran yang dipegang seseorang, sebuah lembaga, atau sebuah aliran. Memang, mau tidak mau pada masa kini kita hidup di dalam dunia yang secara religius bersifat plural atau majemuk, dan kebanyakan orang akan setuju bila dikatakan bahwa kekristenan pun, siap atau tidak, dipandang hanyalah sebagai salah satu agama dunia di antara agama-agama lainnya. Teolog modern atau pascamodern pada umumnya memilih posisi “aman” dan dapat diterima semua pihak, yaitu bahwa setiap agama memiliki warisan historis dan jalan keselamatannya sendiri-sendiri.3 Secara khusus, di Indonesia, kita hidup di tengah beragamnya suku, ras, tradisi, latar belakang sosial dan agama. Bagi kekristenan, pluralitas budaya dan agama ini dapat memperlihatkan aspek-aspek positif maupun negatif. Dari perspektif positif, kita harus mengakui bahwa pluralitas kepercayaan dapat memperkaya dan sekaligus menantang pemahaman Kristen secara lebih perseptif dan realistis tentang keberagaman ini; hasilnya, pelayanan Kristen akan jadi lebih relevan dan kontekstual bagi kebutuhan manusia. Dari perspektif negatif, kita juga harus mengakui bahwa pluralitas kepercayaan ini dalam keadaan-keadaan tertentu telah menjadi penyebab timbulnya ketegangan dan konflik-konflik di antara keyakinan-keyakinan tersebut. Lalu, bagaimana seharusnya orang Kristen mendekati topik pluralisme? Melalui artikel ini saya pertama-tama akan menguji fakta pluralisme dalam dunia kita saat ini. Kita akan mengamati pluralisme sosiokultural modern dan dampaknya terhadap teologi Kristen. Kemudian kita akan menyelidiki bagaimana pluralisme telah dimanfaatkan untuk membenarkan agenda teologis belakangan ini yang dikenal sebagai “teologi agama-agama dunia” atau “teologi pluralistik.” Di sini tampaknya, oleh mereka, iman Kristen harus diletakkan sebagai dikotomi atau alternatif antara partikularisme dan inklusivisme. Yang pertama berarti orang Kristen sebaiknya tidak menyajikan iman mereka dengan cara sedemikian rupa seakan-akan mereka adalah “mayoritas,” “pemimpin,” “anak tunggal yang terkasih” di antara agama-agama lainnya. Yang belakangan berarti orang Kristen seharusnya mengadakan atau ikut serta dalam dialog dengan anggota iman atau agama lain sehingga kekristenan itu sendiri dapat diperkaya, atau bahkan diubahkan melalui interaksi serta menyerap kebenarankebenaran yang terdapat dalam tradisi lain. Itu sebabnya sebelum kita tiba pada implikasi di bagian akhir, saya akan mengajukan sebuah kerangka alternatif sebagai suatu usaha untuk melangkah melampaui kontroversi, yakni mengajukan sebuah kerangka yang bisa dikerjakan di mana perbedaanperbedaan pemikiran adalah sah dan tidak direlatifkan atau diabsolutkan.
Article
Full-text available
Indonesia is known as a multi-religious country in which there are various religions. United in diversity, and harmony in diversity becomes a key word that can no longer be contested. The intolerant attitude of any religious group can be a trigger for conflict which endangerthe integrity of the NKRI. This study aims to determine the framing of the Kompas newspaper in discussing and packaging the discourse of religious intolerance and religiosity in Indonesia. This research method uses Robert N. Entman's framing analysis, which focuses the study on the prominence of the framework of thought, perspective, concepts, and claims of media interpretation in interpreting the object of discourse. Research is expected to be able to stimulate the public to be more critical in understanding the various news constructed by journalists. The results showed that Kompas defined the problem of religious intolerance and diversity in Indonesia as a matter of religion, social, political, educational, and nationalism. However, Kompas generally defines it as a matter of understanding religion and weakening the attitude of nationalism. Kompas news considers the source of the cause to be more dominant because of superficial, partial, and little religious understanding. Kompas concludes that intolerance is a serious threat that could endanger the NKRI. The recommendations offered include the government being demanded to be assertive, fast, and not political. Religious leaders are recommended to build dialogical communication in an intense and continuous manner, and educate the public to always raise awareness of deep, moderate, and not extreme religiosity.Indonesia dikenal sebagai negara multiagama yang di dalamnya terdapat beragam agama. Bersatu dalam keragaman, dan harmoni dalam perbedaan menjadi kata kunci yang tak bisa lagi diganggu gugat. Sikap intoleran dari kelompok penganut agama manapun bisa menjadi pemicu konflik yang membahayakan keutuhan NKRI. Penelitian ini tujuan mengetahui pembingkaian surat kabar Kompas dalam mengupas dan mengemas wacana intoleransi keagamaan dan keberagamaan di Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan analisis framing Robert N. Entman, yang memokuskan kajian pada penonjolam kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim penafsiran media dalam memaknai objek wacana. Penelitian diharapkan mampu menstimuli masyarakat untuk kian kritis dalam memahami beragam berita yang dikonstruksi wartawan. Hasil penelitian menunjukkan, Kompas mendefinikan masalah intoleransi keagamaan dan keberagamaan di Indonesia sebagai masalah agama, sosial, politik, pendidikan, dan nasionalisme. Namun Kompas umumnya lebih mendefinisikan sebagai masalah pemahaman agama dan melemahnya sikap nasionalisme. Berita-berita Kompas menganggap sumber penyebabnya lebih dominan karena pemahaman agama yang dangkal, parsial, dan tidak mendalam. Kompas menyimpulkan intoleransi merupakan ancaman serius yang bisa membahayakan NKRI. Rekomendasi yang ditawarkan di antaranya pemerintah dituntut tegas, cepat, dan tidak berbau politis. Para tokoh agama direkomendasikan membangun komunikasi dialogis secara intens dan kontinyu, dan mendidik masyarakat untuk selalu meningkatkan kesadaran keberagamaan yang mendalam, moderat, dan tidak ekstrem.
Article
Revolusi Industri 4.0 menyebabkan terjadinya disrupsi di berbagai bidang bisnis dan terus meluas pada bidang-bidang yang lain, termasuk pendidikan, pemerintahan, hukum, budaya, politik, sosial dan juga keagamaan. Dalam bidang keagamaan, implementasi pelaksanaan peribadatan pun turut terdisrupsi oleh perkembangan teknologi dan trend zaman. Hal ini memungkinkan terjadinya kemerosotan nasionalisme. Lalu bagaimana insitusi gereja menyikapinya. Penelitian ini bertujuan menjabarkan pengertian moderasi agama dan radikalisme yang tersebar melalui sarana informasi teknologi yang tak terbatas. Penelitian ini menggunakan metode studi pustakan dan pengamatan terhadap tindakan-tindakan radikal di Indonesia. Hasil penelitian ditemukan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia muncul karena dipicu oleh persoalan domestik dan konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik umat islam. Dalam hal ini gereja tidak boleh tutup mata dan tidak peduli. Tetapi mengimplementasikan sikap untuk: mendalami agama Kristen secara teks alkitab yang mengajarkan tentang “kasih” dan harus bersikap pluralis terhadap agama dan masyarakat.
Article
AbstrakFenomenologi semakin sering digunakan sebagai metode penelitian keperawatan. Fenomenologi merupakan pendekatan ilmiah yang bertujuan untuk menelaah dan mendeskripsikan fenomena sebagaimana fenomena tersebut dialami secara langsung tanpa adanya proses interpretasi dan abstraksi. Terdapat banyak ahli fenomenologi dengan pemahaman yang berbeda-beda baik sebagai filosofi maupun sebagai metode penelitian. Walaupun demikian, Husserl tetap dikenal sebagai penemu dan tokoh sentral fenomenologi. Fenomenologi Husserl menekankan bahwa untuk memahami fenomena seseorang harus menelaah fenomena apa adanya. Oleh karena itu seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimiliki agar mampu melihat fenomena apa adanya atau melakukan proses bracketing. Selanjutnya, fenomena hanya terdapat pada kesadaran seseorang yang mengalaminya. Karena itu fenomena hanya dapat diamati melalui orang yang mengalami. Husserl tidak pernah menerjemahkan filosofinya menjadi metode penelitian terstruktur. Walaupun demikian terdapat bermacam-macam metode yang dianggap paling cocok dan sesuai dengan filosofi Husserl seperti metode Spiegelberg dan Coalizzi. AbstractPhenomenology has been recognized that the utilization of phenomenology in nursing research is increasing. Phenomenology is a scientific approach that attempts to analyze and describe the phenomena, as they are experienced by persons without interpreting and abstracting them. There are well known phenomenologist with different views and interpretations of phenomenology both as a philosophy and as a research method. However, Husserl has always been acknowledged as the founder and central figure of the phenomenological movement. Husserlian phenomenology emphasizes that to understand the phenomena someone needs to see the phenomena as they themselves. Therefore, someone needs to bracket assumptions, beliefs, and knowledge about the phenomena to be able to see the phenomena as they themselves. Furthermore, Husserl believes that the phenomena dwell deep inside the consciousness of the persons to whom the phenomena appear. Therefore, to understand the phenomena someone needs to turn to the persons who experienced the phenomena. Husserl has not derived his philosophy into a structured method of inquiry. However, there are various available methods of inquiry that were compatible with Husserlian phenomenological philosophy, such as Spiegelberg’s and Colaizzi’s method.