Available via license: CC BY-NC-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
22
Apostolos
Journal of Theology and Christian Education
Available Online at Vol.1 , No. 1 (Mei): 22-33
http:// ejournal.staknkupang.ac.id/ojs/index.php/apos
Peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam Menghadapi
Perilaku Intoleransi dan Fundamentalis
Jhon Leonardo Presley Purba
Info Article
Sekolah Tinggi Teologi
Baptis Indonesia
Semarang
*jhonpresley@stbi.ac.id
Submit:
March 7th, 2021
Revised:
march 15th, 2021
Published:
may 15th, 2021
This work is licensed
under a Creative
Commons Attribution-
NonCommercial-
ShareAlike 4.0
International License
Abstract:
Indonesia is the most plural country in the world. Pluralism in Indonesia
also concerns religion. The role of the Church and the Servant of God is
very important in dealing with intolerant behavior between religions in
the pluralism of the Unitary State of the Republic of Indonesia. This
research is a descriptive qualitative research that uses literature research
methods and data collection using the literature study method. The
purpose of this research is to find out how the role of the Church and the
Servant of God in dealing with intolerant behavior and religious hardliners
within the framework of the Republic of Indonesia. Using descriptive
qualitative methods with a phenomenological approach through literature
studies designed to collect, analyze and compile systematic and scientific
valid data from literature materials relevant to this research, so that the
conclusion of this study is that the Church and the Servant of God have an
important role. to be proactive in maintaining and dealing with intolerant
behavior towards Christians in Indonesia by being responsible for
educating Christians in Indonesia so that they do not have radical
sectarianism that leads to aggressive and intolerant behavior towards
adherents of other religions. The Church and the Servant of God must
realize that every citizen has the right that is protected by the state to
worship according to the religion and belief of each citizen. If there is an
intervention against Christians exercising their religious rights, the Church
and the Servant of God must act to defend their rights as citizens
according to the laws in force in Indonesia by making various efforts
including through inter-religious dialogue approaches, social approaches,
political approaches and formal legal approaches according to the law
applies in Indonesia.
Keywords: Church, Servant of God, Intolerance, Conflict, Religion.
Abstrak
Indonesia adalah Negara paling plural di dunia. Pluralisme di
Indonesia juga menyangkut hal beragama. Peran Gereja dan Hamba
Tuhan sangat penting untuk menghadapi perilaku intoleransi antar
agama di dalam pluralisme Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penelitian adalah penelitian kualitatif deskriptif yang menggunakan
metode penelitian literatur dan pengumpulan data dengan metode
studi literatur. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam menghadapi perilaku intoleransi
dan aliran garis keras keagamaan dalam rangka NKRI. Menggunakan
metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan fenomenologi melalui
23
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara di dunia yang memiliki pluralitas dalam berbagai
aspek. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (KLBI) mendefinisikan pluralitas atau majemuk
sebagai suatu kata sifat dari sesuatu yang terdiri dari beberapa atau bermacam-macam
bagian yang berbeda namun merupakan satu kesatuan.(Fajri, Em Zul & Senja, 2010, p.
542) Peneliti atau ilmuwan sosial dan antropolog bahasa secara konsisten menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang paling plural di dunia, terutama dari aspek suku
bangsa dan bahasa (Al Qurtuby, 2020). Dukungan data empiris melegitimasi pernyataan
di atas, karena merujuk pada laporan BPS tahun 2010, Indonesia memiliki 1.340 suku
bangsa dengan 1.158 bahasa daerah yang berbeda. Tidak hanya suku bangsa dan
bahasa, agama dan kepercayaan juga beragam di Indonesia, baik lokal maupun
transnasional. Tidak ada negara di dunia ini yang memiliki tingkat pluralitas seperti
Indonesia dan pluralitas yang bersifat natural (given) dan sekaligus kultural ini(Al
Qurtuby, 2020) merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga (Halim, 2015).
Pluralitas sebagai kekayaan bangsa juga memiliki dampak negatif, salah satunya
adalah sumber terjadinya konflik sosial yang melibatkan isu suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA). Untuk mencegah terjadinya konflik maka dibutuh kajian-kajian yang
komprehensif, yang bukan hanya akan memberikan gambaran komprehensif dan
holistik tentang ciri khas kebhinekaan Indonesia namun dapat juga menumbuhkan
persepsi positif terhadap dialog kerukunan SARA dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dalam masyarakat (Lestari, 2015).
Agama merupakan unsur SARA yang paling berpotensi menjadi sumber konflik
sosial di Indonesia. Konflik antar agama, khususnya antara Islam dan Kristen sudah
sering terjadi di Indonesia. Kesenjangan kekayaan antara minoritas Kristen atas
mayoritas umat Islam sering menjadi penyebab terjadinya konflik (Saleh Tajuddin et al.,
studi literatur yang dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis dan
menyusun data-data valid yang sistematis dan ilmiah dari bahan-bahan
literature yang relevan dengan penelitian ini, sehingga didapatkan
kesimpulan penelitian ini bahwa Gereja dan Hamba Tuhan memiliki
peran penting untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan
menghadapi perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia
dengan bertanggungjawab mendidik orang-orang Kristen di Indonesia
agar tidak memiliki sikap sektarianisme radikal yang mengarah pada
perilaku agresif dan intoleran terhadap penganut agama lain. Gereja dan
Hamba Tuhan harus menyadari bahwa setiap warga negara memiliki hak
yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama dan keyakinan
masing-masing warga negara. Jika terjadi intervensi terhadap orang
Kristen menjalankan hak peribadatanya, Gereja maupun Hamba Tuhan
harus bertindak membela hak sebagai warga negara sesuai hukum yang
berlaku di Indonesia dengan melakukan berbagai upaya diantaranya
melalui pendekatan dialog antar agama, pendekatan sosial, pendekatan
politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia.
Kata-kata kunci: Gereja, Hamba Tuhan, Intoleransi, Konflik, Agama.
24
2016). Sikap sektarianisme dalam beragama juga merupakan faktor utama konflik antara
Islam dan Kristen. Sektarianisme terjadi ketika masing-masing pemeluk agama
mengklaim bahwa agama yang dianutnyalah yang paling benar (Hanafy, 2015).
Selanjutnya, persoalan perizinan rumah ibadah yang sebenarnya adalah kewenangan
pemerintah setempat, juga sering menjadi faktor terjadinya konflik. Pemerintah perlu
melakukan perbaikan-perbaikan dalam menjalankan aturan perizinan rumah ibadah
sesuai undang-undang yang berlaku (Rina Hermawati, Caroline Paskarina, 2016). Karena
ini semua merupakan masalah laten, yang ketika terjadi akan sulit dicari jalan keluarnya
(Hanafy, 2015).
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki peran yang sentral dan
penting dalam upaya menjaga keberlangsungan kerukunan antar umat beragama
dengan menumbuhkan sikap toleran antar agama khususnya terhadap umat Kristen
karena sejatinya, kenabian Muhammad Saw dilegitimasi oleh pendeta Nasrani, Waraqah
bin Naufal dan sebelum itu juga telah diprediksi oleh Buhairah. Namun dinamika
hubungan Islam dan Kristen di Indonesia memang selalu fluktuatif. Berbagai faktor
terjadinya hubungan yang fluktuatif ini diantaranya praduga-praduga yang berlebihan
terhadap agama lain, pengalaman relasi dan dialog antar agama yang buruk, dan juga
faktor penafsiran-penafsiran dangkal atas teks-teks Alquran maupun Hadis (Maarif,
2020). Faktor-faktor inilah yang kemudian berpotensi menyebabkan terjadinya sikap
intoleran antar agama, khususnya dari kelompok-kelompok garis keras dan radikal.
Salah satu contoh perilaku intoleran yang terjadi belum lama ini yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok garis keras dan radikal dari agama Islam terhadap umat
Kristen adalah peristiwa ditolaknya tiga gereja yang berlokasi di Perumahan Griya
Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Ketiga gereja tersebut dinyatakan
dilarang menjadi tempat penyelenggaraan ibadah sampai akhir Maret 2017. Ketiga
gereja yang dilarang haknya untuk berkegiatan itu adalah Gereja Katolik, Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) dan Methodist. Menanggapi penolakan tersebut, Efendi
Hutabarat selaku pendeta Gereja Methodist Indonesia menyatakan bahwa pelarangan
kegiatan peribadatan itu diputuskan secara sepihak oleh muspika (musyawarah
pimpinan kecamatan) serta muspida (musyawarah pimpinan daerah) setempat, yang
diketuk palu pada 7 Maret 2017, tanpa meminta pendapat dari pihak gereja-gereja
terkait.(Folia, 2017) Kejadian ini hanyalah satu dari ribuan kasus intoleransi antar agama
yang belum terselesaikan, yang terjadi di Indonesia (Perkasa, 2016).
Berkaitan dengan topik perilaku intoleransi antar agama di Indonesia juga pernah
diteliti oleh Zulfa Jamalie yang menyatakan bahwa sikap atau perilaku intoleransi antar
agama dapat terjadi karena gesekan-gesekan akibat misi penyebarluasan agama yang
dianut, perbedaan pemahaman dan cara pandang, maupun pelaksanaan hak beribadah
dari masing-masing umat beragama yang dianggap mengganggu oleh pemeluk agama
yang lain (Jamalie, 2012). Febri Handayani melakukan penelitian serupa dalam artikel
berjudul: Toleransi Beragama Dalam Perspektif HAM Di Indonesia dengan menyatakan
bahwa dalam konteks sudut pandang keagamaan, ada opini yang menyatakan bahwa
seluruh aliran atau kelompok agama yang ada di Indonesia belum seluruhnya meyakini
jika nilai dasar setiap agama adalah toleransi. Implikasi dari hal ini adalah munculnya
intoleransi dan konflik antar agama (Handayani, 2010). Irfan Sanusi dan Enjang
Muhaemin dalam penelitian berjudul: Intoleransi Keagamaan Dalam Framing Surat
25
Kabar Kompas menyimpulkan bahwa intoleransi maupun konflik antar agama adalah
suatu ancaman yang serius bagi keberlangsungan NKRI.(Sanusi & Muhaemin, 2019)
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah bagaimana seharusnya peran Gereja dan Hamba Tuhan dalam menghadapi
perilaku intoleransi dan aliran garis keras keagamaan dalam rangka NKRI. Maka untuk
itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana peran Gereja dan
Hamba Tuhan dalam menghadapi dan menyikapi perilaku intoleransi dan aliran garis
keras keagamaan dalam rangka NKRI.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif (Zaluchu, 2020) dengan
pendekatan fenomenologi dimana penelitian terinspirasi atas fenomena yang tampak
saat ini dikalangan Gereja dan Hamba Tuhan yang cenderung pasif ketika terjadi
tindakan intoleran terhadap umat Kristen (Asih, 2014). Metode pengumpulan data
penelitian ini dengan studi literatur terhadap buku, artikel dan jurnal-jurnal ilmiah yang
relevan dengan topik penelitian ini.
Selanjutnya dari bahan-bahan literature yang relevan tersebut, peneliti
melakukan seleksi dan analisis terhadap data-data deskriptif yang valid dan relevan
untuk kemudian disusun dalam suatu kerangka berpikir yang sistematis dan ilmiah untuk
mendukung pokok pikiran peneliti dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang
tampak tentang perilaku intoleransi oleh kelompok radikal dan garis keras dari agama
Islam terhadap umat Kristen di Indonesia. Beranjak dari persoalan ini, dengan metode
analisis data yang identik, peneliti juga memberikan uraian deskriptif dan pandangan
kritis tentang sikap dan peran Gereja maupun Hamba Tuhan dalam menghadapi
perilaku-perilaku intoleransi tersebut.
PEMBAHASAN
Perilaku Intoleransi Terhadap Umat Kristen Di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perilaku intoleransi antar agama di Indonesia, khususnya terhadap umat Kristen
masih sering terjadi di zaman modern ini. Salah satu tindakan intoleransi yang belum
lama ini terjadi terhadap umat Kristen adalah gangguan yang dialami oleh umat HKBP
Kota Serang Baru (KSB), Bekasi, Jawa Barat, dari sekelompok massa yang tidak dikenal
pada saat beribadah pada hari minggu (13/9/2020) (Raharjo, Dwi Bowo & Sari, n.d.).
Pelaku tindakan intoleransi terhadap umat Kristen pada umumnya adalah kelompok-
kelompok aliran garis keras atau radikal dari agama Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia. Seperti yang diberitakan oleh Tempo pada Selasa, 30 Januari 2018, sejumlah
ormas Islam yaitu Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin
Indonesia bersama pemuda masjid melakukan pelarangan kegiatan bakti sosial yang
dilakukan Gereja Santo Paulus Yogya pada Minggu pagi, 28 Januari 2018 dengan alasan
kristenisasi (Maharani, 2018).
Perilaku intoleran terhadap umat Kristen di Indonesia yang dilakukan oleh
kelompok Islam garis keras dan radikal juga dilakukan dalam bentuk kekerasan yang
tidak berprikemanusiaan, salah satunya tindakan teror bom bunuh diri. Sudah sangat
banyak kejadian tindakan terorisme bom bunuh diri yang menyasar Gereja atau orang
Kristen sebagai targetnya. Kejadian yang paling akhir adalah serangan bom bunuh diri
26
pada tiga Gereja di Surabaya pada Minggu 13 Mei 2018. Serangan ini menyebabkan
puluhan korban jiwa dan luka-luka. Pelaku tindakan terorisme ini adalah kelompok
teroris dari Islam radikal di Indonesia yang terafiliasi dengan ISIS (Kriswanto, 2018).
Sesuai hakikatnya, agama seharusnya menjadi penguat persaudaraan dan persatuan
tapi yang terjadi sebaliknya, dimana agama menjadi alat untuk melegitimasi setiap
tindakan kekerasan dan permusuhan (Mahyiddin, 2009).
Penyebab utama munculnya sikap dan perilaku intoleransi antar agama adalah
pemahaman yang dangkal terhadap teks-teks Kitab Suci keagamaan. Dalam konteks
Islam, pemahaman yang tidak komprehensif terhadap Alquran dan Hadis akan
menyebabkan kekakuan dalam implementasinya. Pemahaman yang tidak komprehensif
juga, pada akhirnya akan menghasilkan penerapan yang tidak sesuai dengan maksud
teks itu sendiri. Dalil-dalil yang ada seringkali dipahami secara literalis tekstualis tanpa
memperhatikan latar belakang sosial, budaya, lokal, temporal, majaz, sabab al-wurūd
dan aspek lain yang berkorelasi terhadapnya. Ketidaktepatan memahami hadis-hadis
yang nampak intoleran akan mengakibatkan rusaknya substansi dan tujuan hadis itu
sendiri. Implikasi dari hal ini adalah harapan meningkatnya kerukunan antar umat
beragama dalam berbangsa dan bernegara tidak tercapai, sebaliknya yang terjadi adalah
suasana permusuhan yang mencekam dan mengancam kehidupan berbangsa dan
bernegara.(Arifin, 2020) Padahal dalam agama Islam sendiri, tidak kurang dari 300 ayat
menyebut tentang toleransi secara eksplisit. (Ginting & Ayaningrum, 2009)
Agama yang tidak dipahami secara komprehensif juga akan menimbulkan sikap
sektarianisme radikal. Menurut Azyumardi Azra, sektarianisme Islam di Indonesia tidak
serumit yang terjadi di Timur Tengah, namun tindakan intoleransi sektarianisme radikal
di Timur Tengah juga telah terjadi di Indonesia salah satunya dengan melakukan
perusakan terhadap rumah ibadah bahkan sampai memakan korban jiwa penganut
agama lain.(Azyumardi Azra, 2014)
Pendangkalan terhadap pemahaman agama dan fanatisme mengakibatkan rasa
superioritas atas pemeluk agama lain yang kemudian mengarah pada gerakan radikal.
Gerakan radikalisme di Indonesia muncul karena dipicu oleh persoalan domestik dan
konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik
umat Islam.(Widodo & Karnawati, 2019) Terorisme merupakan gerakan yang terjadi
karena pengaruh pemahaman yang radikal. Tindak terorisme berhubungan dengan
unsur radikalisme dalam pemaknaan terhadap ajaran agama.(Rahardanto, 2012)
Radikalisme menyebabkan tindakan kekerasan akibat pemaknaan yang parsial, inilah
yang terjadi terhadap konsep jihad dalam Islam. Konsekuensi logis dari interpretasi ini
adalah penyandingan terorisme sebagai buah dari radikalisme. Hipotesis ini merupakan
sesuatu yang wajar, mengingat berbagai aktivitas terorisme di berbagai belahan dunia
seringkali mengatasnamakan jihad yang dilakukan umat Islam sebagai bentuk ketaatan
pada Kitab Suci. Di Indonesia, hal ini menimbulkan berbagai gejolak yang berimplikasi
pada menurunnya stabilitas nasional, juga respon negatif dari negara-negara lain.(Laisa,
2014)
Terdapat beberapa faktor yang mendorong munculnya radikalisme di Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan sekurang-kurangnya ada tiga faktor utama,
pertama adalah perkembangan di tingkat global, kedua adalah penyebaran paham
Wahabisme dan ketiga adalah kemiskinan. Situasi yang kacau di negara-negara Timur
Tengah khususnya di Afghanistan, Palestina, Irak, Yaman, Mesir, Suriah, dan Turki,
27
dipandang oleh kelompok radikal sebagai akibat dari campur tangan Amerika, Israel,
dan sekutunya. Pada saat yang sama, Masuknya paham Wahabisme yang
mengagungkan budaya Islam versi Arab yang konservatif ke Indonesia ikut mendorong
timbulnya kelompok eksklusif yang sering menuduh orang lain yang berada di luar
kelompok mereka sebagai musuh, kafir dan boleh diperangi. Faktor ketiga adalah
kemiskinan. Meski faktor ini tidak secara langsung berpengaruh terhadap merebaknya
aksi radikalisme, namun perasaan sebagai elemen masyarakat yang termarjinalkan
dapat menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk terjebak dalam propaganda
radikalisme.(Asrori, 2017)
Paham radikalisme ini juga telah menyusup hingga ke institusi-institusi
pendidikan. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak umat Muslim Indonesia memahami Islam
dalam perspektif radikalisme. Kelompok radikal menggunakan beberapa cara untuk
menyebarkan radikalisme ini, diantaranya melalui organisasi kader, ceramah di masjid-
masjid yang dikelola dengan kendali kelompok ini, penerbitan majalah, booklet maupun
buku, dan melalui berbagai situs di internet. Dampak dari situasi ini adalah radikalisme
telah memasuki sebagian besar sekolah di beberapa daerah. Jika hal ini tidak segera
diantisipasi, maka dapat membantu dalam menumbuhkan sikap intoleransi di kalangan
siswa yang bertentangan dengan tujuan pendidikan agama itu sendiri.(Munip, 1970)
Program deradikalisasi sudah berjalan di Indonesia sejak tahun 2012. Program ini
menggunakan paradigma pencegahan dalam implementasi kebijakan-kebijakan yang
dihasilkannya. Selama tujuh tahun pelaksanaannya, deradikalisasi mengalami cukup
banyak tantangan dan hambatan. Sejauh ini, banyak kritik ditujukan pada program
deradikalisasi. Seperti kurangnya anggaran, fasilitas di lapas yang tidak memadai, materi
deradikalisasi yang diberikan kepada napi terorisme, bagaimana program kelanjutan
pasca deradikalisasi, sampai pada persepsi masyarakat terhadap program ini yang
cenderung tetap melakukan penolakan bagi eks narapidana terorisme setelah kembali
ke masyarakat. Masalah-masalah ini muncul dan menjadi hambatan bagi efektivitas
program deradikalisasi.(Indrawan & Aji, 2019)
Hal yang terpenting adalah adanya pemahaman inklusif terhadap agama,
sehingga pemeluk agama menyadari bahwa pluralitas beragama adalah sebuah
kebaikan.(Laisa, 2014) Jika dipahami dengan benar, agama bisa menjadi energi positif
untuk membangun nilai toleransi guna mewujudkan negara yang adil dan sejahtera.
Pada era reformasi ini, seharusnya nilai demokrasi dan toleransi dijunjung tinggi karena
demokrasi tanpa toleransi akan melahirkan tatanan politik yang otoritarianistik,
sedangkan toleransi tanpa demokrasi akan melahirkan pseudo toleransi yang rentan
memicu terjadinya konflik komunal. Untuk itu toleransi perlu dikembangkan dalam
masyarakat plural seperti masyarakat yang ada di Indonesia ini.(Ginting & Ayaningrum,
2009)
Pluralisme agama di bangsa Indonesia merupakan suatu hal yang nyata dan tidak
dapat lagi diperdebatkan sehingga perlu diambil jalan tengah terbaik dengan mengakui
pluralisme agama itu sendiri melalui perspektif toleransi yang positif atas segala kondisi
dan situasinya.(Ulfah, 2018) Langkah praktis yang dapat diupayakan untuk
meminimalisir intoleransi adalah dengan melihat peluang dialog sebagai realitas praksis
baru antar agama untuk hidup dalam keharmonisan. Dialog mendatangkan beragam
dinamika dan relasi sehingga mewadahi pluralitas yang konkret. Dialog juga dapat
menjadi identitas sosial umat beragama di Indonesia yang majemuk, karena dialog tidak
28
sebatas konsep ilmu kalam masing-masing agama melainkan bentuk yang lebih
transformatif. Beberapa pemikir teori kerukunan antar umat beragama menunjukkan
urgensi dan implikasi dari pendekatan dialog mengatasi intoleransi, khususnya dalam
konteks kehadiran Kristen dan Islam di Indonesia.(Kaha, 2020)
Keberadaan Kekristenan Dalam Pluralisme Agama Di Negara Kesatuan Republik
Indonesia
Setiap warga Negara setuju bahwa agama merupakan dimensi sentral dan
penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Setiap individu tidak terlepas dari
agama yang kemudian memberi dampak terhadap pola dan kecenderungan berpikir
setiap individu.(Soesilo, 2011) Eksistensi Kekristenan di Indonesia juga tidak dapat
dilepaskan dari paradigma ini, dimana ajaran Kekristenan juga akan membentuk pola
pikir penganutnya.
Perjalanan eksistensi agama Kristen di Indonesia selalu dibayangi oleh catatan
sejarah yang kurang berpihak. Berdasarkan catatan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia, Kekristenan pernah diidentikan sebagai agama penjajah, terlebih lagi pada
awal abad ke-20 agama Islam telah identik dengan pergerakan perjuangan dan
nasionalisme di Indonesia.(Telaumbanua, 2012) Pengaruh latar belakang secara historis
seperti ini, dan dinamika perbedaan pengajaran masing-masing agama, khususnya klaim-
klaim sepihak terhadap kemutlakan kebenaran dari setiap agama seringkali menjadi
pemicu utama terhadap timbulnya gesekan horizontal yang cukup keras antara umat
Islam dan Kristen dalam masyarakat.
Dalam konteks agama Kristen sendiri, sikap apatis orang Kristen sering menjadi
masalah yang secara tidak langsung mengakibatkan persepsi negatif terhadap identitas
keindonesiaan dan kadar nasionalisme pemeluk agama Kristen di Indonesia. Kenyataan
ini semakin diperburuk oleh kondisi Gereja yang cenderung eksklusif dan menutup diri
dari berbagai persoalan sosial, masyarakat, dan negara. Ferry Y. Mamahit
mengungkapkan bahwa kebanyakan Gereja bersikap apatis terhadap masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan yang ada di sekitarnya.(Telaumbanua, 2012) Selain itu, banyak
Gereja dikuasai oleh prasangka dan pemikiran diskriminatif yang membuat Kekristenan
tidak mampu menjalankan komunikasi dan kerja sama antar umat beragama. Padahal
pluralitas agama merupakan topik yang telah merambah ke seluruh aspek kehidupan
sehingga menuntut respons yang tepat di dalam menanggapinya. Oleh karenanya,
Sumartana mengagas gerakan untuk membawa Kekristenan menjadi relevan di bumi
Indonesia agar dapat berperan aktif di dalam konteks pluralitas agama.(Telaumbanua,
2012)
Dari perspektif Kristen, pluralitas agama dapat memperlihatkan aspek positif
maupun negatif. Dari perspektif positif, pluralitas agama dapat memperkaya dan
sekaligus menantang pemahaman Kristen secara lebih perseptif dan realistis tentang
keberagaman, sehingga pelayanan Kristen akan jadi lebih relevan dan kontekstual bagi
kebutuhan manusia disekitanya. Dari perspektif negatif, pluralitas agama dalam
keadaan-keadaan tertentu telah menjadi penyebab timbulnya ketegangan dan konflik-
konflik di antara agama yang ada. (Lukito, 2012) Meskipun tidak mudah menemukan
keseimbangannya namun Kekristenan di Indonesia harus mengambil sikap untuk
mengimplementasikan prinsip ‘mendalami agama Kristen secara teks Alkitab yang
mengajarkan tentang “kasih” dan harus tetap bersikap pluralis terhadap agama dan
29
masyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.’(Widodo & Karnawati, 2019)
Sebab Kekritenan mengajarkan untuk menjadi terang dunia dan garam dunia di tengah-
tengah masyarakat dengan keyakinan iman yang berbeda, sehingga tercipta
keharmonisan.(Arifianto & Santo, 2020)
Peran Gereja dan Hamba Tuhan Dalam Menyikapi dan Menghadapi Perilaku Intoleransi
Antar Agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia
Umat Kristen Indonesia harus menerima bahwa Indonesia adalah negara yang
plural dalam beragama. Sebagai anak bangsa, pandangan pluralisme tidak dapat
dipisahkan dari setiap orang Kristen Indonesia, khususnya para Hamba Tuhan. Hamba
Tuhan yang dimaksud disini adalah para Gembala yang menjadi pemimpin dan pengajar
rohani di Gereja. Sebagaimana dikutip oleh Jermia Djadi dan Yoseph Thomassoyan
(Djadi, n.d.), di dalam buku yang berjudul Sebuah Bunga Rampai Pertumbuhan Gereja,
Pontas Pardede mengemukakan bahwa di dalam setiap Gereja terdapat seorang tokoh
kunci yang Tuhan tetapkan dan pakai untuk menjadi pemimpin rohani yang aktif bagi
pertumbuhan Gereja tersebut melalui pengajaran-pengajaran teologi Kristen yang
Alkitabiah. Namun pandangan pluralisme sosiokultural modern memiliki dampak
terhadap teologi Kristen di Indonesia. Menurut Lukito, pluralisme telah dimanfaatkan
untuk membenarkan agenda teologis yang dikenal sebagai “teologi agama-agama
dunia” atau “teologi pluralistik.” Dimana iman Kristen diletakkan sebagai dikotomi atau
alternatif antara partikularisme dan inklusivisme. Pandangan ini juga menuntut orang
Kristen mengadakan atau ikut serta dalam dialog intra iman atau antar agama sehingga
kekristenan itu sendiri dapat diperkaya, atau bahkan diubahkan melalui interaksi dengan
menyerap kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam iman atau agama lain.(Lukito,
2012)
Persetujuan orang Kristen di Indonesia melakukan pandangan dan harapan
teologi pluralistik ini, barangkali dapat meminimalisir perilaku intoleransi terhadap orang
Kristen. Namun di pihak lain Kekristenan tidak akan sesuai lagi dengan kebenaran
Alkitab yang menjadi dasar absolut dari Kekristenan itu sendiri. Sebaliknya, jika
Kekristenan melakukan pola hidup dualisme yaitu dunia rohani dan dunia sekuler, yang
berimplikasi menjadikan umat Kristen sebagai komunitas yang menghindari dunia
(world-denying church), juga berlawanan dengan panggilan utama Kekristenan karena
orang Kristen seharusnya menjadi alat bagi Tuhan untuk melakukan karya-Nya di muka
bumi di antara umat manusia (world-engaging church). (Telaumbanua, 2012)
Lukito juga mengemukakan bahwa gereja perlu melangkah melampaui
kontroversi, yakni mengajukan sebuah kerangka yang bisa dikerjakan dimana
perbedaan-perbedaan pemikiran atau ideologi adalah sah dan tidak direlatifkan atau
diabsolutkan,(Lukito, 2012) tapi pada saat yang sama orang Kristen juga tetap dapat
menjalankan hak beribadah tanpa intervensi dan gangguan dari pihak manapun,
termasuk penganut agama lain, dan mendapat perlindungan hak beragama secara
hukum dari negara apabila terjadi tindakan intoleransi dari kelompok radikal khususnya.
Sebagaimana dinyatakan oleh Victorio H. Situmorang bahwa pelanggaran terhadap
kebebasan beragama melanggar undang-undang hak asasi manusia yang mana telah
diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.(Situmorang, 2019) Kebebasan beragama juga dijamin dalam undang-undang
dasar Indonesia. Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia dalam
30
konstitusi adalah Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”)
disebutkan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.” Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1)
UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia.
Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.(Rachmadsyah, 2010)
Merupakan kewajiban bagi Gereja, Hamba Tuhan dan orang Kristen secara umum
untuk menjadi pelopor utama bagi sikap toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati serta kerjasama dalam kehidupan antar agama di masyarakat. terlebih
memiliki memiliki sikap dapat menerima, menghargai dan mengasihi sesama manusia.
Ini merupakan inti dari pengajaran Yesus yang harus dikerjakan dan dihidupi oleh setiap
orang Kristen.(Arifianto & Stevanus, 2020) Karena kehadiran Gereja di Indonesia
bukanlah sebagai oposisi negara, melainkan rekan yang memiliki tanggung jawab sosial
untuk mengaktualisasikan ‘shalom’ bagi warga Gereja, dan masyarakat umum yang
lebih luas.(Susanto, 2019) Model kerukunan dapat dilakukan dengan memberi
keseimbangan antara negative rights dan positive rights, karena di negara ini konsep
kerukunan beragama (religious harmony) lebih ditekankan daripada konsep kebebasan
beragama (religious freedom). Kerukunan beragama merupakan keadaan hubungan
antar umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian dan saling
menghormati serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat.(Abdillah, 2016) Terlebih
hal itu diaktualisasikan dalam situasi dan kondisi dengan apapun yang terjadi, tetap
memberikan kontribusi bagi kemajemukan bangsa Indonesia.(Simon & Arifianto, 2021)
Sektarianisme dan radikalisme beragama yang cenderung meningkat akhir-akhir
ini di Indonesia sebagai faktor utama tindakan intoleransi antar agama sangat
berbahaya bagi masa depan Indonesia yang aman, damai, bersatu dan utuh. Oleh sebab
itu, diperlukan peningkatan kewaspadaan dan keseriusan seluruh pemangku
kepentingan (stake holders) untuk mencegah peningkatan sektarianisme dan
radikalisme dari kelompok aliran garis keras keagamaan. Para pemimpin agama, sosial,
dan politik harus menyadari dan melakukan berbagai upaya melalui institusi masing-
masing untuk mencegah ancaman nyata tersebut, sekaligus memperkuat harmoni dan
saling menghargai perbedaan yang ada di antara berbagai kelompok intra dan antar
agama, termasuk juga kelompok antar etnis, dan faksi politik.(Azyumardi Azra, 2014)
Dalam hal inilah diperlukan peran penting Gereja dan Hamba Tuhan sebagai
pemimpin umat Kristen untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan menghadapi
perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia. Gereja dan Hamba Tuhan juga
harus bertanggungjawab mendidik umat Kristen di Indonesia agar tidak memiliki sikap
sektarianisme radikal yang dapat mengarah pada perilaku agresif terhadap penganut
agama lain. Dan lain pihak, Gereja dan Hamba Tuhan harus menyadari bahwa setiap
warga negara memiliki hak yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama dan
keyakinan masing-masing warga negara.(Rachmadsyah, 2010) Oleh karenanya, jika
orang Kristen mengalami gangguan atau intervensi pihak luar, khususnya dari kelompok
agama lain dengan aliran garis keras, baik secara psikis maupun fisik dalam menjalankan
hak peribadatannya, maka Gereja maupun Hamba Tuhan harus bertindak membela hak
31
sebagai warga negara sesuai hukum yang berlaku di Indonesia dengan melakukan
berbagai upaya diantaranya melalui pendekatan dialog antar agama, pendekatan sosial,
pendekatan politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum yang berlaku di
Indonesia.
Gereja secara umum maupun Hamba Tuhan secara khusus harus memiliki
wawasan kebangsaan yang luas dan holistik agar dapat membangun relasi yang inklusif
di tengah-tengah masyarakat yang plural dan terlibat aktif dalam kegiatan
kemasyarakatan. Ini akan menjadi modal utama untuk memiliki kedekatan sosial dengan
lingkungan, khususnya dengan kelompok-kelompok agama lain yang moderat, yang
tentunya akan berimplikasi terhadap penerimaan masyarakat umum terhadap
keberadaan Gereja. Penerimaan masyarakat ini menjadi modal sosial yang penting bagi
eksistensi Gereja lokal. Kemudian, Gereja dan Hamba Tuhan juga harus berupaya
membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan para pejabat dan aparatur
Negara di daerah setempat. Hal ini akan menjadi modal penting bagi eksistensi Gereja
dalam bidang politik dan birokrasi. Terakhir, Gereja dan Hamba Tuhan harus memiliki
pemahaman yang cukup baik tentang konstitusi, perundang-undangan dan hukum yang
berlaku di Indonesia, khususnya yang mengatur tentang hak asasi keagamaan.
Pemahaman ini penting agar tidak ragu dalam besikap dan bertindak ketika terjadi
situasi yang urgen, yang mengharuskan dilakukannya upaya secara hukum untuk
melindung hak asasi umat Kristen Indonesia.
KESIMPULAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia diberikan given oleh Tuhan untuk menjadi
Negara yang paling majemuk di dunia, khususnya dalam agama tapi semua perbedaan
itu dapat terangkai indah dalam kebersamaan dibawah ideologi Pancasila dan Bhinneka
tunggal ika. Namun pluralitas agama juga rentan menjadi sumber konflik antar agama,
khususnya Islam dan Kristen. Salah satu ancaman yang nyata adalah perilaku intoleransi
dari kelompok aliran garis keras agama Islam terhadap Gereja pada umumnya maupun
Hamba Tuhan pada khususnya, baik dalam bentuk psikis maupun fisik.
Dalam hal inilah diperlukan peran penting Gereja dan Hamba Tuhan sebagai
pemimpin umat Kristen untuk bersikap dan proaktif dalam menjaga dan menghadapi
perilaku intoleransi terhadap umat Kristen di Indonesia. Gereja dan Hamba Tuhan
bertanggung jawab mendidik orang-orang Kristen di Indonesia agar tidak memiliki sikap
sektarianisme radikal yang mengarah pada perilaku agresif dan intoleran terhadap
penganut agama lain. Selanjutnya Gereja dan Hamba Tuhan harus menyadari bahwa
setiap warga negara memiliki hak yang dilindungi negara untuk beribadah sesuai agama
dan keyakinan masing-masing warga negara. Jika terjadi intervensi terhadap penganut
agama Kristen dalam menjalankan hak peribadatan. Gereja maupun Hamba Tuhan harus
bertindak membela hak sebagai warga negara sesuai hukum yang berlaku di Indonesia
dengan melakukan berbagai upaya diantaranya melalui pendekatan dialog antar agama,
pendekatan sosial, pendekatan politik maupun pendekatan legal formal sesuai hukum
yang berlaku di Indonesia
32
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, M. (2016). Kerukunan Umat Beragama di Era Jokowi-JK. Accessed on 24
November 2016, Http://Graduate.Uinjkt.Ac.Id.
Al Qurtuby, S. (2020). Merayakan Keragaman Tanpa Intoleransi dan Kekerasan.
Arifianto, Y. A., & Santo, J. C. (2020). Tinjauan Trilogi Kerukunan Umat Beragama
Berdasarkan Perspektif Iman Kristen. Angelion, 1(1), 1–14.
Arifianto, Y. A., & Stevanus, K. (2020). Membangun Kerukunan Antarumat Beragama
dan Implikasinya bagi Misi Kristen. HUPĒRETĒS: Jurnal Teologi Dan Pendidikan
Kristen, 2(1), 39–51. https://doi.org/10.46817/huperetes.v2i1.44
Arifin, A. (2020). Penerapan Metode Ali Mustafa Yaqub dalam Memahami Hadis
Intoleransi antar Umat Beragama. Holistic Al-Hadis.
https://doi.org/10.32678/holistic.v6i1.3239
Asih, I. D. (2014). Fenomenologi Husserl: Sebuah Cara “Kembali Ke Fenomena.” Jurnal
Keperawatan Indonesia. https://doi.org/10.7454/jki.v9i2.164
Asrori, A. (2017). Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas. Kalam.
https://doi.org/10.24042/klm.v9i2.331
Azyumardi Azra. (2014). Pemerintah Harus Tangkal Sektarianisme. Satu Harapan.
Djadi, Y. C. T. J. (n.d.). Kepemimpinan Yesus Kristus Menurut Injil Sinoptik dan
Relevansinya Terhadap Kepemimpinan Rohani masa Kini. Retrieved May 28, 2019,
from https://media.neliti.com/media/publications/104906-kepemimpinan-yesus-
kristus-menurut-injil-77aa2aa4.pdf
Fajri, Em Zul & Senja, R. A. (2010). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa Publisher.
Folia, R. (2017). Bogor Larang Warga Nasrani Beribadah di 3 Gereja Ini.
Ginting, R., & Ayaningrum, K. (2009). Toleransi dalam Masyarakat Plural. Jurnal Majalah
Ilmiah Lontar.
Halim, A. (2015). Pluralise Dan Dialog Antar Agama. Tajdid: Jurnal Ilmu Ushuluddin.
https://doi.org/10.30631/tjd.v14i1.21
Hanafy, M. S. (2015). Pendidikan Multikultural dan Dinamika Ruang Kebebasan. Jurnal
Diskursus Islam.
Handayani, F. (2010). Toleransi Beragama Dalam Perspektif HAM Di Indonesia. Toleransi.
https://doi.org/10.24014/trs.v2i1.426
Indrawan, J., & Aji, M. P. (2019). Efektivitas Program Deradikalisasi Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme Di Indonesia. Jurnal
Pertahanan & Bela Negara. https://doi.org/10.33172/jpbh.v9i2.561
Jamalie, Z. (2012). Pluralisme, Toleransi, Pendidikan Multikultural dan Kerukunan Umat
Beragama. Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat.
Kaha, S. C. (2020). Dialog Sebagai Kesadaran Relasional Antar Agama: Respons Teologis
Atas Pudarnya Semangat Toleransi Kristen-Islam Di Indonesia. Jurnal Abdiel:
Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja.
https://doi.org/10.37368/ja.v4i2.165
Kriswanto, J. (2018). Serangan bom di tiga gereja Surabaya: Pelaku bom bunuh diri
“perempuan yang membawa dua anak.” BBC News Indonesia.
Laisa, E. (2014). Islam Dan Radikalisme. Islamuna: Jurnal Studi Islam.
https://doi.org/10.19105/islamuna.v1i1.554
Lestari, G. (2015). Bhinnekha Tunggal Ika : Khasanah Multikultural. Jurnal Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan.
33
Lukito, D. L. (2012). Eksklusivisme, Inklusivisme, Pluralisme, dan Dialog Antar Agama.
Veritas : Jurnal Teologi Dan Pelayanan. https://doi.org/10.36421/veritas.v13i2.269
Maarif, N. H. (2020). Islam, Kebhinekaan, dan Relasi Muslim-Non-Muslim.
Maharani, S. (2018). Sejumlah Ormas Melarang Bakti Sosial Gereja Santo Paulus Yogya.
TEMPO.CO.
Mahyiddin, S. (2009). Filsafat Hukum Ketatanegaraan Dalam Perspektif Islam. Jurnal
Mentari.
Munip, A. (1970). Menangkal radikalisme agama di sekolah. Jurnal Pendidikan Islam, 1(2),
159. https://doi.org/10.14421/jpi.2012.12.159-181
Perkasa, A. (2016). Kekerasan agama, 2,498 pelanggaran belum dituntaskan. Kabar24.
Rachmadsyah, S. (2010). HAM dan Kebebasan Beragama di Indonesia. In Hak Asasi
Manusia.
Rahardanto, M. S. (2012). Mengkaji Sejumlah Kemungkinan Penyebab Tindak Terorisme:
Kajian Sosio-Klinis. Experentia : Jurnal Psikologi Indonesia.
https://doi.org/doi.org/10.33508/exp.v1i1.54
Raharjo, Dwi Bowo & Sari, R. R. N. (n.d.). Peribadatan HKBP Bekasi Diganggu Massa,
Komnas HAM: Pelanggaran Konstitusi.
Rina Hermawati, Caroline Paskarina, N. R. (2016). Toleransi Antar Umat Beragama di
Kota Bandung. UMBARA : Indonesian Journal of Anthropology, 1(2), 105–124.
http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:BnJH04BYyq8J:journal.u
npad.ac.id/umbara/article/download/10341/4829+&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id
Saleh Tajuddin, M., Mohd. Sani, M. A., & Tenri Yeyeng, A. (2016). Berbagai Kasus Konflik
di Indonesia: Dari Isu Non Pribumi, Isu Agama, Hingga Isu Kesukuan. Sulesana.
Sanusi, I., & Muhaemin, E. (2019). Intoleransi Keagamaan Dalam Framing Surat Kabar
Kompas. Communicatus: Jurnal Ilmu Komunikasi.
https://doi.org/10.15575/cjik.v3i1.5034
Simon, S., & Arifianto, Y. A. (2021). Kerukunan Umat Beragama dalam Bingkai Iman
Kristen di Era Disrupsi. JURNAL PENGABDIAN MASYARAKAT DAN INOVASI, 1(1), 35–43.
Situmorang, V. H. (2019). Kebebasan Beragama Sebagai Bagian dari Hak Asasi Manusia.
Jurnal HAM. https://doi.org/10.30641/ham.2019.10.57-67
Soesilo, Y. (2011). Gereja dan Pluralisme Agama dalam Konteks di Indonesia. Jurnal
Antusias.
Susanto, H. (2019). Gereja Sebagai Umat Allah dan Rekan Negara. Jurnal Jaffray, 17(1),
35. https://doi.org/10.25278/jj71.v17i1.298
Telaumbanua, H. (2012). Identitas dan Nasionalisme Komunitas Kristen di Indonesia:
Tinjauan Pemikiran Th. Sumartana dan Implikasinya bagi Pelayanan Kaum Muda.
Veritas : Jurnal Teologi Dan Pelayanan, 13(1), 78–98.
https://doi.org/10.36421/veritas.v13i1.252
Ulfah, M. (2018). Isu Kemajemukan (Pluralisme) Bangsa Indonesian Dalam Film ’?’ (Tanda
Tanya) (Analisis Semiotika Dalam Film ’?’ (Tanda Tanya) ). Interaksi Online.
Widodo, P., & Karnawati, K. (2019). Moderasi Agama dan Pemahaman Radikalisme di
Indonesia. PASCA : Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 15(2), 9–14.
https://doi.org/10.46494/psc.v15i2.61
Zaluchu, S. E. (2020). Strategi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Di Dalam Penelitian
Agama. Evangelikal: Jurnal Teologi Injili Dan Pembinaan Warga Jemaat, 4(1), 28.
https://doi.org/10.46445/ejti.v4i1.167