ArticlePDF Available

Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik Sastra Feminis

Authors:

Abstract

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan tentang perkawinan dan kelas sosial yang ditampilkan dalam novel metropop Melbourne (Wedding) Marathon karya Almira Bastari. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Data berupa kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data kemudian diklasifikasi sesuai dengan permasalahan penelitian, dan dikaji dengan pendekatan struktural dan kajian sastra feminis. Landasan teoretis yang digunakan di antaranya adalah dari Humm, Foucault, dan Priyatna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sesuai dengan kriteria metropop, seluruh elemen naratif dalam novel yang dikaji mendukung ide tentang percintaan dan perkawinan dengan latar urban. Sekalipun berada dalam situasi modern dan berkarakter mandiri, perkawinan masih didambakan oleh perempuan dengan harapan menjadi lembaga yang mengusung kesetaraan gender. Isu kelas menjadi hambatan dalam relasi percintaan namun dapat diatasi berkat penolakan perempuan atas wacana penguasaan. Kata Kunci: perkawinan, metropop, kelas sosial, kajian sastra feminis
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
87
Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding)
Marathon Karya Almira Bastari: Kritik Sastra Feminis
Tania Intan
tania.intan@unpad.ac.id
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan permasalahan tentang perkawinan dan kelas sosial
yang ditampilkan dalam novel metropop Melbourne (Wedding) Marathon karya Almira Bastari. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Data berupa kata, frasa, dan kalimat
dikumpulkan dengan teknik simak-catat. Data kemudian diklasifikasi sesuai dengan permasalahan
penelitian, dan dikaji dengan pendekatan struktural dan kajian sastra feminis. Landasan teoretis yang
digunakan di antaranya adalah dari Humm, Foucault, dan Priyatna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sesuai dengan kriteria metropop, seluruh elemen naratif dalam novel yang dikaji mendukung ide tentang
percintaan dan perkawinan dengan latar urban. Sekalipun berada dalam situasi modern dan berkarakter
mandiri, perkawinan masih didambakan oleh perempuan dengan harapan menjadi lembaga yang
mengusung kesetaraan gender. Isu kelas menjadi hambatan dalam relasi percintaan namun dapat diatasi
berkat penolakan perempuan atas wacana penguasaan.
Kata Kunci: perkawinan, metropop, kelas sosial, kajian sastra feminis
Pendahuluan
Dalam konteks budaya Timur, status menikah merupakan hal yang penting bagi seorang
perempuan. Sebagai dampaknya, perempuan yang telah ‘cukup umur’ namun belum menikah
kerap mendapatkan label dari masyarakat sebagai ‘perawan tua’, ‘tidak laku’, ‘pemilih’, atau ‘suka
jual mahal’ (Mami & Suharman, 2015: 216). Hal ini terjadi karena perkawinan, dalam perspektif
feminis, merupakan institusi yang secara tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.
Perkawinan adalah tempat kategori gender direproduksi, tempat pembagian kerja secara seksual
dan subordinasi perempuan, serta model institusi sosial lainnya mengenai norma seksual (Humm:
2007: 266). Realita bahwa tubuh perempuan digambarkan dan diberi identitas oleh dunia patriarki,
dijelaskan Adji dkk. (2009: 18), membuat perempuan tidak dapat memberi identitas untuk dirinya
sendiri. Laki-laki menjadi ukuran untuk mendefinisikan dan menentukan takdir perempuan, bukan
perempuan yang diukur atas kualitas yang dimilikinya sendiri.
Dalam pandangan Priyatna (2018: 167), perempuan dianggap tidak utuh bila belum
memiliki pasangan [heteroseksual]. Sebagaimana di dunia nyata, di dalam novel pun, perempuan
sering digambarkan ‘belum lengkap’ hingga tokoh tersebut dipersatukan dengan tokoh laki-laki
yang digambarkan sebagai sosok ideal baginya, yang mencintai dan dicintainya. Priyatna (2018:
11) juga berargumentasi bahwa laki-laki yang didefinisikan sebagai the right person, tidak pernah
memenuhi kriteria “penyayang, penuh perhatian, dan kategori klise lainnya.” The right person
‘orang yang tepat’ bukan orang yang nyaman dengan posisi dominan, dan bukan pula yang merasa
nyaman dengan posisi subordinat. Orang yang tepat adalah orang yang bersedia untuk
berkompromi dengan kebutuhan-kebutuhan dan situasi yang ia hadapi bersama pasangannya.
Oleh karena itulah, wacana perkawinan [seharusnya] tidak menjadi wacana penguasaan.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
88
Teori konflik Marxis dapat digunakan dalam kajian gender untuk menjelaskan peran
perempuan dan laki-laki, yang dibangun dengan asumsi dasar bahwa perbedaan dan ketimpangan
gender tidak disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan oleh
kelas yang berkuasa (lebih kuat) terhadap kelas yang lemah, yang kemudian diterapkan dalam
konsep keluarga. Hubungan di antara laki-laki dan perempuan tidak ubahnya seperti hubungan
borjuis dan proletar, tuan dan hamba, pemeras dan yang diperas (Umar, 1999: 61). Dengan
demikian, ketimpangan peran gender dalam masyarakat terjadi bukan merupakan pemberian
Tuhan (divine creation), melainkan karena konstruksi sosial.
Ketika memasuki kehidupan perkawinan, menurut Putri dan Lestari (2015: 72-75),
perempuan dan laki-laki memiliki peran baru yang merupakan konsekuensi dari relasi tersebut.
Ada banyak stigma yang dilekatkan oleh kaum feminis untuk menunjukkan ketimpangan
hubungan di antara kedua pihak yang berada di dalam institusi perkawinan. Menurut Delphy
(1977) yang dikutip Humm (2007: 266), perkawinan adalah kontrak kerja yang memungkinkan
suami mendapatkan pekerjaan tanpa upah dari istrinya dengan model produksi domestik dan
model eksploitasi dari struktur patriarkis. Demikian pula dengan maraknya kekerasan dalam
rumah tangga terhadap perempuan oleh partner perkawinan mereka, yang diduga berasal dari
prasangka dan kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Di masa lalu, menurut Botkin, Weeks, & Morris (2000) yang dikutip Putri dan Lestari
(2015: 74), gaya hidup khas dari pasangan menikah digambarkan sebagai situasi ideal, yaitu
masing-masing memiliki peran yang tidak tertulis dan menghasilkan keharmonisan perkawinan.
Suami bertugas mencukupi kebutuhan istri dan keluarga, sementara istri bertanggung jawab
mengurus rumah dan anak-anak. Seiring perkembangan zaman dan gaya hidup yang lebih modern,
ada pergeseran peran gender dari tradisional menjadi egaliter, yang berarti perempuan dan laki-
laki dipandang sama dalam semua domain.
Bagaimanapun juga, perkawinan tetap menjadi tujuan bagi kebanyakan perempuan,
sebagaimana dinyatakan Heise (2012) dengan mengutip Cherlin, bahwa sekalipun angka
perceraian meningkat, perkawinan “remains the most highly valued form of family life, the most
prestigious way to life your life‘tetap merupakan nilai tertinggi dari kehidupan keluarga, jalan
yang paling berharga untuk menjalani hidup Anda’. Perkawinan memang tidak pernah dianggap
sebagai hal yang sederhana, karena masih banyak orang yang memandangnya sebagai hal yang
sakral, luar biasa, dan hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup. Perkawinan tidak hanya
dipandang sebagai legalitas atas hubungan seksual di antara perempuan dan laki-laki, melainkan
sebagai pemersatu dari dua latar keluarga yang terhubung.
Dalam perspektif gender, tuntutan untuk menikah jauh lebih berat pada perempuan
daripada laki-laki. Kecenderungan budaya patriarkis pada konteks Indonesia telah membuat
perempuan didorong untuk segera menjadi ibu dan istri dalam sebuah keluarga, agar ia dihargai
sebagai anggota masyarakat sepenuhnya (Kumalasari, 2007). Perempuan dewasa yang memiliki
status identitas lajang akan mengalami ancaman berupa evaluasi negatif atau stereotip tertentu
dari masyarakat. Dengan kondisi tersebut, dapat dinyatakan bahwa perempuan rentan menjadi
target stigma. Stigma, menurut Goffman yang dikutip Septiana & Syafiq (2013: 74), adalah
penilaian kualitas baik fisik, sosial atau personal yang membuat kelompok orang yang
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
89
memilikinya dilabeli dengan identitas yang mendiskreditkan dan inferior. Stigma yang biasanya
melekat pada perempuan dewasa lajang adalah kurang dapat mengemban tanggung jawab, kurang
dewasa, dan kurang bisa bergaul (Conley & Collins, 2002).
Kecenderungan menilai perkawinan sebagai urgensi dalam hidup perempuan terdeteksi
hadir di dalam novel karya Almira Bastari yang berjudul Melbourne (Wedding) Marathon (2017).
Kegelisahan berkepanjangan dialami tokoh perempuan, Sydney Deyanira, karena di usianya yang
menjelang 25 tahun, ia belum juga menikah dan bahkan belum pernah berpacaran. Sebaliknya, ia
merasa resah karena merasa harus menghadiri pesta pernikahan teman-temannya secara berturut-
turut hampir setiap akhir pekan. Pertemuannya dengan Anantha kemudian dapat membawanya ke
jenjang perkawinan setelah melalui berbagai hambatan, termasuk perbedaan kelas sosial.
Novel Melbourne (Wedding) Marathon merupakan sebuah metropop, yaitu istilah yang
dibuat PT Gramedia Utama Pustaka untuk menamai novel populer terbitannya (Fitriana, 2010: 8)
dan sering disandingkan dengan urban lit dari Kensington Books. Metropop adalah novel yang
selalu bercerita tentang percintaan, pekerjaan, dan gaya hidup masyarakat urban. Berbeda dengan
chick lit, pada metropop, perempuan dan laki-laki dapat menjadi tokoh utama, dapat ditulis oleh
perempuan dan laki-laki, serta dapat dibaca oleh perempuan dan laki-laki. Latar tempat selalu
berada pada ruang metropolitan dengan kehidupan mapan dan gaya hidup glamor yang menyertai
para tokohnya (Intan, dkk. 2019: 584-585).
Sebagai arena pertarungan ideologi, teks sastra dapat memuat kepentingan politis dan
tendensi tertentu tentang relasi di antara perempuan dan laki-laki. Perspektif feminis menyaran
pada realitas bahwa karya sastra merupakan sarana efektif untuk sosialisasi ideologi patriarkis dan
model reading as woman ‘membaca sebagai perempuan’ diperlukan untuk mendekonstruksi
pembacaan androsentris, terutama tentang perkawinan. Pelanggengan atas ideologi patriarkis
tergambar misalnya pada berulangnya tema ketergesa-gesaan perempuan untuk menemukan
jodoh dan menikah. Beberapa di antaranya adalah novel 30 Hari Mencari Cinta karya Nova
Riyanti Yusuf, 90 Hari Mencari Suami karya Ken Terate, Otw Nikah karya Asma Nadia, dan
Kebelet Nikah karya Anisa Hakim. Relasi pura-pura atau fake relationship pun bukan merupakan
tema baru dalam dunia fiksi, seperti yang dapat ditemukan dalam novel Fake Relationship karya
Evathink, Fake Boyfriend karya A. Vani, Risti dan Suami Bayaran karya Diganti Mawaddah, dan
Miss Nerd Secret Pleasure karya Noismela. Kesenjangan kelas sosial di antara tokoh perempuan
dan laki-laki pun dapat mengingatkan pembaca pada novel Crazy Rich Asian karya Kevin Kwan
dan serial drama Meteor Garden.
Penelitian yang melibatkan isu perkawinan dalam karya sastra telah dilakukan di antaranya
oleh Fahmi dan Arfiyanti (2020) yang mengkaji kesetaraan gender dalam novel Cinta Suci
Zahrana karya Habiburrahman El-Shirazy. Temuan dari penelitian tersebut adalah ada
kecenderungan pada perempuan lajang yang berpendidikan dan berkarier tinggi mendapat
desakan untuk segera menikah. Hal ini terjadi karena kuatnya budaya patriarki yang memiliki
kehendak untuk menempatkan perempuan [kembali] ke ranah domestik. Sebaliknya, laki-laki
memiliki keleluasaan untuk melajang karena dianggap memiliki hak untuk memilih.
Kajian atas karya Almira Bastari telah dilakukan Anggraini dan Hayati (2019) yang
menelaah novel Resign!, dan menemukan bahwa dalam karya tersebut dideskripsikan potret
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
90
masyarakat urban. Sebagai penciri metropop, karakter urban ditunjukkan dengan adanya rekreasi,
budaya hidup instan, gaya hidup individualis, dan penggunaan teknologi secara masif.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa sejauh ini novel
Melbourne (Wedding) Marathon belum pernah diteliti secara ilmiah, sehingga terbuka celah untuk
selanjutnya dilakukan penelitian. Untuk membatasi wilayah kajian, maka dirumuskan bahwa
permasalahan dan tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap permasalahan tentang perkawinan
dan kelas sosial di dalam novel Melbourne (Wedding) Marathon karya Almira Bastari.
Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data yang terdiri
dari kata, frasa, dan kalimat dikumpulkan dengan teknik studi dokumentasi. Data kemudian dikaji
melalui makna verbal dan konteks, dengan pendekatan struktural untuk membahas narasi
percintaan dan kritik sastra feminis untuk mempelajari isu perkawinan dan kelas sosial.
Kritik sastra feminis digunakan karena teks yang ditelaah merupakan novel metropop yang
ditulis perempuan, dibaca perempuan, dan membicarakan terutama tentang perempuan. Wiyatmi
(2012: 11) mengutip Ruthven yang menyatakan bahwa kritik sastra feminis bersifat revolusioner
karena memiliki tujuan menumbangkan wacana dominan yang diciptakan suara tradisional dan
patriarkis. Wiyatmi (2012: 30) juga mengutip Showalter yang memaparkan dua jenis kritik sastra
feminis, yaitu kritik yang melihat perempuan sebagai pembaca dan kritik yang melihat perempuan
sebagai penulis. Untuk penelitian ini, akan digunakan kritik sastra yang melihat perempuan
sebagai pembaca karena kritik ini berfokus pada citra dan stereotip perempuan dalam sastra, serta
pengabaian dan kesalahpahaman tentang perempuan. Perempuan dalam karya sastra hampir selalu
ditempatkan sebagai korban, bersifat sentimental dan memiliki kepekaan spiritual di bawah
dominansi laki-laki (Djajanegara, 2003: 7).
Novel Melbourne (Wedding) Marathon adalah karya pertama Almira Bastari dan
diterbitkan pertama kali pada bulan Juli 2017 oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Metropop
bergenre romance ini terdiri dari 224 halaman, yang terbagi dalam 26 bab dengan prolog dan
epilog. Almira Illini Bastari adalah penulis yang awalnya dikenal melalui platform Wattpad.
Perempuan kelahiran 1990 di Illinois ini meraih gelar master di University of Melbourne. Ia telah
bekerja sebagai analis keuangan namun hal itu tidak menyurutkan keinginannya menulis fiksi
(Anindita, 2018). Selain Melbourne (Wedding) Marathon, novel-novelnya yang lain adalah
Resign! (2018) dan Ganjil Genap (2020).
Hasil dan Pembahasan
Narasi Percintaan dengan Latar Urban: Akhir yang Bahagia
Kisah dalam novel Melbourne (Wedding) Marathon digerakkan terutama oleh protagonis
perempuan yang bernama Sydney Deyanira, mahasiswa S2 bidang teknik yang kini berumur
hampir 25 tahun. Ia tinggal serumah dengan Detira, seorang bangsawan Malaysia, dan Rafka,
sahabat yang juga disukainya. Sydney cantik, cerdas dengan IQnya yang 138, mandiri, ambisius,
dan perfeksionis. Ia merasa patah hati ketika Rafka memilih berpacaran dengan Clara. Meskipun
tidak benar-benar menjalin hubungan, Sydney dan Rafka sempat menjadi sangat dekat dalam
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
91
enam bulan sebelumnya. Yang Sydney ketahui, beberapa laki-laki yang pernah mendekatinya
langsung mundur ketika melihat dirinya sebagai perempuan cerdas dan mandiri. Untuk mengisi
waktu dan menambah uang jajannya, Sydney pun kerja paruh waktu memasak untuk Anantha
Daniswara, seorang pengusaha sukses yang lajang.
Dalam keterpurukannya, Sydney pun tidak berpikir panjang ketika ditawari Anantha,
untuk berpura-pura menjadi pacarnya selama tiga minggu demi menghindari pengejaran yang
dilakukan Danisha, mantan kekasihnya. Sebagai upah atas jasa Sydney, Anantha membayarnya
dengan cara menemani perempuan itu mendatangi tempat-tempat romantis di Melbourne.
Anantha seperti telah dipersiapkan oleh pengarang untuk menjadi the right person bagi
Sydney, meskipun awalnya ia ditampilkan sebagai sosok yang arogan dan dingin pada perempuan.
Ia tampan, sangat kaya raya, dan berasal dari keluarga Daniswara yang terpandang. Namun, ia
bersedia berkompromi dengan Sydney agar gadis itu mau menjadi pacarnya selama tiga minggu.
Mereka tidak boleh bersentuhan selama lebih dari 5 detik dan tidak boleh memberi tahu pihak lain
tentang kontrak tersebut (hlm. 39). Namun kemudian hubungan mereka berkembang menjadi
sungguhan, dimulai dari Anantha yang mengagumi kecantikan dan prinsip-prinsip Sydney yang
awalnya tampak aneh baginya. Hubungan di antara mereka berbeda dengan antara Sydney dan
Rafka. Di awal kisah diceritakan bahwa perempuan itu menyukai Rafka namun secara tiba-tiba,
laki-laki ini meninggalkannya dan berpacaran dengan Carla, adik Danisha, yang merupakan
mantan pacar Anantha.
Anantha, dengan segala privilese yang melekat padanya, berupaya menunjukkan perilaku
kepahlawanan sebagai penciri the right person. Sekalipun dominan secara materi, ia tidak segan
untuk mengambil alih peran feminin, di antaranya yaitu memasakkan makanan (spagheti) untuk
Sydney yang sedang kelelahan. Anantha juga berkali-kali menawarkan untuk membelikan
pakaian pesta untuk kekasih ‘pura-puranya’ itu, yang ditolak dengan tegas oleh Sydney.
Sebagai tokoh antagonis, ditampilkan Danisha (mantan pacar Anantha), Clara (adik
Danisha, pacar Rafka), dan Pak Daniswara (kakek Anantha). Ketiganya datang dari keluarga-
keluarga yang sangat kaya. Gaya hidup modern dan konsumtif memang melatarbelakangi
kehidupan sosial para tokoh yang digambarkan mapan secara finansial. Suasana pesta, mobil
mewah (Porche, Range Rover, Lamborghini), serta merk-merk fashion terkenal dan mahal
(Hermes, Gucci, Prada, Chanel) menunjukkan bagaimana dunia tempat tokoh Sydney, Anantha,
dan teman-teman mereka berada. Untuk menguatkan kesan pentingnya nilai perkawinan, dalam
novel tersebut ditampilkan serangkaian (marathon) pesta yang diselenggarakan di tempat-tempat
megah, mulai dari pernikahan Oka di Palladium (hlm. 43), pertunangan Teddy di Southbank (hlm.
62), pernikahan Doddy di Grand Hyatt (hlm. 107).
Sebagai sebuah metropop, latar yang digunakan dalam novel Melbourne (Wedding)
Marathon adalah ruang urban, bertempat di kota-kota besar dunia, mulai dari Jakarta, Melbourne,
Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, hingga Tokyo. Sesuai dengan judul novel, Melbourne tentu
menjadi kota yang dominan diceritakan, yang ditunjang dengan deskripsi tentang berbagai tempat-
tempat romantis dan mendukung suasana percintaan, seperti Venice on the Yarra river (hlm. 49),
Tram Restaurant (hlm. 86), Her Majesty Theatre (hlm. 91), dan tempat-tempat lain seperti Lupino,
Kenzan, pertunjukan balet, Australia Open, dan New Zealand.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
92
Narator berada di luar kisah, sehingga sifat penceritaannya menjadi tidak terbatas dan ia
dapat menyelami kedalaman hati para tokoh untuk kemudian menyampaikannya pada pembaca.
Sudut pandang narator yang cenderung berkarakter feminin ini terungkap melalui keberpihakan
narator kepada perempuan dan keputusannya menempatkan laki-laki sebagai Liyan, sebagaimana
terlihat di dalam kutipan berikut ini.
Air muka Rafka tiba-tiba menjadi serius. “Lo marah, Syd?”
Peraturan pertama dalam menghadapi wanita yang mungkin Rafka belum tahu,
jangan pernah menanyakan wanita apakah dia marah atau tidak. Bukannya
mendapatkan kejujuran, yang ada wanita justru akan merasa semakin marah
karena merasa pria sama sekali tidak merasa bersalah. (Bastari, 2017: 24)
Sebaliknya, sudut pandang laki-laki yang disampaikan melalui tokoh Rafka misalnya
menjadi tidak menyenangkan dan terasa menjengkelkan [bagi perempuan]. Dalam kutipan berikut
ini, Rafka menyarankan pada Sydney untuk tidak terlalu menjadi pemilih dan perfeksionis agar
memiliki kekasih. “Wedding marathon? Tuh Syd, nggak usah straight H1 kalau mau dapat cowok,
biar bisa posting juga punya pacar di Path,” ujarnya sinis (Bastari, 2017: 14).
Dari sitasi tersebut, diketahui Rafka mempersepsi dan menyampaikan secara tidak
langsung pada Sydney untuk ‘menurunkan standarnya’, bahwa tidak perlu menjadi perempuan
yang sangat pintar (mendapat nilai H1/ sempurna) untuk mendapatkan seorang laki-laki. Tersirat
pula stereotip tentang laki-laki yang tidak menyukai perempuan cerdas. Sydney terprovokasi
ucapan-ucapan Rafka tentang umur dan karakternya sehingga sulit mendapatkan laki-laki yang
sesuai. Sydney pun merasa patah hati ketika mendengar pernyataan Rafka bahwa ia berpacaran
dengan perempuan lain bernama Carla, yang jauh lebih lembut dan manja dibandingkan dengan
dirinya.
Perkawinan dari Sudut Pandang Perempuan: Menolak Wacana Penguasaan
Permasalahan utama yang dimunculkan dalam novel Melbourne (Wedding) Marathon
adalah rangkaian pesta perkawinan/ pertunangan para teman yang harus dihadiri, baik oleh Sydney
maupun Anantha. Ketiadaan partner pada kedua tokoh ini menautkan mereka menjadi pasangan
pura-pura. Hal ini terjadi karena kenyataan datang sendiri ke sebuah pesta bukan merupakan
situasi yang menyenangkan, dan kesendirian mereka berubah menjadi penderitaan dengan adanya
eksposisi kebahagiaan yang ditampilkan pada media sosial.
Pernikahan, pertunangan, midodareni menghiasi Path setiap akhir minggu. Ia
mengembuskan napas sambil tersenyum sinis. Hidup seharusnya sederhana, sampai sosial
media berevolusi dan membuat manusia menjadi rentan akan tekanan. (Bastari, 2017: 2)
Kondisi yang dialami Sydney menyerupai penjelasan Septiana & Syafiq (2013: 71), bahwa
stigma kelajangan membuat perempuan dewasa yang belum menikah merasa tidak nyaman karena
‘tidak laku’, yang kemudian memengaruhi mentalitasnya menjadi tertekan dan kesepian. Ia
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
93
terprovokasi oleh pernyataan Rafka dan undangan pernikahan dari teman-temannya yang
membuatnya menyadari kesendiriannya yang tidak lagi menyenangkan.
Cara pandang masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki lajang memang berbeda.
Tokoh Sunny, yang tidak dimunculkan dalam cerita namun dijadikan sebagai ilustrasi oleh Rafka,
merepresentasikan perempuan yang belum/tidak menikah, yang sekalipun mapan dan sukses
dalam karier, namun tetap dianggap sebagai makhluk yang belum ‘utuh’ dan memiliki masalah
dalam berhubungan sosial. Sementara itu, laki-laki dewasa yang belum/tidak menikah dianggap
wajar karena dianggap sedang merintis dan menjalankan pekerjaannya.
Gue hanya nggak mau lo kayak Sunny. Empat puluh tahun, sukses, tapi single. Ingat, lo
itu sudah mau 25, clock is ticking, tahu-tahu nanti kepala tiga susah cari jodoh. (Bastari,
2017: 12)
Sydney sebenarnya sudah letih dengan alarm yang dibunyikan oleh sekitarnya. Hampir
separuh abad tampaknya adalah momok menakutkan bagi orang-orang tua, kakek, dan
neneknya. Lalu 25 dan 26 adalah arus puncak pernikahan di mana Sabtu-Minggu bahkan
bisa empat undangan pernikahan sekaligus. Pernikahan bukan lagi awal kehidupan, tapi
seperti akhir pencapaian seorang wanita yang dapat dianggap ‘sukses’. Buket bunga
pengantin kini seolah-olah menjadi simbol kemenangan. (Bastari, 2017: 13)
Dalam novel, terdapat sekuen yang memaparkan Anantha mengetahui bahwa dirinya
merupakan pacar pertama bagi Sydney. Situasi yang dianggap memalukan oleh perempuan itu
dimanfaatkan oleh Anantha untuk mencandainya. Hal ini mengindikasikan perempuan dewasa
yang belum menikah cenderung diposisikan dengan status identitas inferior karena dianggap tidak
sesuai kewajaran atau ‘tidak normal’.
“Akhirnya Sydney pecah telur juga, punya pacar pertama!” Detira menepukkan kedua
tangannya sekali.
Anantha tersedak es batu, batuk-batuk, dan saat itu pula Sydney rasanya ingin ditelan
bumi. Skak mat. End. Dia ingin membenturkan kepala di meja sekarang. […]
“Jadi kamu belum pernah pacaran?” Anantha bertanya pada Sydney. (Bastari, 2017: 136)
Kutipan di atas merepresentasikan pandangan umum bahwa kelajangan adalah sebuah
kategori sosial yang ‘bermasalah’, bahkan bagi mereka yang menempati posisi lajang itu sendiri.
Secara dilematis, perempuan lajang menyikapi kondisinya. Di satu sisi, ada kebebasan,
kemandirian, dan prestasi, namun di sisi lain, ada perasaan tertekan, kesepian, dan keinginan
menuntaskan kelajangan tersebut. Perempuan pada umumnya memahami bahwa diperlukan
ketelitian dan kehati-hatian dalam memilih calon pasangan, sehingga mereka merasa perlu
menunda perkawinan (Septiana & Syafiq, 2013: 72). Namun karena faktor lingkungan, keluarga,
dan media sosial, perempuan dapat saja terpengaruh dan menjadi terburu-buru untuk segera
menikah. Seperti diburu waktu, mereka pun didukung untuk menikah sesegera mungkin, karena
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
94
secara biologis, semakin berumur, peluang mereka untuk mendapatkan pasangan juga dianggap
semakin kecil.
“Aku kecewa, kenapa selalu gagal dengan orang lain. kenapa pria-pria itu selalu memilih
orang lain, yang bahkan di atas kertas tidak lebih baik dari aku. Kenapa bagi Rafka aku
selalu invisible, kenapa aku masih single di umur 24 tahun! I’m turning 25 soon.” Sydney
menjadi emosional.
“Banyak temanku yang akan menikah dan entah kenapa itu membuatku tertekan seolah-
olah aku akan kalah dalam suatu pertandingan yang bahkan tidak ada kompetisinya.”
Detira menatapnya kasihan. Syd, sudah kubilang, jangan pikirkan apa yang ada di
sekitarmu. Pernikahan itu bukan piala dan proses menuju ke sana bukan dengan sprint.”
(Bastari, 2017: 157)
Sebagai perempuan berpendirian keras, teratur, terencana, dan ambisius, Sydney dapat
menjadi sangat rendah diri bila menyangkut hubungan. Kegalauan Sydney tersebut ditanggapi
dengan bijak oleh Detira. Meskipun kondisinya sendiri tidak lebih baik daripada Sydney, namun
Detira memiliki visi jelas tentang calon suaminya kelak. Ia harus dewasa dan dapat membimbing
Detira sebagai istri. Sementara itu, dua laki-laki yang menyukai Sydney, Anantha dan Rafka,
bersikap sebagai penjaga dan memperlihatkan adanya insekuritas atau sikap tidak nyaman mereka
ketika perempuan itu berdandan dengan lebih mencolok. Mereka memperlihatkan posesivitas atas
perempuan yang sebenarnya bukan merupakan pasangan mereka.
“Aku nggak suka lihat kamu pakai lipstik merah.” […]
Untuk kedua kalinya Anantha berkomentar setelah sebelumnya, di acara pernikahan Dody,
Sydney mengabaikannya dengan pura-pura tidak mendengar. Ia tidak suka melihat
kekasihnya yang selama ini terlihat seperti anak-anak, sekarang tampak sangat dewasa dan
seksi.
“Kamu fashion police?” (Bastari, 2017: 91)
“Lo ngapain pakai lipstik merah, sih?” tanya Rafka. […]
Dalam hati, ia kesal kenapa para pria yang dikenalnya hari ini sibuk berkomentar mengenai
warna lipstiknya. Sejak kapan hal mikro begitu menjadi sesuatu yang sangat penting untuk
dibahas?
“Lo kenapa pakai lipstik merah? Karena pergi sama Anantha?” tanyanya.
Sydney menoleh dengan pandangan sinis. “Gue pakai lipstik merah karena pakai baju ini.
Nggak ada hubungannya sama Anantha!” (Bastari, 2017: 95)
Status lajang dan penampilan menarik pada seorang perempuan dapat menjadi godaan bagi
laki-laki. Oleh karena itu, baik Rafka maupun Anantha merasa berkeberatan bila Sydney
mengenakan lipstik merah yang diperkirakan akan menarik perhatian laki-laki pada umumnya.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
95
Namun, sebagai perempuan cerdas dan mandiri, Sydney tidak membiarkan wacana penguasaan
oleh laki-laki berkembang atas dirinya. Ia menolak dikuasai Rafka dan Anantha.
Wacana seksualitas prapernikahan tidak dikembangkan dalam novel Melbourne
(Wedding) Marathon, meskipun ada beberapa sekuen yang menampakkan hasrat Anantha pada
Sydney. Namun batasan telah dibuat melalui surat kontrak dari hubungan pacaran pura-pura
mereka, tidak boleh memeluk dan menyentuh lebih dari 5 detik. Sebagai laki-laki heteroseksual
dewasa, secara tersirat maupun eksplisit, ia menunjukkan minatnya pada perempuan itu meskipun
hal itu melanggar perjanjian di antara mereka. Pada beberapa kesempatan, Anantha melakukan
pendekatan namun selalu ditolak oleh Sydney yang merasa belum siap.
Anantha membuka pintu dan sudah ada Detira yang hendak memencet bel di sana. Detira
tampak tak percaya dengan matanya. Bagaimana mungkin ada Anantha di sana, dengan
wajah kelelahan dan kancing teratas serta jasnya terbuka. Rambut Sydney juga berantakan.
Hi … ergh … guys?” Tangan Detira melambai dengan canggung. [..]
“Nan kita belum selesai …,” Sydney berusaha bicara namun Anantha memotong.
We can do that after marriage, kalau sekarang kamu pregnant gimana?” Anantha
mengedipkan mata dan membuat Sydney salah tingkah melihat Detira yang menganga
sekarang. (Bastari, 2017: 213)
Namun, sebagaimana telah dijelaskan, Sydney tidak mudah ditaklukkan karena ia terbiasa
mandiri dan tidak pernah memiliki pacar sebelumnya, sehingga berkesan kaku dalam menyikapi
relasi percintaan tersebut. Perempuan ini pun tidak membiarkan laki-laki menguasai tubuhnya,
selain karena prinsip keyakinan juga karena ia tidak terbiasa berada dalam suasana intim.
Perkawinan dan Perbedaan Kelas Sosial
Meskipun Sydney bukan seorang perempuan yang miskin, namun terdapat kesenjangan
yang sangat lebar di antara dirinya dengan Anantha. Bahkan dalam lingkaran persahabatannya
dengan Detira dan Rafka, Sydney berada pada posisi ekonomi paling lemah. Kondisi ini misalnya
terlihat dari ketidakrelaannya saat harus membeli gaun pesta di sebuah butik ternama Australia.
Sydney bergegas menaiki tram menuju Mal Emporium di kota. Dia memasuki butik
Zimmermann, salah satu designer Australia favoritnya yang sama sekali belum pernah ia
beli. Dengan berat hati, ia ambil tuck dress lengan tiga perempat sepanjang lutut yang
berwarna putih dengan motif dedaunan hitam. Ia sama sekali tidak ingin melihat ketika
kartunya digesek. Belum pernah seumur hidup, ia membeli baju seharga hampir seribu
dolar. Baju belum dimasukkan ke dalam plastik, ia sudah berpikir untuk menjualnya agar
tidak terlalu merasa rugi. (Bastari, 2017: 41)
Meskipun ia juga menyukai Anantha, Sydney tahu diri bahwa dirinya tidak sebanding
dalam konteks sosial-ekonomi dengan laki-laki itu. “I can’t afford your lifestyle. Apa kamu nggak
malu sama bawa pacar yang beda kastanya sama kamu? “ (hlm. 83). Perempuan ini pun dengan
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
96
tegas menolak tawaran Anantha yang hendak membelikannya gaun-gaun pesta. Sydney tidak
ingin menerima apa pun dari laki-laki itu karena sekali saja ia bersedia, maka nilai harga dirinya
turun drastis dan dirinya menjadi inferior. Selain itu, Sydney tidak benar-benar miskin karena ia
masih dapat membeli tas Coach dan sepatu Michael Kors.
[…] ia sudah tahu apa yang menjadi takdirnya dan Anantha. Terutama setelah ia pergi ke
semua pesta teman-teman Anantha. Ia tidak mungkin berada di golongan sosial itu.
Sebenarnya, ia tidak pernah merasa seperti orang miskin, karena ia tidak miskin. Tapi jelas
ia bukan orang bisa dengan mudah menggelontorkan uang hanya untuk beli sendal jepit
Hermes seperti yang dipakai Clara di Lupino. (Bastari, 2017: 120)
Hambatan dalam relasi Sydney dan Anantha datang dari para tokoh antagonis, yaitu
Danisha, Clara, dan Pak Daniswara. Kakek Anantha itu sampai memanggil Sydney ke kantor
untuk menyuapnya dengan mobil, apartemen, dan uang, agar meninggalkan sang cucu. Sydney
merasa sakit hati namun dapat memahami ketika laki-laki kaya raya, berkuasa, dan sering masuk
majalah bisnis itu mengutarakan maksud dan menggunakan istilah “orang dari level kayak kamu”
(hlm. 180) yang merujuk pada dirinya. Namun, Sydney menolak wacana penguasaan yang hendak
ditimpakan padanya, dan menyatakan dengan tegas bahwa ia memang akan meninggalkan
Anantha.
Tidak ada yang salah dari wanita-wanita yang dipilih oleh putra dan cucunya. Mereka
semua datang dari keluarga berada, berpendidikan, dan tidak buruk, namun itu tidak cukup
baginya. Perempuan yang bisa menjadi pendamping keturunan Daniswara harus yang satu
tingkat dengan mereka, yang mampu memberikan dukungan dari segi materiil dan
immateriil. Bukan manusia-manusia yang nantinya hanya bisa berdoa ketika grup yang
dirintis sejak zaman ayahnya itu berada di ujung tanduk. (Bastari, 2017: 181)
Selain ditentukan oleh strata sosial dan latar belakang keluarga, perkawinan juga
menautkan dua pihak yang [seharusnya] setara secara status, yaitu sama-sama lajang. Dalam
konteks novel Melbourne (Wedding) Marathon, meskipun Danisha berasal dari keluarga yang
kaya raya, ia dianggap tidak dapat menikah dengan Anantha karena pernah menikah. Untuk
menghindari konflik di kemudian hari, status sosial perempuan tidak luput dari perhatian keluarga
laki-laki.
“Kakek nggak akan ngizinin aku menikah dengan divorcee.” Anantha menyeruput
kopinya lagi.
“Kamu pikir aku sampah?!” Intonasi Danisha naik. (Bastari, 2017: 192)
Dengan memiliki status sosial yang lebih tinggi, yang ditunjukkan dengan kekayaan dan
kekuasaan yang melimpah, Anantha dan keluarganya merasa memiliki hak untuk mengambil
keputusan tentang sosok pendampingnya. Ia tampil percaya diri dan dominan di hadapan orang
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
97
lain, tapi bersedia [sedikit] merendahkan diri pada perempuan yang dicintainya. Anantha juga
melakukan pembelaan atas hubungannya dengan Sydney pada sang kakek sehingga akhirnya
mereka pun direstui untuk menikah. Meskipun merasa cukup dengan dirinya, kehadiran Anantha,
laki-laki yang ia cintai, membuat Sydney kini merasa dirinya telah utuh.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa novel Melbourne (Wedding) Marathon karya Almira
Bastari sesuai dengan kriteria metropop, seluruh elemen naratif dalam novel yang dikaji
mendukung ide tentang percintaan dan perkawinan dengan latar urban. Sekalipun berada dalam
situasi modern dan berkarakter mandiri, perkawinan masih didambakan oleh tokoh perempuan
dengan harapan menjadi lembaga yang mengusung kesetaraan gender. Isu kelas menjadi
hambatan dalam relasi percintaan tersebut namun dapat diatasi berkat penolakan tokoh perempuan
atas wacana penguasaan.
Ketergesa-gesaan perempuan untuk memasuki dunia perkawinan yang terungkap dalam
novel Melbourne (Wedding) Marathon disebabkan oleh ancaman atas identitas sosial lajangnya,
yang diposisikan masyarakat lebih inferior dibandingkan dengan status menikah. Masih ada celah
yang dapat dilakukan untuk penelitian selanjutnya, misalnya dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra dan kajian budaya. Meskipun tema-tema yang diangkat, yaitu ketergesa-gesaan
perempuan untuk menikah, hubungan pura-pura, dan kesenjangan sosial, merupakan gagasan
yang berulang dan tipika khas romance, namun secara umum, Almira Bastari dapat menyajikan
novel tersebut dengan baik dan menarik.
Daftar Pustaka
Adji, M., Rahayu, L.M., Banita, B. 2009. Perempuan dalam Kuasa Patriarki. Laporan Penelitian.
Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. Jatinangor.
Anggraini, M. & Hayati, Y. 2019. Potret Masyarakat Urban dalam Novel Resign! Karya Almira
Bastari. Jurnal Bahasa dan Sastra. 7 (2). 1-6.
Anindita, Meutia Ersa. 2018. Almira Bastari: Dulu Dicitakan, Sekarang Dinyatakan.
https://www.gramedia.com/blog/perjalanan-karir-almira-bastari-penulis-buku-best-seller-
dari-wattpad/ diakses tanggal 2 Agustus 2020.
Bastari, Almira. 2017. Melbourne Wedding Marathon. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Conley, T.D., & Collins, B.E. 2002. Gender, Relationship status, and Stereotyping about Sexual
Risk. Personality and Social Psychology Bulletin. 28. 1438-1494.
Djajanegara, S. (2003). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Fahmi, R.F. & Arfiyanti, R. 2020. Kesetaraan Perempuan dan Polemik Budaya Patriarkal dalam
Novel Cinta Suci Zahrana. Deiksis. Vol. 7 (1). 36-45.
Fitriana, Adytia. 2010. Karakteristik Novel-novel Metropop Gramedia. Skripsi. Universitas
Indonesia. Depok.
Deiksis: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, 8 (1) Januari 2021
DOI: 10.33603/dj.v8i1.4865
(p-ISSN 2355-6633, e-ISSN 2548-5490)
Tania Intan: Isu Perkawinan Dan Kelas Sosial Dalam Metropop Melbourne (Wedding) Marathon Karya Almira Bastari: Kritik
Sastra Feminis
98
Heise, Franka. 2012. “I’m a Modern Bride”: On the Relationship between Marital Hegemony,
Bridal Fictions, and Postfeminism. Journal Media Culture. 15 (6).
http://www.journal.media-culture.org.au/index.php/mcjournal/article/view/573 diakses
tanggal 1 Agustus 2020.
Humm, Maggie. 2007. Ensiklopedia Feminisme. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Intan, T., Handayani, V.T., Som, W.S. (2019). Citra Perempuan dalam Novel Metropop Tetralogi
Empat Musim Karya Ilana Tan. Nusa. 14 (4). 583-598.
Kumalasari, D. 2007. Single Professional Women Sebagai Fenomena Gaya Hidup Baru di
Masyarakat Yogyakarta (Studi Kasus: Kabupaten Sleman). Laporan Penelitian. Universitas
Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.
Mami, Lutfita & Suharnan. 2015. Harga Diri, Dukungan Sosial, dan Psychological Well Being
Perempuan Dewasa yang Masih Lajang. Persona, Jurnal Psikologi Indonesia. Vol. 4 (3).
216-224.
Priyatna, A. 2018. Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Arti
Bumi Intaran.
Putri, D. P. K. & Lestari, S. 2015. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan Suami
Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora. 16 (1). 7285.
Septiana, E. & Syafiq, M. 2013. Identitas Lajang (Single Identity) dan Stigma: Studi
Fenomenologi Perempuan Lajang di Surabaya. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan. 4 (1)
71-86.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.
Wiyatmi. (2012). Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra. Yogyakarta:
Ombak.
... Pada tahun 1970-an dan 1980-an, penelitian kualitatif semakin digunakan dalam konteks feminisme dan kritik sosial (Intan, 2021). Ini membantu menggali isu-isu sosial seperti ketidaksetaraan gender dan ketidakadilan sosial. ...
Article
Full-text available
His article discusses the rights and justice of transmigrated women from the Lio Tribe from a feminist perspective. The multicultural ethnic community environment requires the Lio ethnic transmigration community to mingle with the local community in Bhakti Jaya Village. The transmigration community of the Lio Tribe came and settled in Bhakti Jaya Village and continued to carry out the culture that was brought from their area of origin, giving rise to different opinions from each of the figures involved. The culture brought a marriage culture called belis. This research was conducted using an ethnographic methodology to reveal facts using observations, interviews, and documentation to collect data. The participants of this study amounted to nine people as research informants, seven people, and two local people. The study results revealed that the Lio Tribe succeeded in determining the form and number of belis by prioritizing the rights and justice that both partners must obtain. This result can also lead to household harmony for both partners, and therefore, for the transmigration community of the Lio Tribe, who are directly related to this traditional tradition, they must build good relations between the two families, both the bridal family and the inter-ethnic community. And this study shows the harmony between the Belis cultural tradition and the concept of feminism. Finally, this article provides participation to propose solutions to problems in preventing conflicts that may arise in the families involved in this traditional procession.
Article
Full-text available
When the storyline of chick lit and teen lit is always dominated by female figures, the metropop shows female and male figures. However, like popular novels that are more read and written by women, the metropop always presents issues that are centered on women. Therefore, this research was conducted with the aim of revealing the image of women in the ‘Tetralogi Empat Musim’ metropop by Ilana Tan consisting of ‘Summer in Seoul’ (2006), ‘Autumn in Paris’ (2007), ‘Winter in Tokyo’ (2008), and ‘Spring in London’ (2010). Data was collected by note-taking technique, and analyzed by descriptive-qualitative method. The methodological approach and the theoretical basis adopted for this research are feminist literary criticism. The results of the analyse indicate that in the tetralogy, (1) female self-image is displayed subject with TWITS (Teenage Women in Their 30s) characteristics, namely single, independent, working, aged between 24-30 years, beautiful and attractive, living in urban areas, lifestyle metropolis, heterosexual, and have character ‘The Waif’, and have 'weakness'. (2) The social image of women is described as being still the object of a patriarchal system in the form of dependence on male figures due to love relationships.
Article
Full-text available
Abstrak. Penelitian ini didasarkan atas temuan dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El-Shirazy yang mengangkat persoalan perempuan. Novel Cinta Suci Zahrana menarik untuk dikaji dari sudut pandang gender karena bernuansa feminisme. Namun, novel ini ditulis oleh pengarang laki-laki. Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori feminisme dan gender. Metode penelitian menggunakan deskriptif analisis dengan studi dokumentasi. Dari hasil penelitian ditemukan kecenderungan perempuan lajang yang berpendidikan dan berkarier tinggi acapkali mendapatkan desakan untuk segera menikah. Hal itu didasarkan masih kuatnya budaya patriarkal yang membentuk konstruksi sosial sehingga muncul anggapan bahwa setinggi-tingginya perempuan berpendidikan dan berkarier pada akhirnya akan mengurus hal-hal yang bersifat domestik. Novel Cinta Suci Zahrana mencerminkan realitas kehidupan masa kini, terutama bagi perempuan yang berkarier dan berpendidikan tinggi, tetapi belum menikah, seperti yang direpresentasikan tokoh Zahrana. Konflik yang dialami tokoh Zahrana merupakan representasi dari ketidaksetaraan gender pada masyarakat patriarkal bahwa pria cenderung bebas melakukan pilihan yang didukung oleh anggapan mayoritas sebagai sebuah kewajaran bahkan kebenaran. Kata Kunci : Cinta Suci Zahrana, gender, patriarkal
Article
Full-text available
This study was aimed to explore middle class single adult women's experience concerning their identity as a single in Surabaya. The number of single adult women in Surabaya has been increased since 2010 until recently. Phenomenological method was used in this study. Data collected using indepth semi-structured interviews and analysed using IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). This study reveals three themes, namely the experience of being stigmatized, psychological impacts of the stigma, and strategies employed to cope with stigma and psychological discomforts. Most participants reported that they are called as " perawan tua " (spinster), " tidak laku " (leftover) by social surroundings. They are also blamed as having negative traits such as introvert because of their single status. The experience of being stigmatized has impacted on their psychological discomforts such as insecure feelings and loneliness. To cope with stigma and psychological discomforts, most participants employed some strategies, namely reevaluating single identity in positive ways, avoiding situations wich invite stigma, and accepting God's destiny and plan. Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengalaman perempuan lajang kelas menengah di Surabaya. Meningkatnya jumlah perempuan lajang di Surabaya dari tahun 2010 hingga tahun 2012 dan masih dijumpainya stigma negatif kepada perempuan lajang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologis dengan pengambilan data menggunakan wawancara semiterstruktur. Data yang telah diperoleh dianalisis menggunakan teknik analisis interpretative phenomenological analysis (IPA). Penelitian ini berhasil mengidentifikasi tiga tema utama, yaitu pengalaman terkait stigma terhadap identitas lajang; kondisi psikologis akibat stigma terhadap lajang, dan cara menghadapi tekanan dan stigma. Para partisipan melaporkan bahwa mereka dianggap dan diperbincangkan sebagai perawan tua, perempuan tidak laku, dan memiliki sifat tertutup yang tidak mendukung terjalinnya hubungan intim. Pengalaman stigma tersebut telah mempengaruhi kondisi psikologis sebagai perempuan lajang, yaitu perasaan tertekan dan kesepian. Dalam menghadapi tekanan akibat stigma dan upaya untuk mengatasi tekanan psikologis tersebut, para partisipan penelitian ini menempuh strategi untuk mempertahankan rasa identitas yang positif sebagai lajang, antara lain: memaknai kembali status lajang lebih positif, menghindari situasi yang menimbulkan stigma, dan menyerahkan diri pada takdir. Kata kunci: Perempuan lajang, ancaman identitas lajang, stigma.
Article
Full-text available
The purpose of this study is to describe the division of roles of husband and wife in Javanese family. This study uses a phenomenological qualitative method. The subjects of this study consisted of six couples of Javanese residing in Surakarta. Data was collected using a semi-structured interview technique. Data analysis method used is descriptive analysis. The results showed that: (1) the couple shared a role in three areas namely decision-making, management of family finances, and parenting; (2) the process of the implementation of these roles is flexible; (3) The husband has a greater role in decision making while wife in financial management and parenting. Efforts have always been made to maintain the harmony of the relationship as a partner in the implementation of these roles. It can be concluded that the philosophy of harmony remain the pillars of the guidelines in the relationship of married couples in the Javanese family.
Article
Introduction This article aims to explore some of the ideological discourses that reinforce marriage as a central social and cultural institution in US-American society. Andrew Cherlin argues that despite social secularisation, rising divorce rates and the emergence of other, alternative forms of love and living, marriage “remains the most highly valued form of family life in American culture, the most prestigious way to live your life” (9). Indeed, marriage in the US has become an ideological and political battlefield, with charged debates about who is entitled to this form of state-sanctioned relationship, with the government spending large sums of money to promote the value of marriage and the highest number of people projected to get married (nearly 90 per cent of all people) compared to other Western nations (Cherlin 4). I argue here that the idea of marriage as the ideal form for an intimate relationship permeates US-American culture to an extent that we can speak of a marital hegemony. This hegemony is fuelled by and reflected in the saturation of American popular culture with celebratory depictions of the white wedding as public performance and symbolic manifestation of the values associated with marriage. These depictions contribute to the discursive production of weddings as “one of the major events that signal readiness and prepare heterosexuals for membership in marriage as an organizing practice for the institution of marriage” (Ingraham 4). From the representation of weddings as cinematic climax in a huge number of films, to TV shows such as The Bachelor, Bridezillas and Race to the Altar, to the advertisement industry and the bridal magazines that construct the figure of the bride as an ideal that every girl and woman should aspire to, popular discourses promote the desirability of marriage in a wide range of media spheres. These representations, which I call bridal fictions, do not only shape and regulate the production of gendered, raced, classed and sexual identities in the media in fundamental ways. They also promote the idea that marriage is the only adequate framework for an intimate relationship and for the constitution of an acceptable gendered identity, meanwhile reproducing heterosexuality as norm and monogamy as societal duty. Thus I argue that we can understand contemporary bridal fictions as a symbolic legitimation of marital hegemony that perpetuates the idea that “lifelong marriage is a moral imperative” (Coontz 292). Marital Hegemony By drawing on Gramsci’s term and argument of cultural hegemony, I propose that public, political, religious and popular discourses work together in intersecting, overlapping, ideologically motivated and often even contradictory ways to produce what can be conceptualised as marital hegemony. Gramsci understands the relationship between state coercion and legitimation as crucial to an understanding of constituted consensus and co-operation. By legitimation Gramsci refers to processes through which social elites constitute their leadership through the universalizing of their own class-based self-interests. These self-interests are adopted by the greater majority of people, who apprehend them as natural or universal standards of value (common sense). This ‘hegemony’ neutralizes dissent, instilling the values, beliefs and cultural meanings into the generalized social structures. (Lewis 76-77)Marital hegemony also consists of those two mechanisms, coercion and legitimation. Coercion by the social elites, in this case by the state, is conducted through intervening in the private life of citizens in order to regulate and control their intimate relationships. Through the offering of financial benefits, medical insurance, tax cuts and various other privileges to married partners only (see Ingraham 175-76), the state withholds these benefits from all those that do not conform to this kind of state-sanctioned relationship. However, this must serve as the topic of another discussion, as this paper is more interested in the second aspect of hegemony, the symbolic legitimation. Symbolic legitimation works through the depiction of the white wedding as the occasion on which entering the institution of marriage is publicly celebrated and marital identity is socially validated. Bridal fictions work on a semiotic and symbolic level to display and perpetuate the idea of marriage as the most desirable and ultimately only legitimate form of intimate, heterosexual relationships. This is not to say that there is no resistance to this form of hegemony, as Foucault argues, eventually there is no “power without resistances” (142). However, as Engstrom contends, contemporary bridal fictions “reinforce and endorse the idea that romantic relationships should and must lead to marriage, which requires public display—the wedding” (3). Thus I argue that we can understand contemporary bridal fictions as one key symbolic factor in the production of marital hegemony. The ongoing centrality of marriage as an institution finds its reflection, as Otnes and Pleck argue, in the fact that the white wedding, in spite of all changes and processes of liberalisation in regard to gender, family and sexuality, “remains the most significant ritual in contemporary culture” (5). Accordingly, popular culture, reflective as well as constitutive of existing cultural paradigms, is saturated with what I have termed here bridal fictions. Bridal representations have been subject to rigorous academic investigation (c.f. Currie, Geller, Bambacas, Boden, Otnes and Pleck, Wallace and Howard). But, by using the term “bridal fictions”, I seek to underscore the fictional nature of these apparent “representations”, emphasising their role in producing pervasive utopias, rather than representing reality. This is not to say that bridal fictions are solely fictive. In fact, my argument here is that these bridal fictions do have discursive influence on contemporary wedding culture and practices. With my analysis of a bridal advertisement campaign later on in this paper, I aim to show exemplarily how bridal fictions work not only in perpetuating marriage, monogamy and heteronormativity as central organizing principles of intimate life. But moreover, how bridal fictions use this framework to promote certain kinds of white, heterosexual, upper-class identities that normatively inform our understanding of who is seen as entitled to this form of state-sanctioned relationship. Furthermore my aim is to highlight the role of postfeminist frames in sustaining marital hegemony. Second Wave feminism, seeing marriage as a form of “intimate colonization” (in Finlay and Clarke 416), has always been one of the few sources of critique in regard to this institution. In contrast, postfeminist accounts, now informing a significant amount of contemporary bridal fictions, evoke marriage as actively chosen, unproblematic and innately desired state of being for women. By constructing the liberated, self-determined figure of the postfeminist bride, contemporary bridal fictions naturalise and re-modernise marriage as framework for the constitution of modern feminine identity. An analysis of postfeminist bridal identities, as done in the following, is thus vital to my argument, because it highlights how postfeminist accounts deflect feminism’s critique of marriage as patriarchal, political and hegemonic institution and hence contribute to the perpetuation and production of marital hegemony. The Postfeminist Bride Postfeminism has emerged since the early 1990s as the dominant mode of constructing femininities in the media. Angela McRobbie understands postfeminism as “to refer to an active process by which feminist gains of the 1970s and 80s come to be undermined”, while simultaneously appearing to be “a well-informed and even well-intended response to feminism” (“Postfeminism” 255). Based on the assumption that women nowadays are no longer subjected to patriarchal power structures anymore, postfeminism actively takes feminism into account while, at the same time, “undoing” it (McRobbie “Postfeminism” 255). In contemporary postfeminist culture, feminism is “decisively aged and made to seem redundant”, which allows a conscious “dis-identification” and/or “forceful non-identity” with accounts of Second Wave feminism (McRobbie Aftermath 15). This demarcation from earlier forms of feminism is particularly evident with regard to marriage and wedding discourses. Second wave feminist critics such as Betty Friedan (1973) and Carole Pateman were critical of the influence of marriage on women’s psychological, financial and sexual freedom. This generation of feminists saw marriage as a manifestation of patriarchal power, which is based on women’s total emotional and erotic loyalty and subservience (Rich 1980), as well as on “men’s domination over women, and the right of men to enjoy equal sexual access to women” (Pateman 1988 2). In contrast, contemporary postfeminism enunciates now that “equality is achieved, in order to install a whole repertoire of new meanings which emphasise that it [feminism] is no longer needed, it is a spent force” (McRobbie “Postfeminism” 255). Instead of seeing marriage as institutionlised subjugation of women, the postfeminist generation of “educated women who have come of age in the 1990s feel that the women’s liberation movement has achieved its goals and that marriage is now an even playing field in which the two sexes operate as equal partners” (Geller 110). As McRobbie argues “feminism was anti-marriage and this can now to be shown to be great mistake” (Aftermath 20). Accordingly, postfeminist bridal fictions do not depict the bride as passive and waiting to be married, relying on conservative and patriarchal notions of hegemonic femininity, but as an active agent using the white wedding as occasion to act out choice, autonomy and power. Genz argues that a characteristic of postfemininities is that they re-negotiate femininity and feminism no longer as mutually exclusive and irreconcilable categories, but as constitutive of each other (Genz; Genz and Brabon). What I term the postfeminist bride embodies this shifted understanding of feminism and femininity. The postfeminist bride is a figure that is often celebrated in terms of individual freedom, professional success and self-determination, instead of resting on traditional notions of female domesticity and passivity. Rather than fulfilling clichés of the homemaker and traditional wife, the postfeminist bride is characterised by an emphasis on power, agency and pleasure. Characteristic of this figure, as with other postfemininities in popular culture, is a simultaneous appropriation and repudiation of feminist critique. Within postfeminist bridal culture, the performance of traditional femininity through the figure of the bride, or by identification with it, is framed in terms of individual choice, depicted as standing outside of the political and ideological struggles surrounding gender, equality, class, sexuality and race. In this way, as Engstrom argues, “bridal media’s popularity in the late 20th and early 21st centuries in the United States as indicative of a postfeminist cultural environment” (18). And although the contemporary white wedding still rests on patriarchal traditions that symbolise what the Second Wave called an “intimate colonization” (such as the bride’s vow of obedience; the giving away of the bride by one male chaperone, her father, to the next, the husband; her loss of name in marriage etc.), feminist awareness of the patriarchal dimensions of marriage and the ritual of the wedding is virtually absent from contemporary bridal culture. Instead, the patriarchal customs of the white wedding are now actively embraced by the women themselves in the name of tradition and choice. This reflects a prevailing characteristic of postfeminism, which is a trend towards the reclamation of conservative ideals of femininity, following the assumption that the goals of traditional feminist politics have been attained. This recuperation of traditional forms of femininity is one key characteristic of postfeminist bridal culture, as Engstrom argues: “bridal media collectively have become the epitomic example of women’s culture, a genre of popular culture that promotes, defends, and celebrates femininity” (21). Bridal fictions indeed produce traditional femininity by positioning the cultural, social and historical significance of the wedding as a necessary rite of passage for women and as the most important framework for the constitution of their (hetero)sexual, classed and gendered identities. Embodied in its ritual qualities, the white wedding symbolises the transition of women from single to belonging, from girlhood to womanhood and implicitly from childlessness to motherhood. However, instead of seeing this form of hegemonic femininity as a product of unequal, patriarchal power relations as Second Wave did, postfeminism celebrates traditional femininity in modernised versions. Embracing conservative feminine roles (e.g. that of the bride/wife) is now a matter of personal choice, individuality and freedom, characterised by awareness, knowingness and sometimes even irony (McRobbie “Postfeminism”). Nevertheless, the wedding is not only positioned as the pinnacle of a monogamous, heterosexual relationship, but also as the climax of a (female) life-story (“the happiest day of the life”). Combining feminist informed notions of power and choice, the postfeminist wedding is constructed as an event which supposedly enables women to act out those notions, while serving as a framework for gendered identity formation and self-realisation within the boundaries of an officialised and institutionalised relationship. “Modern” Brides I would like to exemplarily illustrate how postfeminism informs contemporary bridal fictions by analysing an advertising campaign of the US bridal magazine Modern Bride that paradigmatically and emblematically shows how postfeminist frames are used to construct the ‘modern’ bride. These advertisements feature American celebrities Guiliana Rancic (“host of E! News”), Daisy Fuentes (“host of Ultimate Style”) and Layla Ali, (“TV host and world champion”) stating why they qualify as a “modern bride”. Instead of drawing on notions of passive femininity, these advertisements have a distinct emphasis on power and agency. All advertisements include the women’s profession and other accomplishments. Rancic claims that she is a modern bride because: “I chased my career instead of guys.” These advertisements emphasise choice and empowerment, the key features of postfeminism, as Angela McRobbie (“Postfeminism”) and Rosalind Gill argue. Femininity, feminism and professionalism here are not framed as mutually exclusive, but are reconciled in the identity of the “modern” bride. Marriage and the white wedding are clearly bracketed in a liberal framework of individual choice, underpinned by a grammar of self-determination and individualism. Layla Ali states that she is a modern bride: “Because I refuse to let anything stand in the way of my happiness.” This not only communicates the message that happiness is intrinsically linked to marriage, but clearly resembles the figure that Sharon Boden terms the “super bride”, a role which allows women to be in control of every aspect of their wedding and “the heroic creator of her big day” while being part of a fairy-tale narrative in which they are the centre of attention (74). Agency and power are clearly visible in all of these ads. These brides are not passive victims of the male gaze, instead they are themselves gazing. In Rancic’s advertisement this is particularly evident, as she is looking directly at the viewer, where her husband, looking into another direction, remains rather face- and gazeless. This is in accord with bridal fictions in general, where husbands are often invisible, serving as bystanders or absent others, reinforcing the ideal that this is the special day of the bride and no one else. Furthermore, all of these advertisements remain within the limited visual repertoire that is common within bridal culture: young to middle-aged, heterosexual, able-bodied, conventionally attractive women. The featuring of the non-white bride Layla Ali is a rare occasion in contemporary bridal fictions. And although this can be seen as a welcomed exception, this advertisement remains eventually within the hegemonic and racial boundaries of contemporary bridal fictions. As Ingraham argues, ultimately “the white wedding in American culture is primarily a ritual by, for, and about the white middle to upper classes. Truly, the white wedding” (33). Furthermore, these advertisements illustrate another key feature of bridal culture, the “privileging of white middle- to upper-class heterosexual marriage over all other forms” (Ingraham 164). Semiotically, the discussed advertisements reflect the understanding of the white wedding as occasion to perform a certain classed identity: the luscious white dresses, the tuxedos, the jewellery and make up, etc. are all signifiers for a particular social standing. This is also emphasised by the mentioning of the prestigious jobs these brides hold, which presents a postfeminist twist on the otherwise common depictions of brides as practising hypergamy, meaning the marrying of a spouse of higher socio-economic status. But significantly, upward social mobility is usually presented as only acceptable for women, reinforcing the image of the husband as the provider. Another key feature of postfeminism, the centrality of heterosexual romance, becomes evident through Daisy Fuentes’ statement: “I’m a modern bride, because I believe that old-school values enhance a modern romance.” Having been liberated from the shackles of second wave feminism, which dismissed romance as “dope for dupes” (Greer in Pearce and Stacey 50), the postfeminist bride unapologetically embraces romance as central part of her life and relationship. Romance is here equated with traditionalism and “old school” values, thus reinforcing sexual exclusiveness, traditional gender roles and marriage as re-modernised, romantic norms. Angela McRobbie describes this “double entanglement” as a key feature of postfeminism that is comprised of “the co-existence of neo-conservative values in relation to gender, sexuality and family life […] with processes of liberalisation in regard to choice and diversity in domestic, sexual and kinship relations” (“Postfeminism” 255–56). These advertisements illustrate quite palpably that the postfeminist bride is a complex figure. It is simultaneously progressive and conservative, fulfilling ideals of conservative femininity while actively negotiating in the complex field of personal choice, individualism and social conventions; it oscillates between power and passivity, tradition and modern womanhood, between feminism and femininity. It is precisely this contradictory nature of the postfeminist bride that makes the figure so appealing, as it allows women to participate in the fantasy world of bridal utopias while still providing possibilities to construct themselves as active and powerful agents. Conclusion While we can generally welcome the reconfiguration of brides as powerful and self-determined, we have to remain critical of the postfeminist assumption of women as “autonomous agents no longer constrained by any inequalities or power imbalances whatsoever” (Gill 153). Where marriage is assumed to be an “even playing field” as Geller argues (110), feminism is no longer needed and traditional marital femininity can be, once again, performed without guilt. In these ways postfeminism deflects feminist criticism with regard to the political dimensions of marital femininity and thus contributes to the production of marital hegemony. But why is marital hegemony per se problematic? Firstly, by presenting marital identity as essential for the construction of gendered identity, bridal fictions leave little room for (female) self-definition outside of the single/married binary. As Ingraham argues, not only “are these categories presented as significant indices of social identity, they are offered as the only options, implying that the organization of identity in relation to marriage is universal and in no need of explanation” (17). Hence, by positioning marriage and singledom as opposite poles on the axis of proper femininity, bridal fictions stigmatise single women as selfish, narcissistic, hedonistic, immature and unable to attract a suitable husband (Taylor 20, 40). Secondly, within bridal fictions “weddings, marriage, romance, and heterosexuality become naturalized to the point where we consent to the belief that marriage is necessary to achieve a sense of well-being, belonging, passion, morality and love” (Ingraham 120). By presenting the white wedding as a publicly endorsed and visible entry to marriage, bridal fictions produce in fundamental ways normative notions about who is ‘fit’ for marriage and therefore capable of the associated cultural and social values of maturity, responsibility, ‘family values’ and so on. This is particularly critical, as postfeminist identities “are structured by, stark and continuing inequalities and exclusions that relate to ‘race’ and ethnicity, class, age, sexuality and disability as well as gender” (Gill 149). These postfeminist exclusions are very evident in contemporary bridal fictions that feature almost exclusively young to middle-aged, white, able-bodied couples with upper to middle class identities that conform to the heteronormative matrix, both physically and socially. By depicting weddings almost exclusively in this kind of raced, classed and gendered framework, bridal fictions associate the above mentioned values, that are seen as markers for responsible adulthood and citizenship, with those who comply with these norms. In these ways bridal fictions stigmatise those who are not able or do not want to get married, and, moreover, produce a visual regime that determines who is seen as entitled to this kind of socially validated identity. The fact that bridal fictions indeed play a major role in producing marital hegemony is further reflected in the increasing presence of same-sex white weddings in popular culture. These representations, despite their message of equality for everyone, usually replicate rather than re-negotiate the heteronormative terms of bridal culture. This can be regarded as evidence of bridal fiction’s scope and reach in naturalising marriage not only as the most ideal form of a heterosexual relationship, but increasingly as the ideal for any kind of intimate relationship. References Bambacas, Christyana. “Thinking about White Weddings.” Journal of Australian Studies 26.72 (2002): 191–200.The Bachelor, ABC, 2002–present. Boden, Sharon. Consumerism, Romance and the Wedding Experience. Houndsmills: Palgrave Macmillan, 2003. Bridezillas, We TV, 2004–present. Cherlin, Andrew. The-Marriage-Go-Round. The State of Marriage and the Family in America Today. New York: Vintage, 2010. Coontz, Stephanie. Marriage. A History. New York: Penguin, 2005. Currie, Dawn. “‘Here Comes the Bride’: The Making of a ‘Modern Traditional’ Wedding in Western Culture.” Journal of Comparative Family Studies 24.3 (1993): 403–21. Engstrom, Erika. The Bride Factory. Mass Portrayals of Women and Weddings. New York: Peter Lang, 2012. Fairchild Bridal Study (2005) 27 May 2012. ‹http://www.sellthebride.com/documents/americanweddingsurvey.pdf›. Finlay, Sara-Jane, and Victoria Clarke. “‘A Marriage of Inconvenience?’ Feminist Perspectives on Marriage.” Feminism & Psychology 13.4 (2003): 415–20. Foucault, M. (1980) “Body/Power and Truth/Power” in Gordon, C. (ed.) Michel Foucault: Power/Knowledge, Harvester, U.K. Friedan, Betty. The Feminine Mystique. Ringwood: Penguin Books, 1973. Geller, Jaqlyn. Here Comes the Bride. Women, Weddings, and the Marriage Mystique. New York: Four Walls Eight Windows, 2001. Genz, Stéphanie. Postfemininities in Popular Culture. New York: Palgrave, 2009. Genz, Stéphanie, and Benjamin Brabon. Postfeminsm. Cultural Texts and Theories. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009. Gill, Rosalind. “Postfeminist Media Culture. Elements of a Sensibility.” European Journal of Cultural Studies 10.2 (2007): 147–66. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. London: Lawrence and Wishart, 1971. Howard, Vicki. Brides, Inc. American Weddings and the Business of Tradition. Philadelphia: U of Pen Press, 2006. Ingraham, Chrys. White Weddings. Romancing Heterosexuality in Popular Discourse. New York: Routledge, 1999. Lewis, Jeff. Cultural Studies. London: Sage, 2008. McRobbie, Angela. “Post-Feminism and Popular Culture.” Feminist Media Studies 4.3 (2004): 255– 64. McRobbie, A. (2009). The Aftermath of Feminism. Gender, Culture and Social Change. London: Sage. Modern Bride, Condé Nast. Otnes, Cele, and Elizabeth Pleck. Cinderella Dreams. The Allure of the Lavish Wedding. Berkeley: U of California P, 2003. Pateman, Carole. The Sexual Contract. Cambridge: Polity Press, 1988. Pearce, Lynn, and Jackie Stacey. Romance Revisited. London: Lawrence and Wishart, 1995. Race to the Altar, NBC, 2003. Rich, Adrienne. “Compulsory Heterosexuality and Lesbian Existence.” Signs Summer.5 (1980): 631–60. Taylor, Anthea. Single Women in Popular Culture. The Limits of Postfeminism. New York: Palgrave Macmillan, 2012. Wallace, Carol. All Dressed in White. The Irresistible Rise of the American Wedding. London: Penguin Books, 2004. Advertisements Analysed Guiliana Rancic. 29 Sept. 2012 ‹http://slackerchic.blogspot.de/2008/06/im-modern-bride-because-my-witness-was.html›. Daisy Fuentes. 29 Sept. 2012 ‹http://slackerchic.blogspot.de/2008/06/im-modern-bride-because-my-witness-was.html›. Layla Ali. 29 Sept. 2012 ‹http://slackerchic.blogspot.de/2008/06/im-modern-bride-because-my-witness-was.html›.
Article
This study aims to: (1) describe the description of the prestige of urban recreation in Almira Bastari's Resign novel; (2) describe the description of the instant life culture of urban communities in Almira Bastari's Resign; (3) describe the description of the virtual lifestyle of urban communities in Almira Bastari's Resign; (4) describe the description of the individualist lifestyle of urban society in Almira Bastari's Resign novel. This type of research is qualitative research using descriptive methods. Based on the results of data analysis obtained; (1) the recreational prestige of urban community leaders in Almira Bastari's Resign includes education, employment, entertainment venues visited, and restaurants visited; (2) the instant life culture of urban communities depicted in Almira's Resign in general coming to fast food restaurants; (3) the individualist lifestyle of urban society in Almira Bastari's Resign as if it had never been separated from technology and communication in everyday life. Urban communities rely on information and communication technology to seek information, communicate, and obtain entertainment; (4) a portrait of the lifestyle of the individual urban society in Almira Bastari's Resign, like to do everything by yourself and some people prefer to live without the interference of othersKeywords: urban society, Resign novel, Almira Bastari
Article
In this research, the authors integrated research on stereotyping and health to document relationship-status stereotyping about sexual risk. Drawing on research on relational schemas and implicit personality theories, the authors hypothesized that targets who were described as being in relationships would be perceived as having a lesser likelihood of risk for sexually transmitted diseases than would targets who were described as single. Gender of the targets and gender of the participants also were examined as potential moderating variables. In five vignette studies, people rated single targets as having more risky personality traits and higher probabilistic risk for STDs than partnered targets. They also reported a greater desire to be involved with someone similar to the partnered target. In general, male and female targets were perceived similarly; however, female targets were rated as having a lower probabilistic risk.
Almira Bastari: Dulu Dicitakan, Sekarang Dinyatakan
  • Meutia Anindita
  • Ersa
Anindita, Meutia Ersa. 2018. Almira Bastari: Dulu Dicitakan, Sekarang Dinyatakan. https://www.gramedia.com/blog/perjalanan-karir-almira-bastari-penulis-buku-best-sellerdari-wattpad/ diakses tanggal 2 Agustus 2020.
Melbourne Wedding Marathon
  • Almira Bastari
Bastari, Almira. 2017. Melbourne Wedding Marathon. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar
  • S Djajanegara
Djajanegara, S. (2003). Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.