Content uploaded by Putu Prima Cahyadi
Author content
All content in this area was uploaded by Putu Prima Cahyadi on Apr 10, 2021
Content may be subject to copyright.
“Pokoknya PKI Harus Dituliskan!”
Pembakaran dan Penarikan Buku Ajar Sejarah
2005-2007
Putu Prima Cahyadi
Penulis untuk KnowledgiaStudio
prima.cahyadi.p@mail.ugm.ac.id
Abstrak
Tulisan singkat ini menceritakan kembali peristiwa penarikan, penyitaan, dan
pembakaran buku ajar sejarah untuk kelas IX (tiga) SMP dan kelas XII SMA pada periode 2005
hingga 2007. Tulisan ini menemukan bahwa penarikan buku terjadi karena laporan awal yang
menduga bahwa buku ajar sejarah kurikulum 2004 tidak mencantumkan Peristiwa Madiun 1948
dan PKI dalam penarasian Gerakan 30 September. Meskipun tudingan yang pertama tidak
berdasar, tudingan yang kedua benar adanya, dan Kejaksaan Agung menerbitkan surat edaran
untuk menarik dan memusnahkan buku ajar sejarah tersebut. Tulisan ini disertai dengan kajian
analisis ringan dengan melihat penggunaan terminologi “G-30-S” dalam buku ajar sejarah
kurikulum 2004, dan membandingkannya dengan isi buku tersebut. Ditemukan bahwa meskipun
terminologi sudah dirubah, penarasian mengenai peristiwa 1965 masih menekankan PKI sebagai
dalang utama. Analisis berikutnya merupakan kajian surat kabar dengan melacak kembali sejak
kapan terminologi “G-30-S/PKI” digunakan. Apakah benar terminologi tersebut merupakan
terminologi masa Orde Baru, ataukah merupakan terminologi historis yang bersifat post-factum?
Kata kunci : G-30-S, G-30-S/PKI, pembakaran buku
Abstract
This paper writes about withdrawal and destruction of history school textbooks for
middle school and high school from 2005 until 2007. This paper found that withdrawal happened
because some reports about the textbook that doesn‟t writes about Madiun Affair (1948) and
“PKI” as “the mastermind” if 1965 coup. Even though the first reports wasn‟t true, the latter
report came out as a truth; the school textbooks writes the coup as “Gerakan 30 September”, not
as “G 30 S/PKI” as propagandized by New Order. The Supreme Court published decree that told
people to surrender their textbooks, withdraw them from public use, and even destroy them in
public. This paper contain two prior analysis. First, from the textbook analysis, this paper found
that textbooks from 2004 writes 1965 coup as “Gerakan 30 September”, even though their story
still put PKI as the mastermind behind that event. Second, from newspaper analysis, this paper
found that term “G-30-S/PKI” firstly used from December 1965, as a post-factum term. This
term is not exclusively from New Order, but New Order chooses this term to writes their story.
Keywords : G-30-S, G-30-S/PKI, book burning
Perdebatan mengenai terminologi (istilah) yang benar untuk menyebutkan peristiwa
penculikan 6 perwira tinggi Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965 selalu menjadi polemik setiap
bulan September. Tetapi, pernahkah kita mempertanyakan dan mengetahui bahwa pada 2005-
2007, kita membakar dan menarik buku ajar hanya karena perdebatan terminologi tersebut?
Tulisan singkat ini akan menyelami kembali salah satu kisah yang sering kita abaikan ketika
berbicara mengenai pembakaran buku dan mengenai historiografi peristiwa 1965.
Awal Mula Peristiwa
Peristiwa bermula pada 2005, ketika Menteri Pendidikan Nasional saat itu, Bambang
Sudibyo, meminta kepada Kejaksaan Agung untuk memeriksa buku ajar sejarah yang digunakan
dalam kurikulum 2004. Permintaan ini didorong oleh laporan beberapa tokoh seperti Jusuf
Hasyim dan Taufiq Ismail kepada DPR bahwa ditemukan buku ajar sejarah yang tidak
mencantumkan peristiwa Madiun (dalam hal ini ditulis sebagai pemberontakan Madiun 1948) di
Jawa Timur.
1
Di sisi yang berbeda, Sudibyo meminta Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
untuk menangani laporan ini. Sebuah tim dibentuk, yang diketui Djoko Suryo, sejarawan
Universitas Gadjah Madah, dengan empat anggota yakni Hamid Hasan (UPI Bandung), Susanto
Zuhdi (Kementerian Budaya dan Pariwisata), Wasino (Universitas Negeri Semarang), dan W.
Soetomo, ipar Jenderal Sarwo Edhi. Tim tersebut menerbitkan sebuah surat bernomor
088/BSNP/1/2006 kepada Sudibyo yang menyimpulkan bahwa “perlu memasukkan ke dalam
pendidikan sejarah peristiwa PKI Madiun pada 1948 dan mencntumkan kata „PKI‟ setelah
„peristiwa G-30-S‟ sehingga menjadi „G-30-S/PKI‟.
Setahun berselang, Kejaksaan Agung menerbitkan surat keputusan dengan nomor
019/A-JA/10/2007 bertanggal 5 Maret 2007 yang berisikan tentang pelarangan penggunaan buku
ajar sejarah cetakan 2004 (kurikulum 2004) dan surat perintah bernomor Ins. 003/A-JA/03/2007
yang menginstruksikan penarikan buku sejarah kurikulum 2004 dari seluruh wilayah di
Indonesia. Dalam surat yang disebut pertama, dengan berdasar pada Penetapan Presiden RI
Nomor 4 Tahun 1963,
2
diungkapkan bahwa buku-buku ajar yang terlampir dalam surat tersebut
1
Bagian berikutnya dalam tulisan ini diambil dalam pemberitaan Tempo, yang berjudul
“Blunder Kejaksaan Agung dan Departemen Pendidikan Nasional”,
https://nasional.tempo.co/read/95550/blunder-kejaksaan-agung-dan-departemen-pendidikan-
nasional, diakses 6 Maret 2021.
2
Penetapan Presiden RI Nomor 4/1963 mengatur tentang terbitan-terbitan yang dapat
mengganggu ketertiban umum. Dengan melihat dasar dari terbitnya surat dari Kejaksaan Agung,
dilarang, dan penjualan, kepemilikan, ataupun orang yang menyimpan buku-buku tersbeut agar
“menyerahkan kepada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri setempat”.
Respon atas kedua surat dari Kejaksaan Agung ini cepat, seperti di Depok,
3
Sleman,
4
Sumbawa,
5
dan Denpasar. Di dua tempat yang disebut lebih awal, bahkan respon dari dua surat
tersebut ditanggapi dengan melakukan penarikan dan pemusnahan buku-buku ajar sejarah
kurikulum 2004 secara simboli dengan cara dibakar di depan publik.
Protes
Protes keras dilayangkan dari sejumlah kalangan atas pembakaran buku ajar sejarah
yang dilakukan. Goenawan Mohamad, budayawan dan pendiri majalah “Tempo”, mengatakan
bahwa pembakaran buku merupakan tindakan yang dapat memberikan kesan “intimidasi kepada
pemikiran”. Baginya, masalah G-30-S dan G-30-S/PKI hanyalah soal hipotesis alternatif, yang
merupakan sesuatu hal yang wajar di dalam perkembangan awal era Reformasi dan kebebasan
berekspresi di Indonesia.
6
Franz Magnis-Suseno, filsuf, berpendapat bahwa pembakaran buku sejarah merupakan
tindakan yang harus dihentikan karena merupakan sebuah tindakan teror terhadap kebebasan
berpikir suatu masyarakat. Membakar buku, menurutnya, merupakan ketidakmampuan
pemerintah menghadapi suatu masalah secara intelektual. Mengenai terminologi G-30-S, ia
bisa dikatakan, mereka memposisikan buku-buku ajar sejarah tersebut sebagai buku yang dapat
menciptakan suasana gaduh dan menggangu ketertiban dan keamanan (rust en orde).
3
“Depok Musnahkan 1.247 Buku Sejarah”,
https://koran.tempo.co/read/metro/106775/depok-musnahkan-1-247-buku-sejarah, daikses 7
Maret 2021.
4
“8.193 Buku Sejarah G30S Tanpa PKI Dimusnahkan”,
https://news.detik.com/berita/d-786419/8193-buku-sejarah-g30s-tanpa-pki-dimusnahkan,
diakses 7 Maret 2021
5
“Kejaksaan Larang Sejumlah Buku Sejarah Beredar”,
http://www.sumbawakab.go.id/read/1587/kejaksaan-larang-sejumlah-buku-sejarah-beredar.html.
Diakses 7 Maret 2021.
6
“Aktivis Kecam Pembakaran Buku Sejarah”.
https://koran.tempo.co/read/nasional/107663/aktivis-kecam-pembakaran-buku-sejarah?, diakses
1 Oktober 2020.
berpendapat bahwa dengan menulisnya sebagai “Gerakan 30 September”, tidak perlu ada
tudingan siapa yang harus dilimpahkan tanggung jawab atas peristiwa tersebut. Suara Magnis-
Suseno digemakan oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawiaya, yang berpendapat
secara tegas bahwa tindakan pembakaran merupakan “teror bagi kebebasan berpikir.”
7
Ikatan Penerbit Indonesia atau IKAPI, sebagai wadah bagi penerbit-penerbit di
Indonesia, menyayangkan peristiwa pembakaran dan penyitaan buku yang terjadi. Bagi mereka,
ini dapat merusak citra penerbit, dan penyitaan dan pembakaran buku yang dilakukan layaknya
mereka diperlakukan seperti “penggerebekan narkoba”.
8
Terakhir, protes yang dapat dirangkum dari peristiwa ini dilayangkan oleh Aliansi
Jurnalis Indonesia atau AJI. Dalam siaran pers mereka, mereka mengutuk keras tindakan
pembakaran buku ajar sejarah yang disiarkan secara langsung melalui siaran televisi. Menurut
mereka, tindakan pembakaran tersebut merupakan “teror terhadap dunia pendidikan”, dan
merupakan tindakan yang sama dengan “memberangus isi pikiran seseorang, menyerimpung
kebebasan [ber]pendapat dan kebebasan akademik yang dijiamin Konstitusi.”
9
Lalu, apakah benar buku ajar sejarah tersebut layak dibakar? Ataukah, ada hal lain yang
dapat dijelaskan dari tindakan pembakaran ini, yang luput dari perhatian kita saat ini? Apakah
salah tidak mencantumkan “PKI” dalam penulisan terminologi mengenai peristiwa “Gerakan 30
September”? Bagian berikutnya akan melihat secara rinci mengenai pertanyaan-pertanyaan ini.
Analisis Awal Terminologi
Setelah melihat secara singkat mengenai latar belakang peristiwa, alur peristiwa, serta
protes yang dilancarkan atas peristiwa pembakaran buku ajar sejarah yang terjadi, pertanyaan
pertama yang perlu kita jawab dalam bagian ini adalah apakah penggunaan terminologi “G-30-
7
“Pembakaran Buku Sejarah Teror Kebebasan Berpikir”.
https://koran.tempo.co/read/nasional/108237/pembakaran-buku-sejarah-teror-kebebasan-
berpikir?, diakses 1 Oktober 2020.
8
“IKAPI Sesalkan Razia Buku Sejarah Seperti Penggerebekan Narkoba”.
https://www.antaranews.com/berita/65362/ikapi-sesalkan-razia-buku-sejarah-seperti-
penggerebekan-narkoba#mobile-nav, diakses 7 Maret 2021.
9
“Siaran Pers AJI Indonesia: STOP Pembakaran dan Pemusnahan Buku Sejarah”,
https://anggara.org/2007/08/08/siaran-pers-aji-indonesia-stop-pembakaran-dan-pemusnahan-
buku-sejarah/., diakses 7 Maret 2021.
S” dalam buku ajar sejarah kurikulum 2004 benar-benar sesuai dengan isi dari buku ajar tersebut.
Untuk lebih dalamnya, bagian ini akan melihat dua buku ajar sejarah kurikulum 2004 yang bisa
ditemukan, baik dengan membeli maupun melalui digital, dan buku ajar kurikulum berikutnya,
KTSP 2006.
Dalam buku ajar sejarah berjudul “Pengetahuan Sosial Sejarah” untuk kelas IX Sekolah
Menengah Pertama (SMP) yang disusun oleh Tugiyono, pada bagian mengenai peristiwa G 30 S,
terminologi yang digunakan dalam buku ini adalah “Gerakan 30 September”. Meski begitu, pada
bagian mengenai Mahmilub atau Mahkamah Militer Luar Biasa, buku ini kembali melanjutkan
tradisi sebelumnya dengan menggunakan terminologi “G 30 S/PKI”.
10
Pada bagian mengenai
awal terciptanya Orde Baru, buku ini kembali melanjutkan hal tersebut dan menggunakan
terminologi dengan penambahan “PKI” dan “didalangi oleh PKI” sebagai dalang peristiwa G 30
S.
11
Dari buku ini, kita bisa melihat adanya inkonsistensi dalam pemilihan terminologi yang
ingin digunakan untuk menceritakan kisah tersebut.
Penggunaan terminologi yang lebih konsisten dimuat dalam buku “Kronik Sejarah
untuk SMP Kelas 3” yang disusun Anwar Kurnia dan Moh. Suryana. Pada halaman mengenai
peristiwa sekitar perisitwa 30 September 1965, terminologi yang digunakan dalam buku ini
adalah “Gerakan 30 September” dan “Gerakan 30 September Tahun 1965”.
12
Terminologi yang
disebut terakhir disarankan oleh Asvi Warman Adam untuk menyebutkan peristiwa tersebut,
karena dianggap “lebih obyektif”.
13
Pada halaman mengenai awal Orde Baru, buku ini lebih
konsisten daripada buku susunan Tugiyono, dan tetap memilih menggunakan terminologi
“Gerakan 30 September” atau “G 30 S”, alih-alih menggunakan “G 30 S/PKI”, meskipun narasi
10
Tugiyono, Pengetahuan Sosial Sejarah untuk SMP Kelas 3 (Jakarta: Grasindo, 2004),
hlm. 98-9.
11
Tugiyono, Pengetahuan, hlm. 103-4.
12
Anwar Kurnia dan Moh. Suryana, Kronik Sejarah 3 untuk SMP (Jakarta : Yudhistira,
2004), hlm. 142-4
13
“Istilah Gerakan 30 September Lebih Obyektif : Asvi Warman Adam, Sejarawan”,
http://lipi.go.id/berita/istilah-gerakan-30-september-lebih-obyektif-:-asvi-warman-adam-
sejarawan/1850, diakses 10 Maret 2021.
dari buku ini dan buku Tugiyono masih tetap memposisikan PKI sebagai “biang keladi”
peristiwa tersebut.
14
Setelah pergantian kurikulum menjadi KTSP 2006, terminologi “Gerakan 30
September” atau “G 30 S” menghilang dari buku ajar sejarah. Dalam salah satu buku ajar yang
dapat diakses, terminologi untuk menggambarkan kisah 1965 kembali menggunaan “G 30
S/PKI”.
15
Dengan terminologi ini, keanehan penyajian kisah dalam buku ajar kurikulum 2004
menghilang. Buku teks kembali seperti buku propaganda pada masa Orde Baru. Terminologi ini
masih tetap digunakan hingga buku ajar kurikulum terbaru.
16
Kemunculan G 30 S/PKI : Sebuah Dugaan Awal
Narasi umum yang diterima dan dipercayai masyarakat Indonesia mengenai
penggunaan terminologi peristiwa kudeta kelompok “Gerakan 30 September” pada 1 Oktober
1965 adalah “G 30 S/PKI”. Mereka percaya bahwa terminologi ini muncul pertama kali pada
masa awal Orde Baru, yang kemudian dipertegas dan dilegitimasi dalam bentuk penyajian
museum, film, hingga buku ajar sejarah. Apa benar demikian adanya? Sub-bab ini akan mencoba
menelaah kembali narasi umum tersebut, untuk kemudian disimpulkan apakah terminologi “G 30
S/PKI” benar muncul pada masa Orde Baru atau tidak.
Pada awal Oktober 1965, terbitan yang berafiliasi dengan PNI, Suara Indonesia
(Denpasar)
17
masih menggunakan terminologi “Gerakan 30 September”. Dalam terbitan resmi
yang diterbitkan Pusat Penerangan Angkatan Darat, dikatakan bahwa sebuah gerakan yang
14
Anwar Kurnia dan Moh. Suryana, Kronik Sejarah, hlm. 152-4.
15
Suparman, Fatimah dan Kuswanto, Ilmu Pengetahuan Sosial Sejarah 3 untuk Kelas
IX SMP dan MTs (Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007), hlm. 130-7.
16
Lihat misalkan Ratna Hapsari dan M. Adil, Sejarah Indonesia untuk SMA/MA Kelas
XII Kelompok Wajib (Jakarta : Erlangga, 2018), hlm. 28-33; Cara buku ajar ini mengisahkan
mengenai peristiwa 1965 tak jauh berbeda dengan buku ajar kurikulum 2004 dan KTSP.
Penekanan terhadap PKI sebagai dalang utama masih kental terasa.
17
Saya berencana untuk membuka riset mengenai penggunaan terminologi ini dalam berbagai
terbitan berkala di Indonesia dan riset megnenai 1965 dalam pemberitaan surat kabar di Bali.
Untuk kepentingan konten knowledgiastudio, saya batasi penggunaan sumber dengan
menggunakan sumber dari harian Suara Inndonesia dan Suluh Indonesia Edisi Bali. Pandemi
COVID-19 dan pemberlakuan PPKM tidak memberikan saya ruang untuk melakukan
pengumpulan dan pembacaan sumber lebih intensif.
menamakan diri mereka gerakan “30 September” telah melakukan penculikan terhadap 6 perwira
tinggi dan menduduki kantor RRI Jakarta.
18
Pengumuman lainnya yang diterbitkan A.A. Made
Sutedja (Gubernur Bali) dan Sjafiurin (Panglima Daerah Militer XVI Udayana) meneruskan
penggunaan terminologi “Gerakan 30 September”, sembari meminta masyarakat untuk tidak
melakukan tindakan-tindakan yang provokatif dan tetap “bekerdja seperti biasa di tempatnja
masing-masing”.
19
Satu narasi yang penting untuk dipegang bagi mereka yang ingin mempelajari
penggunaan terminologi peristiwa 1965 adalah peristiwa tersebut sudah ditandai sebagai
tindakan yang “kontra revolusione” atau “kontrev” dan sebuah “pengkhianatan”, yang mencoba
melawan perjuangan melawan Nekolim dan mengikis musuh revolusi.
20
Kita akan kembali
mengenai “kontrev” ini dalam bagian berikutnya.
Pada 11 November 1965, PKI pertama kali disinggung sebagai “dalang” perisitwa “G
30 S”. Dalam pemberitaan mengenai kegiatan “bersihkan diri” yang dilakukan Bali Beach Hotel
dari unsur-unsur “G 30 S”, perisiwa 1965 dituliskan sebagai gerakan yang “kontra revolusioner
… serta didalangi oleh PKI”.
21
Penulisan PKI sebagai dalang juga diperkuat oleh adanya
pemberiaan mengenai pembakaran rumah pimpinan PKI
22
, suara-suara pembubaran PKI,
23
pembakaran buku-buku Lekra dan karangan Dipa Nusantara Aidit yang dianggap “mendukung G
30 S”,
24
penangkapan tokoh PKI A.A. Njm Dhenia,
25
pembredelan harian “Fadjar” dan “Bali
Dwipa”.
26
18
Suara Indonesia, 2 Oktober 1965.
19
Suara Indonesia, 2 Oktober 1965.
20
Suara Indonesia, 5 Nopember 1965.
21
Suara Indonesia, 11 Nopember 1965.
22
Suara Indonesia, 11 Nopember 1965.
23
Kuswara, “Antagonisme Politik Harus Ditjegah” dalam Suara Indonesia, 9 November 1965,
hlm. 2.
24
Suaa Indonesia, 9 Nopember 1965.
25
Suara Indonesia, 9 Nopember 1965.
26
Suara Indonesia, 5 Nopember 1965.
Penggunaan pertama “/PKI” dalam pemberitaan di Denpasar dimuat dalam sebuah surat
pernyataan yang ditulis I Nengah Budhijasa, sekretaris I DPD GSBI (Gabungan Serikat Buruh
Indonesia). Dalam surat pernyataan tersebut, ia menyatakan bahwa akan ikut “membantu ABRI
dan Rakjat Indonesia dalam menumpas habis G.30.S/PKI serta Ormas2nja”.
27
Penggunaan
berikutnya dimuat dalam sebuah berita tiga hari kemudian, yang menulis bahwa anggota PII
akan “meningkatkan kewaspadaan siap siaga serta selalu mengintegrasikan diri dengan ABRI
dalam menumpas habis kontrev G 30 S/PKI”.
28
Sebagai judul besar berita, terminologi dengan
penandaan “/PKI” terbit pertama kali ketika memuat pernyataan dari Sjafiudin pada 20
Desember 1965, yang bebunyi “Pelaksanaan Dwikora Berdjalan Lantjar Apabila Ketahanan
Revolusi Indonesia Bebas Dari Sabotase Kontrev G-30-S/PKI” .
29
Sebuah pertanyaan besar bisa kita tanyakan dari penulisan terminologi “/PKI” ini, jika
memang mereka ditulis demikian sejak Desember 1965, bagaimana cara membaca terminologi
tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat kembali bagaimana PKI diposisikan
dalam peristiwa 1965. Pada November 1965, ia dimuat pertama kali dalam harian di Denpasar
sebagai “dalang” atau “yang mendalangi” Gerakan 30 September di Jakarta. Dengan melihat ini,
kita bisa menemukan bahwa pada bulan berikutnya, setiap penyebutan mengenai peristiwa 1965
selalu dituliskan sebagai “G 30 S jang didalangi PKI” atau “G 30 S jang didalangi PKI serta
Ormas2nja”.
Contoh awal menegnai ini bisa kita temukan pada surat keputusan yang diterbitkan NV
Apotik Gana yang menuliskan perisitwa 1965 sebagai “petualangan Kontrev G-30-S jang
didalangi oleh PKI”
30
Melihat sumber-sumber ini, bisa kita simpulkan secara awal bahwa cara
membaca “G 30 S/PKI” pada Desember 1965 adalah “Gerakan 30 September yang didalangi
PKI beserta ormas-ormasnya”.
27
Suluh Indonesia Edisi Bali, 11 Desember 1965.
28
Suluh Indonesia Edisi Bali, 14 Desember 1965.
29
Suluh Indonesia Edisi Bali, 21 Desember 1965.
30
Suara Indonesia, 4 Desember 1965.
G 30 S atau G 30 S/PKI, Mana yang benar?
Berdasarkan analisis singkat dalam bagian di atas, bisa disimpulkan sebagai awalan
bahwa tidak benar terminologi “G 30 S/PKI” digunakan pertama kali pada masa Orde Baru.
Terminologi ini tercipta seiring dengan pembentukan kisah mengenai PKI sebagai dalang
peristiwa G 30 S, dan tergambarkan dalam pemberitaan serta pengumuman yang terbit dalam
surat kabar.
Bisa dikatakan secara singkat, terminologi ini memang bukan terminologi awal untuk
mengisahkan peristiwa 1965, dan cenderung post-factum. Meski begitu, secara historis,
terminologi ini tetap benar dan dapat digunakan. Yang penting untuk dipahami sebelum
memutuskan untuk menggunakan “G 30 S” atau “G 30 S/PKI” adalah pemahaman dasar
mengenai pembentukan dan penggunaan terminologi tersebut. Apakah ia digunakan untuk
mengisahkan peristiwa, penggambaran atas peristiwa, atau konteks historiografi.
Meski begitu, menggunakan G 30 S/PKI untuk mengutip sumber-sumber yang berasal
sebelum Desember 1965 merupakan tindakan yang tak patut, sehingga buku ajar sejarah di
Indonesia sudah sepatutnya menggunakan terminologi “G 30 S” untuk menuliskan kisah
tersebut. Tetapi, jika untuk berbicara mengenai pembentukan kisah G 30 S pascaperistiwa,
pengisahan mengenai PKI sebagai dalang merupakan hal yang setidak-tidaknya perlu
diceritakan.