Content uploaded by Mardian Sulistyati
Author content
All content in this area was uploaded by Mardian Sulistyati on Mar 16, 2021
Content may be subject to copyright.
Content uploaded by Mardian Sulistyati
Author content
All content in this area was uploaded by Mardian Sulistyati on Mar 16, 2021
Content may be subject to copyright.
Khilafah
Ahmadiyah
dan
Nation
State
Sanksi Pelanggaran Pasal 72
Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat
(1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-
edarkan, atau menjual kepada umum suatu cipta atau barang hasil
pelanggaran hak cipta atau terkait sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
KHILAFAH AHMADIYAH DAN NATION STATE
©Abd. Aziz Faiz, Mardian Sulistyati, Ahmad Suhendra, Adrika
Fithrotul Aini, Lut Rahmatullah, M. Khoirul Hadi al-Asy’ari,
Shulhan, Atik Wartini, Nurbayti dan Mochamad Sodik
Penata Isi & Sampul: Kholil Ahmad
Editor: Abd. Aziz Faiz
Diterbitkan oleh :
Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs)
Sunan Kalijaga State Islamic University, Yogyakarta
Email : isais.oce@gmail.com
Web : www.isais.or.id
Intagram : isais_uinsk
Fan Page : ISAIs UIN Sunan Kalijaga
Perpustakaan Nasional :
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
_Yogyakarta: Cantrik Pustaka, 2019
xiv+294 hlm; 13 x 20 cm
ISBN 978-602-0708-27-0
Cetakan Pertama, Mei 2019
Cetakan Kedua, November 2019.
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh buku ini dalam
bentuk apa pun (seperti cetakan, fotocopy,
mikrolm, VCD, CD-Rom, dan rekaman suara)
tanpa izin dari penerbit.
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
45
Love for All Hatred for None:
Narasi Damai Khilafah
Ahmadiyah Kontemporer
Mardian Sulistyati
Peneliti ISAIs UIN Sunan Kalijaga
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
46
Bagi Ahmadiyah,
kekhilafahan merupakan
divine system, sumber
kekuatan, determinan
utama pemersatu umat
Islam yang dimaknai
sebagai suprastruktur
spiritual yang berorientasi
pada kerohanian.
47
LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE:
NARASI DAMAI KHILAFAH
AHMADIYAH KONTEMPORER
Bila Anda berkunjung ke situs resmi Jemaat
Ahmadiyah Indonesia (JAI), ahmadiyah.id, hal
pertama yang akan tampak di layar Anda adalah
blok merah dengan tajuk putih bertuliskan “Kerja
Nyata Ahmadiyah untuk Negeri.” Di sampingnya
terpampang kolase yang menggambarkan beberapa
aktivitas kemanusiaan. Kemudian, cobalah gulir
layar ke bawah, segera akan Anda dapati tulisan
besar yang menjadi vocal point halaman situs
ini: Love for All Hatred for None. Seolah ingin
menegaskan kembali slogan tersebut, pada guliran
berikutnya terdapat tajuk “Islam Damai” yang
diikuti enam poin manifestasi: cinta tanah air,
perdamaian, persatuan, kemanusiaan, toleransi,
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
48
dan kasih sayang. Baru setelahnya akan Anda dapati
poin kunci teologi Ahmadiyah: Allah SWT, al-Qur’an,
Muhammad SAW, Imam Mahdi, khilafah, rukun iman,
dan rukun Islam.
Dilihat dari komposisinya, situs tersebut seperti
hendak menggarisbawahi jalan hidup Ahmadi yang
berlandaskan nilai-nilai “laten” keislaman yang sarat cinta
kasih antarmanusia dan tanah air. Lantas pertanyaannya,
bagaimana Jemaat Ahmadiyah yang berpegang pada sistem
kekhilafahan mutlak justru memiliki kepedulian sosial
yang tinggi dalam konteks nation state, yang mana pada
saat yang sama, sebagian besar Muslim justru menolak,
memusuhi, dan menganggap mereka bukan Islam?
Dialektika atas Penalaran Mainstream
Sudah sejak satu dasawarsa terakhir, wajah kebebasan
beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengalami
dinamika besar dalam hal magnitude-nya. Wacana
kebencian dan stigma seringkali berbuah persekusi. Salah
satunya terjadi pada Ahmadiyah. Mulai dari tuduhan
sesat, murtad, kafir, sampai pemaksaan keyakinan
untuk kembali pada ajaran Islam yang diyakini secara
mainstream. Beberapa akademisi berpendapat, perbedaan
ideologi menjadi salah satu determinan utama timbulnya
intoleransi dan kekerasan dalam hubungan antarkelompok
yang berbasis agama (Colbran, 2010; Saloom, 2012).
Dalam konteks Ahmadiyah, perbedaan ideologi
bermuara pada silang penafsiran atas termin khãtam
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
49
al-nabiyyĩn antara Ahmadiyah dan kelompok Muslim
mainstream. Perbedaan fundamental ini mengundang
anggapan bahwa Ahmadiyah tidak mengimani Nabi
Muhammad SAW sebagai nabi terakhir. Namun, tuduhan
itu secara tegas ditampik sebab mereka juga mengimani
hal yang sama (Ahmad, 2014: 259-62; Shadiq, 2014: 109-
16). Kendati demikian, mayoritas Muslim merasa bahwa
identitas religius mereka tetaplah berbeda dengan
Ahmadiyah. Bahkan, secara ekstrem Ahmadiyah diminta
untuk tidak menyatakan diri sebagai umat Islam (Misrawi,
2009: 112-4; Gaar, 2013; Alkatiri, 2015: 11-2).
Mengadopsi definisi Eugene McLaughlin (2001:
136), tindak kekerasan yang beberapa kali dialamatkan
pada Ahmadiyah dapat dikategorikan sebagai fenomena
hate crime. Meski hate crime digadang-gadang dilakukan
dengan motif menegakkan kebenaran, namun aksi ini lahir
dari watak tidak mengenal toleransi. Baik secara aktual
maupun persepsi, pelaku hate crime selalu melempar
stigma atas identitas (yang dijadikan) korbannya. Kontur
identitas bangsa Indonesia yang majemuk memang
menjadi lahan subur bagi fenomena ini. Namun, inti
permasalahan tentu saja bukan pada identitas itu sendiri,
melainkan ketika identitas yang berbeda itu dianggap
menyimpang oleh kelompok dominan (labeling of others)
(Zgourides’s, 2000: 72-3).
Ahmadiyah dilabeli sebagai yang menyimpang
(deviance) karena ajaran dan ritual peribadatannya dianggap
keluar dari bentuk kebenaran-mayoritas. Hal ini semakin
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
50
menguatkan apa yang disebut Jeremy Menchik (2014)
sebagai nasionalisme bertuhan atau godly nationalism,
bahwasanya hampir bisa dipastikan Ahmadiyah tidak
relevan dalam proses pendenisian diri Muslim Indonesia.
Di sisi lain, dapat juga dipahami bahwa segala
stigma dan hate crime tersebut dapat (dan kerapkali telah)
memberi sumbangan positif bagi kematangan spiritual
Ahmadiyah itu sendiri. Diagnosa dan gugatan serius
terhadap berbagai penolakan publik telah banyak dilakukan
dengan kesahihan yang mungkin saja relatif. Namun, toh
penolakan-penolakan yang ada turut memicu lahirnya
nilai-nilai etis di dalam tubuh-kesadaran Ahmadiyah untuk
dapat diterima oleh masyarakat dan negara. Penting kiranya
untuk menelisik secara radiks isu-isu utama dan strategi
yang kerap dikedepankan Ahmadiyah untuk menghadapi
pertentangan global—terutama di masa kontemporernya.
Kekhilafahan yang Sintas
“Untuk menaklukkan dunia, Amerika dan Uni Soviet
punya senjata, Ahmadiyah punya apa?” | “Love for all
hatred for none.”
Kala itu di London, di sela-sela konferensi inter-
nasional yang diadakan Jemaat Ahmadiyah pada tanggal
2-4 Juni 1978, seorang wartawan melayangkan pertanyaan
di atas kepada Mirza Nasir Ahmad. Pertanyaan tersebut
muncul dalam konteks Perang Dingin yang tengah berlang-
sung antara Blok Barat versus Blok Timur. Diyakini, inilah
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
51
awal kelahiran semboyan love for all hatred for none
(Wahab, 2015).
Ada hal yang menggoda dari nukilan percakapan
tersebut: pertanyaan sang wartawan. Pertanyaan yang
meski hanya bersifat kelakar, agaknya mendukung
gambaran sosok raja Leviathan-nya Thomas Hobbes (1998)
atau tesis animus dominandi-nya Hans Morgenthau (1993)
yang menaturalkan sifat haus dominasi manusia. Namun,
itu semua menjadi tidak ada apa-apanya dengan jawaban
bijak Sang Khalifah Ketiga, Mirza Nasir Ahmad, yang
mencerminkan penolakan terhadap superioritas.
Dari percakapan itu pula diketahui bahwa semboyan
love for all hatred for none baru lahir setelah 89 tahun
sejak berdirinya kekhilafahan Ahmadiyah. Barangkali tak
perlu disangsikan bahwa perjalanan hampir satu abad
bisa membawa banyak sekali pengaruh. Ideologi dan
daya tahan Ahmadiyah saat ini tidak serta-merta lahir
dari ruang hampa. Kita tahu, sejak awal berdirinya (dan
hingga detik ini) Ahmadiyah kerap menghadapi gelombang
penentangan dari kelompok anti-Ahmadiyah di banyak
negara. Pada arena yang lebih luas, mereka masih harus
berjuang untuk menegaskan diri sebagai Muslim di negara-
negara Islam, dan di saat yang sama berjuang menghadapi
Islamofobia yang menjangkiti sebagian besar penduduk
Eropa dan Amerika. Baru kemudian empat dekade terakhir
ini semboyan love for all hatred for none bekerja menepis
pandangan yang keliru terhadap Islam umumnya, dan
Ahmadiyah khususnya.
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
52
Skeptisisme yang dikemukakan di sini bukan pada
soal pengakuan akan pentingnya semboyan ini secara
mendasar dalam persepsi dan perilaku Ahmadi, melainkan
soal bagaimana semboyan-yang-ideologis ini kadang
kala dipandang, secara agak naif, sebagai produk yang
independen dengan menakan alasan-alasan luar yang
membentuknya. Hampir dipastikan ada pengaruh logis dari
diskriminasi yang selama ini didapat, sehingga melahirkan
semboyan humanistis, identitas, dan prioritas kekhilafahan
Ahmadiyah sebagai organisasi yang tengah berkontestasi.
Tentu saja mesti disadari, kebertahanan Ahmadiyah tidak
akan berjalan mulus tanpa kesetiaan mutlak pengikutnya
atas otoritas mutlak khalifahnya.
Bagi Ahmadiyah, kekhilafahan merupakan sistem
Ilahi (divine system) yang diyakini sebagai sumber
kekuatan, determinan utama pemersatu umat Islam. Ia
dimaknai sebagai suprastruktur spiritual yang berorientasi
pada kerohanian, bukan suprastruktur politik yang
berorientasi pada kekuasaan. Bahkan, doktrin tentang
khilafah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
doktrin tentang kenabian. Karena itu, seorang khalifah
diibaratkan sebagai bayang-bayang nabi yang juga
mengemban peran dan misi kenabian. Secara praktis,
khalifah memiliki hak mengatur segala urusan agama dan
kelembagaan jemaatnya (Nahdi, 1992: 19; Bashir, 2010: 3;
Burhani, 2014).
Jika satu-satunya keselamatan yang dimiliki oleh
seorang Ahmadi adalah kepatuhannya sebagai pengikut
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
53
Ahmadiyah, maka sudah pasti seluruh pertimbangan moral
dan politiknya akan terkait secara spesik dengan Sang
Khalifah. Pengandaian soliteris ini setidaknya memudahkan
kita memahami, bagaimanapun buruknya perlakuan yang
ditujukan kepada peribadi Ahmadi, ia tidak akan pernah
membalas dengan cara yang sama. Sebaliknya, ia akan
membalasnya dengan do’a dan belas kasih. Sebab, jalan
nirkekerasan adalah doktrin utama dalam kekhilafahan
Ahmadiyah (Basalamah dan Libarno, 2015), sebagaimana
pidato Mirza Masroor Ahmad (2014: 16-7) berikut:
“Jangan pernah meninggalkan keadilan, bahkan
kepada musuh Anda sekalipun. ...Perdamaian
akan ditegakkan hanya jika prasyarat keadilan juga
diberikan kepada musuh, tidak hanya dalam perang
melawan kelompok ekstremis agama, tetapi juga
dalam seluruh bentuk perang. Hanya dengan hal
demikian perdamaian bisa lestari.”
“…Kita telah diajarkan prinsip emas oleh Nabi Suci
Islam SAW, yaitu membantu korban dan pelaku
kekejaman sekaligus. …Jadi, dari belas kasih,
kita mencoba untuk menyelamatkan. Prinsip ini
melampaui sekat terkecil dari masyarakat ke tingkat
internasional.”
Sikap resisten Ahmadiyah terhadap penolakan
dan hate crime menjadi sangat kuat dalam empat dekade
terakhir ini. Wujudnya bisa berupa respons langsung
melalui media publikasi akademik, majalah, konferensi
lintas iman, hingga stasiun televisi. Wujud lainnya adalah
ejawantahan semboyan-ideologis love for all hatred for none
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
54
melalui aksi/gerakan kemanusiaan, seperti donor darah,
donor mata, clean the city, hingga melahirkan yayasan
lantropi dengan jangkauan transnasional. Sumbangan
penting (katakanlah, non-keagamaan) semacam ini bisa
dipahami sebagai bentuk retorika antikekerasan. Sebuah
pilihan sikap yang dirawat atas kepekaan (penolakan)
zaman dan semangat untuk sintas di dalam tubuh khilafah
Ahmadiyah.
Karakteristik Kasih Ahmadi
Kurang imbang rasanya, melihat kebaikan Ahmadi-
yah semata sebagai reaksi strategis terhadap perlakuan
buruk, diskriminasi, dan penolakan aktual yang kerap
mereka alami. Kini saya akan beranjak ke pembacaan-
pembacaan substansial (juga doktrinal) yang mengungkap
sisi karakteristik Ahmadi. Karakter atau kepribadian
Ahmadi jelas menjadi kunci utama terlaksana atau
tidaknya misi cinta kasih khilafah Ahmadiyah. Secara
empiris normatif, pembangunan karakter bisa dilihat dari
syarat baiat bagi calon anggota Ahmadiyah. Secara umum,
sepuluh poin syarat baiat mengarahkan calon Ahmadi
pada perilaku yang berasaskan nilai-nilai kemanusiaan,
penghormatan, permusyawaratan, dan kekuatan spiritual
yang transendental. Kekuatan keyakinan dan rasionalitas
inilah yang membentuk mental seorang Ahmadi (Mahdi
& Mau’ud, t.t.).
Secara khusus, saya mendapati enam dari sepuluh
syarat baiat yang mengandung konvensi nilai-nilai perda-
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
55
maian dan cinta kasih, baik vertikal maupun horizontal,
yang menjadi komitmen dasar kepribadian sang Ahmadi.
Keenam dari sepuluh janji seorang Ahmadi itu adalah
sebagai berikut:
a. (Poin baiat nomor 2) Akan senantiasa menghindarkan
diri dari segala corak bohong, zina, pandangan
birahi terhadap bukan muhrim, perbuatan fasiq,
kejahatan, aniaya, khianat, mengadakan huru-hara,
dan memberontak serta tidak akan dikalahkan oleh
hawa nafsunya meskipun bagaimana juga dorongan
terhadapnya;
b. (Poin baiat nomor 4) Tidak akan mendatangkan
kesusahan apa pun yang tidak pada tempatnya terhadap
makhluk Allah umumnya dan kaum Muslimin khususnya
karena dorongan hawa nafsunya, biar dengan lisan atau
dengan tangan atau dengan cara apa pun;
c. (Poin baiat nomor 5) Akan tetap setia terhadap Allah
Ta’ala, baik dalam segala keadaan susah atau pun senang,
dalam duka atau suka, nikmat atau musibah; pendeknya,
akan rela atas keputusan Allah Ta’ala. Dan senantiasa
akan bersedia menerima segala kehinaan dan kesusahan
di jalan Allah. Tidak akan memalingkan mukanya dari
Allah Ta’ala ketika ditimpa suatu musibah, bahkan akan
terus melangkah ke muka;
d. (Poin baiat nomor 6) Akan berhenti dari adat yang
buruk dan dari menuruti hawa nafsu, dan benar-benar
akan menjunjung tinggi perintah al-Qur’an Suci di atas
dirinya. Firman Allah dan sabda Rasul-Nya itu akan
menjadi pedoman baginya dalam tiap langkahnya;
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
56
e. (Poin baiat nomor 7) Meninggalkan takabur dan
sombong; akan hidup dengan merendahkan diri, beradat
lemah-lembut, berbudi pekerti yang halus, dan sopan
santun;
f. (Poin baiat nomor 9) Akan selamanya menaruh belas
kasih terhadap makhluk Allah umumnya, dan akan sejauh
mungkin mendatangkan faedah kepada umat manusia
dengan kekuatan dan nikmat yang dianugerahkan Allah
Ta’ala kepadanya.
Aktualitas janji pribadi Ahmadi ini, secara terperinci
disebutkan dalam risalah Mirza Ghulam Ahmad (1993, 1-4).
Setidaknya, ada sembilan belas kode etik kepribadian ideal
seorang Ahmadi: (1) tidak cemas dengan laknat dunia;
(2) tidak bersikap menonjol-nonjolkan diri; (3) luruskan
hati, bersihkan jiwa dan teguhkan tekad; (4) tidak angkuh,
tidak egois, dan tidak bermalas-malasan; (5) tidak mudah
berprasangka; (6) menyudahi pertentangan satu sama
lain dengan aman dan damai, serta memaaan kesalahan
saudara; (7) tidak menghamba pada nafsu; (8) menghindari
bersitegang; (9) meski berada di pihak yang benar, tetap
rendah diri; (10) saling bersatu-padu selayaknya saudara-
saudara kandung; (11) pemaaf; (12) tidak berperilaku buruk
dan zalim; (13) berlaku jujur, tidak tergila-gila keduniawian;
(14) membersihkan hati agar menyadari kehadiran Tuhan;
(15) tidak takut menderita; (16) menjadikan diri sebagai
sahabat Tuhan; (17) berbelas-kasih kepada siapa pun; (18)
bersabar dan tidak pernah berhenti ikhtiar; (19) bertawakal
dengan kehendak Tuhan. Tentu saja, prinsip-prinsip
pembentukan karakter dan relasi kemanusiaan ini sejatinya
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
57
sudah ada di dalam al-Qur’an dan ajaran Rasullullah SAW.
Kapasitas seorang Mirza Ghulam Ahmad dalam hal ini
adalah menjelaskan atau membuka kembali tata nilai
dan ajaran yang ditengarai tersembunyi sejalan dinamika
zaman (Basalamah dan Sanusi, 2015).
Kesemua poin tersebut merupakan prinsip penguat
pribadi Ahmadi sebagai bagian dari yang diminorkan.
Bagi Ahmadiyah, satu-satunya cara untuk memastikan
perdamaian bagi dunia adalah dengan menerapkan nilai-
nilai kerendahan hati, keadilan, ketulusan, ketaatan, dan
kembali kepada Tuhan yang karenanya manusia menjadi
manusiawi; yang kuat melayani yang lemah dan miskin
dengan martabat dan rasa hormat disertai keadilan (M.
M. Ahmad, 2014).
Ahmadiyah dalam mengaktualisasikan ajarannya,
berpegang teguh pada prinsip-prinsip perdamaian dunia,
keadilan, antikekerasan, HAM, kebebasan beragama,
dan demokrasi. Pernah di suatu kesempatan pada 27
Juni 2012, Mirza Masroor Ahmad menyampaikan pidato
berjudul “The Path to Peace – Just Relations between
Nations” dalam Kongres Amerika Serikat di Capitol
Hill, Washington D.C. Pada kesempatan tersebut, Mirza
Masroor Ahmad menyampaikan bahwa prinsip utama
dalam mempertahankan perdamaian adalah keadilan yang
hakiki:
“Sebenarnya adalah bahwa perdamaian dan keadil-
an tidak dapat dipisahkan, Anda tidak dapat men-
capai salah satunya tanpa menghiraukan yang
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
58
lainnya… namun, pada umumnya, masih ada sedikit
keraguan bahwa kegelisahan dan kecemasan semakin
meningkat di dunia dan dengannya kekacauan
menyebar. Ini dengan jelas membuktikan bahwa
pada suatu tempat dalam arah pencapaiannya,
kebutuhan akan keadilan belumlah tercukupi.”
“Dalam al-Qur’an Suci, Tuhan Yang Maha Esa dengan
jelas menyampaikan, meskipun kebangsaan serta
latar belakang etnis berfungsi sebagai identitas, hal-
hal tersebut tidaklah mengesahkan atau menunjuk-
kan adanya superioritas, dalam bentuk apa pun.”
“Demikian, jelas dalam ajaran Islam bahwa orang-
orang dari segala kebangsaan, dan segala ras adalah
setara. Dan ini membuat jelas bahwa seluruh
manusia harus diberi kesetaraan hak tanpa adanya
diskriminasi ataupun prasangka buruk. Ini adalah
kunci dan prinsip utama peletakan pondasi untuk
keharmonisan antara kelompok-kelompok yang
berbeda, serta bangsa-bangsa untuk berdirinya
perdamaian.”
Dengan demikian, tampaklah nilai-nilai moralitas
dan spiritualitas Ahmadiyah sebagai organisasi sekaligus
identitas pribadi: keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
toleransi dan memaaan, serta nilai kewarganegaraan yang
kuat. Mencermati prinsip-prinsip pembangunan karakter
Ahmadiyah, saya dapat lebih maum—atau lebih tepatnya
dipaksa untuk maum—bahwasanya tnah, intimidasi,
diskriminasi, bahkan pembunuhan yang ditujukan kepada
seorang Ahmadi, merupakan the sign from God yang mesti
ia lalui. Penentangan diterima sebagai proses penguatan
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
59
keimanan, dengan mencontoh Rasullullah SAW yang juga
dalam proses dakwahnya mendapat banyak penentang.
Semakin seorang Ahmadi ditekan, semakin ia merasakan
nikmat, hikmah, dan satu langkah lebih dekat menuju janji
Tuhan (Libarno dan Wahab, 2015). Mentalitas ini tidak
hanya diyakini sebagai pembinaan spiritual, tetapi sudah
menjadi bagian dari kesadaran kritis (critical conciousness)
pribadi Ahmadi. Karena itu, tidak ada keraguan bahwa
Islam Ahmadiyah akan benar-benar mencapai kejayaan
sebagaimana dijanjikan Tuhan.
Primasi Jihad Kemanusiaan Ahmadi
“The principle to which we adhere to is
that we have kindness at heart for the whole of
mankind.”
(M. G. Ahmad, 2009)
Kata jihad, secara etimologis merupakan bentuk
maṣdar dari verba bahasa Arab jãhada, yang artinya
mencurahkan kesungguhan dalam mencapai tujuan
apa pun (al-Manẓūr t.t., 133; Zakariyah, 1979); secara
terminologis, mengandung arti usaha sekuat tenaga untuk
menumpas orang-orang yang tertutup hatinya menerima
ajaran Allah SWT. Jihad juga berarti bersungguh-sungguh—
dalam arti menggunakan segenap pikiran, kekuatan, dan
kemampuan—untuk mencapai maksud tertentu atau
melawan objek tertentu yang terlihat seperti musuh, atau
yang tak terlihat seperti setan dan hawa nafsu (Al-Hadz,
2005: 138). Jihad dalam makna senada juga diuraikan oleh
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
60
Ibn Hajar al-‘Asqalani (1993: 365), yakni mengerahkan
kesungguhan dalam memerangi orang kar, yang secara
mutlak juga berarti melawan nafsu, setan, dan kefasikan.
Memahami jihad, tidak dapat dilepaskan dari
paradigma yang menjadi guideline atasnya. Dalam dunia
Ahmadiyah, kata jihad menempati posisi yang sentral karena
jihad merupakan titik tolak bangun ideologi yang mampu
menggerakkan jemaat sekaligus memperluas pengaruhnya.
Dalam tataran normatif, jihad bagi Ahmadiyah terbagi
ke dalam tiga tipe: (1) jihad melawan hawa nafsu—jihad
besar; (2) jihad dengan al-Qur’an/dengan jalan dakwah
untuk menghapus berbagai kejahatan—jihad hakiki; (3)
jihad dengan pedang/jihad kecil. Masa berlaku jihad tipe
pertama dan kedua adalah sepanjang zaman, sedangkan
jihad tipe ketiga berlaku apabila suatu bangsa atau kaum
memerangi umat Islam (Shadiq, 2014: 345-8). Jihad dalam
logika Ahmadiyah dapat sangat eksibel dengan konteks
zaman. Pada masa yang tenang—dalam arti bukan masa
perang, jihad dipahami dalam bentuknya yang pertama dan
kedua, yaitu pengorbanan dengan dakwah, harta, termasuk
program menerbitkan buku ke dalam seratus bahasa dunia.
Dalam tataran aplikatif, segala macam dan bentuk program
Ahmadiyah sejatinya adalah jihad, atau berkorban.
Di Indonesia, program-program Ahmadiyah dila-
kukan melalui berbagai kerja sosial kemanusiaan yang
dilakukan secara rutin/berkala, seperti: (1) Posyandu yang
rutin diadakan sebulan sekali pada minggu ketiga; (2)
bantuan untuk anak asuh dan anak yatim dengan santunan
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
61
pendidikan dan sandang per tiga bulan sekali; (3) santunan
untuk janda kurang mampu per tiga bulan sekali; (4) bakti
sosial tahunan di bulan Ramadan; (5) khitanan massal
tahunan; (6) sistem pengobatan homeopathy; (7) donor
darah; (8) donor mata. Tiap-tiap kampung Ahmadiyah
memiliki fasilitas dapur umum yang aktif dan responsif,
baik untuk keperluan internal Ahmadiyah maupun untuk
subsidi/sumbangan bagi korban bencana alam (eksternal
Ahmadiyah).
Hal menarik lain yang bisa ditemukan dari sekian
bentuk program sosial-kesehatan tersebut adalah
pengobatan homeopathy. Pengobatan ini secara akidah
tidak ada hubungannya dengan Ahmadiyah, namun secara
tidak langsung berkontribusi besar dalam penyebaran
Ahmadiyah. Dengan motivasi kemanusiaan, pengobatan
homeopathy mulai dikembangkan sejak tahun 1998 oleh
mereka yang kompeten. Dua tahun setelahnya, atas saran
dari Khalifah Ahmadiyah IV Mirza Tahir Ahmad saat
mengunjungi Indonesia, pengobatan homeopathy mulai
diterapkan dan dapat dinikmati gratis oleh masyarakat
Indonesia hingga saat ini (Soanto, 2014: 253-4; Agustini,
2015).
Dalam salah satu keyakinan Ahmadiyah, seorang
Ahmadi layak dikatakan berhasil jika telah belajar
berkorban demi kepentingan orang lain. Prinsip memberi
dan berkorban ini tidak hanya ditujukan untuk sesama
warga Ahmadiyah saja, tetapi juga masyarakat secara
umum tanpa pandang sekat (Sasmidi dan Sodirin, 2015).
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
62
Dalam gerakan donor mata dan donor darah misalnya,
hampir bisa dipastikan setiap laki-laki dewasa Ahmadi
memiliki kartu donor darah dan donor mata di dompet
mereka. Khusus untuk donor mata, meski di Indonesia
masih sangat minim dan kurang lazim, tidak demikian jika
kita berada di tengah-tengah warga Ahmadiyah. Tak heran
bila di Indonesia, jumlah pendonor mata terbesar adalah
dari kalangan Ahmadiyah.
Masih dengan semangat berkorban demi kemanusia-
an, permukiman Ahmadiyah di mana pun didesain agar
memiliki dapur umum atau yang juga dikenal sebagai dapur
sosial. Dapur ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan
bahan baku dan penyajian sandang, baik dalam rangka
kegiatan warga Ahmadi setempat maupun bakti sosial
(insidental/terencana). Dapur umum termasuk tempat
yang aktif bagi kalangan ibu-ibu Ahmadiyah setempat.
Tampak bahwa aktivitas memasak bersama—yang juga
merupakan bentuk pengorbanan—tidak dipahami secara
sederhana sebagai sebuah tugas formal, tetapi lebih dari
itu juga sebagai ruang ekspresi dan hubungan yang lebih
intim lagi di antara mereka.
Contoh-contoh kegiatan tersebut menyiratkan
bahwa salah satu kekuatan jihad Ahmadiyah ada pada
ranah kemanusiaan. Berbicara aspek sosial kemanusiaan
dalam pergerakan Ahmadiyah, kurang afdal bila tidak
menyinggung Humanity First (HF). HF adalah organisasi
sosial kemanusiaan bentukan Ahmadiyah berskala dunia
yang memberi bantuan kepada semua orang tanpa
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
63
pandang ras, agama, atau politik. Organisasi ini bersifat
sukarela dengan lingkup garapan bantuan bencana dan
pengembangan masyarakat. Tidak satu pun dari relawan
gerakan ini yang menerima kompensasi untuk berjam-
jam kerja dan pengeluaran pribadi mereka. HF telah
aktif-efektif merespons bencana di berbagai belahan
dunia. Sistem kerjanya yakni dengan mengarahkan
lebih dari 93 persen seluruh dana yang dihimpun untuk
proyek-proyek kemanusiaan (Sanusi, 2015). Ahmadiyah,
dalam hal ini tampak satu langkah lebih maju, karena
telah menciptakan sebuah organisasi yang berfokus pada
kebutuhan-kebutuhan kemanusiaan yang melampaui
arogansi kebangsaan.
Sudah menjadi prinsip umum bahwa kegiatan yang
matang disokong oleh ketersediaan dana yang matang
pula. Begitu pun dalam sistem organisasi Ahmadiyah.
Untuk pengembangan organisasi sekaligus peningkatan
kualitas gerakan kemanusiaannya, Ahmadiyah memiliki
sistem keuangan yang rapi dan mapan. Sistem keuangan ini
berupa sumbangan sukarela yang disebut candah. Sistem ini
pertama kali direkomendasikan oleh Mirza Ghulam Ahmad
pada 5 Juli 1903. Dalam peraturan organisasi (Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga) JAI, disebutkan bahwa
mereka memiliki kekayaan dan keuangan yang dipungut
dari para anggotanya. Pungutan itu berasal dari zakat trah,
candah wajib, dan candah tidak wajib. Candah wajib berupa
candah aam, candah hissa amad, candah hissa jaidad, dan
candah jalsah salanah. Sedangkan, candah tidak wajib
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
64
berupa dana id, sedekah, candah tahrik jadid, candah waqf
jadid, derma yang telah mendapat persetujuan, dan dana
cabang (Soanto, 2014: 207-13).
Sistem keuangan yang mapan ini otomatis menempati
posisi urgennya sendiri, karena dengannyalah kehidupan
organisasi Ahmadiyah berlangsung. Sumbangan-
sumbangan berupa candah dapat menghidupkembangkan
berbagai program, baik untuk internal organisasi maupun
yang tak kalah pentingnya adalah program-program sosial
kemanusiaan yang dijalankan selama ini. Meski terlihat
bahwa para Ahmadi banyak mengeluarkan uang untuk
berbagai pos, namun atas dasar ketaatan dan kemajuan
bersama, pengeluaran-pengeluaran tersebut jadi terasa
lebih ringan. Para Ahmadi akan sangat ikhlas dan memiliki
keyakinan bahwa dengan keikhlasannya, rezeki akan terus
berdatangan. Dalam situasi dan kondisi yang mampu,
sejak terlahir ke dunia seorang Ahmadi kecil sudah
memiliki tanggung jawab candah melalui orang tuanya.
Anggapannya, di setiap rezeki kita ada hak orang lain di
dalamnya, termasuk rezeki yang masuk ke tubuh, bahkan
sejak seseorang itu lahir. Karena itu, tidak mengherankan
bila para Ahmadi memiliki kedisiplinan yang tinggi dalam
membayar kewajibannya, karena menyumbang harta
mereka maknai sebagai salah satu fase pengorbanan/jihad
dalam hidup.
Upaya-upaya kemanusiaan di atas, yang bagi mereka
adalah bentuk kekinian pemaknaan jihad, dapat dipahami
sebagai bentuk paling konkrit kemitraan terhadap negara
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
65
(partner of state). Ahmadiyah sekali lagi berhasil menunjuk-
kan kontribusi kemanusiaan dalam menjalankan sebagi-
an dari fungsi-fungsi yang seharusnya dijalankan oleh
negara. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Di satu
sisi posisi Ahmadiyah sebagai identitas yang diminorkan
benar-benar realistis dan memiliki kemandirian yang tajam
dalam menghadapi negara. Di lain sisi, Ahmadiyah mampu
menunjukkan sikap patuh terhadap negara (sebagai bentuk
kesadaran strategis).
Semangat Kewargaan di Tengah Nasionalisme
Bertuhan
Gerakan komunitas yang bersumber pada agama,
menurut Erving Goman (1959), memiliki setidaknya
sepuluh nilai dasar: kemandirian, tanggung jawab, kerja
sama kelompok, solidaritas sosial, inisiatif, sikap berkorban,
penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, penghargaan
terhadap waktu, penghargaan terhadap sesama, dan sikap
sopan santun. Nilai-nilai ini tampaknya teraktualisasi
dengan baik di tubuh Ahmadiyah, baik secara organisasi
maupun individu. Setidaknya, memberi kita alasan logis
tentang daya eksistensi Ahmadiyah kendati pun banyak
menghadapi tekanan dan ancaman.
Di Indonesia, pada tahun 1965 Presiden mengeluarkan
keputusan tentang Pencegahan Penodaan Agama (PPA).
Meski UU PPA tersebut di masa kini menjadi dasar
hukum penolakan terhadap Ahmadiyah, namun target
awal pembentukannya bukanlah Ahmadiyah, melainkan
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
66
aliran kepercayaan. Memang, Ahmadiyah sudah mendapat
reaksi penolakan sejak rentang tahun 1950 hingga 1998.
Akan tetapi, penolakan pada masa itu tidak diungkapkan
dalam bahasa legal “penodaan agama.” Ahmadiyah
sebagai kasus legal penodaan agama adalah konstruksi
baru pascareformasi, khususnya pada tahun 2005 melalui
fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan
menyesatkan, begitu pun pengikutnya dianggap murtad
(keluar dari ajaran Islam), serta pemerintah diwajibkan
melarang penyebaran ajaran Ahmadiyah. Puncak dari
penolakan tersebut terjadi pada tahun 2008 dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri
(MUI 2005).
Fakta yang patut disadari betul adalah meski
Ahmadiyah sudah puluhan tahun mengalami penolakan di
Tanah Air, (baru) pada tahun 2000 Ahmadiyah mengalami
kekerasan sik dalam skala besar. Tentu saja, rangakaian
larangan yang dikeluarkan oleh beberapa pemerintah
daerah merupakan penyumbang dampak kekerasan
terbesar terhadap pengikut Ahmadiyah. Eskalasi kekerasan
di beberapa daerah pun meningkat tiap tahunnya. Merunut
pada Catatan Setara Institute (2010), pelanggaran terhadap
Ahmadiyah pada tahun 2007 sebanyak 15 kasus, 193 kasus
pada tahun 2008, 33 kasus pada tahun 2009, dan 50 kasus
pada tahun 2010. Terlihat, puncak pelanggaran terhadap
Ahmadiyah terbanyak ada pada tahun 2008, tahun di
mana SKB Tiga Menteri dikeluarkan. Meski tidak dapat
dikatakan bahwa Ahmadiyah aman-aman saja sebelumnya,
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
67
namun kenyataannya pada tahun 1953 Ahmadiyah
“sempat” memperoleh legalitas sebagai badan hukum,
dan berkembang hingga memiliki ratusan cabang serta
mendirikan banyak sekolah. Artinya, kita memang tengah
berada pada masa di mana nasionalisme bertuhan (godly
nationalism) benar-benar dipelihara.
Lantas, apakah Ahmadiyah berada di luar batas
konsensus nasionalisme bertuhan? Jawabannya, ya.
Melihat narasi historis legalitas dan tindak kekerasan yang
dialamatkan pada Ahmadiyah, maka hampir bisa dipastikan
bahwa Ahmadiyah tidak relevan dalam pendefinisian
diri Muslim Indonesia. Pada titik ini, nasionalisme
bertuhan menunjukkan dua sisi mata pedangnya: sebagai
sumber pluralisme sekaligus batasannya. Di negara ini,
nasionalisme bertuhan terwujud dalam pengakuan negara
terhadap enam agama dunia, plus batasan penafsiran dalam
tiap-tiap kelompok agama tersebut. Jika ada kelompok
agama di luar batasan itu, seperti Ahmadiyah, dipastikan
ditolak.
Hadirnya tekanan dan penentangan yang luar biasa
ini, disadari betul oleh pihak Ahmadiyah akan membawa
magma konflik eksternal dan berpotensi mengancam
solidaritas internal Ahmadiyah. Sebagai salah satu jalan
penyikapan, khilafah Ahmadiyah intens memperkuat
relasi dengan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan
melalui program bakti sosial (charity program), serta
membina hubungan baik dengan kalangan pers pada
level nasional dan daerah. Harapannya, Ahmadiyah
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
68
diberi ruang klarifikasi yang cukup proporsional atas
berita-berita yang seringkali menyudutkan. Sementara
itu, penguatan solidaritas internal lebih diarahkan pada
model silaturrahmi keluarga dengan tujuan merawat spirit
kebersamaan dan keyakinan sebagai seorang Ahmadi
(Wahab, 2015; Wahyudi, 2014).
Masih dalam konteks yang sama, pada salah satu
brosur resmi JAI (2012) diuraikan lima cabang strategi
untuk memenangkan Islam berdasarkan ketetapan Mirzha
Ghulam Ahmad, yakni: (1) menerbitkan literatur Islam;
(2) mencetak dan menyebarkan majalah dan brosur;
(3) silaturrahmi; (4) korespondensi; (5) menerima baiat
orang yang ingin bergabung masuk ke dalam Jemaat Islam
Ahmadiyah setelah menyetujui dan sanggup menunaikan
syarat baiat.
Secara garis besar pemetaan strategi tersebut, poin
satu hingga empat, sangat mengandalkan peran media
komunikasi, baik cetak maupun elektronik. Melalui
media komunikasi, paham Ahmadiyah dapat tersebar,
terbaca, dan terlihat secara langsung oleh siapa pun
di mana pun. Media dalam hal ini memiliki dua fungsi
strategis: merawat wawasan ideologis bagi internal dan
mengenalkan Ahmadiyah pada pihak eksternal. Selain
dunia literatur cetak, Ahmadiyah juga memiliki jaringan
televisi internasional, yaitu Muslim Television Ahmadiyya
(MTA). Stasiun televisi ini memiliki tiga saluran dengan
orientasi budaya yang berbeda: MTA-1 untuk wilayah
Eropa, Amerika Serikat, dan Asia; MTA-2 untuk wilayah
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
69
Afrika Tengah; dan MTA-3 untuk wilayah Afrika Utara
dan Timur Tengah. Saluran televisi ini bagi masyarakat
Ahmadiyah juga berfungsi sebagai perekat sosial. Di setiap
kampung Ahmadiyah, pada malam-malam tertentu secara
rutin dilakukan kumpul bersama menyaksikan siaran
langsung ceramah yang disampaikan oleh Sang Khalifah.
Ahmadiyah tampaknya sadar betul bahwa nasional-
isme bertuhan merupakan bagian dari takdir sejarah
bangsa yang tidak dapat dibendung. Hal ini dibuktikan
dengan respons positif terhadap penolakan hate crime dari
kontra Ahmadiyah: pola-pola siasat bertoleransi, pola-pola
intelektual, dialog responsif, dan jaringan (networking)
yang telah dibangunkembangkan dengan baik. Tak luput
pula penguatan internal melalui konsolidasi kerukunan
anggotanya dalam forum-forum silaturrahmi mulai
dari tingkat terkecil, yakni keluarga hingga hubungan
kekerabatan dan ketetanggaan sesama anggota Ahmadiyah.
Kesadaran dan kekuatan internal serta konsolidasi inilah
yang menjadikan eksistensi Ahmadiyah di Indonesia tetap
terjaga sebagai sebuah kekuatan peradaban.
Damai yang Mungkin Dicapai
Kiranya menarik mengetahui fakta bahwa dibutuh-
kan waktu 89 tahun bagi kekhilafahan Ahmadiyah, sejak
berdirinya, untuk melahirkan semboyan love for all hatred
for none. Bentang waktu yang cukup matang untuk
menghayati dan menyadari betapa penting nilai kesalehan
sosial di samping kesalehan individual, yang imanen di
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
70
samping yang transenden. Dulu, penerimaan umum atas
ajakan “kasih untuk semua” boleh jadi berlaku manakala
terdapat kesamaan hidup. Namun, kini watak global dunia
kontemporer menuntut setiap orang untuk menghargai
setiap pilihan hidup yang sangat beragam. Baik respek
antarsesama warga Ahmadi, respek warga Ahmadi kepada
warga non-Ahmadi, maupun respek warga non-Ahmadi
kepada mereka yang beridentitas Ahmadi.
Tema tulisan ini adalah narasi panjang yang
dibangun dari angan dan usaha mereka yang diminorkan,
tentang Islam (yang) damai. Kepatuhan terhadap sistem
khilafah telah melandasi nilai toleransi yang meluas
melampaui sekat-sekat nation state, budaya, komunitas,
dan agama. Sulit rasanya untuk tidak melihat kuatnya
gagasan kemanusiaan yang menggerakkan seluruh anggota
Ahmadiyah untuk menentang apa yang mereka terima
selama ini sebagai sesuatu yang tidak manusiawi. Dengan
memeluk realitas, mereka yang diminorkan ternyata
tidak cukup terpengaruh untuk menyerah. Dengan segala
gejolak di luar, mereka masih bisa beribadah sekaligus
merawat keberjemaatannya di dalam. Tidak berlebihan
bila kekuatan dan ketahanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
saya sikapi sebagai buah dari kesadaran mereka yang ikhlas
dan percaya pada kekuatan manifestasi Tuhan dalam wujud
khilafah. Lagi-lagi dalam hal ini, prinsip-prinsip ketuhanan
dan kemanusiaan yang welas asih tetap menempati porsi
yang besar.
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
71
Ada dua pendekatan yang secara mendasar berbeda
dalam memahami resistensi kekhilafahan Ahmadiyah.
Pendekatan pertama memandang bahwa sistem dan nilai
yang dibangun merupakan manifestasi ketuhanan yang
mapan yang mesti dibela. Sementara pendekatan kedua
berfokus pada proses jatuh bangun bernalar, bereeksi,
hingga bermoderasi dengan (penolakan) zaman. Namun,
bagi saya, persoalan riilnya bukan apa/kapan kita bisa
mencapai situasi damai, melainkan bagaimana kita
berproses menuju damai itu. Dan Ahmadiyah telah
memulainya, dimulai dari diri sendiri, sejak 49 tahun yang
lalu, love for all hatred for none.
Catatan
Artikel ini merupakan bentuk revisi dari tulisan penulis
diterbitkan di Jurnal Indo-Islamika, Vol. 5 No. 1, Januari-
Juni 2015/1437 dengan judul “Love for All, Hatred for None:
Narasi Kemanusiaan dan Primasi Perlawanan Stigma
Jemaat Ahmadiyah Indonesia.”
Daftar Pustaka
Ahmad, Mirza Ghulam. Ajaranku. Bogor: Jemaat
Ahmadiyah Indonesia, 1993.
———. “Ruhani Khazain.” Islam International Publications
Limited, 2009.
———.Inti Ajaran Islam. Bandung: Neratja Press, 2014.
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
72
Ahmad, Mirza Masroor. Krisis Dunia dan Jalan Menuju
Perdamaian. Bandung: Neratja Press, 2014.
Al-‘Asqalānī, Syihāb al-Dīn Aḥmad bin ‘Ali bin Hajar. Fatḥ
al-Bārī. Juz 8. Beirūt: Dār al-Fikr, 1993.
Al-Hafidz, Ahsin W. Kamus Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:
Amzah, 2005.
al-Manẓūr, Ibn. n.d. Lisān al-‘Arab. Juz 3. Beirūt: Dār al-
ṣādr.
Alkatiri, Jufri. Ahmadiyah Qadian dalam Perspektif
Komunikasi Antarbudaya: Kajian tentang Agama
di Ruang Publik. Lebak, Banten: Pondok Pesantren
Qothorotul Falah, 2015.
Bashir, Majeed Ahmad. The system of Khilafat in Jama’at-
e-Ahmadiyya. Rabvah: Black Arrow Printers, 2010.
Bruinessen, Martin Van. “Sectarian movements in
Indonesian Islam: Social and Cultural Backround.”
Ulumul Qur’an 3 (1): 16–27, 1992.
Burhani, Ahmad Najib. “Khilafah Ahmadiyah sebagai
Satu Model Penerapan Sistem Kekhilafahan di
Era Kontemporer.” In Kontroversi Khilafah: Islam,
Negara, dan Pancasila, diedit oleh Komaruddin
Hidayat, 113–30. Jakarta: Mizan, 2014.
Colbran, Nicola. “Realities and Challenges in Realising
Freedom of Religion or Belief in Indonesia.” The
International Journal of Human Rights 14 (5): 678–
704, 2010.
Gaar, Abdul. “Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dalam
Perspektif Kekerasan Negara: Dua Kasus dari
Surabaya Jawa Timur dan Lombok NTB.” Jurnal
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
73
Sosiologi Islam 3 (2): 29–50, 2013.
Goman, Erving. Asylum: Essay on the Social Situation of
Mental Patient and Other Inmates. New York: Anchor
Books, 1959.
Hasani, Ismail, dan Bonar Tiggor. Negara Menyangkal
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di
Indonesia. Jakarta: Setara Institute, 2010.
Hobbes, Thomas. Leviathan or the Matter, Forme, and
Power of a Common-wealth Ecclesiastical and Civil.
Oxford: Oxford University Press, 1998.
Indonesia, Jemaat Ahmadiyah. Jemaat Ahmadiyah Tidak
Sama dengan Al-Qiyadah. Jakarta: Tabligh Pengurus
Besar JAI, 2012.
Mahdi, Hazrat Imam, dan Masih Mau’ud. n.d. Lembar
Syarat-Syarat Baiat dalam Jemaat Ahmadiyah.
Majelis Ulama Indonesia Bidang Akidah dan Aliran
Keagamaan. “Penjelasan Tentang Fatwa Aliran
Ahmadiyah.” Jakarta: MUI, 2005.
Mclaughlin, Eugene. The Sage Dictionary of Criminology.
Diedit oleh Eugene Mclaughlin dan John Muncie.
New Delhi: SAGE Publications, 2001.
Menchik, Jeremy. “Productive Intolerance: Godly
Nationalism in Indonesia.” Comparative Studies in
Society and History 56 (3): 591–621, 2014.
Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle
for Power and Peace. Boston: McGraw-Hill Education,
1993.
Nahdi, Saleh A. Khilafat Sarana Pemersatu Umat. Bogor:
Yayasan Wisma Damai, 1992.
Khilafah Ahmadiyah dan Nation State
74
Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pidato
Bersejarah Khalifah ke-5, issued 2012, 2012.
Saloom, Gazi. “Hubungan Minoritas-Mayoritas di
Bogor: Kajian Psikologi Sosial tentang Perilaku
Antarkelompok.” Dialog 35 (1): 74–86, 2012.
Shadiq, Muhammad. Penjelasan Ahmadiyah. Bandung:
Neratja Press, 2014.
Sofianto, Kunto. Tinjauan Kritis Jemaat Ahmadiyah
Indonesia. Bandung: Neratja Press, 2014.
Subandi, Jamal Akhmad. “Lembutnya Sentuhan Obat
Homeopathy.” Suara Ansharullah, November 2002.
Wahyudi, Catur. “Marginalisasi JAI dan Konstruk Civil
Society.” Jurnal Studi Sosial 6 (2): 80–93, 2014.
Zakariyah, Abu Husayn Ahmad ibn Faris ibn. Mu‘jam
Maqāyis al-Lughah. Beirūt: Dār al-Fikr, 1979.
Zgourides, George D., dan Christie S. Zgourides. Sociology.
New York: IDG Books Worldwide, 2000.
Zuhaeri, Ahmad. “Konflik Jemaat Ahmadiyah dengan
Masyarakat Non Ahmadiyah.” UIN Syarif Hidaya-
tullah Jakarta, 2009.
Informan
Abdul Rasyid, Penanggung Jawab Pengurus Cabang Bidang
Publikasi.
Abdul Wahab, Penerjemah resmi lisan/tulisan Jemaat
Ahmadiyah.
Asep Sobirin, Penanggung Jawab Bidang Garapan Publik.
Love for All Hatred for None: Narasi Damai Khilafah Ahmadiyah Kontemporer
75
Ela Agustini, Ketua Lajnah Imaillah Cabang Gondrong.
Ida Hamida, Penanggung Jawab Keuangan Lajnah Imaillah
Cabang Gondrong.
Leni, Sekretaris Urusan Tamu.
Libarno, Asisten Pengurus Cabang Bidang Kekayaan dan
Bangunan Jemaat.
Mira Tsurayya Basalamah, Ketua Lajnah Imaillah Wilayah
Tangerang.
Nanang Sanusi, Mubalig Wilayah Jemaat Ahmadiyah
Indonesia Tangerang.
Nurlena, Penanggung Jawab Lajnah Imaillah Bagian
Pendidikan.
Sasmidi, Penanggung Jawab Bidang Garapan Sosial