ArticlePDF Available

DEFORESTASI DAN KETAHANAN SOSIAL

Authors:

Abstract

Tingginya laju deforestasi hutan memang menjadi permasalah utama ekologi yang dihadapi oleh dunia pada saat ini. Perubahan iklim dan juga kehilangan ke-anekaragaman hayati merupakan dua masalah ekologi utama yang dihadapi dunia pada saat ini (Skogen et al., 2018). Le Quéré et al (2018) menyebut bahwa 25% permasalahan ekologi dunia tersebut disebabkan oleh deforestasi dan perubahan penggunaan lahan. Indonesia yang dulu dikenal sebagai “zamrud khatulistiwa” merupakan negara yang juga menghadapi tantangan deforetasi hutan. Hidayat et al (2019) menyatakan bahwa hutan memegang empat fungsi sekaligus yaitu fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan estetika. Secara ekologis, hutan merupakan satu kesatuan ekosistem yang memegang peranan yang sangat penting untuk menjaga tata lingkungan seperti mengatur tata air, kesuburan tanah dan juga udara. Secara ekonomi, hutan memang memiliki nilai guna langsung seperti pada nilai lahan, penghasil komoditas kayu yang bisa di jual dan sumber mata pencaharian. Bagi masyarakat di sekitar hutan, hutan memegang peranan penting dalam kehidupan sosial mereka yang dianggap sebagai milik bersama yang harus dijaga. Hutan juga bisa dijadikan tempat wisata dikarenakan fungsi estetikanya. Konsep ketahanan sosial yang dimaksudkan dalam buku ini mengacu kepada konsep yang diungkapkan oleh Webersik (2010). Ketahanan sosial menurut Webersik (2010) adalah kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap tekanan eksternal ataupun perubahan lingkungan. Ketahanan sosial masyarakat sangat bergantung kepada interaksi faktor sosial dan faktor ekonomi yang kompleks, sehingga interaksi faktor tersebut dapat menjadi modal sosial untuk menjamin kondisi masyarakat tetap bertahan dari tekanan lingkungan. Ketahanan sosial dapat dicapai dengan dua kebijakan yaitu pemberdayaan masyarakat dan juga pemberian akses kepada sumber daya seperti kebijakan hutan kemasyarakatan dan Perhutanan Sosial (PS) (Ireson et al., 2003). Harapan dari kebijakan pemberdayaan ini adalah agar masyarakat tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan sumber daya hutan dan lingkungan dengan meningkatkan ketahanan sosial mereka. Deforestasi merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Pada buku ini Herman Hidayat berusaha menggambarkan tentang kebijakan pemerintah dan juga stakeholder lainnya, dalam memberdayakan komunitas masyarakat yang ada di sekitar hutan untuk dapat memiliki ketahanan sosial dan juga ekonomi. Sebagai gambaran umum terdapat delapan bagian dalam buku ini yang di awali oleh pengantar yang menjelaskan mengenai benang merah antara deforestasi, kemiskinan dan ketahanan sosial. Selanjutnya terdapat 4 bagian dari buku yang membahas mengenai deforestasi yang berdampak buruk bagi ekologi dan juga ketahanan sosial masyarakat sekitar hutan. Selain 4 bagian tersebut, terdapat 1 bagian buku yang masing-masing bagiannya membahas mengenai keberhasilan program pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dan sebaliknya. Pada bagian lain juga dipaparkan mengenai ketidakberhasilan program pemberdayaan yang diakibatkan oleh faktor ekonomi. Secara khusus, terdapat bagian dalam buku ini yang membahas penegakan hukum terhadap deforestasi yang terjadi terkait dengan kegiatan perkebunan kelapa sawit dan juga Hutan Tanaman Industri (HTI).
125
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020
journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb
ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2020 The Author(s). Published by LIPI Press. This is
an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
DOI: 10.14203/jmb.v22i3.1059
Naskah Masuk: Juni 2020 Revisi akhir: November 2020 Diterima: November 2020
TINJAUAN BUKU
DEFORESTASI DAN KETAHANAN SOSIAL
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
Universitas Riau
bayu.andrianto7984@grad.unri.ac.id, victor.amrifo@lecturer.unri.ac.id
Judul : Deforestasi dan Ketahanan Sosial
Penulis : Herman Hidayat (Ed.)
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun Terbit : 2019
Jumlah Halaman :326 halaman
ISBN : 978-602-433-751-3
PENDAHULUAN
Tingginya laju deforestasi hutan, perubahan
iklim, dan juga kehilangan keanekaragaman
hayati merupakan masalah ekologi utama yang
dihadapi dunia pada saat ini (Skogen dkk., 2018).
Le Quéré dkk. (2018) menyebutkan bahwa 25%
permasalahan ekologi dunia tersebut disebabkan
oleh deforestasi dan perubahan penggunaan
lahan. Indonesia yang dulu dikenal sebagai
“zamrud khatulistiwa” merupakan negara yang
juga menghadapi tantangan deforestasi hutan.
Indonesia merupakan negara dengan hutan
hujan tropis yang cukup luas dengan keaneka-
ragaman ora terbesar keempat di dunia (Surya &
Astuti, 2017). Menurut catatan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hu-
tan di Indonesia tercatat seluas 94,1 juta ha atau
setara dengan 50,1% dari total daratan Indonesia
(KLHK, 2020). Luasnya hutan Indonesia juga
diiringi dengan permasalahan laju deforestasi
yang cukup tinggi. Pada tahun 2000–2012,
Indonesia memiliki laju deforestasi yang sangat
tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan Brasil
pada tahun 2012 (Margono dkk., 2014).
Hidayat dkk. (2019) menyatakan bahwa
hutan memegang empat fungsi sekaligus, yaitu
fungsi ekologi, ekonomi, sosial, dan estetika.
Secara ekologis, hutan merupakan satu kesatuan
ekosistem yang memegang peranan sangat penting
untuk menjaga tata lingkungan seperti mengatur
tata air serta kesuburan tanah dan juga udara.
Secara ekonomi, hutan memang memiliki nilai
guna langsung seperti pada nilai lahan sebagai
penghasil komoditas kayu yang bisa dijual dan
sumber mata pencaharian. Bagi masyarakat
sekitar, hutan memegang peranan penting dalam
kehidupan sosial mereka dan dianggap sebagai
milik bersama yang harus dijaga. Hutan juga bisa
dijadikan tempat wisata karena fungsi estetikanya.
Konsep ketahanan sosial yang dimaksudkan
dalam buku ini mengacu kepada konsep yang
diungkapkan oleh Webersik (2010). Ketahanan
sosial menurut Webersik (2010) adalah kemam-
puan masyarakat untuk beradaptasi terhadap
126 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
tekanan eksternal ataupun perubahan lingkungan.
Ketahanan sosial masyarakat sangat bergantung
kepada interaksi faktor sosial-ekonomi yang
kompleks sehingga dapat menjadi modal sosial
untuk menjamin kondisi masyarakat tetap
bertahan dari tekanan lingkungan. Ketahanan
sosial dapat dicapai dengan dua kebijakan, yaitu
pemberdayaan masyarakat dan juga pemberian
akses kepada sumber daya, seperti kebijakan
hutan kemasyarakatan dan Perhutanan Sosial
(PS) (Ireson dkk., 2003). Harapan dari kebijakan
peningkatan ketahanan sosial ini agar masyarakat
tersebut dapat beradaptasi dengan perubahan
sumber daya hutan dan lingkungan.
Deforestasi merupakan tantangan tersendiri
bagi Indonesia. Pada buku ini, Herman Hidayat
berusaha menggambarkan kebijakan pemerintah
dan juga stakeholder lainnya dalam memberdayakan
komunitas masyarakat yang ada di sekitar hutan
untuk dapat memiliki ketahanan sosial dan juga
ekonomi. Sebagai gambaran umum, buku ini
terdiri dari delapan bagian yang diawali penjelasan
mengenai benang merah antara deforestasi,
kemiskinan, dan ketahanan sosial. Pada buku ini,
terdapat empat bagian yang membahas deforestasi
yang berdampak buruk bagi ekologi dan juga
ketahanan sosial masyarakat sekitar hutan. Selain
empat bagian tersebut, terdapat bagian buku yang
membahas keberhasilan program pemberdayaan
masyarakat di sekitar hutan. Sebaliknya, pada
bagian lain juga dipaparkan mengenai kegagalan
program pemberdayaan yang disebabkan oleh
faktor ekonomi. Secara khusus, terdapat bagian
dalam buku ini tentang penegakan hukum terhadap
deforestasi yang terjadi terkait dengan kegiatan
perkebunan kelapa sawit dan juga Hutan Tanaman
Industri (HTI).
Buku ini dapat memperluas wawasan kita
tentang ketahanan sosial terkait dengan hutan di
beberapa wilayah Indonesia, seperti Kalimantan
Tengah, Jambi, Yogyakarta, dan juga Sumatra
Utara yang studi kasusnya diceritakan dalam buku
ini. Buku ini menjelaskan perlunya kebijakan
pemerintah yang pro rakyat dan ekologi hutan.
Kebijakan tersebut menjadi penting karena di saat
yang sama terjadi perubahan ekologi hutan yang
akan mengganggu ketahanan sosial masyarakat
di sekitar hutan.
HUTAN, KEMISKINAN, DAN
USAHA PENINGKATAN
KETAHANAN SOSIAL
Pertanyaan mendasar yang dijabarkan dalam
buku ini adalah apakah perubahan ekologi hutan
(deforestasi) yang terjadi dapat menyebabkan
kemiskinan dan mengganggu ketahanan sosial
(social resilience) masyarakat? Hidayat dkk.
(2019) menyebutkan bahwa lebih dari setengah
kelompok miskin atau yang disebut sebagai ke-
lompok marginal tinggal di sekitar hutan. Kurang
lebih jumlah orang yang tinggal di sekitar hutan
adalah 11,9 juta jiwa pada tahun 2017.
Menurut Hidayat dkk. (2019), masyarakat
di sekitar hutan menghadapi tantangan berupa
kerentanan ketahanan sosial terkait deforestasi.
Penyebab permasalahan tersebut adalah sebagian
besar masyarakat yang tinggal di sekitar hutan
memiliki kehidupan yang bergantung kepada
hutan, tetapi mereka belum mendapatkan ak-
ses terhadap lahan hutan untuk peningkatan
kesejahteraan mereka secara legal. Kelompok
masyarakat tersebut juga belum tersentuh oleh
stimulus ekonomi seperti fasilitas kredit dari
pemerintah. Deforestasi yang terjadi membuat
mereka terpapar kemiskinan, gizi buruk, dan
penurunan kualitas kesehatan lingkungan.
Boyd dan Folke (2011) menyebutkan bahwa
masyarakat perlu membangun ketahanan sosial
mereka sendiri agar dapat menghadapi krisis
serta menggunakan kemampuan mereka untuk
mencapai kemakmuran. Usaha untuk membangun
ketahanan sosial tersebut tentunya juga
membutuhkan bantuan dari pemerintah selaku
pihak yang berwenang. Pemerintah dituntut untuk
melakukan intervensi dalam rangka memperbaiki
kondisi yang dihadapi masyarakat di sekitar hutan.
Usaha pemerintah untuk membantu masyarakat
di sekitar hutan mengalami perkembangan yang
positif dari masa ke masa. Sebuah lompatan besar
untuk pemberdayaan masyarakat sekitar hutan
ini dimulai dengan program REDD+ (Reduction
of Emissions from Deforestation and Forest
Degradation) sejak masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono. United Nations
Oce for REDD Coordination in Indoneisa
(UNORCID) pada tahun 2015 menyebutkan
keterkaitan antara hutan dengan kemiskinan dan
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134 127
Deforestasi dan Ketahanan Sosial
pentingnya peran pemberdayaan masyarakat
dalam menjaga valuasi nilai hutan (UNORCID,
2015). Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi,
program Perhutanan Sosial menjadi salah satu
solusi untuk peningkatan ketahanan sosial
tersebut yang merupakan penyempurnaan dari
program pemberdayaan masyarakat yang sudah
ada sebelumnya, termasuk REDD+.
Hidayat dkk. (2019) menyebutkan bahwa
Perhutanan Sosial (PS) yang dicanangkan
pada masa pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla
merupakan program desentralisasi pengelolaan
hutan dengan keterlibatan masyarakat lokal.
Program PS merupakan bagian dari Reforma
Agraria Nasional yang mengalokasikan
pemberian hak akses kelola kawasan lahan
hutan seluas 12,7 juta hektare, akses pasar dan
juga pendampingan pengelolaan, serta pemberian
modal bagi kelompok masyarakat pengelola
hutan hingga 100 juta rupiah per kelompok.
Program pemberdayaan dengan PS ini dapat
meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
sekaligus merupakan alternatif untuk menjawab
program pengelolaan hutan yang tersentralisasi di
pusat karena pada kenyataannya, meskipun ada
pengelolaan tersentralisasi, deforestasi masih
tetap meningkat.
DEFORESTASI DAN KERUSAKAN
EKOSISTEM HUTAN
Terdapat tiga bagian dalam buku yang secara
khusus membahas kerusakan ekosistem hutan
yang terjadi akibat deforestasi. Deforestasi
yang digambarkan dalam buku ini diwarnai
oleh kepentingan elite politik, pelanggaran izin,
aktivitas ilegal di dalam hutan, pengelolaan
yang tidak berkelanjutan, ataupun lemahnya
penegakan hukum. Adapun bagian buku yang
membahas mengenai deforestasi dan dampak
yang ditimbulkannya adalah “Peran Stakeholder
dalam Perubahan Ekologi dan Ketahanan Sosial
di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah”
dan “Perubahan Ekosistem Hutan Terhadap
Ketahanan Masyarakat di Sekitar Hutan:
Kabupaten Merangin, Jambi” yang ditulis oleh
Herman Hidayat, serta “Tantangan Ekosistem
Hutan dan Konversi Lahan: Kasus Kabupaten
Simalungun” yang ditulis oleh Laely Nurhidayah.
Bab II yang ditulis oleh Herman
Hidayat berjudul “Peran Stakeholder dalam
Perubahan Ekologi dan Ketahanan Sosial di
Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah”
menggarisbawahi pentingnya peran pemangku
kepentingan (dalam hal ini pemerintah) untuk
dapat menyuarakan masalah ekologi yang
mendesak kepada masyarakat. Masalah ekologi
merupakan kerusakan lingkungan yang timbul
akibat deforestasi, seperti erosi, banjir, kebakaran
hutan, serta pencemaran udara dan air. Deforestasi
yang terjadi disebabkan oleh kegiatan illegal
logging, perluasan lahan perkebunan kelapa
sawit, dan juga kegiatan Pertambangan Tanpa Izin
(PeTI). Kegiatan PeTI bahkan sudah mencemari
air di sungai-sungai Kalimantan Tengah seperti
di Sungai Kahayan. Di sisi lain, masalah politik
mengenai pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU)
untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan,
serta Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan
Tanaman Industri untuk material industri
kehutanan juga menimbulkan masalah konik
sosial di samping masalah-masalah ekologi yang
sebelumnya disebutkan. Status lahan masyarakat
adat Dayak yang digunakan untuk perladangan
beralih menjadi lahan usaha karena tidak
terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Beralihnya lahan masyarakat menjadi lahan usaha
perkebunan tentunya menghilangkan ketahanan
sosial masyarakat karena hilangnya sumber
penghidupan mereka.
Pada Bab V, Herman Hidayat memapar-
kan “Perubahan Ekosistem Hutan terhadap
Ketahanan Masyarakat di Sekitar Hutan: Ka-
bupaten Merangin, Jambi”. Terdapat dua hal
utama yang menyebabkan deforestasi terjadi di
Kabupaten Merangin yaitu 1) konversi hutan
menjadi lahan yang disebabkan pengusahaan
komoditas perkebunan kelapa sawit dan kopi
oleh investor, dan 2) perambahan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat pendatang. Konversi
hutan membuat perubahan pada siklus tata air
di Kabupaten Merangin yang menyebabkan
terganggunya produksi pertanian. Hal tersebut
membuat masyarakat beralih menjadi penambang
liar, khususnya di area Pangkalan Jambu. Di
area Pangkalan Jambu yang kaya akan bahan
mineral, PeTI menjadi pilihan bagi masyarakat
untuk mendapatkan uang instan dibanding
128 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
dengan bertani. Kegiatan PeTI ini semakin
memperparah kerusakan lingkungan yang telah
terjadi dan menyebabkan timbulnya danau-danau
bekas tambang, perubahan alur sungai, longsor,
dan pencemaran logam kegiatan pertambangan
pada saluran irigasi dan sungai Batangtabir dan
Batanghari.
Tidak kurang dari 70% hutan Sumatra Utara
rusak parah akibat deforestasi. Hal ini disampaikan
oleh Laely Nurhidayah dalam tulisannya yang
berjudul “Tantangan Ekosistem Hutan dan
Konversi Lahan: Kasus Kabupaten Simalungun” di
Bab VII. Rusaknya ekosistem hutan menyebabkan
lebih dari 80 jenis spesies hewan dan tumbuhan
menjadi terancam. Deforestasi yang terjadi
disebabkan oleh perambahan liar (illegal logging),
kebakaran hutan (karhutla), dan konversi lahan
menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Selain
itu, kearifan lokal mengenai pengelolaan lahan
adat untuk masyarakat juga belum sepenuhnya
diakomodasi oleh pemerintah. Secara tata kelola,
pemerintah pusat belum sepenuhnya percaya pada
pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan dan
hal ini menyebabkan kesulitan-kesulitan tersendiri.
Patut diakui, tidak jarang deforestasi yang terjadi
terkait erat dengan korupsi yang melibatkan
oknum pegawai pemda ataupun polisi sebagai
penegak hukum.
Dari tiga bagian buku yang diulas
sebelumnya, para penulis bagian buku tersebut
juga memberikan beberapa rekomendasi terkait
permasalahan deforestasi yang terjadi. Herman
Hidayat dan Laely Nurhidayah sepakat bahwa dari
segi politik ekologi, pemerintah sebagai regulator
dan inspektur harus menjadi garda terdepan
untuk pengelolaan yang akuntabel. Dalam hal
tersebut, pemerintah perlu melakukan kebijakan
terkait pemberantasan korupsi, audit izin, dan
pembentukan satgas untuk pengawasan yang
konsisten. Dari segi ekonomi, pemberian kredit
lunak, permodalan pelatihan, dan pemasaran
terhadap produk yang dihasilkan masyarakat
merupakan pilihan yang dapat dilakukan. Tiga
hal terpenting yang sangat mendesak untuk
dilakukan sejalan dengan perbaikan ekologi
adalah 1) peningkatan penegakan hukum (law
enforcement) untuk dapat menuntut perusak
lahan hingga ke pengadilan dan mendapatkan
hukuman; 2) perlunya perbaikan tata kelola
dan peningkatan sinergi koordinasi antara pusat
dan daerah; 3) peningkatan ketahanan sosial
masyarakat dapat dilakukan dengan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam program agroforestri,
pengakuan hutan adat, dan hutan kemasyarakatan.
Hal-hal tersebut perlu untuk dilakukan dengan tetap
memperhatikan kaidah ekologi dan konservasi
(salah satu program yang dapat diharapkan dalam
hal ini adalah program PS). Ketiga hal ini akan
dibahas pada bagian selanjutnya.
DEFORESTASI, PENEGAKAN
HUKUM, DAN PENGUATAN TATA
KELOLA PEMERINTAHAN
Bab VIII dari buku ini membahas secara khusus
mengenai penegakan hukum yang ada di negara
kita terkait deforestasi. Adapun Bab VIII yang
ditulis oleh Sudiyono ini berjudul “Perusahaan
Swasta Kelapa Sawit dan HTI dalam Gugatan
Penegakan Hukum”. Tulisan Sudiyono pada Bab
VIII tersebut lebih fokus dan banyak mengangkat
kegiatan perkebunan kelapa sawit yang memang
sering kali bersinggungan dengan hutan.
Indonesia merupakan salah satu pengekspor
komoditas Crude Palm Oil (CPO), yang
merupakan produk turunan utama kelapa sawit,
terbesar di dunia bersama Malaysia. Di tahun
2014, Indonesia memegang porsi sebanyak 46%
dari total penghasil CPO dunia (Khairunisa &
Novianti, 2018). Sudiyono dalam Hidayat dkk.
(2019) juga menyebutkan bahwa pada tahun
2017, angka ekspor Indonesia dari kelapa sawit
mencapai Rp317 triliun atau 13%. Angka ini
lebih tinggi dari angka ekspor migas yang tercatat
sebesar Rp217 triliun atau 9% di tahun tersebut.
Industri kelapa sawit juga menempati peranan
penting sebagai sektor industri yang diharapkan
menyerap banyak tenaga kerja dan ikut membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
mengurangi kemiskinan.
Di tengah besarnya peran kelapa sawit
bagi negara, terdapat fakta sosial dan ekonomi
bahwa masyarakat sekitar perkebunan ataupun
industri kelapa sawit belum mendapatkan
manfaat kesejahteraan dari industri tersebut
seperti ketimpangan dan terbatasnya akses
lahan masyarakat bila dibanding dengan lahan
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134 129
Deforestasi dan Ketahanan Sosial
perusahaan kelapa sawit. Hal lain yang terjadi
adalah stagnannya angka pendapatan ekonomi,
indeks pembangunan manusia, maupun angka
pengentasan kemiskinan di daerah-daerah
aktivitas perusahaan sawit. Kalimantan Barat
yang merupakan daerah dengan produksi
kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia, pada
kenyataannya ketahanan sosial dan ekonomi
masyarakatnya tidak mengalami perbaikan.
Riau yang merupakan provinsi dengan luasan
lahan perkebunan kelapa sawit, terluas pun tidak
mendapatkan manfaat PAD dan perkembangan
wilayah dari sektor perkebunan kelapa sawit.
Ketimpangan ini sangat kontras karena seharusnya
secara ideal, dengan meningkatnya aktivitas
perkebunan sawit, sudah sewajarnya ketahanan
sosial masyarakat meningkat. Namun, yang
terjadi adalah sebaliknya. Masyarakat lokal malah
kehilangan akses lahan mereka, bahkan ada yang
kehilangan sumber penghidupan (Sudiyono
dalam Hidayat dkk., 2019).
Berdasarkan hasil penyidikan Greenpeace,
adanya perkebunan kelapa sawit malah membuat
tingginya deforestasi di suatu wilayah. Pembukaan
lahan untuk perkebunan kelapa sawit juga erat
kaitannya dengan kebakaran lahan yang terjadi
di Indonesia. Deforestasi tersebut menyebabkan
masalah lingkungan yang serius, seperti hilangnya
tutupan hutan, menurunnya keanekaragaman
hayati, hilangnya habitat satwa, hilangnya
penghidupan masyarakat sekitar hutan, kebakaran
lahan, kekeringan di musim kemarau, banjir di
musim hujan, tanah longsor, hingga berubahnya
iklim mikro wilayah1. Banyak perusahaan yang
juga lebih tertarik dengan kegiatan land clearing
untuk mengambil keuntungan instan dari kayu
hutan yang ditebang dibanding membuat skema
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan yang
memakan waktu bertahun-tahun. Sebagian
perkebunan kelapa sawit dulunya memang
merupakan area HPH yang telah ditebang
habis. Di Provinsi Riau, terjadi konik tenurial
perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat
sekitar ataupun dengan kawasan hutan karena
permintaan lahan dari investor akan kelapa
1 Perubahan iklim yang dimaksud adalah naiknya suhu
hutan hujan tropis dan juga menurunnya kelembapan
hutan sebagaimana ditunjukkan oleh data-data yang
diungkapkan oleh Sudiyono.
sawit cukup tinggi, sedangkan jumlah lahan
yang tersedia terbatas2. Lahan yang terbatas
menyebabkan lahan sawit yang berkembang
mencaplok lahan adat masyarakat ataupun lahan
yang ditetapkan sebagai kawasan hutan. Tidak
jarang, pencaplokan tersebut bahkan dilakukan
pada kawasan konservasi.
Uraian paragraf sebelumnya menandakan
negara belum hadir secara utuh dari segi
penegakan hukum untuk menindak pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi. Selain itu, banyak
kepentingan elite yang bekerja sama dengan
pengusaha untuk mengambil keuntungan
sehingga memberikan izin perkebunan kelapa
sawit dengan mengorbankan masyarakat sekitar,
lahan adat, ataupun lingkungan. Kontras dengan
hal itu, upaya pemerintah untuk membuat kelapa
sawit kita sebagai komoditas ekspor nomor satu
di dunia perlu diapresiasi. Pemerintah juga
berusaha keras melakukan usaha untuk mencegah
pelarangan ekspor oleh Uni Eropa karena kelapa
sawit kita berbau deforestasi hingga pemerintah
sempat mengeluarkan evaluasi untuk pencabutan
izin dan moratorium perluasan lahan kelapa sawit
pada tahun 2018.
Dalam penguatan tata kelola, Pemerintah RI
juga membuat suatu skema sertikasi yang disebut
dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO),
yang wajib dimiliki oleh semua pengusaha dan
petani sawit pada tahun 2020 sebagai bentuk
dorongan untuk pengusahaan kelapa sawit yang
berkelanjutan. ISPO memiliki aturan yang lebih
ketat, karena disertai dengan sanksi, dibandingkan
sertikasi RSPO (Rountable Sustainable Palm
Oil) yang bersifat anjuran untuk pasar global.
Baik ISPO maupun RSPO mensyaratkan agar
kelapa sawit yang diusahakan memenuhi
kebijakan tanpa deforestasi, tanpa gambut, dan
juga tanpa eksploitasi (no peat, no deforestation,
no exploitation yang disingkat NPDE). Selain
itu, sebagai persyaratan bahwa pengusaha/
petani sawit telah melakukan pengelolaan yang
berkelanjutan, lahan yang dikerjakan harus bebas
2 Riau menjadi primadona untuk pengembangan area
perkebunan kelapa sawit dibanding Kalimantan ataupun
Indonesia timur karena 1) ketersediaan tenaga kerja
yang familier dengan kelapa sawit; 2) daya dukung dan
kesesuaian lahan Riau yang cocok dengan komoditas
kelapa sawit; 3) ketersediaan infrastruktur yang baik;
4) keamanan (Sudiyono dalam Hidayat dkk., 2019).
130 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
konik dari masyarakat lokal. Secara lingkungan,
para peserta ISPO bahkan harus berkomitmen
membuka lahan tanpa api serta mengurangi
Gas Rumah Kaca (GRK) dan pestisida dalam
operasinya. Masyarakat dan petani lokal pun
juga harus dirangkul kemitraannya dan diberi
penyuluhan.
Sebagai tindak lanjut memang kehadiran
pemerintah sebagai regulator dan penegak hukum
amat diperlukan untuk mengurangi dampak
deforestasi. Pemerintah harus berkomitmen hadir
dan terdepan memberikan kepemimpinan dalam
program-program pengelolaan kelapa sawit yang
berkelanjutan. Tidak kalah penting, perlindungan
dan keberpihakan terhadap masyarakat lokal
juga sangat diperlukan. Upaya pengawasan dan
konsistensi juga harus terus dilakukan sebagai
upaya untuk menyukseskan rencana program
kebijakan pengelolaan berkelanjutan.
CERITA MANIS DAN PAHIT
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DAN PERHUTANAN SOSIAL
Dalam rangka peningkatan ketahanan sosial
masyarakat, terdapat usaha-usaha yang dilakukan
oleh pemerintah. Usaha-usaha tersebut di antaranya
pemberdayaan masyarakat melalui program hutan
kemasyarakatan ataupun dengan program PS.
Program PS merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
sekitar hutan. Program PS dilatarbelakangi
oleh dua agenda besar yaitu peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan juga
penciptaan model pelestarian hutan yang efektif
sebagai jawaban atas kurang berhasilnya sistem
pengelolaan hutan tersentralisasi. Agenda yang
dicanangkan ini merangkul masyarakat sekitar
hutan yang diharapkan dapat menjaga hutan
sambil meningkatkan ketahanan sosial mereka.
Harapan dari program ini adalah peningkatan
kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta
penurunan angka kemiskinan dan pengangguran
(Hidayat dkk., 2019).
Skema yang diusung dalam program PS
adalah Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan
(HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR/IPHPS),
Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan.
Hutan Desa (HD) adalah hutan negara yang
pengelolaannya dilakukan oleh lembaga desa
dengan tujuan untuk menyejahterakan suatu
desa. Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah
hutan negara yang pengelolaannya dilakukan oleh
masyarakat dengan tujuan untuk memberdayakan
masyarakat sekitar agar tercipta kesejahteraan.
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan
tanaman pada hutan produksi yang dibangun
oleh kelompok masyarakat untuk meningkatkan
potensi dan kualitas hutan produksi dengan
menerapkan sistem silvikultur demi menjamin
kelestarian hutan. Hutan Adat (HA) adalah
hutan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang
sebelumnya merupakan hutan negara ataupun
bukan hutan negara (Ardiansyah, 2017).
Cerita sukses mengenai pelaksanaan
program perhutanan sosial dipaparkan pada Bab
IV yang ditulis oleh Sudiyono dengan judul
“Ketahanan Sosial dan Perhutanan Sosial: Desa
Kalibiru, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta”.
Pada tulisan ini, pemberdayaan masyarakat yang
ada di Desa Kalibiru berfokus pada pemberdayaan
petani hutan yang tidak memiliki lahan (tuna
kisma). Program PS yang dijalankan di desa
tersebut merupakan pengembangan dari program
hutan kemasyarakatan yang diperuntukkan bagi
masyarakat yang tinggal di dalam kawasan
hutan di wilayah Desa Kalibiru. Program hutan
kemasyarakatan sebelumnya kurang berhasil
karena menempatkan masyarakat petani hutan
sebagai objek program dan sebagai “hama
hutan” yang menimbulkan kerusakan. Program
ini juga sempat menghadapi konik masyarakat
ketika status hutan di Desa Kalibiru ditingkatkan
menjadi hutan lindung sehingga masyarakat tidak
diperbolehkan lagi menebang kayu. Ketahanan
sosial masyarakat menjadi semakin terancam
pasca program perbaikan lahan karena tanaman
yang mereka tanam tidak dapat tumbuh di bawah
pohon reboisasi yang semakin tinggi.
Program PS yang dijalankan dalam beberapa
tahun kemarin cukup berhasil setelah masyarakat
ditempatkan sebagai mitra (subjek) yang benar-
benar diberikan akses pengelolaan hutan dengan
legalitas3. Selain itu, saat ini pemerintah juga
3 Sebagai bentuk legalitas terhadap lahan yang digarap,
penggarap lahan mendapatkan sertikat lahan program
PS yang berlaku selama 35 tahun.
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134 131
Deforestasi dan Ketahanan Sosial
mendukung perkembangan infrastruktur jalan
pada areal wilayah yang memiliki akses terbatas.
Pembangunan infrastruktur yang bersamaan
dengan pemberdayaan PS berhasil mengubah
Dusun Kalibiru menjadi tujuan ekowisata.
Keberhasilan ini tentunya membuka lapangan kerja
baru dan menarik anak muda desa yang merantau
untuk pulang dan bekerja di kampung halaman.
Walaupun demikian, keberhasilan ekowisata ini
juga menimbulkan konversi lahan untuk berbisnis
yang mengarah ke daerah perbukitan.
Kontras dengan cerita sukses yang terjadi di
Kalibiru, kegiatan pemberdayaan masyarakat pun
tidak semuanya berjalan dengan mulus. Dalam
tulisannya yang berjudul “Ketahanan Sosial
dan Perubahan Ekologi Hutan: Kasus Gunung
Mas, Kalimantan Tengah” pada Bab III, Robert
Siburian memaparkan bahwa masyarakat sekitar
lebih memilih menjadi penambang liar dibanding
dengan melakukan kegiatan pemberdayaan
masyarakat yang diprogramkan. Hal ini terjadi
karena banyak lahan-lahan sudah beralih menjadi
lahan perkebunan yang dimiliki oleh pengusaha
sehingga mempersempit ruang gerak masyarakat.
Selain itu, harga komoditas karet yang mereka
usahakan juga tidak ekonomis karena harganya
terus menurun. Kegiatan ekowisata pun sudah
difasilitasi oleh pemerintah, namun masyarakat
masih belum terlalu berminat dengan program
tersebut. Pemberian akses ke sumber daya hutan
melalui hutan kemasyarakatan merupakan usaha
yang sedang diusahakan oleh pemerintah, namun
saat tulisan tersebut ditulis kegiatan itu masih
dalam tahap sosialisasi.
Dalam tulisan berjudul “Ketahanan Sosial
Masyarakat dan Perubahan Ekologi Hutan: Kasus
di Kabupaten Simalungun” oleh Robert Siburian
pada Bab IV, dipaparkan upaya positif dari peru-
sahaan swasta PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang
difasilitasi pemda di Simalungun dalam rangka
memberdayakan masyarakat di dalam hutan
produksi. Program pemberdayaan masyarakat
ini merupakan program bagi hasil. PT TPL akan
membeli dan mengolah hasil tanaman bahan baku
kertas yang ditanam masyarakat pada lahan-lahan
kritis. Dengan program ini diharapkan akan ada
perbaikan pada lahan krisis yang juga diikuti
oleh meningkatnya ekonomi dan ketahanan so-
sial masyarakat. Meskipun demikian, program
ini dianggap tidak menguntungkan bagi petani
karena akses untuk menuju lahan kritis yang
akan ditanam cukup sulit dan skema bagi hasil
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah tidak
ekonomis bagi warga. Program ini tampaknya
masih perlu optimalisasi dan juga evaluasi agar
ekonomi dan ketahanan sosial masyarakat dapat
benar-benar meningkat.
PENUTUP : OPINI DAN HARAPAN
KE DEPAN
Deforestasi dan Wacana Sosial
Lingkungan
Isu deforestasi berkaitan erat dengan isu ling-
kungan maupun isu pembangunan berkelanjutan.
Seiring dengan berjalannya waktu, secara umum,
kesadaran dan etika manusia kepada lingkungan
akan semakin meningkat. Perubahan ini terjadi
secara global di negara-negara maju yang pada
akhirnya juga memengaruhi Indonesia, terma-
suk pada pengelolaan hutan dan pencegahan
deforestasi. Pengelolaan hutan yang dilakukan
oleh pemerintah di Indonesia sejalan dengan
perubahan global dan semakin mengarah ke arah
yang lebih baik dengan keterlibatan masyarakat
di dalamnya, sebagaimana pada program PS.
Walaupun pada praktiknya kekurangan masih
tampak di sana-sini seperti kasus-kasus yang
terjadi di buku ini, usaha pemerintah patut untuk
diapresiasi. Kekurangan yang ada lebih kepada
mekanisme penegakan hukum yang tidak tegas
serta kontrol dan koordinasi antarinstansi.
Untuk memahami pendekatan pergeseran
paradigma mengenai wacana lingkungan yang
lebih baik ini, kita dapat melihat sebuah potret
perubahan sudut pandang pemerintah Jerman
dalam usaha untuk menciptakan lingkungan
yang lebih baik. Kita dapat menyimak sebuah
tulisan dari buku Environmental Sociology oleh
Gross & Heinrichs (2010) pada Chapter 3 “The
New Climate Change Discourse: A Challenge
for Environmental Sociology”. Pada bab tersebut
dijelaskan bahwa Jerman termasuk salah satu
negara yang cepat dalam menyikapi perubah-
132 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
an lingkungan. Kanselir Angela Merkel telah
menjadikan perubahan iklim sebagai isu politik
prioritas utama sejak akhir 1990. Pemerintah
melalui Kementerian Lingkungan Jerman bahkan
membuat kompetisi terhadap isu perubahan iklim
pada tahun 2007. Secara ekonomi, pemerintah
Jerman juga membuat kebijakan insentif ekonomi
bagi bisnis energi baru terbarukan (EBT) dan
pengurang gas rumah kaca (GRK) sejak 2007
yang disebut Paket Meseberg.
Isu perubahan iklim yang diangkat menjadi
isu negara di Jerman sejak 1990, pada akhirnya,
ikut memengaruhi budaya masyarakatnya
untuk dapat peduli terhadap lingkungan setelah
isu tersebut diangkat secara rutin oleh media.
Fenomena ini sejalan dengan teori pembentukan
opini publik (agenda setting) yang dicetuskan
oleh McCombs & Shaw (1972), bahwa media
memiliki peranan penting untuk mengubah
opini publik. Dalam hal ini, media bisa menjadi
penyambung lidah dari pemerintah untuk me-
nyampaikan program-program ataupun isu yang
dapat mengubah wacana di masyarakat ke arah
yang lebih positif.
Sejalan dengan teori tersebut, Gross &
Heinrichs (2010) mengatakan bahwa berdasarkan
teori pembelajaran sosial yang dicetuskan oleh
Bandura pada tahun 1977, proses pembelajaran
entitas kolektif yang lebih besar, seperti organisasi
atau bahkan masyarakat, dapat dipicu melalui
konteks sosial―dalam hal ini kebijakan pemerintah
ataupun isu yang disuarakan media massa. Teori
tersebut menyatakan bahwa individu cenderung
mencoba untuk menyalin perilaku yang mereka
amati, terutama perilaku-perilaku yang memiliki
konsekuensi positif bagi individu tersebut. Proses
peniruan dan pembelajaran ini, bergantung pada
keadaan masing-masing individu dikarenakan
persepsi merupakan hal yang bersifat personal.
Meskipun demikian, berdasarkan konsep socio-
ecological agency dari David Manuel, Navarette,
dan Buzinde, individu sebagai aktor/agen ekologi
dan sosial mampu melakukan perubahan bersama
yang positif terhadap struktur sosial sehingga peran
pemerintah sangat penting untuk memfasilitasi
perubahan bersama tersebut.
Sustainable Livelihood sebagai
Ketahanan Sosial Masyarakat Sekitar
Hutan
Sejalan dengan wacana sosial dalam ekologi
mengenai perubahan iklim dan lingkungan,
isu deforestasi dan hutan juga mengalami
perkembangan yang positif termasuk pada
pelibatan masyarakat lokal. Prof. Timothy Forsyth
(2004) menjelaskan dalam bukunya Critical
Political Ecology: The Politics of Environmental
Science bahwa telah terjadi pergeseran paradigma
dari yang sebelumnya dipercayai secara umum
(enviromental ortodoxies) ke pardigma baru
berdasarkan saintis (new enviromental scientic).
Beberapa hal terkait isu kehutanan yang
sebelumnya dianut oleh aliran enviromental
ortodoxies adalah keyakinan akan rusaknya hutan
oleh aktivitas penduduk lokal seperti pada praktik
perladangan berpindah. Hal tersebut membuat
pengambilan kebijakan mengarah kepada proteksi
hutan dari intervensi penduduk lokal. Namun,
beberapa fakta terbaru justru membuktikan bahwa
beberapa komunitas petani bahkan masyarakat
sekitar hutan justru mungkin berpartisipasi dalam
pertumbuhan dan perlindungan hutan. Dari
segi ekonomi lingkungan, aliran enviromental
ortodoxies memercayai bahwa pertumbuhan
ekonomi pasti mendorong degradasi lingkungan,
padahal sebetulnya pertumbuhan ekonomi dapat
menolong pembiayaan juga pengelolaan bagi
lingkungan yang lebih baik dan bertanggung
jawab. Selain itu, orang miskin yang diyakini
tidak peduli terhadap lingkungan, ternyata sadar
tentang pengaruh lingkungan yang rusak (a
poor environtment) terhadap kehidupan mereka
karena penghidupan mereka (livelihood) sangat
tergantung pada lingkungan untuk tetap bertahan
hidup.
Menurut Department for International
Development (DFID) (1999), livelihood
merupakan penghidupan yang dapat terdiri
dari individu manusia (human), sumber daya
alam (natural), modal (nancial), hubungan
sosial (social) dan akses sik (physical) yang
dibutuhkan untuk kehidupan. Masyarakat yang
memiliki sustainable livelihood (penghidupan
berkelanjutan) dapat mengatasi (pulih) dari
tekanan dan guncangan serta mempertahankan
Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134 133
Deforestasi dan Ketahanan Sosial
atau meningkatkan kemampuan dan asetnya, baik
sekarang dan di masa depan, tanpa merusak basis
sumber daya alam. Denisi sustainable livelihood
(SL) yang dimaksud oleh DFID ini serupa dengan
konsep ketahanan sosial yang dijabarkan oleh
Hidayat dkk. (2019).
Program PS yang bertujuan untuk
meningkatkan SL sekitar hutan sekaligus
penciptaan model pelestarian hutan yang efektif
sangat sejalan dengan aliran new enviromental
scientific. Framework atau kerangka kerja
mengenai SL dari DFID oleh Ashley & Carney
(1999) dapat menambah pemahaman kita tentang
usaha PS untuk meningkatkan ketahanan sosial
(SL). Framework tersebut dikembangkan selama
beberapa bulan oleh Komite Penasihat Penghidupan
Berkelanjutan Inggris yang dibangun atas kerja
sebelumnya oleh Department for International
Development (DFID).
Hubungan antara deforestasi, ketahanan so-
sial, dan juga program pemerintah dapat dijelas-
kan dari kerangka kerja DFID pada Gambar 1.
Fenomena deforestasi merupakan sebuah tren
selama beberapa dekade yang menyebabkan
kerentanan (vulnerability context) terhadap ma-
syarakat pinggiran hutan. Program PS dicanang-
kan untuk merangkul masyarakat sekitar hutan
yang diharapkan memiliki akses legal terhadap
pemanfaatan hutan sehingga masyarakat dapat
menjaga hutan dan meningkatkan ketahanan
sosial mereka dengan livelihood asset yang telah
dimiliki, yaitu individu manusia (human), sumber
daya alam (natural), modal (nancial), hubungan
sosial (social), dan akses sik (physical).
Keberhasilan program PS dalam
meningkatkan ketahanan sosial masyarakat
bergantung pada strategi pemanfaatan livelihood
asset yang telah mereka miliki dengan lebih
optimal. Oleh karena itulah, pendampingan,
kontrol, pengawasan, supervisi, dan juga evaluasi
dari pemerintah memegang peranan penting untuk
dapat memfasilitasi serta memastikan bahwa
program PS yang telah diterapkan dapat berjalan
optimal di masyarakat. Jangan sampai program
ini hanya sebuah program tanpa pengawasan dan
kontrol yang justru nantinya malah menimbulkan
kerusakan atau legalisasi deforestasi oleh
masyarakat. Selama ini, kelemahan kita dalam
implementasi program bukanlah pada tataran
konsep ataupun perencanaan, namun pada
pengawasan. Pada akhirnya, kita semua berharap
tujuan program ini dijalankan dalam rangka
meningkatkan ketahanan sosial serta membuat
penghidupan yang berkelanjutan (SL) akan
membawa kita pada era baru pengelolaan hutan
yang melibatkan komunitas masyarakat.
Gambar 1. Kerangka Deforestasi, Ketahanan Sosial, dan Program PS
134 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 22 No. 3 Tahun 2020, hlm. 125–134
Bayu Andrianto Wirawan dan Viktor Amrifo
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, C., & Carney, D. (1999). Sustainable
livelihoods: Lessons from early experience.
Department for International Development.
Ardiansyah T. (2017). Perhutanan sosial: Pengertian,
skema, PIAPS, dan implementasi. Diakses
pada 9 Juni 2020 dari https://foresteract.com/
perhutanan-sosial/.
Boyd, E., & Folke, C. (2011). Adapting institutions:
Governance, complexity and social-ecological
resilience. Cambridge University Press.
Department for International Development (DFID).
(1999). Sustainable livelihoods guidance
sheets.
Forsyth, T. (2004). Critical political ecology: The
politics of environmental science. Routledge.
Gross, M., & Heinrichs, H. (2010). Environmental
sociology: European perspectives and inter-
disciplinary challenges. Springer.
Hidayat, H., Siburian, R., Nurhidayah, L., & Sudiyono.
(2019). Deforestasi dan ketahanan sosial.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ireson, R., Adger, W., Kelly, P., & Ninh, N. (2003).
Living with environmental change: Social
vulnerability, adaptation, and resilience in
Vietnam. The Journal of Asian Studies, 62, 691.
Khairunisa, G. R., & Novianti, T. (2018). Daya saing
minyak sawit dan dampak renewable energy
directive (Red) Uni Eropa terhadap ekspor
Indonesia di pasar Uni Eropa. Jurnal Agribisnis
Indonesia, 5(2), 125.
KLHK. (2020). Hutan dan deforestasi Indonesia tahun
2019. Diakses pada 9 Juni 2020 dari http://ppid.
menlhk.go.id/siaran_pers/browse/2435.
Le Quéré, C., Andrew, R. M., Friedlingstein, P., Sitch,
S., Pongratz, J., Manning, A. C., … Zhu, D.
(2018). Global carbon budget 2018. Earth
System Science Data Discussions, pre print
(November), 1–54.
Margono, B. A., Potapov, P. V., Turubanova, S., Stolle,
F., & Hansen, M. C. (2014). Primary forest
cover loss in indonesia over 2000-2012. Nature
Climate Change, 4(8), 730–735.
McCombs, M. E., & Shaw, D. L. (1972). The
agenda-setting function of mass media. Public
Opinion Quarterly, 36(2), 176. https://doi.
org/10.1086/267990.
Skogen, K., Helland, H., & Kaltenborn, B. (2018).
Concern about climate change, biodiversity
loss, habitat degradation and landscape
change: Embedded in dierent packages of
environmental concern?. Journal for Nature
Conservation, 44(June), 12–20.
Surya, M. I., & Astuti, I. P. (2017). Keanekaragaman
dan potensi tumbuhan di kawasan Hutan Lind-
ung Gunung Pesagi, Lampung Barat. Dalam
Prosiding Seminar Nasional Masyarakat
Biodiversitas Indonesia 3, 211–215.
UNORCID. (2015). Forest ecosystem valuation study:
Indonesia.
Webersik, C. (2010). Climate change and security: A
gathering storm of global challenges. Praeger.
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Article
Full-text available
Climate change and biodiversity loss are often seen as the two most serious environmental threats facing humanity. It also seems to be a common notion that concerns about these issues are embedded in the same package of environmental concern among the public. In this article, we probe the relationship between dimensions of concern about environmental challenges. In a general population survey in Norway, respondents were asked how concerned they were about several environmental issues. Factor analysis revealed that concern about climate change and concern about major causes of biodiversity loss, such as habitat destruction, loaded on different factors. When respondents ranked the three issues they were most concerned about, there was minimal overlap between climate change and biodiversity loss. It appears that relatively distinct profiles exist, based on different interpretations of current environmental challenges. The profiles are differently related to background factors such as social class, education and gender. These relationships are not strong, but the association between confidence in various institutional actors and the concern profiles is quite distinct, and different for the two. Further research is needed to properly elucidate drivers behind the different orientations.
Article
Full-text available
In choosing and displaying news, editors, newsroom staff, and broadcasters play an important part in shaping political reality. Readers learn not only about a given issue, but also how much importance to attach to that issue from the amount of information in a news story and its position. In reflecting what candidates are saying during a campaign, the mass media may well determine the important issues--that is, the media may set the "agenda." of the campaign.
Book
Human-induced climate change is causing resource scarcities, natural disasters, and mass migrations, which in turn destabilize national, international, and human security structures and multiply the human inputs to climate change. Alarms about the expanding role of climate change as a force multiplier of existing threats to national, international, and human security structures studies are being raised at all levels of governance and intelligence—national (including the U.S. Senate, the Director of National Intelligence, the Central Intelligence Agency, and the Pentagon), transnational (including the European Union and the United Nations), and private (such as the Central News Agency and the American Security Project). Climate Change and Security: A Gathering Storm of Global Challenges focuses on the three major feedback effects of human-induced climate change on human and international security—resource scarcity, natural disasters, and sea-level rise. Decreasing per capita availability of renewable resources due to such regional effects of climate change as drought and desertification leads to intensified competition for these resources and may result in armed violence—especially when compounded by conditions of rapid population growth, tribalism, and sectarianism, as in Darfur and Somalia. The increase in the frequency and intensity of meteorological disasters associated with global warming weakens already debilitated tropical societies and makes them still more vulnerable to political instability, as in Haiti. Sea-level rise will lead to disruptive mass migrations of climate refugees as dense littoral populations are forced to abandon low-lying coastal regions, as in Bangladesh.
Article
p>Minyak sawit dalam bentuk Crude Palm Oil merupakan komoditi ekspor unggulan Indonesia.Indonesia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia.Uni Eropa merupakan pengimpor minyak sawit Indonesia terbesar kedua setelah India, sehingga dapat mempengaruhi kondisi ekspor minyak sawit Indonesia.Pada tahun 2009 Uni Eropa mengeluarkan kebijakan Renewable Energy Directive yang dapat berdampak kepada ekspor minyak sawit Indonesia.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendekripsikan gambaran umum minyak sawit, menganalisis posisi daya saing minyak sawit Indonesia menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamics (EPD) serta menganalisis dampak kebijakan Renewable Energy Directive terhadap terhadap kinerja ekspor minyak sawit Indonesia dengan menggunakan gravity model . Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa minyak sawit Indonesia memiliki keunggulan komparatif (nilai RCA>1). Analisis EPD minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa berada pada posisi“ Rising Star” , Jepang berada di posisi “ Retreat” dan Jerman berada pada posisi“ Lost Opportunity” . Hasil analisis gravity model menunjukkan GDP perkapita Indonesia, populasi negaratujuan, jarak ekonomi, dan kebijakan Renewable Energy Directive signifikan memengaruhi nilai ekspor minyak sawit, sedangkan nilai tukar riil Indonesia tidak berpengaruhsignifikan.</p
Book
Despite being a relatively young sub-discipline, European environmental sociology has changed considerably in the last decades towards more interdisciplinary collaborations and problem solving. Current trends such as global environmental modernization and processes of economic, political and socio-cultural globalization, fuelled by developments of transport, environmental flows, scientific uncertainty, and information technologies, have fostered new conceptual approaches that move beyond classical sociological mind-sets toward broader attempts to connect to other disciplines. Environmental Sociology is the first book to broaden the realm of environmental sociology by forging links to other environmental disciplines, such as environmental policy, media studies, geography, ecological economics, ecological modeling, or ecological design. The book's focus on current environment-related issues in interdisciplinary developments are not only of relevance for strengthening environmental sociology but will make it a great read for upper undergraduate and graduate courses in social sciences dealing with environmental topics
Book
Global environmental change is occurring at a rate faster than humans have ever experienced. Climate change and the loss of ecosystem services are the two main global environmental crises facing us today. As a result, there is a need for better understanding of the specific and general resilience of networked ecosystems, cities, organisations and institutions to cope with change. In this book, an international team of experts provide cutting-edge insights into building the resilience and adaptive governance of complex social-ecological systems. Through a set of case studies, it focuses on the social science dimension of ecosystem management in the context of global change, in a move to bridge existing gaps between resilience, sustainability and social science. Using empirical examples ranging from local to global levels, views from a variety of disciplines are integrated to provide an essential resource for scholars, policy-makers and students, seeking innovative approaches to governance.
Article
Extensive clearing of Indonesian primary forests results in increased greenhouse gas emissions and biodiversity loss. However, there is no consensus on the areal extent and temporal trends of primary forest clearing in Indonesia. Here we report a spatially and temporally explicit quantification of Indonesian primary forest loss, which totalled over 6.02 Mha from 2000 to 2012 and increased on average by 47,600 ha per year. By 2012, annual primary forest loss in Indonesia was estimated to be higher than in Brazil (0.84 Mha and 0.46 Mha, respectively). Proportional loss of primary forests in wetland landforms increased and almost all clearing of primary forests occurred within degraded types, meaning logging preceded conversion processes. Loss within official forest land uses that restrict or prohibit clearing totalled 40% of all loss within national forest land. The increasing loss of Indonesian primary forests has significant implications for climate change mitigation and biodiversity conservation efforts.
Sustainable livelihoods: Lessons from early experience. Department for International Development
  • C Ashley
  • D Carney
Ashley, C., & Carney, D. (1999). Sustainable livelihoods: Lessons from early experience. Department for International Development.