ArticlePDF Available

PENGARUH EKSTRAK BERBAGAI BAGIAN TANAMAN MENGKUDU (Morinda citrifolia) TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABE (Capsicum annuum L.)

Authors:

Abstract and Figures

Effect of extraction from some parts of Mengkudu (Morinda citrifolia) to suppress anthracnose disease on chili (Capsicum annuum L). The research was conducted to study the effect of extract from some parts of Mengkudu on the growth of anthracnose disease on chilli (Capsicum annuum L). Some extraction of mengkudu parts such as from leaves, flowers and fruits and propineb fungicide were used in this research. Spore suspension of Colletotrichum capsici (108 spore/ml) used to inoculate chili plant one week before extraction of mengkudu (33 day after planting) was applicated. The result showed that application of leaf and flower extraction were effective to suppress disease incidence and severity, but fruit extraction was not effective. However, leaf and flower extraction did not significantly differ with propineb fungicide.
Content may be subject to copyright.
52 Efri J. HPT Tropika, Vol.10, No.1, 2010
J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525
Vol. 10, No. 1: 52 58, Maret 2010
PENGARUH EKSTRAK BERBAGAI BAGIAN TANAMAN MENGKUDU
(MORINDA CITRIFOLIA) TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT
ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABE (CAPSICUM ANNUUM L.)
Efri1
ABSTRACT
Effect of extraction from some parts of Mengkudu (Morinda citrifolia) to suppress anthracnose disease on chili (Capsicum
annuum L). The research was conducted to study the effect of extract from some parts of Mengkudu on the growth of
anthracnose disease on chilli (Capsicum annuum L). Some extraction of mengkudu parts such as from leaves, flowers and
fruits and propineb fungicide were used in this research. Spore suspension of Colletotrichum capsici (108 spore/ml) used to
inoculate chili plant one week before extraction of mengkudu (33 day after planting) was applicated. The result showed that
application of leaf and flower extraction were effective to suppress disease incidence and severity, but fruit extraction was not
effective. However, leaf and flower extraction did not significantly differ with propineb fungicide.
Key words : Mengkudu extraction (Morinda citrifolia), anthracnose diseases, chili (Capsicum annuum L.)
PENDAHULUAN
Salah satu kendala utama dalam budidaya
tanaman cabe adalah penyakit antraknosa. Penyakit
yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum capsici ini
sering menimbulkan kerugian besar. Penyakit ini tidak
hanya merugikan pada pertanaman di lapangan tetapi
dapat juga menimbulkan kerugian pada saat
pascapanen. Penyakit ini dapat menimbulkan kehilangan
hasil mencapai 50% (Pakdeevaraporn et al., 2005),
bahkan di negara berkembang seperti di Thailand
kehilangan hasil bisa mencapai 80% (Than et al., 2008).
Pada tahun 2002 di Provinsi Lampung khususnya di
daerah Liwa sebagai sentra penanaman cabe kehilangan
hasil akibat serangan patogen ini mencapai 70%.
Colletotrichum capsici sebagai patogen penyakit
antraknosa dapat menyerang setiap bagian tanaman.
Serangan pada batang dan daun tidak menimbulkan
masalah yang berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian
inilah penyakit dapat berkembang ke buah dan dapat
menimbulkan masalah yang sangat serius.
Collethotrichum sp. merupakan patogen yang perlu
diperhatikan karena dapat menimbulkan infeksi laten
(Jefries et al., 1990).
Buah yang terserang akan menimbulkan gejala
bercak berwarna hitam dan dapat berkembang menjadi
busuk lunak. Serangan yang berat dapat menyebabkan
seluruh buah mengering, keriput dan buah menjadi rontok
ke tanah. Patogen dapat juga menyerang pada buah
yang sudah dipetik. Penyakit akan berkembang selama
dalam pengangkutan dan dalam penyimpanan, sehingga
panenan akan menjadi busuk dan menimbulkan kerugian
yang lebih besar lagi.
Usaha pengendalian penyakit yang banyak
dilakukan oleh para petani adalah penggunaan fungisida
sintetis secara intensif. Pengendalian dengan fungisida
sintetis dapat menimbulkan berbagai masalah (Than et
al., 2008). Pengendalian seperti ini memerlukan biaya
besar dan juga efek residunya dapat menimbulkan
dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Efek
residu fungisida dapat mematikan jasad nirsasaran yang
banyak bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem di
alam. Manusia sebagai konsumen tidak lepas dari
pengaruh negatif residu fungisida yang terdapat pada
buah cabe. Banyak bahan aktif pestisida dapat
mengganggu kesehatan manusia, misalnya dapat
merangsang pertumbuhan sel-sel kanker. Oleh karena
1 Jurusan Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung,
Jl. Prof. Sumantri Brodjonegoro No. 1 Bandar Lampung 35145. E-mail: efri@unila.ac.id
Efri Pengaruh Ekstrak Mengkudu terhadap Antraknosa 53
itu penggunaan pestisida sebagai pengendali penyakit
tanaman harus ditekan sekecil mungkin dan sebagai
penggantinya harus dicari suatu bahan yang bersifat
alami yang bertindak sebagai fungisida tetapi tidak
berpengaruh negatif terhadap lingkungan maupun
manusia. Beberapa ekstrak bagian tanaman yang
mempunyai potensi sebagai biopestisida telah banyak
diteliti, misalnya sweetflag (Acorus calamus L.), minyak
palmorosa (Cymbopogon martini), ekstrak daun
Ocimum sanctum dan neem (Azadirachita indica)
dapat menekan perkembangan jamur penyebab penyakit
antraknosa (Jeyalakshmi & Seetharaman, 1998).
Tanaman mengkudu (Morinda citrifolia syn. M.
lucida) atau pace pada saat ini menjadi sangat populer.
Tanaman ini banyak terdapat di Indonesia sebagai
tanaman liar atau tanaman pekarangan yang
dimanfaatkan sebagai tanaman sayuran atau tanaman
obat. Khasiatnya yang dapat menyembuhkan berbagai
penyakit pada manusia mendorong banyak peneliti untuk
melakukan penelitian tentang kandungan tanaman
mengkudu. Kandungan senyawa kimia yang terdapat
pada buah mengkudu diantaranya adalah saponin,
tannins, anthraquinon dan senyawa alkaloid (Nwinji et
al., 2008; Adejumobi et al., 2008). Ekstrak daun
mengkudu pada konsentrasi 25 mg ml-1 mampu
menghambat pertumbuhan Escherichia coli dengan
zona penghambatan 5 mm (Ogundare & Onifade, 2009)
dan menghambat pertumbuhan jamur Penicillium,
Fusarium, Rhizopus dan Mucor mendekati 50%
(Jayaraman et al., 2008). Hasil percobaan Efri (2004)
menunjukkan bahwa ekstrak buah mengkudu dapat
menekan pertumbuhan bakteri Ralstonia
solanacearum, hanya saja penerapan pada tanaman
masih perlu diteliti lebih lanjut. Berdasarkan ini
diharapkan buah mengkudu juga dapat digunakan untuk
menghambat pertumbuhan jamur C. capsici penyebab
penyakit antraknosa pada tanaman cabe serta menekan
perkembangan penyakit tersebut. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari pengaruh ekstrak mengkudu terhadap
perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman cabe.
METODE PENELITIAN
Percobaan ini dilaksanakan di Laboratorium
Hama dan Penyakit Tumbuhan, Jurusan Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.
Penelitian dimulai pada bulan September 2005 sampai
dengan Februari 2006. Bahan yang diperlukan antara
lain inokulum jamur Colletotrichum capsisi penyebab
penyakit antraknosa pada cabe, bibit cabe varietas lado,
media potato dextrosa agar (PDA) untuk membiakan
jamur Colletotrichum. Ekstrak daun, bunga dan buah
mengkudu diperoleh dengan menggunakan blender.
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok
(RAK) dengan 3 ulangan. Masing-masing perlakuan
pada setiap ulangan terdiri dari 3 tanaman. Perlakuan
terdiri dari ekstrak daun mengkudu (P1), ekstrak bunga
mengkudu (P2), ekstrak buah mengkudu (P3), fungisida
propineb (P4) dan air steril sebagai kontrol (P5). Data
yang diperoleh diolah dengan sidik ragam dan
perbandingan nilai tengah antar perlakuan diuji dengan
uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 5%.
Penyiapan Tanaman Uji. Bibit cabe yang sebelumnya
telah disemai di nampan dengan media semai campuran
tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:2
ditanam di dalam polibag berukuran 5 kg yang telah berisi
campuran tanah dan pupuk kandang dengan
perbandingan 2:1 dan disusun berdasarkan masing-
masing perlakuan. Lahan yang digunakan untuk
menempatkan polibag sebelumnya dibersihkan dari
gulma dan sisa-sisa akar tanaman dengan menggunakan
sabit dan cangkul.
Penyiapan Isolat Colletotrichum capsici. Isolat
C. capsici yang digunakan adalah isolat yang didapat
dari buah cabe yang telah terinfeksi. Buah cabe yang
terinfeksi C. capsici dipotong kecil-kecil dibagian
perbatasan antara yang sehat dan yang sakit. Kemudian
potongan-potongan tersebut didesinfeksi dengan larutan
kloroks 10% selama 30 detik lalu dibilas dengan air
steril, selanjutnya diletakkan di atas tisu steril sampai
kering. Potongan tersebut ditumbuhkan pada media
PDA, kemudian dimurnikan dan diperbanyak untuk
keperluan pengujian ini.
Pemeliharaan Tanaman. Tanaman cabe merah
berumur 30 hari setelah tanam (hst) dipupuk dengan
TSP sebanyak 10 g per tanaman dan KCl sebanyak 7 g
per tanaman. Pada umur 44 hst dipupuk dengan urea
sebanyak 7 g per tanaman. Setelah berumur 56 hst
tanaman dipupuk kembali dengan campuran urea, TSP
dan KCl sebanyak 8 g per tanaman.
Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari. Pada
umur 25 hst, tanaman cabe dipasang ajir agar dapat
berdiri kokoh dan mampu menopang tajuknya yang
merimbun. Pemasangan ajir dengan cara ditancapkan
ke dalam tanah dengan jarak 5 cm dari tanaman.
54 Efri J. HPT Tropika, Vol.10, No.1, 2010
Untuk mencegah serangan hama dan serangga vektor,
semaian disemprot dengan insektisida berbahan aktif
deltametrin 25 g l-1 pada 3 hari sebelum semaian
dipindahkan ke polibag.
Inokulasi. Biakan C. capsici yang berumur 7 hari
dikerok kemudian ditambah air steril sampai mencapai
kerapatan konidia C. capsici 108 konidia ml-1. Suspensi
C. capsici tersebut disemprotkan ke tanaman dan tanah
pada polibag satu minggu sebelum penyemprotan
ekstrak mengkudu pertama kali.
Pembuatan Ekstrak Mengkudu dan Aplikasi.
Daun, bunga dan buah mengkudu masing-masing
ditimbang sebanyak 100 g, lalu dicuci dengan air steril
kemudian masing-masing diblender dengan ditambah air
steril 100 ml dan disaring dengan menggunakan 4 lapis
kain kasa sehingga terbentuk ekstrak. Hasil ekstraksi
disebut aliquot atau larutan induk. Ekstrak mengkudu
sesuai perlakuan diaplikasikan dengan cara
disemprotkan pada tanaman yang telah dipersiapkan di
polibag pada saat tanaman mulai berbunga (33 hst) dan
selanjutnya dilakukan setiap minggu sampai saatnya
panen. Konsentrasi yang digunakan adalah 5% (v/v)
untuk masing-masing ekstrak sedangkan fungisida
berbahan aktif propineb diaplikasikan sesuai dengan
konsentrasi anjuran yaitu 2 g l-1.
Pengamatan. Pengamatan dilakukan pada dua minggu
setelah aplikasi ekstrak mengkudu (95 hst) karena pada
saat itu gejala pertama kali muncul kemudian dilakukan
seminggu sekali sampai panen pertama dilakukan.
Intensitas penyakit adalah tingkat kerusakan tanaman
karena adanya serangan patogen atau adanya penyakit.
Intensitas penyakit terdiri dari keterjadian penyakit
(disease incidence) dan keparahan penyakit (disease
severity), sehingga peubah yang diamati yaitu :
1. Keterjadian penyakit antraknosa pada buah cabe.
Untuk menghitung keterjadian penyakit digunakan rumus :
Keterangan :
TP = Keterjadian Penyakit (%)
n = Jumlah buah yang terinfeksi/bergejala
N = Jumlah total buah yang diamati
100%
N
n
TP
2. Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabe
Keparahan penyakit dihitung dengan rumus :
Keterangan :
KP = keparahan serangan (%)
n = banyaknya buah dalam setiap kategori serangan
N = jumlah buah yang diamati
v = nilai numerik untuk tiap kategori serangan
V = nilai skor tertinggi
Skor berdasarkan interval serangan penyakit antraknosa
pada buah cabe adalah :
Skor 0 = tanpa serangan
Skor 1 = gejala terjadi pada lebih dari 0-20% buah
Skor 2 = gejala terjadi pada lebih dari 20-40% buah
Skor 3 = gejala terjadi pada lebih dari 40-60% buah
Skor 4 = gejala terjadi pada lebih dari 60-80% buah
Skor 5 = gejala terjadi pada lebih dari 80-100% buah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gejala penyakit baru tampak pada saat tanaman
berumur 95 hari setelah tanam (hst). Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa ekstrak mengkudu memberi
pengaruh yang nyata terhadap keterjadian dan keparahan
penyakit antraknosa pada buah cabe. Ekstrak bunga
dan daun mengkudu memiliki pengaruh yang sama
dengan fungisida pembanding dalam menekan
keterjadian dan keparahan penyakit antraknosa pada
buah cabe. Hal ini berarti kemampuan ekstrak bunga
mengkudu dan daun mengkudu untuk menekan penyakit
antraknosa relatif sama dengan fungisida sintetik
propineb yang biasa digunakan oleh para petani cabe
(Tabel 1 dan Tabel 2).
Keterjadian Penyakit Antraknosa. Pada pengamatan
95 hst dan 102 hst persentase keterjadian penyakit
antraknosa pada tanaman cabe yang diberi perlakuan
ekstrak bunga mengkudu dan fungisida berbeda nyata
dengan persentase keterjadian penyakit antraknosa yang
diberi perlakuan air steril sedangkan persentase
keterjadian penyakit pada perlakuan ekstrak daun dan
buah mengkudu tidak berbeda nyata bila dibandingkan
dengan air steril (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa
kemampuan ekstrak bunga mengkudu sama dengan
fungisida propineb. Pada bagian bunga mengkudu
%100
VN
vn
KP
Efri Pengaruh Ekstrak Mengkudu terhadap Antraknosa 55
terdapat berbagai senyawa yang dapat berfungsi sebagai
antimikrobial seperti 2 methy-4 hydroxy-5-7
dimethoxyanthraquinon, 4-O-β-D-glucopyranosyl, (1-4)-
α-Rhamnopyranoside, 5,8-dimethyl-epigenin-4-O-β-D-
galactopyranoside, Aracetin-7—O-β-D-glucopyranoside
(Chan-Blanco et al., 2006).
Pada pengamatan 109 hst, persentase keterjadian
penyakit antraknosa pada perlakuan ekstrak daun, bunga
dan fungisida berbeda nyata dengan air steril berarti
ekstrak daun dan bunga mengkudu dapat menekan
keterjadian penyakit antraknosa pada buah cabe. Pada
daun mengkudu juga terdapat berbagai senyawa yang
dapat berfungsi sebagai senyawa antimikrobial seperti
arginine, aspartic acid, β-sitosterol, citrifolioside B,
cysteine, cystine, glutamic acid, glycine, histidine,
isolleucine, Kaempferol 3-O-α-L rhamnopyranosyl -1-
6)-β-D- glucopyronosyide, Kaempferol 3-O- β-D-
glucopyranosyl -1-6)-β-D- galactopyranoside, leucine,
methionine, phenylalanine, proline, quercetin 3-O-β-D-
glucopyranoside (Chan-Blanco et al., 2006). Sedangkan
ekstrak buah mengkudu persentase keterjadian penyakit
tidak berbeda nyata dengan kontrol berarti ekstrak buah
mengkudu tidak dapat menekan keterjadian penyakit
antraknosa. Ekstrak buah mengkudu juga mengandung
berbagai senyawa kimia seperti dammacanthal,
scopololetin, morindone, alizarin, aucubin, nordamanthal,
rubiadin dan anthraquinon glycosides (Chan-Blanco et
al., 2006). Tetapi karena kandungan air pada buah
mencapai 90% (Chan-Blanco et al., 2006) maka
kosentrasi senyawa-senyawa yang kimia yang
terkandung juga rendah. Oleh sebab itu ekstrak buah
mengkudu tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap keterjadian penyakit antraknosa. Secara jelas
perkembangan keterjadian penyakit antraknosa pada
buah cabe terlihat pada Gambar 1.
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ekstrak bagian
tanaman mengkudu yang berpengaruh menekan
keterjadian penyakit antraknosa pada tanaman cabe
adalah bagian bunga dan daun. Ekstrak bunga
berpengaruh lebih awal dibandingkan dengan ekstrak
daun, namun pengaruhnya semakin berkurang dengan
bertambah keterjadian penyakit. Sebaliknya ekstrak
daun mengkudu menunjukkan pengaruh yang semakin
meningkat dengan bertambahnya keterjadian penyakit,
bahkan dapat menekan penyakit pada tingkat yang
terendah setelah fungisida propineb. Berdasarkan hal
ini dapat dikatakan daun mengkudu mempunyai pengaruh
yang lebih baik untuk menekan perkembangan penyakit
antraknosa cabe dibandingkan dengan ekstrak bagian
tanaman mengkudu yang lain. Sejalan dengan hasil
penelitian Ogundare & Onifade (2009) bahwa ekstrak
daun mengkudu pada konsentrasi 25 mg ml-1 mampu
menghambat pertumbuhan Escherichia coli dengan
zona penghambatan 5 mm dan menghambat
pertumbuhan jamur Penicillium, Fusarium, Rhizopus
dan Mucor mendekati 50%. Ekstrak daun mengkudu
dalam minyak essensial pada konsentrasi 1000 ppm
dapat menekan pertumbuhan Aspergillus flavus (Verma
et al., 2008).
Keparahan Penyakit Antraknosa. Percobaan juga
menunjukkan hasil yang sama terhadap parameter
keparahan penyakit antraknosa pada tanaman cabe.
Pada pengamatan 95 hst dan 102 hst, persentase
keparahan penyakit antraknosa pada tanaman cabe yang
diberi perlakuan ekstrak bunga mengkudu dan fungisida
memberikan pengaruh yang sama dalam menekan
keparahan penyakit antraknosa sedangkan ekstrak daun
belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Ekstrak
bunga mengkudu dapat menekan keparahan penyakit
antraknosa pada buah cabe (Tabel 2). Secara jelas
perkembangan keparahan penyakit antraknosa pada
buah cabe terlihat pada Gambar 2.
Pada pengamatan 109 hst, persentase keparahan
penyakit antraknosa pada tanaman cabe yang diberi
perlakuan ekstrak daun, bunga mengkudu dan fungisida
berbeda nyata dengan yang terjadi pada tanaman yang
diberi air steril. Ekstrak buah mengkudu tidak berbeda
nyata dengan air steril. Hal ini berarti ekstrak bunga
dan daun mengkudu mempunyai kemampuan yang sama
dalam menekan keparahan penyakit antraknosa. Tetapi
tetap ada kecenderungan pengaruh ekstrak bunga
mengkudu semakin berkurang dengan bertambahnya
umur tanaman dibandingkan dengan pengaruh ekstrak
daun mengkudu.
56 Efri J. HPT Tropika, Vol.10, No.1, 2010
Gambar 1. Grafik keterjadian penyakit antraknosa pada buah cabe yang diberi perlakuan ekstrak berbagai
bagian tanaman mengkudu (P1:daun; P2:bunga; P3:buah; P4:Propineb; P5:air steril)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
95 hst 102 hst 109 hst
Wa ktu pengam atan
Keterjadian penyakit (%)
P1
P2
P3
P4
P5
Tabel 1. Keterjadian penyakit antraknosa pada buah cabe yang diperlakukan dengan ekstrak berbagai bagian
tanaman mengkudu pada beberapa periode pengamatan
Keterjadian penyakit (%)
Perlakuan 95 hst 102 hst 109 hst
Daun 4,17 ab 7,87 b 9,97 ab
Bunga 0,00 a 0,00 a 11,67 bc
Buah 15,33 c 16,44 b 24,94 cd
Profineb 0,00 a 0,00 a 0,00 a
Air steril 10,00 bc 16,67 b 46,67 d
Keterangan : Data hasil ditransformasi dengan transformasi 1X
Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT dengan taraf 5 %.
Efri Pengaruh Ekstrak Mengkudu terhadap Antraknosa 57
Gambar 2. Grafik perkembangan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabe yang diberi beberapa jenis
ekstrak bagian tanamam mengkudu (P1= daun; P2: bunga; P3:buah; P4: Propineb; P5: air steril)
0
5
10
15
20
25
95 hst 102 hst 109 hst
Waktu pengamatan
Keparahan penyakit (%)
P1
P2
P3
P4
P5
Tabel 2. Pengaruh ekstrak berbagai bagian tanaman mengkudu terhadap keparahan penyakit antraknosa
pada tanaman cabe
Keparahan penyakit (%)
Perlakuan 95 hst 102 hst 109 hst
Daun 0,83 ab 2,80 ab 4,40 ab
Bunga 0,00 a 0,00 a 4,10 ab
Buah 5,63 c 9,20 c 18,93 c
Propineb 0,00 a 0,00 a 0,00 a
Air Steril 4,67 bc 8,00 bc 23,67 c
Keterangan : Angka yang tertera pada kolom merupakan rerata dari 3 ulangan
Data hasil ditransformasi dengan transformasi 1X
Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNT dengan taraf 5%.
58 Efri J. HPT Tropika, Vol.10, No.1, 2010
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Ekstrak daun mengkudu dan bunga mengkudu dapat
menekan perkembangan ketejadian dan keparahan
penyakti antraknosa tanaman cabe.
2. Pengaruh ekstrak daun mengkudu dan bunga
mengkudu dalam menekan perkembangan penyakit
antraknosa pada tanamam cabe tidak berbeda dengan
fungisida sintetis berbahan aktif propineb.
3. Ekstrak buah mengkudu tidak mampu menekan
perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman
cabe.
DAFTAR PUSTAKA
Adejumobi JA, Ogundiya MO, Kolapo AL & Okunade
MB. 2008. Phytochemical composition and in vitro
antimicrobial activity of anogeisus lelocarpus o
some common oral pathogen. J. Med. Plants Res.
2(8): 193-196.
Chan-Blanco Y, Vaillant F, Peres AM, Reynes M,
Brillout JM & Brat P. 2006. Critical Review:
The noni fruit (Morinda citrifolia L.): A review
of agricultural research nutritional and
therapeutic pr operties. Journal of Food
Composition and Analysis 19: 645-654.
Efri. 2004. Efek Penghambatan Ekstrak Mengkudu
terhadap Pertumbuhan Patogen dan
Perkembangan Penyakit Bakteri Pada
Tanaman Pisang. Jurnal Hama dan Penyakit
Tumbuhan Tropika 4(1): 42-46.
Jeffries P, Dodd JC, Jegerand MJ & Plumbley RA. 1990.
The biology and control of Colletotrichum species
on tropical fruit crops. Plant Pathology 39(3):
343-366.
Jayaraman SK, Manoharan MS & Illanchezian S. 2008.
Antibacterial, Antifungal and Tumor Cell
Suppression Potensial of Morinda citrifolia fruit
extracts. International Journal Of Integrative
Biology (IJIB) 3(1): 44-49.
Jeyalakshmi C & Seetharaman K. 1998. Biological
control of fruit rot and die-back of chilli with plant
products and antagonistic microorganisms. Plant
Diseases Research 13: 46-48.
Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ &
Mongkolporn O. 2005. Inheritance of resistance
to anthracnose caused by Colletotrichum capsici
in Capsicum. Plant Breeding 124(2): 206-208.
Nwinji OC, Chinedu NS & Ajani OO. 2008. Evaluation
of antibacterial activity of Pisidium guajava and
Gongronema latifolium. J. Med. Plants. Res.
2(8): 189-192.
Ogundare AO & Onifade AK. 2009. The Antimicrobial
activity of Morinda lucida leaf exract on
Escherichia coli. J. of Medicinal Plants
Research 3(4): 319-323.
Than PP, Prihastuti H, Phoulivong S, Taylor PWJ &
Hyde KD. 2008. Chili anthracnose disease
caused by Colletotrichum species. J. Zhejiang
Univ. Sci. B. 9(10): 764-778.
Verma KR, Chaurasia L & Katijar S. 2008. Potential
antifungal plant for Controlling Building Fungi.
Natural Product Radiance 7(4): 374-387.
... merupakan patogen yang harus diperhitungkan. (Efri, 2010). ...
... Kerugian yang disebabkan penyakit antraknosa ini bisa mencapai 80% jika kondisi yang mendukung perkembangan patogen (Efri, 2010) Penyakit ini sangat tertular cepat pada lahan tanaman cabai dan penyakit ini dapat terjadi pada cabai pada tahap vegetatif hingga menjelang panen (Prihatiningsih & Djatmiko, 2020). Titik-titik kecil berwarna gelap yang sedikit melengkung (lembek) adalah tanda pertama serangan antraknosa. ...
Article
Full-text available
This study examines the main pests and diseases that attack cayenne pepper (Capsicum frutescens) plants grown in polybags. In Indonesia, this crop is in high demand for both household and industrial use. Nonetheless, farmers often face challenges from pest and disease attacks, including anthracnose, fusarium wilt and stem rot, leading to reduced yields. The methodology used was a literature review covering various sources related to cayenne pepper. Findings show that important diseases such as anthracnose can reduce yields by up to 80%, while pests such as fruit flies can cause chili fruits to drop prematurely before harvest. Effective pest and disease management is essential to increase the productivity of cayenne pepper cultivated in polybags.
... Buah yang terserang akan menimbulkan gejala bercak hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak, sedangkan serangan yang berat dapat menyebabkan seluruh bagian buah menjadi mengering dan jatuh ke tanah. Penyakit ini akan tetap berkembang selama proses pasca panen dan pada penyimpanan hasil panen (Efri, 2010). ...
Article
Cabai hiyung merupakan varietas cabai lokal asal Kalimantan Selatan yang banyak terserang penyakit antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp. Serangan menjadi parah karena ditanam di lahan rawa. Potensi alternatif pengendalian penyakit antraknosa ramah lingkungan yaitu menggunakan agens antagonis bakteri Streptomyces sp. Bakteri Streptomyces sp. diisolasi dari 4 lahan rawa di Kalimantan Selatan yakni 2 rawa lebak dan 2 rawa pasang surut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemampuan Streptomyces sp. isolat lahan rawa dalam menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. asal cabai hiyung secara in vitro. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 16 perlakuan berdasarkan asal isolat, 4 isolat asal Sirang laut, 4 isolat asal Puntik, 4 isolat asal Gudang Hirang dan 4 isolat asal Tajau Landung. Bakteri Streptomyces sp. diisolasi menggunakan media selektif Yeast Malt Agar. Hasil eksplorasi ditemukan sebanyak 16 isolat Streptomyces sp. dan semua isolat mampu menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp. dengan persentase penghambatan di atas 50%. Persentase penghambatan paling tinggi isolat asal Puntik sebesar 96,44% dan persentase paling rendah isolat asal Sirang Laut sebesar 51,95%. Ada 8 isolat menghasilkan zona bening pada uji daya hambat yang diduga karena menghasilkan antibiotik, 1 isolat hiperparasit, dan 7 isolat dengan mekanisme overgrowth.
... Pada penelitian lainnya, infeksi Cercospora sp. pada tanaman cabai dapat mengakibatkan kerugian hingga 70% (9). ...
Article
Produktivitas tanaman cabai masih terusik dengan keberadaan berbagai golongan patogen. Pengendalian tiap patogen dapat berbeda. Untuk mengetahui metode pengendalian yang tepat, terlebih dahulu perlu diketahui patogen yang menginfeksi tanaman tersebut. Untuk mengetahui patogen yang terinfeksi, terlebih dahulu dilakukan survey dan pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan di lahan budidaya cabai milik petani Kelurahan Juata Laut Kecamatan Tarakan Utara dan Laboratorium Perlindungan Tanaman Universitas Borneo Tarakan. Survei dilakukan untuk mengetahui insidensi penyakit tanaman. Sementara untuk mengetahui patogen dari golongan cendawan dapat menggunakan metode direct plating method yang diawali pembersihan permukaan buah dan daun melalui pencucian menggunakan NaOCl 1% dan alkohol 70%, kemudian dibilas dengan akuades steril. Daun dan buah kemudian dikeringkan menggunakan kertas saring steril. Daun dan buah dipotong dengan ukuran 1 cm2 dengan komposisi 50% bagian yang sehat dan 50% bagian yang sakit. Potongan – potongan ini kemudian diletakkan sebanyak 4 bagian dalam satu cawan petri berisi media potato dextrose agar (PDA). Keberhasilan proses sterilisasi permukaan dapat diyakini dengan menuangkan 0,1 ml akuades steril bilasan pada media PDA menggunakan mikropipet. Bagian tanaman dan akuades yang ditanam pada media PDA diinkubasi selama 7 hari. Cendawan yang tumbuh pada jaringan tanaman dimurnikan selanjutnya diamati dan diidentifikasi berdasarkan kriteria morfologi koloni pada medium PDA dan morfologi konidia di bawah mikroskop setelah 3 hari. Hasil survei dan identifikasi menunjukkan insidensi penyakit yang terjadi disebabkan Fusarium oxysporum adalah sebesar 3,93% dan Colletotrichum sebesar 85,38%.Kata kunci: cabai, cendawan, insidensi, mikroskopis, perbatasan
... Penggunaan fungisida sintetik yang tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Untuk itu penggunaan fungisida sintetik harus ditekan sekecil mungkin dan sebagai penggantinya harus dicari bahan fungisida yang tidak berpengaruh negatif terhadap lingkungan dan manusia (Efri, 2010). ...
Article
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kitosan dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa (C. capsici) pada buah cabai (C. annuum L.). Hipotesis yang diajukan ialah bahwa aplikasi kitosan dan Trichoderma sp. dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, terdapat perbedaan pengaruh antara perlakuan kitosan, dan Trichoderma sp. terhadap keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, dan kitosan tidak berbeda jauh dengan fungisida berbahan aktif kaptan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Penelitian inidilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan Mei hingga Agustus 2012. Percobaan ini terdiri atas 5 perlakuan, yaitu kontrol (P1), kitosan (P2), kitosan+Trichoderma sp. (P3), Trichoderma sp. (P4), dan fungisida berbahan aktif kaptan (P5). Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan masing-masing perlakuan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam kemudian untuk melihat perbedaan antar perlakuan menggunakan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan, kitosan+Trichoderma sp. dan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Trichoderma sp. saja tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai, dan pengaruh kitosan dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai sebanding dengan fungisida sintetis berbahan aktif kaptan.
... Gejala yang ditimbulkan pada buah cabai yang terserang antraknosa ditandai dengan gejala bercak berwarna hitam dan dapat berkembang menjadi busuk lunak. Apabila serangan berat seluruh buah menjadi kering seperti mumi dan apabila patogen terbawa ke gudang dapat berkembang sehingga penyimpanan hasil panen akan membusuk (Efri, 2010). Penyakit antraknosa dapat menurunkan hasil antara 25 -75% (Wang & Sheu 2006, Setiawati et al., 2011dan Prathibha et al., 2013. ...
... In an effort to replace the role of synthetic pesticides, several studies have been carried out to control disease in plants due to fungal pathogens using biocontrol agents and bio fungicides. Bio fungicides are known to be more environmentally friendly compared to synthetic fungicides so that it can provide a safer impact on health and the environment [1]. Bio fungicides can be developed from the class of enzymes that can degrade pathogenic fungal cell walls. ...
Article
Full-text available
Abstract. The utilization of synthetic fungicides harms the environment. Several studies have been carried out to control disease in plants using biocontrol agents and bio fungicides that more environmentally friendly. Laboratory tests showed that bacterial isolates UBCF_13 can act as biocontrol of pathogenic fungi that have been identified as Serratia plymutica bacteria. This bacteria is capable of producing chitinase enzymes that can degrade pathogenic fungal cell walls. The study was aimed to isolate the chitinase B gene from Serratia plymuticha strain UBCF_13. Cloning of the chitinase B [ChiB] gene from the bacterial genome UBCF_13 was carried out using a PCR-based cloning strategy using specific primers. The UBCF_13 ChiB gene was successfully isolated and identified with a sequence of 1583 bp covering ORF of 1500 bp which encodes 499 amino acids. Domain analysis exhibited 2 functional domains, namely catalytic and the chitin-binding domain. The 3D analysis of the ChiB protein structure indicates a similar function with the c1ur88 template which is identified as ChiB. Further research is necessary to determine the optimal method to express and determine its detailed function. Keywords: ChiB, PCR-based cloning, Serratia plymuthica, bio fungicide
Article
Full-text available
The fungus Colletotrichum acutatum which often attacks chili plants causes anthracnose disease. Farmers generally use fungicides to control this disease. Continuous use of synthetic fungicides will have negative impacts. Plant extracts as an alternative to natural fungicides can be an appropriate and environmentally friendly choice. One of them is the use of Local Microorganisms (MOL). This research aims to determine the optimal concentration of coconut pulp MOL in increasing the resistance of red chilli plants to the fungus Colletotrichum acutatum that causes anthracnose disease. The study used a Totally Randomized Design (CRD) with 6 drugs, namely A (0 ml/water), B (5 ml/water), C (10 ml/water), D (15 ml/water), E (20 ml/water). ml/water), F (25 ml/water). There are four treatments each time. Information was broken down using ANOVA and continued with the Fair Genuine Contrast (BNJ) test at the 5% level (α = 5%). with a level of 5% (α = 5%). The results showed a significant effect on fungal colony diameter, germination period, plant height, plant incubation period, and disease severity. The best concentration of local coconut pulp microorganisms in inhibiting anthracnose disease was 25 ml/l water.
Article
Full-text available
Kegiatan pertanian pada tanaman padi menghadapi berbagai macam hambatan salah satunya adalah serangan hama yuyu yang merupakan jenis hama pendatang baru. Upaya pengendalian yang biasa dilakukan oleh para petani yaitu menggunakan insektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik dapat menimbulkan permasalahan baru. Salah satu solusi untuk mengendalikan permasalahan tersebut adalah menggunakan pestisida nabati dari buah mengkudu dan daun pepaya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh konsentrasi pelarut serta variasi campuran buah mengkudu dan daun pepaya terhadap mortalitas hama yuyu. Terdapat 3 variasi perlakuan pada konsentrasi pelarut yakni 30%, 50%, dan 70% serta 5 variasi campuran yang diuji pada (100:0), (75:25), (50:50), (25:75), hingga (0:100). Setiap perlakuan memiliki kontrol positif (pestisida sintetik) dan kontrol negatif (tanpa perlakuan) yang mana seluruhnya dilakukan secara duplo. Hasil eksperimen yang telah dilakukan menunjukan bahwa konsentrasi pelarut yang lebih tinggi memberikan mortalitas hama yuyu lebih tinggi secara signifikan. Hal ini menunjukkan senyawa aktif yang berperan dalam mortalitas yuyu lebih larut alkohol atau memiliki sifat cenderung polar. Pada variasi campuran, seluruh perlakuan (B1-B5) tidak memberikan perbedaan yang signifikan, namunsignifikan lebih baik dibanding perlakuan kontrol positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan pestisida nabati memiliki potensi lebih baik dalam mengatasi hama yuyu dibanding insektisida sintetik. Di sisi lain, hasil ini menunjukkan buah mengkudu dan daunpepaya dapat berdiri sendiri untuk menjadi pestisida nabati. Penelitian ini membuka potensi pengembangan pestisida nabati dari buah mengkudu ataupun daun pepaya yang dapat digali lebih lanjut hingga tahap komersial.
Article
Anthracnose is a disease that attacks and is very feared in chili cultivation. The low production and productivity of chili plants is caused by this disease. The purpose of this study was to determine the effectiveness and concentration of noni leaf pesticides on the control of anthracnose. This research was arranged using a completely randomized design (CRD) with one factor, namely the treatment of giving concentrations of vegetable pesticides and noni. The treatment consisted of 6 levels of treatment, namely DM0 = Control (0 ml Noni leaf extract solution), DM1 = Noni leaf extract solution 5 g/100 ml water, DM2 = Noni leaf extract solution 10 g/100 ml water, DM3 = Leaf extract solution noni 15 g/100 ml water, DM4 = Noni leaf extract solution 20 g/100 ml water, FS = synthetic fungicide as positive control. The experiment was carried out 4 times, so that 24 experimental units were obtained. The results showed that noni leaf pesticides were effective in controlling anthracnose in cayenne pepper plants with an effective concentration found in DM4 treatment with 20 g/100 ml of water extract solution of noni leaf.
Article
Full-text available
Research aims To determine the effectiveness of skin extract jengkol (Pithecellobium jiringa) effective as biofungisida against the disease-causing Fusarium wilt (Fusarium oxyospurum), Antraknosa (Colletotrichum capsici) and patches leaf (Cercospora capsici) on a red pepper plant (Capsicum annuum L.),This research was conducted at the Laboratory of Plant Protection, Faculty of Agriculture, University of Medan Area, Biopharmaceutical Laboratories Faculty of Pharmacy, University of North Sumatra, from March to May 2019. This research used non factorial completely randomized design with three replications. Factors treatment of skin extract concentration jengkol ie negative control (no treatment); positive control (synthetic fungicides 0.2%); and successive concentration is 10%; 20%; 30%; 40%; 50%; 60%; 70%; 80%; 90%; and 100%. The results showed that administrationjengkol skin extract effective for controlling fungal pathogens (Colletotrichum capsici, Fusarium oxysporum and Cercospora capsici) that cause disease in plants red chili.Jengkol bark extract at a concentration of 90% obtained the highest percentage inhibition Fusarum oxysporum as big as 78.43% Highly significant with bark extract treatment jengkol 10% and a negative control (no treatment), at a concentration of 20% jengkol skin extract obtained the highest percentage inhibition of Colletotrichum capsici 82.49% Highly significant with bark extract treatment jengkol 10%, negative control (no treatment) and at a concentration of 50% jengkol skin extract obtained the highest percentage inhibition Cercospora capsici as big as 83.43% Highly significant with bark extract treatment jengkol 10%, 20% jengkol bark extract, bark extract jengkol 30% and analytical results.
Article
Full-text available
Morinda citrifolia (noni) is indigenous to tropical countries and also considered as an important traditional folk medicine. M. citrifolia fruits extracted with three solvents (methanol, ethyl acetate and hexane) were tested in vitro for their antibacterial, antifungal and antitumor activity. Among the three solvents tested, methanol extract was active against all tested organisms with varied extents of antibacterial activity. Ethyl acetate extract was effective against most of the microorganisms tested except Pseudomonas aeruginosa and Klebsiella pneumoniae. Hexane extract was ineffective against all tested microorganisms. Among the fungi tested, the maximum percentage of inhibition was observed against Trichophyton mentagrophytes with the extracts of methanol (79.3%) and ethyl acetate (62.06%). Nearly 50% inhibition was recorded against Penicillium sp., Fusarium sp. and Rhizopus sp. with methanol extract. None of the extracts were active against Candida albicans and Aspergillus species. The methanol extract showed maximum cytotoxicity on HEp2 cells followed by ethyl acetate extract. The overall results indicate promising baseline information for the potential uses of M. citrifolia fruit extracts in the treatment of infectious diseases and tumor.
Article
Full-text available
Pisidium guajava and Gongronema latifolium are local plants used traditionally in south-eastern Nigeria to treat ailments such as cough, loss of appetite, malaria and stomach disorders. In this study, aqueous and ethanolic leaf extracts of P. guajava and G. latifolium were screened for antibacterial activity against two clinically isolated organisms of the gastrointestinal tract, Escherichia coli and Staphylococcus aureus. Results obtained show that leaf extracts of both plants possess significant antibacterial activities against the two isolates. Ethanolic extracts showed more inhibitory effect compared to the aqueous extracts. Extracts of P. guajava exhibited higher inhibitory effect than that of G. latifolium. The diameter of zones of inhibition by the leaf extracts of P. guajava was 8 -16 mm and 14 -21 mm respectively for the aqueous and ethanolic extracts. The minimum inhibitory concentrations (MICs) were 5.0 and 0.625 mg ml -1 respectively for the aqueous and ethanolic extracts of P. guajava. For the extracts of G. latifolium, the diameter of zones of inhibition was between 6 and 10 mm while MICs were 10.0 and 2.5 mg ml -1 respectively for the aqueous and ethanolic extracts.
Article
The synthetic fungicides such as Pentachlorophenol, Tributyltin oxide, Zinc carboxylate, etc. have been removed from markets due to their harmful effects on the environment, residue problem and carcinogenic nature. However, the fungicides derived from plant products are safer alternatives for fungi control because they are richest source of bioactive phytochemicals such as alkaloids, terpenoides, polyacetylenes, unsaturated isobutylamides and phenolics. Plant products, traditionally used as biocides in indigenous culture are being re-evaluated for safer means of fungi control as compared to the synthetic. The present paper is an attempt to summarize antifungal potency of various plants along with their part (s) used, type of extracts and test fungi. In view of antifungal properties of some of these plants against some fungi found on buildings, it is hoped that detailed studies may yield many more effective natural fungicides for controlling various types of building fungi. Some fungi found commonly on buildings have also been discussed in this paper for ready reference and further studies on their possible control by plant extracts.
Article
An assessment of phytochemical composition and antimicrobial activity of aqueous and ethanolic extract of root and stem of A. leiocarpus against clinical isolates of Candida albicans, Streptococcus mutans and Staphylococcus saprophyticus was carried out. Saponins, tannins and alkaloids were highly concentrated in the stem and root, with the later containing a significantly higher (P<0.05) quantity of these phytochemicals. The results of investigation showed that all the extracts had inhibitory effect on the growth of all the isolates. For both aqueous and ethanol extracts, a two way ANOVA test revealed that extract concentrations did not have significant effect (P>0.05) on the inhibition of C. albicans while the length of incubation period had a significant effect (P<0.05) on its inhibition. The inhibitory effect produced by the ethanol extract of the root and stem on S. saprophyticus and S. mutans was significantly higher (P<0.05) than the effect produced by aqueous extract. On a general note, root extracts exhibited significant inhibition (P<0.05) compared to stem extracts. Results from this study strongly indicates that A. leiocarpus is a potential candidate plant whose extract could be incorporated into dentifrice.
Article
Article de synthese comprenant: Nomenclature taxonomique; Symptomes, spectre d'hotes et processus d'infection; Physiologie de la quiescence; Epidemiologie de l'anthracnose; Methodes de lutte. On aborde plus specialement le cas du manguier, de l'avocatier, du bananier et du papayer
Critical Review: The noni fruit (Morinda citrifolia L.): A review of agr icultur al r esear ch nutr itional and ther apeutic pr oper ties
  • Y Chan-Blanco
  • F Vaillant
  • A M Peres
  • M Reynes
  • J M Brillout
  • P Brat
Chan-Blanco Y, Vaillant F, Peres AM, Reynes M, Brillout JM & Brat P. 2006. Critical Review: The noni fruit (Morinda citrifolia L.): A review of agr icultur al r esear ch nutr itional and ther apeutic pr oper ties. Journal of Food Composition and Analysis 19: 645-654.
Efek Penghambatan Ekstrak Mengkudu ter hadap Per tumbuhan Pat ogen dan Per kembangan Penyakit Bakter i Pada Tanaman Pisang
  • Efri
Efri. 2004. Efek Penghambatan Ekstrak Mengkudu ter hadap Per tumbuhan Pat ogen dan Per kembangan Penyakit Bakter i Pada Tanaman Pisang. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika 4(1): 42-46.