ArticlePDF Available

Kesehatan Finansial dan Mental: Berdampakkah terhadap Personal Resilience Para Pendidik Semasa COVID-19?

Authors:

Abstract

Daya bangkit atau resilience menjadi sumber daya strategis yang dibutuhkan oleh individu, kelompok, organisasi maupun masyarakat untuk dapat efektif dan selamat melewati krisis ekonomi. Artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai personal resilience, termasuk pula menguji dampak dari kesehatan terhadap personal resilience. Dari studi terdahulu didapatkan bahwa kesehatan baik dalam konteks fisik, mental, bahkan finansial cukup berpengaruh terhadap daya bangkit individu dalam menghadapi krisis. Artikel ini berupa untuk mencari tahu kesehatan dalam aspek apa manakah yang paling berpengaruh terhadap personal resilience para pendidik di Indonesia. Riset kuantitatif yang bersifat cross-sectional dengan melibatkan 648 edukator dikembangkan untuk memperoleh jawaban tersebut. Berdasarkan hasil analisis data menggunakan pendekatan PLS Structural Equation Modelling dan aplikasi SmartPLS, artikel ini memperoleh kesimpulan bahwa kesehatan finansial merupakan faktor yang paling berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap personal resilience. Selain itu, kesehatan finansial juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik maupun mental para edukator, terutama sekali di dua kota metropolitan terbesar di Indonesia – Jakarta dan Surabaya. Kata Kunci: kesehatan finansial, kesehatan mental, personal resilience
1
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
KESEHATAN FINANSIAL DAN MENTAL:
BERDAMPAKKAH TERHADAP PERSONAL RESILIENCE
PARA PENDIDIK SEMASA COVID-19?
Nopriadi Saputra1, Fifi Khoirul Fitriyah2, Ifit Novita Sari3
1BINUS Business School, Universitas Bina Nusantara, Indonesia.
2Department Early Childhood Education, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Indonesia.
3Indonesian Letters and Language Education, Universitas Islam Malang, Indonesia.
Korespondensi: nopriadi.saputra@binus.ac.id
ABSTRAK:
Daya bangkit atau resilience menjadi sumber daya strategis yang dibutuhkan oleh individu,
kelompok, organisasi maupun masyarakat untuk dapat efektif dan selamat melewati krisis
ekonomi. Artikel ini bertujuan untuk membahas mengenai personal resilience, termasuk pula
menguji dampak dari kesehatan terhadap personal resilience. Dari studi terdahulu didapatkan
bahwa kesehatan baik dalam konteks fisik, mental, bahkan finansial cukup berpengaruh
terhadap daya bangkit individu dalam menghadapi krisis. Artikel ini berupa untuk mencari tahu
kesehatan dalam aspek apa manakah yang paling berpengaruh terhadap personal resilience para
pendidik di Indonesia. Riset kuantitatif yang bersifat cross-sectional dengan melibatkan 648
edukator dikembangkan untuk memperoleh jawaban tersebut. Berdasarkan hasil analisis data
menggunakan pendekatan PLS Structural Equation Modelling dan aplikasi SmartPLS, artikel
ini memperoleh kesimpulan bahwa kesehatan finansial merupakan faktor yang paling
berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap personal resilience. Selain itu,
kesehatan finansial juga berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik maupun mental para
edukator, terutama sekali di dua kota metropolitan terbesar di Indonesia Jakarta dan Surabaya.
Kata Kunci: kesehatan finansial, kesehatan mental, personal resilience
PENDAHULUAN
Bumi yang kita diam ini telah berkembang dengan insentif menjadi semakin
kompleks dan saling tergantung satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, bumi
menjadi semakin rentan terhadap risiko yang mengancam. Terlepas dari kemajuan yang
diraih oleh peradaban manusia, bencana pun telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Bencana-bencana tersebut dapat dikategorikan sebagai: (1) bencana alam,
yang terdiri atas bencana geofisika, meteorologi, hidrologi, klimatologi, dan biologi,
serta (2) bencana akibat ulah manusia, yang berupa bencana teknologi dan bencana
sosiologis (Pede, 2020).
Covid-19 sebagai bencana biologis telah menyebarkan penderitaan kepada
manusia seluruh dunia. Tidak hanya menyebabkan dan menyebarkan penderitaan fisik
kesehatan, namun juga menyebarkan penderitaan ekonomi kepada manusia di seluruh
dunia. COvid-19 ini telah menular secara medis maupun ekonomi (Baldwin & di
2
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Mauro, 2020). Menghadapi kondisi seperti ini, daya bangkit atau resilience merupakan
keharusan untuk setiap sistem sosial dalam berbagai lingkup, mulai dari individu, relasi,
kelompok, organisasi, maupun masyarakat. Personal resilience merupakan sumber
daya strategis yang dibutuhkan oleh sistem sosial baik inidividu, kelompok maupun
organisasi untuk melewati krisis ekonomi yang terkait pandemi Covid-19 ini dengan
selamat dan efektif.
Sebagai suatu proses dinamis untuk beradaptasi secara positif terhadap kesulitan,
personal resilience melibatkan kapasitas sistemik untuk mengatasi beragam gangguan
yang mengancam fungsi, keberlangsungan, maupun perkembangan individu (Foster,
Roche, Delgado, Giandinoto, & Furness, 2019). Para edukator sebagai salah satu actor
yang berpengaruh di dalam masyarakat memainkan peran penting untuk meningkatkan
dan memelihara daya bangkit atau personal resilience. Terutama sekali dalam
hubungan dan interaksi mereka dengan para siswa dan komunitas yang lebih luas.
Dalam kondisi yang krisis dan penuh ketidakpastian, personal resilience dari para
pendidik guru, dosen, pelatih korporasi, dan penyuluh masyarakat menjadi sangat
penting dan menentukan efektivitas dan sustainable growth suatu masyarakat
(Mansfield, Papatraianou, & King, 2018).
Berdasarkan studi empiris di China, sekitar 24,9% mahasiswa pernah mengalami
kecemasan akibat wabah Covid-19 ini. Memiliki kenalan atau kerabat yang terinfeksi
Covid-19 merupakan faktor resiko yang berpengaruh terhadap kecemasan yang
dialami. Stresor terkait Covid-19 seperti efek Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari,
penundaan agenda akademik, dan stres ekonomi berkorelasi positif dengan tingkat
kecemasan siswa. Kesehatan mental siswa sangat terpengaruh ketika menghadapi
keadaan darurat isolasi masyarakat (lockdown). Hal-hal tersebut membutuhkan
perhatian, bantuan, dan dukungan dari masyarakat, keluarga, dan pendidik (Cao, et al.,
2020).
Berdasarkan fakta empirik tersebut, artikel ini mencoba membahas mengenai
personal resilience dari para edukator seperti guru, dosen, pelatih korporasi dan
penyuluh masyarakat. Apakah kesehatan sebagai sumber daya personal merupakan
prediktor yang akurat terhadap personal resilience dari para edukator. Apakah secara
statistik kesehatan para edukator secara fisik, mental, maupun finansial berdampak atau
berkontribusi terhadap personal resilience mereka? Diharapkan, hasil riset ini dapat
menjadi masukan bagi kebijakan publik untuk meningkatkan daya juang masyarakat
dalam menghadapi krisis terkait pandemik COvid-19
KAJIAN PUSTAKA
Berdasarakan pembahasan tersebut di atas, maka ada empat konsep yang penting
untuk ditinjau berdasarkan literatur dan studi empirik terdahulu, yaitu: personal
resilience, kesehatan fisik (physical health), kesehatan mental (mental health), dan
kesehatan finansial (financial health).
Personal Resilience.
Daya juang atau personal resilience dalam beragam literatur diidentifikasi
sebagai: (1) karakteristik atau kemampuan individual, (2) proses interaktif atnara
individu dan lingkungannya, dan (3) kapasitas kolektif. (Foster, Roche, Delgado,
Giandinoto, & Furness, 2019). Artikel ini memandang bahwa personal resilience
sebagai kemampuan atau karakteristik individual. Dalam suatu studi, daya juang
3
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
diuraikan dalam empat aspek yaitu: (1) sikap dan perspektif, (2) keseimbangan dan
prioritas, (3) penataan yang efisien, dan (4) hubungan yang mendukung (Howard,
Kirkley, & Baylis, 2019). Sementara dalam studi lainnya, personal resilience dijabarkan
dalam tiga atribut utama, yaitu: (1) ego resiliency; (2) recalibration; dan (3) interaksi
dengan lingkungan (Luo, Eicher, & White, 2020). Artikel ini menggunakan instrumen
Connor-Davidson Resilience Scale atau CD-RISC untuk mengukur personal resilience
yang melihat dari dua faktor, yaitu: toughness factor dan motivation factor (Aloba,
Olabisi, & Aloba, 2016).
Berdasarkan studi empiris terdahulu telah terbukti bahwa personal resilience
secara positif memprediksi psychological wellbeing (Mayordomo, Viguer, Sales,
Satorres, & Meléndez, 2016), dan dipengaruh secara negative oleh job demands
seperti stress, burnout, post-traumatic stress disorder, dan workplace bullying.
Sementara itu juga, personal resilience secara positif dipengaruhi oleh job resources
seperti coping skills, self-efficacy, dukungan sosial, kepuasan kerja, job retention, dan
kesejahteraan secara umum (Yu, Raphael, Mackay, Smith, & King, 2019). Artikel ini
membangun hipotesis bahwa personal resilience dipengaruhi oleh kesehatan individual
baik itu kesehatan fisik, kesehatan mental, maupun kesehatan finansial yang merupakan
bagian dari job resources yang bersifat personal.
H1: Kesehatan fisik berpengaruh signifikan terhadap personal resilience
H2: Kesehatan mental berpengaruh signifikan terhadap personal resilience
H4. Kesehatan finansial berpengaruh signifikan terhadap personal resilience.
Kesehatan Fisik (Physical Health).
World Health Organization pada pembukan dokumen konstitusionalnya
menjelaskan secara global bahwa kesehatan merupakan a state of complete physical,
mental and social well-being, not merely the absence of disease or infirmity”.
Kesehatan bukan semata-mata kondisi terbebas dari berbagai penyakit, namun lebih
tinggi lagi yaitu kesejahteraan fisik, mental, dan sosial dari seseorang. Definisi ini
sebenarnya sudah outdated, tidak pas lagi digunakan apalagi untuk tujuan merancang
dan mengevaluasi sistem kesehatan. Kemudian, kesehatan didefinisikan sebagai
pengalaman yang berkaitan dengan kesejahteraan fisik dan psikologis. Kesehatan yang
buruk dan kesehatan yang baik merupakan suatu kontinum atau gradasi, bukanlah suatu
dikotomi. Ketiadaan penyakit atau disabilitas tidak cukup untuk menghasilkan kondisi
kesehatan yang prima (Card, 2017). Kesehatan fisik sebagai bagian penting dari aspek
dari human capital, dimana individu dapat memperoleh manfaat terbaik atas produksi
dan konsumsi (Ohrmberger, Fichera, & Sutton, 2017).
Ada dua jenis self-reported outcomes yang biasanya digunakan untuk mengetahui
kondisi kesehatan fisik, yaitu: dengan menanyakan (1) apakah seseorang memiliki
kondisi tertentu atau (2) apakah seseorang pernah mendapatkan diagnosis mengenai
kondisi tertentu dari petugas kesehatan profesional (Oh, et al., 2019). Artikel ini
bertanya kepada responden apakah mereka memiliki kondisi tertentu untuk mengukur
kesehatan. Physical Health Questionnaires (Schat, Kelloway, & Desmarais, 2005)
digunakan sebagai instrumen untuk mengukur. Kesehatan fisik didefinisikan sebagai
kondisi fisik personal tanpa gejala-gejala sakit fisik seperti gangguan tidur (sleep
disturbance), sakit kepala (headache), masalah pencernaan (gastrointestinal problem)
atau pun infeksi pernafasan (respiratory infections).
4
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Beberapa studi empiris terdahulu telah membuktikan bahwa kesehatan fisik
berdampak terhadap personal resilience. Telah dilaporkan berkali-kali bahwa
peningkatan dalam resilience terkait dengan penurunan physical health symptoms
(Osofsky, et al., 2019). Aktivitas fisik dalam suatu alpine environment berkaitan erat
dengan resilience dan dipengaruhi oleh quality of life dan dimediasi oleh resilience
pada penderita psychosomatic disorders and controls (Ower, et al., 2019). Physical
functioning, active coping, dan perceived social support berkaitan secara positif dengan
resilience. Sedangkan maladaptive coping berkaitan secara negatif dengan resilience
pada kandidat tranplantasi hati (Swanson, Geller, DeMartini, & Fehon, 2018). Dengan
mempertimbangkan fakta-fakta empiris tersebut di atas, artikel ini mengembangkan
hipotesis bahwa:
H1: Kesehatan fisik berpengaruh signifikan terhadap personal resilience
Kesehatan Mental (Mental Health)
Kesehatan mental adalah konsep yang sejalan atau sinonim dengan
kesejahteraan psikologis (psychological wellbeing). Kesehatan mental adalah sangat
penting untuk menjalani kehidupan yang puas, seimbang, dan utuh. Daripada menjalani
kehidupan yang bebas masalah, seseorang dengan kesehatan mental yang baik dapat
bangkit kembali dari kemunduran serta tetap tumbuh-berkembang meskipun ada
menghadapi banyak masalah (Peterson, 2019). WHO mendefinisikan kesehatan mental
sebagai keadaan sejahtera di mana individu menyadari bahwa dengan kemampuan yang
dimiliki, dia dapat mengatasi tekanan hidup, dapat bekerja dengan produktif
menghasilkan, dan mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi komunitasnya
(Tamminen, et.al., 2020).
Artikel ini mendefinisikan kesehatan mental sebagai kemampuan pribadi untuk
mengendalikan mentalitas - pikiran, perasaan dan perilaku - agar efektif dalam
menghadapi tantangan hidup dan menempatkan masalah dalam perspektif yang tepat.
Positive Mental Health Scale (Lukat, Margraf, Lutz, van der Veld, & Becker, 2016)
digunakan untuk mengukur kesehatan mental yang diuraikanmenjadi empat aspek,
yaitu kesejahteraan, kepuasan hidup, harga diri dan kemampuan mengatasi stres.
Studi empiris terdahulu telah membuktikan bahwa kesehatan mental dan
personal resilience saling mempengaruhi satu sama lain. Di Spanyol, personal
resilience efektif meminimasi dan menopang dampak negatif dari stres di tempat kerja
pada kesehatan mental para critical care professional (Arrogante & Aparicio-Zaldivar,
2017). Studi lainnya juga menjelaskan bahwa emosi positif dapat meningkatkan
personal resilience secara langsung maupun tidak langsung melalui peran mediasi dari
coping strategy terutama melalui adaptive coping (Gloria & Steinhardt, 2016).
Dukungan sosial, personal resilience, dan self-efficacy memediasi sebagian pengaruh
victimization pada kesehatan mental di Jerman dan Cina (Lin, Wolke, Schneider, &
Margraf, 2020). Berdasarkan fakta-fakta empiris tersebutlah, artikel ini merumuskan
hipotesis bahwa kesehatan mental berpengaruh terhadap personal resilience.
H2: Kesehatan mental berpengaruh signifikan terhadap personal resilience
Studi terdahulu juga menjelaskan bahwa kesehatan mental dan kesehatan fisik
juga saling berpengaruh satu dengan yang lainnya. Kesehatan mental pada masa lalu
berdampak langsung dan tidak langsung terhadap kesehatan fisik mental dan kesehatan
fisik pada masa lalu juga berpengaruh secara signifikan terhadap kesehatan mental
(Ohrmberger, Fichera, & Sutton, 2017). Studi lainnya juga menjelaskan bahwa stigma
5
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
kesehatan mental mempengaruhi secara langsung dan tidak langsung terhadap
treatment attitudes dan kesehatan fisik (Sickel, Seacat, & Nabors, 2019). Sedangkan
studi terhadap lansia di Canada juga menyimpulkan bahwa self-positive reminiscence
dan psychological distress merupakan prediktor yang akurat terhadap kesehatan fisik
(King, Cappeliez, Canham, & O'Rouke, 2019). Berbasis pada studi-studi empiris
tersebut, artikel ini mengembangkan hipotesis bahwa kesehatan mental berpengaruh
terhadap kesehatan fisik.
H3: Kesehatan mental berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik
Kesehatan Finansial (Financial Health)
Kesehatan finansial dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk mengelola
pengeluaran, meminimalisasi hutang, membangun kekayaan, dan kemampuan untuk
menghadapai guncangan finansial. Selain itu, kesehatan finansial juga terkait dengan
kemampuan untuk mengamankan kebutuhan pangan dan perumahan (Weida,
Phojanakong, Patel, & Chilton, 2020).
Studi empiris terdahulu telah membuktikan bahwa kesehatan finansial dan
personal resilience saling berdampak satu dengan lainya. Faktor kesulitan keuangan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tekanan psikologis terutama yang terkait
dengan perumahan dan job security. Personal resilience yang tinggi merupakan faktor
pelindung yang signifikan terhadap tekanan psikologis yang tinggi yang terkait dengan
permasalahan keuangan (Taylor, Stevens, Agho, & Raphael B., 2017). Berdasarkan
fakta empiris tersebut, artikel ini mengembangkan hipotesis bahwa kesehata finansial
berpengaruh signifikan terhadap personal resilience.
H4: Kesehatan finansial berpengaruh signifikan terhadap personal resilience
Beberapa studi empiris juga membuktikan bahwa kesehatan finansial juga
berdampak pada kesehatan fisik. Studi terhadap lansia menunjukkan bahwa kesehatan
fisik juga dipengaruhi oleh literasi keuangan (Wilson, Yu, James, Bennett, & Boyle,
2017). Beban finansial terkait dengan perawatan kesehatan berpengaruh signifikan
terhadap sarkopenia atau massa otot yang rendah (Norman & Otten, 2019). Ketegangan
finansial dipengaruhi oleh kesehatan kardiovaskular yang lebih rendah pada wanita dan
pria paruh baya (Cabeza de Baca, Burroughs Pena, Slopen, Williams, & Buring, 2019).
Krisis keuangan berdampak terhadap indikator kesehatan mulut di berbagai negara
(Probst, Pucca Junior, Pereira, & Carli, 2019). Dengan memperhatikan fakta-fakta
empiris tersebut, artikel ini mengembangkan hipotessis bahwa kesehatan finansial
berpengaruh terhadap kesehatan fisik
H5: Kesehatan finansial berpengaruh signifikan terhadap kesehatan fisik
Beberapa studi empiris terdahulu menjelaskan bahwa kesehatan finansial dan
kesehatan mental saling berpengaruh satu dengan lainnya. Suatu studi menjelaskan
bahwa neurotisme, kepuasan finansial, dan otonomi adalah prediktor penting terhadap
kebahagiaan dimana kepuasan finansial merupakan faktor yang paling penting
berpengaruh terhadap kepuasan hidup (Ng, Russell Kua, & Kang, 2019). Studi lain
menjelaskan bahwa beban keuangan karena pengobatan penyakit kanker berpengaruh
signifikan terhadap kualitas hidup dan kondisi kesehatan yang lebih buruk (Kale &
Caroll, 2016). Diskriminasi usia berpengaruh signifikan terhadap tekanan finansial,
dan tekanan finansial tersebut meningkatkan gejala depresi pada wanita (Shipee,
Wilkinson, Schafer, & Shippee, 2019). Individu yang dieksploitasi secara finansial
menunjukkan gejala depresi dan kecemasan yang jauh lebih besar (Weissberger, et al.,
6
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
2020) dan juga memunculkan ide bunuh diri (Fiksenbaum, Marjanovic, Greenglass, &
Garcia-Santos, 2017). Berkaitan dengan fakta empiris tersebut, artikel ini
mengembangkan hipotesis bahwa kesehatan finansial berpengaruh terhadap kesehatan
mental secara signifikan.
H6: Kesehatan finansial berpengaruh signifikan terhadap kesehatan mental
METODOLOGI PENELITIAN
Model Penelitian
Artikel ini didasarkan pada riset kualitatif eksploratif dengan menggunakan
pendekatan Partial Least Square Structural Equation Modelling (PLS-SEM). Model
penelitian yang digunakan berjenis second order yang terdiri dari model pengukuran
dan model struktural. Model pengukuran menjelaskan hubungan antara variabel,
dimensinya, dan indikatornya. Model struktural menggambarkan hubungan antar
variabel dan digunakan untuk pengujian hipotesis.
Gambar 1 Model Penelitian yang Diusulkan
Model penelitian ditunjukkan pada Gambar 1. Variabel Personal resilience
diukur menggunakan instrument yang diadaptasi dari Connor-Davidson Resilience
Scale atau CD-RISC (Aloba, Olabisi, & Aloba, 2016) yang terdiri dari 10 indikator.
Personal resilience direfleksikan dalam dua dimensi yaitu toughness factors (yang
diukur dengan enam indikator) dan motivation factors (yang diukur dengan empat
7
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
indikator). Sedangkan untuk kesehatan fisik, artikel ini menggunakan Physical Health
Questionnaires (Schat, Kelloway, & Desmarais, 2005) sebagai instrument pengukuran.
Kesehatan fisik direfleksikan dengan empat dimensi, yaitu sebagai kondisi fisik pribadi
terbebas dari: sleep disturbance (empat indikator), headache (tiga indikator),
gastrointestinal problem (empat indikator), dan respiratory infection (tiga indikator).
Sementara itu Positive Mental Health Scale (Lukat, Margraf, Lutz, van der
Veld, & Becker, 2016) diadaptasi untuk mengukur kesehatan mental yang tercermin
dalam well-being (empat indikator), life satisfaction (dua indikator), self-esteem (dua
indikator) dan coping stress (dua indikator). Sedangkan Klontz-Britt Financial Health
Scale (FHS) diadaptasi untuk mengukur kesehatan keuangan (Britt, Klontz, Tibbetts,
& Leitz, 2015) dimana kesehatan keuangan dijabarkan menjadi empat dimensi. Artikel
ini hanya menggunakan tiga dimensi saja, yaitu: global indicator (lima indikator),
kemampuan menghindari money disorder (tiga indikator) dan kemampuan melakukan
risk planning (empat indikator). Dimensi self-care dikecualikan untuk artikel ini karena
indikatornya tidak valid atau tidak relevan dengan konteks Indonesia. Secara
keseluruhan, model riset ini terdiri dari satu variabel dependen (personal resilience),
dua variabel mediasi (Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental), dan satu variabel
independen (Kesehatan Keuangan) yang tersusun atas13 dimensi dan 47 indikator
pengukuran.
Material dan Metode
Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner daring pada tanggal 14 April
2020 sampai dengan 1 Mei 2020. Metode pengambilan sampel menggunakan
pendekatan kombinasi antara purposive dan snowball. Artikel ini didasarkan pada studi
kolaboratif antara Universitas Bina Nusantara di Jakarta, dan dua universitas di Jawa
Timur (Universitas Islam Malang dan Universitas NU Surabaya). Penelitian ini
melibatkan 648 pendidik sebagai responden. Mereka adalah guru dari semua jenjang
pendidikan (42%), dosen di perguruan tinggi (41%), penyuluh masyarakat (12%), dan
pelatih korporasi (5%). Sebagian besar adalah perempuan (58%), dengan usia di bawah
46 tahun (68%), berlatar belakang pendidikan S1 dan S2 (67%), dan menjadi pendidik
lebih dari sepuluh tahun (65%). Responden dominan tinggal di Surabaya dan Jawa
Timur (67%), Jakarta dan Jawa Barat (18%), dan di luar Jawa (15%).
Tabel 1 Profile Responden
Respondents
Jenis Kelamin
Laki-laki
274
42%
Perempuan
374
58%
Umur
Kurang dari 26 tahun
43
7%
26 35 tahun
209
32%
36 45 tahun
191
29%
46 55 tahun
160
25%
Lebih dari 55 tahun
45
7%
Pendidikan
Diploma
87
13%
Sarjana
315
49%
Master
115
18%
Doktoral atau PhD
86
13%
Lainnya
45
7%
8
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Pengalaman
Mengajar
0 - 2 tahun
28
4%
3 - 5 tahun
82
13%
6 - 10 tahun
120
19%
11 - 20 tahun
220
34%
21 - 30 tahun
110
17%
Lebih dari 30 tahun
88
14%
Profesi
Guru di kelompok bermain / taman kanak-kanak
75
12%
Guru SD
86
13%
Guru SMP-SMA
112
17%
Dosen dai perguruan tinggi
263
41%
Pelatih Korporasi
35
5%
Penyuluh masyarakat
77
12%
Model Pengukuran
Analisis validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap model pengukuran. Skor
Outer Loading (OL) digunakan sebagai parameter validitas dari indikator. Skor
Average variance extracted (AVE) digunakan sebagai parameter validitas untuk
variabel dan dimensi. Sementara itu untuk analisis reliabilitas, artikel ini menggunakan
skor Composite Reliability (CR). Suatu indikator dikatakan valid bila skor OL lebih
dari 0,6 untuk penelitian yang bersifat eksploratif atau lebih dari 0,7 untuk penelitian
konfirmatori (Hair, Hufit, Ringle, & Sarstedt, 2014). Karena didasarkan pada riset
eksploratif, maka artikel ini menggunakan OL lebih dari 0,6 sebagai standar validitas
untuk indikator. Indikator yang memiliki skor OL kurang dari 0,6 dikeluarkan dari
model pengukuran.
Tabel 2 Analisis Validitas dan Reliabilitas
Dimension
Item
OL
CR
AVE
Dimension
Item
OL
CR
AVE
PERSONAL RESILIENCE
0,862
0,389
MENTAL HEALTH
0,889
0,471
Toughness
P_RES06
0,674
0,834
0,502
Well-Being
M_HEL01
0,827
0,835
0,629
P_RES05
0,675
M_HEL03
0,797
P_RES01
0,708
M_HEL04
0,753
P_RES03
0,740
Life
Satisfaction
M_HEL05
0,826
0,834
0,716
P_RES04
0,741
M_HEL06
0,866
Motivation
P_RES09
0,849
0,779
0,541
Self
Esteem
M_HEL07
0,851
0,842
0,727
P_RES10
0,814
M_HEL08
0,875
PHYSICAL HEALTH
0,868
0,379
Coping
M_HEL09
0,851
0,854
0,745
Sleep
Disturbance
P_HEL01A
0,855
0,789
0,559
M_HEL10
0,876
P_HEL03A
0,840
FINANCIAL HEALTH
0,834
0,372
Headache
P_HEL05A
0,834
0,910
0,835
Global
Indicator
F_HEL01
0,684
0,823
0,538
P_HEL06A
0,872
F_HEL03
0,802
P_HEL07A
0,869
F_HEL04
0,708
Gastrointestinal
Problem
P_HEL11A
0,729
0,847
0,649
F_HEL05
0,734
P_HEL08A
0,835
Money
Disorder
F_HEL08A
0,862
0,868
0,767
P_HEL10A
0,848
F_HEL07A
0,889
Respiratory
Infection
P_HEL12A
0,616
0,765
0,523
Risk
Planning
F_HEL10
0,844
0,845
0,732
P_HEL13A
0,755
F_HEL11
0,867
P_HEL14A
0,788
9
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Personal resilience memiliki tiga indikator yang dikeluaran dari model karena
OL kurang dari 0,6 yaitu indikator P_RES02, P_RES07, dan P_RES08. Sedangkan
variabel Kesehatan Fisik memiliki empat indikator yang dikeluarkan dari model (yaitu
P_HEL02A, P_HEL04A, P_HEL09A, dan P_HEL11A). Kesehatan Mental hanya
memiliki satu indikator yang dikeluarkan dari model riset (M_HEL02). Kesehatan
Keuangan memiliki lima indikator yang dikeluarkan dari model riset (F_HEL02,
F_HEL06, F-HEL09A, F_HEL12, dan F_HEL13).
Untuk validitas dari variabel atau dimensi, skor average variance extracted
(AVE) digunakan sebagai parameter. Standar validitas adalah skor AVE lebih dari 0,50.
Tabel 2 menunjukkan bahwa skor AVE dari semua variabel kurang dari 0,5. Hal ini
berarti bahwa semua variabel adalah tidak valid. Namun, semua dimensi dari masing-
masing variabel memiliki skor AVE lebih dari 0,5. Semua dimensi dari setiap variabel
adalah valid.Hal tersebut dapat mengindikasikan dua hal, yaitu: model riset
membutuhkan lebih banyak data atau jenis first order lebih direkomendasikan daripada
second order sebagai konstruksi model riset.
Selain itu, validitas semua dimensi dikonfirmasi oleh validitas diskriminan pada
Tabel 3. Hal ini menunjukkan bahwa semua skor diagonal cetak tebal (akar kwadrat
dari AVE) lebih dari 0,7 atau merupakan skor tertinggi pada kolom yang sama. Ini
menunjukkan bahwa semua dimensi adalah valid diskriminan. Indikator dari setiap
dimensi hanya mengukur dimensinya, tidak mengukur dimensi lain.
Untuk analisis reliabilitas dari dimensi dan variabel, artikel ini menggunakan
skor Composite Reliability (CR). Suatu dimensi atau variabel dinyatakan reliabel bila
skor CR lebih dari 0,7. Pada Tabel 2, kita lihat bahwa semua variabel dan dimensinya
memiliki nilai CR lebih dari 0,70. Hal ini menunjukkan bahwa semua variabel dan
dimensi adalah reliable atau dapat diandalkan sebagai model pengukuran. Berdasarkan
analisis validitas dan reliabilitas, dapat disimpulkan bahwa semua indikator dan
dimensi dinyatakan valid. Semua variabel dan dimensi adalah reliable sebagai model
pengukuran.
Tabel 3 Validitas Diskriminan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1
Coping Stress
0,86
2
Gastrointestinal
Problem
0,15
0,81
3
Global Indicator
0,37
0,16
0,73
4
Headache
0,13
0,51
0,15
0,91
5
Life Satisfaction
0,48
0,17
0,37
0,13
0,84
6
Money Disorder
0,17
0,29
0,35
0,37
0,18
0,87
7
Motivation
0,51
0,14
0,32
0,10
0,31
0,11
0,73
8
Respiratory
Infection
0,05
0,48
0,10
0,42
0,12
0,25
0,06
0,72
9
Risk Planning
0,38
0,10
0,65
0,04
0,30
0,22
0,30
0,04
0,85
10
Sleep Disorder
0,10
0,54
0,10
0,47
0,14
0,27
0,06
0,39
0,06
0,74
11
Self Esteem
0,63
0,19
0,30
0,12
0,46
0,08
0,48
0,09
0,32
0,13
0,85
12
Toughness
0,55
0,10
0,32
0,11
0,37
0,10
0,67
0,04
0,31
0,05
0,47
0,70
13
Well Being
0,60
0,26
0,50
0,19
0,62
0,25
0,41
0,19
0,41
0,20
0,57
0,40
0,79
Sebagai model pengukuran, hubungan antara variabel dan dimensinya
dijelaskan pada Tabel 4. Path coefficient, t-Statistics, dan p-Value ditunjukkan pada
Tabel 4. Semua jalur membentuk variabel dan dimensinya memiliki skor t-Statistik
10
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
(dari 7,229 hingga 191.723) lebih dari 1,96 atau p-Values kurang dari 0,05. Artinya
semua variabel direfleksikan secara signifikan pada dimensinya.
Tabel 4 Koefisien Outer Path
Variable
Dimensions
Path
Coefficient
t- Statistics
p-
Values
Result
Personal
Resilience
Motivation Factors
0,824
51,788
0,000
Signifikan
Toughness Factors
0,954
191,723
0,000
Signifikan
Kesehatan Fisik
Gastrointestinal Problem
0,831
53,594
0,000
Signifikan
Headache
0,847
63,678
0,000
Signifikan
Respiratory Infection
0,679
22,618
0,000
Signifikan
Sleep Disturbance
0,726
29,679
0,000
Signifikan
Kesehatan
Mental
Coping Stress
0,822
49,128
0,000
Signifikan
Life Satisfaction
0,769
34,920
0,000
Signifikan
Self Esteem
0,798
34,475
0,000
Signifikan
Well Being
0,880
70,938
0,000
Signifikan
Kesehatan
Finansial
Global Indicator
0,932
135,494
0,000
Signifikan
Money Disorder
0,450
7,429
0,000
Signifikan
Risk Planning
0,819
46,702
0,000
Signifikan
Personal resilience tercermin secara signifikan dalam motivation factors
(0,824) dan toughness factors (0,954). Kesehatan fisik tercermin secara signifikan
dengan kondisi fisik yang terbebas dari masalah pencernaan (0,831), sakit kepala
(0,847), infeksi pernafasan (0,679) dan gangguan tidur (0,726). Sedangkan, kesehatan
mental tercermin secara signifikan pada kemampuan coping stress (0,822), life
satisfaction (0,769), self-esteem (0,798), dan well-being (0,880). Sementara itu,
kesehatan finansial tercermin secara signifikan lewat global indicators (0,934),
kemampuan mengatasi money disorder (0,450), dan kemampuan untuk melakukan risk
planning (0,819).
Hasil dan Diskusi
Setelah menjalankan kalkulasi bootstrapping dengan basis 1000 sub-sampel,
SmartPLS versi 3.0 memberikan hasil analisis yang ditunjukkan pada Gambar 2. Hasil
analisis terstruktur ditampilkan pada Tabel 5 sebagai dasar pengujian hipotesis. Dari
enam hipotesis, empat hipotesis diterima dan dua hipotesis ditolak.
H1 ditolak karena path coefficent dari kesehatan fisik ke personal resilience hanya
0,001 dengan t-Statistics (0,029) kurang dari 1,96 atau p-Value (0,976) lebih dari
0,05. Artinya path tersebut tidak signifikan. Tidak ada pengaruh yang cukup
signifikan dari kesehatan fisik terhadap personal resilience secara statistik.
H2 diterima karena koefisien jalur 0,533 dengan t-Statistics (9,624) lebih dari 1,96
atau p-Value (0,000) kurang dari 0,05. Artinya jalur tersebut signifikan secara
statistik. Ada dampak kesehatan mental pada personal resilience.
H3 ditolak karena koefisien jalur dari kesehatan mental ke kesehatan fisik sebesar
0,133 dengan t-Statistics (1,819) kurang dari 1,96 atau p-Value (0,069) lebih dari
0,05. Artinya jalur tersebut tidak signifikan secara statistik. Tidak ada dampak
kesehatan mental terhadap kesehatan fisik.
11
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Gambar 2 Hasil Analisis PLS SEM Menggunakan SmartPLS
H4 diterima karena koefisien jalur 0,083 dengan t-Statistics (1,986) lebih dari 1,96
atau p-Value (0,047) kurang dari 0,05. Artinya jalur tersebut signifikan secara
statistik. Terdapat pengaruh yang signifikan dari kesehatan finansial terhadap
personal resilience.
H5 diterima karena koefisien jalur 0,248 dengan t-Statistics (4,807) lebih dari 1,96
atau p-Value (0,000) kurang dari 0,05. Artinya jalur tersebut signifikan secara
statistik. Terdapat pengaruh yang signifikan dari kesehatan finansial pada kesehatan
fisik.
H6 diterima karena koefisien jalur 0,500 dengan t-Statistics (15,848) lebih dari 1,96
atau p-Value (0,000) kurang dari 0,05. Artinya jalur tersebut signifikan secara
statistik. Ada dampak yang signifikan dari kesehatan finansial terhadap kesehatan
mental.
12
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Tabel 5 Pengujian Hipotesis
Hipotesis
Path
Coefficient
t-
Statistics
p-
Values
Kesimpulan
H1:
Kesehatan Fisik Personal Resilience
0,001
0,029
0,976
Ditolak
H2:
Kesehatan Mental Personal Resilience
0,533
9,624
0,000
Diterima
H3:
Kesehatan Mental Kesehatan fisik
0,113
1,819
0,069
Ditolak
H4:
Kesehatan Finansial Personal Resilience
0,083
1,986
0,047
Diterima
H5:
Kesehatan FInansial Kesehatan Fisik
0,248
4,807
0,000
Diterima
H6:
Kesehatan Finansial Kesehatan Mental
0,500
15,848
0,000
Diterima
Personal resilience sebagai sumber daya penting bagi para edukator untuk
bertahan hidup semasa krisis Covid-19 secara aman diartikan sebagai kemampuan
memotivasi diri sendiri dan orang lain secara bersamaan dengan ketangguhan pribadi
untuk terus berjuang dalam ketidakpastian dan situasi yang tidak diinginkan. Semakin
tinggi skor personal resilience seorang edukator, maka semakin tinggi kemungkinan
mereka untuk bertahan dan berdampak lebih positif bagi para peserta didik atau
masyarakatnya. Ini akan meningkatkan ketahanan komunitas atau masyarakat.
Untuk meningkatkan personal resilience dari para edukator, kesehatan pribadi
memainkan peran penting. Ada banyak macam kesehatan pribadi. Mungkin saja
kesehatan fisik, kesehatan mental atau pun kesehatan keuangan. Setiap jenis kesehatan
mempengaruhi satu sama lain. Penelitian dan literatur sebelumnya menjelaskan bahwa
kesehatan finansial adalah hal yang fundamental. Penurunan kesehatan finansial akan
berdampak pada penurunan kesehatan mental dan akhirnya mempengaruhi kesehatan
fisik juga.
Namun penelitian empiris yang melibatkan 648 orang edukator di Indonesia ini
menemukan bahwa yang fundamental adalah kesehatan mental, bukan kesehatan
finansial. Padahal, kesehatan finansial dan kesehatan mental berdampak langsung pada
personal resilience. Tetapi kesehatan mental berdampak lebih tinggi daripada
kesehatan finansial terhadap personal resilience. Berdasarkan analisis dampak
langsung dan tidak langsung; pengaruh langsung kesehatan finansial sebesar 0,083 dan
pengaruh tidak langsung sebesar 0,267 dimana koefisien jalur dari kesehatan finansial
ke kesehatan mental sebesar 0,500 dan dari kesehatan mental terhadap personal
resilience sebesar 0,533. Kesehatan mental memainkan peran mediasi pada dampak
kesehatan finansial terhadap personal resilience. Itu sebabnya kesehatan mental
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap personal resilience.
Untuk meningkatkan personal resilience para edukator di Indonesia,
pemerintah harus menyediakan program yang dapat meningkatkan kesehatan mental.
Kesehatan mental berkaitan dengan kesimpulan subjektif tentang kondisi yang ada
dalam kehidupan (kesejahteraan dan kepuasan hidup), persepsi tentang kemampuan
pribadi untuk mengatasi situasi yang tidak diinginkan (self-efficacy), dan kemampuan
untuk menghilangkan tekanan eksternal secara efektif (mengatasi stres). Semakin tinggi
kesehatan mental, semakin tinggi personal resilience. Kesehatan mental juga dapat
dimanfaatkan dengan meningkatkan kesehatan finansial. Kesehatan finansial adalah
13
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
kombinasi dari kepuasan finansial, perilaku finansial, dan tujuan finansial. Para
edukator yang sehat secara finansial merasa puas dengan status keuangan,
menggunakan sumber daya keuangan secara sengaja untuk mengamankan tujuan
keuangan.
Di negara-negara Eropa, Untuk meningkatkan personal resilience, diperlukan
komitmen pemerintah untuk menyediakan program yang memanfaatkan kesadaran dan
kemampuan pendidik dalam memanfaatkan sumber daya keuangan untuk mencapai
status keuangan yang lebih baik di masa depan(Castelpietra, et al., 2020). Program yang
berdampak pada kesehatan mental dan finansial akan meningkatkan personal resilience
para edukator. Hal tersebut pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan ketahanan
masyarakat dalam menghadapi krisis Covid-19.
Untuk penelitian selanjutnya, artikel ini merekomendasikan peneliti untuk
menggunakan model penelitian first order atau melibatkan lebih dari 650 responden.
Untuk mengukur dan menguji model penelitian, peneliti dapat menggunakan skala lain
selain CD RISC (personal resilience), PHQ (kesehatan fisik), PMH Scale (kesehatan
mental), atau FHS (kesehatan finansial). Model penelitian dapat diperluas dengan
memasukkan faktor-faktor lain yang berdampak pada personal resilience, seperti
halnya aspek spiritualitas dan collaborative culture.
KESIMPULAN
Personal resilience dari para edukator di Indonesia merupakan pilar penting
untuk menopang ketahanan atau daya juang masyarakat selama dan pasca Covid-19.
Pemerintah dapat turun tangan untuk meningkatkan personal resilience dari para
edukator dengan menyediakan program yang berdampak pada pengembangan
kesehatan mental dan juga kesehatan finansial. Kesehatan fisik tidak begitu berdampak
terhadap personal resilience. Kesehatan finansial akan berdampak pada personal
resilience dengan lebih baik jika diselaraskan dengan peningkatan kesehatan mental
DAFTAR PUSTAKA
Aloba, O., Olabisi, O., & Aloba, T. (2016). The 10-item Connor-Davidson Resilience
Scale: Factorial structure, reliability, validity, and correlates among student
nurses in Southern Nigeria. Journal of The American Psychiatric Nurses
Associatin, 22(1), 43-51.
Arrogante, O., & Aparicio-Zaldivar, E. (2017). Burnout and health among critical care
professionals: The mediational role of resilience. Intensive and Critical Care
Nursing, 42, 110-115.
Baldwin, R., & di Mauro, B. W. (2020). Economics in the time of Covid-19. London:
Center for Economic Policy Research.
Bosua, R., Kurnia, S., & Moza, A. (2017). Telework impact on productivity and well-
being. In Social Inclusion adn Usability of ICT Services (p. 201).
Britt, S. L., Klontz, B. T., Tibbetts, R., & Leitz, L. (2015). The financial health of mental
health professionals. Journal of Financial Therapy.
14
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Cabeza de Baca, T., Burroughs Pena, M. S., Slopen, N., Williams, D., & Buring, J.
(2019). Financial strain and ideal cardiovascular health in middle-aged and older
woman.
Cao, W., Fang, Z., Hou, G., Han, M., Xu, X., Dong, J., & Zheng, J. (2020). The
psycological impact of Covid-19 epidemic on college student in Cina. Psychiatry
Research, 112934.
Card, J. A. (2017). Moving beyond the WHO definition of health: A new perspective
for an aging world and the emerging era of value-based care. WOrld Medical &
Health Policy, 9(1), 127-137.
Castelpietra, G., Nicotra, A., Pischiutta, L., Gutierrez-Colosta, M. R., Haro, J. M., &
Salvador-Carulla, L. (2020). The new Horizon Europe programe 2021-2028:
Should the gap between the burden of mental disorder and the funding of mental
health research be filled>. European Journal of Psychiatry, 34(1), 44-46.
Foster, K., Roche, M., Delgado, C., Giandinoto, J. A., & Furness, T. (2019). Resilience
and mental health nursing: An integrative review of international literature.
International Journal of Mental Health Nursing, 28(1), 71-85.
Fiksenbaum, L., Marjanovic, Z., Greenglass, E., & Garcia-Santos, F. (2017). Impact of
Economic Hardship and Financial Threat on Suicide Ideation and Confusion.
Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, 151(5), 477495.
https://doi.org/10.1080/00223980.2017.1335686
Gloria, C. T., & Steinhardt, M. A. (2016). Relationships among positive emotions,
coping, resilience and mental health. Stress and Health, 32(2), 145-156.
Hair, J. E., Hufit, G. M., Ringle, C. M., & Sarstedt, M. (2014). A primeron partial least
squares structural equation modeling (PLS SEM). London, New York, New
Delhi, Singapore, Washington DC: SAGE Publication, Inc.
Howard, R., Kirkley, C., & Baylis, N. (2019). Personal resilience in psychiatrists:
Systematic review. BJPsych Bulettin, 43(5), 209-215.
Iyswarya, P., & Rajaram, S. (2017). Impact of perfortmance management process on
print organizational performance: In India context. In C. C. Satapathy, V. Bhateja,
& A. Joshi, Proceedings of The International Conference on Data Engineering
and Computing Technology and Communicaiton Technology (pp. 661-671).
Springer.
Kale, H. P., & Caroll, N. V. (2016). Self-reported financial burden of cancer care and
its effect on physical and mental healh-related quality of lide among US cancer
survivor. Cander, 8, 283-289.
King, D. B., Cappeliez, P., Canham, S. L., & O'Rouke, N. (2019). Functions of
reminiscence in later life: Predicting change in the physical and mental health of
older adults over time. Aging and Mental Health, 23(2), 246-254.
Lin, M., Wolke, D., Schneider, S., & Margraf, J. (2020). Bullying history and mental
health in university student: The mediator roles of social support, personal
resilience, and self-efficacy. Frontiers in Psychiatry, 10, 960.
15
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Lukat, J., Margraf, J., Lutz, R., van der Veld, W. M., & Becker, E. S. (2016).
Psychometric properties of the positive mental scale (OMH-Scale). BMC
Psychology, 4(1).
Luo, D., Eicher, M., & White, K. (2020). Individual resilience in adult cancer care.
International Journal of Nursing Studies.
Mansfield, C., Papatraianou, L., & King, L. (2018). Building resilience in time of
uncertainty and complexity: Teacher educator perspective of pre-service teacher
resilience. In Teacher Educationin and for Uncertain Times (pp. 83-99).
Singapore: Springer.
Ng, W., Russell Kua, W. S., & Kang, S. H. (2019). The Relative Importance of
Personality, Financial Satisfaction, and Autonomy for Different Subjective Well-
Being Facets. Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, 153(7), 680
700. https://doi.org/10.1080/00223980.2019.1598928
Norman, K., & Otten, L. (2019). Financial impact ofsarcopenia or low muscle mass -
A short review.
Oh, Oh, H., Waldman, K., Stickley, A., DeVylder, J. E., & Koyanagi, A. (2019).
Psychotic experiences and physical health conditions in the United States.
Comprehensive Psychiatry, 90, 1-6.
Ohrmberger, J., FIchera, E., & Sutton, M. (2017). The relationshp between physical
and mental health: A mediation analysis. Social Science and Medicine, 195, 42-
49.
Osofsky, H. J., Weems, C. F., Graham, R. A., Osofsky, J. D., Hansel, T. C., & King, L.
S. (2019). Perseptions of resilience and physical health symptom improvement
following post disasater inegrated health services. DIsaster Medicine and Public
Health Preparedness, 13(2), 223-229.
Ower, C., Kemmler, G., Vill, T., Martini, C., Schmitt, A., Sperner-Unterweger , B., &
Hufner, K. (2019). The effect od physical activity in an alpine environment on
quality of life is mediated by resilience in patients with psychosomatic disorder
and healthy controls. Europian Archieves of Psychiatry and Clinical
Neuroscience, 269(5), 543-553.
Pede, E. (2020). Planning for resiliece New paths for managing uncertainty. Springer.
Peterson, I. (2019). Implementing mental health promotion in primary care. In M.
Barry, A. Clark, I. Petersen , & R. Jenkins, Implementing Mental Health
Promotion. Springer.
Probst, L. F., Pucca Junior, G. A., Pereira, A. C., & Carli, A. D. (2019). Impact of
financial crisis on oral health indicators: An integrative review of the literature.
Ciencia & Saude Coletiva, 24, 4437-4448.
16
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Rudito, P., & Sinaga , M. (2017). Digital mastery: Membangun kepemimpinan digital
untuk memenangkan era disrupsi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rybnicek,, R., Bergner, S., & Gutschelhofer, A. (2019). How individual needs
influence motivation effects: A neuroscientific study on McClelland's need
theory. Review of Managerial Sicience, 13(2), 443-482.
Schat, A. C., Kelloway, E. K., & Desmarais, S. (2005). The Physical Health
Questionnaire (PHQ): Construct, validity of a self-report scale of somatic
symptoms. Journal of Occupational Health Psychology, 10(4), 363.
Shipee, T. P., Wilkinson, L. R., Schafer, M. H., & Shippee, N. D. (2019). Long term
effects of age discrimination on mentel health: The role of perceived fiancial
strain. The Journal of Gerontology, 74(4), 664-674.
Sickel, A. E., Seacat, J. D., & Nabors, N. A. (2019). Mental health stigma: Impact on
mental health treatment attitudes and physical health. Journal of Health
Psychology, 24(5), 586-599.
Smith, M. M., Saklofske, D. H., Keefer, K. V., & Tremblay, P. F. (2016). Coping
strategies and psychological outcomes: The moderating effects of personal
resiliency. Journal of Psychology: Interdisciplinary and Applied, 150(3), 318
332. https://doi.org/10.1080/00223980.2015.1036828
Swanson, A., Geller, J., DeMartini, K., & Fehon, D. (2018). Active coping and
perceived social support mediatre the relationship between physical health and
resilience in liveer transplant candidates. Journal of Clinical Psychology in
Medical Settings, 25(4), 485-496.
Tamminen, N., Reinikainen, J., Appelqvist-Schmidlecht, K., Borodulin, K., Maki-
Opas, T., & Solin, P. (2020). Associations of physical activity with positive
mental health: A population-based study. Mental Health and Physical Activty,
18.
Taylor, M., Stevens, G., Agho, K., & Raphael B. (2017). The impacts of household
financial sress, resilience, social support and other adversities on the
psychological distressof Western Sydney parents. International Journal of
Population.
Weida, E. B., Phojanakong, P., Patel, F., & Chilton, M. (2020). Financial health as
measurable social determinant of health. PLoS One, 15(5).
Weissberger, G. H., Mosqueda, L., Nguyen, A. L., Samek, A., Boyle, P. A., Nguyen,
C. P., & Han, S. D. (2020). Physical and mental health correlates of perceived
financial exploitationin older adults: Preliminary findsings from the Finance,
Cognitioan and Health in Elders Study (FINCHES). Aging and Mental Health,
25(4), 740-746.
17
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Wilson, R. S., Yu, L., James, B. D., Bennett, D. A., & Boyle, P. A. (2017). Association
of financial and health literacy with cognitive health in old age.
Neuropsychology, Development, and Cognition, 24(2), 186-197.
Yu, F., Raphael, D., Mackay, L., Smith, M., & King, A. (2019). Personaland work
related factors associated with nurse resilience: A systematic review.
International Journal of Nursing Studies.
18
Sudah dipublikasikan pada jurnal
The Ary Suta Center Series on Strategic Management, Januari 2021, Volume 52, hal 153-178
Article
Full-text available
Pandemi virus Corona yang melanda telah banyak menyebabkan perubahan dinamika sosial pada masyarakat dunia. Perubahan yang ada pada masyarakat banyak mempengaruhi aspek kehidupan secara drastis. Kelangsungan hidup masyarakat harus terus berjalan agar tetap kondusif. Generasi muda merupakan salah satu garda terdepan yang perlu di edukasi agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan perubahan. Penggunaan media sosial atau platform berbasis online sangat dibutuhkan dalam mengedukasi terkait Covid-19 dan segala dampak juga penanggulangannya. Kaum milenial menjadi tujuan utama untuk di edukasi karena mereka adalah calon penggerak bangsa untuk hari esok.
Article
Masa pandemi karena adanya Covid-19 yang sedang melanda dunia, maka salah satu dampak dari adanya pandemi tersebut adalah dengan tidak melakukan kegiatan yang menimbulkan keramaian tanpa pengawasan aparat kesehatan. Di masa pandemi seperti ini seluruh kegiatan 90% dilaksanakan secara daring baik dari sisi pekerjaan dan sekolah. Namun tidak bagi warga yang bekerja sebagai pedagang, petani dan juga pekebun mereka cenderung melakukan kegiatan dengan melibatkan khalayak ramai. Namun hal itu tidak menyurutkan niat sukarelawan terkait hambatan-hambatan dalam memberikan edukasi kegiatan warga dalam mencari ekonomi selama pandemi, dengan harapan warga tetap menjaga kesehatan dengan mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah dengan menjaga jarak mencuci tangan dan menggunakan masker. Kegiatan yang dilaksanakan pada kegiatan ini yakni dengan tetap memberikan edukasi dan arahan kepada masyarakat mengenai pentingnya tetap menjaga jarak, cuci tangan dan menggunakan masker saat melibatkan atau terlibat dengan khalayak ramai selama pandemi.
Chapter
Full-text available
*** This is an updated version of the 2017 chapter in the same edited volume *** Partial least squares structural equation modeling (PLS-SEM) has become a popular method for estimating path models with latent variables and their relationships. A common goal of PLS-SEM analyses is to identify key success factors and sources of competitive advantage for important target constructs such as customer satisfaction, customer loyalty, behavioral intentions, and user behavior. Building on an introduction of the fundamentals of measurement and structural theory, this chapter explains how to specify and estimate path models using PLS-SEM. Complementing the introduction of the PLS-SEM method and the description of how to evaluate analysis results, the chapter also offers an overview of complementary analytical techniques. A PLS-SEM application of the widely recognized corporate reputation model illustrates the method.
Article
Full-text available
Objectives Financial health, understood as one’s ability to manage expenses, prepare for and recover from financial shocks, have minimal debt, and ability to build wealth, underlies all facets of daily living such as securing food and paying for housing, yet there is inconsistency in measurement and definition of this critical concept. Most social determinants research and interventions focus on siloed solutions (housing, food, utilities) rather than on a root solution such as financial health. In light of the paucity of public health research on financial health, particularly among low-income populations, this study seeks to: 1) introduce the construct of financial health into the domain of public health as a useful root term that underlies other individual measures of economic hardship and 2) demonstrate through outcomes on financial, physical and mental health among low-income caregivers of young children that the construct of financial health belongs in the canon of social determinants of health. Materials and methods In order to extract features of financial health relevant to overall well-being, principal components analysis were used to assess survey data on banking and personal finances among caregivers of young children who participate in public assistance. Then, a series of logistic regressions were utilized to examine the relationship between components of financial health, depression and self-rated health. Results Components aligned with other measures of financial health in the literature, and there were strong associations between financial health and health outcomes. Practice implications Financial health can be conceived of and measured as a key social determinant of health.
Article
Full-text available
Introduction The relationship between physical activity (PA) and positive mental health (PMH) has been studied mainly by either concentrating on total PA or focusing on leisure time PA. This study investigated whether total PA and PA domains of leisure time, commuting and occupational PA and screen time sitting at home were associated with PMH. Methods The study used a national population study, the FinHealth 2017 Study that included the Warwick-Edinburgh Mental Well-being Scale (WEMWBS) as a measurement for PMH. Of all (n = 10305, of whom 10247 were eligible) invited, 58.1% (5952) participated in health examination and were given a questionnaire including the WEMWBS. A total of 5337 (52.1% of the eligible sample, 89.7% of the health examination participants) returned the questionnaire. The WEMWBS scale was adequately completed by 5090 participants (55.6% women, mean age 55.5 years). Low, moderate and high level of PMH categories were formed. Leisure time, occupational and commuting PA domains were assessed separately and together as a total PA index. Also, screen time sitting at home was measured. Binary logistic regression models were utilized to estimate the odds ratios for having low PMH compared with moderate PMH and separately for having high PMH compared with moderate PMH. The models were estimated both with and without adjustment for potential confounders. Results Physical inactivity (total PA) was associated with lower levels of PMH. Some of the PA domains were strongly associated with low PMH; leisure time physical inactivity and long screen time sitting at home were strongly related to higher odds of low PMH. Commuting PA was associated with high PMH. Conclusions The study highlights the importance of PA with relation to PMH among adults. Especially, physical inactivity was strongly associated with low PMH. As low levels of PMH can potentially present a risk for mental ill-health, this study suggests it is important to increase PA among the least active population.
Article
Full-text available
Bullying victimization by peers is highly prevalent in childhood and adolescence. There is convincing evidence that victimization is associated with adverse mental health consequences. In contrast, it has been found that perpetrators suffer no adverse mental health consequences. These findings originate from Western countries such as Germany but have rarely been investigated in collectivistic societies such as China. Furthermore, it has been rarely studied whether positive intrapersonal characteristics (e.g., personal resilience and self-efficacy) and interpersonal positive resources (e.g., social support) may mediate the impact of bullying on mental health. The current study used a path analytic model to examine, firstly, whether previous bullying experiences (both victimization and perpetration) are associated with current positive and negative mental health in university students and, secondly, whether these influences are mediated by social support, resilience, and self-efficacy. The model was tested in 5,912 Chinese and 1,935 German university students. It was found that in both countries, higher victimization frequency was associated with lower levels of social support, personal resilience, and self-efficacy, which in turn predicted poorer mental health. Moreover, and only in China, perpetration was negatively associated with social support and personal resilience but not self-efficacy. In contrast, in the German sample, perpetration experience was found to enhance one's self-efficacy, and the later was associated with better mental health. The results support a mediation model in which social support, personal resilience, and self-efficacy partially mediate the influence of victimization on mental health in both countries. For the relationship between perpetration and mental health, self-efficacy was the only full mediator in Germany, whereas in China, both social support and personal resilience were partial mediators. In conclusion, peer victimization has adverse effects on mental health in both Germany and China. Only in China, however, is perpetration also associated with adverse mental health outcomes. In contrast, getting ahead by bullying in an individualistic society such as Germany is associated with increased self-efficacy and mental health. The differences found between an individualistic country and a collectivistic country have important implications for understanding and planning interventions to reduce bullying.
Article
Full-text available
The aim of this study was to analyze, by an integrative review of the literature, the possible impacts of financial crises on oral health indicators in different countries, as well as to verify the measures adopted in order to compare with the Brazilian reality. A search for articles that met these criteria was carried out in PUBMED, EMBASE, Lilacs, SCOPUS and also in the gray literature. At the end, nine studies were included. The results indicate that the population with higher vulnerability, lower income and lower educational level are the most affected, independently of the evaluated indicator (untreated dental caries, access to dental care services and hygiene habits). When protective measures with allocation of financial resources were taken, disparities decreased. It was concluded that, faced with economic crises, oral health is no longer a priority, which impacts access to care for the less favored social strata.
Article
Given the high burden of mental health disorders, we aimed to assess the extent of funding in Europe addressed to mental health. We observed that the last call of Horizon 2020 addressed only 2.3% of the calls to mental health. Although a greater investment in mental health research and a more equal distribution of funding across European countries has been claimed by European Commission, the actual funding indicates the opposite. Therefore, a better focus on chronic conditions beyond cancer or infectious diseases, including mental health, should be incorporated to the missions of the Horizon Europe programme.
Article
Background: Cancer diagnosis and treatments may present severe adversity and challenge an individual adaptation ability. Individual resilience might be an important factor influencing the response to adversity in adult cancer patients. To date, the concept of individual resilience in adults with cancer has not been analysed in detail. Objective: To conceptualise resilience in adult cancer care. Design: A concept analysis. Data sources: Studies published between 2008 and 2019 were searched in MEDLINE, CINAHL, PsycINFO, Embase, Web of Knowledge and Scopus databases. Additional records were identified by manually searching reference lists of relevant studies. Quantitative and qualitative studies that investigated resilience in adult cancer care were included. Methods: Walker and Avant's method of concept analysis was employed. The key elements for conceptualising resilience in adult cancer care (including defining attributes, antecedents and consequences of resilience) were identified from included articles. Results: 53 included articles provided data for resilience conceptualisation. Analysis identified three defining attributes: (1) ego resiliency; (2) recalibration; and (3) interaction with the environment. Antecedents of resilience were cancer-related adversity, and consequences of resilience which were divided into two categories: (1) psychological distress level; and (2) individual functioning performance (physical, psychological and social functioning). Conclusions: Our conceptualisation of individual resilience based on the defining attributes, antecedents and consequences resulted in a preliminary conceptual model. This model can be further tested and may inform the development of cancer-specific resilience measures and interventions for adults with cancer focusing on individual resilience.
Article
Financial strain is a prevalent form of psychosocial stress in the United States; however, information about the relationship between financial strain and cardiovascular health remains sparse, particularly in older women. Methods: The cross-sectional association between financial strain and ideal cardiovascular health were examined in the Women's Health Study follow-up cohort (N = 22,048; mean age = 72± 6.0 years).Six self-reported measures of financial strain were summed together to create a financial strain index and categorized into 4 groups: No financial strain, 1 stressor, 2 stressors, and 3+ stressors. Ideal cardiovascular health was based on the American Heart Association strategic 2020 goals metric, including tobacco use, body mass index, physical activity, diet, blood pressure, total cholesterol and diabetes mellitus. Cardiovascular health was examined as continuous and a categorical outcome (ideal, intermediate, and poor). Statistical analyses adjusted for age, race/ethnicity, education and income. Results: At least one indicator of financial strain was reported by 16% of participants. Number of financial stressors was associated with lower ideal cardiovascular health, and this association persisted after adjustment for potential confounders (1 financial stressor (FS): B = -0.10, 95% Confidence Intervals (CI) = -0.13, -0.07; 2 FS: B = -0.20, 95% CI = -0.26, -0.15; 3+ FS: B = -0.44, 95% CI = -0.50, -0.38). Conclusion: Financial strain was associated with lower ideal cardiovascular health in middle aged and older female health professional women. The results of this study have implications for the potential cardiovascular health benefit of financial protections for older individuals.
Article
Objectives: This study examines the role of work-related perceived age discrimination on women's mental health over the life course and tests whether financial strain mediates this relationship. Methods: Using the National Longitudinal Survey of Mature Women (1967-2003), we employ nested growth curve models to evaluate whether perceived age discrimination at work influences women's depressive symptoms and life satisfaction and whether perceived financial strain mediates this relationship. Results: Women who experienced age discrimination had greater overall depressive symptoms but not after controlling for financial strain. We found evidence that age discrimination affected financial strain, which, in turn, increased women's depressive symptoms. Women who reported age discrimination had lower odds of being in higher categories of overall life satisfaction; financial strain partially mediated the relationship but age discrimination remained a significant predictor. Discussion: Despite legal protection, age discrimination at work is frequent and has significant effects on women's mental health over the life course. Financial strain partially mediates this relationship, pointing to financial implications of perceived age discrimination for women and their families. Our findings have important policy and workplace implications, calling attention to ageism as a potent stressor for working women's mental health beyond those tied to sex or race.
Article
Using a nationally representative sample (N = 507) from Singapore, this study examined whether personality, financial satisfaction, and autonomy were important to subjective well-being (SWB), and how the importance of these predictors varied across different SWB facets—life satisfaction, happiness, positive feelings, and negative feelings. The findings indicated that neuroticism, financial satisfaction, and autonomy, were important predictors of happiness. Personality was most important for affective well-being (i.e., positive and negative feelings), whereas financial satisfaction was most important for life satisfaction. Specifically, neuroticism accounted for substantial variance in positive and negative feelings, and was the strongest correlate among the Big Five traits. In contrast, financial satisfaction explained most of the variance in life satisfaction. This highlights that the importance of well-being predictors depended on the facet of well-being examined. The findings suggest that residents in an affluent nation like Singapore do not emphasize only postmaterialist values (e.g., autonomy) and disregard materialist concerns (e.g., financial satisfaction). Though certain SWB facets (positive and negative affect) are largely influenced by dispositional factors, other facets (life satisfaction and happiness) are closely related to factors (e.g., financial satisfaction, autonomy) that may be affected by social policies. Policymakers can thus target those aspects to enhance people’s SWB.