Conference PaperPDF Available

Antara Kuasa Negara dan Warisan Jalur Rempah: Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan Pada Dekade 1930-an

Authors:
  • Balai Pelestarian Kebudayaan

Abstract

Depresi ekonomi global 1930-an telah membawa perubahan mendasar dalam aktivitas perdagangan beras di Hindia Belanda. Selain kemerosotan harga beras internasional, masa krisis juga ditandai dengan langkah maju negara dalam praktek perniagaan beras di Hindia Belanda, sebagaimana tercermin dari berbagai regulasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial sejak 1933. Campur tangan negara terutama ditujukan untuk daerah-daerah surplus beras saat itu, termasuk Sulawesi Selatan. Tulisan ini mendiskusikan perdagangan beras di Sulawesi Selatan selama dekade 1930-an. Dengan menggunakan metode sejarah, studi ini memanfaatkan sumber-sumber, seperti arsip, jurnal, surat kabar dan majalah. Temuan studi menunjukkan bahwa perdagangan beras di Sulawesi Selatan justru mengalami perkembangan yang signifikan seiring kehadiran kontrol negara di 1933. Kondisi itu bukan hanya terlihat dalam sistem perdagangan beras, namun juga dalam jumlah ekspor beras yang sekaligus menjelaskan arti penting Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan Hindia Belanda ketika itu. Jaringan perniagaan beras mencakup Manado, Maluku, Kalimantan, Timor dan Jawa. Namun demikian, penetapan Maluku sebagai daerah tujuan ekspor beras oleh pemerintah kolonial di 1933, sesungguhnya mengingatkan kembali aktivitas niaga dari pelaut dan pedagang Sulawesi Selatan menuju pulau rempah-rempah di era kejayaan Makassar (Abad ke-17). Dengan kata lain, di samping kuasa negara, jaringan perniagaan beras juga merupakan bentuk warisan jalur rempah.
iICONIC 2020 | Prosiding
International Conference
on Indonesia Culture
Connectivity and Sustainability :
Fostering Cultural Commons in Indonesia
Prosiding
ISSN 2747-1801
ii ICONIC 2020 | Prosiding
KATA PENGANTAR
International Conference On Indonesia Culture (ICONIC) merupakan platform gotong royong
lintas disiplin melibatkan para peneliti di dalam dan luar negeri yang dirancang untuk memperkaya
kajian budaya Indonesia. Tujuannya adalah penyebarluasan hasil riset ke masyarakat dan pemangku
kepentingan, sehingga dapat mendorong pelestarian budaya di tingkat masyarakat.
ICONIC 2020 mengusung tema Connectivity and Sustainability: Fostering Cultural Commons
in Indonesia. Tema ini kemudian diturunkan ke dalam delapan sub tema yang bertujuan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan budaya di Indonesia, antara lain: Digital Society and Culture,
Politics of Ecology; Jalur Rempah and the Trajectory of Memories; Arts and Activism; Creative
Economy and Intellectual Property; Translocation, Transformation, and Transmission of Tradition;
Urban Rural Dynamics; dan Diversity of Culture.
Konferensi ini diikuti oleh akademisi, praktisi, dan peneliti dari berbagai bidang ilmu dari seluruh
Indonesia dan luar negeri, yang membahas berbagai bidang kajian dalam bidang kebudayaan
Indonesia. Makalah dari Plenary Speakers dan Panel Presenter yang telah dipresentasikan dalam
konferensi ICONIC 2020 terangkum dalam prosiding ini. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kebudayaan di Indonesia.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia yang telah mendukung penuh agar konferensi ini dapat terlaksana dengan baik
dan kepada seluruh Plenary Speakers, Panel Presenters, Asosiasi Profesi, serta para peserta yang
telah berpartisipasi dalam konferensi ini.
Jakarta, Desember 2020
Redaksi ICONIC
iiiICONIC 2020 | Prosiding
DEWAN REDAKSI
Pengarah Hilmar Farid
Adrianus Laurens Gerung Waworuntu
Melani Budianta
Manneke Budiman
Judi Wahjudin
Penanggung Jawab Wawan Yogaswara
Editor Shuri Mariasih Gietty Tambunan
Tim Penyusun St. Prabawa Dwi Putranto
Zakiyah Egar Imani
Hana Nabilah
Perwajahan Agung
Cetakan Pertama 2020
ISSN 2747-1802
Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Sanksi Pelanggaran Pasal 72:
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat
(1) dan ayat (2) dipidana dengan penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv ICONIC 2020 | Prosiding
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...................................................................................................................................................... ii
Dewan Redaksi ..................................................................................................................................................... iii
Daftar Isi ............................................................................................................................................................... iv
PLENARY SPEAKERS
Menyoal Konstruksi Sosial Tentang Alam dalam Logika Kapitalism sebagai
Akar Penyebab Krisis Ekologi di Indonesia: Apakah ada peluang untuk perubahan?
Suraya A Aff ....................................................................................................................................................... 2
Art as Interdisciplinary Intervention, or Can Artists, Activists, Academics Collaborate?
Ari J. Adipurwawidjana ........................................................................................................................................ 15
Antara Kota dan Desa
Abidin Kusno ........................................................................................................................................................ 22
North Sumatra as a Melting Pot of Cultural Diversity (Mid-Ninth – Fourteenth Centuries CE)
Daniel Perret ......................................................................................................................................................... 31
Hak Kekayaan Intelektual : Ekspresi Budaya Tradisional dan Karya Seni
Dr. Inda Citraninda Noerhadi ............................................................................................................................... 43
PANEL PRESENTER
Identitas Budaya Orang Enggano di Pulau Enggano: Kompromi Budaya Lokal dan Pendatang
Rois Leonard Arios ............................................................................................................................................... 53
Parents’ Challenges in Distance Learning during the COVID-19 Pandemic in Senganten Village
Luly Prastuty ......................................................................................................................................................... 64
Antara Kuasa Negara dan Warisan Jalur Rempah: Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan Pada
Dekade 1930-an
Syafaat Rahman Musyaqqat ................................................................................................................................. 74
Industri Teh Poci : Pelestarian Olahan Teh Dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Slawi
Tahun 1998-2004
Arfan Habibi ......................................................................................................................................................... 84
Di Balik Lensa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Archangela Yudi Aprianingrum ............................................................................................................................ 93
Penguatan Pengetahuan Lokal Masyarakat dalam Kebencanaan Melalui Pengarsipan Digital
Ainar Tri Asita, S.Sos ........................................................................................................................................... 105
Kemas Ulang Informasi Cerita Gareng Petruk Menjadi Gim Permainan Peran
Dr. Ike Iswary Lawanda, M.Si. ............................................................................................................................. 120
Transformation The Meaning of Nyadran Tradition for Contemporary Society
Bariq Maulana ...................................................................................................................................................... 129
ISSN 2747-1801
vICONIC 2020 | Prosiding
Rempah-rempah: Jaringan Perdagangan Sriwijaya Abad VII-XIII dan Dinamika Masyarakat
Palembang Awal Abad XXI
Helen Susanti ........................................................................................................................................................ 134
Aktor Jaringan Artis Hijrah: Politik Utopia dalam Masyarakat Digital
Iman Zanatul Haeri, Dzul Fahmi B.Sc, Kenang Kelana ....................................................................................... 143
Pandangan Milenial terhadap Pakaian Adat dan Patung serta Keris di Jawa Bali
Owen Monandar..................................................................................................................................................... 157
Pengalaman dan Praktik Pengobatan Alternatif Masyarakat Bugis Bone dalam Menghadapi
Penyakit Cacar Air (Kasiwiyang Uwae)
Rismawidiawati, Muh. Subair .............................................................................................................................. 165
“Achieving Dream, Actualizing Oneself Beyond Autism”: Articulating Autism through Autobiography
Ireisha Anindya ..................................................................................................................................................... 178
Consuming Local Culture: How Youth Articulate Ancient Manuscript Tradition in Banyuwangi
Lilis Shoyanti ...................................................................................................................................................... 187
Representasi Identitas Budaya Minahasa Pada Kerajinan Tangan Berbahan Dasar
Batok Kelapa Hasil Karya UKA Craft Tondano
Nardiansyah Kamumu,S.Pd.,Gr.M.Pd. ................................................................................................................. 195
Tinjauan Fisis Perahu Madura
Athi’ Nur Auliati Rahmah ..................................................................................................................................... 204
Warisan Pendidikan dan Budaya Nusantara: Catatan Yì Jìng Abad ke-7 Masehi
So Tju Shinta Lee ................................................................................................................................................. 209
The Four Attributes of Kampung as Living Heritage
Lya Dewi Anggraini ........................................................................................................................................... .. 217
Menyiapkan Tenaga Kependidikan yang Adaptif Budaya Melalui Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK)
It Novita Sari, Hayat, Ari Ambarwati, Didin Hadi Saputra ................................................................................ 229
Relevansi dan Urgensi Pelestarian Warisan Budaya di tengah Krisis Lingkungan
Dwirahmi Suryandari ............................................................................................................................................ 237
Akulturasi Budaya Islam-Hindu dalam Seni Burdah (Studi Kasus Sekehe Burdah di Desa Pegayaman-Bali)
Nyoman Nidia Sari Hayati .................................................................................................................................... 246
Pelanggengan Standar Kecantikan dalam Tren Kampanye Body Positivity di Media Sosial TikTok
Selly Astari Octaviani, Khairil Anwar, Diana Sanda Asran ............................................................................... 255
Budaya Bencana di Pulau Sebesi: Sebuah Tinjauan Sejarah
Devi Riskianingrum .............................................................................................................................................. 269
Dari Petjoek hingga Gado-gado : Eksistensi Bahasa Campuran dari Waktu ke Waktu
Dewik Untarawati ................................................................................................................................................. 286
Eksplorasi Kejeniusan Gerakan Tubuh Wanita Aceh dan Ekspresi Nilai Keindahan
Tari Ranup Lampuan dalam Budaya Peumulia Jamee
Chaerol Riezal ...................................................................................................................................................... 297
Tinjauan Ekofeminisme dalam Tutur Tradisi Lisan Bissu di Sulawsi Selatan
Feby Triadi, Susia Kartika Imanuella, M. Awaluddin. A ...................................................................................... 307
vi ICONIC 2020 | Prosiding
Transforming Digital Society In Forming Trust and Intimate Relationship
Ichmi Yani Arinda Rohmah, S.Pd., M.Sosio, Dr. Andi Achdian, M.Si ................................................................. 316
Strategi Transmisi Kearifan Lokal melalui Tradisi Tutur (Studi Kasus Gerakan #KawanDongengDaring)
Khaolil Mudlaafar, Istighotsatul Khoiriyah, Yukrimah Nur Rohhim .................................................................... 323
Ritual Adat Ulur-Ulur: Its Transformation and Survival
Luqman Hakim ...................................................................................................................................................... 337
Memetakan Seni dan Budaya adalah Kunci Kebertahanan Identitas Indonesia dimata Dunia
Armansyah Maulana Harahap ............................................................................................................................... 350
Upacara Garebeg Keraton Yogyakarta di Masa Pandemi Covid-19
Pandji Saputra, S.Pd .............................................................................................................................................. 356
Art as Interdisciplinary Intervention, or Can Artists, Activists, Academics Collaborate?
Ari J. Adipurwawidjana ......................................................................................................................................... 370
Budaya Material yang Berkembang dan Mempengaruhi Industri Perabot di Indonesia
Andrea Natasha, Aditya Yuliantina Dewi, Alam Dava Arakananta, Aldi Adrian Yusyahrisal, Alvin Leonard Bumulo,
Andien Lufh Islah Maulinda Rabini Achmad, Annisa Fredlina Yudhistira, Ariella Alandra Lomantojo,
Ayyas Naufal, Cintya Aprilia Dewi ....................................................................................................................... 377
Tradisi Keboan Aliyan di Dusun Sukodono : Dari Ritual ke Festival
Linda Astri Dwi Wulandari .................................................................................................................................... 399
Jejak Jalur Rempah dalam Penamaan Nama Tempat di Kawasan Banten Lama:
Tinjauan Sejarah dan Toponimi
Tubagus Umar Syarif Hadi Wibowo, M.Pd ........................................................................................................... 408
Ngindung Ka Waktu, Ngawula Ka Zaman. Bagaimana Orang Sunda Modern Menafsir Zaman dan
Relevansinya Atas Kehidupan Melalui Kalender Caka-Sunda
Mardiansyah Nugraha, S.Pd, M.A, Dr. Gunawan Undang, M.Si ........................................................................... 418
Musik dan Budaya Kosmopolitan: Merapal Pergerakan Skena Indie di Indonesia Tahun 2000-2008
Ilham Nur Utomo .................................................................................................................................................... 427
Representation of Nationalism in Love and Future Goal: A Semiotic Analysis of John Fiske in the
Film of Habibie & Ainun 3
Ardiansyah Bagus Suryanto .................................................................................................................................... 435
Setigi dan Wagos: Dinamika Alam dan Sosial Gresik Utara dalam Perspektif Ekofenomenologi
Lailatus Sholihah, Levi Nur Cahyani ...................................................................................................................... 441
Jalur Rempah dan Model Difusi Pengetahuan
Irawan Santoso Suryo Basuki .................................................................................................................................. 452
Transmission of Traditional Medicine Knowledge in Sebesi Island Community, South Lampung
Vera Budi Lestari Sihotang ...................................................................................................................................... 460
Paheman Radya Pustaka : Suatu Cerminan Pemajuan Kebudayaan ?
Efel Indhurian .......................................................................................................................................................... 471
Nasi Grombyang: Makanan Khas Pemalang dalam Rekam Zaman
Neilia Kamal, Ilham Nur Utomo ............................................................................................................................. 481
Diversity in Aceh: The implementation of the local wisdom tradition by the term of
‘Keurija Udép and Keurija Matèë’ in Latong Village, Nagan Raya
Sara Mustaqilla ...................................................................................................................................................... 489
viiICONIC 2020 | Prosiding
Tinjauan ‘Sistem Manajemen Data Historiogra Indonesia’ dalam Dinamika Global
Wildan Haffata Yahtu Zahra, S.Hum., Laras Setyaningsih, S.Hum. ..................................................................... 501
The Role of the Majalah Penyuluh Graka-Pusat Graka Indonesia in the Development of Graphic
Knowledge towards the Progress of the Creative Industry - Printing and Publishing Industry 1970-1990
Dayu Sri Herti .......................................................................................................................................................... 510
Transmisi Pikukuh Adat Pada “Teke” Di Suku Baduy
Nina Maftukha, S.Pd, M.Sn ..................................................................................................................................... 535
Pengaruh Keberadaan Keris dalam Kehidupan Masyarakat Jawa
Quisha Parasanti, Shiela Sutanto, Ria Risanti Adiputri, Sony Idris, Reynata Ayrin, Vincent Albert Wijaya,
Rosalyn Hariyanto, Vincent Peter, Sharen Sanjaya, Yvonne Averina ...................................................................... 555
Transmisi Kelisanan dan Strategi Sanggar Asmorobangun Menjaga Wayang Topeng Malangan
Debbi Candra Dianto ................................................................................................................................................ 570
Nusa Ambon Silang Bahasa: Kajian Sejarah Budaya
Daya Negri Wijaya, Deny Yudo Wahyudi, Siti Zainatul Umaroh ............................................................................ 580
Lokalitas Jawa dalam Teks Indo-Belanda Je-Lâh-Je-Kripoet
Namira Choirani Fajri ............................................................................................................................................... 588
Dalihan Na Tolu Pada Ritus Mate Sari Matua Di Kabupaten Samosir; (Studi Kasus Tata Kelola Acara)
Rio Fernandez Tamba................................................................................................................................................. 597
Translocation, Transformation, Transmission Of Tradition :
Penerapan Konsep Arsitektur Rumah Panggung Dari Daerah Sumatera Pada Bangunan Modern
Claribelle Widjaja, Deanna Amadea, Deddy Tansen, Elizabeth Kristiawan, Elvira, Eunike Debby Santoso,
Fico Thaniel Hartono, Florence Elysia S, Gabrielle Phoebe, Gilbert Louis Guntur ................................................ 602
Masker Kain Batik Tradisional: Strategi Budaya dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Nafa Arinda .............................................................................................................................................................. 612
Catatan Awal Para Pedagang Inggris di Banten Pada Tahun 1602 hingga 1619
Gregorius Andika Ariwibowo .................................................................................................................................. 619
Percandian Di Tepian Sungai Musi (Jejak-Jejak Permukiman Lama di Situs Binginjungut)
Sondang M. Siregar .................................................................................................................................................. 631
Tumpeng Sewu Culinary Festival in the Traditional Ritual of Bersih Desa Kemiren Village as
a Tourism Object
Cintiya Aulia F, Agus Danugroho ............................................................................................................................. 641
Selebgram Pelaku Nikah Muda: Agensi dan Konstruksi Identitas Perempuan Muslimah di Media Digital
Khanifah .................................................................................................................................................................... 650
The Spice Route Opportunities for Indonesian Tourism
Achmad Sunjayadi .................................................................................................................................................... 662
Jaarmarkt Sebagai Strategi Pemertahanan Kebudayaan Masyarakat Urban Kota Surabaya
Sriati, Nur Azizah, Muhammad Fuad Izzatulkri ..................................................................................................... 671
Pendidikan Responsif Budaya Berbasis Objek Pemajuan Kebudayaan Daerah
Ari Ambarwati, It Novitasari, Azizatuz Zahro ........................................................................................................ 676
Fenomena Hate Speech di Media Sosial: Suatu Kajian Preventif Melalui Internalisasi
Nilai Kebudayaan Lokal Bugis-Indonesia
Vicko Taniady ............................................................................................................................................................ 690
74 ICONIC 2020 | Prosiding
Antara Kuasa Negara dan Warisan Jalur Rempah:
Perdagangan Beras di Sulawesi Selatan Pada Dekade 1930-an
Syafaat Rahman Musyaqqat
Departemen Ilmu Sejarah, FIB Universitas Indonesia
syafaatrahman04@gmail.com
Depresi ekonomi global 1930-an telah membawa perubahan mendasar dalam aktivitas perdagangan
beras di Hindia Belanda. Selain kemerosotan harga beras internasional, masa krisis juga ditandai
dengan langkah maju negara dalam praktek perniagaan beras di Hindia Belanda, sebagaimana
tercermin dari berbagai regulasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial sejak 1933. Campur
tangan negara terutama ditujukan untuk daerah-daerah surplus beras saat itu, termasuk Sulawesi
Selatan. Tulisan ini mendiskusikan perdagangan beras di Sulawesi Selatan selama dekade 1930-an.
Dengan menggunakan metode sejarah, studi ini memanfaatkan sumber-sumber, seperti arsip, jurnal,
surat kabar dan majalah. Temuan studi menunjukkan bahwa perdagangan beras di Sulawesi Selatan
justru mengalami perkembangan yang signikan seiring kehadiran kontrol negara di 1933. Kondisi
itu bukan hanya terlihat dalam sistem perdagangan beras, namun juga dalam jumlah ekspor beras
yang sekaligus menjelaskan arti penting Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan Hindia Belanda
ketika itu. Jaringan perniagaan beras mencakup Manado, Maluku, Kalimantan, Timor dan Jawa.
Namun demikian, penetapan Maluku sebagai daerah tujuan ekspor beras oleh pemerintah kolonial
di 1933, sesungguhnya mengingatkan kembali aktivitas niaga dari pelaut dan pedagang Sulawesi
Selatan menuju pulau rempah-rempah di era kejayaan Makassar (Abad ke-17). Dengan kata lain, di
samping kuasa negara, jaringan perniagaan beras juga merupakan bentuk warisan jalur rempah.
Keywords: negara, Sulawesi Selatan, perdagangan beras, jalur rempah
PENDAHULUAN
Pada 29 Juli 2019, dalam satu pertemuan, Nurdin Abdullah, selaku Gubernur Sulawesi Selatan,
memaparkan konsep pengembangan pembangunan provinsi. Salah satu di antara gagasannya saat itu
ialah hendak memfokuskan Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan nasional. Tahun lalu, provinsi
ini tercatat telah mengekspor beras ke 27 provinsi di Indonesia (Nasruddin, 2019). Sementara itu,
pada 23 Oktober 2019 Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, diwartakan menunjuk secara resmi
Syahrul Yasin Limpo sebagai Menteri Pertanian dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024
(Ihsanuddin, 2019). Terlepas dari kepentingan politik, penunjukan ini sekaligus membuat nahkoda
pertanian di Indonesia untuk kedua kalinya secara berturut-turut ditangani oleh putera daerah asal
Sulawesi Selatan, yang sebelumnya dijabat oleh Amran Sulaiman (2014-2019).
Dua berita diatas paling tidak menjadi indikasi yang menguatkan kaitan antara Sulawesi Selatan dan
lumbung pangan di Indonesia saat ini. Kondisi geogras dan potensi pertanian merupakan pondasi
utama bagi daerah tersebut. Perbedaan musim hujan antara pesisir barat dan timur membuat sawah-
sawah di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi ini dapat ditanami secara bergantian sepanjang
tahun. Akan tetapi, di balik potensi pertanian yang menguntungkan tersebut, ada satu pendapat umum
yang beranggapan bahwa kedudukan Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan sering dikaitkan
dengan upaya revolusi hijau yang digalakkan selama pemerintahan Orde Baru. Puncaknya, ketika
Indonesia mencapai status swasembada beras pada 1984 yang berhasil dipertahankan hingga akhir
1980-an, dimana Sulawesi Selatan menjadi daerah penghasil beras terbanyak di daerah luar Jawa saat
itu (Mulya, 2017). Secara historis, tren Sulawesi Selatan sebagai penyuplai pangan sesungguhnya
sudah tampak sejak era kolonial.
Depresi ekonomi global 1930-an menjadi “batu loncatan” bagi peran daerah tersebut. Situasi ini
bermula ketika pemerintah kolonial memutuskan untuk terlibat jauh dalam praktek perniagaan
beras sebagai upaya melindungi pasar lokal dari pengaruh krisis ekonomi. Perhatian negara dalam
75ICONIC 2020 | Prosiding
perdagangan beras utamanya difokuskan untuk daerah-daerah surplus beras di Hindia Belanda,
termasuk Sulawesi Selatan saat itu.
Studi ini mendiskusikan perdagangan beras di Sulawesi Selatan pada 1930-an. Secara luas, topik ini
penting dieksplorasi untuk melihat bagaimana negara menghadapi persoalan pangan di masa krisis
dari perspektif Sulawesi Selatan. Selain itu, kajian ini juga hendak menunjukkan posisi beras sebagai
komoditas dagang yang tidak kalah penting dari komoditas kopra saat itu, sebagaimana umum
ditekankan dalam historiogra Sulawesi Selatan sejauh ini.
Kajian mengenai perniagaan beras di masa kolonial memang telah banyak dilakukan oleh para
sarjana. Beberapa diantaranya ialah Sidik Moeljono (1971), Mansvelt (1978) dan van der Eng
(1996). Kendati begitu, berbagai kajian tersebut masih berfokus pada Hindia Belanda secara umum.
Dengan mendudukkan Daerah Luar Jawa (the Outer Islands) sebagai unit analisis studinya, Touwen
(2001) berpendapat bahwa sejak 1910-an hingga 1930-an Sulawesi membentuk jantung perdagangan
beras di bagian timur kepulauan Nusantara. Sementara itu, dalam konteks Sulawesi Selatan, karya
Nur Nahdia, Bambang Purwanto dan Djoko Suryo (2016) perlu disebut disini. Studinya mengulas
perdagangan di Sulawesi Selatan pada 1900-an sampai dengan 1930-an, termasuk perdagangan beras.
Kendati demikian, studi tersebut kurang menekankan korelasi antara kontrol negara dengan sistem
perdagangan, jumlah ekspor dan jaringan perniagaan beras di Sulawesi Selatan selama dekade 1930-
an, sebagaimana fokus dari makalah ini.
Studi ini berasumsi bahwa perdagangan beras di Sulawesi Selatan pada dekade 1930-an sangat
berkaitan dengan kontrol negara, termasuk perubahan yang menyertainya. Yang menarik ialah jaringan
perniagaan beras menyiratkan adanya bentuk warisan jalur rempah. Untuk membuktikan asumsi
itu, kajian ini menerapkan metode sejarah yang terdiri dari beberapa tahap, antara lain heuristik,
kritik, interpretasi dan historiogra. Sumber-sumber yang digunakan berupa arsip, jurnal, surat kabar
dan majalah. Berbagai sumber ini diperoleh dari Arsip Nasional RI dan Perpustakaan Nasional RI.
Makalah ini dimulai dengan pembahasan daerah produksi. Berikutnya ialah campur tangan negara di
masa krisis serta jaringan perniagaan beras selama dekade 1930-an.
DAERAH PRODUKSI
Terletak di semenanjung barat daya Pulau Sulawesi, Sulawesi Selatan diapit oleh perairan Selat
Makassar di sebelah barat dan Teluk Bone di sebelah Timur. Letaknya yang persis di tengah-tengah
kepulauan menjadikan daerah ini cukup strategis dan sudah sejak lama terlibat dalam sejarah
pelayaran dan perdagangan di Nusantara. Sebagaimana diketahui, jazirah ini dihuni oleh empat suku,
antara lain suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Secara historis, sekalipun pemerintah kolonial
telah berupaya menerapkan administrasi pemerintahan Hindia Belanda sejak 1824, namun kontrol
pemerintah di daerah ini masih sangat terbatas dan cenderung memusatkan perhatiannya di Makassar.
Oleh sebab itu, berbeda dengan Jawa, penguasaan politik atas Sulawesi Selatan secara menyeluruh
baru terwujud seiring politik pasikasi yang diikuti ekspedisi militer sejak Juni 1905. Berakhirnya
upaya itu ditandai penandatanganan korte verklaring oleh penguasa-penguasa bumiputera sebagai
bentuk pengakuan kekuasaan pemerintah kolonial dan mulai mapannya kekuasaan Belanda hingga
daerah-daerah pedalaman pada 1910 (Harvey, 1990).
Secara administratif, pada 1906, pemerintah kolonial menata Sulawesi bagian selatan dan tenggara ke
dalam satu wilayah pemerintahan, yang dikenal dengan Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden.
Dengan pimpinan tertinggi yang dijabat oleh gubernur, penataan ini membentuk tujuh bagian
pemerintahan (afdeeling) yang masing-masing dipimpin oleh seorang asisten residen. Ketujuh
afdeeling tersebut, antara lain Makassar, Bantaeng, Bone, Parepare, Luwu, Mandar dan Buton dan
Pesisir Timur Sulawesi. Pada 1938, penataan ulang pemerintahan Hindia Belanda di daerah luar Jawa
tidak hanya membawa Sulawesi Selatan ke dalam Pemerintahan Timur Besar (Groote Oost), tetapi
juga mengubah penamaan daerah tersebut menjadi Residentie Celebes en Onderhoorigheden yang
dipimpin oleh Residen (Poelinggomang, 2004; Poelinggomang et al., 2005).
76 ICONIC 2020 | Prosiding
Faktor geogras merupakan pondasi utama pertanian di Sulawesi Selatan. Di samping tanah yang
sebagian besar relatif subur, daratan daerah ini dibelah oleh jejeran pegunungan yang membentang
dari utara ke selatan, dengan sedikit cekungan di tengah. Gugusan itu seakan-akan membagi jazirah
menjadi dua bagian; daerah pesisir barat dan daerah pesisir timur. Selain berdampak terhadap curah
hujan, keadaan demikian turut mempengaruhi masa panen padi. Jika daerah pesisir timur biasanya
memasuki masa panen pada Juni dan Juli, daerah pesisir barat berlangsung pada Oktober dan
November (Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Juli 1934). Oleh sebab itu, penanaman padi dapat terjadi
secara bergantian sepanjang tahun dan saling menutupi kekurangan antara satu daerah dan daerah
lainnya (Pelras, 2006).
Di samping karakter tersebut, jazirah Sulawesi Selatan masih didukung oleh keberadaan dua danau
(Tempe dan Sidenreng) yang berada di bagian tengah dan beberapa sungai besar dan kecil, yang
alirannya berpotensi menjadi sumber pengairan sawah. Beberapa sungai yang menjadi sumber
pengairan penting di era kolonial antara lain Sungai Saddang, Sungai Bila, Sungai Walanae, Sungai
Cenrana dan Sungai Jeneberang. Kondisi ini tidak hanya mendukung aktivitas penanaman padi,
tetapi juga mempengaruhi keragaman produksi pertanian, baik bahan pangan maupun bukan pangan.
Danau Tempe, misalnya, yang saat musim kemarau mengalami penyusutan sehingga menyediakan
tanah subur di daerah sekelilingnya. Daerah inilah, bersama areal di sepanjang Sungai Cenrana, yang
dimanfaatkan oleh penduduk (terutama di Onderafdeeling Wajo dan Soppeng) untuk penanaman
jagung pada September, Oktober dan November. Sebagian besar jagung yang diekspor ke Eropa ini,
dikeluarkan melalui pelabuhan Pallima di pesisir timur. Tidak heran, komoditas ini turut menopang
perkembangan pesat Pallima selama dekade 1920-an (Ahmad & Kila, 2016; Bataviaasch Nieuwsblad,
22 April 1924; Saraber, 1929). Selain beras dan jagung, kopra adalah produk pertanian yang telah
menjadi komoditas ekspor penting Sulawesi Selatan sejak akhir abad ke-19, terutama di wilayah
pesisir Mandar dan Selayar. Adapun hasil pertanian lainnya ialah kopi, kapuk, kemiri, kacang, pinang
dan tembakau (Asba, 2003; De Indische Mercuur, 4 November 1921; Ter Laag, 1941).
Mengingat faktor geogras di atas, tidak diragukan lagi bahwa pertanian ialah mata pencaharian
utama masyarakat Sulawesi Selatan di paruh pertama abad ke-20. Di samping itu, terdapat juga
penduduk yang bergelut dalam bidang peternakan, industri, perdagangan, perkapalan, nelayan dan
pengumpulan hasil produk hutan. Kendati demikian, berdasarkan sensus 1930, bidang pertanian
merupakan aktivitas yang paling banyak digeluti oleh masyarakat, yaitu sebanyak 71,38 % dari
jumlah orang yang bekerja saat itu (Harvey, 1989).
Penanaman padi umumnya dilakukan di sawah yang tersebar di berbagai tempat, terutama Distrik
Utara (Onderafdeeling Maros dan Pangkajene), Gowa, Takalar, Afdeeling Bone dan Afdeeling
Parepare serta dengan jumlah yang lebih sedikit di Afdeeling Mandar dan Afdeeling Luwu (Vorstman,
1911). Sampai dekade 1920-an, sawah kebanyakan berupa sawah tadah hujan, meski ada juga
sawah irigasi alamiah (non-teknis). Itu artinya bahwa jumlah produksi padi cukup bergantung pada
curah hujan dan kondisi iklim setiap tahunnya. Musim kemarau yang berkepanjangan tidak jarang
memunculkan kondisi gagal panen di Sulawesi Selatan. Pada 1919, misalnya, kekeringan hebat
disebut melanda sawah-sawah di Afdeeling Bone dan telah menurunkan hasil panen padi di Sinjai
dan Bulukumba (De Indische Mercuur, 11 April 1919). Akibat curah hujan yang tidak menentu,
keterlambatan penanaman padi juga lumrah terjadi, sebagaimana di daerah pesisir timur pada 1928
(Koloniaal Verslag, 1929). Sampai 1930-an, gagal panen akibat kemarau yang panjang masih terlihat.
Seperti misalnya, kegagalan panen akibat kekeringan hebat yang terjadi pada 1930. Beberapa daerah
dilaporkan mengalami penurunan hasil panen padi yang signikan. Onderafdeeling Jeneponto,
misalnya, yang mengalami kerusakan sebanyak 70 % dari total penanaman padi. Di Afdeeling Bone
dan Makassar juga mengalami hal yang serupa, dengan tingkat kegagalan maksimum mencapai 60 %
(Indisch Verslag, 1931)
Selain itu, penyakit dan hama menjadi salah satu hambatan produksi padi di Sulawesi Selatan selama
masa kolonial. Pada 1910, misalnya, walang sangit telah menyerang tanaman padi secara lokal di
beberapa tempat, meski tidak mempengaruhi panen padi secara keseluruhan di Sulawesi Selatan ketika
itu. Wabah tikus juga membuat gagal panen di sebagian wilayah Sidenreng dan rusaknya tanaman
77ICONIC 2020 | Prosiding
padi di Pinrang pada 1919. Tiga tahun berikutnya, dalam laporan kolonial, panen padi di beberapa
tempat hampir mengalami kegagalan panen akibat wabah serangga (Bataviaasch Nieuwsblad, 19
Oktober 1919; Koloniaal Verslag 1911; 1923). Sekalipun berbagai usaha telah dilakukan oleh dinas
perluasan pertananian setempat, berbagai gangguan padi, seperti omo putih, omo mentek, walang
sangit dan wabah tikus, tetap saja terjadi. Meski begitu, hingga 1941 gangguan tersebut bersifat lokal
dan tidak banyak berpengaruh terhadap panen padi secara menyeluruh (Ter Laag, 1941).
Selain faktor geogras, sarana irigasi adalah faktor yang tidak kalah pentingnya dalam pertanian.
Pada dekade 1910-an, sawah yang diairi secara teknis masih sangat minim. Hal ini membuat tingkat
votalitas produksi membayangi budidaya padi saat itu, di samping gangguan penyakit dan hama.
Sejauh penelusuran penulis, pasca pasikasi politik, upaya paling awal pemerintah kolonial dalam
pengembangan irigasi teknis di daerah ini mulai tampak di awal dekade 1910-an. Hal ini seiring
upaya pemerintah kolonial Belanda dalam memperluas layanan pertanian di Hindia Belanda sejak
1911(Prince, 2000). Perhatian pertama saat itu ditandai dengan penunjukkan seorang insinyur, J.A.M.
Van Buuren, pada 1911. Penunjukan ini menyangkut pembangunan irigasi teknis di Afdeeling Bone,
yang mulai dibangun pada 1912. Dengan anggaran f 80.000, pembangunan irigasi awal ini disebut
mampu mengairi sekitar 47.300 bau1 sawah, yang sebelumnya tergolong sebagai sawah tadah hujan.
Di wilayah yang sama, pada 1919 pembangunan irigasi Pattiro juga dimulai, yang mampu mengairi
untuk 13.000 bau sawah dengan memanfaatkan aliran Sungai Pattiro. Selain pembangunan irigasi
besar tersebut, sampai dekade 1920-an, pembangunan irigasi berskala menengah di Bone juga
diupayakan oleh pemerintah kolonial setempat, seperti, Palengorang, Lamade, Lekokallo, Alinge dan
Parigi. Sementara itu, sejak 1915, Van Buuren turut mengupayakan perbaikan irigasi di Malakaji.
Bahkan, selama dekade 1910-an, perbaikan irigasi Bantimurung (Maros) juga dilakukan di bawah
pengawasan Insinyur J.C.A. Gundessen, yang diperhitungkan dapat mengairi sawah secara teknis
untuk 11.000 bau (Heyting, 1915; Vorstman, 1911, 1924). Mengingat berbagai perhatian irigasi
tersebut, tidak heran jika Maros, Gowa dan Afdeeling Bone dikenal sebagai lumbung padi penting di
Sulawesi Selatan, terutama sampai dekade 1920-an. Soppeng (Afdeeling Bone), misalnya, yang tingkat
produktivitas lahannya mencapai 47 pikul2 basah per hektar di 1925. Hasil ini adalah pencapaian
panen padi terbaik di Sulawesi Selatan saat itu (Koloniaal Verslag, 1926).
Pengembangan sarana irigasi juga terlihat di wilayah lain, khususnya Afdeeling Parepare. Pada 1914,
misalnya, pembangunan irigasi sederhana di Onderafdeeling Parepare, yang mengairi 6.000 bau
sawah. Namun demikian, akibat keterbatasan dana lanskap, upaya pembangunan irigasi di afdeeling ini
tidak begitu masif dibanding wilayah lain selama dekade 1910-an. Padahal, afdeeling ini (khususnya
Sidenreng, Rappang dan Pinrang) juga ditopang oleh aliran sungai yang berpotensi menjadi pengairan
sawah, seperti Sungai Saddang, Sungai Bila dan Sungai Klempang (Bataviaasch Nieuwsblad, 22
April 1924; Vorstman, 1924). Upaya intensif untuk pengembangan irigasi teknis baru terwujud pada
dekade 1920-an hingga 1930-an. Sekalipun berbagai upaya perbaikan dan pembangunan irigasi telah
diupayakan sejak 1910-an, namun sampai 1941 jumlah sawah yang diairi, baik secara teknis maupun
alamiah, yakni sekitar 30 % dari luas keseluruhan sawah (391.446 ha) di Sulawesi Selatan (Ter Laag,
1941).
Berbeda dengan dekade sebelumnya, perubahan tampak dari area produksi beras selama dekade 1930-
an. Sebagian besar beras dihasilkan dari wilayah Afdeeling Parepare (terutama Pinrang, Sidenreng
dan Rappang), Onderafdeeling Soppeng dan Onderafdeeling Wajo. Area inilah yang menjadi
“lumbung beras” di Sulawesi Selatan saat itu. Sebagai gambaran, pada 1933 ketika beberapa wilayah
dikabarkan mengalami gagal panen, namun panen padi secara keseluruhan di Sulawesi Selatan tetap
menguntungkan. Hal ini terutama menyangkut panen padi yang baik di Afdeeling Parepare, Wajo
dan Soppeng. Sematan ini agaknya tidak berlebihan mengingat jenis tanah di daerah-daerah tersebut,
khususnya Pinrang, Sidenreng dan Rappang, berupa tanah alluvial, grumosol, dan regosol, yang
cocok untuk budidaya pertanian. Apalagi, upaya intensikasi pertanian semakin intens dilakukan
1 1 bau sama dengan 0,71 hektar
2 1 pikul sama dengan 61,76 Kilogram
78 ICONIC 2020 | Prosiding
sejak dekade 1920-an. Selain jenis tanah dan intensikasi, perubahan itu juga dapat dipahami dari
luasnya areal persawahan di wilayah tersebut. Berdasarkan perhitungan pajak tanah, pada 1936 sawah
di daerah tersebut berjumlah 116.680 ha atau sebanyak 36 % dari total keseluruhan sawah di Sulawesi
Selatan (Mulya, 2017; Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1934; Swaab, 1936).
PERDAGANGAN BERAS DI BAWAH KONTROL NEGARA PADA MASA KRISIS
Depresi ekonomi global 1930-an yang bermula dari krisis di Wall Street pada gilirannya mengubah
pandangan pemerintah kolonial mengenai perberasan. Pasalnya, krisis ekonomi diikuti hasil panen
padi melimpah di daratan Asia Tenggara dan pembatasan impor beras dari negara pengimpor beras.
Akibatnya, harga beras internasional jatuh lebih capat dibanding harga komoditas ekspor Hindia
Belanda saat itu. Mengingat perdagangan beras berlangsung di bawah pasar bebas, situasi tersebut
tentu saja berpotensi mengancam pendapatan petani pribumi dalam menghasilkan surplus beras dan
kemampuan mereka dalam membayar pajak (Touwen, 2001; van der Eng, 1996, 2000). Negara pada
akhirnya memilih untuk melindungi pasar domestik, khususnya dalam bidang pertanian. Keputusan
ini tampak dari kecenderungan pemerintah untuk meninggalkan kebijakan laissez-faire tradisional
sejak 1931 (Furnivall, 2009).
Situasi tersebut diikuti dengan keluarnya sebuah aturan yang menandai keterlibatan pemerintah yang
lebih jauh dalam perdagangan beras, yakni Rijstinvoer-Ordonantie pada 1933. Di samping mengurangi
ketergantungan terhadap impor beras asing yang telah berlangsung intens sejak paruh kedua abad ke-
19, aturan itu juga ditujukan untuk menstabilkan harga beras domestik. Pada intinya, regulasi tersebut
menghendaki adanya pembatasan impor beras melalui izin khusus yang dikeluarkan oleh Direktur
Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan. Selain memuat pajak, aturan itu juga mengharuskan nama
pelabuhan sebagai tempat keluar dan tempat tujuan beras dicantumkan dalam lisensi (Staatsblad 1933,
no. 300). Sejak saat itu, bisa dikatakan bahwa aktivitas perniagaan beras tidak lagi berada di bawah
pasar bebas, termasuk Sulawesi Selatan. Dalam situasi inilah, masa depresi menjadi momentum bagi
Sulawesi Selatan untuk tampil sebagai salah satu lumbung pangan di Hindia Belanda.
Secara umum, sebelum dekade 1930-an, beras di Sulawesi Selatan bukan hanya diperjualbelikan
antar wilayah di Sulawesi Selatan, tetapi juga antar pulau. Pengangkutan beras dari daerah produksi
ke pasar-pasar pedalaman maupun ke pusat perdagangan di daerah pesisir diangkut melalui darat dan
sungai (laut). Pengangkutan beras lebih banyak mengandalkan kuda beban (pa’teke) sebagai moda
transportasi. Di pesisir timur, aliran Sungai Cenrana menjadi tumpuan utama untuk pengangkutan
beras, khususnya beras dari Soppeng, Wajo dan Bone, dengan menggunakan perahu layar pribumi
untuk kemudian dimuat di pelabuhan Pallima. Namun demikian, seiring pengembangan jaringan
jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah utama semakin intens di paruh kedua dekade 1920-
an, muatan beras di berbagai daerah produksi mulai mengandalkan mobil (vrachtauto). Sementara
itu, pelabuhan Makassar, Parepare dan Pallima merupakan pintu keluar utama beras yang hendak
dikapalkan menuju daerah tujuan ekspor.
Meski demikian, sampai dekade 1920-an perdagangan beras antar pulau di Sulawesi Selatan belum
memperlihatkan perkembangan yang signikan. Dalam hal ini, perniagaan masih berlangsung
secara tradisional dengan jumlah ekspor yang terbatas ke daerah pesisir Kalimantan, Manado dan
Maluku serta Sunda Kecil (Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1930; Touwen,
2001). Pada 1910 hingga 1914, Makassar sebenarnya telah mengekspor beras ke daerah Luar Hindia
Belanda, seperti Timor Dili, Australia dan Papua Nugini (Nur et al., 2016). Namun demikian, hal ini
perlu dipertimbangkan dengan status Makassar sebagai pelabuhan transit untuk wilayah Timur Besar
(Touwen, 2001). Dengan kata lain, beras yang diekspor tentu tidak sepenuhnya berasal dari daerah
Sulawesi Selatan. Sebab, Makassar juga masih menerima impor beras, misalnya, pada September
1918 dengan jumlah 881 pikul dari Siam, Rangoon dan Saigon serta 473 pikul dari Lombok (De
Indische Mercuur, 11 April 1919). Bahkan, menurut Touwen (2001), antara 1918-1937, jumlah impor
beras Sulawesi Selatan lebih banyak daripada jumlah ekspor. Dalam laporan kolonial, Sulawesi
79ICONIC 2020 | Prosiding
Selatan sendiri baru mulai tercatat sebagai “daerah surplus ekspor beras”3 paling tidak sejak 1924,
yaitu sebanyak 12.382 ton. Setahun sebelumnya, daerah ini masih terhitung sebagai “daerah surplus
impor beras”, dengan jumlah 2.376 ton. Sementara itu, harga beras yang dipasarkan relatif tinggi
selama dekade 1920-an. Pada 1925, misalnya, harga beras yakni antara f 8 – f 10,50 per pikul untuk
beras yang diolah sendiri dan beras yang diolah dari pabrik penggilingan padi dengan harga f 10 – f
12,50 per pikul (Koloniaal Verslag, 1924; 1925).
Satu hal yang penting bahwa, di samping faktor produksi padi yang masih minim, keterbatasan
perdagangan beras Sulawesi Selatan sangat berkaitan dengan kebijakan pasar bebas yang berlangsung
di Hindia Belanda. Kondisi ini membuat pasokan beras di Hindia Belanda, terutama daerah luar
Jawa, lebih banyak disuplai dari Singapura yang diangkut langsung oleh Kapal KPM menuju daerah
tujuan dengan biaya murah akibat persaingan dengan perusahaan pelayaran Cina. Karena itu, dalam
pembahasannya mengenai perdagangan ekspor Makassar, Broersma (1925) menuturkan bahwa
“Makassar tidak dapat diandalkan sebagai pelabuhan beras di masa depan”. Selain itu, masalah yang
tidak kalah krusialnya ialah menyangkut kualitas beras. Dalam hal ini, beras produksi Sulawesi
Selatan disebut masih memiliki kualitas yang lendah rendah dibanding beras impor, misalnya, beras
Saigon. Masalah ini utamanya bersumber dari proses penggilingan padi yang belum dikelola secara
maksimal. Kedua faktor inilah yang menjadi kendala ketika negara mulai memutuskan untuk terlibat
langsung dalam perdagangan beras seiring penerapan Rijstinvoer-Ordonantie pada 1933.
Langkah awal pemerintah kolonial ialah memetakan daerah desit dan daerah surplus beras di
Hindia Belanda. Daerah-daerah desit beras, seperti Kalimatan Selatan dan Timur, Sulawesi Utara
dan Maluku, kemudian ditetapkan sebagai daerah pembuangan surplus beras dari Sulawesi Selatan
(Moeljono, 1971). Penetapan itu diikuti oleh upaya konsultasi dengan pejabat pemerintah kolonial
setempat. Hal ini terlihat ketika pada 27 Juli 1933 A. Luytjens, kepala bagian ekonomi pertanian,
berkunjung ke Makassar untuk mengadakan konferensi dengan L.J.J. Caron, Gubernur Selebes dan
Daerah Taklukannya ketika itu. Selain membahas aturan impor beras, ia juga meninjau keadaan
beras Sulawesi Selatan saat itu, yang setahun sebelumnya surplus ekspor beras sekitar 17.000 ton
(Pemberita Makassar, 1 Agustus 1933).
Persoalan kualitas beras merupakan tugas utama berikutnya. Hal ini menyangkut selera masyarakat di
Sulawesi Utara, yang sebelumnya hampir sepenuhnya bergantung dari berasSaigon. Lagipula, tingkat
patahan beras dari hasil penggilingan padi juga masih tinggi. Masalah inilah yang menjadi fokus
utama ketika itu. Pada 9 Agustus 1933 Ir. Tan Sin Houw, seorang konsultan industri di Departemen
Pertanian, kemudian ditugaskan untuk meninjau dan memberi penerangan kepada para pemilik pabrik
penggilingan padi di Parepare dan Makassar. Bahkan, selama kurang lebih tiga bulan di akhir 1933,
konsultan itu juga menetap di Parepare dan Makassar agar pendampingan dan pemberian informasi
teknis kepada pemilik pabrik padi bisa berjalan maksimal. Dua tahun kemudian, konsultan tersebut
kembali mengunjungi Sulawesi Selatan untuk mengawasi penerapan saran-saran teknis dari penugasan
sebelumnya (Bataviaasch Nieuwsblad, 18 September 1933; 28 Desember 1933; 8 Agustus 1935;
9 Agustus 1933). Menjelang perang dunia II, negara kembali mengeluarkan regulasi menyangkut
peningkatan kualitas beras, yakni Peraturan Gabah pada 1939. Regulasi ini mengharuskan gabah
yang akan digiling terlebih dahulu dipastikan dalam keadaan sekering mungkin. Aturan itu mula-
mula diterapkan hanya di Afdeeling Parepare dan Bone dan kemudian secara bertahap di seluruh
Sulawesi Selatan (Ter Laag, 1941).
Pemerintah kolonial turut menetapkan harga maksimum beras pada 1933. Keputusan harga ditentukan
oleh Gubernur Selebes setelah berkonsultasi dengan Departemen Pertanian, Perindustrian dan
Perdagangan di Batavia. Pada November 1933, misalnya, harga maksimum beras yang diumumkan
ialah sebesar f 3,50 per pikul. Setahun kemudian, harga maksimum beras ludah juga mulai ditentukan.
Penentuan harga ini memberi keuntungan kepada para petani, yang sebelumnya sering dirugikan
3 Daerah surplus ekspor beras yang dimaksud disini ialah daerah dengan jumlah ekspor
berasnya melampaui jumlah impor beras. Begitupun sebaliknya, daerah surplus impor ialah daerah
yang memiliki jumlah impor beras lebih banyak dibanding jumlah ekspor berasnya.
80 ICONIC 2020 | Prosiding
akibat manipulasi harga dari pemilik pabrik penggilingan padi (Pemberita Makassar, 27 November
1933; Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1934).
Bentuk keterlibatan negara lainnya ialah masalah pengemasan beras. Di Sulawesi Selatan, beras
umumnya diperdagangkan dalam kemasan karung yang terbuat dari daun nenas atau dalam istilah
lokal disebut balasse. Di pelabuhan Parepare, beras dalam balasse diangkut oleh perahu ke daerah
tujuan ekspor saat musim timur sedang berlangsung. Namun demikian, sejak 1933 pemerintah
kolonial memperkenalkan pengemasan baru, yang dikenal dengan dubbelzak atau karung goni.
Berbeda dengan beras dalam karung balasse yang langsung dikirim ke daerah tujuan setelah para
pelaut menerima beras dari pabrik penggilingan padi, beras dalam karung goni biasanya disimpan
di gudang sebelum diangkut oleh kapal KPM (Nur, 2003; Pemberita Makassar, 11 Oktober 1933;
Schimmel, 1937).
Masalah pengangkutan beras juga menjadi bagian penting dalam kontrol negara. Atas upaya dari
Departemen Urusan Ekonomi, premi transportasi untuk kapal KPM mulai diterapkan di pelabuhan
Sulawesi Selatan sejak 1934. Pada 1935, besaran premi transportasi ialah sebanyak f 0,50 untuk
setiap 100 kg beras (Jaarverslag van de Handelsvereeniging te Makassar over 1934; Swaab, 1936).
Selain itu, pihak KPM turut mengalihkan jadwal kedatangan kapal di pelabuhan Parepare. Sikap ini
diketahui dari jadwal keberangkatan kapal KPM dari pelabuhan Makassar yang diubah dari setiap
Jumat pagi ke Kamis sore untuk jalur 19 dan 20. Salah satu tujuannya ialah agar kapal bisa tiba di
pelabuhan Parepare pada Jumat pagi. Dengan begitu, aktivitas perdagangan, termasuk memuat beras,
dapat berjalan dengan lancar (Pemberita Makassar, 13 Oktober 1933). Dengan demikian, berbagai
bentuk kontrol negara yang telah dipaparkan, pada dasarnya telah mengubah secara mendasar sistem
perdagangan beras menuju ke arah yang lebih efektif.
Kontrol negara juga sejalan dengan peningkatan jumlah ekspor beras selama dekade 1930-an.
Sebagai gambaran, pada 1932 total ekspor beras Sulawesi Selatan tercatat masih sebanyak 17.890
ton. Tiga tahun berikutnya, jumlah ini bertambah menjadi 37.445 ton. Bahkan, jumlah ekspor beras
tetap bertambah, yang pada 1937 menjadi 46.522 ton atau meningkat sebanyak 260 persen dari
jumlah ekspor beras di 1932. Sementara itu, seiring pembatasan impor beras asing sejak 1933, suplai
beras, khususnya untuk daerah luar Jawa, sudah tentu sangat bergantung dari hasil produksi domestik.
Daerah Jawa, misalnya, tercatat mengekspor beras ke daerah luar Jawa sebanyak 197.143 ton di 1937.
Dalam tahun yang sama, daerah Bali dan Lombok mengekspor beras ke daerah luar Jawa sebanyak
16.097 ton dan daerah Sulawesi Selatan dengan jumlah 37.445 ton (Touwen, 2001). Oleh sebab itu,
angka tersebut pada hakikatnya menunjukkan arti penting Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan
seiring upaya pemerintah kolonial dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor beras asing.
JARINGAN PERDAGANGAN : PERTAUTAN OTORITAS NEGARA DAN WARISAN
JALUR REMPAH
Beras yang paling populer diperdagangkan di Sulawesi Selatan selama dekade 1930-an ialah beras
Banda. Komoditas beras tidak hanya dibawa oleh perahu layar pribumi, tetapi juga oleh kapal KPM.
Selain pelaut Bugis dan Makassar, pelaut Mandar juga berperan penting dalam pengangkutan beras
di Sulawesi Selatan. Menurut Hamid (2019), pelaut Mandar telah aktif mengangkut beras di abad ke-
19, khususnya ke daerah pesisir Kalimantan. Jaringan perniagaan tidak hanya mencakup Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan, tetapi juga Sulawesi Utara, Maluku, Timor dan bahkan Jawa.
Dari tiga pelabuhan utama, Parepare merupakan pintu keluar penting beras Sulawesi Selatan di
sepanjang dekade 1930-an. Hal ini sejalan dengan peningkatan produksi dari pedalaman Parepare,
yang merupakan lumbung beras Sulawesi Selatan, seperti Sidenreng, Rappang, Pinrang, Wajo dan
Soppeng. Dari pelabuhan inilah, bersama pelabuhan Makassar, beras dimuat dan kemudian dibawa,
baik dengan perahu ataupun kapal KPM, ke berbagai tujuan ekspor yang telah disebutkan. Khususnya
pelabuhan Pallima, beras sebagian besar hanya diangkut menuju Makassar, baik untuk dikonsumsi
lokal maupun diekspor kembali. Di samping itu, beras dari Pallima, bersama pelabuhan Bone lainnya,
81ICONIC 2020 | Prosiding
dikapalkan pula ke berbagai daerah di sekitarnya, seperti Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Malili,
Palopo dan Selayar (Economisch Weeksblad, 1935).
Perlu diketahui, jaringan tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari keputusan yang ditetapkan oleh
pemerintah kolonial seiring pemberlakuan aturan Rijstinvoer-ordonantie 1933. Namun demikian,
penentuan daerah tersebut semestinya tidak hanya dipandang dalam konteks itu. Hal ini terutama
menyangkut daerah Maluku sebagai tujuan ekspor beras, yang telah memiliki akar dari masa
sebelumnya.
Beras sendiri sesungguhnya bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Asia Tenggara secara umum.
Menurut Hall (2011), budidaya padi telah dikembangkan oleh masyarakat paling tidak sejak awal
abad masehi. Di abad ke-15, padi adalah tanaman populer yang bisa ditumbuhkan dimana saja dengan
baik di Asia Tenggara. Tidak berlebihan bila beras menjadi komposisi utama dalam perdagangan
Asia tradisional, baik inter-regional maupun intra-regional (Arasaratnam, 1988; Reid, 1992). Dalam
konteks Sulawesi Selatan, sejak abad ke-16, padi telah dibudidayakan secara besar-besaran (Reid,
2004).
Mengenai ekspor beras ke Maluku, perlu kiranya melihat lebih jauh ke belakang, paling tidak ketika
era kejayaan Makassar di abad ke-17. Sejak abad ke-16 hingga 1660-an, rempah-rempah, berupa
cengkeh dan pala, merupakan penggerak utama dalam kemunculan kota niaga Makassar. Situasi ini
dimungkinkan oleh aktivitas pencarian dari pelaut dan pedagang Jawa, Melayu dan Sulawesi Selatan
sendiri. Dengan memanfaatkan angin musim setiap tahunnya, para pedagang dan pelaut tersebut
berangkat dari Makassar dan berlayar menuju Maluku Utara untuk memperoleh cengkeh dan Banda
untuk pala dan fuli. Dalam aktivitas itu, para pelaut turut memuat beras sebagai alat tukar, di samping
kain, emas, perak dan perhiasan. Kegiatan rutin ini justru telah membentuk komunitas Bugis-Makassar
yang bermukim di Ternate (dikenal dengan kampung Makassar) sejak paruh kedua abad ke-17.
Sementara itu, rempah-rempah yang diperoleh saat itu umumnya dibawa terlebih dahulu ke Makassar
sebagai titik simpul jaringan perdagangan di Indonesia Timur dan selanjutnya didistribusikan ke luar
wilayah Kepulauan Indonesia, termasuk Malaka sebagai emporium penting saat itu. Dengan demikian,
meski kemunculan Makassar berkaitan erat dengan rempah sebagai komoditas incaran internasional
saat itu, namun beras adalah aset utama bagi Makassar hingga dekade 1660-an. Kota ini sendiri
memiliki lokasi yang dekat dengan daerah subur penghasil beras, yakni Maros dan Takalar. Hingga
abad ke-19, beras pada dasarnya tetap menjadi salah satu barang dagangan penting dalam aktivitas
pelayaran dan perdagangan dari pedagang dan pelaut Sulawesi Selatan. Dengan memuat beras dan
komoditas lainnya, daerah pelayaran para pelaut Sulawesi Selatan mencakup Nusa Tenggara, Maluku
Tenggara, Surabaya, Semarang, Malaka dan bahkan pesisir utara benua Australia (Leirissa, 2019;
Marihandono & Kanumuyoso, 2016; Poelinggomang, 2016; Reid, 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, jaringan perniagaan beras yang secara tidak langsung ditetapkan oleh
pemerintah kolonial di 1933, pada dasarnya hanya mengkontinuitaskan budaya maritim masyarakat
Sulawesi Selatan yang telah berlangsung ratusan tahun yang lalu di masa itu. Sekalipun sebagai
bentuk pengulangan, perniagaan beras di Sulawesi Selatan selama dekade 1930 tentu saja tetap
memperlihatkan aspek perubahan yang mendasar. Jika sejak abad ke-16 suplai beras utama Sulawesi
Selatan bersumber dari daerah Maros dan Takalar, maka selama dekade 1930-an lumbung padi
Sulawesi Selatan berasal dari daerah Ajatappareng, Soppeng dan Wajo.
KESIMPULAN
Perdagangan beras di Sulawesi Selatan yang berlangsung selama dekade 1930-an sangat berkaitan
dengan kontrol negara yang lebih jauh sejak 1933. Dalam kondisi ini, depresi ekonomi global telah
menjadi batu loncatan bagi peran Sulawesi Selatan sebagai lumbung pangan di era kolonial. Meskipun
kontrol negara bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor dan menstabilkan
harga beras domestik, namun campur tangan pada gilirannya membawa perubahan yang mendasar
dalam perdagangan beras di Sulawesi Selatan. Perubahan positif ini tidak hanya menyangkut penataan
82 ICONIC 2020 | Prosiding
sistem perniagaan beras, namun juga jumlah ekspor beras selama dekade 1930-an. Sementara itu,
sekalipun jaringan perniagaan secara tidak langsung ditetapkan oleh pemerintah kolonial di 1933,
namun hal ini sesungguhnya merupakan bentuk warisan dari jalur rempah.
REFERENSI
Ahmad, T., & Kila, S. (2016). Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan Pallime di Bone.
Pustaka Reeksi.
Arasaratnam, S. (1988). The Rice Trade in Eastern India 1650-1740. Modern Asian Studies, 22(3),
531–549.
Asba, A. R. (2003). ‘Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958’ (Disertasi).
Universitas Indonesia.
Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Juli 1934; 18 September 1933; 19 Oktober 1919; 22 April 1924; 28
Desember 1933; 8 Agustus 1935; 9 Agustus 1933.
Broersma, R. (1925). De Uitvoerhandel van Makassar. Tijdschrift Voor Economische Geographie,
16(4), 97–101.
De Indische Mercuur, 11 April 1919; 4 November 1921.
Economisch Weeksblad voor Nederlandsch-Indie, IVe Jaargang, Juli-Desember 1935.
Furnivall, J. S. (2009). Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Freedom Institute.
Hall, K. R. (2011). A history of early Southeast Asia : maritime trade and societal development,
100-1500. Rowman & Littleeld.
Hamid, A. R. (2019). “Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan ‘Kembar’ Pambauwang
dan Majene di Selat Makassar1900−1980” (Disertasi). Universitas Indonesia.
Harvey, B. S. (1989). Pemberontakan Kahar Muzakkar : Dari Tradisi ke DI/TII. Pustaka Utama
Grati.
Harvey, B. S. (1990). Sulawesi Selatan: Boneka dan Patriot. In A. R. Kahin (Ed.), Pergolakan
Daerah Pada Awal Kemerdekaan (pp. 212–240). Grati.
Heyting, T. A. L. (1915). Memorie van Overgave van den aftredende Gouverneur van Celebes en
Onderhoorigheden.
Ihsanuddin. (2019). Jokowi Tunjuk Syahrul Yasin Limpo Jadi Menteri Pertanian. https://nasional.
kompas.com/read/2019/10/23/09272001/jokowi-tunjuk-syahrul-yasin-limpo-jadi-menteri-
pertanian
Indisch Verslag 1931.
Jaarverslag van de Handelsvereeniging Makassar over 1930.
Jaarverslag van de Handelsvereeniging te Makassar over 1934.
Koloniaal Verslag 1911; 1923; 1924; 1925; 1926; 1929.
Leirissa, R. Z. (2019). Orang Bugis dan Makassar di Kota-kota Pelabuhan Ambon dan Ternate
selama Abad ke-19. In R. Tol, K. Van Dijk, & G. Acciaioli (Eds.), Kuasa dan Usaha di
Masyarakat Sulawesi Selatan (Tim Penerjemah Ininnawa, trans) (pp. 299–316). Ininnawa.
Mansvelt, W. M. F. (1978). Changing Economy in Indonesia: : A Selection of Statistical Source
Material from the Early 19th Century up to 1940/ Volume 4 Rice Prices. Nijhoff.
Marihandono, D., & Kanumuyoso, B. (2016). Rempah, Jalur Rempah, dan Dinamika Masyarakat
Nusantara. Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Moeljono, S. (1971). Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-butir Beras. Bulog.
Mulya, A. A. A. (2017). ‘Dampak Revolusi Hijau Di Sulawesi Selatan 1969-1998’ (Tesis).
Universitas Indonesia.
Nasruddin, M. (2019). Nurdin Abdullah Paparkan Konsep Pembangunan Sulsel Menjadi Lumbung
Pangan Nasional. https://makassar.terkini.id/nurdin-abdullah-paparkan-konsep-pembangunan-
sulsel-menjadi-lumbung-pangan-nasional/
83ICONIC 2020 | Prosiding
Nur, N. (2003). Perdagangan Beras di Makassar Awal Abad XX. Lembaran Sejarah, 5(1), 83–94.
Nur, N., Purwanto, B., & Suryo, D. (2016). Perdagangan dan Ekonomi di Sulawesi Selatan, Pada
Tahun 1900-an Sampai dengan 1930-an. Jurnal Ilmu Budaya, 4(1), 617–624.
Pelras, C. (2006). Manusia Bugis (A.R. Abu, Trans.). Nalar.
Pemberita Makassar, 1 Agustus 1933; 11 Oktober 1933; 13 Oktober 1933; 27 November 1933.
(n.d.). 27 November 1933.
Poelinggomang, E. L. (2004). Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942.
Ombak.
Poelinggomang, E. L. (2016). Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim.
KPG.
Poelinggomang, E. L., Mappangara, S., Limbugau, S., Amar, S., & Sahajuddin. (2005). Sejarah
Sulawesi Selatan (Jilid 2). Balitbangda - MSI Sulawesi Selatan.
Prince, G. H. . (2000). Kebijakan Ekonomi di Indonesia, 1900-1942. In J. T. Lindblad (Ed.), Sejarah
Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (pp. 226–256). LP3ES.
Reid, A. (1992). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin
(Mochtar Pabottingi, penerjemah). Yayasan Obor Indonesia.
Reid, A. (2004). Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. LP3ES.
Saraber, F. H. (1929). De Wereldproductie van Mais en die van Zuid-West Celebes in T Bijzonder.
Tijdschrift Voor Economische Geographie, 20(11), 434–437.
Schimmel, G. J. (1937). De Rijstpolitiek in de jaren 1933 tot 1937. Landbouw, 13, 156–172.
Soerabaijasch Handelsblad, 21 Juli 1934.
Swaab, J. L. M. (1936). Memorie van Overgave van den afgetreden Gouverneur Celebes en
Onderhoorigheden.
Ter Laag, C. H. (1941). Memorie van Overgave van den Resident van Celebes en
Onderhoorigheden.
Touwen, J. (2001). Extremes in The Archipelago: Trade and Economic Development in the Outer
Islands of Indonesia 1900-1941. KITLV Press.
van der Eng, P. (1996). Agricultural growth in Indonesia : productivity change and policy impact
since 1880. St. Martin’s Press.
van der Eng, P. (2000). Food for Growth: Trends in Indonesia’s Food Supply, 1880-1995. The
Journal of Interdisciplinary History, 30(4), 591–616.
Vorstman, F. (1911). Het Gouvernement Celebes en Onderhoorigheden en Zijn Hoofdplaats
Makassar. Tijdschrift Voor Economische Geographie, 2(12), 379–392.
Vorstman, F. (1924). Memorie van den Gouverneur van Selebes en Onderhoorigheden.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dan
memudahkan penelitian ini. Ucapan terima kasih terutama ditujukan kepada para pegawai
Arsip Nasional RI dan Perpustakaan Nasional RI,yang dengan setia melayani penulis selama
proses pencarian sumber. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI selaku penyelenggara dan segenap panitia dari International Conference of
Indonesian Culture (ICONIC) 2020, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut
terlibat sebagai Presenter.
Biodata Penulis
Syafaat Rahman Musyaqqat adalah salah seorang mahasiswa yang sejak 2018 terdaftar dalam
program magister di Departemen Ilmu Sejarah, FIB UI. Saat ini, penulis sedang mendalami sejarah
pelabuhan, khususnya sejarah pelabuhan Parepare di Kawasan Selat Makassar pada masa kolonial.
Article
Full-text available
As the National rice barn, the Southern Sulawesi is often associated with the green revolution of the New Order Regime, especially since Indonesia succeeded the rice self-sufficency in 1984. Furthermore, Southern Sulawesi has an important role as rice supplier in Indonesia which was proven in 1930s. The state control is one of main factors supporting Southern Sulawesi's success, along with another factor particularly environmental conditions and irrigation development. This article discusses the rice trade network and its relationship to the dynamics of export ports in Southern Sulawesi in the 1930s. By applying the historical method, this study employed primary sources, such as archives, journals, newspapers, and magazines. The findings show that the rice trade during the 1930s experienced a significant development as the state involved in the trade in 1933. The increase was seen in the trading system and the amount of exported rice. The increase which was seen in the trading system and the amount of exported rice indicates the significance of Southern Sulawesi as one of the rice barns in the Dutch East Indies. By describing the production areas, involved actors, export ports, and trade networks, this study shows the relationship between intra-and interregional trade.
Article
A decline in Indonesia's per capita rice supply until the 1970s was marginal in relation to food supply as a whole. Until the 1970s, trends were determined by non-rice food crops. Indonesia was long unable to satisfy an increase in the demand for food with a higher supply of rice. From 1905 to 1920. cassava products met the additional demand for carbohydrates, which grew with purchasing power. During the interwar year;, per capita food supply decreased slightly, mainly because demand shifted from staple foods to cheap manufactures. From 1943 to 1970, Indonesia experienced a drastic fall in food supply per capita due to an acceleration in population growth, restrictive regulations imposed on food markets, and the general demise of the Indonesian economy. The upward trend in per capita food supply since the 1960s was caused largely by increases in rice production, generated by government support to rice farmers. Higher incomes brought an increased demand for food, which could be met with inexpensive rice.
Article
The historical literature on Indian Ocean trade has now come to recognize the importance of food-grains as an ingredient of that trade. In the western part of the Ocean (the Arabian Sea), its eastern part (Bay of Bengal) and within the Southeast Asian mainland and islands, there is every evidence of a substantial movement of food-grains from surplus areas to deficit areas. Though the scale and frequency of this trade may not be relatively as important in the regional economy as Braudel has outlined for the Mediterranean (with the assistance, it must be admitted, of superior quantitative evidence), it was nevertheless one of the commodities that entered into the commercial processes of different regions of the Ocean. The evidence for the study of the grain trade is, as with all Asian trade in the early modern period, fragmentary and episodic. As intrinsic to the sector of trade embracing Asian merchant shippers and consumers, it shares the disadvantages of paucityof evidence of that whole sector. Again, as with Asian trade as a whole, the grain trade comes into view only when Europeans have entered into that trade and have left glimpses of it in their records.The Portuguese in the sixteenth and early seventeenth centuries were heavily involved in it in western India and a recent study has marshalled evidence from Portuguese sources on the mechanics of that trade in a port on the Kanara coast.2 In the seventeenth and eighteenth centuries, with the entry into the Indian Ocean of the large Chartered Companies, evidence on the grain trade is substantially increased ,enabling us to see it in sharper focus in the broad canvas of Asian trade
Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan Pallime di Bone
  • T Ahmad
  • S Kila
Ahmad, T., & Kila, S. (2016). Awal Kebangkitan & Keruntuhan Pelabuhan Pallime di Bone. Pustaka Refleksi.
Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958' (Disertasi)
  • A R Asba
Asba, A. R. (2003). 'Ekspansi dan Kontraksi Ekspor Kopra Makassar 1883-1958' (Disertasi). Universitas Indonesia.
  • Bataviaasch Nieuwsblad
Bataviaasch Nieuwsblad, 13 Juli 1934; 18 September 1933; 19 Oktober 1919; 22 April 1924; 28 Desember 1933; 8 Agustus 1935; 9 Agustus 1933.
De Uitvoerhandel van Makassar
  • R Broersma
Broersma, R. (1925). De Uitvoerhandel van Makassar. Tijdschrift Voor Economische Geographie, 16(4), 97-101.
Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk
  • J S Furnivall
Furnivall, J. S. (2009). Hindia Belanda : Studi Tentang Ekonomi Majemuk. Freedom Institute.
Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan 'Kembar' Pambauwang dan Majene di Selat
  • A R Hamid
Hamid, A. R. (2019). "Jaringan Maritim Mandar: Studi Tentang Pelabuhan 'Kembar' Pambauwang dan Majene di Selat Makassar1900−1980" (Disertasi). Universitas Indonesia.