ArticlePDF Available

VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL

Authors:

Abstract

Dewasa ini istilah viral menjadi salah satu hal yang selalu dikaitkan dengan konten-konten yang ada di media sosial. Konten-konten yang menjadi viral ini seringkali memiliki daya tarik tertentu yang membuat pengguna media sosial tertarik untuk membagikan ulang (re-share/re-post) konten tersebut. Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan apa yang membuat suatu konten di media sosial dapat menjadi viral, dan bagaimana dampak dari viralitas konten tersebut. Studi ini menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif dengan metode pengumpulan data studi literatur. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa budaya sharing konten pengguna media sosial merupakan salah satu alasan yang membuat suatu konten dapat viral di media sosial. Selain itu, konten yang viral memiliki daya tarik emosional yang dapat membuat pengguna media sosial tertarik untuk menduplikasi atau membagikan konten tersebut. Fenomena viralitas konten di media sosial ini memberikan dampak pada aktivitas komunikasi di media sosial, khususnya komunikasi pemasaran.
MAJALAH SEMI ILMIAH POPULER KOMUNIKASI MASSA
ISSN: 2721-6306
149
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
Peneliti pada Puslitbang Aptika dan IKP, Badan Litbang SDM, Kementerian Kominfo
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta 10110
lidy001@kominfo.go.id
ABSTRAK
Dewasa ini istilah viral menjadi salah satu hal yang selalu dikaitkan dengan konten-konten yang
ada di media sosial. Konten-konten yang menjadi viral ini seringkali memiliki daya tarik tertentu
yang membuat pengguna media sosial tertarik untuk membagikan ulang (re-share/re-post) konten
tersebut. Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan apa yang membuat suatu konten di media
sosial dapat menjadi viral, dan bagaimana dampak dari viralitas konten tersebut. Studi ini
menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif dengan metode pengumpulan data studi
literatur. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa budaya sharing konten pengguna media sosial
merupakan salah satu alasan yang membuat suatu konten dapat viral di media sosial. Selain itu,
konten yang viral memiliki daya tarik emosional yang dapat membuat pengguna media sosial
tertarik untuk menduplikasi atau membagikan konten tersebut. Fenomena viralitas konten di media
sosial ini memberikan dampak pada aktivitas komunikasi di media sosial, khususnya komunikasi
pemasaran.
Kata Kunci: Viral, Media Sosial, Konten, Sharing Behavior
PENDAHULUAN
stilah viral menjadi salah satu istilah yang beberapa tahun ini seringkali kita dengar, baik itu di
media sosial ataupun media konvensional. Viral seringkali dikaitkan dengan konten yang
menjadi pembicaraan orang banyak. Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu media sosial di
Indonesia ramai membicarakan „Odading Mang Oleh‟. Hal ini berawal dari video unggahan
seorang pria yang mempromosikan makanan kue bantal (odading) dengan menggunakan bahasa
sunda kasar, yang kemudian banyak di re-post atau diunggah kembali oleh pengguna media sosial
lain, konten „Odading Mang Oleh‟ pun menjadi viral di media sosial Twitter dan Youtube
(DetikInet, 2020). Atau, kembali ke tahun 2016, di mana pada tahun itu konten humor “Mukidi”
menjadi salah satu konten yang viral dan banyak dibahas oleh pengguna media sosial Indonesia.
Berawal dari humor yang disebarkan melalui WhatsApp grup, tokoh “Mukidi” kemudian menjadi
viral (Muslimah, 2016).
Lalu, sebenarnya apa arti dari istilah viral itu sendiri? Berdasarkan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), istilah viral memiliki arti yang berkaitan dengan virus, atau menyebar luas dan
cepat seperti virus . Istilah ini awalnya merupakan istilah dalam Bahasa Inggris yang kemudian
diserap ke dalam Bahasa Indonesia (Kurniadi, 2020). Istilah ini pun kemudian digunakan untuk
konten-konten media sosial yang cepat tersebar atau banyak diduplikasi oleh pengguna media
sosial. Cohen (2014) menyebutkan bahwa istilah viral sharing merujuk pada penyebaran konten
dari satu orang ke orang lain melalui jejaring sosial yang mereka miliki, dan biasanya merujuk pada
jejaring sosial yang di internet atau mobile technologies.
Menurut Alhabash et al., (2015) pengguna media sosial sebenarnya terfasilitasi oleh
kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), kemudahan untuk
mengakses media sosial, dan juga keterampilan dalam menggunakan perangkat digital. Ketika
mereka terpapar oleh suatu konten yang membuat mereka tertarik, hal ini dapat menimbulkan
I
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
150
perilaku viral atau viral behaviors seperti kegiatan untuk likes, shares, dan comments pada konten-
konten tertentu (Alhabash et al. 2015). Kehadiran media sosial memunculkan kebudayaan baru,
yaitu kebudayaan sharing konten yang dilakukan oleh pengguna media sosial. Konten menjadi
suatu komoditas dasar di media sosial, yang diproduksi, disebarluaskan, dan dikonsumsi oleh para
pengguna media sosial (Nasrullah, 2016).
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak dapat dipungkiri membuat
para pengguna media sosial dengan mudahnya memproduksi konten, sehingga jumlah konten yang
ada di media sosial saat ini sudah sangat berlimpah. Omnicore Agency mencatat bahwa ada kurang
lebih 50 milyar foto yang di unggah di media sosial Instagram, dan setidaknya 500 juta unggahan
insta stories tiap harinya (Agency, 2020b). Untuk media sosial Youtube, Omnicore Agency
(2020c) mencatat setidaknya ada 50 milyar pengguna yang mengunggah konten setiap harinya.
Sedangkan untuk media sosial Facebook, dalam setiap 60 detik ada 317 ribu unggahan status dan
147 ribu unggahan foto (Agency, 2020a). Data-data tersebut menunjukkan bahwa jumlah konten
yang ada di media sosial selalu bertambah setiap harinya.
Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan apa yang membuat suatu konten dapat menjadi
viral, ditengah banyaknya jumlah konten yang diproduksi dan didistribusikan oleh pengguna media
sosial setiap harinya. Tulisan ini akan banyak mengambil beberapa contoh konten yang viral di
media sosial, khususnnya media sosial Youtube dan Instagram. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan
untuk memberikan gambaran dampak apa yang terjadi dari viralitasi konten di media sosial.
Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data yang digunakan
adalah adalah studi literatur.
PEMBAHASAN
Pengertian dan Karakteristik Media Sosial
Media sosial yang berkembang saat ini sangat lekat dengan penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi. Nasrullah (2016) melihat media sosial sebagai suatu perkembangan dari
hubungan individu dengan perangkat media, termasuk media-media yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi. Menurut Nasrullah (2016) media sosial yang ada saat ini bisa
didefinisikan sebagai medium di internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan dirinya
maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna lain, dan membentuk
ikatan sosial secara virtual.
Media sosial bisa juga diasumsikan sebagai sekelompok aplikasi yang berbasis internet
(internet based applications) yang berkembang di era web 2.0 serta memberikan keluasaan untuk
penggunanya mengkreasikan konten dan memproduksi konten sendiri (user generated content)
(van Dijck and Poell, 2013). Aplikasi-aplikasi media sosial yang berbasis internet web 2.0 adalah
seperti Facebook, Twitter, Youtube dan Instagram. Menurut Van Dijk dan Poell ( 2013) media
sosial merupakan suatu platform atau wadah yang memfokuskan pada eksistensi pengguna, karena
adanya fasilitas user generated content.
Menurut Nasrullah ( 2016) ada suatu batasan tertentu atau karakteristik yang hanya
dimiliki oleh media sosial dibandingkan dengan media lainnya, seperti user generated content dan
bagaimana masyarakat memahami media sosial ini sebagai bentuk media yang digunakan sebagai
sarana sosial di dunia virtual. Enam karakteristik media sosial menurut Nasrullah ( 2016) adalah
jaringan, informasi, arsip, interaksi, simulasi sosial, dan user generated content. Sedangkan
menurut Van Dijk dan Poell ( 2013) karakteristik yang ada pada media sosial adalah berbasis
program (programmability), dapat meningkatkan popularitas individu (popularity), konektivitas
antar pengguna (connectivity), dan terdapat banyak data di dalamnya (datafication).
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
151
Saat ini jumlah pengguna media sosial sudah sangat banyak. Menurut data dari We Are
Social (, 2020) jumlah pengguna aktif sosial media di Indonesia sebanyak 160 juta pengguna
dengan tingkat penetrasi sebesar 59%. Data dari We Are Social ini juga menunjukkan bahwa media
sosial yang banyak diakses oleh pengguna internet di Indonesia adalah Youtube, Facebook,
Instagram, dan Twitter. Youtube dan Facebook merupakan media sosial yang paling banyak
diakses. Youtube dengan jumlah kunjungan mencapai 1,6 juta kunjungan per bulan, sedangkan
Facebook mencapai 644 ribu kunjungan per bulan, diikuti Instagram dengan jumlah kunjungan 107
ribu kunjungan per bulan dan Twitter sebanyak 90 ribu kunjungan per bulan. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, media sosial Youtube dan Facebook memiliki jumlah kunjungan yang
paling banyak tiap bulannya. Sehingga tidak heran jika konten-konten yang menjadi viral di media
sosial seringkali banyak berasal dari media sosial Youtube dan Facebook.
Viralitas Konten
Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa media sosial memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan media pada umumnya. Beberapa karakteristik seperti user generated
content dan konektivitas antar pengguna. Hal ini menunjukkan bahwa dalam media sosial setiap
pengguna dapat berinteraksi dengan pengguna lainnya melalui konten-konten yang mereka bagikan
di media sosial. Tidak hanya itu, pengguna media sosial pun dapat membagikan ulang (re-shares)
konten yang dibuat oleh pengguna lain ke media sosial mereka. Fitur shares ini banyak digunakan
di berbagai media sosial, baik itu Facebook, Youtube, Instagram, maupun Twitter.
Suatu konten dapat dikatakan sebagai konten yang viral jika konten tersebut telah
dibagikan berulang kali oleh pengguna media sosial, serta menyebar di jejaring pengguna media
sosial (Deza and Parikh, 2015). Hasil studi yang dilakukan oleh Deza dan Parikh (Deza and Parikh,
2015) menyebutkan bahwa suatu konten yang viral memiliki nilai skor viralitas yang tinggi
dibandingkan dengan konten lainnya. Skor viralitas ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang
melihat konten tersebut (views), memiliki lebih banyak jumlah pengguna media sosial yang
menyukai konten tersebut (up votes) dibandingkan konten lainnya, memiliki sedikit jumlah
pengguna yang tidak menyukai konten tersebut (down votes), serta memiliki nilai shares atau
jumlah pengguna yang membagikan ulang konten tersebut lebih banyak dibandingkan konten
lainnya.
Seperti yang disebutkan oleh Van Dijk dan Poell (2013) bahwa media sosial memiliki
karakteristik popularitas, yang mana dapat membuat penggunanya menjadi popular. Popularitas
inilah yang membuat banyak pengguna berlomba untuk memproduksi konten yang dapat menjadi
viral. Tidak jarang para pengguna ini merencanakan pembuatan konten yang diprediksi dapat
menjadi viral. Penelitian yang dilakukan oleh Vallet et al (2015) menyebutkan bahwa suatu konten
dapat diperkirakan viralitasnya dengan menghitung nilai popularitas dan viralitas di media sosial.
Pada studi ini media sosial yang digunakan adalah Youtube dan Twitter. Diketahui bahwa nilai
popularitas konten (views) dilihat dari jumlah orang yang melihat konten tersebut, sedangkan untuk
nilai viralitas dilihat dari jumlah penyebutan (mentions) yang dilakukan oleh pengguna media
sosial. Dapat diketahui pula bahwa suatu konten yang memiliki nilai popularitas dan viralitas tinggi
menjadi konten yang paling banyak diakses.
Budaya Sharing Konten Sebagai Alasan Viralitas Konten di Media Sosial
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Nasrullah (2016) menyebutkan bahwa
kehadiran media sosial memunculkan budaya baru di masyarakat, khususnya masyarakat pengguna
media sosial, yaitu budaya sharing konten. Budaya sharing konten yang ada di media sosial tidak
hanya terkait konten yang diproduksi sendiri oleh pengguna media sosial, tapi juga aktivitas re-post
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
152
atau re-share konten yang diproduksi oleh pengguna media sosial lainnya. Budaya ini dapat
berkembang karena setiap media sosial memiliki fitur yang memungkinkan penggunanya dengan
mudah membagikan konten yang diunggah oleh pengguna media sosial lainnya. Fitur share ini
biasanya muncul pada setiap unggahan di media sosial.
Aktivitas sharing konten pun menjadi salah satu aktivitas yang paling cepat berkembang di
media sosial, seperti di Facebook. Media sosial seperti Facebook memiliki struktur sistem yang
memudahkan penggunanya untuk membagikan konten ke jejaring sosial mereka, dengan hanya
mengunggahnya di halaman profile mereka di Facebook (Cohen, 2014). Hal ini pun menjadi salah
satu keunggulan media sosial yang belum dapat disaingi oleh media komunikasi lainnya (Nelson-
Field, Riebe and Newstead, 2013). Cohen (2014) menyebutkan bahwa perkembangan teknologi
membuat aplikasi-aplikasi media sosial ikut berkembang dan menjadikan aktivitas sharing konten
menjadi semakin lazim untuk dilakukan oleh penggunanya. Aktivitas sharing konten telah menjadi
bagian dari pengalaman seorang pengguna dalam menggunakan media sosial, sehingga membuat
pengembang media sosial menampilkan tombol yang dapat memudahkan pengguna untuk sharing
konten.
Cohen (2014) menyebutkan bahwa budaya sharing konten ini dapat berkembang karena
aktivitas sharing konten dapat memberikan kepuasan tersendiri kepada pengguna media sosial
yang melakukannya. Kepuasan dari sharing konten ini dapat berkaitan dengan istilah sharing is
caring, yang mana aktivitas sharing konten ini ditujukan untuk membuat seseorang merasa
berguna atau menolong seseorang melalui tindakan sharing konten. Tidak hanya itu, sharing
konten juga bisa memberikan kepuasan yang menghibur pengguna media sosial.
Hasil studi yang dilakukan oleh Bene (2017) pada konten yang viral saat kampanye pemilu
di Hungarian tahun 2014 menunjukkan bahwa konten-konten yang viral memiliki jumlah share
yang lebih tinggi dibandingkan dengan konten lainnya. Hasil studi lainnya, dilakukan oleh Cohen
(2014), menunjukkan bahwa suatu game dapat menjadi viral karena pengguna game tersebut
membagikan konten terkait game tersebut ke jejaring sosial mereka, salah satunya melalui media
sosial. Studi yang dilakukan oleh Cohen (2014) juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki
kecenderungan yang lebih tinggi untuk share konten kepada peer-group mereka dibandingkan laki-
laki. Sama halnya dengan viralitas konten „Odading Mang Oleh‟, konten tersebut dapat viral di
media sosial karena dibagikan berulang kali oleh para pengguna media sosial.
Peran Influencer dalam Viralitas Konten di Media Sosial.
Viralitas suatu konten di media sosial dapat juga dipengaruhi oleh peran seorang influencer
atau buzzer di media sosial. Influencer merupakan seseorang yang memiliki popularitas tinggi dan
memiliki jumlah pengikut (followers) yang banyak di media sosial (Maharani, 2019). Selain
influencer, ada juga beberapa orang yang disebut sebagai seorang buzzer. Istilah buzzer sendiri
lebih sering digunakan oleh pengguna media sosial Twitter untuk menyebut akun pengguna Twitter
dengan jumlah followers yang banyak, memiliki keunikan yang dapat menimbulkan suatu dampak
di media sosial Twitter, dan bisa merupakan seorang artis/selebritis ataupun orang biasa
(Febriawan and Herawati, 2013).
Peran seorang buzzer atau influencer dalam viralitas suatu konten adalah pada penyebaran
konten kepada khalayak luas, atau pada media sosial sering disebut juga dengan peningkatan
jangkauan konten (reach). Seperti yang sudah disebutkan bahwa seorang influencer ataupun buzzer
memiliki jumlah pengikut yang banyak di media sosial, dibandingkan dengan pengguna media
sosial lainnya. Tidak hanya itu, menurut Woods (2016) para pengikut atau followers dari seorang
influencer memiliki rasa percaya yang tinggi dan ketertarikan yang sama dengan influencer yang
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
153
mereka ikuti. Hal ini membuat para influencers ini dapat menjadi seorang opinion leader atau
pemimpin opini bagi para pengikutnya.
Konektivitas, salah satu karakteristik pada media sosial, membuat para penggunanya dapat
membangun jejaring sosial di media sosial (Nasrullah, 2016). Pada jejaring sosial ini, seorang
influencer atau buzzer dapat diposisikan sebagai node atau simpul jaringan yang dapat
menyampaikan pesan ke jejaring yang mereka miliki (Razis, Anagnostopoulos and Zeadally,
2020). Dengan jumlah pengikut yang banyak seorang influencer ataupun buzzer dapat
meningkatkan nilai viralitas suatu konten dengan meningkatkan jumlah jangkauan konten (reach)
dan keterlibatan pengguna media sosial lainnya (engagement) dalam membahas suatu konten yang
dapat membuat konten tersebut menjadi viral.
Emosi dalam Konten dan Kaitannya dengan Viralitas Konten di Media Sosial
Setelah sebelumnya dibahas terkait budaya sharing konten yang dapat menyebabkan suatu
konten viral, kemudian muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang dapat memotivasi pengguna
media sosial untuk membagikan ulang atau re-share konten, sehingga konten tersebut dapat
menjadi viral. Salah satu alasan utamanya tentu karena pengguna media sosial merasa konten yang
mereka bagikan tersebut memiliki informasi yang berguna, atau ada value yang bermanfaat dan
perlu untuk dibagikan. Pengguna media sosial mungkin membagikan konten yang mereka anggap
bermanfaat dan dapat memberikan nilai lebih untuk jejaring sosialnya, dan sebaliknya, pengguna
media sosial pun berharap untuk mendapatkan nilai tambah dan informasi yang berguna dari
jejaring sosialnya (Berger and Milkman, 2018).
Hasil studi yang dilakukan oleh Dobele et al (2007) menunjukkan bahwa suatu pesan atau
konten yang viral harus memiliki element of surprise, selain itu pesan yang viral tersebut perlu
memiliki emosi yang ada di dalamnya. Emosi yang bisa dimasukkan dalam konten yang viral bisa
berupa emosi yang sifatnya positif ataupun negatif. Berger dan Milkman (2018), dalam studinya,
menyebutkan bahwa konten yang memiliki emosi positif ataupun negatif biasanya lebih viral
dibandingkan dengan konten yang tidak menimbulkan emosi pembacanya. Hasil studi ini pun
menunjukkan bahwa konten dengan emosi positif mendapatkan nilai viralitas yang lebih tinggi
dibandingkan konten dengan emosi negatif. Namun, tidak semua emosi yang negatif memiliki
viralitas yang lebih rendah, ada beberapa emosi negatif yang memiliki pengaruh positif pada nilai
viralitas konten. Studi Berger dan Milkman (2018) menunjukkan bahwa untuk setiap konten yang
dapat memberikan emosi, baik itu positif atau negatif, yang dapat memotivasi seseorang untuk
melakukan sesuatu (activation) memiliki kontribusi positif pada viralitas konten, sedangkan konten
yang tidak memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu (deactivation) memiliki kontribusi
negative, salah satu emosi yang memberikan kontribusi negatif berdasarkan studi Berger dan
Milkman (2018) adalah emosi yang berisi kesedihan (sadness).
Gambar 1. Hasil Studi Berger & Milkman (2018)
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
154
Gambar 1 merupakan hasil studi dari Berger dan Milkman (2018). Pada Gambar 1 dapat
terlihat bahwa konten dengan muatan emosi negatif seperti kemarahan (anger) dan kegelisahan
atau rasa was-was (anxiety) memberikan kontribusi yang positif pada viralitas suatu konten.
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu media sosial di Indonesia, khususnya Youtube, sempat ramai
karena salah satu pengguna mengunggah konten prank memberikan makanan yang ternyata berisi
sampah kepada waria. Konten tersebut menjadi ramai karena dapat membuat para penonton yang
menyaksikan video tersebut marah. Banyak pengguna media sosial yang mengunggah kembali
video tersebut dan memberikan komentar negatif pada postingan video tersebut. Meskipun bernilai
negatif, namun emosi yang dirasakan oleh pengguna media sosial yang mengonsumsi konten
tersebut memotivasi mereka untuk memberikan komentar (comments), meskipun komentar yang
diberikan pun negatif, dan membagikan konten tersebut (shares). Hal ini membuat nilai viralitas
konten tersebut meningkat karena memiliki nilai reach dan shares yang tinggi. Pada Gambar 2,
dapat terlihat bahwa saat video tersebut masih tayang di Youtube jumlah akun yang menonton
video tersebut sampai 45 ribu akun yang menonton (views), dan jumlah pengguna yang mengklik
tombol unlike atau tidak suka sebanyak 7,8 ribu.
Gambar 2. Konten Youtube yang Viral dengan Muatan Emosi Negatif
Hasil studi Berger & Milkman (2018) menunjukkan bahwa konten yang memiliki emosi
positif, seperti practical value, memiliki kontribusi yang positif pada viralitas konten. Sebagai
contoh, penggunaan tagar #10000stepsaday yang sempat viral di media sosial Instagram.
Penggunaan tagar #10000stepsaday sampai hari ini sudah mencapai 62 ribu unggahan. Tagar ini
dapat menjadi viral dan banyak digunakan oleh pengguna Instagram karena memiliki suatu nilai
praktis atau practice value di dalamnya. Pengguna yang mengunggah konten dan menggunakan
tagar #10000stepsaday di Instagram, mayoritas, menggunakan tagar ini pada postingan yang
bertema olahraga. Tidak sedikit pengguna media sosial yang mengunggah perubahan bentuk tubuh
mereka setelah melakukan aktivitas 10 ribu langkah ini, dan menggunakan tagar #10000stepsaday.
Konten dengan tagar ini memotivasi pengguna media sosial lainnya untuk melakukan hal yang
serupa, dan bertujuan untuk mendapatkan bentuk tubuh yang ideal atau untuk tujuan kesehatan.
Tagar ini menjadi salah satu contoh konten dengan emosi practical value yang menjadi viral
(Gambar 3).
Berger dan Milkman (2018) menyebutkan bahwa konten yang memberikan emosi
kesedihan pada pembacanya memberikan kontribusi negatif pada nilai viralitas konten. Namun,
berbeda dengan hasil studi tersebut, di Indonesia konten-konten yang memiliki nilai kemanusiaan
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
155
atau yang dapat menimbulkan emosi sedih atau iba pada masyarakat yang mengonsumsi konten
tersebut, biasanya memiliki nilai viralitas yang tinggi. Sebagi contoh, unggahan status di Instagram
Stories, atau yang biasa disebut sebagai instastory, salah satu dokter spesialis anak di media sosial
Instagram (@citracesilia) yang viral beberapa waktu lalu. Konten yang dibagikan terkait dengan
pengalamannya sebagai dokter yang menangani pasien COVID-19. Konten tersebut memunculkan
emosi sedih dan iba para pengguna media sosial lainnya, yang kemudian memotivasi mereka untuk
mengunggah kembali atau re-post unggahan tersebut ke akun media sosial masing-masing.
Gambar 3. Konten Media Sosial Instagram dengan Emosi Practical Value yang Viral
Dari beberapa contoh fenomena konten yang viral, dapat terlihat bahwa reaksi emosional
pengguna media sosial yang mengonsumsi konten viral tersebut memberikan pengaruh pada
kecenderungan pengguna media sosial untuk re-share atau re-post konten tersebut. Untuk membuat
suatu konten menjadi viral, menurut Berger dan Milkman (2018), lebih baik untuk fokus
memproduksi konten yang bersifat contagious daripada menargetkan orang-orang tertentu.
Gambar 4. Reproduksi Konten 'Odading Mang Oleh'
Fenomena viralnya konten „Odading Mang Oleh‟ juga menjadi salah satu contoh konten
viral yang dapat membuat penikmat kontennya melepaskan emosi tertentu, dalam hal ini emosi
yang keluar karena unsur humor yang ada dalam konten video tersebut. Fungsi utama dari humor
adalah untuk melepaskan emosi positif, sentiment, dan perasaan (feelings). Humor juga menjadi
salah satu elemen yang penting dalam komunikasi, khususnya komunikasi antar budaya. Sama
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
156
halnya dengan konten yang viral, humor juga memiliki elemen surprise (Taecharungroj and
Nueangjamnong, 2015). Pada fenomena vide „Odading Mang Oleh‟ yang viral, dapat terlihat
bahwa konten tersebut mengandung humor yang pada akhirnya menghibur para penontonnya. Hal
ini mendorong para pengguna media sosial yang mengonsumsi video tersebut untuk re-share video
tersebut, ada membahas konten tersebut di media sosial mereka. Tidak sedikit pula para content
creator yang mereproduksi konten „Odading Mang Oleh‟ tersebut. Hal ini tentu memberikan
dampak positif, tidak hanya pada konten video namun juga pada orang yang terlibat dalam konten
„Odading Mang Oleh‟ tersebut.
Viralitas Konten dan Dampaknya Terhadap Pengembangan Komunikasi Pemasaran di
Media Sosial
Fenomena viralitas konten merupakan bagian dari fenomena komunikasi dalam media
sosial yang dapat memberikan pengaruh pada aspek sosial, ekonomi, dan politik (Borges-Tiago,
Tiago and Cosme, 2019). Dalam praktik komunikasi pemasaran, sebelumnya, ada istilah word of
mouth (WOM) yang digunakan oleh para marketers atau pelaku usaha sebagai salah satu aktivitas
komunikasi pemasaran. Aktivitas WOM ini membuat masyarakat membicarakan suatu brand atau
produk dari mulut ke mulut. Pada praktik ini, marketers biasanya menggunakan influencer atau
opinion leader untuk mempromosikan brand atau produk mereka. Namun, praktik komunikasi
pemasaran ini membutuhkan biaya yang tinggi karena setiap influencer memiliki tarif tersendiri
(Berger and Milkman, 2018).
Fenomena viralitas konten di media sosial kemudian dikembangkan oleh para marketers
menjadi salah satu praktik komunikasi pemasaran mereka. Istilah viral marketing pun mulai
digunakan untuk pengembangan komunikasi pemasaran tersebut. Viral marketing atau pemasaran
yang viral disebut sebagai suatu proses yang membuat konsumen mau atau tertarik untuk
menyampaikan kembali pesan marketers ke jejaring sosial mereka. Seperti halnya virus, informasi
terkait brand atau produk dapat dengan cepat menyebar dari konsumen potensial satu ke konsumen
potensial lainnya (Dobele et al., 2007).
Kaplan and Haenlein (2011) melihat bahwa word-of-mouth dan viral marketing merupakan
dua konsep dalam komunikasi pemasaran yang memiliki keterkaitan satu sama lain (Gambar 4).
Word-of-mouth dapat terjadi baik secara offline ataupun online (electronic word-of-mouth). E-
WOM memiliki kelebihan dibandingan WOM konvesional, karena dengan teknologi difusi
informasi pemasaran melalui e-WOM akan lebih cepat dibandingkan dengan WOM konvensional.
Kaplan dan Haenlein (2011) mendeskripsikan viral marketing sebagai bentuk dari e-WOM namun
dengan exponential growth. Viral marketing terdiri dari dua aspek, yang pertama yaitu aspek
growth atau reproduksi konten yang membuat konten tersebut dapat passes ke lebih dari satu
orang. Aspek kedua adalah media sosial, menurut Kaplan dan Haenlin (2011) menyebutkan bahwa
viral marketing dapat terjadi karena perkembangan media sosial dengan karakteristik user
generated content yang dapat membuat penggunanya dapat dengan mudah bertukar konten dengan
pengguna media sosial lainnya.
Kembali membahas fenomena viralitas konten „Odading Mang Oleh‟, sebelum video
„Odading Mang Oleh‟ tersebut menjadi viral sebenarnya makanan odading ini sudah dikenal
masyarakat, namun belum setenar saat ini. Makanan odading ini pun merupakan salah satu
makanan yang disukai oleh Presiden ke-6 Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dan
bahkan menjadi makanan yang disajikan saat George Bush mengunjungi Indonesia
(Tribunnews.com, 2020). Semenjak video „Odading Mang Oleh‟ viral, ada faktor exponential
growth yang membuat makanan odading ini semakin banyak dikenal masyarakat, melalui
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
157
unggahan-unggahan di media sosial, dan membuat pengunjung dan pembeli odading ini menjadi
ramai.
Dobele et al (2007) menyebutkan bahwa pesan yang disampaikan melalui viral marketing
harus dapat membangun hubungan emosional antara campaign dengan penerimanya, dengan tujuan
agar virus‟ pemasarannya dapat tersebarluaskan. Selain itu, pesan dalam viral marketing perlu
bersifat menarik, lucu, atau unik. Hal ini terlihat pada konten video „Odading Mang Oleh‟, yang
mana pada video tersebut Ade Londok, sosok yang ada dalam video tersebut, mempromosikan
makanan odading dengan cara yang nyeleneh dan menggunakan Bahasa Sunda yang kasar. Hal ini
dilihat sebagai sesuatu hal yang lucu bagi para pengguna media sosial, sehingga banyak yang
membahas video ini dan membuat konten „Odading Mang Oleh‟ menjadi viral.
Gambar 5. Kaitan antara Word-Of-Mouth dengan Viral Marketing (Kaplan & Haenlin, 2011)
Hasil studi Ketelaar et al (2016) menunjukkan bahwa konten pemasaran yang disebarkan
melalui media sosial lebih banyak dipengaruhi oleh faktor perilaku (attitudinal factors) seperti
persepsi dan sikap konsumen terhadap brand tertentu, dibandingkan dengan predictor sosial (social
predictors). Aspek social predictors yang dimaksud oleh Ketelaar et al (2016) adalah sender atau
pengirim pesan pemasaran. Sedangkan menurut Huang et al (2019) suatu campaign atau proyek
pemasaran yang memanfaatkan viral marketing dapat berhasil jika melibatkan aspek social
influence, karena pengguna media sosial memiliki kecenderungan untuk membagikan konten dari
sumber yang mereka percaya.
Gambar 6. Campaign #MerdekakanSenyum di Media Sosial
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
158
Salah satu contoh viral marketing campaign yang dilakukan dengan memanfaatkan aspek
social influence adalah campaign #MerdekakanSenyum (Gambar 6) yang sempat viral di media
sosial Instagram. Campaign ini merupakan suatu campaign donasi yang dibuat oleh salah satu
brand pasta gigi. Dalam campaign ini, brand mengangkat nilai kemanusiaan untuk membantu para
pemulung yang terkena dampak saat pandemic COVID-19. Donasi diberikan melalui pembelian
produk pasta gigi tersebut. Campaign #MerdekakanSenyum sempat menjadi viral di media sosial
karena banyak influencers dan pengguna media sosial lain yang terlibat dalam kampanye
pemasaran yang viral atau biasa disebut sebagai viral marketing campaign ini. Keberhasilan dari
viral marketing campaign ini melibatkan aspek attitude, karena memasukkan unsur emosi yang
dapat membentuk sikap konsumen terhadap brand, dan juga para influencers untuk meningkatkan
reach dari campaign tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Dobele et al (2007) melihat enam elemen emosi yang digunakan
di dalam suatu viral marketing campaign. Enam elemen emosi yang digunakan adalah surprised,
joy, sadness, anger, fear, dan disgust. Dari hasil studinya dapat diketahui bahwa elemen emosi
yang paling banyak digunakan dalam viral marketing campaign adalah elemen emosi surprised,
kemudian elemen joy dan sadness.
Gambar 7. Elemen Emosi dalam Viral Marketing Campaign (Dobele et al, 2007)
Wilson (2000) menyebutkan bahwa terdapat enam strategi viral marketing yang dapat
dilakukan agar suatu kampanye dapat berhasil, yaitu:
a. Giveaway product or services
b. Provides for effortless transfer to others
c. Scales easily from small to very large
d. Exploits common motivations and behaviors
e. Utilizes existing communication networks
f. Takes advantage of others' resources
Giveaway merupakan salah satu bentuk strategi viral marketing yang banyak digunakan
oleh brand lokal di Indonesia. Strategi ini dianggap efektif karena konsumen melihat strategi ini
memberikan keuntungan bagi mereka. Strategi giveaway ini dapat dikategorikan sebagai strategi
viral marketing karena melibatkan konsumen, yang juga merupakan pengguna media sosial, untuk
terlibat langsung. Keterlibatan konsumen dapat berupa memberikan likes, comments, atau
memproduksi konten yang menarik terkait dengan brand tersebut. Data dari Google Primet
menyebutkan bahwa 75% dari partisipan giveaway dapat menjadi konsumen di masa depan, hal ini
tentu menjadi suati konversi yang baik (Techinasia, 2018).
PENUTUP
Istilah viral menjadi salah satu istilah yang saat ini melekat dengan penggunaan media
sosial, tidak hanya itu istilah viral pun sering digunakan di media komunikasi lainnya untuk
menunjukkan suatu fenomena atau konten yang menjadi pembicaraan banyak orang. Fenomena
viralitas konten ini berawal dari budaya sharing konten yang ada di tengah masyarakat pengguna
VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL
Lidya Agustina
159
media sosial. Budaya sharing ini dapat tercipta karena perkembangan teknologi yang membuat
media sosial ikut berevolusi dan membuat para penggunanya dapat dengan mudah memproduksi,
membagikan konten, dan bahkan mereproduksi konten yang dibuat pengguna media sosial lainnya.
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan bahwa suatu konten dapat menjadi viral karena
konten tersebut memiliki aspek emosional, sehingga pengguna media sosial yang mengonsumsi
konten tersebut dapat merasakan emosi yang disampaikan. Emosi yang dapat dimasukkan dalam
konten agar menjadi viral dapat bersifat positif ataupun negatif. Meskipun emosi positif lebih
memiliki kecenderungan untuk memberikan kontribusi pada viralitas suatu konten, namun ada
beberapa emosi yang bersifat negatif yang dapat memberikan kontribusi positif pada viralitas
konten. Emosi tersebut seperti anger dan anxiety. Untuk emosi positif yang dapat dimasukkan
dalam konten untuk menaikkan viralitas konten salah satunya adalah emosi practical value yang
dapat membuat pengguna media sosial merasa bahwa ada nilai tambah yang mereka peroleh dari
konten tersebut.
Fenomena viralitas konten tidak hanya membuat suatu konten dikenal oleh banyak orang,
namun juga berdampak pada berbagai aspek, salah satunya adalah aspek pengembangan strategi
komunikasi pemasaran. Istilah viral marketing pun mulai dikenal dan digunakan oleh para
marketers sebagai salah satu strategi komunikasi pemasaran mereka. Viral marketing dilihat
sebagai suatu bentuk pengembangan dari electronic word-of-mouth yang memiliki aspek
exponential growth yang mampu membuat konten tersebut menjadi viral. Sama halnya dengan
konten-konten viral lainnya, untuk viral marketing campaign, konten yang digunakan pun perlu
memiliki aspek emosional yang dapat membangun hubungan emosional antara brand dengan
konsumen. Emosi yang dapat dimasukkan dalam konten viral marketing campaign pun dapat
bersifat positif atau negatif, sesuai dengan tujuan dari viral marketing campaign tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agency, O. (2020a) Facebook by the Numbers: Stats, Demographics & Fun Facts. Available at:
https://www.omnicoreagency.com/facebook-statistics/.
Agency, O. (2020b) Instagram by the Numbers: Stats, Demographics & Fun Facts. Available at:
https://www.omnicoreagency.com/instagram-statistics/#:~:text=More than 50 billion
photos,Location Get 79%25 More Engagement.
Agency, O. (2020c) YouTube by the Numbers: Stats, Demographics & Fun Facts. Available at:
https://www.omnicoreagency.com/youtube-statistics/.
Alhabash, S. et al. (2015) „To comment or not to comment?: How virality, arousal level, and
commenting behavior on YouTube videos affect civic behavioral intentions‟, Computers in
Human Behavior. Elsevier Ltd, 51(PA), pp. 520531. doi: 10.1016/j.chb.2015.05.036.
Bene, M. (2017) „Sharing Is Caring! Investigating Viral Posts on Politicians‟ Facebook Pages
During the 2014 General Election Campaign in Hungary‟, Journal of Information
Technology & Politics. Routledge, 14(4), pp. 387402. doi:
10.1080/19331681.2017.1367348.
Berger, J. and Milkman, K. L. (2018) „Emotion and Virality: What Makes Online Content Go
Viral?‟, GfK Marketing Intelligence Review, 5(1), pp. 1823. doi: 10.2478/gfkmir-2014-
0022.
Borges-Tiago, M. T., Tiago, F. and Cosme, C. (2019) „Exploring users‟ motivations to participate
in viral communication on social media‟, Journal of Business Research. Elsevier,
101(November), pp. 574582. doi: 10.1016/j.jbusres.2018.11.011.
Cohen, E. L. (2014) „What makes good games go viral? the role of technology use, efficacy,
emotion and enjoyment in players‟ decision to share a prosocial digital game‟, Computers
in Human Behavior. Elsevier Ltd, 33, pp. 321329. doi: 10.1016/j.chb.2013.07.013.
DetikInet (2020) Odading Mang Oleh Viral, Begini Lirik Ngegasnya, inet.detik.com. Available at:
https://inet.detik.com/cyberlife/d-5178659/odading-mang-oleh-viral-begini-lirik-
MAJALAH ILMIAH SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA
Vol. 1 No. 2 Desember 2020 Hal : 149 - 160
160
ngegasnya.
Deza, A. and Parikh, D. (2015) „Understanding image virality‟, Proceedings of the IEEE Computer
Society Conference on Computer Vision and Pattern Recognition, 07-12-June-2015, pp.
18181826. doi: 10.1109/CVPR.2015.7298791.
van Dijck, J. and Poell, T. (2013) „Understanding social media logic‟, Media and Communication,
1(1), pp. 214. doi: 10.12924/mac2013.01010002.
Dobele, A. et al. (2007) „Why pass on viral messages? Because they connect emotionally‟,
Business Horizons, 50(4), pp. 291304. doi: 10.1016/j.bushor.2007.01.004.
Febriawan, B. and Herawati, F. A. (2013) „Faktor-Faktor Yang Berperan Pada Digital Agency
Dalam Pemilihan Buzzer Di Twitter‟, Jurnal Ilmu Komunikasi, pp. 119.
Huang, H. et al. (2019) „Community-based influence maximization for viral marketing‟, Applied
Intelligence. Springer, 49(6), pp. 21372150.
Kaplan, A. M. and Haenlein, M. (2011) „Two hearts in three-quarter time: How to waltz the social
media/viral marketing dance‟, Business Horizons. „Kelley School of Business, Indiana
University‟, 54(3), pp. 253–263. doi: 10.1016/j.bushor.2011.01.006.
Ketelaar, P. E. et al. (2016) „The success of viral ads: Social and attitudinal predictors of consumer
pass-on behavior on social network sites‟, Journal of Business Research. Elsevier Inc.,
69(7), pp. 26032613. doi: 10.1016/j.jbusres.2015.10.151.
Kurniadi, M. R. P. (2020) Apa sih arti “viral” yang sebenarnya?, medium.com. Available at:
https://medium.com/@mrizkypk/apa-sih-arti-viral-yang-sebenarnya-83061aaf56bd.
Maharani, E. S. (2019) „Dominasi Perempuan sebagai Object Visual dalam Digital Influancer‟,
(September).
Muslimah, S. (2016) Kisah Nama Mukidi yang Lagi Heboh Jadi Bahan Candaan dan Viral,
detiknews.com. Available at: https://news.detik.com/berita/d-3284373/kisah-nama-mukidi-
yang-lagi-heboh-jadi-bahan-candaan-dan-viral.
Nasrullah, R. (2016) Media Sosial: Perspetif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Nelson-Field, K., Riebe, E. and Newstead, K. (2013) „The emotions that drive viral video‟,
Australasian Marketing Journal. Australian and New Zealand Marketing Academy., 21(4),
pp. 205211. doi: 10.1016/j.ausmj.2013.07.003.
Razis, G., Anagnostopoulos, I. and Zeadally, S. (2020) „Modeling influence with semantics in
social networks: A survey‟, ACM Computing Surveys, 53(1). doi: 10.1145/3369780.
Social, W. A. (2020) DIGITAL 2020: INDONESIA. Available at:
https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia (Accessed: 1 November 2020).
Taecharungroj, V. and Nueangjamnong, P. (2015) „Humour 2.0: Styles and Types of Humour and
Virality of Memes on Facebook‟, Journal of Creative Communications, 10(3), pp. 288
302. doi: 10.1177/0973258615614420.
Techinasia (2018) Kiat-Kiat Menjalankan Kampanye Giveaway Online. Available at:
https://id.techinasia.com/kiat-giveaway-online.
Tribunnews.com (2020) Sosok Sholeh, Pemilik Odading Mang Oleh yang Viral, Jualan 30 Tahun
& Disukai SBY Hingga Presiden AS. Available at:
https://newsmaker.tribunnews.com/2020/09/17/sosok-sholeh-pemilik-odading-mang-oleh-
yang-viral-jualan-30-tahun-disukai-sby-hingga-presiden-as?page=all.
Vallet, D. et al. (2015) „Characterizing and predicting viral-and-popular video content‟,
International Conference on Information and Knowledge Management, Proceedings, 19-
23-Oct-2015, pp. 15911600. doi: 10.1145/2806416.2806556.
Wilson, R. F. (2000) „The six simple principles of viral marketing‟, Web marketing today, 70(1), p.
232.
Woods, S. (2016) „# Sponsored : The Emergence of Influencer Marketing # Sponsored : The
Emergence of Influencer Marketing‟, p. 26.
... Sekarang, berkomunikasi sudah sangat mudah dengan melalui telepon. Kita juga bisa mengetahui kabar seseorang melalui media sosialnya, untuk mengenal orang tidak perlu Jurnal Prosiding Mateandrau -VOLUME 2, NO.2, NOVEMBER 2023 bertatap muka secar langsung, dengan media social kita bisa berteman dengan banyak orang dengan mudah (Agustina, 2020). ...
Article
Researchers see that the lifestyle of students who are more influenced by TikTok, which has now become a necessity for students, is no longer just entertainment or a communication tool, but more than that. So to find out how much negative and positive impact caused by Instagram social media, researchers are interested in doing this research. This study uses a descriptive quantitative approach. The instruments used in this method have been predetermined and well-organized so that they do not provide many opportunities for flexibility, imaginative input and reflexivity, namely the instrument in the form of a questionnaire (questionnaire). PGSD student at Muria Kudus University. This is supported by the results of the significance test (Sig) which shows that the Sig value is 0.013, which means it is smaller than the significance criterion (0.05). Therefore, it can be concluded that the regression equation model which is based on research data is significant. At the end of the study, all established success criteria had been met. In other words, this research is categorized as successful.
... Selanjutnya, individu sebagai seorang fans juga dapat harus bahwa media sosial, terutama Twitter, tidak hanya mencerminkan dinamika eksisting dalam komunitas K-Pop tetapi juga dapat memperkuat dan mempercepatnya. Dalam hal ini, viralitas konten yang diunggah oleh penggemar, baik yang bersifat positif maupun negatif, memiliki peran penting (Agustina, 2020). Konten yang menjadi viral dengan cepat dapat memperkuat persepsi fanatisme, memperdalam konflik, dan menciptakan dampak jangka panjang terhadap citra grup dan penggemar (Yumna et al., 2020). ...
Article
Full-text available
This research delves into the fanwar phenomenon involving two K-Pop fan groups, namely EXO-L and ARMY, adopting a qualitative approach. The research focuses on the complex dynamics of group communication on social media, particularly on platforms like Twitter. The fanwar phenomenon emerges because of intense interaction between these two fan groups, involving differences of opinion, competition, and provocation. A qualitative approach is chosen to deeply understand group interactions, with interviews as the primary method of data collection. The analysis of group communication and the impact of social media on fan group dynamics are key concepts in this research. The research findings indicate that Twitter serves as a central space for group interactions, creating dynamics that encompass both positive and negative aspects. Fanwar becomes a primary focus in the research results, highlighting differences in opinions and competition. Conflict management strategies, including conflict avoidance policies, emerge as crucial approaches in responding to fanwar. Moreover, the presence of the fanwar phenomenon in this research explains the cohesion of the group and the potential for division. By delving into the fanwar phenomenon, this research provides insights into the complexity of interactions among K-Pop fan groups in the era of social media. This phenomenon not only reflects the internal dynamics of fan groups but also underscores the significant role of social media in shaping group interactions and perceptions in the contemporary era. Penelitian ini membahas secara mendalam fenomena fanwar yang melibatkan dua kelompok penggemar K-Pop, yaitu EXO-L dan ARMY, dengan mengadopsi pendekatan kualitatif. Fokus penelitian tertuju pada dinamika kompleks komunikasi kelompok dalam media sosial, terutama di Twitter. Fenomena fanwar muncul sebagai hasil dari interaksi intensif antara kedua kelompok penggemar yang melibatkan perbedaan pendapat, persaingan, dan provokasi. Pendekatan kualitatif dipilih untuk memahami secara mendalam interaksi kelompok, dengan wawancara sebagai metode utama pengumpulan data. Analisis komunikasi kelompok dan dampak media sosial pada dinamika kelompok penggemar menjadi konsep utama dalam penelitian ini. Temuan penelitian menunjukkan bahwa Twitter menjadi wadah sentral bagi interaksi kelompok, menciptakan dinamika yang mencakup aspek positif dan negatif. Fanwar menjadi fokus utama dalam hasil penelitian, menyoroti perbedaan pendapat dan persaingan antarkelompok. Strategi manajemen konflik, menjadi salah satu kebijakan menghindari konflik yang penting sebagai pendekatan dalam merespon fanwar. Selain itu, adanya fenomena fanwar dalam penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat kohesivitas kelompok dan potensi perpecahan. Dengan mendalami fenomena fanwar, penelitian ini memberikan pemahaman tentang kompleksitas interaksi kelompok penggemar K-Pop dalam era media sosial. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan dinamika internal kelompok penggemar, tetapi juga mencerminkan peran penting media sosial dalam membentuk interaksi dan persepsi kelompok di era kontemporer.
... konten tersebut. Keunggulan media sosial sebagai alat komunikasi yang efisien dalam lanskap digital kontemporer, dimana platform virtual memfasilitasi interaksi dan pertukaran ide (Agustina, 2020). ...
Article
Penelitian ini bertujuan menyelidiki dampak perilaku komunikasi yang disebabkan oleh penggunaan media sosial. Kemajuan teknologi memang sangat pesat; Kehadiran media sosial memberikan contoh bahwa platform komunikasi dapat beroperasi secara efisien tanpa mengorbankan waktu dan tenaga. Subyek penelitian yang dijadikan bahan kajian adalah mahasiswa Universitas Tidar. Pengkajian ini berupaya untuk menilai kemanjuran dan dampak media sosial terhadap Komunikasi mahasiswa, mengingat pemanfaatannya yang luas dalam masyarakat kontemporer. Kemudian metode yang di terapkan dalam penelitian ini adalah kuantitatif, dipilih karena menyajikan data akurat mengenai efektivitas media sosial dalam memfasilitasi komunikasi antar mahasiswa. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang diisi oleh 70 peserta mahasiswa yang memenuhi kriteria sebagai mahasiswa aktif di Universitas Tidar. Temuan kuesioner menunjukkan bahwa media sosial mempengaruhi praktik komunikasi mahasiswa secara signifikan. Pada hasil data ditemukan responden terbanyak berasal dari jurusan Ilmu Komunikasi yang berjumlah 28 responden dengan persentasi 40% diikuti mahasiswa jurusan Akuakultur sebanyak 7 responden dengan persentase 10% dan terakhir mahasiswa jurusan hukum sebanyak 5 responden dengan persentase 7,1% dari pemaparan hasil data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa media sosial di era modern ini berkembang pesat dalam lini kehidupan manusia, khususnya mahasiswa Universitas Tidar yang menggunakan media sosial sebagai sarana berkomunikasi, sehingga penemuan ini bertujuan menjelaskan isu-isu terkait dengan media sosial yang dianggap sebagai saluran komunikasi yang efisien dalam masyarakat kontemporer. Kata Kunci : Media Sosial, Pola Komunikasi, Mahasiswa
... Sebuah konten dapat dikatakan viral apabila konten tersebut telah dibagikan berulangulang oleh para pengguna media sosial (Agustina, 2020). Hingga tanggal 31 Mei 2024, konten yang diunggah Azril telah dibagikan sebanyak 121,6 ribu kali oleh pengguna TikTok lainnya. ...
Article
The rapid development of social media as it is today, has given rise to many types of social media as a means of fulfilling communication for its users. TikTok is one of the social media that is currently popular among its users. Many people appear to create content. Azril Ibrahim is one of the students from the Darul Arqam Garut Islamic Boarding School who uploaded content until the content went viral and attracted the attention of many people. The content is a video containing footage of Azril and his classmates when they were doing Umrah activities as part of their graduation series. This study aims to analyze the relationship between the use of TikTok social media @zrilibraa and the decision to become a student at the Darul Arqam Garut Islamic Boarding School in 2024. The method used is a quantitative method with the uses and gratification theory and a correlational study approach. The results of this study indicate that the use of social media Tiktok @zrilibraa which includes (1) Context (2) Communication (3) Collaboration (4) Connection has a relationship with the decision to become a student at Darul Arqam 2024. Abstrak. Perkembangan media sosial yang begitu pesat seperti saat ini, telah memunculkan banyak sekali jenis media sosial sebagai sarana pemenuhan komunikasi bagi para penggunanya. TikTok merupakan salah satu media sosial yang saat ini sedang digemari oleh para penggunanya. Banyak orang bermunculan untuk membuat suatu konten. Azril Ibrahim merupakan salah satu santri dari Pondok Pesantren Darul Arqam Garut yang mengunggah suatu konten hingga konten tersebut menjadi viral dan menarik perhatian banyak orang. Konten tersebut merupakan sebuah video yang berisi cuplikan Azril beserta teman-teman sekelasnya ketika sedang melaksanakan kegiatan umrah sebagai bagian dari rangkaian wisuda mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara penggunaan media sosial TikTok @zrilibraa dengan keputusan menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut tahun 2024. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan teori uses and gratification serta pendekatan studi korelasional. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial Tiktok @zrilibraa yang meliputi (1) Konteks (2) Komunikasi (3) Kolaborasi (4) Koneksi memiliki hubungan dengan keputusan menjadi mahasiswa Darul Arqam 2024.
... Dalam beberapa kasus, tindakan olok-olok bahkan dianggap sebagai hiburan tanpa memikirkan dampaknya. Fenomena ini semakin diperparah oleh budaya media sosial yang sering kali mendorong perilaku negatif melalui komentar dan unggahan viral (Agustina, 2020). ...
Article
Full-text available
Fenomena olok-olok terhadap penjual es teh keliling yang dilakukan oleh beberapa oknum masyarakat menunjukkan adanya kekurangan pemahaman dan penerapan adab dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku ini tidak hanya melukai harga diri korban, tetapi juga mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya adab sebelum ilmu dalam bermasyarakat. Adab merupakan pondasi utama dalam membangun hubungan sosial yang harmonis dan etis, sementara ilmu adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Melalui sosialisasi, masyarakat dapat diajak untuk memahami pentingnya adab sebelum ilmu, sehingga perilaku seperti hujatan atau olok-olok dapat diminimalisasi. Hasil sosialisasi menunjukkan bahwa pendekatan edukasi berbasis nilai moral dan agama dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menghargai sesama, terutama mereka yang bekerja keras untuk mencari nafkah. Program ini berhasil menurunkan potensi terjadinya perilaku tidak beradab, seperti olok-olok, dengan memberikan pandangan baru tentang pentingnya empati dan penghormatan terhadap sesama manusia. Melalui penguatan nilai-nilai adab sebelum ilmu, diharapkan masyarakat tidak hanya menjadi lebih beradab dalam tindakan, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam lingkungannya. Kegiatan ini merekomendasikan adanya keberlanjutan sosialisasi serupa untuk memperluas dampak positifnya, terutama di daerah-daerah dengan tingkat interaksi sosial yang tinggi.
... Tidak bisa dipungkiri bahwa konten yang diunggah dalam media sosial akan menyebar dengan sangat cepat. (Agustina, 2020) konten yang viral akan tersebar dengan cepat oleh pengguna media sosial. ...
Article
Full-text available
This study aims to present and uncover the meaning of the impact of bullying as depicted in the film "Kenapa Gue?" through Van Dijk's critical discourse analysis approach. The film portrays bullying in a college environment that leads to suicide. This research employs a descriptive-qualitative method by watching the film and analyzing it using Van Dijk's macrostructure, superstructure, and microstructure models. The results show that the film reflects social issues relevant to technological advancements, particularly in the context of cyberbullying and the wise use of social media to avoid prolonged negative effects. The analysis also emphasizes that the discourse in the film significantly impacts public understanding of the consequences of bullying and the importance of social support in preventing it.
... Kajian (Agustina, 2020), berjudul "Viralitas Konten di Media Sosial" yang diterbitkan oleh Majalah Semi Ilmiah Populer Komunikasi Massa, mengungkapkan bahwa sebuah konten bisa menjadi viral karena menarik perhatian emosional pengguna media sosial, yang mendorong mereka untuk membagikan ulang (repost) konten tersebut. Fenomena viralitas ini tentunya berdampak pada komunikasi pemasaran. ...
Article
Full-text available
Penelitian ini dimulai dari pengamatan terhadap tren di TikTok yang dikenal sebagai 'Marriage is Scary'. Aplikasi berbagi video singkat ini sangat populer di kalangan Gen Z, yang merupakan generasi digital natives, sebagai sumber informasi maupun hiburan. Media sosial ini dianggap sangat cepat dan mudah untuk memperoleh berbagai informasi, mulai dari edukasi, media politik, hingga curahan hati pengguna secara real-time. Dengan satu klik, video yang diinginkan dapat muncul secara instan, dan algoritmanya membantu meningkatkan isu-isu menjadi trending melalui FYP (For Your Page). Namun, tidak semua tren yang muncul memberikan dampak positif, seperti tren 'Marriage is Scary' yang tampaknya mendorong perempuan untuk menetapkan standar tertentu bagi calon pasangannya. Video-video tersebut menampilkan narasi ketakutan dan kekhawatiran perempuan dalam menjalin hubungan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori agenda setting untuk menganalisis fenomena 'Marriage is Scary' di kalangan pengguna TikTok dan memahami lebih dalam pandangan generasi Z terhadap tren ini. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dan pendekatan deskriptif, menggunakan wawancara dengan beberapa anggota Gen Z serta studi literatur sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya popularitas tren ini di TikTok dan Google Trends menandakan bahwa tingginya minat publik pada isu ini, khususnya bagi perempuan yang merasa terkait dengan narasi kekhawatiran dalam pernikahan, sehingga menciptakan standar tertentu bagi pasangan hidup mereka.
Article
Full-text available
Abstract Influencers represent a group with significant attraction and substantial impact in society, particularly on social media platforms. They consistently update their social media posts through various creative methods, whether through images, videos, or live broadcasts, while actively engaging with followers to maintain their influence and support in the virtual sphere. This study analyzes this phenomenon through a review of previous research, focusing on two main aspects: factors contributing to video virality and the role of Islamic influencers in conveying da'wah through Instagram(IG). Employing a literature content analysis approach from 2018 to 2023, this study identifies five key factors influencing the virality of da'wah videos: quality of visual and creative content, content currency, emotional engagement and storytelling, interactivity and community involvement and influencer credibility and authenticity. The analysis also demonstrates that Islamic influencers serve as opinion leaders, digital community builders, and bridges between traditional Islamic teachings and modern life realities. Therefore, researchers hope this study can contribute to understanding social media optimization for da'wah purposes in the contemporary digital era and provide valuable insights for researchers in the field of Islamic digital communication. Abstrak Influencer atau pempengaruh merupakan golongan yang mempunyai daya tarikan yang kuat dan impak yang besar dalam masyarakat khususnya di media sosial. Mereka secara konsisten mengemaskini posting-posting di media sosial dengan pelbagai kaedah yang kreatif sama ada menerusi gambar, video atau siaran langsung. Pada masa yang sama juga mereka berinteraksi dengan para peminat dengan aktif supaya dapat mengekalkan pengaruh dan sokongan terhadap mereka secara tidak langsung di alam maya. Kajian ini menganalisis fenomena tersebut melalui sorotan terhadap kajian-kajian lepas dengan memberi tumpuan kepada dua aspek utama: faktor-faktor ketularan video dan peranan influencer dakwah dalam menyampaikan dakwah melalui Instagram(IG). Menggunakan pendekatan analisis kandungan literatur dari tahun 2018 hingga 2023, kajian ini mendapati lima faktor utama yang mempengaruhi ketularan video dakwah iaitu kualiti kandungan visual dan kreatif, kekinian kandungan, penglibatan emosi dan storytelling, interaktiviti dan penglibatan komuniti serta kredibiliti dan keaslian influencer. Analisis juga menunjukkan bahawa influencer dakwah berperanan sebagai pemimpin pendapat, pembina komuniti digital, pengendali isu kontemporaridan jambatan antara ajaran Islam tradisional dengan realiti kehidupan moden. Justeru, pengkaji berharap kajian ini dapat menyumbang kepada pemahaman tentang pengoptimuman media sosial untuk tujuan dakwah dalam era digital kontemporari dan memberikan pandangan bernilai kepada para penyelidik dalam bidang komunikasi digital Islam.
Article
Full-text available
Social media virality can expedite the resolution of legal cases, but it is not a suitable foundation for attaining genuine justice in Indonesian law enforcement because it can lead to inequality and human rights violations, particularly when viewed through the lens of Islamic law, which places a strong emphasis on preventing injustice. This research explains how the virality of social media affects the existence of a just legal construction from the perspective of Islamic law. Combining juridical and empirical approaches, this research draws on primary data from viral cases in several journal articles, analysed using the normative-qualitative method. Legal materials used to analyse data include primary legal materials, such as laws and regulations, secondary legal materials in textbooks containing legal theories and reasoning, and journals. The research results are presented in descriptive-analytical form. The results of this study reveal that although viral legal cases receive faster attention, the phenomenon of "no viral no justice" cannot ensure the achievement of true justice. This concept contributes to unequal case handling and risks violating individual rights. By examining the connection between social media virality and justice in Indonesian law enforcement, this research integrates Islamic law principles, particularly the concept of “blocking the means of evil” (saddu al-dzari'ah), emphasising the prevention of damage resulting from injustice. This research offers an approach to understanding the impact of social media virality on the legal process, highlighting how social media can influence public perception and, in turn, legal decisions.
Article
Full-text available
Religious fanaticism and intolerance have been and are spreading in today's digital space. Everyone lives individualistically and does not want to care about others, the result is often creating polarization and separation. Therefore, a spirit of inclusivity and solidarity is needed to maintain interfaith peace in the context of a network society. This research uses the Critical Discourse Analysis (CDA) method, which descriptively examines the necessary texts and documents and criticizes them. The theoretical analysis departs from the views of Amartya Sen and F. Budi Hardiman. The results show that Sen emphasizes the importance of not only affiliating with a singular identity but realizing and appreciating the multiplicity of identities. Hardiman elaborates on the importance of ethical moral principles in digital space to prevent fanaticism and religious radicalism. Both Sen and Hardiman emphasize the importance of the spirit of inclusivity and solidarity to build interfaith peace in the public sphere through respect the different of perspective and identity of others. Keywords: digital, identity, inclusive, peace, religion Abstrak: Fanatisme dan intoleransi beragama telah dan sedang menjamur di ruang digital dewasa ini. Setiap orang hidup secara individualis dan tidak mau peduli dengan orang lain, akibatnya seringkali menciptakan polarisasi hingga perpecahan. Untuk itu sangat diperlukan semangat inklusivitas dan solidaritas dalam menjaga perdamaian antaragama pada konteks masyarakat jaringan. Penelitian ini menggunakan metode Critical Discourse Analysis (CDA), yaitu meneliti secara deskriptif teks dan dokumen yang diperlukan dan mengkritisinya. Analisis teori berangkat dari pandangan Amartya Sen dan F. Budi Hardiman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sen menekankan pentingnya tidak hanya berafilisasi pada identitas tunggal, tetapi menyadari dan menghargai keragaman identitas. Hardiman mengelaborasi pentingnya prinsip moral etis dalam ruang digital untuk mencegah fanatisme hingga radikalisme agama. Baik Sen dan Hardiman sama-sama memberi penekanan pada pentingnya semangat inklusivitas dan solidaritas untuk membangun perdamaian antaragama dalam ruang publik melalui penghargaan terhadap perbedaan perspektif dan identitas orang lain. Katakunci: agama, digital, identitas, inklusif, perdamaian
Article
Full-text available
"Companies are relying more and more on online communication to reach consumers. While some viral campaigns are tremendously successful, others remain far below expectations. But why are certain pieces of online content more viral than others? An analysis conducted on the New York Times’ most-emailed list, along with further experimental evidence, showed that positive content is more viral than negative content. However, the relationship between emotion and social transmission is more complex than valence alone. Virality is driven, in part, by activation and arousal. Content that evokes either high-arousal positive emotions (awe) or negative emotions (anger or anxiety) tends to be more viral. Content that evokes low arousal or deactivating emotions (e.g., sadness) tends to be less viral. These results were also true when examining how surprising, interesting, or practically useful content is (all of which are positively linked to virality), as well as external drivers of attention (e.g., how prominently content is featured). Taking the effect of emotions into account helps to design effective viral marketing campaigns. "
Article
Full-text available
Derived from the idea of word-to-mouth advertising and with applying information diffusion theory, viral marketing attracts wide research interests because of its business value. As an effective marketing strategy, viral marketing is to select a small set of initial users based on trust among close social circles of friends or families so as to maximize the spread of influence in the social network. In this paper, we propose a new community-based influence maximization method for viral marketing that integrates community detection into influence diffusion modeling, instead of performing community detection independently, to improve the performance. We first build a comprehensive latent variable model which captures community-level topic interest, item-topic relevance and community membership distribution of each user, and we propose a collapsed Gibbs sampling algorithm to train the model. Then we infer community-to-community influence strength using topic-irrelevant influence and community topic interest, and further infer user-to-user influence strength using community-to-community influence strength and community membership distribution of each user. Finally we propose a community-based heuristic algorithm to mine influential nodes that selects the influential nodes with a divide-and-conquer strategy, considering both topic-aware and community-relevant to enhance quality and improve efficiency. Extensive experiments are conducted to evaluate effectiveness and efficiency of our proposals. The results validate our ideas and show the superiority of our method compared with state-of-the-art influence maximization algorithms.
Article
Full-text available
The discovery of influential entities in all kinds of networks (e.g. social, digital, or computer) has always been an important field of study. In recent years, Online Social Networks (OSNs) have been established as a basic means of communication and often influencers and opinion makers promote politics, events, brands or products through viral content. In this work, we present a systematic review across i) online social influence metrics, properties, and applications and ii) the role of semantic in modeling OSNs information. We end up with the conclusion that both areas can jointly provide useful insights towards the qualitative assessment of viral user-generated content, as well as for modeling the dynamic properties of influential content and its flow dynamics.
Article
Full-text available
The study investigates 25 viral posts during the Hungarian general election campaign in 2014. These are posts whose numbers of shares were much higher than the average shares of their posters’ posts. The study addresses the question of what kind of contents may get viral and how this happens. First, it investigates the most specific and common features of the contents of these posts. Second, the way they are shared and the effects they may evoke within personal networks are examined. Results show the prominence of negativity, undistorted message transmission and a low reactivity level to the shares.
Article
Full-text available
This study investigates which factors predict whether consumers will pass on viral advertising communications to their friends on a social network site. A conceptual framework consisting of three attitudinal and three social predictors of forwarding online content was tested using three real-life advertising campaigns that were spread simultaneously through the Dutch social network site Hyves. Results show that viral advertising pass-on behavior was significantly predicted by a positive attitude toward the brand, the ad, and toward viral advertising in general. For two of the three ads participants were more likely to forward the ad when the ad was received from a friend rather than a company. The present study is the first to investigate the predictors of actual pass-on behavior of viral advertisements in the context of a social network site, thereby significantly contributing to existing knowledge on the drivers of viral advertising success.
Article
Despite the popularity of viral marketing, its influencing factors have not been thoroughly investigated, especially in the context of social media. Successful viral communication depends on the sender's ability to turn receivers into active marketers, which requires the sender to consider both the perspective of the user/recipient and the message content. As the best means of engaging with social-media users and leading them to make a communication viral remains debated, this study seeks to determine the factors that influence users’ willingness to share viral content. In this investigation, partial least squares structural equation modeling was employed to analyze data gathered from an online survey of Facebook users, focusing on a case study of a Facebook event. The results showed that meaningful content affects users’ attitudes regarding sharing communications, and revealed significant differences between user groups regarding the effect the emotional tone and arousal level of content has on sharing behaviors.
Conference Paper
The proliferation of online video content has triggered numerous works on its evolution and popularity, as well as on the effect of social sharing on content propagation. In this paper, we focus on the observable dependencies between the virality of video content on a micro-blogging social network (in this case, Twitter) and the popularity of such content on a video distribution service (YouTube). To this end, we collected and analysed a corpus of Twitter posts containing links to YouTube clips and the corresponding video meta-data from YouTube. Our analysis highlights the unique properties of content that is both popular and viral, which allows such content to attract high number of views on YouTube and achieve fast propagation on Twitter. With this in mind, we proceed to the predictions of popular-and-viral clips and propose a framework that can, with high degree of accuracy and low amount of training data, predict videos that are likely to be popular, viral, and both. The key contribution of our work is the focus on cross-system dynamics between YouTube and Twitter. We conjecture and validate that cross-system prediction of both popularity and virality of videos is feasible, and can be performed with a reasonably high degree of accuracy. One of our key findings is that YouTube features capturing user engagement, have strong virality prediction capabilities. This findings allows to solely rely on data extracted from a video sharing service to predict popularity and virality aspects of videos.
Article
This research analyzes the communication process of humorous memes in the most vibrant online phenomenon, Facebook. Through quantitative and qualitative content analysis of 1,000 memes shared on a Facebook page, this research tests the effect of various styles and types of humour on the virality of memes. Self-defeating is the most effective style of humour although it is not the most frequently used. By applying the typology used in the context of broadcast and print media, this study shows that although sarcasm and silliness are the two most prevalent types of humour used in Internet memes, no obvious differences can be observed in the effects of seven types of humour—comparison, personification, exaggeration, pun, sarcasm, silliness and surprise—on virality. Nevertheless, the authors develop the framework for humorous memes in social media communications by combining established communication models with the concepts and theories of humour and virality. The findings of this research may benefit practitioners who are involved in humour communications on social media. The framework and insights on the styles and types of humour in social media memes may also be helpful for researchers aiming to further explore the relevant topics.
Article
An experiment investigated the effects of commenting behavior, virality, and arousal level on anti-cyberbullying civic behavioral intentions. Participants (N = 98) were exposed to cyberbullying-related YouTube videos that varied in arousal level (low vs. high), number of views (low vs. high), and commenting behavior where they either commented on the video or did not comment after watching it. Participants expressed greater Civic Behavioral Intentions (CBI) upon exposure to highly than lowly arousing videos. Additionally, they expressed greater CBI when instructed to comment on highly arousing videos with high than low views, while those who did not comment on highly arousing videos expressed greater CBI upon exposure to videos with low than high views. As for lowly arousing videos, participants who were instructed to comment expressed greater CBI when the video had low than high views, while those who did not comment did not differ in CBI as a function of the number of views. Viral behavioral intentions (VBI) were the strongest predictors of CBI with degrees that varied as a function of commenting behavior, virality, arousal level, and the interactions among them. Results are discussed within the framework of the relationship between online engagement and offline civic action.