Available via license: CC BY-NC-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 260
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
VITALITAS BAHASA SALEMAN DI NEGERI SALEMAN
The Vitality of Saleman Language in Saleman Village
Mardi Nugroho
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
mardinugroho16@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman dan berusaha
menjelaskan vitalitas itu berdasarkan faktor-faktor yang menentukan vitalitas bahasa. Manfaat penelitian ini ialah
memberi informasi berharga bagi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta pemerintah daerah untuk
menyusun skala prioritas pelindungan bahasa daerah. Selain itu, penjelasan mengenai vitalitas bahasa Saleman
berdasarkan faktor-faktor yang menentukan vitalitas bahasa dapat dijadikan acuan dalam kegiatan konservasi dan
revitalisasi bahasa Saleman. Penelitian ini menggunakan metode campuran, yaitu metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Metode yang dominan ialah metode kuantitatif, pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner. Metode
kualitatif dimanfaatkan untuk membantu memberikan penjelasan dari temuan metode kuantitatif, pengumpulan
data dilakukan dengan wawancara. Pengolahan data penelitian yang berupa tanggapan responden terhadap
kuesioner dilakukan secara kuantitatif. Sebelum pengolahan data, dilakukan pengeditan data dan pengodean data.
Analisis data hasil wawancara dilakukan secara kualitatif dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman
dalam tingkat mengalami kemunduran. Empat faktor yang menentukan vitalitas bahasa, yaitu kontak bahasa, ranah
penggunaan bahasa, dokumentasi, dan respons terhadap tantangan baru nilai indeksnya lebih rendah daripada nilai
indeks total. Keempat faktor itulah yang menjadi penyumbang utama vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman
rendah, yaitu dalam tingkat mengalami kemunduran.
Kata-kata kunci: vitalitas bahasa Saleman, Negeri Saleman, Maluku
Abstract
This study aims to investigate the vitality of the Saleman language in Saleman village and try to explain this
vitality based on the factors that determine the vitality of the language. The benefit of this research is, provides
valuable information for the National Agency for Language Development and Cultivation, as well as local
governments in setting priorities for local language protection. Besides, an explanation of the vitality of the
Saleman language, based on the factors that determine the vitality of the language, can use a reference in
conservation and revitalization activities for the Saleman language. This research used mixed methods, namely
quantitative and qualitative methods. The dominant method is quantitative, data collection done through a
questionnaire. Qualitative methods used to help explain the findings of quantitative methods, data collection
done by interview. Research data processing in the form of respondents' responses to the questionnaire carried
out quantitatively. Before data processing, data editing, and data coding performed. The data analysis conducted
qualitatively with the steps of data reduction from the interview, data display, and conclusion drawing. The
results showed that the vitality of the Saleman language in the Saleman Village eroding. The four factors that
determine the vitality of language, namely language contact, the realm of language use, documentation, and
responses to new challenges, have lower index scores than the total index value. These four factors are the main
contributors that show the vitality of the Saleman language in Saleman VIllage is low. It might say they are in a
level of eroding.
Keywords: the vitality of the Saleman language, Saleman Village, Maluku
How to Cite: Nugroho, Mardi. (2020). Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman. Ranah: Jurnal Kajian
Bahasa. 9(2). 260—271. doi: https://doi.org/10.26499/rnh.v9i2.2938
Naskah Diterima Tanggal 21 Maret 2020—Direvisi Akhir Tanggal 12 November 2020—Disetujui Tanggal 7 Desember 2020
doi: https://doi.org/10.26499/rnh.v9i2.2938
Mardi Nugroho
261 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
PENDAHULUAN
Kekayaan budaya di Indonesia berupa bahasa daerah berjumlah ratusan. Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa (2017a) telah menginventarisasi dan mendeskripsikan 652 bahasa
daerah di Indonesia. Ratusan bahasa daerah itu harus dilindungi sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 (Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, 2011).
Pelindungan bahasa-bahasa daerah dilakukan antara lain untuk meminimalkan pergeseran
bahasa dan kepunahan bahasa daerah. Hal itu karena sudah banyak penelitian yang
menginformasikan adanya pergeseran dan kepunahan bahasa daerah di Indonesia. Beberapa di
antaranya ialah penelitian Katubi (2011), yaitu pergeseran bahasa dalam masyarakat Kui;
Mardikantoro (2012), yaitu pergeseran bahasa pada masyarakat Samin; Sahril (2018), yaitu
pergeseran bahasa daerah pada anak-anak di Kuala Tanjung, Sumatera Utara.
Pelindungan bahasa daerah di Indonesia yang berjumlah ratusan itu tidak dapat
dilaksanakan secara serentak karena dana dan sumber daya manusia yang terbatas. Oleh karena
itu, perlu dibuat skala prioritas atau dibuat pengelompokan bahasa, yaitu bahasa-bahasa daerah
mana yang lebih mendesak untuk dilindungi dan bahasa-bahasa daerah mana yang kurang
mendesak untuk dilindungi. Salah satu cara yang dapat membantu untuk membuat
pengelompokan bahasa itu ialah dengan kajian vitalitas (daya hidup) bahasa.
Di Maluku ada bahasa daerah yang dinamakan bahasa Saleman (Badan Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa, 2017a:171). Nama lain untuk bahasa Saleman ialah bahasa Sawai dan
bahasa Koa-Koa. Collins (2018:80) menyebutnya sebagai bahasa Sawai dan menurutnya
bahasa itu dituturkan di Negeri Pasanea, Saleman, Sawai, dan Besi, serta dahulu juga dituturkan
di Negeri Wahai. Sejauh penelusuran penulis, belum ada laporan mengenai kajian vitalitas
bahasa Saleman.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah dalam penelitian ini ialah “bagaimanakah
vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman?” Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui
vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman dan berusaha menjelaskan vitalitas itu berdasarkan
faktor-faktor yang menentukan vitalitas bahasa.
Sudah ada peneliti yang melakukan penelitian vitalitas bahasa daerah. Beberapa di
antaranya ialah Wibowo; Winarti; Aritonang; Candrasari; Wagiati, Wahya, dan Riyanto;
Maricar dan Ety; Nugroho; Inayatusshalihah; Firdaus; dan Setiawati dkk. Wibowo (2014) telah
melakukan penelitian vitalitas bahasa Enggano. Hasilnya ialah bahasa Enggano di Pulau
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 262
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
Enggano, Bengkulu pada level mengalami kemunduran. Winarti (2014) telah melakukan
penelitian vitalitas bahasa Bahonsuai. Hasilnya ialah vitalitas bahasa Bahonsuai di Desa
Bahonsuai, Sulawesi Tengah pada level berpotensi mengalami kemunduran. Aritonang (2013)
melakukan penelitian dengan judul “Vitalitas Bahasa Seget: Kajian ke Arah Pemetaan Vitalitas
Bahasa Daerah”. Selain itu, Aritonang (2016) juga melakukan penelitian terhadap bahasa
Talondo dengan judul “Kriteria Vitalitas Bahasa Talondo”. Hasilnya ialah vitalitas bahasa
Talondo masuk kriteria mengalami kemunduran. Candrasari (2017) telah menyusun disertasi
dengan judul "Bahasa Devayan di Pulau Simeuleu: Kajian Vitalitas Bahasa". Hasilnya ialah
vitalitas bahasa Devayan di Pulau Simeuleu pada level 6b menurut skala EGIDS, yaitu terancam
punah. Wagiati, Wahya, dan Riyanto (2017) melakukan penelitian mengenai vitalitas bahasa
Sunda di Kabupaten Badung. Maricar dan Ety (2017) melakukan penelitian dengan judul
“Vitalitas Bahasa Ternate di Pulau Ternate”. Nugroho (2018) telah melakukan penelitian
vitalitas bahasa Yalahatan. Kajian itu menunjukkan bahwa vitalitas bahasa Yalahatan berada
pada level mengalami kemunduran. Inayatusshalihah (2018) telah melakukan penelitian
vitalitas bahasa Buru di Desa Wamlana, Pulau Buru, Provinsi Maluku. Kesimpulannya ialah
bahasa Buru di Desa Wamlana dapat dikatakan berada pada tingkat ke-3 dari skala
keterancaman UNESCO, yaitu definitely endangered. Firdaus (2018) melakukan penelitian
dengan judul “Tekanan Kepunahan Bahasa Suwawa: Analisis Tingkat Daya Hidup Bahasa”.
Hasilnya ialah bahasa Suwawa dalam kondisi stabil, tetapi terancam punah. Setiawati dkk.
(2019) melakukan penelitian dengan judul “Vitalitas Bahasa, Diglosia, dan Ketirisannya:
Pemertahanan Bahasa Manduro di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang,
Jawa Timur”. Hasilnya ialah bahasa Manduro di Desa Manduro dalam kondisi stabil-mantap,
tetapi berpotensi terancam. Diglosia terdapat pada ranah keluarga, kerabat, pertetanggaan, dan
pertemanan. Ketirisan diglosia terjadi pada ranah pertemanan.
Seluruh penelitian vitalitas bahasa yang telah dilakukan oleh para peneliti itu bersama
dengan penelitian vitalitas bahasa yang penulis laporkan ini bermanfaat karena setiap bahasa
daerah idealnya diteliti vitalitasnya. Manfaat penelitian vitalitas bahasa yang telah dilakukan
oleh para peneliti itu bersama dengan penelitian ini ialah untuk menyusun peta vitalitas bahasa-
bahasa daerah di Indonesia. Peta vitalitas itu memberi informasi berharga bagi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta pemerintah daerah untuk menyusun skala prioritas
pelindungan bahasa daerah. Selain itu, hasil penelitian ini yang berupa penjelasan mengenai
vitalitas bahasa Saleman berdasarkan faktor-faktor penentu vitalitas bahasa dapat dijadikan
acuan kegiatan konservasi dan revitalisasi bahasa Saleman. Sebagai contoh bahasa Saleman di
Mardi Nugroho
263 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
Negeri Saleman hanya digunakan dalam satu atau dua ranah, pihak-pihak yang peduli terhadap
pelindungan bahasa Saleman dapat berusaha menambah ranah penggunaan.
LANDASAN TEORI
Penelitian ini berlandaskan teori sosiolinguistik. Teori-teori yang penting untuk
dikemukakan dalam penelitian ini ialah yang tertuang dalam tulisan Ibrahim, UNESCO, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Chaer, Lukman, dan Malabar.
Ibrahim (2009:97) mengungkapkan kembali rumusan Grimes perihal enam tingkat
keterancaman bahasa, yaitu critically endangered, severely endangered, endangered, eroding,
stable but threatened, dan safe. Dalam sebuah konsinyasi di Bogor yang dihadiri oleh pakar
serta pejabat dan staf Pusat Bahasa, dengan mempertimbangkan rumusan Grimes di atas, Pusat
Bahasa merumuskan tingkat vitalitas bahasa yang diukur berdasarkan nilai rerata (indeks)
yaitu
(1) sangat terancam (0.0--0.2);
(2) terancam (0.21—0.4);
(3) mengalami kemunduran (0.41—0.6);
(4) rentan (0.61—0.8); dan
(5) aman (0.81—1).
Tingkat vitalitas bahasa yang dirumuskan oleh Pusat Bahasa itulah yang diikuti dalam
penelitian ini.
UNESCO (2011:3) telah mengidentifikasi sembilan faktor untuk menentukan tingkat
vitalitas suatu bahasa, yaitu (1) intergenerational language transmission, (2) absolute
number of speakers, (3) proportion of speakers within the total population, (4) shifts
in domains of language use, (5) response to new domains and media, (6) availabillity
of materials for language education and literacy, (7) governmental and institutional language
attitudes and policies including official status and use, (8) community members' attitudes
toward their own language, dan (9) amount and quality of documentation. Berdasarkan
kesembilan faktor itu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (2017b) telah menyusun
kuesioner untuk menentukan tingkat vitalitas suatu bahasa. Kuesioner tersebut berisi sembilan
puluh butir pernyataan. Dalam pengumpulan data penelitian ini penulis menggunakan
kuesioner yang disusun Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa itu.
Tulisan Chaer (2010) memberikan pemahaman dan wawasan penulis serta memberikan
pedoman bagi penulis dalam penelitian ini. Sekadar contoh, Chaer mengutarakan peristiwa-
peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat kontak bahasa, yaitu bilingualisme,
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 264
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
diglosia, alih kode, campur kode, interferensi, integrasi, dan pergeseran bahasa. Peristiwa-
peristiwa kebahasaan itu dan hal-hal lain yang terkait dijelaskan pada halaman 84—160.
Selain itu, buku tulisan Lukman (2012) berjudul Vitalitas Bahasa: Pergeseran dan
Pemertahanan Bahasa serta tulisan Malabar (2015), khususnya pembahasan mengenai
pergeseran dan pemertahanan bahasa, juga memberikan pemahanan, wawasan, dan pedoman
bagi penulis.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode campuran, yaitu metode kuantitatif dan metode
kualitatif. Metode yang dominan digunakan ialah metode kuantitatif; pengumpulan datanya
dilakukan dengan kuesioner, sedangkan metode kualitatif dimanfaatkan untuk membantu
memberikan penjelasan dari temuan metode kuantitatif. Pengumpulan data dengan metode ini
dilakukan melalui wawancara. Pengumpulan data dilakukan di Negeri Saleman, Kecamatan
Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Penelitian ini menggunakan kuesioner yang disusun oleh Pusat Pengembangan dan
Pelindungan Bahasa dan Sastra yang sudah diuji validitas dan realibilitasnya. Kuesioner
digunakan untuk mengukur tingkat vitalitas bahasa Saleman (berupa indeks total) dan indeks
per faktor yang menentukan vitalitas bahasa. Kuesioner diberikan kepada responden, yaitu
penutur bahasa Saleman di Negeri Saleman yang dijadikan sampel penelitian. Jumlah
responden sebanyak seratus orang. Responden diupayakan mewakili keragaman sosial, yaitu
dari segi jenis kelamin, usia, dan pendidikan. Adapun komposisi responden penelitian ini dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.
Deskripsi Komposisi Responden
Komposisi Responden menurut Jenis Kelamin, Usia,
dan Pendidikan
Jumlah Responden
Jenis Kelamin
laki-laki
39
perempuan
61
Usia
<25 tahun
22
25—50 tahun
69
>25 tahun
9
Pendidikan
SD atau sederajat
20
SMP/SMA atau sederajat
61
perguruan tinggi
19
Pengisian kuesioner dilakukan di balai Negeri Saleman dan diatur sedemikian rupa untuk
mendapakan data sebaik-baiknya, misalnya pengisian kuesioner dilakukan secara bertahap
Mardi Nugroho
265 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
(untuk mengatur jumlah responden yang datang bersamaan), sehingga pengisian kuesioner bisa
terkendali. Selain itu, penulis juga bekerja sama dengan aparat negeri dan tokoh pemuda
setempat untuk memilih responden sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan serta untuk
membantu mengenali dan mengendalikan responden.
Pengolahan data penelitian yang berupa tanggapan responden terhadap kuesioner dimulai
dengan pengeditan data, pengodean data, dan pemrosesan. Pengeditan data dilakukan dengan
maksud untuk memastikan bahwa tanggapan yang diberikan sesuai dengan perintah dan
petunjuk pelaksanaan. Pengodean data dilakukan dengan tujuan untuk memudahkan proses
pengolahan data. Pemrosesan data dimulai dengan melakukan penginputan data dalam bentuk
tabulasi pada program excel. Selanjutnya, data diolah secara kuantitatif.
Wawancara dilakukan untuk membantu memberikan penjelasan dari temuan metode
kuantitatif. Yang diwawancarai ialah warga masyarakat Saleman, pemerintah setempat, tokoh
masyarakat, dan pihak-pihak lain yang dipandang dapat memberikan data dan informasi.
Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan dilakukan melalui tatap muka. Ada
wawancara yang dilakukan dengan meminta waktu khusus untuk wawancara, ada yang
dilakukan tanpa meminta waktu khusus, misalnya pada saat sebagian warga masyarakat duduk-
duduk santai di masjid sambil menunggu azan isya. Garis besar pertanyaannya ialah sembilan
faktor yang menentukan tingkat vitalitas suatu bahasa yang telah diidentifikasi oleh UNESCO
seperti telah disebutkan sebelumnya.
Analisis data hasil wawancara dilakukan dengan langkah-langkah reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data dilakukan pada saat pengumpulan data (saat
wawancara) dan setelah selesai pengumpulan data. Dalam penarikan kesimpulan, ada
kesimpulan yang bersifat sementara dahulu untuk diverifikasi.
PEMBAHASAN
Untuk mengetahui vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman, responden diberi
kuesioner. Kuesioner terdiri atas sepuluh kelompok. Kelompok I ialah kelompok jumlah
penutur, sebanyak 2 butir. Kelompok II ialah kelompok kontak bahasa, sebanyak 7 butir.
Kelompok III ialah kelompok bilingualisme, sebanyak 15 butir. Kelompok IV ialah kelompok
posisi dominan masyarakat penutur, sebanyak 4 butir. Kelompok V ialah kelompok ranah
penggunaan bahasa, sebanyak 14 butir. Kelompok VI ialah kelompok sikap bahasa, sebanyak
11 butir. Kelompok VII ialah kelompok regulasi, sebanyak 12 butir. Kelompok VIII ialah
kelompok pembelajaran, sebanyak 9 butir. Kelompok IX ialah kelompok dokumentasi,
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 266
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
sebanyak 8 butir. Kelompok X ialah kelompok respons terhadap tantangan baru, sebanyak 8
butir. Data yang berupa tanggapan responden terhadap pernyataan tersebut ditabulasi dan diolah
secara kuantitatif. Berikut ini secara berturut-turut dipaparkan hasil pengolahan data yang
berupa deskripsi frekuensi tanggapan responden terhadap butir-butir pernyataan dan vitalitas
bahasa Saleman di Negeri Saleman.
Frekuensi Tanggapan Responden terhadap Butir-Butir Pernyataan
Karena keterbatasan ruang, pada pembahasan ini hanya ditampilkan tanggapan responden
dari beberapa butir pernyataan dalam kuesioner.
Tabel 2.
Frekuensi Tanggapan Responden terhadap Butir Pernyataan Kelompok Kontak Bahasa
Butir Pernyataan
Jumlah
Tanggapan "ya"
Jumlah Tanggapan
"tidak"
Masyarakat suku saya dapat menikmati siaran
televisi nasional
84
16
Daerah ini sukar dijangkau dari daerah lain dan
dari kota
36
64
Penutur bahasa daerah ini sering bepergian ke
daerah lain yang berbeda bahasa
59
41
Terhadap pernyataan “Masyarakat suku saya dapat menikmati siaran televisi nasional”
84 responden (84%) merespons “ya”. Itu berarti berdasarkan 84% responden, terjadi kontak
bahasa pada suku mereka, karena biasanya televisi nasional disiarkan dalam bahasa Indonesia.
Terhadap pernyataan “Daerah ini sukar dijangkau dari daerah lain dan dari kota” 64 responden
(64%) merespons “tidak”. Itu berarti berdasarkan 64% responden, mudah terjadi kontak bahasa
pada daerah mereka, karena kalau suatu daerah mudah dijangkau dari kota, mudah pula terjadi
kontak bahasa. Penting ditambahkan informasi bahwa Negeri Saleman dekat dengan jalan raya
yang menghubungkan ibu kota Kabupaten Maluku Tengah (Masohi) dengan ibu kota
Kabupaten Seram Bagian Timur (Bula). Selain itu, jalan masuk dari jalan raya Masohi—Bula
ke Negeri Saleman sudah bagus. Terhadap pernyataan “Penutur bahasa daerah ini sering
bepergian ke daerah lain yang berbeda bahasa”, 59 responden (59%) merespons “ya”. Itu berarti
berdasarkan 59% responden, mudah terjadi kontak bahasa pada bahasa mereka. Penting
ditambahkan informasi bahwa penutur bahasa Saleman yang bepergian ke daerah lain yang
berbeda bahasa ialah untuk keperluan bersekolah (di Negeri Saleman tidak ada SMA atau
perguruan tinggi, banyak warga Saleman yang bersekolah dan kuliah di kota), menjual hasil
kebun (sebagian besar warga Saleman ialah berkebun), berbelanja, dan lain-lain.
Berikut ini dua tabel frekuensi tanggapan responden terhadap dua butir pernyataan
kelompok ranah penggunaan bahasa.
Mardi Nugroho
267 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
Tabel 4.
Frekuensi Tanggapan Responden terhadap Butir Pernyataan Kelompok Ranah Penggunaan Bahasa
Butir Pernyataan
Jumlah
Tanggapan "ya"
Jumlah Tanggapan
"tidak"
Bahasa daerah ini saya gunakan ketika saya
berurusan dengan petugas kesehatan
10
90
Bahasa daerah ini saya gunakan untuk berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Esa
30
70
Terhadap pernyataan “Bahasa daerah ini saya gunakan ketika saya berurusan dengan
petugas kesehatan”, 90 responden (90%) merespons “tidak”. Itu berarti menurut 90%
responden, bahasa Saleman tidak mereka gunakan ketika berurusan dengan petugas kesehatan.
Terhadap pernyataan “Bahasa daerah ini saya gunakan untuk berdoa kepada Tuhan Yang Maha
Esa”, 70 responden (90%) merespons “tidak”. Itu berarti menurut 70% responden, bahasa
Saleman tidak mereka gunakan ketika berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berikut ini dua tabel frekuensi tanggapan responden terhadap butir-butir pernyataan
kelompok sikap bahasa.
Tabel 5.
Frekuensi Tanggapan Responden terhadap Butir Pernyataan Kelompok Sikap Bahasa
Butir Pernyataan
Jumlah
Tanggapan "ya"
Jumlah Tanggapan
"tidak"
Saya bangga terhadap bahasa daerah ini
97
3
Setiap anggota kelompok suku saya harus
menguasai bahasa daerah ini
81
19
Respons terhadap dua butir pernyataan pada tabel 5 dapat sedikit memberi gambaran
perihal tingginya sikap responden terhadap bahasa daerah mereka.
Berikut ini disandingkan dua tabel yang menggambarkan pengakuan responden perihal
penguasaan terhadap bahasa daerah dan terhadap bahasa Indonesia.
Tabel 6.
Perbandingan Pengakuan Responden Perihal Penguasaan terhadap Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia
Butir Pernyataan
Jumlah
Tanggapan "ya"
Jumlah Tanggapan
"tidak"
Saya menguasai secara baik bahasa daerah saya
ini
74
26
Saya mampu berbahasa Indonesia dengan baik
95
5
Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 100 orang responden, 74%-nya mengaku menguasai
secara baik bahasa daerahnya (bahasa Saleman) dan 95%-nya mengaku mampu berbahasa
Indonesia dengan baik. Itu berarti dari keseluruhan responden, lebih banyak yang mengaku
menguasai/mampu berbahasa Indonesia daripada berbahasa daerah (bahasa Saleman).
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 268
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
Pengolahan data kuantitatif menghasilkan nilai indeks total vitalitas bahasa Saleman di
Negeri Saleman sebesar 0,50. Nilai indeks per faktor dan indeks total vitalitas bahasa Saleman
di Negeri Saleman dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 7.
Indeks Per Faktor dan Indeks Total
Indeks Per Faktor dan Indeks Total
Nama Indeks
Nilai Indeks
indeks 1 (jumlah penutur)
0,87
indeks 2 (kontak bahasa)
0,42
indeks 3 (bilingualisme)
0,57
indeks 4 (posisi dominan masyarakat penutur)
0,63
indeks 5 (ranah penggunaan bahasa)
0,22
indeks 6 (sikap bahasa)
0,80
indeks 7 (regulasi)
0,56
indeks 8 (pembelajaran)
0,55
indeks 9 (dokumentasi)
0,43
indeks 10 (respons terhadap tantangan baru)
0,27
indeks total
0,50
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa nilai indeks kontak bahasa ialah 0,42; ranah
penggunaan bahasa ialah 0,22; dokumentasi ialah 0,43; dan respons terhadap tantangan baru
ialah 0,27). Keempat nilai indeks itu lebih rendah daripada nilai indeks total, yaitu lebih rendah
daripada 0,50.
Selain bahasa Saleman, di Negeri Saleman juga dituturkan bahasa Melayu Ambon dan
bahasa Indonesia. Bahasa Melayu Ambon merupakan bahasa pergaulan di hampir seluruh
Provinsi Maluku. Bahasa Indonesia dipakai di instansi pemerintah, di sekolah, dan di tempat
ibadah. Dengan demikian, terjadi kontak bahasa antara bahasa Saleman dengan bahasa-bahasa
lain yang juga dituturkan atau dipakai di Negeri Saleman itu. Perlu ditambahkan bahwa Negeri
Saleman merupakan "pintu gerbang" untuk menuju ke lokasi wisata (Pantai Ora, air mata
belanda, Pulau Tujuh). Perjalanan dari Negeri Saleman menuju Pantai Ora sekitar 15 menit
dengan menggunakan perahu kecil, sedangkan obyek wisata air mata belanda bermuara di
Teluk Saleman. Tentunya, wisatawan baik yang lewat maupun yang menginap di Negeri
Saleman turut menambah intensif terjadinya kontak bahasa. Kontak bahasa itu berpengaruh
terhadap vitalitas bahasa Saleman. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Malabar
(2015:80) bahwa pergeseran bahasa merupakan fenomena sosiolinguistik yang terjadi akibat
adanya kontak bahasa. Bahkan menurut Lukman (2012:41--51), kepunahan sebuah bahasa
diawali adanya pergeseran bahasa yang berlangsung dalam waktu yang relatif tidak begitu lama
yang akhirnya menyebabkan pendukung sebuah bahasa beralih ke bahasa lain. Proses ini
Mardi Nugroho
269 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
menyebabkan sebuah bahasa akan kehilangan pendukung atau penutur karena pengaruh bahasa
lain yang lebih dominan atau lebih berprestise. Dalam hal ini, bahasa Melayu Ambon maupun
bahasa Indonesia merupakan bahasa yang lebih dominan daripada bahasa Saleman.
Kontak bahasa mengakibatkan terjadinya bilingualisme (Chaer, 2010:84). Karena terjadi
kontak bahasa antara bahasa Saleman dengan bahasa-bahasa lain yang juga dituturkan atau
dipakai di Negeri Saleman itu, penutur bahasa Saleman juga menuturkan satu atau lebih bahasa
yang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang-orang Saleman termasuk bilingual
atau multilingual. Bilingualisme dan multilingualisme di Negeri Saleman itu tentu berpengaruh
terhadap vitalitas bahasa Saleman. Chaer (2010:142--148) telah mengutarakan bahwa
penggunaan bahasa pertama oleh sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau
multilingual cenderung menurun akibat adanya bahasa kedua yang mempunyai fungsi yang
lebih superior. Dalam hal ini, jumlah penutur bahasa Saleman cenderung menurun akibat
adanya bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Ambon.
Bahasa Saleman di Negeri Saleman tidak digunakan dalam semua ranah. Dalam keluarga,
sebagian masyarakat Saleman menggunakan bahasa Saleman, sebagian yang lain menggunakan
bahasa Melayu Ambon atau bahasa Indonesia. Kebanyakan anak-anak Saleman ketika di rumah
menggunakan bahasa Indonesia. Ketika orang tua berbicara kepada anaknya memakai bahasa
Saleman, banyak anak menanggapinya dengan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, banyak
anak Saleman menguasai bahasa Saleman secara pasif dan tidak menguasai secara aktif. Di
ranah lain yaitu di sekolah dan instansi pemerintah digunakan bahasa Indonesia. Hal ini dapat
dipahami karena di antara guru, karyawan, dan pimpinan sekolah serta karyawan dan pimpinan
instansi pemerintah di Negeri Saleman banyak yang berasal dari luar Negeri Saleman dan tidak
dapat berbahasa Saleman. Di tempat ibadah, yaitu di masjid, penceramah atau khatib
menggunakan bahasa Indonesia. Dalam pergaulan, sesama orang Saleman usia kakek nenek
biasanya berkomunikasi dalam bahasa Saleman. Orang Saleman dan orang dari suku atau
subsuku lain sering berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa Melayu Ambon.
Bahasa Saleman yang tidak digunakan dalam semua ranah itu tentu berpengaruh terhadap
vitalitasnya.
Dalam hal dokumentasi, bahasa-bahasa daerah di Indonesia, apalagi bahasa yang
penuturnya sedikit, termasuk bahasa Saleman, belum tertangani dengan baik. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap vitaltasnya. Dalam hubungannya dengan respons terhadap tantangan
baru, bahasa-bahasa daerah di Indonesia, apalagi bahasa yang penuturnya sedikit, termasuk
Vitalitas Bahasa Saleman di Negeri Saleman
| 270
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
bahasa Saleman, juga belum tertangani dengan baik. Hal ini tentu berpengaruh terhadap
vitalitasnya.
PENUTUP
Berdasarkan analisis di atas, dapat dilihat bahwa pengolahan data kuantitatif
menghasilkan nilai indeks total vitalitas bahasa Saleman sebesar 0,50. Sesuai dengan kriteria
vitalitas bahasa, nilai rerata 0,50 termasuk dalam rentang nilai 0,41—0,6. Ini berarti vitalitas
bahasa Saleman di Negeri Saleman termasuk dalam tingkat mengalami kemunduran. Karena
vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman termasuk dalam tingkat mengalami kemunduran,
pihak-pihak terkait diharapkan memprioritaskan bahasa Saleman untuk dilindungi agar tingkat
vitalitasnya dapat meningkat atau setidaknya tidak semakin menurun.
Empat faktor yang menentukan vitalitas bahasa, yaitu kontak bahasa, ranah penggunaan
bahasa, dokumentasi, dan respons terhadap tantangan baru nilai indeksnya lebih rendah
daripada nilai indeks total. Keempat faktor itulah yang menjadi penyumbang utama yang
menyebabkan vitalitas bahasa Saleman di Negeri Saleman rendah, yaitu dalam posisi
mengalami kemunduran. Terkait dengan kontak bahasa yang tidak dapat dihindari, pihak-pihak
yang peduli dan berkewajiban melindungi bahasa daerah dapat memberikan penyuluhan atau
pemahaman bahwa kontak bahasa tidak selalu menggeser suatu bahasa. Bahasa-bahasa yang
ada dapat menempati posisi masing-masing. Terkait dengan ranah penggunaan bahasa, pihak-
pihak yang peduli dan berkewajiban melindungi bahasa daerah dapat mengusahakan
penambahan ranah penggunaan atau memaksimalkan ranah penggunaan bahasa yang ada.
Terkait dengan dokumentasi dan respons terhadap tantangan baru, pihak-pihak yang peduli dan
berkewajiban melindungi bahasa daerah dapat mengupayakan dokumentasi yang cukup serta
mengusahakan jalan agar tantangan baru dapat dihadapi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Buha. (2013). Vitalitas Bahasa Seget: Kajian ke Arah Pemetaan Vitalitas Bahasa
Daerah. Sawerigading, 19(1), 47—56. https://doi.org/10.26499/rnh.v5i1.34
Aritonang, Buha (2016). Kriteria Vitalitas Bahasa Talondo. Ranah: Jurnal Kajian Bahasa,
5(1), 8—24. https://doi.org/10.26499/rnh.v5i1.34
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2011). Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2009.
Candrasari, Ratri. (2017). Bahasa Devayan di Pulau Simeuleu: Kajian Vitalitas Bahasa.
Disertasi Fakultas Ilmu Budaya, Unversitas Sumatera Utara.
Chaer, Abdul dan Lionie Agustina. (2010). Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mardi Nugroho
271 |
©2020, Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 9(2),
Collins. James T. (2018). Penelitian Bahasa di Maluku. Kota Ambon: Kantor Bahasa Maluku.
Firdaus, Winci. (2018). Tekanan Kepunahan Bahasa Suwawa: Analisis Tingkat Daya Hidup
Bahasa. Dalam Metalingua, 16 (2), 307–314. https://doi.org/10.26499-
/metalingua.v16i2.240
Ibrahim, Gufron Ali. (2009). Metamorfosa Sosial dan Kepunahan Bahasa. Ternate: Lembaga
Penerbitan Universitas Khairun (LepKhair).
Inayatusshalihah. (2018). Bahasa Buru di Pesisir Utara Pulau Buru: Sebuah Tinjauan Awal
terhadap Daya Hidupnya. Dalam Forum Linguistik Universitas Gadjah Mada, 1(2),
153—161. https://doi.org/10.22146/db.v1i2.332
Katubi. (2011). Bahasa Minoritas dan Konstruksi Identitas Etnik pada Komunitas Bahasa Kui
di Alor, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Indonesia, 37(2), 199—219.
Lukman. (2012). Vitalitas Bahasa: Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa. Makassar: de La
Macca.
Malabar, Sayama. (2015). Sosiolinguistik. Gorontalo: Ideas Publishing.
Mardikantoro, Hari Bakti. (2012). Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam
Ranah Keluarga. Litera, 11(2). https://doi.org/10.21831/ltr.v11i2.1062
Maricar, Farida dan Ety Duwila (2017). Vitalitas Bahasa Ternate di Pulau Ternate. Etnohistori,
4(2), 136—151.
Nugroho, Mardi. (2018). Vitalitas Bahasa Yalahatan. Makalah pada Prosiding Seminar Bahasa
dan Sastra. Bandar Lampung: Kantor Bahasa Provinsi Lampung.
Sahril. (2018). Pergeseran Bahasa Daerah pada Anak-Anak di Kuala Tanjung, Sumatra Utara.
Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, 7(2), 210—228. https://doi.org/10.26499/rnh.v7i2.571
Setiawati dkk. (2019). Vitalitas Bahasa, Diglosia, dan Ketirisannya: Pemertahanan Bahasa
Manduro di Desa Manduro, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Widyaparwa, 47(2), 116—127. https://doi.org/10.26499/wdprw.v47i2.293
Tim Pemetaan Bahasa. (2017a). Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Tim Konservasi dan Revitalisasi. (2017b). Pedoman Konservasi dan Revitalisasi Bahasa.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Unesco. (2011). UNESCO's Languages Vitality and Endangerment Methodological Guideline:
Review of Application and Feedback since 2003.
Wagiati, Wahya, dan Riyanto (2017). Vitalitas Bahasa Sunda di Kabupaten Badung. Litera, 16.
(2), 309—317. https://doi.org/10.21831/ltr.v16i2.14357
Wibowo, Sarwo F. (2014). Vitalitas Bahasa Enggano di Pulau Enggano. Ranah: Jurnal Kajian
Bahasa, 3(1), 1—12. https://doi.org/10.26499/rnh.v3i1.6
Winarti, Sri. (2014). Vitalitas Bahasa Bahonsuai di Desa Bahonsuai, Provinsi Sulawesi Tengah.
Widyaparwa, 42(1), 61—74.