ArticlePDF Available

Perjodohan dan Resistensi Perempuan dalam Metropop Summer Sky Karya Stephanie Zen

Authors:

Abstract

Perjodohan merupakan fenomena yang tidak populer dalam pandangan feminis karena dianggap cenderung merugikan perempuan. Namun demikian, perjodohan masih saja terjadi dalam konteks kekinian sebagaimana ditampilkan dalam sejumlah karya sastra kontemporer Indonesia. Hal yang membedakan, bila dibandingkan dengan tokoh perempuan yang hidup di masa lampau seperti Siti Nurbayakarya Marah Roesli atau tokoh MidahSi Manis Bergigi Emaskarya Pramoedya Ananta Toer, perempuan modern telah memiliki ruang untuk menunjukkan resistensi atas perjodohan yang menimpanya. Kondisi ini tergambar dalam novel metropop Summer Skykarya Stephanie Zen yang menjadi objek penelitian. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan kajian sastra feminis. Kajian ini menunjukkan bahwa dalam novel tersebut, orang tua hanya membantu mencarikan pasangan dan keputusan untuk menjalin hubungan merupakan keputusan masing-masing individu sebagai pribadi dewasa. Empat tahap interaksi yang dikemukakan Randall terpenuhi, yaitu pertemuan fisik, saling menyadari keberadaan, berada dalam situasi emosi yang sama, dan adanya simbol yang mewakili fokus bersama.
153
PERJODOHAN DAN RESISTENSI PEREMPUAN
DALAM METROPOP SUMMER SKY KARYA STEPHANIE ZEN
(Matchmaking and Women’s Resistence
in Stephanie Zen’s Metropop Summer Sky)
Tania Intan
Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung-Sumedang Km 21, Hegarmanah, Jatinangor
Sumedang, Jawa Barat 45363
Posel: tania.intan@unpad.ac.id
(Naskah Diterima 30 Maret 2020Direvisi 15 Juli 2020Disetujui 30 Juli 2020)
Abstract
Matchmaking or marriage arrangement is an unpopular phenomenon in the feminist view
since it is considered to be detrimental to women. However, matchmaking still occur in
contemporary context as as shown in a number of contemporary Indonesian literary
works. The difference is, when compared to female characters who lived in the past such
as Siti Nurbaya by Marah Roesli or Midah Si Manis Bergigi Emas by Pramoedya Ananta
Toer, women in contemporary literary works such as metropop and chick-lit have had
space to show resistance to matchmaking happened to them. This study aims to examine
the phenomenon of matchmaking and women's resistance in Stephanie Zen's novel
Summer Sky, which is the object of research. The method used is descriptive qualitative
method. The analysis was carried out with the sociology of literature approach and
feminist literature studies with O'Brien and Randall matchmaking theoretical foundation,
as well as Barker's theory of resistance. This study shows that the parents in the novel act
as facilitators in finding a partners, while the decision to have a relationship is the
decision of each individual as an adult. The matchmaking patterns filfills four stages of
interaction, namely physical encounters, awareness of the existence of a potential
partner, same emotional state, and marriage as a representation of a common goal.
There is no significant resistance from the female protagonist because of compatibility
factor with her partner and there is no coercion from parents. Therefore, despite the
theme of matchmaking, the novel Summer Sky is presented like a love story in general.
Keywords: Stephanie Zen, Summer Sky, arranged marriage, woman resistance
Abstrak
Perjodohan atau pengaturan perkawinan merupakan fenomena yang tidak populer dalam
pandangan feminis karena dianggap cenderung merugikan perempuan. Namun,
perjodohan masih saja terjadi dalam konteks kekinian sebagaimana ditampilkan dalam
sejumlah karya sastra kontemporer Indonesia. Hal yang membedakan, bila dibandingkan
dengan tokoh perempuan yang hidup di masa lampau seperti Siti Nurbaya karya Marah
Roesli atau tokoh Midah Si Manis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer,
perempuan dalam karya sastra kontemporer seperti metropop dan chick-lit telah memiliki
ruang untuk menunjukkan resistensi atas perjodohan yang menimpanya. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji fenomena perjodohan dan resistensi perempuan dalam novel
Summer Sky karya Stephanie Zen yang menjadi objek penelitian. Metode yang digunakan
adalah deskriptif kualitatif. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan
kajian sastra feminis dengan landasan teoretis tentang perjodohan dari O’Brien dan
Randall serta teori resistensi dari Barker. Kajian ini menunjukkan bahwa dalam novel
tersebut orang tua berperan sebagai fasilitator dalam pencarian pasangan, sedangkan
keputusan untuk menjalin hubungan merupakan keputusan masing-masing individu
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
154
sebagai pribadi dewasa. Pola perjodohan memenuhi empat tahap interaksi, yaitu
pertemuan fisik, kesadaran mengenai keberadaan calon pasangan, kondisi emosi yang
sama, dan perkawinan sebagai representasi dari tujuan bersama. Tidak ada resistensi yang
berarti dari protagonis perempuan karena faktor kecocokan dengan pasangannya dan
tidak ada pemaksaan dari orang tua. Dengan demikian, meskipun bertema perjodohan,
novel Summer Sky ditampilkan seperti kisah percintaan pada umumnya.
Kata Kunci: Stephanie Zen, Summer Sky, perjodohan, resistensi perempuan
PENDAHULUAN
Stephanie Zen saat ini tinggal di Singapura.
Kesukaannya pada buku-buku karya Sophie
Kinsella, Matt Dunn, Rick Warren, dan
Max Lucado memengaruhi gaya
penceritaannya. Demikian halnya dengan
kecakapannya berbahasa Inggris yang
membawa warna sendiri terhadap
tulisannya (Hidayat, 2018:170). Karya-
karya yang telah diterbitkan Stephanie Zen
di antaranya adalah Anak Band (2006),
Brondong Lover (2008), Perhaps You
(2011), One Last Chance (2012), Dear
Dylan (2014), A Week to Forever (2014), I
Remember You (2015), Stuck in Love
(2015), dan Badminton Addict (2016).
Sebagian dari karya-karya awalnya
merupakan teenlit atau young adult lit,
sedangkan beberapa buku yang lebih baru
cenderung bergenre metropop.
Metropop yang berasal dari kata
metropolitan dan populer adalah istilah
yang diciptakan oleh PT Gramedia Utama
untuk mengategorikan novel populer
terbitannya (Fitriana, 2010:8). Pada
metropop, para tokoh selalu ditempatkan di
ruang metropolitan dengan kehidupan yang
mapan dan glamor. Selain itu, menurut
Wanda (2018:4), gaya bahasa metropop
ringan dan populer sehingga mudah
menyentuh selera masyarakat urban.
Metropop sering dianggap mirip dengan
chicklit. Tokoh perempuan yang menjadi
pusat penceritaan seringkali digambarkan
sebagai sosok TWITS (Teenage Women in
Their 30s) ‘perempuan remaja-matang
menjelang umur 30 tahun’, yaitu sosok
perempuan yang tidak terlalu muda. Mereka
adalah protagonis yang mandiri, lajang,
bergaya hidup kosmopolitan dengan
berbagai problematika percintaannya, dan
heteroseksual (Taylor, 2012). Dalam novel-
novel yang lain, Stephanie Zen
menggunakan gaya penokohan TWITS,
seperti yang tergambar dalam metropop
One Last Chance (2012) dan More than
Words (2015).
Berbeda dengan chicklit yang hanya
ditulis perempuan dewasa dan ditujukan
kepada perempuan dewasa, metropop dapat
ditulis oleh perempuan atau laki-laki
dewasa. Pembacanya pun tidak hanya
perempuan karena laki-laki juga dapat
menikmatinya (Fitriana, 2010:23). Selain
itu, sebagai karya sastra populer, metropop
biasanya menampilkan tatanan kehidupan
masyarakat urban yang mapan dan modern.
Namun, dalam Summer Sky, Stephanie Zen
justru membincangkan tentang perjodohan,
topik yang kontroversial dalam perspektif
feminis karena dianggap kontraproduktif
serta tidak relevan dengan semangat
emansipasi perempuan.
Isu tentang perkawinan memang tidak
pernah dianggap sebagai hal sederhana
karena masih banyak orang memandangnya
sebagai sesuatu yang sakral, luar biasa, dan
sebaiknya hanya terjadi satu kali dalam
seumur hidup. Perkawinan tidak hanya
merupakan legalitas atas suatu hubungan
seksual di antara laki-laki dan perempuan,
melainkan terutama sebagai pemersatu dari
dua keluarga. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika orang tua sebagai
representasi keluarga merasa berkewajiban
untuk mengambil bagian dalam proses
pemilihan pasangan bagi putra-putrinya
melalui perjodohan. Meskipun perjodohan
masih berlaku pada masa modern ini,
Intan: Perjodohan ....
155
perkawinan lebih banyak bersifat
autonomous marriage (Ciren, 2016:114)
atau pernikahan yang dikehendaki oleh diri
sendiri.
Makna perjodohan yang dikutip
Kertanegara (2012:2) dari Tesaurus Bahasa
Indonesia (2006) adalah proses
mengenalkan seseorang kepada lawan jenis
melalui perantara, baik melalui keluarga,
teman, ataupun medium lainnya. Jodoh
berarti cocok, sesuai, sepadan, atau serasi.
Dengan demikian, perjodohan adalah suatu
cara untuk mencari pasangan hidup dengan
landasan keserasian di antara kedua belah
pihak.
Pemilihan pasangan pada hakikatnya
merupakan bagian dari sistem keluarga.
Perjodohan, menurut O’Brien (2008) yang
dijelaskan kembali oleh Ciren dkk.
(2016:114) adalah tipe pernikahan yang
menyatukan pengantin laki-laki dan
perempuan dengan campur tangan pihak
ketiga yang umumnya adalah orang tua.
Perjodohan merupakan tahap yang penting
karena dengan sebuah perkawinan,
seseorang akan memperoleh keseimbangan
hidup, baik secara sosial, biologis, maupun
psikologis. Proses pemilihan jodoh
ditempuh melalui tahap perkenalan,
pacaran, pertunangan, dan perkawinan.
Perjodohan biasanya terjadi ketika
seseorang yang belum memiliki pasangan
sudah memasuki usia matang dan dirasa
pantas untuk memasuki jenjang pernikahan.
Dalam perspektif sosiologi keluarga,
isu perjodohan telah dikaji oleh Goode
(1991:99) yang menyatakan bahwa pada
dasarnya proses pemilihan jodoh
berlangsung seperti sistem pasar. Pemilihan
jodoh bagi anak pun merujuk pada
pernikahan homogen sebagai hasil dari
tawar-menawar. Sistem ini berbeda dari
satu masyarakat ke masyarakat lain, mulai
dari pengatur transaksi, peraturan
pertukarannya, dan penilaian relatif
mengenai berbagai macam kualitas yang
tergantung dari sistem yang dianut oleh
masyarakat untuk membentuk unit keluarga
(Zulbaidah, 2014:3). Pemikiran Goode
tersebut sejalan dengan Wollburg (2016)
yang berargumentasi bahwa pernikahan
merupakan masalah transaksi, sebagaimana
tradisi perempuan yang ‘dibeli’ oleh laki-
laki. Sistem perjodohan juga tergantung
dari sistem dalam keluarga. Keluarga yang
menganut sistem patrilineal atau garis
keturunan dari laki-laki akan melakukan
perjodohan didasarkan pada marga. Sistem
matrilineal atau garis keturunan dari
perempuan menganut perjodohan terbatas,
yaitu didasarkan pada kesepakatan
keluarga. Pada sistem perjodohan parental
atau garis keturunan dari kedua orang tua,
perjodohan bersifat bebas.
Setidaknya, ada tiga konteks
perjodohan yang ada pada budaya
masyarakat Indonesia. Pertama, perjodohan
yang terjadi untuk melanggengkan
kekuasaan dan mempertahankan
keningratan atau ‘keaslian’ keturunan
seperti yang terjadi di masa lalu, misalnya
perjodohan antara pangeran dan putri dari
dua kerajaan.
Kedua, perjodohan terjadi karena
tuntutan ekonomi, seperti yang terjadi
dalam kisah Siti Nurbaya karya Marah
Roesli (1951). Ketiga adalah perjodohan
yang ada dalam tradisi Islam dan dikenal
dengan nama Ta’aruf (Kertanegara, 2012:2-
3). Tidak jauh berbeda dengan kategorisasi
tersebut, Ningsih, Handoyo, dan Pambudi
(2015: 1) memaparkan hasil kajian mereka
bahwa motif sebab perjodohan pada
umumnya adalah hutang budi, kekerabatan,
dan ekonomi. Sementara itu, motif tujuan
perjodohan adalah untuk kepentingan
pribadi dan kepentingan keluarga.
Dalam tradisi budaya Jawa di
Indonesia, menurut Rahayu (2016:163), ada
istilah bibit, bobot, dan bebet dalam proses
pemilihan pasangan. Hal ini menunjukkan
bahwa membentuk keluarga baru memang
harus dimulai dari memeriksa asal-usul
calon suami atau istri. Bibit artinya berasal
dari keturunan yang baik, dalam hal ini juga
melihat penampilan fisik dan riwayat
penyakit. Bebet artinya memiliki
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
156
kedudukan sosial yang sesuai, sedangkan
bobot artinya memiliki tingkat ekonomi
yang baik, dari segi ekonomi maupun harta
benda (Endah, 2006:140). Kajian Ningsih,
Handoyo, dan Pambudi (2015:1)
menunjukkan bahwa pemilihan jodoh tidak
jarang dikaitkan dengan masalah agama,
keyakinan, adat istiadat, dan kebudayaan
tertentu.
Dalam komunitas Tionghoa yang
menjadi latar sosial kisah Summer Sky (dan
karya Stephanie Zen lain), ada beberapa
pertimbangan dalam memilih jodoh.
Pertimbangan utama ialah calon pasangan
harus berasal dari keluarga baik-baik dan
calon pengantin perempuan harus perawan.
Meskipun kini perkawinan umumnya bukan
karena perjodohan melainkan dilandasi rasa
tertarik dan saling mencintai, namun
masyarakat keturunan Tionghoa tetap
percaya bahwa perkawinan yang
dilangsungkan tanpa restu orang tua tidak
akan bahagia (Siregar, 2017:79-80). Oleh
karena itu, ada dua pola yang biasa
digunakan dalam prosedur pemilihan jodoh,
yaitu pola orang tua memilih, anak
menyetujui dan pola anak memilih, orang
tua menyetujui.
Seperti dinyatakan Ningsih, Handoyo,
dan Pambudi (2015:3), orang tua pada
umumnya memperkenalkan seseorang pada
anaknya karena anak [hampir selalu]
dianggap tidak memiliki kemampuan untuk
memilih pasangan terbaik. Perjodohan yang
diharapkan akan bermuara pada pernikahan
dianggap memiliki tujuan baik dan
bermanfaat bagi kedua belah pihak. Orang
tua merasa memiliki kewajiban memilihkan
jodoh yang tepat bagi anaknya, oleh karena
itu anak tidak diperkenankan menjalin
hubungan dengan calon yang tidak
memenuhi syarat ideal (Muyassaroh,
2017:334).
Siregar menyebutkan bahwa pada
pola perjodohan, pasangan dipertemukan
oleh orang tua namun tidak terjadi tindakan
pemaksaan. Orang tua hanya membantu
mencarikan pasangan dan keputusan
diambil berdasarkan keputusan bersama.
Kesesuaian (atau ketidaksesuaian) baru
dapat diketahui setelah kedua individu yang
dijodohkan dapat melalui empat tahap
interaksi. Menurut Randall (2000), empat
tahap perantara tersebut adalah pertemuan
fisik, saling menyadari keberadaan, ada
dalam situasi emosi yang sama, dan adanya
simbol yang mewakili fokus bersama.
Gagasan tentang perjodohan dan
pernikahan yang menjadi muara dari
tinjauan feminis sering kali tidak berpihak
pada perempuan. Kertanegara (2012:2-3)
berargumentasi bahwa dalam situasi
perjodohan perempuan selalu menjadi pihak
yang harus patuh dan berperan sebagai
objek untuk melanggengkan kekuasaan
patriarki yang dalam ketiga konteks di atas
direpresentasikan dalam bentuk
keningratan, kapital, maupun tradisi dan
feodalisme. Perempuan hampir selalu tidak
memiliki hak untuk memilih sendiri
pasangan atau menolak laki-laki yang
diajukan orang tuanya. Perempuan
dianggap belum utuh bila belum memiliki
pasangan [heteroseksual]. Sebagaimana
dinyatakan Priyatna (2018: 167), dalam
novel, sebagaimana dalam kehidupan nyata,
tokoh perempuan sering kali digambarkan
“belum lengkap” hingga tokoh itu disatukan
dengan tokoh laki-laki yang digambarkan
sebagai laki-laki yang secara romantis ideal
baginya, lelaki yang mencintai dan
dicintainya.
Priyatna (2018:11) juga
berargumentasi bahwa laki-laki sebagai the
right person tidak pernah dapat
didefinisikan dalam poin-poin, seperti
penyayang, penuh perhatian, dan kategori
klise lain. The right person seharusnya
bukan orang yang merasa nyaman dengan
posisi dominan ataupun dalam posisi
subordinat. Orang yang tepat adalah orang
yang bersedia untuk berkompromi dengan
kebutuhan dan situasi yang ia hadapi
bersama pasangannya. Dengan demikian,
wacana perkawinan semestinya bukan
wacana penguasaan.
Dalam pandangan Foucault (Dosi,
2012:34), kekuasaan sering mendapat
Intan: Perjodohan ....
157
perlawanan dalam relasi sosial. Untuk
menolak gagasan tentang penguasaan itulah
perempuan melakukan resistensi yang dapat
dipahami sebagai pertemuan satu kekuatan
dengan kekuatan lain yang keduanya
merupakan kekuatan sekaligus perlawanan.
Dengan kata lain, perlawanan juga bisa
dipahami sebagai deskripsi dari
keseimbangan beberapa kekuatan. Hall
mengutip Barker (2005:455)
mengungkapkan bagaimana resistensi
bukan merupakan suatu kualitas atau
tindakan yang tetap, melainkan sebagai
sesuatu yang relasional dan konjungtural.
Artinya, perlawanan tidak dipahami sebagai
sesuatu yang tunggal dan universal,
perlawanan dipahami sebagai suatu
tindakan yang mendefinisikan dirinya untuk
segala waktu. Perlawanan dilihat sebagai
sesuatu yang terbentuk oleh berbagai
repertoar yang maknanya bersifat khas
untuk waktu, tempat, dan hubungan sosial
tertentu.
Di zaman modern ini, ternyata
perjodohan masih lazim terjadi di
masyarakat. Hal ini terutama disebabkan
oleh kekhawatiran orang tua karena anak
(perempuan)-nya telah memasuki usia
matang sehingga perlu diupayakan tindakan
untuk menghindari stigma ‘perawan tua’.
Kondisi nilai atau keberadaan norma yang
bias gender seperti itu menurut Zulbaidah
(2014:24) akan mengarah kepada
pengaturan posisi tawar menawar antara
laki-laki dan perempuan yang tidak
seimbang dan lebih sering didominasi oleh
kepentingan laki-laki. Bila dilihat dari sudut
pandang sosiologi, Randall (2000) yang
dikutip Zulbaidah (2014:24) mengajukan
empat tahap interaksi yang menjadi
perantara dalam ‘pertukaran’ ini, yaitu
pertemuan fisik, saling menyadari
keberadaan, ada dalam situasi emosi yang
sama, dan adanya simbol yang mewakili
fokus bersama.
Dalam konteks kesusastraan,
perjodohan menjadi tema yang paling
sering didaur ulang dalam fiksi populer
(Fiksimetropop, 2014). Penulis hanya perlu
menautkan dua karakter yang awalnya
terhubung dengan keterpaksaan. Pada
awalnya tentu akan ada ketidakcocokan,
namun kemudian karena pembiasaan, kedua
pihak yang dijodohkan pada akhirnya akan
saling jatuh cinta dan hidup bahagia
selamanya. Formulasi romansa semacam
itulah yang ternyata juga dikembangkan
oleh Stephanie Zen dalam novel metropop
Summer Sky.
Selain Summer Sky, karya-karya fiksi
kontemporer Indonesia lain yang
mengajukan tema perjodohan di antaranya
adalah Eiffel I’m in Love karya Rachmania
Arunita, Perempuan Jogja karya Achmad
Munif, My Cold Wedding karya Nabila
Poetri, The Bad Guy karya Ami Shin,
Mahogany Hills karya Tia Widiana,
Marriagable: Gue Mau Nikah Asal
karya Riri Sardjono, Black Confetti karya
Assrianti, dan Orange karya Windry
Ramadhina. Karya-karya tersebut
menunjukkan pada kita bahwa dengan
berbagai motif alasan dan tujuan,
perjodohan masih merupakan permasalahan
yang menarik untuk dibincangkan oleh
perempuan.
Penelitian terdahulu bertema
perjodohan, baik dalam karya sastra
maupun melalui studi lapangan telah
banyak dilakukan, di antaranya oleh
Lestariningtyas (2018) yang meneliti
Konsep Perjodohan pada Abad 20 terkait
Novel Midah menggunakan teori sastra
Marxis untuk mengkaji perjodohan sebagai
sistem tawar-menawar di antara keluarga.
Wicaksono (2015) telah mengkaji Masalah
Perjodohan dalam Novel Memang Jodoh
Karya Marah Rusli. Dalam studi lapangan
berbasis kesejarahan yang dilakukan Ciren
(2016) dengan judul From Arranged
Marriage to Autonomous Marriage:
Marriage Liberalization in India, Ancient
Rome, United Kingdom and China,
terungkap bahwa faktor ekonomi, budaya,
dan politik berpengaruh pada perubahan
konsep perkawinan. Kajian Ningsih (2015)
mempelajari Perjodohan di Masyarakat
Bakeong Sumenep Madura (Studi
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
158
Fenomenologi Tentang Motif Orangtua
Menjodohkan Anak), dan Zulbaidah (2014)
yang meneliti Dampak Perjodohan Pilihan
Orang Tua di Gampong Geulanggang
Gajah Kecamatan Darul Makmur
Kabupaten Nagan Ray. Paparan tentang
penelitian terdahulu itu menunjukkan
bahwa tema perjodohan telah banyak
dilakukan, namun kajian terhadap novel
Summer Sky, sejauh pengamatan peneliti,
belum ditemukan.
Meskipun memiliki publik pembaca
yang cukup luas, Stephanie Zen dan karya-
karyanya sejauh ini belum banyak dikaji
sehingga peluang bagi para peneliti sastra
untuk melakukan telaah menjadi sangat
terbuka. Kajian yang telah ditemukan di
antaranya adalah tulisan Hidayat & Rahman
(2018) yang mengkaji tokoh utama dalam
novel One Last Chance dengan perspektif
psikologi sastra dan Ross, Dewdney, dan
Utami (2013) mengenai analisis alih kode
dan campur kode dalam novel Perhaps You.
Dari hasil rekapitulasi dan
perbandingan di antara penelitian-penelitian
terdahulu tersebut dapat disimpulkan bahwa
tema perjodohan dan resistensi perempuan
di dalam novel metropop Summer Sky karya
Stephanie Zen belum pernah diteliti. Oleh
karena itu, penelitian ini dilanjutkan dengan
rumusan permasalahan: bagaimana
perjodohan dan resistensi perempuan
ditampilkan di dalam novel Summer Sky
karya Stephanie Zen?
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif kualitatif. Penggunaan
metode tersebut ditujukan untuk menjawab
permasalahan penelitian pada objek
penelitian berdasarkan data yang
ditemukan.
Objek penelitian ini adalah novel
metropop Summer Sky. Summer Sky dipilih
karena mengangkat permasalahan tentang
perjodohan dan resistensi perempuan.
Novel ini diterbitkan pada tanggal 7 Januari
2019 oleh Gramedia Pustaka Utama. Novel
Summer Sky terdiri atas 280 halaman.
Ilustrasi pada sampul menggambarkan
pantai dengan laut dan langit (sky) yang
biru pada musim panas (summer), sesuai
dengan judul novel.
Data berupa kata, frasa, dan kalimat
yang mengandung informasi tentang
perjodohan dan resistensi di dalam novel
Summer Sky dikumpulkan dengan teknik
studi pustaka. Sitasi yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian dicatat,
dikumpulkan, dan dikelompokkan. Data
yang telah diklasifikasikan tersebut
kemudian dianalisis secara interpretatif
dengan metode deskriptif berdasarkan teori
tentang perjodohan dan resistensi.
Pendekatan kajian yang digunakan adalah
sosiologi sastra dan kajian sastra feminis
untuk melihat keterkaitan antara fenomena
perjodohan dan resistensi perempuan masa
kini.
PEMBAHASAN
Cerita dalam novel ini bergerak dengan alur
maju dan terselip flashback dalam sekuen
hubungan antara protagonis perempuan,
Sky, dan dua protagonis laki-laki, yaitu
Alex dan Jordan. Narator yang berperan
dalam metropop ini menggunakan sudut
pandang atau fokalisasi campuran. Pada
beberapa sekuen, narator merupakan para
tokoh (internal) dan pada sekuen-sekuen
lain, narator berada di luar cerita
(eksternal). Sebagai konsekuensinya, sifat
penceritaannya menjadi lebih hidup karena
sudut pandang narator kadang terbatas dan
subjektif, namun sering kali menjadi
mahatahu dan objektif.
Masalah perjodohan yang diketahui
menjadi tema utama telah disinggung sejak
bagian awal dan dikembangkan di bagian
tengah novel. Buku ini ditutup dengan
sekuen tentang kehidupan Sky yang telah
menikah dengan Jordan. Hal ini
menunjukkan bahwa perjodohan yang
dirancang oleh ibu tokoh perempuan
tersebut berhasil dengan baik.
Intan: Perjodohan ....
159
Narasi dan Formulasi Romansa dalam
Kehidupan Modern Tokoh Perempuan
Summer Sky Azalea adalah seorang
perempuan berumur 25 tahun, lajang,
berpenampilan menarik, dan mapan secara
finansial. Ia bermata sipit dengan kulit
putih, berambut panjang, dengan tinggi
badan normal. (hlm. 53). Sky bekerja
sebagai konsultan penjualan senior di
kantor We Connect Jakarta, perusahaan
digital marketing yang cukup ternama (hlm.
14). Ia telah menjalin hubungan pacaran
selama enam tahun dengan Alex, namun
hubungan mereka terputus karena laki-laki
itu berencana melanjutkan studi ke Jerman
dan memutuskan untuk meninggalkan Sky.
Ibu Sky yang bekerja sebagai anggota
MLM berhasil mendapatkan hadiah untuk
berlibur ke Kinibalu bersama Sky dan
puluhan orang lainnya. Jordan Elwandi
yang dijodohkan dengan Sky adalah
pimpinan cabang di Surabaya. Tak pernah
terlintas sedikit pun dalam benak
perempuan itu bahwa liburan tersebut akan
menghadirkan cerita baru berkat sosok
Jordan, pria yang dijodohkan dengannya
oleh sang ibu. Namun, ketika liburan
berakhir dan Sky harus kembali ke
kehidupannya yang biasa, ia terjebak dalam
dilema.
(1) Apa yang sering dibilang orang? Kamu
harus menangis di bawah hujan, atau
shower, supaya tidak ada yang melihatmu
menangis? Mereka salah. Menangis di
kolam renang, merasakan air berkaporit
membasuh wajah dan menyingkirkan air
mata, akan membuatmu merasa jauh lebih
lega. […]
Ia duduk di tepian infinity pool itu,
terengah-engah memandangi langit yang
hitam tanpa bintang, masih tidak bisa
memusnahkan kerinduan dari hatinya
maupun bayangan Alex dari kepalanya.
(Zen, 2019: 51)
Meskipun hidup mandiri di sebuah
apartemen dan memiliki kebebasan, Sky
menyadari dirinya dibatasi norma-norma
sosial. Ia terikat pada aturan keluarga dan
tradisi etnisnya, selain itu Sky juga taat
beragama. Dalam situasi ini, pertimbangan
pertama yang diambil dalam memilih jodoh
yang ideal adalah kesamaan dalam hal
kepercayaan dan kultur.
(2) Seperti yang dikatakannya pada Shania,
meng-add FB Jordan saja sudah
melanggar batas normanya, apalagi
mengirim WhatsApp duluan. Ya, ya, ia
tahu ia bukan cewek remaja yang
seharusnya malu-malu lagi. Namun ia
tetap menganggap hal itu seharusnya tidak
dilakukan pihak perempuan lebih dulu.
(Zen, 2019: 97)
Saat dijodohkan oleh ibunya pada Jordan,
Sky tidak langsung menerima atau
menolak. Sebagai perempuan dewasa, ia
merasa memiliki hak untuk memeriksa
kelayakan calonnya, setidaknya melalui
media sosial. Pada dasarnya, dalam
pemilihan jodoh ada pertimbangan
mengenai jaringan keluarga yang akan
dihubungkan. Latar belakang keluarga dan
status sosial ekonomi menjadi penting.
(3) Maka, Sky memeriksa timeline dan foto-
foto Jordan di Facebook secara
menyeluruh. Ada beberapa foto Jordan
berdua dengan seorang gadis, tapi foto itu
bertanggal dua hingga tiga tahun lalu, dan
gadis yang sama tak pernah muncul lagi di
foto-foto terbaru Jordan. Sky menduga
gadis itu adalah mantan pacar, dan ia
harus mengakui ternyata Mama cukup
jago untuk memastikan bahwa kandidat
yang disodorkan di bawah hidung putrinya
memang potensial.
(Zen, 2019: 71)
Dari pembahasan itu, terungkap bahwa
sejalan dengan pemikiran Goode, selain
pertimbangan kesamaan kepercayaan yang
dianut, kematangan diri calon pasangan
juga menjadi hal utama penilaian untuk
menentukan pilihan jodoh.
Dari alur cerita juga diketahui bahwa
kondisi Sky yang baru ditinggalkan oleh
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
160
pacarnya memudahkan jalan bagi sang ibu
untuk mempertemukan putrinya dengan
sosok baru yang dianggap memiliki lebih
banyak kebaikan. Dalam hal ini, dapat
dikatakan bahwa rencana perjodohan tidak
menemui kendala yang berarti untuk terus
dilaksanakan.
Nilai Sosiokultural dari Fenomena
Perjodohan
Sebagaimana argumentasi yang
disampaikan Goode, sistem masyarakat
terpenting selain agama adalah keluarga.
Nilai keluarga begitu tinggi sehingga
keberadaannya berdampingan dengan
sistem agama yang tidak dapat diganggu
gugat. Dari keluargalah akan lahir anggota
masyarakat yang merupakan bagian dari
masyarakat yang lebih besar. Perspektif
itulah yang mendasari niat orang tua,
seperti ibu Sky, ketika memperkenalkan
seseorang pada putrinya. Perempuan itu
merasa berkewajiban memilihkan jodoh
yang tepat untuk anaknya demi
kelangsungan dan kesejahteraan
keluarganya. Ia tidak akan menjodohkan
anaknya dengan seseorang yang tidak
memenuhi syarat ideal.
(4) “Mau Mama kenalin ke seseorang
nggak?”
Dari dulu, Mama memang terlihat lebih
bersemangat dibanding Sky tentang
prospek ia memiliki menantu dan cucu.
Semua karena sebagian besar teman
Mama sudah menjadi oma dan eyang,
sehingga Mama merasa ketinggalan. […]
Sky jadi curiga sebenarnya Mama senang
ia putus dari Alex, jadi Mama bisa mulai
menjodohkannya dengan siapa pun yang
lebih memenuhi kriteria Mama. (Zen,
2019: 19)
Dibandingkan dengan Alex, ibu Sky
memang jauh lebih menyukai Jordan untuk
menjadi pasangan hidup Sky. Selain karena
pertimbangan perbedaan karakter dan umur
di antara kedua laki-laki itu, Jordan
dianggap memiliki sikap baik dan kondisi
finansial yang lebih mapan karena dia
adalah Branch Manager IntoLife di
Surabaya (hlm. 19-20). meskipun demikian,
ibu Sky tidak digambarkan sebagai karakter
orang tua materialistis karena yang tampak
justru seperti digambarkan oleh Inziati
(2019), perempuan itu bersifat “kocak,
penyayang, sabar, dan bijaksana.”
(5) “Saat kamu jadi orang tua nanti, kamu
akan mengerti. Ada kalanya anakmu harus
dibiarkan melakukan apa yang dia mau,
meski kamu nggak gitu menyukainya. Ini
supaya dia belajar dan sadar sendiri pada
akhirnya. Kalau kamu putus sama Alex
cuma karena Mama yang nyuruh, kamu
cuma akan sebal sama Mama dan nggak
akan belajar apa-apa. Tapi kalau kamu
putus karena pada akhirnya kamu sadar
both of you were not compatible for each
other, pelajaran itu akan kamu pegang
seumur hidup.”
(Zen, 2019: 45)
Orang tua sangat berandil dalam proses
perjodohan karena dianggap memiliki hak
prerogatif untuk menentukan calon menantu
yang baik dan suami/istri yang berkualitas
bagi anaknya Dalam rencana perjodohan
yang dipersiapkan dengan matang, Jordan
sengaja dipertemukan oleh ibu Sky dengan
putrinya. Tidak terjadi tindakan pemaksaan
pada pertemuan itu karena Sky memiliki
hak untuk memutuskan jodohnya sendiri.
Meskipun demikian, dalam perspektif
Goode, sang ibu telah memperlakukan
putrinya sebagai komoditas yang
ditawarkan kepada pihak pembeli,
yaitu Jordan.
Setelah mendengar nama Jordan
kerap disebut-sebut oleh ibunya, Sky mulai
merasa penasaran. Namun, pertemuan
mereka baru terjadi untuk pertama kalinya
saat liburan bersama yang diselenggarakan
perusahaan MLM tempat ibu Sky bekerja.
Mereka belum benar-benar saling tertarik
satu sama lain, namun masing-masing,
terutama Sky, melakukan pengamatan yang
saksama pada laki-laki itu. Jordan sempat
memanggilnya ‘Ibu’, yang kemudian diralat
Intan: Perjodohan ....
161
menjadi Mbak’, sedangkan Sky
menyebutnya ‘Pak Jordan’. Panggilan yang
digunakan tersebut menunjukkan intensi
untuk memosisikan satu dengan yang lain
secara berjarak dan formal.
(6) Tubuhnya tinggi, sekitar 180 senti, karena
Sky yang 165 senti saja harus mendongak
untuk menatapnya. Sky menaksir pria itu
berusia awal tiga puluhan. Jas formal
berpotongan bagus, yang pasti tailor-made,
membungkusnya dengan sempurna. Kulitnya
bersih, sewarna teh. Ia menata rambutnya
dengan gel, rapi, dan tidak berlebihan.
Matanya tajam, […]
Jadi ini rupanya Pak Jordan yang Mama
gembar-gemborkan itu? Pikir Sky menilai.
Not bad. (Zen, 2019: 22)
Setelah pertemuan itu, kedua orang yang
berinteraksi saling menyadari keberadaan
yang lain dan mulai saling memperhatikan.
Penilaian atas fisik dari masing-masing
calon pasangan merupakan bagian yang
umum dilakukan dan dianggap penting
dalam membangun relasi. Selain itu, ada
faktor lain yang dijadikan pertimbangan
dalam menentukan kriteria laki-laki ideal.
Sky memeriksa keaktifan Jordan dalam
menggunakan media sosial. Sky cukup puas
karena ternyata laki-laki itu lebih banyak
berbincang dengan orang di sekitarnya
daripada sibuk dengan gawainya. Menurut
perempuan ini, hal tersebut menunjukkan
kecenderungan karakter yang realistis dan
tidak terlalu peduli dengan citranya,
berbeda dengan Alex yang sering
memosting foto di Instagramnya.
(7) Diam-diam, Sky memperhatikan Pak Jordan
dari belakang. Hari ini ia mengenakan polo
shirt, celana panjang, dan sandal santai.
Tubuhnya yang jangkung terlihat begitu
ringan mendaki jalanan yang membuat
banyak orang mengeluh itu. […] Lumayan,
pikir Sky. Setidaknya bukan orang yang
hidupnya sibuk dengan gawai dan akun
media sosialnya. (Zen, 2019: 46)
Di sisi lain, Jordan pun menyadari
keberadaan Sky yang juga menarik
perhatiannya. Sebagai seorang laki-laki
heteroseksual berusia awal tiga puluhan
yang masih lajang, Jordan merasa dapat
melanjutkan pendekatannya pada
perempuan itu karena ia menyadari
mendapat dukungan dari ibu Sky.
(8) Saat mengurus reward trip ini, Jordan
sudah menyadari keberadaan gadis itu
dari namanya yang unik.
Summer Sky Azalea.
Ia berniat mencari tahu saat di Kinabalu,
apakah rupa gadis itu seunik namanya.
Ternyata tidak juga. Sky … terlihat seperti
tipe gadis kebanyakan. (Zen, 2019: 53)
Berkat komunikasi yang diawali secara
coba-coba oleh Sky, Jordan pun
menanggapi perhatian gadis itu hingga
timbul perasaan suka padanya. Ternyata,
setelah melalui proses cukup panjang
mereka kemudian saling menyukai dan
berada dalam situasi emosi yang sama
meskipun terpisah oleh jarak yang jauh,
Sky berada di Jakarta sedangkan Jordan di
Surabaya.
(9) Saya akan menjadi pasir dan air laut
tempatmu menjejak, supaya kamu bisa
berayun lebih tinggi.
Ada yang bilang, tubuhmu akan
memproduksi hormon yang menghasilkan
sensasi tertentu jika kau jatuh cinta. Sky
tidak tahu apa itu yang dirasakannya, tapi
ia merasa begitu bahagia ketika membaca
deretan kalimat itu. […] ia harus mengabari
sang pengirim foto bahwa ia menyukai apa
yang diterimanya. (Zen, 2019: 220-221)
Setelah menguji perasaannya terhadap Alex
untuk yang terakhir kalinya, Sky
memutuskan untuk menerima Jordan
sepenuhnya. Ada simbol yang mewakili
fokus dan tujuan bersama, yaitu menjalani
pernikahan, yang bagi perempuan Tionghoa
merupakan gerbang menuju kehidupan baru
setelah terlepas dari orang tuanya
(Muyassaroh, 2017: 335).
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
162
(10) Ia ingin menjadi yang pertama yang pria
ini pandang saat bangun tidur.
Ia ingin menjadi yang terakhir yang pria ini
lihat sebelum tidur di malam hari. […]
Dan karenanya, ia mengulurkan jemarinya
pada Jordan, sementara ruangan itu
meledak dalam tepuk tangan ketika Jordan
memasangkan cincin itu. (Zen, 2019: 270)
Berdasarkan pembahasan di atas, empat
tahap yang menurut Randal (2000) harus
dilalui dalam sebuah relasi telah terpenuhi.
Keempat tahap tersebut adalah pertemuan
fisik, saling menyadari keberadaan, berada
dalam situasi emosi yang sama, dan adanya
simbol yang mewakili fokus bersama.
Setelah melalui tahap penyesuaian di antara
pasangan yang dijodohkan, langkah
berikutnya yang harus dilalui adalah tahap
penyesuaian dengan keluarga masing-
masing.
Meskipun bertema perjodohan, novel
ini menunjukkan bahwa Sky sebagai
perempuan memiliki hak untuk memilih
sendiri masa depan terbaiknya, bukan atas
pilihan ibunya atau siapa pun. Perjodohan
yang ditampilkan dalam metropop Summer
Sky ini pun secara normatif bernilai positif,
sebagaimana dalam sudut pandang Inziati
(2019) dinyatakan bahwa romansa dalam
metropop Summer Sky matang dan sehat.
Pesan yang disampaikan di dalamnya jelas,
yaitu pentingnya komunikasi dan tahu
pesan yang ingin disampaikan pasangan.
Resistensi Perempuan terhadap
Perjodohan
Tokoh Sky memandang dirinya memiliki
kuasa atas diri sendiri, meskipun dalam
pandangan laki-laki seperti Alex, ia berada
dalam status subordinat dan dianggap
sebagai cadangan atau second plan semata.
(11) Kini Sky merasakan kemarahan
menggelegak di dalam dadanya. Jika
dulu ia hanya bisa menangis dan
menerima tanpa protes saat Alex
meninggalkannya, kini ia tak akan
melakukan hal yang sama pada Jordan.
Memangnya lelaki-lelaki itu kira mereka
itu siapa? Datang dan pergi kapan pun
mereka mau, dan para gadis hanya bisa
menunggu atau menerima?! (Zen, 2019:
265)
Alih-alih bersikap pasif dan menunggu
perjodohan yang direncanakan ibunya,
tokoh utama memilih untuk melawan
stigma yang tidak menyenangkan itu
dengan cara aktif mendekati Jordan, laki-
laki yang dijodohkan dengannya. Ia sendiri
yang memutuskan untuk mempersempit
jarak di antara dirinya dan laki-laki pilihan
orang tuanya itu.
(12)“Gue nggak segitu desperate-nya. Dan
mungkin memang untuk sementara gue
harus pacaran sama ini dulu kali, ya?”
Sky terkekeh, menunjuk kertas-kertas yang
berserakan di mejanya. “Ini cukup untuk
membuat gue lupa sama Alex kok.
Setidaknya, untuk sementara. (Zen, 2019:
94)
Situasi ini menunjukkan kesesuaian
pandangan Goode (2002) yang dikutip
Zulbaidah (2014:11) bahwa suami dan istri
cenderung menemukan diri dalam kelas
sosial mereka sendiri. Proses seleksi jodoh
berlangsung seperti sistem pasar dalam
ekonomi. Namun, dalam kenyataannya
pihak orang tua dalam novel Summer Sky
tidak merasa melakukan transaksi tawar-
menawar, melainkan melaksanakan
kewajiban untuk memilihkan sesuatu yang
terbaik bagi (anak) mereka. Dalam
perjodohan tersebut, meskipun memang
tersirat hadirnya upaya dan pengondisian
oleh pihak orang tua, namun tidak tampak
tindak pemaksaan.
(13) Karena membawa pacar ke acara
keluarga selalu berarti satu hal:
hubunganmu sudah serius. Kalau
pacarnya selama bertahun-tahun saja
ogah-ogahan, apalagi Jordan, yang baru
dikenalnya. Sky yakin, setelah ini Jordan
pasti mundur teratur. Nggak ada pria,
apalagi yang bukan pacar, yang akan
menyanggupi tantangan seperti ini. (Zen,
2019: 181)
Intan: Perjodohan ....
163
Dalam rangka menguji mental dan
keseriusan Jordan pada dirinya, Sky
mengajak laki-laki itu untuk datang ke
pesta ulang tahun neneknya. Hal itu
merupakan sebuah bentuk resistensi Sky
untuk menyeleksi laki-laki yang akan
menjadi suaminya.
Penokohan dan penggambaran
karakter Sky sendiri sebenarnya cukup
menunjukkan adanya resistensi terhadap
perjodohan yang dihadapinya. Ia menangisi
nasibnya yang ditinggalkan oleh Alex,
namun ia juga mencoba mencari penjelasan
yang rasional dari keadaannya. Secara aktif,
ia juga mencoba mencari tahu tentang sosok
Jordan melalui media sosial, melalui
ibunya, dan menjalin hubungan pertemanan
dengan laki-laki itu sebelum benar-benar
menerima menjadi pasangannya.
Sebagai perempuan yang terbiasa
hidup mandiri, Sky juga menampilkan diri
sebagai sosok pekerja yang tetap ia
lanjutkan setelah menikah dengan Jordan.
Hal itu menunjukkan terjadinya kontras dari
arranged wedding, yaitu autonomous
marriage (Ciren, 2016:114), atau
pernikahan yang dikehendaki oleh diri
sendiri. Berbeda dengan perspektif umum
mengenai perjodohan, wacana yang
berkembang di dalam novel ini justru
menjurus pada hubungan percintaan ‘biasa’
yang dibangun oleh masing-masing
individu.
Sepanjang cerita, pemberontakan
yang dilakukan Sky untuk menghadapi
perjodohan tersebut tidak terlihat dapat
dinilai berkualitas militan. Bentuk
perlawanan justru ditunjukkannya pada
Alex yang ingin kembali padanya.
Penyatuan Sky dan Jordan di bagian
akhir novel merupakan wujud dari simbol
pilihan perempuan itu serta bentuk
determinansi untuk beralih secara total atau
move on dari Alex, laki-laki yang telah
mengkhianatinya. Perjodohan yang
awalnya diinisiasi sang ibu menjadi jalan
bagi Sky untuk menentukan masa depan
melalui pilihan atas jodohnya sendiri.
PENUTUP
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
perjodohan yang ditampilkan pada
metropop Summer Sky, orang tua tidak
memaksakan kehendak sehingga tidak
memancing sikap resisten yang berarti dari
pihak anak yang dijodohkan. Peran orang
tua dibatasi sebagai pencari pasangan yang
terbaik bagi anaknya. Keputusan untuk
menjalin hubungan atau tidak pun diambil
oleh pasangan yang dijodohkan sebagai dua
individu yang telah dewasa. Empat tahap
interaksi dalam perjodohan yang
ditampilkan di antara tokoh utama
perempuan dan laki-laki pada novel yang
dikaji adalah adanya pertemuan fisik, saling
menyadari keberadaan, berada dalam situasi
emosi yang sama, dan adanya simbol yang
mewakili tujuan bersama, yaitu perkawinan.
Tidak ada resistensi berarti yang
ditunjukkan oleh protagonis perempuan
karena faktor kecocokan dengan
pasangannya dan tidak adanya pemaksaan
dari orang tua. Dengan demikian, meskipun
bertema perjodohan, novel Summer Sky
ditampilkan sebagaimana kisah percintaan
pada umumnya yang berakhir bahagia.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, C. (2005). Cultural Studies Teori
dan Praktik. Yogyakarta: Bentang
Pustaka.
Ciren, C.-M., dkk (2016). From Arranged
Marriage to Autonomous Marriage:
Marriage Liberalization in India,
Ancient Rome, United Kingdom and
China. International Journal of
Humanities and Social Science, 6(1),
114-120.
Dosi, E. (2012). Media Massa Dalam
Jaring Kekuasaan: Sebuah Studi
Tentang Relasi Kekuasaan di Balik
Wacana. Flores: Ledaleno.
Suar Bétang Vol. 15, No. 2, Desember 2020, halaman 153-165 ISSN (P) 1907-5650
ISSN (E) 2686-4975
164
Endah, K. (2006). Petung, Prosesi, dan
Sesaji dalam Ritual Manten
Masyarakat Jawa. Kejawen: Jurnal
Kebudayaan Jawa, 1(2).
Fiksimetropop. (2014). [Suka nggak suka]
Tema Perjodohan.
http://www.fiksimetropop.com/2014/
10/suka-nggak-suka-tema-
perjodohan.html
Fitriana, A. (2010). Karakteristik Novel-
novel Metropop Gramedia. (Skripsi),
Universitas Indonesia, Depok.
Goode, W. J. (1991). Sosiologi Keluarga
(L. Hasyim, Trans. S. Simamora Ed.).
Jakarta: Bumi Aksara.
Hidayat, R. R., Fauzi. (2018). Tinjauan
Psikologi Sastra pada Tokoh Utama
dalam Novel Metropop One Last
Chance karya Stephanie Zen. Deiksis,
10(2), 167-180.
Inziati, I. (2019). Review Summer Sky.
Goodreads.
https://www.goodreads.com/book/sho
w/43437405-summer-
sky#other_reviews
Kertanegara, R. (2012). Perjodohan di
Ruang Publik (Kajian Resepsi
Perjodohan di Ruang Publik dalam
Program Take Me Out di Indosiar
oleh Remaja Perempuan). 1-17.
doi:10.13140/RG.2.2.16335.53929
Lestariningtyas, S. R. (2018). Konsep
Perjodohan Pada Abad 20 Terkait
Novel Midah: Sebuah Pendekatan
Sejarah pada Karya Sastra.
academia.edu.
Muyassaroh. (2017). Dimensi Gender
dalam Novel Gelang Giok Naga.
Martabat: Jurnal Perempuan dan
Anak, 1(2), 323-350.
Ningsih, E. Y., Handoyo, Pambudi. (2015).
Perjodohan di Masyarakat Bakeong
Sumenep Madura (Studi
Fenomenologi Tentang Motif
Orangtua Menjodohkan Anak).
Paradigma, 03(03), 1-5.
Priyatna, A. (2018). Kajian Budaya
Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya
Pop. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.
Rahayu, L. M. (2016, 26 Juli 2016).
Perempuan dan Perkawinan dalam
Tradisi dan Konstruksi. Paper
presented at the Seminar Nasional
Sastra dan Budaya: Perempuan dan
Lokalitas, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Padjadjaran.
Ross, C. S., Dwedney, P. & Fauzani, U.
(2013). An Analysis of code switching
and code mixing in Perhaps You
novel by Stephanie Zen. UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.
Siregar, F. Y. (2017). Struktur Upacara
Perkawinan Peranakan Tionghoa di
Teluk Naga Tangerang. Jurnal Rupa,
02(02), 76-88.
Taylor, A. (2012). Single Women in
Popular Culture: The Limits of Post-
feminism. New York: Palgrave
Macmillan.
Wanda, W., Hayati, Y., Nst, M.Ismail.
(2018). Potret Masyarakat Urban
dalam Novel Metropop Critical
Eleven karya Ika Natassa.
journal.unp.ac.id, 5(2), 1-17.
Wicaksono, R. (2015). Masalah
Perjodohan dalam Novel Memang
Jodoh Karya Marah Rusli. (Sarjana),
Universitas Pendidikan Indonesia,
Wollburg, C. (2016). The History of
Matchmaking and the Function of
Intermediaries in the Marriage
Market.
Zen, S. (2019). Summer Sky (C. V.
Nasution Ed.). Jakarta: PT Gramedia.
Zulbaidah. (2014). Dampak Perjodohan
Pilihan Orang Tua di Gampong
Intan: Perjodohan ....
165
Geulanggang Gajah Kecamatan
Darul Makmur Kabupaten Nagan
Raya. (S1), Universitas Teuku Umar,
Meulaboh Aceh Barat.
... Other studies that discuss women's resistance include (Muftiandar, 2021), (Susilastri, 2020), (Intan, 2020), (Nugraha & Suyitno, 2019), (Susilowati & Indarti, 2018), dan (Harjito, 2019) which examines related to resistance carried out by women. ...
... These studies explain that women's resistance occurs as a result of injustice or inequality that occurs in women. The injustice experienced by women does not make them resigned and weak, but tries to fight back to defend their rights (Intan, 2020). ...
Article
Full-text available
Resistance is a defensive attitude, trying to fight, oppose, or other opposition efforts in general. Resistance or resistance to something suppressed in everyday life is natural, from the inferior to the superior. A defensive attitude is also shown in the novel Yuni by Ade Ubaidil and Kamila Andini through the main female character, Yuni. Yuni's character struggles because of the stigma that exists in the community where she lives so that women cannot develop positively. Yuni is a teenager who dares to fight directly when she experiences injustice. Yuni's resistance or resistance allowed her to do what she thought was right. Yuni's resistance is in line with James C. Scott's theory. The data source in this study is the novel Yuni by Ade Ubaidil and Kamila Andini. The research data is excerpts of sentences and phrases describing Yuni's character's resistance. The results of this study are depictions of resistance forms, including (1) refusing to marry young, (2) liking purple, (3) giving up virginity, and (4) the role of parents in decision-making for Yuni's figure.
Research
Full-text available
This research tries to find out the ‘preferred reading’ of ‘matchmaking’ among adolescent girls in the reality show programme “Take Me Out” on Indosiar. Theresearch was based on qualitative methods using the Hall’s reception theory. Researchers conclude that there are many readings (dominant, negotiation, and opposition) of the informants when matchmaking is shown on public spaces. Althoughderived from a good educational background, not all informants expressed disapproval of the match on television shows. Thus, the culture of matchmaking has shifted to bemore open among adolescent girls. This shift caused by the globalization of culture,media literacy, and past experience of the informants.
Article
Full-text available
p class="abstrakisi">Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sejauh mana tinjauan psikologi sastra pada tokoh utama Novel Metropop One Last Chance karya Stephanie Zen. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan analisis isi, dengan mendeskripsikan tinjauan psikologi sastra pada tokoh utama Novel Metropop One Last Chance karya Stephanie Zen. Data penelitian ini diperoleh dari Novel Metropop One Last Chance karya Stephanie Zen. Stephanie Zen lebih memunculkan Ego pada tokoh utama wanita. Super ego serta Id tidak terlalu dimunculkan pada tokoh Adrienee selaku tokoh utama wanita dalam novel One Last Chance. Tidak bisa dipungkiri bahwa unsur-unsur kejiwaan pengarang tercerminkan pada jiwa tokoh utama. Kata Kunci: Psikologi Sastra, novel, one last chance</p
Article
This article portrays the culture of entertainment, consumerism, pragmatism, secularism or profane lifestyle, hedonism, taste uniformity and instant culture in Ika Natassa's Critical Eleven metropop novel. The research is qualitative research and using descriptive method. Based on the results of data analysis found the portrait of urban communities in the novel metropop Critical Eleven as follows. First, entertainment culture, such as music, traveling to places of interest, shopping, sports, partying and more browsing the internet and chatting with friends through social media. Secondly, the culture of consumerism, such as buying expensive goods for toys and collectibles, the use of well-known brands as their fashion, "hunting" food in famous restaurants and shopping, and for the particular needs of urban societies more attentive to the quality and costliness of goods. Third, pragmatism, society becomes antifondationalist, antirepresentationalist, and antirealist. Fourth, secular or profane lifestyle, religion is not so important in today's life. Fifth, hedonis, like living full of entertainment, royal or consumptive, and make fashion as a self-image. Sixth, the uniformity of the sense, that makes the community no longer have a distinctive culture. Seventh, instant culture, teaches that life needs a process to achieve success.Keywords: urban community, metropop novel, literature
Article
This study aims to determine the structure of traditional Chinese crossbreed in Indonesia wedding ceremonies. The research data is the result of informant interview. The method used in this research is descriptive qualitative method by using ceremonial theory and acculturation theory.The author chose this title because it is one of the unique traditions in Indonesia. This tradition is a blend of Chinese culture, Betawi and Sunda. Cio Tou is one of the traditional wedding tradition procession in Teluknaga Tangerang. The tradition of Cio Tou exists only in the tradition of the Chinese crossbreed customs in Teluknaga Tangerang. The results obtained in this research are 7 stages of traditional ceremony in Chinese crossbreed marriage that is the selection of soul mate, applying, dowry, youth evening, Cio Tou tradition, wedding reception, and custom after marriage.
Article
Single Women in Popular Culture demonstrates how single women continue to be figures of profound cultural anxiety. Examining a wide range of popular media forms, this is a timely, insightful and politically engaged book, exploring the ways in which postfeminism limits the representation of single women in popular culture.
Cultural Studies Teori dan Praktik
  • C Barker
Barker, C. (2005). Cultural Studies Teori dan Praktik. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
From Arranged Marriage to Autonomous Marriage: Marriage Liberalization in India, Ancient Rome, United Kingdom and China
  • C.-M Ciren
  • Dkk
Ciren, C.-M., dkk (2016). From Arranged Marriage to Autonomous Marriage: Marriage Liberalization in India, Ancient Rome, United Kingdom and China. International Journal of Humanities and Social Science, 6(1), 114-120.
Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa
  • K Endah
Endah, K. (2006). Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa. Kejawen: Jurnal Kebudayaan Jawa, 1(2).
Konsep Perjodohan Pada Abad 20 Terkait Novel Midah: Sebuah Pendekatan Sejarah pada Karya Sastra
  • S R Lestariningtyas
Lestariningtyas, S. R. (2018). Konsep Perjodohan Pada Abad 20 Terkait Novel Midah: Sebuah Pendekatan Sejarah pada Karya Sastra. academia.edu. Muyassaroh. (2017). Dimensi Gender dalam Novel Gelang Giok Naga. Martabat: Jurnal Perempuan dan Anak, 1(2), 323-350.
Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop
  • A Priyatna
Priyatna, A. (2018). Kajian Budaya Feminis Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.