ArticlePDF Available

Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Authors:

Abstract

Perdagangan orang merupakan bentuk kejahatan transnasional yang semakin marak terjadi namun sulit untuk dideteksi. Kejahatan ini ditemui di negara berkembang, memiliki jumlah populasi penduduk besar, jumlah penduduk perempuan dan laki–laki tidak seimbang. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui pertanggungjawaban negara dalam penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan hambatan yang dihadapi di Nusa Tenggara Timur yang menjadi obyek penelitian. Manfaat umum diharapkan sebagai bahan informasi kepada masyarakat terkait dengan tindak pidana perdagangan orang, secara khusus diharapkan sebagai bahan masukan bagi para pemangku kepentingan dalam rangka pengambilan kebijakan. Metode dalam tulisan ini bersifat dekriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif, menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai data dan informasi yang didapatkan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Pertanggungjawaban negara dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dengan dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan penanganan. Gugus Tugas ini belum optimal karena bersifat koordinatif dan adanya praktek sistem penempatan TKI yang tidak memberikan perlindungan sejak dini sehingga bertentangan dengan upaya pencegahan perdagangan orang. TPPO sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa, sehingga dalam penanganannya juga harus melalui cara yang luar biasa. Oleh karenanya perlu merevisi Pasal 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang agar pembentukannya menjadi lembaga operasional bukan lembaga koordinatif.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
543
TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM
PENANGANAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
(States Responsibility in Mitigation of Human Trafficking Crime)
Okky Chahyo Nugroho
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
Badan Penelitian dan Pengembanhgan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.
Jl. H.R. Rasuna Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta Selatan
HP: 08158236792
okies_ham@yahoo.com/okkycn39@gmail.com
Tulisan Diterima: 13-07-2018; Direvisi: 16-11-2018; Disetujui Diterbitkan: 16-11-2018
DOI: http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2018.V18.543-560
ABSTRACT
Human trafficking is a form of trans-national crime that increasingly widespread but difficult to detect. This
crime is found mainly in developing countries, that have large population, and unbalance population of
males and females. The purpose of this article is to find out the state responsibility in mitigating human
trafficking cases and the obstacles encountered in East Nusa Tenggara, the object of the study. General
benefits as expected as information materials for the public with regard to the human trafficking crimes, and
in particular is expected as a feedback to the stakeholders for better policies making. The method of this
article is descriptive-analysis with qualitative approach, depicting the researched objects or subjects
pursuant to the collected data and information which then followed with quantitative analysis. The state
responsibility in mitigating human trafficking crime is by establishing a preventive and mitigating Task
Force. This Task Force has not been optimum due to its coordinative characteristics and the existing
Indonesian Workers placement system that has been failed to provide protection from the practices earliest
stage, in disagreement with the human trafficking preventive measures. Human trafficking is an
extraordinary crime, hence it must be handled in an extraordinary way also. Consequently it is necessary to
revise Article 1 of President Regulation of the Republic of Indonesia No 69 of 2008 regarding Human
Trafficking Crime Prevention and Mitigation Task Force to change its institution into an operational instead
of coordinative one.
Keywords: Responsibility, State, Prevention, Mitigation, Human Trafficking
ABSTRAK
Perdagangan orang merupakan bentuk kejahatan transnasional yang semakin marak terjadi namun sulit untuk
dideteksi. Kejahatan ini ditemui di negara berkembang, memiliki jumlah populasi penduduk besar, jumlah
penduduk perempuan dan lakilaki tidak seimbang. Tujuan tulisan ini untuk mengetahui pertanggungjawaban
negara dalam penanganan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan hambatan yang dihadapi di
Nusa Tenggara Timur yang menjadi obyek penelitian. Manfaat umum diharapkan sebagai bahan informasi
kepada masyarakat terkait dengan tindak pidana perdagangan orang, secara khusus diharapkan sebagai bahan
masukan bagi para pemangku kepentingan dalam rangka pengambilan kebijakan. Metode dalam tulisan ini
bersifat dekriptif-analisis dengan pendekatan kualitatif, menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai
data dan informasi yang didapatkan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Pertanggungjawaban
negara dalam penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dengan dibentuknya Gugus Tugas
pencegahan dan penanganan. Gugus Tugas ini belum optimal karena bersifat koordinatif dan adanya praktek
sistem penempatan TKI yang tidak memberikan perlindungan sejak dini sehingga bertentangan dengan
upaya pencegahan perdagangan orang. TPPO sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa, sehingga dalam
penanganannya juga harus melalui cara yang luar biasa. Oleh karenanya perlu merevisi Pasal 1 Peraturan
Presiden Republik Indonesia No 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang agar pembentukannya menjadi lembaga operasional bukan lembaga koordinatif.
Kata Kunci: Tanggung Jawab, Negara, Pencegahan, Penanganan, Perdagangan Orang
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
PENDAHULUAN
Perdagangan orang atau yang dikenal dengan
sebutan human trafficking merupakan bentuk
kejahatan transnasional baru yang semakin marak
terjadi. Kejahatan dalam bentuk ini biasa ditemui
di negaranegara berkembang yang memiliki
jumlah populasi penduduk yang besar dengan
perbandingan jumlah penduduk perempuan dan
lakilaki yang tidak seimbang. Selain itu yang
melatarbelakangi terjadinya kejahatan dalam
bentuk ini adalah adanya kesenjangan ekonomi
dengan banyak tuntutan kebutuhan tenaga kerja
murah yang biasanya berasal dari luar negeri.
Hampir setiap negara terlibat dalam jejaring
perdagangan orang adalah bahwa negara dapat
berfungsi sebagai negara asal, yaitu negara dimana
orangorangnya diperdagangkan ke luar, sebagai
negara tujuan, yaitu negara tersebut menjadi
tujuan praktik perdangan orang, dan atau sebagai
negara transit, yaitu negara tersebut menjadi
persinggahan sementara dalam rute perdagangan
orang (Winterdyk dan Reichel, 2010:6).
Indonesia merupakan negara asal terbesar bagi
korban perdagangan orang, baik bersifat domestik
maupun lintas batas. International Organitation for
Migration (IOM) mensinyalir sekitar 50 persen
tenaga kerja Indonesia di luar negeri menjadi
korban perdagangan orang.
(Mohammad,https://beritagar.id/artikel/berita/
transaksi-perdagangan-manusia-di-indonesia-
melebihi-narkoba, 2017)
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
mendefinisikan perdagangan orang (human
trafficking) sebagai: perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan
kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan
lain, penculikan, penipuan, kecurangan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
memberi atau menerima bayaran atau manfaat
untuk memperoleh izin dari orang yang
mempunyai wewenang atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. (Protokol PBB, 2000)
Perdagangan manusia yang tercantum dalam
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan,
penampungan, pengangkutan, pengiriman,
pemindahan atau penerimaan seseorang dengan
ancaman kekerasan, penculikan, penggunaan
kekerasan, penyekapan, penipuan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
memberi bayaran atau penjeratan utang atau
manfaat, sehingga dapat memperoleh persetujuan
dari orang yang memegang kendali atas orang
lain tersebut, baik yang dilakukan antarnegara
maupun di dalam negara , demi untuk tujuan
mengeksploitasi atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Manusia, pengertian eksploitasi
dalam tindak pidana perdagangan manusia
dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 7 adalah tindakan
dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan,
pelacuran, atau praktik serupa perbudakan,
kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik,
penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual,
atau secara melawan hukum. Mentransplantasi
atau memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh,
atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang
oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materil maupun immaterial.
Sejatinya perdagangan orang merupakan
bentuk modern dari perbudakan manusia dan salah
satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran
harkat dan martabat manusia. Perempuan dan anak
adalah kelompok yang paling banyak menjadi
korban tindak pidana perdagangan orang. Korban
diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran
atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi
juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya
kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan,
atau praktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak
pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian,
atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak,
menjerumuskan, atau memanfaatkan orang
tersebut dalam praktik eksploitasi dengan
segala bentuknya dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, memberi
bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas korban. (Protokol PBB, 2000)
Menurut penjelasan perwakilan dari
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPPA), Budi Prabowo,
bahwa Tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
merupakan kekejian sosial, fisik, psikis, dan
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
545
ekonomi, sehingga menjadi bentuk modern
dari perbudakan manusia. Saat ini, Indonesia
menempati posisi ketiga di dunia dengan angka
kasus TPPO tertinggi yang mana pada tahun 2012,
isu TPPO mulai masuk ke Indonesia. TPPO bisa
terjadi di mana saja dan melibatkan kelompok
rentan. Kelompok rentan adalah mencakup
masyarakat yang miskin secara ekonomi
dan informasi, anak putus sekolah, korban
kekerasan dalam rumah tangga, anak jalanan,
anak dalam pengungsian, dan korban broken
home. (Paramita, http://suaramahasiswa.com/
menilik-persoalan-perdagangan-orang-dan-
sisi-gelap-kemanusiaan/2017)
Selama ini, pelaku TPPO menggunakan
modus-modus berupa penculikan, bujuk rayu,
jeratan hutang, pemalsuan identitas, hingga
penipuan melalui media sosial. Mayoritas kasus
TPPO yang terjadi di Indonesia mencakup
eksploitasi ketenagakerjaan, eksploitasi seksual,
pekerjaan yang tidak sesuai dengan perjanjian,
penjualan organ tubuh, dan kasus bayi yang
diperjualbelikan. TPPO telah menjadi kejahatan
luar biasa yang memerlukan penanganan khusus.
Namun realitanya, ketersediaan data mengenai
TPPO di Indonesia masih relatif minim. Terlebih
lagi, kondisi penanganan TPPO di Indonesia selama
ini hanya fokus pada korban, bukan fokus pada
pencegahan. (Paramita, http://suaramahasiswa.
com/menilik-persoalan-perdagangan-orang-
dan-sisi-gelap-kemanusiaan/2017)
Mengacu pada Peraturan Menteri Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan
(Permenko) Nomor 2 Tahun 2016 tentang
Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Tahun
2015-2019 bahwa yang bertanggung jawab dalam
program dan kegiatan adalah:
1. Sub Gugus Tugas Pencegahan yang diketuai
oleh Direktur Jenderal Pendidikan Anak
Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
2. Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Kesehatan
yang diketuai oleh Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kementerian Kesehatan;
3. Sub Gugus Tugas Rehabilitasi Sosial yang
diketuai oleh Direktur Jenderal Rehabilitasi
Sosial, Pemulangan dan Reintegrasi Sosial,
Kementerian Sosial;
4. Sub Gugus Tugas Pengembangan Norma
Hukum yang diketuai oleh Direktur
Jenderal Peraturan Perundang -Undangan,
Kementerian Hukum dan HAM;
5. Sub Gugus Tugas Penegakan Hukum
yang diketuai oleh Kepala Badan Reserse
Kriminal, Kepolisian;
6. Sub Gugus Tugas Koordinasi dan Kerjasama
diketuai Direktur Jenderal Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja, Kementerian
Tenaga Kerja.
Menurut penjelasan Deputi Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan, Sujatmiko, bahwa dibentuknya
RAN Pemberantasan TPPO ini bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam
upaya pencegahan tindak pidana perdagangan
orang serta penanganan korban dan penindakan
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan
orang. RAN Pemberantasan TPPO ini menjadi
acuan dalam Rencana Aksi Daerah terkait TPPO,
sehingga dapat difokuskan pada pembahasan
bidang pencegahan, penanganan dan penegakan
hukum.
Perdagangan orang masih menjadi kasus
yang paling dominan terjadi di tahun 2016, hal ini
berdasarkan jumlah permohonan yang diterima
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
sepanjang 2016. LPSK menerima total 1720
permohonan dan permohonan tersebut paling
banyak didominasi oleh perdagangan orang,
korupsi dan kekerasan seksual anak. Berdasarkan
data LPSK dari 1720 permohonan, perdagangan
orang mencapai 140 permohonan. Adapun
korupsi mencapai 103 permohonan, kekerasan
seksual anak (66 permohonan), penyiksaan (28
permohonan), terorisme (16 permohonan), dan
narkotika (6 permohonan). (Muhammad-Pikiran
Rakyat, 2017)
Berdasarkan Laporan Tahunan Perdagangan
Orang 2016 Kedutaan Besar dan Konsulat AS di
Indonesia, bahwa negara Indonesia merupakan
salah satu negara asal utama, pada tataran tertentu,
dan tujuan, serta transit bagi laki-laki, perempuan,
dan anak untuk menjadi pekerja paksa dan korban
perdagangan seks dengan tujuan Malaysia,
Singapura, Brunai, Taiwan, Jepang, Hongkong
dan Timur Tengah (https://id.usembassy.gov/id/
our-relationship-id, 2016).
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
Menurut Global Slavetary Index 2014,
Indonesia merupakan salah satu negara dengan
korban perdagangan orang (human trafficking)
yang cukup besar, diproyeksikan berjumlah sekitar
700.000 orang dengan berbagai modus pengiriman
ke luar negeri baik berupa pekerja seks komersial,
pekerja anak, adopsi illegal, pernikahan pesanan,
narkoba, dll. Jumlah tersebut adalah sekitar 11,3
persen dari jumlah pekerja migran Indonesia,
suatu jumlah yang cukup besar saat ini. (Litaay,
(https://id.linkedin.com/pulse/persoalan-
human-trafficking-dan-penanganan-theo-
litaay), 2016)
Persoalan ini berpotensi membesar dalam
era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dimana
pergerakan orang lintas batas negara ASEAN
menjadi lebih mudah dilakukan dan untuk
mengatasinya dibutuhkan penanganan secara
sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan
terpadu baik pada level regulasi atau kebijakan
dan kelembagaan serta partisipasi masyarakat.
Penanganan secara terpadu melalui Keppres No 88
Tahun 2002 diperlukan pada aspek ekonomi dan
hukum, karena sejak Indonesia merdeka, dianggap
sebagai langkah awal bagi penegakan hak asasi
manusia secara nasional untuk membebaskan diri
dari tindak pelanggaran hak asasi manusia dan
tindakan kekerasan, baik itu kekerasan secara
fisik, seksual, maupun psikologis sebagai dampak
dari perdagangan orang (trafficking).
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak
dasar yang dimiliki oleh setiap pribadi manusia
secara kodrati sebagai anugerah dari Tuhan dan
diakui secara universal sebagai hak-hak yang
melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat
kelahiran manusia itu sebagai manusia. HAM ini
selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar,
fundamental dan penting karena HAM tidak dapat
dicabut oleh suatu kekuasaan atau oleh sebab-
sebab lainnya.
Pihak yang terikat secara hukum dalam
pelaksanaan HAM berdasarkan hukum
internasional adalah negara. Dalam konteks ini,
peran dan tanggung jawab negara merupakan hal
yang paling utama dalam menjalankan kewajiban
konstitusional, yaitu berjanji untuk mengakui,
menghormati, melindungi, memenuhi dan
menegakkan HAM.
Ketentuan hukum HAM tersebut memberi
penegasan bahwa negara sebagai pemangku
kewajiban (duty holder) harus memenuhi
kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan
HAM, baik secara nasional maupun internasional;
sedangkan individu dan kelompok-kelompok
masyarakat adalah pihak pemegang hak (right
holder). Negara dalam ketentuan hukum HAM
tidak memiliki hak, tetapi hanya memikul
kewajiban dan tanggung jawab (obligation
and responsibility) untuk memenuhi hak
warga negaranya (individu maupun kelompok)
yang dijamin dalam instrumen-instrumen
HAM internasional. Apabila negara tidak mau
(unwilling) atau tidak punya keinginan untuk
memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya,
maka negara dapat digolongkan sebagai yang
telah melakukan pelanggaran HAM atau hukum
internasional. (Komnas HAM, 2007:7)
Penanggulangan TPPO membutuhkan
sinergitas dari semua pihak, termasuk masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan melalui integralitas
upaya penal dan non penal. Upaya penal, yakni
mempergunakan sarana hukum pidana secara
konsisten dengan memberdayakan aparat penegak
hukum secara profesional untuk menjerat pelaku
dan jaringan. Sedangkan upaya non penal melalui
tindakan preventif terhadap calon korban, maupun
penanganan korban secara komprensif. Dalam
penanganan kasus tindak pidana perdagangan
orang, bukan hanya tugas Kementerian Hukum
dan HAM (Dirjen Imigrasi) melainkan tugas
wakil-wakil dari pemerintah (pusat dan daerah),
penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan
peneliti/akademisi sebagaimana tercantum
pada Pasal 58 Ayat 2 Undang Nomor 21 tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Berdasarkan hal tersebut yang menjadi
permasalahan adalah pertanggungjawaban Negara
untuk penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dalam pelaksanaannya yang tentu akan
ditemui hambatannya khususnya di Nusa Tenggara
Timur yang menjadi obyek dalam tulisan ini.
Perdagangan orang berhubungan dengan sikap
kesadaran hukum mengenai pentingnya aturan
yang berupa hukum positif dan tingkat kesadaran
hukum, karena itu pemahaman terhadap hukum
tidak hanya pada pengertian pemberlakuan
perundang-undangan, tetapi lebih pada tataran
implementasi, sehinggga pemahaman terhadap
perdagangan orang tidak hanya pada tataran
konsep, tetapi lebih diutamakan pada tataran
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
547
implementasi atau penerapan yang berhubungan
dengan kesadaran hukum.
Secara historis, perdagangan orang dapat
dikatakan sebagai perbudakan dan juga melanggar
hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia
yang berupa perbudakan umumnya berupa
perampasan kebebasan dari seseorang, yang
dilakukan oleh kelompok ekonomi kuat kepada
kelompok ekonomi lemah. Atas dasar itulah maka
pencegahan perdagangan orang dalam perspektif
pelanggaran hak asasi manusia harus dilakukan
secara komprehensif dan integral, yang dapat
dilakukan melalui tataran kebijakan hukum pidana
dengan cara legislasi, eskekusi dan yudikasi.
Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
mengetahui tanggung jawab negara dalam
penanganan kasus tindak pidana perdagangan
orang dan hambatan yang dihadapi dalam
penangan kasus tindak pidana perdagangan orang.
Manfaatnya secara umum diharapkan bermanfaat
sebagai bahan informasi kepada masyarakat terkait
dengan tindak pidana perdagangan orang. Secara
khusus diharapkan bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi para pemangku kepentingan dalam
rangka pengambilan kebijakan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan terkait dengan
tindak pidana perdagangan orang.
Peran dan tanggung jawab negara merupakan
hal yang paling utama dalam menjalankan
kewajiban konstitusional terhadap hak asasi
manusia (state responsibility). Negara mempunyai
kewajiban untuk membuat hukum tentang
penegakan hukum yang baik, melaksanakan
penegakan hukum yang baik, menciptakan
keamanan dan ketertiban umum bagi setiap
orang serta pelaksanaan HAM dengan memenuhi
kewajiban-kewajibannya untuk menghormati,
melindungi, menegakkan, dan memajukan hak
asasi manusia terutama hak perempuan yang diatur
dalam undang-undang, peraturan perundang-
undangan lain, dan hukum internasional tentang
hak asasi manusia yang diterima oleh Negara
Republik Indonesia (Utami, 2016:61).
Konsepsi tanggung jawab negara dalam hak
asasi manusia sebagaimana tertuang dalam UUD
1945 Pasal 28I Ayat (4) dan (5) yang menyebutkan
bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum
yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.” Memperhatikan
arti pentingnya HAM serta kecenderungan
meningkatnya berbagai isu di masyarakat yang
bernuansa HAM sehingga mempengaruhi
integritas pemerintah karena adanya sorotan baik
di dalam maupun luar negeri, maka implementasi
HAM merupakan sesuatu yang harus dengan
sungguh-sungguh dapat terlaksana. Sebagaimana
yang dimanatkan dalam Pasal 71 dan Pasal 72
Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa,
Pasal 71
”Pemerintah wajib dan bertanggung jawab
menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukan hak asasi manusia yang
diatur dalam Undang-Undang ini, peraturan
perundang-undangan lain, dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang
diterima oleh negara Republik Indonesia”.
Pasal 72
”Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71,
meliputi langkah implementasi yang efektif
dalam bidang hukum, politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan negara,
dan bidang lain”.
METODE PENELITIAN
Metode dalam tulisan ini bersifat dekriptif-
analisis dengan pendekatan kualitatif, penelitian
deskriptif merupakan metode penelitian
menggambarkan objek atau subjek yang
diteliti sesuai dengan data dan informasi yang
didapatkan selanjutnya dilakukan analisis secara
kualitatif. Metode yang dipakai berusaha untuk
menggambarkan secara sistematis, fakta dan
karakteristik objek yang diteliti secara tepat, dalam
hal ini berupaya mendeskripsikan temuan yang
kemudian dianalisis guna memberikan laporan
yang komprehesif untuk menjawab permasalahan
yang diangkat dalam tulisan ini.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A. Pertanggungjawaban Negara untuk
penanganan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Saat ini perdagangan orang (trafficking,
trafficking in human being, trafficking in person)
telah menjadi perhatian khusus seiring dengan
tumbuhnya kesadaran bahwa perdagangan
orang merupakan pengeksploitasian manusia
oleh manusia, hal tersebut menjadi fokus
pembahasan dalam tulisan ini. Penjual maupun
pembeli menjadikan manusia sebagai barang
dagangan untuk memperoleh keuntungan dari
menjual atau memiliki manusia yang dibelinya
artinya penjual mendapat keuntungan dari hasil
jualannya sedangkan pembeli memperoleh
kesenangan dengan menguasai apa yang telah
dibelinya sebagai pemuas nafsu seks, perbudakan,
pengambilan organ tubuh dan sebagainya.
Para calo gencar membujuk orang-orang di
pelosok Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mau
bekerja sebagai TKI. Untuk memperlancar atau
mempermudah izin orang tua dari calon TKI,
para calo tidak segan memberikan sejumlah uang
yang dikenal dengan istilah uang sirih pinang
kurang lebih sebesar Rp. 3,5 juta kepada orang
tua calon TKI. Tingginya minat masyarakat NTT
untuk bekerja di luar negeri tidak ditunjang dengan
kesiapan kapasitas para tenaga kerja terutama soal
keterampilan dan informasi mengenai berbagai
hak TKI, sehingga cukup banyak TKI yang
mengalami persoalan. Pemalsuan identitas sering
dilakukan oleh calon TKI dalam rangka bekerja
ke luar negeri dan terkadang melibatkan Ketua
RT/RW, Lurah dan Camat dalam pemalsuan KTP
atau akte kelahiran karena adanya syarat umur
tertentu yang dituntut oleh agen untuk pengurusan
dokumen (paspor). Dalam pemprosesannya,
juga melibatkan oknum-oknum dari dinas-dinas
yang tidak cermat meneliti kesesuaian identitas
dengan subyeknya. Kondisi-kondisi seperti ini
menyebabkan para korban menyerahkan hidup
dan nasibnya pada para perekrut tenaga kerja.
Daya tawar para korban sangat rendah sehingga
potensi yang ada dapat menimbulkan perlakuan
semena-mena terhadap korban yang mengarah
kepada perdagangan orang.
Nusa Tenggara Timur merupakan daerah
pengirim tenaga kerja keluar negeri terbesar di
Indonesia dan cukup dikenal sebagai daerah
asal tenaga kerja bermasalah setelah munculnya
berbagai kasus penganiayaan. Perdagangan orang
di kawasan Timur Indonesia telah terjadi dalam
berbagai bentuk. Pertama, korban diperdagangkan
dan dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja
seks di tempat hiburan malam atau lokalisasi
prostitusi. Kedua, diperdagangkan untuk menjadi
buruh migran ke luar negeri sebagai pekerja di
perkebunan, pabrik, kapal dan menjadi pembantu
rumah tangga. Penyebab mencari kerja di luar
negeri antara lain karena kemiskinan kurangnya
pendidikan/ pengetahuan/ketrampilan, krisis
ekonomi akibat hilangnya pendapatan dalam
rumah tangga dan tidak cukup tersedia lapangan
pekerjaan dengan upah layak di dalam daerah
sendiri.
Pemerintah Provinsi NTT berkomitmen
untuk mencegah dan menangani Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO). Komitmen Pemprov
NTT tersebut dapat dilihat dari adanya peraturan-
peraturan yang dikeluarkan Pemprov NTT terkait
pencegahan dan penanganan TPPO (Trafficking).
Seperti Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14
Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanganan
TPPO dan Keputusan Gubernur Nusa Tenggara
Timur Nomor 294/KEP/HK/2014 tentang Gugus
Tugas Anti Perdagangan Orang dan Pencegahan
serta Penanganan Calon Tenaga Kerja Indonesia/
Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah/Non
Prosedural Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timr (NTT)
juga telah berkomitmen agar 6 (enam) Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO yang
dibentuk mendapat dukungan dana dari APBD
NTT maupun APBD kabupaten/kota. Adapun
enam gugus tugas tersebut berada di Kabupaten
Sikka, Manggarai, Belu, TTS, Kabupaten Kupang
dan Kota Kupang dan merupakan pilot project dari
IOM untuk memperkuat Gugus Tugas yang sudah
ada di provinsi. (http://www.suaraflobamora.
com, 2017)
Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan
tugas dari gugus tugas tersebut, khususnya
terkait dengan pengawasan pada setiap pintu
keberangkatan baik melalui bandar udara maupun
pelabuhan laut, maka dibentuk Tim Kerja Terpadu
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan
Orang di Bandara El TariKupang dan Pelabuhan
TenauKupang. Masa kerja dari tim kerja terpadu
adalah 3 (tiga) tahun dan bertanggung jawab
kepada Gubernur Nusa Tenggara Timur dan
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
549
mempunyai tugas sebagai berikut: (Balitbang
Hukum dan HAM, 2017: 32)
a.
Mengawasi setiap orang yang masuk dan
keluar Bandara El Tari dan Pelabuhan Tenau
Kupang;
b.
Memeriksa dokumen/identitas setiap orang
yang diduga terkait dengan tindak pidana
perdagangan orang;
c.
Mencatat data identitas orang yang diduga
terkait dengan tindak pidana perdagangan
orang;
d.
Mencegah dan menahan orang yang diduga
terkait dengan tindak pidana perdagangan
orang;
e.
Melakukan koordinasi dengan instansi terkait
untuk proses lebih lanjut baik mengenai
pencegahan maupun penanganan korban
tindak pidana perdagangan orang;
f.
Memberikan keterangan atau informasi
kepada masyarakat luas tentang upaya tindak
pidana perdagangan orang.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Timur
mempunyai 3 (tiga) fokus dalam penanganan
persoalan perempuan dan anak yaitu: akhiri
kekerasan bagi perempuan dan anak; akhiri
perdagangan orang; akhiri kesenjangan ekonomi
bagi perempuan. Dalam hal pencegahan dilakukan
dengan cara sosialisasi secara terpadu yang
melibatkan kantor wilayah Kementerian Hukum
dan HAM NTT, Kepolisian, Dinas Tenaga Kerja
dan Dinas Sosial dengan sasaran masyarakat
yang ada di kabupaten, serta menempatkan satgas
di pelabuhan, bandara dan perbatasan untuk
mengawasi masyarakat yang akan bekerja di luar
negeri secara illegal. (Balitbang Hukum dan
HAM, 2017: 33)
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi Nusa Tenggara Timur
dalam sub gugus tugas pencegahan mempunyai
rincian tugas sebagai berikut:
a.
melakukan pemetaan kasus tindak pidana
perdagangan orang termasuk eksploitasi
seksual pada perempuan dan anak;
b.
mengembangkan model pencegahan
tindak pidana perdagangan orang termasuk
eksploitasi seksual pada perempuan dan
anak;
c.
memberikan pendidikan kepada masyarakat
tentang ketahanan keluarga; dan
d.
memfasilitasi terwujudnya partisipasi
perempuan dan anak dalam pencegahan
tindak pidana perdagangan orang termasuk
eksploitasi seksual pada perempuan dan
anak.
Dalam penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi
Nusa Tenggara Timur melakukan koordinasi dan
kerjasama dengan semua anggota gugus tugas.
Program pemberdayaan yang ada belum
sepenuhnya menyentuh langsung kebutuhan
masyarakat karena alasan ekonomi, masyarakat
cenderung berkeinginan bekerja di luar daerah
maupun ke luar negeri walaupun dengan cara-cara
yang ilegal. Selain itu masih banyak pelaksana
penempatan tenaga kerja Indonesia swasta
(PPTKIS) yang beroperasi di Nusa Tenggara
Timur yang mengirim tenaga kerja ke luar negeri
tidak mempersiapkan keahlian calon tenaga kerja
dengan baik.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Disnakertrans) Nusa Tenggara Timur dan
beberapa instansi terkait membentuk Posko
Gugus Tugas Pencegahan dan Perlindungan Calon
Tenaga Kerja Ilegal dari provinsi berbasiskan
kepulauan ini. Posko ini ada di dua titik keluar
yakni di Bandara El Tari Kupang dan Pelabuhan
Tenau Kupang. Anggota posko terbatas hanya
instansi yang terkait di sekitar posko saja. Hal
ini agar lebih efektif dan hasilnya diarahkan
kepada layanan terpadu satu pintu. Di Bandara
El Tari, posko itu terdiri atas TNI AU, Angkasa
Pura, Airline, dan Disnakertrans. Sementara itu,
di Pelabuhan Tenau terdiri atas Pelindo, KSOP,
KP3 Laut, Pelni, dan Disnakertrans. Disnakertrans
juga melakukan sosialisasi bagaimana prosedur
menjadi tenaga kerja Indonesia yang baik dan
sesuai dengan prosedur, namun hasil penelitian
Badan Penelitian dan Pengembangan Nakertras
menunjukkan bahwa calon TKI lebih memilih
jalur tidak resmi karena tidak terlibat proses
birokrasi yang memakan waktu yang lama dan
biaya. Banyaknya peminat untuk bekerja di luar
negeri didorong oleh faktor-faktor diantaranya
tingkat kemiskinan yang tinggi dan rendahnya
tingkat pendidikan masyarakat di NTT. (http://
bali.bisnis.com/read/20161004/9/62045/
gugus-tugas-dibentuk-cegah-tki-ilegal-di-
nttsuaraflobamora.com, diakses 14 Mei 2018)
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Timur
sebagai anggota gugus tugas dengan rincian tugas
kelompok pelaksana pencegahan dan penanganan
korban perdagangan orang di Nusa Tenggara
Timur pada sub gugus tugas rehabilitasi sosial,
pemulangan dan reintegrasi adalah melakukan
pengembangan pusat pelayanan terpadu dan
standarisasi pelayanan rehablitasi kesehatan serta
pengembangan kapasitas petugasnya, juga alokasi
dana yang dibutuhkan sekaligus mengevaluasi
dan memonitor kegaitan gugus tugas. Dinas Sosial
Provinsi Nusa Tenggara Timur telah memiliki satu
RPTC tetapi belum mempunyai bangunan induk.
Para korban perdagangan orang ditampung,
dikonseling dan diberikan pembinaan mental atau
sosial di RPTC setelah itu baru dipulangkan ke
daerah asal. Apabila korban berhadapan dengan
hukum, maka akan diberikan bantuan hukum.
Untuk keperluan pelayanan kesehatan korban
perdagangan orang dapat dirujuk ke rumah sakit
yang telah ditunjuk sebagai anggota gugus tugas
Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Balitbang
Hukum dan HAM, 2017: 35)
Kepolisian Daerah Provinsi Nusa Tenggara
Timur dengan Unit People Smuggling dan
Trafficking sangat kooperatif dalam penanganan
kasus tindak pidana perdagangan orang karena
dilibatkan dalam gugus tugas. Walaupun demikian,
polisi berharap kebijakan yang sudah ada mengenai
tindak pidana perdagangan orang ditinjau ulang
karena jejaring kerja antar masing-masing anggota
gugus tugas belum berjalan terpadu. Untuk lebih
intensif kerja kepolisian agar melibatkan polisi
dalam proses pendampingan korban. Hambatan
paling utama adalah anggaran yang kecil untuk
daerah sebesar NTT yang merupakan kepulauan
dengan 16 Polres. Contoh: untuk penanganan 1
kasus di Sumba, diperiksa kepala desa, disnaker,
orangtua, posisi di kampung yang sulit dijangkau,
untuk berangkat ke tempat tersebut, Polda sudah
memakai anggaran yang besar. Modus lain adalah
orang tua yang mengantar anak dibawah umur ke
penyalur TKI, meskipun PT tersebut mengetahui
anak tersebut belum cukup umur, namun PT
membayar ke orangtua. Orangtua melaporkan
karena uang yang dibayarkan PT kurang.
Kecurangan dari pihak orang tua adalah melapor
ke polisi, namun pada akhirnya damai juga karena
PT membayarkan kekurangan. Orang tua yang
menjual anaknya, jarang diproses.(Balitbang
Hukum dan HAM, 2017: 36)
Menurut aturan hukum, siapapun yang
terlibat pidana harus diproses. Dalam kasus
trafficking, lebih mengarah ke kondisi sosial
terhadap korban. Anak berusia 16 tahun jika
keluarga setuju (orangtua memberikan izin), maka
dipalsukan KTP si anak oleh si perekrut dengan
mengganti nama dan umur. Ketika tertangkap
dan di proses, sebenarnya mereka menyetujui,
harusnya kena proses hukum. Namun, karena
mereka menjadi tersangka dan korban, maka
Aparat penegak hukum hanya dapat melakukan
tindakan sosialisasi terhadap orangtua korban
bahwa itu termasuk TPPO dan perekrutannya
illegal. Calon TKI lebih banyak menggunakan
jalur perorangan karena perorangan dengan
jalan ilegal lebih cepat prosesnya, tidak bertele-
tele sementara perekrutan TKI yang legal
membutuhkan waktu yang lama dan prosedur
yang panjang. Kendala yang dihadapi aparat
kepolisian dalam melakukan penindakan terhadap
para pelaku TPPO berupa kurangnya pemahaman
aparat penegak hukum dalam menentukan status
seseorang yang terkait kasus TPPO dikarenakan
adanya saling keterkaitan antara Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan dan Undang-undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia
Di Luar Negeri berupa pengaturan mengenai
penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI
yang harus berasaskan keterpaduan, persamaan
hak, demokrasi, keadilan sosial, kesetaraan dan
keadilan gender, anti diskriminasi, serta anti
perdagangan manusia.
Menurut data Direktorat Jenderal Imigrasi
Kementerian Hukum dan HAM bahwa Kantor
Imigrasi di wilayah Provinsi NTT berjumlah
4 (empat) unit, yang terbagi menjadi Kantor
Imigrasi Kelas I Kupang, Kantor Imigrasi Kelas
II Atambua, Kantor Imigrasi Kelas II Maumere,
dan Kantor Imigrasi Kelas III Labuan Bajo.
Fungsi Kantor Imigrasi diantaranya melaksanakan
tugas di bidang informasi dan sarana komunikasi
keimigrasian, bidang lalu lintas dan status
keimigrasian, dan dalam bidang pengawasan dan
penindakan keimigrasian.
Berdasarkan informasi dari Kepala Bidang
Lalu Lintas dan Izin Tinggal Keimigrasian, Eko
Punto Adji pada Kantor Wilayah Kemenkum
HAM Provinsi Nusa Tenggara Timur, bahwa
dalam periode 1 Januari-14 April 2017 telah
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
551
terjadi 7 penolakan penerbitan paspor dengan
rincian sebanyak 3 pengajuan paspor di Atambua,
2 pengajuan paspor Kupang dan 2 pengajuan
paspor Maumere. Data yang didapatkan terkait
penolakan penerbitan paspor terhadap WNI yang
diduga sebagai TKI non prosedural. Salah satu
terjadinya TPPO diawali melalui pengiriman
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang tidak sesuai
dengan ketentuan (non prosedural). Berdasarkan
hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa
modus dari TPPO dilakukan dengan berbagai
cara, antara lain: Haji/Umroh/Ziarah, Kunjungan
Keluarga, Magang/Bursa Kerja Khusus, Wisata
dan Duta Budaya.
Data warga binaan yang terdapat di Rutan
Kelas IIB Kupang yang melakukan tindak
pidana TPPO sebanyak 11 (sebelas) orang yang
dijerat dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan 1 (satu) orang pegawai
Kanim Kupang yang dijerat dengan Undang-
undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
Kantor imigrasi kelas II Maumere memiliki
wilayah kerja sebanyak 5 (lima) Kabupaten yang
terdiri dari Kabupaten Sikka, Kabupaten Lembata,
Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada dan Kabupaten
Flores Timur. Modus perdagangan orang yang
terjadi di Maumere adalah dengan berpura-pura
untuk melakukan Haji/Umroh/Siarah, Kunjungan
Keluarga, Magang/Bursa kerja khusus, Wisata,
Duta Budaya, Cleaning Service. Data penolakan
penerbitan paspor periode 1 Januari 18 Juni
2017 adalah sebanyak 3 (tiga) pemohon.
Upaya yang dilakukan khususnya pada
bidang informasi kerja Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Sikka adalah: melakukan
kegiatan sosialisasi pencegahan TKI Illegal dengan
target 159 desa yang tersebar di 21 kecamatan
dan dilaksanakan sejak tahun 2013 sampai
dengan sekarang; Pelayanan administrasi proses
penempatan TKI berupa pelayanan administrasi
bagi PJTKI yang akan melaksanakan perekrutan
maupun pengiriman TKI ke negara tujuan melalui
mekanisme sesuai dengan Peraturan Menteri
Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan
PerlindunganTKI di Luar Negeri; Penyelenggaraan
program Desa Migran Produktif (Desmigratif)
kegiatan dari Kementerian Ketenagakerjaan RI
dengan lokasi Desa Dobe Kecamatan Magepanda
dan Desa Dobo Kecamatan Mego.
Terdapat satu orang warga binaan yang
berada di Rumah Tahanan Negara Kelas IIB
Maumere yang divonis kurungan penjara selama
4 tahun dengan kasus tindak pidana perdagangan
orang.
Akar permasalahan yang ada di NTT adalah
kemiskinan dan lapangan kerja terbatas, sehingga
pemerintah harus meningkatkan tafaf hidup orang
kampung agar tidak tergiur bekerja di luar negeri.
Selain itu kebutuhan akan buruh dengan bayaran
murah meningkat di luar negeri, orang yang pernah
bekerja sebagai TKI bercerita kepada saudara atau
temannya bahwa mereka berhasil dan mereka
juga menjadi TKI dengan cara illegal. Banyaknya
jalur dari NTT yang membuat Pemerintah Daerah
tidak bisa memberantas perdagangan orang.
Jalur yang dipakai dalam TPPO biasanya melalui
Kalimantan, Batam, Medan, Sulawesi. Dulu
langsung lewat Kupang, sekarang ke Sumba atau
Bali atau Medan atau Surabaya, bahkan sampai
ke Labuan Bajo terus ke Bali atau Makasar atau
Nunukan yang bisa langsung ke Malaysia.
Berdasarkan penjelasan alinea sebelumnya
maka dapat dianalisa terkait pelaksanaan tugas
dan fungsi dalam penanganan kasus Tindak
Pidana Orang di NTT sudah terbentuk gugus tugas
namun belum berjalan maksimal, tersendatsendat
tidak jelas arahnya, padahal sudah ada peraturan
daerah dengan keputusan Gubernur namun
dalam implementasinya sulit sekali bekerjasama
karena dalam peraturan daerah tersebut tidak
mencantumkan masalah pendanaan sehingga
masing-masing sulit mengimplementasikan
program dan kegiatannya dan hal ini yang perlu
diluruskan.
Implementasi pencegahan dalam bentuk
sosialisasi dilakukan terbatas dan belum
menyeluruh, dalam artian belum sampai ke desa-
desa tertinggal dan pelosok. Begitu pula belum
melibatkan rakyat kecil di pedesaan. Dengan
demikian, sasaran pencegahan perdagangan orang
dari kalangan masyarakat pedesaan yang rentan
menjadi korban karena ketidakpahamannya
menjadi terabaikan. Idealnya, implementasi
pencegahan dapat berjalan dengan baik karena
sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
Untuk sosialisasi telah diatur pelaksanaannya
dalam bentuk program dan kegiatan, seperti
perlindungan dini dan pendekatan komunitas.
Program dan kegiatan tersebut baru dalam tataran
perencanaan dan untuk realisasi ke lapangan,
diperlukan sumberdaya manusia dan anggaran
yang besar, sehingga jauh lebih efektif jika
menggunakan tatanan pemerintahan yang sudah
ada. Dengan kata lain menggunakan saluran aparat
desa dan juga kecamatan dalam rangka pemberian
sosialiasi ke daerah-daerah terpencil yang menjadi
sentra atau tempat transit TKI.
Sebagaimana disampaikan oleh Soerjono
Soekanto dalam teori efektivitas hukum bahwa
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh
5 (lima) faktor, yaitu: (1) faktor hukumnya sendiri
(undang-undang); (2) faktor penegak hukum,
yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum; (3) faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum; (4) faktor
masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan; dan (5) faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan
rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam
pergaulan hidup (Soekanto, 2011: 8). Ini berarti
efektifitas hukum tergantung dari sarana dan
sumber daya yang ada, dalam hal ini adalah aparat
dan saluran desa yang dapat dimanfaatkan untuk
media sosialisasi tentang perdagangan orang.
Dalam implementasi penegakan hukum juga
masih jauh dari harapan, hal ini terlihat dari data
kepolisian yang menunjukkan penanganan kasus
perdagangan orang yang sedikit dibanding kasus
itu sendiri. Sementara itu, penegakan hukum
terhadap oknum tidak pernah terdengar adanya
sanksi hukuman. Begitu pula dengan kualitas
penegakan hukum sangat tidak signifikan,
dimana tidak pernah ada sanksi optimal sesuai
aturan termasuk bagi pelaku perdagangan orang.
Sebab telah membuat menderita korban sampai
meninggal dunia, yang seharusnya dihukum lebih
dari 15 atau 20 tahun dan denda lebih dari 2 miliar.
Namun, hukuman ringan yang dikenakannya,
rata-rata antara 3-4 tahun yang terberat hanya 8
tahun dan sama sekali tidak memberikan efek
jera bagi pelaku. Padahal kalau melihat sanksi
hukum dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, jelas dinyatakan bahwa
sanksi pidana maupun denda cukup berat dan
dipekirakan mampu memberikan deterent effect
bagi terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Mengacu kepada Teori Pencegahan Von
Feuerbach dalam Waluyo, bahwa sifat menakut-
nakuti dari pidana itu bukan pada penjatuhan
pidana inkonkreto, tetapi pada ancaman yang
ditulis dalam undang-undang. Menurutnya
ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan
membuat setiap orang takut melakukan kejahatan
dan harus menjadi deterrent effect (Waluyo,
2014: 9). Dengan demikian, pemahaman kepada
masyarakat melalui sosialisasi atau edukasi dapat
membantu upaya pencegahan perdagangan orang.
Dalam hal ini, program dan kegiatan sosialisasi
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang
dengan mengacu kepada kebijakan turunan telah
berjalan namun belum optimal seperti belum
menjangkau daerah-daerah pelosok dan juga
belum menjangkau masyarakat level bawah.
Seperti yang disampaikan oleh Van
Hamel (1842-1917) yang berpandangan bahwa
pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh
dijadikan tujuan dan alasan dari penjatuhan
pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan
sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan
sebab dari adanya pidana. Van Hamel membuat
suatu gambaran tentang pemidanaan yang bersifat
pencegahan khusus, yaitu: dengan cara menakut-
nakutinya melalui penjatuhan pidana itu agar ia
tidak melakukan niat jahatnya; Apabila tidak dapat
lagi ditakut-takuti dengan penjatuhan pidana,
maka penjatuhan pidana harus dapat memperbaiki
dirinya (reclasering); Apabila tidak dapat lagi
diperbaiki, maka penjatuhan pidana harus bersifat
membinasakan atau membuatnya tidak berdaya
(Lamintang, 2011: 34). Menurut teori ini, tujuan
pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah
dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan
kejahatan dan mencegah agar orang yang telah
berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya
itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Namun
sebaliknya jika eksekusi hukuman setimpal
tidak tercapai meskipun ancaman yang tertulis
cukup berat, tetap tidak membuat jera karena
implementasi penegakan hukum di lapangan
berbeda. Rendahnya sanksi hukum disebabkan,
antara lain: perbedaan persepsi antar para
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim); kurangnya
pemahaman terkait Undang-undang TPPO dari
sebagian para penegak hukum itu sendiri; dan
adanya oknum yang terlibat.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
553
Beberapa faktor penyebab lemahnya
penegakan hukum seperti sedikitnya pelaku yang
dikenakan hukuman dan ringannya vonis hukuman
antara lain disebabkan oleh: kurangnya informasi
dari korban; pelaku berada di luar negeri; korban
menarik tuntutan karena adanya tekanan dari
pelaku baik personal ataupun korporasi/PPTKIS;
dan adanya intervensi dari oknum yang bermain.
Sedangkan faktor penyebab vonis hukuman tidak
maksimal adalah karena pasal atau ketentuan
yang dikenakan bukan Undang-undang TPPO
tetapi undang-undang lain seperti KUHP atau
Ketenagakerjaan.
Dalam upaya pemberantasan perdagangan
orang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, yang mana aspek pencegahan
merupakan bagian yang cukup signifikan selain
aspek perlindungan atau penanganan sosial,
penghukuman dan proses integrasi ke masyarakat.
Begitu pula dengan aspek penghukuman, selain
berfungsi untuk penindakan terhadap pelaku
juga memberi andil terhadap upaya pencegahan
perdagangan orang. Melihat dari sanksi hukuman
yang cukup berat, idealnya Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 dapat mencegah terjadinya
tindak pidana perdagangan orang. Namun
demikian, fenomena yang terjadi terkait praktik
tindak pidana perdagangan orang justru semakin
marak terjadi.
Terkait kelembagaan gugus tugas, tugas dan
fungsi yang dapat dijalankan sangat terbatas hanya
pada tatanan koordinasi dan laporan saja. Seperti
diketahui bahwa tugas Gugus Tugas sebagai
lembaga koordinatif adalah mengkoordinasikan
upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana
perdagangan orang; melaksanakan advokasi,
sosialisasi, pelatihan, kerjasama; memantau
perkembangan pelaksanaan perlindungan korban
meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi
sosial; memantau perkembangan pelaksanaan
penegakan hukum; serta melaksanakan pelaporan
dan evaluasi. Dari tugas-tugas di atas, Gugus Tugas
melaksanakan tugas koordinasi, melaksanakan
advokasi, sosialisasi, pelatihan dan kerjasama,
fungsi pemantauan dan melaporkan. Sementara
tugas operasional untuk penegakan hukum,
perlindungan, integrasi dilakukan oleh masing-
masing kementerian/lembaga. Dengan demikian,
Gugus Tugas banyak memiliki keterbatasan. Hal
ini memberi dampak kepada tidak optimalnya
kinerja Gugus Tugas, selain juga karena faktor
anggaran dan sumberdaya manusia.
Untuk Anggaran pelaksanaan tugas Gugus
Tugas Pusat dibebankan Anggaran kepada
Anggaran Pendapatan Belanja Negara cq.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Anggaran pelaksanaan
tugas Gugus Tugas Provinsi dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Provinsi.
Anggaran pelaksanaan tugas Gugus Tugas
Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Hasil koordinasi Gugus Tugas Pusat, Gugus
Tugas Provinsi, dan Gugus Tugas Kabupaten/
Kota yang pelaksanaannya menjadi tanggung
jawab masing-masing instansi baik Pusat maupun
Daerah, pembiayaannya dibebankan kepada
anggaran dari masing-masing instansi yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Artinya anggaran Gugus
Tugas hanya untuk koordinasi ini disediakan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, sedangkan untuk pelaksanaan
terkait tanggung jawab instansi masing-masing
dilakukan oleh kementerian/lembaga operasional
masing-masing.
Mengacu kepada Harold Laswell dan
Abraham Kaplan dalam Nugroho yang
mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu
program yang diproyeksikan dengan tujuan-
tujuan tertentu, nilai-nilai tertentu, dan praktik-
praktik tertentu (a projected of goals, values, and
practices) (Nugroho, 2014: 93). Sedangkan Carl
I. Friedrick dalam Nugroho, mendefinisikannya
sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam
suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan
peluang yang ada. Kebijakan yang diusulkan
tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensin
sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam
rangka mencapai tujuan tertentu (Nugroho, 2014:
93). Selain itu menurut pandangan lain Thomas
R. Dye dalam Nugroho, mendefinisikannya
sebagai segala sesuatu yang dikerjakan oleh
pemerintah, mengapa mereka melakukan, dan
hasil yang membuat sebuah kehidupan bersama
tampil berbeda (Nugroho, 2014: 93). Sedangkan
David Easton dalam Nugroho, mendefinisikannya
sebagai akibat aktivitas pemerintah (the impact of
government activity) (Nugroho, 2014: 94).
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
Berdasarkan beberapa definisi yang
telah dikemukakan oleh para ahli, maka dapat
disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah
serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau lebih yang dibuat oleh pemerintah
atau lembaga yang berwenang untuk mencapai
suatu tujuan tertentu dan dapat memecahkan
suatu masalah. Artinya, sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, antara lain dengan
mengaplikasikannya di lapangan dengan bentuk
kegiatan, meskipun untuk mencapai kegiatan-
kegiatan tersebut diperlukan langkah formulasi
derivat atau turunan dari kebijakan tersebut
dalam bentuk program atau proyek. Dalam
rangka mengimplementasikan pencegahan
perdagangan orang, Gugus Tugas Pencegahan dan
Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
harus menyusun kebijakan turunan, baik program
maupun proyek yang disiapkan oleh Ketua Harian
Sub Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Idealnya seluruh kementerian/lembaga
negara di Pusat maupun di Daerah mengoptimalkan
perannya dalam menghadapi tindak pidana
perdagangan orang. Begitu juga seluruh warga
masyarakat berperan sesuai profesi, pengetahuan
dan keahlian masing-masing. Upaya optimalisasi
peran itulah yang disebut penyelenggaraan
pertahanan nirmiliter. Namun kenyataannya, dalam
hal ini pertahanan nirmiliter dalam menghadapi
kejahatan tindak pidana perdagangan orang sangat
lemah. Peran Gugus Tugas masih berjalan kurang
optimal dalam implementasi pencegahan tindak
pidana perdagangan orang.
B.
Hambatan Dalam Penanganan Kasus
Tindak Pidana Perdagangan Orang
Persoalan perdagangan orang memang sangat
kompleks, tidak hanya terkait dengan terbatasnya
pemahaman terhadap bahaya atau ancaman tindak
pidana perdagangan orang itu sendiri, juga terkait
dengan mendesaknya kebutuhan hidup seseorang
yang ingin memperbaiki nasib dengan bekerja
di tempat lain. Pilihan untuk memperbaiki taraf
ekonomi itulah yang menjadi tujuan utama para
pekerja Indonesia berangkat ke luar negeri, yang
disebabkan keterbatasan lapangan kerja di dalam
negeri serta tawaran bekerja di luar negeri dianggap
lebih baik. Meskipun terkadang beberapa diantara
mereka sudah mengetahui resikonya bahkan
pernah menjadi korban perdagangan orang,
namun pilihan tersebut tetap diambilnya hanya
karena tidak ada pilihan lain di daerah asalnya.
Kejahatan perdagangan orang tidak
terjadi secara spontan, tetapi melalui berbagai
pertimbangan yang matang oleh para pelaku serta
korban, sehingga para pelaku mau melakukan
perbuatan tersebut. Pertimbangan seperti itu, pada
umumnya dikenal sebagai pertimbangan rasional
seseorang untuk memilih bertindak atau tidak
bertindak dengan menilai apakah keputusannya
tersebut membawa manfaat lebih atau tidak bagi
dirinya. Sebenarnya penggunaan Rational Choice
Theory bagi penjelasan peran pertimbangan
seseorang melakukan suatu kegiatan tidak saja
berlaku bagi pelaku trafficking, namun dapat
menjelaskan mengapa korban potensial dapat
terjebak dalam kegiatan perdagangan orang.
Memperkuat pernyataan tersebut, dapat merujuk
pendapat Heath (1976), Carling (1992) dan
Coleman (1973) yang menjelaskan Rational
Choice Theory dalam perannya menjelaskan
pertimbangan-pertimbangan
seseorang
menentukan tindakannya, yakni: (Wubbolding,
2011: 9-13).
Di dalam teori pilihan rasional, individu
dilihat sebagai orang yang termotivasi oleh tujuan
atau keinginan yang mengekspresikan pilihan
mereka. Mereka bertindak di dalam batasan
spesifik, diberi dan atas dasar informasi yang
mereka miliki tentang kondisi-kondisi di mana
mereka sedang bertindak. Pada kondisi yang paling
sederhana, hubungan antara hambatan atau batasan
dan pilihan dapat dilihat sebagai hal yang semata-
mata teknis sifatnya, menyangkut hubungan dari
suatu alat-alat bagi suatu akhir. Karena itu tidaklah
mungkin bagi individu untuk mencapai semua
hal-hal yang mereka inginkan. Mereka harus
membuat aneka pilihan dalam hubungan dengan
pencapaian tujuan mereka. Teori pilihan rasional
berpendapat bahwa individu harus mengantisipasi
hasil dari bermacam tindakan alternatif dan
mengkalkulasi yang terbaik untuknya. Individu
secara rasional memilih alternatif yang mungkin
dapat memberikan kepuasan yang terbesar bagi
dirinya.
Berdasarkan teori pilihan rasional (Rational
Choice Theory), individu dilihat sebagai orang
yang termotivasi oleh tujuan atau keinginan yang
mengekspresikan pilihan mereka. Dalam hal ini,
banyaknya pekerja Indonesia yang ke luar negeri
termasuk sebagian dari mereka telah mengetahui
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
555
informasi tentang bahaya kejahatan perdagangan
orang disebabkan oleh faktor pilihan rasioal
tersebut, dengan tujuan perbaikan ekonomi. Oleh
karena itu, upaya pembukaan lapangan kerja
diharapkan dapat membantu upaya pencegahan
perdagangan orang ke luar negeri.
Maraknya kasus tindak pidana perdagangan
orang tidak terlepas dari kebijakan pemerintah
sendiri yang membuka jalan bagi pengiriman TKI
ke luar negeri, terutama sektor informal dengan
mengeluarkan Undang-undang Penempatan
dan Perlindungan TKI ke Luar Negeri.
Dalam pelaksanaanya, kebijakan ini banyak
penyimpangan, antara lain banyaknya tindakan
penipuan, pemaksaan dan pemalsuan dalam proses
rekrutmen, karena pada umumnya para pekerja
tidak disiapkan pengetahuan dan kemampuannya
secara benar dan seringkali terjadi eksploitasi
saat menunggu di penampungan. Kebijakan
ini justru semakin mendorong tindak pidana
perdagangan orang dan menghambat upaya
pencegahan perdagangan orang. Penyimpangan
tersebut banyak melibatkan perusahaan swasta
pengirim TKI itu sendiri serta oknum-oknum
pemeritah terkait. Hal ini tidak terlepas dari
Undang-undang Penempatan dan Perlindungan
TKI ke Luar Negeri yang lebih banyak mengatur
sisi penempatan daripada sisi perlindungannya.
Penempatan TKI memang merupakan bisnis yang
menggiurkan dimana banyak uang yang beredar
baik dari majikan, ataupun dari gaji para pekerja
yang rata-rata dipotong sebagian atau seluruhnya
ke PPTKIS di Indonesia, sehingga banyak oknum
aparat pemerintah yang terlibat di dalamnya.
Undang-undang Penempatan dan
Perlindungan TKI ke Luar Negeri tidak sejalan
dengan Undang-undang TPPO karena sepatutnya
Undang-undang Penempatan dan Perlindungan
TKI ke Luar Negeri mengacu Undang-undang
TPPO agar tidak menjadi penghambat pencegahan
dan penanganan tindak pidana perdagangan orang,
Sebagaimana disampaikan oleh Soekanto, bahwa
efektifnya suatu undang-undang tergantung dari
undang-undang itu sendiri dimana di dalamnya
tidak terdapat inkonsistensi dengan undang-
undang lainnya sebab undang-undang akan efektif
jika didukung oleh undang-undang terkait lainnya
(Soekanto, 2011: 9). Dengan kata lain, harmonisasi
aturan diperlukan dalam rangka memudahkan
implementasi pencegahan perdagangan orang.
Dalam upaya pencegahan perdagangan
orang, diperlukan pula kebijakan pemberdayaan
kepada para calon pencari kerja dan masyarakat
pada umumnya. Menurut Wrihatnolo dan Nugroho
mendefinisikan pemberdayaan adalah proses
menyeluruh suatu proses aktif antara motivator,
fasilitator dan kelompok masyarakat yang perlu
diberdayakan melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan, pemberian kemudahan serta
peluang untuk mencapai akses sumber daya
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Wrihatnolo dan Dwidjowijoto, 2013: 9).
Pada kenyataannya perdagangan orang
disebabkan oleh rendahnya kualitas sumberdaya
manusia yang mana berasal dari latar belakang
yang pendidikannya kurang, tidak memiliki
keahlian atau ketrampilan dan rentan terhadap
penipuan serta jauh dari sikap kemandirian.
Seharusnya pekerja Indonesia ke luar negeri
diberdayakan dengan persiapan mental dan skill
terlebih dulu sebelum dikirim agar bisa mandiri
dan terhindar dari potensi eksploitasi perdagangan
orang. Namun demikian, TKI yang mestinya
dipersiapkan dengan baik sesuai ketentuan
Undang-undang Penempatan dan Perlindungan
TKI, kurang dilakukan oleh PJTKI sehingga Balai
Latihan Kerja bagi calon TKI justru banyak yang
terbengkalai akibat kurang dimanfaatkan secara
optimal.
Secara kelembagaan, Gugus Tugas ini
memiliki kelemahan karena tidak didukung
oleh anggaran dan sumberdaya manusia yang
memadai serta tidak memiliki kewenangan
dalam operasionalisasi. Dengan demikian, tujuan
utama Perpres tentang pembentukan Gugus
Tugas agar pelaksanaan pemberantasan tindak
pidana perdagangan orang lebih efektif, belum
dapat terlaksana dengan baik. Sebagaimana
dikemukakan oleh Soekanto, bahwa efektifitas
hukum tergantung juga dengan organisasi sarana
prasarana dan sumberdaya manusia. Hal tersebut
juga tidak terlepas dari mindset selama ini yang
cenderung reaktif daripada antisipatif, seperti
lebih menonjolkan sisi pelayanan publik dan
penanganan sosial bagi korban, sementara sisi
pencegahan yang kental aspek keamanan seperti
penegakan hukum yang menjerakan dan juga
faktor ekonomi yang mendasari perdagangan
orang kurang mendapat tempat yang signifikan.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
KESIMPULAN
Tanggung jawab negara dalam penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah dengan
dibentuknya Gugus Tugas pencegahan dan
penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang
berdasarkan Pasal 1, Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 . Gugus Tugas ini
belum optimal karena hanya bersifat koordinatif
dan adanya praktek sistem penempatan TKI
yang tidak memberikan perlindungan sejak dini
sehingga bertentangan dengan upaya pencegahan
perdagangan orang. Kasus TPPO sebagai kejahatan
transnational organized crime yang bersifat luar
biasa, sehingga dalam penanganannya juga harus
melalui cara yang luar biasa (Extra Ordinary).
Setiap instansi dan lembaga bersinergi
kembali dalam memberikan penguatan agar
dapat terintegrasi antar lintas sektoral dengan
tidak bekerja sendiri-sendiri tetapi bersama-
sama menangani dan meminimalisir perdagangan
orang. Seperti Direktorat Jenderal Imigrasi
sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimgirasian maka Ditjen Imigrasi dapat
melakukan penundaan penerbitan paspor dan/atau
penundaan keberangkatan pada saat pemeriksaan
keimigrasian di TPI dalam rangka pencegahan
terjadinya Warga Negara Indonesia (WNI)
menjadi korban TPPO. Selain itu, pihak Iimigrasi
juga mengalami resistensi dari para calon TKI
karena merasa sering dihalangi mencari nafkah di
luar negeri. Padahal Imigrasi ingin memberikan
penyadaran kepada calon TKI bahwa apabila
melalui prosedur yang benar, maka akan terhindar
dari perdagangan orang dan perbuatan semena-
mena oleh pengguna mereka di luar negeri.
Implementasi pencegahan perdagangan
orang berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang ditinjau dari perspektif
pertahanan negara masih sangat terbatas, selain itu
sosialisasi kepada masyarakat tentang peraturan
perundangan pemberantasan perdagangan orang
ini belum menyeluruh dan menjangkau daerah-
daerah pelosok seperti sentra-sentra TKI serta
belum sampai ke masyarakat kelas bawah di
pedesaan. Sosialiasi dilakukan oleh Gugus Tugas
dan juga beberapa kementerian/lembaga anggota
Gugus Tugas.
Terkait penegakan hukumnya sendiri belum
optimal seperti masih sedikit pelaku perdagangan
orang yang tertangkap, dan minimnya oknum
aparat yang berhasil ditahan, serta putusan
pidana terhadap pelaku yang ringan sehingga
tidak memberikan efek jera kepada pelaku dan
masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya
oknum aparat yang turut bermain serta masih
adanya perbedaan persepsi antar para penegak
hukum (polisi, jaksa dan hakim) terkait ketentuan
peraturan perundangan yang harus diterapkan,
dimana masih ada aparat di daerah yang masih
menggunakan KUHP dan Undang-undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar
Negeri dan bukan merujuk pada Undang-undang
Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
SARAN
Dalam tulisan ini perlu disampaikan saran
untuk revisi Pasal 1 dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2008 tentang
Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang agar pembentukan
Gugus Tugas menjadi lembaga operasional bukan
lembaga koordinatif.
Merevisi materi dari Undang-undang
Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri dengan seluruhnya memakai program G
to G (Government to Government). Penempatan
program G to G adalah penempatan TKI ke
luar negeri oleh pemerintah yang hanya dapat
dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis
antara pemerintah dengan pemerintah negara
pengguna TKI atau pengguna berbadan hukum di
negara tujuan penempatan TKI. Oleh karena itu,
dalam upaya melindungi TKI, program Gto G tidak
mengizinkan pihak swasta untuk menempatkan
TKI ke negara yang sudah melakukan kesepakatan
dan menjadikan Undang-undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang sebagai rujukan.
Membentuk Rencana Aksi Nasional
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang yang akan menjadi acuan bagi
daerah untuk membentuk Rencana Aksi di Daerah
masing-masing melalui sinergitas antar lembaga
dalam upaya pencegahan sedini mungkin mulai
dari hulu ke hilir, sehingga dapat meminimalisir
pemasalahan kasus korban perdagangan orang.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
557
Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai
pelaksana tugas dan fungsi di bidang Keimigrasian
perlu mengintensifkan pengawasan terhadap WNI
(bukan hanya WNA saja) yang akan mengajukan
permohonan Paspor dan keluar dari wilayah
Indonesia melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi
dan bersinergi dengan Kepolisian, BIN, BNP2TKI,
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak,
Dinas Tenaga Kerja dan Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil.
Peningkatan peran serta Pemerintah Daerah
agar lebih berperan aktif dalam memberdayakan
warganya yang akan berangkat bekerja ke luar
negeri siap secara mental, pengetahuan dan
kemampuan. Dengan memberikan keterampilan
kepada masyarakat pencari kerja sehingga
mampu memanfaatkan potensi wilayah yang ada
dan memenuhi kriteria pemberi kerja/pengguna
sehingga pengangguran dapat diminimalisir. Selain
itu peningkatan pemahaman masyarakat untuk
banyak mendapat pengetahuan dan sosialisasi
tentang bahaya tindak pidana perdagangan orang
tersebut.
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Tanggung Jawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana...
(Okky Chahyo Nugroho)
Buku
DAFTAR KEPUSTAKAAN Winterdyk, John. dan Reichel, Philip. 2010.
Introduction to Special Issue: Human
Trafficking, Issues and Perspectives, Vol 7,
Issue I. European Journal of Criminlogy.
Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
HAM dengan Direktorat Jenderal Imigrasi.
2007. Peran Negara dalam Penanganan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS
HAM) dengan Australian Government
(AusAID). 2007. Pembangunan Berbasis
Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan.
Lamintang, P.A.F. 2011. Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Narwoko, Dwi dan Suyanto, Bagong. 2013.
Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan.
Jakarta: Kencana.
Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Publik Di
Negara-Negara Berkembang. Jakarta:
Pustaka Pelajar.
Poerwadarmita, W.J.S. 2003. Kamus Umum
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. 10.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
-----. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Thoha, Miftah. 2015. Kepemimpinan Dalam
Manajemen cetakan ke 18. Jakarta: Rajawali
Press.
Waluyo, Bambang. 2014. Pidana dan Pemidanaan.
Jakarta: Sinar Grafika.
Wrihatnolo, Randy. R. dan Dwidjowijoto, Riant.
Nugroho. 2013. Manajemen Perencanaan
Pembangunan. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Jurnal
Utami, Penny Naluria. 2016. Optimalisasi
Pemenuhan Hak Korban Kekerasan terhadap
Perempuan melalui Pusat Pelayanan Terpadu,
Vol 7 No. 1. Jurnal HAM.
Wubbolding, R.E. 2011. Answering Objections to
Choice Theory/Reality Therapy, Vol. XXXI,
1. International Journal of Choice: Theory
and Reality Theory
Peraturan perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimgirasian
Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan
(Traffiking) Perempuan dan Anak
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 14 Tahun 2008
tentang Pencegahan dan Penanganan TPPO
Keputusan Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor
294/KEP/HK/2014 tentang Gugus Tugas
Anti Perdagangan Orang dan Pencegahan
Lain-lain
Adji, Eko. Punto. 2017. Wawancara tentang
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Kanwil Kementerian
Hukum dan HAM Provinsi NTT.
Irfan, Muhammad. Kasus Perdagangan Orang
Paling Dominan Sepanjang 2016. http://www.
pikiran-rakyat.com/nasional/2016/12/28/
kasus-perdagangan-orang-paling-dominan-
sepanjang-2016.
Kupok, Bruno http://bali.bisnis.com/
r ead /20 16 1 00 4 /9 / 62 0 45/ gu g us -
tugas -dibentuk-ce gah -t ki-ilegal-di-
nttsuaraflobamora.com
Jurnal Penelitian Hukum
De Jure
p-ISSN 1410-5632
e-ISSN 2579-8561
Akreditasi: Kep. Dirjen. Penguatan Risbang. Kemenristekdikti:
No:30/E/KPT/2018
Jurnal Penelitian Hukum DE JURE, Vol. 18 No. 4, Desember 2018: 543 - 560
559
Litaay, Theo. Masalah Human Trafficking
di Indonesia (Perspektif Hukum dan
Kebijakan Publik).https://id.linkedin.com/
pulse/persoalan-human-trafficking-dan-
penanganan-theo-litaay.
Mohammad, Yandi. Transaksi perdagangan
manusia di Indonesia melebihi narkoba.
https://beritagar.id/artikel/berita/transaksi-
perdagangan -manus ia-di-indones ia-
melebihi-narkoba.
Paramita, Melati, Suma. Menilik Persoalan
Perdagangan Orang dan Sisi Gelap
Kemanusiaan. http://suaramahasiswa.com/
menilik-persoalan-perdagangan-orang-dan-
sisi-gelap-kemanusiaan/.
Sabeneno, Imanuel. 2017. Wawancara tentang
Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana
Perdagangan Orang di Ditreskrimum, Polda
NTT.
Usboko, Erni. 2017. Wawancara tentang
Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang di kantor Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Provinsi NTT di Kupang.
Wakil Gubenur NTT, Drs. Benny A. Litelnoni.
Rapat Koordinasi Pencegahan dan
Penanggulangan TPPO di Aula Bappeda
NTT. htt p: // www.su ar af l obam or a .
com/2017/02/25/wagub-litelnoni-pemprov-
ntt-komit-cegah-perdagangan-orang/.
... However, the reality on the ground is that not all Indonesian migrant workers or Indonesian citizens who are victims of human trafficking can be repatriated in accordance with existing regulations. (Okky, 2018). Human trafficking is an activity of transnational crime that is increasingly prevalent in modern times (Okky, 2018). ...
... (Okky, 2018). Human trafficking is an activity of transnational crime that is increasingly prevalent in modern times (Okky, 2018). ...
Article
Indonesia is a country that has various kinds of customs, tribes and cultures. Many Indonesian citizens work in Malaysia to improve its economy. However, many Indonesian migrant workers have problems in Malaysia, such as being treated inappropriately. The service activities carried out by STIE Pembangunan Tanjungpinang students were 14 students and 2 accompanying lecturers. Service activities were carried out at the Consulate General of the Republic of Indonesia (KJRI)- Johor Bahru, Malaysia on October 29th, 2023. The method used was participatory. The Indonesian Consulate General is a government agency to protect Indonesian citizens abroad, one of which is the Indonesian Consulate General in Johor Bahru, Malaysia. Many Indonesian migrant workers become victims of human trafficking. There are also many Indonesian migrant workers who enter Malaysia without complete administrative evidence and without correct procedures or not in accordance with the recommendations of the law.
... Okky, C.N. (2018).TanggungJawab Negara dalam Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 18(4), hlm.544 19 Disemadi, H. S., Al-Fatih, S., & Yusro, M. A. (2020). ...
Article
Perkembangan Teknologi dan Informasi di era globalisasi menyebabkan terjadinya suatu pergerakan di dunia yang tidak dapat dihentikan. Dampak dari pergerakan globalisasi menyebabkan banyak kejahatan yang terjadi. Faktor pemicunya adalah kemiskinan, kurangya pendidikan, dan kurangnya kesadaran oleh masyarakat. Salah satu contohnya adalah kasus perdagangan orang. Kejahatan human trafficking tidak dapat dipandang sebelah mata karena telah memakan banyak korban. Untuk itu peraturan perundang – undangan sangat diperlukan dalam memberikan sanksi dan perlindungan kepada korban perdagangan orang terutama kelompok yang dianggap rentan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif melalui data sekunder dan teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan guna untuk memperoleh hasil yang ingin di teliti.
... Penjual dan pembeli mengkomodifikasi orang untuk mendapatkan keuntungan, artinya penjual mendapatkan keuntungan dari hasil penjualannya, sedangkan pembeli suka mengontrol apa yang telah dibelinya, seperti memuaskan nafsu seksual, perbudakan, pengambilan organ, dan sebagainya (O. C. Nugroho 2018). ...
Article
Full-text available
Human trafficking is a problem that has not been dealt with explicitly by the Indonesian government or international organizations tasked with handling it. Print and electronic media reports show that law enforcement efforts to eradicate human trafficking are still not optimal. Trafficking in persons is against human dignity and violates their rights, especially when it involves women and children. The research methodology used in this study is a normative legal research method through literature study, which involves gathering information and materials from various sources, including mass press clippings on the issue of human trafficking and legislation related to human trafficking as well as other literature and references. Based on Decision No. 1451/PidSus/2021/PN. The MDN that occurred in Medan concerned the criminal case of human trafficking carried out by parents, namely a mother making her own biological child a commercial sex worker to satisfy a masher. For this criminal act the judge imposed a criminal sanction of imprisonment for 4 (four) years and a fine of Rp. 120,000,000. with the provision that if not paid is replaced with imprisonment of 3 (three) months. Therefore, the defendant remains detained and pays court fees of Rp. 5000, (five thousand rupiah). Human trafficking is caused by various difficulties and problems. Lack of knowledge and poverty force people to seek any type of work when the risks are negligible, as well as cultural factors and weak law enforcement when dealing with the business of trafficking.AbstrakPerdagangan manusia menjadi permasalahan yang belum ditangani secara tegas oleh pemerintah Indonesia atau organisasi internasional yang bertugas menanganinya. Laporan media cetak dan elektronik menunjukkan bahwa upaya penegakan hukum untuk memberantas perdagangan manusia masih belum maksimal. Perdagangan manusia bertentangan dengan martabat manusia dan melanggar hak-hak mereka, terutama ketika melibatkan perempuan dan anak-anak. Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif melalui studi literatur, yang melibatkan pengumpulan informasi dan bahan dari berbagai sumber, termasuk kliping pers massa tentang masalah perdagangan manusia dan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan manusia serta literatur dan Referensi lainnya. Berdasarkan Putusan No. 1451/PidSus/2021/PN. MDN yang terjadi di Medan menyangkut tentang perkara pidana Perdagangan Manusia (human Trafficking) yang dilakukan oleh orang tua yaitu seorang ibu menjadikan anak kandungnya sendiri sebagai pekerja seks komersil untuk memuaskan lelaki hidung belang. Atas tindakan pidana tersebut hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara pidana penjara 4 (empat) tahun dan denda sejumlah Rp. 120.000.000. dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 3 (tiga) bulan. Sehingga demikian, terdakwa tetap ditahan dan membayar biaya perkara Rp. 5000, (lima ribu rupiah). Perdagangan manusia disebabkan oleh berbagai kesulitan dan masalah. Kurangnya pengetahuan dan kemiskinan memaksa orang untuk mencari jenis pekerjaan apa pun ketika risikonya dapat diabaikan, serta faktor budaya dan penegakan hukum yang lemah ketika berurusan dengan bisnis perdagangan manusia.
... Perdagangan internasional terjadi saat barang atau jasa ditukar antara negara-negara melintasi perbatasan nasional (Lubis & Harahap, 2022). Fenomena perdagangan muncul karena setiap negara tidak mempunyai semua sumber daya yang diperlukan untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan penduduknya sendiri (Nugroho, 2018). Perdagangan internasional adalah kegiatan ekonomi yang melibatkan pertukaran barang, jasa, dan sumber daya antara negara-negara. ...
Article
Full-text available
Perusahaan CV Eco Produk Indonesia adalah perusahaan yang memproduksi briket arang dengan konsistensi kualitas yang baik, mereka sedang dalam proses pengembangan perusahaan dan saat ini sedang mencari negara baru untuk dijadikan tujuan ekspor. Penelitian ini berfokus untuk mengetahui posisi perusahaan untuk bisa mengetahui daya saing dan juga meneliti negara tujuan Jepang sebagai tujuan ekspor. Penelitian kali ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis PESTLE dan juga SWOT-QSPM. Berdasarkan hasil wawancara, peneliti berhasil mengidentifikasi kekuatan dan juga kelemahan internal perusahaan serta peluang dan meminimalisir ancaman yang akan dihadapi perusahaan. Dalam analisis faktor internal dan eksternal perusahaan CV Eco Produk Indonesia saat ini memiliki 8 faktor interal yang terdiri dari 4 kekuatan dan 4 kelemahan, serta 8 faktor peluang dan ancaman yang terdiri dari 4 faktor peluang dan 4 faktor ancaman. Hasil dari analisis SWOT mengindikasikan bahwa posisi perusahaan berada pada kuadran 1 yang menunjukkan bahwa perusahaan dalam posisi yang kuat untuk menggunakan kekuatan internal dan memanfaatkan peluang untuk meminimalisir ancaman. Penilaian QSPM menghasilkan strategi alternatif terbaik yaitu membangun brand image dengan kualitas dan konsistensi produk terbaik untuk dipromosikan pada acara pameran dagang sebagai strategi yang menarik untuk diimplementasikan oleh perusahaan.
Article
Full-text available
This study aims to find out and analyze the efforts made by the East Nusa Tenggara Provincial Police (Polda NTT) in tackling the crime of human trafficking in NTT Province. This type of research is an empirical research using primary data and secondary data collected using interviews and literature studies that are analyzed qualitatively descriptively. The results of this study show (1) the efforts made by the NTT Police in tackling human trafficking in NTT Province, namely Pre-Emptive efforts, Preventive efforts and Repressive efforts (2) obstacles faced by the police in tackling the crime of human trafficking, namely the number of perpetrators who are not detected and parents who are slow to report, the difficulty of the police in collecting evidence in prosecuting the perpetrators and the inability of the victims to Saying the truth is because the victim is afraid of things that can be dangerous.
Article
Full-text available
Human trafficking is a serious crime that continues to evolve at both national and international levels. In Belu Regency, East Nusa Tenggara, human trafficking has become a major issue, particularly concerning the illegal trafficking of Indonesian migrant workers (IMWs). This research employs a juridical-empirical approach, using interviews and document studies as data collection techniques. The findings of this study reveal that: (1) The factors contributing to human trafficking in Belu Regency can be categorized into internal and external factors. Internal factors include the perpetrators' motivation to gain quick financial benefits without considering the consequences and the victims' poor economic conditions and lack of awareness of their rights. External factors encompass poverty, low levels of education, limited job opportunities, and weak law enforcement, which creates opportunities for the perpetrators. (2) The modus operandi of the perpetrators involves deception, such as promising high-paying jobs with good working conditions, which ultimately leads to the exploitation of victims. (3) Efforts to combat human trafficking involve preemptive, preventive, and repressive measures. Preemptive efforts include public awareness campaigns, preventive measures focus on monitoring illegal recruitment activities, and repressive measures involve law enforcement actions against the perpetrators.
Article
Full-text available
This study aims to find out and analyze the criminological review of the crime of trafficking in persons studied in Ende Regency The type of research used in the study is empirical juridical research. Empirical Juridical Research, where prospective researchers conduct research in the field. Data collection technique by conducting interviews with 3 resource persons. As well as the data analysis techniques used, namely descriptive-qualitative analysis. The results of this study show that: (1) The factors that cause the occurrence of trafficking in Ende Regency. Namely, (a) Financial emotional pressure, (b) Lack of legal and moral awareness, (c) Poverty and economic inequality, (d) Lack of education and employment opportunities, (e) social and cultural, (f) family. (2) Efforts to combat trafficking in Ende Regency. In an effort to overcome trafficking in Ende Regency through 3 efforts, Preemptive, Preventive, and Repressive.
Article
Full-text available
Human trafficking is still a major threat in Indonesia. Human trafficking is a cruel and sad phenomenon, especially as those who are trafficked are women and children. Sexual exploitation, coercion, fraud, forced labor, and abuse of power for the perpetrator's monetary gain or personal satisfaction are examples of trafficking victims. Human dignity and rights have been violated in this case. Human trafficking is a serious and cruel crime, which can cause physical, psychological and emotional suffering for victims. Victims of human trafficking crimes are not given much attention, this could be due to the focus on punishment being only given to the perpetrators which then signals the resolution of the problem. Therefore, there is a need for adequate legal protection to guarantee human rights.
Article
Full-text available
Praktik tindak pidana perdagangan orang telah berkembang secara lintas negara dan tidak hanya dilakukan oleh perseorangan tetapi juga melibatkan korporasi dalam melakukan praktik perdagangan orang. Berdasarkan perkembangan tindak pidana perdagangan orang yang demikian itu, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang lantaran perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dinilai belum memadai untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Sehingga, perlu dilakukan analisis terhadap undang-undang tersebut untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang diambil oleh pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang. Penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, pendekatan penelitian yang digunakan adalah konseptual dan perundang-undangan, serta pengumpulan bahan hukum dengan metode studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah berorientasi pada upaya penanggulangan tindak pidana perdagangan orang, namun masih terdapat kekurangan yaitu tidak adanya kewajiban Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi orang asing yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia.
Article
This research focuses on the critical analysis of legal frameworks in Indonesia concerning the protection of witnesses and victims in human trafficking cases, scrutinizing the effectiveness and challenges from a perspective of dignified justice. Emphasizing the need for a fair judiciary system, the study delves into the implementation of existing laws and regulations related to the rights and protection of witnesses and victims in Trafficking in Persons (TPP) cases. Employing a normative legal methodology, the research extensively analyzes national and international norms and legal materials, including comparisons between national laws and international conventions such as the Palermo Protocol. Findings reveal that inadequate understanding and awareness among law enforcement about the significance of these rights, coupled with resource constraints, result in identity rights violations for witnesses and victims. Furthermore, challenges such as the perceived threats to witnesses and victims, limited human and financial resources in law enforcement agencies, legal uncertainties in TPP case handling, insufficient international cooperation in law enforcement, and the difficulty in balancing the rights of victims and defendants are identified. The study also highlights the importance of rehabilitation and reintegration policies for victims, suggesting that successful combat against human trafficking transcends judicial processes. Consequently, this research not only investigates existing laws and policies but also identifies gaps and potential improvements to ensure that witness and victim protection in combating TPP aligns with principles of dignified justice. The aim is to contribute significantly to developing a more effective, fair, and rights-sensitive judicial system in Indonesia. Highlights: Law Enforcement Gaps: Limited awareness and resources in protecting victims' rights. Legal and International Hurdles: Challenges in TPP case handling and cross-border cooperation. Rights Balance: Need for equilibrium between victim protection and defendant fairness. Keywords: Human Trafficking, Witness Protection, Legal Framework, Indonesia, Rights of Victims
Article
Full-text available
This special issue focuses on a crime that has been classified by the United Nations as the third most profitable crime in the world — human trafficking (Fichtelberg 2008). 1 The international contributions in this issue cover a range of key social, economic, political and legal issues as they relate to human trafficking. The genesis for this collection evolved out of a major project led by Philip Reichel which was completed in 2007. Reichel and an international team examined Canadian and US practices of combating human trafficking. In addition, the project explored a range of initiatives used in Europe and proposed by the United Nations.2 Before presenting an overview of the articles, we thought it instructive to provide a synopsis of some of the fundamental issues involved in human trafficking. Our thinking was that a brief discussion of these more general, descriptive, theoretical and practical issues would provide some context for readers unfamiliar with the subject of human trafficking.
Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan
  • Dwi Narwoko
  • Bagong Dan Suyanto
Narwoko, Dwi dan Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi Teks Pengantar Dan Terapan. Jakarta: Kencana.
Kebijakan Publik Di Negara-Negara Berkembang
  • Riant Nugroho
Nugroho, Riant. 2014. Kebijakan Publik Di Negara-Negara Berkembang. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
  • W J S Poerwadarmita
Poerwadarmita, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. 10. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  • Soerjono Soekanto
Soekanto, Soerjono. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet. 10. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kepemimpinan Dalam Manajemen cetakan ke 18
  • Miftah Thoha
Thoha, Miftah. 2015. Kepemimpinan Dalam Manajemen cetakan ke 18. Jakarta: Rajawali Press.
Answering Objections to Choice Theory/Reality Therapy
  • R E Wubbolding
Wubbolding, R.E. 2011. Answering Objections to Choice Theory/Reality Therapy, Vol. XXXI, 1. International Journal of Choice: Theory and Reality Theory
Transaksi perdagangan manusia di Indonesia melebihi narkoba
  • Yandi Mohammad
Mohammad, Yandi. Transaksi perdagangan manusia di Indonesia melebihi narkoba. https://beritagar.id/artikel/berita/transaksip e r d a ga n ga n -ma n u s i a -di-i n d o n e s i amelebihi-narkoba.
Wawancara tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Ditreskrimum
  • Imanuel Sabeneno
Sabeneno, Imanuel. 2017. Wawancara tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Ditreskrimum, Polda NTT.
Wawancara tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT di Kupang
  • Erni Usboko
Usboko, Erni. 2017. Wawancara tentang Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang di kantor Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT di Kupang.