ArticlePDF Available

Evaluasi Atas Transfer Dana Otonomi Khusus di Aceh, Papua dan Papua Barat

Authors:

Abstract

Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi, tidak saja yang berlaku umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris, utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh, Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028 (untuk Aceh). Transfer Dana Otonomi Khusus diantaranya digunakan untuk membiayai program-program pengentasan kemiskinan dan pendidikan. Kedua hal tersebut merupakan dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan dengan kondisi capaian pembangunan yang relatif belum baik apabila dibandingkang daerah lain di Indonesia. Angka kemiskinan, secara rata-rata untuk periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan 11 kabupaten/kota di Papua Barat pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat secara signifikan berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan, dan peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum menemukan korelasi yang cukup kuat untuk konteks Dana Otonomi Khusus yang diterima kabupaten/kota di Papua dan Aceh.
Vol. 1, No. 5, Desember 2020 E-ISSN:2723 6595
http://jiss.publikasiindonesia.id/ P-ISSN:2723 6692
EVALUASI ATAS TRANSFER DANA OTONOMI KHUSUS DI ACEH, PAPUA, DAN
PAPUA BARAT
Hasta Budiratna dan Riatu M. Qibthiyyah
Universitas Indonesia
Email: Hastabudiratna08@gmail.com, prcrmqx@gmail.com
Artikel info
Artikel history
Diterima
: 29-11-2020
Direvisi
: 06-12-2020
Disetujui
: 17-12-2020
Kata kunci: Desentralisasi
Asimetris, Dana Otonomi
Khusus (Otsus), Angka
Kemiskinan, dan Angka
Partisipasi Murni (APM)
Keywords: Asymmetric
Decentralization, Special
Autonomy Fund (Otsus),
Poverty Rate, and Pure
Participation Rate (APM).
Abstrak
Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi, tidak saja yang berlaku
umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi
desentralisasi asimetris utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh,
Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan
kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang
juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah
pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan
segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028 (untuk Aceh).
Transfer Dana Otonomi Khusus diantaranya digunakan untuk membiayai program-
program pengentasan kemiskinan dan pendidikan. Kedua hal tersebut merupakan
dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan
dengan kondisi capaian pembangunan yang relatif belum baik apabila
dibandingkang daerah lain di Indonesia. Angka kemiskinan, secara rata-rata untuk
periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata
nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan
Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh
Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni
jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi
data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan
11 kabupaten/kota di Papua Barat pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua
dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini
menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat
secara signifikan berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan, dan
peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum
menemukan korelasi yang cukup kuat untuk konteks Dana Otonomi Khusus yang
diterima kabupaten/kota di Papua dan Aceh.
Abstract
Indonesia has implemented a decentralization policy,
not only that is generally applicable to all regions in Indonesia, but has also
adopted asymmetric decentralization, especially for certain areas such as Aceh,
Papua and West Papua. This asymmetric decentralization policy, delegates greater
authority for certain functions to the related regions, which is also supported
through the allocation of Special Autonomy transfer funds from the central
government. The transfer of the Special Autonomy Fund has been going on for a
dozen years and will end soon in 2022 (for Papua and West Papua) and 2028 (for
Aceh). Transfers of the Special Autonomy Fund, among others, are used to finance
poverty alleviation and education programs. These two things are two important
indicators in the achievement of regional development, especially in relation to the
relatively poor condition of development achievements compared to other regions
in Indonesia. The poverty rate, on average for the 2015-2018 period, in the three
regions is still above the national average, including also for education
participation, especially in Papua and West Papua. Therefore, this study aims to
determine the magnitude of the influence of the Special Autonomy Fund on the
poverty rate and the Pure Enrollment Rate for junior high school education in
Aceh, Papua and West Papua. Using panel data regression, the study covered 23
districts / cities in Aceh and 11 districts / cities in West Papua in 2013-2018.
Meanwhile, Papua was conducted in
29 districts / cities in 2015-2018. The results of this study indicate that the Special
Autonomy Fund in districts / cities in West Papua is significantly correlated with a
reduction in poverty and an increase in junior high school enrollment rates, but
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
2
Pendahuluan
Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi, tidak saja yang berlaku umum
untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris,
utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan
kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga
didukung melalui alokasi dana transfer dari pemerintah pusat.
Tantangan transfer asimetris adalah bahwa manfaat dari dana transfer ini benar-benar
sampai ke populasi yang membutuhkan, mengingat baik Aceh, Papua, dan Papua Barat tidak
memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau kualitas layanan publik yang relatif tinggi
daripada provinsi lain di Indonesia (Agustina et al., 2012). Oleh karena itu diperlukan
pembangunan social yang merupakan sebuah proses perencanaan perubahan sosial yang
this study has not found a strong enough correlation in the context of the Special
Autonomy Funds received by districts in Papua and Aceh.
3
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
dirancang untuk kesejahteraan masyarakat. Hakikat transfer asimetris melalui Otonomi Khusus
bagi Aceh, Papua Barat dan Papua adalah sejauh mana pembangunan dapat meningkatkan
kualitas hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyelesaian konflik,
rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca konflik. Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan
partisipasi pendidikan, meningkatan pendapatan per kapita, dan mengurangi angka kemiskinan.
Salah satu contoh kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia, yang diadopsi sejak tahun
2001 yang menandai era “big-bang decentralization”, adalah kebijakan otonomi khusus untuk
wilayah Aceh, Papua, yang dilanjutkan dengan Papua Barat. Terkait dengan pemberian
otonomi khusus di ketiga wilayah ini, adalah salah satu bentuk untuk meredakan konflik yang
terjadi di wilayah tersebut (Dardias, 2012).
Konstitusi pemerintah Republik Indonesia sebetulnya telah cukup responsif
mengakomodir tuntutan beberapa daerah khususnya terkait keadilan fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah. Undang- Undang Dasar 1945 pasal 18 B menempatkan beberapa provinsi di
Indonesia sebagai daerah khusus atau istimewa. Ayat (1) pasal terebut menyatakan bahwa
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. Atas dasar UUD 45, desentralisasi
asimetris memperoleh ruangnya di Republik Indonesia dengan menitikberatkan pada
kekhususan, keistimewaan dan keberagaman daerah yang selanjutnya diatur lebih lanjut dengan
Undang-Undang.
Menurut (Tauda, 2018), desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralisation)
merupakan pemberlakuan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah
tertentu pada suatu negara sebagai alternatif penyelesaian permasalahan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam konteks ini untuk menjaga kesatuan daerah dalam kerangka
NKRI. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal dengan
mempertimbangkan kekhususan dan keistimewaannya yang tidak berlaku seragam di semua
daerah. Daerah dengan desentralisasi asimetris di Indonesia adalah Papua, Papua Barat, Aceh,
DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelima provinsi tersebut telah memiliki UU
tersendiri yang mengatur kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki. Desentralisasi asimetris
menjadikan kelima daerah tersebut memiliki ruang gerak yang lebih terbuka dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah di luar ketentuan yang diatur pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi asimetris merupakan kontra konsep dari desentralisasi simetris
(symmetrical decentralisation) yang berlaku pada 29 provinsi di Indonesia. Sementara itu,
(Tauda, 2018) menyatakan bahwa desentralisasi simetris merupakan perwujudan desentralisasi
yang seragam yang mengacu pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 23
Tahun 2014 menekankan pada pelimpahan kewenangan yang menjadi urusan daerah kepada
seluruh daerah di Indonesia secara serempak. Kedua konsep baik desentralisasi simetris
maupun asimetris dijalankan secara bersamaan dalam praktek ketatanegaraan di Republik
Indonesia.
Berdasar ketentuan Undang- Undang, bahwa Dana Otonomi Khusus di Aceh, Papua,
dan Papua Barat hanya diberikan pemerintah pusat selama 20 tahun. Hal ini menjadikan
Aceh akan kehilangan Dana Otsus pada tahun 2028, sementara Papua dan Papua Barat pada
tahun 2022. Sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial akan menjadi sektor terdampak dengan
berhentinya penerimaan anggaran yang berasal dari kontribusi Dana Otonomi
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
4
Khusus. Selain berkurangnya penerimaan daerah yang berasal dari Dana Otonomi Khusus,
Papua dan Papua Barat juga akan memperoleh pengurangan persentase Dana Bagi Hasil Migas
menjadi hanya 50 % pada 2027 dari 70 % pada tahun 2002 sd 2026. Pada saat itu, tentu saja
diharapkan peran Pendapatan Asli Daerah telah mampu menggantikan proporsi dana otonomi
khusus bagi pembiayaan sektor-sektor publik khususnya pendidikan dan kesejahteraan sosial
di Papua dan Papua Barat.
Tabel 1. Realisasi Penerimaan Dana Otsus, PAD di Aceh, Papua, dan Papua
Barat Tahun 2018
PROVINSI/
INDIKATOR
DANAOTS
US(RP)
PAD(Rp)
Daper(Rp)
ACEH
5.973.040.45
9.000
2.786.413.382.000
17.329.971.518.00
0
PAPUABARAT
3.772.808.09
3.000
477.620.965.000
9.858.075.272.000
PAPUA
9.433.346.93
8.000
1.349.793.880.000
28.158.591.932.00
0
*Sumber; Statistik Keuangan Kabupaten Kota BPS, 2019 Angka merupakan agregat dari
kabupaten kota
Komposisi penerimaan daerah kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat secara
umum adalah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil
Pajak, Bagi Hasil SDA, DAU, DAK), dan Dana Otonomi Khusus (Otsus). Data Badan Pusat
Statistik (BPS) untuk kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat tahun 2018 pada tabel
di atas menunjukkan bahwa secara umum Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar
penerimaan ketiga provinsi tersebut disusul dengan Dana Otonomi Khusus dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Papua merupakan daerah yang menerima transfer pusat terbesar melalui Dana
Perimbangan dan Dana Otsus. Namun demikian, komponen penerimaan yang berasal dari
internal daerah yakni PAD adalah yang terendah dibanding komponen penerimaan lainnya.
Aceh, dan Papua Barat juga hanya mampu menghasilkan PAD yang tergolong kecil
dibanding proporsi dana transfer pusat. Sementara, Dana Otsus pada akan segera berakhir pada
2022 untuk Papua dan Papua Barat dan 2028 untuk Aceh.
Studi ini membatasi lokus penelitian pada desentralisasi asimetris kabupaten/kota di
Aceh, Papua, dan Papua Barat-mengingat kesamaan latar belakang konflik separatis di ketiga
daerah tersebut. Selain itu penulis tertarik dengan ketiga daerah tersebut mengingat capaian
pembangunan khususnya sektor pendidikan (Angka Partisipasi Murni) di Papua dan Papua
Barat masih berada di bawah rata-rata nasional. Dalam pengentasan kemiskinan (Angka
Kemiskinan) di Aceh, Papua, dan Papua Barat juga masih berada di atas angka rata-rata
nasional. Hingga 18 tahun pasca diberlakukan desentralisasi asimetris, Papua masih konsisten
menjadi provinsi dengan APM dan Angka Kemiskinan terburuk di Indonesia. Terkecuali Aceh,
Papua dan Papua Barat juga masih menghadapi konflik separatisme yang menelan banyak
korban jiwa hingga saat ini. Mengingat hal ini, penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh
Dana Otonomi Khusus terhadap Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar SMP dan
Angka Kemiskinan kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat.
5
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Metode Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian ini dilakukan terhadap
kabupaten/kota di Aceh (23 kabupaten/kota) dan dan Papua Barat (11 kabupaten/kota) pada
2013-2018. Sedangkan kabupaten/kota di Papua (29 kabupaten/kota) dilakukan pada 2015-
2018.
2. Metode Analisis
Analisis inferensial digunakan untuk melihat pengaruh pemberian Dana Otonomi
Khusus terhadap angka kemiskinan dan partisipasi pendidikan. Metode analisis inferensial
yang digunakan adalah dengan analisis data panel. Studi ini menggunakan analisis regresi
linear berganda karena peneliti hendak mengetahui besaran pengaruh beberapa variabel
independent Dana Otonomi Khusus (Otsus), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan (DP), Realisasi Belanja Fungasi Pendidikan (RBP), Realisasi Belanja Fungsi
Perlindungan Sosial (RBPS), PDRB per Kapita (PDRBK), dan populasi (Pop) terhadap
variabel dependent Angka Kemiskinan (Pov) dan Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang
Pendidikan dasar SMP di Aceh, Papua Barat dan Papua. Hal ini bertujuan untuk membuat
prediksi nilai variabel dependent apabila nilai variabel independent yang berhubungan
dengannya sudah ditentukan. Selain itu untuk menguji signifikansi pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent. Variabel- variabel yang digunakan mengacu pada
penelitian-penelitian sebelumnya tentang Dana Otsus di Aceh dan Papua oleh (Hartati et al.,
2016), (Astuti & Astika, 2016), (Monika, 2018), dan (Rasu et al., 2019)
Fungsi persamaan umum dalam penelitian ini adalah:
APMit = βo + β1 ln(Otsus)it + β2 ln(PAD) it
+ β3 ln(DP) it + β4 ln(PDRBK) it + β5 ln(RBP) it + β6 ln(Pop) it + eit
Povit = βo + β1 ln(Otsus)it + β2 ln(PAD) it
+ β3 ln(DP) it + β4 ln(PDRBK) it + β5 ln(RBPS) it + β6 ln(Pop) it + eit
Keterangan :
APM : Angka Partisipasi Murni jenjang SMP kabupaten ke i periode ke t
Pov : Angka Kemiskinan kabupaten ke i periode ke t
Otsus : Dana Otsus kabupaten ke i periode ke t
PAD : Pendapatan Asli Daerah kabupaten ke i periode ke t
DP : Dana Perimbangan kabupaten ke i periode ke t
PDRBK: PDRB per kapita kabupaten ke i periode ke t
Pop : Jumlah Penduduk kabupaten i periode ke t
E : kesalahan karena faktor acak kabupaten ke i periode ke t
β1, β2...: koefisien regresi sekaligus koefisien elastisitas
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
6
Hasil dan Pembahasan
1. Perbandingan Angka Kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni SMP di Aceh,
Papua, dan Papua Barat
Secara umum, ketiga provinsi dengan desentralisasi asimetris tersebut masih memiliki
tingkat kemiskinan yang masih berada di bawah rata-rata nasional. Papua merupakan provinsi
dengan angka kemiskinan tertinggi dan APM terendah diantara provinsi lainnya. Namun
demikian secara tren Angka Partisipasi Murni SMP di Papua memperlihatkan peningkatan
dari tahun-tahun. Angka kemiskinan Papua juga memperlihatkan penurunan dalam 3 tahun
terakhir (2016- 2018) meskipun sangat landai (laju penurunan sangat kecil). Aceh menjadi
provinsi dengan taraf APM SMP yang telah sejajar dengan rata-rata nasional pada tahun 2015
s.d 2018.
Grafik 4.5. Perbandingan Angka Kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni
(APM) SMP di Papua, Papua Barat, dan Aceh
*) Sumber : Pengolahan Data BPS & Kemdikbud
Tabel di bawah memperlihatkan bahwa Aceh telah memiliki APM tertinggi pada
seluruh jenjang pendidikan dibanding Papua dan Papua Barat. Bahkan APM Aceh secara
umum telah berhasil melebihi rata-rata nasional pada 2015 sd 2018. Kondisi berbeda terjadi
di Papua yang memiliki APM jauh di bawah rata-rata nasional dan berada di bawah Aceh dan
Papua Barat pada seluruh jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan dengan angka partisipasi
sekolah tertinggi adalah pada tingkat Sekolah Dasar/ sederajat baik pada provinsi Aceh,
Papua, Papua Barat maupun secara nasional. Persentase partisipasi akan semakin menurun
seiring dengan semakin tinggi tingkat pendidikan. Gejala ini terlihat pada provinsi Aceh,
Papua, Papua Barat maupun nasional
7
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Grafik 1. Angka Partisipasi Murni Pada Berbagai Jenjang Pendidikan di
Aceh, Papua, Papua Barat, dan Indonesia
*Sumber : web APM Kemdikbud, diolah
Penurunan angka APM yang cukup curam terjadi pada tingkat SD ke SMP pada
seluruh jenjang pendidikan. Ini memperlihatkan bahwa terdapat jauh lebih sedikit penduduk
usia sekolah SMP/ sederajat yang menempuh pendidikan pada jenjang tersebut karena
berbagai alasan termasuk diantaranya tidak melanjutkan sekolah di jenjang SMP/sederajat
atau harus menempuh pendidikan jenjang SD/sederajat secara lebih lama dari yang
seharusnya. Skema Distribusi Dana Otonomi Khusus Dana Otonomi Khusus selanjutnya
menjadi salah satu sumber penerimaan dalam APBD Aceh tiap tahun. Tata cara
pengalokasian Dana ini selanjutnya diatur dalam Qanun Aceh yang ditetapkan oleh Gubernur
tiap tahun. Dana Otsus pertama diperuntukkan untuk membiayai program bersama
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan perincian a) minimal 50 % bagi
pembangunan infrastruktur dan b) minimal 5 % untuk pelaksanaan syariah Islam. Setelah
dikurangi dengan kedua pembiayaan tersebut, maka Dana Otonomi Khusus akan
dialokasikan sebesar 60 % bagi pemerintah provinsi dan 40 % bagi pemerintah
kabupaten/kota. Formula pembagian di tingkat pemerintah kabupaten kota adalah a) 50 %
dialokasikan dengan proporsi sama besar, dan b) 50 % sisanya menggunakan indikator
sebagai berikut ; jumlah penduduk (40 %), luas wilayah (30 %), IPM (20 %), dan Indeks
Kemahalan Konstruksi (10 %).
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
8
Gambar 2. Skema Distribusi Dana Otsus Aceh
Sumber : Qanun Aceh No.1/2018
Sementara itu, alokasi dana Otonomi Khusus bagi Papua menurut pasal 36 UU No.
21 Tahun 2001 Jo UU No. 35/ 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat adalah minimum 30 % bagi sektor pendidikan dan minimum 15 % bagi sektor
kesehatan dan perbaikan gizi. Menurut Undang Undang ini, transfer Dana Otsus bagi Papua
dan Papua Barat hanya berlangsung selama 20 tahun . Hal ini berarti, Papua dan Papua Barat
tidak akan menerima lagi Dana Otsus masing-masing pada tahun 2022 mendatang.
Pembagian besaran Dana Otsus untuk kedua provinsi paling timur ini ialah 70 % bagi Papua
dan 30 % bagi Papua Barat dari total 2 % DAU nasional.
Dana Otonomi Khusus selanjutnya menjadi salah satu sumber penerimaan dalam
APBD Papua tiap tahun. Pembagian penerimaan dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus
selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah Khusus yang ditetapkan Gubernur tiap tahun.
Sasaran pembiayaan Dana Otsus meliputi pendidikan (minimal 30 %), kesehatan (minimal 15
%), pengembangan ekonomi kerakyatan (minimal 25 %), infrastruktur (minimal 20 %),
lembaga keagamaan dan adat (maksimal 6 %), perencanaan & monev ( maksimal 2 %), dan
lainnya (maksimal 2 %). Dana Otsus pertama diperuntukkan untuk membiayai program
strategis bersama pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Setelah dikurangi
dengan kedua pembiayaan tersebut, maka Dana Otonomi Khusus akan dialokasikan sebesar
20 % bagi pemerintah provinsi dan 80 % bagi pemerintah kabupaten/kota. Formula pembagian
di tingkat pemerintah kabupaten kota adalah a) 50 % dialokasikan dengan
9
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
proporsi sama besar, dan b) 50 % sisanya menggunakan indikator sebagai berikut ; jumlah
penduduk (40 %), luas wilayah (30 %), IPM (20 %), dan Indeks Kemahalan Konstruksi (10
%).
Gambar 4. Skema Distribusi Dana Otsus Papua Barat
Sumber : Pergub Papua Barat No.1/2018 jo. No.56/2018
Dana otonomi khusus menurut UU No. 12 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun 2019 merupakan dana yang bersumber dari APBN untuk
membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah yang telah ditetapkan melalui Undang-
Undang sebagai daerah khusus atau istimewa. Otonomi khusus Aceh, Papua dan Papua Barat
dilatarbelakangi oleh pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam yang masih belum
didayagunakan secara optimal untuk peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat
setempat. Otonomi Khusus merupakan kebijakan khusus pemerintah pusat untuk mengurangi
kesenjangan pembangunan dengan daerah lain di wilayah NKRI. Kebijakan ini akan
memberikan kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengelola sendiri pemerintahannya dalam kerangka NKRI.
2. Analisis Hasil Estimasi Model
Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa penerimaan yang bersumber dari Dana
Otsus hanya mampu mempengaruhi secara signifikan atas Angka Kemiskinan dan Angka
Partsisipasi Murni jenjang SMP pada kabupaten/kota di Papua Barat pada tahun 2013-2018.
Setiap peningkatan 1% Dana Otsus akan mampu menurunkan Angka Kemiskinan sebesar
2.838 % dan meningkatkan Angka Partisipasi Murni jenjang SMP sebesar 6.329 %. Hasil ini
sesuai dengan penelitian (Monika, 2018) dan (Hartati et al., 2016).
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
10
Tabel 3. Hasil Analisis Inferensial Kabupaten/Kotadi Aceh, Papua, dan Papua Barat
VARIABEL/ LOKUS
ACEH
PAPUA
PAPUA
BARAT
ANGKA KEMISKINAN
Dana Otsus
0.149
(0.132)
0.474
(0.337)
-2.838**
(0.618)
Pendapatan Asli Daerah
-0.591**
(0.191)
0.150
(0.081)
0.137
(0.250)
Dana Perimbangan
0.826
(0.789)
0.045
(0.188)
-0.574
(0.535)
Realisasi Belanja
Perlindungan Sosial
-0.018
(0.126)
0.082
(0.160)
-0.464
(0.312)
Produk Domestik
Regional Bruto per
Kapita
-3.040**
(1.111)
-6.023**
(1.089)
0.408
(2.097)
Populasi
-6.448**
(1.812)
-2.652
(1.705)
-12.549**
(2.919)
ANGKA PARTISIPASI
MURNI
Dana Otsus
0.135
(1.021)
1.201
(3.451)
6.329**
(3.103)
Pendapatan Asli Daerah
0.630
(1.465)
0.918
(0.787)
2.097
(1.467)
Dana Perimbangan
-11.631
(6.042)
0.041
(1.836)
-5.031
(3.088)
Realisasi Belanja
Pendidikan
-0.993
(0.552)
-0.458
(1.870)
-0.231
(1.311)
Produk Domestik
Regional Bruto per
Kapita
-
36.690
**
(8.357)
7.242
(22.34
1)
-4.571
(3.293)
Populasi
-50.499**
(13.892)
121.693**
(48.517)
12.575**
(3.947)
Sumber : hasil pengolahan data
Secara umum faktor-faktor yang terkonfirmasi berpengaruh signifikan terhadap Angka
Kemiskinan dalam studi ini adalah Dana Otsus (di Papua Barat), Pendapatan Asli Daerah (di
Aceh), Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (di Aceh, Papua), serta populasi (di Aceh,
Papua Barat). Sedangkan faktor faktor yang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi
pendidikan jenjang SMP ialah Dana Otsus (di Papua Barat), Produk Domestik Regional Bruto
per Kapita (di Aceh), dan populasi (di Aceh, Papua, Papua Barat Sementara itu penerimaan
daerah yang berasal dari Dana Otonomi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Angka
kemiskinan kabupaten/kota di Aceh, dan Papua,. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor seperti aspek regulasi, maupun penggunaan anggaran. Dari aspek regulasi
tidak ditemukan persentase alokasi yang eksplisit bagi pengentasan kemiskinan di level
Undang-Undang maupun Qanun (di Aceh), dan Undang-Undang (di Papua). Oleh karena
ketiadaan kejelasan regulasi, penggunaan Dana Otsus di Aceh untuk pengentasan kemiskinan
hanya mencapai 2-3 %. Demikian juga yang terjadi di Papua dan Papua Barat, penggunaan
Dana Otsus bagi pengentasan kemiskinan
11
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
hanya dimasukkan ke dalam sektor lainnya, sehingga tidak spesifik dan kurang transparan.
Selain itu penggunaan Dana Otsus di Papua relatif digunakan untuk program yang kurang
berkualitas dan tidak berdampak jangka panjang. Dana Otonomi Khusus juga tidak
berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pendidikan jenjang SMP di Papua dan Aceh. Hal
ini dapat dilihat melalui aspek penggunaan anggaran maupun aspek regulasi. Penggunaan
Dana Otsus sektor pendidikan di Papua tahun 2014-2018 masih di bawah 30 % dari ketentuan
seharusnya menurut UU dan Perdasus yakni minimum 30 %. Permasalahan non fiskal lainnya
terkait partisipasi pendidikan di Papua adalah tingkat kesadaran, kondisi geografis dan
pemukiman yang tersebar serta jauh dari layanan pendidikan. Sementara itu, penggunaan
Dana Otsus sektor pendidikan di Aceh masih terfokus pada pembangunan fisik pendidikan
semata. Secara regulasi pun, tidak terdapat persentase alokasi sektor pendidikan yang eksplisit
pada Undang-Undang atau Qanun Aceh yang mengatur Otonomi Khusus.
Tabel 4. Tabulasi Dana Otsus, Angka Kemiskinan dan
Angka Partisipasi Murni SMP Kabupaten/Kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat
VARIABEL
Poverty
APM
Aceh
Papua
Papua
Barat
Aceh
Papua
Papua
Barat
Dana Otsus
Tidak
signifi
kan
Tidak
signifikan
Signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Signifik
an
Aspek
Pengguna
an
Anggaran:
Pengguna
an dana
hanya 2%-
3%
(2014
2016)
Aspe
k
Regul
asi:
Tidak
terdapat
persentase
alokasi
secara
ekspilist di
UU
& Qanun
Asp
ek
Peng
guna
an
Ang
gara
n :
a. Penggun
aan dana
untuk
kegiatan
kecil,
berdurasi
pendek,
b. Sektor
ini dalam
realisasi
penggun
aan dana
masuk
ke dalam
sektor
lainnya
Sehingga
tidak
spesifik
Aspek
Aspek
Penggunan
Anggaran:
Penggunaan
dana otsus
sektor pendi
-
dikan masih
di bawah
30 %
(2014-2018).
Ketentuan
regulasi (UU
& Perdasus)
minimal 30
%.
Aspek
Sosial
Geografis
Permasalahan
partisipasi
pendidikan di
Papua
adalah tingkat
kesadaran,
kondisi
geografis dan
pemukiman
Aspek
Penggu
naan
Anggar
an:
Penggu
naan
danotsu
s sektor
pendi -
dikan(2
014-
2018)
sudah
sesuai
dengan
Pergub
sebesar
20 %
s.d. 30
%.
Aspek
Pengg
Pengguna
unaan
an
Angg
Anggaran
aran :
: Sektor
a. Rata-rata
ini dalam
penggunaa
realisasi
n dana
penggunaa
sektor
n dana
pendidikan
masuk ke
mencapai
dalam
20.9 %
sektor
(2012
lainnya
2016)
sehinggati
b. Terlalu
dak
fokus pada
spesifik.
pembangu
Aspek
nan fisik,
Regulasi:
belum
Tidak
pada
terdapat
aspek
persentase
peningkat
alokasi
an
secara
partisipasi
eksplisit
pendidika
di UU
n.
maupun
Aspek
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
12
dan kurang
transparan
Aspek
Regulasi
: Alokasi
dalam
perdasus
25%,,
namun
tidak ada
aloksi
eksplisit
di UU
Pergub
regulasi:
Tidak
terdapat
persentase
alokasi
secara
ekspilist
di UU &
Qanun
yang
tersebar serta
jauh dari
layanan
pendidikan.
*Sumber : Kajian Literatur
Kesimpulan
Angka kemiskinan di kabupaten/kota di Papua Barat tahun 2013-2018 terbukti sinifikan
turut dipengaruhi oleh penerimaan Dana Otsus. Peningkatan Dana Otsus sebesar 1% dapat
menurunkan Angka Kemiskinan sebesar 2.838 %. Sementara itu penerimaan daerah yang
berasal dari Dana Otonomi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Angka kemiskinan
kabupaten/kota di Aceh, dan Papua. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor
seperti aspek regulasi, maupun penggunaannya. Dari aspek regulasi tidak ditemukan persentase
alokasi yang eksplisit bagi pengentasan kemiskinan di level Undang- Undang maupun Qanun
(di Aceh), dan Undang-Undang (di Papua). Oleh karena ketiadaan kejelasan regulasi,
penggunaan Dana Otsus di Aceh untuk pengentasan kemiskinan hanya mencapai 2- 3 %.
Demikian juga yang terjadi di Papua, penggunaan Dana Otsus relatif digunakan untuk program
yang kurang berkualitas dan tidak berdampak jangka panjang. Selain itu penggunaan Dana
Otsus bagi pengentasan kemiskinan juga hanya dimasukkan ke dalam sektor lainnya, sehinga
tidak spesifik dan kurang transparan.
Dana Otonomi Khusus menunjukkan pengaruh yang siginifikan pada partisipasi
pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di Papua Barat. Setiap peningkatan Dana Otsus
sebesar 1 % akan turut meningkatan partisipasi pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di
Papua Barat sebesar 6.329 %. Penggunaan Dana Otsus bagi sektor pendidikan di Papua Barat
pada tahun 2014-2018 telah sesuai dengan minimum alokasi yang diatur dalam Peraturan
Gubernur sebagai aturan pelaksana yakni sebesar 20 30 %. Namun, Dana Otonomi Khusus
tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di
Papua dan Aceh. Hal ini dapat dilihat melalui aspek penggunaan anggaran maupun aspek
regulasi. Penggunaan Dana Otsus sektor pendidikan di Papua tahun 2014-2018 masih di bawah
30 % dari ketentuan seharusnya menurut UU dan Perdasus yakni minimum 30 %. Sementara
itu, penggunaan Dana Otsus sektor pendidikan di Aceh masih terfokus pada pembangunan fisik
pendidikan semata. Secara regulasi pun, tidak terdapat persentase alokasi sektor pendidikan
yang eksplisit pada Undang- Undang atau Qanun Aceh yang mengatur Otonomi Khusus.
13
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Bibliografi
Agustina, C. D., Ahmad, E., Nugroho, D., & Siagian, H. (2012). Political economy of natural
resource revenue sharing in Indonesia.
Astuti, I. A. P., & Astika, I. B. P. (2016). Pengaruh Jumlah Penduduk, Dana Alokasi Umum,
Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota Di
Provinsi Bali. E-Jurnal Akuntansi, 17(3), 24162446.
Dardias, B. (2012). Model lmplementasi Desentralisasi Asimetris yang Menyejahterakan:
Belajar dari Pengalaman Aceh dan Papua. Yogyakarta: Belum Diterbitkan.
Hartati, C. S., Abdullah, S., & Saputra, M. (2016). Pengaruh penerimaan dana otonomi khusus
dan tambahan dana bagi hasil migas terhadap belanja modal serta dampaknya pada indeks
pembangunan manusia Kabupaten/Kota di Aceh. Jurnal Administrasi Akuntansi:
Program Pascasarjana Unsyiah, 5(2).
Monika. (2018). Dampak Dana Otonomi Khusus Terhadap Kemiskinan di Provinsi Papua
Periode 2010-2016. IPB.
Rasu, K. J. E., Kumenaung, A. G., & Koleangan, R. A. M. (2019). ANALISIS PENGARUH
DANA ALOKASI KHUSUS, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI
UMUM DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP TINGKAT KEMISKINANDI KOTA
MANADO. JURNAL PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH, 20(2),
114.
Tauda, G. A. (2018). Desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Administrative Law & Governance Journal, 1(4), 413435.
... This is because the budget planning has not been synchronized with the targeted output. Therefore, it can be said that the DOKA allocation policy has not been able to significantly encourage the economic growth of the Acehnese people and does not even affect the Aceh Province Human Development Index (HDI) score (Budiratna & Qibthiyyah, 2020;Isnadi & Fikriah, 2019;Munanda, 2019;Saputra & Rizki, 2014). This is because the distribution of Aceh's government spending with DOKA does not focus on economic sectors that can spur community economic growth (Saputra & Rizki, 2014). ...
... In more detail, Budiratna and Qibthiyyah (2020) in their research entitled 'Evaluation of the Transfer of Special Autonomy Funds in Aceh, Papua, and West Papua' emphasized that the condition of DOKA management, specifically in districts/cities in Aceh, has not been able to significantly affect the decline in poverty rate, which is caused by regulatory factors and the use of DOKA. In the regulatory aspect, there is no Qanun that specifically regulates the allocation of DOKA for poverty alleviation. ...
Article
Full-text available
Problems in planning readiness that have not been optimally arranged in the Master Plan for Utilization of Special Autonomy Fund (DOKA) 2008—2027 are the cause of the difficulty in carrying out an effective supervisory function. In addition, at the level of DOKA allocation at the Provincial to Regency/City levels, it is still full of intervention and domination by ex-members of Free Aceh Movement (GAM), both in the executive and legislative. These two problems are the main factors that hinder the achievement of the goal of the DOKA for the welfare of the Acehnese people. By using a qualitative descriptive research method, this paper aims to unravel the root cause of the DOKA allocation problem that has an impact on the problem of poverty in Aceh. The results of this study conclude that there are two factors that cause problems in the allocation of DOKA, namely supervision and political intervention. The control factor that is not optimal is caused by planning that has not been arranged in detail in the DOKA Master Plan. Meanwhile, the political intervention factor arises from the dominance of ex members of GAM in every DOKA budget planning.
... Papua Province is a region of Indonesia which is located in the easternmost part(Hasta Budiratna, 2020;Purwanto & Saparia, 2024). egion that has a wealth of natural resources and a wealth of human resources. ...
Article
Full-text available
The phenomenon that is still found in junior high schools in the city of Jayapura is the lack of literature on basic volleyball movement skill training models. So a structured training model is needed in learning. This research is a type of model development research or what is often known as Research and Development (R&D). The characteristic of this research is that it focuses on service learning and focuses on the basic motion components of the service itself. The effectiveness test in this research uses the t-test, which measures service skills before and after being given this service learning model. The approach used is a quantitative approach, namely measuring volleyball service skills with a research plan in the form of the one group pretest-posttest design. The data obtained is based on the average of the 947 pretest scores. This is the score obtained before being given training using the model created. After the initial test was carried out, the application of the model was carried out using a training program that was created so that after being tested again, its serviceability obtained a post-test score of 1331. Based on the results of field trials and discussion of research results, several conclusions were obtained, namely: 1. There are 18 (Eighteen) Volleyball Serving Skill Training Models for Beginner Athletes of Middle School Age. 2. The developed Volleyball Serving Ability Training Model can improve volleyball Serving ability efficiently and effectively.
... In contrast, this research focuses on finding the Aceh Province APBA budget's political process in infrastructure, poverty, education and health, [5]. Special Autonomy Funds in districts/cities in West Papua are significantly correlated with a decrease in poverty, and an increase in the net enrolment rate at the junior high school level, [6]. In addition, the application of the preparation and use of special autonomy funds has not fully dominated the dharuriyyah dimension consisting of religious protection hifż Al-di'n (preservation of religion), hifż Al-nafs (preservation of life), hifż almal (preservation of property), hifż Al'aql (preservation of reason) and hifż al-nasl (preservation of offspring), [7]. ...
Article
Fifteen years into the implementation of Aceh’s special autonomy, poverty still ranks Aceh the poorest province on the island of Sumatra. The high number and percentage of poverty are due to the budget allocation of the Special Autonomy Fund being allocated to other issues; the allocation of the Poverty Alleviation Special Autonomy Fund over the last five years has not been a priority in the development program in Aceh Province, poverty alleviation being the fourth priority after infrastructure, education and health. This research seeks to discover the factors that become obstacles and ineffectiveness of the Special Autonomy Fund Budget Politics in Poverty Alleviation in Aceh Province. This research uses a qualitative approach with a case study as a research strategy. This research uses three data collection techniques: First, documentation in the form of policy documents, papers, journals, or books from previous research. Second, in-depth interviews. Third, observation. Data analysis techniques used in qualitative research include transcribing interview results, data reduction, data analysis and interpretation. Aceh’s failed poverty alleviation was caused by the government’s failure to address its poverty. Factors contributing to poverty in Aceh’s poverty reduction include lack of poverty-related employment, inadequate government support, insufficient infrastructure and income related to prosperity, low human resource income, insufficient political participation, and corruption.
... Adanya batasan waktu ini menimbulkan sebuah pertanyaan besar mengenai evaluasi kebijakan otsus yang juga berlaku pada Provinsi Papua Barat serta Provinsi Aceh. Apabila dana otsus berakhir maka sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial akan mengalami dampak berupa pengurangan anggaran yang berasal dari kontribusi dana otsus (Budiratna & Qibthiyyah, 2020). Sebuah evaluasi secara akademis perlu dilakukan atas kebijakan otsus pada daerah-daerah yang mendapatkan dana otsus. ...
Article
Full-text available
Barat dengan akuntabilitas keuangan daerah yang diproksikan oleh variabel opini laporan keuangan daerah hasil pemeriksaan BPK RI. Menggunakan metode Conditional Logistic Fixed Effect, penelitian ini menggunakan rasio keuangan berdasarkan data keuangan daerah tahun 2011-2019. Hasil penelitian adalah adanya hubungan antara akuntabilitas dengan kondisi keuangan pemerintah daerah otsus. Variabel yang konsisten mendorong terciptanya akuntabilitas adalah variabel rasio Dana Alokasi Khusus (DAK) dibagi total dana transfer. Rasio Dana Bagi Hasil (DBH) per total pendapatan serta belanja operasi dan belanja modal per total belanja konsisten dan signifikan dalam mengurangi kemungkinan terwujudnya opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Seluruh temuan ini sejalan dengan pengembangan perhitungan yang juga menggunakan marginal effect ordered logit untuk melihat persentase kemungkinan keterjadian opini dan hubungannya dengan berbagai rasio yang menjadi variabel penelitian. Berbagai temuan berdasarkan olah data dan perhitungan marginal effect menunjukkan bahwa perlu adanya pembenahan kebijakan DBH dan belanja daerah, serta penerapan DAK pada daerah yang belum memperoleh opini WTP.
... Previous studies have focused on spending allocations for the special autonomy fund for West Papua (Budiratna & Qibthiyyah, 2020), the accountability of the special autonomy fund (Sukmalalana, Ramadhan, Pdihegso, Huda, & Fadli, 2020), the effectiveness of electronic procurement (Adi, 2017), and measuring the effect of spending on special autonomy fund for prosperity such as education and reducing poverty (Warouw, Nangoy, & Runtu, 2016). This study also discusses the process of spending Local Government Budget (APBD) managed by the West Papua regional government and the weaknesses that could lead to corruption. ...
Article
Full-text available
West Papua has a relatively high risk of corruption during the implementation of its public procurement. It is critical to recognize that public procurement business processes are analyzed as an ecosystem with interactions between actors. This research aims to determine the need for a conducive ecosystem for public procurement (PBJP) in the West Papua province and propose recommendations for improving or increasing the credibility of public procurement. This research is qualitative because primary data are obtained through interviews and forum group discussions with selected participants. The results of the study show that the public procurement ecosystem consists of Budget User Authorities (KPA) or Contract Officers (PPK), Working Units for Public Procurement (UKPBJ), Vendors, Internal Control, and Regulators who are credible procurement actors as focal offers. Examining each actor's issues has led to the conclusion that to boost the credibility of public procurement goals. It is necessary to strengthen leadership commitment, improve the quality of human resources, and simplify laws. The research findings are expected to assist practitioners and policymakers in understanding why there is a lack of public procurement ecosystem in West Papua and propose the necessary corrective policies.
... Even though the amount of SAF received by the Aceh Province continues to increase, the poverty conditions achieved are still far from the SDGs target. The greater the SAF an area receives, the more it can encourage the surrounding community's economy so that poverty conditions should be improved (Budiratna & Qibthiyyah, 2020). It shows that the management of SAF by the Aceh Province is still not optimal, so the purpose of giving SAF as a driver of poverty reduction has not been implemented properly, resulting in poor conditions in Aceh Province still showing poor numbers. ...
Article
Full-text available
Aceh is the highest poverty rate among other provinces on Sumatra Island, and this condition has been going on for 20 years (2002-2021). Poverty that lasts a long time can result in the inheritance of poverty to the next generation so that it can give rise to groups of people who are always poor, which bring various problems. To overcome the problem, the central government grants special autonomy funds expected to reduce poverty in Aceh Province by strengthening the education and health sectors. Many previous studies have examined education and health as determinants of poverty. However, there was still limited research using special autonomy funds as a moderating variable. Therefore, the authors are motivated to fill the gap in research related to special autonomy funds as a moderating variable on the effect of education and health on poverty in Aceh Province. This study aims to investigate the role of special autonomy funds in moderating education and health on poverty using panel data for 2010-2021 in 23 districts/cities in Aceh Province, Indonesia. Analysis using MRA concluded that education had no significant effect, while health negatively affected the poverty rate. Furthermore, special autonomy funds are significant in moderating education and health on poverty. So, to reduce poverty, special autonomy funds can focus more on the education and health sectors. It is recommended that the government still utilize special autonomy funds that focus on supporting both programs, increasing public education and health, since special autonomy funds are proven to strengthen the effect of those two sectors in poverty reduction
Article
Full-text available
Poverty is an important problem for each country, both developed and developing countries, including Indonesia. The government continues to strive to reduce poverty levels through various mechanisms such as fiscal decentralization, human capital development and infrastructure development. In Indonesia, Papua is an area that has the highest poverty conditions in Indonesia. This research uses panel data consisting of the provinces of Papua and West Papua for the period 2008-2022. The analysis technique used is panel data regression. The results of the analysis show that special autonomy funds have a positive effect on poverty, HDI and regional spending have a negative effect on poverty. DBH, DAU, DAK, and road length have no effect on poverty levels. The implication of this research is the need to optimize the realization of transfer funds and increase infrastructure development so that it can reduce poverty levels.
Article
Full-text available
Poverty is a complex and multidimensional problem. Papua is an area that has the highest poverty conditions in Indonesia. This research uses panel data consisting of the provinces of Papua and West Papua for the period 2008-2022. The analysis technique used is panel data regression. The results of the analysis show that profit sharing funds and village funds have a negative and significant effect on poverty in Papua. General allocation funds and special allocation funds have a positive and significant effect on poverty. Special autonomy funds and regional spending have no effect on poverty in Papua. The implication of this research is the need to optimize the realization of DAU, DAK, Special Autonomy Funds, and Regional Expenditures so as to reduce poverty levels.
Article
Full-text available
Otonomi khusus telah diberikan kepada Pemerintah Aceh sejak tahun 2006. Otonomi ini juga disertai dengan pemberian dana otonomi khusus. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dinamika pengelolaan dana otonomi khusus Aceh. Penelitian ini merupakan kajian kepustakaan (library research), sumber data dihasilkan dari telaah terhadap data kepustakaan berupa qanun, web resmi pemerintah, koran, dan hasil survei dari berbagai lembaga terhadap penggunaan dana otonomi khusus di Aceh. Analisis data dilakukan dengan cara mereduksi data temuan dan dilakukan analisis dengan menggunakan teori yang relevan. Hasil penelitian menunjukan bahwa melalui pelaksanaan otonomi khusus, Aceh mendapatkan dana daerah yang signifikan yang ditujukan untuk investasi pengadaan infrastruktur publik untuk pembangunan ekonomi daerah dan peningkatan daya beli penduduk, yang diharapkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Dalam kenyataannya, pengelolaan dana otonomi khusus di Aceh masih menghadapi sejumlah masalah seperti pembagian porsi anggaran pemerintah provinsi dengan kabupaten, tata kelola anggaran yang masih belum baik, serta dampak terhadap kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan yang belum signifikan.
Article
Full-text available
This study aims to obtain an overview of the performance of Corporate Social Responsibility in Teluk Bintuni Regency in the social, economic, agricultural and environmental fields. Measurement of CSR performance is carried out by examining the gap between the level of importance and the performance of CSR implementation, as well as the priorities needed for program sustainability. There were 40 beneficiaries as respondents, located in the villages of Onar Baru, Onar Lama, Saengga, Tanah Merah, Tofoi, Babo and Bintuni. Data were analyzed using Importance Performance Analysis (IPA). The findings show that the level of conformity between interests and performance is 67%, and from the 14 attributes of the assessment, there are 7 attributes of program management that must be prioritized, namely planning and implementing programs that are as expected, accompanied by clear monitoring and evaluation. The program must be in accordance with the objectives, provide opportunities for the community for community involvement to provide input and have an orientation to the satisfaction of the target community.
Article
Full-text available
Since it is designated as a special autonomy province, Aceh has received substantial funds by the central government, either the special autonomy fund and Gas Share Additional Funding. The local government can use these funds to develop infrastructure in various sectors in order to support the welfare of the community, one of which can be measured by the HDI (Human Development Index). The Regencies/Cities Authorities have budgeted a subtantial capital expenditure to the infrastructure development. The special autonomy issue associated with the community welfare measured with the HDI is, therefore, interesting to conduct a study. The purpose of this study was to examine and analyze the effect of the receipt of special autonomy and Gas Share Additional Fundingfunds toward the capital expenditures and their impact on Human Development Index in Districts/Municipalities in Aceh Province.This study is a hypothesis testing research by using path analysis to figure out the population data collected based on documents and reports that are made available. Abstrak: Sejak ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus (otsus), Aceh memperoleh dana daerah yang cukup besar, baik dari dana otsus maupun dari TDBH migas. Dengan dana yang besar tersebut dapat dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur diberbagai sektor untuk dapat menunjang kesejahteraan masyarakat yang salah satunya dapat diukur dengan IPM. Untuk melaksanakan pembangunan infrastruktur tersebut, pemerintah Kabupaten/kota di Aceh telah menganggarkan belanja modal yang cukup besar. Oleh karena itu, isu otonomi khusus dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM menjadi hal menarik untuk dilakukan penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh penerimaan dana otonomi khusus dan TDBH Migas terhadap belanja modal serta dampaknya pada IPM kabupaten/kota di Aceh. Jenis penelitian ini merupakan hypothesis testing reasearch dengan menggunakan path analysis terhadap data populasi yang dikumpulkan berdasarkan dokumen dan laporan yang telah tersedia di Bappeda Aceh, DJPK Departemen Keuangan dan Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh. Hasil penelitian membuktikan bahwa penerimaan dana otsus dan TDBH 2 Jurnal Mangister Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Article
Abstract This study aims to know the design of asymmetric decentralization in the state administration system of the Republic of Indonesia. The research method used in the research is legal research that uses a conceptual approach. The results show that asymmetric decentralization in Indonesia is a historical continuity that has been started from the colonial period and confirmed to date in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. As a reality of the practice of regional government, the constitutional juridical legitimacy of asymmetric decentralization can be referred to in Article 18A paragraph ( 1), and Article 18B paragraph (1) of the Constitution of the Republic of Indonesia as the supreme law of the land. Asymmetric decentralization concerns fundamental matters related to the pattern of relations between the center and the regions regarding different authority, institutional, financial and control designs. Keywords: Asymmetric Decentralization, State Administration System, Indonesian Government Abstrak Penelitian ini bertujuan utnuk menegtahui desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian hukung yang menggunakan pendekatan kosnep (conceptual approac). Hasil penelitian menujukan bahwa Desentralisasi asimetris di Indonesia merupakan sebuah keberlanjutan sejarah yang telah dimulai dari masa kolonial dan ditegaskan hingga saat ini dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagai sebuah realitas praktik pemerintahan daerah, legitimasi yuridis konstitusional dari desentralisasi asimetris tersebut dapat dirujuk dalam Pasal 18A ayat (1), dan Pasal 18B ayat (1) Konstitusi Republik Indonesia sebagai hukum tertinggi negara (the supreme law of the land). Desentralisasi asimetris menyangkut urusan yang fundamental terkait pola hubungan pusat dan daerah menyangkut desain kewenangan, kelembagaan, finansial dan kontrol yang berbeda. Kata Kunci: Desentralisasi Asimetris, Sistem Ketatanegaraan, Permerintah Indonesia
Political economy of natural resource revenue sharing in Indonesia
  • C D Bibliografi Agustina
  • E Ahmad
  • D Nugroho
  • H Siagian
Bibliografi Agustina, C. D., Ahmad, E., Nugroho, D., & Siagian, H. (2012). Political economy of natural resource revenue sharing in Indonesia.
Model lmplementasi Desentralisasi Asimetris yang Menyejahterakan: Belajar dari Pengalaman Aceh dan Papua
  • B Dardias
Dardias, B. (2012). Model lmplementasi Desentralisasi Asimetris yang Menyejahterakan: Belajar dari Pengalaman Aceh dan Papua. Yogyakarta: Belum Diterbitkan.