Available via license: CC BY-SA 4.0
Content may be subject to copyright.
Vol. 1, No. 5, Desember 2020 E-ISSN:2723 – 6595
http://jiss.publikasiindonesia.id/ P-ISSN:2723 – 6692
EVALUASI ATAS TRANSFER DANA OTONOMI KHUSUS DI ACEH, PAPUA, DAN
PAPUA BARAT
Hasta Budiratna dan Riatu M. Qibthiyyah
Universitas Indonesia
Email: Hastabudiratna08@gmail.com, prcrmqx@gmail.com
Artikel info
Artikel history
Diterima
: 29-11-2020
Direvisi
: 06-12-2020
Disetujui
: 17-12-2020
Kata kunci: Desentralisasi
Asimetris, Dana Otonomi
Khusus (Otsus), Angka
Kemiskinan, dan Angka
Partisipasi Murni (APM)
Keywords: Asymmetric
Decentralization, Special
Autonomy Fund (Otsus),
Poverty Rate, and Pure
Participation Rate (APM).
Abstrak
Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi, tidak saja yang berlaku
umum untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi
desentralisasi asimetris utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu seperti Aceh,
Papua, dan Papua Barat. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan
kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang
juga didukung melalui alokasi dana transfer Otonomi Khusus dari pemerintah
pusat. Transfer Dana Otonomi Khusus ini telah berjalan belasan tahun dan akan
segera berakhir pada 2022 (untuk Papua dan Papua Barat) dan 2028 (untuk Aceh).
Transfer Dana Otonomi Khusus diantaranya digunakan untuk membiayai program-
program pengentasan kemiskinan dan pendidikan. Kedua hal tersebut merupakan
dua indikator penting dalam capaian pembangunan daerah, terutama dikaitkan
dengan kondisi capaian pembangunan yang relatif belum baik apabila
dibandingkang daerah lain di Indonesia. Angka kemiskinan, secara rata-rata untuk
periode 2015-2018, di ketiga daerah tersebut masih berada di atas rata-rata
nasional, termasuk juga untuk partisipasi pendidikan khususnya di Papua dan
Papua Barat. Oleh sebab itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui besaran pengaruh
Dana Otonomi Khusus terhadap angka kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni
jenjang pendidikan SMP di Aceh, Papua, dan Papua Barat. Menggunakan regresi
data panel, studi ini mencakup 23 kabupaten/kota di Aceh dan
11 kabupaten/kota di Papua Barat pada tahun 2013-2018. Sedangkan Papua
dilakukan pada 29 kabupaten/kota tahun 2015-2018. Hasil penelitan ini
menunjukkan bahwa Dana Otonomi Khusus pada kabupaten/kota di Papua Barat
secara signifikan berkorelasi dengan penurunan angka kemiskinan, dan
peningkatan angka Partisipasi Murni jenjang SMP, namun studi ini belum
menemukan korelasi yang cukup kuat untuk konteks Dana Otonomi Khusus yang
diterima kabupaten/kota di Papua dan Aceh.
Abstract
Indonesia has implemented a decentralization policy,
not only that is generally applicable to all regions in Indonesia, but has also
adopted asymmetric decentralization, especially for certain areas such as Aceh,
Papua and West Papua. This asymmetric decentralization policy, delegates greater
authority for certain functions to the related regions, which is also supported
through the allocation of Special Autonomy transfer funds from the central
government. The transfer of the Special Autonomy Fund has been going on for a
dozen years and will end soon in 2022 (for Papua and West Papua) and 2028 (for
Aceh). Transfers of the Special Autonomy Fund, among others, are used to finance
poverty alleviation and education programs. These two things are two important
indicators in the achievement of regional development, especially in relation to the
relatively poor condition of development achievements compared to other regions
in Indonesia. The poverty rate, on average for the 2015-2018 period, in the three
regions is still above the national average, including also for education
participation, especially in Papua and West Papua. Therefore, this study aims to
determine the magnitude of the influence of the Special Autonomy Fund on the
poverty rate and the Pure Enrollment Rate for junior high school education in
Aceh, Papua and West Papua. Using panel data regression, the study covered 23
districts / cities in Aceh and 11 districts / cities in West Papua in 2013-2018.
Meanwhile, Papua was conducted in
29 districts / cities in 2015-2018. The results of this study indicate that the Special
Autonomy Fund in districts / cities in West Papua is significantly correlated with a
reduction in poverty and an increase in junior high school enrollment rates, but
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
2
Pendahuluan
Indonesia telah menerapkan kebijakan desentralisasi, tidak saja yang berlaku umum
untuk seluruh wilayah di Indonesia, tapi juga sudah mengadopsi desentralisasi asimetris,
utamanya untuk wilayah-wilayah tertentu. Kebijakan desentralisasi asimetris ini, melimpahkan
kewenangan yang lebih besar untuk fungsi tertentu kepada wilayah terkait, yang juga
didukung melalui alokasi dana transfer dari pemerintah pusat.
Tantangan transfer asimetris adalah bahwa manfaat dari dana transfer ini benar-benar
sampai ke populasi yang membutuhkan, mengingat baik Aceh, Papua, dan Papua Barat tidak
memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau kualitas layanan publik yang relatif tinggi
daripada provinsi lain di Indonesia (Agustina et al., 2012). Oleh karena itu diperlukan
pembangunan social yang merupakan sebuah proses perencanaan perubahan sosial yang
this study has not found a strong enough correlation in the context of the Special
Autonomy Funds received by districts in Papua and Aceh.
Koresponden author: Hasta Budiratna
Email: Hastabudiratna08@gmail.com
artikel dengan akses terbuka dibawah lisensi
CC BY SA
2020
3
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
dirancang untuk kesejahteraan masyarakat. Hakikat transfer asimetris melalui Otonomi Khusus
bagi Aceh, Papua Barat dan Papua adalah sejauh mana pembangunan dapat meningkatkan
kualitas hidup untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyelesaian konflik,
rehabilitasi, dan rekonstruksi pasca konflik. Kondisi ini diharapkan dapat meningkatkan
partisipasi pendidikan, meningkatan pendapatan per kapita, dan mengurangi angka kemiskinan.
Salah satu contoh kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia, yang diadopsi sejak tahun
2001 yang menandai era “big-bang decentralization”, adalah kebijakan otonomi khusus untuk
wilayah Aceh, Papua, yang dilanjutkan dengan Papua Barat. Terkait dengan pemberian
otonomi khusus di ketiga wilayah ini, adalah salah satu bentuk untuk meredakan konflik yang
terjadi di wilayah tersebut (Dardias, 2012).
Konstitusi pemerintah Republik Indonesia sebetulnya telah cukup responsif
mengakomodir tuntutan beberapa daerah khususnya terkait keadilan fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah. Undang- Undang Dasar 1945 pasal 18 B menempatkan beberapa provinsi di
Indonesia sebagai daerah khusus atau istimewa. Ayat (1) pasal terebut menyatakan bahwa
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. Atas dasar UUD 45, desentralisasi
asimetris memperoleh ruangnya di Republik Indonesia dengan menitikberatkan pada
kekhususan, keistimewaan dan keberagaman daerah yang selanjutnya diatur lebih lanjut dengan
Undang-Undang.
Menurut (Tauda, 2018), desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralisation)
merupakan pemberlakuan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah
tertentu pada suatu negara sebagai alternatif penyelesaian permasalahan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah dalam konteks ini untuk menjaga kesatuan daerah dalam kerangka
NKRI. Desentralisasi asimetris mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal dengan
mempertimbangkan kekhususan dan keistimewaannya yang tidak berlaku seragam di semua
daerah. Daerah dengan desentralisasi asimetris di Indonesia adalah Papua, Papua Barat, Aceh,
DKI Jakarta, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelima provinsi tersebut telah memiliki UU
tersendiri yang mengatur kekhususan dan keistimewaan yang dimiliki. Desentralisasi asimetris
menjadikan kelima daerah tersebut memiliki ruang gerak yang lebih terbuka dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah di luar ketentuan yang diatur pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Desentralisasi asimetris merupakan kontra konsep dari desentralisasi simetris
(symmetrical decentralisation) yang berlaku pada 29 provinsi di Indonesia. Sementara itu,
(Tauda, 2018) menyatakan bahwa desentralisasi simetris merupakan perwujudan desentralisasi
yang seragam yang mengacu pada Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah Nomor 23
Tahun 2014 – menekankan pada pelimpahan kewenangan yang menjadi urusan daerah kepada
seluruh daerah di Indonesia secara serempak. Kedua konsep baik desentralisasi simetris
maupun asimetris dijalankan secara bersamaan dalam praktek ketatanegaraan di Republik
Indonesia.
Berdasar ketentuan Undang- Undang, bahwa Dana Otonomi Khusus di Aceh, Papua,
dan Papua Barat hanya diberikan pemerintah pusat selama 20 tahun. Hal ini menjadikan
Aceh akan kehilangan Dana Otsus pada tahun 2028, sementara Papua dan Papua Barat pada
tahun 2022. Sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial akan menjadi sektor terdampak dengan
berhentinya penerimaan anggaran yang berasal dari kontribusi Dana Otonomi
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
4
Khusus. Selain berkurangnya penerimaan daerah yang berasal dari Dana Otonomi Khusus,
Papua dan Papua Barat juga akan memperoleh pengurangan persentase Dana Bagi Hasil Migas
menjadi hanya 50 % pada 2027 dari 70 % pada tahun 2002 sd 2026. Pada saat itu, tentu saja
diharapkan peran Pendapatan Asli Daerah telah mampu menggantikan proporsi dana otonomi
khusus bagi pembiayaan sektor-sektor publik khususnya pendidikan dan kesejahteraan sosial
di Papua dan Papua Barat.
Tabel 1. Realisasi Penerimaan Dana Otsus, PAD di Aceh, Papua, dan Papua
Barat Tahun 2018
PROVINSI/
INDIKATOR
DANAOTS
US(RP)
PAD(Rp)
Daper(Rp)
ACEH
5.973.040.45
9.000
2.786.413.382.000
17.329.971.518.00
0
PAPUABARAT
3.772.808.09
3.000
477.620.965.000
9.858.075.272.000
PAPUA
9.433.346.93
8.000
1.349.793.880.000
28.158.591.932.00
0
*Sumber; Statistik Keuangan Kabupaten Kota BPS, 2019 Angka merupakan agregat dari
kabupaten kota
Komposisi penerimaan daerah kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat secara
umum adalah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil
Pajak, Bagi Hasil SDA, DAU, DAK), dan Dana Otonomi Khusus (Otsus). Data Badan Pusat
Statistik (BPS) untuk kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat tahun 2018 pada tabel
di atas menunjukkan bahwa secara umum Dana Perimbangan merupakan komponen terbesar
penerimaan ketiga provinsi tersebut disusul dengan Dana Otonomi Khusus dan Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Papua merupakan daerah yang menerima transfer pusat terbesar melalui Dana
Perimbangan dan Dana Otsus. Namun demikian, komponen penerimaan yang berasal dari
internal daerah yakni PAD adalah yang terendah dibanding komponen penerimaan lainnya.
Aceh, dan Papua Barat juga hanya mampu menghasilkan PAD yang tergolong kecil
dibanding proporsi dana transfer pusat. Sementara, Dana Otsus pada akan segera berakhir pada
2022 untuk Papua dan Papua Barat dan 2028 untuk Aceh.
Studi ini membatasi lokus penelitian pada desentralisasi asimetris kabupaten/kota di
Aceh, Papua, dan Papua Barat-mengingat kesamaan latar belakang konflik separatis di ketiga
daerah tersebut. Selain itu penulis tertarik dengan ketiga daerah tersebut mengingat capaian
pembangunan khususnya sektor pendidikan (Angka Partisipasi Murni) di Papua dan Papua
Barat masih berada di bawah rata-rata nasional. Dalam pengentasan kemiskinan (Angka
Kemiskinan) di Aceh, Papua, dan Papua Barat juga masih berada di atas angka rata-rata
nasional. Hingga 18 tahun pasca diberlakukan desentralisasi asimetris, Papua masih konsisten
menjadi provinsi dengan APM dan Angka Kemiskinan terburuk di Indonesia. Terkecuali Aceh,
Papua dan Papua Barat juga masih menghadapi konflik separatisme yang menelan banyak
korban jiwa hingga saat ini. Mengingat hal ini, penulis tertarik untuk mengetahui pengaruh
Dana Otonomi Khusus terhadap Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan dasar SMP dan
Angka Kemiskinan kabupaten/kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat.
5
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Metode Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersumber
dari Badan Pusat Statistik, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian
Keuangan, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penelitian ini dilakukan terhadap
kabupaten/kota di Aceh (23 kabupaten/kota) dan dan Papua Barat (11 kabupaten/kota) pada
2013-2018. Sedangkan kabupaten/kota di Papua (29 kabupaten/kota) dilakukan pada 2015-
2018.
2. Metode Analisis
Analisis inferensial digunakan untuk melihat pengaruh pemberian Dana Otonomi
Khusus terhadap angka kemiskinan dan partisipasi pendidikan. Metode analisis inferensial
yang digunakan adalah dengan analisis data panel. Studi ini menggunakan analisis regresi
linear berganda karena peneliti hendak mengetahui besaran pengaruh beberapa variabel
independent Dana Otonomi Khusus (Otsus), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan (DP), Realisasi Belanja Fungasi Pendidikan (RBP), Realisasi Belanja Fungsi
Perlindungan Sosial (RBPS), PDRB per Kapita (PDRBK), dan populasi (Pop) terhadap
variabel dependent Angka Kemiskinan (Pov) dan Angka Partisipasi Murni (APM) jenjang
Pendidikan dasar SMP di Aceh, Papua Barat dan Papua. Hal ini bertujuan untuk membuat
prediksi nilai variabel dependent apabila nilai variabel independent yang berhubungan
dengannya sudah ditentukan. Selain itu untuk menguji signifikansi pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent. Variabel- variabel yang digunakan mengacu pada
penelitian-penelitian sebelumnya tentang Dana Otsus di Aceh dan Papua oleh (Hartati et al.,
2016), (Astuti & Astika, 2016), (Monika, 2018), dan (Rasu et al., 2019)
Fungsi persamaan umum dalam penelitian ini adalah:
APMit = βo + β1 ln(Otsus)it + β2 ln(PAD) it
+ β3 ln(DP) it + β4 ln(PDRBK) it + β5 ln(RBP) it + β6 ln(Pop) it + eit
Povit = βo + β1 ln(Otsus)it + β2 ln(PAD) it
+ β3 ln(DP) it + β4 ln(PDRBK) it + β5 ln(RBPS) it + β6 ln(Pop) it + eit
Keterangan :
APM : Angka Partisipasi Murni jenjang SMP kabupaten ke i periode ke t
Pov : Angka Kemiskinan kabupaten ke i periode ke t
Otsus : Dana Otsus kabupaten ke i periode ke t
PAD : Pendapatan Asli Daerah kabupaten ke i periode ke t
DP : Dana Perimbangan kabupaten ke i periode ke t
PDRBK: PDRB per kapita kabupaten ke i periode ke t
Pop : Jumlah Penduduk kabupaten i periode ke t
E : kesalahan karena faktor acak kabupaten ke i periode ke t
β1, β2...: koefisien regresi sekaligus koefisien elastisitas
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
6
Hasil dan Pembahasan
1. Perbandingan Angka Kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni SMP di Aceh,
Papua, dan Papua Barat
Secara umum, ketiga provinsi dengan desentralisasi asimetris tersebut masih memiliki
tingkat kemiskinan yang masih berada di bawah rata-rata nasional. Papua merupakan provinsi
dengan angka kemiskinan tertinggi dan APM terendah diantara provinsi lainnya. Namun
demikian secara tren Angka Partisipasi Murni SMP di Papua memperlihatkan peningkatan
dari tahun-tahun. Angka kemiskinan Papua juga memperlihatkan penurunan dalam 3 tahun
terakhir (2016- 2018) meskipun sangat landai (laju penurunan sangat kecil). Aceh menjadi
provinsi dengan taraf APM SMP yang telah sejajar dengan rata-rata nasional pada tahun 2015
s.d 2018.
Grafik 4.5. Perbandingan Angka Kemiskinan dan Angka Partisipasi Murni
(APM) SMP di Papua, Papua Barat, dan Aceh
*) Sumber : Pengolahan Data BPS & Kemdikbud
Tabel di bawah memperlihatkan bahwa Aceh telah memiliki APM tertinggi pada
seluruh jenjang pendidikan dibanding Papua dan Papua Barat. Bahkan APM Aceh secara
umum telah berhasil melebihi rata-rata nasional pada 2015 sd 2018. Kondisi berbeda terjadi
di Papua yang memiliki APM jauh di bawah rata-rata nasional dan berada di bawah Aceh dan
Papua Barat pada seluruh jenjang pendidikan. Jenjang pendidikan dengan angka partisipasi
sekolah tertinggi adalah pada tingkat Sekolah Dasar/ sederajat baik pada provinsi Aceh,
Papua, Papua Barat maupun secara nasional. Persentase partisipasi akan semakin menurun
seiring dengan semakin tinggi tingkat pendidikan. Gejala ini terlihat pada provinsi Aceh,
Papua, Papua Barat maupun nasional
7
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Grafik 1. Angka Partisipasi Murni Pada Berbagai Jenjang Pendidikan di
Aceh, Papua, Papua Barat, dan Indonesia
*Sumber : web APM Kemdikbud, diolah
Penurunan angka APM yang cukup curam terjadi pada tingkat SD ke SMP pada
seluruh jenjang pendidikan. Ini memperlihatkan bahwa terdapat jauh lebih sedikit penduduk
usia sekolah SMP/ sederajat yang menempuh pendidikan pada jenjang tersebut karena
berbagai alasan termasuk diantaranya tidak melanjutkan sekolah di jenjang SMP/sederajat
atau harus menempuh pendidikan jenjang SD/sederajat secara lebih lama dari yang
seharusnya. Skema Distribusi Dana Otonomi Khusus Dana Otonomi Khusus selanjutnya
menjadi salah satu sumber penerimaan dalam APBD Aceh tiap tahun. Tata cara
pengalokasian Dana ini selanjutnya diatur dalam Qanun Aceh yang ditetapkan oleh Gubernur
tiap tahun. Dana Otsus pertama diperuntukkan untuk membiayai program bersama
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dengan perincian a) minimal 50 % bagi
pembangunan infrastruktur dan b) minimal 5 % untuk pelaksanaan syariah Islam. Setelah
dikurangi dengan kedua pembiayaan tersebut, maka Dana Otonomi Khusus akan
dialokasikan sebesar 60 % bagi pemerintah provinsi dan 40 % bagi pemerintah
kabupaten/kota. Formula pembagian di tingkat pemerintah kabupaten kota adalah a) 50 %
dialokasikan dengan proporsi sama besar, dan b) 50 % sisanya menggunakan indikator
sebagai berikut ; jumlah penduduk (40 %), luas wilayah (30 %), IPM (20 %), dan Indeks
Kemahalan Konstruksi (10 %).
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
8
Gambar 2. Skema Distribusi Dana Otsus Aceh
Sumber : Qanun Aceh No.1/2018
Sementara itu, alokasi dana Otonomi Khusus bagi Papua menurut pasal 36 UU No.
21 Tahun 2001 Jo UU No. 35/ 2008 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua
Barat adalah minimum 30 % bagi sektor pendidikan dan minimum 15 % bagi sektor
kesehatan dan perbaikan gizi. Menurut Undang Undang ini, transfer Dana Otsus bagi Papua
dan Papua Barat hanya berlangsung selama 20 tahun . Hal ini berarti, Papua dan Papua Barat
tidak akan menerima lagi Dana Otsus masing-masing pada tahun 2022 mendatang.
Pembagian besaran Dana Otsus untuk kedua provinsi paling timur ini ialah 70 % bagi Papua
dan 30 % bagi Papua Barat dari total 2 % DAU nasional.
Dana Otonomi Khusus selanjutnya menjadi salah satu sumber penerimaan dalam
APBD Papua tiap tahun. Pembagian penerimaan dan pengelolaan Dana Otonomi Khusus
selanjutnya diatur dalam Peraturan Daerah Khusus yang ditetapkan Gubernur tiap tahun.
Sasaran pembiayaan Dana Otsus meliputi pendidikan (minimal 30 %), kesehatan (minimal 15
%), pengembangan ekonomi kerakyatan (minimal 25 %), infrastruktur (minimal 20 %),
lembaga keagamaan dan adat (maksimal 6 %), perencanaan & monev ( maksimal 2 %), dan
lainnya (maksimal 2 %). Dana Otsus pertama diperuntukkan untuk membiayai program
strategis bersama pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Setelah dikurangi
dengan kedua pembiayaan tersebut, maka Dana Otonomi Khusus akan dialokasikan sebesar
20 % bagi pemerintah provinsi dan 80 % bagi pemerintah kabupaten/kota. Formula pembagian
di tingkat pemerintah kabupaten kota adalah a) 50 % dialokasikan dengan
9
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
proporsi sama besar, dan b) 50 % sisanya menggunakan indikator sebagai berikut ; jumlah
penduduk (40 %), luas wilayah (30 %), IPM (20 %), dan Indeks Kemahalan Konstruksi (10
%).
Gambar 4. Skema Distribusi Dana Otsus Papua Barat
Sumber : Pergub Papua Barat No.1/2018 jo. No.56/2018
Dana otonomi khusus menurut UU No. 12 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun 2019 merupakan dana yang bersumber dari APBN untuk
membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah yang telah ditetapkan melalui Undang-
Undang sebagai daerah khusus atau istimewa. Otonomi khusus Aceh, Papua dan Papua Barat
dilatarbelakangi oleh pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam yang masih belum
didayagunakan secara optimal untuk peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat
setempat. Otonomi Khusus merupakan kebijakan khusus pemerintah pusat untuk mengurangi
kesenjangan pembangunan dengan daerah lain di wilayah NKRI. Kebijakan ini akan
memberikan kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengelola sendiri pemerintahannya dalam kerangka NKRI.
2. Analisis Hasil Estimasi Model
Tabel di bawah ini memperlihatkan bahwa penerimaan yang bersumber dari Dana
Otsus hanya mampu mempengaruhi secara signifikan atas Angka Kemiskinan dan Angka
Partsisipasi Murni jenjang SMP pada kabupaten/kota di Papua Barat pada tahun 2013-2018.
Setiap peningkatan 1% Dana Otsus akan mampu menurunkan Angka Kemiskinan sebesar
2.838 % dan meningkatkan Angka Partisipasi Murni jenjang SMP sebesar 6.329 %. Hasil ini
sesuai dengan penelitian (Monika, 2018) dan (Hartati et al., 2016).
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
10
Tabel 3. Hasil Analisis Inferensial Kabupaten/Kotadi Aceh, Papua, dan Papua Barat
VARIABEL/ LOKUS
ACEH
PAPUA
PAPUA
BARAT
ANGKA KEMISKINAN
Dana Otsus
0.149
(0.132)
0.474
(0.337)
-2.838**
(0.618)
Pendapatan Asli Daerah
-0.591**
(0.191)
0.150
(0.081)
0.137
(0.250)
Dana Perimbangan
0.826
(0.789)
0.045
(0.188)
-0.574
(0.535)
Realisasi Belanja
Perlindungan Sosial
-0.018
(0.126)
0.082
(0.160)
-0.464
(0.312)
Produk Domestik
Regional Bruto per
Kapita
-3.040**
(1.111)
-6.023**
(1.089)
0.408
(2.097)
Populasi
-6.448**
(1.812)
-2.652
(1.705)
-12.549**
(2.919)
ANGKA PARTISIPASI
MURNI
Dana Otsus
0.135
(1.021)
1.201
(3.451)
6.329**
(3.103)
Pendapatan Asli Daerah
0.630
(1.465)
0.918
(0.787)
2.097
(1.467)
Dana Perimbangan
-11.631
(6.042)
0.041
(1.836)
-5.031
(3.088)
Realisasi Belanja
Pendidikan
-0.993
(0.552)
-0.458
(1.870)
-0.231
(1.311)
Produk Domestik
Regional Bruto per
Kapita
-
36.690
**
(8.357)
7.242
(22.34
1)
-4.571
(3.293)
Populasi
-50.499**
(13.892)
121.693**
(48.517)
12.575**
(3.947)
Sumber : hasil pengolahan data
Secara umum faktor-faktor yang terkonfirmasi berpengaruh signifikan terhadap Angka
Kemiskinan dalam studi ini adalah Dana Otsus (di Papua Barat), Pendapatan Asli Daerah (di
Aceh), Produk Domestik Regional Bruto per Kapita (di Aceh, Papua), serta populasi (di Aceh,
Papua Barat). Sedangkan faktor faktor yang berpengaruh signifikan terhadap partisipasi
pendidikan jenjang SMP ialah Dana Otsus (di Papua Barat), Produk Domestik Regional Bruto
per Kapita (di Aceh), dan populasi (di Aceh, Papua, Papua Barat Sementara itu penerimaan
daerah yang berasal dari Dana Otonomi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Angka
kemiskinan kabupaten/kota di Aceh, dan Papua,. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
beberapa faktor seperti aspek regulasi, maupun penggunaan anggaran. Dari aspek regulasi
tidak ditemukan persentase alokasi yang eksplisit bagi pengentasan kemiskinan di level
Undang-Undang maupun Qanun (di Aceh), dan Undang-Undang (di Papua). Oleh karena
ketiadaan kejelasan regulasi, penggunaan Dana Otsus di Aceh untuk pengentasan kemiskinan
hanya mencapai 2-3 %. Demikian juga yang terjadi di Papua dan Papua Barat, penggunaan
Dana Otsus bagi pengentasan kemiskinan
11
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
hanya dimasukkan ke dalam sektor lainnya, sehingga tidak spesifik dan kurang transparan.
Selain itu penggunaan Dana Otsus di Papua relatif digunakan untuk program yang kurang
berkualitas dan tidak berdampak jangka panjang. Dana Otonomi Khusus juga tidak
berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pendidikan jenjang SMP di Papua dan Aceh. Hal
ini dapat dilihat melalui aspek penggunaan anggaran maupun aspek regulasi. Penggunaan
Dana Otsus sektor pendidikan di Papua tahun 2014-2018 masih di bawah 30 % dari ketentuan
seharusnya menurut UU dan Perdasus yakni minimum 30 %. Permasalahan non fiskal lainnya
terkait partisipasi pendidikan di Papua adalah tingkat kesadaran, kondisi geografis dan
pemukiman yang tersebar serta jauh dari layanan pendidikan. Sementara itu, penggunaan
Dana Otsus sektor pendidikan di Aceh masih terfokus pada pembangunan fisik pendidikan
semata. Secara regulasi pun, tidak terdapat persentase alokasi sektor pendidikan yang eksplisit
pada Undang-Undang atau Qanun Aceh yang mengatur Otonomi Khusus.
Tabel 4. Tabulasi Dana Otsus, Angka Kemiskinan dan
Angka Partisipasi Murni SMP Kabupaten/Kota di Aceh, Papua, dan Papua Barat
VARIABEL
Poverty
APM
Aceh
Papua
Papua
Barat
Aceh
Papua
Papua
Barat
Dana Otsus
Tidak
signifi
kan
Tidak
signifikan
Signifikan
Tidak
signifikan
Tidak
signifikan
Signifik
an
Aspek
Pengguna
an
Anggaran:
Pengguna
an dana
hanya 2%-
3%
(2014 –
2016)
Aspe
k
Regul
asi:
Tidak
terdapat
persentase
alokasi
secara
ekspilist di
UU
& Qanun
Asp
ek
Peng
guna
an
Ang
gara
n :
a. Penggun
aan dana
untuk
kegiatan
kecil,
berdurasi
pendek,
b. Sektor
ini dalam
realisasi
penggun
aan dana
masuk
ke dalam
sektor
lainnya
Sehingga
tidak
spesifik
Aspek
Aspek
Penggunan
Anggaran:
Penggunaan
dana otsus
sektor pendi
-
dikan masih
di bawah
30 %
(2014-2018).
Ketentuan
regulasi (UU
& Perdasus)
minimal 30
%.
Aspek
Sosial
Geografis
Permasalahan
partisipasi
pendidikan di
Papua
adalah tingkat
kesadaran,
kondisi
geografis dan
pemukiman
Aspek
Penggu
naan
Anggar
an:
Penggu
naan
danotsu
s sektor
pendi -
dikan(2
014-
2018)
sudah
sesuai
dengan
Pergub
sebesar
20 %
s.d. 30
%.
Aspek
Pengg
Pengguna
unaan
an
Angg
Anggaran
aran :
: Sektor
a. Rata-rata
ini dalam
penggunaa
realisasi
n dana
penggunaa
sektor
n dana
pendidikan
masuk ke
mencapai
dalam
20.9 %
sektor
(2012–
lainnya
2016)
sehinggati
b. Terlalu
dak
fokus pada
spesifik.
pembangu
Aspek
nan fisik,
Regulasi:
belum
Tidak
pada
terdapat
aspek
persentase
peningkat
alokasi
an
secara
partisipasi
eksplisit
pendidika
di UU
n.
maupun
Aspek
Hasta Budiratna & Riatu M. Qibthiyyah
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
12
dan kurang
transparan
Aspek
Regulasi
: Alokasi
dalam
perdasus
25%,,
namun
tidak ada
aloksi
eksplisit
di UU
Pergub
regulasi:
Tidak
terdapat
persentase
alokasi
secara
ekspilist
di UU &
Qanun
yang
tersebar serta
jauh dari
layanan
pendidikan.
*Sumber : Kajian Literatur
Kesimpulan
Angka kemiskinan di kabupaten/kota di Papua Barat tahun 2013-2018 terbukti sinifikan
turut dipengaruhi oleh penerimaan Dana Otsus. Peningkatan Dana Otsus sebesar 1% dapat
menurunkan Angka Kemiskinan sebesar 2.838 %. Sementara itu penerimaan daerah yang
berasal dari Dana Otonomi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Angka kemiskinan
kabupaten/kota di Aceh, dan Papua. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor
seperti aspek regulasi, maupun penggunaannya. Dari aspek regulasi tidak ditemukan persentase
alokasi yang eksplisit bagi pengentasan kemiskinan di level Undang- Undang maupun Qanun
(di Aceh), dan Undang-Undang (di Papua). Oleh karena ketiadaan kejelasan regulasi,
penggunaan Dana Otsus di Aceh untuk pengentasan kemiskinan hanya mencapai 2- 3 %.
Demikian juga yang terjadi di Papua, penggunaan Dana Otsus relatif digunakan untuk program
yang kurang berkualitas dan tidak berdampak jangka panjang. Selain itu penggunaan Dana
Otsus bagi pengentasan kemiskinan juga hanya dimasukkan ke dalam sektor lainnya, sehinga
tidak spesifik dan kurang transparan.
Dana Otonomi Khusus menunjukkan pengaruh yang siginifikan pada partisipasi
pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di Papua Barat. Setiap peningkatan Dana Otsus
sebesar 1 % akan turut meningkatan partisipasi pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di
Papua Barat sebesar 6.329 %. Penggunaan Dana Otsus bagi sektor pendidikan di Papua Barat
pada tahun 2014-2018 telah sesuai dengan minimum alokasi yang diatur dalam Peraturan
Gubernur sebagai aturan pelaksana yakni sebesar 20 – 30 %. Namun, Dana Otonomi Khusus
tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi pendidikan jenjang SMP kabupaten/kota di
Papua dan Aceh. Hal ini dapat dilihat melalui aspek penggunaan anggaran maupun aspek
regulasi. Penggunaan Dana Otsus sektor pendidikan di Papua tahun 2014-2018 masih di bawah
30 % dari ketentuan seharusnya menurut UU dan Perdasus yakni minimum 30 %. Sementara
itu, penggunaan Dana Otsus sektor pendidikan di Aceh masih terfokus pada pembangunan fisik
pendidikan semata. Secara regulasi pun, tidak terdapat persentase alokasi sektor pendidikan
yang eksplisit pada Undang- Undang atau Qanun Aceh yang mengatur Otonomi Khusus.
13
Jurnal Indonesia Sosial Sains, Vol. 1, No. 5 Desember 2020
Bibliografi
Agustina, C. D., Ahmad, E., Nugroho, D., & Siagian, H. (2012). Political economy of natural
resource revenue sharing in Indonesia.
Astuti, I. A. P., & Astika, I. B. P. (2016). Pengaruh Jumlah Penduduk, Dana Alokasi Umum,
Dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/Kota Di
Provinsi Bali. E-Jurnal Akuntansi, 17(3), 2416–2446.
Dardias, B. (2012). Model lmplementasi Desentralisasi Asimetris yang Menyejahterakan:
Belajar dari Pengalaman Aceh dan Papua. Yogyakarta: Belum Diterbitkan.
Hartati, C. S., Abdullah, S., & Saputra, M. (2016). Pengaruh penerimaan dana otonomi khusus
dan tambahan dana bagi hasil migas terhadap belanja modal serta dampaknya pada indeks
pembangunan manusia Kabupaten/Kota di Aceh. Jurnal Administrasi Akuntansi:
Program Pascasarjana Unsyiah, 5(2).
Monika. (2018). Dampak Dana Otonomi Khusus Terhadap Kemiskinan di Provinsi Papua
Periode 2010-2016. IPB.
Rasu, K. J. E., Kumenaung, A. G., & Koleangan, R. A. M. (2019). ANALISIS PENGARUH
DANA ALOKASI KHUSUS, PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI
UMUM DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP TINGKAT KEMISKINANDI KOTA
MANADO. JURNAL PEMBANGUNAN EKONOMI DAN KEUANGAN DAERAH, 20(2),
1–14.
Tauda, G. A. (2018). Desain Desentralisasi Asimetris Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Administrative Law & Governance Journal, 1(4), 413–435.