ArticlePDF Available

KOSAKATA ETNOMEDISIN DALAM PENGOBATAN TRADISIONAL SUNDA: KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI (ETHNOMEDICINE LEXICON IN SUNDANESE TRADITIONAL TREATMENT: AN ANTROPOLINGUISTICS STUDY)

Authors:

Abstract

Penelitian ini mendeskripsikan kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional Sunda di dilihat dari kajian antropolinguistik. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua pendekatan, yaitu pendekatan secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan antropolinguistik. Secara metodologis, pendekatan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Atas dasar itu, metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan analisis data deskriptif. Analisis dibagi menjadi klasifikasi dan deskripsi leksikon berdasarkan bahan pengobatan tradisional, klasifikasi dan deskripsi leksikon berdasarkan nama penyakit tradisional sunda, cerminan kultural kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional sunda, dan gejala kultural dari praktik etnomedisin dalam pengobatan tradisional sunda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional Sunda diklasifikasikan berdasarkan sudut pandang bentuk lingualnya menjadi dua bentuk, yaitu bentuk kata dan bentuk frasa, (2) kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional Sunda setidaknya memiliki tiga cerminan kultural, yaitu adanya harmonisasi masyarakat dengan alam, adanya harmonisasi nilai religius terhadap alam, dan cerminan ekonomis, dan (3) keberadan pengetahuan masyarakat atas bahan-bahan pengobatan tradisional termasuk warisan kultural yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi tua kepada generasi muda.Kata kunci: leksikon, etnomedisin, bahasa Sunda, antropolinguistik
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
153
KOSAKATA ETNOMEDISIN DALAM PENGOBATAN
TRADISIONAL SUNDA: KAJIAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI
(ETHNOMEDICINE LEXICON IN SUNDANESE TRADITIONAL
TREATMENT: AN ANTROPOLINGUISTICS STUDY)
Dadang Suganda
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor
Pos-el: n.darmayanti@unpad.ac.id
Wagiati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor
Pos-el: n.darmayanti@unpad.ac.id
Sugeng Riyanto
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor
Pos-el: n.darmayanti@unpad.ac.id
Nani Darmayanti
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Jalan Raya Bandung Sumedang Km 21, Jatinangor
Pos-el: n.darmayanti@unpad.ac.id
Tanggal naskah masuk: 16 Mei 2018
Tanggal revisi akhir: 27 Desember 2018
Abstract

          
        
         
       
          
        
        




          

      
traditional medicinal ingredients is considered cultural inheritance that has been

Keywords
Abstrak
Penelitian ini mendeskripsikan kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional
Sunda dilihat dari linguistik antropologi. Pendekatan yang digunakan terdiri atas
154
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
dua, yaitu pendekatan secara teoretis dan metodologis. Secara teoretis, pendekatan
yang digunakan adalah linguistik antropologi. Secara metodologis, pendekatan
yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif. Metode yang digunakan adalah metode
kombinasi 
       
cerminan kultural kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional, dan gejala
kultural dari praktik etnomedisin dalam pengobatan tradisional. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) kosakata etnomedisin dalam pengobatan tradisional

yaitu bentuk kata dan bentuk frasa; (2) kosakata etnomedisin dalam pengobatan
tradisional Sunda memiliki tiga cerminan kultural, yaitu adanya harmonisasi
masyarakat dengan alam, adanya harmonisasi nilai religius, dan cerminan ekonomis;
(3) keberadaan pengetahuan masyarakat atas bahan-bahan pengobatan tradisional,
termasuk warisan kultural yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi
tua kepada generasi muda.
Kata kunci: leksikon, etnomedisin, bahasa Sunda, linguistik antropologi
1. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara
dengan kekayaan hayati yang tinggi serta
memiliki hutan tropika terbesar kedua di dunia.
Kondisi ini telah menjadikan Indonesia sebagai
salah satu dari tujuh negara sebagai 
 Biodiversitas yang dimiliki oleh
Indonesia menyimpan potensi tumbuhan yang
berkhasiat yang dapat dimanfaatkan dan digali
lebih lanjut. Dalam kaitannya dengan optimalisasi
kekayaan hayati di Indonesia, kekayaan hayati
tersebut salah satunya dimanfaatkan sebagai
bahan pengobatan (tradisional ataupun modern).
    telah
memaparkan bahwa Indonesia merupakan salah
satu kawasan yang di dalamnya banyak dijumpai
beragam jenis tumbuhan obat dengan jumlah
tumbuhan yang telah dimanfaatkan mencapai

Sistem pengobatan tradisional menjadi
salah satu pokok perhatian kutub sosiokultural.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan
oleh Hughes (dalam Rachman dan Wardhana,
2011) bahwa praktik pengobatan tradisional atau
etnomedisin merupakan hasil dari perkembangan
kebudayaan asli dan yang eksplisit tidak
terpengaruhi teori konseptual modern. Dari sini
dapat kita pahami bahwa pengobatan tradisional
atau etnomedisin sangat erat kaitannya dengan
praktik kultural yang ada pada suatu masyarakat
etnik tertentu. Itu artinya pengobatan tradisional
merupakan hasil dari praktik kultural suatu etnik
yang berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat pendukungnya.
Masyarakat lokal memiliki pandangan
dan pemahaman yang mendalam tentang
kebermanfaatan tanaman-tanaman yang ada
di sekitar mereka. Tidak kurang dari 400 etnik
masyarakat di Indonesia yang tersebar di
    
dengan alam dan memiliki pengetahuan dan
perhatian yang serius terhadapnya, yaitu
pemanfaatan tanaman-tanaman yang berkhasiat
obat. Dari sekian banyak etnik yang begitu
menyimpan perhatian yang serius tentang
pemanfaatan tanaman obat di Indonesia adalah
etnik Sunda yang sebagian besar tersebar di
wilayah Jawa Barat. Masyarakat Sunda dalam
praktik etnomedisinnya telah memanfaatkan
lebih dari 305 jenis tumbuhan. Jumlah tersebut
lebih banyak dari jumlah tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Jawa (114
tumbuhan), masyarakat Melayu (131 tumbuhan),
dan masyarakat Bali (105 jenis tumbuhan)
(Darusman 2004)
Realitas yang menarik lainnya adalah ada

tumbuh dan berkembang di Indonesia. Oleh
karena itu, di Indonesia bahan yang diperlukan
untuk pengobatan tradisional berbasis alam
akan sangat mudah ditemui di sekitar kita. Hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh
Jennifer dan Endah (2015) bahwa Indonesia
memiliki kekayaan hayati yang luar biasa dengan
jumlah sekitar 40.000 spesies dan dari seluruh
jumlah tersebut, sekitar 1.300 di antaranya
dimanfaatkan sebagai obat tradisional.
Upaya pelestarian dan preservasi
pengetahuan tentang hal ikhwal etnomedisin
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
155
perlu dilakukan secara komprehensif dan
melibatkan banyak pihak dengan latar belakang
keilmuan yang bermacam-macam. Selain perlu
dilakukan upaya preservasi oleh para ahli yang
berkutat di bidang etnobotani, upaya ini harus
melibatkan pula para ahli budaya dan bahasa
karena pada praktiknya etnomedisin merupakan
bagian integral dari kekayaan intelektual-kultural
yang dimiliki oleh suatu masyarakat etnik
tertentu. Oleh karena itu, penelitian mengenai
eksplorasi pengetahuan lokal etnomedisin dan
tumbuhan obat di Indonesia perlu dilakukan
untuk menggali dan melestarikan kekayaan
intelektual tersebut. Hal ini akan menjadi dasar
bagi pengembangan riset berkelanjutan dalam
bidang etnomedisin dan kajian budaya serta
bahasa.
Atas dasar hal tersebut, penelitian ini
mencoba mengisi rumpang penelitian dengan
menjadikan praktik etnomedisin sebagai
objeknya. Kajian ini menitikberatkan pada
praktik etnomedisin yang berfokus pada
praktik lingualnya, yaitu kosakata etnomedisin,
kemudian dikaitkan dengan makna kultural
bagi masyarakat Sunda. Oleh sebab itu, kajian
ini berfokus pada bidang kajian linguistik
antropologi yang menempatkan bahasa dan
budaya sebagai satu kesatuan yang saling
berkesinambungan.
Penelitian ini difokuskan pada dua ruang
lingkup pengkajian utama, yaitu aspek material
dan aspek spasial. Aspek material meliputi lek-
sikon bahan pengobatan tradisional Sunda yang
memanfaatkan kekayaan hayati berupa tanaman
obat, leksikon berdasarkan nama penyakit
Sunda, serta makna kultural bagi masyarakat
Sunda. Adapun aspek spasial (kewilayahan)
dipahami sebagai suatu kajian yang difokuskan
pada ruang (wilayah) penelitian. Penelitian ini
difokuskan pada wilayah Kabupaten Bandung.
Pertimbangan pemilihan lokasi ini, selain dapat
mewakili seluruh masyarakat Sunda, di lokasi
itu juga masih dijumpai praktik pengobatan yang
meggunakan tanaman-tanaman obat tertentu
sebagai bahan untuk dijadikan obat.
Dalam kaitannya dengan aspek konseptual,
sistem etnomedisin orang Sunda dapat dipahami
sebagai bagian integral dari kebudayaan Sunda
yang diwariskan secara turun-temurun dari
generasi tua ke generasi selanjutnya secara
   
karena itu, muncul sistem kepustakaan berupa
hasil kajian yang holistik mengenai jenis dan
tumbuhan obat yang kemudian dikenal oleh
masyarakat Sunda dewasa ini. Meskipun
demikian, pengkajian tentang hal itu mesti terus
dilakukan karena masih menyimpan rumpang
kosong yang harus diisi dan dilengkapi,
khususnya dalam kerangka linguistik
antropologi. Atas dasar itulah, penelitian ini
dalakukan; salah satu tujuannya untuk mengisi
rumpang kosong kajian yang selama ini sudah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya.
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri atas dua pendekatan, yaitu
pendekatan secara teoretis dan pendekatan
secara metodologis. Secara teoretis,
pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan linguistik antropologi.
Linguistik antropologi merupakan bidang ilmu
interdisipliner antara linguistik dan antropologi;
kedua bidang tersebut memiliki hubungan yang
sangat erat.
Adapun secara metodologis, pendekatan
yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
pendekatan (metode kombinasi).
Penelitian ini merupakan suatu langkah
penelitian yang menggabungkan dua bentuk
pendekatan metodologis, yaitu metode kualitatif
dan kauntitatif. Craswell (2010) menyatakan
bahwa penelitian campuran merupakan
pendektan penelitian yang mengombinasikan
antara penelitian kualitatif dan penelitian
kuantitatif. Senada dengan pendapat Craswell
(2010), Sugiyono (2011: 404) menyatakan
bahwa metode penelitian kombinasi adalah
suatu penelitian yang mengombinasikan dan
menggabungkan antara metode kaulitatif dan
metode kuantitatif untuk digunakan secara
bersama-sama dalam satu penelitian. Dalam
penelitian ini metode kuantitatif digunakan untuk
    
berdasarkan bahan pengobatan tradisional dan
berdasarkan nama penyakit tradisional. Adapun
metode kualitatif digunakan untuk menjabarkan
bentuk-bentuk lingual yang ada pada leksikon
bahan pengobatan tradisional dan nama-nama
penyakit tradisional.
Tahapan penelitian ini dibagi ke dalam tiga
tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis
data, dan tahap penyajian hasil analisis data.
Pelaksanaan penelitian kajian ini diawali dengan
156
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
penyediaan data yang dilakukan dengan metode
si mak (Sudaryanto, 1990:131--143) dengan teknik
dasar berupa teknik sadap. Beberapa teknik yang
digunakan dalam metode ini meliputi teknik sadap
dan catat. Data-data yang dijelaskan pada tulisan
ini berupa kata yang mengandung leksikon bahan
pengobatan tradisional dan leksikon nama-nama
penyakit tradisional di dalam bahasa Sunda. Teknik
analisis dilakukan melalui beberapa tahapan,
      
   
berdasarkan bentuk lingual, (3) mendeskripsikan
data berdasarkan fungsi leksikon, (4)
menyimpulkan.
Agar penelitian ini memenuhi kaidah
ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah pula, dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut.
1. Untuk mengawali proses penelitian,
dilakukan studi kepustakaan (library
 Hal ini dilakukan untuk
memperoleh pemahaman yang holistik
dan komprehensif mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan substansi penelitian.
Hasil studi kepustakaan berguna sebagai
bahan penyusunan kerangka konseptual,
material, dan spasial, selain menjadi bahan
rujukan untuk mempermudah analisis data.
2. Observasi, yakni dilakukan pengamatan
langsung. Jorgensen (2001) menyatakan
bahwa metode pengamatan langsung atau
berperan serta dapat dipahami sebagai
fondasi awal penelitian dan metode,
menjaring data dalam situasi riil dari
pribumi di lapangan.
3. Wawacara dengan berbagai pihak, seperti
narasumber, yakni praktisi pengobatan
tradisional, warga masyarakat--yang
dipilih berdasarkan random sampling--
yang menggunakan tanaman obat untuk
penyembuhan penyakitnya. Wawancara
dilakukan dengan menyajikan serangkaian
pertanyaan yang bersifat struktural,
sistematis, dan terbuka yang memungkinan
tergalinya informasi mengenai domain
unsur-unsur dasar dalam pengetahuan
kultural para narasumber.
Sehungan dengan hal tersebut, peneliti
selalu mengamati setiap praktik etnomedisin
yang mengandung unsur lingual yang
ada pada masyarakat Sunda di Kabupaten
Bandung. Pengamatan tersebut secara khusus
dilakukan dengan menggunakan teknik
sadap dan dilanjutkan dengan teknik turunan,
yaitu berupa teknik simak bebas libat cakap,
teknik rekam, dan teknik catat (Sudaryanto,
1993). Metode dan teknik tersebut digunakan
secara berkesinambungan, tersistematis, dan
komprehensif agar terjaring data yang bervariatif.
Selain itu, digunakan juga teknik wawancara
terstruktur untuk menjaring data sekunder
berupa pengakuan-pengakuan masyarakat tutur.
Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber
data primer adalah data di lapangan melalui
 . Selanjutnya, untuk
melengkapi data primer digunakan pula data
sekunder, yaitu sumber kepustakaan.
Sumber data primer dalam penelitian ini
diambil dari informan. Informan dalam penelitian
ini adalah orang yang memiliki pengetahuan
dan keahlian dalam penyembuhan penyakit
dengan menggunakan tanaman obat dalam
ramuannya. Informan ditentukan dengan metode
  berdasarkan informan dari
penghubung (tokoh masyarakat, kepala suku,
kepala desa, tokoh informal, dinas kesehatan,
dan lain-lain). Pengumpulan data juga dilakukan
dengan wawancara melalui dua pendekatan,
yaitu emik dan etik. Emik dimaksudkan
untuk mengumpulkan seluruh informasi dari
masyarakat, sedangkan etik dimaksudkan
untuk melakukan analisis berdasarkan disiplin
keilmuan, baik antropologi maupun linguistik.
Data yang telah diperoleh sebanyak
     
     
nama-nama penyakit tradisional dalam bahasa
Sunda yang terdapat di Kabupaten Bandung.
Data yang sudah dianalisis disajikan secara
deskriptif, yaitu perumusan dan pengungkapan
hasil analisis dengan menggunakan kata-kata
atau kalimat-kalimat. Penganalisisan data
dilakukan dengan beberapa prosedur berikut:
(1) reduksi data yakni berupa
  
leksikon bahan pengobatan tradisional Sunda
dan kata-kata yang mengandung leksikon nama-
nama penyakit tradisional Sunda; (2) penyajian
data dengan matriks; (3) penarikan simpulan
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
157

triangulasi data maupun dengan triangulasi
metode dan teknik penjaringan data.
2. Kerangka Teori
Konsep sakit secara umum dapat dipahami
sebagai suatu kondisi yang di dalamnya
terdapat ketidakseimbangan, baik terhadap
diri sendiri maupun terhadap lingkungannya
   
pula bahwa apabila seseorang tidak menjaga
keseimbangan, baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap lingkungannya, dapat
dikatakan bahwa organisme tubuh sedang
tidak berfungsi sebagaimana mestinya; orang
tersebut dapat dikatakan sebagai orang yang
sakit. Jika dikaitkan dengan pemahaman dan
pandangan tradisional yang ada di tengah-
tengah masyarakat, pada umumnya, masyarakat
memahami bahwa ketidakseimbangan yang ada
itu dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu

dipahami sebagai faktor yang dipengaruhi oleh
gejala-gejala alam, seperti angin, cuaca (panas
dan dingin), suhu, kelembapan, dan hujan.

faktor yang dipengaruhi oleh makhluk-makhluk
gaib yang sifatnya mistis, seperti roh halus,
jin, dewa, dan benda-benda yang dipandang
memiliki kekuatan mistis yang dimiliki oleh
seseorang yang mampu mengendalikan dan
menguasainya.
Dua relitas medis di atas menghendaki
adanya penanganan yang berbeda dari satu
jenis dengan jenis lainnya. Sistem pengobatan
untuk dua realitas yang berbeda tersebut, sama-
sama diperlukan oleh masyarakat kita, baik
yang berada di daerah perkotaan maupun yang
berada di daerah pedesaan, sekalipun corak dan
karakteristiknya berbeda satu dengan lainnya.
Sebagai contoh, masyarakat yang tinggal di
pedesaan, jika mereka terserang suatu penyakit,
yang pertama kali dilakukan adalah mencari
sesuatu yang biasanya berupa tumbuhan
yang ada di sekitar tempat tinggalnya untuk
dimanfaatkan sebagai ramuan pengobatan
tradisional; meminta bantuan para pengobat
tradisional; setelah itu baru mendatangi rumah
sakit (rumah praktik dokter) apabila penyakitnya
tidak kunjung membaik. Pola seperti ini hampir
selalu dilakukan oleh masyarakat yang ada di
pedesaan, yang berbeda dengan pola medis yang
ada di masyarakat perkotaan. Realitas ini pula
yang terjadi pada masyarakat Sunda yang ada
di daerah pedesaan yang masih menjaga dan
melestarikan nilai-nilai kultural yang mereka
terima dari generasi sebelumnya.
Dari fenomena kultural tersebut dapat
dipahami bahwa sistem pengobatan tradisional
atau etnomedisin hingga saat ini masih tetap eksis
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
pendukungnya. Dalam realitasnya, praktik-
praktik modern juga semakin berkembang
pesat dengan banyaknya pusat-pusat kesehatan
resmi dari pemerintah ataupun swasta. Dalam
kaitannya dengan hal demikian, tampaknya
gerakan back to nature (kembali ke alam)
yang semakin digencarkan oleh negara-negara
maju telah berdampak positif terhadap tumbuh
suburnya praktik-praktik pengobatan tradisional.
Sistem etnomedisin memiliki posisi yang
khusus dalam masyarakat Sunda, yakni sebagai
local wisdom yang diwariskan secara turun-
temurun dari leluhurnya. Selain itu, sistem
pengobatan tradisional juga, secara fungsional,
masih diperlukan oleh masyarakat, terutama
dalam menjaga dan memelihara kesehatan,
serta menjaga stamina dan kebugaran tubuh.
Hal ini merupakan salah satu upaya yang dapat
dilakukan dalam melestarikan budaya daerah.
Pasalnya, budaya daerah merupakan akar dari
budaya nasional (Sobarna et al
Kekayaan hayati yang ada di tengah-tengah
masyarakat Sunda saat ini belum dimanfaatkan
secara optimal karena beberapa permasalahan
berikut.
1. Masyarakat Sunda adalah satu di antara
suku bangsa yang sejak lama telah
memiliki pengetahuan tentang pengobatan
tradisional, tetapi hal tersebut masih belum
banyak diteliti.
2. Penguasaan akan pengetahuan tentang
pengobatan tradisional masih terbatas
hanya pada kalangan orang tua, dengan
regenerasi hanya melalui tuturan kata atau
perbuatan. Sementara itu, naskah-naskah
lama yang berisi ilmu pengetahuan tentang
tanaman obat dan cara pemanfaatannya
ditulis dengan menggunakan bahasa lama,
sedangkan orang yang mampu membaca
dan menerjemahkan kandungan isinya
masih sangat terbatas.
158
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
3. Masih banyak masyarakat yang memiliki
daya beli yang rendah sehingga keberadaan
obat tradisional yang bersumber dari
kekayaan hayati dirasakan akan menjadi
alternatif pilihan dalam dunia medis.
Modernisasi dapat menyebabkan hilangnya
pengetahuan masyarakat tentang budaya lokal
  yang merupakan khazanah
kultural masyarakat pendukungnya (Bodeker,
2004). Ancaman lainnya yang menghinggapi
masyarakat Indonesia adalah banyaknya kasus
perusakan habitat-habitat tanaman obat; di
samping minimnya upaya pelestarian kekayaan
intelektual berupa pengetahuan tentang tanaman
obat di sisi lainnya. Proses preservasi dan
regenerasi pengetahuan tradisional tentang
tanaman obat masih terbilang minim sehingga
kondisi ini semakin memperparah degradasi
pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat
tentang tanaman obat yang ada di sekitar mereka.
3. Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini mendeskripsikan dan

pengobatan tradisional Sunda di Kabupaten
Bandung berdasarkan bentuk-bentuk lingual dan
makna kultural yang terkandung di dalamnya
serta mendeskripsikan cerminan gejala kultural
yang ada pada leksikon-leksikon tersebut. Untuk
kepentingan penelitian ini, dipilih Kabupaten
Bandung sebagai wilayah pengamatan. Lokasi
itu dipandang mewakili unsur budaya Sunda
di Jawa Barat secara keseluruhan. Selain itu, di
lokasi itu masih dijumpai pengobatan tradisional
yang menggunakan ramuan tumbuhan, mudah
dijangkau, baik dari sisi jarak maupun biaya.
Dengan demikian, diharapkan hasil penelitian
ini sesuai dengan topik yang ditetapkan.

Berdasarkan Bahan Pengobatan
Tradisional

tanaman obat-obatan berdasarkan bahan
pengobatan tradisional dalam bahasa Sunda
di Kabupaten Bandung yang didapat dari
hasil pencarian observasi dan kajian pustaka.
Leksikon-leksikon tersebut adalah sebagai
berikut: (1) ambit (anyang-anyang)(2) andawali
(brotowali), (3) alpuket (alpukat), (4) babandotan
(bandotan (5) bangkuwang (bengkuang
 baluntas (beluntas (7) bawang bodas
 bawang beureum (bawang
    (baru cina), (10)
bidani (ceguk, (11) bilimbing (belimbing), (12)
bungur (bungur), (13) candana (cendana), (14)
cecendet (cipukan), (15) cencen (daun duduk)
cengkeh (cengkih), (17) cikurdalima
(delima), (19) (daruju), (20) dendereman
(tanaman ginjean), (21) eurih (alang-alang),
(22) gadung (gadung), (23) (daun genje),
(24) gondola (binahong), (25) hades 
handarusa (gandarusa), (27) handeuleum (daun
(andong), (29) harendong
(tanaman senggani), (30) hareuga (ajeran), (31)
inggu (inggu), (32)  (jahe), (33) 
(jamblang), (34)   (jambu biji), (35)
(daun
sangketan), (37) 
, (39) kacang hiris (tanaman gude), (40)
kaliki (tanaman jarak), (41) kawung (enau),
(42) kembang sarengenge (bunga matahari),
(43) kembang ros (bunga mawar), (44) 
(dandang gending(daun encok)
ki hitut (daun kentut), (47) ki madu (daun
ki urat (daun sendok), (49) koneng
(kunyit), (50) kuray, (51) oyong (blustru), (52)
panglai (bangle), (53) paku rane (cakar ayam),
(54) sembung (daun sembung), (55) senggang
pucuk   seureuh (daun sirih),
(57) supa sinduk singgugu (bunga
pagoda), (59) tahulu   
tataropongan    walot (buah
  wuni   cangkudu
(mengkudu), dan widara (bidara).
    
berdasarkan sudut pandang bentuk lingualnya
menjadi dua bentuk, yaitu bentuk kata dan bentuk
frasa. Leksikon yang masuk ke dalam bentuk kata

bentuk tunggal, bentuk ulang, bentuk turunan,
    
didasarkan pada pendapat Sudaryat et al. (2007)
bahwa kata terdiri atas kecap salancar ‘bentuk
tunggal’   ‘bentuk ulang’, kecap
rundayan ‘bentuk turunan’, dan kecap kantetan
‘bentuk majemuk’. Dari keseluruhan data yang
      
       
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
159

bentuk frasa adalah bawang bodas dan bawang

 
bahan pengobatan tradisional Sunda, terdapat
   

      
    
leksikon yang termasuk bentuk tunggal
adalah    
    
     

    

    
     dan
 leksikon yang termasuk bentuk ulang
adalah   dan 
leksikon yang termasuk bentuk turunan adalah
dendereman dan  leksikon yang
termasuk bentuk majemuk adalah beungkar
      
    

dan 
Leksikon bentuk tunggal 
dapat dipahami sebagai leksikon yang tersusun
dari satu morfem bebas. Dari keseluruhan
leksikon bahan pengobatan tradisional Sunda
yang ada di Kabupaten Bandung, terdapat 42
leksikon yang termasuk kategori bentuk tunggal.
Jika dilihat dari jumlah suku katanya, leksikon
pengobatan tradisional Sunda umumnya terdiri
atas hal berikut:
1. Leksikon dwisuku sebanyak 22 leksikon
    
     
    
    
 dan wuni.
Berdasarkan pola suku katanya, leksikon
berbentuk dwisuku terdiri atas delapan
pola, yaitu VK-KVK, seperti  KV-
KVK, seperti 
    
dan walot; KVK-KVK, seperti 
  ; V-KVK, seperti
eurih dan oyong; KVK-KV, seperti ;
VK-KV, seperti  KV-KV, seperti
 dan wuni; dan KVK-KKVK, seperti
.
     
   
   
   
   
dan 
Berdasarkan pola suku katanya, leksikon
berbentuk trisuku terdiri atas enam pola,
yaitu V-KV-KVK, seperti  KV-
KVK-KVK, seperti  
dan harendong; KVK-KV-KVK, seperti
bangkuwang dan handeuleum; KV-KV-KV,
seperti    
  dan widara; KVK-KV-
KV, seperti   
cangkudu; dan KVK-KV-VK, seperti
.
3. Leksikon catursuku sebanyak 2 leksikon
 andawali yang berpola VK-
KV-KV-KV dan handarusa yang berpola
KVK-KV-KV-KV.
160
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
Leksikon bentuk ulang dapat dipahami
sebagai bentuk kata yang mengalami proses
pengulangan (redupliasi), sebagian atau
seutuhnya, baik disertai perubahan fonem dan
pengimbuhan maupun tidak. Dari keseluruhan
leksikon bahan pengobatan tradisional Sunda
yang ada di Kabupaten Bandung, terdapat 3
leksikon yang termasuk kategori bentuk ulang,
yaitu dan Bentuk
ulangnya dapat berupa
a) pengulangan dwipurwa (Rdp) dengan pola

babandotan dan 
b) pengulangan dwimurni (Rdm) dengan pola


Leksikon bentuk turunan dapat dipahami
     
tertentu. Leksikon bahan pengobatan tradisional
Sunda di Kabupaten Bandung yang berbentuk
kata turunan (imbuhan) hanya ditemukan dua
leksikon dan itu pun sudah mengalami proses
pengulangan sebelumnya, yaitu dendereman
dan  Bentuk ini sebelumnya
mengalami proses reduplikasi dwipurwa terlebih
.
Leksikon bentuk majemuk dapat dipahami
sebagai bentuk kata yang merupakan hasil
proses kombinasi dengan cara menggabungkan
dua kata atau lebih yang memiliki fokus.
Dari keseluruhan leksikon bahan pengobatan
tradisional Sunda yang ada di Kabupaten
Bandung, terdapat 15 leksikon yang termasuk
kategori bentuk majemuk. Leksikon-leksikon
tersebut adalah    

      
    
dan 
 
Berdasarkan Nama Penyakit
Tradisional Sunda
Secara keseluruhan, berdasarkan analisis
deskriptif yang telah dilakukan, ditemukan

tradisional dalam bahasa Sunda di Kabupaten
Bandung yang didapat dari hasil pencarian
observasi dan kajian pustaka. Leksikon-
leksikon tersebut adalah sebagai berikut: (1)

       
      
      
      
     
  
      
     
  
  

     
     
     
      
     
     
     

dan
 
nama-nama penyakit tradisional Sunda, terdapat
40 leksikon yang merupakan bentuk tunggal
    
      

leksikon yang termasuk bentuk tunggal adalah
ateul,     
     
     
    
    
    
   
dan  leksikon yang termasuk bentuk
turunan yaitu 
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
161
   
  
   
   
   dan
dan leksikon yang termasuk bentuk
majemuk adalah 
dan 
Dari keseluruhan leksikon nama-nama
pengobatan tradisional Sunda yang ada di
Kabupaten Bandung, terdapat 40 leksikon yang
termasuk kategori bentuk tunggal. Jika dilihat
dari jumlah suku katanya, leksikon makanan
tradisional Sunda umumnya terdiri atas hal-hal
berikut.
1. Leksikon dwisuku sebanyak 31 leksikon
     
     
    
    
    
     dan

Berdasarkan pola suku katanya, leksikon
berbentuk dwisuku terdiri atas tujuh pola,
yaitu V-KVK, seperti ateul; KV-VK, seperti
baal dan rieut; KV-KVK, seperti bisul; KV-
KVK, seperti 
     

 dan wasir; KV-KV, seperti 
; KVK-KVK, seperti 
   ; KVK-
KKVK, seperti mencret.
2. Leksikon trisuku sebanyak 7 leksikon

dan 
Berdasarkan pola suku katanya, leksikon
berbentuk trisuku terdiri atas empat pola,
yaitu KV-KV-KV, seperti bareubeu; KV-
KV-KVK, seperti   dan
saleser; KV-KV-VK, seperti muriang; dan
KV-KVK-KV, seperti salatri dan salesma.
3. Leksikon catursuku sebanyak 2 leksikon
andawali yang berpola VK-KV-
KV-KV dan handarusa yang berpola KVK-
KV-KV-KV.
Leksikon nama-nama penyakit
tradisional Sunda di Kabupaten Bandung
yang berbentuk kata turunan (imbuhan)
terdapat 22 leksikon, yaitu 

  
  

  
  
dan  Beberapa dari bentuk ini
sebelumnya mengalami proses reduplikasi
dwipurwa terlebih dahulu yang kemudian
.
Leksikon bentuk majemuk dapat
dipahami sebagai bentuk kata yang
merupakan hasil proses kombinasi dengan
cara menggabungkan dua kata atau lebih
yang memiliki fokus. Dari keseluruhan
leksikon nama-nama penyakit tradisional
Sunda yang ada di Kabupaten Bandung,
terdapat 3 leksikon yang termasuk kategori
bentuk majemuk. Leksikon-leksikon
tersebut adalah   
dan 
3.3 Cerminan Kultural Kosakata
Etnomedisin dalam Pengobatan
Tradisional Sunda
Studi tentang etnomedisin pada dasarnya
berkenaan dengan upaya memahami budaya
kesehatan suatu masyarakat dari sudut pandang
162
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
masyarakat pendukungnya, terutama dari sistem
pengobatan tradisional yang telah membudaya
menjadi suatu tradisi masyarakat secara turun-
temurun. Dalam sudut pandang etnomedisin,
penyakit dapat disebabkan oleh dua faktor
utama, yaitu penyakit yang dipengaruhi
oleh agen seperti dewa, makhluk halus,
lelembut, dan manusia. Pandangan pertama
ini dapat disebut dengan istilah 
 penyakit juga dapat diakibatkan oleh
terganggunya keseimbangan tubuh, seperti
panas dan dingin. Kondisi ini, dalam konteks
etnomedisin, disebut kajian natural atau
nonsupranatural.
Dalam konteks linguistik antropologi,
bahasa dapat dijadikan sebagai instrumen
untuk menemukan pemahaman budaya
  karena bahasa dapat
dipandang sebagai sumber daya kultural dan
praktik lingualnya dianggap sebagai praktik
kultural. Pandangan ini dapat disandarkan pada
pendapat Duranti (2002) yang menyatakan
bahwa linguistik antropologi sebagai kajian
yang menempatkan bahasa sebagai sumber daya
budaya dan tuturan sebagai praktik budaya (study
of language as a cultural resource and speaking
as cultural practice). Itu artinya, cerminan
budaya suatu masyarakat dapat tersimpan dari
praktik bahasanya. Budaya sebagai pengetahuan
bersama dapat berfungsi sebagai instrumen
untuk menjelaskan makna tuturan sebagai
praktik kultural tersebut.
Boas (dalam Duranti, 2002) menyatakan
bahwa bahasa merupakan manifestasi terpenting
dari kehidupan mental penuturnya. Itu artinya
adalah praktik lingual yang ada pada suatu
masyarakat akan menampilkan realitas kultural
yang mereka miliki. Atas dasar itulah, setiap
realitas lingual akan menyimpan cerminan
kultural dari mental penuturnya. Secara
keseluruhan, kosakata etnomedisin dalam
pengobatan tradisional Sunda setidaknya
memiliki tiga cerminan kultural, yaitu adanya
harmonisasi masyarakat dengan alam, adanya
harmonisasi nilai religius terhadap alam, dan
cerminan ekonomis.
 cerminan harmonisasi
masyarakat dengan alam maksudnya adalah
bahwa masyarakat Sunda sangat menjaga
optimalisasi kekayaan alam di sekitar mereka
dengan memanfaatkannya sebagai bahan
pengobatan tradisional. Padahal realitas kultural
telah memperlihatkan adanya perubahan yang
masif menuju era modern dengan berbagai
kompleksitasnya yang ada pada hampir seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Meskipun
demikian, masyarakat Sunda masih tetap
menjaga kekayaan kulturalnya yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi
sebelumnya mengenai pengetahuan tentang
sistem pengobatan tradisional. Kondisi ini terus
berlangsung sampai masa sekarang. Cerminan
ini diperlihatkan oleh leksikon etnomedisin,
khususnya berkenaan dengan bahan pengobatan
tradisional yang berasal dari bagian tumbuhan
dan tanaman obat. Optimalisasi tanaman dan
tumbuhan obat tersebut mendorong masyarakat
Sunda menjaga interaksinya dengan alam sekitar
serta akan lebih peduli terhadap pelestarian
kekayaan alam dengan segala kompleksitasnya
tersebut. Cerminan kultural itu dapat dipahami
sebagai sebuah kondisi yang menampilkan
adanya kerja sama simbiosis mutualisme yang
terjalin antara manusia dengan alam dalam
praktik pengobatan tradisionalnya. Dari relasi
ini terlihat jelas bahwa manusia memerlukan
alam sebagai sumber bahan pengobatan
tradisionalnya dengan tanpa upaya merusak
dan membiarkan alam sekitarnya mengalami
kerusakan. Simbiosisi mutualisme yang terjalin
menghendaki adanya upaya yang serius dari
masyarakat untuk menjaga dan melestarikan
kekayaan alam tersebut.
harmonisasi nilai religius terhadap
alam maksudnya adalah berkenaan dengan
keberadaan alam--termasuk di dalamnya
   
hasil penciptaan Tuhan. Seperti cerminan
kultural pertama, cerminan kultural kedua juga
berkenaan dengan bahan pengobatan tradisional
Sunda yang merupakan leksikon-leksikon yang
berasal dari penamaan dan jenis yang berasal dari
alam, seperti ambit (anyang-anyang), andawali
(brotowali), apuket (alpukat), babandotan
(bandotan), bangkuwang (bengkuang), baluntas
(beluntas), bawang bodas (bawang putih),
bawang beureum (bawang merah), beungkar
ucing (baru cina), bidani (ceguk), bilimbing
(belimbing), bungur (bungur), candana
(cendana), cecendet (cipukan), cencen (daun
duduk), cengkeh (cengkih),  
(delima), (daruju), dendereman (tanaman
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
163
ginjean), eurih (alang-alang), gadung (gadung),
 (daun genje), gondola (binahong),
dan hades (adas). Penamaan leksikon bahan
pengobatan tradisional Sunda yang diambil
dari tumbuhan dan tanaman obat yang ada
di sekitar mereka, menjadi bukti adanya
penghargaan masyarakat terhadap nikmat
     
Maha Esa berupa kekayaan alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan bagi
mereka. Timbal balik dari relasi ini dapat berupa
adanya pemanfaatan, penjagaan, pelestarian, dan
optimalisasi tanaman-tanaman tersebut dengan
bijak. Hal ini menjadi bukti adanya rasa syukur
manusia kepada Tuhannya. Dari cerminan
ini dapat dipahami bahwa masyarakat Sunda,
khususnya di Kabupaten Bandung, merupakan
masyarakat yang religius.
 cerminan ekonomis maksudnya
adalah bahwa dalam praktik etnomedisin dengan
memanfaatkan kekayaan alam berupa tumbuhan
dan tanaman obat terdapat upaya pemenuhan
dan penghematan kebutuhan sehari-hari (bersifat
ekonomis).
3.4 Gejala Kultural dari Praktik
Etnomedisin dalam Pengobatan
Tradisional Sunda
Dalam kaitannya dengan sistem
pengetahuan pengobatan tradisional bagi
masyarakat Sunda, keberadaan pengetahuan
masyarakat atas bahan-bahan pengobatan
tradisional termasuk warisan kultural yang telah
diwariskan secara turun-temurun dari generasi
tua kepada generasi muda. Proses pelestarian
tersebut telah berjalan sangat lama, bahkan
setiap orang sejak saat anak-anak telah diajarkan
oleh orang tua mereka tentang pemanfaatan
tanaman-tanaman tertentu di sekitarnya untuk
dijadikan sebagai obat alternatif. Tanaman-
tanaman tersebut mudah untuk didapatkan,
bahkan tersebar di lingkungan sekitar tempat
tinggalnya, seperti di hutan, ladang, pekarangan,
halaman, atau di sepanjang jalan menuju hutan
dan ladang. Jenis-jenis tanaman yang dijadikan
bahan pengobatan tersebut banyak digunakan
dalam pengobatan jenis penyakit yang sering
diderita oleh masyarakat Sunda, seperti panas
atau demam, batuk, sakit perut atau diare,
sakit gigi, pusing, pegal linu, encok atau nyeri
otot, luka atau borok, dan lemas atau kurang
bertenaga.
Tanaman dan tumbuhan yang dimanfaatkan
untuk dijadikan obat tradisional tersebut mudah
diperoleh, bisa didapatkan di antara semak
belukar di sekitar kampung, ladang, atau hutan,
dan masih jarang menyengaja menanamnya
di pekarangan rumah. Karena masih sedikit
masyarakat yang menyengaja menanamnya di
    
    
apabila mereka memerlukan tanaman itu
untuk diramu dijadikan obat, biasaya mereka
akan mencari di semak-semak belukar sekitar
kampung, ladang, atau hutan. Hal itu akan
menjadi masalah apabila tanaman tersebut
diperlukan mendadak dan pasien membutuhkan
penanganan dengan segera. Padahal, jarak antara
perkampungan dengan ladang atau hutan relatif
jauh.
Oleh karena permasalahan tersebut,
masyarakat Sunda akhirnya menyadari akan
pentingnya menanam berbagai tumbuhan dan
tanaman obat di sekitar rumah mereka. Salah
satu langkah yang dapat diusulkan menjadi
jalan keluar untuk menghadapi permasalahan
ini adalah dengan membuat kebun apotek
hidup. Konsep kebun ini sepertinya sudah
mulai diberlakukan di beberapa daerah,
khususnya oleh masyarakat yang menyadari
pentingnya menanam tumbuhan obat, terlebih
seiring adanya upaya global untuk menjaga
dan melindungi lingkungan, serta gerakan
“kembali ke alam” atau Kebun
apotek hidup dapat dipahami sebagai sebuah
lahan kosong yang ada di sekitar pekarangan
rumah, di dalamnya ditanami berbagai macam
tumbuhan dan tanaman yang mengandung
khasiat obat untuk dijadikan ramuan berbagai
macam penyakit. Keuntungan adanya kebun
apotek hidup ini adalah akan memudahkannya
masyarakat untuk mengakses dan mendapatkan
berbagai macam tumbuhan dan tanaman obat
tradisional jika sewaktu-waktu diperlukan
mendadak. Manfaat lainnya dari kebun apotek
hidup ini adalah adanya upaya preservasi atau
regenerasi serta pelestarian pengetahuan kultural
mengenai kearifan lokal mengenai pengobatan
tradisional berbasis tanaman. Dengan seperti itu,
pengetahuan generasi muda tentang berbagai
164
Metalingua, Vol. 16 No. 2, Desember 2018:153–165
tanaman dan tumbuhan yang berkhasiat obat
akan semakin mudah dijaga dan dilestarikan.
4. Penutup
4.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal berikut.
1) Seluruh kosakata etnomedisi dalam
pengobatan tradisional Sunda

bentuk lingualnya menjadi dua bentuk,
yaitu bentuk kata dan bentuk frasa.
Leksikon yang masuk ke dalam bentuk kata,

yaitu bentuk tunggal, bentuk ulang, bentuk
turunan, dan bentuk majemuk. Berdasarkan
     
pengobatan tradisional Sunda, terdapat
    
     
     

2) Berdasarkan bentuk kata, dari keseluruhan
leksikon nama-nama penyakit tradisional
Sunda, terdapat 40 leksikon yang
    
leksikon yang merupakan bentuk turunan
     

3) Kosakata etnomedisin dalam pengobatan
tradisional Sunda setidaknya memiliki
tiga cerminan kultural, yaitu adanya
harmonisasi masyarakat dengan alam,
adanya harmonisasi nilai religius terhadap
alam, dan cerminan ekonomis.
4) Dalam kaitannya dengan sistem
pengetahuan pengobatan tradisional bagi
masyarakat Sunda, keberadan pengetahuan
masyarakat atas bahan-bahan pengobatan
tradisional termasuk warisan kultural yang
telah diwariskan secara turun-temurun dari
generasi tua kepada generasi muda. Proses
pelestarian tersebut telah berjalan sangat
lama, bahkan setiap orang sejak saat anak-
anak telah diajarkan oleh orang tua mereka
tentang pemanfaatan tanaman-tanaman
tertentu di sekitarnya untuk dijadikan
sebagai obat alternatif.
4.2 Saran
Dari hasil yang diperoleh dalam penelitian
ini dapat dikemukakan bahwa masih banyak
aspek yang dapat dikaji terhadap kosakata
etnomedisin dalam pengobatan tradisional
Sunda. Ada beberapa hal yang dapat disarankan
berkenaan dengan penelitian ini.
1) Perlu dilakukan penelitian serupa dengan
jangakaun lokasi yang lebih luas, tidak
hanya di Kabupaten Bandung, agar dapat
terlihat pola-pola lingual tertentu yang
lebih ajek berkenaan dengan kosakata
etnomedisin.
2) Penelitian ini mengalami cukup banyak
kendala, khususnya dalam permerolehan
data, sehingga perlu juga dilakukan
penelitian serupa yang melibatkan subjek
penelitian dalam jumlah yang lebih banyak
sehingga diharapkan akan diperoleh hasil
yang dapat berlaku secara luas.
3) Penelitian-penelitian serupa dengan subjek
yang lebih banyak perlu dilakukan dengan
memerlukan waktu yang lumayan lama.
Diharapkan dengan ketersediaan waktu
yang cukup memadai dapat dihasilkan
output dan outcome penelitian yang
komprehensif dan tidak terkesan terburu-
buru.
Daftar Pustaka
          

Bodeker, Gerard dan Merlin L. Wilcox. 2004. “Traditional Herbal Medicines for Malaria”. Dalam

Darusman, L.K., Sajuti, D., Komar, & Pamungka. 2004. “Ekstraksi Komponen Bioaktif sebagai Obat
dari Kerang-Kerangan, Bunga Karang, dan Gangang Laut di Perairan Pulau Pari Kepulauan
Seribu”. 
DaDang suganDa et al.: kosakata etnomeDisin DaLam ...
165

 . Jakarta:
Lembaga Penelitian Universitas Erlangga.
Djojosuroto, K. dan M.L.A. Sumaryati. 2004. 
Sastra
Duranti, Alessandro. 2002. Cambridge: Cambridge University Press.
Jakarta: UI Press.
Jennifer, Herika dan Endah Saptutyningsih. 2015. “Preferensi Individu terhadap Pengobatan
Tradisional di Indonesia”. Dalam       

Jorgensen dalam Deddy Mulyana. 2001.      
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Rachman, Watief A. dan Rakhmat Aditya Wardhana. 2011. “Perilaku Etnik Mandar terhadap
Pengobatan Tradisional di Kabupaten Polewali Mandar (Studi Perilaku dengan Pendekatan
Vol.

. Jakarta:
PT Eisai Indonesia.
Sobarna, Cece et al   
Dalam Jurnal Panggung 
Sudaryanto. 1990.         
Mada University Press.
Sudaryanto. 1993.         

et al. 2007. 
... Keanekaragaman hayati berupa pelbagai macam tumbuhan merupakan kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan, baik tradisional maupun modern. Di kawasan Indonesia dijumpai beragam jenis tumbuhan obat dengan jumlah tumbuhan yang telah dimanfaatkan mencapai 2.518 jenis (Satrapradja, 1995;Suganda, 2018). ...
... Praktik pengobatan tradisional atau etnomedisin merupakan hasil dari perkembangan budaya asli dan yang eksplisit tidak terpengaruhi teori konseptual modern. Etnomedisin sangat erat kaitanya dengan praktik budaya yang ada pada suatu masyarakat etnik tertentu (Rachman dan Wardhana;Suganda;. ...
... Praktik pengobatan tradisional atau etnomedisin merupakan hasil dari perkembangan budaya asli dan yang eksplisit tidak terpengaruhi teori konseptual modern. Etnomedisin sangat erat kaitanya dengan praktik budaya yang ada pada suatu masyarakat etnik tertentu (Rachman dan Wardhana, 2001;Suganda;. Studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emik) kemudian dibuktikan secara ilmiah (emik). ...
... Praktik pengobatan tradisional atau etnomedisin merupakan hasil dari perkembangan budaya asli dan yang eksplisit tidak terpengaruhi teori konseptual modern. Etnomedisin sangat erat kaitanya dengan praktik budaya yang ada pada suatu masyarakat etnik tertentu (Rachman dan Wardhana, 2001;Suganda;2018). Studi etnomedisin dilakukan untuk memahami budaya kesehatan dari sudut pandang masyarakat (emik) kemudian dibuktikan secara ilmiah (emik). ...
... (2018). Dalam penelitian Suganda (2018), praktik etnomedisin ditemukan mengandung tiga cerminan kultural, yaitu harmonisasi masyarakat dengan alam, adanya harmonisasi nilai religius terhadap alam, dan cerminan nilai ekonomis. Sementara itu, dalam penelitian ini, diperoleh temuan bahwa leksikon etnomedisin yang ditemukan mencerminkan nilai ekonomi, sosial, dan budaya. ...
Article
Full-text available
AbstrakFokus penelitian ini adalah leksikon etnomedisin dalam praktik pengobatan tradisional di lingkungan masyarakat Sunda yang berada di wilayah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Penelitian ini dilatabelakangi oleh kondisi empirik masih berlangsungnya pemertahanan tradisi pengobatan tradisional berbahan tumbuhan dan hewan meskipun kehidupan sudah modern. Terjadinya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi dan perluasan permukiman menyebabkan semakin berkurang dan punahnya beberapa jenis tumbuhan dan hewan yang dimanfaatkan sebagai obat sehingga leksikon etnomedisin turut terpengaruhi. Secara khusus penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan dan mengklasifikasikan leksikon nama tumbuhan, hewan, proses pembuatan atau pemanfaatan, alat yang dipakai, nama penyakit; dan faktor-faktor yang memengaruhi pemertahanan praktik etnomedisin. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini dilakukan dengan pendekatan teori antropolinguistik. Penelitian ini didesain dengan metode kualitatif. Data dikumpulkan melalui metode observasi dan metode cakap dengan teknik pancing dan teknik cakap semuka dengan informan yang diklasifikasikan menjadi dua kategori, yakni (1) ahli, pelaku, atau praktisi pengobatan tradisional dan (2) warga masyarakat sebagai pasien atau yang menjalani pengobatan tradisional. Berdasarkan prosedur penelitian tersebut, terungkap bahwa dalam praktik etnomedisin di kedua wilayah ini terdapat leksikon nama tumbuhan sebanyak 57 buah dan leksikon nama hewan sebanyak 19 buah; leksikon nama proses pembuatan, pengolahan, atau pemanfaatan tumbuhan dan hewan untuk obat sebanyak 31 buah; leksikon nama alat yang dipakai dalam proses pembuatan, pengolahan, atau pemanfaatan tumbuhan dan hewan untuk dijadikan obat sebanyak 22 buah; (4) leksikon nama penyakit sebanyak 48 buah; dan (5) keberlangsungan praktik etnomedisin ditunjang oleh faktor ekonomi, sosial, dan budaya. Kata kunci: leksikon, etnomedisin, masyarakat SundaAbstractThe focus of this research is the ethnomedicine lexicon in the practice of traditional medicine in the Sundanese community in the Pandeglang and Lebak districts. This research is based on the empirical condition of the ongoing preservation of traditional medicine made from plants and animals even though life is modern. The occurrence of environmental damage due to exploitation and expansion of settlements has caused the decline and extinction of several types of plants and animals that are used as medicine so that the ethnomedicine lexicon is also affected. Specifically, this research was conducted to explain and classify the lexicon of names of plants, animals, processes of manufacture or utilization, tools used, names of diseases; and factors that affect the maintenance of ethnomedicine practice. To achieve this goal, this research was conducted with an anthropolinguistics theory approach. This research was designed with a qualitative method. Data were collected through observation methods and proficient methods with fishing techniques and face-to-face techniques towards informants which were classified into two categories, namely (1) experts, actors, or practitioners of traditional medicine and (2) community members as patients or those undergoing traditional medicine. Based on the research procedure, it was revealed that in ethnomedicine practice in these two regions there were 57 plant name lexicons and 19 animal name lexicons; the lexicon of names of processes for the manufacture, processing or utilization of plants and animals for medicine, totaling 31 pieces; the lexicon of names of tools used in the process of making, processing, or utilizing plants and animals for medicine, totaling 22 pieces; (4) there were 48 lexicons of disease names; and (5) the sustainability of ethnomedicine is supported by economic, social and cultural factors. Key words: lexicon, ethnomedicine, Sundanese people
... This cultural knowledge of local peoples can be lost due to the influence of modernization stated by Bodekker (Suganda et al., 2019). Natural disasters occur due to forests being cut down and river water being clogged. ...
Article
Full-text available
The future generation must have insight and practice local cultural knowledge in the era of globalization. The study aims to illustrate the representation of folklore as builders of the early cultural conservation spirit. The research data is an anthology of South Kalimantan folklore by H. Fahrurazie et al. UPT published by Taman Budaya Kalimantan Selatan in collaboration with Pustaka Banua publisher in 2013. The research method is qualitative descriptive—documentation and observation research techniques. The research steps are observation, determination of data sources, data collection, data selection, data analysis, conclusions, and presentation of data. The results showed that the representation of folklore has the practice of local wisdom, including a) knowledge of natural phenomena; b) practice in finding a source of life in the form of farming, gardening, and fishing; c) the practice of using living technologies and equipment; and d) practice of moral values in the literary arts. The conclusion is the source of insight and knowledge of wisdom, one of which is through folklore. Stakeholders, such as families, schools, and governments, play a role in providing oral and written literacy materials so that children get to know the culture early on.
... Selain itu, berdasarkan data tersebut, masyarakat Madura juga menunjukkan bahwa mereka memiliki leksikon khusus untuk merujuk pada Tuhan, seperti Pengeran, Ghuste, dan Se Kobesa. Penggunaan leksikon secara spesifik sangat erat dengan studi linguistik dalam konteks antropologi untuk memahami masyarakat tuturnya seperti halnya leksikon Samin sebagai cermin pandangan hidup masyarakat Samin (Suhandano, 2015); metafora dalam bidang pertanian pada masyarakat Dayak Buket (Bagea, 2010); dan kosa kata etnomedisin dalam pengobatan tradisional oleh masyarakat Sunda (Suganda, Wagiati, Riyanto, & Darmayanti, 2018). Bahkan, Febrindasari (2018) (Syamsuddin, 2018;Nasrullah, 2019;Hidayatullah, 2020;dan Faridi, 2021 (Hasan, 2002). ...
Article
Full-text available
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menelaah karakteristik masyarakat Madura melalui ekspresi-ekspresi kebahasaan seputar pandemi covid19. Data kebahasaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan ungkapan-ungkapan yang diunggah pada beberapa akun instagram Madura, diantaranya akun @madura.receh, @maduraholic, @maduraenjoy, dan akun @madura_konyol. Melalui pendekatan linguistik antropologi, penelitian ini menggunakan data kualitatif yang kemudian dianalisis untuk memperoleh gambaran fakta kebudayaan masyarakat Madura melalui ekspresi kebahasaan yang diproduksi pada awal masa pandemi covid19. Berdasarkan hasil analisis data, ekspresi kebahasaan yang diproduksi selama awal pandemi tersebut memperlihatkan karakter masyarakat Madura sebagai masyarakat yang memiliki tradisi lisan yang sangat kuat, karakter religiusitas yang sangat kuat, dan memiliki karakter sebagai seorang perantau. Masyarakat Madura sangat dekat dengan tradisi lisan pantun yang dilagukan atau lebih dikenal dengan istilah paparèghân. Selain itu, pilihan leksikon yang sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai religi seperti sekobesah, pengeran, Sang Esa, iman, tawakkal, and tauhid mencerminkan keteguhan dan ketaatannya sebagai seorang muslim. Karakter sebagai perantau diindikasikan melalui ekspresi kebahasaan seperti himbauan dan percapakan singkat yang mendorong agar masyarakat Madura yang merantau untuk menunda kepulangan mereka ke kampung halaman karena pandemi virus corona. Kata Kunci: Masyarakat Madura; covid19; ekspresi kebahasaan; linguistik antropologi ABSTRACT This research aims to examine the characteristics of the Madurese society through linguistic expressions regarding the emergence of the Covid19 pandemic. This research employs linguistic expressions posted in several Madurese instagram accounts such as @madura.receh, @maduraholic, @maduraenjoy, and @madura_konyol as data sources. Applying an anthropological linguistic approach, this research look carefully at the qualitative data to portray the cultural facts of the Madurese society in anthropological context through linguistic expressions at the beginning of Covid19 pandemic. Based on the findings, the linguistic expressions produced during the beginning of the pandemic demonstrate that the characters of the Madurese society can be drawn as a society that have very strong oral tradition, vicious religiosity, and they were characterized as a settled foreigner as well. The oral tradition can be found in the chanted poems commonly known as the paparèghân. Furthermore, lexical choice highly related to religious values such as sekobesah, pengeran, Sang Esa, faith, tawakkal, and tauhid illustrates their obedience and viscosity as a Moeslem. The character as a settled foreigner is indicated by linguistic expressions produced such as suggestions and short conversations between families in Madura and the settled foreigners to postpone their return due to the coronavirus pandemic.
... The overall concept of disease can be defined as a condition where there is an imbalance between the individual and the environment. Therefore, it can also be seen that if a person does not maintain balance both towards himself and his environment, it can be said that the body's organisms are not functioning properly and the individual will get sick (Suganda at al., 2018). Dysfunctional bodily organisms must be normalized again by means of treatment, both in the traditional and modern sense. ...
Article
Full-text available
The article explores the Ngala Ulam tradition, a unique cultural practice deeply rooted in socio-religious contexts. The study focuses on the Kampung Genteng, specifically in the Pasirhuni Hamlet, Laksana Village, Ibun District, Bandung Regency. This socio-religious perspective aims to unravel the intricate layers of meaning embedded in the Ngala Ulam tradition. The research employs qualitative methods, including in-depth interviews, participant observation, and document analysis. By delving into the socio-religious aspects, the study unveils the significance of Ngala Ulam beyond its surface practices. It investigates how the tradition interweaves with local beliefs, community bonds, and spiritual elements. The tradition of treating toothaches with the Ngala Ulam method is a result of acculturation between the local community's beliefs and Islam. This is because before Islam entered Kampung Genteng Dusun Pasirhuni, the community had adhered to a hereditary belief in the methods of treating diseases. The presence of Islam did not clash with the local culture; instead, a fusion occurred, with Islam influencing it. This acculturation can be observed in the medium used in the Ngala Ulam practice, namely the use of cangkarud mulud beads produced from the muludan tradition. Additionally, acculturation is evident in the Ngala Ulam practice, incorporating Islamic chants and prayers. The Ngala Ulam tradition illustrates that community knowledge is a social product. The knowledge and beliefs in the Ngala Ulam ritual are products of the Kampung Genteng community. Although modern medical equipment and systems are known to the community, the people's beliefs in traditional, non-rational treatments remain strong. The continued high trust in the Ngala Ulam treatment is reinforced by factors such as the distance and cost associated with accessing modern healthcare facilities like Puskesmas.
... Among the studies related to ethnobotany is the research of [2], [3] [4] and [5]; research on medicinal plants in Central Kalimantan was conducted by [6], [7] and [8], [9]. Several studies on treatment from a linguistic perspective were carried out by [10], [11] , [12], [13], [14], [15], [16], and [17]. ...
Conference Paper
Full-text available
Language has an important role in the practice of traditional medicine. This is related to public trust and confidence. Belief in this type of treatment is a local belief embedded in a society’s culture. As local beliefs, both (shamans and shamanic practices) cannot be judged from the point of view of scientific rationality because they have their reason and logic which is called rationality behind irrationality. This article describes terms in the Ngaju Dayak language related to plants used for medicinal purposes by the ethnic community. Data were collected through participant and non-participant observations and interviews and analysis of ritual spells uttered by traditional healers. Three important elements in the relationship between ethnic culture and ethnobotanical language in Dayak Ngaju were identified, namely (1) the names of medicinal plants and their components and functions as medicine; (2) terms used for plants based on their ecology: color, place of growth, shape, and/or gender; (3) socio-cultural values expressed in local wisdom and their implications for the utilization and preservation of plant life in the area. Keywords: ecolinguistics, ecolexical, medicinal plants, Ngaju Dayak language
Article
Bahasa Banjar memiliki beragam kata dengan makna yang mereferensikan kehidupan alam sekitar, seperti botani (tumbuhan) dan zoology (hewan). Kata-kata ini membentuk istilah dan gabungan kata yang bermakna asosiasi dalam masyarakat Banjar. Masalah penelitian yang kan dibahas yaitu bagaimana bentuk dan makna asosiasi bertema botani berdasarkan pendekatan antropolinguistik pada masyarakat Banjar? dan bagaimana bentuk dan makna asosiasi bertema zoologi berdasarkan antropolinguistik pada masyarakat Banjar? Tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan bentuk dan makna asosiasi bertema botani pada masyarakat Banjar dan bentuk dan makna asosiasi bertema zoologi berdasarkan pendekatan antropolinguistik pada masyarakat Banjar. Teori yang digunakan yaitu semantik dengan pendekatan antropolinguistik.Teori ini dipilih karena objek penelitian berhubungan dengan makna kata dalam bahasa daerah yang maknanya berhubungan langsung dengan konsep budaya setempat. Metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini mengambil data yang berwujud kata-kata biasa bukan angka-angka. Data yang dianalisis sesuai dengan yang didapatkan di lapangan atau apa adanya. Teknik penelitian yaitu melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. Waktu pengambilan data yaitu Juni – Desember 2021. Langkah penelitian meliputi pengambilan data, pemilahan data, penyuntingan, analisis, dan penyajian data serta simpulan. Adapun teknik kajian data yaitu secara induktif. Hasil penelitian yaitu bentuk dan makna asosiasi bertema botani dan zoologi berdasarkan pendekatan antropolinguistik pada masyarakat Banjar antara lain frasa pisang sasikat ‘pisang sesisir’, tampuk manggis ‘tampuk manggis’, dan susun sirih ‘susun sirih’. Masing-masing frasa ini memiliki makna asosiasi yang berhubungan dengan budaya keseharian masyarakat Banjar, yaitu 1) nama bagian rumah adat dan bentuk atap bangunan. 2) filosofi kejujuran dan bekerja keras, 3) bentuk dinding dan kondisi keluarga. Adapun bentuk dan makna asosiasi semantik berdasarkan pendekatan antropolinguistik dengan tema botani dan zoologi pada masyarakat Banjar yaitu frasa tanduk menjangan ‘tanduk rusa’, naga balimbur ‘naga mandi’, cacing kapanasan ‘cacing kepanasan’. Masing-masing frasa ini memiliki makna asosiasi 1) bentuk benda dan nama tanaman, 2) makna perasaan senang atau bahagia, 3) sikap seseorang. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebuah kata memiliki makna yang berhubungan dengan konsep budaya masyarakat penutur bahasa.
Article
Full-text available
Traditional medicines have been used to treat malaria for thousands of years and are the source of the two main groups (artemisinin and quinine derivatives) of modern antimalarial drugs. With the problems of increasing levels of drug resistance and difficulties in poor areas of being able to afford and access effective antimalarial drugs, traditional medicines could be an important and sustainable source of treatment. The Research Initiative on Traditional Antimalarial Methods (RITAM) was founded in 1999 with the aim of furthering research on traditional medicines for malaria.1 The initiative now has in excess of 200 members from over 30 countries. It has conducted systematic literature reviews and prepared guidelines aiming to standardise and improve the quality of ethnobotanical, pharmacological, and clinical studies on herbal antimalarials and on plant based methods of insect repellence and vector control. We review some of this work and outline what can be learnt from the developing countries on the management and control of malaria. We carried out searches of relevant articles published up to 2004 through Medline, Embase, CAB, Sociofile, and the central clinical trials database of the Cochrane Library, using the terms “traditional medicine” and “malaria”, “malaria-therapy”, “knowledge,-attitudes,-practice”, “self-medication”, and “drug-utilisation”. We also searched the references of identified articles and handsearched journals on ethnobotany, herbal medicines, and tropical medicine, such as the Journal of Ethnopharmacology, Fitoterapia, Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, Tropical Medicine , and International Health . Authors were contacted for unpublished papers. #### Summary points Over 1200 plant species from 160 families are used to treat malaria and fever On average, a fifth of patients use traditional herbal remedies for malaria in endemic countries Larger, more rigorous randomised controlled trials are needed with long term follow up So far only a few studies have reported on side effects from …
Article
A BSTRACT The continuous changes of society have brought some impacts to the name of a place. Even though it is only a name, it actually deals with the cultural perspective of the surrounding communities. Currently, toponym becomes important for society as a part of identity formation processes including for the Sundanese. Beside spoken in West Java and Banten, Sundanese language is also spoken by Central Java communities who live in western areas such as Cilacap, Brebes, and Banyumas regencies. In Cilacap and Brebes regencies, Sundanese language is still an effective language for daily communication. However, in Banyumas regency, this language undergo changes. In fact, the Sundanese language in Banyumas is a quite unique since the archaic words such as pineuh (sleeping) and teoh (below) are still found. This area still keeps its oral tradition such as the story about the history of the place names. By employing dialectology theory to the data collected from the field, this study of the place name is an effort to strengthen an identity as the place name can be understood as a symbol rooted on the history of the place in its local culture. This tradition contributes toward a sustainability of the place name along with their cultural values. Key words: place names, local wisdom, identity ABSTRAK Perubahan masyarakat yang terus-menerus berpengaruh pada perubahan penamaaan tempat di suatu daerah.Tidak hanya sekadar nama, dalam penamaan sebuah tempat terkandung pandangan masyarakat pemiliknya. Saat ini, toponimi menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia sebagai bagian dari proses pembentukan identitas. Selain di wilayah Jawa Barat dan Banten, bahasa Sunda digunakan pula oleh sebagian masyarakat Jawa Tengah yang berada di bagian barat, seperti Kabupaten Cilacap, Brebes, dan Banyumas. Di wilayah Kabupaten Cilacap dan Brebes bahasa Sunda sampai sekarang masih digunakan. Namun, di wilayah Kabupaten Banyumas, bahasa Sunda mengalami penyusutan. Padahal, bahasa Sunda di wilayah tersebut cukup menarik, yakni masih ditemukan kata-kata arkais, seperti pineuh ‘tidur’ dan teoh ‘bawah’. Wilayah ini juga masih menyimpan banyak tradisi lisan, di antaranya adalah ihwal cerita terjadinya nama tempat. Dengan menggunakan teori dialektologi terhadap data yaang dikumpulkan di lapangan, pengkajian nama tempat ini merupakan sebuah upaya yang strategis dalam rangka penguatan jati diri bangsa karena nama tempat dapat dipahami sebagai tanda yang mengacu pada cerita dan sejarah yang berakar pada budaya lokal. Tradisi ini berkontribusi terhadap kelanggengan nama berikut nilai-nilai budaya di dalamnya. Kata kunci: nama tempat, kearifan lokal, jati diri
Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia
  • S Arimi
Arimi, S. 1998. "Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia". Tesis Program Pascasajana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Ekstraksi Komponen Bioaktif sebagai Obat dari Kerang-Kerangan
  • L K Darusman
  • D Sajuti
  • Komar
  • Pamungka
Darusman, L.K., Sajuti, D., Komar, & Pamungka. 2004. "Ekstraksi Komponen Bioaktif sebagai Obat dari Kerang-Kerangan, Bunga Karang, dan Gangang Laut di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu". Buletin Kimia, 2: 41--60.
Peranan Pengobatan Tradisional pada Upaya Pelaksaaan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional dalam Pertemuan Ilmiah Pengobatan Tradisional Indonesia
  • Djelantik
Djelantik. 1983. Peranan Pengobatan Tradisional pada Upaya Pelaksaaan Kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional dalam Pertemuan Ilmiah Pengobatan Tradisional Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian Universitas Erlangga.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Penelitian Bahasa dan Sastra
  • K M L A Djojosuroto
  • Sumaryati
Djojosuroto, K. dan M.L.A. Sumaryati. 2004. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa.
Preferensi Individu terhadap Pengobatan Tradisional di Indonesia
  • Herika Jennifer
  • Dan Endah
  • Saptutyningsih
Jennifer, Herika dan Endah Saptutyningsih. 2015. "Preferensi Individu terhadap Pengobatan Tradisional di Indonesia". Dalam Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan Volume 16, Nomor 1, April 2015, hlm. 26--41.
Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya
  • Deddy Jorgensen Dalam
  • Mulyana
Jorgensen dalam Deddy Mulyana. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Perilaku Etnik Mandar terhadap
  • Watief A Rachman
  • Aditya Dan Rakhmat
  • Wardhana
Rachman, Watief A. dan Rakhmat Aditya Wardhana. 2011. "Perilaku Etnik Mandar terhadap Pengobatan Tradisional di Kabupaten Polewali Mandar (Studi Perilaku dengan Pendekatan Etnograi di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewalimandar)". Dalam Jurnal MKMI, Vol. 6 No. 2, April 2011, halaman 93--104.