ArticlePDF Available

DISTRIBUSI KARANG DAN IKAN KARANG DI KAWASAN REEF BALL TELUK BUYAT KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

Authors:

Abstract

Penempatan reef ball di perairan Teluk Buyat dan sekitarnya telah dilakukan pada tahun 1999 oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Tujuan penempatan reef ball untuk membangun habitat berbagai biota yang berasosiasi dengan karang sehingga dapat meningkatkan populasi ikan ekonomis penting. Kehadiran ikan karang pada reef ball sangat penting secara ekologis dan ekonomis. Penurunan kualitas terumbu berarti hilangnya nilai ekonomi barang dan jasa, serta hilangnya jaminan makanan dan pekerjaan untuk masyarakat pesisir, yang umumnya hidup dalam kemiskinan. Secara keseluruan, komposisi spesies ikan yang ditemukan di reef ball terdiri dari 19 famili, 34 genus, 50 spesies dan 290 individu, yang tertinggi dihuni oleh jenis dari famili Mullidae. Seiring dengan bertambahnya waktu dan usia reef ball, beberapa spesies terlihat sudah menetap seperti Lutjanus kasmira, dan beberapa spesies dari famili Acanthuridae. Keberadaan reef ball membantu terbentuknya ekosistem terumbu karang yang baru dan meningkatkan kesuburan perairan, sehingga lebih meningkatkan keberadaan komposisi ikan karang, yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan nelayan dari hasil tangkapan ikan karang.Kata kunci: Reef ball, karang batu, ikan karang Distribution of Coral Reefs and Fish in Buyat Bay Area Reef Ball Southeast Minahasa Regency The placement of reef ball in Buyat Bay and surrounding areas have been carried out since 1999 by PT. Newmont Minahasa Raya. The goal of this placement was to build a habitat for many biota associated with reef thus may improve economically important fish populations. The presence of reef fish on the reef ball is indispensable ecologically and economically. Furthermore, the degradation of reefs might cause the disappearance of economic value of goods and services, as well as the disappearance of food security and employment for coastal communities, who generally live in poverty. Overall, the composition of fish species found in the reef ball consists of 19 families, 34 genera, 50 species and 290 individuals, the highest inhabited by species of the family Mullidae. As time went by and the increase of reef ball age, some species seem have settled down such as Lutjanus kasmira, and several species of the Acanthuridae family. In addition, the presence of reef ball helps the formation of a new coral reef ecosystem and increase the fertility of waters, therefore enhancing the presence of reef fish composition, which might increases the income of fishermen. Keywords: Reef ball, coral reef, reef fish
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1, April 2012
28
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT
DISTRIBUSI KARA"G DA" IKA" KARA"G DI KAWASA"
REEF BALL TELUK BUYAT KABUPATE" MI"AHASA
TE"GGARA
(Distribution of Coral Reefs and Fish in Buyat Bay Area Reef Ball Southeast Minahasa
Regency)
Indri Manembu
1
, Luky Adrianto
2
, Dietriech G. Bengen
2
, Ferdinan Yulianda
2
1
Mahasiswa Program Doktor SPs Institut Pertanian Bogor, Bogor.
1
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor
The placement of reef ball in Buyat Bay and surrounding areas have been carried out since
1999 b y P T. Newmont Minahasa Raya. The goal o f this placemen t was to build a habitat for ma ny biota
associated with reef thus may improve econo mically impor tant fish populations. The presence of ree f
fish on the reef ball is ecologicall y and economicall y indispen sable. Furthermore, the degr adation of
reefs might cause the d isappearance of economic valu e of goods and services, as well as the dis-
app earance of food secur ity and employment for coastal communities, who generally live in poverty.
Overall, percen t cover of live coral was fou nd at a depth of 3m is 56.70% and at 10 m is 30.4%. The
composition o f fish species found consists of 19 families, 34 genera, 50 species and 290 individuals most
dominant were species of the family Mullidae. As time went by and the in cre ase of ree f ball age, some
species seem have settled permanenly s uch as Lutjanus kasmira and several species o f the Acan thu ridae
family. In addition, the presence of reef ball helps the formation of a new coral reef ecosystem and
increase the fertility of wa ters, therefore enhan cin g the presence of reef fish commun ity, which might
increases the income of fishermen.
Keywords: reef ball, coral reef, reef fish.
Penempatan reef ball di perairan Teluk Buyat dan seki tarnya tel ah dilakukan pada tahun 1999
oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Tuju an penempatan reef ball untu k membangun habi tat berbagai
biota yang berasosiasi dengan karang sehingga dap at meningkatkan populasi ikan ekonomis penting.
Kehadiran i kan karang pada reef ba ll sangat penting secara ekologis dan ekonomis. Pen urunan kual ita s
terumbu berarti hilangnya nilai ekonomi barang dan jasa, serta hilangnya jaminan makanan dan pe-
kerjaan untuk masyarakat pesisir, yang umumnya hidup dalam kemiskinan. Secara keseluruan, pre-
sentasi tu tup an karang hidup yang ditemukan pada kedalaman 3 m adalah 56,70% sedan gkan pada
ked alaman 10 m adalah 30,40%. Komposisi spesies ikan yang ditemukan terdiri dar i 19 famili, 34
genus, 50 spesies d an 290 individu, yang tertinggi dihuni ol eh jenis dari famili Mullidae. Seirin g d engan
bertambahn ya waktu dan usia reef ba ll, beberapa spesie s t erlihat sudah menet ap seperti Lutjanus kasmira
dan beberapa spesies d ari famili Acanth uridae. Keberadaan reef ball membantu terbentuknya ekosist em
terumbu karan g yang baru dan meningkat kan kesubu ran perairan, sehingga lebih menin gkatkan keber-
adaan komunitas ikan karang, yang pada akhirnya meningkatkan pendap atan nel ayan dari hasil tangkap-
an ikan karan g.
Kata kunci : R eef ball, karang batu, ikan karang.
PE"DAHULUA"
Terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem pesisir yang paling produktif dan me-
miliki biodiversitas tinggi karena keragaman-
nya. Peningkatan intensitas pemanfaatan eko-
sistem terumbu karang mengakibatkan tekanan
terhadap ekosistem semakin berat. Isu utama
saat ini sebagai salah satu penyebab degradasi
terumbu karang adalah pemutihan karang di
Timur Karibia disebabkan oleh kenaikan suhu
yang berhubungan dengan kegiatan antropoge-
nik (Donner et al. 2007), serta kejadian pemu-
tihan karang, penyakit dan kematian karang di
US Virgin Islands (Manzello et al. 2007; Miller
et al. 2006). Degradasi ekosistem terumbu ka-
rang akibat pemanasan global terus terjadi dari
waktu ke waktu, sehingga rehabilitasi terumbu
karang merupakan suatu kebutuhan yang men-
desak. Penelitian di sekitar Teluk Buyat oleh
Rembet et al. (2011b) mendapatkan bahwa
status keberhasilan pengelolaan berkelanjutan
di kawasan terumbu karang P. Hogow dan P.
Putus-Putus perlu memperhatikan persentase
penutupan karang (dimensi ekologi); waktu
yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1, April 2012
29
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT
karang dan ketergantungan kepada sumberdaya
sebagai sumber nafkah (dimensi ekonomi);
tingkat pendidikan dan upaya perbaikan keru-
sakan ekosistem terumbu karang (dimensi
sosial); tradisi/budaya dan koperasi (dimensi
kelembagaan); serta teknologi perahu dan pasca
panen (dimensi teknologi).
Reef ball merupakan salah satu bahan
alternatif yang dapat digunakan untuk rehabi-
litasi terumbu karang (Bachtiar dan Prayogo,
2008). Menurut Maher (2004), rehabilitasi te-
rumbu karang merupakan upaya untuk mengem-
balikan komunitas karang batu tanpa melihat
jenis karang yang akan tumbuh di habitat ter-
sebut karena mengandalkan rekruitmen dari
larva karang secara alami.
Salah satu fungsi ekologis terumbu bu-
atan adalah menciptakan habitat baru. Terumbu
buatan dapat meningkatkan kelimpahan ikan
karena ketersediaan shelter (tempat berlin-
dung), di mana sumber bahan makanan yang
ada di terumbu kurang penting bagi ikan yang
menempatinya (Miller dan Falace, 2000).
Fungsi lainnya adalah meningkatkan biomassa
ikan. Terumbu buatan dapat meningkatkan
populasi ikan diduga melalui dua mekamisme:
a) Jika shelter membatasi populasi ikan maka
tambahan shelter yang diberikan oleh terumbu
buatan akan dapat mengumpulkan sumberdaya
ikan lebih banyak dari daerah pantai; b) Jika
makanan membatasi populasi ikan, maka
produksi primer baru dan produksi sekunder
organisme benthik didukung oleh terumbu
buatan akan menyokong rantai makanan baru
yang pada akhirnya akan meningkatkan bio-
massa ikan (Bohnsack et al. 1991). Fungsi
lainnya lagi adalah memperbaiki kualitas per-
airan. Organisme laut yang filter-feeder atau
suspention-feeding mempunyai potensi yang
baik untuk memperbaiki kualitas perairan di
daerah eutrofikasi tinggi dan konsentrasi par-
tikel terlarut yang padat (Seaman dan Jensen
2000). Penelitian ini bertujuan menganalisis
hubungan karakteristik biofisik perairan dengan
peranan ekologis reef ball, serta mengetahui ke-
efektifannya dalam pembentukan ekologis
terumbu karang alami.
METODE PE"ELITIA"
Lokasi penelitian dilakukan di Teluk
Buyat yang terletak di pantai selatan Sulawesi
Utara. Lokasi ini secara administratif berada di
Kecamatan Ratatotok, Kabupaten Minahasa
Tenggara. Pengambilan data dilakukan pada
bulan Maret 2012.
Variabel data yang diamati ialah para-
meter kualitas perairan dan monitoring kondisi
terumbu karang. Pengambilan data potensi eko-
sistemnya dilakukan dengan teknik LIT atau
Line Intercept Transect (UNEP 1993) dengan
panjang transek 50 m. Pengambilan data ikan
karang menggunakan metode Sensus Visual
(Dartnall dan Jones 1986).
Analisa Kualitas Air
Pengukuran sampel kualitas air dilaku-
kan untuk mengetahui karakteristik biofisik per-
airan yang meliputi kondisi fisika, kimia dan
biologi perairan. Pengukuran dan analisis para-
meter kimia dan biologi dilakukan di laboratori-
um dan beberapa parameter secara in situ.
Analisa Potensi Terumbu Karang
Analisis keanekaragaman jenis (genus)
karang batu dan ikan karang dilakukan dengan
menggunakan formulasi Shannon-Wiener:
H
'
=- n
i
NLog n
i
N
dimana: H’ = Indeks keanekaragaman
N = Total jumlah individu
n
i
= jumlah individu jenis ke-i
Selain itu dilakukan juga perhitungan
nilai kerapatan, kerapatan relatif, dominasi, do-
minasi relatif, frekuensi relatif dan nilai
penting.
Analisis persentase total tutupan karang
dilakukan dengan menggunakan formulasi
Gomez dan Yap (1978):
Pc %=Tpt
pt ×100
dimana: Pc = Percent cover (%)
Tpt = Total panjang transek yang ditutupi
oleh karang (meter)
pt = panjang transek (50 meter)
HASIL DA" PEMBAHASA"
Kondisi Fisik Kimia Lokasi Penelitian
Suhu rata-rata perairan Teluk Buyat
pada bagian permukaan relatif stabil, berkisar
antara 30,5–31°C. Salinitas perairan bervariasi
menurut musim. Tomascik et al. (1997) me-
nyatakan bahwa salinitas permukaan berkisar
antara 31,5–34,5‰. Salinitas permukaan yang
terukur berkisar antara 32–33‰. Nilai salinitas
yang cukup tinggi ini bisa disebabkan oleh
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1, April 2012
30
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT
pengaruh salinitas dari massa air Laut Maluku
yang masuk.
Kecepatan arus terukur relatif rendah.
Hal ini lebih disebabkan lokasi pengukuran
terletak di atas rataan terumbu karang (reef flat)
yang kedalaman airnya hanya berkisar 1–3 me-
ter. Nilai pH yang diperoleh berkisar antara 7–
8 merupakan nilai yang umum ditemukan pada
perairan pantai khususnya di daerah terumbu
karang. Seluruh nilai yang diperoleh, masuk
pada kisaran nilai yang baik.
Kandungan nitrat (5,05–5,43), nitrit
(0,014–0,027), dan fosfat (0,03–0,19) masuk
pada kisaran nilai yang baik untuk kegiatan
budidaya. Wilayah Teluk Buyat memiliki pan-
tai berpasir dan ke arah luar teluk, merupakan
rataan terumbu karang. Kondisi pantainya
cocok untuk dikembangkan sebagai kawasan
wisata pantai.
Distribusi Karang Batu
Persentase tutupan karang hidup yang
diperoleh pada kedalaman 3 m adalah 56,70%.
Berdasarkan kriteria Yap dan Gomes (1984),
terumbu karang pada kedalaman 3 m dalam
kondisi baik. Indeks keragaman (H’) di keda-
laman 3 m ini adalah 0,88. Menurut Stodart
dan Johnson dalam Sutarna (1991), nilai ini
tergolong produktif.
Gambar 1. Persentase tutupan komponen penyusun
terumbu karang Teluk Buyat 3 m.
Kondisi terumbu karang dengan kate-
gori terbaik ditemukan pada Acropora dengan
panjang koloni 23,90 m, 14 koloni dan persen-
tase tutupan 47,80%. Kondisi terumbu karang
yang baik perlu dijaga, mengingat adanya be-
kas-bekas penggunaan metode penangkapan
ikan yang merusak terumbu karang seperti
penggunaan bius dan bom yang pernah dilaku-
kan pada waktu lalu di lokasi ini. Bekas terse-
but dapat dilihat dari banyaknya rubble (pata-
han karang) akibat penggunaan bom, serta ba-
nyaknya karang bleaching (pemutihan karang)
yang kemungkinan akibat penggunaan zat bius
dalam penangkapan ikan.
Persentase tutupan karang hidup yang
diperoleh pada kedalaman 10 m adalah 30,40%.
Berdasarkan kriteria kategori Yap dan Gomes
(1984), terumbu karang pada kedalaman 10 m
dengan persentase tutupan karang batu 30,40%
dikategorikan dalam kondisi cukup baik.
Indeks keragaman (H’) di kedalaman ini 1,22.
Berdasarkan kategori dari Stodart dan Johnson
dalam Sutarna (1991), maka terumbu karang
pada kedalaman ini tergolong sangat produktif.
Gambar 2. Persentase tutupan komponen penyusun
terumbu karang Teluk Buyat 10 m.
Persentase tutupan komponen biotik
62,1% menunjukkan kondisi ekosistem terumbu
karang dalam kondisi yang baik. Walaupun
demikian tutupan pasir dan rubble yang tinggi
di beberapa tempat megindikasikan perlu ada-
nya usaha pengelolaan yang lebih intensif, guna
menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang
yang ada.
Distribusi Ikan Karang
Komunitas ikan karang mempunyai hu-
bungan yang erat dengan terumbu karang seba-
gai habitatnya. Struktur fisik dari karang batu
Scleractinia sangat cocok berfungsi sebagai ha-
bitat dan tempat berlindung bagi ikan karang, di
mana: (1) Beberapa jenis ikan karang menggu-
nakan habitat ini sebagai tempat berlindung dari
predator dan merupakan daerah yang aman
untuk tumbuh dewasa; (2) Daerah ini merupa-
kan tempat mencari makan di mana sejumlah
ikan karang memanfaatkan karang secara
langsung (Rembet et al. 2011a). Selanjutnya
dinyatakan bahwa sekitar 50–70% ikan yang
ada di terumbu karang merupakan kelompok
ikan karnivor, 15–20% kelompok herbivor dan
sisanya omnivor. Ikan dari kelompok tersebut
sangat bergantung kepada kesehatan karang
untuk mengembangkan populasinya.
Spesies Indikator. Hasil pengambilan
data kondisi ikan karang di lokasi pengamatan
Teluk Buyat, khususnya kelompok spesies indi-
kator (Famili Chaetodontidae), terdiri dari 59
individu dari 12 spesies dan 4 genus. Hasil
Acropora
47.80%
Non-
Acropora
8.90%
Alga 2%
Sponge 0%
Soft coral
11.30%
Other
2.80%
Abiotic
16.80%
Dead
Scleractinia
10.40%
Acropora
2.14% Non-
Acropora
28.26%
Alga 9.90%
Sponge
0.80%
Soft coral
20.60%
Other
0.40%
Abiotic
35%
Dead
Scleractinia
2.90%
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1, April 2012
31
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT
pengamatan berdasarkan jumlah spesies dan
individu per kedalaman, mendapatkan bahwa
kondisi spesies indikator yang tertinggi ditemu-
kan pada kedalaman 3 m yaitu 9 spesies dan 40
individu, sedangkan pada kedalaman 10 m di-
peroleh 7 spesies dan 19 individu.
Dilihat dari komposisi spesies, spesies
indikator yang ditemukan didominasi oleh spe-
sies Chaetodon kleinii. Keadaan ini menunjuk-
kan bahwa spesies tersebut memiliki relung
ekologi yang luas dan tidak terpengaruh dengan
perubahan-perubahan komposisi habitat atau
kondisi terumbu karang.
Spesies Target. Kelompok spesies tar-
get yang ditemukan pada pengamatan terdiri
dari 856 individu dari 45 spesies, 20 genera dan
11 famili. Berdasarkan komposisi, distribusi
dan kelimpahan spesies, ditemukan beberapa
spesies dari famili tertentu, merupakan spesies
yang dominan, yaitu Acanthuridae (8 spesies)
dan Scaridae (7 spesies). Selain itu terlihat
bahwa kedalaman 3 m memiliki jumlah indivi-
du dan spesies yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kedalaman 10 m.
Kondisi yang diperoleh pada ikan
karang (baik spesies indikator maupun spesies
target) mengikuti kondisi yang diperoleh pada
karang batu. Secara umum, kondisi terumbu
karang (persentase tutupan, keanekaragaman,
maupun jumlah koloni karang batu) di Teluk
Buyat menunjukkan kondisi yang lebih baik
pada kedalaman 3 m.
Komunitas Ikan di Reef Ball
Secara keseluruan, komposisi spesies
yang ditemukan terdiri dari 19 famili, 34 genus,
50 spesies dan 290 individu. Kondisi yang di-
tunjukkan di atas, menginformasikan bahwa ko-
munitas ikan karang yang menghuni reef ball
tertinggi dihuni oleh jenis dari famili Mullidae.
Hal ini dapat terjadi dan dipahami karena ting-
kat hunian ikan karang di habitat baru (buatan)
lebih banyak dipengaruhi oleh letak reef ball.
Pada Teluk Buyat, reef ball diletakkan berja-
uhan dengan terumbu karang alami sehingga
jenis-jenis ikan yang ada berbeda komposisinya
dengan yang ada di terumbu karang alami.
Beberapa spesies yang ditemukan dominan
adalah kelompok spesies dari famili Acanthuri-
dae (Zebrasoma scopas), Mullidae (Parupeneus
multifasiatus), dan Pomacentridae. Seiring
dengan bertambahnya waktu dan usia reef ball,
beberapa spesies terlihat sudah menetap seperti
Lutjanus kasmira dan beberapa spesies dari
famili Acanthuridae.
KESIMPULA"
Kondisi terumbu karang Teluk Buyat
dalam kondisi baik dan mempelihatkan keha-
diran beberapa spesies ikan yang memiliki pre-
ferensi habitat yang luas dengan kelimpahan
yang tinggi, seperti Zanclus cornutus dan Ze-
brasoma scopas. Keberadaan reef ball telah
membantu terbentuknya ekosistem terumbu
karang yang baru dan meningkatkan kesuburan
perairan, sehingga lebih meningkatkan keber-
adaan komunitas ikan karang, yang pada akhir-
nya meningkatkan pendapatan nelayan dari
hasil tangkapan ikan karang.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar I, Pra yogo W. 2008. R ekruitmen karang batu
pad a reef ball setelah 3 t ahun di Teluk Benete Kabu-
paten Sumbawa Barat. Prosiding Munas Terumb u
Karang I, 10–11 Septemb er 2007. Jakarta . 77–85 pp.
Bohnsack JA. 1991. Ar e high densities of fishes at artifi-
cial reefs the result of habit at limitation or behaviour
preference Bu ll. Mar. Sci. 44: 631–6 45.
Dartnall AJ, Jon es M. 1986. A M anu al of Survey
Methods; Living Resources in Coastal Areas.
ASEAN-Austral ia Cooperative Program On Mar ine
Science Handbook. Townsville: Australian Institute of
Marine Science. 166 p.
Donner S, Knutson T, Opp enheimer M. 2007. Model-
based assessment of the ro le of human-induced
climate change in the 2005 Carrib ean coral bleaching
event. Proceedings of the National academy of scien-
ce 104 (13): 5483–5488
Maher T. 2004. Co ral rescue and propagation on a
sub merged artificial reef breakwater in Antigua, West
Indies. P roceedings o f the 2004 Florida Artificial
Reef Summit, April 27–28. 46 p.
Manzello DP, Bran dt M, Smith TB, Lirman D, Hendee
JC, Nemeth RS. 2007. Hurrica nes b enefit bleaches
corals. Proceedings of the National academy of scien-
ce 104 (29): 12035–12039.
Miller J, Wa ara R, Mu ller E, Rogers C. 2006. Coral
bleaching and disease combine to cau se extensive
mortality on reefs in US Virgin Islands. Coral Reefs
25(3):418.
Miller M W, F alace A. 20 00. Evalua tion me thod for
trophic resou rce nutrients, primary produ ction and
associated assemblages (95–126). In Seaman, W.Jr.
Artificial reef evaluation , with application to natural
marine hab itats. CRC Press. New York.
Rembet UNWJ, Boer W, Bengen DG, Fahrudin A. 2011a.
Struktur komuni tas ikan target di terumbu karang
Pulau Hogow dan Putus-putus Sulawesi Utara. J.
Perikanan dan Kelautan Tropis VII (2): 60–65.
Sea man W Jr., Jensen AC. 20 00. Purposes and pract ice s
of artificial reef evaluation (1–19). In Seaman, W.Jr.
Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1, April 2012
32
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/JPKT
Artificial reef evaluation with Applicatio n to natural
marine hab itats. CRC Press. New York.
Sutarna IN. 1991. Kondisi dan P roduktivitas Karang Batu
di Tanjung Selatan, Pulau Ambon. Perairan Maluku
dan Sekitarnya. BPPSL-P 3O- LIPI Ambon. 23–29 pp
Tomascik T. 1997. Coral Reef E cos ystems Enviro nmental
Management Guidelines. KLH/EMDI. Jakarta. 164 p
UNEP [United Nation Environmental Program], 1993.
Monitoring Coral Re efs For Global Change. Regional
Seas. Reference Methods For Marine Pollution
Studies No. 61. Australi an Institu te of Marine
Science. 60 p.
... Perbedaan biomassa ikan karang di tiap stasiun diduga disebabkan adanya perbedaan presentase tutupan karang hidup. Manembu et al. (2012) dan Yudha et al. (2021) menyatakan bahwa terumbu karang memiliki fungsi ekologis sebagai habitat kompleks yang dapat mempengaruhi kelimpahan. keanekaragaman dan biomassa ikan. ...
... Lebih lanjut (Putra et al., 2018), menyatakan bahwa ekosistem terumbu karang yang baik dapat menunjang tingginya ketersediaan makanan untuk ikan karang sehingga mengalami pertumbuhan yang baik pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manembu et al. (2012), bahwa meningkatnya biomassa berkaitan dengan aktivitas makan yang dilakukan oleh organisme untuk melakukan pertumbuhan dan perkembangbiakan. ...
Article
Full-text available
Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Siantan Selatan telah mengalami penurunan akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan potassium. Kerusakan terumbu karang mengakibatkan penurunan produtivitas dan keanekaragaman ekosistem terumbu karang. Analisis indeks kesehatan terumbu karang bertujuan untuk menggambarkan dan membandingkan kondisi terumbu karang di beberapa lokasi. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk menilai indeks kondisi kesehatan terumbu di 22 stasiun penelitian yang terletak di tiga lokasi yaitu, Pulau Kiabu, Pulau Bawah dan Pulau Telaga. Analisis indeks kesehatan terumbu karang dilakukan berdasarkan presentase tutupan karang, biomassa ikan karang dan tingkat resiliensi. Hasil penelitian menunjukkan Pulau Telaga memiliki nilai indeks kesehatan terumbu karang tertinggi dengan nilai berkisar 5 -10, sedangkan Pulau Kiabu dan Pulau Bawah dengan nilai 2 - 7 dan 3 - 8. Analisis korelasi biomassa ikan karang dengan presentase tutupun karang menujukkan korelasi positif dimana tutupan karang yang tinggi memiliki biomassa ikan yang tinggi.
... The damaged category indicates that the coral reef ecosystem is in a state of distress or unfavorable condition. Coral reef ecosystems require more intensive management efforts to maintain the sustainability of coral reef ecosystems (Manembu et al. 2012) [25] . [18] . ...
... The damaged category indicates that the coral reef ecosystem is in a state of distress or unfavorable condition. Coral reef ecosystems require more intensive management efforts to maintain the sustainability of coral reef ecosystems (Manembu et al. 2012) [25] . [18] . ...
Article
Full-text available
Reef fish are one of the biotas that live in coral reef ecosystems, and their lives depend on the condition of coral reefs. Reef fish communities have a close relationship with coral reefs as their habitat. Collecting data on reef fish and coral growth forms using the underwater visual census (UVS) method and methods point intercept transect (PIT). The results of the identification of coral growth forms found 10 growth forms. The most abundant group of fish in the core zone waters of the Anambas Islands was the omnivorous group of fish found as many as 14,924 ind/250m 2. The uniformity index value is obtained by the criteria for a stable uniformity index. The cluster analysis results showed that the similarity index of 43% was found in three groups of entities. The correspondence analysis results found three groupings of reef fish based on their association with coral growth forms.
... Suhu Ph Salinita s Substrat Do 27.0 5.5 12.9 Pasir 13. 4 0 C 7 ppt sedikit 0 berlumpu mg/ r l Hasil pengukuran parameter pera iran salinitas di daerah perairan tawar kurang pada Muara Sungai Sario yakni suhu 27.04 0 C, pH 5.57, salinitas 12.9 ppt, subsrat pasir berlumpur dan Do 13.0 mg/l. Pengukuran parameter perairan diperlukan untuk mengetahui karakteristik biofisik dari suatu perairan (Manembu et al., 2012). Parameter perairan sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan suatu organisme di perairan. ...
Article
Full-text available
Benthic fauna is a group of benthic organisms that live on the bottom of the water or bottom of sedimentary grounds or among sediments. This study aims to understand the distribution and types of benthic faunal organisms measuring > 1mm in the Sario river at a depth of 1-3 m. Benthos sampling was carried out using a grab sampler with three repetitions. The benthic sediment sample was sieved using a 1000 m (1.0 mm) sieve. The sediment retained in the sieve was identified based on its morphological characters using a stereomicroscope. Furthermore, the number of organisms found was counted and analyzed according to the calculation of the ecological index. The results of the identification of benthic faunal organisms >1mm got a total of 60 individuals from 9 families earning an average density of 222.1 ind/m2, Diversity Index 1.04 (medium category), Uniformity Index 0.47 (medium category), and Dominance Index 0.44 (no one dominates). Keywords: Benthic Fauna, Sario River, Density, Ecological Index Abstrak Fauna bentos merupakan kelompok organisme bentos yang hidup di dasar perairan atau dasar sedimen maupun di antara sedimen. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran distribusi dan jenis organisme fauna bentos yang berukuran > 1mm di daerah muara sungai Sario pada kedalaman 1-3 m. Pengambilan sampel bentos dilakukan dengan menggunakan grab sampler dengan pengulangan sebanyak tiga kali. Sampel sedimen bentos diayak menggunakan saringan 1000 µm (1,0 mm). Sedimen yang tertahan di saringan kemudian diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dengan menggunakan bantuan mikroskop stereo. Selanjutnya jumlah organisme yang ditemukan dihitung dan dianalisis menurut perhitungan indeks ekologi. Hasil identifikasi organisme fauna bentos >1mm mendapatkan total 60 individu dari 9 famili mendapatkan hasil rata-rata kepadatan 222,1 ind/m2, Indeks Keanekaragaman 1,04 (kategori sedang), Indeks Keseragaman 0,47 (kategori sedang) dan Indeks Dominansi 0,44 (tergolong tidak ada yang mendominasi). Kata Kunci: Fauna bentos, Muara Sungai Sari, Kelimpahan, Indeks ekologi
... Hasil pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui kondisi terumbu karang pada keempat stasiun pengamatan dengan melihat bentuk pertumbuhan menggunakan metode PIT (Point Intercept Transek) berdasarkan kategori bentuk pertumbuhan (lifeform) karang yakni karang keras terdiri dari: Acropora (Manembu et al., 2012). Selain itu adanya aktivitas penambangan terumbu karang menyebabkan banyaknya patahan karang dan mendorong terjadinya erosi pantai yang dapat menyebabkan hilangnya pelindung pantai (Manengkey, 2010). ...
Article
Full-text available
Hard coral is one of the main components of this forming coral reef ecosystem. Bulutui waters have coral reef ecosystems that have a direct role as a source of livelihood for people around these waters. However, there are non-environmentally friendly human activities such as fishing using explosives or chemical solutions that cause coral reef damage. The aimed of this research was to find out the condition of hard coral’s percentage cover and to described the frequency of hard coral’s occurance therefore it’s could be representative data at this location. Coral data was collected by using PIT (Point Intercept Transect) method. The value of percentage cover of hard corals at Bulutui waters are 20.58% and the value is categorized damaged. The total frequency of hard coral’s occurance at station 1 are 66 and dominated by Coral Submassive (CS), at station 2 are 23 and dominated by Coral Massive (CM), at station 3 are 18 and dominated by Coral Foliose (CF) and then at station 4 are 140 and dominated by Coral Foliose (CF).Keywords: Percentage Cover, Scleractinia Coral, Bulutui Waters, PIT Methods.
Article
Full-text available
Reef fish associated with artificial reefs are one indicator of success for artificial reef applications. This research was carried out in February 2023. Reef fish data was collected in three tidal conditions. Data of Coral fish was collected using the Underwater Visual Census (UVC) method. The data that collected includes abundance of species, individual abundance and fish size from 3 categories namely major, indicators and targets. From the results, the community structure at each location obtained the same diversity index and uniformity index which were classified as moderate to high and the dominance index was classified as low. For each tidal condition the diversity index obtained was classified as medium to high, the uniformity index is relatively high and the dominance index is low. The total abundance of species at each point ranges from 26 species represented by 13 families to 63 species represented by 19 families, and for each tidal condition it ranges from 11 species represented by 7 families to 42 species represented by 16 families. The total abundance of individuals at each point overall ranged from 1333-20,048 Ind/Ha, each tidal condition it ranges from 20- 980 individuals. The total biomass at each point overall ranged from 102,844- 1353,119 Kg/Ha, each tidal condition ranges from 2,154 to 63,780 kg. Based on the results, the species similarity index values at each point were categorized as medium, except for Les II and Galeri, which were classified as high, while the test results for each tidal condition ranged from medium to high at each point. Test results (Mann-Whitney) for each point based on individual abundance values and coral reef fish biomass generally showed significant differences except between the Gallery and Les II points, whereas for each tidal condition there were no significant differences. Based on the results of the Correspondence Analysis, it was found that there was a relationship between several types of fish with each research point and at each tidal condition, this shows that the artificial reef structure at each point and each tidal condition was successful in attracting fish populations.
Article
Artificial reef at Jemeluk Bay, Karangasem, Bali is one of the area’s fisheries potential. Artificial reef is an underwater structure that is made for fishes’ protection and feeding ground. The purpose of this research is to know and understand types of reef fishes that surround the artificial reef, as well as the artificial reef’s affect onto the fish’s abundance at Jemeluk Bay. The method used for reef fish monitoring by visual census at artificial reef made from concrete, rubber tire and steel. This research is done towards six coral reef structures to get the reef fishes composition, which is made out of 7 fish families, 17 species, with an abundance total of 708 individuals. The highest fish abundance was founded at the 2nd rubber tire artificial reef with 6,4 individuals/m2, and the lowest fish abundance was found at the 1st concrete artificial reef with 3,28 individuals/m2. From the calculation at six of the artificial reef structures, the diversity index varies between 1,2 – 1,57, which is categorized as low diversity. The diversity value shows that steel artificial reef have the highest fish species diversity, however is still categorized as low.
Article
Full-text available
Pulau Pura merupakan salah satu pulau di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, dimana memiliki perairan terbuka (open access). Kondisi perairan tersebut membuat para nelayan memanfaatkannya untuk pengoperasian alat tangkap Bubu namun kurang memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan perikanan yang lestari dan berkelanjutan. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi ketersediaan ikan pada suatu perairan. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pola spasial hasil tangkapan Bubu, dengan sampel penelitian pada beberapa perairan yaitu Perairan Desa Pura Utara, Perairan Desa Pura Timur dan Perairan Kelurahan Pulau Pura. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui pola keruangan hasil tangkapan ikan dalam Bubu digunakan analisis secara deskriptif dengan menggunakan peta dan tabel kemudian diperkuat dengan analisis statistik untuk melihat pengaruh pola spasial terhadap hasil tangkapan bubu. Analisis yang digunakan yaitu analisis regresi linear sederhana dan analisis varians satu arah . Pola spasial dianalisis berdasarkan jarak bubu dengan garis pantai dan juga berdasarkan kedalaman dari bubu. Hasil tangkapan pada kedalaman 0 – 5 m, dimana hasil tangkapan paling banyak terdapat Desa Pura Utara dengan Total tangkapan 1300 ekor yang terdiri dari 82 spesies ikan, sedangkan tangkapan paling sedikit ada pada Kelurahan Pulau Pura dengan total tangkapan 887 ekor yang terdiri dari 61 spesies ikan. Hasil tangkapan pada kedalaman 6 – 10 m dimana hasil tangkapan paling banyak adalah Desa Pura Utara dengan total tangkapan 796 ekor yang terdiri dari 22 spesies ikan, sedangkan tangkapan paling sedikit ada pada Kelurahan Pulau Pura dengan total tangkapan 694 ekor yang terdiri dari 22 spesies ikan. Pura Island is one of the islands in Alor Regency, East Nusa Tenggara, which has the open water (open access). The condition of these waters make fishermen using for the operation of trap fishing gear, but they do not pay attention to the principles of sustainable and sustainable fisheries management. these conditions can affect the availability of fish in the waters. The aims on this study was to describe the spatial pattern of Bubu's catch, with the research samples in several waters, namely North Pura Village Waters, East Pura Village Waters and Pulau Pura Kelurahan Waters. The Analysis of the data used to determine the spatial pattern of the fish catch in the bubu used the descriptive analysis using maps and tables and then strengthened by statistical analysis to see the effect of spatial patterns on the catch. The analysis used is the simple linear regression analysis and one-way analysis of variance. The spatial patterns were analyzed based on the distance of the bubu to the coastline and also the depth of the traps. The catch is at a depth of 0 - 5 m, where the most catch is in Pura Utara Village with a total catch of 1300 consisting of 82 fish species, while the least catch is in Pulau Pura Village with a total catch of 887 consisting of 61 fish species. . The catch is at a depth of 6 - 10 m where the most catch is Pura Utara Village with a total catch of 796 fish consisting of 22 fish species, while the least catch is in Pulau Pura Village with a total catch of 694 consisting of 22 fish species.
Article
Full-text available
Tidung Island is one of the islands as well as a village located in the district of South Kepulauan Seribu. The purpose of this research is to measure the environmental parameters of the waters, provide information on the condition of coral reefs, and know the form of coral growth that dominates Tidung Island. Data retrieval is done using UPT (Underwater Photo Transect) method at a depth of 5 meters at three different stations. For the processing of data that has been taken, the photo results in the form of coral cover are entered into Coral point count with excel extensions (CPCe) 4.1 application and analyzed. The results of the analysis will be stored on the storage device, then the results will be ready to be opened in Excel format. The results of this research show that the environmental parameters of the waters include, including temperature, degree of acidity, and salinity, have a range of values that are still suitable for the growth and development of corals, however, the brightness level in these waters is relatively low. The condition of coral reefs in stations 1 and 3 are in the category of damage, with hard coral cover values of 24.67% and 11.00%, while at station 2 coral reef conditions are in the good category with a hard coral cover value of 56.27%. Based on the assessment, obtained an average value of the percentage of hard corals by 30.65%, this indicates that the condition of coral reefs in Tidung Island is in the moderate category. The low percentage of hard corals is caused by the high component of dead corals with algae and rubble. Based on the results of this research, a known form of coral growth that dominates the waters of Tidung Island is foliose coral.Keywords: Domination; CPCe; Tidung Island; Coral Reef; UPT.AbstrakPulau Tidung merupakan salah satu pulau sekaligus kelurahan yang terletak di wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengukur parameter lingkungan perairan, menyediakan data informasi kondisi terumbu karang, dan mengetahui bentuk pertumbuhan karang yang mendominasi di Pulau Tidung. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode UPT (Underwater Photo Transect) atau Transek Foto Bawah Air pada kedalaman 5 meter di tiga stasiun berbeda. Untuk pengolahan data yang sudah diambil, hasil foto berupa tutupan karang di input ke dalam aplikasi Coral point count with excel extensions (CPCe) 4.1 dan dianalisis. Hasil analisis akan tersimpan di perangkat penyimpanan, yang kemudian hasilnya akan siap untuk dibuka dalam format Excel. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa parameter lingkungan perairan meliputi, suhu, derajat keasaman, dan salinitas, memiliki kisaran nilai yang masih sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan karang, namun tingkat kecerahan pada perairan ini relatif rendah. Kondisi terumbu karang pada stasiun 1 dan 3 berada pada kategori buruk dengan nilai tutupan karang keras sebesar 24,67% dan 11,00%, sedangkan pada stasiun 2 kondisi terumbu karang berada pada kategori baik dengan nilai tutupan karang keras sebesar 56,27%. Berdasarkan penilaian tersebut, diperoleh nilai rata-rata persentase karang keras sebesar 30,65%, hal ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Pulau Tidung berada pada kategori sedang. Rendahnya persentase karang keras disebabkan tingginya komponen karang mati oleh algae dan patahan karang. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bentuk pertumbuhan karang yang mendominasi perairan Pulau Tidung adalah coral foliose.Kata kunci: Dominasi; CPCe; Pulau Tidung; Terumbu Karang; UPT
Article
Full-text available
Tanjung Pulisan area in Likupang has been designated as part of the Likupang Special Economic Zone (SEZ), as one of five super-priority tourist destinations. To support this program, it is urgent to have an assessment based on coral reef and fish ecology that can be destined as a tourism target. Thus, the purpose of this study is to provide information on the percentage of hard coral cover, the percentage of hard coral genera, as well as the density of reef fish in the waters of Tanjung Pulisan. The author uses the Line Intercept Transect and Underwater Visual Census methods at three stations which are combined synergistically to obtain data on corals and target reef fish effectively. Data were analyzed using the Microsoft Excel program. The results of the analysis showed that the percentage of live coral cover in Tanjung Pulisan waters was categorized as moderate with an average percentage of 47.04%, consisting of 30.28% hard coral and 16.76% soft coral. In these waters, 32 genera of hard corals were found, and Porites as the most dominant genus, with an average percentage of 23.01 %. In addition, the total average density of target reef fish in this location was 0.185 ind/m2, with the most dominant family being Acanthuridae with an average density value of 0.096 ind/m2.
Article
Full-text available
Tanjung Pulisan waters, especially the “Tanjung Jaha” are one of the diving tourism areas and have been designated as part of Likupang Special Economic Zone (SEZ), which has also been included in one of five super-priority tourist destinations in Indonesia. Based on the assumptions that tourism activities in the area would be very massive, it is presumed that the “Pantai Kecil” area will be affected by those activities. Therefore, this study aims to provide data on coral cover and megabenthic diversity, as a basis data for further research and or for policy decisions in the region. This study used the Benthos Belt Transect (BBT) method and the Underwater Photo Transect (UPT) method and they were analyzed with CPCE (Coral Point Count with Excel Extensions) and Microsoft Excel. The results showed that the percentage of coral cover in “Tanjung Jaha” was categorized as “Good” with a value of 55.92% which included 41.36% hard corals and 15.31% soft corals. At this location, 26 megabenthos were found which consisted of 5 different taxa and the diversity index was categorized as “Medium” with the value of H’=1.36.Keywords: Coral Cover; Diversity; Pantai Kecil; Tanjung PulisanAbstrakPerairan Tanjung Pulisan, khususnya “Tanjung Jaha” merupakan salah satu daerah wisata penyelaman dan telah ditetapkan menjadi bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang dan juga masuk dalam salah satu dari lima destinasi wisata super prioritas di Indonesia. Dengan aktivitas pariwisata yang akan sangat masif, diperkirakan wilayah “Tanjung Jaha” akan terdampak oleh aktivitas pariwisata. Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk menyediakan data tutupan karang dan keanekaragaman megabentos, sebagai data awal sebagai informasi bagi riset selanjutnya maupun pada kebijakan yang akan berlaku di daerah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode Benthos Belt Transect (BBT) dan metode Underwater Photo Transect (UPT) dengan analisa menggunakan CPCe (Coral Point Count with Excel extensions) dan Microsoft Excel. Hasil analisis menunjukan persentase tutupan karang di “Tanjung Jaha” terkategorikan “Baik” dengan nilai 55.92% yang terdiri dari 41.36% karang keras dan 15.31% karang lunak. Di lokasi ini ditemukan 26 megabentos dari 5 taksa berbeda dengan indeks keanekaragaman terkategorikan “Sedang” dengan nilai H’=1.36.Kata kunci: Keanekaragaman; Pantai Kecil; Tutupan Karang; Tanjung Pulisan
Article
Full-text available
Rapid colonization, high fish densities, and high catch rates at artificial reefs have been used as evidence for habitat-limitation and increased production of reef fishes. An alternative hypothesis is that artificial reefs attract fishes due to behavioral preferences but do not increase reef fish production or abundance. Reviewed literature reveals that except in one case evidence for increased production is mostly anecdotal and inadequate. Attraction and/or production by a particular artificial reef is predicted to depend on the species and individual ages (size) of reef fish, and on reef location. Factors predicted to be important are natural reef availability, mechanisms of natural population limitation, fishery exploitation pressure, life history dependency on reefs, and species-specific and age-specific behavioral characteristics. Increased production is most likely at locations isolated from natural reefs, and for habitat-limited, demersal, philopatric, territorial, and obligatory reef species. Attraction should be more important in locations with abundant natural reef habitat; where exploitation rates are high; and for recruitment-limited, pelagic, highly mobile, partially reef-dependent, and opportunistic reef species. Artificial reefs are unlikely to benefit heavily exploited or overfished populations without other management actions.
Article
Episodes of mass coral bleaching around the world in recent decades have been attributed to periods of anomalously warm ocean temperatures. In 2005, the sea surface temperature (SST) anomaly in the tropical North Atlantic that may have contributed to the strong hurricane season caused widespread coral bleaching in the Eastern Caribbean. Here, we use two global climate models to evaluate the contribution of natural climate variability and anthropogenic forcing to the thermal stress that caused the 2005 coral bleaching event. Historical temperature data and simulations for the 1870–2000 period show that the observed warming in the region is unlikely to be due to unforced climate variability alone. Simulation of background climate variability suggests that anthropogenic warming may have increased the probability of occurrence of significant thermal stress events for corals in this region by an order of magnitude. Under scenarios of future greenhouse gas emissions, mass coral bleaching in the Eastern Caribbean may become a biannual event in 20–30 years. However, if corals and their symbionts can adapt by 1–1.5°C, such mass bleaching events may not begin to recur at potentially harmful intervals until the latter half of the century. The delay could enable more time to alter the path of greenhouse gas emissions, although long-term “committed warming” even after stabilization of atmospheric CO2 levels may still represent an additional long-term threat to corals. • climate models • coral reefs • ocean warming • adaptation • symbiosis
Rekruitmen karang batu pada reef ball setelah 3 tahun di Teluk Benete Kabupaten Sumbawa Barat
  • I Bachtiar
  • W Prayogo
Bachtiar I, Prayogo W. 2008. Rekruitmen karang batu pada reef ball setelah 3 tahun di Teluk Benete Kabupaten Sumbawa Barat. Prosiding Munas Terumbu Karang I, 10-11 September 2007. Jakarta. 77-85 pp.
A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia Cooperative Program On Marine Science Handbook. Townsville: Australian Institute of Marine Science
  • A J Dartnall
  • M Jones
Dartnall AJ, Jones M. 1986. A Manual of Survey Methods; Living Resources in Coastal Areas. ASEAN-Australia Cooperative Program On Marine Science Handbook. Townsville: Australian Institute of Marine Science. 166 p.
Coral rescue and propagation on a submerged artificial reef breakwater in Antigua
  • T Maher
Maher T. 2004. Coral rescue and propagation on a submerged artificial reef breakwater in Antigua, West Indies. Proceedings of the 2004 Florida Artificial Reef Summit, April 27-28. 46 p.
Evaluation method for trophic resource nutrients, primary production and associated assemblages (95-126). In Seaman, W.Jr. Artificial reef evaluation, with application to natural marine habitats
  • M W Miller
  • A Falace
Miller MW, Falace A. 2000. Evaluation method for trophic resource nutrients, primary production and associated assemblages (95-126). In Seaman, W.Jr. Artificial reef evaluation, with application to natural marine habitats. CRC Press. New York.
Kondisi dan Produktivitas
  • I N Sutarna
Sutarna IN. 1991. Kondisi dan Produktivitas Karang Batu di Tanjung Selatan, Pulau Ambon. Perairan Maluku dan Sekitarnya. BPPSL-P3O-LIPI Ambon. 23-29 pp
Monitoring Coral Reefs For Global Change. Regional Seas. Reference Methods For Marine Pollution Studies No. 61. Australian Institute of Marine Science
  • T Tomascik
Tomascik T. 1997. Coral Reef Ecosystems Environmental Management Guidelines. KLH/EMDI. Jakarta. 164 p UNEP [United Nation Environmental Program], 1993. Monitoring Coral Reefs For Global Change. Regional Seas. Reference Methods For Marine Pollution Studies No. 61. Australian Institute of Marine Science. 60 p.