ArticlePDF Available

Mengukur Efektifitas Co-Branding Wonderful Indonesia: Studi Konseptual

Authors:
  • National Research and Innovation Agency (Indonesia)

Abstract

Kementerian Pariwisata, melalui program Wonderful Indonesia (WI), memutuskan untuk menggunakan peningkatan Country Brand Ranking (edisi pariwisata) pada 2015 sebagai momentum untuk menerbitkan kebijakan co-branding. Sekarang, kolaborasi ini telah melibatkan 172 mitra dari 14 kategori perusahaan. Seharusnya, kolaborasi ini dapat meningkatkan ekuitas merek WI dan berdampak pada perluasan jangkauan pasar, peningkatan kesadaran, dan menunjukkan citra merek yang lebih positif. Namun, peringkat merek WI terus kalah dari pesaing utamanya. Oleh karena itu perlu dilakukan langkah evaluatif terkait efektivitas kerja sama co-branding. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan yang secara konseptual mengungkapkan beberapa pilihan metode dalam mengukur efektivitas co-branding WI dari perspektif wisatawan. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pilihan kesadaran merek, citra merek, sikap terhadap merek, niat beli, dan kekuatan elemen pembentuk co-branding dapat menjadi alat ukur untuk menentukan sejauh mana kolaborasi ini dianggap efektif.
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
21
Bagaimana Mengukur Efektifitas Co-Branding Wonderful Indonesia:
Studi Konseptual
How to Measure Wonderful Indonesia Co-Branding Effectiveness:
Conceptual Study
Imam Nur Hakim
Direktorat Kajian Strategis
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Jalan MT. Haryono, Kav. 47—48 Jakarta Selatan
Email: imamnurhakim@live.com
Diterima: 04 Juni 2020. Disetujui: 18 Juni 2020. Dipublikasikan: 30 Juni 2020
Abstrak
Kementerian Pariwisata, melalui program Wonderful Indonesia (WI), memutuskan untuk
menggunakan peningkatan Country Brand Ranking (edisi pariwisata) pada 2015 sebagai momentum
untuk menerbitkan kebijakan co-branding. Sekarang, kolaborasi ini telah melibatkan 172 mitra dari 14
kategori perusahaan. Seharusnya, kolaborasi ini dapat meningkatkan ekuitas merek WI dan berdampak
pada perluasan jangkauan pasar, peningkatan kesadaran, dan menunjukkan citra merek yang lebih
positif. Namun, peringkat merek WI terus kalah dari pesaing utamanya. Oleh karena itu perlu dilakukan
langkah evaluatif terkait efektivitas kerja sama co-branding. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif dan yang secara konseptual mengungkapkan beberapa pilihan metode dalam
mengukur efektivitas co-branding WI dari perspektif wisatawan. Hasil penelitian ini menemukan
bahwa pilihan kesadaran merek, citra merek, sikap terhadap merek, niat beli, dan kekuatan elemen
pembentuk co-branding dapat menjadi alat ukur untuk menentukan sejauh mana kolaborasi ini
dianggap efektif.
Kata Kunci: Co-branding, Pariwisata, Wonderful Indonesia
Abstract
The Ministry of Tourism, through Wonderful Indonesia (WI), decides to use the enhancement of Country
Brand Ranking (tourism edition) in 2015 as momentum to publish the co-branding policy. Now, this
collaboration has involved 172 partners from 14 categories of companies. Supposedly, this
collaboration could increase WI brand equity and has an impact on expanding market reach, increasing
awareness, and showing a more positive brand image. However, the ranking of the WI brand continues
to lose to its main competitors. So, it is necessary to carry out an evaluation step related to the
effectiveness of co-branding cooperation. This research used the qualitatively descriptive approach and
revealed that there are several choices of methods in measuring the effectiveness of WI co-branding
from the tourist's perspective. The results of this study found that the choices of brand awareness, brand
image, attitude toward the brand, purchase intention, and the strength of the elements forming co-
branding can be measuring tools to determine the extent of this collaboration is considered effective.
Keywords: Co-branding, Tourism, Wonderful Indonesia
© 2020 Direktorat Kajian Strategis
PENDAHULUAN
Brand Wonderful Indonesia (WI) telah
mendapatkan pengakuan di tingkat global.
Terbukti dengan naiknya peringkat WI pada
World Tourism Brand Ranking ke posisi 47
pada tahun 2015. Kenaikan ini memposisikan
brand WI jauh berada di atas Amazing
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
22
Thailand (83) dan Malaysia Truly Asia (96)
selaku kompetitor utama (Bloom-Consulting,
2015). Melalui momentum yang
mengindikasikan tingginya eksposure brand
WI tersebut, sejak 2017 Kementerian
Pariwisata menginisiasi kebijakan yang
melibatkan dua atau lebih mitra, melalui
kerjasama co-branding. Kerjasama ini
bertujuan untuk memperluas jangkauan target
pasar serta memperkuat brand equity setiap
mitra yang terlibat dalam co-branding. Dari
sudut pandang negara, Co-branding memang
bisa digunakan sebagai pilihan strategis untuk
memposisikan sebuah citra (Hassan &
Mahrous, 2019), serta identitas merek suatu
bangsa (Groen & Lee, 2013) dengan
pertimbangan, brand yang memiliki ekuitas
tinggi jika dipasangkan dengan brand lain yang
ber-ekuitas tinggi pula, akan menghasilkan
evaluasi konsumen yang lebih positif pada
partnering brand dibandingkan dengan
sebelum dipasangkan (Washburn, 2000).
Hingga akhir 2019, telah ada 172 mitra
dari 14 kategori perusahaan yang terlibat dalam
kerjasama co-branding (Kemenpar, 2019).
Artinya selama tiga tahun berjalan, kerjasama
ini telah melibatkan banyak mitra di beragam
jenis kategori perusahaan. Namun demikian,
menurut laporan Country Brand Ranking -
Tourism Edition 2019 yang dikeluarkan Bloom
Consulting, brand WI kalah dari pesaingnya
(peringkat 31), yaitu Amazing Thailand, yang
lebih unggul dengan berada di urutan 6,
sedangkan Malaysia Truly Asia naik ke
peringkat 22 (Bloom-Consulting, 2019).
Kekalahan ini bukan merupakan hal baru,
mengingat pada laporan serupa di 2017 silam,
brand WI tertinggal di peringkat 35, sedangkan
Malaysia Truly Asia berada di urutan 23 dan
Amazing Thailand melesat di urutan 2 (Bloom-
Consulting, 2017). Kerjasama ini seharusnya
dimaksudkan untuk memenangkan persaingan
melalui peningkatan ekuitas brand yang
diindikasikan dengan menangnya persaingan
brand WI secara global. Namun, ternyata
didapati hal sebaliknya di lapangan.
Sebagai contoh, dalam penelitian Tasci
dan Guilet, terdapat beberapa faktor yang dapat
menentukan tingkat efektifitas co-branding
terhadap customer-based brand equity
(CBBE). Hal ini dapat diindikasikan dari sejauh
mana keakraban konsumen dengan brand,
bagaimana konsumen melihat kekuatan,
kesesuaian atau kompatibilitas antar brand,
hingga bagaimana brand saling melengkapi di
mata mereka (Tasci & Denizci Guillet, 2011).
Artinya, jika di“racik” dengan benar,
seharusnya kerjasama co-branding antara WI
dengan mitra, dapat secara signifikan
meningkatkan ekuitas brand WI di tataran
global, hingga dapat membentuk paradigma
pariwisata Indonesia yang positif. Dari indikasi
tersebut, dapat diambil garis lurus, bahwa
tujuan kerjasama co-branding seharusnya dapat
memperbaiki ekuitas brand yang terlihat dan
dapat diamati dari persepsi wisatawan. Dimana
dalam laporannya, Bloom Consulting
menjelaskan bahwa mereka juga menjadikan
persepsi dari brand sebagai indikator penting
dalam metode penentuan urutan peringkat
(Bloom-Consulting, 2019). Dengan kata lain,
keefektifan kerjasama co-branding yang telah
tiga tahun berjalan, penting untuk dikaitkan,
diukur dan dievaluasi dari persepsi dan sudut
pandang wisatawan (sebagai pasar dari brand
WI).
Secara umum, beberapa penelitian terkait
persepsi terhadap co-branding sebelumnya,
secara positif mendapati bahwa co-branding
berpengaruh terhadap kredibilitas dan daya
tarik, serta kerjasama antar mitra, bahkan
sebagai mediator dalam proses penciptaan
ekuitas (Diana, 2007). Co-branding juga
menjadi cara lazim, yang secara positif
dilakukan untuk memperluas pasar dan
kesadaran brand (Oeppen & Jamal, 2014).
Keefektifan co-branding juga dipengaruhi oleh
cara konsumen melihat kesamaan antara
konsistensi citra brand, kepribadian brand, dan
keaslian brand extention yang memiliki
pengaruh unik terhadap persepsi brand.
Dimana brand extention menjadi penentu
paling penting dari kecocokan yang dirasakan
konsumen (Sattayawaksakul, A. Cote, &
Tiangsoongnern, 2019). Namun, selain
beberapa hal positif di atas, didapati beberapa
deviasi dalam kerjasama co-branding. Salah
satunya, dalam sebuah penelitian lama,
kerjasama antar brand meskipun dinilai efektif,
tidak serta merta dapat menghilangkan efek
stereotip dari negara asal konsumen (Voss &
Tansuhaj, 1999). Co-branding juga syarat
dengan kepentingan, dimana setiap mitra yang
saling bekerjasama sebenarnya sedang
melakukan uji pasar dengan memanfaatkan
image dan asosiasi dari mitranya (Oeppen &
Jamal, 2014). Sehingga kapanpun ditemukan
ketidakcocokan, kedua mitra dapat segera
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
23
menghentikan kerjasama. Dalam penelitian
yang berfokus pada produk hospitality
sekalipun, didapati bahwa pada kerjasama antar
brand yang tidak setara, dapat menyebabkan
kerugian pada salah satunya. Walaupun
kerjasama tersebut melibatkan satu brand yang
paling dikenal oleh konsumen sekalipun (Tasci
& Denizci Guillet, 2011).
Penelitian terdahulu tersebut telah
menjelaskan keterikatan antara keefektifan co-
branding terhadap sudut pandang konsumen.
Sehingga penelitian ini, berfokus pada sudut
pandang wisatawan selaku konsumen brand WI
sebagai obyek penelitian. Sifatnya yang
applied, menjadikan penelitian ini secara
khusus dimaksudkan untuk mengetahui cara
mengukur keefektifan co-branding dari sudut
pandang wisatawan. , Ditambah, belum ada
penelitian yang mengaitkan antara subyek
(wisatawan), obyek (co-branding dan mitra
yang saling bekerjasama), stakeholder
(Kemenpar), serta kebutuhan (alat ukur dan
metode pengukuran) yang sama sebelumnya.
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan
panduan evaluasi co-branding dari sudut
pandang wisatawan yang dapat segera
diaplikasikan di lapangan. Melalui
pertimbangan posisi co-branding WI dengan
mitra yang saling bekerjasama, serta dengan
mengetahui perlu tidaknya keberlangsungan
kerjasama tersebut. Hasil Penelitian ini juga
dapat digunakan sebagai bahan pengambil
kebijakan terkait kriteria mitra yang akan diajak
bekerjasama melalui co-branding. Sehingga
pertimbangan sudut pandang wisatawan dapat
dijadikan salah satu indikator dalam proses
seleksi mitra ke depannya. Hal ini berguna agar
lebih meminimalisir kurang efektifnya
kebijakan co-branding.
TINJAUAN PUSTAKA
Co-branding
Menurut Blacket, co-branding adalah bentuk
kerjasama antara dua atau lebih brand yang
memiliki customer recognition signifikan,
dimana semua nama brand dari mitra tetap
dipertahankan dan berlangsung dalam jangka
waktu menengah hingga panjang (Blackett &
Russell, 2000). Menurut Hawkins, co-branding
adalah aliansi di mana dua brand disatukan
pada satu produk (Hawkins & Mothersbaugh,
2015a). Co-branding juga sering disebut
dengan brand alliance, dimana hal tersebut
terjadi ketika dua atau lebih brand yang ada
digabungkan menjadi produk bersama atau
dipasarkan bersama dalam beberapa cara
(Keller, 2013). Esensi dari co-branding adalah
penyampaian pesan yang terfokus pada nilai-
nilai suatu produk, serta promosi komponen
brand tersebut sehingga dapat memperkuat
citra dan nilai dari brand induk setiap mitra
(Blackett & Russell, 2000). Co-branding juga
dapat mengurangi biaya pengenalan produk,
karena menggabungkan dua images terkenal,
dapat mempercepat adopsi yang potensial dari
nilai-nilai brand pada setiap mitra (Keller,
2013).
Co-branding Elements
Co-branding memiliki enam dimensi
terukur yang harus ada, agar kerjasama tersebut
dikatakan kuat dan berhasil. Dimensi tersebut
diantaranya; adequate brand awareness,
sufficiently strong brand, favorable, unique
association, positive consumer judgment dan
positive consumer feelings (Keller, 2013).
1. Dimensi adequate brand awareness adalah
kemampuan konsumen untuk mengenali
atau mengingat bahwa sebuah brand
merupakan anggota dari kategori produk
tertentu.
2. Dimensi sufficiently strong brand berarti
bahwa kedua brand yang saling melakukan
kerjasama harus memiliki tingkat kesadaran
yang kuat di mata konsumen
3. Dimensi favorable yaitu adanya perasaan
mendukung, memihak oleh konsumen
terhadap kerjasama co-branding.
4. Dimensi unique association adalah
bagaimana konsumen menilai keunikan co-
branding dibandingkan dengan brand lain.
5. Dimensi positive consumer judgment
digunakan untuk mengetahui citra, persepsi,
pendapat dan kinerja brand oleh konsumen.
6. Dimensi positive consumer feelings
digunakan untuk mengukur respon perasaan
konsumen yang lebih bersifat emosional
terhadap brand.
Co-branding Wonderful Indonesia (WI)
Untuk mewujudkan brand WI di pasar
global, dibutuhkan kebersamaan dan sinergi
seluruh elemen bangsa dalam kerangka
Indonesia yang Incorporated. Sehingga, sejak
2017 Kemenpar menginisiasi kolaborasi
melalui co-branding partnership dengan brand
WI. Hingga Desember 2019, setidaknya
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
24
kerjasama co-branding ini telah melibatkan 172
mitra dari 14 kategori perusahaan, yang
dikelompokkan ke dalam empat kategori mitra.
Dari 172 mitra yang telah melakukan MOU
tersebut, terdapat 85 yang telah melakukan
perjanjian kerjasama (Kemenpar, 2019).
Adapun keluaran dari kerjasama co-
branding ini dikelompokkan dalam tiga
implementasi, diantaranya untuk kegiatan
branding dan PR-ing (co-creation level 1),
kegiatan advertising, placement media di
billboard, microsite dan social media (co-
creation level 2), dan kegiatan pameran,
festival, sales mission serta famtrip (co-
creation level 3). Kesepakatan aktivasi tersebut
didapatkan melalui paket co-branding yang
ditawarkan melalui lima tingkatan, diantaranya
bronze, silver, gold, platinum hingga diamond
(Kemenpar, 2017).
Seluruh rangkaian kerjasama ini
dimaksudkan untuk dapat mencapai tiga tujuan
besar, diantaranya untuk tujuan; (1) efisiensi
anggaran APBN yang terbatas melalui cost
sharing dengan anggaran mitra co-branding;
(2) adanya sinergi co-creation brand WI
dengan brand dari mitra co-branding melalui
kegiatan promosi bersama; serta (3)
memperluas jangkauan (exposure) brand WI
dengan memanfaatkan market network yang
dimiliki oleh mitra co-branding.
Brand Awareness
Brand awareness adalah kemampuan
konsumen untuk mengidentifikasi brand dalam
kondisi yang berbeda, yang tercermin dari
dikenal atau tidaknya brand serta performa
brand untuk dengan mudah diingat kembali
(Kotler & Keller, 2012). Brand awareness juga
dapat menumbuhkan kemampuan konsumen
dalam mengenali dan mengingat brand melalui
kategori tertentu, dengan detail yang cukup
supaya melakukan pembelian (Kotler & Keller,
2012). Lebih lanjut, brand awareness dapat
diidentifikasi melalui brand recognition dan
brand recall performance (Keller, 2013).
1. Brand recognition adalah kemampuan
konsumen untuk mengonfirmasi tingkat
pengenalan sebelumnya terhadap brand.
2. Sedangkan brand recall, adalah kemampuan
konsumen untuk mengambil kembali
ingatan mereka tentang brand ketika
diberikan stimuli seputar kategori produk,
situasi pembelian, hingga penggunaan
produk sebagai isyarat.
Brand Image
Brand image adalah persepsi konsumen
tentang sebuah brand (Keller, 2013). Brand
image dapat terbentuk ketika konsumen
menangkap asosiasi dari brand tersebut. Brand
associations ini terdiri dari brand attribute
(fitur deskriptif yang menjadi ciri produk atau
layanan brand) maupun brand benefit (nilai
pribadi dan makna yang dilekatkan konsumen
pada brand) (Keller, 2013). Lebih lanjut, Keller
menjelaskan bahwa brand association, dapat
diidentifkasi melalui tiga elemen, diantaranya,
strength, favorability dan uniqueness.
Brand Attitudes
Brand attitudes adalah keseluruhan
evaluasi dari konsumen terhadap brand yang
membentuk dasar mereka dalam menentukan
pilihan terhadap brand (Keller, 2013). Di
dalamnya meliputi kualitas dan kepuasan yang
didapat dari brand. Brand attitude pada
umumnya bergantung pada attributes dan
benefits (Keller, 2013). Brand attitude juga
bergantung pada citra produk yang sifatnya
lebih abstrak, seperti simbolisme atau
kepribadian yang tercermin dalam brand.
Kapferer juga mengemukakan hal yang sama,
dimana setiap brand harus didasarkan pada
bagaimana attitude dari konsumennya, dan
secara harfiah wawasan tersebut dapat berupa
kalimat pendek yang merangkum keadaan
pikiran, harapan maupun sikap dan tanggapan
konsumen terhadap brand (Kapferer, 2004).
Attitudes sendiri memiliki tiga
komponen, diantaranya komponen kognitif
(keyakinan), komponen afektif (perasaan), dan
komponen perilaku (kecenderungan respons)
(Hawkins & Mothersbaugh, 2015b).
Komponen kognitif terdiri dari keyakinan
konsumen tentang suatu objek, Perasaan atau
reaksi emosional terhadap suatu objek.
Komponen afektif terdiri dari perasaan yang
terindikasi dari suatu sikap dan komponen
perilaku adalah kecenderungan seseorang
untuk menanggapi suatu objek atau aktivitas
dengan cara tertentu.
Purchase Intention
Purchase intention adalah jenis
pengambilan keputusan yang mempelajari
alasan konsumen untuk membeli brand tertentu
(Shah et al., 2012). Purchase intention juga
diartikan sebagai situasi di mana konsumen
cenderung membeli produk tertentu dalam
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
25
kondisi tertentu (Morinez et al, 2017 dalam
Morwitz, 2014). Purchase intention biasanya
terkait dengan perilaku, persepsi dan sikap
konsumen. Purchase intention dinilai penting
sebagai titik kunci bagi konsumen untuk
mengakses dan mengevaluasi produk tertentu.
Ghosh menyatakan bahwa purchase intention
adalah alat yang efektif untuk memprediksi
proses pembelian (Ghosh, 1990 dalam
Morwitz, 2014).
Purchase intention biasanya digunakan
brand untuk memprediksi pembelian aktual
dari konsumen (Keller, 2013). Prediksi tersebut
dilihat melalui beberapa dimensi diantaranya,
dimensi tindakan (membeli untuk digunakan
sendiri atau untuk diberikan sebagai hadiah),
dimensi target (jenis produk dan brand
tertentu), dimensi konteks (dalam jenis toko apa
berdasarkan harga dan kondisi lainnya) dan
dimensi waktu (dalam seminggu, sebulan, atau
tahun) (Keller, 2013). Sedangkan purchase
intention sendiri dapat diketahui dengan
mengidentifikasi keadaan dan rencana khusus
bagaimana, kapan, dan dimana niat atau tujuan
tersebut akan dipenuhi (Gollwitzer 1999 dalam
V. Morwitz, 2014).
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode kualitatif dengan model
analisis deskriptif melalui pendekatan
konseptual. Data dalam penelitian ini
bersumber dari studi referensi hasil penelitian,
buku, kajian, laporan serta sumber ilmiah lain
yang relevan. Dari sisi output, penelitian ini
berjenis applied research, dimana penelitian ini
diadakan untuk menjawab permasalahan
lapangan berupa perlunya konsep pengukuran
dan evaluasi keberhasilan kerjasama co-
branding WI yang dilakukan dengan 172 brand
mitra. Penelitian ini berangkat dari pemikiran
penulis dalam membahas kemungkinan metode
pengukuran untuk (How to) mengevaluasi
kerjasama co-branding dari sudut pandang
wisatawan. Selanjutnya, dari setiap alternatif
metode pengukuran tersebut, diturunkan
menjadi alur ukur yang disederhanakan ke
dalam tabel ASVARIN (Aspek, Variabel &
Indikator). Tabel ASVARIN tersebut
digunakan untuk mengategorikan variabel dan
indikator yang dikumpulkan dari teori dan
penelitian sebelumnya. Hal ini bertujuan agar
secara praktis, hasilnya dapat langsung
digunakan oleh Kementerian Pariwisata
khususnya Asdep Strategi dan Komunikasi di
Deputi Pengembangan Pemasaran I selaku
stakeholder dan penerima manfaat utama. Alur
penelitian lebih lanjut dijelaskan melalui bagan
berikut :
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerjasama co-branding digunakan oleh
merek-merek yang terlibat dalam
menyampaikan pesan tentang nilai produk dan
agar lebih memperkuat nilai brand induk setiap
mitra (Blackett & Russell, 2000). Hal yang
sama juga berlaku bagi brand WI, dimana
kerjasama ini ditujukan untuk memperkuat
ekuitasnya di mata konsumen. Sehingga
penting bagi stakeholder untuk mengetahui
sejauh mana persepsi dan sudut pandang
wisatawan, selaku end goal dari kebijakan ini.
Dalam mengevaluasi keberhasilan co-
branding dari sudut pandang wisatawan,
beberapa pilihan dapat dilakukan dengan
merincikannya ke dalam lima alternatif metode
pengukuran, yang pada penelitian sebelumnya,
dinyatakan tepat untuk mengukur co-branding.
Diantaranya dengan mengetahui brand
awareness (Washburn, 2000), brand image
(Kottemann et. at., 2017), brand attitude
(Mazodier & Maronka, 2014), purchase
intention (Wu & Chalip, 2013) serta kekuatan
elemen pembentuk co-branding (Keller,
2013). Kelima alternatif tersebut dapat
digunakan untuk mengukur keefektifan co-
branding, sehingga perlu juga dilakukan secara
holistik agar secara utuh dapat menjawab posisi
persepsi co-branding di mata wisatawan.
Kelima metode tersebut dijelaskan lebih lanjut
sebagai berikut.
1. Mengukur Brand Awareness dari Co-
branding
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
26
Brand awareness merupakan salah
satu dimensi yang dapat memperkuat
ekuitas brand. Penting untuk mengetahui
bagaimana sisi kesadaran dari wisatawan
terkait co-branding, agar dapat melihat nilai
yang muncul dan diciptakan terhadap brand
itu sendiri. Hal ini ditunjukkan dalam
penelitian sebelumnya, dimana ada
hubungan antara co-branding dan
peningkatannya terhadap brand awareness
(Prianti, 2015). Bahkan dalam penelitian
lain,
kerjasama antara dua brand dapat secara
“signifikan” meningkatkan akses ke
kelompok pasar baru serta meningkatkan
brand awareness keduanya (Decker-Lange
& Baade, 2016). Selain meningkatkan, co-
branding juga memiliki efek yang baik pada
“penguatan” brand awareness (Li & Wang,
2019). Pentingnya mengetahui tingkat
kesadaran dari co-branding inilah yang
menjadi sebab lazimnya menjadikan brand
awareness sebagai prioritas dan tujuan
utama keberhasilan dari kerjasama co-
branding (Frederick & Patil, 2010).
Selanjutnya, brand awareness yang
menguat karena kerjasama co-branding
tersebut dapat mengindikasikan nilai-nilai
untuk diukur. Indikasi tersebut dapat
menjadi asumsi awal efektif tidaknya
kerjasama ini. Aaker menjelaskan, terdapat
empat nilai yang muncul dari brand
awareness. Keempat nilai tersebut
diantaranya brand awareness dapat menjadi
anchor to which other associations can be
attached, familiarity, signal of substance,
hingga brand to be considered (Aaker,
1991). Dengan kata lain, jika dikaitkan
dengan pengukuran kesadaran brand
terhadap keluaran co-branding, nilai
tersebut; (1) dapat menghasilkan jangkar
penghubung antara brand dengan asosiasi
lain yang merepresentasikan keluaran co-
branding; (2) mengetahui seberapa familier
dan suka/tidaknya responden terhadap
keluaran co-branding; (3) dapat menjadi
signal untuk mengetahui kehadiran,
komitmen, dan substansi co-branding;
hingga (4) mengetahui apakah keluaran co-
branding tersebut menjadi pertimbangan
responden.
Brand awareness sendiri terbentuk
dari dua dimensi, yaitu performa brand
recall dan brand recognition (Keller, 2013).
Brand recall adalah kemampuan responden
untuk mendapatkan kembali brand
(retrieve) dari ingatan mereka ketika
diberikan isyarat mengenai kategori produk,
hingga kebutuhan responden yang terpenuhi
oleh produk tersebut.
Dengan kata lain, kemampuan
mengingat ulang keluaran co-branding dari
responden, bergantung pada kemampuan
mereka dalam mengingat kategori co-
branding yang tampak. Oleh karena itu,
kategori yang dimunculkan dalam instrumen
adalah elemen-elemen dari brand. Menurut
Keller (Keller, 2013), cara terbaik untuk
mendemonstrasikan brand recall adalah
dengan memberikan elemen-elemen brand
yang aktual kepada responden sebagai
isyarat dan pendekatan. Cara ini dinilai lebih
efektif, karena secara langsung, responden
tidak hanya ditanyai tentang elemen brand,
namun juga diminta untuk mengatakan
apakah mereka pernah melihatnya
sebelumnya. Secara teknis, pertanyaan
untuk menguji responden dapat dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu melalui
pemanggilan ulang brand dengan tanpa
bantuan (unaided recall) maupun dengan
bantuan (aided recall). Unaided recall lebih
melihat kepada dampak awareness brand
WI di area pasar partner co-brandingnya,
tanpa memasukkan informasi rekannya
sebagai isyarat pertanyaan. Sedangkan,
aided recall berarti melibatkan rekan co-
branding WI untuk mengetahui kemampuan
recall responden, dimulai dari isyarat yang
umum hingga menuju isyarat khusus.
Sebagai contoh, pada pendekatan
unaided recall, responden di jangkauan
pasar rekan co-branding akan ditanyai
dengan pertanyaan umum tanpa bantuan,
seperti tourism destination?”, country to
visit?” atau wonderful country? (jika
dikatikan dengan elemen slogan pada
brand). Sedangkan pada aided recall, jenis
pertanyaan lebih mengarah pada
keterlibatan rekan co-branding dalam
pertanyannya. Misalnya dengan pertanyaan
umum seperti “taxi for traveler?” (pada
kasus mitra transportasi), menuju ke
pertanyaan yang lebih khusus seperti taxi
for traveler in Indonesia?” atau preferred
taxi while travel in Indonesia?” dan
seterusnya. Contoh lain pada kasus
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
27
telekomunikasi, pertanyaan umumnya dapat
berupa cellular provider for traveler?”
menuju pertanyaan yang lebih khusus
seperti cellular provider for traveler in
Indonesia?”, atau preferred Cellular
provider while travel in Indonesia?”.
Berbeda dengan brand recall, brand
recognition adalah kemampuan responden
dalam mengonfirmasi keterpaparan mereka
sebelumnya terhadap brand. Dengan kata
lain, brand recognition dapat menjadi alat
ukur apakah wisatawan mengenali keluaran
co-branding melalui isyarat yang tampak.
Brand recognition mengharuskan responden
untuk dapat mengidentifikasi brand dalam
berbagai keadaan. Baik dengan
menyebutkan elemen co-branding secara
gamblang maupun keluaran co-branding
dalam bentuk aktivasi. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui tingkat pengetahuan
responden terhadap co-branding.
Pertanyaan tersebut dapat langsung
diarahkan menuju recognition keberadaan
co-branding, seperti “apakah Anda
mengetahui co-branding antara WI dan
mitra tertentu?” atau seputar keluaran co-
branding terkait aktivitas pasar, seperti
“apakah Anda mengetahui jika WI
mengadakan pameran melalui kerjasama
dengan mitra tertentu?”.
Namun, dalam beberapa kondisi,
bentuk jawaban tidak harus selalu berupa
pilihan ya/tidak, mengetahui/tidak
mengetahui. Pada kategori yang memiliki
jumlah mitra co-branding yang banyak,
pertanyaan dapat berupa jenis missing
letters, dimana responden diminta untuk
melengkapi huruf yang hilang dari mitra co-
branding tersebut. Misalkan pada kategori
mitra transportasi responden diminta untuk
melengkapi pertanyaan Transportation
choices for traveler in Indonesia? dengan
jawaban, G_A_ (Grab), TR_ _S J_K_ _T_
(Trans Jakarta) dan sebagainya. Selain
efektif, cara ini lebih menarik responden
dalam menjawab.
Untuk memudahkan stakeholder,
pendekatan brand awareness dalam
mengevaluasi co-branding tersebut di atas
diterjemahkan dalam alur ukur dan tabel
ASVARIN untuk dijadikan panduan dalam
membuat alat ukur, sebagai berikut:
Gambar 2. Alur ukur brand awareness dari co-branding (diolah peneliti)
Tabel 1. Asvarin brand awareness responden terhadap co-branding (diolah peneliti)
Aspek
Variabel
Indikator
Pertanyaan
Brand awareness
responden
terhadap
co-branding
Brand
Awareness
(Keller, 2013).
Brand
Recall
Unaided
Recall
Tourism destination? Country to visit? Wonderful
country?
Aided Recall
Taxi for traveler? Preferred taxi While travel in
Indonesia?
Brand Recognition
1. Do you remember having seen WI doing co-
branding with Blue Bird Taxi?
2. Complete the missing letter
a. B_U_ BI_D
b. EX_P_ _S_
c. G_MY_
Sumber: Keller, 2013 diolah peneliti
2. Mengukur Brand Image dari Co-branding
Brand image adalah persepsi
konsumen tentang sebuah brand (Keller,
2013). Brand image menjadi bagian penting
dalam menentukan mitra yang akan diajak
dalam kerjasama co-branding. Brand yang
saling terlibat dalam kerjasama haruslah
dipilih karena baiknya image mereka di
mata konsumen. Karena, ketika kedua brand
mitra tergabung dalam kerjasama atau
BRAND
AWARENESS
TOWARD CO-
BRANDING
DIMENSION
BRAND RECALL
CO-BRANDING ACTIVITIES
BRAND ELEMENTS
OR
STIMULI
AIDED RECALL
UNAIDED RECALL
BRAND
RECOGNITION
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
28
aktivasi, image tersebut akan turut
membawa pengaruh bagi keluarannya. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Blackett,
bahwa esensi dari co-branding pada
dasarnya adalah untuk mempromosikan dan
memperkuat image dari masing-masing
brand induk (Blackett & Russell, 2000).
Kerjasama co-branding memang saling
memberikan pengaruh (dan mempengaruhi)
diantara kedua image brand induk (Li &
Wang, 2019), dan mengidentifikasi image
tersebut, merupakan cara yang paling
menjanjikan untuk mendapat pengetahuan
awal terkait potensi co-branding di mata
konsumen (Kottemann, Decker, &
Hentschel, 2017).
Kecocokan image dari kedua brand,
merupakan dimensi yang paling penting
agar kerjasama co-branding tersebut dapat
dikatakan cocok (Fenger & Carl, 2010).
Namun, terlepas dari pertimbangan bahwa,
mitra yang diajak bekerjasama dengan WI
harus memiliki image baik di mata
konsumen, terdapat potensi munculnya
masalah terkait perubahan image konsumen
tersebut. Dengan adanya kerjasama co-
branding, ada kemungkinan hilangnya
kontrol dalam mengendalikan image dari
masing-masing brand yang saling
berkerjasama. Dimana hal tersebut
berdampak pada perubahan brand image
pada keluaran co-branding. Menurut Keller,
ada kemungkinan program pemasaran
antara brand saat berdiri sendiri dengan
brand setelah bekerjasama yang terkadang
memiliki tujuan berbeda. Hal tersebut
berpotensi untuk menghasilkan serta
mengirimkan sinyal yang berbeda dari
persepsi awal konsumen terhadap brand
(Keller, 2013).
Artinya, selama proses kerjasama
tersebut berlangsung, sangat mungkin
ditemukan adanya pergerseran image.
Konsumen bisa jadi merasa kebingungan
tentang bagaimana bentuk asli brand,
dimana selama kerjasama tersebut, akan
tertanam image-image lain di luar dari
image awal brand tersebut. Hal ini
disebabkan karena kerjasama co-branding
dapat memicu “peminjaman” atau
“pemindahan image, sebagai asosiasi
khusus yang sengaja diinginkan oleh kedua
mitra yang bekerjasama (Grebosz, 2012).
Yang menjadi masalah adalah jika image
tambahan tersebut bertentangan dengan
image awal dari brand yang telah terbangun
dan ditangkap oleh konsumen (sebelum
melakukan co-branding). Jika hal ini terjadi,
maka mitra perlu melakukan sanggahan
terhadap image tersebut, maupun
mengomunikasikan kembali kepada
konsumen bagaimana seharusnya brand
image tersebut dimaksudkan. Hal ini justru
dapat lebih merugikan mitra dibandingkan
dengan manfaat yang didapat. Inilah salah
satu alasan penting untuk mengetahui image
sebuah brand keluaran co-branding, agar
kedua mitra (atau lebih) dapat mengontrol
sejauh mana perubahan atau tambahan
image yang didapatkan paska kerjasama co-
branding. Sehingga jika ditemukan masalah
yang muncul selama kerjasama, dapat
segera dilakukan upaya evaluasi.
Dalam Strategic Brand Management,
Keller menjelaskan bahwa brand image
dapat terbentuk ketika konsumen
menangkap asosiasi dari brand tersebut.
Brand associations ini terdiri dari brand
attribute (fitur deskriptif yang menjadi ciri
produk atau layanan brand) maupun brand
benefit (nilai pribadi dan makna yang
dilekatkan konsumen pada brand) (Keller,
2013). Dalam mengevaluasi co-branding,
penulis lebih menekankan untuk melihat
komponen brand benefit, dimana brand
benefit berperan lebih banyak dalam
mengetahui apa yang konsumen tangkap,
percayai, hingga secara kredibel mengetahui
manfaat klaim yang ditawarkan brand pada
mereka (Kotler & Keller, 2012).
Selanjutnya, untuk melihat bagaimana
responden mengasosiasikan sebuah brand,
stakeholder perlu mengetahui bagaimana
sudut pandang wisatawan terhadap elemen
yang mengasosiasikan sebuah brand (brand
associations element). Elemen tersebut
diantaranya; strength (seberapa kuat
anggapan responden terhadap brand dilihat
dari relevansinya secara pribadi dan
konsistensi yang disajikannya dari waktu ke
waktu); favorability (seberapa penting
responden mengutamakan brand
dibandingkan lainnya dilihat dari situasi dan
variasi capaiannya); serta uniqueness (apa
yang responden tanggap sebagai keunggulan
kompetitif dari brand sebagai alasan mereka
mengonsumsinya). Ketiga elemen inilah
yang menjadi indikator untuk diturunkan ke
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
29
dalam bentuk pertanyaan relevan sebagai
tolak ukur menjawab belief dari
responden, atau dengan kata lain, brand
image yang ditangkap oleh responden.
Untuk memudahkan stakeholder
memahami pendekatan brand image dalam
mengevaluasi co-branding, penulis
menerjemahkannya dalam alur ukur dan
tabel Asvarin sebagai bahan panduan,
sebagai berikut:
Gambar 3. Alur Ukur Brand Image Terhadap Co-branding (Diolah Peneliti)
Tabel 2. Asvarin brand image responden terhadap co-branding (diolah peneliti)
Aspek
Variabel
Indikator
Pertanyaan
Image
wisatawan
terhadap co-
brand WI
Brand
Association
Elements
Strength of Co-
brand
Associations
1. Apa yang terlintas dalam pikiran anda ketika memikirkan
kerjasama brand ini?
2. Apa ingatan terkuat anda tentang kerjasama brand ini?
Favorability of
Co-brand
Associations
3. Apa yang anda sukai dan tidak dari kerjasama brand ini?
4. Apa yang buruk dari kerjasama brand ini?
Uniqueness of
Co-brand
Associations
1. Apa keunikan dari kerjasama brand ini?
2. Karakteristik atau fitur apa yang membedakan brand dengan
yang lain?
Sumber: Kotler & Keller, 2012 diolah peneliti
3. Mengukur Sikap Konsumen Terhadap
Co-branding (Brand Attitude)
Sikap konsumen terhadap co-
branding, terbentuk melalui pengalaman
konsumen terhadap masing-masing brand
induk (Leonita, 2012). Pengalaman
konsumen terhadap brand tersebut juga
turut membentuk asosiasi dari informasi
yang mereka dapatkan mengenai brand.
Begitu juga menurut Xiao, sikap konsumen
terhadap co-branding dipengaruhi oleh
sikap konsumen terhadap brand mitra (Na,
2014). Bahkan, kesetaraan sikap konsumen
terhadap kedua mitra, juga mempengaruhi
konsumen secara positif dalam melihat
konteks co-branding (Dickinson & Heath,
2006). Dengan kata lain, pengalaman yang
dirasakan konsumen pada brand mitra, akan
bersentuhan dengan sikap mereka terhadap
keluaran co-branding. Pada contoh kasus
mitra taksi Bluebird misalnya, sebelum
adanya kerjasama co-branding, setiap
konsumennya telah memiliki sikap terhadap
brand tersebut. Setelah Bluebird melakukan
kerjasama co-branding dengan WI, maka
akan ada kemungkinan perubahan sikap-
sikap konsumen tertentu pada keluaran
kerjasama ini yang berbeda dari brand
induk.
Adanya perubahan sikap konsumen
terhadap kerjasama co-branding ini, perlu
untuk diidentifikasi stakeholder agar dapat
memantau sejauh mana pergerakan sikap
konsumen pada brand induk. Ini karena
sikap konsumen terhadap brand yang saling
bekerjasama akan mempengaruhi sikap
mereka berikutnya kepada masing-masing
mitra (Simonin & Ruth, 1998). Artinya, jika
sikap antara brand induk dari mitra dan
sikap konsumen terhadap co-branding, akan
saling mempengaruhi satu sama lain, maka
BRAND IMAGE TOWARD CO-BRANDING
BRAND ASSOCIATION
BRAND BENEFIT
BRAND ASSOCIATION ELEMENTS
FAVORABILITY
STRENGTH
UNIQUENESS
CO-BRANDING ASSOCIATION BELIEF
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
30
mengetahui sikap konsumen terhadap co-
branding, menjadi penting bagi kerjasama
maupun brand induk masing-masing mitra.
Pada prinsipnya, sikap konsumen
terhadap brand dapat diukuri melalui tiga
komponen. Diantaranya adalah dengan
mengetahui secara kognitif apa yang
mereka percayai tentang sebuah brand
(beliefs), apa yang secara afektif mereka
rasakan dari sebuah brand (feelings) dan
bagaimana mereka secara behavioral
merespon brand tersebut dalam bentuk
aktifitas tertentu (behavioral) (Hawkins &
Mothersbaugh, 2015b). Ketiga komponen
tersebut, menjadi indikator dalam
menentukan bagaimana sikap konsumen
terhadap stimuli tertentu, yang dalam hal ini
adalah keluaran kerjasama co-branding,
baik berupa placement, aktivasi, produk dan
hasil-hasil keluaran kerjasama lainnya.
Dengan mengidentifikasi komponen
kognitif, maka stakeholder nantinya dapat
mengetahui seberapa yakin wisatawan
terhadap keluaran kerjasama co-branding.
Selain mengetahui apa yang wisatawan
percayai dari keluaran co-branding,
komponen ini juga dapat menjaring seberapa
penting dan idealnya co-branding bagi
mereka. Sebagai contoh, kerjasama co-
branding antara WI dengan taksi Bluebird,
bertujuan menghadirkan image bahwa
Bluebird merupakan taksi yang tepat untuk
wisatawan. Maka dalam hal ini pengukuran
akan diarahkan pada seberapa percaya
mereka dengan nilai tersebut. Hal ini juga
berlaku pada nilai lain sebagai turunannya.
Misalnya, taksi yang dipercaya oleh
wisatawan dapat dibreakdown menjadi taksi
yang dipercaya aman, taksi yang dipercaya
nyaman, dan lain sebagainya, hingga
ditemukan nilai yang mereka percayai
sebagai kesimpulan dari komponen
kognitifnya.
Pada Komponen afektif, pengukuran
lebih mengedepankan perasaan responden
tentang atribut tertentu dari co-branding.
Komponen ini bertujuan untuk mengetahui
pemahaman responden yang lebih kaya
tentang sebuah sikap dan perasaan daripada
yang hanya didasarkan pada komponen
kognitif. Komponen ini biasanya diukur
dengan menggunakan pilihan seperti,
baik/buruk, suka/tidak suka, senang/sedih,
nyaman/tidak nyaman, dan sebagainya.
Hasilnya, komponen ini akan dapat
mengetahui bahwa responden menyukai
Bluebird karena rasa amannya, namun
merasa tidak nyaman dengan
harganya/ketersediaannya.
Berbeda dengan komponen afektif
dan kognitif yang mengukur pikirkan
responden, komponen behavioral digunakan
untuk mengetahui kecenderungan dan
respon responden melalui aksi dan tindakan
yang diinginkan terkait keluaran co-
branding. Dimana hasil pengukuran tersebut
akan mengidentifikasi tindakan selanjutnya
terhadap stimuli. Hasilnya, komponen ini
akan mengetahui serangkaian keputusan
responden untuk naik/tidak naik taksi
Bluebird, merekomendasikan/tidak taksi
Bluebird, dan contoh jawaban lain terkait
perilaku responden.
Untuk memudahkan stakeholder
memahami pendekatan sikap konsumen
dalam mengevaluasi co-branding, penulis
menerjemahkannya dalam alur ukur dan
tabel Asvarin, sebagai berikut:
Gambar 4. Alur Ukur Sikap Konsumen Melalui Komponen Sikap dan Manifestasi Terhadap Co-branding
(Diolah Peneliti)
STIMULI
Beliefs about specific
attributes or overall of
co-branding
COGNITIVE
ATTITUDE COMPONENTS AND MANIFESTATIONS TOWARD CO-BRANDING
OVERALL
ORIENTATION
TOWARD
CO-BRANDING
CO-BRANDING
AKTIVASI, PLACEMENT,
PROMO, FESTIVAL, DLL
AFFECTIVE
Emotions or feelings about
specific attributes or overall
of co-branding
COMPONENT
MANIFESTATION
ATTITUDE
BEHAVIORAL
Behavioral intentions
with respect to specific
attributes or overall object
of co-branding
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
31
Tabel 3. Asvarin Sikap Konsumen terhadap Co-branding (diolah peneliti)
Aspek
Variabel
Indikator
Pertanyaan
Sikap
Konsumen
terhadap Co-
branding
Komponen
Kognitif
Belief
Saya percaya bahwa (keluaran co-branding mitra dengan WI):
1. Aman Tidak Aman
2. Nyaman Tidak Nyaman
3. Harga terjangkau Harga Mahal
Komponen
Afektif
Emotion &
Feelings
1. Saya suka dengan (stimuli 1)
2. (Stimuli 2) … menurut saya
3. Saya merasa ... dengan (stimuli 3)
Komponen
Behavioral
Actions or
Intended
Actions
1. Taksi terakhir yang saya naiki selama di Indonesia …
2. Saya akan merekomendasikan taksi ini … karena?
Sumber: Hawkins & Mothersbaugh, 2015 diolah peneliti
4. Mengukur Customer Purchase Intention
Terhadap Co-branding
Selain perlunya mengidentifikasi
sikap konsumen kepada keluaran co-
branding, penting juga untuk mengetahui
bagaimana purchase intention (niat beli)
konsumen terhadap keluaran co-branding.
Purchase intention adalah situasi di mana
konsumen cenderung membeli produk
tertentu secara pasti pada kondisi tertentu
(Morinez et al., 2007 dalam Sohel et al.,
2015). Menurut Morwitz, purchase
intention sering digunakan sebagai bahan
masukan untuk memperkirakan potensi, dan
proyeksi penjualan produk, baik produk
baru, produk yang masih dalam konsep
pengembangan maupun produk yang
ditujukan untuk tes pasar (Morwitz, 2014).
Menurut kategori ini, maka keluaran co-
branding sesuai dan memungkinkan untuk
diukur melalui pendekatan purchase
intention.
Pendekatan ini dibutuhkan untuk
melengkapi pengukuran sebelumnya,
dimana sikap konsumen menjadi alat ukur
efektif/tidaknya kerjasama co-branding.
Dengan mengetahui sikap konsumen,
stakeholder hanya
dapat melihat dan mengukur bagaimana
attitude konsumen terhadap brand. Namun
dengan menambahkan niat beli untuk
diukur, stakeholder dapat mengidentifikasi
kemungkinan adanya pembelian oleh
konsumen. Banyak literatur telah
menunjukkan bahwa niat beli konsumen
digunakan untuk mengetahui kemungkinan
pembelian nyata mereka (Morwitz, 2014).
Sehingga, perpaduan keduanya, bukan saja
memudahkan stakeholder untuk
mengidentifikasi sikap responden (melalui
tiga komponen kognitif, afektif, behavioral),
namun sekaligus dapat menghubungkan
antara sikap dengan kemungkinan
pembelian nyata mereka terhadap keluaran
co-branding dan membandingkannya pada
setiap mitra.
Gollwitzer merincikan, bahwa niat
beli konsumen dapat diketahui dengan
mengidentifikasi keadaan dan rencana
khusus bagaimana, kapan, dan dimana
niat atau tujuan tersebut akan dipenuhi
(Gollwitzer 1999 dalam V. Morwitz, 2014).
Ketiga keadaan tersebut selanjutnya akan
menjadi indikator untuk mengukur
konsistensi dari niat beli konsumen. Namun
dalam mengukur niat beli konsumen, agar
hasil pengukuran valid dan reliable,
responden yang dipilih, haruslah memiliki
pengalaman dengan produk/aktifasi
co-branding terlebih dahulu. Hal ini
disebutkan oleh Morwitz, dimana konsumen
cenderung untuk memiliki lebih banyak
informasi yang dapat membentuk niat beli
mereka terhadap suatu produk, yang mereka
telah memiliki pengalaman terhadapnya,
dibanding produk yang belum (Morwitz,
2014). Dalam kasus co-branding, maka
responden haruslah mereka yang telah
bersentuhan langsung dengan keluaran
kerjasama ini, baik dalam bentuk aktivasi,
kesadaran terhadap placement, maupun
keluaran lainnya.
Sebagai pertimbangan tambahan,
dengan mengukur niat beli konsumen,
stakeholder dapat sekaligus mengintervensi
mereka untuk segera, memastikan dan
secara tidak langsung memetakan keinginan
belinya. Ini dikarenakan, mengukur niat beli
konsumen dapat meningkatkan kekuatan
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
32
hubungan antara niat konsumen sebenarnya
dengan pembelian berikutnya (Sherman
dalam Morwitz, 2014) dan mengurangi
kemungkinan konsumen menarik kembali
keinginan belinya paska memiliki
pengalaman terhadap produk tersebut
(Orbell et al., 1997 dalam Morwitz, 2014)
Keseluruhan penjelasan bagaimana
niat beli penting sebagai indikator
pengukuran tambahan setelah sikap
konsumen terhadap co-branding, oleh
penulis disederhanakan dalam bentuk alur
piker dan table Asvarin agar lebih mudah
diaplikasikan di lapangan, sebagai berikut:
Gambar 5. Alur Ukur Customer Purchase Intention Terhadap Co-branding (Diolah Peneliti)
Tabel 4. Asvarin Customer Purchase Intention Terhadap Co-branding (diolah peneliti)
Aspek
Variabel
Indikator
Pertanyaan
Purchase intention
konsumen paska
aktifitas co-
branding
Specific
Circumstances
And plans
How
Bagaimana anda akan membeli produk co-
branding ini?
When
Kapan/kapan saja anda akan membeli produk co-
branding ini?
Where
Dimana/dimana saja anda akan membeli produk
co-branding ini?
Sumber: Gollwitzer, 1999 diolah peneliti
5. Mengukur Kekuatan Elemen Pembentuk
Co-branding
Salah satu tujuan kerjasama co-
branding antara WI dengan Mitra terpilih,
adalah untuk memperkuat dan memperluas
jangkauan brand equity setiap mitra. Hal
tersebut dapat dilakukan salah satunya
dengan mengukur enam dimensi sebagai
syarat kuat dan menguntungkannya sebuah
hubungan kerjasama antar mitra co-
branding. Dimensi-dimensi tersebut harus
dimiliki oleh keduanya, agar kerjasama yang
dilakukan saling menguntungkan dan
berpengaruh positif terhadap keluaran co-
brandingnya. Keenam dimensi tersebut
diantaranya; adequate brand awareness;
sufficiently strong, favorable, unique
associations; positive consumer judgments
dan positive consumer feelings (Keller,
2013).
Dimensi adequate brand awareness,
digunakan untuk mengukur kemampuan
responden dalam mengenali dan mengingat
keluaran co-branding tertentu, sebagai
bagian dari kategori produk atau brand yang
saling bekerja sama. Sehingga, penting
untuk memahami pengetahuan responden
tentang keberadaan masing-masing brand
induk terlebih dahulu, sebelum mengukur
pengetahuan tentang co-branding diantara
mitra tersebut. Meskipun demikian, jika
didapati pengetahuan tentang co-branding
lebih dominan disadari oleh responden, ini
dapat menjadi indikasi bahwa salah satu dari
mitra mendapatkan manfaat dari keberadaan
kerjasama tersebut.
Dimensi sufficiently strong,
digunakan untuk mengidentifikasi seberapa
kuat sebuah brand, juga untuk mengetahui
kekuatan dari keluaran kerjasama co-
branding menurut responden. Dimensi
favorable digunakan untuk mengetahui
bagaimana perasaan responden seperti
mendukung, memihak, suka atau tidak suka
responden terhadap co-branding maupun
keluarannya. Dimensi unique associations,
digunakan untuk mengukur keunikan dan
keunggulan dari brand dibandingkan brand
PURCHASE
INTENTION
PURCHASE INTENTION MEASUREMENT TOWARD CO-BRANDING ACTIVITY
SPECIFIC CIRCUMSTANCES
AND PLANS
HOW
WHEN
WHERE
CO-BRANDING
ACTIVITY 1
CO-BRANDING
ACTIVITY 2
CO-BRANDING
ACTIVITY 3
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
33
lainnya di mata responden. Selanjutnya,
dimensi positive consumer judgments dapat
mengetahui pendapat dan evaluasi personal
responden terhadap co-branding
berdasarkan kinerja brand dan asosiasi citra
yang dipersepsikannya. Sedangkan dimensi
positive consumer feelings digunakan untuk
mengetahui reaksi dan emosi positif
responden terhadap co-branding dan
keluarannya.
Masing masing dimensi dapat diukur
dan diurutkan berdasarkan nilai yang
didapat, sehingga diakhir pengukuran akan
diketahui dimensi apa saja yang paling
dominan dari sisi responden. Dimensi
terkuat ini menunjukkan hasil yang dicapai
dari adanya kerjasama co-branding.
Dimensi-dimensi tersebut juga dapat
menjawab kecenderungan kuat/tidak kuat
(untuk mengetahui kondisi elemen co-
branding), serta menguntungkan/merugikan
(untuk menentukan
ada tidaknya potensi untuk terus melakukan
co-branding) antara WI dengan mitra yang
diukur. Sebagai contoh, nantinya,
stakeholder dapat mengetahui bahwa
kerjasama co-branding antara WI dengan
Mitra A, memiliki kekuatan dari sisi dimensi
sufficiently strong dan favorable namun
lemah pada dimensi positive consumer
judgments dan positive consumer feelings.
Sehingga stakeholder dapat melakukan
langkah praktis untuk dapat menambah
keunggulan dari kerjasama tersebut (jika
dihendaki untuk terus melakukan
kerjasama) atau menjadikan
“disadvantages” sebagai evaluasi untuk
menghentikan kerjasama co-branding
tersebut.
Pengukuran efektifitas co-branding
melalui enam dimensi di atas, diterjemahkan
oleh penulis ke dalam alur ukur dan tabel
Asvarin, agar lebih praktis dilakukan
stakeholder, sebagai berikut:
Gambar 6. Alur Ukur Dimensi Co-branding (Diolah Peneliti)
Tabel 5. Asvarin Dimensi Co-branding
Aspek
Variabel
Indikator
Pertanyaan
Co-branding
Dimentions
Measurement
Dimensi yang
harus dimiliki
Co-branding
Adequate Brand
Awareness
1. Seberapa anda mengetahui brand “mitra”?
2. Seberapa anda mengetahui brand “WI”?
3. Seberapa anda mengetahui co-branding antara “mitra” dan
“WI”?
Sufficiently
Strong Brand
1. Apakah brand “mitra” melekat kuat di pikiran anda?
2. Apakah brand “WI” melekat kuat di pikiran anda?
3. Apakah co-branding antara “mitra” & “WI” melekat kuat
diingatan anda?
Favorable
1. Apakah menurut anda co-branding ini unik?
2. Menurut anda, apa keunikannya?
3. Apakah keunikan tersebut mewakili kedua brand yang
bekerjasama?
POTENTIAL MEASUREMENT
OF CO-BRANDING
ADVANTAGES
ADEQUATE BRAND
AWARENESS
SUFFICIENTLY
STRONG BRAND
CO-BRANDING
DIMENTIONS SHOULD HAVE
STRENGTH
CONDITIONS OF
CO-BRANDING ELEMENTS
CO-BRANDING DIMENTIONS MEASUREMENT
UNIQUE
ASSOCIATIONS
POSITIVE
CONSUMER
JUDGMENTS
DISADVANTAGES
FAVORABLE
WEAKNESS
POSITIVE
CONSUMER
FEELINGS
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
34
Unique
Associations
1. Apakah keunikan co-branding ini menurut anda?
2. Apakah keunikan tersebut mewakili brand “Mitra”?
3. Apakah keunikan tersebut mewakili brand “WI”?
Positive
Consumer
Judgments
1. Menurut anda bagaimana kinerja dari co-branding ini?
2. Apakah kinerja tersebut mencerminkan kinerja brand
“mitra”?
3. Apakah kinerja tersebut mencerminkan kinerja brand
“WI”?
Positive
Consumer
Feelings
1. Adakah perasaan positif anda terhadap co-branding ini?
2. Apakah perasaan positif tersebut juga anda dapatkan dari
brand “mitra”?
3. Apakah perasaan positif tersebut juga anda dapatkan dari
brand “WI”?
Sumber: Keller, 2013 diolah peneliti
SIMPULAN
Penelitian ini telah menemukan lima cara
alternatif untuk mengevaluasi kerjasama co-
branding WI dengan mitra dari sudut pandang
wisatawan. Yaitu dengan mengukur brand
awareness, brand image, brand attitude,
purchase intention dan kekuatan elemen
pembentuk co-branding. Setelah mengetahui
metode pengukuran tersebut, maka dalam
pelaksanannya, kelima alat ukur ini harus
dibandingkan secara seimbang (apple to apple).
Penting bagi stakeholder untuk membuat
pengelompokan dan prioritas agar memperoleh
nilai dan perbandingan yang seimbang melalui
indikator pengukuran tersebut. Sehingga,
keputusan untuk mengevaluasi dan mengambil
kebijakan lanjutan terkait mitra (seperti
berlanjut atau tidaknya, menguntungkan atau
tidaknya sebuah kerjasama) dapat diambil
dengan lebih tepat.
Berangkat dari pengelompokan yang
telah diketahui dalam “laporan panduan
kerjasama co-branding Wonderful Indonesia”
(Kemenpar, 2017) dan “paparan peran serta
sinergi program co-branding (Kemenpar,
2019), penulis menentukan prioritas untuk
meletakkan mitra ke dalam kelompok yang
sama, sebelum nantinya diukur melalui kelima
metode pengukuran yang dijelaskan
sebelumnya pada tabel 6.
Prioritas pertama untuk dapat secara
sepadan mengukur efektifitas co-branding dari
sudut pandang wisatawan adalah dengan
mengelompokkan mitra sesuai dengan
kategorinya, lalu membedakannya dengan jenis
perusahaan, artinya, dari ke 4 kategori
mitra, masing-masing memiliki 14 jenis
perusahaan untuk dikelompokkan. Sebagai
alternatif, pendekatan kategori mitra juga dapat
digantikan dengan jenis mitra melalui tingkatan
MOU kerjasamanya. Selanjutnya
pengelompokan yang paling penting adalah
pada jenis aktivasi dari kerjasama mitra
tersebut. Perbandingan baru dapat dikatakan
seimbang jika pengukuran dilakukan menurut
jenis aktivasi yang sepadan. Sebagai contoh,
aktivasi branding yang diukur melalui metode
A, harus dibandingkan dengan aktivasi
branding pada mitra-mitra yang lain.
Perbandingan dengan aktivasi yang berbeda
berpotensi menambah peluang error, karena
obyek pembanding tidak seimbang dan kurang
relevan.
Selain itu, jika ingin mendalami proses
evaluasi pada masing-masing mitra, maka
pengelompokan harus melibatkan dua indikator
tambahan. Diantaranya adalah pertimbangan
untuk mengelompokkan mitra (dari setiap
kategori di setiap jenis perusahaan / tingkatan
MOU kerjasamanya) dari cakupan pasarnya.
Artinya, mitra akan dibagi berdasarkan wilayah
aktivasi dari keluaran kerjasamanya. Semisal,
aktivasi dari mitra yang berada di pasar Asia,
akan dibandingkan dengan wilayah aktivasi
mitra di pasar serupa. Sehingga nantinya akan
didapati kesimpulan pada setiap pasar,
bagaimana kondisi, bobot, urgensi dan
intensitas perlu tidaknya menambah serta
mengurangi kerjasama co-branding di pasar
tertentu.
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
35
Tabel 6. Prioritas Pengelompokan Mitra
Prioritas
Pengelompokan
1a
Kategori Mitra
▪ Korporasi ▪ Endorsers/Artis Entrepreneur
▪ Restoran Diaspora ▪ UMKM
1b
Jenis Mitra
Bronze Silver Gold Platinum Diamond
2
Jenis
Perusahaan
14 Jenis Perusahaan
▪ Fast-Moving Consumer Goods ▪ Hotel, Resto, Mall ▪ Retailer ▪ Fesyen ▪ Bisnis Online ▪
Media ▪ Tour & Travel ▪ Telekomunikasi ▪ Transportasi ▪ Perbankan & Finans ▪ Manufaktur
▪ Medikal ▪ BUMN ▪ Jasa Kurir
3
Jenis Aktivasi
Co-creation level 1 (Branding dan PR-ing)
Co-creation level 2 (Kegiatan Advertising, Placement media di Billboard, Microsite dan
Social media)
Co-creation level 3 (Kegiatan Pameran, Festival, Sales Mission dan Famtrip)
4
Market
Coverage
Luar Negeri (Fokus Pasar Brand WI)/
Dalam Negeri (Destinasi, Provinsi, Kabupaten, Kota)
5
Effort Level &
Cost Reduction
Level
Effort Level (Biaya, SDM, Waktu)
Cost Reduction Level (Besaran biaya pemasaran yang dihemat dengan adanya
kerjasama co-branding tersebut)
Sumber: diolah peneliti
Penting juga untuk mempertimbangkan
tingkat effort yang dikeluarkan brand WI serta
berapa pengeluaran pemasaran yang sudah
direduksi melalui kerjasama ini. Sebagaimana
salah satu tujuan besar dari inisiasi kerjasama co-
branding WI adalah untuk mengurangi anggaran
APBN yang terbatas melalui cost sharing dengan
anggaran mitra co-branding. Dengan demikian
proses prioritas dari pengelompokan mitra
tersebut dapat digambarkan dalam alur pada
gambar 7.
Implikasi langsung dari penelitian ini adalah
didapatinya lima alternatif metode dalam
mengukur keefektifan kerjasama co-branding WI
dengan mitra terkait dari sisi wisatawan. Kelima
alternatif tersebut dapat dijadikan acuan lapangan
yang secara aplikatif dijadikan alat ukur.
Sehingga secara kuantitatif, nantinya acuan ini
dapat menjawab kebutuhan stakeholder dalam
menentukan posisi kerjasama co-branding
dengan mitra yang terlibat.
Penelitian ini menjadikan segmen
wisatawan sebagai batasan penelitian. Dimana,
subyek pengukuran tidak dapat dirincikan pada
jenis wisawatan mancanegara atau wisatawan
nusantara karena keterbatasan data. Pilihan
tersebut akan dikembalikan pada masing-masing
merek yang diajak bekerja sama dan akan diukur
nantinya. Selain itu, Batasan penelitian ini juga
membatasi pilihan metode evaluasi co-branding
hanya dari pendekatan konsumen saja, sehingga
sangat mungkin didapati cara pengukuran yang
lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, kelima
metode pengukuran tersebut dapat diaplikasikan
di lapangan kepada setiap mitra yang potensial
dalam penelitian selanjutnya. sehingga, hasil
penelitian lanjutan tersebut nantinya dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil
kebijakan terkait kerjasama co-branding di tahun-
tahun mendatang. Sifatnya yang konseptual
menjadikan penelitian ini terbatas pada tataran
konsep dan pendalaman secara kualitatif. Perlu
pendekatan kuantitatif lebih lanjut untuk
mengaplikasikan hasil dan temuan dalam
penelitian ini agar dapat dimanfaatkan untuk
mengukur tingkat efektifitas dari co-branding WI
pada setiap mitra yang saling bekerjasama.
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
36
Gambar 7. Alur Pengelompokan Mitra (Objek Pengukuran) (Diolah Peneliti)
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Aaker, D. A. (1991). Managing brand equity :
capitalizing on the value of a brand name.
Retrieved from
https://search.library.wisc.edu/catalog/99963
2623802121
Fenger, L., & Carl, S. M. (2010). The Future of Co-
branding, A Study of Cross-border Brand
Alliances. Copenhagen Business School.
Grebosz, M. (2012). The Outcomes of the Co-
branding Strategy. Chinese Business Review,
11(9), 823829. Retrieved from
http://www.davidpublisher.com/Public/uploa
ds/Contribute/5514c3d22e092.pdf
Hawkins, D. I., & Mothersbaugh, D. L. (2015a).
Consumer Behavior : Building Marketing
Strategy. NY: McGraw-Hill Higher
Education.
Hawkins, D. I., & Mothersbaugh, D. L. (2015b).
Consumer Behavior : Building Marketing
Strategy. Retrieved from
http://public.ebookcentral.proquest.com/choi
ce/publicfullrecord.aspx?p=5493837
Kapferer, J.-N. (2004). The New Strategic Brand
Management.
Keller, K. L. (2013). Strategic Brand Management,
Building, Measuring, and Managing Brand
Equity Global Edition. In Pearson Education,
Inc., © 2013 (4th ed.). England: Pearson.
Kotler, P., & Keller, K. L. (2012). Marketing
management.
Jurnal/Proceeding/Skirpsi/Tesis/Disertasi
Blackett, T., & Russell, N. (2000). Co-branding,
The Science of Alliance.
https://doi.org/https://doi.org/10.1057/bm.20
00.3
Decker-Lange, C., & Baade, A. (2016). Consumer
perceptions of co-branding alliances:
Organizational dissimilarity signals and
brand fit. Journal of Brand Management, 23.
https://doi.org/10.1057/s41262-016-0013-5
Diana, S. (2007). The equity effect of product
endorsement by celebrities: A conceptual
framework from a co‐branding perspective.
European Journal of Marketing, 41(1/2),
121134.
https://doi.org/10.1108/03090560710718148
Dickinson, S., & Heath, T. (2006). A comparison
of qualitative and quantitative results
concerning evaluations of co-branded
offerings. Journal of Brand Management, 13.
https://doi.org/10.1057/palgrave.bm.2540281
Frederick, H., & Patil, S. (2010). The dynamics of
brand equity, Co-branding and sponsorship
in professional sports. International Journal
of Sport Management and Marketing - Int J
Sport Manag Market, 7.
https://doi.org/10.1504/IJSMM.2010.029711
Groen, A. J., & Lee, L. K. . (2013). Nation Brand
Management. Archives of Design Research.
https://doi.org/10.15187/adr.2013.05.26.2.55
Hassan, S., & Mahrous, A. (2019). Nation
branding: the strategic imperative for
sustainable market competitiveness. 1.
https://doi.org/10.1108/JHASS-08-2019-
0025Kottemann, P., Decker, R., & Hentschel,
D. (2017). Measuring Brand Image
Perceptions in Co-branding. SSRN Electronic
Journal.
https://doi.org/10.2139/ssrn.2910096
ALUR PENGELOMPOKAN MITRA
MITRA A
MITRA Z
PERUSAHAAN 1
PERUSAHAAN 14
………………………………………
AKTIVASI Z
AKTIVASI Y
AKTIVASI X
METODE 1
METODE 2
METODE 3
METODE 4
METODE 5
KATEGORI/
JENIS MITRA
JENIS
PERUSAHAAN
JENIS
AKTIVASI
METODE
PENGUKURAN
PERTIMBANGAN
TAMBAHAN
MARKET
COVERAGE
EFFORT L EVEL &
COST REDUCTION
LEVEL
………………………
………………
+
PERUSAHAAN 2
P-ISSN: 19079419
E-ISSN: 2685 - 9076
Juni 2020
Jurnal Kepariwisataan Indonesia 14 (1) (2020)
37
Leonita. (2012). Analisis sikap konsumen pada
strategi Co-branding Walls Buavita.
Universitas Indonesia.
Li, K., & Wang, X. (2019). HOW DOES CO-
BRANDING INFLUENCE BRAND IMAGE :
A qualitative research on Supreme’s brand
image from consumers’ perspectives.
Retrieved from http://uu.diva-
portal.org/smash/get/diva2:1331181/FULLT
EXT01.pdf
Mazodier, Marc & Merunka, Dwight. (2014).
Beyond brand attitude: Individual drivers of
purchase for symbolic cobranded products.
Journal of Business Research. 67. 15521558.
Morwitz, V. (2014). Consumers’ Purchase
Intentions and their Behavior. Foundations
and Trends® in Marketing, 7(3), 181230.
https://doi.org/10.1561/1700000036
Na, X. (2014). Brand identity fit in co-branding: The
moderating role of C-B identification and
consumer coping. European Journal of
Marketing, 48(7/8), 12391254.
https://doi.org/10.1108/EJM-02-2012-0075
Oeppen, J., & Jamal, A. (2014). Collaborating for
success: managerial perspectives on co-
branding strategies in the fashion industry.
Journal of Marketing Management, 30(910),
925948.
https://doi.org/10.1080/0267257X.2014.9349
05
Prianti, N. P. (2015). Analysis of integrated
marketing communication effect to brand
equity in the case of fast-fashion brand
Hennes and Mauritz (H&M) and high-end
brand designer co-branding strategy.
Sattayawaksakul, D., A. Cote, J., &
Tiangsoongnern, L. (2019). Consumer
Evaluations of Co-branding: Analyzing the
Relationship of Brand Image Consistency,
Brand Personality Similarity, Brand
Extension Authenticity, and the Congruency
between For-profit and Non-profit Parent
Brand. TNI Journal of Business
Administration and Languages, Vol.7(No.1
January-June 2019), 1926.
Shah, S., Aziz, J., Jaffari, A. R., Waris, S., Ejaz, W.,
Fatima, M., & Sherazi, S. (2012). The impact
of brands on consumer purchase intentions.
Asian Journal of Business Management, 4,
105110.
Simonin, B., & Ruth, J. (1998). Is a Company
Known by the Company It Keeps? Assessing
the Spillover Effects of Brand Alliances on
Consumer Brand Attitudes. Journal of
Marketing Research, 35, 3042.
https://doi.org/10.2307/3151928
Sohel, R., Osman, A., & Haji-Othman, Y. (2015).
Factors Affecting Purchase Intention of
Customers to Shop at Hypermarkets.
Mediterranean Journal of Social Sciences, 6.
https://doi.org/10.5901/mjss.2015.v6n3p429
Tasci, A. D. A., & Denizci Guillet, B. (2011). It
affects, it affects not: A quasi-experiment on
the transfer effect of co-branding on
consumer-based brand equity of hospitality
products. International Journal of Hospitality
Management, 30(4), 774782.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ijhm.
2010.12.009
Voss, K. E., & Tansuhaj, P. (1999). A Consumer
Perspective on Foreign Market Entry. Journal
of International Consumer Marketing, 11(2),
3958.
https://doi.org/10.1300/J046v11n02_03
Washburn, J. (2000). Co‐branding: brand equity and
trial effects. Journal of Consumer Marketing,
17(7), 591604.
https://doi.org/10.1108/07363760010357796
Wu, D. & Chalip, Laurence. (2013). Effects of co-
branding on consumers' purchase intention and
evaluation of apparel attributes. Journal of
Global Scholars of Marketing Science. 24. 1-
20. 10.1080/21639159.2013.852910.
Artikel/Naskah Seminar/Report
Bloom-Consulting. (2015). Country Brand Ranking
2014-2015, Tourism Edition.
Bloom-Consulting. (2017). Country Brand Ranking
2017-2018, Tourism Edition.
Bloom-Consulting. (2019). Country Brand Ranking
2019-2020, Tourism Edition.
Kemenpar. (2017). Panduan Kerjasama Co-
branding Wonderful Indonesia. Jakarta.
Sumber Online/Media Massa
Kemenpar, D. (2019). Mempertegas Peran dan
Sinergi Industri Pariwisata: PROGRAM CO-
BRANDING.
... Co-branding merupakan sebuah strategi pemasaran yang menyatukan pihak dengan tujuan memanfaatkan keunggulan masing-masing dan meningkatkan nilai tambah pelanggan atau konsumen (Setiawan & Rubiyanti, 2023). Menurut Keller (Hakim, 2020) terdapat enam dimensi terukur penting yang harus ada agar strategi co-branding dapat berhasil, salah satu dimensi tersebut adalah brand is sufficiently strong, pihak yang terlibat merupakan pihak dengan reputasi konsumen kuat, dan memiliki kepercayaan tinggi konsumen. Contohnya melakukan kolaborasi dengan idola asal Korea Selatan yang memiliki penggemar. ...
Article
Full-text available
Indonesia, as a country that doesn't close its doors to the cultural influx of other nations, has seen the entry and growth of many foreign cultures, one of which is the Korean Wave, specifically K-Pop from South Korea. The enthusiasm of K-Pop fans in Indonesia has made them a target market for various companies. Scarlett Whitening is one local skincare brand that launched co-branded products with a South Korean K-Pop idol to gain the loyalty of Indonesian K-Pop fans. Furthermore, persuasive communication from idols to their fans also supports this co-branding strategy. This research aims to describe the consumptive behavior of Indonesian K-Pop fans in purchasing the product line collaboration between Scarlett Whitening and EXO. In its discussion, this research utilizes co-branding marketing communication, persuasive communication, and fan behavior. To delve deeper into the phenomenon, a qualitative research approach is employed using phenomenological research methods. The research findings describe how co-branding and persuasive communication by EXO trigger consumptive behavior among Indonesian K-Pop fans in purchasing the collaboration products of Scarlett Whitening and EXO. The aspects of consumptive behavior exhibited by fans revolve around seeking pleasure. Elements of impulsive buying and wastefulness may still exist, but they may vary with each purchase case. Sebagai negara yang tidak menutup jembatan masuknya budaya negara lain Inoneisa telah memberikan peluang bagi negara lain untuk memperkenalkan budayanya di Indonesia. Salah satu akibatnya adalah terjadinya Korean Wave, K-Pop milik Korea Selatan. Antusiasme penggemar K-Pop di Indonesia menjadikan penggemar K-Pop sebagai target pasar yang diincar oleh berbagai perusahaan. Scarlett Whitening merupakan salah satu perusahaan local brand skincare yang meluncurkan produk co-branding dengan idola K-Pop asal Korea Selatan untuk mendapatkan loyalitas penggemar K-Pop Indonesia. Selain itu, komunikasi persuasif idola kepada penggemarnya juga turut dilakukan untuk mendukung strategi co-branding tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku konsumtif penggemar K-Pop Indonesia dalam melakukan pembelian rangkaian produk kolaborasi Scarlett Whitening dan EXO. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan komunikasi pemasaran co-branding, komunikasi persuasif dan penggemar. Untuk mendalami fenomena, digunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi. Hasil penelitian mendeskripsikan co-branding dan komunikasi persuasif oleh EXO, memicu perilaku konsumtif penggemar K-Pop Indonesia dalam melakukan pembelian produk kolaborasi Scarlett Whitening dan EXO. Aspek perilaku konsumtif yang dilakukan penggemar merupakan mencari kesenangan. Aspek impulsive buying dan pemborosan dapat tetap ada, namun dalam setiap kasus pembelian dapat berbeda.
... Discussion of logo branding as a topdown policy product reviewed from the effectiveness of visual design has not been extensively conducted. Most studies have considered the utilization, implications, and visualization of the Wonderful Indonesia branding logo as country branding for Indonesian tourism (Hakim, 2020;Indra, 2020;Nasution et al., 2020;Nuzululita et al., 2019;Wibowo & Febrita, 2020). Practically, tourism destination branding policies must be studied amid the post-Covid-19 pandemic conditions, where tourism destinations are encouraged to restore tourism by relying on archipelago tourists. ...
Article
Full-text available
This study was conducted to reveal the interactions of the visual components of branding in Indonesia's tourism destinations with tourists' perceptions and affection. Shapes, colours, and slogans influence the perception of tourism destinations' characteristics, affecting tourists' choices in planning trips. A qualitative descriptive visual analysis was applied to review logos from a semiotic perspective. Sem-PLS analysis was used to uncover the relationships of the shape, colour, and slogan variables, involving data collected from 216 respondents. The study revealed that landscapes became the most common symbol in Indonesia's visual branding of tourism destinations. Shape and colour were significant factors in building tourist perceptions of the characteristics of the tourism destinations, but the slogans were not. The perception of visual branding was found to influence travellers' affection regarding interests, destination selection, and travel planning. This study contributes theoretically to the study of visual branding of tourism destinations by confirming the stimulus-perception-affection theory in the context of tourists. This study focuses on visual branding design for destination management organizations (DMOs).
Article
Full-text available
This study explores how consumers evaluate co-branding alliances between dissimilar partner firms. Customers are well aware that different firms are behind a co-branded product and observe the partner firms’ characteristics. Drawing on signaling theory, we assert that consumers use organizational characteristics as signals in their assessment of brand fit and for their purchasing decisions. Some organizational signals are beyond the control of the co-branding partners or at least they cannot alter them on short notice. We use a quasi-experimental design and test how co-branding partner dissimilarity affects brand fit perception. The results show that co-branding partner dissimilarity in terms of firm size, industry scope, and country-of-origin image negatively affects brand fit perception. Firm age dissimilarity does not exert significant influence. Because brand fit generally fosters a benevolent consumer attitude towards a co-branding alliance, the findings suggest that high partner dissimilarity may reduce overall co-branding alliance performance.
Article
Full-text available
Customers’ purchase intention represents their desire to buy products from a particular shop. Product quality, brand image, socioeconomic condition and social influence have been considered in this study as the key factors affecting purchase intention of customers to shop at hypermarkets. The study aims at investigating how much differential impact these factors have on the purchase intention of customers to shop at hyper markets. Primary data were collected through survey with structured questionnaire from 150 customers in Kedah and Perlis states in Malaysia. Correlations and multiple regression analyses were employed to estimate relationships between independent and dependent variables. The results showed that brand image had the highest impact on purchase intention of customers followed by the quality of products sold at the stores and social influence. So marketers should give importance on these factors to influence customers to shop at hypermarkets. DOI: 10.5901/mjss.2015.v6n3p429
Article
Full-text available
Globalisation has been one of the most significant determinants of growth in the sports industry worldwide, especially with the increasing importance of brand creation, brand awareness, brand image, brand identity and brand equity. Professional sports teams have become top sports brands through leverage with major company sponsors. Sports marketers have had to become much more entrepreneurial to create competitive advantage for sports organisations and deliver relationship value to consumers. Company sponsorships are prominent drivers of brand strategy around the world. They help create an extended consumer experience and are becoming a strategic vehicle for creating co-branding partnerships between sports organisations and multinational companies. This study reports data from a survey of the top marketing and communications executives in sports and company organisations in New Zealand and as well as a qualitative content analysis of core documents and websites. The study provides insights for sports marketers seeking to: use sponsorship as a prominent driver of brand strategy; employ co-branding as a strategy to create an extended consumer experience; build strong brands through efficient co-branding articulation strategies. The study also provides recommendations for sports organisations and companies to formulate their marketing communications and brand strategies from the perspective of a co-branding relationship.
Article
Full-text available
The authors examine the growing and pervasive phenomenon of brand alliances as they affect consumers' brand attitudes. The results of the main study (n = 350) and two replication studies (n = 150, n = 210) together demonstrate that (1) consumer attitudes toward the brand alliance influence subsequent impressions of each partner's brand (i.e., "spillover" effects), (2) brand familiarity moderates the strength of relations between constructs in a manner consistent with information integration and attitude accessibility theories, and (3) each partner brand is not necessarily affected equally by its participation in a particular alliance. These results represent a first, necessary step in understanding why and how a brand could be affected by "the company it keeps" in its brand alliance relationships.
Article
Purchase intentions are frequently measured and used by marketing managers as an input for decisions about new and existing products and services. Purchase intentions are correlated and predict future sales, but do so imperfectly. I review and summarize research on the relationship between purchase intentions and sales that has been conducted over the past 60 years. This review offers insights into how best to measure purchase intentions, how to forecast sales from purchase intentions measures, and why purchase intentions do not always translate into sales.
Article
Although co-branding is postulated to be beneficial for hospitality brands, empirical test of either transfer effect or spillover effect of co-branding on consumer-based brand equity (CBBE) of hospitality brands is yet to receive attention from researchers. A quasi-experiment design was applied to test the transfer effect of co-branding on the CBBE of the composite brand, controlling for the familiarity, compatibility (fitness) and complementary of the partner brands. A within-subject (repeated measures) design with four steps measuring the CBBE of internationally known and compatible hotel and restaurant brands and their co-brand, as well as respondents’ own most familiar hotel and restaurant brand and their co-brand was applied in four steps to a class of 46 students enrolled for a tourism and hospitality class at a Tourism and Hotel Management School based in Asia. The t-test of differences revealed that the co-brand of the internationally known and compatible hotel and restaurant brands lead to synergy with both brands being winners and none losers, while the co-brand of respondents’ own most familiar brands lead to losses mostly, despite their high ratings individually. Implications and future research suggestions are provided.
Article
Purpose – The purpose of this study is to outline a conceptual framework that can be used to organise and guide future research into how celebrity product endorsement creates equity for both the endorsed product‐brand and the endorsing celebrity. Design/methodology/approach – The theoretical perspective adopted in this study is that celebrity product endorsement is a form of co‐branding. Findings – The central thesis is that both endorser image and brand image serve as mediators in the equity‐creation process of celebrity product endorsement. Originality/value – Research contributions and directions for future research are provided.