ArticlePDF Available

Conflict of Regulation Norms for Handling of Foreign Refugees in Selective Immigration Policies: Critical Law Studies and State Security Approaches

Authors:
  • Immigration Polytechnic

Abstract and Figures

The increasing number of asylum seekers and refugees in the territory of Indonesia has caused social disturbances, political security, and even orders in society. The number of their arrivals is not proportional to the number of settlements or placement to the recipient country (Australia). To deal with the problem of asylum seekers and refugees who enter and are in the Indonesian territory, the government issued Presidential Regulation No. 125 of 2016 concerning Handling of Foreign Refugees. This regulation does not only confirm the position of Indonesia pro against refugee humanitarian policies, but also its manufacture which is not in accordance with the legal principles of the establishment of legislation. The legal position of Presidential Regulation No. 125 of 2016 raises disharmony in the legal order (immigration) in Indonesia. Article 7 of Law Number 12 of 2011 has stipulated the order of laws and regulations that form the basis of the enactment of all legal regulations in Indonesia. The provisions of this article are in harmony with the Theory of Norms Hierarchy (Hans Kelsen) which explains that lower norms are valid, sourced and based on higher norms. However, this theory is not enacted in the formation of Presidential Regulation Number 125 of 2016, where in the body the norm is in conflict with the higher legal norms above it. The existence of this regulation has created norm conflicts which have led to the absence of legal certainty. Keywords: Presidential Regulation Number 125 of 2016, Refugees, Immigration
Content may be subject to copyright.
A preview of the PDF is not available
ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.
Presentation
Full-text available
Karekteristik hukum dalam keadaan darurat, pasti memiliki beragam pengecualian norma. Begitu juga yang dialami dalam proses penegakan hukum keimigrasian. Untuk merespon pandemi Covid-19, Direktorat Jenderal Imigrasi mengeluarkan Permenkumham No. 11 Tahun 2020 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia, yang diikuti dengan beberapa surat edaran lainnya. Materi ini akan membahas proses pergeseran paradigma hukum keimigrasian, polemik Permenkumham No. 11 Tahun 2020, sistem hukum pidana keimigrasian, pelaksanaan fungsi keimigrasian dalam keadaan darurat (empirisime hukum), dan rekomendasi hukum bagi para pemangku kepentingan.
Article
Full-text available
Penangkapan dinyatakan sebagai suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta cara yang diatur oleh undang-undang. Salah satu kasus yang pernah menjadi perhatian masyarakat adalah terkait pencegahan dan penangkapan Ratna Sarumpaet yang merupakan seorang tersangka terkait kasus penyebaran berita bohong (hoax) di area imigrasi Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Penelitian ini memiliki rumusan masalah apakah pencegahan keluar negeri dan penangkapan terhadap tersangka Ratna Sarumpaet di area imigrasi sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah upaya paksa yang dilakukan dalam hal ini penangkapan dan pencegahan terhadap Ratna Sarumpaet menyalahi aturan atau tidak. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah yang meliputi pendekatan Undang- Undang dan pendekatan analisis. Adapun sumber data yang digunakan adalah data- data sekunder yaitu bahan pustaka yang mencakup buku-buku perpustakaan, peraturan perundang-undangan, dan lain-lain. Data akan dianalisa dengan metode analisis normatif. Landasan teori yang digunakan adalah teori negara hukum, teori kedaulatan negara, teori penegakan hukum dan teori berlakunya hukum pidana. Berdasarkan analisa data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa pencegahan keluar Wilayah Indonesia dan penangkapan Ratna Sarumpaet yang merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dengan berkoordinasi dengan pihak imigrasi telah sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu sebagaimana ketentuan yang termaktub dalam KUHAP, UU No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian serta Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian.
Article
Full-text available
Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan norma hukum sebagai dasar fundamental bernegara. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, telah memberikan pedoman bagi Indonesia untuk menangani keberadaan pencari suaka dan pengungsi. Rumusan masalah yang diteliti adalah bagaimana skema pengawasan pengungsi setelah diterbitkannya Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 dalam perspektif keimigrasian. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif. Pengawasan pengungsi di Indonesia yang dibebankan kepada Rumah Detensi Imigrasi sudah dijalankan dengan baik implementasinya di lapangan. Skema pengawasan pada saat ditemukan, di tempat penampungan, di luar tempat penampungan, diberangkatkan ke negara tujuan, pemulangan sukarela, dan pada saat pendeportasian belum menjawab permasalahan terkait keberadaan dan kegiatan pengungsi selama di Indonesia. Walaupun skema pengawasan sudah diberikan secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 perlu disempurnakan dengan aturan teknis, seperti Standar Operasional Prosedur yang mengatur mekanisme pengawasan pengsungsi bagi seluruh Rumah Detensi Imigrasi. Persoalan lain yang menjadi perhatian adalah masalah pembiayaannya, pejabat yang mengurusi pengawasan pengungsi, serta penjatuhan sanksi apabila terdapat kelalaian dalam hal pengawasan tersebut.
Article
Full-text available
Pengungsian merupakan suatu bentuk perpindahan penduduk yang mempunyai ciri berbeda daripada bentuk perpindahan penduduk lainnya. Perpindahan penduduk, baik, yang berada di wilayah negara maupun yang sudah melintasi batas negara, merupakan peristiwa yang telah lama ada dalam sejarah manusia dan semakin sering terjadi sekarang ini. Meningkatnya jumlah pencari suaka dan pengungsi ke wilayah Indonesia, telah menimbulkan gangguan sosial, kemanan politik, bahkan ketertiban di masyarakat. Jumlah kedatangan mereka tidak sebanding dengan angka penyelesaian atau penempatan ke negara penerima (Australia). Untuk menghadapi persoalan pencari suaka dan pengungsi yang masuk dan berada di wilayah Indonesia, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0352.GR.02.07 Tahun 2016 tentang Penanganan Imigran Ilegal yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi. Peraturan ini tidak hanya menegaskan posisi Indonesia pro terhadap kebijakan kemanusiaan pengungsi, tetapi juga pembuatannya yang tidak sesuai dengan asas-asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan. Rumusan masalah yang diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana kedudukan hukum Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi tersebut dalam kebijakan selektif keimigrasian dengan pendekatan teori hierarki norma hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif dengan logika berpikir campuran (deduktif dan induktif). Dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa fakta hukum sebagai berikut. Kedudukan hukum Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor: IMI-0352.GR.02.07 Tahun 2016 menimbulkan disharmonisasi dalam tatanan hukum (keimigrasian) di Indonesia. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 telah menetapkan urutan peraturan perundangan yang menjadi dasar pemberlakuan semua peraturan hukum di Indonesia. Ketentuan pasal ini selaras dengan Teori Hierarki Norma Hukum (Hans Kelsen) yang menjelaskan bahwa norma yang lebih rendah, berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Namun, teori ini tidak dijewantahkan dalam pembentukan peraturan tersebut, dimana dalam batang tubuh normanya saling bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi di atasnya. Keberadaan peraturan ini telah menciptakan konflik norma yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum. Adapun peraturan lebih tinggi yang bertentangan dengan peraturan ini adalah sebagai berikut: Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-11.OT.01.01 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Detensi Imigrasi. Norma hukum yang bertentangan meliputi: Pengertian Rudenim, Pengertian Deteni, Penanganan Pengungsi, Kewenangan UNHCR dan IOM dalam Penanganan Pengungsi, Penemuan, Penampungan, Pengawasan Keimigrasian, Pendanaan, dan Sanksi.
Article
Full-text available
Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan norma hukum sebagai dasar fundamental bernegara. Diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, telah memberikan pedoman bagi Indonesia untuk menangani keberadaan pencari suaka dan pengungsi. Rumusan masalah yang diteliti adalah bagaimana skema pengawasan pengungsi setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 dalam perspektif keimigrasian. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif. Pengawasan pengungsi di Indonesia yang dibebankan kepada Rumah Detensi Imigrasi sudah dijalankan dengan baik implementasinya di lapangan. Skema pengawasan pada saat ditemukan, di tempat penampungan, di luar tempat penampungan, diberangkatkan ke negara tujuan, pemulangan sukarela, dan pada saat pendeportasian belum menjawab permasalahan terkait keberadaan dan kegiatan pengungsi selama di Indonesia. Walaupun skema pengawasan sudah diberikan secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 perlu disempurnakan dengan aturan teknis, seperti Standar Operasional Prosedur yang mengatur mekanisme pengawasan pengsungsi bagi seluruh Rumah Detensi Imigrasi. Persoalan lain yang menjadi perhatian adalah masalah pembiayaannya, pejabat yang mengurusi pengawasan pengungsi, serta penjatuhan sanksi apabila terdapat kelalaian dalam hal pengawasan tersebut.
Article
Full-text available
Migrasi pencari suaka dan pengungsi ke wilayah Indonesia tidak lagi melalui pola tradisional, tetapi transaksional. Mereka masuk menggunakan dokumen resmi dan melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi, lalu mendaftarkan diri ke UNHCR untuk mendapatkan status pencari suaka dan pengungsi. Sering kali status tersebut disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Mereka menganggap dirinya kebal hukum (hak imunitas) dari aturan positif suatu negara, termasuk melakukan tindak pidana di Indonesia. Rumusan masalah yang diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana tindakan hukum terhadap orang asing mantan narapidana yang memiliki kartu pengungsi UNHCR dalam perspektif keimigrasian: Studi Kasus Ali Reza Khodadad. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif dengan logika berpikir campuran (deduktif dan induktif). Dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa fakta hukum sebagai berikut. Dalam ketentuan yang tertera pada kartu pengungsi, dicantumkan kewaijban bagi setiap pemegang kartu ini untuk mematuhi undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Ali Reza Khodadad dapat dikenakan tindakan administratif keimigrasian berupa deportasi sesuai dengan Pasal 75 jo. Pasal 78 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, dikarenakan yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Pelaksanaan tindakan deportasi terhadap Ali Reza Khodadad harus dilakukan tanpa melihat status pengungsinya. Hal ini merupakan perwujudan dari konsep kedaulatan negara.
Article
Full-text available
Paradigma atau cara pandang terhadap masalah imigrasi bukan sebatas pada perpindahan penduduk antar negara yang hanya dilihat dari unsur pergerakan tetapi juga meliputi segala aspek yang menyertainya baik secara regional maupun global. Pemahaman yang holistik mengenai paradigma imigrasi dan perubahannya menyebabkan penataan hukum keimigrasian harus dilakukan secara terarah yang merupakan penjabaran politik hukum keimigrasian nasional dan menjadi lebih tepat. Perkembangan politik hukum keimigrasian di Indonesia dibagi dalam dua bagian, yaitu (1) Politik Hukum Keimigrasian Nasional yang terdiri dari: Politik Hukum di Bidang Keimigrasian pada Masa Hindia Belanda (1913-1949), Politik Hukum di Bidang Keimigrasian pada Tahun 1950-1992, Politik Hukum di Bidang Keimigrasian pada Tahun 1992-2011, Politik Hukum di Bidang Keimigrasian pada Tahun 2011- Sekarang. Dengan diterbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang telah diundangkan pada tanggal 05 Mei 2011, maka berdasarkan Bab XV Pasal 142, Undang-Undang No 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Bila dibandingkan, maka materi Undang-Undang No 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian, pada dasarnya secara prinsip tidak banyak mengubah politik hukum keimigrasian dimana termuat di dalam undang-undang keimigrasian yag terdahulu. (2) Politik Hukum Keimigrasian Internasional. Perkembangan politik hukum di bidang keimigrasian secara global telah banyak mengalami perubahan-perubahan, yang apabila kita melihat pada periode pasca Perang Dunia ke II, guna menampung serta mengakomodaksikan masalah-masalah yang timbul akibat pengungsian yang dilakukan secara besar-besaran (eksodus) terutama negara-negara yang terlibat langsung Perang Dunia II. Masalah yang dihadapi secara global saat itu baik yang menyangkut negara asal, negara transit maupun negara tujuan memiliki persoalan yang berbeda dapat dikategorikan dalam beberapa hal, seperti kemiskinan, tingkat income perkapita, kualitas edukasi, usia, kultur, ras, agama, dan beberapa masalah lainnya.
Article
Full-text available
Hukuman yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku bertujuan untuk semaksimal mungkin mengembalikan keadaan korban tindak pidana sebelum terjadinya peristiwa pidana. Dalam sistem peradilan pidana sebaiknya diterapkan prinsip keadilan restoratif. Selama ini pidana penjara dijadikan sebagai sanksi utama pada pelaku kejahatan yang terbukti bersalah di pengadilan. Padahal yang diperlukan masyarakat adalah keadaan yang semaksimal mungkin seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Permasalahan yang dibahas dalam artikel ini adalah: Bagaimana penerapan prinsip keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan pembahasan sebagai berikut. Prinsip keadilan restoratif merupakan pemulihan hubungan baik antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan, sehingga hubungan antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan sudah tidak ada dendam lagi. Hal ini terlepas dari pelaku kejahatan sudah memberikan restitusi atau ganti kerugian kepada korban kejahatan, sehingga penderitaan korban kejahatan sangat merasa terbantu. Hal ini dikarenakan korban bisa saja telah menderita kerugian materiil atau menderita psikis akibat kejahatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan. Apabila pelaku tidak mampu memberikan restitusi atau ganti kerugian kepada korban kejahatan, maka kewajiban bagi negara untuk membayar apa yang telah menjadi hak korban kejahatan, walaupun masih harus melalui penetapan hakim.