ArticlePDF Available

MAKNA BUDAYA DALAM MITOS DI MINAHASA (MEANING OF CULTURE IN MYTHS IN MINAHASA)

Authors:

Abstract

Myth is a medium of understanding and inheriting cultural values that are believed by society in the past and also influences people’s mindsets in the present. In this study, myth is a reflection of social structures and social relations in which there are basic feelings commonly shared by human beings, such as love, , or revenge. This study aims to (1) describe the mythical myths Minahasa and (2) express the cultural meanings of the Minahasa people contained in Minahasa myths. The benefits of this study are in the form of disclosing the concepts of cultural meaning possessed by the Minahasa tribe so that they can broaden the horizons of thought about Minahasa society and culture. The method used in this study is the expository description method. Lévi-Strauss states that myths are formed by units of basic elements, in which the basic element units have a dual structural structure, namely historical and ahistorical at the same time whose elements are combined or connected to one another to produce meaning.
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
105
Abstract
Myth is a medium of understanding and inheriting cultural values that are believed by society in the past and also
influences people’s mindsets in the present. In this study, myth is a reflection of social structures and social relations in
which there are basic feelings commonly shared by human beings, such as love, , or revenge. This study aims to (1) describe
the mythical myths Minahasa and (2) express the cultural meanings of the Minahasa people contained in Minahasa
myths. The benefits of this study are in the form of disclosing the concepts of cultural meaning possessed by the Minahasa
tribe so that they can broaden the horizons of thought about Minahasa society and culture. The method used in this
study is the expository description method. Lévi-Strauss states that myths are formed by units of basic elements, in which
the basic element units have a dual structural structure, namely historical and ahistorical at the same time whose elements
are combined or connected to one another to produce meaning.
Keywords
: culture, myth, structuralism
Abstrak
Mitos merupakan media pemahaman dan pewarisan nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat
di masa lampau dan memengaruhi pola pikir masyarakat di masa kini. Dalam kajian ini, mitos
merupakan pantulan struktur sosial dan hubungan sosial yang di dalamnya terkandung perasaan-
perasaan mendasar yang umum dimiliki umat manusia, seperti cinta, kebencian, atau balas dendam.
Penelitian ini memiliki tujuan untuk (1) menguraikan miteme-miteme yang ada dalam mitos-mitos
Minahasa dan (2) mengungkapkan makna budaya masyarakat Minahasa yang terdapat dalam mitos-
mitos Minahasa. Manfaat penelitian ini berupa pengungkapan konsep-konsep makna budaya yang
dimiliki suku Minahasa sehingga dapat memperluas cakrawala pemikiran mengenai masyarakat dan
kebudayaan Minahasa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripsi
ekspositoris. Lévi-Strauss menyatakan bahwa mitos dibentuk oleh unit-unit unsur pokok, Unsur pokok
tersebut memiliki struktur ganda, yaitu historis dan ahistoris sekaligus unsur-unsurnya digabungkan
atau dihubungkan satu dengan yang lain untuk menghasilkan makna.
Kata Kunci: budaya, mitos, strukturalisme
MAKNA BUDAYA DALAM MITOS DI MINAHASA
MEANING OF CULTURE IN MYTHS IN MINAHASA
Nontje Deisye Wewengkang
Balai Bahasa Sulawesi Utara
Jalan Diponegoro Nomor 25 Manado
Pos-el deisy020912@gmail.com
1. PENDAHULUAN
Sastra menyajikan sebagian besar realitas ke-
hidupan manusia yang sangat berpengaruh terha-
dap kehidupan manusia itu sendiri. Melalui karya
sastra pengarang berusaha menyampaikan kebe-
naran, termasuk kebenaran sejarah dan sosial.
Hegel dan Taine (dalam Yoesoef, 2007:18)
bahkan memandang karya sastra sebagai dokumen
sosial yang monumental, sebagai gambar trans-
paran mengenai kondisi suatu zaman. Yoesoef
(2007:18) juga mengutip pendapat Lukacs yang
menyebutkan bahwa karya sastra tidak hanya
Sekadar cermin yang membalikkan imajinasi
objek yang terletak di depannya tetapi, juga suatu
106
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
pengetahuan tentang realitas yang sebenarnya
sudah ada sebelum kita mengetahuinya dalam
bentuk pikiran. Dengan kata lain, karya sastra
tidak hanya mencerminkan bentuk-bentuk kenya-
taan tetapi, juga pengetahuan tentang kenyataan
itu.
Sastra yang kita kenal sekarang sebenarnya
berasal dari suatu perkembangan yang lebih awal
di masa lampau. Karya-karya sastra di masa
lampau dikenal saat ini dengan cerita rakyat, teka-
teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat (Danandjaja,
1994:5). Sebagian orang menyebut karya sastra
di masa lampau itu dengan sastra lisan, ada juga
yang menyebutnya tradisi lisan. Tidak berbeda
dengan karya sastra dewasa ini, sastra lisan juga
merupakan media pemahaman dan pewarisan
nilai-nilai budaya yang diyakini oleh masyarakat.
Sastra lisan adalah monumen tata nilai masyarakat
di suatu daerah, yang diakui sejak dahulu. Sastra
lisan juga telah lama berperan sebagai wahana
pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang
tumbuh dalam masyarakat.Bahkan, sastra lisan
telah berabad-abad berperan sebagai dasar komu-
nikasi antara pencipta dan masyarakat, dalam arti
ciptaan yang berdasarkan lisan akan lebih mudah
diketahui karena ada unsur yang sudah dikenal
oleh masyarakat.
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk sastra
lisa n juga merupakan momentum tata nilai
masyarakat pemiliknya. Pandangan-pandangan
yang ditawarkan dalam cerita rakyat mewakili
pandangan-pandangan hidup masyarakatnya (Pardi,
dkk. 2006:2). Beberapa sistem yang ada dalam
masyarakat modern pun masih dapat ditelusuri
hubungannya dengan sistem yang pernah dilak-
sanakan oleh masyarakat tradisional. Penelusuran
itu dapat dilakukan melalui cerita rakyat. Bahkan,
penelusuran tersebut bisa berkembang mengarah
pada pencarian makna baru nilai-nilai budaya.
Pencarian makna baru nilai-nilai budaya
dalam tradisi dilatarbelakangi oleh kebutuhan
masyarakat yang telah terlebih dahulu melampaui
tahap kemodernan dan pada dasarnya juga
merupakan kebutuhan pribadi setiap manusia. Hal
ini dibuktikan dengan kesadaran para pemikir
barat mengenai akibat-akibat negatif dominasi
logika atau daya nalar yang menjadi ciri era
modern (Sibarani, 2004:149). Perbedaan antara
kenyataan dan makna menjadi semakin kabur.
Kenyataan bahwa peradaban manusia makin ber-
kembang seiring dengan adanya berbagai penemu-
an dalam bidang teknologi membuat penggalian
kembali nilai-nilai budaya makin mendapat tempat
di era ini.
Masyarakat Minahasa termasuk masyarakat
yang memanfaatkan cerita rakyat sebagai sarana
untuk melakukan pewarisan budaya. Banyak cerita
rakyat yang berkembang di masyarakat dengan
metode dari mulut ke mulut dan banyak juga
cerita rakyat yang telah dicetak dan dijadikan
bahan bacaan populer. Dengan demikian, upaya
untuk menggali struktur cerita rakyat yang men-
cerminkan struktur berpikir masyarakat makin ter-
buka luas. Hal ini dapat dilakukan karena pemi-
kiran bahwa cerita rakyat merupakan cermin
pemikiran konseptual yang dimiliki masyarakat
Minahasa. Hal lain yang memberikan kemungkinan
bahwa pemikiran konseptual ini memiliki kesama-
an pola dengan kebudayaan yang lain. Penulis
memilih untuk meneliti struktur sejumlah mitos
yang ada di daerah dengan menggunakan kajian
struktural untuk menghasilkan analisis yang me-
nilai cerita secara objektif dan atas dasar asumsi
linguistik dalam rangka menemukan makna bu-
daya yang tersimpan dalam mitos-mitos Minahasa.
Pemikiran-pemikiran tersebut memunculkan
pertanyaan-pertanyaan yang perlu diteliti lebih
mendalami yakni, (1) miteme-miteme apa sajakah
yang ada dalam mitos-mitos Minahasa?; (2) apakah
makna budaya yang terdapat dalam mitos-mitos
Minahasa? Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk menguraikan miteme-miteme yang ada
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
107
dalam mitos Minahasa dan mengungkapkan
makna budaya yang ada di dalam mitos-mitos
tersebut.
Secara teoretis, penelitian ini penting untuk
menguraikan miteme-miteme yang ada dalam
mitos-mitos Minahasa dengan tujuan untuk meng-
ungkapkan makna budaya yang terkandung di
dalamnya. Penerapan teori struktural Levi- Strauss
diharapkan dapat mengungkapkan relasi-relasi
penting antartokoh dalam mitos-mitos Minahasa
dan dapat menghasilkan analisis untuk meneroka
kajian selanjutnya terhadap mitos-mitos Minahasa.
Dengan demikian, peneliatian ini diharapkan dapat
menguatkan teori struktural Levi-Strauss dan
menjadi dasar pengembangan kajian yang lain
mengenai mitos Minahasa.
Manfaat praktis penelitian ini berupa peng-
ungkapan konsep-konsep makna budaya yang di-
miliki suku Minahasa sehingga dapat memperluas
cakrawala pemikiran mengenai masyarakat dan
kebudayaan Minahasa. Upaya ini diharapkan
dapat membantu masyarakat dan pemerintah
untuk lebih memahami jalinan hubungan budaya
yang ada dalam masyarakat Minahasa untuk me-
ningkatkan komunikasi yang baik antara elemen
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
lainnya. Di sisi lain, melalui penelitian ini peme-
rintah dan pihak terkait lainnya dapat memperoleh
gambaran yang lebih hakiki mengenai konsep
berpikir yang sekalipun lokal, tetapi bersifat
universal. Gagasan-gagasan yang terkandung di
dalam mitos-mitos merupakan hal yang mendasar
yang dimiliki juga oleh kebudayaan lainnya. Peng-
ungkapan universalitas mitos-mitos Minahasa
dapat dijadikan rujukan dalam penerapan program
pemerintah sehingga tercapai suatu kebijakan yang
didasarkan pada konsep emik dan bukan etik.
2. KAJIAN TEORI
Pengertian mitos dalam kajian struktural tidak
sama dengan pengertian mitos yang biasa diguna-
kan untuk kajian mitologi. Mitos digunakan untuk
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan astro-
nomi, meteorologi dan sebagainya. Namun, tidak
bisa juga dijelaskan secara sederhana bahwa mitos
merupakan pantulan struktur sosial dan hubungan
sosial yang di dalamnya terkandung perasaan-
perasaan mendasar yang umum dimiliki manusia
seperti cinta, kebencian, dan balas dendam. (Lévi-
Strauss, 2009:277). Dengan demikian, mitos dapat
menggambarkan peristiwakesejarahan, meskipun
tidak dapat dikemukakan sebagai bukti sejarah
dan juga lingkup sosial kemasyarakatan sebagai
cerminan masyarakat pemilik mitos itu.
Mitos dalam konteks strukturalisme Lévi-
Strauss tidak lain ialah dongeng. Dongeng adalah
cerita pendek kolektif kesusastraan lisan dan me-
rupakan cerita prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi karena merupakan hasil imaji-
nasi manusia, dari khayalan manusia, walaupun
unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa
yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Danandjaja, 2007:83). Bagi masyarakat pemilik-
nya, mitos atau dongeng memiliki peran penting
dalam proses transmisi budaya. Ada yang dilaku-
kan “sambil lalu”, melalui peran-serta dalam ke-
giatan rutin sehari-hari; sekadar penghibur di
waktu senggang. Namun, ada juga yang dilakukan
dengan cara memberi penerangan, persuasi, rang-
sangan untuk hal-hal yang positif dan mengejek
serta menertawakan hal-hal yang negatif karena
pentingnya nilai yang disampaikan (Koentjara-
ningrat, 1990:230).
Pada dasarnya mitos merupakan ekspresi dari
keinginan-keinginan yang yang tidak disadari, yang
sedikit banyak tidak konsisten dengan keseharian
(Leach dalam Ahimsa, 2016:78) Ada yang ber-
asumsi bahwa mitos adalah dongeng semata yang
diciptakan untuk tujuan menghibur. Tetapi, se-
benarnya mitos tidak hanya memiliki peran meng-
hibur tetapi juga merupakan ungkapan simbolis
dari konflik-kolflik batin yang ada dalam masya-
108
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
rakat. Dengan demikian mitos menurut Ahimsa
(2016:186) motos dapat menjadi sarana untuk
mengelakkan, memindahkan dan mengatasi
kontradiksi-k ontradiksi empiris yang tida k
terpecahkan
Sebagian orang berang gapan bahwa cerita
rakyat itu hanya satu yakni cerita rakyat. Bahkan
ada yang menyebutnya dongeng. Wundt dalam
Prop (1987:6) membagi cerita rakyat dalam tujuh
kategori dan lima diantaranya merupakan dongeng
yaitu cerita dongeng mitos, dongeng tumbuhan,
dongeng binatang, dongeng jenaka dan dongeng
moral. Sementara itu menurut Bascom dalam
Danandjadja (1994:50) cerita prosa rakyat dibagi
dalam tiga golongan besar yaitu myte, legenda, dan
dongeng.
Sebagaimana fenomena kebahasaan, mitos
juga memiliki ketertataan serta keterulangan
karena terdapat unsur-unsur yang sama antara
bahasa dan mitos. Karena kedudukannya yang
sama dengan bahasa, mitos tidak berbeda halnya
dengan bagian bahasa yang disebut kalimat atau
susunan berbagai kalimat yang disebut sebagai
teks. Keberadaan teks ini dengan demikian dapat
dibaca dan memiliki makna yang merupakan
manifestasi gagasan-gagasan atau pemikiran-
pemikiran dan menghasilkan suatu makna melalui
suatu mekanisme artikulasi. Dengan demikian,
tidak mengherankan apabila mitos merupakan
sistem komunikasi yang dimanfaatkan secara
sosial dalam konteks masyarakat yang berinte-
raksi.
Analisis mengenai struktur dalam yang dilaku-
kan dalam penelitian ini ide besarnya berasal dari
linguistik. Analisis ini secara langsung dipengaruhi
oleh teori Chomsky juga Saussure yang mengubah
studi linguistik dari pendekatan diakronis ke
sinkronis (Nurgyantoro, 2005:36) sekalipun dalam
mitos aspek sinkronis dan diakronis ini tidak dikaji
secara terpisah. Jadi, kajian linguistik tidak lagi
ditekankan pada sejarah perkembangannya, tetapi
pada hubungan antarunsurnya. Mengutip pemi-
kiran Saussure (1988:43) bahwa sifat sistemis langue
juga mendorong dikembangkannya penelitian-
penelitian, terutama dalam lingkup berbagai satuan
dan struktur hadir bersama dalam suatu koek-
sistensi fungsional yang disebut Saussure dalam
lingkup sinkronis atau lebih tepat idiosinkronis.
Konsep-konsep Lévi-Strauss serta cara beker-
janya dalam menganalisis azas-azas cara berpikir
simbolik dari akal manusia dalam upacara, dalam
hubungan kekerabatan, dan dalam mitos, menun-
jukkan suatu perbedaan mendasar antara hal yang
disebut struktur oleh Lévi-Strauss dan hal yang
disebut struktur sosial oleh Malinowski-Radcliffe-
Brown serta para ahli antropologi Inggris. Kalau
para antropolog tersebut menganggap struktur
sosial sebagai suatu perumusan dari jaringan hu-
bungan interaksi antarmanusia dalam kehidupan
masyarakat, bagi Lévi-Strauss keadannya justru
sebaliknya. Baginya, struktur (terutama dalam
analisis mitologi) ialah beberapa konsep cara
berpikir akal manusia yang dianggapnya elementer
dan karena itu bersifat universal. Dengan struktur
itu seorang penulis dapat memahami secara
deduktif data mengenai interaksi manusia dalam
kenyataan kehidupan masyarakat.
Inti gagasan struktural Lévi-Strauss ini bahwa
manusia membagi lingkungannya ke dalam
lingkungan alam dan lingkungan kebudayaan atau
sosial-budaya. Secara khusus alam semesta terdiri
dari hal-hal yang kolektif dan hal-hal yang khas.
Demikian pun, lingkungan sosial budaya
terdiri dari kelompok-kelompok dan individu-
individu sehingga kalau dari unsur itu disusun
sebuah matriks bermutasi maka akan timbul
empat rangkaian, yaitu (1) Kategori kelompok; (2)
Kategori individu; (3)Unsur khusus kelompok; dan
(4) Unsur khusus individu.
Me nurut Le ach dala m Ahimsa-Pu tra
(2006:109), terdapat sejumlah relasi yang dapat
dianalisis dengan teori struktural vi-Strauss.
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
109
Relasi-relasi ini ditampilkan dalam mitos secara
langsung maupun tersirat dalam rupa: (1) relasi-
relasi antar manusia, binatang, burung, reptil,
serang ga, dan makhluk-makhluk supranatural
yang beraneka ragam; (2) relasi-relasi antara
kategori-kategori makanan dan cara menyiapkan
makanan, serta digunakan atau tidak diguna-
kannya api; (3) relasi antara kategori-kategori
suara dan kesenyapan, yang dihasilkan baik secara
alami – seperti teriakan binatang – ataupun secara
artifisial, melalui alat-alat musik tertentu; (4)
relasi-relasi antara kategori-kategori bau dan rasa,
enak dan tidak enak, manis dan pahit, dan seba-
gainya; (5) relasi-relasi antara jenis/tipe pakaian
atau penutup tubuh manusia, ketertutupan,
ketelanjangan manusia, dan relasi antara binatang-
binatang dan tetumbuhan yang bahannya diguna-
kan untuk penutup tubuh; (6) relasi-relasi antara
fungsi-fungsi tubuh, seperti: makan, buang air
besar, kencing, muntah, sanggama, kelahiran, dan
menstruasi; (7) relasi-relasi antara kategori-kate-
gori lanskap, perubahan musim dan cuaca, per-
gantian waktu, benda-benda langit, dan sebagai-
nya, atau kombinasi-kombinasi dari kerangka-
kerangka acuan tersebut. Dengan kandungan
semacam ini Lévi-Strauss tampaknya merasa
bahwa dengan menganalisis mitos-mitos secara
struktural, berbagai bentuk simbolisasi yang ada
dalam mitos-mitos dapat lebih ditonjolkan,
terutama menyangkut transformasi-transformasi
yang mengikuti aturan-aturan logika tertentu secara
ketat. Dalam perspektif struktural, mitos merupa-
kan kisah yang memuat sejumlah pesan. Pesan-
pesan ini tidak tersimpan dalam unsur-unsur mitos
yang terpisah-pisah, melainkan dalam keseluruhan
mitos untuk menunjukkan cara kerja nala r
manusia.
Semua aspek yang dijelaskan sebelumnya
merupakan bingkai pemikiran teori struktural
Lévi-Strauss yang digunakan untuk menganalisis
masalah kedua dalam penelitian ini. Berdasarkan
teorinya, Lévi-Strauss menyatakan bahwa mitos
dibentuk oleh unit-unit unsur pokok, setiap unit-
unit unsur pokok tersebut memiliki struktur-
struktur ganda, yaitu historis dan ahistoris
sekaligus yang unsur-unsurnya digabungkan atau
di hubu ngka n satu dengan yang lain unt uk
menghasilkan makna. The true constituent units of
a myth are not the isolated relations but bundles of such
relations, and it is only as bundles that these relations
can be put to use and combined so as to produce a
meaning.” ‘Unsur tidak memiliki arti dalam dirinya
sendiri. Unsur dapat dipahami semata-mata dalam
proses antarhubungan, yang pada gilirannya
menampilkan makna-makna baru yang terkandung
dalam mitos’ (Lévi-Strauss, 1963:211).
Menurut Firth dalam Lyons (1979:607),
hakikat makna adalah keseluruhan kontribusinya
terhadap keberlangsungan pola hidup dalam suatu
masyarakat dalam sebuah kelompok seseorang
hidup, mendapat peran, serta memperoleh jati
dirinya. Budaya adalah suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah
kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya adalah suatu pola hidup menye-
luruh karena budaya bersifat kompleks, abstrak,
dan luas. Dari kata budaya itu diturunkan kata
kebudayaan. Kebudayaan dapat disebut juga
peradaban yang mengandung pengertian sangat
luas dan mengandung pemahaman perasaan suatu
bangsa yang sangat kompleks, meliputi pengeta-
huan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-
istiadat, kebiasaan, dan pembawaan lainnya yang
diperoleh dari ang gota masyarakat. Menurut
Rahyono (2009:53) segala hal yang terkait dengan
penyelenggaraan kehidupan manusia berada dalam
lingkup kebudayaan. Kebudayaan bukan sekadar
karya seni, bukan sekadar adat istiadat, bukan
sekadar tradisi atau hal-hal yang bersifat tradi-
sional. Kebudayaan mencakup segala aspek
kehidupan manusia.
110
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
3. METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskripsi ekspositoris yang menurut
Aminuddin (1990:169) mengandung maksud
mendeskripsikan data secara langsung dan terbuka
sesuai dengan teknik yang digunakan. Data di-
analisis menggunakan model analisis deskriptif
kualitatif. Melalui model inilah fakta-fakta dides-
kripsikan kemudian diuraikan dengan memberikan
pemahaman dan penjelasan (Ratna, 2007:53).
Tahapan-tahapan sebagai berikut.
a. Penjajakan
Pada tahap ini peneliti melakukan penjajakan
terhadap masalah dan ketersediaan bahan
penelitian.
b. Orientasi dan klarifikasi
Pada tahap ini, peneliti menentukan objek
kajian serta pihak-pihak terkait yang perlu
dihubungi untuk kepentingan penelitian.
c. Penelitian sesungguhnya tahap pendataan
Pada tahap ini, teknik yang peneliti gunakan
adalah pertama, teknik studi pustaka dengan
cara pencatatan data.
d. Penginterpretasian data
Penginterpretasian data dilakukan berdasar-
kan kerangka kerja pendekatan fenomenolo-
gis yaitu mengintuisi objek, menganalisis bagian-
bagian pokok, menjabarkan fenomena, meng-
uraikan makna dan yang terakhir membuat
simpulan yang bersifat menyeluruh.
4. PEMBAHASAN
4.1 Tonaas Siowkurur
(1) Tonaas Siowkurur adalah anak Datuk
Telewan. (2) Seorang yang sakti, suka menolong,
dan sangat disegani oleh masyarakat Minahasa
pada waktu itu. (3) Pada masa kecil Siowkurur
tidak pernah menangis. Ia bertumbuh menjadi
seorang yang bertubuh besar. (4) Siowkurur
mendapat pendidikan bertempur dari ayahnya agar
dapat membela tanah Minahasa. (5) Sioukurur
dimandikan dengan air ramuan sehingga ia kebal
terhadap pedang dan Sioukurur dengan jimat
matelew. (6) Siowkurur bisa terbang dari satu tempat
ke tempat lain. (7) Daerah Minahasa sering di-
serang perampok dari berbagai daerah. (8)
Sioukurur ditugaskan oleh ayahnya untuk menjaga
dan melindungi penduduk yang membuat garam
di tepi pantai. (9) Sekelompok perampok dari
Tidore mendarat di Pantai Kemah dan Likupang.
(10) Burung manguni membawa berita kepada
Sioukurur. (11) Sioukurur memakai perlengkapan
perang beserta jimat-jimatnya lalu terbang ke Pantai
Kemah dan Likupang. (12) Sioukurur membantai
sebagian perampok. (13) Mayat para perampok
dimasukkan ke dalam sebuah gua sehingga tempat
itu berbau busuk lalu disebut Kinawurukan sampai
saat ini. (14) Rakyat telah ditawan oleh perampok.
(15) Siouwkurur membebaskan seluruh rakyat
yang diganggu oleh perampok. (16) Banyak
perampok yang meninggal di ujung anak panah
Sioukurur. (17) Perampok yang masih hidup,
melarikan diri ke arah Pantai Kora-Kora. (18)
Sioukurur segera terbang ke Pantai Kora-Kora.
(19) Sioukurur menghabisi perampok dengan
kelewangnya yang sakti. Bangsa perampok itu
menjadi jera. Tidak ada lagi yang menganggu
penduduk Minahasa. (20) Tanah Minahasa menjadi
aman untuk waktu yang lama. (21) Sioukurur
diangkat menjadi Tonaas. (22) Rakyat Minahasa
sangat mencintainya. (23) Sebagai Tonaas, ia harus
tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan para
datuk. (24) Tonaas Sioukurur dengan sungguh-
sungguh menjalankan semua syarat itu. (25) Suatu
ka li, sa at pulang dari pantai bagian Barat,
Sioukurur menyusuri aliran sungai. Sioukurur
kehabisan bekal. (26) Ia mampir di sebuah pondok
untuk meminta bekal. Pemilik pondok adalah
Rewo dan adik perempuannya yang bernama Kau,
seorang gadis cantik. (27) Sioukurur menyukai
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
111
Kau. (28) Rewo meminta Sioukurur untuk
meminang adiknya sesuai adat istiadat. (29)
Sioukurur tidak bisa menahan diri untuk segera
memiliki Kau sehingga lupa semua syarat yang
harus dipatuhinya sebagai seorang tonaas. (30)
Sioukurur dan Rewo bertempur. (31) Rewo
berhasil mengalahkan Sioukurur.
Tabel Relasi
1
2
3
4
Datuk Telewan suka
menolong dan dicintai
penduduk
Siowkurur mendapat
pendidikan bertempur
dari ayahnya agar dapat
membela tanah
Minahasa
Sioukurur menjaga
penduduk dari
gangguan perampok
Pada masa kecil Siowkurur
tidak pernah menangis
Siowkurur dimandikan
dengan air ramuan
sehingga ia kebal terhadap
pedang.
Siowkurur ditugaskan
oleh ayahnya untuk
menjaga dan
melindungi penduduk
yang membuat garam
di tepi pantai
Burung m
anguni
membawa berita kepada
Sioukurur tentang
kedatangan perampok
Tidore
Para perampok
mengintai penduduk
yang sedang bekerja
di pantai
Siouwkurur terbang ke
Pantai Kemah dan
Likupang
Sioukurur membantai
semua perampok dari
Tidore yang
mengganggu penduduk
Kemah dan Likupang
Burung
m
kabar bahwa akan ada
bahaya di arah barat.
Sioukurur terbang ke arah
Mandolang di Pantai
Tateli
112
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
Sioukurur melepaskan
anak panah ke arah
perampok.
Perampok-perampok
itu meninggal di ujung
anak panah Sioukurur.
Parampok yang masih
hidup, melarikan diri
ke arah Pantai Kora-
Kora.
Sioukurur segera terbang
ke Pantai Kora-Kora
Sioukurur menghabisi
perampok dengan
kelewangnya yang
sakti
Para perampok berhasil
dilenyapkan
Sioukurur diangkat
menjadi Tonaas.
Rakyat Minahasa sangat
mencintainya
Sebagai Tonaas, ia
harus tunduk pada
syarat-syarat yang
ditetapkan para datuk
Tonaas Sioukurur
dengan sungguh-
sungguh menjalankan
semua syarat itu.
Sioukurur jatuh cinta
pada seorang gadis yang
bernama Kau.
Sioukurur tidak bisa
menahan diri untuk
segera memiliki Kau
Sioukurur lupa akan
semua syarat yang
harus dipatuhinya
sebagai seorang
tonaas.
Rewo, kakak Kau,
meminta Sioukurur
untuk meminang
adiknya sesuai adat
istiadat.
Sioukurur
tersinggung dengan
keterlibatan Rewo
Sioukurur dan Rewo
bertempur
Rewo berhasil
mengalahkan Sioukurur
Tabel
R
elasi
1 2 3 4
Datuk Telewan suka
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
113
Tabel tersebut menggambarkan relasi-relasi
antarindividu dan peran masing-masing tokoh
serta tanda-tanda yang dapat dimaknai. Kolom 1
menunjukkan daftar perilaku yang normatif, yang
menuruti tata-nilai yang ada dalam masyarakat.
Kolom 2 menunjukkan daftar perilaku individu
yang menyimpang dari tata-nilai dalam masya-
rakat. Perilaku ini dilakukan karena tuntutan peran
atau tuntutan emosi yang tidak terkendali dalam
diri tokoh. Kolom 3 menunjukkan relasi manusia
dengan kekuatan-kekuatan supranatural yang
tidak dimiliki oleh semua orang. Kolom 4 me-
nunjukkan sebuah akibat perilaku yang menyim-
pang. Selain itu, dalam mitos Tonaas Sioukurur
tataran fakta sebagai berikut. (1) Peta fisik dan
politik daerah Minahasa karena di sana disebutkan
beberapa nama tempat yang ada hingga saat ini.
(2) Kehidupan ekonomi masyarakat melalui
penguraian mata pencarian dan aktivitas pendu-
duk. (3) Organisasi sosial karena di dalam mitos
tersebut disebutkan struktur keluarga dan pemim-
pin masyarakat. (4) Kepercayaan surealis masya-
rakat melalui bunyi-bunyi burung manguni dan
kesaktian yang melebihi manusia biasa, seperti bisa
terbang dan kebal terhadap benda tajam.
Dengan demikian dapat dirinci mitime yang
terdapat dalam mitos Tonaas Sioukurur sebagai
berikut.
1. Sioukurur adalah anak Datuk Telewan.
Sebagai ayah, Datuk Telewan bertugas untuk
membentuk Sioukurur menjadi seorang yang
gagah, sakti tidak terkalahkan, dan pelindung
bagi rakyat. Sebagai anak, Sioukurur mema-
tuhi arahan ayahnya dan berusaha menguasai
pelajaran yang diberikan.
2. Sioukurur ditugaskan untuk menjaga ke-
selamatan penduduk saat sedang bekerja.
Penduduk sering diganggu oleh perampok.
Sioukurur menghabisi para perampok yang
datang mengacau.
3. Sioukurur mencintai Kau. Kakak Kau yang
bernama Rewo mengingatkan Sioukurur
supaya melamar Kau sesuai adat yang ber-
la ku. Sioukurur lupa akan peran d an
tanggung jawabnya sebagai Tonaas. Terjadi-
lah pertempuran.
4. Kepercayaan manusia pada hal-hal yang
berada di luar jangkauan pemikiran. Ke-
yakinan tersebut mendatangkan kesaktian
bagi manusia. Manusia meyakini bahwa
ciptaan yang lain, seperti burung juga dapat
menyampaikan pesan.
Berdasarkan mitime-mitime tersebut dapat
dirumuskan konsep budaya dalam mitos Tonaas
Sioukurur sebagai berikut.
1. Orang tua memiliki kewajiban untuk mem-
persiapkan anak-anaknya menjadi orang yang
berguna di masa mendatang.
2. Anak harus patuh pada arahan orang tua.
3. Pengetahuan dan keterampilan lebih bernilai
luhur jika digunakan untuk menjaga keutuhan
demi kenyamanan hidup bersama.
4. Niat jahat dan keinginan untuk mencelakai
orang lain akan berujung pada malapetaka
bagi diri sendiri.
5. Seorang pemimpin memiliki standar moral
yang lebi dari orang lain untuk dilakukan.
6. Sumpah dan janji wajib ditepati.
7. Sumpah dan janji yang tidak ditepati akan
menjadi penyebab kekacauan dalam diri
pribadi dan bisa saja berujung kebinasaan.
8. Keinginan hati harus berpadanan dengan
segala norma dan aturan yang diakui oleh
masyarakat.
4.2 Tumalun
(1)Tumalun ad alah seorang ya ng gag ah
perkasa. Istrinya bernama Tonton. (2) Mata
pencarian Tumalun adalah berburu dan membuat
sagu. (3) Tumalun mempunyai senjata, yakni
114
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
lembing dan sebuah parang yang besar, lebar, dan
sangat berat. (4) Keluarganya tidak pernah
kekurangan makanan. (5) Tumalun adalah seorang
yang jujur, baik hati, dan suka menolong. (6)
Tumalun tak segan-segan membunuh orang yang
jahat. (7) Suatu hari Tumalan pergi merantau. (8)
Tumalun tiba di Desa Parepey. Banyak orang
berkumpul di suatu bangsal. (9) Penduduk
memberi tahu Tumalun bahwa ada seorang
pemuda yang meninggal dibunuh oleh orang yang
bernama Wangko ne Taretey. (10) Wangko ne
Taretey semena-mena terhadap penduduk. (11)
Tumalun sangat marah mendengar kekejaman
Wangko ne Taretey. (12) Wangko ne Taretey suka
sekali minum nira. Setiap kali selesai minum nira,
Wangko ne Taretey berteriak. (13) Tumalun
menantang Wangko ne Taretey. (14) Mereka
bertemu di Gunung Tampusu. Mereka mengadu
kekuatan dengan tarik tambang. (15) Tumalun
mengalahkan Wangko ne Taretey. (16) Wangko
ne Taretey menyerang dengan pedang. (17)
Tumalun membalas menyerang dengan penuh
pertimbangan. (18) Tumalun berhasil mengalahkan
Wangko Ne Taretey. (19) Wangko ne Taretey
mengajukan tantangan baru. (20) Mereka berjanji
untuk bertarung sembilan hari kemudian. (21)
Sebelum hari kesembilan, Tumalun telah berhasil
memeng gal kepala Wangko ne Taretey. (22)
Penduduk bergembira karena orang yang sering
mengganggu mereka telah dilenyapkan. (23)
Tumalun mendengar kabar bahwa di bagian utara
banyak penduduk tak bersalah mati dibunuh oleh
Mamangkey. (24) Mamangkey tinggal di sebuah
hutan dekat daerah Pineleng sekarang dan
memiliki pengikut yang banyak. (25) Daun di
sekitar tempat tinggal Mamangkey tidak pernah
dibersihkan sehingga orang yang datang langsung
diketahui. (26) Tumalun mulai mempersiapkan diri
untuk menghadapi Mamangkey. (27) Pada suatu
malam, Tumalun dan beberapa orang penduduk
desa mendapat tanda dari burung manguni.
Tumalun merasa yakin bahwa itulah saat yang
te pat untuk me nyerang Mama ngkey. (28)
Tumalun dan anak buahnya menyiram pekarangan
di sekitar rumah Mamangkey. (29) Tumalun
berhasil mengalahkan Mamangkey. (30) Anak
buah Mamangkey melarikan diri. (31) Penduduk
berterima kasih kepada Tumalun. (32) Tumalun
pulang ke rumah istri dan anak-anaknya. (33)
Datang seorang pemuda bernama Kumayas ke
rumah Tumalun ingin melamar anak Tumalun
ya ng be r nama Mawikit. (34) Tuma lun
memberikan syarat kepada Kumayas. Kumayas
harus menangkap pohon kelapa yang akan
dirobohkannya. (35) Kumayas berhasil lulus
dalam ujian Tumalun. (36) Kumayas diizinkan
me nika h de ngan Mawikit. (37) Tumalun
meninggal dalam usia 85 tahun. (38) Penduduk
membuatkan waruga untuk Tumalun. Waruga
tersebut berada di Desa Sawangan kecamatan
Kombi.
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
115
Tabel tersebut juga menggambarkan relasi-
relasi antarindividu dan peran masing-masing
tokoh serta tanda-tanda yang dapat dimaknai.
Kolom 1 menunjukkan daftar perilaku yang
normatif, yang menuruti tata-nilai yang ada dalam
masyarakat. Kolom 2 menunjukkan daftar peri-
laku individu yang menyimpang dari tata-nilai
dalam masyarakat. Perilaku ini dilakukan karena
Tabel
R
elasi
1 2 3 4
Tumalun adalah seorang
yang gagah perkasa
Keluarganya tidak
pernah kekurangan
makanan
Tumalun adalah seorang
yang jujur, baik hati, dan
suka menolong.
Tumalun mempunyai
senjata, yakni
lembing.
Selain itu, Tumalun
juga mempunyai
parang yang besar,
lebar, dan sangat
berat.
Tumalun tak segan
-
segan
membunuh orang yang
jahat
Penduduk memberi
tahu
Tumalun bahwa ada
seorang pemuda yang
meninggal dibunuh oleh
orang yang bernama
Wangko ne Taretey
Tumalun sangat marah
mendengar kekejaman
Wangko ne Taretey
Wangko ne Taretey suka
sekali minum nira
Wangko ne Taretey
menyerang dengan
pedang
Tumalun
mengalahkan
Wangko ne Taretey
dalam pertandingan
tarik tambang.
Wangko ne Taretey
jatuh dengan kaki
luka parah
tuntutan peran atau tuntutan emosi yang tidak
terkendali dalam diri tokoh. Kolom 3 menun-
jukkan relasi manusia yang memilki kekuatan fisik
yang dipadu dengan strategi yang penuh perhi-
tungan dengan manusia yang hanya mengandalkan
kekuatan fisik saja. Kolom 4 menunjukkan keter-
gantungan manusia kepada benda-benda yang
dapat dijadikan sarana mewujudkan keinginannya.
116
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
Selain itu, dalam mitos Tumalun tataran fakta
sebagai berikut. (1) Peta fisik dan politik daerah
Minahasa karena di sana disebutkan beberapa nama
tempat yang ada hingga saat ini. (2) Kehidupan
ekonomi masyarakat melalui penguraian mata
pencarian dan aktivitas penduduk. (3) Organisasi
sosial karena di dalam mitos tersebut disebutkan
struktur keluarga dan pemimpin masyarakat. (4)
Kepercayaan surealis masyarakat melalui bunyi-
bunyi burung manguni dan kesaktian yang melebihi
manusia biasa seperti bisa terbang dan kebal
terhadap benda tajam.
Dengan demikian dapat dirinci mitime yang
terdapat dalam mitos Tonaas Sioukurur sebagai
berikut.
1. Tumalun memiliki keluarga yang sang at
disayanginya. Ia selalu mencukupi kebutuhan
keluarganya, terutama dalam hal makanan.
Tumalun sangat melindungi keluarganya.
Keluarganya pun sangat menyayanginya.
Tumalun sangat hati-hati dalam hal memilih-
kan seorang jodoh bagi anaknya.
2. Tumalun adalah seorang petani dan pemburu.
Ia memanfaatkan alam sekitarnya untuk
menghidupi keluarganya.
3. Hubungan Tumalun dengan masyarakat di
sekitarnya sangat baik. Tumalun dihormati
oleh masyarakat. Ia suka menolong.
4. Tumalun berseteru dengan Wangko ne Taretey
dan Mamangkey karena kedua orang itu suka
berbuat semena-mena terhadap orang lain.
5. Tumalun memiliki anak buah yang diajarnya
berbagai taktik bertempur. Mereka memiliki
pengertian dan kerja sama yang baik.
Berdasarkan mitime-mitime tersebut dapat
dirumuskan konsep budaya dalam mitos Tumalun
sebagai berikut.
1. Apa pun status seseorang dalam masyarakat,
keluarga harus mendapat perhatian yang lebih
istimewa.
2. Kepala keluarga harus memenuhi kebutuhan
jasmani maupun rohani seluruh anggota
keluarganya.
3. Setiap orang harus bekerja untuk melanjut-
kan kehidupannya.
4. Tindakan tegas bagi orang yang berbuat salah
harus dilakukan dengan tidak ragu-ragu.
5. Selain kekuatan fisik, strategi yang penuh
perhitungan sangat dibutuhkan untuk me-
lawan ketidakadilan.
6. Kejahatan pasti akan takluk pada kebaikan.
Kejahatan pada akhirnya akan menimbulkan
malapetaka bagi pelakunya.
7. Berbagai tanda-tanda alam termasuk hewan
dan tumbuhan yang ada di sekitar kita dapat
dijadikan referensi untuk melakukan perbaik-
an ke depan.
4.3 Maharimbouw dan Marimbouw
(1) Sebuah gunung yang sangat tinggi berdiri
kokoh di Minahasa. (2) Di lereng gunung itu
terdapat dua negeri. Setiap negeri dipimpin oleh
seorang tonaas. (3) Tonaas di wilayah utara memi-
liki putri yang sangat cantik bernama Marimbouw.
(4) Tonaas di wilayah selatan memiliki putra yang
sangat tampan bernama Maharimbouw. (5) Kedua
tonaas mengharapkan anaknya menjadi penerus
mereka. (6) Ayah Marimbouw sangat gelisah me-
mikirkan bagaimana putrinya bisa menggantikannya
menjadi pemimpin. (7) Tonaas wilayah utara me-
manggil Marimbouw dan diminta untuk menyamar
sebagai laki-laki. (8) Marimbouw tidak membantah
keinginan ayahnya. (10) Marimbouw dilatih berbagai
keterampilan laki-laki. (9) Sambil memegang
tawaang, Marimbouw berjanji tidak akan menikah
selama ayahnya masih hidup. (10) Atas perminta-
an ayahnya, dengan memegang tawaang,
Maharimbouw juga bersumpah untuk tidak menikah
selama aya hnya masih hidup. (11 ) Sumpah
Maharimbouw dan Marimbouw di dengar oleh Opo
Empung. (12) Sumpah tidak boleh diingkari, jika
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
117
melanggar sumpah akan terjadi malapetaka. (13)
Maharimbou dan Marimbou akhirnya tanpa sengaja
be rtemu. (14) Maharimbouw curiga bahwa
Marimbouw adalah perempuan. (15) Maharimbouw
berhasil membuka tutup kepala Marimbouw dengan
ujung tombaknya. (16) Tampaklah di hadapan
Maharimbouw bahwa Marimbouw adalah seorang
gadis yang cantik. (17) Maharimbouw dan Marim-
bouw saling jatuh cinta. (18) Mereka melupakan
sumpah mereka kepada orang tua masing-masing.
(19) Tiba-tiba terjadi gempa bumi yang sangat
hebat. Gunung yang berdiri kokoh meletus. (20)
Maharimbouw dan Marimbouw hilang tanpa jejek.
(21) Akibat bencana itu terbentuklah sebuah
danau di bekas gunung berapi yang meletus itu.
Tabel Relasi
1
2
3
4
Sebuah gunung yang sangat
tinggi berdiri kokoh di
Minahasa.
Di lereng gunung itu
terdapat dua negeri.
setiap negeri dipimpin oleh
seorang tonaas
Tonaas di wilayah utara
memiliki putri yang sangat
cantik bernama Marimbouw
Tonaas di wilayah selatan
memiliki putra yang sangat
tampan bernama
Maharimbouw
Kedua tonaas
mengharapkan anaknya
menjadi penerus mereka
Ia memikirkan bagaimana
putrinya bisa
menggantikannya menjadi
pemimpin. Tonaas wilayah
utara memanggil Marimbouw
dan memintanya untuk
menyamar sebagai laki-laki
Marimbou menyanggupi
permintaan ayahnya: ia
bertingkah sebagai laki-laki,
baik dalam bicara,
berpakaian, dan dalam
aktivitasnya.
Marimbouw tidak
membantah keinginan
ayahnya dan melakukan
semuanya dengan ikhlas
Marimbouw dilatih berbagai
keterampilan laki-laki dan
dengan cepat ia menguasai
pelajarannya
Atas permintaan ayahnya,
dengan memegang
Tawaang, Marimbouw
berjanji tidak akan menikah
selama ayahnya masih
hidup
118
Kadera Bahasa, Volume 10, Nomor 2, Edisi Agustus 2018
generasi dan anak sebagai generasi penerus
menimbulkan standar nilai secara fisik
tentang seorang pemimpin. Pemimpin lebih
disukai oleh tonaas di negeri utara adalah
laki-laki. Relasi ini berkonsekuensi diucap-
kannya permintaan untuk malawan kehendak
Tuhan. Marimbouw diminta untuk berper-
perilaku sebagai laki-laki. Sebagai anak,
Marimbou tidak membantah permintaan
ayahnya. Ia melakukannya dengan ikhlas.
3. Relasi antara Maharimbouw dan Marimbouw
mula-mula sebagai dua orang penerus dari
dua negeri yang berbeda. Selanjutnya, relasi
itu berkembang menjadi relasi antara pria dan
wanita yang saling tertarik dan berkembang
menjadi saling ingin memiliki. Relasi ini
berakibat diingkarinya sebuah sumpah.
4. Relasi antara manusia, sumpah, dan alam
jelas dalam mitos ini. Saat manusia melang-
gar sumpahnya, manusia dihukum oleh alam.
Berdasarkan mitime-mitime tersebut dapat
di r umuskan konsep budaya dalam mitos
Marimbouw dan Maharimbouw sebagai berikut.
1. Tugas pemimpin antara lain adalah me-
nyiapkan penerus.
2. Tugas orang tua adalah membimbing anak
dan menerima pemberian Tuhan.
3. Anak harus mematuhi arahan orang tua dan
menjalankannya dengan ikhlas.
4. Sumpah yang dilanggar bisa berakibat buruk
bagi diri sendiri juga bagi orang lain.
Tabel
R
elasi
1
2
3
4
Sebuah gunung yang sangat
Atas permintaan ayahnya,
dengan memegang tawaang
, Maharimbouw juga
bersumpah untuk tidak
menikah selama ayahnya
masih hidup
Sumpah Maharimbouw dan
Marimbouw di dengar oleh
Opo Empung.
Tabel tersebut juga menggambarkan relasi-
relasi antarindividu dan peran masing-masing
tokoh serta tanda-tanda yang dapat dimaknai.
Kolom 1 menunjukkan daftar perilaku yang
normatif, yang menuruti tata-nilai yang ada dalam
masyarakat. Kolom 2 menunjukkan daftar peri-
laku individu yang menyimpang dari tata-nilai
dalam masyarakat. Perilaku ini dilakukan karena
tuntutan peran atau tuntutan emosi yang tidak ter-
kendali dalam diri tokoh. Kolom 3 menunjukkan
relasi manusia perkataan yang diucapkannya
sendiri. Kolom 4 menunjukkan akibat dari me-
langgar sumpah. Selain itu, dalam mitos Marimbouw
dan Maharimbouw tataran fakta sebagai berikut. (1)
Peta fisik dan politik daerah Minahasa karena di
sana disebutkan beberapa nama tempat yang ada
hingga saat ini. (2) Kehidupan ekonomi masyarakat
melalui penguraian mata pencarian dan aktivitas
penduduk. (3) Organisasi sosial karena di dalam
mitos tersebut disebutkan struktur keluarga dan
pemimpin masyarakat. (4) Kepercayaan masya-
rakat terhadap keterkaitan peristiwa alam dengan
pelanggaran terhadap peraturan adat.
Dengan demikian dapat dirinci mitime yang
terdapat dalam mitos Marimbouw dan Maharimbouw
sebagai berikut.
1. Relasi antara pemimpin dengan yang di-
pimpin menghasilkan kewajiban untuk me-
nyiapkan penerus, yang akan meneruskan
jalannya organisasi politik sebuah negeri.
2. Relasi antara orang tua dan anak dalam
fungsi: orang tua berperan sebagai pencipta
Nontje Deisye Wewengkang
Makna Budaya dalam Mitos di Minahasa
119
5. SIMPULAN
1. Ketiga mitos tersebut memiliki tataran fakta
yang hampir sama, yakni (1) Peta fisik dan
politik daerah Minahasa karena di sana
disebutkan beberapa nama tempat yang ada
hingga saat ini, (2) Kehidupan ekonomi masya-
rakat melalui penguraian mata pencarian dan
aktivitas penduduk, (3) Organisasi sosial
karena di dalam mitos tersebut disebutkan
struktur keluarga dan pemimpin masyarakat,
dan (4) Kepercayaan masyarakat terhadap
keterkaitan peristiwa alam dengan pelanggaran
terhadap peraturan adat dan keterkaitan
dengan hal-hal gaib.
2. Ketiga mitos tersebut mitime yang hampir
sama, yakni (1) menunjukkan daftar perilaku
yang normatif, yang menuruti tata-nilai yang
ada dalam masyarakat, (2) menunjukkan daftar
perilaku individu yang menyimpang dari tata-
nilai dalam masyarakat. Perilaku ini dilakukan
karena tuntutan peran atau tuntutan emosi
yang tidak terkendali dalam diri tokoh, (3)
menunjukkan relasi manusia perkataan yang
diucapkannya sendiri, (4) menunjukkan akibat
dari melanggar aturan, sumpah dan keper-
cayaan terhadap hal-hal gaib.
6. DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: CV. Sinar Baru.
Ahimsa-Putra, H.S. 2006. Strukturalisme vi-
Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:
Kepel Press.
———————————. 2011. “Wong Dulbur,
Wong Legok, dan Wong Tiban: Struktur Nirsadar
Novel Jatisaba’ makalah disampaikan
dalam bedah buku “Novel Jatisaba”. Yogya-
karta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada.
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
—————————. 1990. Sejarah Teori
Antropologi II. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).
Lévi-Strauss, Claude. Terjemahan Claire Jacobson
da n Brooke Grundfest Schoepf. 1963.
Structural Anthropolog y. New York: Basic
Books.
Lyon, David. 1994. Postmodernity. Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pardi, dkk. 2006. Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam
Cerita Rakyat Kalimantan Timur. Samarinda.
Propp, V. Terjemahan Noriah Taslim. 1987.
Morfologi Cerita Rakyat. Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan
Malaysia.
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata.
Jakarta: Widyatama Widya Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Si bara ni, Robert. 2004. Antropoli nguistik :
Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi.
Medan: Penerbit Poda.
Soepardi. 2004. Teknik Pengumpulan data dalam
Ku mpul an Materi Pelatihan Metode
Penelitian Tingkat Nasional. Jakarta: Litbang,
Depdiknas
Yoesoef, M. 2007. Sastra dan Kekuasaan. Jakarta:
Widyatama Sastra.
... Mitos adalah suatu media pemahaman dan pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat yang masih diyakini secara turun-temurun dari masa lampau hingga memengaruhi pola pikir masyarakat saat ini. Bahkan, sampai saat ini, di zaman modern yang serba canggih, masih banyak masyarakat yang tumbuh dan berkembang dengan mitos para leluhurnya karena mereka beranggapan bahwa hal yang disampaikan oleh nenek moyang adalah sebuah kebenaran (Wewengkang, 2018). Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan jika mitos adalah suatu hal yang ada secara turun-temurun dari nenek moyang untuk terus kita gunakan kapan saja, khususnya larangan wanita hamil agar selamat, sehat, dan tanpa kekurangan apapun. ...
Article
Full-text available
The belief of the prohibitions on pregnant women in Tlogorejo, Lawang District, Malang Regency, is considered as one of the oral literary works. The community has various kinds of cultural traditions that still going on to this day, especially Javanese culture which is still preserved until now. This study aims to determine the community beliefs of the prohibitions on pregnant women and uses qualitative methods with data collection techniques using secondary and primary data. The data were obtained by conducting interviews with informants from the village and were analyzed using Roland Barthes semiotic theory. The results showed that the community believe that pregnant women (1) cannot go out at sunset, (2) cannot eat at the door, (3) cannot put a towel around their neck, (4) cannot kick the water, and (5) are not allowed to sleepover from place to place. Abstrak Kepercayaan terhadap larangan wanita hamil di Dusun Tlogorejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, merupakan salah satu karya sastra lisan. Masyarakat memiliki berbagai macam tradisi kebudayaan yang melekat sampai saat ini, khususnya kebudayaan Jawa, dan masih dilestarikan, salah satunya kepercayaan terhadap larangan wanita hamil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepercayaan masyarakat terhadap larangan-larangan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder dan data primer. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap narasumber yang berasal dari dusun tersebut. Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Roland Barthes, yaitu analisis dengan menggunakan unsur tanda atau simbol dan terdapat dua makna, yaitu makna denotasi dan makna konotasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat Dusun Tlogorejo memercayai jika wanita hamil (1) tidak boleh keluar pada saat magrib, (2) tidak boleh makan di depan pintu, (3) tidak boleh mengalungkan handuk di leher, (4) tidak boleh menendang-nendang air, dan (5) tidak boleh tidur berpindah-pindah tempat.
Article
Full-text available
This research focuses on Bengkalis Malay cultural features in the oral literature of Yung Dolah. It is aimed to find out cultural features contained in the oral literature of Yung Dolah. The research' urgency is to find out symbolic meaning in the literature. The oral literature functions cannot only to entertain listeners but also to reflect character and social and cultural condition of the Malay. The method in this research is the descriptive method. The collected data are presented, analyzed, and explained, to find out the meaning of the cultural features. A semiotic analysis carried out on the Yung Dolah story showed that the story contained the cultural features. The research findings revealed that the cultural features found are as follows: the Yung Dolah story functions as a means for the Malay language to survive and develop; knowledge system is transmitted orally and patterned; the Bengkalis Malay is a communal society who has good emotional ties and social relationship; the social condition of the Bengkalis Malay is well promoted in the Yung Dolah story; the Yung Dolah story also contains responses to a change that indicates social resistance; and the Yung Dolah story represents a critique of character and behavior on both the Malays and other ethnics. Abstrak Fokus utama kajian ini ialah fitur budaya Melayu Bengkalis dalam cerita Yung Dolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fitur-fitur budaya yang terkandung dalam cerita Yung Dolah. Urgensi penelitian ialah mengetahui muatan simbolik yang terkandung dalam cerita Yung Dolah, sebab sastra lisan ini tidak sekadar berfungsi sebagai hiburan tetapi juga merefleksikan karakter, sosial, dan budaya masyarakat. Tulisan ini menggunakan metode deskriptif. Data yang diperoleh dipaparkan, dianalisis, dan dijelaskan sehingga ditemukan makna fitur budaya yang terkandung dalam data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis semiotika yang dilakukan terhadap cerita Yung Dolah mengungkap fitur-fitur budaya yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan hasil analisis fitur budaya yang terkandung di dalam cerita Yung Dolah dapat dikemukakan bahwa cerita Yung Dolah menjadi wadah bagi bahasa lokal untuk eksis (ada dan berkembang); sistem pengetahuan ditransmisikan secara lisan dan terpola; orang Melayu Bengkalis merupakan masyarakat komunal yang memiliki ikatan emosional dan hubungan sosial yang baik; realitas sosial orang Melayu Bengkalis diproyeksikan dalam cerita Yung Dolah secara lugas; cerita Yung Dolah juga mengandung respons terhadap perubahan yang menunjukkan adanya resistansi sosial; dan cerita Yung Dolah merepresentasikan kritik terhadap karakter dan perilaku, baik yang ditujukan pada diri sendiri (orang Melayu) maupun pada etnis atau kelompok lain. Kata-kata kunci: fitur budaya, Melayu, Bengkalis, semiotika
Pengantar Apresiasi Karya Sastra
  • Aminuddin
Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: CV. Sinar Baru.
Strukturalisme Lévi-Strauss
  • H S Ahimsa-Putra
Ahimsa-Putra, H.S. 2006. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel Press. -----------. 2011. "Wong Dulbur, Wong Legok, dan Wong Tiban: Struktur Nirsadar Novel 'Jatisaba'" makalah disampaikan dalam bedah buku "Novel Jatisaba". Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
  • James Danandjaja
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. ----------. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Teori Pengkajian Fiksi
  • Burhan Nurgiantoro
Nurgiantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Widyatama Widya Sastra
  • F X Rahyono
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Widyatama Widya Sastra.
Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
  • Nyoman Ratna
  • Kutha
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi
  • Robert Sibarani
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik: Antropologi Linguistik, Linguistik Antropologi. Medan: Penerbit Poda.
Teknik Pengumpulan data dalam Kumpulan Materi Pelatihan Metode Penelitian Tingkat Nasional
  • Soepardi
Soepardi. 2004. Teknik Pengumpulan data dalam Kumpulan Materi Pelatihan Metode Penelitian Tingkat Nasional. Jakarta: Litbang, Depdiknas